Bab 5 Ringkasan Tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa Jepang telah banyak memberikan inspirasi kedisiplinan dalam tatanan hidup umat manusia sebagai makhluk sosial secara menyeluruh. Misalnya saja nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam budaya Jepang. Masyarakat negeri matahari terbit ini merupakan masyarakat yang sangat menjunjung tinggi dan menerapkan nilai-nilai tradisional di tengah-tengah pola kehidupannya yang sudah modern. Hal tersebut membuat Jepang menjadi sebuah bangsa yang maju yang sangat disegani oleh bangsa-bangsa lainnya di dunia. Di antara banyaknya nilai-nilai tradisional Jepang yang berakar dari budaya luhur mereka, terdapat beberapa hal yang menarik untuk dipelajari, seperti chu, ko, giri, ninjou, gimu, dan on. Nilai-nilai itulah yang kemudian dianggap sebagai ciri khas atau karakteristik bangsa Jepang. Sebuah karakter yang membangun bangsa Jepang sehingga menjadi bangsa besar seperti sekarang ini. Nilai-nilai tersebut tidak hanya tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang, namun juga dalam wujud karya seni. Misalnya saja kaligrafi, lukisan, seni gerak, atau karya tulis. Tak bisa dipungkiri bahwa karya seni bangsa Jepang memiliki nilai historis dan karakteristik yang sangat tinggi. Salah satu contohnya adalah mukashi banashi. Menurut Mayer (1989) mukashi banashi yaitu bagian dari tradisi bercerita yang diwariskan secara turun-temurun. Dongeng rakyat yang bermula dari pemikiran rakyat biasa, mencakup banyak ekspresi nilai hidup, kebajikan dan keindahan budaya asalnya. Dongeng ini tergolong sangat sederhana di antara bentuk narasi cerita rakyat lainnya dan 43 hanya diturunkan dari generasi ke generasi. Dongeng ini seringkali menyertakan elemen-elemen dan tema tertentu seperti binatang nakal, kejadian-kejadian janggal, lakilaki tua baik hati dan yang jahat, berbaliknya peruntungan secara tiba-tiba, dan lainnya. Menurut Kusunoki (1996:3) sebuah fenomena budaya yang hidup dalam masyarakat Jepang yaitu tradisi pemberian yang muncul dalam bentuk saling tukar menukar pemberian. Kebiasaan saling tukar menukar pemberian di Jepang meliputi aturan-aturan yang rumit dan merupakan bagian dari sebuah sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat. Dikutip dalam Suyana (1996:32) kebiasaan saling tukar menukar pemberian pada masyarakat Jepang tercermin dari kebiasaan budaya beri memberi yang cenderung bersifat religius dan magis. Hal itu dikarenakan bahwa kebiasaan tersebut berkaitan erat dengan ritual-ritual pemujaan supernatural. Misalnya; pada masyarakat Jepang kuno terdapat kebiasaan untuk mempersembahkan sajian berupa makanan dan sake kepada para dewa dalam saat-saat tertentu. Tradisi ini dilatar belakangi oleh ajaran shinto yang merupakan kepercayaan yang banyak dianut oleh masyarakat Jepang. Persembahan itu bisa dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih kepada dewa atas hasil panen yang mereka peroleh, rasa syukur atas perlindungan dewa atau permohonan untuk senantiasa mendapat berkah dan anugerah dari dewa. Persembahan-persembahan berupa makanan dan sake tadi, setelah selesai ritual, dimakan secara bersama-sama oleh para pengunjung yang menghadiri ritual tersebut dalam suatu acara yang disebut naorai (pesta sake yang dilakukan setelah matsuri, dimana makanan-makanan dan sake yang dipersembahkan kepada dewa dimakan bersama-sama). Makanan tadi diyakini memiliki kekuatan supernatural sebagai pemberian balasan dari dewa atas persembahan-persembahan yang mereka berikan. 44 Dikutip menurut Lebra dalam Suyana (1996:51-54) selain berkaitan dengan hal-hal yang bersifat religius dan magis, kebiasaan saling tukar menukar pemberian ini juga berkaitan erat dengan struktur sosial tradisonal yaitu giri dan ninjou. Di daerah pedesaan Jepang, motivasi utama yang paling penting di balik kebiasaan saling tukar menukar pemberian adalah konsep giri. Befu dalam Suyana (1996:24-25) mengungkapkan bahwa giri adalah sebuah kewajiban sosial yang bersifat etis dan moral, yang mengharuskan bangsa Jepang untuk bersikap seperti yang diharapkan oleh masyarakat dalam bersosialisasi dengan individu-individu lain. Giri mengacu pada suatu hubungan sosial yang terdiri atas satu set norma-norma sosial yang menugaskan setiap pemilik status untuk melakukan suatu peran tertentu. Lebih khususnya, giri merupakan suatu cara dalam menjalin hubungan individu tertentu. Konsep ini mengandung kekuatan yang memaksa anggota masyarakat untuk terikat dalam aktifitas-aktifitas yang saling berbalasan. Menjalankan giri dengan baik berarti seseorang itu memiliki nilai moral yang tinggi, dan menolak kewajiban timbal balik berarti meniadakan kepercayaan dari mereka yang mengharapkan timbal balik, yang pada akhirnya akan menghilangkan bantuan dari mereka atau melalaikan hubungan giri tersebut. Minamoto dalam Salecha (2004:23) menjelaskan bahwa giri merupakan kewajiban sosial yang memiliki beragam makna, tergantung pada situasi dan kondisinya. Giri adalah sikap membalas kebaikan yang diterima dari orang lain, diluar orang-orang yang berhubungan secara kekerabatan seperti hubungan orang tua dan anak, suami dan istri. Menurut Benedict (2000:141) bahwa giri adalah suatu kewajiban untuk mengembalikan atau membalas semua pemberian yang telah diterima dengan nilai yang sama harganya dari apa yang telah diterima sebelumnya. Hubungan antara kedua belah 45 pihak tersebut pun tidak hanya berlaku di antara mereka yang memiliki hubungan khusus, tetapi juga antara teman ataupun kolega dan relasi. Dalam Lebra dalam Rahayu (2006:12-13) dikatakan bahwa konsekuensi pengaruh perbuatan giri tersebut adalah membebani si penerima bantuan, yaitu; jika seseorang sudah mulai terlibat dalam hubungan giri, maka ia tidak bisa berpikir secara rasional lagi. Semua tindakan yang akan dilakukan harus dipertimbangkan terlebih dahulu, misalnya apakah tindakan yang ia lakukan tidak akan merusak nama baiknya di dalam lingkungan, karena ia telah lalai melaksanakan giri. Ketika seseorang melakukan budaya pemberian yang tidak sesuai menurut ukuran giri, atau dianggap lebih murah dari segi sosial, maka masyarakat tidak hanya akan membicarakan mengenai jenis pemberiannya saja, tetapi juga mengenai karakter seseorang tersebut. Masyarakat Jepang dewasa ini mungkin sudah tidak begitu peduli dengan latar belakang serta asal-usul dari kebiasaan saling tukar menukar pemberian yang hidup dalam masyarakat mereka. Namun demikian, mereka menerima warisan kebiasaan tersebut dari leluhur-leluhur mereka dan menganggap bahwa kebiasaan tersebut memang sudah semestinya dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan kata lain, secara umum mereka memahami dan menyetujui etiket tradisi pemberian ini. Namun mereka menganggap praktek saling tukar menukar pemberian yang dilandasi oleh giri ini hanya sebagai sebuah formalitas kosong belaka atau dilakukan hanya sekedar kewajiban moral yang terpenuhi tanpa memperhitungkan apakah pemberian tersebut bermanfaat atau tidak. Karena mengabaikan giri merupakan sebuah pelanggaran dan bisa mengakibatkan sangsi sosial yang cukup berat. Karakter sosial seseorang seringkali dilihat dari sejauh mana dia memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan etika giri. 46 Satu hal yang membuat praktek saling tukar menukar pemberian yang dilandasi oleh giri tetap dilakukan oleh masyarakat kota walaupun ada yang memandangnya negatif, adalah karena hal tersebut merupakan asuransi sosial. Misalnya; pada saat-saat darurat, seseorang mau tidak mau akan bergantung kepada tetangga-tetangga atau kawankawannya. Jika selama ini dia tidak memperhatikan dan tidak peduli terhadap etiket yang berdasarkan giri, dia mungkin tidak dapat mengharapkan terlalu banyak pertolongan pada saat-saat yang kritis tersebut. Berbeda dengan giri yang merupakan kewajiban moral untuk melakukan tindakan saling berbalasan, ninjou adalah kecenderungan perasaan dan keinginan alamiah manusia yang tidak terikat dengan norma-norma seperti halnya giri. Menurut Befu dalam Suyana (1996:26-27) ninjou merujuk kepada kecenderungan perasaan peri kemanusiaan; kebaikan hati; dan keinginan-keinginan yang bersifat alamiah. Berbeda dengan giri yang merupakan kewajiban moral untuk melakukan tindakan saling berbalasan, ninjou adalah kecenderungan perasaan dan keinginan alamiah manusia yang tidak terikat dengan norma-norma seperti halnya giri. Apabila giri merupakan sesuatu yang bersifat moral dan sosial, maka ninjou bersifat psikologis dan personal atau pribadi. Dikutip menurut Keene dalam Salecha (2004:26) bahwa giri dan ninjou dialihbahasakan sebagai kewajiban dan perasaan manusiawi. Ada pula yang mengartikannya sebagai akal dan hasrat. Secara sederhana, akal adalah apa yang ditetapkan masyarakat sebagi perilaku yang benar, dan yang membuat orang beradab berbeda dengan binatang atau orang yang tidak beradab. Di lain pihak, hasrat adalah insting alami, termasuk cinta. Pertentangan antara giri dan ninjou digambarkan melalui seseorang manusia yang tersiksa antara keinginan pribadinya dan keinginan sosialnya. 47 Menurut Befu dalam Suyana (1996:7) perbedaan antara giri dan ninjou terdapat pada penekanannya. Giri merupakan suatu tindakan di mana kita berkewajiban moral untuk melakukan tindakan saling bertimbal balik kepada seseorang yang telah membantu kita, sedangkan ninjou lebih menekankan pada perasaan yang berasal dari hati kecil seseorang atau personal untuk membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Ninjou ini secara umum dimiliki oleh semua manusia, tidak hanya orang Jepang. Japan As It Is dalam Suyana (1996:27) menjelaskan bahwa masyarakat Jepang lebih mudah cenderung untuk menghargai ninjou melebihi giri. Maka dari itu ninjou lebih kepada suatu hubungan yang tidak pamrih atau tidak mengharapkan balasan dari si penerima bantuan. Akan tetapi ketika mereka masuk ke dunia kedewasaan, di mana hubungan antar manusia bergantung atas kewajiban rasa timbal balik, mereka belajar mematuhi norma-norma sosial dan menjadi lebih taat pada kewajiban-kewajiban giri. Karena jika mereka melalaikan kewajiban giri, maka mereka akan mengalami kesulitan dalam bersosialisasi dengan orang lain. Ninjou merupakan rasa kemanusiaan dan perasaan kasih sayang kepada sesama. Perasaan ini murni timbul dari lubuk hati yang terdalam yang dimiliki oleh setiap individu di dunia. Perasaan yang timbul jika seseorang melihat orang lain mengalami kesulitan atau kesusahan dan membutuhkan pertolongan. Meskipun giri dan ninjou memiliki arti yang kuno pada jaman modern Jepang, tetapi konsep ini sangat penting sebagai pemandu dalam melakukan hubungan dengan individu lainnya. Dikutip menurut Benedict (2000:104) bahwa orang Jepang beranggapan orang yang berbudi luhur tidak mengatakan bahwa mereka tidak berhutang apa-apa kepada siapapun. Mereka selalu merasa memiliki hutang, dan hutang-hutang tersebut adalah suatu kewajiban moral yang harus dibayar kembali. 48 Dalam dongeng Urashima Tarou (1989) adanya giri antara kura-kura dengan Urashima Tarou dilihat ketika si kura-kura datang menghampiri Urashima Tarou untuk membayar hutang budi atas bantuan Urashima Tarou yang telah menolongnya ketika si kura-kura mengalami kesusahan karena dipukuli dan ditendangi oleh sekumpulan anak di pantai. Karena merasa terikat giri, maka si kura-kura mengundang Urashima Tarou ke istana para dewi laut sebagai ucapan terima kasih si kura-kura karena telah menolonganya kemarin di pantai. Hubungan giri selanjutnya yang terjadi dalam dongeng Urashima Tarou adalah giri antara Otohime Sama dengan Urashima Tarou dilihat melalui sikap Otohime Sama yang menjamu Urashima Tarou di istananya karena telah menolong si kura-kura. Karena si kura-kura adalah pelayan yang tinggal di istana para dewi laut tersebut, maka Otohime Sama sudah menganggap si kura-kura merupakan uchi no mono bagi Otohime Sama, maka Otohime Sama merasa memiliki giri terhadap Urashima Tarou yang telah menolong si kura-kura. Hubungan ninjou ditemukan pada saat antara Urashima Tarou dengan si kura-kura ketika Urashima Tarou menolong si kura-kura karena merasa kasihan melihat si kurakura yang dipukuli dan ditendangi oleh sekumpulan anak di pantai. Berdasarkan atas perasaan manusiawinya Urashima Tarou merasa tergugah hatinya untuk menolong si kura-kura yang sedang kesusahan itu. Kemudian dalam dongeng Momotarou (1988) adanya giri antara Momotarou dengan kakek dan nenek dilihat ketika Momotarou meminta izin pergi ke Pulau Monster. Bahwa Momotarou membayar hutang budi kebaikan kakek dan nenek, dengan kepergiannya tersebut untuk melawan para monster-monster di Pulau Monster yang telah 49 mengacaukan keadaan desa dimana Momotarou tinggal bersama kakek dan nenek yang telah mengasuhnya. Hubungan giri selanjutnya yang terjadi dalam dongeng Momotarou adalah di antara ketiga binatang, yaitu: anjing; monyet; dan burung dengan Momotarou yang telah memberinya makanan. Maka ketiga binatang tersebut mengembalikan giri yang sudah diterima dari Momotarou dengan pergi bersama dengan Momotarou untuk melawan monster-monster di Pulau Monster tersebut. Hubungan ninjou ditemukan pada saat antara kakek dan nenek dengan Momotarou yang dilihat melalui bagaimana sepasang kakek dan nenek itu mengasuh Momotarou dengan penuh cinta dan kasih sayang karena telah mendapatkan anugerah seorang bayi laki-laki. Meskipun berasal dari buah persik, namun mereka tetap mengasuh Momotarou dengan penuh cinta dan kasih sayang. Lalu dalam dongeng Tsuruno Ongaeshi (1988) adanya giri yang dilakukan oleh burung bangau yang menjelma menjadi seorang wanita dengan seorang pemuda miskin yang telah menolongnya, ketika si burung bangau akan ditangkap oleh si pemburu dilihat ketika burung bangau yang telah menjelma menjadi seorang wanita itu membayar hutang budinya dari apa yang telah diterima oleh burung bangau tempo hari dengan bersedia menjadi istrinya dan membuat kain untuk dijual ke kota agar mereka dapat layak hidup untuk sehari-hari. Hubungan ninjou ditemukan pada saat si pemuda miskin dengan seekor burung bangau yang dilihat melalui bagaimana pemuda itu menolong burung bangau yang masuk ke dalam perangkap si pemburu ketika dia hendak pergi ke kota. Dengan didasari oleh perasaan peri kemanusiaan dan kebaikan hati, si pemuda itu merasa kasihan ketika melihat burung bangau itu masuk ke dalam perangkap si pemburu, dia bahkan dengan 50 ikhlas mengeluarkan uangnya yang telah lama dia kumpulkan untuk membeli kursi di kota, demi membebaskan burung bangau itu dari santapan si pemburu. Seperti Bab 3 yang sudah dianalisis, adanya giri dan ninjou dalam tiga dongeng anak Jepang, yaitu: Dalam dongeng Urashima Tarou (1989) adanya dua konsep giri dan satu konsep ninjou yaitu: a) Giri: Kura-kura yang telah ditolong oleh Urashima Tarou pada saat si kurakura mengalami kesusahan akibat dipukuli dan ditendangi oleh sekumpulan anak di pantai, dan ketika Otohime Sama yang menjamu Urashima Tarou di istananya karena telah menolong si kura-kura. b) Ninjou: Urashima Tarou yang menolong si kura-kura karena merasa kasihan melihat si kura-kura yang dipukuli dan ditendangi oleh sekumpulan anak di pantai. Dalam dongeng Momotarou (1988) adanya dua konsep giri dan satu konsep ninjou yaitu: a) Giri: Momotarou pergi ke Pulau Monster untuk membayar hutang budi kebaikan kakek dan nenek yang telah mengasuh dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang, dan ketika ketiga binatang, yaitu: anjing; monyet; dan burung mengembalikan giri yang sudah diterima dari Momotarou dengan pergi bersama dengan Momotarou untuk melawan monster-monster di Pulau Monster tersebut. b) Ninjou: Sepasang kakek dan nenek yang mengasuh Momotarou dengan penuh cinta dan kasih sayang meskipun Momotarou berasal dari buah persik. 51 Dalam dongeng Tsuruno Ongaeshi (1988) adanya satu konsep giri dan satu konsep ninjou yaitu: a) Giri: Burung bangau telah ditolong oleh si pemuda miskin ketika burung bangau akan ditangkap oleh si pemburu, b) Ninjou: Pemuda miskin menolong burung bangau yang masuk ke dalam perangkap si pemburu ketika dia hendak pergi ke kota. 52