PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI PREKOGNISI MUHAMMAD ARI WIBOWO Program Sarjana, Universitas Gunadarma ABSTRAK Tidak jarang setiap orang merasa akan mengalami suatu kejadian, dan uniknya seringkali firasat itu, atau prekognisi dalam ranah psikologi, mengenai sesuatu yang buruk. Pengalaman prekognisi akhirnya tidak jarang menjadi dilema bagi yang mengalaminya, untuk mengatakan atau tidak kepada yang bersangkutan. Keadaan ini akan berpengaruh terhadap penerimaan diri individu karena bagaimanapun juga prekognisi adalah bagian dari dirinya. Penelitian ini merupakan studi kasus. Subjek adalah seorang wanita berusia 23 tahun yang memenuhi persyaratan telah mengalami prekognisi tiga kali yang benar terjadi dan dibenarkan oleh pihak ketiga atau yang diberitahukan sebelumnya dan hingga kini masih mengalami prekognisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran penghayatan prekognisi yang dialami individu, bagaimana penerimaan diri individu, mengapa individu memiliki penerimaan diri yang demikian, dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi penerimaan diri individu yang mengalami prekognisi. Melalui penelitian terhadap individu yang mengalami prekognisi, peneliti menemukan gambaran penghayatan prekognisi yang dialami, bagaimana penerimaan diri individu terhadap prekognisi yang dialaminya dan mengapa penerimaan dirinya demikian, dan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri individu. Semua hasil temuan tersebut berperan dalam proses penerimaan diri subjek. Penelitian ini menemukan bahwa subjek memiliki penerimaan diri yang baik. A. LATAR BELAKANG MASALAH Normalnya, manusia memiliki lima indera yang berfungsi untuk mendapatkan informasi tentang dunia sekitar. Diluar lima indera itu, banyak orang meyakini adanya indera keenam. Orang akan dianggap memiliki indera ke-enam jika mampu melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat, didengar atau dirasakan orang lain (Mendatu, 2007). Jadi, indera keenam berperan sebagai indera untuk menangkap informasi tentang dunia sekitar yang tidak bisa diperoleh dengan indera biasa. Secara ilmiah indera ke-enam dikenal dengan istilah extra sensory perception (ESP). ESP adalah kemampuan persepsi seseorang diatas panca inderanya (Heaney, 2008). Dalam ilmu psikologi, ESP sebagai salah satu fenomena spiritual dikaji dalam parapsikologi dan psikologi transpersonal. Psikologi transpersonal telah memberikan cara pandang yang baru mengenai manusia dan kesadarannya. Vaughan Vaughan, Wittine, dan Walsh (dalam Herviana, 2004) menyebutkan empat asumsi psikologi transpersonal yang salah satunya adalah psikologi transpersonal merupakan proses kebangkitan atau pencerahan (awakening) dari identitas mikro menuju identitas makro. Psikologi transpersonal menganggap pengalaman spiritual akan membimbing orang menuju pertumbuhan kepribadian yang lebih besar dan fungsi yang lebih tinggi. Jadi, dapat dikatakan bahwa sebagai pengalaman spiritual, ESP dapat membuat manusia menjadi pribadi yang matang. ESP sendiri terdiri dari tiga hal, yakni telepati, daya terawang jauh, dan prekognisi (Kartoatmodjo, 1995). Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada prekognisi mengingat penelitian mengenai prekognisi jarang dilakukan dan jarang pula yang mengungkap sisi psikologis dari individu yang mengalami prekognisi. Guiley (1991) menjelaskan bahwa prekognisi adalah pengetahuan langsung atau persepsi akan masa depan, yang didapat melalui cara ekstrasensori. Prekognisi dapat pula terjadi secara spontan dalam suatu vision, tergambar dalam pikiran, halusinasi auditori, siluet atau bayangan dalam pikiran, dan perasaan “tahu”. Pengetahuan umum dalam masyarakat menganggap bahwa kemampuan seperti itu (ESP) hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki bakat istimewa. Namun, psikologi transpersonal menjelaskan bahwa setiap manusia dapat mengalami fenomena spiritual; secara potensial ESP ada pada setiap manusia, hanya saja dengan tingkat sensitifitas yang berbeda-beda (Radin, 2000). Tidak banyak orang yang tahu bahwa prekognisi yang didapat kebanyakan mengenai musibah, kecelakaan, dan hal-hal buruk, sesuatu yang menyeramkan dan menakutkan. Radin (2000) mengungkapkan bahwa banyak orang memberikan respon secara tidak sadar terhadap sesuatu yang buruk bahkan sebelum hal itu terjadi. Terjadinya prekognisi ini juga terkadang disertai reaksi fisiologis dari yang ringan hingga ekstrem seperti pusing, mual, muntah, tubuh terasa sakit, pingsan, dan lain-lain. Dalam eksperimennya, Radin menemukan bahwa sebelum sesuatu yang buruk terjadi, seseorang akan mendapatkan suatu perasaan dimana tubuhnya memberikan respon terhadap emosi yang akan datang, walaupun pikiran sadar tidak selalu mendapat pesan itu. Pengalaman prekognisi akhirnya tidak jarang menjadi dilema bagi yang mengalaminya. Seorang individu, misalkan ia mendapat kabar buruk tentang seseorang, memberi tahu kabar yang ia dapatkan pada orang yang bersangkutan. Namun, ia justru diejek, dituduh penyebar teror, pembawa sial, dan sebagainya. Banyak yang memandang rendah dan mengucilkan individu yang suka mengatakan “hal yang tidak jelas” yang tidak diketahui darimana datangnya. Padahal mereka sendiri bingung terhadap kabar yang tanpa sengaja diketahuinya, pun mereka bingung apakah sebaiknya memberi tahu kabar tersebut atau tidak. Ada pula yang memilih untuk tidak memberitahukan prekognisinya. Namun, saat ternyata prekognisinya menjadi kenyataan, ia hanya dapat menangisi dirinya, menyesali dirinya mengapa tidak memberitahukan prekognisinya, menyesali dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa, dan menutup diri. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi penerimaan diri individu, bagaimana individu memandang dirinya dan menyikapi kondisi tersebut. Menurut Anderson (dalam Hurlock, 1974), penerimaan diri ini sangat berpengaruh terhadap bagaimana seseorang menjalani hidup. Seseorang yang mampu menerima dirinya secara jujur, baik di dalam (hati, pikiran, perasaan) maupun di luar (perilaku, penampilan), tidak takut memandang dirinya secara jujur karena ia tidak bisa lari dari diri sendiri, walau apapun yang ia lakukan. Menurut Hurlock (1974), penerimaan diri adalah suatu tingkat kemampuan dan keinginan individu untuk hidup dengan segala karakteristik dirinya. Wagner (2004) berpendapat jika prekognisi yang didapat merupakan hal yang penting, hal tersebut harus diberitahukan kepada yang bersangkutan. Hal ini akan menghilangkan keraguan pada diri dan meningkatkan keyakinan pada diri dan kemampuan sendiri karena hal tersebut menandakan bahwa individu menerima keadaan dirinya. Mendatu (2007) lebih lanjut menerangkan bahwa banyak orang khawatir fenomena ESP betul-betul nyata ada. Mereka takut mengetahui fakta bahwa hal itu ada di sekelilingnya. Oleh karena itu, mereka menolak untuk percaya. Ketakutan akan kebenaran adanya fenomena psi, mungkin disebabkan beberapa alasan, seperti misalnya fenomena psi terkait dengan kekuatan jahat, magis atau sihir jahat. Bagi orang yang mengalami psi, mereka cenderung tidak membicarakan pengalamannya dengan orang lain dengan alasan bahwa mereka merasa pengalaman itu bersifat sangat personal, intim, dan tidak ingin mereka bagi; bahwa mereka tidak mempunyai kata-kata yang memadai untuk menceritakannya; atau mereka ketakutan jika orang lain akan melecehkan pengalaman itu atau menganggap mereka tidak waras atau sejenisnya. Tart (1984) mengatakan bahwa tidak menerima dan menghadapi ketakutan akan psi, bagi individu yang mengalami psi, akan menciptakan motivasi tak sadar bagi munculnya perilaku yang menghambat baik dalam aspek perkembangan maupun psikopatologis. Gambaran di atas membuat peneliti tertarik untuk melihat bagaimana individu yang mengalami prekognisi mampu melakukan penerimaan diri meskipun tekanan yang dihadapi cukup besar, serta bagaimana kondisi penerimaan dirinya terlebih dengan keadaan dimana prekognisi masih dianggap tabu sehingga dokumentasi mengenai prekognisi yang terjadi sangat jarang sehingga individu kehilangan kesempatan untuk menghayati prekognisinya. Peneliti akan mencari tahu apakah prekognisi dapat mempengaruhi gambaran penerimaan diri individu. B. PERTANYAAN PENELITIAN Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini: 1. Bagaimana gambaran penghayatan prekognisi yang dialami individu? 2. Bagaimana penerimaan diri individu dan mengapa penerimaan dirinya demikian? 3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri individu? C. TUJUAN PENELITIAN Sesuai dengan masalah tersebut di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui gambaran penghayatan prekognisi yang dialami individu, mengetahui bagaimana penerimaan diri individu dan mengapa penerimaan dirinya demikian, serta untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri individu. D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis Merupakan sumbangan bagi pengembangan psikologi transpersonal di Indonesia, dimana saat ini masih sedikit penelitian mengenai fenomena spiritual dan berguna bagi penelitian mengenai area kognisi maupun sisi psikologis dari fenomena spiritual; untuk mengingatkan bahwa sisi psikologis dan nilai kemanusiaan tetap harus dipertimbangkan pada penelitian selanjutnya dalam area transpersonal, dalam area kajian yang sama (kognitif) maupun yang lainnya. 2. Manfaat Praktis Untuk memahami dimensi penerimaan diri individu. Penelitian ini diharapkan dapat membantu individu yang mengalami prekognisi untuk mencapai peneriman diri. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi orang-orang di sekitar individu mengenai gambaran penerimaan dirinya sehingga mereka dapat mengetahui bagaimana cara yang tepat untuk bersikap terhadapnya. Dengan mendapatkan sikap yang tepat dari orang-orang sekitar, diharapkan mampu membantu individu dalam mencapai penerimaan dirinya. E. LANDASAN TEORI Menurut Ryff (1996), penerimaan diri adalah keadaan dimana seorang individu memiliki penilaian positif terhadap dirinya, menerima serta mengakui segala kelebihan maupun segala keterbatasan yang ada dalam dirinya tanpa merasa malu atau merasa bersalah terhadap kodrat dirinya. Jersild (dalam Hurlock, 1974) mengemukakan beberapa ciri penerimaan diri untuk dapat membedakan antara orang yang menerima keadaan dirinya atau yang telah mengembangkan sikap penerimaan terhadap dirinya dengan orang yang menolak keadaan dirinya (denial), antara lain: 1. Memiliki harapan yang realistis terhadap keadaannya dan menghargai dirinya sendiri; 2. Yakin akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain; 3. Memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya dan tidak melihat dirinya secara irasional; 4. Menyadari aset diri yang dimiliki dan merasa bebas untuk melakukan keinginannya; Menyadari kekurangan tanpa menyalahkan diri sendiri. Hurlock (1974) mengemukakan sepuluh faktor yang mempengaruhi penerimaan diri individu, yaitu: 1. Pemahaman tentang Diri Sendiri Timbul dari kesempatan seseorang untuk mengenali kemampuan dan ketidakmampuannya serta mencoba menunjukan kemampuannya. Semakin individu memahami dirinya, maka semakin besar penerimaan individu terhadap dirinya. 2. Harapan Realistik Timbul jika individu menentukan sendiri harapannya dengan disesuaikan dengan pemahaman kemampuannya, dan bukan diarahkan oleh orang lain. Dengan harapan realistik, akan semakin besar kesempatan tercapainya harapan tersebut sehingga menimbulkan kepuasan diri. 3. Tidak Adanya Hambatan di Lingkungan Harapan individu akan sulit tercapai bila lingkungan di sekitarnya tidak memberikan kesempatan atau bahkan menghalangi (walaupun harapan individu sudah realistik). 4. Sikap-sikap Anggota Masyarakat yang Menyenangkan Tidak adanya prasangka, adanya penghargaan terhadap kemampuan sosial orang lain dan kesediaan individu mengikuti kebiasaan lingkungan. 5. Tidak Adanya Gangguan Emosional yang Berat Tidak adanya gangguan emosional yang berat akan membuat individu dapat bekerja sebaik mungkin dan merasa bahagia. 6. Pengaruh Keberhasilan yang Dialami Keberhasilan yang dialami dapat menimbulkan penerimaan diri (yang positif). Sebaliknya, kegagalan yang dialami mengakibatkan adanya penolakan diri. 7. Identifikasi dengan Orang yang Memiliki Penyesuaian Diri yang Baik Individu yang mengidentifikasi diri dengan orang yang well adjusted, dapat membangun sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri dan bertingkah laku dengan baik, yang dapat menimbulkan penerimaan diri dan penilaian diri yang baik. 8. Adanya Perspektif Diri yang Luas Yakni memperhatikan pandangan orang lain tentang diri. Perspektif diri yang luas ini diperoleh melalui pengalaman dan belajar. 9. Pola Asuh di Masa Kecil yang Baik Anak yang diasuh secara demokratis akan cenderung berkembang sebagai orang yang dapat menghargai dirinya sendiri. 10. Konsep Diri yang Stabil Individu yang tidak memiliki konsep diri yang stabil (misalnya, kadang menyukai diri dan kadang tidak menyukai diri), akan sulit menunjukan pada orang lain siapa ia sebenarnya, sebab ia sendiri ambivalen terhadap dirinya. Hurlock (1974), memberikan pandangan bahwa semakin baik seorang individu dapat menerima dirinya, semakin baik penyesuaian diri dan penyesuaian sosialnya. Penyesuaian diri yang positif adalah adanya keyakinan pada diri dan adanya harga diri sehingga timbul kemampuan menerima dan membangun kritik demi perkembangan dirinya. Penerimaan diri yang disertai dengan rasa aman untuk mengembangkan diri ini memungkinkan seseorang untuk menilai dirinya secara lebih realistis sehingga dapat menggunakan potensinya secara efektif. Selain itu ia juga merasa puas dengan menjadi dirinya sendiri tanpa adanya keinginan untuk menjadi orang lain. Penyesuaian sosial yang positif bermakna timbulnya sikap menerima terhadap orang lain, menaruh minat terhadap orang lain, dapat memberikan simpati dan toleran, dapat mengatasi keadaan emosionalnya tanpa mengganggu orang lain, dan memiliki dorongan untuk membantu orang lain. Hurlock (1974) membagi dampak penerimaan diri menjadi dua kategori: 1. Dalam penyesuaian diri Orang yang memiliki penerimaan diri, mampu mengenali kelebihan dan kekurangannya. Ia biasanya memiliki keyakinan diri (self confidence) dan harga diri (self esteem). Selain itu mereka juga lebih dapat menerima kritik demi perkembangan dirinya. Penerimaan diri yang disertai dengan adanya rasa aman untuk mengembangkan diri ini memungkinkan seseorang untuk menilai dirinya secara lebih realistis sehingga dapat menggunakan potensinya secara efektif. Dengan penilaian yang realistis terhadap diri, seseorang akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura. Selain itu ia juga merasa puas dengan menjadi dirinya sendiri tanpa ada keinginan untuk menjadi orang lain. 2. Dalam penyesuaian sosial Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan pada orang lain. Orang yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk menerima orang lain, memberikan perhatiannya pada orang lain, serta menaruh minat terhadap orang lain, seperti menunjukan rasa empati dan simpati. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat melakukan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri sehingga mereka cenderung berorientasi pada dirinya sendiri (self oriented). Ia dapat mengatasi keadaan emosionalnya tanpa mengganggu orang lain, serta toleran dan memiliki dorongan untuk membantu orang lain. Dietz (dalam Kartoatmodjo, 1995) menyebutkan bahwa ESP adalah pengamatan di luar panca indera. Dikatakan pula sebagai gejala-gejala yang subjektif, mental atau intelektual. Secara garis besar Kartoatmodjo (1995) membagi ESP atas: 1. Telepati Telepati adalah suatu hubungan antara kesadaran dua orang atau lebih tanpa adanya bantuan indera penglihatan. 2. Daya terawang jauh (clairvoyance) Daya terawang jauh adalah kemampuan mengetahui atau melihat peristiwa atau objek yang sedang terjadi di tempat lain. 3. Prekognisi Prekognisi adalah pengetahuan dan pengamatan (pengalaman) secara langsung tanpa bantuan indera yang biasa tentang suatu peristiwa yang akan terjadi atau tentang orang atau tentang benda yang waktu dan tempat kejadiannya berjauhan. Radin (2000) mengemukakan beberapa penjelasan terjadinya firasat (prekognisi) atau prasangka intuitif. 1. Di level bawah sadar (subconscious), individu selalu berpikir dan menyimpulkan sesuatu, tapi hal ini hanya sebagai prasangka bagi pikiran sadarnya 2. Individu menangkap sinyal / isyarat dari bahasa tubuh dan suara subliminal atau gambaran peripheral tanpa sadar bahwa ia sedang melakukannya 3. Pada setiap peristiwa kebetulan yang diingat, individu melupakan setiap kali mendapat firasat 4. Individu memodifikasi ingatan untuk kenyamanannya, menciptakan suatu hubungan dimana hal itu tidak nyata ada 5. Murni karena adanya indera ke-enam Wagner (2004) mengemukakan langkah-langkah yang perlu diambil jika mengalami prekognisi, yaitu: 1. Menyiapkan buku harian. Menulis segala prekognisi yang pernah dialami beserta waktu dan tanggal ketika mengalaminya. 2. Mengatakan pada orang lain. Ketika seseorang merasa akan mengganggu orang lain bila menceritakan pengalaman prekognisinya, hal tersebut justru akan menghilangkan bukti penting yang orang lain harus ketahui untuk dapat mempercayai pengalaman prekognisi tersebut. Apabila prekognisi yang dialami merupakan sesuatu yang penting, maka menceritakan hal tersebut pada seseorang yang dapat dipercaya merupakan cara yang dapat ditempuh. 3. Menandai tanggal ketika prekognisi terjadi. 4. Jujur jika prekognisi yang dialami terjadi, walau tidak 100% akurat. F. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini akan digunakan pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial, bukan mendeskripsikan bagian permukaan dari suatu realitas sebagaimana dilakukan penelitian kualitatif dengan konstruktivismenya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode wawancara dengan pedoman wawancara, menggunakan observasi catatan lapangan, dan metode unobstrusive berupa data tertulis subjek mengenai prekognisi yang dialaminya. G. SUBJEK PENELITIAN Peneliti menggunakan satu orang subjek yang telah memenuhi kriteria: pernah mengalami prekognisi dan masih mengalaminya hingga kini, serta prekognisinya telah terbukti atau menjadi kenyataan setidaknya tiga kali dan dibenarkan melalui catatan atau diketahui oleh orang-orang tertentu (yang sejak awal diberitahu subjek mengenai prekognisinya). Peneliti tidak menentukan jenis kelamin dan usia subjek karena menganggap prekognisi dapat dialami oleh siapapun di segala usia dan semua jenis kelamin. Peneliti juga menggunakan satu orang significant other yang merupakan sahabat yang sering diceritakan pengalaman prekognisi subjek. H. HASIL PENELITIAN Dari hasil penelitian penerimaan diri pada individu yang mengalami prekognisi ditemukan: 1. Gambaran penghayatan prekognisi yang dialami individu Subjek dalam penelitian ini mengalami Prekognisi berupa auditori (bisikan), perasaan tahu, dan mimpi. Subjek menganggap semua orang bisa mengalami prekognisi hanya sensitivitasnya berbeda. Prekognisi yang dialami subjek bersifat spontan, tidak tentu kapan datangnya. Subjek mengalami perubahan mood jika mendapatkan prekognisi dan seringkali ada perasaan yang menekan jika dihiraukan, bahkan bisikannya bertambah kencang. 2. Bagaimana penerimaan diri individu dan mengapa penerimaan dirinya demikian Subjek penelitian memiliki penerimaan diri yang positif. Subjek dapat menerima kondisinya yang mengalami prekognisi bahkan merasa senang dan terbantu karena merasa segala tindakannya seperti diarahkan. Subjek tidak menutup diri, justru subjek menceritakan prekognisinya kepada orang lain karena dengan itu pula subjek merasa tenang dan hilang kegelisahannya. Walau kebanyakan prekognisinya tentang hal buruk, subjek mengaku tidak takut dan bisa tetap menentukan tindakan (yang sesuai dengan prekognisinya) karena seringkali prekognisi subjek mengarahkan tindakannya. Subjek termasuk suka menceritakan prekognisinya, tapi tidak kepada orang yang bersangkutan karena subjek tidak ingin mendahului Tuhan. Ibu memegang peran dominan dalam mengajarkan nilai-nilai dan menyikapi prekognisi subjek, seperti prekognisi itu bisa dialami semua orang dan bisa saja salah, karena datangnya dari Tuhan maka harus tetap disyukuri dengan berdoa dan tanpa memaksakan orang lain untuk percaya. Ibu merupakan satu-satunya anggota keluarga yang mengalami prekognisi sehingga subjek suka bercerita dengan Ibunya. Peneliti melihat ada pengaruh antara orang tua subjek yang sudah Haji dengan pemahaman subjek tentang prekognisi yang dikaitkan dengan Ke-Tuhanan. Ibu merupakan figur yang sangat berpengaruh bagi kehidupan dan pengembangan nilai-nilai subjek dimana subjek mengidentifikasi Ibunya yang memiliki penyesuaian diri baik. Penerimaan diri subjek yang baik juga dipengaruhi oleh lingkungan, orang-orang yang menerima diri subjek tanpa melecehkan, menghina, ataupun memandang negatif. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri Individu Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri subjek penelitian adalah pemahaman yang baik tentang diri sendiri, sikap anggota masyarakat yang menyenangkan, tidak adanya gangguan emosional yang berat, prekognisi subjek sering terjadi, subjek mengidentifikasi diri dengan Ibunya yang juga mengalami prekognisi dimana subjek banyak belajar cara-cara menyikapi prekognisi, perspektif diri yang luas, pola asuh di masa kecil yang baik, konsep diri yang stabil, dan penyesuaian diri dan penyesuaian sosial yang positif. Harapan yang realistis tidak peneliti anggap sebagai faktor yang mempengaruhi karena, harapan subjek bukan hal yang rasional. Tidak adanya hambatan dalam lingkungan juga tidak termasuk ke dalam faktor yang mempengaruhi karena memang tidak ada yang mendorong subjek mengembangkan bakatnya, di samping subjek memang tidak ingin mengembangkan prekognisinya. I. KESIMPULAN Dari hasil penelitian penerimaan diri pada individu yang mengalami prekognisi dapat disimpulkan bahwa: 1. Gambaran penghayatan prekognisi yang dialami individu Subjek dalam penelitian ini mengalami Prekognisi berupa auditori (bisikan), perasaan tahu, dan mimpi. Subjek menganggap semua orang bisa mengalami prekognisi hanya sensitivitasnya berbeda. Prekognisi yang dialami subjek bersifat spontan, tidak tentu kapan datangnya. Subjek mengalami perubahan mood jika mendapatkan prekognisi dan seringkali ada perasaan yang menekan jika dihiraukan, bahkan bisikannya bertambah kencang. 2. Bagaimana penerimaan diri individu dan mengapa penerimaan dirinya demikian Subjek penelitian memiliki penerimaan diri yang positif. Subjek dapat menerima kondisinya yang mengalami prekognisi bahkan merasa senang dan terbantu karena merasa segala tindakannya seperti diarahkan. Subjek tidak menutup diri, justru subjek menceritakan prekognisinya kepada orang lain karena dengan itu pula subjek merasa tenang dan hilang kegelisahannya. Walau kebanyakan prekognisinya tentang hal buruk, subjek mengaku tidak takut dan bisa tetap menentukan tindakan (yang sesuai dengan prekognisinya) karena seringkali prekognisi subjek mengarahkan tindakannya. Subjek termasuk suka menceritakan prekognisinya, tapi tidak kepada orang yang bersangkutan karena subjek tidak ingin mendahului Tuhan. Ibu memegang peran dominan dalam mengajarkan nilai-nilai dan menyikapi prekognisi subjek, seperti prekognisi itu bisa dialami semua orang dan bisa saja salah, karena datangnya dari Tuhan maka harus tetap disyukuri dengan berdoa dan tanpa memaksakan orang lain untuk percaya. Ibu merupakan satu-satunya anggota keluarga yang mengalami prekognisi sehingga subjek suka bercerita dengan Ibunya. Peneliti melihat ada pengaruh antara orang tua subjek yang sudah Haji dengan pemahaman subjek tentang prekognisi yang dikaitkan dengan Ke-Tuhanan. Ibu merupakan figur yang sangat berpengaruh bagi kehidupan dan pengembangan nilai-nilai subjek dimana subjek mengidentifikasi Ibunya yang memiliki penyesuaian diri baik. Penerimaan diri subjek yang baik juga dipengaruhi oleh lingkungan, orang-orang yang menerima diri subjek tanpa melecehkan, menghina, ataupun memandang negatif. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri Individu Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri subjek penelitian adalah pemahaman yang baik tentang diri sendiri, sikap anggota masyarakat yang menyenangkan, tidak adanya gangguan emosional yang berat, prekognisi subjek sering terjadi, subjek mengidentifikasi diri dengan Ibunya yang juga mengalami prekognisi dimana subjek banyak belajar cara-cara menyikapi prekognisi, perspektif diri yang luas, pola asuh di masa kecil yang baik, konsep diri yang stabil, dan penyesuaian diri dan penyesuaian sosial yang positif. Harapan yang realistis tidak peneliti anggap sebagai faktor yang mempengaruhi karena, harapan subjek bukan hal yang rasional dan empiris. Tidak adanya hambatan dalam lingkungan juga tidak termasuk ke dalam faktor yang mempengaruhi karena memang tidak ada yang mendorong subjek mengembangkan bakatnya, di samping subjek memang tidak ingin mengembangkan prekognisinya. J. Saran 1. Untuk Subjek Penelitian Meningkatkan penerimaan pada kondisi diri bisa dilakukan dengan menyadari hingga membuat catatan tentang prekognisi yang dialami. Menyadari saat prekognisi datang, sangat penting bagi subjek untuk mengantisipasi perubahan mood-nya yang mendadak. 2. Untuk Individu yang Mengalami Prekognisi Tetap menceritakan prekognisi yang dialami kepada orang terdekat untuk mengurangi kegelisahan, kebimbangan, dan rasa menekan dengan tidak memaksakan orang untuk mempercayainya; kemudian mencoba menyadari ketika mengalami prekognisi, membuat catatan akan banyak membantu meningkatkan penerimaan dan kepercayaan pada diri sendiri. 3. Untuk Masyarakat yang Mengenal Orang yang Mengalami Prekognisi Peneliti berharap kepada masyarakat yang membaca karya ilmiah ini untuk memahami kondisi orang yang mengalami prekognisi. Terjadinya suatu kejadian buruk bukan karena seseorang mendapat pertanda tertentu. Hendaknya masyarakat yang mengenal orang yang mengalami prekognisi dapat memberikan support dan mentolerir perubahan seketika yang dapat terjadi seperti perubahan mood. Masyarakat jangan pula mempercayai penuh prekognisi yang dialami seseorang (jika belum terjadi). 4. Untuk Peneliti Selanjutnya Untuk peneliti yang akan mengadakan penelitian dengan topik yang sama, hendaknya menggunakan lebih dari dua subjek dengan latar yang berbeda seperti gender, agama, dan rentang usia yang signifikan (usia remaja hingga dewasa akhir). Kemudian menggunakan metode analisis antar kasus untuk membandingkan subjek dengan latar yang berbeda-beda. Proses ilmiah dan keakuratan data juga merupakan hal yang penting terutama menyangkut pembuktian kemampuan (ESP, prekognisi) yang dimiliki subjek. Selain bukti data anekdot, jika sumber daya yang ada memungkinkan, baik sekali jika ada pengujian empiris di lab, dimana peneliti menggunakan alat-alat tertentu yang dapat menunjukan reaksi fisiologis subjek (aliran darah, denyut jantung, aktivitas otak, dll.).