PEMBEBASAN BERSYARAT DI LEMBAGA PERMASYARAKATAN KLAS II A BOJONEGORO Andriyanto Prabowo Fakultas Hukum Universitas Bojonegoro Jl. Lettu Suyitno No.2, Bojonegoro, 62119 Abstrak . Pembebasan Bersyarat yang merupakan pembinaan tahap akhir dalam proses pembinaan Narapidana, dimana dalam pelaksanaannya membutuhkan keterlibatan masyarakat. Akan tetapi masyarakat luas masih sedikit sekali yang mengerti dan memahami tentang masalah Pembebasan Bersyarat. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran tentang pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro, mengetahui proses pengusulan Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro, dan memberikan gambaran tentang Narapidana yang dibebaskan dengan Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro serta bagaimana pengaruhnya terhadap masyarakat, khususnya masyarakat disekitar tempat tinggal Narapidana tersebut. Penelitian ini dalam mengumpulkan data menggunakan metode partisipatoris observasi. Hasil penelitian menunjukkan Masalah pembebasan bersyarat diatur di dalam pasal 15 sampai dengan 17 KUHP. Agar seorang Narapidana dapat diusulkan Pembebasan Bersyarat maka harus memenuhi beberapa persyaratan. Diantaranya seperti yang tercantum didalam pasal 15 ayat 1 KUHP. Katakunci – pajak, tindak pidana, wajib pajak PENDAHULUAN Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Narapidana berdasarkan sistem kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Namun dalam konperensi di lembaga prasaran yang diajukan oleh Bahrudin Soeijobroto tentang pelaksanaan teknis Pemasyarakatan “Pemasyarakatan” bukan hanya sekedar tujuan dan pidana penjara, melainkan sebagai proses yang bertujuan pemulihan kembali satu kesatuan hubungan (integritas) hidup dan penghidupan yang terjalin antara individu Narapidana dan masyarakat, menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Berdasarkan pendapat di atas Sistem Pemasyarakatan yang merupakan sistem pembinaan Narapidana mempunyai tujuan agar Narapidana menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna, warga yang baik berarti tidak melanggar hukum lagi sedangkan berguna artinya dapat ikut secara aktif dan produktif dalam menuju tercapainya pembangunan. Untuk mencapai tujuan tersebut usaha pembinaan Narapidana antara lain adalah Pembebasan Bersyarat yang merupakan pembinaan tahap akhir dalam proses pembinaan dengan menggunakan sistem Pemasyarakatan, dimana Narapidana diberikan kesempatan untuk tinggal di tengah-tengah masyarakat bebas sebelum habis menjalankan masa pidananya, seperti yang tercantum dalam pasal 15 ayat I KUHP 1 (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) hal ini dilaksanakan sebagai suatu tahap yang bertujuan mengintegrasikan Narapidana di masyarakat dalam rangka pemulihan persatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan. Dengan demikian bila berbicara masalah Pembebasan Bersyarat maka tidak dapat dilepaskan / dipisahkan dengan sistem Pemasyarakatan karena Pembebasan Bersyarat merupakan salah satu tahap pembinaan di dalam Sistem Pemasyarakatan tersebut. Unit Pelaksana Teknis dan pembinaan luar Lembaga Pemasyarakatan adalah Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yaitu unit yang melaksanakan teknis operasional pembinaan yang didasarkan pada surat Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02-PR.07.83 tahun 1987. Sedangkan pembinaan terhadap Narapidana Pembebasan Bersyarat didasarkan pada peraturan pelaksanaan usaha Balai Pemasyarakatan (Bapas), yaitu ordonasi tanggal 27 Desember 1917 Stbl. 1917 Nomor 749 Jo Stbl. 1926 Nomor 488 tanggal 6 November 1926 serta Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : M.01.PK.04.10 Tahun 2007 yang di perbarui dengan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : 21 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat. Para pelanggar hukum yang dikenakan pidana hilang kemerdekaan bergerak ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan untuk mendapatkan pembinaan. Menurut tentang pelaksanaan teknis Pemasyarakatan, “Pemasyarakatan” bukan hanya sekedar konsepsi Pemasyarakatan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Narapidana juga harus dipandang sebagai anggota tetap masyarakat dan tidak boleh diasingkan masyarakat. Dengan demikian Narapidana tersebut tidak kehilangan semua haknya, hanya yang berhubungan dengan kebebasan bergerak yang boleh dikurangi untuk sementara waktu, yakni selama mereka menjalani masa pidananya. Dalam melaksanakan pembinaan Narapidana dipandang sebagai umat Tuhan yang menurut Bahrudin Soejobroto adalah: Pemasyarakatan sebagai Treatmen Sistem di Indonesia menganggap manusia sekalipun status terpidana tetap sebagai makhluk Tuhan, dan approach yang dipakai dalam treatment techniquenya ialah antara manusia dengan manusia. 1 Selanjutnya Bahrudin Soerjobroto mengemukakan bahwa Pemasyarakatan dalam melaksanakan pembinaan terhadap Narapidana mementingkan prosesnya, demi kelancaran proses tersebut dibantu program. Proses merupakan interaktif dimana masyarakat, petugas Pemasyarakatan dan Nrapidana merupakan elemen-elemennya lebih lanjut dikatakan : Pemasyarakatan itu sendiri harus diartikan sebagai suatu proses dimana elemen-elemen dalam integritas hidup, kehidupan dan penghidupan itu semua harus aktif dan positif bekerja sama timbal balik alias gotong royong demi perkembangan integritas itu kearah yang sempurna, yakni dengan lain perkataan menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasaran pancasila. 2 Menurut sistem Pemasyarakatan pembinaan terhadap Narapidana dilakukan dengan berbagai tahapan, yakni sejak masuk di dalam Lembaga Pemasyarakatan sampai tahap akhir / Integrasi yang dilaksanakan di luar Lembaga Pemasyarakatan. Mengingat hal tersebut di atas penulis tertarik mengemukakan dan menuangkan dalam penulisan penelitian ini, karena menurut penulis masyarakat luas masih 1 Bahrudin Soerjobroto, Fungsi pemasyarakatan Dalam Negara Pancasila, Bandung Percetakan Lembaga Pemasyarakatan Khusus Dewasa Muda Suka Miskin, 1967, hal.10. 2 Bahrudin Soerjobroto, Pemasyarakatan Dalam Nation Building dan Character Building, (Lembaga Khusus Muda Suka Miskin, 1967) hal.37. 2 sedikit sekali yang mengerti dan memahami tentang masalah Pembebasan Bersyarat. Sedangkan bila kita kembali kepada teori pembinaan Narapidana yang dipakai saat ini peranan masyarakat mempunyai andil yang sangat besar untuk turut membina, mengawasi dan bahkan kalau dapat mempertahankan agar sedapat mungkin Narapidana yang mendapat Pembebasan Bersyarat belum mengerti memahami arti dan pelaksanaan Pembebasan Bersyarat itu sendiri apakah mungkin sistem pembinaan yang dilaksanakan itu akan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Berdasarkan dan alasan tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah 1) memberikan gambaran atau pandangan secara umum tentang pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro; 2) mengetahui bagaimana proses atau tatacara syarat-syarat pengusulan Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro; 3) memberikan gambaran tentang Narapidana yang dibebaskan dengan Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro serta bagaimana pengaruhnya terhadap masyarakat, khususnya masyarakat disekitar tempat tinggal Narapidana tersebut. METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah partisipatoris observasi yaitu berdasarkan pengamatan langsung sebagai partisipasi di dalam tugas sebagai petugas Pemasyarakatan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro. Selain itu, penelitian ini juga didukung dengan Studi Kepustakaan yang berasal dari literature-literature, Undang-Undang, dan ketentuan-ketentuan Iainnya yang berkaitan dengan masalah ini Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara terhadap pihak terkait selain itu dilakukan juga observasi terhadap pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro. Analisa data dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu ditujukan terhadap data-data yang sifatnya berdasarkan kualitas, mutu dan sifat yang nyata berlaku dalam masyarakat. Keseluruhan data yang diperoleh di olah dan disajikan dalam bentuk uraian naratif bukan dalam bentuk statistik, sehingga akan dapat menjawab permasalahan yang diteliti secara sistematis dan logis. Analisa terhadap topik penelitian ini dilakukan dengan berpedoman pada peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 2007 yang di perbarui dengan Peraturan Menteri Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat dan UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan maupun peraturan perundang-undangan lainnya, serta pendapat-pendapat dari pakar yang berkaitan dengan Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro dan pengaruh terhadap masyarakat. Analisis kualitatif tidak mendasarkan pada pengumpulan data dan lokasi yang luas dengan responden yang banyak, tetapi ukurannya berdasarkan kenyataan yang bersifat umum, jadi walaupun terbatas respondennya sedikit, jika data-data yang didapat itu merupakan kenyataan yang berlaku, maka data tersebut cukup membuktikan kebenaran. Data yang telah diperoleh dan hasil penelitian disusun secara sistematis, logis dan yuridis, sehingga diperoleh suatu gambaran mengenai Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro dan Pengaruh Terhadap Masyarakat. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Proses Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro 3 Pemasyarakatan adalah merupakan suatu perwujudan dari pelembagaan reaksi formal masyarakat terhadap pelanggaran hukum atau kejahatan. Reaksi masyarakat yang terlembaga ini pertama-tama mengandung unsur derita semata. Kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat dan sejalan pula dengan perkembangan falsafah. Peno-correctional, maka unsur pemberian derita itu harus disertai dengan unsur kasih sayang yang manusiawi, yaitu dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia guna kelangsungan eksistensinya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Perilaku yang demikian tercantum di dalam 10 prinsip Pemasyarakatan, antara lain terdapat pada butir 1,2 dan 3, yaitu : 1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranan sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna. 2. Penjatuhan hukuman bukan tindakan balas dendam oleh Negara. 3. Berikan bimbingan bukan dengan penyiksaan, supaya mereka bertobat.3 Prinsip kasih sayang ini juga terlihat dalam usaha-usaha pembinaan terhadap anggota masyarakat yang melanggar hukum, terutama dalam rangka memulihkan kedudukannya sebagai anggota masyarakat yang berfungsi penuh dan menghormati nilai-nilai dan norma-norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Kemudian tujuan dari pembinaan itu sendiri bila dilihat secara umum adalah agar mereka (para narapidana) dapat menjadi manusia seutuhnya sebagaimana yang telah menjadi arah pembangunan nasional. Sedangkan tujuan pembinaan secara khusus ditujukan agar selama menjalani masa pidananya Narapidana tersebut dapat: 3 Sarasehan dan Pertemuan Nasional Kedua IKA-APKIP dengan Tema : Peningkatan Sistem Pemasyarakatan Pada Pelita VI. Akademi Ilmu Kemasyaraktan, Bandung 1994 1. Berhasil memantapkan harga diri dan kepercayaan dirinya serta bersikap optimis akan masa depannya. 2. Berhasil memperoleh pengetahuan minimal keterampilan untuk bekal guna hidup mandiri. 3. Berhasil menjadi manusia yang patuh (taat) hukum yang tercermin pada sikap dan perilakunya yang tertib, disiplin serta mampu menggalang rasa kesetiakawanan sosial. 4. Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengabdian terhadap bangsa dan Negara. Pembinaan terhadap Narapidana disesuaikan dengan azas-azas yang terkandung dalam Pancasila, UndangUndang Dasar 1945 dan Standart Minimum Rules (SMR) yang tercermin dalam 10 Prinsip Pemasyarakatan yang bunyinya sebagai berikut : 1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan perananya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna. 2. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan. 3. Berikan bimbingan (bukan penyiksaan) supaya mereka bertobat. 4. Negara tidak berhak membuat mereka lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelum dijatuhi pidana. 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak para Narapidana dan Anak Didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat. 6. Pekerjaan yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Didik tidak boleh bersifat sekedar mengisi waktu. 7. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Didik adalah berdasarkan Pancasila. 8. Narapidana dan Anak Didik sebagai orang yang tersesat adalah manusia dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia. 9. Narapidana dan Anak Didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dialaminya. 4 10. Sarana yang mendukung fungsi rehabilitasi, koreksi, dan edukatif disediakan untuk itu. 4 Demikian pula pembinaan Narapidana yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro mengacu hal-hal tersebut diatas, proses pembinaannya meliputi : 1. Admisi Orientasi Masa admisi orientasi atau di sebut juga dengan masa pengenalan lingkungan ini terhitung sejak masuk di Lembaga Pemasyarakatan selama satu minggu, adalah kegiatan sebelum Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam rangka merumuskan rencana dan program pelaksanaan pembinaan terhadap seorang pelanggar hukum / Narapidana sebagai titik awal dari proses pembinaan Narapidana. Kegiatan antara lain berupa pengecekan berkas–berkas putusan pengadilan, penandatanganan Berita Acara Putusan Pengadilan, pengambilan sidik jari, diadakan penelitian secara menyeluruh tentang keadaan Narapidana baru tersebut, termasuk didalamnya pemeriksaan kesehatan dan penempatan Narapidana. Setelah pemeriksaan tersebut diatas dianggap cukup artinya telah memenuhi persyaratan, kemudian terhadap Narapidana itu diberikan penjelasan-penjelasan tentang tata tertib dan peraturan-peraturan lainnya di dalam Lembaga Pemasyarakatan serta diberikan pengarahan mengenai hak-haknya sebagai Narapidana dan apa tugas / kewajibannya di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Semua data-data tersebut dalam sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) diolah untuk menentukan bentuk pembinaan selanjutnya yang akan diberikan kepada Narapidana yang bersangkutan. Bentuk pembinaan tersebut disebut promotional treatment dan social treatment. Bentuk pembinaan promotional treatment bertujuan 4 Keputusan Menteri Kehakiman RI. No. M.02-PK.04.10 tahun 1990. Tentang Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan, hal.14 memberikan bekal-bekal keahlian kepada Narapidana, bila kelak ia bebas dapat mempergunakan keahliannya itu untuk hidup mandiri. Sedangkan sosial treatment bertujuan untuk memulihkan hubungan yang rusak dengan masyarakat yang disebabkan oleh perbuatan Narapidana tersebut telah melanggar norma-norma / nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat dan kepadanya diberikan bimbingan dan pendidikan tentang bagaimana seharusnya hidup bermasyarakat. 2. Tahap Pembinaan Lanjutan (Asimilasi Terbatas) Setelah mulai memasuki tahap kedua ini Narapidana melakukan berbagai kegiatan pembinaan yang sesuai dengan keadaan, minat dan bakatnya. Namun jenis dari pada pembinaan yang diberikan kepada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro terbatas sebab mengingat anggaran yang ada untuk pembinaan juga terbatas. Dengan demikian pembinaan yang diberikan tidak sepenuhnya didasarkan pada minat dan bakat tetapi berdasarkan juga dengan sarana yang ada. Pada tahap ini Narapidana juga sudah mulai dikenalkan dengan masyarakat walaupun dalam arti terbatas, misalnya diperkenalkan dengan kunjungan-kunjungan yang datang dari luar, contohnya dalam bentuk kunjungan sosial, dalam pertandingan olah raga, memperingati hari-hari besar agama dan lain sebagainya. Adapun pembinaan bagi Narapidana yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro dibagi dalam dua bidang, antara lain: a. Pembinaan Kepribadian meliputi : 1) Pembinaan Kesadaran Beragama Setiap hari senin sampai kamis pagi dilaksanakan kegiatan baca tulis Alqur’an, Petugas pengajar dari Departemen Agama Bojonegoro , sedangkan untuk hari selasa siang diadakan ceramah agama dari Departemen Agama Bojonegoro, termasuk sholat Dhuhur dan Sholat Jum’at berjama’ah. Bagi yang 5 beragama Nasrani kegiatan Kebaktian dilaksanakan pada setiap hari rabu. 2) Pembinaan Kemampuan intelektual (kecerdasan) dilaksanakan melalui kursus ukir kayu, meubelair, menjahit, membatik dan pelatihan montir yang bekerja sama dengan Dinas Tenaga Kerja. 3) Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat. Dilaksanakan dalam bentuk Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Cuti Bersyarat (CB). Untuk mendapatkan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas maupun Cuti Bersyarat, kegiatan sehari-hari Narapidana tersebut dipantau terus, terutama dalam hal kegiatan beribadah, agar mereka menjadi manusia yang beriman dan benar-benar bertaqwa kepada Sang Pencipta, sehingga setelah mereka kembali ditengah-tengah masyarakat mereka telah memiliki sifat-sifat positif dan dapat barpartisipasi dalam pembangunan masyarakat lingkungannya. b. Pembinaan Kemandirian Untuk pembinaan kemandirian, dengan terbatasnya sarana dan tenaga pembimbing yang ada, sehingga disalurkan melalui ketrampilan menjahit dan pertukangan kayu, namun demikian yang punya bakat tertentu dan ingin mengembangkan bakatnya dengan mempergunakan peralatan sendiri, dapat dilaksanakan dan Lembaga Pemasyarakatan menyediakan fasilitas tempatnya. Disamping itu agar Narapidana tidak merasa jenuh dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari, disediakan buku-buku bacaan yang sifatnya mendidik yang telah disediakan di perpustakaan dan juga dapat mengikuti siaran berita dan hiburan melalui media elektronika (TV). 3. Tahap Asimilasi (Asimilasi Dalam Arti Luas) Setelah pembinaan dalam tahap kedua telah selesai dan berjalan dengan baik, dimana Narapidana telah menunjukkan perbaikan, disiplin dan bertanggung jawab terhadap seluruh pembinaan yang diberikan kepadanya, maka dilakuan sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) kembali untuk menilai dan menyeleksi lagi Narapidana yang memungkinkan untuk mengikuti program asimilasi di luar tembok. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan selama dalam pelaksanaan program Asimilasi, misalnya melarikan diri, melakukan tindak pidana lagi atau apabila program tersebut dapat membahayakan Narapidana karena motif dendam dari pihak keluarga atau teman korban dari Narapidana dahulu maka walaupun telah memenuhi syarat-syarat lainnya tetapi membahayakan dirinya Narapidana tersebut tidak di ikutkan dalam program tersebut. Kegiatan yang dilaksanakan dalam tahap asimilasi berupa kerja membersihkan lingkungan yang dilaksanakan diluar tembok, melakukan kerja kebersihan disekitar Perumahan Komplek Lembaga Pemasyarakatan setiap hari. Dengan dilaksananya program-program pembinaan di luar lembaga (ditengah-tengah masyarakat) memberikan kesempatan bagi pelanggar hukum secara bertahap untuk menduduki kembali tempatnya ditengahtengah masyarakat sebagai anggota masyarakat yang berfungsi penuh melalui interaksi yang positif dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat. Sedangkan bagi Narapidana yang tidak terpilih untuk melakukan kegiatan di luar lembaga yang bisa disebut dengan Asimilasi diluar (yang ditentukan melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan), mereka tetap dibenarkan melalui kegiatan kerjanya di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Tahap Asimilasi ini diberikan terhadap Narapidana yang telah menjalani antara 1/2 (setengah) sampai 2/3 (dua pertiga) masa pidana. 4. Tahap Integarasi Tahap ini sebenarnya mirip dengan tahap Asimilasi hanya saja bedanya, pada tahap Asminilasi Narapidana itu dilatih 6 untuk menyesuaikan diri di dalam masyarakat dan sifatnya sementara, tempat mereka masih tetap didalam Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan tahap integrasi ini Narapidana dicoba untuk dilepaskan didalam masyarakat sampai hari bebasnya atau Narapidana tersebut sudah bertempat tinggal di luar Lembaga Pemasyarakatan. Teknis pengawasan selama Narapidana menjalani program integrasi di luar Lembaga Pemasyarakatan dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri dan Bapas setempat. Peraturan ini tercantum di dalam Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 2007 pasal 18 poin A, yaitu : Pasal 18 poin A : Pengawasan terhadap Narapidana tertentu yang memperoleh Pembebasan Bersyarat dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri dan Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Berbeda dengan sistem perlakuan yang berorientasi kepada doktrin pembalasan (retribusi) doktrin penjeraan (detemce) maupun berorientasi kepada doktrin rehabilitasi resosialisasi, yang kegiatanya sebagian besar dilakukan didalam bangunan tempat penampungan pelanggar hukum (Lembaga Pemasyarakatan) dengan pendekatan medical model atua the rapeutics model, maka sistem pemayarakatan dengan doktrin re-integrasi sosialnya lebih mengutamakan pembinaan yang berlangsung di luar bangunan (non-internasional) dan menitik beratkan usahanya kepada pemberian kesempatan bagi pelanggar hukum untuk menduduki kembali tempatnya ditengah-tengah masyarakat sebagai anggota masyarakat yang berfungsi penuh. Pada tahap integrasi ini pelaksanaan pembinaanya terutama dengan pemberian Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro, menunjukkan peningkatan dan bila dilihat secara umum juga menunjukkan keberhasilan. Didalam tahap integrasi pembinaan yang dapat diberikan khususnya pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan dapat berhak mendapatkan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas atau Cuti Bersyarat. Bentuk pembinaan dengan Pembebasan Bersyarat sudah penulis utarakan, sedangkan pemberian Cuti Menjelang Bebas diberikan kepada Narapidana yang besarnya sama dngan remisi terakhir yang diberikan kepadanya. Untuk Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat Surat Keputusannya dibuat atas nama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Kepala Kantor Wilayah Jawa Timur u.b Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bojonegoro. Persyaratanya baik substantif maupun administratifnya sama dengan Pembebasan Bersyarat dan Asimilasi. B. Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro Proses pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan terhadap Narapidana yang mendapat Pembebasan Bersyarat merupakan kelanjutan dari proses pembinaan di dalam Lembaga Pemasayrakatan, sebab sebelum menjalani proses pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan Narapidana harus terlebih dahulu memenuhi segala bentuk persyaratan yang telah ditentukan sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada bab sebelumnya. Pembebasan Bersyarat dapat diberikan terhadap Narapidana B-I atau yang hukumnya di atas I (satu) tahun 3 (tiga) bulan dan telah menjalani 2/3 (dua pertiga) di kurangi remisi yang diperoleh dari masa pidana yang sebenarnya dan harus menjalani pidana sekurang-kurangnya 9 (Sembilan) bulan serta telah memenuhi persyaratan administratif dan subtantif, maka Narapidana tersebut dapat diusulkan Pembebasan Bersyarat. Bila Narapidana yang akan diusulkan Pembebasan Bersyarat tersebut telah memenuhi persyaratan baik substantif maupun administratif, maka atas usul Wali Narapidana tersebut disidangkan oleh Tim 7 Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro. Setelah mendengar pendapat anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) serta mempelajari Laporan Penelitian Kemasyarakatan (LITMAS) yang dibuat oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dan bila terhadap Narapidana yang disidangkan tersebut memenuhi syarat / layak untuk diusulkan Pembebasan Bersyarat, selanjutnya anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) memberikan usul kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan bahwa Narapidana dimaksud memenuhi segala ketentuan persyaratan yang berkaitan dengan Pembebasan Bersyarat, dan dapat diusulkan Pembebasan Bersyarat. Setelah dipelajari dan mendapat persetujuan kemudian disusun berkas persyaratan administratifnya yang telah ditetapkan dan dijilid dalam satu berkas dan selanjutnya diteruskan (dikirim) kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Jawa Timur. Pada tingkat Kantor Wilayah Berkas Pembebasan Bersyarat disidangkan oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Kantor Wilayah. Bila disetujui usulan tersebut diteruskan kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Demikian pula pada tingkat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, apabila usulan tersebut disetujui, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI menerbitkan Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat. Selanjutnya Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat di kirim ke Lembaga Pemasyarakatan sebagai pelaksana Pembebasan Bersyarat yang dalam proses di serahkan kepada Balai Pemasyarakatan untuk dilakukan pembimbingan dan Kejaksaan Negeri setempat yang mempunyai fungsi pengawasan. Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro memberikan Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana rata-rata sebanyak 55 (lima puluh lima) orang per tahun, selama dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak tahun 2012 sampai dengan tahun 2014. Sedangkan jumlah Narapidana kira-kira pertahunya yang menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro sebanyak 278 (dua ratus tujuh puluh delapan) orang. Tetapi bila kita melihat dan membandingkan dengan jumlah Narapidana rata-rata pertahunya dapat dikatakan pelaksanaan Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro sudah maksimal, untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini : Dari jumlah 167 (seratus enam puluh tujuh) orang Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro yang diberikan pembebasan bersyarat antara tahun 2012 sampai dengan 2014, yang diangap gagal atau selama dalam masa percobaan melakukan pelanggaran hukum lagi sebanyak 2 (dua) orang, lihat pada tabel II. Bila kita perhatikan tabel tersebut di atas, dari 167 (seratus enam puluh tujuh) orang Narapidana yang diberikan pembebasan bersyarat, hanya 2 (dua) orang gagal (melakukan pelanggaran hukum lagi) selama dalam masa percobaan. Jadi dapat dikatakan bahwa secara umum pembinaan terhadap Narapidana yang mendapat Pembebasan Bersyarat dari Lembaga 8 Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro berhasil. Namun menurut pengamatan penulis selama mengadakan penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro, Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) di lembaga ini yang sudah melaksanakan tugas-tugas sesuai fungsinya yang sangat berpengaruh khususnya dalam hal pembinaan Narapidana, akan tetapi Narapidana yang diusulkan dan menjalani proses Pembebasan Bersyarat masih ada saja yang melakukan pelanggaran hukum dan pelanggaran ketentutuan persyaratan yang diberikan oleh Balai Pemasyarakatan . Padahal dalam proses sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan sudah begitu selektif dalam menentukan arah pembinaanya. Oleh karena itu perlunya kesadaran Narapidana yang diusulkan tersebut akan taat hukum dan norma- norma yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian program dari Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) harus diimbangi dengan perubahan sikap perilaku yang baik dari Narapidana yang diusulkan, untuk menjadi insan yang bertanggung jawab, baik terhadap diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Pada saat penulis mengadakan penelitian jumlah terpidana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro sebanyak 212 (dua ratus dua belas) orang. Sedangkan jumlah Narapidana yang telah menjalani 1/2 (setengah) dari masa pidananya sebanyak 40 (empat puluh) orang. Dari jumlah tersebut yang memenuhi persyaratan atau dapat diusulkan baik Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas maupun Cuti Bersyarat sebanyak 09 (sembilan) orang, sisanya tidak diusulkan baik Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas maupun Cuti Bersyarat, dikarenakan didalam pengurusan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas maupun Cuti Bersyarat belum memenuhi persyaratan. Dalam sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dipimpin oleh seorang ketua dibantu oleh sekertaris dan disitupun terdapat anggota sidang serta Wali Narapidana. C. Peranan Pembimbing Kemasyarakatan Pembimbing Kemasyarakatan yang selanjutnya disingkat (PK) adalah tenaga teknis dalam ruang lingkup Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang mempunyai keahlian khusus. Pembimbing Kemasyarakatan tugasnya adalah membimbing Narapidana dan Anak Didik yang berada di luar Lembaga Pemasyarakatan. Dengan demikian Pembimbing Kemasyarakatan (PK) banyak berkaitan dengan masalah sosial yang dialami klienya, misalnya kesulitan-kesulitan klien dalam menjalankan fungsi sosialnya, masalah kepribadian dan masalah kejiwaan. Dalam melaksanakan tugasnya itu PK berperan sebagai pekerja sosial, yakni membantu meringankan serta memberikan suatu cara atau terapi dalam memecahkan masalah pribadi maupun masalah sosial kliennya. Berkenaan dengan hal tersebut di atas seorang sarjana Amerika Walter A. Fridlander mengatakan: Pekerjaan sosial adalah suatu pelayanan berdasarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam hubungan kemanusiaan yang membantu perseorangan atau kelompok untuk mencapai kepuasan dalam kebebasan pribadi atau sosial. 5 Dari definisi tersebut diatas terlebih menekankan bahwa pekerjaan sosial itu merupakan suatu profesi yang berdasarkan ilmu pengetahuan khususnya untuk mencapai suatu keseimbangan atau keserasian dalam hidup. Sedangkan definisi pekerjaan sosial menurut Prof. Mr. Sumantri Proptokusumo adalah : Pekerjaan sosial adalah bergerak untuk mewujudkan usaha untuk memberikan kesempatan kepada seseorang untuk 5 M. Iso Sumhudi, Pengantar Pekerjaan sosial, Fak. Ilmu-ilmu Sosial Universitas Muhammadiyah, Jakarta, 1976, hal.9 9 memperkembangkan pribadinya seluas mungkin hingga ia dapat berpartisipasi pada kehidupan masyarakat secara penuh dan memberikan bantuan pada seseorang yang karena kesukaran-kesukaran baik extrimsik maupun intrinsic, supaya ia kemudian dapat berpartisipasi pada kehidupan masyarakat penuh dan berguna, hingga terwujudnya derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia. 6 Dari definisi di atas dapat kita ketahui bahwa pekerjaan sosial mempunyai arti tidak jauh berbeda dengan sistem pemasyarakatan di dalam pelaksanaan pembinaannya yaitu memberikan kesempatan pada klien untuk mengembangkan kepribadiannya seluas mungkin agar klien dapat berintegrasi penuh pada kehidupan masyarakat, sehingga terwujud derajat hidup sesuai dengan martabat manusia. Pembinaan Narapidana yang berada di luar Lembaga Pemasyarakatan ini pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu sistem pembinaan Narapidana yang disebut Sistem Pemasyarakatan. Dalam melaksanakan tugasnya Balai Pemasyarakatan (Bapas) menangani baik klien dewasa / pemuda maupun anak-anak, sedangkan jenis klien yang dibimbingnya ada klien Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat. Namun seperti telah penulis kemukakan bahwa penulisan skripsi ini terbatas pada Narapidana penjara dewasa yang mendapat Pembebasan Bersyarat (klien dewasa Pembebasan Bersyarat). Sebenarnya adanya Balai Pemasyarakatan (Bapas) adalah merupakan pengembangan dari Reklasering yang didirikan pada tahun 1926 dengan ordonasi tahun 1926 Stbl No.251 namun pelaksananya tidak berjalan lancar. Jika terdapat terpidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro yang telah menjalani 2/3 (dua per tiga) dari masa 6 pidananya atau sekurang-kurangnya 9 (Sembilan) bulan, maka Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) mengadakan sidang dalam rangka peningkatan pembinaan, yaitu memasuki tahap integrasi. Apabila dalam pengamatan dan penilaian Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Narapidana tersebut memenuhi persyaratan dan memungkinkan untuk memasuki tahap integrasi maka Narapidana itu diusulkan Pembebasan Bersyarat. Proses yang ditempuh pertama kali Kepala Lembaga Pemasyarakatan, setelah warga binaan tersebut aktif dalam menjalani program pembinaan baik pembinaan kemandirian maupun kepribadian, dan hampir menjalani 2/3 dari masa pidana dan dikurangi remisi yang diperoleh, maka proses selanjutnya meminta bantuan kepada pihak Balai Pemasyarakatan (Bapas) untuk mengadakan penelitian kemasyarakatan terhadap Narapidana tersebut di wilayah lingkunganya dimana akan menjalani integrasinya, hal ini untuk mengetahui apakah lingkungan tersebut memungkinkan / mendukung atau tidaknya untuk pelaksanaan integrasi atau Pembebasan Bersyarat. Kepala Balai Pemasyarakatan (Bapas) setelah menerima permintaan untuk membuat Laporan Litmas dari Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro, selanjutnya memerintahkan kepada seorang petugas Pembimbing Kemasyarakatan untuk mengadakan penelitian guna pembuatan Litmas. LITMAS (Laporan Penelitian Masyarakat) dibuat menurut sistematika sebagai berikut : 1. Identitas Narapidana dan orang tua / wali serta isteri (karena Narapidanya laki-laki), yang meliputi : Nama, jenis kelamin, tempat/tanggal lahir, agama, suku bangsa/ kebangsaan, pendidikan, pekerjaan dan alamat terakhir. 2. Susunan keluarga hasil perkawinan klien (bagi yang telah menikah, bagi yang belum menikah dicantumkan, susulan keluarga orang tuanya) Ibid, hal.12 10 3. Riwayat singkat kejadian, motif dan latar belakang perbuatannya 4. Keadaan keluarganya, yang meliputi : a. Riwayat orang tua : perkawinan dan hubungan antar keluarga b. Tanggapan orang tua / keluarga klien c. Keadaan ekonomi klien d. Susunan keluarga yang serumah 5. Keadaan rumah dan lingkunganya 6. Tanggapan-tanggapan dari pihak korban, masyarakat (pemerintah setempat) 7. Simpulan dari penelitian 8. Saran tentang dapat atau tidaknya pelaksanaanya atau integrasi Hasil penelitian ini disampaikan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro sebagai kelengkapan dalam pengusulan Pembebasan Bersyarat dimana Pembimbing Kemasyarakatan yang membuat Litmas turut serta di dalam persidangan tersebut untuk memberikan penjelasan lebih lanjut tentang Laporan Penelitian Masyarakat (Litmas) yang dibuatnya dan ikut menetapkan dapat tidaknya Narapidana tersebut diusulkan untuk mendapatkan Pembebasan Bersyarat. Jika sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) bahwa Narapidana yang bersangkutan dapat diintegrasikan, maka hasil sidang disampaikan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan, yang selanjutnya di usulkan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Timur, bila usulan tersebut disetujui maka terhadap Narapidana itu diberikan Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI yang didalamnya terdapat Ekspirasi Pembebasan Bersyarat dan ketentuan tentang hal-hal yang tidak boleh dilanggar selama menjalani masa percobaan. Setelah melapor kepada pihak Kejaksaan Negeri Bojonegoro selaku pengawas dalam proses Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana yang dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro, kemudian pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro juga menyerahkan kepada pihak Balai Pemasayarakatan (Bapas) selaku pembimbing Narapidana diluar Lembaga Pemasyarakatan. Disinilah seorang Petugas Pembimbing Kemasyarakatan mulai memberikan bimbingan terhadap klienya, sedangkan lamanya bimbingan yang diberikan kepada klien Pembebasan Bersyarat sama dengan lamanya sisa waktu (masa pidana) yang belum dijalankan ditambah 1 (satu) tahun. Pelaksanaan bimbingan ditempuh melalui dua cara yaitu selain mewajibkan klien untuk datang ke Balai Pemasyarakatan (Bapas) juga Pembimbing Kemasyarakatan mengadakan kunjungan ke rumah klien, ke tempat klien bekerja atau ke sekolah jika masih sekolah. Teknik yang kedua tersebut disebut dengan home visit, yang maksudnya untuk mengetahui lebih jauh lagi keadaan serta perkembanganya selama dalam masa pembinaan. Pelaksanaan pembinaan terhadap klien yang mendapat Pembebasan Bersyarat sifatnya adalah melanjutkan pembinaan yang telah dilakukan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan atau dengan perkataan lain memantapkan program pembinaan yang diberikan pada saat klien masih berada di Lembaga Pemasyarakatan. Peranan Pembimbing Kemasyarakatan adalah mengembalikan fungsi sosial sesuai dengan status yang dimiliki klien baik sebagai anggota keluarga maupun sebagai anggota masyarakat. Jadi Pembimbing Kemasyarakatan sangat menentukan dalam tercapainya tujuan pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan, khususnya dalam hal ini terhadap klien Pembebasan Bersyarat. Disamping berperan sebagai Pembimbing Kemasyarakatan juga sekaligus sebagai pekerja sosial untuk itu diperlukan kepribadian yang baik, berpendidikan dan berpengalaman di bidang sosial, kemudian mampu melaksanakan prinsip dan metode yang telah ditentukan. Hal itu sejalan dengan pendapat Dressele, sebagai seorang 11 Pembimbing Kemasyarakatan harus memiliki kualifikasi sebagai berikut: 1. Kepribadian Kemampuan emosional, berpandangan yang luas, berkemampuan belajar dari pengalaman, mempunyai perhatian yang sungguh-sungguh dalam lapangan probation dan parole, seorang yang berkarkater baik dan seimbang kepribadiannya, berkemampuan bekerja sama dengan orang lain, berpengetahuan tentang tingkah laku manusia dan berpengetahuan luas tentang masyarakat. 2. Pendidikan Pendidikan sekolah tinggi kesejahteraan sosial atau Universitas Jurusan kesejahteraan sosial dan telah melalui kursus dalam bidang probation parole. 3. Pengalaman Berpengalaman kerja dalam bidang lapangan kesejahteraan sosial minimal setahun atau sebelumnya pernah bertugas dalam Lembaga Pemasayarakatan.7 Proses pembinaan yang dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) melalui Pembimbing Kemasyarakatannya dilaksanakan melalui 3 (tiga) tahap yang didasarkan kepada kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi klien, yakni meliputi : a. Bimbingan Tahap Awal Kegiatan yang dilakukan pada bimbingan tahap awal ini antara lain : 1) Penelitian kemasyarakatan 2) Menyusun rencana program bimbingan 3) Pelaksanaan program bimbingan 4) Penelitian pelaksanaan program tahap awal dan penyusunan rencana bimbingan tahap lanjut. b. Bimbingan Tahap Lanjutan Yang termasuk dalam kegiatan tahap ini antara lain : 1) Pelaksanaan program bimbingan 7 Soemarsono A. Karim, Suatu Tinjauan Tentang Kebijaksanaan dan Program Balai Bispa Dalam Pembinaan Tuna Warga, STKS, Bandung 1978, hal.26 2) Penilaian pelaksanaan program tahap lanjutan dan penyusunan rencana bimbingan tahap akhir. c. Bimbingan Tahap Akhir Kegiatan bimbingan yang termasuk dalam tahap akhir meliputi : 1) Pelaksanaan program bimbingan 2) Meneliti keseluruhan nilai hasil pelaksanaan program bimbingan 3) Mempersiapkan klien untuk menghadapi akhir masa bimbingan dan mempertimbangkan akan kemungkinan pelayanan bimbingan tambahan 4) Mempersiapkan surat keterangan akhir masa bimbingan 5) Mengakhiri masa bimbingan klien dengan diwawancarai oleh Kepala Balai Pemasyarakatan (Bapas) Sedangkan tahap-tahap pembinaan tersebut diatas ditetapkan oleh Tim Pengamatan Pemasyarakatan (TPP) Balai Pemasyarakatan (Bapas) melalui sidang. Kemudian wujud bimbingan yang diberikan kepada klien didasarkan pada masalah dan kebutuhan klien pada saat sekarang dan masa mendatang yang disesuaikan dengan kehidupan keluarga dan lingkungan masyarakat dimana klien bertempat tinggal. Wujud bimbingan tersebut berupa pilihan salah satu jenis bimbingan atau memadukan beberapa pilihan yang sesuai dengan kebutuhan klien, hal itu antara lain : 1. Pendidikan agama 2. Pendidikan budi pekerti 3. Bimbingan penyuluhan perorangan atau kelompok 4. Pendidikan formal 5. Kepramukaan 6. Pendidikan keterampilan kerja 7. Pendidikan kesejahteraan keluarga 8. Kepustakaan 9. Dan bentuk usaha-usaha lainnya yang memungkinkan membantu jalanya bimbingan klien. Sebetulnya juga diperlukan psikoterapi dan psikiatri, namun tenaga ahli ini belum 12 ada yang secara khusus membantu Balai Pemasyarakatan (Bapas) dalam melaksanakan bimbingannya. Jadi bila terdapat klien Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang memerlukan tenaga ahli tersebut Pembimbing Kemasyarakatan hanya sebatas menyarankan atau mengupayakan datang ke ahli (rumah sakit ) dimaksud. Selama klien masih dibawah bimbingan Balai Pemasyarakatan (Bapas) maka segala kegiatan Pembimbingan Kemasyarakatan dalam perkembangan klien yang dibimbingnya dilaporkan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Timur dan tembusanya disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri di wilayah klien tinggal yang menjadi pengawasanya serta kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro. Laporan tersebut dibuat dalam waktu sebulan sekali (Lapbul), triwulan dan tahunan. Berakhirnya masa bimbingan klien Pembebasan Bersyarat dilaporkan kepada atasanya, Kejaksaan Negeri dan Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro dapat berjalan dengan baik meskipun belum mencapai hasil yang maksimal, termasuk pembinaan Narapidana pada tahap integrasi khususnya Pembebasan Bersyarat. D. Pengaruh Pembebasan Bersyarat Terhadap Masyarakat Tujuan yang hendak dicapai dalam pembinaan pelanggar hukum berdasarkan konsepsi sistem Pemasyarakatan khususnya yang dikenakan pidana penjara adalah pemulihan kesatuan hubungan antara pelanggar hukum yang bersangkutan dengan masyarakat. Pembinaan pelanggar hukum secara institusional (penutupan didalam Lembaga Pemasyarakatan) menyulitkan usaha-usaha untuk menciptakan interaksi positif dengan sistem nilai yang berlaku ditengah-tengah masyarakat dan karena hal tersebut sulit untuk mencapai pemulihan kesatuan hubungan antara pelanggar hukum yang bersangkutan dengan masyarakat. Pembinaan pelanggar hukum yang bersifat dominan institusional hanya dibenarkan terhadap pelanggar hukum Narapidana yang sungguh-sungguh merupakan bahaya langsung terhadap keselamatan masyarakat dan pelanggar hukum yang bersangkutan memerlukan pembinaan yang intensif. Khusus bagi pelanggar-pelanggar hukum Narapidana dari kategori tersebut, di dalam dunia korensi disebut pelanggar-pelanggar hukum residual (residual offenders). Untuk mencapai tujuan dimaksud, sistem Pemasyarakatan memiliki tahap-tahap pembinaan, dimana pada tahap pembinaan yang terakhir atau yang lebih dikenal dengan tahap integrasi bagi Narapidana yang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Undang-Undang dapat diusulkan untuk mendapatkan pembinaan diluar Lembaga Pemasyarakatan, salah satu wujud pembinaan dimaksud adalah Pembebasan Bersyarat. Namun dalam pelaksanaanya seorang Narapidana yang dibebaskan dengan Pembebasan Bersyarat tidak semudah sebagaimana yang dibayangkan khususnya dalam proses integrasi dengan masyarakat. Menurut pendapat beberapa orang Pembimbing Kemasyarakatan yang menangani masalah Pembebasan Bersyarat ini, pada awal Narapidana tersebut berintegrasi biasanya akan menemui hambatan, dimana penerimaan masyarakat terhadap Narapidana khususnya yang dibebaskan dengan Pembebasan Bersyarat masih sangat kurang, hal ini antara lain disebabkan karena : 1. Pandangan atau citra masyarakat terhadap Lembaga Pemasyarakatan khususnya Narapidana kurang baik. 2. Stigma terhadap orang-orang yang baru selesai menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan tidak mudah hilang 3. Proses pembinaan Narapidana dengan menggunakan Sistem Pemasyarakatan belum berjalan sebagaimana mestinya. 13 4. Masyarakat pada umumnya masih belum mengerti dan memahami tentang Pembebasan Bersyarat. Persepsi yang kurang baik (negatif) dari masyarakat tersebut sangat berpengaruh terhadap jalanya pelaksanaan pembinaan Narapidana ditengah-tengah masyarakat. Dengan sendirinya Narapidana tadi akan mengalami kesulitan dalam berintegrasi, sebab masyarakat cenderung mengisolasi (mengucilkannya) dari pergaulan. Jika kelakukan yang demikian itu (diskriminasi) berkepanjangan maka tidak menutup kemungkinan Narapidana yang sedang menjalani masa Pembebasan Bersyarat itu akan mempunyai perasaan dendam terhadap masyarakat yang mengisolasinya. Hal ini dapat muncul sebagai alat pemicu mereka melakukan kejahatan lagi, walaupun sebelum keluar dari Lembaga Pemasyarakatan mereka tidak mempunyai niat / maksud untuk melakukan pelanggaran hukum lagi. Melihat kondisi yang demikian Pembimbing Kemasyarakatan yang bertugas selaku pembina di luar Lembaga Pemasyarakatan kalau perlu mengintensifkan pembinaan yang telah berjalan. Tugas Pembimbing Kemasyarakatan memang sangat berat tetapi mulia, disamping berperan mengembalikan fungsi sosial juga membantu terhadap segala permasalahan yang dihadapi kliennya, termasuk diantaranya berusaha menghilangkan prasangka dari masyarakat dengan jalan mengadakan pendekatan-pendekatan, penerangan-penerangan, ataupun penjelasan kepada masyarakat tersebut, sehingga masyarakat mengerti dan sedikit demi sedikit akan merubah sikap yang tidak menguntungkan tadi. Kembali kepada teori Pemasyarakatan yang menyatakan bahwa masyarakat adalah merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan tercapainya tujuan pembinaan Narapidana. Keberhasilan pembinaan Narapidana didalam Lembaga Pemasyarakatan, belum merupakan jaminan bahwa Narapidana akan baik seterusnya. Sebab setelah melalui proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan dan Narapidana siap terjun kembali ke masyarakat, didalam hatinya selalu timbul pertanyaan sudikah masyarakat menerimanya? Narapidana adalah anggota masyarakat yang untuk sementara waktu dicabut kemerdekaan bergeraknya dan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan, dimana ia akan kembali ke masyarakat bila bebas nanti. Lebih dari itu masyarakat sedikit banyaknya memberikan andil dalam hal tumbuhnya kejahatan, oleh karena itu masyarakat harus ikut bertanggung jawab dan harus memberi bantuan dalam menerima kembali Narapidana. Satherland mengatakan dalam bukunya Azas-azas Krimonologi, bahwa terdapat hubungan antara kejahatan dengan masyarakat ia mengatakan sebagai berikut : Memang bahwa kejahatan itu bersumber di masyarakat, masyarakat yang memberi kesempatan untuk melakukan kejahatan dan masyarakat sendiri yang akan menanggung akibat dari kejahatan itu.8 Di dalam sistem Pemasyarakatan juga dikatakan bahwa pembinaan yang dilakukan menitik beratkan kepada : a. Tidak secara ekslusif ditujukan kepada individu pelanggar hukum sebagai anggota masyarakat yang memiliki sifatsifat jahat dalam pribadinya. b. Melainkan kepada pemulihan kesatuan hubungan masyarakat sebagai akibat retaknya hubungan yang tidak sematamata karena disebabkan oleh sifat-sifat pribadi pelanggar hukum, melainkan juga disebabkan karena kegagalan-kegagalan masyarakat sendiri dalam menjaga dan memelihara integritasnya. 9 8 Edwin H. Sutherland (Sadura Momon Martasaputra, SH), Azas-Azas Krimonologi, Bandung, Alumni, 1969, hal.106 9 Kedudukan Dan Fungsi Pemasyarakatan Serta Hambatan-Hambatan Dalam Kelaksanaanya, Direkrtorat Jenderal Pemasyarakatan, 1982 / 1983 hal. 12 14 Berdasarkan hal tersebut diatas penulis berpendapat bahwa karena kejahatan itu bersumber di masyarakat dan dilakukan oleh anggota masyarakat, maka masyarakat harus ikut bertanggung jawab dalam hal menerima kembali para pelanggar hukum tersebut dan diharapkan turut aktif dalam membimbing mereka, agar dapat menjadi warga masyarakat yang berguna serta patuh dan taat terhadap nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. KESIMPULAN 1. Masalah pembebasan bersyarat diatur di dalam pasal 15 sampai dengan 17 KUHP. Agar seorang Narapidana dapat diusulkan Pembebasan Bersyarat maka harus memenuhi beberapa persyaratan. Diantaranya seperti yang tercantum didalam pasal 15 ayat 1 KUHP yakni orang yang dihukum penjara boleh dilepaskan dengan persyaratan, bila telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya dan sekurang-kurangnya paling sedikit 9 (sembilan) bulan dari pada masa pidananya. Sedangkan persyaratan lainnya diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor M.01-PK.0410 tahun 2007 yang meliputi persyaratan administratif dan subtantif. Dimana Narapidana yang sudah menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidananya maka dia berhak untuk mengajukan Pembebasan Bersyarat dan harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. 2. Pembinaan Narapidana tidak hanya dilaksanakan didalam Lembaga Pemasyarakatan saja, tetapi juga dilaksanakan diluar Lembaga Pemasyarakatan atau ditengah-tengah masyarakat, salah satu pembinaan dimaskud adalah melalui Pembebasan Bersyarat. Dalam pelaksanaanya, pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro yang dijadikan sebagai dasar guna pembinaan selanjutnya diluar Lembaga Pemasyarakatan sudah menunjukkan hasil yang maksimal, karena Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) sudah sesuai dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga proses pembinaanya sudah berjalan sebagaimana yang diharapkan. 3. Belum terlaksananya pembinaan Narapidana dengan cara Pembebasan Bersyarat secara maksimal disebabkan oleh karena : a. Sistem Pemasyarakatan yang diperlukan sebagai sistem pembinaan di Indonesia belum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, sehingga antara dassein dan sollenya masih terdapat perbedaan. b. Kurangnya jumlah petugas Pemasyarakatan dalam melaksanakan tugas-tugasnya selaku Pembina Narapidana atau Pembimbing Kemasyarakatan. c. Masyarakat belum sepenuhnya memberikan dorongan positif terhadap penerimaan Narapidana yang mendapat pembinaan dengan Pembebasan Bersyarat, sebab masih banyak kalangan masyarakat yang belum mengerti dan memahami tentang pembinaan tersebut. d. Perlunya ahli psikolog yang mengarahkan mentalitas Narapidana. e. Seluruh unsur-unsur yang terlibat baik instansi Pemerintah, organisasi masyarakat, dan masyarakat itu sendiri kurang aktif atau tingkat kepeduliannya masih rendah dalam mewujudkan tujuan pembinaan yang dimaksud. DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Dari Sangkar Ke Sangkar suat Koitmen Pengayoman, Jakarta 1979. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kedudukan dan Fungsi Pemasyarakatan Serta Hambatan- 15 hambatan dalamPelaksananya, Jakarta 1982. Character, Bandung, LPKDM Suka Miskin 1967. Sahardjo, Pohon Beringin Pengayoman, Pidato penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa, 5 Juli 1963. Soerjobroto, Bahrudin, Fungsi Pemasyarakatan Dalam Negeri Pancasila,Bandung, LPKDM Suka Miskin, 1967. Hendrosusilo, Waliman, R. Pembinaan Tuna Warga di Luar Lembaga, Work. Shop Pemasyarakatan, Jakarta Lembaga Pembinaan Hukum Nasional 1971. Karim Soemarsono, Suatu Tentang Kebijaksanaan dan Program Balai . Bispa dalam Pembinan Warga, Bandung, STKS 1978 Sarasehan dan Pertemuan Nasional kedua IKA-AKIP, dengan tema ; Peningkatan Sistem Permasyarakatan Pada Pelita VI, Bandung, IKA-AKIP 1994. Soerjobroto, Dalam Bahrudin, Pemasyarakatan Nation Bauilding dan Soerjobroto, bahrudin, Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan, Majalah Pembinaan Hukum Nasional Nomor 16 Tahun V, Jakarta 1972. Soemadipradja, S Ahmad R dan Atmasasmia Romli. Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, Jakarta PN Balai Pustaka 1985. Sumbedi, Isom, M. Pengantar Pekerjaan Sosial, Jakarta Fakultas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Muhamadiyah. 1976. Suherland, Edwin, H. Tentang Azas-azas Krimonologi, Bandung 1969. 16