pembebasan bersyarat di lembaga permasyarakatan klas ii a

advertisement
PEMBEBASAN BERSYARAT DI LEMBAGA
PERMASYARAKATAN KLAS II A BOJONEGORO
Andriyanto Prabowo
Fakultas Hukum Universitas Bojonegoro
Jl. Lettu Suyitno No.2, Bojonegoro, 62119
Abstrak
.
Pembebasan Bersyarat yang merupakan pembinaan tahap akhir dalam proses pembinaan
Narapidana, dimana dalam pelaksanaannya membutuhkan keterlibatan masyarakat. Akan
tetapi masyarakat luas masih sedikit sekali yang mengerti dan memahami tentang masalah
Pembebasan Bersyarat. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran tentang pembinaan
Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro, mengetahui proses
pengusulan Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro, dan
memberikan gambaran tentang Narapidana yang dibebaskan dengan Pembebasan Bersyarat di
Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro serta bagaimana pengaruhnya terhadap
masyarakat, khususnya masyarakat disekitar tempat tinggal Narapidana tersebut. Penelitian
ini dalam mengumpulkan data menggunakan metode partisipatoris observasi. Hasil penelitian
menunjukkan Masalah pembebasan bersyarat diatur di dalam pasal 15 sampai dengan 17
KUHP. Agar seorang Narapidana dapat diusulkan Pembebasan Bersyarat maka harus
memenuhi beberapa persyaratan. Diantaranya seperti yang tercantum didalam pasal 15 ayat 1
KUHP.
Katakunci – pajak, tindak pidana, wajib pajak
PENDAHULUAN
Pemasyarakatan adalah kegiatan
untuk melakukan pembinaan Narapidana
berdasarkan sistem kelembagaan dan cara
pembinaan yang merupakan bagian akhir
dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan
pidana. Namun dalam konperensi di lembaga
prasaran yang diajukan oleh Bahrudin
Soeijobroto tentang pelaksanaan teknis
Pemasyarakatan “Pemasyarakatan” bukan
hanya sekedar tujuan dan pidana penjara,
melainkan sebagai proses yang bertujuan
pemulihan kembali satu kesatuan hubungan
(integritas) hidup dan penghidupan yang
terjalin antara individu Narapidana dan
masyarakat, menuju masyarakat yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasila.
Berdasarkan pendapat di atas Sistem
Pemasyarakatan yang merupakan sistem
pembinaan Narapidana mempunyai tujuan
agar Narapidana menjadi warga masyarakat
yang baik dan berguna, warga yang baik
berarti tidak melanggar hukum lagi
sedangkan berguna artinya dapat ikut secara
aktif dan produktif dalam menuju
tercapainya pembangunan.
Untuk mencapai tujuan tersebut usaha
pembinaan Narapidana antara lain adalah
Pembebasan Bersyarat yang merupakan
pembinaan tahap akhir dalam proses
pembinaan dengan menggunakan sistem
Pemasyarakatan,
dimana
Narapidana
diberikan kesempatan untuk tinggal di
tengah-tengah masyarakat bebas sebelum
habis menjalankan masa pidananya, seperti
yang tercantum dalam pasal 15 ayat I KUHP
1
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana) hal
ini dilaksanakan sebagai suatu tahap yang
bertujuan mengintegrasikan Narapidana di
masyarakat dalam rangka pemulihan
persatuan hubungan hidup, kehidupan dan
penghidupan. Dengan demikian bila
berbicara masalah Pembebasan Bersyarat
maka tidak dapat dilepaskan / dipisahkan
dengan sistem Pemasyarakatan karena
Pembebasan Bersyarat merupakan salah satu
tahap pembinaan di dalam Sistem
Pemasyarakatan tersebut.
Unit Pelaksana Teknis dan pembinaan
luar Lembaga Pemasyarakatan adalah Balai
Pemasyarakatan (BAPAS) yaitu unit yang
melaksanakan teknis operasional pembinaan
yang didasarkan pada surat Menteri
Kehakiman Republik Indonesia Nomor
M.02-PR.07.83 tahun 1987. Sedangkan
pembinaan
terhadap
Narapidana
Pembebasan Bersyarat didasarkan pada
peraturan
pelaksanaan
usaha
Balai
Pemasyarakatan (Bapas), yaitu ordonasi
tanggal 27 Desember 1917 Stbl. 1917
Nomor 749 Jo Stbl. 1926 Nomor 488 tanggal
6 November 1926 serta Peraturan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor :
M.01.PK.04.10 Tahun 2007 yang di perbarui
dengan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak
Asasi Manusia RI Nomor : 21 Tahun 2013
Tentang Syarat dan Tata Cara Asimilasi,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang
Bebas dan Cuti Bersyarat.
Para pelanggar hukum yang dikenakan
pidana hilang kemerdekaan bergerak
ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan
untuk mendapatkan pembinaan. Menurut
tentang pelaksanaan teknis Pemasyarakatan,
“Pemasyarakatan” bukan hanya sekedar
konsepsi Pemasyarakatan yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 Narapidana juga
harus dipandang sebagai anggota tetap
masyarakat dan tidak boleh diasingkan
masyarakat. Dengan demikian Narapidana
tersebut tidak kehilangan semua haknya,
hanya yang berhubungan dengan kebebasan
bergerak yang boleh dikurangi untuk
sementara waktu, yakni selama mereka
menjalani
masa
pidananya.
Dalam
melaksanakan
pembinaan
Narapidana
dipandang sebagai umat Tuhan yang
menurut Bahrudin Soejobroto adalah:
Pemasyarakatan sebagai Treatmen
Sistem di Indonesia menganggap manusia
sekalipun status terpidana tetap sebagai
makhluk Tuhan, dan approach yang dipakai
dalam treatment techniquenya ialah antara
manusia dengan manusia. 1
Selanjutnya Bahrudin Soerjobroto
mengemukakan bahwa Pemasyarakatan
dalam melaksanakan pembinaan terhadap
Narapidana mementingkan prosesnya, demi
kelancaran proses tersebut dibantu program.
Proses merupakan interaktif dimana
masyarakat, petugas Pemasyarakatan dan
Nrapidana merupakan elemen-elemennya
lebih lanjut dikatakan :
Pemasyarakatan itu sendiri harus
diartikan sebagai suatu proses dimana
elemen-elemen dalam integritas hidup,
kehidupan dan penghidupan itu semua harus
aktif dan positif bekerja sama timbal balik
alias gotong royong demi perkembangan
integritas itu kearah yang sempurna, yakni
dengan lain perkataan menuju masyarakat
yang adil dan makmur berdasaran
pancasila. 2
Menurut
sistem Pemasyarakatan
pembinaan terhadap Narapidana dilakukan
dengan berbagai tahapan, yakni sejak
masuk di dalam Lembaga Pemasyarakatan
sampai tahap akhir / Integrasi yang
dilaksanakan
di
luar
Lembaga
Pemasyarakatan.
Mengingat hal tersebut di atas penulis
tertarik mengemukakan dan menuangkan
dalam penulisan penelitian ini, karena
menurut penulis masyarakat luas masih
1
Bahrudin Soerjobroto, Fungsi pemasyarakatan
Dalam Negara Pancasila, Bandung Percetakan
Lembaga Pemasyarakatan Khusus Dewasa Muda
Suka Miskin, 1967, hal.10.
2
Bahrudin Soerjobroto, Pemasyarakatan Dalam
Nation Building dan Character Building, (Lembaga
Khusus Muda Suka Miskin, 1967) hal.37.
2
sedikit sekali yang mengerti dan memahami
tentang masalah Pembebasan Bersyarat.
Sedangkan bila kita kembali kepada
teori pembinaan Narapidana yang dipakai
saat ini peranan masyarakat mempunyai
andil yang sangat besar untuk turut
membina, mengawasi dan bahkan kalau
dapat mempertahankan agar sedapat
mungkin Narapidana yang mendapat
Pembebasan Bersyarat belum mengerti
memahami arti dan pelaksanaan Pembebasan
Bersyarat itu sendiri apakah mungkin sistem
pembinaan yang dilaksanakan itu akan
berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Berdasarkan dan alasan tersebut, maka
tujuan dari penelitian ini adalah 1)
memberikan gambaran atau pandangan
secara umum tentang pembinaan Narapidana
di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A
Bojonegoro; 2) mengetahui bagaimana
proses atau tatacara syarat-syarat pengusulan
Pembebasan
Bersyarat
di
Lembaga
Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro; 3)
memberikan gambaran tentang Narapidana
yang dibebaskan dengan Pembebasan
Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas
II A Bojonegoro serta bagaimana
pengaruhnya
terhadap
masyarakat,
khususnya masyarakat disekitar tempat
tinggal Narapidana tersebut.
METODE
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah partisipatoris observasi
yaitu berdasarkan pengamatan langsung
sebagai partisipasi di dalam tugas sebagai
petugas Pemasyarakatan pada Lembaga
Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro.
Selain itu, penelitian ini juga didukung
dengan Studi Kepustakaan yang berasal dari
literature-literature, Undang-Undang, dan
ketentuan-ketentuan Iainnya yang berkaitan
dengan masalah ini
Metode pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan melalui wawancara
terhadap pihak terkait selain itu dilakukan
juga observasi terhadap pelaksanaan
Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti
Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat bagi
Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Klas II A Bojonegoro.
Analisa data dilakukan dengan
menggunakan metode kualitatif, yaitu
ditujukan terhadap data-data yang sifatnya
berdasarkan kualitas, mutu dan sifat yang
nyata
berlaku
dalam
masyarakat.
Keseluruhan data yang diperoleh di olah dan
disajikan dalam bentuk uraian naratif bukan
dalam bentuk statistik, sehingga akan dapat
menjawab permasalahan yang diteliti secara
sistematis dan logis. Analisa terhadap topik
penelitian ini dilakukan dengan berpedoman
pada peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI Nomor M.01.PK.04.10
Tahun 2007 yang di perbarui dengan
Peraturan Menteri Nomor 21 Tahun 2013
Tentang Syarat dan Tata Cara Asimilasi,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang
Bebas dan Cuti Bersyarat dan UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
pemasyarakatan
maupun
peraturan
perundang-undangan
lainnya,
serta
pendapat-pendapat dari pakar yang berkaitan
dengan Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat
di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A
Bojonegoro
dan
pengaruh
terhadap
masyarakat.
Analisis kualitatif tidak mendasarkan
pada pengumpulan data dan lokasi yang luas
dengan responden yang banyak, tetapi
ukurannya berdasarkan kenyataan yang
bersifat umum, jadi walaupun terbatas
respondennya sedikit, jika data-data yang
didapat itu merupakan kenyataan yang
berlaku, maka data tersebut cukup
membuktikan kebenaran.
Data yang telah diperoleh dan hasil penelitian
disusun secara sistematis, logis dan yuridis, sehingga
diperoleh suatu gambaran mengenai Pelaksanaan
Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan
Klas II A Bojonegoro dan Pengaruh Terhadap
Masyarakat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Proses Pembinaan Narapidana Di
Lembaga Pemasyarakatan Klas II A
Bojonegoro
3
Pemasyarakatan adalah merupakan
suatu perwujudan dari pelembagaan reaksi
formal masyarakat terhadap pelanggaran
hukum atau kejahatan. Reaksi masyarakat
yang
terlembaga
ini
pertama-tama
mengandung unsur derita semata. Kemudian
sejalan dengan perkembangan masyarakat
dan sejalan pula dengan perkembangan
falsafah. Peno-correctional, maka unsur
pemberian derita itu harus disertai dengan
unsur kasih sayang yang manusiawi, yaitu
dengan memperhatikan hak-hak asasi
manusia guna kelangsungan eksistensinya,
baik sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat. Perilaku yang demikian
tercantum
di
dalam
10
prinsip
Pemasyarakatan, antara lain terdapat pada
butir 1,2 dan 3, yaitu :
1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar
mereka dapat menjalankan peranan
sebagai warga masyarakat yang baik dan
berguna.
2. Penjatuhan hukuman bukan tindakan
balas dendam oleh Negara.
3. Berikan bimbingan bukan dengan
penyiksaan, supaya mereka bertobat.3
Prinsip kasih sayang ini juga terlihat
dalam usaha-usaha pembinaan terhadap
anggota masyarakat yang melanggar hukum,
terutama dalam rangka memulihkan
kedudukannya sebagai anggota masyarakat
yang berfungsi penuh dan menghormati
nilai-nilai dan norma-norma yang dijunjung
tinggi oleh masyarakat.
Kemudian tujuan dari pembinaan itu
sendiri bila dilihat secara umum adalah agar
mereka (para narapidana) dapat menjadi
manusia seutuhnya sebagaimana yang telah
menjadi arah pembangunan nasional.
Sedangkan tujuan pembinaan secara khusus
ditujukan agar selama menjalani masa
pidananya Narapidana tersebut dapat:
3
Sarasehan dan Pertemuan Nasional Kedua
IKA-APKIP dengan Tema : Peningkatan
Sistem Pemasyarakatan Pada Pelita VI.
Akademi Ilmu Kemasyaraktan, Bandung
1994
1. Berhasil memantapkan harga diri dan
kepercayaan dirinya serta bersikap
optimis akan masa depannya.
2. Berhasil
memperoleh
pengetahuan
minimal keterampilan untuk bekal guna
hidup mandiri.
3. Berhasil menjadi manusia yang patuh
(taat) hukum yang tercermin pada sikap
dan perilakunya yang tertib, disiplin serta
mampu menggalang rasa kesetiakawanan
sosial.
4. Berhasil memiliki jiwa dan semangat
pengabdian terhadap bangsa dan Negara.
Pembinaan
terhadap
Narapidana
disesuaikan
dengan
azas-azas
yang
terkandung dalam Pancasila, UndangUndang Dasar 1945 dan Standart Minimum
Rules (SMR) yang tercermin dalam 10
Prinsip Pemasyarakatan yang bunyinya
sebagai berikut :
1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar
mereka dapat menjalankan perananya
sebagai warga masyarakat yang baik dan
berguna.
2. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh
latar belakang pembalasan.
3. Berikan bimbingan (bukan penyiksaan)
supaya mereka bertobat.
4. Negara tidak berhak membuat mereka
lebih buruk atau lebih jahat dari pada
sebelum dijatuhi pidana.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak
para Narapidana dan Anak Didik tidak
boleh diasingkan dari masyarakat.
6. Pekerjaan
yang diberikan kepada
Narapidana dan Anak Didik tidak boleh
bersifat sekedar mengisi waktu.
7. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan
kepada Narapidana dan Anak Didik
adalah berdasarkan Pancasila.
8. Narapidana dan Anak Didik sebagai
orang yang tersesat adalah manusia dan
mereka harus diperlakukan sebagai
manusia.
9. Narapidana dan Anak Didik hanya
dijatuhi pidana hilang kemerdekaan
sebagai
satu-satunya
derita
yang
dialaminya.
4
10.
Sarana yang mendukung fungsi
rehabilitasi, koreksi, dan edukatif
disediakan untuk itu. 4
Demikian pula pembinaan Narapidana
yang
dilaksanakan
di
Lembaga
Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro
mengacu hal-hal tersebut diatas, proses
pembinaannya meliputi :
1. Admisi Orientasi
Masa admisi orientasi atau di sebut
juga dengan masa pengenalan lingkungan
ini terhitung sejak masuk di Lembaga
Pemasyarakatan selama satu minggu, adalah
kegiatan
sebelum
Tim
Pengamat
Pemasyarakatan (TPP) dalam rangka
merumuskan
rencana
dan
program
pelaksanaan pembinaan terhadap seorang
pelanggar hukum / Narapidana sebagai titik
awal dari proses pembinaan Narapidana.
Kegiatan
antara
lain
berupa
pengecekan
berkas–berkas
putusan
pengadilan, penandatanganan Berita Acara
Putusan Pengadilan, pengambilan sidik jari,
diadakan penelitian secara menyeluruh
tentang keadaan Narapidana baru tersebut,
termasuk didalamnya pemeriksaan kesehatan
dan penempatan Narapidana. Setelah
pemeriksaan tersebut diatas dianggap cukup
artinya telah memenuhi persyaratan,
kemudian terhadap Narapidana itu diberikan
penjelasan-penjelasan tentang tata tertib dan
peraturan-peraturan lainnya di dalam
Lembaga Pemasyarakatan serta diberikan
pengarahan mengenai hak-haknya sebagai
Narapidana dan apa tugas / kewajibannya di
dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Semua data-data tersebut dalam sidang
Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) diolah
untuk menentukan bentuk pembinaan
selanjutnya yang akan diberikan kepada
Narapidana yang bersangkutan. Bentuk
pembinaan tersebut disebut promotional
treatment dan social treatment. Bentuk
pembinaan promotional treatment bertujuan
4
Keputusan Menteri Kehakiman RI. No.
M.02-PK.04.10 tahun 1990. Tentang Pola
Pembinaan Narapidana dan Tahanan, hal.14
memberikan bekal-bekal keahlian kepada
Narapidana, bila kelak ia bebas dapat
mempergunakan keahliannya itu untuk hidup
mandiri. Sedangkan sosial treatment
bertujuan untuk memulihkan hubungan yang
rusak dengan masyarakat yang disebabkan
oleh perbuatan Narapidana tersebut telah
melanggar norma-norma / nilai-nilai yang
berlaku di dalam masyarakat dan kepadanya
diberikan bimbingan dan pendidikan tentang
bagaimana seharusnya hidup bermasyarakat.
2. Tahap Pembinaan Lanjutan (Asimilasi
Terbatas)
Setelah mulai memasuki tahap kedua
ini Narapidana melakukan berbagai kegiatan
pembinaan yang sesuai dengan keadaan,
minat dan bakatnya. Namun jenis dari pada
pembinaan
yang
diberikan
kepada
Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Klas II A Bojonegoro terbatas sebab
mengingat anggaran yang ada untuk
pembinaan juga terbatas. Dengan demikian
pembinaan yang diberikan tidak sepenuhnya
didasarkan pada minat dan bakat tetapi
berdasarkan juga dengan sarana yang ada.
Pada tahap ini Narapidana juga sudah
mulai dikenalkan dengan masyarakat
walaupun dalam arti terbatas, misalnya
diperkenalkan dengan kunjungan-kunjungan
yang datang dari luar, contohnya dalam
bentuk kunjungan sosial, dalam pertandingan
olah raga, memperingati hari-hari besar
agama dan lain sebagainya. Adapun
pembinaan
bagi
Narapidana
yang
dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan
Klas II A Bojonegoro dibagi dalam dua
bidang, antara lain:
a. Pembinaan Kepribadian meliputi :
1) Pembinaan Kesadaran Beragama
Setiap hari senin sampai kamis pagi
dilaksanakan kegiatan baca tulis Alqur’an, Petugas pengajar dari Departemen
Agama Bojonegoro , sedangkan untuk
hari selasa siang diadakan ceramah
agama
dari Departemen Agama
Bojonegoro, termasuk sholat Dhuhur dan
Sholat Jum’at berjama’ah. Bagi yang
5
beragama Nasrani kegiatan Kebaktian
dilaksanakan pada setiap hari rabu.
2) Pembinaan
Kemampuan
intelektual
(kecerdasan) dilaksanakan melalui kursus
ukir kayu, meubelair, menjahit, membatik
dan pelatihan montir yang bekerja sama
dengan Dinas Tenaga Kerja.
3) Pembinaan mengintegrasikan diri dengan
masyarakat.
Dilaksanakan
dalam
bentuk
Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang
Bebas (CMB) dan Cuti Bersyarat (CB).
Untuk mendapatkan Pembebasan Bersyarat,
Cuti Menjelang Bebas maupun Cuti
Bersyarat, kegiatan sehari-hari Narapidana
tersebut dipantau terus, terutama dalam hal
kegiatan beribadah, agar mereka menjadi
manusia yang beriman dan benar-benar
bertaqwa kepada Sang Pencipta, sehingga
setelah mereka kembali ditengah-tengah
masyarakat mereka telah memiliki sifat-sifat
positif dan dapat barpartisipasi dalam
pembangunan masyarakat lingkungannya.
b. Pembinaan Kemandirian
Untuk pembinaan kemandirian, dengan
terbatasnya sarana dan tenaga pembimbing
yang ada, sehingga disalurkan melalui
ketrampilan menjahit dan pertukangan kayu,
namun demikian yang punya bakat tertentu
dan ingin mengembangkan bakatnya dengan
mempergunakan peralatan sendiri, dapat
dilaksanakan dan Lembaga Pemasyarakatan
menyediakan fasilitas tempatnya.
Disamping itu agar Narapidana tidak
merasa jenuh dalam melaksanakan kegiatan
sehari-hari, disediakan buku-buku bacaan
yang sifatnya mendidik yang telah
disediakan di perpustakaan dan juga dapat
mengikuti siaran berita dan hiburan melalui
media elektronika (TV).
3. Tahap Asimilasi (Asimilasi Dalam Arti
Luas)
Setelah pembinaan dalam tahap kedua
telah selesai dan berjalan dengan baik,
dimana Narapidana telah menunjukkan
perbaikan, disiplin dan bertanggung jawab
terhadap seluruh pembinaan yang diberikan
kepadanya, maka dilakuan sidang Tim
Pengamat Pemasyarakatan (TPP) kembali
untuk menilai dan menyeleksi lagi
Narapidana yang memungkinkan untuk
mengikuti program asimilasi di luar tembok.
Hal
itu
dimaksudkan
untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan
selama
dalam
pelaksanaan
program
Asimilasi,
misalnya
melarikan
diri,
melakukan tindak pidana lagi atau apabila
program tersebut dapat membahayakan
Narapidana karena motif dendam dari pihak
keluarga atau teman korban dari Narapidana
dahulu maka walaupun telah memenuhi
syarat-syarat lainnya tetapi membahayakan
dirinya Narapidana tersebut tidak di ikutkan
dalam program tersebut.
Kegiatan yang dilaksanakan dalam
tahap asimilasi berupa kerja membersihkan
lingkungan yang dilaksanakan diluar
tembok, melakukan kerja kebersihan
disekitar Perumahan Komplek Lembaga
Pemasyarakatan setiap hari. Dengan
dilaksananya program-program pembinaan
di
luar
lembaga
(ditengah-tengah
masyarakat) memberikan kesempatan bagi
pelanggar hukum secara bertahap untuk
menduduki kembali tempatnya ditengahtengah
masyarakat
sebagai
anggota
masyarakat yang berfungsi penuh melalui
interaksi yang positif dan sistem nilai yang
berlaku di masyarakat.
Sedangkan bagi Narapidana yang tidak
terpilih untuk melakukan kegiatan di luar
lembaga yang bisa disebut dengan Asimilasi
diluar (yang ditentukan melalui sidang Tim
Pengamat Pemasyarakatan), mereka tetap
dibenarkan melalui kegiatan kerjanya di
dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Tahap Asimilasi ini diberikan terhadap
Narapidana yang telah menjalani antara 1/2
(setengah) sampai 2/3 (dua pertiga) masa
pidana.
4. Tahap Integarasi
Tahap ini sebenarnya mirip dengan
tahap Asimilasi hanya saja bedanya, pada
tahap Asminilasi Narapidana itu dilatih
6
untuk menyesuaikan diri di dalam
masyarakat dan sifatnya sementara, tempat
mereka masih tetap didalam Lembaga
Pemasyarakatan. Sedangkan tahap integrasi
ini Narapidana dicoba untuk dilepaskan
didalam masyarakat sampai hari bebasnya
atau Narapidana tersebut sudah bertempat
tinggal di luar Lembaga Pemasyarakatan.
Teknis pengawasan selama Narapidana
menjalani program integrasi di luar Lembaga
Pemasyarakatan
dilaksanakan
oleh
Kejaksaan Negeri dan Bapas setempat.
Peraturan ini tercantum di dalam Peraturan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia
Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 2007 pasal 18
poin A, yaitu :
 Pasal 18 poin A :
Pengawasan terhadap Narapidana
tertentu yang memperoleh Pembebasan
Bersyarat dilaksanakan oleh Kejaksaan
Negeri dan Balai Pemasyarakatan (BAPAS).
Berbeda dengan sistem perlakuan yang
berorientasi kepada doktrin pembalasan
(retribusi) doktrin penjeraan (detemce)
maupun berorientasi kepada doktrin
rehabilitasi resosialisasi, yang kegiatanya
sebagian besar dilakukan didalam bangunan
tempat penampungan pelanggar hukum
(Lembaga
Pemasyarakatan)
dengan
pendekatan medical model atua the rapeutics
model, maka sistem pemayarakatan dengan
doktrin
re-integrasi
sosialnya
lebih
mengutamakan pembinaan yang berlangsung
di luar bangunan (non-internasional) dan
menitik
beratkan
usahanya
kepada
pemberian kesempatan bagi pelanggar
hukum untuk menduduki kembali tempatnya
ditengah-tengah masyarakat sebagai anggota
masyarakat yang berfungsi penuh.
Pada tahap integrasi ini pelaksanaan
pembinaanya terutama dengan pemberian
Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana
di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A
Bojonegoro, menunjukkan peningkatan dan
bila dilihat secara umum juga menunjukkan
keberhasilan.
Didalam tahap integrasi pembinaan
yang dapat diberikan khususnya pembinaan
di luar Lembaga Pemasyarakatan dapat
berhak mendapatkan Pembebasan Bersyarat,
Cuti Menjelang Bebas atau Cuti Bersyarat.
Bentuk pembinaan dengan Pembebasan
Bersyarat sudah penulis utarakan, sedangkan
pemberian Cuti Menjelang Bebas diberikan
kepada Narapidana yang besarnya sama
dngan remisi terakhir yang diberikan
kepadanya. Untuk Cuti Menjelang Bebas
dan Cuti Bersyarat Surat Keputusannya
dibuat atas nama Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI Kepala Kantor Wilayah
Jawa Timur u.b Kepala Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Bojonegoro.
Persyaratanya baik substantif maupun
administratifnya sama dengan Pembebasan
Bersyarat dan Asimilasi.
B. Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat di
Lembaga Pemasyarakatan Klas II A
Bojonegoro
Proses pembinaan di luar Lembaga
Pemasyarakatan terhadap Narapidana yang
mendapat Pembebasan Bersyarat merupakan
kelanjutan dari proses pembinaan di dalam
Lembaga Pemasayrakatan, sebab sebelum
menjalani proses pembinaan di luar
Lembaga Pemasyarakatan Narapidana harus
terlebih dahulu memenuhi segala bentuk
persyaratan
yang
telah
ditentukan
sebagaimana yang telah penulis kemukakan
pada bab sebelumnya.
Pembebasan Bersyarat dapat diberikan
terhadap Narapidana B-I atau yang
hukumnya di atas I (satu) tahun 3 (tiga)
bulan dan telah menjalani 2/3 (dua pertiga)
di kurangi remisi yang diperoleh dari masa
pidana yang sebenarnya dan harus menjalani
pidana sekurang-kurangnya 9 (Sembilan)
bulan serta telah memenuhi persyaratan
administratif dan subtantif, maka Narapidana
tersebut dapat diusulkan Pembebasan
Bersyarat.
Bila Narapidana yang akan diusulkan
Pembebasan Bersyarat tersebut
telah
memenuhi persyaratan baik substantif
maupun administratif, maka atas usul Wali
Narapidana tersebut disidangkan oleh Tim
7
Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Lembaga
Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro.
Setelah mendengar pendapat anggota Tim
Pengamat Pemasyarakatan (TPP) serta
mempelajari
Laporan
Penelitian
Kemasyarakatan (LITMAS) yang dibuat
oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dan
bila terhadap Narapidana yang disidangkan
tersebut memenuhi syarat / layak untuk
diusulkan
Pembebasan
Bersyarat,
selanjutnya
anggota
Tim
Pengamat
Pemasyarakatan (TPP) memberikan usul
kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan
bahwa Narapidana dimaksud memenuhi
segala ketentuan persyaratan yang berkaitan
dengan Pembebasan Bersyarat, dan dapat
diusulkan Pembebasan Bersyarat. Setelah
dipelajari dan mendapat persetujuan
kemudian disusun berkas persyaratan
administratifnya yang telah ditetapkan dan
dijilid dalam satu berkas dan selanjutnya
diteruskan (dikirim) kepada Kepala Kantor
Wilayah Kementerian Hukum Dan Hak
Asasi Manusia Jawa Timur.
Pada tingkat Kantor Wilayah Berkas
Pembebasan Bersyarat disidangkan oleh
Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP)
Kantor Wilayah. Bila disetujui usulan
tersebut diteruskan kepada Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan. Demikian pula
pada
tingkat
Direktorat
Jenderal
Pemasyarakatan, apabila usulan tersebut
disetujui,
Kepala
Kantor
Wilayah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI menerbitkan Surat Keputusan
Pembebasan Bersyarat. Selanjutnya Surat
Keputusan Pembebasan Bersyarat di kirim
ke Lembaga Pemasyarakatan
sebagai
pelaksana Pembebasan Bersyarat yang
dalam proses di serahkan kepada Balai
Pemasyarakatan
untuk dilakukan
pembimbingan
dan Kejaksaan Negeri
setempat
yang
mempunyai
fungsi
pengawasan.
Lembaga Pemasyarakatan Klas II A
Bojonegoro
memberikan
Pembebasan
Bersyarat terhadap Narapidana rata-rata
sebanyak 55 (lima puluh lima) orang per
tahun, selama dalam kurun waktu 3 (tiga)
tahun terhitung sejak tahun 2012 sampai
dengan tahun 2014. Sedangkan jumlah
Narapidana kira-kira pertahunya yang
menjalani
pidana
di
Lembaga
Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro
sebanyak 278 (dua ratus tujuh puluh
delapan) orang. Tetapi bila kita melihat dan
membandingkan dengan jumlah Narapidana
rata-rata pertahunya dapat dikatakan
pelaksanaan Pembebasan Bersyarat di
Lembaga Pemasyarakatan Klas II A
Bojonegoro sudah maksimal, untuk lebih
jelasnya lihat tabel di bawah ini :
Dari jumlah 167 (seratus enam puluh
tujuh) orang Narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro yang
diberikan pembebasan bersyarat antara tahun
2012 sampai dengan 2014, yang diangap
gagal atau selama dalam masa percobaan
melakukan
pelanggaran
hukum
lagi
sebanyak 2 (dua) orang, lihat pada tabel II.
Bila kita perhatikan tabel tersebut di
atas, dari 167 (seratus enam puluh tujuh)
orang
Narapidana
yang
diberikan
pembebasan bersyarat, hanya 2 (dua) orang
gagal (melakukan pelanggaran hukum lagi)
selama dalam masa percobaan. Jadi dapat
dikatakan bahwa secara umum pembinaan
terhadap Narapidana yang mendapat
Pembebasan Bersyarat dari Lembaga
8
Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro
berhasil.
Namun menurut pengamatan penulis
selama mengadakan penelitian di Lembaga
Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro, Tim
Pengamat Pemasyarakatan (TPP) di lembaga
ini yang sudah melaksanakan tugas-tugas
sesuai fungsinya yang sangat berpengaruh
khususnya
dalam hal pembinaan
Narapidana, akan tetapi Narapidana yang
diusulkan dan menjalani proses Pembebasan
Bersyarat masih ada saja yang melakukan
pelanggaran
hukum
dan pelanggaran
ketentutuan persyaratan yang diberikan oleh
Balai Pemasyarakatan . Padahal dalam
proses
sidang
Tim
Pengamat
Pemasyarakatan sudah begitu selektif dalam
menentukan arah
pembinaanya. Oleh
karena itu perlunya kesadaran Narapidana
yang diusulkan tersebut akan taat hukum
dan norma- norma yang berlaku di dalam
kehidupan masyarakat.
Dengan demikian program dari Tim
Pengamat Pemasyarakatan (TPP)
harus
diimbangi dengan perubahan sikap perilaku
yang baik dari Narapidana yang diusulkan,
untuk menjadi insan yang bertanggung
jawab, baik terhadap diri sendiri, keluarga
dan masyarakat.
Pada saat penulis mengadakan
penelitian jumlah terpidana yang ada di
Lembaga Pemasyarakatan Klas II
A
Bojonegoro sebanyak 212 (dua ratus dua
belas) orang. Sedangkan jumlah Narapidana
yang telah menjalani 1/2 (setengah) dari
masa pidananya sebanyak 40 (empat puluh)
orang. Dari jumlah tersebut yang memenuhi
persyaratan atau dapat diusulkan baik
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang
Bebas maupun Cuti Bersyarat sebanyak 09
(sembilan) orang, sisanya tidak diusulkan
baik Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang
Bebas maupun Cuti Bersyarat, dikarenakan
didalam pengurusan Pembebasan Bersyarat,
Cuti Menjelang Bebas maupun Cuti
Bersyarat belum memenuhi persyaratan.
Dalam
sidang
Tim
Pengamat
Pemasyarakatan (TPP) dipimpin oleh
seorang ketua dibantu oleh sekertaris dan
disitupun terdapat anggota sidang serta Wali
Narapidana.
C. Peranan Pembimbing Kemasyarakatan
Pembimbing Kemasyarakatan yang
selanjutnya disingkat (PK) adalah tenaga
teknis dalam ruang lingkup Balai
Pemasyarakatan (Bapas) yang mempunyai
keahlian
khusus.
Pembimbing
Kemasyarakatan
tugasnya
adalah
membimbing Narapidana dan Anak Didik
yang
berada
di
luar
Lembaga
Pemasyarakatan.
Dengan
demikian
Pembimbing Kemasyarakatan (PK) banyak
berkaitan dengan masalah sosial yang
dialami klienya, misalnya kesulitan-kesulitan
klien dalam menjalankan fungsi sosialnya,
masalah kepribadian dan masalah kejiwaan.
Dalam melaksanakan tugasnya itu PK
berperan sebagai pekerja sosial, yakni
membantu meringankan serta memberikan
suatu cara atau terapi dalam memecahkan
masalah pribadi maupun masalah sosial
kliennya. Berkenaan dengan hal tersebut di
atas seorang sarjana Amerika Walter A.
Fridlander mengatakan:
Pekerjaan sosial adalah suatu
pelayanan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan
keterampilan
dalam
hubungan
kemanusiaan yang membantu perseorangan
atau kelompok untuk mencapai kepuasan
dalam kebebasan pribadi atau sosial. 5
Dari definisi tersebut diatas terlebih
menekankan bahwa pekerjaan sosial itu
merupakan suatu profesi yang berdasarkan
ilmu
pengetahuan
khususnya
untuk
mencapai
suatu
keseimbangan
atau
keserasian dalam hidup. Sedangkan definisi
pekerjaan sosial menurut Prof. Mr. Sumantri
Proptokusumo adalah :
Pekerjaan sosial adalah bergerak
untuk mewujudkan usaha untuk memberikan
kesempatan kepada seseorang untuk
5
M. Iso Sumhudi, Pengantar Pekerjaan sosial, Fak.
Ilmu-ilmu Sosial Universitas Muhammadiyah,
Jakarta, 1976, hal.9
9
memperkembangkan pribadinya seluas
mungkin hingga ia dapat berpartisipasi pada
kehidupan masyarakat secara penuh dan
memberikan bantuan pada seseorang yang
karena kesukaran-kesukaran baik extrimsik
maupun intrinsic, supaya ia kemudian dapat
berpartisipasi pada kehidupan masyarakat
penuh dan berguna, hingga terwujudnya
derajat hidup yang sesuai dengan martabat
manusia. 6
Dari definisi di atas dapat kita ketahui
bahwa pekerjaan sosial mempunyai arti tidak
jauh berbeda dengan sistem pemasyarakatan
di dalam pelaksanaan pembinaannya yaitu
memberikan kesempatan pada klien untuk
mengembangkan kepribadiannya seluas
mungkin agar klien dapat berintegrasi penuh
pada kehidupan masyarakat, sehingga
terwujud derajat hidup sesuai dengan
martabat manusia.
Pembinaan Narapidana yang berada di
luar Lembaga Pemasyarakatan ini pada
hakekatnya merupakan bagian dari suatu
sistem pembinaan Narapidana yang disebut
Sistem
Pemasyarakatan.
Dalam
melaksanakan
tugasnya
Balai
Pemasyarakatan (Bapas) menangani baik
klien dewasa / pemuda maupun anak-anak,
sedangkan jenis klien yang dibimbingnya
ada klien Pembebasan Bersyarat, Cuti
Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.
Namun seperti telah penulis kemukakan
bahwa penulisan skripsi ini terbatas pada
Narapidana penjara dewasa yang mendapat
Pembebasan Bersyarat (klien dewasa
Pembebasan Bersyarat).
Sebenarnya
adanya
Balai
Pemasyarakatan (Bapas) adalah merupakan
pengembangan dari Reklasering yang
didirikan pada tahun 1926 dengan ordonasi
tahun
1926
Stbl
No.251
namun
pelaksananya tidak berjalan lancar.
Jika terdapat terpidana di Lembaga
Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro yang
telah menjalani 2/3 (dua per tiga) dari masa
6
pidananya atau sekurang-kurangnya 9
(Sembilan) bulan, maka Tim Pengamat
Pemasyarakatan (TPP) mengadakan sidang
dalam rangka peningkatan pembinaan, yaitu
memasuki tahap integrasi. Apabila dalam
pengamatan dan penilaian Tim Pengamat
Pemasyarakatan (TPP) Narapidana tersebut
memenuhi persyaratan dan memungkinkan
untuk memasuki tahap integrasi maka
Narapidana itu diusulkan Pembebasan
Bersyarat.
Proses yang ditempuh pertama kali
Kepala Lembaga Pemasyarakatan, setelah
warga binaan tersebut aktif dalam menjalani
program pembinaan baik pembinaan
kemandirian maupun kepribadian, dan
hampir menjalani 2/3 dari masa pidana dan
dikurangi remisi yang diperoleh, maka
proses selanjutnya meminta bantuan kepada
pihak Balai Pemasyarakatan (Bapas) untuk
mengadakan penelitian kemasyarakatan
terhadap Narapidana tersebut di wilayah
lingkunganya dimana akan menjalani
integrasinya, hal ini untuk mengetahui
apakah lingkungan tersebut memungkinkan /
mendukung atau tidaknya untuk pelaksanaan
integrasi atau Pembebasan Bersyarat.
Kepala Balai Pemasyarakatan (Bapas)
setelah
menerima
permintaan
untuk
membuat Laporan Litmas dari Lembaga
Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro,
selanjutnya memerintahkan kepada seorang
petugas Pembimbing Kemasyarakatan untuk
mengadakan penelitian guna pembuatan
Litmas. LITMAS (Laporan Penelitian
Masyarakat) dibuat menurut sistematika
sebagai berikut :
1. Identitas Narapidana dan orang tua / wali
serta isteri (karena Narapidanya laki-laki),
yang meliputi : Nama, jenis kelamin,
tempat/tanggal lahir, agama, suku bangsa/
kebangsaan, pendidikan, pekerjaan dan
alamat terakhir.
2. Susunan keluarga hasil perkawinan klien
(bagi yang telah menikah, bagi yang
belum menikah dicantumkan, susulan
keluarga orang tuanya)
Ibid, hal.12
10
3. Riwayat singkat kejadian, motif dan latar
belakang perbuatannya
4. Keadaan keluarganya, yang meliputi :
a. Riwayat orang tua : perkawinan dan
hubungan antar keluarga
b. Tanggapan orang tua / keluarga klien
c. Keadaan ekonomi klien
d. Susunan keluarga yang serumah
5. Keadaan rumah dan lingkunganya
6. Tanggapan-tanggapan dari pihak korban,
masyarakat (pemerintah setempat)
7. Simpulan dari penelitian
8. Saran tentang dapat atau tidaknya
pelaksanaanya atau integrasi
Hasil penelitian ini disampaikan
kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan
Klas II A Bojonegoro sebagai kelengkapan
dalam pengusulan Pembebasan Bersyarat
dimana Pembimbing Kemasyarakatan yang
membuat Litmas turut serta di dalam
persidangan tersebut untuk memberikan
penjelasan lebih lanjut tentang Laporan
Penelitian Masyarakat (Litmas) yang
dibuatnya dan ikut menetapkan dapat
tidaknya Narapidana tersebut diusulkan
untuk mendapatkan Pembebasan Bersyarat.
Jika
sidang
Tim
Pengamat
Pemasyarakatan (TPP) bahwa Narapidana
yang bersangkutan dapat diintegrasikan,
maka hasil sidang disampaikan kepada
Kepala Lembaga Pemasyarakatan, yang
selanjutnya di usulkan kepada Kepala Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Jawa Timur, bila usulan tersebut
disetujui maka terhadap Narapidana itu
diberikan Surat Keputusan (SK) Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI yang
didalamnya terdapat Ekspirasi Pembebasan
Bersyarat dan ketentuan tentang hal-hal yang
tidak boleh dilanggar selama menjalani masa
percobaan.
Setelah
melapor
kepada pihak
Kejaksaan Negeri Bojonegoro selaku
pengawas dalam proses Pembebasan
Bersyarat terhadap Narapidana yang
dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan
Klas II A Bojonegoro, kemudian pihak
Lembaga Pemasyarakatan Klas II A
Bojonegoro juga menyerahkan kepada pihak
Balai Pemasayarakatan (Bapas) selaku
pembimbing Narapidana diluar Lembaga
Pemasyarakatan.
Disinilah seorang Petugas Pembimbing
Kemasyarakatan
mulai
memberikan
bimbingan terhadap klienya, sedangkan
lamanya bimbingan yang diberikan kepada
klien Pembebasan Bersyarat sama dengan
lamanya sisa waktu (masa pidana) yang
belum dijalankan ditambah 1 (satu) tahun.
Pelaksanaan bimbingan ditempuh
melalui dua cara yaitu selain mewajibkan
klien untuk datang ke Balai Pemasyarakatan
(Bapas) juga Pembimbing Kemasyarakatan
mengadakan kunjungan ke rumah klien, ke
tempat klien bekerja atau ke sekolah jika
masih sekolah. Teknik yang kedua tersebut
disebut dengan home visit, yang maksudnya
untuk mengetahui lebih jauh lagi keadaan
serta perkembanganya selama dalam masa
pembinaan.
Pelaksanaan pembinaan terhadap klien
yang mendapat Pembebasan Bersyarat
sifatnya adalah melanjutkan pembinaan yang
telah dilakukan oleh pihak Lembaga
Pemasyarakatan atau dengan perkataan lain
memantapkan program pembinaan yang
diberikan pada saat klien masih berada di
Lembaga Pemasyarakatan.
Peranan Pembimbing Kemasyarakatan
adalah mengembalikan fungsi sosial sesuai
dengan status yang dimiliki klien baik
sebagai anggota keluarga maupun sebagai
anggota masyarakat. Jadi Pembimbing
Kemasyarakatan sangat menentukan dalam
tercapainya tujuan pembinaan di luar
Lembaga
Pemasyarakatan, khususnya
dalam hal ini terhadap klien Pembebasan
Bersyarat. Disamping berperan sebagai
Pembimbing Kemasyarakatan juga sekaligus
sebagai pekerja sosial untuk itu diperlukan
kepribadian yang baik, berpendidikan dan
berpengalaman di bidang sosial, kemudian
mampu melaksanakan prinsip dan metode
yang telah ditentukan. Hal itu sejalan dengan
pendapat
Dressele,
sebagai
seorang
11
Pembimbing
Kemasyarakatan
harus
memiliki kualifikasi sebagai berikut:
1. Kepribadian
Kemampuan emosional, berpandangan
yang luas, berkemampuan belajar dari
pengalaman, mempunyai perhatian yang
sungguh-sungguh dalam lapangan probation
dan parole, seorang yang berkarkater baik
dan
seimbang
kepribadiannya,
berkemampuan bekerja sama dengan orang
lain, berpengetahuan tentang tingkah laku
manusia dan berpengetahuan luas tentang
masyarakat.
2. Pendidikan
Pendidikan
sekolah
tinggi
kesejahteraan sosial atau Universitas Jurusan
kesejahteraan sosial dan telah melalui kursus
dalam bidang probation parole.
3. Pengalaman
Berpengalaman kerja dalam bidang
lapangan kesejahteraan sosial minimal
setahun atau sebelumnya pernah bertugas
dalam Lembaga Pemasayarakatan.7
Proses pembinaan yang dilaksanakan
oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) melalui
Pembimbing
Kemasyarakatannya
dilaksanakan melalui 3 (tiga) tahap yang
didasarkan
kepada
kebutuhan
dan
permasalahan yang dihadapi klien, yakni
meliputi :
a. Bimbingan Tahap Awal
Kegiatan yang dilakukan pada bimbingan
tahap awal ini antara lain :
1) Penelitian kemasyarakatan
2) Menyusun rencana program bimbingan
3) Pelaksanaan program bimbingan
4) Penelitian pelaksanaan program tahap
awal
dan
penyusunan
rencana
bimbingan tahap lanjut.
b. Bimbingan Tahap Lanjutan
Yang termasuk dalam kegiatan tahap ini
antara lain :
1) Pelaksanaan program bimbingan
7
Soemarsono A. Karim, Suatu Tinjauan Tentang
Kebijaksanaan dan Program Balai Bispa Dalam
Pembinaan Tuna Warga, STKS, Bandung 1978,
hal.26
2) Penilaian pelaksanaan program tahap
lanjutan dan penyusunan rencana
bimbingan tahap akhir.
c. Bimbingan Tahap Akhir
Kegiatan bimbingan yang termasuk dalam
tahap akhir meliputi :
1) Pelaksanaan program bimbingan
2) Meneliti keseluruhan nilai hasil
pelaksanaan program bimbingan
3) Mempersiapkan
klien
untuk
menghadapi akhir masa bimbingan dan
mempertimbangkan
akan
kemungkinan pelayanan bimbingan
tambahan
4) Mempersiapkan surat keterangan akhir
masa bimbingan
5) Mengakhiri masa bimbingan klien
dengan diwawancarai oleh Kepala
Balai Pemasyarakatan (Bapas)
Sedangkan tahap-tahap pembinaan
tersebut diatas ditetapkan oleh Tim
Pengamatan Pemasyarakatan (TPP) Balai
Pemasyarakatan (Bapas) melalui sidang.
Kemudian wujud bimbingan yang
diberikan kepada klien didasarkan pada
masalah dan kebutuhan klien pada saat
sekarang dan masa mendatang yang
disesuaikan dengan kehidupan keluarga dan
lingkungan masyarakat dimana klien
bertempat tinggal.
Wujud bimbingan tersebut berupa
pilihan salah satu jenis bimbingan atau
memadukan beberapa pilihan yang sesuai
dengan kebutuhan klien, hal itu antara lain :
1. Pendidikan agama
2. Pendidikan budi pekerti
3. Bimbingan penyuluhan perorangan atau
kelompok
4. Pendidikan formal
5. Kepramukaan
6. Pendidikan keterampilan kerja
7. Pendidikan kesejahteraan keluarga
8. Kepustakaan
9. Dan bentuk usaha-usaha lainnya yang
memungkinkan
membantu
jalanya
bimbingan klien.
Sebetulnya juga diperlukan psikoterapi
dan psikiatri, namun tenaga ahli ini belum
12
ada yang secara khusus membantu Balai
Pemasyarakatan
(Bapas)
dalam
melaksanakan bimbingannya. Jadi bila
terdapat klien Balai Pemasyarakatan (Bapas)
yang memerlukan tenaga ahli tersebut
Pembimbing Kemasyarakatan hanya sebatas
menyarankan atau mengupayakan datang ke
ahli (rumah sakit ) dimaksud.
Selama
klien
masih
dibawah
bimbingan Balai Pemasyarakatan (Bapas)
maka segala kegiatan Pembimbingan
Kemasyarakatan dalam perkembangan klien
yang dibimbingnya dilaporkan kepada
Kepala Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Timur
dan tembusanya disampaikan kepada Kepala
Kejaksaan Negeri di wilayah klien tinggal
yang menjadi pengawasanya serta kepada
Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II A
Bojonegoro. Laporan tersebut dibuat dalam
waktu sebulan sekali (Lapbul), triwulan dan
tahunan.
Berakhirnya masa bimbingan klien
Pembebasan Bersyarat dilaporkan kepada
atasanya, Kejaksaan Negeri dan Lembaga
Pemasyarakatan Klas II A Bojonegoro dapat
berjalan dengan baik meskipun belum
mencapai hasil yang maksimal, termasuk
pembinaan Narapidana pada tahap integrasi
khususnya Pembebasan Bersyarat.
D. Pengaruh Pembebasan Bersyarat
Terhadap Masyarakat
Tujuan yang hendak dicapai dalam
pembinaan pelanggar hukum berdasarkan
konsepsi sistem Pemasyarakatan khususnya
yang dikenakan pidana penjara adalah
pemulihan kesatuan hubungan antara
pelanggar hukum yang bersangkutan dengan
masyarakat.
Pembinaan pelanggar hukum secara
institusional (penutupan didalam Lembaga
Pemasyarakatan) menyulitkan usaha-usaha
untuk menciptakan interaksi positif dengan
sistem nilai yang berlaku ditengah-tengah
masyarakat dan karena hal tersebut sulit
untuk mencapai pemulihan kesatuan
hubungan antara pelanggar hukum yang
bersangkutan dengan masyarakat.
Pembinaan pelanggar hukum yang
bersifat dominan institusional hanya
dibenarkan terhadap pelanggar hukum
Narapidana
yang
sungguh-sungguh
merupakan bahaya langsung terhadap
keselamatan masyarakat dan pelanggar
hukum yang bersangkutan memerlukan
pembinaan yang intensif. Khusus bagi
pelanggar-pelanggar hukum Narapidana dari
kategori tersebut, di dalam dunia korensi
disebut pelanggar-pelanggar hukum residual
(residual offenders).
Untuk mencapai tujuan dimaksud,
sistem Pemasyarakatan memiliki tahap-tahap
pembinaan, dimana pada tahap pembinaan
yang terakhir atau yang lebih dikenal dengan
tahap integrasi bagi Narapidana yang telah
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
Undang-Undang dapat diusulkan untuk
mendapatkan pembinaan diluar Lembaga
Pemasyarakatan,
salah
satu
wujud
pembinaan dimaksud adalah Pembebasan
Bersyarat. Namun dalam pelaksanaanya
seorang Narapidana yang dibebaskan dengan
Pembebasan Bersyarat tidak semudah
sebagaimana yang dibayangkan khususnya
dalam proses integrasi dengan masyarakat.
Menurut pendapat beberapa orang
Pembimbing
Kemasyarakatan
yang
menangani masalah Pembebasan Bersyarat
ini, pada awal Narapidana tersebut
berintegrasi biasanya akan menemui
hambatan, dimana penerimaan masyarakat
terhadap Narapidana khususnya yang
dibebaskan dengan Pembebasan Bersyarat
masih sangat kurang, hal ini antara lain
disebabkan karena :
1. Pandangan atau citra masyarakat terhadap
Lembaga Pemasyarakatan khususnya
Narapidana kurang baik.
2. Stigma terhadap orang-orang yang baru
selesai menjalani pidana di Lembaga
Pemasyarakatan tidak mudah hilang
3. Proses pembinaan Narapidana dengan
menggunakan Sistem Pemasyarakatan
belum berjalan sebagaimana mestinya.
13
4. Masyarakat pada umumnya masih belum
mengerti
dan
memahami
tentang
Pembebasan Bersyarat.
Persepsi yang kurang baik (negatif)
dari masyarakat tersebut sangat berpengaruh
terhadap jalanya pelaksanaan pembinaan
Narapidana ditengah-tengah masyarakat.
Dengan sendirinya Narapidana tadi akan
mengalami kesulitan dalam berintegrasi,
sebab masyarakat cenderung mengisolasi
(mengucilkannya) dari pergaulan.
Jika kelakukan yang demikian itu
(diskriminasi) berkepanjangan maka tidak
menutup kemungkinan Narapidana yang
sedang menjalani masa Pembebasan
Bersyarat itu akan mempunyai perasaan
dendam
terhadap
masyarakat
yang
mengisolasinya. Hal ini dapat muncul
sebagai alat pemicu mereka melakukan
kejahatan lagi, walaupun sebelum keluar dari
Lembaga Pemasyarakatan mereka tidak
mempunyai niat / maksud untuk melakukan
pelanggaran hukum lagi.
Melihat kondisi yang demikian
Pembimbing Kemasyarakatan yang bertugas
selaku
pembina
di
luar
Lembaga
Pemasyarakatan kalau perlu mengintensifkan
pembinaan yang telah berjalan. Tugas
Pembimbing Kemasyarakatan memang
sangat berat tetapi mulia, disamping
berperan mengembalikan fungsi sosial juga
membantu terhadap segala permasalahan
yang
dihadapi
kliennya,
termasuk
diantaranya
berusaha
menghilangkan
prasangka dari masyarakat dengan jalan
mengadakan
pendekatan-pendekatan,
penerangan-penerangan, ataupun penjelasan
kepada masyarakat tersebut, sehingga
masyarakat mengerti dan sedikit demi sedikit
akan
merubah
sikap
yang
tidak
menguntungkan tadi.
Kembali kepada teori Pemasyarakatan
yang menyatakan bahwa masyarakat adalah
merupakan faktor yang sangat penting dalam
menentukan tercapainya tujuan pembinaan
Narapidana.
Keberhasilan
pembinaan
Narapidana
didalam
Lembaga
Pemasyarakatan, belum merupakan jaminan
bahwa Narapidana akan baik seterusnya.
Sebab setelah melalui proses pembinaan di
Lembaga Pemasyarakatan dan Narapidana
siap terjun kembali ke masyarakat, didalam
hatinya selalu timbul pertanyaan sudikah
masyarakat menerimanya?
Narapidana adalah anggota masyarakat
yang untuk sementara waktu dicabut
kemerdekaan bergeraknya dan ditempatkan
di Lembaga Pemasyarakatan, dimana ia akan
kembali ke masyarakat bila bebas nanti.
Lebih dari itu masyarakat sedikit banyaknya
memberikan andil dalam hal tumbuhnya
kejahatan, oleh karena itu masyarakat harus
ikut bertanggung jawab dan harus memberi
bantuan
dalam
menerima
kembali
Narapidana. Satherland mengatakan dalam
bukunya Azas-azas Krimonologi, bahwa
terdapat hubungan antara kejahatan dengan
masyarakat ia mengatakan sebagai berikut :
Memang
bahwa
kejahatan
itu
bersumber di masyarakat, masyarakat yang
memberi kesempatan untuk melakukan
kejahatan dan masyarakat sendiri yang akan
menanggung akibat dari kejahatan itu.8
Di dalam sistem Pemasyarakatan juga
dikatakan bahwa pembinaan yang dilakukan
menitik beratkan kepada :
a. Tidak secara ekslusif ditujukan kepada
individu pelanggar hukum sebagai
anggota masyarakat yang memiliki sifatsifat jahat dalam pribadinya.
b. Melainkan kepada pemulihan kesatuan
hubungan masyarakat sebagai akibat
retaknya hubungan yang tidak sematamata karena disebabkan oleh sifat-sifat
pribadi pelanggar hukum, melainkan juga
disebabkan karena kegagalan-kegagalan
masyarakat sendiri dalam menjaga dan
memelihara integritasnya. 9
8
Edwin H. Sutherland (Sadura Momon Martasaputra,
SH), Azas-Azas Krimonologi, Bandung, Alumni,
1969, hal.106
9
Kedudukan Dan Fungsi Pemasyarakatan Serta
Hambatan-Hambatan
Dalam
Kelaksanaanya,
Direkrtorat Jenderal Pemasyarakatan, 1982 / 1983 hal.
12
14
Berdasarkan hal tersebut diatas penulis
berpendapat bahwa karena kejahatan itu
bersumber di masyarakat dan dilakukan oleh
anggota masyarakat, maka masyarakat harus
ikut bertanggung jawab dalam hal menerima
kembali para pelanggar hukum tersebut dan
diharapkan turut aktif dalam membimbing
mereka, agar dapat menjadi warga
masyarakat yang berguna serta patuh dan
taat terhadap nilai dan norma yang berlaku di
masyarakat.
KESIMPULAN
1. Masalah pembebasan bersyarat diatur di
dalam pasal 15 sampai dengan 17 KUHP.
Agar seorang Narapidana dapat diusulkan
Pembebasan Bersyarat maka harus
memenuhi
beberapa
persyaratan.
Diantaranya seperti yang tercantum
didalam pasal 15 ayat 1 KUHP yakni
orang yang dihukum penjara boleh
dilepaskan dengan persyaratan, bila telah
menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa
pidananya
dan
sekurang-kurangnya
paling sedikit 9 (sembilan) bulan dari
pada masa pidananya. Sedangkan
persyaratan
lainnya
diatur
dalam
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI Nomor M.01-PK.0410 tahun
2007 yang meliputi
persyaratan
administratif dan subtantif. Dimana
Narapidana yang sudah menjalani 2/3
(dua pertiga) masa pidananya maka dia
berhak untuk mengajukan Pembebasan
Bersyarat
dan
harus
memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan.
2. Pembinaan Narapidana tidak hanya
dilaksanakan
didalam
Lembaga
Pemasyarakatan
saja,
tetapi
juga
dilaksanakan
diluar
Lembaga
Pemasyarakatan atau ditengah-tengah
masyarakat, salah satu pembinaan
dimaskud adalah melalui Pembebasan
Bersyarat.
Dalam
pelaksanaanya,
pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Klas II A Bojonegoro yang dijadikan
sebagai
dasar
guna
pembinaan
selanjutnya
diluar
Lembaga
Pemasyarakatan sudah menunjukkan hasil
yang maksimal, karena Tim Pengamat
Pemasyarakatan (TPP) sudah sesuai
dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya, sehingga proses pembinaanya
sudah berjalan sebagaimana yang
diharapkan.
3. Belum
terlaksananya
pembinaan
Narapidana dengan cara Pembebasan
Bersyarat secara maksimal disebabkan
oleh karena :
a. Sistem
Pemasyarakatan
yang
diperlukan sebagai sistem pembinaan
di Indonesia belum dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan, sehingga
antara dassein dan sollenya masih
terdapat perbedaan.
b. Kurangnya
jumlah
petugas
Pemasyarakatan dalam melaksanakan
tugas-tugasnya
selaku
Pembina
Narapidana
atau
Pembimbing
Kemasyarakatan.
c. Masyarakat
belum
sepenuhnya
memberikan dorongan positif terhadap
penerimaan
Narapidana
yang
mendapat
pembinaan
dengan
Pembebasan Bersyarat, sebab masih
banyak kalangan masyarakat yang
belum mengerti dan memahami
tentang pembinaan tersebut.
d. Perlunya ahli psikolog
yang
mengarahkan mentalitas Narapidana.
e. Seluruh unsur-unsur yang terlibat baik
instansi
Pemerintah,
organisasi
masyarakat, dan masyarakat itu sendiri
kurang
aktif
atau
tingkat
kepeduliannya masih rendah dalam
mewujudkan tujuan pembinaan yang
dimaksud.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Dari
Sangkar Ke Sangkar suat Koitmen
Pengayoman, Jakarta 1979.
Direktorat
Jenderal
Pemasyarakatan,
Kedudukan
dan
Fungsi
Pemasyarakatan Serta Hambatan-
15
hambatan dalamPelaksananya, Jakarta
1982.
Character, Bandung, LPKDM Suka
Miskin 1967.
Sahardjo, Pohon Beringin Pengayoman,
Pidato penganugerahan Gelar Doktor
Honoris Causa, 5 Juli 1963.
Soerjobroto,
Bahrudin,
Fungsi
Pemasyarakatan
Dalam
Negeri
Pancasila,Bandung, LPKDM Suka
Miskin, 1967.
Hendrosusilo, Waliman, R. Pembinaan Tuna
Warga di Luar Lembaga, Work.
Shop Pemasyarakatan, Jakarta Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional 1971.
Karim
Soemarsono,
Suatu
Tentang
Kebijaksanaan dan Program Balai .
Bispa dalam Pembinan Warga, Bandung,
STKS 1978
Sarasehan dan Pertemuan Nasional kedua
IKA-AKIP,
dengan
tema
;
Peningkatan Sistem Permasyarakatan
Pada Pelita VI, Bandung, IKA-AKIP
1994.
Soerjobroto,
Dalam
Bahrudin, Pemasyarakatan
Nation
Bauilding
dan
Soerjobroto, bahrudin, Pelaksanaan Sistem
Pemasyarakatan, Majalah Pembinaan
Hukum Nasional Nomor 16 Tahun V,
Jakarta 1972.
Soemadipradja, S Ahmad R dan Atmasasmia
Romli. Sistem Pemasyarakatan di
Indonesia, Jakarta PN Balai Pustaka
1985.
Sumbedi, Isom, M. Pengantar Pekerjaan
Sosial, Jakarta Fakultas Ilmu-ilmu
Sosial Universitas Muhamadiyah.
1976.
Suherland, Edwin, H. Tentang Azas-azas
Krimonologi, Bandung 1969.
16
Download