BAB III - Digital Library UWP

advertisement
BAB III
3.1 MECIPTAKAN
KESETARAAN
PEMASYARAKATAN
ANTAR
PENGHUNI
LEMBAGA
Hukum sebagai salah satu proses (produk) manusia (sebagai aktor) dalam
membangun dunianya bisa dicermati atau ditelaah melalui interaksi yang
berlangsung dalam masyarakat. Fenomena ini mampu menampilkan sisi
hukum
lebih
mengedepankan
persoalan
yang
berkembang
dalam
masyarakat. Aktivitas masyarakat terus-menerus dalam kehidupan sehari-hari
memberikan makna penting bagi pembentukan hukum.
Di Indonesia banyaknya jumlah petugas Lembaga pemasyarakatan tidak
menjamin akan menyelesaikan persoalan di lapas yang terjadi belakangan ini.
Yang terpenting bagaimana kualitas petugas lapas yang profesional dan
berintegritas untuk mewujudkan visi lapas yang tertuang dalam Pasal 1 dan
Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 1995 tersebut, bahwa kualitas sumber daya
yang mumpuni mutlak diperlukan. Serta menekankan bahwa persoalan pada
petugas lapas bukan pada kuantitas, melainkan pada kualitas petugas lapas
itu sendiri. Persoalan lain antara lain kekerasan, huru-hara, dan perlakuan
istimewa di lapas. Ada juga masalah kelembagaan terkait pola hubungan
kerja dan aspek tata laksana yang belum berjalan dengan baik, sarana dan
prasarana yang kurang memadai, serta lemahnya sumber daya manusia
(SDM) ini merupakan sedikit contoh persoalan klasik di lapas yang dimana
telah menyimpang keberadaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995.
31
Pada kondisi peradilan pidana memiliki kekuasaan luar biasa besar, mulai
dari Kepolisian, Kejaksaan Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.
Persoalannya, seberapa jauh tugas pemeriksaan perkara dilaksanakan
seperti harapan banyak pihak yang ditunjuk terhadap peradilan, mampu atau
tidak memberikan perlindungan terhadap masyarakat, karena selama ini
muncul bahwa peradilan pidana lebih bersifat formal administratif atau
birokratif. Hal ini muncul sebagai konsekuensi dari semakin superiornya
peradilan dan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan fungsi administrasi
peradilan untuk menanggulangi kejahatan serta membentuk Pelaksanaan
Tentang Kesetaraan Lembaga Pemasyarakatan pada Masyarakat.
Memang tidak mudah dalam menangani narapidana yang dapat terdiri dari
berbagai suku bangsa dan kebudayaan. Namun, fasilitas yang didapatkan
oleh Artalyta Suryani dalam penjaranya sangat tidak adil bagi narapidana
yang lain. Keadaaan penjaranya sungguh sangat kontras dengan keadaan
penjara narapidana yang lain. Artalyta mendapatkan fasilitas pendingin
ruangan atau AC, kulkas, televisi Flat layar datar, Spring Bed, Laptop untuk
browsing Internet, Blackberry, ada juga peralatan Fitnes, Kamar Mandi pribadi
yang didalamnya terdapat WC Duduk, bahkan mempunyai Asisten pribadi/
Pembantu untuk merawat anaknya yang masih kecil dan seorang Dokter
kecantikan untuk perawatan wajah dalam kamarnya. Jika keadaan penjaranya
seperti itu, bukankah sama halnya dengan Artalyta hanya pindah rumah atau
sedang menginap di hotel. Dalam penjaranya, ia dapat melakukan
kegiatannya sehari-hari, bahkan menjalankan bisnisnya. Dalam hukum
pidana, mafia hukum dikategorikan sebagai kejahatan terorganisasi yang
bertujuan menumpulkan mekanisme hukum pidana. Pelakunya mungkin saja
32
perorangan, tapi lebih sering dilakukan organisasi, yang resmi maupun tak
resmi. Tak mengherankan, orang seperti Artalyta bisa berbisnis dari penjara.
Jangankan Artalyta yang standar pengamanannya medium security di penjara
maximum security Nusakambangan, misalnya, terpidana 10 tahun penjara
(semula 15 tahun) Tommy Soeharto juga berbisnis. Urusan bisnis itu diatur
staf-stafnya yang rutin berkunjung. Penghuni Nusakambangan sejak Agustus
2002 hingga April 2006 ini bahkan bolak-balik ke Jakarta, dengan dalih
berobat. Macam-macam sakitnya, ada vertigo, tumor otak, sampai trauma.
Dispensasi sakit ini terus diberikan, hingga menjelang Tommy bebas
bersyarat pada awal Tahun 2007. Hebatnya, meski didera sakit, Tommy aktif
ikut kegiatan donor darah dan kuliah di sebuah kampus swasta di Cilacap.
Dan ini yang parah: terlihat bolak-balik berlibur ke sebuah vila di Sentul,
Bogor. Bahkan, di tempat itu, ia menggelar kompetisi bulu tangkis Hutomo
Cup.
Sementara itu, sekitar 20 tahanan harus berjejal di dalam sel berukuran
sekitar 5 x 6 meter, tidur beralaskan kasur tipis di atas ranjang ubin keramik,
dan berebut satu kamar mandi plus kakus seluas 2 meter persegi yang hanya
dibatasi sekat setinggi satu meteran. Sel tahanan yang sumpek itu masih
disesaki aneka jemuran pakaian dan handuk milik para tahanan. Sanitasi
penjara tempat para tahanan wanita melalui hari-harinya itu sungguh tak
memadai. Yang membuat makin miris, di antara para tahanan wanita yang
berjejal di sel sempit itu terdapat sejumlah tahanan yang tengah hamil. Seperti
tahanan lainnya, mereka yang berbadan dua juga menempati kamar yang
sama, sumpek dan bersanitasi buruk. Sungguh pemandangan yang kontras.
Padahal jika dibandingkan, kasus yang membuat mereka di penjara sangat
33
jauh berbeda. Artalyta masuk penjara karena terbukti menyuap Jaksa Urip
bahkan merugikan negara ini. Sementara narapidana lain pada umumnya
tersangkut kasus yang hanya merugikan sebagian masyarakat. Namun
fasilitas yang diberikan pada Artalyta sangat “mewah”. Padahal, banyak yang
dirugikan akibat kasusnya. Akibatnya muncul berbagai rasa ketidakadilan
pada narapidana lain khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Peristiwa rumah tahanan Artalyta ini melanggar atau tidak selaras dengan
nilai-nilai dan norma yang ada pada pancasila, khususnya sila ke-2 dan ke-5.
Nilai dan norma-norma yang terkandung dalam pedoman penghayatan dan
pengamalan pancasila (Ekaprasetya pancakarsa) berdasarkan Tap. MPR No.
II/MPR/1978 adalah: Sila kemanusiaan yang adil dan beradab
a. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban
antara sesama warga negara.
b. Saling mencitai sesama manusia.
c. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepo sliro.
d. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
e. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
f. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
g. Berani membela kebenaran dan keadilan.
h. Bangsa indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat
manusia, karena itu dikembangkan sikap saling menghormati dan bekerja
sama dengan bengsa lain. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia
34
Peristiwa tersebut tidak selaras dengan nilai-nilai di atas, diantaranya
adalah pada kasus tersebut, tidak diakui persamaan derajat, persamaan hak,
dan persamaan kewajiban antara sesama warga negara (sila ke-2), tidak
bersikap adil (sila ke -5). Pada sila ke-2, kasus ini tidak mengakui persamaan
derajat dan hak antara tahanan yang “kaya” dengan rakyat biasa. Hal ini
terlihat pada keadaan sel tahanan yang kontras antara keduanya. Artalyta
yang “nyaman” dengan segala fasilitasnya, sedangkan narapidana lain yang
kurang
terpenuhi hak
proposionalnya.
Pada
sila
ke-5, jelas
terjadi
ketidakadilan pada narapidana biasa.
Hal ini juga tidak sesuai dengan pasal 27 ayat 1, UUD 1945,” Segala warga
negara disamakan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Pada kasus tersebut, terlihat tidak adanya persamaan kedudukan antara
golongan pejabat dan rakyat biasa. Hal ini terlihat pada kesenjangan fasilitas
pada sel yang ditempati. Selain itu, terjadi ketidak sesuaian juga dengan
“wajib menjunjung tinggi hukum” pada pasal tersebut karena dengan
kesenjangan fasilitas, dimungkinkan adanya “perjualbelian hukum” yang
berarti pelakunya tidak menjunjung tinggi hukum, baik pelaku maupun aparat
“penjual beli hukum”. Untuk menyamaratakan fasilitas dalam penjara, dapat
dilakukan dengan cara berikut;
1.
Pemerintah menyediakan dana yang lebih besar bagi penjara-penjara
agar hak narapidana dapat terpenuhi. Hal ini dilakukan agar dapat
terpenuhinya fasilitas yang menjadi hak proporsionalnya narapidana. Jika
dana dari pemerintah kurang lancar, dikhawatirkan aparat akan mencari
35
dana lain, misalnya saja dengan memberikan fasilitas khusus pada
narapidana yang kaya
2. Dalam kasus pidana, baik yang dilakukan oleh petinggi-petinggi negara
maupun warga sipil, aparat pemerintah diharapkan bertindak jujur dan
sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Tidak memberikan
fasilitas khusus terhadap petinggi negara tersebut karena dapat terjadi
kesenjangan dengan narapidana yang lain, baik sosial maupun fasilitas.
3. Adanya penjara yang khusus bagi petinggi-petinggi negara yang
tersandung
kasus atau dengan memberikan baju tahanan yang
bertuliskan kasusnya, misalnya koruptor, agar dapat membuat para pelaku
lebih menyadari kesalahannya mengingat fungsi penjara yang saat ini
sebagai lembaga
pembinaan
kesadaran agar nantinya
narapidana
serta
menumbuhkan
narapidana tersebut lebih berhati-hati dalam
menjalankan tugasnya dipemerintahan.
Melihat contoh di negara lain, seharusnya Satgas serius mengkaji kasus
Artalyta cs. Tidak mungkin mereka bertindak sendiri meminta "fasilitas"
kepada pejabat penjara, apalagi sampai melobi pejabat di luar penjara.
Mereka pasti butuh perantara. Bisa pengacara, pejabat penjara atau
Depkumham, atau sejenis "orang kuat" lain sebagai makelarnya. Satgas
Pemberantasan Mafia Hukum mungkin bisa belajar dari Komisi Presiden
untuk Penegakan Hukum dan Administrasi Peradilan (US President's
Commission on Law and Administration of Justice), yang dibentuk semasa
Presiden Lyndon Johnson pada 1967. Komisi ini banyak melakukan kajian
dan menghasilkan rekomendasi bermutu untuk pembenahan hukum di
36
Amerika, karena bisa menemukan "akar masalah" lemahnya penegakan
hukum. Oleh sebab itu, semua pihak baik aparat pemerintah maupun
masyarakat harus dapat bekerjasama dengan baik apabila ada permasalahan
yang seperti ini. Masyarakat dapat melaporkan pada pemerintah apabila ada
“kecurangan” dalam lembaga pemasyarakatan, sedangkan pemerintah harus
dapat bertindak tegas apabila ada aparatnya yang berbuat menyalahi hukum.
Hukum adalah karya manusia yang berupa norma-norma berisikan
petunjuk-petunjuk tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari
kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan
kemana harus diarahkan. Oleh karena itu, pertama-tama hukum mengandung
rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum itu
diciptakan. Ide-ide ini adalah ide mengenai keadilan.29
Kontrol terhadap aparatur Peradilan dalam model Due Process yakni
prinsip yang banyak ditonjolkan dalam proses peradilan yang adil dan layak
(due process) selalu mengacu pada perlakuan-perlakuan pentingnya proses
pemeriksaan dilaksanakan melalui aturan formal yang memberikan jaminan
terhadap hak setiap individu. Due procces selalu berkaitan erat dengan etika
pemeriksaan perkara atau merujuk pendapat Samuel Walker, selalu berkaitan
dengan model yang ideal dan model pelayanan. (moral yang dipertanyakan).30
Agar
supaya
sistem
pemasyarakatan
dalam
operasionalnya
tidak
mengalami pembusukan yang diakibatkan oleh terbatasnya daya dukung
sistem, maka di dalam Undang-Undang tentang Sistem Pemasyarakatan,
29
30
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hlm: 18.
Lihat : Sam S. Souryal, Ethics in Criminal Justice, Cipta Manunggal, Jakarta, 1999, hlm: 457.
37
harus mengatur dan meregulasi ke empat kebutuhan sistem tersebut yang
meliputi :
a) Aspek ekonomi yaitu aspek yang terkait dengan kebutuhan sistem dalam
menyelenggarakan dan mengoperasionalkan sistem tersebut
yang
meliputi: sub sistem sumber daya manusia (kualifikasi kompetensi,
kesejahteraan, dll) keuangan dan sarana serta prasarana lainnya
(bangunan, perumahan, sarana keamanan dan lain-lain).
b) Aspek politik yaitu yang terkait dengan political will sejauh mana batasbatas kewenangan
yang dimiliki oleh sistem tersebut. Dalam kaitan ini
maka kewenangan untuk mengelola manusia (beserta barangnya) yang
berhadapan dengan hukum (pidana) adalah merupakan kewenangan dari
Kementerian Hukum dan HAM. Dengan demikian maka core businness
dari sistem pemasyarakatan adalah menangani semua aspek yang
berkaitan dengan pelaksanaan dari kebijakan sistem peradilan pidana, baik
yang menyangkut orang maupun yang menyangkut barang agar
pelaksanaan upaya paksa atau pemidanaan dalam proses penegakan
hukum tersebut tidak melanggar hak asasi manusia.
c) Aspek sosial yaitu proses yang mengatur hubungan internal diantara sub
sistem tersebut serta hubungan eksternal antara sub sistem tersebut
dengan sub sistem lainnya. Meskipun pemasyarakatan dipandang sebagai
sebuah sistem akan tetapi ia tidak dapat melepaskan diri dari sistem
besarnya yaitu sistem peradilan pidana. Dalam kaitannya sebagai bagian
dari sebuah sistem (sub sistem) maka pemasyarakatan harus tunduk
kepada mekanisme kontrol dari sub sistem lainnya. Dengan demikian ia
tunduk untuk dikontrol oleh penyidik, penuntut umum dan hakim dalam
38
kaitannya dengan berbagai keputusan yuridis dalam rangka upaya paksa
dalam rangka penegakan hukum. Demikian pula dalam melaksanakan
tugas pembinaan terhadap pelanggar hukum, pemasyarakatan juga
dikontrol oleh Hakim Pengawas dan Pengamat (Hakim Wasmat) untuk
memantau sejauh mana efektifitas pelaksanaan keputusan Hakim yang
berupa pemidanaan ataupun tindakan.
d) Aspek budaya, yaitu aspek (nilai-nilai) yang menjadi dasar untuk
mempertahankan pola-pola yang
dimiliki yakni dengan adanya proses
internalisasi dan sosialisasi melalui mekanisme reward and punishment
sehingga pola-pola tersebut dapat berjalan secara konsisten dan
simultan.31
Adapun nilai-nilai tersebut antara lain terdapat pada prinsip-prinsip pokok
konsepsi Pemasyarakatan, yaitu:
1. Orang yang tersesat diayomi juga dengan memberikan kepadanya bekal
hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat.32 Jelas
bahwa yang dimaksud di sini adalah masyarakat Indonesia yang menuju
ketata masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Bekal
hidup tidak hanya berupa financial dan material, tetapi yang lebih penting
adalah mental, fisik (kesehatan), keahlian, ketrampilan, hingga orang
mempunyai kemauan dan kemampuan yang potensial dan efektif untuk
menjadi warga yang baik, tidak melanggar hukum lagi, dan berguna dalam
pembangunan negara.
31
32
(Sumber:Google,www.correct.
go.id/ind/statistic.html,
Diposkan
Pemasyarakatan diakses jam 21.09, Minggu,tanggal 03 Juli 2011).
oleh
Lembaga
Kajian
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Ctk Pertama, Refika Aditama, Bandung,
2006, Hal: 98.
39
2. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari Negara.33 Maka tidak
boleh ada penyiksaan terhadap narapidana baik yang merupakan tindakan,
ucapan, cara perawatan ataupun penempatan. Satu-satunya derita yang
dialami narapidana hendaknya hanya dihilangkan kemerdekaanya.
3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan dengan
bimbingan.34 Maka kepada narapidana harus ditanamkan pengertian
mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, serta diberi kesempatan
untuk merenungkan perbuatannya yang lampau. Narapidana dapat
diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk merasa hidup
kemasayarakatannya.
4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat
daripada sebelum ia masuk lembaga.35 Untuk itu harus diadakan
pemisahan antara lain:
a) Yang residivist dan yang bukan.
b) Yang tindak pidana berat dan yang ringan.
c) Macam tindak pidana yang dilakukan.
d) Dewasa, dewasa muda, pemuda dan anak-anak.
e) Laki-laki dan wanita.
f) Orang terpidana dan orang tahanan atau titipan.
Pada waktu sekarang pada prinsipnya pemisahan-pemisahan itu memang
dilakukan, walaupun dalam satu bangunan, berhubung masih kekurangan
gedung-gedung untuk pengkhususan itu. Akan tetapi hal ini perlu
33
Ibid
Ibid
35
Ibid
34
40
mendapat perhatian karena pelaksanaannya sukar untuk diadakan
pemisahan dengan sempurna.36
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan
dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya.37 Masalah ini
memang dapat menimbulkan salah pengertian ataupun dianggap sebagai
masalah yang sukar dimengerti. Karena justru pada waktu mereka
menjalani pidana hilang kemerdekaan, yang menurut paham lama ialah
identik dengan pengasingan dari masyarakat, sekarang menurut sistem
pemasyarakatan mereka tidak boleh diasingkan dari masayarakat. Adapun
yang dimaksud sebenarnya di sini bukan “geographical” atau “physical”
tidak diasingkan, akan tetapi “cultural” tidak diasingkan, hingga mereka
tidak asing dari masyarakat dan kehidupan masyarakat. Bahwa mereka
kemudian secara bertahap akan dibimbing di luar lembaga (di tengahtengah
masyarakat),
itu
merupakan
kebutuhan
dalam
proses
pemasyarakatan. Dan memang sistem pemasyarakatan didasarkan pada
pembinaan yang “community centered” serta berdasarkan interaktivitas dan
interdisipliner
approach
antara
unsur
pegawai,
masyarakat,
dan
narapidana.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi
waktu, atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan atau kepentingan
negara sewaktu saja.38Pekerjaan harus satu dengan pekerjaan di
masyarakat dan ditujukan kepada pembangunan nasional. Maka harus ada
integrasi pekerjaan narapidana dengan pembangunan nasional. Potensi36
37
38
(Sumber : Google,www.correct. go.id/ind/statistic.html, Diposkan oleh Lembaga Kajian
Pemasyarakatan diakses jam 21.09, Minggu,tanggal 03 Juli 2011).
Ibid
Ibid
41
potensi kerja yang ada di lembaga harus dianggap sebagai yang integrasi
dengan potensi pembangunan nasional.
7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila.39Maka pendidikan
dan bimbingan itu harus berisikan asas-asas yang tercantum di dalamnya.
Kepada narapidana harus diberikan pendidikan agama serta diberi
kesempatan dan bimbingan untuk melaksanakan ibadahnya. Kepada
narapidana harus ditanamkan jiwa kegotongroyongan, jiwa toleransi, jiwa
kekeluargaan juga kekeluargaan antar bangsa-bangsa. Kepada narapidana
harus
ditanamkan
ditanamkan
jiwa
Narapidana
harus
rasa
persatuan,
bermusyawarah
diikutsertakan
kebangsaan
untuk
Indonesia,
bermufakat
dalam
yang
kegiatan-kegiatan
harus
positif.
untuk
kepentingan bersama dan kepentingan umum.
8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia,
meskipun ia telah tersesat.40Tidak boleh selalu ditunjukkan kepada
narapidana bahwa ia itu penjahat. Sebaliknya ia harus selalu merasa
bahwa ia dipandang dan diperlukan sebagai manusia. Maka petugas
Pemasyarakatan tidak boleh bersikap maupun memakai kata-kata yang
menyinggung
perasaanya,
khususnya
yang
bersangkutan
dengan
perbuatannyua yang telah lampau yang menyebabkan ia masuk lembaga.
Segala bentuk “label” yang negative (cap sebagai orang terpidana)
hendaknya sedapat mungkin dihapuskan, antara lain misalnya:
a. Bentuk dan warna pakaian.
b. Bentuk dan warna gedung atau bangunan.
c. Cara pemberian perawatan, makan, tempat tidur.
39
40
Ibid
Ibid
42
d. Cara pengantaran atau pemindahan narapidana.
e. Dan lain sabagainya.41
9. Narapidana hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan.42Maka perlu
diusahakan supaya narapidana mendapat mata pencaharian untuk
kelangsungan hidup keluarga yang menjadi tanggungannya, dengan
disediakan pekerjaan ataupun dimungkinakn bekerja dan diberi upah untuk
pekerjaanya. Sedangkan untuk pemuda dan anak-anak hendaknya
disediakan lembaga pendidikan (sekolah) yang diperlukan, ataupun yang
diberi kesempatan kemungkinan untuk mendapatkan pendidikan di luar.
10. Sarana fisik bangunan lembaga dewasa ini merupakan salah satu
hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.43 Maka perlu kiranya
mendirikan lembaga-lembaga baru yang sesuai dengan kebutuhan
pelaksanaan program pembinaan, serta memindahkan lembaga-lembaga
yang letaknya di tengah-tengah kota ke tempat yang sesuai dengan
kebutuhan proses Pemasyarakatan.
41
(Sumber
:
Google,www.correct.
go.id/ind/statistic.html,
Diposkan
Pemasyarakatan diakses jam 21.09, Minggu,tanggal 03 Juli 2011).
42
43
oleh
Lembaga
Kajian
Ibid
Ibid
43
Download