HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Bakteri Salmonella Typhimurium ATCC 14028 Sebelum direkontaminasikan ke dalam susu kambing yang telah disterilisasi, bakteri Salmonella Typhimurium ATCC 14028 diperiksa terlebih dahulu karakteristiknya melalui pengamatan terhadap pewarnaan Gram untuk melihat keseragaman bakteri dan ketiadaan kontaminan. Karakteristik S. Typhimurium dapat dilihat pada Gambar 6. Bakteri S. Typhimurium pada pewarnaan Gram menunjukkan sel-sel bakteri yang berwarna merah, hal tersebut karena S. Typhimurium merupakan bakteri Gram negatif. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa bakteri Gram negatif memiliki lapisan peptidoglikan pada dinding sel yang tipis (5%-20%) sehingga ketika dilakukan uji pewarnaan Gram tahap pencucian dengan alkohol, lemak akan terekstraksi dari dinding sel dan pori-pori akan membesar yang menyebabkan kompleks warna basa kristal violet tercuci dan keluar dari dinding sel bakteri. Pewarnaan selanjutnya dengan pewarna safranin menyebabkan sel bakteri berwarna merah karena menyerap warna tersebut. Gambar 6. Karakteristik Bakteri Uji Salmonella Typhimurium ATCC 14028 Pengamatan terhadap morfologi menunjukkan bahwa S. Typhimurium memiliki bentuk batang yang seragam tanpa adanya kontaminan. Karakteristik S. Typhimurium tersebut sesuai dengan penrnyataan D‟Aoust (2000) yang menyebutkan bahwa Salmonella Typhimurium merupakan bakteri Gram negatif, 19 fakultatif anaerob, berbentuk batang, tidak membentuk spora dan memiliki flagella peritrikus sehingga bersifat motil. Bakteri ini memiliki diameter 0,7 - 1,5 µm dengan panjang 2 - 5 µm. Suhu maksimum pertumbuhannya adalah 45 °C, sedangkan suhu optimum pertumbuhannya adalah 35 - 37 °C. Gambar 7. Koloni S. Typhimurium pada Media SSA Koloni Salmonella Typhimurium yang ditumbuhkan dalam tumbuh pada media Salmonella Shigella Agar (SSA) dapat dilihat pada Gambar 7. Bakteri tersebut tidak memfermentasi laktosa, membentuk koloni yang tidak berwarna dan menghasilkan H2S yang menyebabkan warna hitam pada bagian tengah koloni. Warna hitam pada bagian tengah koloni tersebut diakibatkan oleh tiosulfat yang berkombinasi dengan besi (Fe) sebagai indikator terbentuknya sulfida (Oxoid, 2009). Optimasi Dosis Metode Ultraviolet Optimasi metode ultraviolet (UV) bertujuan untuk mendapatkan dosis UV terbaik dalam menginaktivasi total mikroba pada susu kambing segar dengan tetap memertahankan kualitas fisik dan kimianya untuk dikombinasikan dengan metode High Pulsed Electric Field (HPEF). Aplikasi dosis ultraviolet terdiri atas 0 kGy (kontrol), 2,25 kGy (1 reaktor UV), 4,50 kGy (2 reaktor UV) dan 6,75 kGy (3 reaktor UV). Gambar skematik reaktor UV yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 8. 20 Reaktor UV 2 Reaktor UV 1 Reaktor UV 3 7 Gambar 8. Skematik Reaktor Ultraviolet Keterangan: 1 = separating funnel; 2 = reaktor UV; 3 = tabung quartz; 4 = lampu UV; 5 = kran; 6 = selang silikon food grade; 7 = Erlenmeyer (tempat sampel susu kambing) Pengaruh Aplikasi Dosis atau Jumlah Reaktor Ultraviolet yang Berbeda terhadap Kualitas Fisik Susu Kambing Segar Kualitas fisik susu merupakan parameter penting untuk menunjukkan kualitas susu kambing segar dan sangat menentukan untuk pengolahan susu. Pengujian kualitas fisik pada penelitian ini meliputi berat jenis, titik beku, pH, konduktivitas, kalor spesifik, dan viskositas. Pengaruh perlakuan dosis UV yang berbeda terhadap kualitas fisik susu kambing segar ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh Dosis UV Berbeda terhadap Kualitas Fisik Susu Kambing Segar 1,030 ± 0,00 Dosis 2,25 kGy (1 Reaktor) 1,030 ± 0,00 Dosis 4,5 kGy (2 Reaktor) 1,030 ± 0,00 Dosis 6,75 kGy (3 Reaktor) 1,030 ± 0,00 -0,49 ± 0,00 -0,48 ± 0.00 -0,48 ± 0,00 -0,48 ± 0,00 pH 6,52 ± 0,05 6,54 ± 0,04 6,55 ± 0,03 6,58 ± 0,10 Konduktivitas (ohm-1 km-1) 4,61 ± 0,14 4,59 ± 0,14 4,59 ± 0,14 4,67 ± 0,69 Kalor Spesifik (kJ kg-1 K-1) 3,78 ± 0,01 3,79 ± 0,01 3,79 ± 0,00 3,79 ± 0,01 Viskositas (cP) 2,08 ± 0,02 2,34 ± 0,30 2,29 ± 0,29 2,03 ± 0,09 Kualitas Fisik Kontrol Berat Jenis (kg l-1) Titik Beku (°C) 21 Berat Jenis Berat jenis susu kambing sangat berhubungan erat dengan kandungan bahan kering pada susu. Hasil pengujian pada penelitian ini menunjukkan bahwa BJ susu kambing adalah 1,030 kg l-1. Komponen terbesar susu adalah air, namun berat jenis susu lebih besar dari satu kg l-1 (berat jenis air) karena dipengaruhi oleh komponen berat kering yang terkandung. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa berat jenis susu kambing tidak dipengaruhi oleh perlakuan dosis UV yang diberikan (P>0,05). Hal ini berarti, bahan pada proses pasteurisasi nontermal tidak terjadi kehilangan air yang biasa ditemukan pada proses pasteurisasi termal akibat penguapan. Proses penguapan menyebabkan peningkatan konsentrasi bahan kering yang dapat mengubah berat jenis. Berat jenis susu kambing yang didapat dari penelitian ini adalah 1,030 kg l-1. Nilai tersebut memenuhi standar Thai Agricultural Standard (2008) bagi susu kambing yaitu minimal 1,028 kg l-1. Titik Beku Susu memiliki titik beku yang konstan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa titik beku susu kambing berkisar antara -0,48 °C s.d -0,49 °C. Titik beku susu berhubungan erat dengan kandungan bahan kering susu, terutama kadar laktosa dan natrium, selain juga dapat digunakan sebagai salah satu indikator pemalsuan susu (penambahan air). Perlakuan dosis atau jumlah reaktor UV tidak memengaruhi titik beku susu kambing secara nyata (P>0,05). Hal tersebut berarti perlakuan pasteurisasi nontermal tidak mengakibatkan perubahan pada kandungan bahan kering susu kambing terutama laktosa dan natrium. Kandungan bahan kering susu kambing tidak berubah akibat perlakuan pasteurisasi nontermal, karena tidak terjadi peningkatan suhu susu yang memungkinkan adanya penguapan sebagian kadar air, yang memengaruhi kadar bahan kering. Nilai pH Nilai pH susu kambing merupakan salah satu parameter yang penting. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara nilai pH susu kambing kontrol dan nilai pH susu kambing yang diberi perlakuan dosis atau jumlah reaktor UV (P>0,05). Nilai pH susu dipengaruhi oleh mineral-mineral, protein (asam-asam amino) dan juga lemak (asam-asam lemak) yang terkandung 22 dalam susu. Nilai pH yang didapatkan berada pada kisaran 6,52 s.d 6,58 dan masih memenuhi ketentuan Thai Agricultural Standard (2008) yaitu pH susu kambing berkisar antara 6,5 s.d 6,8. Perubahan pada mineral, lemak dan protein dapat terjadi karena perlakuan termal. Aplikasi UV tidak menyebabkan peningkatan suhu pada susu sehingga tidak mengakibatkan perubahan pada komponen-komponen tersebut. Konduktivitas Nilai konduktivitas spesifik susu digunakan untuk mendeteksi mastitis subklinis dan pemalsuan. Konduktivitas susu akan berubah jika konsentrasi substrat dalam cairan berubah dan juga dipengaruhi oleh konsentrasi dan pengenceran endapan koloidal kalsium fosfat. Hasil pengujian sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara nilai konduktivitas susu kambing segar sebelum dan sesudah perlakuan (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan dosis atau reaktor UV tidak menyebabkan perubahan konsentrasi substrat dalam susu kambing yang dapat mengubah nilai konduktivitas susu kambing. Nilai konduktivitas yang didapat dari hasil penelitian ini adalah 4,59 ohm-1 km-1 s.d 4,67 ohm-1 km-1. Nilai tersebut masih berada pada kisaran yang disaratkan oleh Fox dan McSweeney (1998) yaitu sebesar 4,0 ohm-1 km-1 s.d 5,5 ohm-1 km-1. Kalor Spesifik Nilai kalor spesifik berkaitan erat dengan jumlah total solid, terutama kandungan lemak, walaupun terputus saat pemanasan pada 70-80 °C. Pada saat lemak meleleh, energi dari kalor spesifik akan diserap untuk menyediakan kalor laten untuk peleburan lemak susu. Hasil sidik ragam pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara kalor spesifik susu kambing segar dan susu kambing yang diberi perlakuan UV hingga dosis tertinggi sebesar 6,75 kGy (P>0,05). Hal ini berarti perlakuan UV pada susu kambing tidak memengaruhi jumlah total solid dan kandungan lemak sehingga tidak mengubah nilai kalor spesifik. Nilai kalor spesifik yang didapat pada penelitian ini berkisar antara 3,78 kJ kg-1 K-1 hingga 3,79 kJ kg-1 K-1. Nilai tersebut lebih rendah dari pernyataan Fox dan McSweeney (1998) yaitu 23 sebesar 3,931 kJ kg-1 K-1. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan oleh perbedaan kandungan bahan kering yang terkandung dalam susu, terutama kadar lemak. Viskositas Nilai viskositas susu kambing segar dan susu kambing yang diberi perlakuan UV hingga dosis tertinggi, 6,75 kGy, tidak berbeda. Nilai viskositas yang didapat berada pada kisaran 2,03 cP s.d 2,34 cP. Viskositas susu dipengaruhi oleh komposisi dan konsentrasi partikel padatan di dalam larutan, pH dan suhu (Fox dan McSweeney, 1998). Nilai pH dan suhu susu kambing yang diberi perlakuan dosis UV pada dosis yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan dengan kontrol, sehingga tidak berpengaruh pula terhadap viskositasnya. Pengaruh Aplikasi Dosis atau Jumlah Reaktor Ultraviolet Berbeda terhadap Kualitas Kimia Susu Kambing Segar Kualitas kimia susu kambing segar merupakan parameter penting yang menunjukkan nilai nutrisi dalam susu segar ataupun bagi hasil produk akhir. Hasil pengujian kualitas kimia susu kambing segar yang diberi perlakuan ultraviolet (UV) ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3. Pengaruh Dosis UV Berbeda terhadap Kualitas Kimia Susu Kambing Segar 83,38 ± 0,52 Dosis 2,25 kGy (1 Reaktor) 84,55 ± 0,47 Dosis 4,50 kGy (2 Reaktor) 84,62 ± 0,39 Dosis 6,75 kGy (3 Reaktor) 84,53 ± 0,39 BKTL (%) 9,73 ± 0,16 9,61 ± 0,03 9,57 ± 0,03 9,60 ± 0,04 Protein (%) 5,28 ± 0,10 5,21 ± 0,04 5,19 ± 0,03 5,22 ± 0,03 Lemak (%) 5,90 ± 0,40 5,85 ± 0,46 5,82 ± 0,40 5,88 ± 0,40 Laktosa (%) 3,54 ± 0,05 3,49 ± 0,03 3.48 ± 0,03 3,47 ± 0,03 Peubah Kadar air (%) Kontrol Kadar Air Kadar air susu kambing hasil penelitian ini berkisar antara 83,38% s.d 84,62%. Hasil pengujian sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang nyata (P>0,05) antara kadar air susu kambing segar sebelum dan setelah mendapat perlakuan UV hingga dosis teringgi 6,75 kGy. Kadar air dalam susu kambing tidak mengalami perubahan selama pemberian perlakuan dosis UV, 24 karena proses tersebut tidak mengakibatkan perubahan suhu susu kambing yang memungkinkan terjadinya penguapan sebagian kadar air susu kambing. Rerata kandungan air susu kambing (84,27%) yang lebih rendah dari susu sapi (86%) berimplikasi pada kandungan bahan kering yang tinggi yaitu berada pada kisaran 15,38% s.d 16,62%. Kandungan bahan kering susu kambing tersebut berada di atas standar kandungan bahan kering susu kambing segar kualitas premium yang ditetapkan oleh Thai Agricultural Standard (2008), yaitu minimal 13%. Kadar Protein Protein merupakan salah satu komponen utama susu dengan kandungan 3036 g l-1. Protein susu terdiri atas fraksi kasein dan whey. Kasein terdiri atas 80% dari protein total sedangkan whey adalah 20%. Kasein pada susu disebut sebagai kasein misel yang terkandung dengan kalsium fosfat yang terhidrasi (Fennema, 1996). Protein merupakan salah satu komponen penting susu karena berfungsi sebagai salah satu sumber energi utama dan memiliki nilai biologis yang tinggi. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tidak dijumpai adanya perbedaan nyata pada kandungan protein susu kambing sebelum dan setelah diberi perlakuan ultraviolet hingga dosis 6,75 kGy (P>0,05). Perubahan pada komponen protein dapat terjadi karena panas, asam dan enzim proteolitik. Menurut Fennema (1996), perlakuan panas akan mengakibatkan koagulasi protein whey yang mengakibatkan penurunan sifat fungsionalnya. Pemberian perlakuan UV tidak menyebabkan peningkatan suhu atau perubahan nilai pH susu kambing, sehingga kandungan protein susu kambing segar dapat dipertahankan. Kadar protein susu kambing yang di dapatkan berkisar antara 5,19% s.d 5,28%. Nilai tersebut jauh berada di atas nilai yang disyaratkan oleh Thai Agricultural Standard (2008) untuk susu kambing kualitas premium yaitu minimal 3,7%. Kadar Lemak Lemak merupakan salah satu komponen utama sumber energi dari susu. Menurut Fennema (1996), susu mengandung lemak dengan komponen yang paling kompleks. Komponen utama dari lemak susu adalah triasilgliserol (trigliserida) 25 dengan jumlah 96% s.d 98% dari total komponen lemak dengan asam lemak butirat sebagai komponen utama asam lemak susu (85%). Lemak merupakan komponen susu yang paling dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti pakan. Lemak susu juga merupakan salah satu kompenen utama penentu harga susu sehingga kandungannya sangat penting. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada perubahan kandungan lemak sebelum dan setelah perlakuan UV hingga dosis 6,75 kGy (P>0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa metode UV mampu memertahankan kualitas lemak susu kambing segar. Kerusakan lemak susu dapat disebabkan oleh panas atau tekanan tinggi. Perlakuan dosis UV tidak menyebabkan perubahan pada suhu dan tekanan susu, sehingga kadar lemak susu kambing segar dapat dipertahankan. Kadar lemak susu kambing yang didapat dari hasil penelitian ini berada di kisaran 5,82% s.d 5,9%. Nilai tersebut berada di atas nilai yang disyaratkan oleh Thai Agricultural Standard (2008) untuk susu kambing kualitas premium yaitu minimal 4%. Kadar Laktosa Laktosa merupakan karbohidrat utama yang terkandung dalam susu yang terdiri atas laktosa α dan β. Laktosa merupakan salah satu komponen yang berkontribusi terhadap rasa susu (Fennema, 1996). Laktosa merupakan disakarida gabungan antara glukosa dan galaktosa. Kandungan laktosa pada susu kambing segar tidak dipengaruhi oleh perlakuan UV hingga dosis 6,75 kGy (P>0,05). Perlakuan panas dapat menyebabkan isomerisasi pada kadar laktosa, yaitu perubahan struktur laktosa. Perubahan struktur laktosa tersebut dapat menyebabkan kekurangan pada produk olahan susu, yaitu tekstur berpasir, pada es krim atau produk olahan susu lainnya. Kadar laktosa yang didapat dari hasil penelitian ini berada di bawah standar dari Thai Agricultural Standard (2008) yaitu minimal 4,2%. Kadar laktosa sangat dipengaruhi oleh musim, tingkat laktasi, peningkatan kadar lemak, protein, bahan kering tanpa lemak, dan mineral yang menyebabkan kadar laktosa menjadi rendah (Hanlein, 2004). Kadar lemak, protein, dan bahan kering tanpa lemak yang didapat pada penelitian ini tergolong tinggi, karena berada di atas standar yang ada. Tingginya kandungan bahan kering tersebut menyebabkan kadar laktosa menjadi rendah 26 Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL) Bahan kering tanpa lemak ditunjukkan oleh komponen selain air dan lemak yang terkandung dalam susu. Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa bahan kering susu kambing tidak dipengaruhi oleh perlakuan UV dengan dosis yang berbeda yaitu maksimal 6,75 kGy (P>0,05). Kandungan tersebut tidak berubah, karena kadar air, kadar protein, dan kadar laktosa susu kambing tidak berubah, sehingga kandungan BKTLnya juga tidak berubah. Kandungan bahan kering tanpa lemak susu kambing kualitas premium menurut Thai Agricultural Standard (2008) adalah minimal 9%. Kandungan BKTL susu kambing yang diperoleh berada di atara 9,57 s.d 9,73% yang relatif lebih tinggi dibandingkan standar tersebut.. Pengaruh Aplikasi Dosis atau Jumlah Reaktor Ultraviolet Berbeda terhadap Kualitas Mikrobiologis Susu Kambing Segar Pengujian kualitas mikrobiologis susu kambing yang diberi perlakuan UV adalah jumlah total bakteri (total plate count). Jumlah total bakteri pada susu kambing kontrol yang digunakan adalah 5,99 log cfu/ml dan masih berada berada di bawah jumlah cemaran maksimal bakteri yang disyaratkan oleh Standar Nasional Indonesia, yaitu 6 log cfu/ml (SNI, 2011). Jumlah bakteri tersebut menurun setelah diberi perlakuan UV dan berbanding lurus dengan persentase penurunan jumlah total bakteri seiring dengan penambahan dosis UV yang diberikan. Grafik penurunan jumlah total bakteri dapat dilihat pada Gambar 9. dan grafik persentase penurunan jumlah total bakteri disajikan pada Gambar 10. Populasi (log cfu/ml) 6,1 6 5,99 5,98 5,95 5,9 5,8 5,7 5,63 5,6 5,5 Dosis 0 kGy (Kontrol) Dosis 2,25 kGy Dosis 4,50 kGy Dosis 6,75 kGy (1 Reaktor) (2 Reaktor) (3 Reaktor) Dosis UV Gambar 9. Penurunan Jumlah Total Bakteri pada Susu Kambing Segar 27 80 68,55 Persentase Reduksi (%) 70 60 50 40,32 40 30 20 13,91 10 0 Dosis 2,25 kGy (1 Reaktor) Dosis 4,50 kGy (2 Reaktor) Dosis UV Dosis 6,75 kGy (3 Reaktor) Gambar 10. Persentase Reduksi Total Bakteri pada Susu Kambing Segar Jumlah total bakteri menurun sebanyak 13,91% setelah pemberian perlakuan UV dosis 2,25 kGy (1 reaktor), 40,32% pada dosis 4,50 kGy (2 reaktor) dan 68,55% pada dosis 6,75 kGy (3 reaktor) dari jumlah awal 5,99 log cfu/ml menjadi 5,63 log cfu/ml susu kambing. Semakin lama susu terpapar oleh sinar UV, maka dosis UV juga bertambah. Hal ini menunjukkan bahwa sinar UV yang digunakan mampu menginaktivasi mikroorganisme yang terkandung pada susu kambing segar. Menurut Sastry et al. (2000) iradiasi ultraviolet adalah salah satu proses pengawetan bahan pangan tanpa panas yang dapat menginaktivasi mikroorganisme. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Lodi et al. (1996) yang mampu mereduksi jumlah total bakteri hingga 50% - 60% pada susu kambing segar yang diberi perlakuan UV. Menurut Keklik dan Demirci (2009), inaktivasi mikroorganisme akibat dari paparan sinar UV dapat dikategorikan menjadi tiga mekanisme, yaitu (1) efek kimia, yaitu terjadi perubahan kimia di dalam DNA dan RNA yang menyebabkan inaktivasi mikroorganisme karena kegagalan replikasi, (b) efek panas, yaitu dapat menghasilkan tekanan panas yang disebabkan oleh perbedaan penyerapan sinar UV oleh mikroorganisme dan permukaan media, kondisi ini menyebabkan penyerapan air pada sel bakteri yang mengakibatkan ketidakseimbangan tekanan osmotik sehingga sitoplasma rusak dan menghasilkan sel yang rapuh/mudah pecah, dan (c) 28 efek fisik, yaitu energi tinggi yang dihasilkan berakibat pada perubahan fisik secara konstan, dimana struktur dinding sel menjadi rusak dan pecah. Mekanisme ini dengan jelas menunjukkan bahwa sinar UV tidak hanya dapat menyebabkan perubahan genetik pada struktur sel bakteri, tetapi juga dapat menyebabkan kerusakan sel dan pecahnya sel. Dosis Ultraviolet Terbaik Perlakuan dosis UV terbukti efektif untuk menginaktivasi jumlah total bakteri pada susu kambing segar. Persentase penurunan mikroorganisme terbaik didapatkan pada taraf dosis UV 6,75 kGy. Hasil sidik ragam menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata terhadap kualitas fisik dan kimia susu kambing segar sebelum dan setelah perlakuan UV hingga dosis tertinggi (6,75 kGy) (P>0,05). Perlakuan dosis UV 6,75 kGy terpilih sebagai dosis UV terbaik karena mampu menurunkan total bakteri terbanyak dan tidak memengaruhi kualitas fisik dan kimia susu kambing segar. Dosis tersebut masih berada di bawah dosis serap maksimum yang disyaratkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Repubik Indonesia No. 701/MENKES/PER/VIII/2009 tentang pangan iradiasi Bab II pasal 4, yang menerangkan bahwa dosis serap total pangan iradiasi tidak boleh melebihi 10 kGy. Berdasarkan standar tersebut, pangan yang diberi perlakuan iradiasi di bawah dosis yang disarankan, tergolong aman untuk dikonsumsi. Pangan iradiasi seperti iradiasi ion dan sebagainya sudah banyak dikembangkan di negara-negara maju seperti Australia. Iradiasi pangan telah banyak digunakan untuk pengawetan pangan di lebih dari 50 negara. Teknik tersebut aman dan efektif untuk membunuh bakteri pada pangan sehingga dapat meningkatkan masa simpan pangan tersebut. Teknik iradiasi pangan telah lama diuji oleh berbagai organisasi seperti World Health Organization (WHO), the United Nations Food and Agriculture Organization (FAO), the European Community Scientific Committee for Food, the United States Food and Drug Administration (FDA), a House of Lords committee juga oleh para pakar di bidangnya di Australia dan Selandia Baru (www.foodstandards.gov.au, 2011). Kementerian Pertanian dan Kehutanan Selandia Baru telah menyetujui pemasaran produk buah buahan dari Australia yang diberi dosis minimul 250 Gy. Produk buah buahan tersebut diantaranya mangga, pepaya, dan lengkeng (www.foodstandards.gov.au, 2011). Data tersebut menunjukkan bahwa pangan yang 29 diawetkan dengan metode iradiasi aman dikonsumsi oleh manusia, pada batasan dosis tertentu. Hasil dosis UV terbaik selanjutnya akan dikombinasikan dengan metode High Pulsed Electric Field (HPEF) dengan taraf perlakuan frekuensi HPEF sebesar 0 (kontrol), 10, 15 dan 20 Hz untuk menginaktivasi jumlah total bakteri pada susu kambing segar. Hasil frekuensi HPEF terbaik akan diambil dan dilanjutkan untuk menginaktivasi Salmonella Typhimurium ATCC 14028 yang direkontaminasikan ke dalam susu kambing. Gambar skematik kombinasi UV dan HPEF dapat dilihat pada Gambar 11. Reaktor UV 1 Reaktor UV 2 Reaktor UV 3 Gambar 11. Skematik Kombinasi UV dan HPEF Keterangan: 1 = separating funnel; 2 = reaktor UV; 3 = tabung quartz; 4 = lampu UV; 5 = selang silikon food grade; 6 = treatment chamber; 7 = unit HPEF; 8 = tempat sampel susu kambing Pengaruh Aplikasi Kombinasi Ultraviolet Dosis 6,75 kGy dan HPEF Frekuensi Berbeda terhadap Kualitas Fisik Susu Kambing Segar Hasil pengujian kualitas fisik susu kambing segar yang diberi perlakuan UV dosis 6,75 kGy dan dikombinasikan dengan HPEF dengan frekuensi berbeda ditampilkan pada Tabel 4. Pengujian kualitas fisik meliputi berat jenis, titik beku, pH, konduktivitas, kalor spesifik, dan viskositas. Secara umum, kualitas fisik susu kambing segar yang diberi perlakuan kombinasi UV dan HPEF dengan frekuensi berbeda tidak berbeda dibandingkan dengan susu kambing kontrol tanpa perlakuan (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa metode HPEF mampu memertahankan kualitas fisik susu kambing segar karena 30 pasteusrisasi nontermal kombinasi UV dan HPEF tidak menyebabkan peningkatan suhu susu yang memungkinkan perubahan kualitas fisik susu kambing. Tabel 4. Pengaruh Aplikasi Kombinasi UV dan HPEF terhadap Kualitas Fisik Susu Kambing Segar Kontrol Dosis UV 6,75 kGy + HPEF 10 Hz Berat Jenis (kg l-1) 1,030 ± 0,00 1,030 ± 0,00 1,030 ± 0,00 1,030 ± 0,00 Titik Beku (°C) -0,50 ± 0,03 -0,49 ± 0,04 -0,49 ± 0,03 -0,49 ± 0,03 pH 6,45 ± 0,02 6,49 ± 0,07 6,46 ± 0,07 6,46 ± 0,03 Konduktivitas (ohm-1 km-1) 4,42 ± 0,12 4,33 ± 0,13 4,37 ± 0,16 4,39 ± 0,14 Kalor Spesifik (kj kg-1 K-1) 3,76 ± 0,02 3,77 ± 0,02 3,77 ± 0,02 3,77 ± 0,02 Viskositas (cP) 1,75 ± 0,08 1,76 ± 0,19 1,75 ± 0,20 1,80 ± 0,31 Kualitas Fisik Dosis UV 6,75 kGy + HPEF 15 Hz Dosis UV 6,75 kGy + HPEF 20 Hz Pengaruh Aplikasi Kombinasi Ultraviolet Dosis 6,75 kGy dan HPEF Frekuensi Berbeda terhadap Kualitas Kimia Susu Kambing Segar Hasil dari pengujian kualitas kimia susu kambing segar yang diberi perlakuan UV dosis 6,75 kGy (3 reaktor) dan dikombinasikan dengan HPEF dengan frekuensi berbeda ditampilkan pada Tabel 5. Kualitas kimia yang diuji antara lain kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar laktosa, dan bahan kering tanpa lemak (BKTL). Tabel 5. Pengaruh Aplikasi Kombinasi UV dan HPEF terhadap Kualitas Kimia Susu Kambing Segar Kadar Air (%) 83,56 ± 0,99 Dosis UV 6,75 kGy + HPEF 10 Hz 83,90 ± 0,65 Bahan Kering (%) 16,44 ± 0,99 16,11 ± 0,66 16,28 ± 0,79 16,32 ± 0,72 Lemak (%) 6,57 ± 1,26 6,40 ± 0,86 6,44 ± 1,08 6,46 ± 0,92 Protein (%) 5,40 ± 0,17 5,30 ± 0,27 5,37 ± 0,18 5,38 ± 0,20 Laktosa (%) 3,55 ± 0,21 3,49 ± 0,29 3,55 ± 0,25 3,56 ± 0,24 Kualitas Kimia Kontrol Dosis UV 6,75 kGy + HPEF 15 Hz 83,73 ± 0,79 Dosis UV 6,75 kGy + HPEF 20 Hz 83,68 ± 0,72 Hasil sidik ragam menunjukan bahwa kualitas kimia susu kambing segar tidak dipengaruhi oleh perlakuan kombinasi UV dan HPEF frekuensi berbeda (P>0,05). 31 Tidak adanya peningkatan suhu selama susu diberi perlakuan kombinasi UV dan HPEF menyebabkan kualitas kimia susu kambing segar dapat dipertahankan tanpa ada kerusakan dan penurunan kandungan nutrien. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ho dan Mittal (2000) yang melaporkan bahwa HPEF adalah metode pengawetan nontermal pada bahan pangan cair untuk menginaktivasi mikroorganisme pembusuk dan patogen dengan hanya sedikit memengaruhi perubahan nutrisi dan rasa susu. Pengaruh Aplikasi Kombinasi Ultraviolet Dosis 6,75 kGy dan HPEF Frekuensi Berbeda terhadap Kualitas Mikrobiologis Susu Kambing Segar Grafik penurunan jumlah total bakteri pada susu kambing segar dapat dilihat pada Gambar 12. Jumlah populasi awal bakteri pada susu kambing adalah 4,75 log cfu/ml. Jumlah total bakteri pada susu kambing segar yang telah diberi perlakuan perlakuan UV dosis 6,75 kGy (3 reaktor) dan dikombinasikan dengan HPEF dengan frekuensi berbeda, mengalami penurunan. Perlakuan UV dosis 6,75 kGy kombinasi HPEF frekuensi 10 Hz berhasil menurunkan jumlah total bakteri sebanyak 0,01 log cfu/ml. 6 5,42 Populasi (log cfu/ml) 5,5 5 4,75 4,74 4,5 4,26 4 3,5 3 Kontrol 10 Hz 15 Hz 20 Hz UV Dosis 6,75 kGy + HPEF Frekuensi Berbeda Gambar 12. Grafik Penurunan Jumlah Total Bakteri pada Susu Kambing Penurunan jumlah total bakteri yang terbaik didapatkan pada perlakuan dosis UV 6,75 kGy kombinasi HPEF frekuensi 15 Hz yang mampu menurunkan jumlah 32 total bakteri sebanyak 0,49 log cfu/ml dari populasi awal menjadi 4,26 log cfu/ml. Hasil tersebut menunjukkan bahwa metode kombinasi UV dan HPEF optimal pada taraf perlakuan dosis 6,75 kGy (3 reaktor) kombinasi HPEF frekuensi 15 Hz. Inaktivasi mikroorganisme akibat perlakuan HPEF berhubungan dengan ketidakstabilan elektromagnetik dari membran sel. Membran sel melindungi mikroba dari kondisi lingkungan sekitarnya. Hal ini dilakukan oleh lapisan semipermeabel yang mengontrol penerimaan nutrisi ke dalam sel dan pengeluaran akhir dari aktivitas metabolisme sel (Sale dan Hamilton, 1968 dalam Gustavo et al., 2000). Batas osmosis efektif di antara sel dan lingkungannya dijaga, membran sel mengontrol aktivitas metabolisme sel. Jika membran sel terganggu, isi dari intraseluler akan pecah keluar dan hilangnya aktivitas metabolisme (Zimmermann, 1968 dalam Gustavo et al., 2000). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Rostini (2010) menunjukkan bahwa frekuensi 15 Hz pada metode HPEF lebih efektif dalam menurunkan populasi S. Typhimurium ATCC 14028 yang direkontaminasikan ke dalam susu kambing dibandingkan dengan frekuensi 10 Hz dan 20 Hz. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan suhu susu kambing yang melebihi 30 °C, maka dari itu bisa dipastikan bahwa inaktivasi mikroorganisme diakibatkan oleh perlakuan HPEF, karena menurut D‟Aoust (2000) suhu optimal pertumbuhan S. Typhimurium adalah 35-37 °C sedangkan suhu maksimal pertumbuhannya adalah 45 °C. Hasil penelitian dari Serrano et al. (2005) menunjukkan bahwa jumlah total bakteri pada susu segar menurun sebanyak hampir 1 log siklus yang diberi perlakuan High Intensity Pulsed Electric Field (HIPEF) sebesar 35,5 kV selama 300 µs dan menurun 2 log siklus yang diberi perlakuan selama 1000 µs. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa susu segar yang diberi perlakuan HIPEF dan disimpan dalam lemari pendingin (4 °C) memiliki kestabilan mikrobiologis hingga penyimpanan hari ke lima. Perlakuan tersebut juga tidak memengaruhi keasaman, pH dan asam lemak bebas. Tidak ditemukan pula adanya proteolisis dan lipolisis selama satu minggu penyimpanan. Hasil penelitian Stefani (2009) berhasil menurunkan total bakteri pada susu sapi segar hingga 1,65 log siklus dari populasi awal 1,50 x 105 cfu/ml dengan metode HPEF. Kuat medan HPEF yang digunakan pada penelitian tersebut sebesar 31,67 33 kV/cm, menggunakan sumber tegangan berupa fly back televisi dengan kuat medan listrik sebsar 2,77 kV/cm, frekuensi 25 kHz dan arus listrik sebesar 14,60 mA. Pengaruh Aplikasi Kombinasi Ultraviolet Dosis 6,75 kGy dan HPEF Frekuensi 15 Hz terhadap Nilai Bilangan Peroksida Susu Kambing Segar Aplikasi iradiasi ultraviolet adalah metode pasteurisasi nontermal tanpa menyebabkan perubahan kualitas nutrisi dan sensori dari produk (Bitnis et al., 2000), namun lemak susu memiliki salah satu kekurangan, yaitu mudah teroksidasi oleh cahaya yang menyebabkan timbulnya cita rasa yang menyimpang (off-flavor). Fennema (1996) menyatakan bahwa jika susu terkena cahaya, akan menyebabkan terbentuknya off flavor dan kehilangan riboflavin. Hal tersebut juga didukung oleh Anon (1998) yang menyatakan bahwa penggunaan UV diijinkan di beberapa negara untuk aplikasi pada produk makanan, tetapi dapat dengan mudah menyebabkan perubahan warna dan off flavor (cita rasa yang menyimpang) jika penggunaan dosis dan lama perlakuan tidak tepat. Bilangan peroksida yang semakin tinggi menunjukkan bahwa jumlah peroksida semakin banyak dan dapat diduga pula bahwa tingkat oksidasi semakin tinggi. Bilangan peroksida dapat menunjukkan tingkat oksidasi lemak susu yang menyebabkan timbulnya off flavor dan terbentuknya radikal bebas yang distimulasi oleh pemberian perlakuan kombinasi UV dan HPEF. Hasil pengujian nilai bilangan peroksida dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Bilangan Peroksida Susu Kambing No. Sampel 1. Susu kambing kontrol* 2. Susu kambing yang diberi perlakuan ultraviolet dosis 6,75 kGy kombinasi HPEF frekuensi 15 Hz Satuan mg/kg mg/kg Hasil Uji 0,00** 0,00** Keterangan: *susu kambing yang tidak diberi perlakuan ** bilangan peroksida tidak terdeteksi Pengujian bilangan peroksida mengacu pada SNI 01-3555-1998 menggunakan metode trimetri. Peroksida merupakan hasil reaksi antara lemak tidak jenuh dengan oksigen yang dapat dijadikan sebagai indikasi kerusakan lemak. Bilangan peroksida dapat dihitung berdasarkan reaksi antara alkali iodida dalam larutan asam dengan ikatan peroksida. Iod yang dibebaskan pada reaksi ini kemudian dititrasi dengan 34 larutan natrium tiosulfat (Ketaren, 1986). Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai bilangan peroksida susu kambing yang diberi perlakuan ultraviolet dosis 6,75 kGy (3 reaktor) kombinasi HPEF frekuensi 15 Hz sama dengan nilai bilangan peroksida susu kambing kontrol yang tidak diberikan perlakuan dan sama-sama bernilai 0,00. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan ultraviolet dosis 6,75 kGy yang dikombinasikan dengan HPEF frekuensi 15 Hz tidak memberikan efek oksidatif terhadap susu kambing segar. Elektroforesis Protein Susu Kambing Segar yang Diberi Perlakuan Ultraviolet Dosis 6,75 kGy dan HPEF Frekuensi Berbeda Elektroforesis merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi enzim atau protein, yaitu teknik untuk memisahkan molekul kimia menggunakan arus listrik. Pemisahan dilakukan berdasarkan perbedaan ukuran, berat molekul dan muatan listrik yang dikandung oleh makromolekul tersebut (Stenesh, 1984). Westermeier (2005) menyatakan bahwa teknik elektroforesis dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu elektroforesis tabung (cylindrical gels) dan elektroforesis lembaran (layer gels). Elektroforesis dengan layer gels memiliki keunggulan yaitu proses separasi yang lebih cepat, pita protein yang lebih tegas terlihat, pewarnaan yang singkat, efisien dan lebih sensitif. Elektroforesis pada susu kambing segar bertujuan untuk melihat kemungkinan kerusakan protein pada tingkat molekul protein akibat perlakuan kombinasi UV dan HPEF. Hasil pengujian pita protein susu kambing yang diberi perlakuan kombinasi UV dan HPEF dapat dilihat pada Gambar 13. Harper et al. (1980) menyatakan bahwa elektroforesis adalah suatu analisis kimia yang didasarkan kepada gerakan molekul bermuatan di dalam medan listrik. Pergerakan molekul di dalam medan listrik dipengaruhi oleh ukuran, bentuk, besar muatan, dan kualitas kimia dari molekul. Berbagai komponen protein serum pada pH di atas dan di bawah titik isoelektriknya akan bergerak turun dengan kecepatan yang berbeda karena muatan permukaannya berbeda. 35 Berat Molekul (kD) 116 66,2 45 35 25 18,4 14,4 c a b d Gambar 13. Pita Protein Susu Kambing Hasil Elektroforesis Keterangan: a = kontrol, b = UV Dosis 6,75 + HPEF 10 Hz, c = UV Dosis 6,75 + HPEF 15 Hz, d = UV Dosis 6,75 + HPEF 20 Hz Susu kambing terdiri atas lima komponen protein utama, yaitu β-laktoglobulin, α-laktalbumin, κ-kasein, β-kasein, dan αs2-kasein. Kandungan κ-kasein, β-kasein, dan αs2-kasein susu kambing lebih banyak dibandingkan susu sapi. Misel kasein susu kambing mengandung lebih banyak kalsium dan fosfor anorganik (Park, 2006). Gambar 13 menunjukkan bahwa pita protein susu kambing setelah diberi perlakuan kombinasi UV dan HPEF mengalami penebalan yang mengindikasikan adanya denaturasi protein susu pada tingkat molekul, namun tidak memengaruhi persentase kadar protein susu kambing. Denaturasi tersebut bersifat menguntungkan karena akan meningkatkan daya cerna protein susu kambing. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa ada pita protein yang muncul pada kisaran berat molekul 14,4 kD dan 18,4 kD pada sampel susu kambing yang telah diberi perlakuan kombinasi UV dan HPEF tetapi tidak muncul pada sampel susu kambing kontrol. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh preparasi sampel dan metode pengujian yang kurang optimal. Separasi susu sebelum pengujian perlu dilakukan agar protein susu lebih terkonsentrasi. Metode elektroforesis sangat berhubungan erat dengan pergerakan molekul protein dalam medan listrik. Kondisi sumber listrik yang kurang stabil juga sangat memengaruhi hasil akhir dari pengujian dengan metode ini. 36 Pengaruh Aplikasi Kombinasi Ultraviolet Dosis 6,75 kGy dan HPEF Frekuensi 15 Hz terhadap Reduksi Salmonella Typhimurium ATCC 14028 pada Susu Kambing Salmonella Typhimurium merupakan salah satu bakteri patogen yang berbahaya bagi kesehatan manusia. S. Typhimurium sering mengontaminasi bahan pangan asal hewani. Menurut Jay et al. (2005) pangan yang sering terkontaminasi Salmonella Typhimurium adalah telur dan hasil olahannya, ikan dan hasil olahannya, daging ayam, daging sapi, susu dan hasil olahannya. Keracunan pangan oleh Samlonella disebabkan karena pangan mengandung Salmonella dalam jumlah yang signifikan, yaitu 107 sel/ml. Penelitian untuk mereduksi S. Tyhpimurium pada susu terus dikembangkan, salah satunya adalah yang dilakukan oleh Rostini (2010). Penelitian tersebut memanfaatkan metode High Pulsed Electric Field (HPEF) yang sumber tegangan tingginya berasal dari koil mobil dengan treatment chamber yang statis untuk mereduksi bakteri S. Typhimurium yang direkontaminasikan pada susu kambing. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa populasi S. Typhimurium dapat direduksi hingga 1 log cfu/ml dengan frekuensi HPEF 15 Hz selama 120 menit. Penelitian tersebut masih memiliki kekurangan, yaitu treatment chamber statis hanya memungkinkan untuk memberi perlakuan pada susu dalam volume yang kecil. Waktu perlakuan yang mencapai 120 menit juga akan menyalahi definisi dari HPEF di waktu perlakuan bagi sampel yang sangat singkat, kurang lebih beberapa µs (Aronson dan Ronner, 2001). Maka dari itu, dikembangkan metode HPEF yang dikombinasikan dengan metode iradiasi ultraviolet dengan sistem kontinyu untuk menginaktivasi S. Tyhpimurium yang direkontaminasikan ke dalam susu kambing. Reduksi S. Typhimurium pada susu kambing yang direkontaminasi ditampilkan pada Gambar 14. Populasi awal bakteri uji S. Typhimurium yang direkontaminasikan pada susu kanbing adalah 5,67 ± 0,32 log cfu/ml. Nilai log tersebut setara dengan jumlah populasi 4,7 x 105, yang berarti nilai OD yang didapat pada penelitian pendahuluan setara dengan jumlah populasi S. Typhimurium yang dipupukkan dengan media SSA dan jumlah populasinya stabil. Korelasi antara nilai OD dan jumlah populasi merupakan hal yang penting dan dapat digunakan untuk mengestimasi populasi bakteri uji yang dapat digunakan untuk mengurangi kemungkinan biasnya data. 37 Populasi (log cfu/ml) 5,7 5,67 5,65 5,6 5,55 5,5 5,45 5,39 5,4 5,35 5,3 5,25 Kontrol UV Dosis 6,75 kGy + HPEF 15 Hz Perlakuan Gambar 14. Pengaruh Kombinasi UV dan HPEF terhadap Reduksi S. Typhimurium Perlakuan pasteurisasi nontermal kombinasi ultraviolet dosis 6,75 kGy dan HPEF 15 Hz mampu menginaktivasi S. Typhimurium yang direkontaminasikan ke dalam susu kambing sebanyak 47,8±2,69%. Metode pasteurisasi nontermal ini dapat dikembangkan dan dijadikan pengganti metode pasteurisasi konvensional dengan keunggulan tidak mengubah kualitas fisik dan kimia susu segar. Barbosa-Cánovas et al. (1999) mengatakan bahwa inaktivasi mikroorganisme dengan medan pulsa listrik dipengaruhi oleh (a) kondisi perlakuan, waktu perlakuan, kekuatan medan listrik, suhu, bentuk dan lebar pulsa; (b) jenis, konsentrasi dan tingkat pertumbuhan mikroba dan (c) media perlakuan. Tingkat reduksi juga dipengaruhi oleh jumlah bakteri awal, jumlah relatif sel yang resisten dalam populasi, jumlah spora yang terbentuk, umur, dan kondisi pertumbuhan dari galur mikroorganisme yang terdapat dalam bahan yang akan diberi perlakuan UV. Toksin yang dibentuk oleh mikroorganisme tidak dapat dihancurkan dengan level dosis radiasi yang direkomendasikan dalam bahan pangan (Ray dan Bhunia, 2007). Populasi S. Typhimurium yang direkontaminasikan ke dalam susu kambing menurun sebanyak 47,8±2,69%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa metode kombinasi UV dan HPEF mampu menginaktivasi S. Typhimurium yang direkontaminasi ke dalam susu kambing. Metode pasteurisasi nontermal ini dapat dikembangkan dan dijadikan pengganti metode pasteurisasi konvensional dengan 38 keunggulan tidak mengubah kualitas fisik dan kimia susu segar. Barbosa-Cánovas et al. (1999) mengatakan bahwa inaktivasi mikroorganisme dengan medan pulsa listrik dipengaruhi oleh (a) kondisi perlakuan, waktu perlakuan, kekuatan medan listrik, suhu, bentuk dan lebar pulsa; (b) jenis, konsentrasi dan tingkat pertumbuhan mikroba dan (c) media perlakuan. Tingkat reduksi juga dipengaruhi oleh jumlah bakteri awal, jumlah relatif sel yang resisten dalam populasi, jumlah spora yang terbentuk, umur, dan kondisi pertumbuhan dari galur mikroorganisme yang terdapat dalam bahan yang akan diberi perlakuan UV. Toksin yang dibentuk oleh mikroorganisme tidak dapat dihancurkan dengan level dosis radiasi yang direkomendasikan dalam bahan pangan (Ray dan Bhunia, 2007). S. Typhimurium merupakan salah satu bakteri patogen Gram negatif. Menurut Fardiaz (1992) bakteri Gram negatif memiliki lapisan peptidoglikan pada dinding sel yang tipis (5-20%) dan lapisan lainnya terdiri atas protein, lipopolisakarida dan lipoprotein, sedangkan bakteri Gram positif memiliki lapisan peptidoglikan yang lebih tebal (90%) dan lapisan tipis lainnya merupakan asam teikoat yang mengandung unit-unit gliserol atau ribitol. Bakteri Gram positif memliki ketahanan terhadap perlakuan fisik yang lebih tinggi karena lapisan peptidoglikan pada dinding sel ini sangat tegar yang terdiri atas unit-unit glikan tetrapeptida yang membentuk suatu polimer yang disebut juga mukokompleks. Lapisan peptidoglikan ini akan memberikan pertahanan yang lebih tinggi bagi bakteri pada saat bakteri dikenakan perlakuan fisik. Kondisi tersebut membuat bakteri Gram negatif relatif lebih rapuh terhadap perlakuan HPEF dibandingkan dengan bakteri Gram positif. Suheri (2012) melaporkan bahwa reduksi bakteri Staphylococcus aureus yang direkontaminasikan ke dalam susu kambing dan diberikan perlakuan kombinasi UV dan HPEF sebanyak 36,58% yang lebih rendah dari reduksi S. Typhimurium hasil penelitian ini. Hasil penelitian Pothakamury et al. (1995) juga menunjukkan bahwa perlakuan HPEF mampu menurunkan populasi S. aureus sebanyak 3 log siklus sedangkan E. coli sebanyak 4 log siklus. Hasil-hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa bakteri Gram positif memiliki resistensi yang lebih tinggi dibandingkan bakteri Gram negatif terhadap perlakuan fisik seperti HPEF. 39