peran guru pai dalam upaya deradikalisasi siswa

advertisement
PERAN GURU PAI DALAM UPAYA
DERADIKALISASI SISWA
Salman Parisi
Dosen dan Ketua Lembaga Pengembangan Bahasa Asing (LPBA)
di STAI Madinatul Ilmi Depok
[email protected]
ABSTRAK
Banyak fakta dan penelitian membuktikan bahwa radikalisme
telah demikian mewabah di masyarakat, bahkan sudah menyusup ke
dalam lembaga-lembaga pendidikan formal dan nonformal. Mereka
menyusup melalui oknum-oknum guru agama, melalui unit-unit kegiatan
ekstrakurikuler agama atau melalui buku-buku panduan. Karena itu, untuk
menghambat penyebaran paham radikal di kalangan para siswa guru
Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki peranan yang sangat strategis.
Dalam tulisan ini dikemukakan tentang ciri-ciri paham radikal dan langkahlangkah apa saja yang harus dilakukan oleh guru PAI dalam menghadapinya.
Kata-kata kunci: radikalisme, deradikalisme, peran guru PAI.
A. LATAR BELAKANG
Indonesia dalam keadaan serba darurat: darurat korupsi,
narkoba dan paham radikalisme. Paham radikalisme telah menyebar di
berbagai lapisan masyarakat bahkan telah menyasar kalangan pelajar
di berbagai tingkatan yang tentu saja akan membahayakan masa depan
mereka dan masa depan bangsa ini secara umum.
Penelitian yang dilakukan oleh Abu Rokhmad menunjukkan
bahwa lembaga-lembaga pendidikan diduga tidak kebal terhadap
pengaruh ideologi radikal yang ditunjukkan oleh: (1) Beberapa guru
mengakui adanya konsep Islam radikal yang mungkin menyebar di
kalangan siswa karena kurangnya pengetahuan keagamaan; (2) Unitunit kajian Islam di sekolah-sekolah berkembang baik namun tidak ada
jaminan adanya kekebalan dari radikalisme karena proses belajarnya
diserahkan kepada pihak ketiga; (3) Di dalam buku rujukan dan kertas
kerja terdapat beberapa pernyataan yang dapat mendorong siswa
untuk membenci agama atau bangsa lain.(Rokhmad 2012, 79)
Bila tidak ditangani paham radikalisme akan menyebabkan
terganggunya ketertiban dan keharmonisan kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia dan sudah terbukti bahwa aksi-aksi terorisme
diilhami oleh paham-paham radikal seperti ini. Lebih jauh Indonesia
bisa jatuh dalam kubangan kekacauan berdarah seperti yang sekarang
terjadi di Suriah dan negara-negara Timur Tengah lainnya.
Ancaman ini bukan sekadar isapan jempol karena menurut se­
orang peneliti LIPI, Anas Saidi, radikalisme sekarang cukup meng­
k­hawatirkan karena menurutnya hal itu bisa mengakibatkan disin­
tregasi bangsa dalam dua atau tiga dekade ke depan bila tidak ada
tindakan dari negara dan kalangan moderat.Untuk mengatasinya, kata
Anas, perlu strategi kebudayaan yang menyeluruh dan berkesinam­
bungan. Pasalnya, gerakan ideologi dengan mempolitisasi agama yang
menggunakan istilah dan berputar pada kekuasaan Tuhan akan mudah
membuat orang memiliki semangat yang kuat untuk mengutamakan
simbol-simbol agama sebagai daya tarik. “Untuk itu perlu deradikalisasi
secara halus, lewat bahasa-bahasa agama yang relevan dan sosialisasi
pandangan tentang adanya nilai-nilai afinitas antara Islam dan
Pancasila. Ini untuk mengembalikan corak keagamaan yang menjadi
ciri khas Islam di Indonesia yaitu moderat, inklusif dan toleran,”
ujarnya dalam diskusi mengenai radikalisasi di Indonesia yang digelar
86
Peran Guru PAI dalam Upaya Deradikalisasi Siswa
LIPI di Jakarta, Kamis, 18 Februari 2016. (Tisnadibrata 2016).
Salah satu lembaga strategis dalam strategi kebudayaan melawan
paham radikalisme adalah pendidikan. Tetapi faktanya pendidikan dan
lembaga pendidikan pun sekarang ini justru telah disusupi dengan benihbenih radikalisme. Beberapa laporan menunjukkan adanya institusi
pen­­di­dik­an Islam nonformal telah mengajarkan fundamentalisme dan
ra­
dikal­
isme kepada para peserta didiknya (Indonesia 2016). Akhirakhir ini, sekolah-sekolah formal juga terpengaruh untuk mengajarkan
elemen-elemen radikalnya, misalnya melarang murid-muridnya
untuk menghormati bendera Merah Putih pada saat upacara bendera
(Metrotvnews 2011).
Terakhir BBC (Lestari 2016) melaporkan bahwa anak-anak
di sekolah tingkat dasar dan menengah bahkan taman kanakkanak berisiko terpapar ajaran intoleransi dan radikalisme, seperti
ditunjukan sejumlah penelitian. Kekhawatiran juga itu disampaikan
oleh sejumlah orang tua kepada BBC Indonesia. Lantas dari manakah
paham radikalisme ini bisa menyusup ke sekolah?
Menurut Gurubesar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta
Azyumardi Azra, “Paham radikal—yang menganggap pemahamannya
paling benar—telah menyusup ke sekolah menengah melalui guru.”
(Lestari 2016). Hal ini juga diperkuat oleh Survei Lembaga Kajian
Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin oleh Prof. Dr. Bambang
Pranowo, yang juga gurubesar sosiologi Islam di UIN Jakarta, pada
Oktober 2010 hingga Januari 2011, mengungkapkan hampir 50% pelajar
setuju tindakan radikal.
Data itu menyebutkan 25% siswa dan 21% guru menyatakan
Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru
setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia.
Jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk
solidaritas agama mencapai 52,3% siswa dan 14,2% membenarkan
serangan bom. (Lestari 2016)
Penelitian ini menunjukkan peran penting guru PAI di sekolah
umum karena beberapa alasan. Pertama, kurikulum PAI beserta standar
isi dan kompetensinya sangat dipengaruhi oleh kecenderungan paham
yang diajarkan oleh para guru kepada para siswa. Oleh karenanya, guru
dituntut dapat mengajarkan Islam dengan cara yang tidak mendorong
peserta didik untuk menjadi radikal. Kedua, siswa/siswi SMA yang
tidak memiliki background pendidikan agama (pesantren) sangat
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
87
mudah terpengaruh oleh model-model Islam harfiah yang diajarkan
oleh guru atau ustaz mereka. Ketiga, pihak sekolah dan guru perlu
meningkatkan kemampuan untuk deteksi dini (early warning) peserta
didik yang mulai “menyimpang” dari keumuman paham keislaman
yang ada. Siswa-siswi yang mulai “sok alim”, menyendiri atau ekslusif
dengan kelompok sendiri, gampang mengharamkan dan mengafirkan,
mengikuti pengajian berhari-hari tanpa izin, mengikuti pengajian
yang di dalamnya ada baiat, fanatik, menyerang kelompok Islam lain,
mulai berani kepada guru dan orang tua, memiliki cita-cita jihad dan
mendirikan negara Islam, adalah sebagian kecil tanda-tanda yang harus
diwaspadai oleh guru-guru PAI. Dengan mengenali sumber radikalisme
di sekolah, maka upaya deradikalisasi dapat berjalan efektif manakala
pihak sekolah dan guru PAI dapat memainkan peran positif dengan
mengajarkan Islam moderat (Rokhmad 2012, 81)
Oleh karena itu, guru-guru PAI memiliki peran strategis dalam
menangkal ajaran radikalisme ini. Guru-guru PAI harus menanamkan
Islam moderat dan dapat menemukan cara yang tepat untuk
menanggulangi (deradikalisasi) Islam radikal.
Berdasarkan latar belakang tersebut dalam tulisan ini, penulisakan
focus kepada peran guru PAI dalam upaya deradikalisasi di sekolah.
B. PERANAN GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
1.
Pengertian Peranan
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), peranan adalah
tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa (Nasional
2008, 854).
Maksud peranan berarti suatu fungsi yang dibawakan seseorang
ketika menduduki jabatan tertentu, seseorang dapat memainkan
fungsinya karena posisi yang diduduki nya tersebut.
2.
Pengertian Guru
Dalam bahasa Arab guru dikenal dengan istilah al-mu’alim
atau al-ustadz, yang bertugas memberikan ilmu dalam majelis taklim
(Suprihatiningrum 2013, 23). Dalam pengertian sederhana, guru ialah
se­­
seorang yang pekerjaannya mengajar orang lain (Syah 2010, 222).
88
Peran Guru PAI dalam Upaya Deradikalisasi Siswa
Sementara dalam KBBI, guru diartikan sebagai seorang yang pekerjaannya
(mata pencahariannya) mengajar (Nasional 2008, 330).
Guru adalah sosok yang digugu dan ditiru. Digugu artinya
diindahkan atau dipercayai, sedangkan ditiru artinya dicontoh (Aziz 2013,
19). Jadi segala bentuk ucapan, tindakan dan perbuatan seorang guru itu
akan dicontoh oleh anak didiknya.
Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa “Guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pen­didikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar dan pen­
didikan menengah.” (Syah, Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Nomor 14 tahun
2005 tentang Guru dan Dosen 2008, 35)
Pendidik atau guru adalah orang yang dengan sengaja
memengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kesempurnaan yang
lebih tinggi, status pendidik dalam model ini bisa diemban oleh siapa
saja, dimana saja, dan kapan saja (Yasin 2008, 68).
Menurut Munif Chatib dalam bukunya Gurunya Manusia menga­
takan guru adalah sebuah profesi. Profesionalitas guru tentunya sangat
terkait dengan manejemen kerja guru: bagaimana guru membuat
perencanaan, kemudian mengaplikasikannya dengan mengajar di
kelas, lalu mengevaluasi kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan
(Chatib 2013, 75).
Dari definisi yang dikemukakan beberapa tokoh di atas maka dapat
disimpulkan, guru adalah seorang profesional yang digugu dan ditiru,
dengan tugas utama membuat manajemen kerja, mengajar, mendidik,
melatih, dan membimbing peserta didik menuju kemandirian.
3.
Pengertian Pendidikan Agama Islam (PAI)
Dalam KBBI, istilah pendidikan berasal dari kata “didik” yang
berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran
dan pelatihan. Dalam bahasa Arab istilah ini diterjemahkan dengan
“tarbiyah” yang berarti pendidikan.
Sementara dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem Pen­
didikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
89
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
dirinya, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang memerlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Kemenag 2016, 2).
Ki Hajar Dewantara seperti dikutip Abu Ahmadi dan Nur Ukhbiyah
mendefinisikan pendidikan sebagai tuntutan segala kekuatan kodrat
yang ada pada anak agar kelak mereka menjadi manusia dan anggota
masyarakat yang dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya (Hidayat 2013, 2).
Sedangkan pendidikan agama Islam adalah usaha berupa
bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah selesai
pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama
Islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup (way of life)
(Drajat 1996, 86).
Pendidikan agama Islam adalah usaha-usaha secara sistematis
dan pragmatis dalam membantu peserta didik agar supaya mereka
hidup sesuai dengan ajaran Islam (Zuhairini 1983, 27). Menurut Usman
Said, pendidikan agama Islam adalah segala usaha untuk terbentuknya
atau bimbingan/menuntun rohani, jasmani seseorang menurut ajaran
Islam (Uhbiyati 1991, 110).
Menurut Beni Ahmad Saebani dan Hendra Akhdiyat adalah: “Upaya
sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal,
memahami, menghayati, hingga mengimani, bertakwa dan berakhlak
mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya,
yaitu kitab suci Alquran dan Hadis, melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, pelatihan serta penggunaan pengalaman” (Saebani 2012, 258).
Menurut Ahmad Ahwan, pendidikan Islam dapat dipahami
sebagai prinsip yang mengarahkan, menanamkan nilai-nilai kebaikan
kepada diri peserta didik yang bercorak Islam dan mampu membentuk
sumber daya manusia yang dicita-citakan oleh Islam (Ahwan 2010, 21).
Sedangkan menurut Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI
pendidikan agama Islam adalah: “Upaya sadar dan terencana dalam
menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati
hingga mengimani, bertakwa dan berakhlak mulia dalam menjalankan
ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Alquran dan Hadis
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan serta penggunaan
pengalaman.” (FIP-UPI 2007, 2)
90
Peran Guru PAI dalam Upaya Deradikalisasi Siswa
Dari definisi yang diungkapkan oleh para ahli di atas dapat
disimpulkan bahwa pengertian peranan guru pendidikan agama Islam
adalah perangkat tingkah laku atau tindakan yang dimiliki seseorang
dalam memberikan ilmu pengetahuan agama Islam kepada anak
didiknya di sekolah dan madrasah. Seseorang dikatakan menjalankan
peran manakala ia menjalankan hak dan kewajibannya yang merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari status yang disandangnya.
4.
Peran-Peran Guru Penididikan Agama Islam
Tanggung jawab guru adalah mencerdaskan kehidupan anak
didik. Guru harus memiliki dedikasi penuh dan loyalitas berusaha
membimbing dan membina anak didik agar di masa mendatang
menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. Profesi guru adalah
panggilan jiwa, bila guru melihat peserta didiknya berada dalam
masalah maka guru akan memikirkan cara agar peserta didiknya
tidak terjerumus dan dapat dicegah dari perbuatan yang kurang baik
(Djamarah 2010, 35).
Guru bertanggung jawab atas segala sikap, tingkah laku, dan
perbuatan peserta didik dalam membina watak dan jiwa peserta
didik, serta melindungi dari hal-hal yang negatif yang bisa merugikan
kehidupan peserta didik maupun orang lain.
Guru PAI berperan untuk melakukan perubahahan sosial dengan
amar makruf nahi mungkar, guru PAI harus memposisikan diri sebagai
model atau sentral identifikasi diri serta konsultan bagi peserta didik atau
menurut Stanley, tokoh yang berperan sebagai “shaper of new society,
transformational leader, change agent, architect of the new social order”
yakni membentuk masyarakat baru, pemimpin dan pembimbing serta
pengarah transformasi, agen perubahan, serta arsitek dari tatanan sosial
yang baru selaras dengan ajaran dan nilai-nilai Ilahi. Agar peranan guru
lebih efektif, maka guru harus menjadi aktivis sosial yang senantiasa
mengajak orang lain tanpa bosan dan lelah kepada kebajikan atau
petunjuk-petunjuk ilahi, menyuruh masyarakat kepada yang makruf dan
mencegah dari yang mungkar (Muhaimin 2007, 52).
Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta
didik untuk mewujudkan tujuan hidup secara optimal. Adapun peran
guru menurut E. Mulyasa antara lain:
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
91
a.
Guru sebagai pendidik
Sebagai pendidik guru, yang menjadi tokoh, panutan dan
identifikasi bagi para peserta didik dan lingkungannya. Karena itu, guru
hendaknya memiliki standar kualitas pribadi tertentu yang mencakup
tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin.
b.
Guru sebagai pengajar
Guru membantu peserta didik yang sedang berkembang untuk
mempelajari sesuatu yang belum diketahuinya, membentuk kompetensi
dan memahami materi standar yang dipelajari. Sebagai pengajar, guru
berusaha membuat sesuatu menjadi lebih jelas bagi peserta didik, dan
berusaha lebih terampil dalam memecahkan masalah.
c.
Guru sebagai pembimbing
Guru diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan yang berdasarkan
pengetahuan dan pengalamannya bertanggung jawab atas kelancaran
perjalanan itu. Sebagai pembimbing, guru hendaknya merumuskan
tujuan secara jelas, menetapkan waktu perjalanan, menetapkan jalan yang
ditempuh, menggunakan petunjuk perjalanan serta menilai kelancaran
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik.
d.
Guru sebagai pelatih
Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan
keteram­pilan, baik intelektual maupun motorik, sehingga menuntut
guru untuk bertindak sebagai pelatih, karena tanpa latihan seorang
peserta didik tidak akan mampu menunjukkan penguasaan kompetensi
dasar, dan tidak akan akan mahir dalam berbagai keterampilan yang
dikembangkan sesuai dengan materi standar.
e.
Guru sebagai model dan teladan
Sebagai teladan tentunya pribadi dan apa saja yang dilakukan
oleh guru akan mendapat sorotan peserta didik dan lingkungannya.
Sikap dasar, proses berpikir, keputusan, gaya hidup dan prilaku guru
sangat memengaruhi peserta didik.
f.
Guru sebagai tokoh masyarakat
Guru dipandang sebagai tokoh masyarakat yang memiliki
tanggung jawab moral di masyarakat. Seseorang yang memiliki profesi
sebagai guru tokoh masyarakat dan layak dijadikan panutan, baik
92
Peran Guru PAI dalam Upaya Deradikalisasi Siswa
kepribadian, tingkah laku maupun gaya hidupnya.
Tugas selain mengajar adalah berbagai macam tugas yang
sesungguh­nya bersangkutan dengan mengajar, yaitu tugas membuat
persiapan menga­jar, tugas mengevaluasi hasil belajar, dan lainya yang
selalu bersang­kutan dengan pencapaian tujuan pengajaran.
Muhammad Ali merinci tugas utama guru sebagai pemegang
peran sentral dalam proses belajar mengajar sebagai berikut:
a)Merencanakan
Perencanaan yang dibuat merupakan antisipasi dan perkiraan
tentang apa yang akan dilakukan dalam pengajaran, sehingga tercipta
suatu situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar yang dapat
mengantarkan siswa mencapai tujuan yang diharapkan.
b)
Melaksanakan pengajaran
Situasi yang dihadapi guru dalam melaksanakan pengajaran
mempunyai pengaruh besar terhadap proses belajar mengajar itu
sendiri. Oleh sebab itu, guru sepatutnya peka terhadap berbagai situasi
yang dihadapi, sehingga dapat menyesuaikan pola tingkah lakunya
dalam me­nga­jar dengan situasi yang dihadapi.
c)
Memberikan balikan
Upaya memberikan balikan harus dilakukan secara terus
menerus. Dengan demikian, minat dan antusias siswa dalam belajar
selalu terpelihara. Upaya itu dapat dilakukan dengan jalan melakukan
evaluasi. Hasil evaluasi itu sendiri harus diberitahukan kepada
siswa yang bersangkutan, sehingga mereka dapat mengetahui letak
keberhasilan dan kegagalannya. Evaluasi yang demikian benar-benar
berfungsi sebagai balikan, baik bagi guru maupun bagi siswa (Ali 2008,
4-7).
Dari ketiga tugas yang telah diutarakan diatas, ahli pendidikan
Islam, Ramayulis menambahkan 3 buah tugas secara khusus guru di
dalam Islam, yaitu:
a)
Sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan
program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun,
dan memberikan penilaian setelah program itu dilaksanakan.
b) Sebagai pendidik (edukator) yang mengarahkan peserta didik
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
93
pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian Islam, seiring
dengan tujuan Allah menciptakan manusia.
c) Sebagai pemimpin (managerial) yang memimpin dan mengen­
dalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait.
Menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengor­ganisasian,
pengontrolan, partisipasi atas program yang dilakukan itu
(Ramayulis 2013, 110-111).
C.RADIKALISME
Pertama-tama secara istilah radikalisme berasal dari bahasa
Latin “radix” yang artinya akar, pangkal, bagian bawah, atau bisa juga
berarti menyeluruh, habis-habisan dan amat keras untuk menuntut
perubahan. Menurut KBBI, radikalisme berarti (1) paham atau aliran
yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan
perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan
atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik (Nasional 2008,
1151-2). Seringkali dalam mewujudkan cita-cita perubahan mereka
menggunakan cara-cara kekerasan atau terorisme.
Rubaidi menguraikan lima ciri gerakan radikalisme. Pertama,
men­jadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan
individual dan juga politik ketatanegaraan. Kedua, nilai-nilai Islam yang
dianut mengadopsi sumbernya—di Timur Tengah—secara apa adanya
tanpa mem­
pertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika
Alquran dan Hadis hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian.
Ketiga, karena perhatian lebih terfokus pada teks Alquran dan Hadis,
maka purifikasi ini sangat berhati-hati untuk menerima segala budaya
non asal Islam (budaya Timur Tengah) termasuk berhati-hati menerima
tradisi lokal karena khawatir mencampuri Islam dengan bidah. Keempat,
menolak ideologi non-Timur Tengah termasuk ideologi Barat, seperti
demokrasi, sekularisme dan liberalisme. Sekali lagi, segala peraturan
yang ditetapkan harus merujuk pada Alquran dan Hadis. Kelima, gerakan
kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk
pemerintah. Karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik
dengan kelompok lain, termasuk pemerintah (Rubaidi 2010, 63).
Peningkatan radikalisme keagamaan banyak berakar pada
kenyataan kian merebaknya berbagai penafsiran, pemahaman, aliran,
bahkan sekte di dalam (intra) satu agama tertentu. Menurut Azyumardi
94
Peran Guru PAI dalam Upaya Deradikalisasi Siswa
Azra, di kalangan Islam, radikalisme keagamaan itu banyak bersumber
dari:
1.
2.
3.
Pemahaman keagamaan yang literal, sepotong-sepotong terhadap
ayat-ayat Alquran. Pemahaman seperti itu hampir tidak memberikan
ruang bagi akomodasi dan kompromi dengan kelompok-kelompok
muslim lain yang umumnya moderat, dan karena itu menjadi arus
utama (mainstream) umat. Kelompok umat Islam yang berpaham
seperti ini sudah muncul sejak masa al-Khulafa’ al-Rasyidun Keempat
Ali bin Abi Thalib dalam bentuk kaum Khawarij yang sangat radikal
dan melakukan banyak pembunuhan terhadap pemimpin muslim
yang telah mereka nyatakan “kafir”.
Bacaan yang salah terhadap sejarah Islam yang dikombinasikan
dengan idealisasi berlebihan terhadap Islam pada masa tertentu.
Ini terlihat dalam pandangan dan gerakan Salafi, khususnya
pada spektrum sangat radikal seperti Wahabiyah yang muncul
di Semenanjung Arabia pada akhir abad 18 awal sampai dengan
abad 19 dan terus merebak sampai sekarang ini.
Tema pokok kelompok dan sel Salafi ini adalah pemurnian
Islam, yakni membersihkan Islam dari pemahaman dan praktik
keagamaan yang mereka pandang sebagai bidah, yang tidak jarang
mereka lakukan dengan cara-cara kekerasan. Dengan pemahaman
dan praksis keagamaan seperti itu, kelompok dan sel radikal ini
“menyempal” (splinter) dari mainstream Islam yang memegang
dominasi dan hegemoni otoritas teologis dan hukum agama dan
sekaligus kepemimpinan agama. Karena itu, respon dan reaksi
keras sering muncul dari kelompok-kelompok “mainstream”, arus
utama, dalam agama. Mereka tidak jarang mengeluarkan ketetapan,
bahkan fatwa, yang menetapkan kelompok-kelompok sempalan
tersebut sebagai sesat dan menyesatkan. Ketetapan atau fatwa
tersebut dalam praktiknya tidak jarang pula digunakan kelompokkelompok mainstream tertentu sebagai dasar dan justifikasi untuk
melakukan tindakan main hakim sendiri.
Deprivasi politik, sosial dan ekonomi yang masih bertahan dalam
masyarakat. Pada saat yang sama, disorientasi dan dislokasi
sosial-budaya, dan ekses globalisasi, dan semacamnya sekaligus
merupakan tambahan faktor-faktor penting bagi kemunculan
kelompok-kelompok radikal. Kelompok-kelompok sempalan terse­
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
95
but tidak jarang mengambil bentuk kultus (cult), yang sangat
eksklu­sif, tertutup dan berpusat pada seseorang yang dipandang
kharismatik. Kelompok-kelompok ini dengan dogma eskatologis
tertentu bahkan memandang dunia sudah menjelang akhir zaman
dan kiamat; sekarang waktunya bertobat melalui pemimpin dan
kelompok mereka. Doktrin dan pandangan teologis-eskatologis
seperti ini, tidak bisa lain dengan segera dapat menimbulkan reaksi
dari agama-agama mainstream, yang dapat berujung pada konflik
sosial. Radikalisme keagamaan jelas berujung pada peningkatan
konflik sosial dan kekerasan bernuansa intra dan antaragama;
juga bahkan antar umat beragama dengan negara. Ini terlihat jelas,
misalnya, dengan meningkatnya aktivitas penutupan gereja di
beberapa tempat di mana kaum muslim mayoritas, seperti di Bekasi,
Bogor dan Temanggung belum lama ini. Atau penutupan masjid/
musala di daerah mayoritas nonmuslim di berbagai tempat di tanah
air, seperti di Bali pasca-bom Bali Oktober 2002; termasuk pula
anarkisme terhadap berbagai fasilitas dan masjid-masjid Ahmadiyah
serta para jemaatnya. Berbagai tindak kekerasan terhadap pengikut
Ahmadiyah juga masih terus terjadi di sejumlah tempat mulai
dari NTB, Parung, Cikeusik dan berbagai lokasi lain. Lalu ada juga
kelompok-kelompok hardliners atau garis keras di kalangan muslim,
menegakkan hukumnya sendiri–atas nama syariat (hukum Islam)–
seperti pernah dilakukan Laskar Jihad di Ambon ketika terjadinya
konflik komunal Kristen-Muslim; atau razia-razia yang dilakukan
Front Pembela Islam (FPI) dalam beberapa tahun terakhir ini,
khususnya pada Ramadhan, atas diskotik, dan tempat-tempat
hiburan lainnya atas nama al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an almunkar (menyeru dengan kebaikan dan mencegah kemungkaran).
Bagi mereka tidak cukup hanya amar ma`ruf dengan lisan,
perkataan; harus dilakukan pencegahan terhadap kemungkaran
dengan tangan (al-yad), atau kekuatan. Sekali lagi, tindakan-tindakan
seperti ini juga dapat memicu terjadinya konflik sosial. Umat Islam
mainstream—seperti diwakili NU, Muhammadiyah, dan banyak
organisasi lain—berulang kali menyatakan, mereka menolak caracara kekerasan, meski untuk menegakkan kebaikan dan mencegah
kemungkaran sekalipun. Tetapi, seruan organisasi-organisasi
mainstream ini sering tidak efektif; apalagi di dalam organisasiorganisasi ini juga terdapat kelompok garis keras yang terus juga
96
Peran Guru PAI dalam Upaya Deradikalisasi Siswa
4.
melakukan tekanan internal terhadap kepemimpinan organisasi
masing-masing.
Masih berlanjutnya konflik sosial bernuansa intra dan antaragama
dalam masa reformasi ini, sekali lagi, disebabkan berbagai faktor
amat kompleks. Pertama, berkaitan dengan euforia kebebasan,
dimana setiap orang atau kelompok merasa dapat mengekspresikan
kebebasan dan kemauannya, tanpa peduli dengan pihak-pihak lain.
Dengan demikian terdapat gejala menurunnya toleransi. Kedua,
masih berlanjutnya fragmentasi politik dan sosial khususnya di
kalangan elite politik, sosial, militer, yang terus mengimbas ke
lapisan bawah (grassroot) dan menimbulkan konflik horizontal yang
laten dan luas. Terdapat berbagai indikasi, konflik dan kekerasan
bernuansa agama bahkan diprovokasi kalangan elit tertentu untuk
kepentingan mereka sendiri. Ketiga, tidak konsistennya penegakan
hukum. Beberapa kasus konflik dan kekerasan yang bernuasa agama
atau membawa simbolisme agama menunjukkan indikasi konflik di
antara aparat keamanan, dan bahkan kontestasi di antara kelompokkelompok elite lokal. Keempat, meluasnya disorientasi dan dislokasi
dalam masyarakat Indonesia, karena kesulitan-kesulitan dalam
kehidupan sehari-hari. Kenaikan harga kebutuhan-kebutuhan
sehari-hari lainnya membuat kalangan masyarakat semakin
terhimpit dan terjepit. Akibatnya, orang-orang atau kelompok
yang terhempas dan terkapar ini dengan mudah dan murah dapat
melakukan tindakan emosional, dan bahkan dapat disewa untuk
melakukan tindakan melanggar hukum dan kekerasan.
Berdasarkan hasil penelusuran Komaruddin Hidayat (okezone
2009), ada beberapa ciri dari gerakan ini yang perlu diperhatikan oleh
guru dan orang tua. Pertama, para tutor penyebar ideologi kekerasan
itu selalu menanamkan kebencian terhadap negara dan pemerintahan.
Bahwa pemerintahan Indonesia itu pemerintahan tagut, seitan, karena
tidak menjadikan Alquran sebagai dasarnya. Pemerintahan manapun
dan siapa pun yang tidak berpegang pada Alquran berarti melawan
Tuhan dan mereka mesti dijauhi, atau bahkan dilawan.
Kedua, para siswa yang sudah masuk pada jaringan ini menolak
menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, terlebih lagi upacara hormat
bendera. Kalaupun mereka melakukan, itu semata hanya untuk mencari
selamat, tetapi hatinya mengumpat. Mereka tidak mau tahu bahwa sebagai
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
97
warga negara mesti mengikuti dan menghargai tradisi, budaya, dan etika
berbangsa dan bernegara, dibedakan dari ritual beragama.
Ketiga, ikatan emosional pada ustaz, senior, dan kelompoknya
lebih kuat daripada ikatan keluarga dan almamaternya. Keempat,
kegiatan yang mereka lakukan dalam melakukan pengajian dan
kaderisasi bersifat tertutup dengan menggunakan lorong dan sudutsudut sekolah, sehingga terkesan sedang studi kelompok. Lebih jauh
lagi untuk pendalamannya mereka mengadakan outbond atau mereka
sebut rihlah, dengan agenda utamanya renungan dan baiat. Kelima,
bagi mereka yang sudah masuk anggota jamaah diharuskan membayar
uang sebagai pembersihan jiwa dari dosa-dosa yang mereka lakukan.
Jika merasa besar dosanya, semakin besar pula uang penebusannya.
Keenam, ada di antara mereka yang mengenakan pakaian secara khas
yang katanya sesuai ajaran Islam, serta bersikap sinis terhadap yang
lain. Ketujuh, umat Islam di luar kelompoknya dianggap fasik dan kafir
sebelum melakukan hijrah: bergabung dengan mereka.
Kedelapan, mereka enggan dan menolak mendengarkan ceramah
keagamaan di luar kelompoknya. Meskipun pengetahuan mereka tentang
Alquran masih dangkal, mereka merasa memiliki keyakinan agama
paling benar, sehingga meremehkan, bahkan membenci ustaz di luar
kelompoknya. Kesembilan, di antara mereka itu ada yang kemudian keluar
setelah banyak bergaul, diskusi secara kritis dengan ustaz dan intelektual
di luar kelompoknya, namun ada juga yang kemudian bersikukuh dengan
keyakinannya sampai masuk ke perguruan tinggi yang sangat berpeluang
menjadi penyebar benih radikalisme dan sekaligus penangkal (baca:
deradikalisasi) Islam radikal. Studi-studi tentang radikalisme dan terorisme
mensinyalir adanya lembaga pendidikan Islam tertentu (terutama yang
nonformal, seperti pesantren) telah mengajarkan fundamentalisme dan
radikalisme kepada para peserta didik. Belakangan, sekolah-sekolah
formal juga mulai mengajarkan elemen-elemen Islam radikal, misalnya
mengajarkan kepada murid untuk tidak menghormat bendera Merah
Putih saat upacara bendera.
D. PERAN GURU PAI
DALAM UPAYA DERADIKALISASI SISWA
Dari paparan di atas radikalisme di kalangan sekolah bisa terjadi
karena memang ada elemen-elemen radikalisme yang ada dalam
98
Peran Guru PAI dalam Upaya Deradikalisasi Siswa
buku-buku PAI. Karena itu, peran guru PAI di sini adalah sebagai yang
memberi umpan balik atau sebagi evaluator atas materi-materi PAI
yang bermuatan elemen-elemen radikal. Evaluasi ini bisa dijadikan
masukan kepada bagian kurikulum di tingkat sekolah yang seterusnya
akan dilanjutkan kepada pihak yang berwenang sampai ke tingkat
nasional. Di tingkat nasional bisa dilakukan desain ulang kurikulum
materi PAI yang lebih berwawasan moderat dan rahmatan lil ‘alamin.
Terkait dengan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang dilakukan
pihak ketiga maka guru agama berperan sebagai manajerial kegiatan ini.
Misalanya guru agama harus memantau silabus kegiatan yang dilakukan
oleh Rohis, apa materi serta dari mana pengisinya. Hal ini dilakukan
agar jangan sampai pihak-pihak ketiga memiliki kesempatan untuk
memasukkan elemen-elemen radikal dalam kegiatan rohis di sekolah.
Salah satu gerakan ciri radikal adalah menganggap bahwa
pemeritanh NKRI adalah sebagai sistem thaghut karena tidak
berdasarkan ajaran Islam yang murni versi mereka. Dalam kaitan ini,
peran guru agama berperan sebagai pembimbing yang menjelaskan
bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila
bukan agama tertentu. Tetapi itu tidak berarti bahwa Indonesia
antiagama atau bahwa Pancasila di atas agama. Justru Pancasila
diilhami oleh ajaran-ajaran agama. Di samping itu, juga guru agama
harus berperan menanamkan kecintaan kepada bangsa dan negara
(nasionalisme) sebagai bagian dari mengamalkan ajaran agama yang
benar. Dengan demikian, para siswa tidak lagi bisa disusupi dengan
paham radikal yang salah satu cirinya adalah memperlawankan antara
ajaran Islam dengan negara.
Di samping itu, sudah merupakan fakta bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa yang beraneka yang meski demikian kebhinekaan itu
tidak menyebabkan perpecahan. Semangat inilah yang kemudian
menjadi semboyan negara kita Bhineka Tunggal Ika. Kenyataan inilah
yang harus menyadarkan guru PAI bahwa anak didiknya adalah
manusia-manusia yang unik yang tidak bisa diseragamkan seperti
kehendak kaum radikal. Karena itulah, James Lynch menyatakan
pendidik agama harus mampu menyampaikan pokok bahasan
multikultural dengan berorientasi pada dua tujuan, yaitu: penghargaan
kepada orang lain (respect for others) dan penghargaan kepada diri
sendiri (respect for self). Kedua bentuk penghargaan ini mencakup tiga
ranah pembelajaran (domain of learning) yaitu pengetahuan (cognitive),
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
99
keterampilan (psychomotor), dan sikap (affective) (Lynch 1986, 86-87).
Tentu saja tugas guru PAI tidak hanya sekadar pentransfer informasi
mengenai nilai-nilai multikulturalitas tetapi juga ia harus dapat bersikap
dan berperilaku sesuai nilai-nilai multikulturalitas. Ia harus dapat menjadi
teladan kepada anak didik, keluarga, dan masyarakat. Karena itu, pendidik
jangan mengajar agama dengan gaya yang cenderung mengindoktrinasi,
namun ia harus dapat memberi pelajaran tentang iman dalam semangat
religiusitas yang dialami dalam kehidupan sehari-hari (Posumah-Santoso
2005, 285).
Menurut Abu Rokhmad, gerakan radikalisasi harus proaktif dan
tidak menunggu sampai terjadi aksi terorisme. Strategi deradikalisasi
yang dapat dilakukan oleh guru-guru PAI adalah: (1) re-edukasi
(memahami Islam lebih utuh); (2) kampanye ukhuwwah islāmiyyah dan
antiradikalisme. Di samping itu, deradikalisasi juga dapat dilakukan
setelah seseorang menjadi radikal (curative deradicalization). Model
ini bersifat menyembuhkan bagi pelaku radikalisme, baik sebelum
maupun setelah terjadi aksi radikal (teror). Selain membutuhkan strategi
deradikalisi yang pertama, juga dibutukan langkah-langkah yang lain,
seperti a) dialog intensif; b) pendekatan konseling dan psikologis. Aktor
yang terlibat dalam deradikalisasi model yang pertama ini adalah guru
PAI, pihak sekolah dan orang tua. Jika seseorang sudah melakukan
tindakan teror, yang berhasil ditangkap, diadili dan dipenjarakan, maka
strategi deradikalisasi mengacu kebijakan pemerintah yang dilakukan
oleh BNPT (Rokhmad 2012, 109).
DAFTAR PUSTAKA
Ahwan, Ahmad. Dimensi Etika Mengajar dalam Pendidikan Islam. 1.
Yogyakarta: Gama Media, 2010.
Ali, Muhammad. Guru dalam Proses Belajar Mengajar. 13. Bandung:
Sinar Baru Algesindo, 2008.
Aziz, Hamka Abdul. Karakter Guru Profesional. 1. Jakarta: al-Mawardi,
2013.
Chatib, Munif. Gurunya Manusia. 1. Bandung: Kaifa, 2013.
Djamarah, Syaiful Bahri. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif.
Jakarta: Rineke Cipta, 2010.
100 Peran Guru PAI dalam Upaya Deradikalisasi Siswa
Drajat, Zakiyah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Angkasa, 1996.
FIP-UPI, Tim Pengembang Ilmu Pendidikan. Ilmu dan Aplikasi
Pendidikan. Bandung: Imperial Bhakti Utama, 2007.
Hidayat, Syarif. Teori dan Prinsip Pendidikan. Tangerang: Pustaka Mandiri,
2013.
Lynch, James. Multicultural Education: Principles and Practise. London:
Routledge & Kegan Paul, 1986.
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajawali Pers, 2007.
Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 5.
Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
Posumah-Santoso, Jedid T. “Pluralisme Pendidikan Agama.” In
Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, by Th.
Sumartana dkk, 285. Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2005.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. 10. Jakarta: Kalam Mulia, 2013.
Rubaidi, A. Radikalisme Islam, Nahdhatul Ulama; Masa Depan Moderatisme
Islam di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010.
Saebani, Beni Ahmad. Ilmu Pendidikan Islam 1. 2. Bandung: Pustaka
Setia, 2012.
Suprihatiningrum, Jamil. Guru Profesiional IPedoman Kinerja,
Kualifikasi, dan Kompetensi Guru. 1. Jakarta: ar-Ruz Media, 2013.
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. 15.
Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010.
Syah, Muhibbin. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan
Nasional Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen. Jakarta: Visimedia, 2008.
Uhbiyati, Abu Ahmadi & Nur. Ilmu Pendidikan Agama. Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1991.
Yasin, A. Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang,
2008.
Zuhairini, Dkk. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Surabaya: Usaha
NAasional, 1983.
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
101
Jurnal
Munip, Abdul. “Mengangkal Radikalisme Agama di Sekolah.” Jurnal
Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga 1, no. 2 (November 2012): 159181.
Rokhmad, Abu. “Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham
Radikal.” Walisongo 20, no. 1 (2012): 79.
Situs Daring
Indonesia, Media. “Media Indonesia.” http://www.mediaindonesia.
com. 1 September 2016. http://www.mediaindonesia.com/news/
read/64540/sekolah-larang-hormat-bendera/2016-09-01 (diakses
18 Maret 2017).
kemenag. http://pendis.kemenag.go.id. April 1, 2016. http://pendis.
kemenag.go.id/file/dokumen/uuno20th2003ttgsisdiknas.pdf
(diakses 1 April 2016).
Lestari, Sri. “bbc.” www.bbc.com. Mei 25, 2016. http://www.bbc.com/
indonesia/berita_indonesia/2016/05/160519_indonesia_lapsus_
radikalisme_anakmuda_sekolah (diakses 18 Maret 2017).
Metrotvnews. “Metro TV.” Metrotvnews.com. Juni 6, 2011. www.
metrotvnews.com (diakses 18 Maret 2017).
okezone. http://news.okezone.com/. Oktober 23, 2009. http://news.
okezone.com/read/2009/10/23/58/268509/radikalisme-islammenyusup-ke-smu (diakses 1 April 2016).
Tisnadibrata, Ismira Lutfia. “http://www.benarnews.org.” Februari 18,
2016. http://www.benarnews.org/indonesian/berita/radikalisme-dikalangan-mahasiswa-02182016114216.html (diakses 18 Maret 2017).
102 Peran Guru PAI dalam Upaya Deradikalisasi Siswa
Download