BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARISAN MAZHAB SYAFI`I

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARISAN MAZHAB SYAFI’I
1. Pengertian Kewarisan
Kewarisan secara umum dibagi menjadi 3 yaitu: kewarisan Islam,
kewarisan perdata barat atau BW dan kewarisan adat.
Kewarisan Islam adalah peralihan harta atau berujud harta dari yang
telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan
mengikat untuk semua yang beragama Islam. 1
Kewarisan perdata barat atau BW dibagi menjadi 2 yaitu: kewarisan
ab intestato dan kewarisan secara testamen.
Kewarisan ab intestato adalah kewarisan sebagai akibat dari
meninggalnya seseorang atau kewarisan menurut undang-undang.
Kewarisan secara testamen adalah kewarisan karena diangkat atau
ditunjuk dengan surat wasiat yang dilakukan oleh seseorang pada waktu ia
masih hidup.2
Kewarisan adat adalah harta warisan tanpa sengketa yang dibagi oleh
para ahli waris melalui musyawarah di antara mereka, dan harta warisan
yang dipersengketakan dibagi oleh para ahli waris melalui musyawarah
dewan adat setempat.3
1
2
h.59.
3
Amir Syarifuddin, hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 6.
Zainuddin Ali, Pelaksanan Hukum Waris Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
Zainuddin Ali, Pelaksanan Hukum Waris Di Indonesia,................................................ h.16.
23
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
Ilmu waris juga sering disebut dengan ilmu faraidh. Kata faraidh
adalah bentuk jamak dari fardh yaitu bagian yang ditentukan. Disebut ilmu
Faraidh karena ilmu yang membahas tentang bagian-bagian yang telah
ditentukan kepada ahli waris. Sehingga ilmu faraidh atau ilmu waris
didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut :
Ilmu fiqh yang berkaitan dengan pembagian harta pusaka,
pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada
pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang
wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik harta pusaka. 4
Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw :
Ulama adalah ahli waris para nabi
ِ‫اء‬
ِ ‫ا َ ْلعُلَ َما ُء َو َرثَةُاْالَ ْن ِب َي‬
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para
ulama/ imam syafi’i ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang
meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan
itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal
secara syar’i. 5
2. Sumber-Sumber Hukum Kewarisan
Dasar dan sumber utama dari hukum islam sebagai hukum agama
(islam) adalah nash atau teks yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan
4
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h.1-2.
Muhammad Ali ash-Sabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1995), h. 33.
5
24
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
sunnah Nabi. Ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi yang secara langsung
mengatur kewarisan tersebut antara lain sebagai berikut.
a. Ayat-ayat Al-Qur’an
QS. An-Nisaa’ ayat 7 :
ِ ِ ِ  ِ 
ِ ِ 
ِِ
ِ

ِِ
ِ ِ ِ ِ 
ِ ِ ِ ِ ِ 
ِ ِ
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan.
Ketentuan dalam ayat diatas, merupakan landasan utama yang
menunjukkan, bahwa dalam islam baik laki-laki maupun perempuan samasama mempunyai hak waris, dan sekaligus merupakan pengakuan islam,
bahwa perempuan merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan
kewajiban. Tidak demikian halnya pada masa jahiliyah, di mana wanita
dipandang sebagai objek bagaikan benda biasa yang dapat diwariskan.
Sebagai pertanda yang lebih nyata, bahwa islam mengakui wanita
sebagai subjek hukum, dalam keadaan tertentu mempunyai hak waris,
sedikit ataupun banyak yang telah dijelaskan dalam beberapa ayat alQur’an.
QS. An-Nisaa’ ayat 8 :
ِ ِ
ِ ِ
ِ


ِ
25
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
ِِ 
 ِ
ِ ِِِِ ِ
Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat (kerabat yang tidak
mempunyai hak warisan dari harta benda pusaka), anak yatim dan orang
miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (pemberian sekadarnya itu
tidak boleh lebih dari sepertiga harta warisan atau sekadarnya) dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.6
b. Al-Hadis, yang antara lain diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a :
ْ ُ‫ا َ ْل ِحق‬:‫ل‬
ِ‫ض‬
َِ ‫سلَّ َم ِقَا‬
َِ ‫علَيْ ِه‬
َِّ ‫صل‬
ِ ِ‫ي‬
ِ ‫واال َف َر‬
َ ُِ‫ى ّللا‬
َ ِ‫ع ْم ُا َما‬
َ ُِ‫للا‬
َ ِ‫ع ِن ِاب ِْن‬
َ
َ ‫اء‬
َ ‫ِو‬
ِ ‫عبَّاِسِ َر‬
َ ِِ ‫ع ِن ِالِمَّبِي‬
َ ‫ض‬
ِ)‫ىِر ُجلِ ِذَ َكرِ(متفقِعليه‬
ِ
َ َ‫يِفَ ِل َء ْول‬
َ ‫ب َءِ ْه ِل َااِفَ َماِبَ ِق‬
Artinya :
“Berikanlah warisan kepada orang-orang yang berhak menerimanya,
kemudian sisanya diberikan kepada ahli waris laki-laki yang paling
berhak”.7
c. Sebagian kecil dari ijma’ para ahli, dan beberapa masalah diambil dari
ijtihad para sahabat.
Ijma dan ijtihad sahabat, imam madzhab, dan para mujtahid dapat
digunakan dalam pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang
belum di jelaskan oleh nash yang sharih.
Misalnya:
a. Status saudara-saudara baersama-sama dengan kakek. Dalam AlQur’an, masalah ini tidak dijelaskan, kecuali dalam masalah kalalah.
Akan tetapi, menurut kebanyakan sahabat dan imam madzhab yang
6
Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 12-13.
7
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fatthul Baari Syara Shahih Al-Bukhari Di Terjemahkan Oleh
Amir Hamzah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 550.
26
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
mengutip pendapat zaid bin Sabit, saudara-saudara tersebut mendapat
bagian waris secara muqasamah bersama dengan kakek.
b. Status cucu-cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggalkan daripada
kakek yang bakal diwarisi dan yang mewarisi bersama-sama dengan
saudara-saudara ayahnya. Menurut ketentuan mereka, cucu-cucu
tersebut tidak mendapat bagian apa-apa karena terhijab oleh saudara
ayahnya, tetapi menurut kitab Undang-Undang Hukum Wasiat Mesir
yang meng-istinbat dari ijtihad para ulama muqaddimin mereka diberi
bagian berdasarkan wasiat wajibah.
3. Sebab-Sebab Mewarisi, Syarat-Syarat Mewarisi dan Halangan
Memperoleh Warisan
a. Sebab-sebab Kewarisan
Hal-hal yang menyebabkan seseorang dapat mewarisi terbagi atas
tiga macam, yaitu sebagai berikut :
1. Karena hubungan kekerabatan atau hubungan nasab
Seperti kedua orang tua (ibu-bapak), anak, cucu, dan saudara, serta
paman dan bibi. Singkatnya adalah kedua orang tua, anak, dan orang yang
bernasab dengan mereka. Allah SWT. Berfirman dalam al-Qur’an :
ِِ ِ ِ 
ِ ِ ِ 
ِِ
ِ ِ 
 
ِِ
ِ
ِ
ِ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ 
ِِِ
27
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat) di dalam
Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS.
Al-Anfal : 75)
Kekerabatan artinya adanya hubungan nasab antara orang yang
mewarisi dengan orang yang diwarisi disebabkan oleh kelahiran.
Kekerabatan merupakan sebab adanya hak mempusakai yang paling kuat
karena kekerabatan merupakan unsur kausalitas adanya seseorang yang
tidak dapat dihilangkan begitu saja.
Macam-macam garis kekerabatan dan penggolongannya
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang diwarisi
dengan yang mewarisi, kerabat dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :
1. Furu, yaitu anak turun (cabang) dari si pewaris.
2. Usul, yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si pewaris.
3. Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si pewaris melalui
garis menyamping, seperti saudara, paman bibi, dan anak turunannya
tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan.
2. Karena Hubungan Pernikahan
Hubungan pernikahan ini terjadi setelah dilakukannya akad nikah
yang sah dan terjadi antara suami-istri sekalipun belum terjadi
persetubuhan. Adapun suami-istri yang melakukan pernikahan tidak sah
tidak menyebabkan adanya hak waris
Pernikahan yang sah menurut syari’at islam merupakan ikatan untuk
mempertemukan seorang laki-laki dengan seseorang perempuan selama
ikatan pernikahan itu masih terjadi. Masing-masing pihak adalah teman
28
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
hidup dan pembantu bagi yang lain dalam memikul beban hidup bersama.
Oleh karena itu, adalah bijaksana kalau Allah memberikan sebagian
tertentu sebagai imbalan pengorbanan dari jerih payahnya, bila salah satu
dari keduanya meninggal dunia dan meninggalkan harta pusaka.
Atas dasar itulah, hak suami maupun istri tidak dapat terhijab sama
sekali oleh ahli waris siapa pun. Mereka hanya dapat terrhijab nuqsan
(dikurang bagiannya) oleh anak turun mereka atau oleh ahli waris yang
lain.
Perkawinan yang menyebabkan dapat mewaarisi memerlukan dua
syarat, yaitu :
a. Akad itu sah menurut syari’at islam, baik keduanya telah berkumpul
maupun belum.
b. Ikatan perkawinan antara suami-istri itu masih utuh atau dianggap
masih utuh.
Suatu perkawinan dianggap masih utuh apabila perkawinan itu telah
diputuskan dengan talak raj’i, tapi masih dalam massa iddah. Jadi, bila
suami meninggal dunia dengan meninggalkan istri yang masih dalam masa
iddah talah raj’i, istrinya masih dapat mewarisi harta peninggalan
suaminya. Begitu pula sebaliknya, suami dapat
mewarisi harta
peninggalan istrinya yang meninggal dalam masa iddah talaq raj’i. Akan
tetapi, kalau istri habis masa iddahnya, menurut ijma’ keduanya tidak
saling mewarisi harta peninggalan masing-masing.
29
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
Bila seseorang suami dalam keadaan sakit berat menalak istrinya,
kemudian ia meninggal saat istrinya masih dalam masa iddah, istri dapat
mewarisi harta peninggalan suaminya. Akan tetapi, bila istrinya
meninggal, suami tidak berhak mewarisi harta istrinya. Pendapat ini dianut
oleh imam Syuraih, As-Sa’by, abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i, yang
bersumber dari Umar r.a dan Ustman r.a.
3. Karena Wala
Wala adalah pewarisan karena jasa seseorang telah memerdekakan
seorang hamba kemudian budak itu menjadi kaya. Jika orang yang
dimerdekakan itu meninggal dunia, orang yang memerdekakannya berhak
mendapatkan warisan.
Wala’ yang dapat dikategorikan sebagai kerabat secara hukum
disebut juga dengan istilah wala’ul itqi, dan atau wala’un nikmah. Hal ini
karena pemberian kenikmatan kepada seseorang yang telah dibebaskan
dari statusnya sebagai hamba sahaya.
Jika seseorang membebaskan hamba sahaya dengan seluruh barangbarang yang dimilikya itu, berarti telah terjadi hubungan antara hamba
sahaya yang dibebaskan dengan orang yang membebaskannya dalam suatu
ikatan yang disebut wala’ul itqi. Orang yang membebaskan hamba sahaya
karena wala’ul itqi ini dapat mewarisi harta peninggalan hamba sahaya
yang telah dibebaskannya jika si hamba sahaya itu telah menjadi kaya. Hal
ini ditentukan oleh syari’at islam sebagai balas jasa atas perbuatan mulia
yang dilakukan tersebut. Warisan itu dapat diperoleh jika orang yang
30
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
dimerdekakan itu tidak mempunyai ahli waris, zawil arham, atau suamiistri.8
Tetapi pada zaman sekarang ini, sebab kewarisan karena wala sudah
tidak relevan lagi karena bukan zamannya. Zaman sekarang lebih merdeka
tidak ada perbudakan lagi, dimana si kaya dan si miskin mempunyai
kedudukan yang sama.
4. Hubungan sesama Islam
Hubungan Islam yang dimaksud disini terjadi apabila seseorang
yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris, maka harta warisannya
itu diserahkan kepada perbendaharaan umum atau yang disebut Baitul
Maal yang akan digunakan oleh umat islam. Dengan demikian, harta
oarang Islam yang tidak mempunyai ahli waris oleh umat Islam. 9
b. Syarat-Syarat Mewarisi
Kematian seorang muwarrits itu menurut ulama dibedakan menjadi
tiga macam, yaitu sebagi berikut :
1. Mati haqiqi (mati sejati), yaitu hilangnya nyawa seseorang yang
semula nyawa itu sudah berujud padanya. Kematian ini dapat
disaksikan oleh pancaindra dan dapat dibuktikan dengan alat
pembuktian.
2. Mati hukmy (mati menurut putusan hakim), yaitu sesuatu kematian
disebabkan adanya putusan hakim, baik pada hakikatnya orang yang
8
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 15-24.
Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 75.
9
31
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
bersangkutan masih hidup maupun dalam dua kemungkinan antara
hidup dan mati.
3. Mati taqdiry (mati menurut dugaan), yaitu suatu kematian yang
bukan haqiqi dan bukan hukmy, tetapi semata-mata berdasarkan
dugaan yang kuat.
Hidup warits (orang-orang yang mewarisi) disaat kematian
muwarrist. Para ahli waris yang benar-benar masih hidup disaat kematian
muwarrits, baik matinya secara haqiqi, hukmy, ataupun taqdiry berhak
mewarisi harta peninggalannya.
Meskipun dua syarat mewarisi telah ada pada muwarrits dan warits,
namun salah seorang dari mereka tidak dapat
mewarisi harta
peninggalannya kepada yang lain atau mewariskan harta peninggalannya
kepada yang lain, selama masih terdapat salah satu dari empat penghalang
mewarisi, yaitu perbudakan, pembunuhan, perbedaan agama (kafir) dan
perbedaan negara. 10
c. Halangan Mewarisi/Hilangnya Hak Waris Mewarisi
Hal-hal yang menyebabkan ahli waris kehilangan hal mewarisi atau
terhalang mewarisi adalah sebagai berikut:
1. Perbudakan
Sejak semula islam menghendaki agar perbudakan dihapus, namun
kenyataannya perbudakan sudah merata dimana-mana dan sukar dihapus.
Oleh karena itu, perbudakan mendapatkan tempat dalam pembahasan
10
Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 62.
32
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
hukum islam. Di dalam al-Qur’an telah digambarkan bahwa seorang
budak tidak cakap mengurus hak milik kebendaan dengan jalan apa saja.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT Surah An-Nahl ayat 75.
ِِ
ِ
ِ
ِ

ِِ ِ ِ ِ 
ِ ِ
Allah telah membuat perumpamaan seorang yang tidak dapat bertindak
terhadap sesuatu pun.
Status seorang budak tidak dapat menjadi ahli waris, karena
dipandang tidak cakap mengurusi harta dan telah putus hubungan
kekeluargaan dengan kerabatnya. Bahkan ada yang memandang budak itu
statusnya sebagai harta milik tuannya. Dia tidak dapat mewariskan harta
peninggalannya, sebab ia sendiri dan segala harta yang ada pada dirinya
adalah milik tuannya. Dia tidak memiliki harta.
2. Pembunuhan
Para ahli hukum islam sepakat bahwa tindakan pembunuhan yang
dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, pada prinsipnya menjadi
penghalang baginya untuk mewarisi harta warisan pewaris yang
dibunuhnya.
Mengingat banyaknya bentuk tindakan pembunuhan, para fuqaha
berbeda pendapat tentang jenis pembunuhan mana yang menjadi
mawani’ul irsi (penghalang mewarisi).
Fuqaha aliran Syafi’iyah dengan berpegang pada keumuman hadis
diatas berpendapat bahwa segala bentuk tindakan pembunuhan yang
33
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, adalah menjadi penghalang
baginya untuk mewarisi.
3. Berlainan Agama
Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama yang menjadi
kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan.
Para ahli hukum islam (jumhur ulama) sepakat bahwa orang non islam
(kafir) tidak dapat mewarisi harta orang islam lantaran status orang non
islam (kafir) lebih rendah. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT, dalam Surah
An-Nisaa’ ayat 141 :
ِِ ِ ِ 
ِِِِ
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir
untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.
Apabila seorang ahli waris yang berbeda agama beberapa saat
sesudah meninggalnya pewaris lalu masuk islam, sedangkan peninggalan
belum dibagi-bagikan maka seorang ahli waris yang baru masuk islam itu
tetap terhalang untuk mewarisi, sebab timbulnya hak mewarisi tersebut
adalah sejak adanya kematian orang yang mewariskan, bukan saat kapan
dimulainya pembagian harta peninggalan. Padahal pada saat kematian si
pewaris, ia masih dalam keadaan non islam (kafir). Jadi, mereka dalam
keadaan berlainan agama.
Andaikata syarat mendapatkan hak mewarisi baru dimulai pada saat
pembagian harta peninggalan, tentu terdapat perbedaan hukum tentang
34
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
mendahulukan dan mengakhirkan pembagian harta peninggalan, dan tentu
hak yang demikian itu dapat disalahguanakan oleh ahli waris yang masuk
islam hanya untuk memperoleh harta peninggalan saja dan kemudian
murtad kembali setelah tercapai maksudnya.
4. Berlainan Negara
Ciri-ciri suatu negara adalah memiliki negara sendiri, memiliki
angkatan bersenjata, dan memilki kedaulatan sendiri. Maka yang
dimaksud berlainan negara adalah yang berlainan ketiga unsur tersebut.
Berlainan negara ada tiga kategori, yaitu berlainan menurut hakikatnya,
dan berlainan menurut hakikat sekaligus hukumnya.
Berlainan negara antara sesama muslim, telah disepakati fuqaha
bahwa hal ini tidak menjadi penghalang untuk saling mewarisi, sebab
semua negara islam mempunyai kesatuan hukum, meskipun berlainan
politik dan sistem pemerintahannya. Yang diperselisihkan adalah berlainan
negara antara orang-orang yang nonmuslim. Dalam hal ini menurut
jumhur ulama tidak menjadi penghalang mewarisi dengan alasan hadist
yang melarang warisan antara dua orang yang berlainan agama. Mafhum
mukhalaf-nya bahwa ahli waris dan pewaris yang sama agamanya dapat
saling mewarisi meskipun berbeda negaranya.
Adapun menurut Imam Hanifah dan sebagian Hanabilah bahwa hal
itu menjadi penghalang hak mewarisi, karena berlainan negara antara
orang-orang naonmuslim berarti terputusnya ishmah (kekuasaan) dan tidak
adanya hubungan perwalian sebagai dasar pewarisan. Adapun negara
35
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
dalam hakikatnya saja (muslim sama muslim) tidak berpengaruh dalam
segi hukum. 11
4. Macam-macam Ahli Waris dan Hak Masing-masing
1. Kewarisan Dzaul Furudh
Secara garis besar Hukum Kewarisan Islam menetapkan dua macam
ahli waris, yaitu ahli waris yang bagiannya telah ditentukan secara pasti
dan tertutup di dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi dan ahli waris yang
bagiannya masih terbuka karena tidak ditentukan bagiannya secara pasti.
Dalam bahasan ini akan dijelaskan dengan rinci berikut hak masingmasing.
a. Ahli waris dengan bagian tertentu
Di dalam al-Qur’an dan hadits Nabi disebutkan bagian-bagian
tertentu dan disebutkan pula ahli-ahli waris dengan bagian tertentu itu.
Bagian tertentu itu dalam al-Qur’an yang disebut furudh adalah dalam
bentuk angka pecahan yaitu 1/2, ¼, 1/8, 1/6, 1/3, dan 2/3. Para ahli waris
yang mendapat menurut angka-angka tersebut dinamai ahli waris dzaul
furudh. Ahli waris dzaul furudh itu adalah :
1.
Anak perempuan, Kemungkinan bagian anak perempuan adalah
sebagai berikut :

½ kalau ia sendiri saja ( dan tidak bersama anak laki-laki ).
11
Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 75-80.
36
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/

2/3 kalau anak perempuan ada dua atau lebih dan tidak bersama
anak laki-laki.
Dasar bagian anak perempuan dalam dua kemungkinan tersebut
adalah QS.al-Nisa’(4):11
2.
Cucu perempuan, yang hubungannya dengan pewaris hanya melewati
garis laki-laki saja tidak melewati garis perempuan dan seterusnya ke
bawah, Kemungkinan bagian cucu perempuan adalah:

½ kalau ia sendiri saja atau

2/3 kalau ia ada dua orang atau lebih dan tidak bersama dengan
cucu laki-laki, kemudian di antara mereka berbagi sama banyak.

3.
1/6 kalau bersama ada anak perempuan seorang saja.
Ibu, Bagian ibu ada tiga kemungkinan sebagi berikut:

1/6 bila ia bersama dengan anak atau cucu dari pewaris atau
bersama dua orang saudara atau lebih

1/3 bila ia tidak bersama dengan anak atau cucu laki-laki dari
keturunan anak laki-laki tetapi hanya bersama ayah

1/3 dari sisa bila tidak bersama anak atau cucu tetapi bersama
dengan suami atau istri
ِ ِ ِ ِ ِ ِ 
ِ ِ

ِِِِ
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga
Namun apabila ibu memperoleh sepertiga dari seluruh harta yang
ada maka ia akan mendapat bagian dua kali lipat bagian ayah. Hal ini
37
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
dipandang bertentangan dengan kaidah dasar faraid yang telah ditegaskan
dalam Al-Qur’an dalam bagian ayat “ lidzdzakari mitslu hazhzhil
untsayain “. Karenanya untuk tetap menegakkan kaidah dasar tersebut, ibu
mendapatkan bagian sepertiga dari harta warisan setelah diambil hak
suami pewaris. Dengan demikian, hak ayah menjadi dua kali lipat dari
bagian yang diterima ibu.12 Jadi bagian ibu tidak lebih banyak dari bagian
ayah.
Namun, ada pendapat lain yang diutarakan oleh Ibnu Abbas r.a
menurutnya, ibu tetap mendapat bagian sepertiga (1/3) dari seluruh harta
yang ditinggalkan suami atau istri ( anaknya ). Bahkan Ibnu Abbas
menyanggah pendapat Zaid bin Tsabit : “ Apakah memang ada di dalam
Al-Qur’an istilah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri ?”
Zaid menanggapinya dengan mengatakan : “Di dalam kitabullah juga tidak
disebutkan bahwa bagian ibu sepertiga dari seluruh harta peninggalan yang
ada bila ibu bersama-sama mewarisi dengan salah satu suami atau istri.
Sebab yang disebutkan di dalam Al-Qur’an hanya “ wawaritsahu
abawahu“.
Dasar hak dari kewarisan ibu dalam no. a) dan b) adalah QS. al Nisa’
(4): 11
4.
Ayah, Sebagai ahli waris dzaul furudh kemungkinan bagian ayah
adalah :
12
Muhammad Ali ash-Sabuni, Pembagian Waris Menurut Islam.... h. 55.
38
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/

1/6 kalau ia bersama dengan anak laki-laki dan perempuan atau
cucu laki-laki

1/6 dan kemudian mengambil sisa harta bila ia bersama dengan
anak atau cucu perempuan.
5.
Kakek shahih adalah kakek yang nasabnya dengan mayit tidak
diselingi oleh perempuan, misalnya ayah dari ayah.
Kakek yang shahih mendapatkan waris menurut ijma. “ dari Imran bin
Hushain, bahwa seorang laki-laki telah datang kepada Rosulullah saw,
lalu katanya sesungguhnya anak laki-laki dari anak laki-lakiku telah
mati, berapakah aku mendapatkan warisannya? Beliau menjawab :”
Engkau mendapatkan 1/6.
Hak waris kakek yang shahih itu gugur dengan adanya ayah dan bila
ayah tidak ada, maka kakek shahih yang menggantikannya. 13
6.
Nenek shahih adalah nenek yang nasabnya dengan si mayit tidak
diselingi oleh kakek yang fasid, kakek yang fasid ialah kakek yang
nasabnya dengan si mayit diselingi oleh perempuan, seperti ayah dari
ibu.14

Nenek mendapat 1/6, baik ia sendirian atau lebih.
13
http://www.nubatik.net/index.php?option=comconten&dopdf=1&id=837 pada tgl 22
september 2011
14
http://www.nubatik.net/index.php?option=comconten&dopdf=1&id=837 pada
tgl 22 september 2011
39
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
Hal ini berlandaskan pada apa yang telah ditetapkan di dalam hadits
sahih dan ijma seluruh sahabat.15
7.
Saudara perempuan kandung dari keturunan laki-laki, saudara
perempuan kandung mendapat bagian dalam beberapa kemungkinan
di bawah ini :

½ bila ia hanya seorang dan tidak ada bersama saudara kandung
laki-laki

2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada bersamanya
saudara laki-laki kemudian di antara mereka berbagi sama
banyak.
Dasar hak dari kewarisan saudara perempuan kandung dan saudara
perempuan seayah adalah Q.S An-Nisa : 176
8.
Saudara perempuan seayah dari keturunan laki-laki, kemungkinan
furudh saudara perempuan seayah adalah sebagai berikut :

½ bila ia hanya seorang diri dan tidak ada saudara seayah lakilaki, pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan,
pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek dan tidak pula anak
baik anak laki-laki maupun perempuan.
Dalilnya (An-Nisa :176) dan hal ini telah menjadi kesepakatan
ulama. 16

2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada saudara laki-laki
seayah
15
16
Muhammad Ali ash-Sabuni, Pembagian Waris Menurut Islam........ h. 59.
Muhammad Ali ash-Sabuni, Pembagian Waris Menurut Islam.................... h. 48.
40
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/

1/6 bila ia bersama seorang saudara kandung perempuan. hal ini
hukumnya sama dengan keadaan jika cucu perempuan keturunan
anak laki-laki bersamaan adanya anak perempuan. jadi, bila
seseorang meninggal dunia dan meninggalkan saudara perempuan
sekandung dan saudara perempuan seayah atau lebih, maka
saudara perempuan seayah mendapat bagian seperenam (1/6)
sebagai penyempurna dari dua pertiga (2/3). Sebab ketika saudara
perempuan kandung memperoleh setengah (1/2) bagian, maka
tidak ada sisa kecuali seperenam (1/6) yang memang merupakan
hak saudara perempuan seayah. 17
9.
Saudara laki-laki atau perempuan seibu, kemungkinan bagian saudara
laki-laki seibu adalah:

1/6 kalau ia hanya seorang
Dalilnya adalah firman Allah artinya “ jika seseorang mati baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan
tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara lakilaki ( seibu saja ) atau seorang saudara perempuan ( seibu saja ),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta “.
17
Muhammad Ali ash-Sabuni, Pembagian Waris Menurut Islam.................... h. 58-59.
41
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
Dan persyaratannya adalah bila pewaris tidak mempunyai pokok (
yakni kakek ) dan tidak pula cabang ( yakni anak, baik laki-laki
atau perempuan ).18

1/3 kalau ia lebih dari seorang dan di antaranya berbagi sama
banyak.

Dasar hak kewarisan saudara seibu adalah QS. al-Nisa’(4):12
10. Saudara perempuan seibu, sebagaimana saudara laki-laki seibu, ia
menerima dalam dua kemungkinan sebagi berikut :

1/6 kalau ia hanya seorang diri

1/3 untuk dua orang atau lebih dan kemudian berbagi sama
banyak

Dasar bagian saudara perempuan seibu adalah QS. al-Nisa’(4): 12
Saudara perempuan seibu tidak dibedakan laki-laki maupun
perempuan mereka mendapat 1/6 kalau sendirian. Sedangkan annissa ayat 176 itu untuk saudara perempuan kandung, mengenai
saudara perempuan seayah merupakan pendapat ulama yang
mengambil adat arab.
Dasar hak dari kewarisan saudara perempuan kandung dan
saudara perempuan seayah adalah Q.S An-Nisa : 176
ِِ
ِ 
ِِ ِ ِ 
ِِ ِ ِ 
ِِ ِ ِ 
ِِ ِ ِ ِ 
18
Muhammad Ali ash-Sabuni, Pembagian Waris Menurut Islam...................h. 59.
42
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
ِِ ِ ِ 
ِِ ِ ِ ِ 
ِِ

ِِ

ِِ
ِ
ِ

ِِ ِ 
ِِ ِ 
ِِ ِ ِ 
ِِ ِ ِ ِ 
ِِ
ِ

ِِِ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal
dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh
harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian
seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak
sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
kalalah ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak.
Dasar bagian saudara perempuan seibu adalah QS. al-Nisa’(4): 12
ِِ ِ ِ ِ 
ِِ ِ ِ 
ِِ ِ ِ ِ 
ِِ
ِ

ِِ ِ ِ 
ِِ
ِ

ِِ ِ ِ 
ِِ ِ ِ 
ِِ
ِ ِ 
ِِ ِ ِ ِ 
ِِ
ِ

ِِ ِ ِ 
ِِ
ِ

ِِ
ِ

ِِ ِ ِ ِ 
43
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
ِِ
ِ

ِِ
ِ

ِِ ِ ِ 
ِِ ِ ِ 
ِِ
ِ

ِِ ِ ِ 
ِِ ِ ِ 
ِ ِ ِ ِ 
ِ ِ
ِ ِ 
ِِ ِ ِ ِ 
ِِِ
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu
mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai
anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274].
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a.
mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. berwasiat dengan
maksud mengurangi harta warisan. sekalipun kurang dari sepertiga bila
ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
11. Suami, bagian suami ada dalam dua kemungkinan sebagai berikut :

½ kalau tidak ada anak atau cucu

¼ kalau ada bersamanya anak atau cucu laki-laki dari keturunan
anak laki-lakinya.

Dasar bagian suami tersebut di atas adalah QS.al-Nisa’(4): 12
44
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
12. Istri, bagian istri ada dalam dua kemungkianan sebagai berikut :

¼ bila tidak ada bersamanya anak atau cucu dari pewaris, baik
anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun lahir dari rahim istri
lainnya. Dengan kata lain, sekalipun istri seorang suami
meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka tetap mendapat
seperempat harata peninggalan harta suami mereka.
Hal ini berdasarkan firman Allah diatas,
yaitu dengan
digunakannya kata lahunna ( dalam bentuk jamak ) yang
bermakna “ mereka perempuan “. Jadi, baik suami meninggalkan
seorang istri ataupun empat orang istri, bagian mereka tetap
seperempat dari harata peninggalan. 19

1/8 bila ia bersama dengan anak atau cucu dalam kewarisan.

Dasar hak kewarisan istri seperti tersebut di atas adalah QS.alNisa’(4):12
b. Ahli waris dengan bagian yang tidak ditentukan
Dalam hukum kewarisan islam, di samping terdapat ahli waris
dengan bagian yang ditentukan atau dzaul furudh yang merupakan
kelompok terbanyak, terdapat pula ahli waris yang bagiannya tidak
ditentukan secara furudh, baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadits
Nabi. Mereka mendapat seluruh harta dalam kondisi tidak adanya ahli
waris dzaul furudh atau sisa harta setelah dibagikan terlebih dahulu kepada
19
Muhammad Ali ash-Sabuni, Pembagian Waris Menurut Islam... h. .48-49.
45
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
dzaul furudh yang ada. Mereka mendapat bagian yang tidak ditentukan
terbuka, dalam arti dapat banyak atau sedikit, atau tidak ada sama sekali.
Dasar hukum dari ahli waris dengan bagian terbuka ini adalah firman
Allah dalam surat al-Nisa’(4) ayat 11 dan 176. Dalam ayat 11 disebutkan
adanya hak kewarisan anak laki-laki, namun berapa haknya secara pasti
tidak dijelaskan. Bila ia bersama anak perempuan, yang disebutkan
hanyalah perbandingan perolehannya yaitu seorang laki-laki sebanyak hak
dua orang anak perempuan. Dapat dipahami dari ketentuan tersebut bahwa
bila anak laki-laki bersama dengan anak perempuan, maka mereka
mendapatkan seluruh harta bila tidak ada ahli waris lain atau mereka akan
mendapatkan seluruh harta yang tersisa bila ada ahli waris lain yang
berhak, kemudian hasil yang mereka peroleh dibagi dengan bandingan 2:1.
Hal demikian berlaku pula bila anak dari pewaris hanyalah anak laki-laki
saja.
2. Kewarisan Ashabah Menurut Ahlu Sunnah
Kelompok kerabat garis laki-laki ini dalam penggunaan Bahasa Arab
biasa disebut ashabah. Oleh karena yang berhak atas seluruh harta atau
sisa harta itu menurut Ahlu Sunnah pada dasarnya adalah laki-laki, maka
untuk selanjutnya kata ashabah itu digunakan untuk ahli waris yang
berhak atas seluruh harta atau sisa harta setelah diberikan kepada ahli
waris dzaul furudh.
Karena dalam bentuk kewarisan seperti ini tidak ada bagian yang
tertentu selain dari bandingan bahwa laki-laki memperoleh bagian dua kali
46
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
perempuan dalam pembagian anak atau saudara, maka pembagian di sini
adalah secara rata-rata.
Ulama golongan Ahlu Sunnah membagi ashabah itu kepada tiga
macam yaitu ashabah bi nafsihi, ashabah bi ghairihi dan ashabah ma’a
ghairihi.
a. Ashabah bi nafsihi
Ashabah bi nafsihi adalah ahli waris yang berhak mendapat seluruh
harta atau sisa harta dengan sendirinya, tanpa dukungan ahli waris yang
lain. Ashabah bi nafsihi itu seluruhnya adalah laki-laki yang tidak
melewati garis perempuan, murni garis laki-laki. Yang secara berurutan
adalah
1.
Anak laki-laki
2.
Cucu laki-laki (melalui anak laki-laki)
3.
Ayah
4.
Kakek
5.
Saudara kandung laki-laki
6.
Saudara laki-laki seayah
7.
Anak saudara kandung laki-laki
8.
Anak saudara seayah laki-laki
9.
Paman kandung
10. Paman seayah
11. Anak paman kandung
12. Anak paman seayah
47
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
b. Ashabah bi Ghairihi (Ashabah Disebabkan Oleh Orang Lain)
Yang dimaksud ashabah bi ghairihi disini adalah seseorang yang
sebenarnya bukan ashabah karena ia adalah perempuan, namun karena ada
bersama saudara laki-lakinya maka ia menjadi ashabah. Mereka sebagai
ashabah berhak atas semua harta bila hanya mereka yang menjadi ahli
waris, atau berhak atas sisa harta setelah dibagikan kapada ahli waris
furudh yang berhak. Kemudian di antara mereka berbagi dengan
bandingan laki-laki mendapat sebanyak dua bagian perempuan.
Yang berhak menjadi ahli waris ashabah bi ghairihi itu adalah :
a. Anak perempuan bila bersama dengan anak laki-laki atau anak lakilaki dari anak laki-laki.
b. Cucu perempuan bersama dengan cucu laki-laki atau anak laki-laki
adari cucu laki-laki.
c. Saudara perempuan kandung bersama saudara laki-laki kandung.
d. Saudara seayah perempuan bersama saudara seayah laki-laki
c. Ashabah ma’a Ghairihi
Ashabah ma’a ghairihi khusus berlaku untuk saudara perempuan,
kandung atau seayah pada saat bersamanya ada anak perempuan. anak
perempuan tersebut menjadi ahli waris furudh sedangkan saudara
perempuan menjadi ashabah.
c. Ahli waris dzaul arham
Ahli waris dzaul arham secara etimologi di artikan ahli waris dalam
hubungan kerabat. Namun pengertian hubungan kerabat itu begitu luas dan
48
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
tidak semuannya tertampung dalam kelompok orang yang berhak
menerima warisan sebagaimana dirinci sebelumnya. Sebelum ini sudah
dirinci ahli waris yang berhak menerima sebagai dzaul furudh dan ahli
waris ashabah, dengan cara pembagian mula-mula diberikan kepada dzaul
furudh kemudian harta yang selebihnya diberikan kepada ahli waris
ashabah. Seandainya masih ada harta yang tinggal, maka kelebihan harta
itu diberikan kepada kerabat lain yang belum mendapat. Kerabat lain yang
belum mendapat itulah yang dinamai ahli waris dzaul arham. Semua ahli
fiqih menyebut ahli waris dzaul arham dengan ahli waris dalam hubungan
kerabat yang bukan dzaul furudh dan bukan pula ashabah.20
5. Biografi Imam Syafi’i
a. Biografi Imam Al-Syafi’i
Imam al-Syafi’i adalah seorang tokoh pendiri madzhab syafiiyah,
dengan nama lengkapnya Abu Abdullah ibn Muhammad ibn Idris ibn
Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i Al Hasyim Al Muthaliby Al Quraisy, yang
dilahirkan di Gazza pada tahun 150 H/Januari 820 M di fusfat. 21
Di kota makkah ia dibesarkan dan diasuh oleh ibunya dalam keadaan
hidup yang miskin sebagai seorang yatim karena ayahnya meninggal pada
waktu ia berada dalam kandungan ibunya yaitu ketika pergi ke Gazza.
Imam al-Syafi’i memulai pendidikannya dari masa kanak-kanak sebagai
seorang anak yatim yang miskin di kota makkah, ia belajar membaca dan
20
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 225-250.
Depag RI, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Dirjend Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Proyek Peningkatan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN, 1988), h. 404.
21
49
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
menghafal
Al-Qur’an
dan
Al-Hadits
dimasjidil
haram.
Berkat
ketekunannya ia mampu menghafal Al-Qur’an dalam usia tujuh tahun.22
Guru-guru imam al syafi’i yang terkenal pada waktu itu, antara lain :
Imam Muslim ibn Khalid al Zanji, Imam Sufyan ibn Unayyah dan Imam
Ibrohim ibn Sa’ad (Makkah), Imam Malik ibn Abbas (Madinah), Imam
Abu Yusuf dan Imam Muhammad ibn Hasan (Baghdad) dan masih banyak
guru lainnya. 23
Imam Syafi’i sebagaimana para ulama lainya, menetapkan bahwa
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang paling pokok, bahkan
beliau berpendapat tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama
manapun, kecuali petunjuknya terdapat dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu,
Imam al-Syafi’i, senantiansa mencantumkan nash Al-Qur’an setiap kali
mengeluarkan pendapatnya, sesuai dengan metode yang digunakannya
yaitu deduktif. 24 Namun demikian, Imam al Syafi’i menganggap bahwa
Al-Qur’an tidak dapat dilepaskan dari Sunnah. 25
b. Perbedaan penghalang waris menurut imam syafi’i dan 5 mazhab
Keturunan yang sah ( syar’i ) mencakup pernikahan yang sah dan
percampuran subhat, sedangkan perkawinan tidak bisa terjadi kecuali
dengan adanya akad yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para
ulama madzhab, bahwa mereka berdua salinga mewarisi. Perbedaan justru
22
Zarkoni Soejoeti, Pengantar Ilmu Fiqih, (Semarang: Walisongo Press, 1987), h. 130.
Munawar Kinalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang,
1983), h. 173.
24
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih, (Pekalongan: STAIN Press, 2005), h. 70-71.
25
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih.......................................................h. 71.
23
50
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
terdapat pada hak waris beberapa kerabat, yang oleh syafi’i dan maliki di
anggap sebagai tidak berhak menerima waris sama sekali sehingga
keadaan mereka persis orang luar. Mereka adalah anak laki-laki dari anakanak wanita, anak laki-laki dari saudara-saudara perempuan, anak-anak
perempuan dari saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara seibu,
saudara perempuan ayah dari semua jalur, paman seibu ( saudara laki-laki
ayah yang seibu ), paman dan bibi dari jalur ibu, anak-anak perempuan
paman, dan kakek dari jalur ibu ( ayahnya ibu ). Kalau ada seseorang
meninggal dunia tanpa ada kerabat lain kecuali salah satu seorang diantara
kerabat-kearabat yang disebutkan tadi, maka harta peninggalannya
menjadi hak Bait al-mal, dan menurut imam syafi’i dan imam maliki, tidak
ada seorangpuan diantara mereka itu yang memperoleh warisan, sebab
mereka itu bukanlah orang-orang yang menerima bagian tetap ( dzaw alfurud ) dan tidak pula termasuk kelompok orang yang menerima ashabah.
Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa mereka itu dapat menerima
waris dalam keadaan-keadaan tertentu, yaitu manakala tidak ada lagi ahli
waris yang menerima bagian tetap dan ashabah. Sementara itu, imamiyah
mengatakan bahwa mereka dapat menerima waris tanpa adanya ketentuanketentuan di atas.26
26
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab Ja’fari Hanafi Maliki Syafi’i
Hambali, (Jakarta: Lentera, 2000), h. 540-541.
51
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
52
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
Download