BAB I - E-Journal UNIS Tangerang

advertisement
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
Rommy Pratama
TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
Oleh
Rommy Pratama*)
Abstrak
Terorisme adalah suatu ancaman utama dan nyata terhadap pelaksanaan amanat
konstitusi mengenai perlindungan segenap tanah air dan tumpah darah Indonesia dan
memajukan kesejahteraan umum. Oleh karena itu sudah tepat bila terorisme dianggap
sebagai ancaman terhadap keamanan nasional yang akan berpengaruh kepada
stabilitas negara. Terorisme menjadi isu sentral dalam dekade ini dikarenakan dampak
luar biasa yang ditimbulkan oleh tindakan teror tersebut yang tidak jarang meluluhlantakkan ras manusia tertentu. Oleh karena itu permasalahan yang akan dibahas
adalah mengenai bagaimanakah latar belakang UU No 15 tahun 2003 muncul serta
keterkaitan antara tindak pidana terorisme dengan HAM. Hak asasi setiap orang harus
diakui oeh semua orang, golongan, lembaga, pemerintah dan agama. Hak tersebut tidak
bergantung kepada perlindungan Undang-Undang, dan boleh kapan saja dibela oleh
siapapun juga, dan hal itu hendaknya disadari oleh setiap Warga Negara Indonesia.
Kata Kunci : Terorisme, Pidana Internasional
A. PENDAHULUAN
Sebagai suatu negara yang dalam
konstitusinya disebut sebagai negara
hukum (Rechts Staat), konsekuensinya
Indonesia harus melengkapi dirinya
dengan sejumlah perangkat hukum
yang berfungsi untuk menjaga integritasnya sebagai negara hukum.
Konsekuensi lainnya ialah segala
tingkah laku seseorang di dalam
masyarakat, harus berdasarkan pada
hukum yang berlaku. Oleh karena itu
prinsip Rule of Law harus dipegang
teguh dan disadari oleh setiap warga
negara dan aparat penegak hukum.
Prinsip ini terjelma dalam 3 unsur
utama, yaitu: pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia,.
peradilan yang bebas dan tidak
memihak, legalitas dalam arti hukum,
baik formil atau materiil.1
Ketiga unsur tersebut merupakan
rangkaian yang tidak bisa diabaikan
meskipun hanya satu unsur, karena
ketiga unsur tersebut merupakan suatu
rangkaian yang terpadu dalam penegakan hukum demi tercapainya suatu
keadilan.
Selain itu, untuk tercapainya suatu
keadilan juga harus ada keserasian
antara kebebasan dan ketertiban, artinya dalam membatasi kebebasan yang
dimiliki setiap individu, hukum berfungsi sebagai sarana untuk membatasi
kebebasan. Salah satu hukum yang
mengatur mengenai ketertiban adalah
hukum pidana.
1
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum
Universitas Islam Syekh-Yusuf Tangerang
Andi Hamzah, ed, Bunga Rampai Hukum Pidana
dan Hukum Acara Pidana, Jakarta : Ghalia
Indonesia,1986, halaman 13
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
1
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
Rommy Pratama
Menurut Moeljatno, Hukum pidana
adalah bagian dari keseluruhan hukum
yang berlaku disuatu negara yang
mengadakan dasar-dasar atau aturan
untuk:
1. menentukan perbuatan-perbuatan
mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana
tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2. menentukan kapan dan dalam halhal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu
dapat dikenai atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
3. menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar
larangan tersebut.2
Dari rumusan di atas, dapat
disimpulkan bahwa rumusan pada poin
pertama mengenai masalah perbuatan
pidana dan poin kedua mengenai
masalah pertanggung jawaban pidana,
dan termasuk dalam bidang hukum
pidana materiil dengan bersumber pada
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), sedangkan rumusan pada poin
ketiga berkaitan dengan masalah
hukum pidana formil (hukum acara
pidana), yang bersumber pada Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
Adanya
penentuan
mengenai
perbuatan yang dilarang atau yang
tidak boleh dilakukan di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
ataupun peraturan hukum pidana lain
diluar Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, maka selain perbuatan-perbuatan yang telah diatur, tidak dapat
dilakukan proses hukum ataupun
penuntutan, karena menurut Pasal 1
ayat (1) KUHP yang berbunyi:
“ Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas ketentuan hukum pidana dalam undang-undang,
yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”.
Asas ini dikenal sebagai asas legalitas,
atau dalam bahasa latin disebut
“Nullum delictum nulla poena sine
praevia lege poenali”.3
Dengan asas legalitas dalam hukum
pidana,
maka
kesewenangwenangan aparat penegak hukum
dapat dihindari, meskipun dengan konsekuensi hukum pidana menjadi rigid
dan tidak fleksibel terhadap jenis
kejahatan baru yang terus berjalan
sesuai dengan perkembangan zaman
dan teknologi. Tetapi dengan asas
legalitas, sekurang-kurangnya kepastian hukum dan hak-hak asasi manusia
dapat terjamin.
Selanjutnya jika kita membahas
tindak pidana terorisme, hal itu menjadi berbeda dan tidak sesuai dengan
asas legalitas karena pemberlakuan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Anti Terorisme untuk
kasus Bom Bali dilakukan secara
retroaktif (berlaku surut). Hal ini jelas
menyimpang dari Asas-Asas Hukum
Pidana, yang mengenal asas non
retroaktif dan asas legalitas dengan
konsep inti bahwa peraturan yang akan
diterapkan harus ada terlebih dahulu
sebelum perbuatan tersebut dilakukan.
Dengan derajat keluar-biasaannya
ini pula, tidak mengherankan apabila
tindak pidana terorisme diklasifikasikan ke dalam extraordinary crime yang
selama
ini
telah
diakui
dalam
pelanggaran Hak Asasi Manusia berat
yang meliputi crime against humanity
dan genocide sesuai dengan kaidah
2
3
Ibid, halaman 71
Ibid, halaman 72
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
2
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
internasional yang terdapat dalam
Statute Roma.
Masih terekam jelas dalam ingatan,
sebuah pulau eksotis dari sebuah
bangsa yang terkenal akan keramahannya, yaitu pulau Bali, Indonesia,
menjadi buah bibir di seluruh dunia
saat terjadi peledakan bom yang maha
dahsyat di Legian, Bali, pada tanggal 12
Oktober 2002 yang menewaskan 184
korban jiwa. Indonesia kembali menjadi
sorotan publik Internasional bukan
karena mampu membayar hutang luar
negeri tetapi karena peledakan bom
tersebut memakan korban jiwa yang
tidak sedikit, dan sebagian besar
korbannya adalah warga negara asing.
Hal ini menjadi indikator bahwa
jaringan teroris internasional telah
masuk ke dalam wilayah Republik
Indonesia dan merugikan devisa negara
serta runtuhnya kepercayaan internasional terhadap Indonesia.
“Bak cendawan di musim hujan”,
kasus-kasus peledakan bom seperti
menjadi tren baru, setelah peledakan
bom di Bali, menyusul peledakan bom
di area Bandara Soekarno Hatta pada
tanggal 27 April 2003, area Gedung
DPR-MPR pada 14 Juli 2003, kedua
kejadian tersebut tidak terdapat korban
jiwa. Selanjutnya, pada tanggal 5
Agustus 2003, Hotel J.W. Marriot,
Jakarta, dikejutkan dengan meledaknya bom dengan daya ledak tinggi di
dalam sebuah kendaraan yang mengakibatkan 14 orang meninggal dan 147
orang luka-luka. Kemudian pada
tanggal 9 September 2004, para pelaku
teror kembali mengguncang keheningan
di depan Kantor Kedubes Australia,
Jakarta dengan meledakkan bom berdaya ledak tinggi yang mengakibatkan
Rommy Pratama
11 orang meninggal, 152 orang lukaluka.4
Dari serangkaian peledakan bom di
Indonesia, ledakan dahsyat yang terjadi
di Sari Café, Jalan Legian, Kuta-Bali,
yang merenggut 184 nyawa manusia
dan ratusan lainnya luka berat
merupakan aksi teror yang paling
berhasil. Pertama, karena sebagian
besar korbannya adalah warga negara
asing, terutama warga negara Australia
yang sedang berwisata ke Bali. Kedua,
rasa takut menghantui setiap wisatawan yang berada di Bali, peledakan
bom legian tersebut menyebabkan Bali
lumpuh seketika. Turis-turis asing
beramai-ramai
meninggalkan
Bali,
wisatawan yang merencanakan untuk
berlibur ke Bali terpaksa harus mengurungkan niatnya, bahkan beberapa
konferensi, seminar, dan pertemuan
internasional lainnya ditunda atau
dipindahkan ke tempat lain dianggap
lebih aman.
Pemerintah Indonesia tidak tinggal
diam, selain ucapan permintaan maaf
yang keluar dari mulut Presiden
Republik Indonesia yang wara-wiri di
berbagai media, tindakan preventif pun
diambil guna mengantisipasi dan
mencegah kejadian serupa terulang
kembali yaitu dengan berpendapat
bahwa syarat “hal ikhwal kegentingan
yang memaksa” yang termaktub dalam
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dianggap telah terpenuhi.
Tindakan tersebut adalah dengan
dikeluarkan dan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2002. Hal ini
dianggap tepat dibandingkan dengan
pemberlakuan Undang-Undang Keadaan Darurat Nomor 23 Tahun 1959
4
S. Endriyono, Terorisme Ancaman Sepanjang Masa,
Semarang: CV. Media Agung Persada, 2005,
Halaman 41.
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
3
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
untuk kasus Bom Bali ini karena Perpu
No. 1 Tahun 2002 dianggap lebih
memadai baik dari sisi substansi,
waktu dan sumber daya manusia serta
referensi yang kuat.
Berdasarkan latar belakang di atas,
terorisme menjadi isu sentral dalam
decade ini dikarenakan dampak luar
biasa yang ditimbulkan oleh tindakan
terror tersebut yang tidak jarang
meluluh-lantakkan ras manusia tertentu. Oleh karena itu permasalahan
yang akan dibahas adalah mengenai
bagaimanakah latar belakang UU No 15
tahun 2003 muncul serta keterkaitan
antara tindak pidana terorisme dengan
HAM?
B. PEMBAHASAN
Pengertian Terorisme
Definisi terorisme hingga saat ini
masih menjadi perdebatan meskipun
sudah ada ahli yang merumuskan, dan
dirumuskan didalam peraturan perundang-undangan. Amerika Serikat sendiri yang pertama kali mendeklarasikan
“perang melawan teroris” belum memberikan definisi yang gambling dan
jelas sehingga semua orang bias memahami makna sesungguhnya tanpa
dilandasi keraguan, tidak merasa didiskriminasikan
serta
dimarjinalkan,
memang tidak bisa disalahkan jika kata
terorisme dikaitkan dengan persoalan
pelanggaran hak asasi manusia (HAM),
karena akibat terorisme, banyak kepentingan umat manusia yang dikorbankan, rakyat yang tidak bersalah dijadikan ongkos kebiadaban, dan kedamaian hidup antar umat manusia jelasjelas dipertaruhkan. Namun demikian,
ada komunitas sosial keagamaan yang
mengenalkan bentuk implementasi keagamaan sebagai bagian dari srategi
perjuangan. Strategi perjuangan ini
dipopulerkan dengan kata “jihad”.
Ketiadaan definisi hukum internasional
Rommy Pratama
mengenai terorisme tidak serta merta
berarti meniadakan definisi hukum
tentang terorisme itu. Menurut hukum
nasional masing-masing Negara, di
samping bukan berarti meniadakan
sifat jahat perbuatan itu dengan
demikian lantas bisa diartikan bahwa
pelaku terorisme itu bebas dari tuntutan hukum. Nullum crimen sine poena,
begitu bunyi sebuah asas hukum tua
yang bermakna bahwa tiada kejahatan
yang boleh dibiarkan berlalu begitu
saja tanpa hukuman, tetapi karena
faktanya kini terorisme sudah bukan
lagi sekedar internasional crime tetapi
sudah menjadi internationally organized
crime maka sangatlah sulit untuk
memberantas kejahatan jenis ini tanpa
adanya kerja sama dengan pemahaman
yang sama di kalangan Negara-negara.
Menurut definisi terorisme adalah
pemakaian kekuatan atau kekerasan
tidak sah melawan orang atau property
untuk mengintimidasi atau menekan
suatu pemerintahan, masyarakat sipil,
atau bagian-bagiannya, untuk memaksakan tujuan sosial atau politik, 5 jadi
terorisme secara umum dapat diartikan
sebagai suatu kekerasan atau ancaman
kekerasan yang dilakukan untuk
menciptakan rasa takut di kalangan
masyarakat umum, dan dengan tujuan
akhir menimbulkan perubahan politik.
Sebagaimana hal ini didefinisikan
dalam Consortium for the study of
Intelligence sebagai berikut :6
“Terorisme adalah pemaksaan kehendak oleh seseorang atau suatu
kelompok
dengan
menggunakan
tindakan kekerasann terhadap orang
sipil/“non combatan” atau sasaran
sipil dengan maksud menimbulkan
5
Definisi FBI, lihat pada web-site msn-terrorism
definition.
6
Direktorat Kerjasama ASEAN dan DEPLU;
Kerjasama ASEAN dalam Menanggulangi Kejahatan
Lintas Negara. Jakarta 2001, Hal 70
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
4
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
Rommy Pratama
rasa ketakutan yang luar biasa guna
mencapai tujuan tertentu ”
Definisi terorisme sampai saat ini
juga masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan,
dan dirumuskan di dalam peraturan
perundang-undangan. Kejelasan definisi sangat diperlukan agar tidak terjadi
salah tangkap, dan berakibat merugikan kepentingan banyak pihak, di
samping demi kepentingan atau target
meresponsi Hak Asasi Manusia (HAM)
yang seharusnya wajib dihormati oleh
semua bangsa beradab.
Kata “teroris“ pelaku dan terorisme
(aksi ) berasal dari kata latin “ terrere”
yang kurang lebih berarti membuat
gemetar atau mengetarkan. Kata terror
juga bisa menimbulkan kengeriankengerian di hati dan korbannya. Akan
tetapi, hingga kini tidak ada definisi
terorisme yang bisa diterima secara
universal.
Pada
dasarnya,
istilah
“terorisme“ merupakan sebuah konsep
yang memiliki konotasi yang sangat
sensitif, karena terorisme menyebabkan
terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang
tidak berdosa. Ada yang mengatakan,
seseorang bisa disebut sebagai teroris
sekaligus
juga
sebagai
pejuang
kebebasan hal itu tergantung dari sisi
mana kita memandangnya. Itulah
sebabnya, hingga saat ini tidak ada
definisi terorisme yang diterima secara
universal masing–masing negara mendefinisikan terorisme menurut kepentingan dan keyakinan mereka sendiri
untuk mendukung kepentingan nasionalnya.7
Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European
convention on the suppression of
terrorism (ECST) di eropa tahun 1977
terjadi perluasan paradigma arti dari
crimes against state menjadi crimes
against humanity. Crimes against humanity meliputi tindak pidana unatuk
menciptakan suatu keadaan menciptakan individu, golongan, dan masyarakat umum ada dalam suasana teror,
dalam kaitanya dengan HAM, crimes
against humanity masuk kategori Gross
Violation Of human right yang dilakukan
sebagai bagian serangan yang meluas
alau sistematik yang di ketahui bahwa
serangan itu di tujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih–
lebih diarahkan pada jiwa–jiwa orang
tidak bersalah (public by innocent)
sebagaimana halnya terjadi di bali.
Seruan diperlukanya undang–undang
terorismepun disambut pro-kontra mengingat polemik definisi mengenai terorisme masih bersifat multi-interpretatip,
umumnya lebih mengarah kepada
polemik kepentingan Negara atau state
interrested. indikasi pengertian ini lebih
mengarah pada kepentingan negara
setidaknya sebagi perbuatan crimes
against state maka amat dikhawatirkan
adanya jubah subfersi (UU No. 11/
PNPS/1963)
muncul
kepermukaan
sebagai baju kekuasaaan penguasa
dalam mengeliminasi freedom of the
speech sebagai ekspresi demokrasi dan
Hak Asasi manusia ( HAM ). 8
Tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana murni (mala perse)
yang dibedakan dengan administrative
kriminolog (mala prohibita). Kriminalisasi tindak pidana terorisme sebagai
bagian dari perkembangan hukum
pidana dapat dilakukan banyak cara,
seperti :
a. Melalui sistem evolusi berupa
amandemen terhadap pasal-pasal
KUHP
b. Melalui sistem global, melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP
termasuk
kekhususan
hukum
acaranya.
7
8
Kompas, 15 Oktober 2002
Kompas, 29 Oktober 2002
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
5
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
c.
Sistem kompromi dalam bentuk
memasukkan bab baru dalam
KUHP tentang “kejahatan terorisme“9.
Untuk memahami makna terorisme
lebih jauh dan mendalam, kiranya
perlu dikaji terlebih dahulu pengertian
atau definisi terorisme yang dikemukakan baik oleh beberapa lembaga maupun beberapa penulis atau pakar atau
ahli , yaitu;
a. US Centeral Inteligent Agancy ( CIA ).
Terorisme
internasional
adalah
terorisme yang dilakuakan dengan
dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan
untuk melawan negara, lembaga,
atau pemerintah asing.
b. US Federal Bureau of Investigation
(FBI ).
Terorisme adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan
atas seseorang atau harta untuk
mengintimidasi sebuah pemerintah,
penduduk sipil, elemen-elemennya
untuk mencapai tujuan sosial atau
politik.
c. US Departements of
State and
Defense.
Terorisme adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh agen
Negara atau kelompok subnasional
terhadap sasaran kelompok non
kombatan. Biasanya dengan maksud untuk mempengaruhi audien.
Terorisme
internasional
adalah
terorisme yang melibatkan warga
Negara atau wilayah lebih dari satu
Negara.
d. State of Soute Asian Association for
Regional
Cooperation
(SAARC)
Regional Convention on Suppression
of Terrorism10:
9
Muladi, demokrasi hak asasi manusia dan reformasi
hukum di Indonesia . Jakarta: habibie center, 2002
10
Ibid
e.
Rommy Pratama
1) Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk pembasmian perampasan tidak sah atas keselamatan penerbangan sipil” ditandatangani di Hague pada 16
Desember 1970
2) Kejahatan dalam lingkup “konvensi untuk pembasmian perampasan tidak sah atas penerbangan sipil” ditandatangani di
Montreal
pada
tanggal
23
september 1971
3) Kejahatan dalam lingkup “konvensi Tentang penvegahan dan
hukuman atas tindak pidana
terhadap
orang-orang
yang
secara Internasional dilindungi,
ter-masuk agen-agen diplomatic”,
ditanda tangani di New York, 14
Desember 1973.
4) Kejahatan dalam lingkup konvensi apapun di mana Negaranegara anggota SAARC adalah
pihak-pihak yang mengharuskan
anggotanya untuk menuntut
atau melakukan ekstradisi.
5) Pembunuhan, pembantaian, serangan mencelakakan badan,
penculikan,
kejahatan
yang
ebrhubungan dengan senjata api,
senjata, bahan peledak dan
bahan-bahan yang lain yang jika
digunakan untuk melakukan
kejahatan dapat beakibat kematian atau luka yang serius atau
kerusakan berat pada harta
milik.
6) Usaha
untuk
melakukan
kejahatan, atau turut sebagai
kaki tangan seseorang yang
melakukan
atau
berusaha
melakukan kejahatan tersebut.
Treaty on Cooperation among the
States
members
of
the
CommonWealth
of
independent
States in Combating Tewrorism,
1999 Converntion of the Orgnisation
of Islamic Conferece on Combating
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
6
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
f.
Internasional Terorism, 1999. Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan, adapun motif
dan tujuannya, yang terjadi untuk
menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau kolektif, yang
menyebabkan terror di tengah
masyarakat, rasa takut dengan
melukai mereka, atau mengancam
kehidupan, kebebasan, atau keselamatan, atau bertujuan untuk
menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun
pribadi atau menguasai dan merampasnya atau bertujuan untuk
mengancam sumber daya nasional.
Organisation of African Unity (OAU),
1999.
Tindakan teroris merupakan tindakan pelanggaran terhadap hukum
pidana “negara anggota” dan bisa
membahayakan kehidupan, integritas fisik atau kebebasan, atau
menyebabkan luka serius atau
kematian bagi seseorang, sejumlah
orang atau sekelompok orang atau
menyebabkan atau dapat menyebabkan kerugian bagi harta, sumber alam atau lingkungan atau
warisan budaya seseorang atau
publik dan diperhitungkan atau
dimaksudkan :
1) untuk mengintimidasi, menakutnakuti, memaksa, menekan atau
mempengaruhi pemerintah, badan, institusi, publik secara
umum atau lapisan masyarakat,
untuk mengadopsi atau abstain
dari melakukan sebuah tindakan,
atau untuk mengadosi atau
meninggalkan pendirian tertentu,
atau untuk bertindak menurut
prinsip-prinsip tertentu
2) mengaganggu pelayanan publik,
pemberian pelayanan esensial
kepada publik atau untuk menciptakan darurat publik
g.
Rommy Pratama
3) menciptakan
pemberontakan
umum disebuah Negara
4) promosi, sponsor, konstribusi,
perintah,
bantuan,
gerakan,
dorongan,
usaha,
ancaman,
konspirasi,
pengorganisasian,
atau
perekrutan
seseorang,
dengan niat untuk melakukan
tindakan yang disebutkan dalam
poin 1 sampai 3.
Terorism Act 2000, UK.
Terorisme mengandung arti sebagai
penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri :
1) Aksi yang melibatkan kekerasan
serius terhadap seseorang, kerugian berat terhadap harta benda,
membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang
yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan
maupun
keselamatan
publik atau bagi tertentu yang di
desain secara serius untuk campur tangan atau mengganggu
sistem elektronik.
2) penggunaan atau ancaman di
desain untuk mempengaruhi
pemerintah atau untuk mengintimidasi publik atau bagian
tertentu dari publik.
3) Penggunaan atau ancaman di
buat dengan tujuan politik,
agama atau ideologi.
4) Penggunaan atau ancaman yang
masuk dalam subseksi yang melibatkan senjata api dan bahan
peledak. Dari beberapa hal tersebut ada catatan yang perlu
diperhatikan bahwasannya di UK
mereka yang dalam aktivitas organisasi terlarang dapat dipidana
keterlibatan bisa dalam bentuk
uang atau kekayaan atau mempersiapkan rapat organisasi terlarang, memakai seragam organisasi terlarang di muka umum
dan membantu pengumpulan
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
7
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
h.
i.
j.
dana. Suatu organisasi dianggap
terlibat apabila berpartisipasi
dalam terorisme, mempersiapkan
terorisme,
menggalakan
dan
mempromosikan terorisme.
Black’s law dictionary
Tindakan terorisme adalah kegiatan
yang melibatkan unsur kekerasan
atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang
melanggar hukum pidana. Amerika
atau Negara bagian Amerika dan
jelas dimaksudkan untuk mengintimidasi penduduk sipil, mempengaruhi kebijakan pemerintah, mempengaruhi penyelenggaraan Negara
dengan cara penculikan dan pembunuhan.
Menurut kamus bahasa Indonesia
kontemporer
Terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman untuk
menurunkan semangat, menakut–
nakuti dan menakutkan terutama
untuk tujuan politik.
Dalam pasal 1 perpu No 01 tahun
2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme (sekarang
sudah disahkan menjadi Undang–
Undang no 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Terorisme Adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan
kedaulatan bangsa dan Negara
dengan membahayakan bagi badan,
nyawa, moral, harta benda dan
kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau
suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap
objek–objek vital yang srategis,
kebutuhan pokok rakyat, lingkugan
hidup moral, peradaban, rahasia
Negara, kebudayaan pendidikan,
perekonomian, teknologi, perindus-
Rommy Pratama
trian, fasilitas umum, atau fasilitas
internasional.
Latar Belakang Undang-Undang No 15
Tahun 2003 dan Keterkaitan Tindak
Pidana Terorisme dan HAM
Menurut M Cherif Bassiouni unsur
kejahatan Internasional adalah:11
1. Unsur Internasional:
a. Direct threat to world peace and
security.
b. Indirect threat to world peace and
security
c. Shocking to the conscience of
humanity.
2. Unsur transnasional :
a. Conduct affecting more than state.
b. Conduct including or affecting
citizens of more than one state.
c. Means
ang
methods
trans
national bounderies
3. Necessity :
a. Cooperations of state necessary to
enforcement
Sesuai dengan teori M Cherif
Bassiouni tersebut di atas, maka kejahatan terorisme internasional memenuhi unsur–unsur kejahatan internasional. Adapun unsur internasionalnya
adalah bahwa tindakan teror secara
tidak langsung dapat menimbulkan
gangguan terhadap ketertiban dan
keamanan internasional, sebagai contoh penyerangan Amerika Serikat ke
Afghanistan dipicu oleh peledakan
gedung WTC. Di samping itu juga
akibat dari tindakan terorisme yang
menimbulkan korban di kalangan
penduduk sipil merupakan perbuatan
yang menggoyahkan perasaan kemanusiaan. Di samping unsur internasionalnya, maka tindakan teror juga
memenuhi unsur transnasional yaitu
cara dan sarana yang digunakan untuk
11
M Cherif Bassiouni: International Criminal Law
Vol I: New York: Crimes Transnational Publishers
1986, Page 112
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
8
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
melakukan kejahatan terorisme, seringkali melampaui batas teritorial Negara
lain.
Muladi mengemukakan bahwa terorisme
dapat
dikategorikan
Extraordinary Crime mengingat targetnya
yang bersifat acak atau random dan
tidak terseleksi atau Indiscriminate dan
sering kali mengorbankan orang-orang
yang tidak bersalah termasuk wanita
dan anak-anak, orang tua dan kemungkinan digunakan senjata pemusnah
massal (weapon of mass destruction)
serta terdapatnya keterkaitan tindak
pidana teroisme dengan organized
crimes /transnational organized crime.12
Kejahatan
terorisme
berkaitan
dengan HAM. Pendekatan yang dilakukan harus ditinjau dari dua sisi, baik
korban maupun pelaku teror (Victim
and Affender Oriented). Di satu pihak
analisis HAM dari sisi korban akan
meyakinkan siapa saja bahwa apa yang
dinamakan terorisme merupakan kejahatan luar baisa yang harus dikutuk
apapun alasan atau motifnya. Dari sisi
korban terorisme, HAM yang terkait
antara lain hak untuk hidup (Right to
Life), bebas dari rasa takut (Freedom for
fear), dan kebebasan (fundamental
Freedom) disamping itu terkait pula
hak-hak kolektif seperti rasa takut yang
bersifat luas bahaya terhadap kehidupan demokrasi, integritas teritorial,
keamanan nasional, stabilitas pemerintahan yang sah, pembangunan sosial
ekonomi,
ketentraman
masyarakat
yang pluralistik harmoni dalam perdamaian internasional dan sebagainya.13
12
Muladi (III), beberapa aspek dari RUU tentang
Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2003,
diselenggarakan oleh depkeh HAM RI, Hotel Sahid,
Jakarta, 13 Agustus 2003, hal 3.
13
Muladi (IV), Kejahatan Terorisme dalam Perspektif
Hak Asasi Manusia dan hukum, makalah,
disampaikan pada sosialisasi RUU tentang Perubahan
Rommy Pratama
Selanjutnya dikemukakan pula oleh
Muladi :
Di lain pihak tinjauan Hak asasi
Manusia
dari
sisi
pelaku
akan
memberikan landasan sampai seberapa
jauh karakter terorisme sebagai extra
ordinary crime harus dihadapi dengan
langkah-langkah
yang
luar biasa
(Extraordinary Measures) yang tidak
jarang dianggap melanggar hak asasi
manusia.
Menghadapi kenyataan ini dan untuk
mengantisipasi segala kemungkinan
yang terjadi lagi berbagai serangan
terhadap jiwa, harta benda dan
instalasi-instalasi vital yang ada di
Negara Indonesia, maka pemerintah
Indonesia berpendapat syarat “hal
ikhwal kegentingan yang memaksa
sebagaimana yang diatur dalam Pasal
22 Ayat 1 UUD 1945 telah terpenuhi
pemerintah bertekat untuk segera
bertindak guna mengungkap peristiwa
peledakan bom di Bali dan mengantisipasi segala kemungkinan yang
akan terjadi”. untuk itu pemerintah
mengeluarkan kebijakan dengan menetapkan PERPU No 1 tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terrorisme. Pada peristiwa peledakkan
bom Bali tanggal 12 Oktober 2002.
C. PENUTUP
HAM merupakan jembatan menuju
perilaku beradab diciptakan dan diakui
oleh masyarakat dunia Merupakan
bagian dari UU dan kebijakan negara
Berada di atas kepentingan semua golongan Tidak bergantung pada persamaan agama, filosofi, konsep manusia,
adil dan bermoral. HAM sendiri mempunyai prinsip-prinsip yaitu perlindungan minimal bagi setiap orang
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terrorisme Direktorat Jendral Perundang-Undangan
Depkeh Ham RI, Jakarta, 23 Oktober 2003, hal 1-2.
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
9
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
sebagai manusia, inheren, universal,
tidak dapat dipisahkan, kesetaraan,
tidak dapat dibagi, fundamental, tidak
mutlak, kewajiban negara, maka dari
itu kodrat manusia itu diciptakan
Tuhan sebagai pribadi dengan akal dan
kehendak bebas, nilainya sedemikian
rupa sehingga manusia tak pernah
boleh dipakai sebagai semata-mata
sebagai sarana atau dipaksa bertindak
berlawanan dngan suara hatinya. Hak
asasi setiap orang harus diakui oeh
semua orang, golongan, lembaga,
pemerintah dan agama. Hak tersebut
tidak bergantung kepada perlindungan
Undang-Undang, dan boleh kapan saja
dibela oleh siapapun juga, dan hal itu
hendaknya disadari oleh setiap Warga
Negara Indonesia agar perbuatan
seperti Bom Bali yang lalu tidak
terulang lagi
Muladi, Demokrasi Hak Asasi Manusia
dan Reformasi Hukum di
Indonesia.
Jakarta:
Habibie Center, 2002.
---------,
Beberapa Aspek dari RUU
tentang Perubahan atas
UU No. 15 Tahun 2003,
diselenggarakan
oleh
Depkeh HAM RI, Hotel
Sahid,
Jakarta,
13
Agustus 2003
---------,
Kejahatan Terorisme dalam
Perspektif
Hak
Asasi
Manusia
dan
hukum,
makalah,
disampaikan
pada
sosialisasi
RUU
tentang
Perubahan
Undang-Undang
Pemberantsan
Tindak
Pidana
Terrorisme
Direktorat
Jendral
Perundang-Undangan
Depkeh Ham RI, Jakarta,
23 Oktober 2003
D. DAFTAR PUSTAKA
A. Buku/Literatur
Andi
Hamzah, ed, Bunga Rampai
Hukum Pidana dan Hukum
Acara Pidana, Jakarta:
Ghalia Indonesia,1986
Bassiouni
M
Cherif,
International
Criminal Law Vol I, New
York:
Crimes
Transnational Publishers,
1986
Endriyono,
S, Terorisme Ancaman
Sepanjang
Masa,
Semarang:
CV.
Media
Agung Persada, 2005
Direktorat
Kerjasama ASEAN dan
DEPLU; Kerjasama ASEAN
dalam
Menanggulangi
Kejahatan Lintas Negara.
Jakarta 2001
Rommy Pratama
ARTIKEL SURAT KABAR
Kompas, 15 Oktober 2002
Kompas, 29 Oktober 2002
ARTIKEL INTERNET
http/msn/terrorism definition
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
10
Download