Universal Precaution - Universitas Sumatera Utara

advertisement
27
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kewaspadaan Umum/ Universal Precaution (UP)
2.1.1.
Definisi
Universal Precaution saat ini dikenal dengan kewaspadaan standar,
kewaspadaan standar tersebut dirancang untuk mengurangi risiko infeksi penyakit
menular pada petugas kesehatan baik dari sumber infeksi yang diketahui maupun
yang tidak diketahui (Depkes, 2008).
Kewaspadaan Universal atau Kewaspadaan Umum (KU) atau Universal
Precaution (UP) adalah suatu cara untuk mencegah penularan penyakit dari cairan
tubuh, baik dari pasien ke petugas kesehatan dan sebaliknya dari pasien ke pasien
lainnya.
Universal Precaution adalah tindakan pengendalian infeksi sederhana yang
digunakan oleh seluruh petugas kesehatan, untuk semua pasien, setiap saat pada
semua tempat, pelayanan dalam rangka pengurangi risiko penyebaran infeksi
(Nursalam, 2007).
Kewaspadaan Universal adalah suatu cara penanganan baru untuk
meminimalkan pajanan darah dan cairan tubuh dari semua pasien, tanpa
memperdulikan status infeksi. Kewaspadaan Universal hendaknya dipatuhi oleh
tenaga kesehatan karena ia merupakan panduan mengenai pengendalian infeksi yang
dikembangkan untuk melindungi para pekerja di bidang kesehatan dan para
Universitas Sumatera Utara
28
pasiennya sehingga dapat terhindar dari berbagai penyakit yang disebarkan melalui
darah dan cairan tubuh tertentu. Penerapan Kewaspadaan umum diharapkan dapat
menurunkan risiko penularan patogen melalui darah dan cairan tubuh lain dari
sumber yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Penerapan
ini merupakan
pencegahan dan pengendalian infeksi yang harus rutin dilaksanakan terhadap semua
pasien dan di semua fasilitas pelayanan kesehatan (Tietjen, dkk, 2004).
Kewaspadaan umum tersebut ditujukan untuk melindungi setiap orang
(pasien, klien, dan petugas kesehatan) apakah mereka terinfeksi atau tidak.
Kewaspadaan baku berlaku untuk darah, tubuh/semua cairan tubuh, sekresi dan
ekskresi (kecuali keringat), luka pada kulit, dan selaput lendir, kulit dan membran
mukosa yang tidak utuh. Penerapan ini adalah untuk mengurangi risiko penularan
mikroorganisme yang berasal dari sumber infeksi yang diketahui atau yang tidak
diketahui (misalnya si pasien, benda yang terkontaminasi, jarum suntik bekas pakai,
dan spuit) di dalam sistem pelayanan kesehatan (Tietjen, dkk, 2004).
Menurut Claire (1987) yang dikutip Tietjen (2004), indikasi penggunaan
praktik isolasi tertentu seperti sarung tangan tertentu lebih efektif dari pada baju
pelindung dalam pencegahan kontaminasi silang telah dapat diatasi melalui
penelitian. Namun ketidakmampuan petugas administrasi dan klinik di negara miskin
untuk menyediakan perlengkapan pelindung, khususnya ketersedian sarung tangan
baru, masih menjadi kendala. Sebagai tambahan, tantangan menyediakan air bersih
dan untuk mencapai standar yang dapat diterima seperti proses penggunaan instrumen
medis dan pembuangan sampah masih menjadi persoalan di banyak negara.
Universitas Sumatera Utara
29
2.1.2.
Tujuan Kewaspadaan Umum
Menurut Nursalam (2007), kewaspadaan umum perlu diterapkan dengan tujuan:
a. Mengendalikan infeksi secara konsisten.
b. Memastikan standar adekuat bagi mereka yang tidak terdiagnosa atau tidak
terlihat seperti risiko.
c. Mengurangi risiko bagi petugas kesehatan dan pasien.
d. Asumsi bahwa risiko atau infeksi berbahaya.
2.1.3.
Pelaksanaan Kewaspadaan Umum
Penerapan
Kewaspadaan
Universal
merupakan
bagian
dari
upaya
pengendalian infeksi di sarana pelayanan kesehatan yang tidak terlepas dari peran
masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya yaitu pimpinan termasuk staf
administrasi, staf pelaksana pelayanan termasuk staf penunjangnya dan juga
pengguna yaitu pasien dan pengunjung sarana kesehatan tersebut. Penerapan
Kewaspadaan Umum didasarkan pada keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh
sangat potensial menularkan penyakit baik yang berasal dari pasien maupun petugas
kesehatan (Nursalam, 2007).
Penerapan Kewaspadaan Universal (Universal Precaution) didasarkan pada
keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh sangat potensial menularkan penyakit, baik
yang berasal dari pasien maupun petugas kesehatan. Prosedur Kewaspadaan
Universal ini juga dapat dianggap sebagai pendukung progran K3 bagi petugas
kesehatan (Nursalam, 2007) .
Universitas Sumatera Utara
30
2.1.4.
Komponen Utama Kewaspadaan Umum/ Kewaspadaan Baku
Menurut Tietjen (2004) penggunaan pembatas fisik, mekanik, atau kimiawi
antara mikroorganisme dan individu, misalnya ketika pemeriksaan kehamilan, pasien
rawat inap merupakan alat yang sangat efektif untuk mencegah penularan infeksi.
Adapun prinsip utama prosedur Kewaspadaan Universal dalam pelayanan kesehatan
adalah menjaga higiene sanitasi individu, higiene sanitasi ruangan dan sterilisasi
peralatan. Ketiga prinsip tersebut dijabarkan menjadi beberapa kegiatan pokok
seperti:
a. Cuci Tangan
Mencuci tangan adalah prosedur kesehatan yang paling penting yang dapat
dilakukan oleh semua orang untuk mencegah penyebaran kuman. Mencuci tangan
adalah tindakan aktif, singkat dengan menggosok bersamaan semua permukaan
tangan dengan memakai sabun, yang kemudian diikuti dengan membasuhnya
dibawah air hangat yang mengalir. Tujuannya adalah untuk membuang kotoran dan
organisme yang menempel dari tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba pada
saat itu (Umar, 2005).
Cuci tangan harus selalu dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah
melakukan tindakan perawatan walaupun memakai sarung tangan atau alat pelindung
lain untuk menghilangkan atau mengurangi mikroorganisme yang ada ditangan
sehingga penyebaran penyakit dapat dikurangi dan lingkungan terjaga dari infeksi.
Tangan harus dicuci sebelum dan sesudah memakai sarung tangan. Cuci tangan tidak
dapat digantikan oleh pemakaian sarung tangan. Aspek terpenting dari mencuci
Universitas Sumatera Utara
31
tangan adalah pergesekan yang ditimbulkan dengan menggosok tangan bersamaan
mencuci tangan dengan sabun, dengan air mengalir dan pergesekan yang dilakukan
secara rutin (Nursalam, 2007).
Menurut Syawir (2011) ada beberapa sarana cuci tangan yaitu sebagai berikut:
a.1. Air Mengalir
Sarana utama untuk cuci tangan adalah ketersediaan air mengalir dengan saluran
pembuangan atau bak penampung yang memadai. Dengan guyuran air mengalir
tersebut maka mikroorganisme yang terlepas karena gesekan mekanis atau
kimiawi saat cuci tangan akan bersih dan tidak menempel lagi di permukaan
kulit. Air mengalir tersebut dapat berupa kran atau dengan cara mengguyur
dengan gayung. Namun cara mengguyur dengan gayung memiliki risiko cukup
besar untuk terjadinya pencemaran, baik melalui gagang gayung ataupun
percikan air bekas cucian kembali ke bak penampungan air bersih. Air kran
bukan berarti harus dari PAM, namun dapat diupayakan secara sederhana degan
tangki berkran di ruang pelayanan atau perawatan kesehatan agar mudah
dijangkau oleh para petugas kesehatan yang memerlukannya.
a.2. Sabun dan Deterjen
Bahan ini tidak membunuh mikroorganisme tetapi menghambat dan mengurangi
jumlah mikroorganisme dengan jalan mengurangi tegangan permukaan sehingga
mikroorganisme terlepas dari permukaan kulit dan mudah terhalau oleh air.
Jumlah mikroorganisme semakin berkurang dengan meningkatnya frekuensi
cuci tangan. Namun dilain pihak, dengan seringnya menggunakan sabun atau
Universitas Sumatera Utara
32
deterjen maka lapisan lemak akan hilang dan membuat kulit menjadi kering dan
pecah-pecah. Hilangnya lapisan lemak akan memberi peluang untuk tumbuhnya
kembali mikroorganisme.
a.3. Larutan Antiseptik
Larutan antiseptik atau disebut juga antimikroba topikal yang dipakai pada kulit
atau jaringan hidup lainnya untuk menghambat aktivitas atau membunuh
mikroorganisme
pada
kulit.
Antiseptik
memiliki
bahan
kimia
yang
memungkinkan untuk digunakan pada kulit dan selaput mukosa. Antiseptik
memiliki keragaman dalam hal efektivitas, aktivitas, akibat dan rasa pada kulit
setelah dipakai sesuai dengan keragaman jenis antiseptik tersebut dan reaksi
kulit masing-masing individu. Kulit manusia tidak dapat disterilkan. Tujuan
yang ingin dicapai adalah penurunan jumlah mikroorganisme pada kulit secara
maksimal terutama kuman transien.
Menurut Syawir (2011) prosedur cuci tangan adalah sebagai berikut:
a.
Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air mengalir.
b.
Taruh sabun di bagian telapak tangan yang telah basah. Buat busa secukupnya
tanpa percikan.
c.
Gerakan cuci tangan terdiri dari gosokan kedua telapak tangan, gosokan telapak
tangan kanan di atas punggung tangan kiri dan sebaliknya, gosok kedua telapak
tangan dengan jari saling mengait, gosok kedua ibu jari dengan cara
menggenggam dan memutar, gosok telapak tangan. Proses berlangsung selama
10-15 detik.
Universitas Sumatera Utara
33
d.
Bilas kembali dengan air sampai bersih.
e.
Keringkan tangan dengan handuk atau kertas yang bersih atau tisu atau handuk
katun kain sekali pakai.
f.
Matikan kran dengan kertas atau tisu.
g.
Pada cuci tangan aseptik/ bedah diikuti larangan menyentuh permukaan yang
tidak steril.
b. APD (Alat Pelindung Diri)
Alat Pelindung Diri (APD) adalah alat yang digunakan untuk melindungi diri
dari sumber bahaya tertentu baik yang berasal dari pekerjaan maupun dari lingkungan
kerja dan berguna dalam usaha untuk mencegah dan mengurangi kemungkinan cidera
atau cacat, dan terdiri dari berbagai jenis APD di rumah sakit yaitu sarung tangan,
masker, penutup kepala, gaun pelindung dan sepatu pelindung (Syukri, 1982 dalam
Jumata, 2010).
b.1. Sarung Tangan
Sarung tangan atau istilahnya handscoon merupakan salah satu kunci dalam
meminimalisasi penularan penyakit, merupakan alat yang mutlak harus
dipergunakan oleh petugas kesehatan termasuk perawat. Pemakaian sarung
tangan bertujuan untuk melindungi tangan dari kontak dengan darah, semua
jenis cairan tubuh, sekret, kulit yang tidak utuh, selaput lendir pasien dan benda
yang terkontaminasi (Jumata, 2010).
Menurut Tietjen, dkk, 2004 sampai sekitar 15 tahun lalu, petugas kesehatan
menggunakan sarung tangan untuk tiga alasan untuk mengurangi risiko petugas
Universitas Sumatera Utara
34
terkena infeksi bakterial dari pasien, mencegah penularan flora kulit petugas kepada
pasien
dan
mengurangi
kontaminasi
tangan
petugas
kesehatan
dengan
mikroorganisme yang dapat berpindah dari satu pasien ke pasien lain.
Menurut Tenosis (2001) yang dikutip Tietjen (2004), walaupun sarung tangan
telah berulang kali terbukti sangat efektif mencegah kontaminasi pada tangan petugas
kesehatan, sarung tangan tidak dapat menggantikan perlunya cuci tangan. Sarung
tangan lateks kualitas terbaik pun mungkin mempunyai kerusakan kecil yang tidak
tampak. Selain itu sarung tangan juga dapat robek sehingga tangan dapat
terkontaminasi sewaktu melepaskan sarung tangan. Tergantung situasi, sarung tangan
pemeriksaan atau sarung tangan rumah tangga harus dipakai bila akan terjadi kontak
tangan pemeriksa dengan darah atau tubuh lainnya, selaput lendir, atau kulit yang
terluka, akan melakukan tindakan medik invasif (misalnya pemasangan alat-alat
vaskular seperti intravena perifer) dan akan membersihkan sampah terkontaminasi
atau memegang permukaan yang terkontaminasi (Tietjen, dkk, 2004).
b.2. Masker
Masker berguna untuk melindungi alat pernapasan terhadap udara yang
terkontaminasi di tempat kerja atau di rumah sakit yang bertujuan untuk
melindungi dan mengurangi risiko tertular penyakit melalui udara (Ramdayana,
2009).
c. Keselamatan Menggunakan Jarum Suntik
Keselamatan menggunakan jarum suntik sebaiknya menggunakan tiap-tiap
jarum dan spuit hanya sekali pakai, tidak melepas jarum dari spuit setelah digunakan,
Universitas Sumatera Utara
35
tidak menyumbat, membengkokkan, atau mematahkan jarum sebelum dibuang dan
membuang jarum dan spuit di wadah anti bocor.
Menurut Tietjen (2004) apabila jarum dan spuit sekali pakai tidak tersedia dan
perlu memasang kembali penutup jarum, maka gunakan metode penutupan “satu
tangan” dengan cara:
c.1. Tempatkan penutup jarum pada permukaan rata dan kokoh, kemudian angkat
tangan anda.
c.2. Kemudian dengan satu tangan memegang spuit, gunakan jarum untuk menyekop
tutup tersebut dengan penutup di ujung jarum, putar spuit tegak lurus sehingga
jarum dan spuit mengarah ke atas.
c.3. Akhirnya, dengan sumbat yang sekarang ini menutup ujung jarum sepenuhnya,
peganglah spuit ke arah atas dengan pangkal dekat pusat (dimana jarum itu
bersatu dengan spuit dengan satu tangan, dan gunakan tangan lainnya untuk
menyegel tutup itu dengan baik).
d. Sterilisasi Alat
Menurut Nystrom (1981) yang dikutip Tietjen (2004), dekontaminasi adalah
langkah pertama dalam mensterilkan instrumen bedah/tindakan, sarung tangan dan
peralatan lainnya yang kotor (terkontaminasi), terutama jika akan dibersihkan dengan
tangan misalnya, merendam barang-barang yang terkontaminasi dalam larutan klorin
0,5 % atau disinfektan lainnya yang tersedia dengan cepat dapat membunuh HBV dan
HIV. Dengan demikian, menjadikan instrumen lebih aman ditangani sewaktu
pembersihan. Setelah instrumen dan barang-barang lain didekontaminasi, kemudian
Universitas Sumatera Utara
36
perlu dibersihkan, dan akhirnya dapat disterilisasi atau didisinfeksi tingkat tinggi.
Proses yang dipilih untuk pemrosesan akhir bergantung pada apakah instrumen ini
akan bersinggungan dengan selaput lendir yang utuh atau kulit yang terkelupas atau
jaringan di bawah kulit yang biasanya steril.
2.1.5. Kewaspadaan Berdasarkan Penularan
Kewaspadaan ini dimaksudkan hanya untuk pasien yang diketahui atau sangat
dicurigai telah terinfeksi oleh patogen yang ditularkan lewat kontak langsung
khususnya penyakit Hepatitis B, dan patogen enterik, herpes simplex, infeksi kulit
atau mata. Dalam hal ini jika ada proses infeksi pada pasien tanpa diketahui
diagnosisnya, pelaksanaan kewaspadaan berdasarkan penularan, secara empirik harus
dipertimbangkan sampai diagnosis definitif dibuat (Nursalam, 2007).
2.2.
Hepatitis B
2.2.1. Definisi
Hepatitis B adalah jenis yang lain dari hepatitis dan banyak orang yakin
bahwa keadaannya serupa dengan hepatitis A, tetapi sifatnya lebih bertahan lama
yang disebabkan oleh virus yang sering disebut dengan virus hepatitis B (HBV)
(Hadi, 2000).
Hepatitis B merupakan infeksi pada hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis
B (HBV). Keadaan ini mengakibatkan peradangan dan pembengkakan hati, dan
kadang-kadang kerusakan hati yang nyata. Sering terjadi bahwa penderita sama sekali
tidak merasakan dan menyadari bahwa dirinya sedang terinfeksi oleh virus, karena
Universitas Sumatera Utara
37
keluhan yang khas yaitu keluhan seperti flu tidak bahkan bisa tidak muncul gejala
sama sekali. Seseorang bisa terkena infeksi jika ia tidak imun terhadap virus dan
terpapar dengan darah atau cairan tubuh dari penderita HBV (Naga, 2012).
Komponen (HBV) merupakan virus DNA yang tersusun dari partikel antigen
seperti HBcAg-antigen anti hepatitis B, HBsAg antigen permukaan (surface)
Hepatitis A (material antigen pada permukaan HBV), HBeAg-protein yang beredar
dalam darah dan HBxAg produk genetik dari gen X pada HBV/DNA. Setiap antigen
menimbulkan antibodi secara spesifiknya adalah anti-HBc-antibodi terhadap antigen
inti atau HBV, anti HBc akan bertahan selama fase akut dan dapat menunjukkan virus
hepatitis B yang berlanjut dalam hati (Brunner & Suddarth, 2001).
Hepatitis B merupakan bentuk hepatitis yang lebih serius dibandingkan
dengan jenis Hepatitis lainnya. Namun hepatitis virus yang akut dapat sembuh
dengan sendirinya, namun sebagian besar penderita Hepatitis B akan menjadi kronis.
Semakin besar usia terinfeksi virus hepatitis B maka semakin besar kemungkinan
menjadi kronis. Hepatitis kronis akan meningkatkan risiko terjadinya sirosis dan
hepatoma (kanker hati) di kemudian hari. Akan tetapi hanya sedikit saja yang
terinfeksi Hepatitis B (HBV) akut yang menunjukkan gejala klinis, kurang dari 10%
pada anak-anak dan 30% - 50% pada orang dewasa dengan infeksi virus HBV akut
dapat berkembang menjadi penyakit dengan ikterus. Pada penderita yang
menunjukkan gejala klinis, timbulnya gejala biasanya insidious, dengorexia,
gangguan abdominal, mual dan muntah, dan sering berkembang menjadi jaundice
(Chin , 2006).
Universitas Sumatera Utara
38
2.2.2. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala dari penyakit Hepatitis B ini sangat bervariasi terkadang
mirip dengan Hepatitis A dan mirip flu. Namun pada stadium prodromal sering
ditemukan kemerahan kulit dan nyeri sendi, hilangnya nafsu makan, mual kadang
disertai dengan muntah, lemah, pusing, sakit perut terutama disekeliling atau disekitar
hati, urine berwarna gelap, kulit dan mata berwarna kuning (jaundice) nyeri sendi dan
disertai dengan demam dan akan sembuh dalam 2 minggu namun dari hasil penelitian
yang dilakukan oleh para dokter ternyata hanya sedikit penderita penyakit Hepatitis B
yang menjadi ikterik (Naga, 2012).
2.2.3. Sumber dan Cara Penularan Virus Hepatitis B
Menurut Yulastri (2008) penyakit HBV dapat mudah ditularkan kepada
semua orang dan semua kelompok umur secara menyusup. Dengan percikan sedikit
darah yang mengandung virus hepatitis B sudah dapat menularkan penyakit. Pada
umumnya penularan dari HBV adalah parenteral. Semula penularan HBV
diasosiasikan dengan tranfusi darah atau produk darah, melalui jarum suntik. Tetapi
setelah ditemukan bentuk dari HBV makin banyak laporan yang ditemukan cara
penularan lainnya. Hal ini disebabkan karena HBV dapat ditemukan dalam setiap
cairan yang dikeluarkan dari tubuh penderita, misalnya melalui : darah, air liur
(saliva), keringat, air susu ibu (ASI), cairan vagina, air mata, feces, urine, termasuk
sisir, pisau cukur, selimut, alat makan, alat kedokteran yang terkontaminasi virus
Hepatitis B. Selain itu dicurigai penularan melalui nyamuk atau serangga penghisap
Universitas Sumatera Utara
39
darah. Oleh karena itu dikenal cara penularan perkutan dan non perkutan yaitu
sebagai berikut:
a. Penularan Horizontal
Cara penularan horizontal yang dikenal ialah: tranfusi darah yang
terkontaminasi oleh HBV, mereka yang sering mendapat hemodialisa. Selain itu
HBV dapat masuk kedalam tubuh kita melalui luka atau lecet pada kulit dan selaput
lendir misalnya tertusuk jarum (penularan parenteral) atau luka benda tajam,
menindik telinga, pembuatan tato, pengobatan tusuk jarum (akupuntur), penggunaan
alat cukur bersama, kebiasaan menyuntik diri sendiri, menggunakan jarum suntikyang
kotor/kurang steril. Penggunaan alat-alat
kedokteran dan perawatan gigi yang
sterilisasinya kurang sempurna / kurang memenuhi syarat akan dapat menularkan
HBV.
Di daerah endemis berat diduga nyamuk, kutu busuk, parasit, dan lain-lain dapat
juga menularkan HBV, walaupun belum ada laporan. Cara penularan tersebut
disebut penularan perkutan. Sedangkan cara penularan non-kutan diantaranya
ialah melalui semen, cairan vagina, yaitu kontak seksual (baik homoseks maupun
heteroseks) dengan pengidap/penderita HVB, atau melalui saliva yang berciumciuman dengan penderita/pengidap, dapat juga dengan jalan tukar pakai sikat gigi,
dan lainnya. Hal ini dimungkinkan disebabkan karena selaput lendir tubuh yang
melapisinya
terjadi
diskontinuitas,
sehingga
virus
hepatitis
B
mudah
menembusnya.
Universitas Sumatera Utara
40
b. Penularan Vertikal
Penularan secara vertikal dapat diartikan sebagai penularan infeksi dari seorang
ibu pengidap/penderita HBV kepada bayinya sebelum persalinan, pada saat
persalinan dan beberapa saat setelah persalinan. Apabila seorang ibu menderita
HBV akut pada perinatal yaitu pada trisemester ketiga kehamilan, maka bayi yang
baru dilahirkan akan tertulari (Budi, 2011).
Virus Hepatitis B juga dapat terjangkit melalui sentuhan dengan darah atau
cairan tubuh yang tercemar. Hal ini akan menyebabkan 100 kali lebih mudah
terjangkit dari pada HIV. Penyakit ini akan terdeteksi melalui pemeriksaan fungsi
hati. Menurut Chin (2006) bagian tubuh yang memungkinkan terjadinya penularan
HBV antara lain adalalah darah, air ludah atau saliva , cairan cerebrospinal,
peritoneal, cairan pericardial, cairan amniotik, semen, cairan vagina dan lain-lain.
Penularan infeksi virus hepatitis B juga dapat melalui berbagai cara sepaerti
parenteral yaitu terjadi penembusan kulit atau mukosa misalnya melalui tusuk jarum
atau benda yang sudah tercemar virus hepatitis B dan pembuatan tatto dan non
parenteral yaitu persentuhan yang erat dengan benda yang tercemar virus hepatitis B.
Sebagai antisipasi, biasanya terhadap darah-darah yang diterima dari
pendonor akan di tes terlebih dulu apakah darah yang diterima reaktif terhadap
Hepatitis, Sipilis dan HIV namun tidak semua yang positif Hepatitis B perlu ditakuti.
Dari hasil pemeriksaan darah dapat terungkap apakah ada riwayat pernah kena dan
sekarang sudah kebal, atau bahkan virusnya sudah tidak ada. Bagi pasangan yang
hendak menikah, tidak ada salahnya untuk memeriksakan pasangannya untuk
Universitas Sumatera Utara
41
penularan penyakit ini. Hepatitis C dapat tertular melalui darah dan plasma yang
syringe. Hepatitis D dapat tertular melalui darah dan cairan beku yang
terkontaminasi, jarum suntik dan hubungan seks. Hepatitis E dapat tertular melalui air
yang terkontaminasi, dari orang ke orang dengan fecal oral (Chin, 2006).
2.2.4. Masa Inkubasi
Masa inkubasi biasanya berlangsung selama 45-180 hari, dengan batas ratarata 60-90 hari, paling sedikit diperlukan waktu selama 2 minggu untuk bisa
menentukan HbsAg dalam darah, dan jarang sekali sampai selama 6 – 9 bulan,
perbedaan masa inkubasi tersebut dikaitkan dengan berbagai faktor antara lain jumlah
virus, cara-cara penularan dan faktor penjamu (Yatim, 2007).
Perubahan infeksi akut akan menjadi kronis sesuai dengan umur penderita.
Semakin tua umur, maka semakin besar kemungkinan menjadi kronis dan kemudian
berlanjut menjadi pengkerutan dan pengerasan jaringan hati (sirosis). Bila umur
masih berlanjut maka akan berubah menjadi keganasan hati atau kanker hati
(carinoma Hepatitis primer). Diperkirakan 15%-25% penderita hepatitis B kronis
akan meninggal prematur (meninggal sebelum waktu perkiraan) (Yatim, 2007).
2.2.5. Prevalensi Infeksi Virus Hepatitis B
a. Di Amerika Serikat diperkirakan 0,5% orang dewasa sudah terinfeksi virus
Hepatitis B atau dari 200 orang, 1 orang diantaranya sudah terinfeksi virus
Hepatitis B.
b. Di negara dengan tingkat prevalensi tinggi (HbsAg > 8%), penularan banyak
terjadi pada bayi baru lahir dan pada anak yang masih berada pada usia muda.
Universitas Sumatera Utara
42
c. Di negara dengan tingkat prevalensi sedang (HbsAg 2%-7%) penularan bisa
terjadi pada semua golongan umur.
d. Di negara dengan tingkat prevalensi rendah (HbsAg < 2%) infeksi sering terjadi
pada kelompok umur dewasa.
Pemeriksaan hepatitis B salah satunya dengan pemeriksaan serologi (sel),
yaitu pemeriksaan HbsAg, HbeAg, anti Hbe dan HBV DNA (Dewi, 2008).
HbsAg, HbeAg keduanya adalah antigen. Fungsi pemeriksaan HbsAg adalah
untuk mengetahui apakah seseorang merupakan penderita hepatitis B, yang ditandai
dengan HbsAg positif, sedangkan fungsi pemeriksaan HbeAg adalah untuk
mengetahui apakah adanya reflika virus dalam hepatosit (sel hati). HbeAg berkaitan
erat dengan HBV DNA, yaitu DNA virus hepatitis B. Pada beberapa kasus ada yang
nilai HbeAg-nya negatif namun bukan pertanda mutlak bahwa yang bersangkutan
tidak memiliki virus hepatitis B.
2.2.6. Perawatan dan Pengobatan
Hepatitis yang disebabkan oleh infeksi virus menyebabkan sel-sel hati
mengalami kerusakan sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Pada
umumnya, sel-sel hati dapat tumbuh kembali dengan sisa sedikit kerusakan, tetapi
penyembuhannya memerlukan waktu berbulan-bulan dengan diet dan istirahat yang
baik. Hepatitis akut umumnya sembuh, hanya 10% menjadi Hepatitis kronik
(menahun) dan dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Saat ini ada
beberapa perawatan yang dapat dilakukan untuk Hepatitis B kronis yang dapat
Universitas Sumatera Utara
43
meningkatkan kesempatan bagi seorang penderita penyakit ini. Perawatannya tersedia
dalam bentuk antiviral seperti Lamivudine, Adefovir dan Modulator (Hadi, 2000).
Hepatitis yang disebabkan oleh alkohol, narkoba, obat-obatan atau racun yang
mengakibatkan gejala yang sama seperti virus Hepatitis, pengobatan yang paling baik
adalah menghentikan penggunaan alkohol, narkoba, atau obat-obatan yang dapat
menggangu hati. Selain itu ada juga pengobatan tradisional yang dapat dilakukan.
Tumbuhan obat atau herbal yang dapat digunakan untuk mencegah dan membantu
pengobatan Hepatitis diantaranya mempunyai efek sebagai hepatoprotektor, yaitu
melindungi hati dari pengaruh zat toksik yang dapat merusak sel hati, juga bersifat
anti radang, kolagogum dan khloretik, yaitu meningkatkan produksi empedu oleh
hati. Beberapa jenis tumbuhan obat yang dapat digunakan untuk pengobatan
Hepatitis, antara lain yaitu temulawak (Curcuma xanthorrhiza), kunyit (Curcuma
longa), sambiloto (Andrographis paniculata), meniran (Phyllanthus urinaria), daun
serut/mirten, jamur kayu/lingzhi (Ganoderma lucidum), akar alang-alang (Imperata
cyllindrica), rumput mutiara (Hedyotis corymbosa), pegagan (Centella asiatica),
buah kacapiring (Gardenia augusta), buah mengkudu (Morinda citrifolia), jombang
(Taraxacum officinale) (Hadi, 2000).
Orang dengan sejarah penggunaan jarum suntik, penggunaan narkoba, tato
atau sirkulasi darah yang telah terpapar melalui seks tidak aman dapat meningkatkan
risiko terjadinya penyakit hepatitis B (Sulaiman, 2010).
Universitas Sumatera Utara
44
2.2.7. Pencegahan
Pengendalian
penyakit
ini
lebih
dimungkinkan
melalui
pencegahan
dibandingkan pengobatan yang masih dalam penelitian. Pencegahan dilakukan
meliputi pencegahan penularan penyakit dengan kegiatan Health Promotion dan
Spesifik Protection, maupun pencegahan penyakit dengan imunisasi aktif dan pasif
(Hadi, 2000).
Ada 3 (tiga) kegiatan utama yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan
penyakit Hepatitis, yakni melalui pencegahan primer, sekunder dan tersier.
Pencegahan primer yakni dengan cara promosi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS), imunisasi pada bayi, imunisasi pada remaja dan dewasa (catch up
immunization). Pencegahan sekunder melalui, deteksi dini dengan skrining
(penapisan), penegakan diagnosa dan pengobatan. Sedangkan pencegahan tersier
lebih kepada untuk mencegah keparahan dan rehabilitasi, monitoring pengobatan
untuk mengetahui efektifitas dan resistensi terhadap obat pilihan (Depkes RI, 2009).
Menurut Dirjen PPM-PL (2001) usaha pencegahan penyakit hati/liver antara
lain dengan diet seimbang dan pada saat tertentu diperlukan rendah protein, banyak
makan sayur dan buah-buahan, menjalankan pola hidup yang teratur, pola hidup di
lingkungan sehat, kurangi minuman beralkohol, jaga kebersihan diri dan lingkungan,
menghindari penularan melalui makanan dan minuman, menghindari kontak dengan
penderita Hepatitis B dan bila terjadi kontak melakukan desinfektan akan bisa
menghindari penularan penyakit Hepatitis. Senantiasa menjaga kebersihan diri dan
Universitas Sumatera Utara
45
lingkungan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi, suntikan, tatto,
tusukan jarum yang terkontaminasi, kegiatan seksual dan lain-lain.
Timbulnya Hepatitis B dalam barak-barak atau panti perawatan sering
merupakan petunjuk sanitasi dan higiene perorangan yang buruk. Pengendaliannya
langsung ditunjukkan pada pencegahan terkontaminasinya makanan, air, atau
sumber-sumber lainnya oleh tinja. Kebersihan seperti mencuci tangan setelah buang
air besar atau sebelum makan, penggunaan piring dan alat makan sekali pakai, dan
menjaga kebersihan perorangan. Pemakaian disinfektan natrium hipoklorit 0,5%sangat penting dalam mencegah penyebaran (Jawetz, 1995). Orang yang dekat
dengan penderita mungkin memerlukan terapi imunoglobulin. Imunisasi Hepatitis A
bisa dilakukan dalam bentuk sendiri (Havrix) atau bentuk kombinasi dengan vaksin
Hepatitis B (Twinrix). imunisasi Hepatitis B dilakukan tiga kali, yaitu dasar, satu
bulan dan 6 bulan kemudian.
Patogenesis penyakit berbasis lingkungan dapat diberi pengertian sebagai
proses perkembangan sebuah penyakit, yang melibatkan berbagai variabel di luar
subjek manusia. Kejadian penyakit yang menimpa sekelompok penduduk, bermula
dari sebuah agen penyakit yang dikeluarkan dari sumbernya. Agent penyakit dalam
media atau lazim disebut komponen lingkungan, seperti: air, udara, ataupun pangan
yang kemudian kontak dengan penduduk secara sendiri-sendiri maupun bersama,
dalam waktu yang bersamaan atau berbeda. Kejadian penyakit pada hakikatnya
dipengaruhi oleh variabel-variabel kependudukan dan variabel-variabel lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
46
2.3.
Faktor-faktor yang Memengaruhi
Pencegahan Hepatitis B
Universal
Precaution
dalam
2.3.1. Pengetahuan
a. Definisi
Pengetahuan adalah hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu, penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia yakni: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo,
2011).
Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan
panca inderanya. Yang berbeda sekali dengan kepercayaan (beliefes), takhayul
(superstition), dan penerangan-penerangan yang keliru (misinpormation) (Mubarak,
2006).
Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour).
Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh
pengetahuan akan lebih lancar dari pada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2007) mengungkapkan
bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi
proses yang berurutan, yakni :
a.1. Awareners (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
Universitas Sumatera Utara
47
a.2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut.
a.3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut
bagi dirinya.
a.4. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh stimulus.
a.5. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang, dimana untuk mengukur
tingkat pengetahuan seseorang secara terperinci terdiri dari 6 tingkatan yaitu :
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah di pelajari sebelumnya.
Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
terhadap suatu spesifik dari seluruh bahan yang di pelajari atau rangsangan yang
telah diterima. Oleh sebab itu “tahu” merupakan tingkat pengetahuan yang paling
rendah.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang
objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).
Universitas Sumatera Utara
48
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetap masih dalam suatu struktur organisasi tersebut,
dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis
menunjuk
pada
suatu
kemampuan
untuk
meletakkan
atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Pengukuran kemampuan dapat
dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi
yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan
yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat
tersebut di atas.
b. Faktor yang Memengaruhi Pengetahuan
b.1. Umur
Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan didalam penyelidikan
epidemiologi.
Universitas Sumatera Utara
49
b.2. Pendidikan
Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah menerima informasi
sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki.
b.3. Pekerjaan
Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara
mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak tantangan.
b.4. Sumber Informasi
Informasi adalah data yang diproses kedalam suatu bentuk yang mempunyai arti
bagi si penerima dan mempunyai nilai nyata dan terasa bagi keputusan saat itu
atau keputusan mendatang (Mubarak, 2006).
Salah satu cara memperoleh pengetahuan yaitu dari sumber informasi,
semakin banyak seseorang memperoleh informasi dari berbagai sumber maka
semakin baik pengetahuannya (Notoatmodjo, 2003).
2.3.2. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap merupakan kesediaan untuk bertindak dan
bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap tidak dapat dilihat tetapi hanya
dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup (Notoatmodjo, 2007).
Sikap mempunyai tiga komponen pokok yaitu:
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek
b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).
Universitas Sumatera Utara
50
Menurut Notoatmodjo, (2007), dalam penentuan sikap yang utuh ini,
pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting dengan
berbagai tingkat sikap yaitu :
a. Menerima (receiving), artinya bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
b. Merespon
(responding),
adalah
memberikan
jawaban
apabila
ditanya,
mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari
tindakan.
c. Menghargai (valuing), adalah mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah.
d. Bertanggung Jawab (responsible), adalah bertanggungjawab atas segala sesuatu
yang dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
2.3.3. Pelatihan Kerja
Pelatihan
kerja
diselenggarakan
dan
diarahkan
untuk
membekali,
meningkatkan dan mengembangkan keterampilan dan keahlian kerja guna
meningkatkan
kemampuan,
produktivitas
dan
kesejahteraan
tenaga
kerja
(Sastrohadiwiryo, 2002). Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 13 disebutkan bahwa pelatihan di
bidang kesehatan wajib memenuhi persyaratan tersedianya:
a. Calon peserta pelatihan
b. Tenaga kepelatihan
c. Kurikulum
Universitas Sumatera Utara
51
d. Sumber dana yang tetap untuk menjamin kelangsungan penyelenggaraan
pelatihan
e. Sarana dan prasarana.
Pasal 9 menyebutkan bahwa :
a. Pelatihan di bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan keterampilan atau
penguasaan pengetahuan di bidang teknis kesehatan.
b. Pelatihan di bidang kesehatan dapat dilakukan secara berjenjang sesuai dengan
jenis tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Selanjutnya pada pasal 10 disebutkan bahwa :
a. Setiap tenaga kesehatan memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti
pelatihan di bidang kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya.
b. Penyelenggara dan/atau pimpinan sarana kesehatan bertanggung jawab atas
pemberian kesempatan kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan.
Sesuai standar patogen yang ditularkan melalui darah dari OSHA pelatihan
awal dan tahunan yang berhubungan dengan standar harus tersedia untuk setiap
pekerja yang secara potensial terpapar selama jam-jam kerja, dan biaya tidak
dibebankan pada pekerja (pelatihan tahunan harus dilakukan dalam 12 bulan dari
pelatihan awal). Catatan harus tetap dipertahankan untuk sesi-sesi pelatihan (Schaffer,
dkk, 2000).
Universitas Sumatera Utara
52
2.4.
Landasan Teori
Landasan teori dalam penelitian ini mengacu pada konsep teori simpul bahwa
terjadinya penularan Hepatitis B pada petugas kesehatan di rumah sakit Permata
Bunda dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pengetahuan, sikap dan
pelatiahan kerja.
Simpul 1
Simpul 2
Virus
Hepatitis B
Manusia
melalui kontak
langsung
Simpul 3
Simpul 4
Penderita
Hepatitis B
• (+)
• (-)
Tenaga
Kesehatan
(Penggunaan alat
pelindung)
iklim, kebijakan,
topografi, dan suhu
Lingkungan Rumah Sakit
Gambar 2.1. Teori Simpul Kejadian Hepatitis B
Patogenesis atau kejadian penyakit berbasis lingkungan dapat diuraikan ke
dalam 5 simpul yakni : simpul 1 sumber penyakit dalam hal ini adalah virus Hepatitis
B, simpul 2 komponen lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit, simpul
3 penduduk (petugas kesehatan). Pada simpul ini dapat diukur kandungan agent
Universitas Sumatera Utara
53
penyakit yang bersangkutan atau metabolitnya, apabila kesulitan mengukur besaran
agent
penyakit, maka diukur dengan cara tidak langsung yang disebut sebagai
biomarker atau tanda biologi. Simpul 4 penduduk yang dalam keadaan sehat atau
sakit setelah mengalami interaksi atau exposure dengan komponen lingkungan yang
mengandung agent penyakit. Sedangkan simpul 5 adalah semua variabel yang
memiliki pengaruh terhadap ke 4 simpul tersebut seperti : iklim, kebijakan, topografi,
dan suhu lingkungan (Achmadi, 2011).
2.5.
Kerangka Konsep
Variabel Independen
- Pengetahuan
- Sikap
- Pelatihan Kerja
Variabel Dependen
Kewaspadaan Umum
Petugas Kesehatan
dalam Pencegahan
Kejadian Hepatitis B
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Download