PERSEPSI POLA ASUH IBU YANG BEKERJA DAN ASERTIVITAS

advertisement
PERSEPSI POLA ASUH IBU YANG BEKERJA DAN
ASERTIVITAS SISWA
Mercy Masyriqoh, Galuh Setia Winahyu
Sekolah Tinggi Psikologi Yogyakarta
Email: [email protected]
Abstrak
Remaja dituntut untuk memiliki kemampuan untuk menyampaikan
perasaan dengan tegas, jujur dan berterus terang agar berhasil membangun
hubungan sosial dengan lingkungan artinya remaja harus memiliki sikap asertif.
Beberapa penelitian terdahulu mengatakan bahwa Persepsi terhadap Pola asuh
memiliki pengaruh dalam mengembangkan perilaku asertif pada remaja.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan persepsi pola asuh ibu yang
bekerja dengan asertivitas siswa SMKN I Depok Sleman Yogyakarta. Penelitian
ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional, Sampel dalam penelitin ini
adalah siswa SMKN I Depok Sleman Yogyakarta, yang termasuk dalam kategori
remaja tengah yang berusia 15-18 tahun berjumlah 75 orang.
Subjek penelitian dipilih dengan tehnik simple random sampling,.
Pengumpulan data dilakukan melalui alat ukur berupa skala asertivitas dan skala
persepsi pola asuh ibu bekerja yang dibuat oleh peneliti. Skala asertifitas
memiliki nilai (α) 0,710 dengan 31 aitem valid dan skala persepsi pola asuh ibu
bekerja dengan (α) = 0,765 dan 37 aitem valid.
Hasil analisis data dengan teknik korelasi product moment pearson
diperoleh nilai sig (p) 0,008 ; (p<0,05). Artinya terdapat hubungan yang positif
antara persepsi pola asuh ibu bekerja dengan asertivitas pada siswa SMKN I
Depok Sleman Yogyakarta.
Kata Kunci : Persepsi pola asuh ibu bekerja, , asertivitas
PENDAHULUAN
Remaja adalah sosok manusia yang
belum matang. Hal ini dikarenakan
remaja
berada
pada
fase
perkembangan antara anak-anak dan
dewasa (Abidin, 2011). Remaja
bukan lagi sebagai anak-anak dan
bukan pula menjadi orang dewasa.
Dibanding masa kanak-kanak atau
masa dewasa, remaja memiliki
keunikan. Keunikan atau ciri khas
yang dimaksud
adalah bahwa
dimasa tersebut remaja sedang
mengalami masa transisi, dimana
status remaja menjadi tidak jelas.
Masa remaja merupakan
masa
dimana
remaja
senang
mencoba berbagai hal baru sebagai
upaya eksplorasi diri. Namun dalam
melakukan
eksplorasi
tersebut,
terkadang remaja dihadapkan kepada
pilihan dilematis, seperti melakukan
hal negatif yang tidak diinginkannya
1
atau kehilangan teman sepermainan.
Untuk menolak hal negatif tersebut
maka remaja perlu memiliki sikap
tegas.
Sikap tegas atau yang disebut
juga sikap asertif ini penting
dipunyai oleh remaja karena remaja
merupakan tahap yang rentan dengan
dunia luar, dimana remaja harus
berani dengan tegas menyatakan
‘tidak’ untuk sesuatu hal yang tidak
disukai. Kenyataannya banyak siswa
yang tidak berani untuk mengambil
sikap secara tegas, mengungkapkan
suatu pernyataan, pendapat, pikiran
dan perasaannya secara lugas.
Mereka sering bimbang dan
ragu-ragu dalam memilih cara
berperilaku
yang
sebagaimana
mestinya.
Sehingga
dapat
menimbulkan
prasangka
yang
merasa direndahkan dan merasa tidak
dihargai oleh temannya. Berdasarkan
hasil dilapangan diketahui bahwa
kebanyakan dari siswa tidak berani
mengungkapkan apa yang mereka
rasa. Seperti ajakan membolos dari
beberapa teman dansiswa masih
belum
mampu
mengutarakan
pendapatnya dan mengekspresikan
apa yang dialaminya.
Asertivitas bukan merupakan
suatu karakteristik yang dengan tibatiba muncul pada masa remaja, juga
bukan merupakan faktor yang
dibawa individu sejak lahir. Asertif
merupakan perilaku yang terbentuk
oleh lingkungan dimana remaja
tersebut
berada.Agar
berhasil
membina hubungan sosial dengan
lingkungan, siswa harus berperilaku
asertif. Karena perilaku asertif
merupakan salah satu faktor yang
penting agar seseorang mampu
melakukan
komunikasi
yang
bermakna
dan
menyenangkan
dengan orang lain.
Sebagaimana
penelitian
Shimizu, dkk (2004) menunjukkan
bahwa perilaku asertif memberikan
konstribusi
pada konsep diri
seseorang untuk mengurangi reaksi
stres dan meningkatkan percaya diri
seseorang.Faktor yang menyebabkan
kenapa seseorang kurang terampil
dalam mengekspresikan diri secara
asertif salah satunya adalah pola asuh
orang tua, yang mencakup status
sosial ekonomi orang tua, atau
bahkan dominasi orang tua.
Fenomena masih banyaknya
para remaja yang belum dapat
bersikap asertif terhadap orang tua,
guru juga teman sebaya, dikarenakan
dalam keluarganya tidak dibiasakan
sikap berbicara mengenai pendapat
maupun
keinginannya.
Banyak
anggota keluarga yang memberikan
larangan pada saat anak ingin
mengutarakan pendapatnya dan
menekankan bahwa orang tua adalah
yang paling benar. Hal tersebut
menyebabkan
perkembangan
asertivitas pada remaja menjadi
terhambat.
Remaja menjadi individu
yang tidak mampu dan tidak berani
untuk mengkomunikasikan segala
kebutuhan,
pendapat,
dan
keinginannya.
Branden
(2005)
menyatakan bahwa perilaku asertif
perlu dikembangkan agar individu
dapat berfungsi secara optimal dalam
keluarga,
organisasi,
dan
komunitas.Asertivitas
bukan
merupakan suatu karakteristik yang
dengan tiba-tiba muncul pada masa
remaja, juga bukan merupakan faktor
yang dibawa individu sejak ia
dilahirkan.
2
Asertif merupakan perilaku
yang terbentuk oleh lingkungan
dimana remaja tersebut berada.
Menurut
pendapat
peneliti,
asertivitas remaja justru menarik
untuk diteliti, mengingat keunikan
yang dimiliki remaja. Pola asuh
merupakan proses didalam keluarga,
interaksi orang tua dan anak. Pola
asuh diterapkan sejak anak lahir dan
disesuaikan dengan usia serta tahap
perkembangan, contohnya pada anak
usia 15-18 tahun.
Usia tersebut merupakan usia
remaja madya yang memiliki
berbagai karakteristik perkembangan
dimana akan mempengaruhi cara
pandang individu tentang diri.Diana
Baumrind (dalam Santrock, 2007)
menjelaskan empat jenis gaya
pengasuhan
yaitu:
pengasuhan
otoritarian, pengasuhan otoritatif,
pengasuhan yang mengabaikan dan
pengasuhan yang menuruti. Salah
satu
tempat
paling
strategis
membentuk perkembangan anak
adalah keluarga (Willis, 2008).
Keluarga merupakan lingkungan
primer yang mengajarkan pertama
kalinya
seseorang
untuk
bersosialisasi. Orang tua dalam hal
ini ibu memiliki peran penting dalam
perkembangan anak. Saat ini ibu
banyak dihadapkan pada situasi dan
kondisi yang mengharuskan ibu
memiliki peran ganda, yaitu sebagai
pengasuh anak dan sebagai ibu yang
bekerja di luar rumah.
Kesibukan
ibu
mencari
nafkah mengurangi kuantitas waktu
untuk berdialog dan memberikan
perhatian kepada anak-anaknya yang
sedang berkembang, yang sangat
membutuhkan perhatian dan kasih
sayang. Karena kurang mendapat
kasih sayang dan perhatian maka
akan dicari di luar rumah seperti di
dalam kelompok teman-temannya.
Dalam kehidupan sehari-hari
orang tua kebanyakan menggunakan
kombinasi
dari
semua
pola
pengasuhan yang ada, akan tetapi
satu jenis pola asuh akan jelas terihat
lebih dominan dari pada pola asuh
lainnya dan sifatnya hampir stabil
sepanjang waktu. Sunarti (2004),
menyatakan bahwa pola asuh yang
diterapkan tiap-tiap orang tua akan
sangat mempengaruhi pada bentukbentuk penyimpangan perilaku anak.
Menurut Musbikin (2013),
keberadaan ibu sangat berpengaruh
dalam
perkembangan
anak
remajanya terutama dalam pergaulan
anaknya. Hurlock (2006), juga
menyatakan bahwa pembentukan
watak anak sangat dipengaruhi oleh
peran ibu meskipun ibu bekerja di
luar rumah, karena bagaimanapun
juga ibu adalah pihak yang paling
bertanggung jawab terhadap anak
meski anak telah diasuh oleh orang
lain.
Peran ibu sebagai orang
terdekat anak memiliki peran yang
sangat penting dalam membentuk
pola tingkah laku anak serta
kepribadian
anak
yang
akan
membangun sebuah perilaku sosial
diluar keluarga, salah satunya adalah
perilaku asertif. Salah satu hal yang
menjadii hambatan bagi ibu dalam
menjalankan peran ganda ini adalah
ketersediaan
waktu, umumnya
mereka terikat dengan jadwal yang
ketat seperti misalnya harus masuk
jam 9 pagi dan pulang jam 5 sore.
Bekerja dapat menghasilkan
pengaruh yang positif dan negatif
pada pengasuhan (Crouter &
McHale, 2005). Stres karena
pekerjaan
bisa
meluas
dan
3
membahayakan pengasuhan, namun
perasaan sejahtera karena bekerja
bisa menghasilkan pengasuhan yang
lebih positif (Santrock, 2007). Dari
berbagai penelitian
diatas dapat
diambil kesimpulan bahwa pola asuh
sangat menentukan ketika seorang
remaja sedang mencari identitasnya
(Surbakti, 2008).
Walgito(2004)
mengungkapkan bahwa persepsi
merupakan
suatu
proses
pengorganisasian, penginterpretasian
terhadap stimulus yang diterima oleh
organisasi atau individu sehingga
menjadi sesuatu yang berarti dan
merupakan aktivitas yang terintegrasi
dalam diri individu.Hasil persepsi
mungkin akan berbeda antar individu
yang satu dengan yang lain.
Rakhmat (2007) menyatakan
persepsi adalah pengamatan tentang
obyek, peristiwa atau hubunganhubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan
informasi
dan
menafsirkan pesan. Dari definisi
diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa persepsi merupakan suatu
proses
bagaimana
seseorang
menyeleksi,
mengatur
dan
menginterpretasikan
terhadap
stimulus yang diterima juga melalui
pengalaman-pengalaman yang ada
dan
kemudian
menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan.
Menurut Walgito (2004) faktorfaktor yang berperan dalam persepsi
dapat dikemukakan seperti:objek
yang
dipersepsi,alat
indera,
perhatian.Adapun
proses
terbentuknya persepsi(Dafidoff &
Walgito dalam Walgito, 2004)yang
kemudian penulis kaitkan dengan
pola asuh yaitu:a) Stimulus, b)
Evaluasi, c)Interpretasi. Menurut
Baumrind (dalam Hanif, 2005) pada
prinsipnya pola asuh merupakan
parental control atau kontrol orang
tua.
Kohn (dalam Hanif, 2005)
berpendapat bahwa pola asuh
merupakan
cara
orang
tua
berinteraksi dengan anaknya yang
meliputi
pemberian
hukuman,
hadiah, perhatian, dan tanggapan
terhadap perilaku anak. Setiap orang
tua juga mempunyai carayang
berebeda-beda untuk mengasuh dan
mendidik anak-anaknya, apalagi
ditambah jika seorang ibu harus
bekerja demi membantu memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga.
Peran ganda ini berpengaruh
positif maupun negatif terhadap
kondisi keluarga terutama terhadap
anak. Contohnya pekerja pabrik,
adalah cara ibu pekerja pabrik dalam
mengasuh dan mendidik anakanaknya
sebagai
pembinaan,
pembentukan,
perbuatan,
dan
mengarahkan
aktivitas
anakanaknya,baik
secara
langsung
maupun tidak langsung (Yusuf,
2008).
Dari uraian diatas, peneliti
tertarik untuk mengetahui hubungan
persepsi pola asuh ibu bekerja
dengan asertivitas siswa SMKN I
Depok Sleman Yogyakarta.
HIPOTESIS
Hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah ada
hubungan yang positif antara
persepsi terhadap pola asuh ibu
bekerja dengan asertivitas remaja
Siswa SMK 1 Depok Sleman.
4
METODE PENELITIAN
Variabel-variabel
yang
digunakan dalam penelitian
ini
adalah asertivitas sebagai variabel
tergantung dan persepsi pola asuh
ibu bekerja sebagai variabel bebas.
Populasi dalam penelitian ini adalah
siswa-siswi SMKN I Depok Sleman
yogyakarta dengan sampel awal yang
direncanakan berjumlah 100 orang.
Namun saat pengambilan data hanya
berhasil dikumpulkan data sejumlah
75 orang.
Metode pengumpulan data
yang diterapkan dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan metode
skala untuk mengungkap asertivitas
dan persepsi pola asuh ibu bekerja.
Dalam penelitian ini, peneliti
mengumpulkan
data
dengan
menggunakan skala yang dibuat
mengikuti model Likert, dengan
empat pilihan jawaban yaitu Sangat
Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju
(TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).
Dalam skala asertivitas dan persepsi
pola asuh ibu bekerja pemberian skor
alternatif jawaban yakni 4 sampai 1
untuk aitem favourable dan 1 sampai
4 untuk aitem unfavourable (Azwar,
2015).
Tehnik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini
adalah tehnik uji korelasi Product
Moment dari Karl Pearson. Dengan
bantuan SPSS windows
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Berdasarkan
hasil
perhitungan
statistik,
diperoleh
koefisien korelasi (rxy) sebesar 0,302
dan taraf signifikansi sebesar 0,008
(p<0,05) yang mendukung hipotesis
yang diajukan yaitu bahwa ada
hubungan positif antara persepsi pola
asuh dengan asertivitas pada siswa
SMKN I Depok Sleman Yogyakarta.
Hal ini mengandung makna bahwa
ada kecenderungan, semakin tinggi
persepsi pola asuh orang tua bekerja
maka akan semakin meningkatkan
asertivitas pada siswa.
Hasil penelitian ini sama
dengan teori yang dikemukakan oleh
Alberti & Emmons (2002) yang
menyatakan bahwa pola asuh
merupakan salah satu faktor yang
terkait dengan asertivitas. Itu berarti
pola relasi orang tua khususnya ibu
dan anak dalam proses pengasuhan
yang dipersepsikan oleh responden
ada
hubungannya
dengan
kemampuannya berperilaku asertif.
Namun kontribusi yang diberikan
kecil yaitu sebesar sebesar 9,1%.
Sedangkan 90,9 % asertivitas
pada siswa bisa saja dipengaruhi oleh
faktor-faktor lainnya seperti jenis
kelamin, harga diri, kebudayaan,
tingkat pendidikan, tipe kepribadian,
situasi
tertentu
lingkungan
sekitarnya. Hal itu karena asertivitas
berkembang sebagai seluruh hasil
interaksi
dengan
orang
lain
disamping interaksi dengan orang
tuanya.
Dengan bersosialisasi diluar
rumah bisa jadi mereka lebih mampu
mengembangkan asertivitas karena
lingkungan mendukung dan memberi
kesempatan
pada
munculnya
asertivitas. Hal ini sejalan dengan
pendapat Erikson (dalam Wong,
2009) bahwa remaja membebaskan
diri mereka dari dominasi orang tua
dan lebih cenderung mendekatkan
diri dengan teman sebaya, remaja
menganggap bahwa teman memiliki
peran yang lebih penting.
5
Pendapat
senada
juga
disampaikan Alberti & Emmons
(2008) bahwa terdapat faktor-faktor
lain
yang
berkaitan
dengan
asertivitas, seperti keluarga, jenis
kelamin, konsep diri, sekolah,
kondisi
budaya
yang
dalam
penelitian tidak diteliti. Adapun
kontribusi yang diberikan persepsi
pola asuh terhadap asertivitas sebesar
9,1 % hal tersebut dikarenakan
untuk mencapai tujuannya, orang tua
memiliki cara tersendiri dalam
mengasuh anak.
Santrock (2007) menyatakan
bahwa dalam kehidupan sehari-hari
orang tua kebanyakan menggunakan
kombinasi
dari
semua
pola
pengasuhan yang ada, akan tetapi
satu jenis pola asuh akan jelas
terlihat lebih dominan dari pada pola
asuh lainnya dan sifatnya hampir
stabil
sepanjang
waktu.
Di
tambahkan pula oleh Sunarti (2004)
yang menyatakan bahwa pola asuh
yang diterapkan tiap-tiap orang tua
akan sangat mempengaruhi pada
bentuk-bentuk
penyimpangan
perilaku anak.
Perilaku asertif termasuk
didalamnya, bagaimana hubungan
baik yang dapat dilakukan ibu dalam
mengasuh anaknya, dimana ibu
memberikan stimulus sikap yang
kemudian di terima oleh penglihatan
yaitu remaja melihat cara orang tua
mengasuhnya.
Kemudian
anak
mempersepsikan dengan di imbangi
oleh
kemampuan
kognitifnya,
sehingga sikap ibu yang asertif dapat
mengembangkan sikap asertif pada
anak remajanya.
Dikatakan oleh Bee & Boyd
(2004) bahwa pengasuhan harus
disesuaikan dengan tuntutan budaya
yang berkembang di masyarakat.Jika
dikaitkan lagi dengan kontribusi
yang diberikan persepsi pola asuh
terhadap asertivitas, maka diketahui
bahwa tingkat pendidikan orang tua
dan aktivitas ibu yang bekerja turut
mempengaruhi
bagaimana
pengasuhan yang diberikan ibu
kepada anak remajanya.
Dan rata-rata pendidikan ibu
pada siswa SMKN I Depok Sleman
Yogyakarta
adalah
rendah.Hal
tersebut senada dengan yang
dikatakan oleh
Suharjo (dalam
puspitasari, 2006) bahwa pendidikan
merupakan alat di masyarakat untuk
memperbaharui
dirinya
dalam
melangsungkan
kehidupan
bermasyarakat
dan
pendidikan
merupakan
usaha
untuk
mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar
sekolah seumur hidup.
Artinya bahwa pendidikan
sangat dibutuhkan dalam mengasuh
anak.Aktivitas ibu pada siswa
SMKN I Depok Sleman Yogyakarta
adalah bekerja sebagai buruh pabrik
yang
memungkinkan
dalam
pengasuhan
terhadap
anaknya
memiliki waktu yang sedikit. Karena
kesibukan ibu mencari nafkah
mengurangi kuantitas waktu untuk
berdialog
dan
memberikan
perhatian, karena hampir separuh
hari
bekerja sehingga interaksi
antara orang tua dan anak minim.
Crouter & McHale (dalam
Santrock, 2007) menyatakan bahwa
bekerja
dapat
menghasilkan
pengaruh yang positif dan negatif
pada pengasuhan. Selain itu Suharjo
(dalam puspitasari, 2006), banyak
juga dari beberapa wanita yang
berperan ganda selain sebagai ibu
rumah tangga juga sebagai wanita
karier,
yang bertujuan untuk
6
menciptakan
keadaan
ekonomi
keluarga yang lebih mencukupi
sehingga mengakibatkan timbulnya
pengaruh terhadap hubungan dengan
anggota keluarga terutama anaknya.
Artinya bahwa ibu yang
bekerja akan mempengaruhi kualitas
waktunya
bersama
anak.
Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Musbikin (2013) bahwa
keberadaan ibu sangat berpengaruh
dalam
perkembangan
anak
remajanya terutama dalam pergaulan
anaknya dan pengasuhan dapat
mempengaruhi bagaimana anak
bertindak.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan
hasil analisis data, diperoleh
kesimpulan
bahwa
terdapat
hubungan yang signifikan antara pola
asuh otoritatif dengan asertivitas
siswa SMKN I, artinya ada
kecenderungan semakin otoritatif
pengasuhan orang tua, maka siswa
akan semakin
mengembangkan
perilaku asertif. Kontribusi pola asuh
otoritatif
orang
tua
terhadap
asertivitas siswa yaitu sebesar 9,1 %.
Adapun kontribusi yang di
berikan
kecil,
hal
tersebut
dikarenakan dalam mengembangkan
perilaku sertif juga dipengaruhi
faktor lingkungan yang lain seperti,
jenis
kelamin,
harga
diri,
kebudayaan, tingkat pendidikan, tipe
kepribadian dan situasi tertentu
lingkungan sekitarnya. Dan pola
asuh otoritatif yang diterapkan ibu
bekerja juga dipengaruhi beberapa
faktor dalam pengasuhan yaitu,
pendidikan ibu, pengetahuan ibu,
aktivitas ibu,
ekonomi.
dan
status
sosial
B. Saran
Berdasarkan
hasil
yang
diperoleh dan dengan adanya
beberapa
kelemahan
dalam
penelitian ini, maka ada beberapa
saran yang dapat dilakukan oleh
orang tua dan penelitian selanjutnya,
yaitu:
1. Bagi Orang Tua
Para orang tua khususnya
ibu yang bekerja, disarankan
untuk
menerapkan
pola
pengasuhan yang baik kepada
anak mereka. Pola pengasuhan
keluarga
dan
proses
pembelajaran
dilingkungan
sekitar serta sekolah akan
mempengaruhi kemampuan anak
untuk menjadi lebih asertif.
2. Bagi Peneliti selanjutnya
Sumbangan efektif yang
kecil dari variabel pola asuh ibu
yang bekerja pada peningkatan
asertifitas remaja bisa dijadikan
dasar
untuk
penelitian
selanjutnya
yaitu
variabelvariabel seperti, jenis kelamin,
harga diri, kebudayaan, tingkat
pendidikan, tipe kepribadian dan
situasi
tertentu
lingkungan
sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. (2011).
Pengaruh
pelatihan resiliensi terhadap
perilaku asertif pada remaja.
Prodi Psikologi 4: 130
Alberti, R. & Emmons, M. (2002).
Your perfect right: Hidup
lebih
bahagia
dengan
7
menggunakan hak. Jakarta:
Elex Media Komputindo.
Alberti, R. & Emmons, M. (2008).
Your
perfect
right:
Assertiveness and equality in
your life and relationship.
Ninth Edition. California:
Impact Publisher.
Azwar, S. (2015). Metode penelitian.
Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Bee, H., & Byond, D. (2004). The
developing child. Ten Edition.
Pearson Education.
Branden, N. (2005). Kekuatan harga
diri (The Power of SelfEsteem). Batam : Interaksara.
Crouter, A. C., & McHale, S. M.
(2005). The long arm of the
job revisited: Parenting in
dual earner families. (T.
Luster, & L. Okagaki,
Penyunt.) Parenting: An
Ecological
Perspective
Second Edition, hal. 275-296.
Hanif. (2005). Perbedaan tingkat
agresivitas pada siswa SMU
Muhammadiyah
I
Yogyakarta berdasar pada
pola
asuh
dan
jenis
pekerjaan orang tua. Jurnal
penelitian humaniora 6 (2)
145.http://eprints.ums.ac.id/
1210/1/3.HANIF
clear.pdf/22/06/10.
Hurlock,
E.
B,
(2006).Psikologiperkemban
gan. Jakarta: Erlangga.
Musbikin, I. (2013). Mengatasi
kenakalan siswa remaja.
Pekanbaru:
Zanafa
Publishing.
Puspitasari, F. (2006). Perkawinan
usia muda: Faktor-faktor
pendorong & dampaknya
terhadap pola asuh keluarga
(Studi
kasus
di
Desa
Mandalagiri
Kecamatan
Leuwisari
Kabupaten
Tasikmalaya).
Skripsi.
Fakultas
Ilmu
Sosial.
Universitas Negeri Semarang.
http://www.solexun.net/repos
itory/id/hlth/CR10-Res3ind.pdf. Diakses tanggal
20/02/2015.
Rakhmat, J . (2007). Persepsi dalam
proses belajar mengajar.
Jakarta: Rajawali Press.
Santrock,
J.
W.
Perkembangan
Jakarta: Erlangga.
(2007).
anak.
Santrock, J. W. (2007). Remaja.
Jakarta: Erlangga.
Shimizu, T., Kubota, S., Mishima, T.
& Nagata, S. (2004).
Relationship between selfesteem and assertiveness
training among Japanese
Hospital Nurses. Journal
Occup Health46: 296-298.
Sunarti, E. (2004). Mengasuh dengan
hati
tantangan
yang
menyenangkan. Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia.
Surbakti, E. B., Drs. MA. (2008).
Kenakalan
orangtua
penyebab kenakalan remaja.
Jakarta:
Elex
media
komputindo.
8
Walgito, B. (2004). Pengantar
psikologi umum. Yogyakarta:
Andi.
Wong,
DL. (2009). Buku ajar
keperawatan pediatrik . Edisi 6.
Volume 1. Jakarta: EGC.
Yusuf, S. L. N. (2008). Psikologi
perkembangan anak dan
remaja. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
9
Download