BAB II LANDASAN TEORI A. Asertivitas 1. Pengertian Asertivitas

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Asertivitas
1. Pengertian Asertivitas
Menurut kamus Webster Third International asertivitas berasal dari
kata kerja “assert” (sadar) berarti “menyatakan atau bersikap positif,
yakni berterus terang, atau tegas” (Fensterheim & Baer, 1980). Rathus dan
Nevid (1995), mendefinisikan perilaku asertif sebagai tingkah laku yang
menampilkan keberanian untuk secara jujur dan terbuka mengungkapkan
kebutuhan,
perasaan,
dan
pikiran-pikiran
dengan
apa
adanya,
mempertahankan hak-hak pribadi, serta menolak permintaan-permintaan
yang tidak masuk akal termasuk tekanan yang datang dari figur otoritas
dan standar-standar yang berlaku pada suatu kelompok. Individu yang
asertif juga menggunakan kekuatan pengaruh sosial untuk mencapai tujuan
yang diinginkan.
Menurut Alberti dan Emmons (2002), perilaku asertif adalah
perilaku individu yang bisa melakukan sesuatu atas dasar keinginannya
sendiri tanpa adanya paksaan dari orang lain, menegakkan hak-hak
pribadinya tanpa mengesampingkan hak-hak orang lain, serta mampu
untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya secara nyaman. Hal ini
sebagaimana Lazarus (Fensterheim & Baer, 1980) menyatakan tingkah
laku yang tegas timbul sebagai aspek “kebebasan emosional” yang
11
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
menyangkut usaha membela hak-hak yang dimiliki. Ini meliputi (1)
mengetahui hak-hak pribadi; (2) berbuat sesuatu untuk itu; (3) melakukan
hal ini dalam rangka usaha mencapai kebebasan emosional.
McBride (1998) menyebutkan bahwa asertif merupakan pertengahan
antara sikap agresif dan pasif. Menjadi asertif berarti memiliki keyakinan
dan kepercayaan diri, berpendapat dengan tidak merugikan dan
merendahkan orang lain, mampu menyesuaikan diri dan menggunakan
bahasa tubuh yang tepat pada setiap situasi, mampu berbicara pada diri
sendiri atau orang lain, menghormati diri sendiri dan orang lain dengan
setara, mampu mengatakan “tidak tahu” atau “tidak mengerti”, serta
memiliki tujuan yang jelas. Sebaliknya bersikap tidak asertif berarti tidak
mau mendengar apa yang dikatakan orang lain, melakukan sesuatu dengan
caranya sendiri, memperlakukan orang lain tanpa rasa hormat, melakukan
bullying, takut dengan situasi sulit, terlihat tunduk, selalu menanggapi
situasi dengan cara yang sama.
Menurut Burley-Allen (1995) asertivitas didasarkan pada hak-hak
alami kita sebagai manusia; dapat diperlakukan dengan hormat, menjadi
diri sendiri, dan memiliki nilai-nilai kita sendiri. Setiap dari kita memiliki
ruang pribadi yang unik yang harus dihormati oleh orang-orang yang
berinteraksi dengan kita begitupun sebaliknya kita menghormati hak orang
lain. Elemen penting lainnya dari asertif adalah tanggung jawab; terutama
tanggung jawab untuk diri sendiri. Ini berarti menetapkan batas untuk
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
mengurus diri sendiri, tetap menerima konsekuensi dari setiap tindakan
yang kita lakukan.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa asertivitas
adalah kemampuan individu untuk mempertahankan hak-hak yang
dimilikinya
serta
keberaniannya
untuk
mengungkapkan
perasaan,
pendapat, menjadi diri sendiri, dengan melakukan penyesuaian terhadap
lingkungan dan tetap menghormati hak-hak yang dimiliki orang lain.
2. Aspek-aspek Asertivitas
Fensterheim dan Baer (1980) menyatakan asertivitas meliputi empat
aspek, yaitu :
a.
Mampu mengemukakan dirinya sendiri
Merasa bebas untuk mengemukakan emosi yang dirasakan, pendapat
dan keinginan melalui kata dan tindakan. Misalnya: “inilah diri saya,
inilah yang saya rasakan dan saya inginkan”.
b.
Mampu berkomunikasi dengan orang lain
Orang asertif dapat berkomunikasi dengan orang lain dari semua
tingkatan, baik dengan orang yang tidak dikenal, sahabat, dan
keluarga. Dalam berkomunikasi ia relatif terbuka, jujur, dan
sebagaimana mestinya.
c.
Mempunyai pandangan yang aktif tentang hidup
Orang asertif cenderung mengejar apa yang diinginkan dan berusaha
agar sesuatu itu terjadi serta sadar akan dirinya bahwa ia tidak dapat
selalu menang, maka ia menerima keterbatasannya, akan tetapi ia
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
selalu berusaha untuk mencapai sesuatu dengan usaha yang sebaikbaiknya dan sebaliknya orang yang tidak asertif (pasif) selalu
menunggu terjadinya sesuatu.
d.
Bertindak dengan cara yang dihormatinya
Karena sadar bahwa ia tidak dapat selalu menang, ia menerima
keterbatasannya. Namun demikian ia tetap berusaha mencapai
sesuatu dengan usaha sebaik-baiknya, sehingga baik ia berhasil
ataupun gagal, ia tetap memiliki harga dirinya.
3. Pola Perilaku Asertif
Berikut merupakan keseluruhan pola perilaku gaya asertif (BurleyAllen, 1995) antara lain :
a. Isyarat Nonverbal
1) Gerakan
:menjangkau, terbuka
2) Ekspresi wajah
:penuh
perhatian,
tertarik,
responsif,
kongruen dengan apa yang diungkapkan
3) Kontak mata
:langsung, kontak mata yang baik
4) Postur
:santai, terbuka
5) Nada suara
:sedang, volume sesuai
6) Kecepatan bicara
:moderat, bervariasi tergantung pada situasi
b. Perilaku
Individu yang asertif akan tahu apa
yang dibutuhkan dan
mengembangkan rencana untuk mendapatkannya, berorientasi pada
tindakan, tegas, percaya diri, bertanggung jawab, memiliki harapan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
yang realistis, menekankan sifat positif diri dan orang lain, cukup adil,
konsisten, proaksi, mengambil tindakan yang tepat untuk mendapatkan
apa yang diinginkan tanpa melanggar hak orang lain.
c. Isyarat verbal
Kata-kata yang digunakan biasanya seperti “saya memilih untuk” “apa
saja pilihan kita?”, “mari membicarakannya”, “saya setuju bahwa saya
bisa saja mengambil tindakan lain”.
d. Motto dan Beliefs
Gaya asertif memiliki keyakinan meliputi : bersedia untuk belajar dari
kesalahan, mengoreksi kesalahan, mempercayai diri sendiri dan orang
lain, mengetahui ketegasan itu tidak berarti selalu menang; tetapi
menangani situasi seefektif mungkin, menghargai diri sndiri dan orang
lain, memberikan penguatan positif untuk diri sendiri dan orang lain,
"saya memiliki hak dan begitu juga orang lain,” “menghakimi tidak
akan meningkatkan keefektifan saya.”
e. Karakteristik
Karakteristik dari gaya asertif antara lain : Tidak menghakimi,
mengamati perilaku
daripada
memberi
label,
menerima
dan
menghormati diri sendiri dan orang lain, pemaaf, pengertian,
mempercayai diri sendiri dan orang lain, penuh kasih, antusias,
percaya diri, sadar diri, konsep diri dan harga diri positif, tanggung
jawab,
toleran,
sabar,
terbuka,
fleksibel,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
serba
bisa,
gigih,
16
menyenangkan, rasa humor, tahu apa yang dia inginkan dan
mengembangkan rencana untuk mendapatkannya, tegas, inisiatif.
f. Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah dengan gaya asertif antara lain : win-win solution,
negosiasi, tawar-menawar, kompromi, memecahkan masalah dengan
menjelajahi alternatif, siap menghadapi masalah, tidak membiarkan
perasaan
negatif,
mengklarifikasi
kesalahpahaman,
belajar
keterampilan pemecahan masalah.
g. Feelings felt
Beberapa perasaan yang menggambarkan gaya asertif seperti sukacita,
antusiasme, kegembiraan, kesejahteraan.
h. Gaya komunikasi
Individu asertif memiliki cara berkomunikasi antara lain : efektif,
pendengar yang aktif, positif citra diri, menyatakan batasan, harapan,
mengatakan “tidak” terhadap permintaan yang tidak masuk akal,
mendengarkan dengan pengertian tanpa menilai, menunjukkan
keseimbangan komunikasi verbal dan nonverbalnya, dua arah,
mendorong umpan balik, langsung, openminded, mengungkapkan diri
secara langsung, jujur, dan sesegera mungkin tentang perasaan dan
keinginan, menyatakan sesuatu dengan jelas, memeriksa perasaan
orang lain.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
i.
Efek
Gaya asertif memiliki efek terhadap diri sendiri seperti : meningkatkan
harga diri dan percaya diri, menghasilkan banyak energi, merasa puas,
merasa baik tentang diri sendiri. Adapun efeknya pada orang lain
seperti : meningkatkan harga diri dan percaya diri, merasa termotivasi
dan dipahami, semangat tinggi, merasa didengarkan dan diakui, tahu di
mana posisi mereka.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Asertivitas
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan asertivitas
menurut Rathus & Nevid (1980), antara lain:
a. Jenis kelamin
Wanita pada umumnya lebih sulit bertingkah laku asertif seperti
mengungkapkan perasaan dan pikiran dibandingkan dengan laki-laki.
Wanita diharapkan lebih banyak menurut dan tidak boleh
mengungkapkan pikiran dan perasaannya bila dibandingkan dengan
laki-laki, artinya pengkondisian budaya untuk wanita cenderung
membuat wanita menjadi lebih sulit mengembangkan asertivitasnya.
b. Harga diri
Harga diri seseorang turut mempengaruhi kemampuan seseorang
untuk melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Orang yang
memiliki harga diri yang tinggi, memiliki kekhawatiran sosial yang
rendah
sehingga
ia
mampu
mengungkapkan
pendapat
perasaannya tanpa merugikan dirinya maupun orang lain.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dan
18
c. Kebudayaan
Tuntutan lingkungan menentukan batasan-batasan perilaku masingmasing anggota masyarakat sesuai dengan umur, jenis kelamin, dan
status sosial seseorang.
d. Tingkat pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan individu maka semakin luas
wawasan berpikirnya sehingga kemampuan untuk mengembangkan
diri lebih terbuka.
e. Situasi-situasi tertentu disekitarnya
Kondisi dan situasi dalam arti luas, misalnya posisi kerja antara
bawahan terhadap atasannya, ketakutan yang tidak perlu (takut
dinilai
kurang
mampu),
situasi-situasi
seperti
kekhawatiran
mengganggu dalam keadaan konflik.
Adapun Rathus dan Nevid (1980) juga mengungkapkan beberapa
faktor-faktor yang dapat menghambat munculnya asertivitas antara lain :
a. Pengaruh budaya dan relasi sosial setempat. Dalam suatu
kebudayaan tertentu, individu diharuskan untuk lebih menerima
dan selalu setuju dengan pendapat orang lain, sehingga dalam
sistem masyarakat ini tidak ada kesempatan untuk memunculkan
tingkah laku asertif.
b. Pandangan-pandangan yang menyesatkan tentang cara-cara atau
etika bertingkah laku, seperti:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
1) Mitos rendah hati (Myth of modesty), sehingga individu tidak
terbiasa menerima pujian atau kritik yang akhirnya individu
tersebut menjadi ‘risi’ atau salah tingkah.
2) Mitos sahabat karib (Myth of good friends), yang
berpandangan bahwa teman baik sudah mengetahui apa
perasaan dan pikiran individu sehingga individu merasa tidak
perlu lagi menyatakan pikiran dan perasaannya. Hal tersebut
sering menimbulkan kesalahpahaman karena persepsi yang
berbeda tentang suatu hal.
c. Konflik-konflik pribadi
1) Pola asuh yang salah atau tidak menguntungkan, dimana hal
ini
membuat
tidak
adanya
kesempatan
untuk
mengembangkan tingkah laku asertif.
2) Perkembangan kepribadian terhambat, sehingga individu
belum mencapai taraf kedewasaan tertentu.
3) Pengaruh peer group, individu akan bertingkah
laku
cenderung sama dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
peer group nya, agar ia diterima dalam kelompok tersebut
sehingga bila dalam kelompok tersebut tidak ada kesempatan
untuk mengembangkan asertivitas maka individu tersebut
akan bertingkah laku non-asertif.
d. Sasaran bertingkah laku non-asertif adalah untuk menyenangkan
atau memuaskan orang lain, menghindari celaan orang lain dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
menghindari konflik. Individu yang non-asertif mengarah pada
kehidupan mengingkari diri sendiri yang menyebabkan mereka
menderita dalam hubungan interpersonal. Kadang-kadang juga
menimbulkan konsekuensi emosional dan fisik, misalnya selalu
cemas, tegang, bingung dan merasa tidak nyaman dalam
menjalin relasi sosial sedangkan tingkah laku agresif selalu
berkesan superioritas dan tidak adanya respek terhadap orang
lain. Dengan berprilaku agresif berarti menempatkan keinginan,
kebutuhan dan hak diatas milik orang lain. Tidak seorang pun
senang bergaul dengan ‘tukang gertak’, sehingga didalam relasi
interpersonalnya mereka selalu ’terbentur’ dan mempunyai
masalah relasi sosial.
B. Pola Asuh Orang Tua
1. Pengertian Pola Asuh
Dariyo (2004) mengemukakan bahwa para ahli perkembangan
sepakat dimana pola asuh orang tua amat mempengaruhi kepribadian dan
perilaku anak. Menurut Santrock (2002), pola asuh merupakan cara orang
tua terhadap anak-anak mereka yang menghadapi masa remaja untuk
tumbuh menjadi individu yang matang secara sosial. Sedangkan menurut
Grusec (Rathus, 2007), pola asuh merupakan pandangan tradisional di
mana anak akan memperoleh nilai-nilai dan standar perilaku.
Baumrind (Marini & Andriani, 2005) mengatakan pola asuh
orangtua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
orangtua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam
keluarga
yang
akan
memberi
pengaruh
terhadap
perkembangan
kepribadian anak. Selanjutnya pola asuh menurut Gunarsa (2000)
merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi
bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis tetapi juga normanorma yang berlaku di masyarakat, agar anak dapat hidup selaras dengan
lingkungan.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh
adalah cara orang tua berinteraksi terhadap anak mereka dengan
mengajarkan norma-norma masyarakat yang bertujuan agar anak dapat
mencapai kematangan sosial dan yang mana hal ini sangat dapat
mempengaruhi perkembangan kepribadian anak nantinya.
2. Jenis dan Dampak Pola Asuh Orang Tua
Baumrind (Papalia, Olds dan Feldman, 2008; Dariyo, 2004)
membagi pola asuh orang tua menjadi tiga yakni otoritarian, permissif dan
otoritatif.
a. Pola Asuh otoritarian (Parent Oriented)
Ciri-ciri dari pola asuh ini, menekankan segala aturan orang tua
harus ditaati oleh anak. Gaya pengasuhan ini juga memandang
pentingnya kontrol dan kepatuhan. Mereka mencoba membuat anak
menyesuaikan diri dengan serangkaian standar perilaku. Orang tua
bertindak semena- mena dan cenderung menghukum secara keras
atas pelanggaran yang dilakukan anak, tanpa dapat dikontrol oleh
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
anak. Anak harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa
yang di perintahkan oleh orang tua. Mereka menjadi terlepas
(detached) dan kurang hangat dibandingkan orang tua lain.
Dalam hal ini anak seolah-olah menjadi “robot”, sehingga ia
kurang inisiatif, merasa takut, kurang percaya diri, pencemas, rendah
diri, minder dalam pergaulan; tetapi di sisi lain, anak bisa
memberontak, nakal, atau melarikan diri dari kenyataan, misalnya
dengan menggunakan narkoba (alcohol or drug abuse).
Dari segi positifnya, anak yang di didik dalam pola asuh ini,
cenderung akan menjadi disiplin yakni mentaati peraturan. Akan
tetapi bisa jadi, ia hanya mau menunjukkan kedisiplinan di hadapan
orang tua, padahal dalam hatinya berbicara lain, sehingga di
belakang orang tua, anak bersikap dan bertindak lain. Hal ini
tujuannya semata hanya untuk menyenangkan hati orang tua. Jadi
anak cenderung memiliki kedisiplinan dan kepatuhan yang semu.
b. Pola Asuh Permisif.
Sifat pola asuh ini, children centered yakni segala aturan dan
ketetapan keluarga di tangan anak. Apa yang di lakukan oleh anak di
perbolehkan orang tua. Orang tua menuruti segala kemauan anak.
Mereka menghargai ekspresi diri dan regulasi diri. Mereka
mengizinkan anak utuk memonitor aktivitas mereka sendiri sebanyak
mungkin. Mereka hangat, tidak mengontrol, tidak menuntut dan
jarang menghukum.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
Anak
mereka
pengawasan
cenderung
bertindak
semena-mena,
tanpa
orang tua. Ia bebas melakukan apa saja yang di
inginkan. Dari sisi negatif lain, anak kurang disiplin dengan aturanaturan sosial yang berlaku. Anak menjadi cenderung tidak dewasa sangat kurang kontrol diri dan kurang eksplorasi. Bila anak mampu
menggunakan kebebasan tersebut secara bertanggung jawab, maka
anak akan menjadi seorang yang mandiri, kreatif, inisiatif dan
mampu mewujudkan aktualisasinya.
c. Pola Asuh Otoritatif
Dalam pola asuh ini, kedudukan orang tua dan anak sejajar.
Orang tua menghargai individualitas anak tetapi juga menekankan
batasan sosial. Mereka memiliki keyakinan diri akan kemampuan
mereka membimbing anak tetapi mereka juga menghormati
independensi keputusan, ketertarikan, pendapat, dan kepribadian
anak. Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan
kedua belah pihak. Anak di beri kebebasan yang bertanggung jawab,
artinya apa yang di lakukan oleh anak tetap harus di bawah
pengawasan orang tua dan dapat di pertanggung jawabkan secara
moral.
Mereka mencintai dan menerima, tetapi juga menuntut perilaku
yang baik, kokoh dalam mempertahankan standar dan memberi
hukuman dengan bijaksana dan terbatas ketika hal itu memang
dibutuhkan. Akibat positif dari pola asuh ini, anak akan menjadi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
seorang individu yang mempercayai orang lain, independen,
terkontrol,
asertif,
bertanggung
jawab
terhadap
tindakan-
tindakannya, tidak munafik, berisi, dan jujur. Anak-anak juga
tampaknya merasa aman ketika mengetahui bahwa mereka dicintai
dan dibimbing secara hangat. Namun akibat negatif, anak akan
cenderung merongrong kewibawaan otoritas orang tua, kalau segala
sesuatu harus di pertimbangkan anak-orang tua.
d. Pola Asuh Situasional
Dalam kenyataannya, sering kali pola asuh tersebut tidak di
terapkan secara kaku, artinya orang tua tidak menerapkan salah satu
tipe pola asuh tersebut. Ada kemungkinan orang tua menerapkan
secara fleksibel, luwes dan di sesuaikan dengan situasi dan kondisi
yang berlangsung saat itu. Sehingga sering kali muncullah tipe pola
asuh situasional. Orang yang menerapkan pola asuh ini, tidak
berdasarkan pada pola asuh tertentu, tetapi semua tipe tersebut di
terapkan secara luwes (Dariyo, 2004).
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Orang Tua
Seperti semua sikap, sikap orang tua terhadap anak merupakan hasil
belajar. Hurlock (1978) menyebutkan faktor-faktor yang ikut menentukan
sikap apa yang akan dipelajari, yang paling umum di antaranya adalah :
a. Konsep “anak idaman” yang terbentuk sebelum kelahiran anak
sangat diwarnai romantisme, dan didasarkan atas gambar anak
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
ideal orang tua itu. Bila anak gagal memenuhi harapan orang tua,
orang tua merasa kecewa dan mulai bersikap menolak.
b. Pengalaman awal dengan anak mewarnai sikap orang tua
terhadap anaknya sendiri. Orang tua yang sebagai anak keluarga
besar, dulu diharuskan ikut mengasuh adik-adiknya mungkin
mempunyai sikap yang kurang positif terhadap semua anak,
termasuk anaknya sendiri, berbeda dengan orang tua yang
sebagai anak mempunyai pengalaman yang bahagia dengan
saudara kandungnya.
c. Nilai budaya mengenai cara terbaik memperlakukan anak, secara
otoriter, demokratis maupun permisif, akan mempengaruhi sikap
orang tua dan cara mereka memperlakukan anak mereka sendiri.
d. Orang tua yang menyukai peran orang tua, merasa bahagia, dan
mempunyai penyesuaian yang baik terhadap perkawinan,
mempunyai sikap yang mencerminkan penyesuaian yang baik ini
terhadap anak mereka.
e. Bila orang tua merasa mampu berperan sebagai orang tua, sikap
mereka terhadap anak dan perilakunya jauh lebih baik
dibandingkan sikap mereka yang merasa kurang mampu dan
ragu-ragu.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
f. Orang tua yang merasa puas dengan jenis kelamin, jumlah, dan
ciri-ciri
watak
anaknya
mempunyai
sikap
yang
lebih
menguntungkan dari orang tua yang tidak puas.
g. Kemampuan dan kemauan untuk menyesuaikan diri dengan pola
kehidupan yang berpusat pada keluarga sesudah bertahun-tahun
menikmati pola yang egosentris akan menentukan bagaimana
sikap orang tua terhadap anak yang menyebabkan diperlukannya
pergeseran dalam peran ini.
h. Jika alasan untuk mempunyai anak adalah mempertahankan
perkawinan yang retak dan hal ini tidak berhasil, sikap terhadap
anak akan sangat kurang positif dibandingkan dengan sikap
orang tua yang menginginkan anak untuk memperbesar kepuasan
mereka dengan perkawinan mereka.
i.
Cara anak bereaksi terhadap orang tua mempengaruhi sikap
orang tua terhadapnya. Jika anak menunjukkan cinta kasihnya
dan bergantung pada orang tuanya, reaksi orang tua terhadap
mereka sangat berbeda dari pada bila anak itu mandiri dan lebih
akrab dengan orang lain daripada dengan mereka.
C. Remaja
1. Definisi Remaja
Remaja (adolescentia) disebut sebagai masa transisi atau peralihan
dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial (Dariyo, 2004). Fase remaja
merupakan masa perkembangan individu yang sangat penting. Alberty
(dalam Saefullah, 2012) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan
suatu periode dalam perkembangan yang dijalani seseorang yang
terbentang sejak berakhirnya masa kanak-kanak sampai awal masa
dewasa.
Para ahli perkembangan umumnya sepakat dengan rentangan masa
remaja yang berlangsung dari usia 11-13 tahun sampai dengan 18- 20
tahun (Saefullah, 2012). Pada rentangan periode ini (sekitar 6-7 tahun)
terdapat beberapa indikator perbedaan yang signifikan, baik secara
kuantitatif
maupun
kualitatif.
Oleh
karena
itu,
para
ahli
mengklasifikasikan masa remaja ini ke dalam dua bagian, yaitu : (1)
remaja awal (11-13 tahun s.d 14-15 tahun); dan (2) remaja akhir (14-16
tahun s.d 18-20 tahun).
Saefullah (2012) juga menemukan berbagai tafsiran dari para ahli
tentang masa remaja.
1. Freud menafsirkan masa remaja sebagai masa mencari hidup
seksual yang mempunyai bentuk yang definitif.
2. Charlotte Buhler menafsirkan masa remaja sebagai masa
kebutuhan isi mengisi.
3. Spranger memberikan tafsiran masa remaja sebagai masa
pertumbuhan
dengan
perubahan
fundamental.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
struktur
kejiwaan
yang
28
4. Hofmann menafsirkan masa remaja sebagai masa pembentukan
sikap- sikap terhadap segala sesuatu yang dialami individu.
5. G. Stanley Hall menafsirkan masa remaja sebagai masa strom
and drang (badai dan topan).
Saefullah (2012) juga mengungkap definisi remaja menurut WHO
yaitu masa pertumbuhan dan perkembangan individu dari saat pertama
kali ia menunjukkan tanda- tanda seksual sekundernya (fisik) sampai ia
mencapai kematangan seksual serta mengalami perkembangan psikologi
dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. Di sini terjadi
peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh pada keadaan
yang relatif lebih mandiri.
2. Tugas Perkembangan Remaja
Terdapat beberapa tugas-tugas perkembangan remaja menurut
Havighurst (Dariyo, 2004) yaitu sebagai berikut :
a. Menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis-psikologis.
Diketahui bahwa perubahan fisiologis yang di alami oleh
individu, mempengaruhi pola perilakunya. Di satu sisi ia harus
dapat memenuhi kebutuhan dorongan biologis (seksual), namun
bila di penuhi hal itu pasti akan melanggar norma-norma sosial,
padahal dari sisi penampilan fisik, remaja sudah seperti orang
dewasa. Oleh karena itulah remaja mengalami dilema. Dengan
demikian, dirinya dituntut untuk dapat menyesuaikan diri
(adjustment) dengan baik.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
b. Belajar bersosialisasi sebagai seorang laki-laki maupun wanita.
Dalam hal ini, seorang remaja di harapkan dapat bergaul dan
menjalin dengan individu lain yang berbeda jenis kelamin, yang
di dasarkan atas saling menghargai dan saling menghormati
antara satu dengan yang lainnya, tanpa menimbulkan efek
samping yang negatif. Pergaulan dengan lawan jenis ini sebagai
suatu hal yang amat penting, karena dianggap sebagai upaya
untuk mempersiapkan diri guna memasuki kehidupan pernikahan
nanti.
c. Memperoleh kebebasan secara emosional dari orang tua dan
orang lain.
Ketika sudah menginjak remaja, individu memiliki hubungan
pergaulan yang lebih luas, di bandingkan dengan masa anak-anak
sebelumnya yaitu selain dari teman-teman tetangga, teman
sekolah, tetapi juga dari orang dewasa lainnya. hal ini
menunjukkan bahwa individu remaja tidak lagi bergantung pada
orang tua. Bahkan mereka menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk bergaul bersama dengan teman-temannya (peergroup), di bandingkan kehidupan remaja dengan keluarganya.
d. Remaja bertugas untuk menjadi warga Negara yang bertanggung
jawab.
Untuk dapat mewujudkan tugas ini, umumnya remaja
berusaha mempersiapkan diri dengan menempuh pendidikan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
formal
maupun
non-formal
agar
memiliki
taraf
ilmu
pengetahuan, keterampilan/keahlian yang professional. Oleh
Schaie (Dariyo, 2004) masa tersebut di istilahkan sebagai masa
aquisitif yakni masa di mana remaja berusaha untuk mencari
bekal pengetahuan dan keterampilan/keahlian guna mewujudkan
cita-citanya, agar menjadi seorang ahli yang professional di
bidangnya. Warga Negara yang bertanggung jawab ditandai
dengan kepemilikan taraf keahlian dan profesi yang dapat
disumbangkan oleh seorang individu untuk mengembangkan dan
memajukan seluruh warga masyarakat. Karena itu, adalah hal
yang wajar, agar remaja dipersiapkan dan mempersiapkan diri
secara matang dengan sebaik-baiknya.
e.
Memperoleh kemandirian dan kepastian secara ekonomis.
Tujuan utama individu melakukan persiapan diri dengan
menguasai ilmu dan keahlian tersebut, ialah untuk dapat bekerja
sesuai dengan bidang keahlian dan memperoleh penghasilan
yang layak sehingga dapat menutupi diri sendiri maupun
keluarganya nanti. Sebab keinginan terbesar seorang individu
(remaja) adalah menjadi orang yang mandiri dan tak bergantung
dari orang tua secara psikis maupun secara ekonomis (keuangan).
Karena itu, seringkali remaja mengambil keputusan dengan cara
bekerja paruh baya, disela-sela jam belajarnya (part-timer),
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
misalnya menunggu toko, memberi les privat untuk pelajaran
SD/SMP, dan sebagainya.
3. Karakteristik Masa Remaja
Periode ini dinilai sangat penting, bahkan Erik Erikson (Saefullah,
2012) menyatakan bahwa seluruh masa depan individu sangat bergantung
pada penyelesaian krisis pada masa ini. Sebagai periode yang paling
penting, masa remaja memiliki karakteristik yang khas dibanding dengan
perkembangan lainnya, yaitu sebagai berikut :
a. Masa Remaja adalah Periode yang Penting
Dianggap masa yang penting karena memiliki dampak langsung
jangka panjang dari yang terjadi pada masa ini. Selain itu
perkembangan fisik dan psikologis individu yang cepat pada
masa ini juga berdampak penting. Kondisi ini yang menuntut
remaja untuk bisa menyesuaikan diri secara mental dan melihat
pentingnya menetapkan sikap, nilai-nilai, dan minat yang baru.
b. Masa Remaja adalah Masa Peralihan
Periode ini menuntut anak untuk meninggalkan sifat kekanakkanakan dan harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru
untuk
menggantikan
dan
meninggalkan
pola
perilaku
sebelumnya.
c. Masa Remaja adalah Periode Perubahan
Terdapat lima karakteristik perubahan yang khas dalam periode
ini, yaitu (a) peningkatan emosionalitas, (b) perubahan cepat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
yang menyertai kematangan seksual, (c) perubahan tubuh, minat,
dan peran yang dituntut oleh lingkungan yang menimbulkan
masalah baru, (d) karena perubahan minat dan pola perilaku,
terjadi pula perubahan nilai, (e) kebanyakan remaja merasa
ambivalen terhadap perubahan yang terjadi.
d. Masa Remaja adalah Usia Bermasalah
Hal ini disebabkan oleh dua alasan, yaitu pada saat anak-anak,
sebagaian masalah diselesaikan oleh orangtua atau guru,
sedangkan pada masa ini, remaja dituntut untuk menyelesaikan
masalahnya sendiri. Kedua, karena dituntut untuk mandiri,
mereka sering menolak untuk dibantu oleh orangtua atau guru,
sehingga
menimbulkan
kegagalan
dalam
menyelesaikan
persoalan tersebut.
e. Masa Remaja adalah Masa Pencarian Identitas Diri
Pada periode ini, konformitas terhadap kelompok sebaya
memiliki peran penting. Mereka mencoba mencari identitas diri
dengan berpakaian, berbicara, dan berperilaku sebisa mungkin
sama dengan kelompoknya.
f. Masa Remaja adalah Usia yang Ditakutkan
Masa remaja sering ditakuti oleh individu itu sendiri dan
lingkungan. Gambaran negatif yang ada di benak masyarakat
mengenai
perilaku
remaja
memengaruhi
cara
mereka
berinteraksi. Hal ini membuat remaja merasa takut untuk
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33
menjalankan perannya dan enggan meminta bantuan orangtua
ataupun guru untuk memecahkan masalahnya.
g. Masa Remaja adalah Masa yang Tidak Realistis
Remaja memandang dirinya dan orang lain sebagaimana mereka
inginkan dan bukan sebagai dia sendiri. Hal ini terlihat pada
aspirasinya. Aspirasi yang tidak realistis ini tidak sekedar untuk
dirinya sendiri, tetapi bagi keluarga dan teman. Semakin tidak
realistis aspirasi mereka, akan semakin marah dan kecewa
apabila aspirasi tersebut tidak dapat mereka capai.
h. Masa Remaja adalah Ambang dari Masa Dewasa
Pada saat remaja mendekati masa ketika dianggap dewasa secara
hukum, mereka merasa cemas dengan stereotipe remaja dan
menciptakan impresi bahwa mereka mendekati dewasa. Mereka
merasa bahwa berpakaian dan berperilaku seperti orang dewasa
sering tidak cukup, sehingga mereka mulai untuk memerhatikan
perilaku atau simbol yang berhubungan dengan status orang
dewasa, seperti merokok, minum, menggunakan obat-obatan,
bahkan melakukan hubungan seksual.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
D. Kerangka Pemikiran
Remaja di Pondok Pesantren
Asertivitas (Fensterheim &
Pola Asuh Orang Tua
Baer ):
(Baumrind) :
1.Mampu
1.Otoritatif (authoritative)
2.Otoritarian
mengemukakan
perasaan dan pendapat
2.Mampu berkomunikasi
(authoritarian)
3.Mempunyai
3.Permisif (permissive)
pandangan
aktif tentang hidup
4.Bertindak
dengan
cara
yang dihormati
Dari gambar diatas dijelaskan bahwa pola asuh orang tua yang terbagi
menjadi tipe otoritatif, otoritarian dan permisif diduga memiliki hubungan
dengan tinggi rendahnya asertivitas yang dimiliki remaja dalam penelitian ini.
Merujuk pada kesepakatan para ahli perkembangan dimana dikatakan bahwa
pola asuh orang tua dapat amat mempengaruhi kepribadian dan perilaku anak
(Dariyo, 2004). Tidak terkecuali pula peran pola asuh ini dalam
mempengaruhi perkembangan asertivitas seseorang.
Sebagaimana Harris (dalam Prabana, 1997) mengatakan bahwa kualitas
perilaku asertif seseorang sangat dipengaruhi oleh pengalaman pada masa
kanak-kanaknya. Pengalaman tersebut berupa interaksi dengan orangtua
melalui pola asuh yang ada dalam keluarga yang pada akhirnya menentukan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35
pola respon seseorang dalam menghadapi berbagai masalah setelah ia menjadi
dewasa kelak.
Rathus dan Nevid (1995) juga menjelaskan bahwa pola asuh yang salah
atau tidak menguntungkan menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat
munculnya asertivitas. Artinya pola asuh yang tidak menguntungkan disini
ialah pola pengasuhan yang tidak memberi kesempatan pada anak mereka
untuk mengembangkan tingkah laku asertif. Sehingga asertivitas pun tidak
dapat muncul dalam diri seseorang tersebut.
Penelitian Jenaabadi, Pourghaz, dan Efteghari (2014) menemukan adanya
hubungan antara pola asuh dengan asertivitas pada siswa di sekolah menengah
atas. Dalam penelitiannya pola asuh otoritatif diyakini menjadi pilihan yang
lebih tepat dari dua tipe pola asuh lainnya. Dimana orang tua otoritatif
memiliki tuntutan yang wajar terhadap anak dengan tetap bertoleransi,
menerima dan memberi kehangatan pada anak. Anak-anak dari orang tua yang
berwibawa ini akan memiliki tingkat kompetensi kognitif dan sosial yang
lebih tinggi, serta interaksi yang lebih baik dengan orang lain termasuk pula
dalam mempengaruhi perilaku asertifnya.
Hal ini sebagaimana Marini dan Andriani (2005) yang meneliti mengenai
asertivitas remaja ditinjau dari perbedaan pola asuh orang tua. Dimana dalam
penelitiannya ia juga menemukan hal yang sama, subjek dengan pola asuh
authoritative cenderung lebih asertif dibandingkan subjek dengan pola asuh
authoritarian, permissive dan uninvolved.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
36
Hal ini jelas sebagaimana telah lebih dulu dinyatakan Baumrind (dalam
Papalia, Olds dan Feldman, 2008) yang mengklasifikasikan dampak-dampak
yang berbeda dari perbedaan gaya pengasuhan orangtua. Ia menekankan
adanya keuntungan bila seseorang diasuh dalam tipe pengasuhan otoritatif.
Dimana anak dengan pola asuh ini akan menjadi seorang individu yang
mempercayai orang lain, independen, terkontrol, bertanggung jawab terhadap
tindakan-tindakannya, serta menjadi lebih asertif.
Selaras dengan hal tersebut, penelitian Seyrdowleh, Barmas, dan
Asadzadeh (2014) juga menemukan pentingnya peranan pola asuh dalam
mempengaruhi asertivitas atau sikap ketegasan anak. Dimana melalui
dukungan yang diberikan seperti pada orang tua demokratis, anak menjadi
mampu untuk meningkatkan keterampilan sosial mereka.
Sehingga gaya
pengasuhan demokratis ini diyakini dapat menjadikan seorang anak lebih
tegas atau asertif. Berbeda dengan gaya otoriter dimana pola pengasuhan ini
menyebabkan permusuhan antara orang tua dan anak-anak mereka dengan
tidak adanya dukungan efektif dari orang tua yang pada akhirnya
menyebabkan anak memiliki asertivitas yang cenderung rendah.
Gaya pengasuhan memang merupakan faktor penentu yang efektif
memainkan peran penting dalam perkembangan anak. Dari ketiga tipe gaya
pengasuhan berbeda yang diadopsi oleh orang tua hal ini secara signifikan
berdampak pada berbagai aspek kehidupan dan pengurangan kecemasan
individu (Dabiri, 2011).
Maka berdasarkan beberapa penelitian-penelitian
terdahulu, peneliti berasumsi bahwa pola asuh baik otoritatif, otoritarian dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
37
permisif ketiganya memiliki kaitan masing-masing dengan asertivitas remaja
Sehingga diduga ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan asertivitas
remaja di Pondok Pesantren.
E. Hipotesis
Berdasarkan apa yang telah diuraikan sebelumnya, maka hipotesis dalam
penelitian ini adalah :
1. Hipotesis alternatif (Ha) : Terdapat hubungan antara pola asuh
dengan asertivitas pada remaja di Pondok Pesantren Daarul Rahman.
2. Hipotesis alternatif (H0) : Tidak terdapat hubungan antara pola asuh
dengan asertivitas pada remaja di Pondok Pesantren Daarul Rahman.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Download