Bab 5 Kesimpulan, Diskusi, dan Saran 5.1 Kesimpulan Hasil dan kesimpulan yang peneliti dapat dalam penelitian ini adalah bahwa memang komposisi jenis kelamin (gender) majelis hakim terkait dengan putusan hak asuh anak tidak saling berhubungan, karena sama ratanya putusan hak asuh anak yang diberikan oleh para hakim. Dalam proses pemberian kuasa hak asuh anak, hakim merujuk pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai landasan untuk memutuskan perkara hak asuh anak dari orang tua yang bercerai, tetapi kurangnya perhatian hakim dalam menggunakan jasa atau pihak lain seperti seorang psikolog atau jasa dari dinas sosial sehingga membuat hakim tidak terlalu memperhatikan kesejateraan anak. Berdasarkan putsusan-putusan pengadilan yang dimiliki oleh peneliti, mayoritas jenis hak asuh anak di Indonesia adalah sole custody. Seperti yang sudah dibahas di bab sebelumnya, sole custody merupakan jenis hak asuh anak yang dipegang oleh salah satu orang tua saja, dan mayoritas hak asuh dipegang oleh ibu. Hal tersebut diputuskan oleh hakim yang didasari pada peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia, yang mana apabila kasus perceraian terjadi maka pihak ibu akan memegang kuasa hak asuh anak yang dianggap belum dewasa, atau masih berumur dibawah 12 tahun. Namun dibeberapa daerah seperti di Bali, hak kuasa asuh anak sebagian besar diberikan pada pihak ayah karena hakim juga mempertimbangkan hukum adat yang berlaku di Bali. Sekalipun hak asuh anak telah dimenangkan oleh orang tua, tetapi permasalahan dari dalam diri anak masih belum selesai. Secara teoritis, anak adalah individu pertama yang mengalami guncangan secara psikologis ketika orang tuanya memutuskan untuk bercerai. 5.2 Diskusi Hakim merupakan wakil Tuhan di dunia, dan ketika berada didalam ruang persidangan maka apa yang telah diputuskan oleh hakim bersifat mutlak namun tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap. Begitu pula ketika memberikan putusan kuasa hak asuh anak. Hakim selayaknya manusia pada umumnya, tidak mustahil mengalami error cognitive dalam memberikan putusan. Sebenarnya, ilmu psikolog sangat diperlukan didalam ranah hukum. Ilmu psikolog yang menelusuk masuk keranah hukum merupakan psikologi forensik yang memang keberadaannya masih sangat muda dibandingkan ilmu-ilmu psikologi lainnya. Sekalipun ilmu psikologi forensik masih sangat muda, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa ilmu ini dapat menjadi panduan diruang persidangan, disamping hakim menggunakan undang-undang sebagai dasar pemberian putusan. Apabila membicarakan tentang hak asuh anak, hakim tidak bisa memberikan kuasa ini secara semena-mena pada pihak-pihak terkait, tetapi hakim bisa mempersilakan ilmu psikolog forensik ini masuk dan membantu hakim untuk menelaah dan memberikan masukan pada hakim dalam memutuskan kuasa hak asuh anak, dengan tetap mengacu dan memandang bahwa segala sesuatunya telah diputuskan secara matang dan yang pasti mengusung prinsip the best interest of child. 5.3 Saran Penggunaan jasa ahli diruang persidangan merupakan salah satu solusi kongkrit untuk membantu hakim dalam memberikan putusan, terutama yang berkaitan dengan anak. Hakim perlu mengetahui bahwa dalam situasi perceraian, putusan yang dijatuhkan bersifat jangka panjang baik pada orang tua maupun anak. Ada baiknya apabila hakim lebih memperhatikan jangka panjang tersebut pada efek psikologis anak terkait dengan putusan yang diberikan. Selain perlu memperhatikan jangka panjang tersebut, sebaiknya hakim juga memeriksa latar belakang dari masing-masing orang tua baik dari segi kesehatan mental, pekerjaan, dan lingkungan baik dari lingkungan keluarga maupun sekitar sebelum akhirnya memberikan kuasa hak asuh anak pada salah satu orang tua dari anak tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan kemungkinan bahwa nantinya anak mengalami pengabaian (neglect) atau bahkan kekerasan pada anak akibat orang tua yang mungkin mengalami depresi pasca perceraian.