Abstrak - Portal Garuda

advertisement
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP FENOMENA PIERCING
(Studi Deskriptif Tentang Persepsi Masyarakat Kelurahan Padang Bulan
Medan Terhadap Fenomena Piercing)
M. YAHDI GHUFRAN GINTING
060904070
Abstrak
Skripsi ini berjudul Persepsi Informan Penelitian Terhadap Fenomena Piercing
(Studi Deskriptif Tentang Persepsi Informan Penelitian di Kelurahan Padang
Bulan Medan Terhadap Fenomena Piercing). Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui bentuk perilaku yang terjadi di dalam fenomena piercing khususnya
pada anak-anak remaja saat ini menurut informan penelitian dan untuk
mengetahui persepsi informan penelitian mengenai fenomena piercing. Dengan
menggunakan pendekatan metode Deskriptif, penelitian ini bertujuan untuk
menyelidiki dan mengetahui suatu keadaan atau peristiwa yang ada pada saat
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang ada. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif. Informan dalam penelitian ini adalah lima orang warga yang
tinggal di Kelurahan Padang Bulan dan merupakan masyarakat asli dari
Kelurahan Padang Bulan Medan yang merupakan penduduk yang telah lama
berdomisili di kawasan tersebut. Metode pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dan observasi yang dilakukan
selama wawancara. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa, persepsi dari
informan penelitian di Kelurahan Padang Bulan terhadap fenomena piercing
(tindik) tersebut dapat dimengerti dan memahaminya. Sebab sebagian
menganggap piercing (tindik) adalah sebuah lambang karya seni dan keindahan,
sebagai wadah untuk mengapresiasikan perasaannya, serta untuk memperlihatkan
lambang identitas penggunanya. Sementara, sebahagian lainnya beranggapan
bahwa pengguna piercing (tindik) adalah bagian dari penjahat, preman,
berandalan dan juga pelaku tindak kriminal.
Kata Kunci : piercing, opini masyarakat, kualitatif, analisis semiotik
PENDAHULUAN
Setiap orang yang hidup dalam bermasyarakat, sejak bangun tidur sampai
tidur lagi secara kodrati senantiasa terlibat dalam komunikasi. Terjadinya
komunikasi adalah sebagai konsekuensi hubungan sosial (social relation), yang
mana masyarakat yang melakukan tindak komunikasi tersebut paling sedikit
terdiri dari dua orang yang saling berhubungan satu sama lain sehingga terjadi
proses komunikasi yang di inginkan serta pesan yang disampaikan dapat diterima
dengan baik. Secara etimologis atau menurut asal katanya komunikasi atau
communication dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin yaitu coomunis
yang berarti “sama”, communico, communicatio, atau communicare yang berarti
“membuat sama” (to make common). Istilah pertama (communis) adalah istilah
yang paling sering sebagai asal-usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari
kata-kata latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran,
1
suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama (Mulyana, 2004: 41).
Proses komunikasi juga diaplikasikan dalam pembuatan sebuah tindik
tubuh (BodyPiercing). Komunikasi penting dilakukan pada proses penindikan,
seniman tindik tubuh (piercer) maupun pengguna tindik berdiskusi untuk
menghasilkan rancangan dan hasil tindik yang memuaskan kedua belah pihak,
komunikasi yang baik akan menghasilkan sebuah kesepakatan dan kesamaan
makna. Dalam proses penindikan terjadi komunikasi yang intens diantara
pengguna tindik dengan seniman tindik (piercer), yang mana komunikasi harus
dilakukan agar tercapai kesepakatan hasil seperti apa yang diinginkan dan
dihasilkan. Komunikasi yang dilakukan tersebut antara pengguna tindik dengan
seniman tindik (piercer) atau diantara sesama pengguna tindik lebih pada
menciptakan hubungan antarpribadi.
Komunikasi secara langsung biasanya tatap muka, saling menyampaikan
pesan berkenaan dengan aktifitas pembuatan tindik yang mereka lakukan.
Komunikasi tersebut juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial seperti penerimaan
keluarga, teman, masyarakat, keanggotaan kita dalam kelompok tertentu, konsep
diri, peran yang dijalani serta bagaimana memaknai hubungan antara pengguna
tindik.
Tindik atau saat ini yang lebih populer dengan sebutan piercing sudah
bukan merupakan hal yang asing dan aneh dalam kehidupan para kalangan remaja
di Negara kita, Indonesia, terutama bagi mereka yang berdomisili dikota-kota
besar di Indonesia yang sudah mengalami banyak proses modernisasi yang berasal
dari dunia barat. Fenomena piercing (tindik) bukan dilahirkan dari sebuah tabung
dunia yang bernama modern dan perkotaan. Secara historis, tindik (piercing) lahir
dan berasal dari budaya pedalaman, tradisional, bahkan dapat dikatakan kuno
(Olong, 2006:8).
Tindik atau piercing sudah merupakan suatu hal yang sekarang ini cukup
akrab terdengar di telinga kita. Tindik atau piercing tersebut memiliki pengertian
secara umum yaitu penyematan benda (logam, tulang, gigi dan sebagainya) pada
bagian tubuh seseorang. Piercing tersebut dapat bersifat permanen maupun semi
permanen. Tindik tubuh pun tidak hanya dilakukan di bagian telinga saja, tetapi
dilakukan di bagian tubuh lainnya seperti alis, hidung, bibir, lidah, dagu bahkan
merambah ke pusar hingga bagian tubuh yang sensitif seperti puting susu serta
bagian kemaluan yang mana ini biasanya dimaksudkan untuk alasan kepuasan
seksual.
Piercing saat ini sudah mendapatkan tempat tersendiri di dalam proses
pergaulan pada kalangan remaja. Dikalangan para kaum laki-laki alias para
pengguna piercing dari berbagai tempat, piercing sudah cukup akrab dengan
mereka. Setiap mereka, para pengguna piercing yang melakukan tindikkan
piercing menganggap hal tersebut adalah cerminan gaya hidup yang mereka pilih.
Piercing yang dilakukan seolah-olah ingin menunjukkan kepada orang-orang
disekitar mereka, bahwa mereka berbeda dengan orang-orang yang tidak
melakukan piercing. Dengan piercing, mereka ingin atau berusaha untuk
menunjukkan “inilah saya”. Terjadi sebuah pemaknaan simbolik pada saat mereka
menunjukkan “inilah saya” kepada siapa saja orang-orang yang berada
disekitarnya.
2
Interaksi simbolik secara umum memilki pengertian bagaimana suatu
interaksi antar satu orang dengan orang lain dapat memunculkan makna khusus
dan menimbulkan interpretasi atau penafsiran terhadap suatu objek.
Pengertian dari konsep diri menurut William D. Brooks mendefinisikan
konsep diri adalah: “Those physical, social, and physilogical perceptioans of
ourselves that we have derived from experiences and interaction with other.
Pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri boleh bersifat
psikologi, sosial, dan fisik” (Rahkmat, 2008:101). Konsep diri pada setiap orang
berbeda-beda, setiap orang memiliki konsep diri masing-masing yang melekat.
Bahkan suatu kematian pun tidak akan menghilangkannya.
Mempunyai maksud untuk menunjukkan dirinya “inilah saya” kepada
orang lain melalui penggunaan piercing (tindik) yang dilakukan pada
bagian-bagian tubuh tertentu, berarti bertujuan untuk menyampaikan sebuah pesan
kepada orang lain mengenai siapa dirinya.
Dalam hal ini, media massa ikut serta dalam menyalurkan aspirasi
masyarakat luas dan menciptakan persepsi masyarakat mengenai norma dan moral
sosial, yang mana diakibatkan dari segala bentuk cerita dan gambaran yang
disajikan oleh media massa mampu mengubah pandangan masyarakat. Namun
dengan demikian, di sisi lain media juga mempunyai peran yang strategis dalam
pembentukan citra bahwa tindik (piercing) sebagai gaya yang kerap kali
disandang oleh kalangan artis, olahragawan, hingga tokoh seni. Inilah yang
kemudian berhasil menyeret tindik tubuh menjadi paham budaya populer.
Fokus Masalah
Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis
dapat mengemukakan fokus masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut,
“Bagaimanakah Persepsi Informan Penelitian di Kelurahan Padang Bulan Medan
terhadap Fenomena Piercing?”
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bentuk perilaku yang terjadi di dalam fenomena piercing
khususnya pada anak-anak remaja saat ini menurut informan penelitian.
2. Untuk mengetahui persepsi Informan penelitian mengenai fenomena piercing.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis, Penelitian ini dapat menjadi tempat bagi penulis untuk
menerapkan ilmu yang diperoleh selama ini dan menjadi wadah dalam
memperkarya cakrawala berpikir.
2. Secara praktis, Penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi pihak-pihak
yang membutuhkan pengetahuan berkenaan dengan penelitian ini.
3. Secara akademis, Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran
yang berguna dan dapat menambah khasanah penelitain mengenai persepsi.
3
Kerangka Analisis
Kerangka analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
model analisis semiotika, yang mana semiotika adalah ilmu yang mempelajari
tentang tanda. Konsep tanda ini melihat bahwa makna muncul ketika ada
hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara yang ditandai dengan
yang menandai. Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier)
dengan sebuah ide atau petanda (signified). Semiotik mengkaji tanda, penggunaan
tanda dan segala sesuatu yang bertalian dengan tanda. Dengan kata lain, perangkat
pengertian semiotik (tanda, pemaknaan, denotatum, dan interpretan) dapat
diterapkan pada semua bidang kehidupan asalkan ada prasyaratnya dipenuhi, yaitu
ada arti yang diberikan, ada pemaknaan dan ada interpretasi (Cristomy dan
Untung Yuwono, 2004:79).
Pierce memberikan pembagian tanda dalam bagian yaitu: ikon, indeks,
simbol yang disebut tipologi tanda. Ikon, adalah tanda yang dicirikan oleh
persamaannya dengan objek yang digambarkan. Tanda visual seperti fotografi
adalah ikon, karena tanda yang ditampilkan mengacu pada persamaannya dengan
objek. Indeks, adalah hubungan langsung antara sebuah tanda dan objek yang
kedua-duanya dihubungkan. Indeks merupakan tanda yang hubungan
eksistensialnya langsung dengan objeknya. Contohnya yaitu runtuhnya
rumah-rumah adalah indeks dari gempa, terendamnya bangunan adalah indeks
dari banjir. Sebuah indeks dapat dikenali bukan hanya dengan melihat seperti
halnya dalam ikon, tetapi juga perlu dipikirkan hubungan antara dua objek
tersebut. Simbol, adalah tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya
berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau aturan. Makna dari suatu simbol
ditentukan oleh suatu persetujuan bersama atau diterima oleh umum sebagai suatu
kebenaran. Contohnya yaitu lampu lalu lintas adalah simbol yang mana warna
merah berarti berhenti, hijau berarti jalan dan palang merah adalah simbol yang
maknanya diterima sebagai suatu kebenaran melalui konvensi atau aturan dalam
kebudayaan yang telah disepakati. (Fiske, 2004)
Tindik (piercing) merupakan karya seni yang bermuatan simbol.
Pemaknaan terhadap simbol merupakan bagian integral dan interaksi dari berbagai
pola pikiran dan tindakan komunikasi yang kemudian dijadikan kesepakatan. Hal
ini tercermin pada tindik (piercing), dimana rata-rata terdapat keseragaman gaya
desain dari yang sederhana dan umum, seperti contohnya tindik hidung, kuping,
alis mata, dll. Berbagai pilihan desain dan penempatannya pada tubuh
mengungkapkan ketertarikan, nilai yang dianut, hingga tingkah laku. Dapat pula
dilihat bahwa tindik (piercing) merupakan indikasi pilihan rasa. Penciptaan
simbol merupakan bukti manusia mempunyai akal budi yang kemudian
menciptakan kebudayaan (Olong, 2006:277-279).
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1). Data Primer
a. Wawancara Mendalam (Depth Interviews)
Menurut (Moleong, 2005:186), wawancara mendalam merupakan proses
menggali informasi secara mendalam, terbuka, dan bebas dengan masalah dan
4
fokus penelitian dan diarahkan pada pusat penelitian. Dalam hal ini
wawancara mendalam yang dilakukan dengan adanya daftar pertanyaan yang
telah dipersiapkan sebelumnya.
Wawancara mendalam adalah suatu cara mengumpulkan data atau
informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan agar
mendapatkan data yang lengkap dan mendalam (Kriyantono, 2006:91).
Sebelum melakukan wawancara mendalam dengan narasumber,
dimulai dengan memilih narasumber yang berkompeten dalam menjawab
pertanyaan yang berkaitan dengan penelitian. Setelah melakukan wawancara,
data hasil wawancara tersebut kemudian diolah dan dikoreksi apakah data yng
didapat sudah lengkap atau masih ada yang kurang. Jika data masih kurang
lengkap, maka perlu ditanyakan kembali kepada narasumber agar memperoleh
data yang lengkap.
b. Observasi
Observasi diartikan sebagai kegiatan mengamati secara langsung tanpa
mediator sesuatu objek untuk melihat dengan dekat kegiatan yang dilakukan
oleh objek tersebut (Kriyantono,2006:106).
Observasi berguna untuk menjelaskan, memberikan, dan merinci
gejala yang terjadi, mengamati secara langsung objek yang diteliti sehingga
memperoleh data yang diperlukan.
2). Data Sekunder
a. Dokumentasi
Dokumentasi digunakan untuk mencari data yang relevan dan
berhubungan dengan permasalahan yang diangkat. Pengumpulan data dapat
berupa informasi yang berasal dari catatan dari lapangan yang menyangkut
masalah penelitian.
b. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan ini dilakukan dengan membaca, mempelajari dan
menganalisis dokumenn atau sumber data yang ada, seperti buku-buku,
literatur serta tulisan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
Teknik Analisis Data
Analisis data menurut Bogdan dan Biklen (Moleong, 2005:248) adalah
upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data,
memilih-milihnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Selanjutnya Matthew B. Miles dan Michael Huberman dalam Patilima,
(2001:96) membagi alur dalam proses analisis data kualitatif, yaitu:
(1) reduksi data, proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyerdahanaan,
pengabstrakan dan transformasi data yang muncul dari catatan-catatan
lapangan;
(2) penyajian data, yaitu sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengamatan tindakan;
(3) penarikan kesimpulan, kesimpulan akhir tergantung pada besarnya
5
kumpulan-kumpulan catatan lapangan.
Kegiatan analisis dalam penelitian ini akan dimulai dengan menelaah
seluruh data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder yang berupa
hasil wawancara, pengamatan serta catatan lapangan. Hasil data yang diperoleh
dari teknik pengumpulan data ini, kemudian akan disusun hingga membentuk
laporan sistematis. Selanjutnya, data yang sudah disusun dibagi menjadi data
utama dan data penjelas.
Pembahasan hasil penelitian dijabarkan dalam bentuk deskripsi yang
didukung dengan teori yang bersumber dari buku, kemudian di analisis untuk
mengetahui persepsi masyarakat Padang Bulan Medan terhadap fenomena
piercing. Selanjutnya, ditarik beberapa kesimpulan sebagai hasil dari penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Setelah penelitian dilakukan dilapangan dan mendapatkan hasil
wawancara secara mendalam dan personal sehingga telah disusun secara
sistematis, maka peneliti mendapatkan kesimpulan dari hasil penelitian dilapangan
oleh setiap informan dalam memberikan hasil wawancaranya kepada peneliti.
Kesimpulan dari hasil wawancara dari setiap informan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Irwan Wijaya (Asiong)
Setelah mendapatkan informasi dari Irwan Wijaya mengenai persepsinya
terhadap fenomena piercing (tindik), maka dari teori semiotik yang dijelaskan
oleh Pierce dapat diambil kesimpulan bahwa, penggunaan piercing (tindik) yang
dikenakan oleh seseorang merupakan simbol yang melambangkan diri seseorang
tersebut dan menunjukkan jati dirinya kepada orang lain bahwa “inilah saya”
dalam hal pemakaian piercing (tindik). Hal tersebut berdasarkan penuturan Irwan
Wijaya dimana pada wawancara yang dilakukan dirumahnya, ia mengatakan
bahwa pemakaian piercing (tindik) untuk zaman sekarang ini hanya untuk sekedar
trend mode, style, dan sebagainya. Namun menurut Irwan Wijaya ini, pemakaian
piercing (tindik) tersebut sah-sah saja apabila pemakaiannya masih terlihat wajar
dan tidak berlebihan dalam menggunakannya.
2. Muhammad Ferry Tanjung
Setelah mendapatkan informasi dari Muhammad Ferry Tanjung
mengenai persepsinya terhadap fenomena piercing (tindik), maka dari teori
semiotik yang dijelaskan oleh Pierce dapat diambil kesimpulan bahwa,
penggunaan piercing (tindik) itu sebenarnya merupakan simbol bagi seseorang
yang melambangkan ciri khas seseorang tersebut yang menggunakannya sehingga
dapat membedakan si pengguna dengan orang lain dan sekaligus juga
menunjukkan jati dirinya “inilah saya” kepada orang lain dengan adanya tindik
atau logam yang melekat pada tubuhnya tersebut. Dibalik hal tersebut, ada juga
yang memang menyukai seni, dan ada juga yang hanya sekedar ikutan, trend
mode, style, dan sebagainya. Hal ini berdasarkan penuturan Muhammad Ferry
Tanjung dimana pada wawancara yang dilakukan di rumahnya, ia mengatakan
bahwa penggunaan piercing (tindik) itu wajar-wajar saja untuk digunakan selagi
6
masih mengikuti peraturan yang berlaku dan tidak melakukan tindakan onar yang
dapat meresahkan masyarakat sehingga dapat diterima oleh masyarakat.
3. Drs. Sumardi
Setelah mendapatkan informasi dari Drs. Sumardi mengenai persepsinya
terhadap fenomena piercing (tindik), maka dari teori semiotik yang dijelaskan
oleh Pierce dapat diambil kesimpulan bahwa, penggunaan piercing (tindik) yang
digunakan oleh seseorang merupakan simbol yang melambangkan jati dirinya
tersebut dengan adanya logam atau tindik yang melekat pada tubuhnya itu. Hal
tersebut berdasarkan penuturan Drs. Sumardi dimana pada wawancara yang
dilakukan dirumahnya, ia mengatakan bahwa penggunaan piercing (tindik) ini
sebenarnya tidak mencerminkan kepribadian yang baik dan terpuji sehingga dapat
melanggar norma-norma yang berlaku, mempunyai sifat membangkang, dan juga
tidak mencerminkan kebudayaan Indonesia sendiri yang mana sebenarnya
kebudayaan Indonesia bukanlah mencerminkan kebudayaan Barat yang selalu
mempunyai paham kebebasan dalam setiap tindakan.
4. Hendrawan
Setelah mendapatkan informasi dari Hendrawan mengenai persepsinya
terhadap fenomena piercing (tindik), maka dari teori semiotik yang dijelaskan
oleh Pierce dapat diambil kesimpulan bahwa, piercing (tindik) yang dilekatkan
pada tubuh seseorang tersebut merupakan simbol yang tertera pada seseorang itu
yang memang sekaligus melambangkan diri seseorang tersebut sebagai mana ciri
khasnya sehingga dapat membedakan diri si pengguna dengan orang lain. Hal
tersebut berdasarkan penuturan dari Hendrawan dimana pada wawancara yang
dilakukan dirumahnya, ia mengatakan bahwa pemakaian piercing (tindik) ini
mengarah ke negatif (buruk) karena masyarakat cenderung berpikiran si pengguna
piercing (tindik) seperti preman yang suka melakukan tindak kejahatan dan
kekejaman, sehingga citra/image si pengguna buruk di mata masyarakat. Menurut
Hendrawan sendiri, Banyak juga pengguna piercing (tindik), yang mana
pemakaiannya itu hanya mengikuti trend mode zaman sekarang ini dan juga hanya
untuk bergaya agar terlihat cool, macho, dan keren.
5. Khainur Rasyid Lubis
Setelah mendapatkan informasi dari Khainur Rasyid Lubis mengenai
persepsinya terhadap fenomena piercing (tindik), maka dari teori semiotik yang
dijelaskan oleh Pierce dapat diambil kesimpulan bahwa, piercing (tindik) itu
merupakan simbol bagi seseorang yang memakainya sehingga dapat
melambangkan ciri khas dirinya kepada orang lain. Hal tersebut berdasarkan
penuturan dari Khainur Rasyid Lubis ini yang di wawancarai di rumahnya
mengatakan bahwa ia memang tidak setuju dengan adanya pemakaian piercing
(tindik) tersebut yang memang dapat merusak tubuh dan juga tidak ada
manfaatnya untuk dipakai. Hal tersebut dapat mencoreng nama baik atau
citra/image dia sebagai pengguna dimata masyarakat sehingga dapat terkucilkan
dari masyarakat.
Jadi, dari setiap kesimpulan yang ada pada masing-masing informan
7
tersebut menyatakan bahwa piercing (tindik) sebenarnya tidak perlu untuk
dipakai/dilakukan, yang mana akan menimbulkan dampak negatif (buruk) pada
setiap penggunanya di mata masyarakat. Dari kelima informan yang peneliti
wawancarai, ada yang menyukai hal tersebut dan ada juga yang tidak menyukai
hal-hal yang seperti itu. Tetapi, sebenarnya dari kelima informan penelitian
tersebut tidak ada yang setuju dalam hal pemakaian piercing (tindik) tersebut,
dikarenakan tidak ada manfaatnya dan merusak tubuh serta citra/image seseorang
yang menggunakannya dapat langsung dinilai buruk/jelek dimata manusia dan
Sang Pencipta sebagai melawan kodratnya yang telah ditetapkan oleh Sang
Khalik, sehingga dapat tersingkir/terkucilkan di masyarakat. Dimana dari kelima
informan penelitian tersebut ada juga tiga orang informan penelitian yang
memang sama sekali tidak menyukai pemakaian piercing (tindik) tersebut
dikarenakan tindakan tersebut tidak mencerminkan hal yang wajar untuk
dilakukan, sedangkan untuk dua orang informan penelitian lainnya menganggap
hal tersebut sah-sah saja dikarenakan sebagai rasa seni yang tinggi yang memang
mempunyai tindakan kreatifitas dan pengembangan ide-ide yang luar biasa, tetapi
hal tersebut selagi dalam pemakaian yang wajar (tidak berlebihan) mungkin
sah-sah juga untuk dilakukan karena sebagai lambang karya seni dan keindahan,
sebagai wadah tempat untuk mengapresiasikan perasaan, serta untuk
memperlihatkan lambang identitas sipengguna sehingga setiap manusia yang
menilai pengguna piercing (tindik) tersebut tidak cepat mengambil keputusan
bahwa hal tersebut tidak selalu identik dengan kejahatan atau premanisme.
Berdasarkan dari kesimpulan-kesimpulan setiap informan yang telah
peneliti dapatkan dari hasil penelitian di lapangan dan juga telah dipaparkan
diatas, maka peneliti akan menyimpulkan hasil secara keseluruhan dari setiap
kesimpulan informan yang ada, yaitu:
Tindik dianggap sebagai sesuatu hal yang buruk bila digunakan
oleh kaum lelaki dikarenakan tidak mencerminkan hal yang wajar dalam
pemakaiannya sehingga melawan kodrat yang ada, apalagi dilihat dari
pengguna piercing (tindik) sendiri, hal tersebut sangat identik dengan
kejahatan, pemberontakan dan kurang bermoral sehingga hal itu
mengarah ke negatif bila dipandang oleh masyarakat dan dapat merusak
citra manusianya sendiri (pengguna piercing). Informan penelitian
mempunyai tanggapan atau respon bahwa setiap pengguna piercing
(tindik) tersebut merupakan orang yang mempunyai watak keras dan
termasuk kedalam golongan penjahat dan pelaku tindak kriminalitas.
Didalam sebuah agama, baik agama apapun itu, tidak memperbolehkan
pemakaian piercing (tindik) ini dikarenakan perilaku yang sama dengan
pemberontakan dan eksistensi diri bagi yang memakainya sehingga
dapat menjerumuskan diri sendiri ke jalan yang sesat dan juga
menghancurkan diri sendiri serta orang lain. Oleh karena itu, dari
pandangan
agama
melarang,
mengharamkan,
dan
tidak
memperbolehkan melakukan hal tersebut untuk dilakukan sama sekali.
Dalam hal pemakaian piercing (tindik) untuk zaman sekarang hanya
identik dengan style, gaya, trend mode dan juga sebagai suatu keharusan
yang telah ditetapkan oleh kelompok-kelompok tertentu. Itu mungkin
8
dikarenakan adanya faktor dari budaya Barat yang diadopsi oleh
budaya Timur melalui media massa yang akhirnya menimbulkan
pengetahuan baru bagi seseorang tentang seni dan budaya yang pada
akhirnya menimbulkan rasa ketertarikan untuk mengamati keadaan
sosial saat ini sehingga terwujudlah seni BodyPiercing yang dapat
membentuk berbagai kepribadian seseorang. Berbeda dengan
pandangan masyarakat lainnya, ada juga yang mengganggap piercing
(tindik) tersebut merupakan sebuah lambang karya seni dan keindahan,
sebagai wadah untuk mengapresiasikan perasaannya, serta untuk
memperlihatkan lambang identitas sipengguna. Karena sebahagian
masyarakat mengganggap hal itu adalah bagian dari seni yang
menimbulkan sifat kreatifitas seseorang dalam mencurahkan ide-ide atau
pemikirannya terhadap sesuatu sehingga manusia ini menjadi manusia
yang berseni kreatif.
KESIMPULAN
1. Piercing (tindik) sebenarnya dianggap sebagai suatu hal yang tidak pantas
untuk digunakan oleh seseorang termasuk bagi kaum lelaki, yang sebenarnya
diciptakan tidak harus memakai hal tersebut, yang juga hal itu sudah
melawan kodratnya sendiri tetapi lain halnya dengan kaum wanita yang
memang sudah menjadi kodratnya untuk memakai tindik tersebut dan itu pun
hanya sekedar saja dalam pemakaiannya sehingga itu merupakan sebuah
simbol yang dapat membedakan antara kaum lelaki dengan kaum wanita.
2. Informan penelitian beranggapan bahwa fenomena piercing (tindik) yang
terjadi pada saat sekarang ini sungguh sangat berbeda dengan zaman dahulu,
yang mana zaman dahulu hanya untuk tuntutan adat-istiadatnya, menghormati
dewa mereka, dan sebagainya. Sedangkan untuk zaman sekarang ini yang
sudah diadopsi oleh anak-anak remaja saat ini mempunyai prilaku yang tidak
bagus, suka-suka hati, dan ada juga yang hanya sekedar gaya-gayaan,
mengikuti trend mode, style, dan sebagainya agar terlihat lebih seksi, macho,
keren, cool, dan sebagainya.
3. Informan dari penelitian ini juga beranggapan bahwa fenomena piercing
(tindik) adalah sesuatu hal yang tabu bagi sebahagian informan yang
beranggapan seperti contohnya persepsi dari Informan Irwan Wijaya dan
Muhammad Ferry Tanjung mengatakan bahwa pemakaian piercing (tindik)
tersebut sah-sah saja dan masih termasuk dalam hal yang biasa untuk
dilakukan, asalkan masih dalam konteks yang wajar dan benar penggunaannya
(tidak berlebihan) dan sebahagian lainnya, persepsi dari Informan Drs.
Sumardi, Hendrawan, dan Khainur Rasyid Lubis beranggapan bahwa hal
tersebut sebagai hal yang tidak tabu, karena mereka menganggap bahwa
piercing (tindik) tersebut tidak pantas untuk digunakan oleh seseorang yang
mana terkesan lebih urakan, tidak beretika dan tidak bermoral, dan tidak
melambangkan seorang yang terpelajar dan berbudi pekerti yang baik.
4. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa, persepsi dari Informan penelitian
terhadap fenomena piercing (tindik) tersebut dapat dimengerti dan
memahaminya. Sebab sebagian Informan penelitian yaitu Irwan Wijaya dan
9
Muhammad Ferry Tanjung menganggap piercing (tindik) itu adalah sebuah
lambang karya seni dan keindahan, sebagai wadah untuk mengapresiasikan
perasaannya, serta untuk memperlihatkan lambang identitas sipenggunanya.
Sementara, sebahagian lainnya yaitu persepsi dari Informan Drs. Sumardi,
Hendrawan, dan Khainur Rasyid Lubis beranggapan bahwa pengguna piercing
(tindik) adalah bagian dari penjahat, preman, berandalan, dan juga pelaku
tindak kriminal.
5. Dari segi agama dan budaya yang berlaku di Indonesia sendiri, masyarakat
memandang bahwa piercing (tindik) memunculkan image atau citra yang
negatif karena piercing (tindik) adalah suatu perbuatan yang merugikan diri
sendiri.
6. Pengguna piercing (tindik) dianggap sebagai simbol pemberontakan dan
eksistensi diri terhadap tatanan nilai sosial yang ada dan juga melanggar
norma-norma yang berlaku dimasyarakat.
SARAN
1. Fenomena piercing (tindik) diharapkan dapat menjadi media penyaluran bakat
seni dan keindahan penggunanya sebagai lambang atau simbol untuk
menyatakan sebuah ekspresi perasaan seseorang.
2. Diharapkan kepada responden atau informan-informan agar dapat menerima
keberadaan piercing (tindik) sebagai peran yang sama layaknya cabang seni
lainnya. Piercing (tindik) perlu mendapatkan penghargaan dan apresiasi
positif dari berbagai kalangan, tidak dikucilkan atau didiskriminasi, sehingga
mendapat tempat yang proporsional sebagai bentuk seni yang kreatif dan
inovatif.
3. Diharapkan kepada para responden atau informan-informan untuk dapat
menerima piercing (tindik) sebagai budaya yang modernisasi sebagai
fenomena yang tak dapat dipisahkan dari simbol seni dan keindahan.
DAFTAR REFERENSI
Christomy, T dan Untung Yuwono. 2004. Semiotika Budaya. Jakarta : Pusat
Kemasyarakatan dan Budaya UI.
Effendy, Onong Uchana. 2004. Dinamika Komunikasi. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Fiske, Jhon. 2004. Cultural And Communication Studies : Sebuah Pengantar
Paling Komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra.
Kriyantono, Rachmat. 2008. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group.
Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2004. Ilmu Komunikasi : Suatu Pensgantar. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Olong, HA. Kadir. 2006. Tato dan Body Piercing. Yogyakarta : PT. LkiS Pelangi
Aksara.
Rakhmat, Jalaludin. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
10
Download