I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Protein terdapat pada bahan pangan hewani, seperti daging, ikan, telur, susu, dan lain-lain, serta bahan pangan nabati, seperti serealia dan kacang-kacangan (kacang kedelai, kacang tanah, kacang komak, dan lain-lain). Protein hewani yang memiliki asam amino esensial lengkap merupakan protein dengan kualitas teratas. Namun karena harganya lebih mahal dan pengadaannya yang membutuhkan waktu lebih lama, maka protein nabati merupakan pilihan tepat untuk pemenuhan kekurangan protein terutama bagi masyarakat yang mempunyai daya beli rendah. Pada tahun 2010, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 31.02 juta orang (Biro Pusat Statistik Indonesia 2010). Akibatnya, banyak penduduk yang kesulitan untuk membeli makanan sehat yang sesuai dengan kebutuhan gizi mereka. Pada tahun 2005, jumlah bayi yang kekurangan gizi di Indonesia mencapai 28% dari total populasi bayi (Biro Pusat Statistik Indonesia 2010). Permasalahan gizi yang paling sering dihadapi Indonesia dan negara berkembang lainnya adalah kekurangan protein. Permasalahan ini membutuhkan solusi untuk mencari sumber protein alternatif yang murah namun berkualitas tinggi. Kedelai merupakan alternatif sumber protein yang menjanjikan untuk menggantikan protein hewani. Protein kedelai mengandung asam amino yang lengkap. Selain itu protein kedelai mengandung asam amino yang relatif lebih tinggi daripada protein biji-bijian lainnya, terutama asam amino lisin, sehingga protein kedelai dapat digunakan juga untuk mensubstitusi kekurangan protein dalam makanan pokok seperti pati-patian dan jagung (FAO 1971; Direktorat Gizi dan Kesehatan RI 1972; Mupangwa et al. 2003; Palander et al. 2006). Kandungan protein pada kedelai cukup tinggi, yaitu sekitar 40-50% dengan susunan asam amino mendekati susunan asam amino susu sapi dan mendekati pola yang direkomendasikan oleh FAO (Bentley 1975). Kedelai mengandung asam amino esensial yang tinggi dengan metionin sebagai asam amino pembatas (Considine dan Considine 1982). Kedelai dapat diolah menjadi berbagai macam produk pangan. Salah satu bentuk pengolahan kedelai adalah dalam bentuk minuman sari kedelai atau yang lebih sering disebut dengan susu kedelai. Susu kedelai diperoleh dengan cara penggilingan biji kedelai yang telah direndam dalam air. Hasil penggilingan kemudian disaring untuk mendapatkan filtrat, yang kemudian dididihkan dan diberi flavor untuk meningkatkan rasanya (Koswara 1992). Di samping dalam bentuk cair, susu kedelai dapat dibuat dalam bentuk bubuk (powder), yang pada umumnya dilakukan dengan pengeringan semprot (spray drying) atau dengan cara menggiling kedelai langsung menjadi bubuk. Protein susu kedelai mempunyai susunan asam amino yang mendekati sususan asam amino susu sapi sehingga susu kedelai dapat digunakan sebagai pengganti susu sapi bagi orang yang memiliki gangguan pencernaan untuk laktosa (lactose intolerance), yang tidak menyukai susu sapi, dan yang memiliki alergi terhadap susu sapi. Ketidakmampuan mencerna laktosa (lactose intolerance) dialami oleh 70 % penduduk Asia Tenggara. Penderita yang mengkonsumsi susu sapi (kadar laktosa sekitar 4.8 %) akan merasa kembung, sakit perut atau mencret (Rumin 1992). Sedangkan alergi susu sapi adalah alergi makanan terbanyak dan dialami oleh 2-3 % bayi di bawah satu tahun (Crittenden 2005; Rona 2007). Reaksi dapat ditimbulkan oleh partikel protein dari kandungan susu sapi, baik dari ASI ibu yang makan produk dari susu sapi (dairy product) maupun pemberian susu sapi pada bayi. Berdasarkan alasan-alasan di atas maka dikembangkan susu formula bayi (infant formula) yang berbahan dasar protein kedelai bagi bayi yang lactose-intolerance atau yang alergi susu sapi. Soy-based infant formula 1 biasanya difortifikasi dengan vitamin dan mineral untuk mencukupi kebutuhan gizi bayi karena produk pangan dalam bentuk susu merupakan bahan fortifikan yang baik. Pengolahan kedelai menjadi minuman sangatlah strategis karena pangan dalam bentuk cair mudah dikonsumsi oleh golongan khusus, seperti bayi dan orang yang sedang sakit. Pengeringan menjadi bentuk bubuk akan semakin menambah nilai produk karena akan memperpanjang umur simpan dan memudahkan dalam penanganannya. Minuman kedelai umumnya juga dikonsumsi sebagai minuman kesehatan. Oleh karena itu diharapkan minuman bubuk berbasis kedelai mempunyai profil yang baik, terutama daya cerna proteinnya. Daya cerna protein suatu bahan menggambarkan efisiensi hidrolisis protein menjadi asam amino oleh enzim-enzim pencernaan dalam tubuh (Muchtadi et al. 1993). Pengukuran daya cerna protein suatu pangan sangat penting untuk mengetahui seberapa banyak protein pada pangan tersebut yang dapat dicerna/dihidrolisis menjadi asam-asam amino, karena asam-asam amino tersebut selanjutnya akan diserap oleh tubuh kemudian digunakan dalam pembentukan jaringanjaringan baru atau mengganti jaringan-jaringan yang rusak. Jika suatu makanan memiliki daya cerna protein yang rendah, maka dapat berakibat pada malnutrisi protein bagi konsumennya. Hal ini akan sangat berbahaya terutama bagi golongan khusus, seperti bayi, ibu hamil, ibu menyusui, dan orang yang sedang sakit, orang yang kekurangan protein, vegetarian, dan lain-lain. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan profil daya cerna protein dua puluh minuman bubuk berbasis kedelai yang ada di pasaran. Penentuan daya cerna dilakukan secara in vitro dengan menggunakan metode Hsu et al. (1977). 2