TRAINING TINGKAT LANJUT RULE OF LAW DAN HAK ASASI MANUSIA BAGI DOSEN HUKUM DAN HAM Jakarta, 3-6 Juni 2015 MAKALAH PESERTA PENGARUH GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM KONSTITUSI INDONESIA Oleh: Ronny Junaidy Kasalang, S.H., M.H. PENGARUH GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM KONSTITUSI INDONESIA Ronny Junaidy Kasalang, S.H., M.H.1 A. PENDAHULUAN Dasar keberadaan konstitusi adalah kesepakatan umum atau persetujuan di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan oleh negara. Konstitusi merupakan konsensus bersama atau general agreement seluruh warga negara. Organisasi negara tersebut diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Kepentingan yang mendasar dari setiap warga negara yaitu pelindungan terhadap haknya sebagai manusia. Persyaratan dasar dari Negara Hukum dapat ditengarai sebagai konstitusionalism. Pada dasarnya ini berarti bahwa harus ada sebuah hukum dasar dalam sistem hukum yang menjabarkan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif dari negara. Hukum dasar harus memberikan landasan tentang lembaga mana dalam suatu negara yang bertanggungjawab untuk melaksanakan kekuasaan tersebut dan bagaiman kekuasaan itu dilaksanakan baik diantara semua lembaga tersebut dan masyarakat serta pihak swasta. Yang terpenting, peraturan perundangan ini harus menjabarkan apa saja batasan dari kekuasaan tersebut. Dengan kata lain, konstitusi harus memberikan struktur dasar dan aturan sistem hukum dan menentukan siapa yang berhak melaksanakan kekuasaan dan bagaimana. Tanpa kerangka hukum dasar semacam ini tidaklah mungkin mengukur dengan ketepatan yang patut bagaimana peemerintah setia terhadap Negara Hukum. Hukum dasar ini biasanya dibuat dalam bentuk dokumen formal dan tertulis yang dimaksudkan untuk menjadi ringkasan singkat dari hukum dasar dan disebut sebagai “Konstitusi”. Sayangnya, ada negara-negara yang memiliki konstitusi tertulis yang tidak menggambarkan bagaimana kekuasaan sesungguhnya dilaksanakan atau memenuhi persyaratan untuk kerangka semacam itu. Jelaslah bahwa aturan hanya dapat memandu bila orang-orang yang disasar oleh aturan ini sadar akan keberadaan aturan 1 . Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Indonesia Manado 1 tersebut. Hukum karenanya harus diundangkan, dipublikasikan sehingga dapat dibaca oleh umum. Selain itu, undang-undang juga harus jelas karena masyarakat tidak akan dapat mematuhi undang-undang bila tidak memahaminya. Juga penting diingat bahwa hukum berlaku prospektif, tidak berlaku surut atau retroaktif. Prinsip penerapan hukum yang tidak berlaku surut ini terutama sekali penting dalam hukum pidana. Inilah mengapa prinsip ini ditegaskan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Duham, 1948). Pasal 11, paragraf 2 menyatakan bahwa “tidak ada seorangpun dapat dinyatakan bersalah atas tindak pelanggaran pidana dalam bentuk tindakan atau pembiaran yang dianggap sebagai tindak pidana atau pembiaran menurut hukum nasional atau internasional saat tindak pidana itu dilakukan...” Konvensi hak asasi manusia internasional dan regional juga berulangkali menekankan hak dasar ini. Untuk dunia global, konsep tentang HAM sudah terjadi perubahan yang sangat mendasar. Saat sekarang HAM bukan hanya dilihat sebagai bentuk pemahaman individualisme dan libralisme. HAM perlu dipahami secara humanistik untuk hak-hak yang inheren bersama harkat martabat manusia, bagaimanapun sejarah warna kulitnya, suku, kepercayaan, kebudayaan, seks, dan aktivitas kerjanya. Hak asasi manusia sebagai perangkat hak yang melekat pada kodrat manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, merupakan anugrah Tuhan untuk menempatkan manusia dalam harkat dan martabatnya sebagai manusia. Hak asasi tersebut bukan pemberian negara, dan telah ada sebelum negara dan organisasi kekuasaan dalam masyarakat terbentuk. Penghormatan dan jaminan perlindungan serta pemenuhan hak asasi manusia secara efektif merupakan indikator akan tingkat perkembangan peradaban satu bangsa. Ciri‐ciri negara modern, yang mengaku sebagai negara hukum yang demokratis dan dan negara demokrasi yang berdasarkan konstitusi, menetapkan bahwa hak asasi manusia tersebut merupakan unsur penting yang harus ada dan memperoleh perlindungan dan penghormatan yang dijamin dan dipenuhi oleh Negara dan Pemerintah. Justru perlindungan dan jaminan pemenuhan terhadapnya menjadi salah satu tujuan yang paling dasar dari dibentuknya negara, dan menjadi tolok ukur keabsahan tindakan pemerintahan. Pelanggaran terhadapnya yang dilakukan pemerintah, baik dalam tindakan atau perbuatan tertentu dan terutama dalam 2 pembentukan kebijakan‐kebijakan publik, menyebabkan tindakan dan produk kebijakan publik yang dibuat menjadi tidak sah. Terlebih lagi, hukum dan terutama konstitusi atau undang-undang dasar harus bersifat stabil sepanjang waktu. Kedua hukum ini tidak boleh diubah atau diamandemen terlalu sering. Jika hukum acap kali berubah maka akan sulit untuk mematuhinya. Perubahan yang terlalu sering juga akan menyebabkan ketidakpastian akan isi dari hukum itu sendiri. Terlebih algi tindakan yang membutuhkan perencanaan jangka panjang menjadi tidak mungkin. Tentu saja stabilitas adalah sesuatu yang memiliki derajat ketingkatan. Tidaklah mungkin menetapkan periode dimanaa hukum harus tetap kaku seperti itu. Terlebih lagi, stabilitas lebih penting dalam beberapa ranah hukum dibandingkan ranah lainnya. Aturannya adalah hukum yang mengatur perencanaan yang rinci dan keputusan jangka panjang tidak boleh berubah sesering hukum lain yang menangani masalah-masalah dimana keputusan jangka pendek lebih umum dibuat. Pada sebuah kasus yang cukup terkenal, Sunday Times v. Inggris (1979), pengadilan HAM Eropa meringkas beberapa persyaratan yang baru saja disebutkan: “Hukum harus dapat diakses semua orang: warga negara harus dapat melihat bahwa hukum memadai pada kondisi dimana aturan hukum berlaku untuk kasus tertentu...sebuah norma tidak dapat dianggap sebagai ‘hukum’ kecuali dibuat dengan ketepatan yang memadai sehingga warga negara dapat mengatur tindak-tanduknya: ia harus dapat—bila perlu diberikan nasihat yang tepat—memperkirakan dengan cara yang masuk akal mengenai kemungkinan keadaan, konsekuensi dari tindakan yang dilakukan” 2 Namun ada satu pengecualian penting dari aturan ini terutama tanggungjawab atas tindak pidana internasional tertentu. Aturan ini mengikuti Pasal 15, paragraf 2, dari Konvenan Hak Sipil dan Politik yang menyatakan: “tidak ada satupun dalam pasal ini yang membenarkan pengadilan dan penghukuman yang pada saat tindakan pidana itu dilakukan dianggap sebagap tindak pidana menurut prinsip umum dari hukum yang diakui oleh komunitas bangsa-bangsa”. Kesepakatan hak asasi manusia lainnya memiliki peraturan yang serupa. 2 . The Hague Institute for the Internationalisation of Law (HiiL), Rule of Law (Negara Hukum) : Panduan Bagi Para Politisi, The Raoul Wallenberg Institute of Human Rights and Humanitarian Law, Sweden, 2012, hal. 10-11. 3 Oleh karena itu, hak asasi manusia (HAM) merupakan materi inti dari naskah undang-undang dasar modern. HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan setiap manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. B. HAM DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA 1. Sejarah Konstitusi Di Indonesia Sejak negara Indonesia diproklamirkan menjadi negara merdeka, para pendiri Republik Indonesia sepakat bahwa negara berlandaskan pada hukum yang diartikan sebagai konstitusi dan hukum tertulis yang mencerminkan penghormatan kepada HAM. Undang-Undang Dasar ialah piagam tertulis yang sengaja diadakan dan memuat segala apa yang dianggap oleh pembuatnya menjadi asas fundamental dari negara tersebut. UUD Tahun 1945 adalah Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam UUD Tahun 1945 ditegaskan bahwa sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (maachstaat). Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD) yang dibuat tahun 1945, jelas memperlihatkan dalam Pembukaannya: ”penentangan adanya segala bentuk penjajahan atas semua bangsa, memajukan kesejahteraan umum, keinginan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”, sangat dipengaruhi oleh situasi politik Indonesia yang baru saja lepas dari pengalaman pahit dijajah oleh kolonialisme Belanda. Atau dalam bahasa Ato Masuda, “di dalam UUD Tahun 1945 ini tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang muluk-muluk tetapi tidak berisi seperti dalam Konstitusi RIS tahun 1949 dan UUDS 1950, akan tetapi di dalamnya cuma terdapat ketentuan-ketentuan mengenai hubungan di antara orang-orang Indonesia dan negaranya yang sedang berjuang untuk kemerdekaan nasionalnya. 3 Hampir sependapat dengan Masuda, adalah Solly Lubis yang menyatakan bahwa, hak-hak asasi yang 3 . Ato Masuda, UUD Negara RI Tahalun 1945 dan Perbandingannya dengan UUD Jepang, Universitas, Jakarta, 1962, hal. 61. 4 dirumuskan dalam UUD lebih menunjukkan asas kekeluargaan, sedangkan negaranegara lain mendasarkan versianya pada asas liberalisme. 4 Umumnya, banyak pengkaji konstitusi melihat UUD yang dibuat tahun 1945 mengakui hak-hak asasi manusia. Tetapi bagi Moh. Yamin, “sewaktu UU (yang dimaksudkan adalah UUD) Indonesia dirancang, maka kata pembukaannya menjamin demokrasi, tetapi pasal-pasalnya benci kepada kemerdekaan diri, menentang liberalisme dan demokrasi revolusioner. Akibat pendirian ini yaitu hak-hak asasi tidaklah diakui seluruhnya, melainkan diambil satu dua saja yang kira-kira sesuai dengan suasana politik dan sosial pada tahun 1945, yang dipengaruhi oleh peperangan antara negara fasisme melawan negara demokrasi. UU organik yang menjamin atau membatasi hak asasi yang tersebut dalam Konstitusi 1945 itu belum dibuat. Bagi Republik Indonesia yang mengakui demokrasi dalam kata pembukaannya sebagai dasar negara maka mencolok mata benar ke dalam UUD. Hanya tiga pasal yang menjamin hak itu, dan ketiga pasal (pasal 27, 28, 29) itu berisi : 1. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul; 2. Kemerdekaan fikiran; 3. Hak bekerja dan hidup; 4. Kemerdekaan beragama. Kemerdekaan pertama dan kedua itu belumlah dipaparkan dengan UU, dan hak asasi ketiga dan keempat hanyalah jaminan yang tidak diatur lebih lanjut. Waktu merancang Konstitusi 1945, maka hak asasi yang lebih luas memang dimaksudkan, tetapi usul itu kandas atas alasan bahwa pada waktu itu hak asasi dipandang sebagai kemenangan liberalisme yang tidak disukai.” 5 Berbeda dengan Yamin, Drs. Soekarno dengan optimisme, menyatakan “Walaupun UUD 1945 tidak dengan terang mencantumkan hak-hak dan kebebasankebebasan dasar tersebut namun ini tidak berarti bahwa UUD 1945 tidak mengakui adanya hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar manusia tersebut. Hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut memang dilakukan secara sepintas lalu saja, namun UUD 1945 telah mencakup hak-hak dalam empat lapangan, yakni hak-hak dalam lapangan politik (pasal 28); hak-hak dalam lapangan ekonomi (pasal 27 ayat 2); hak-hak dalam 4 . Solly Lubis, Pembahalasan UUD 1945, Penerbit Alumni, Bandung, 1997, hal. 6. . H. Moh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1953, hal. 90-91. 5 5 lapangan sosial (pasal 34); hak-hak dalam lapangan kebudayaan (pasal 31). 6 Soekarno, mengingatkan bahwa UUD Proklamasi ini disusun dalam tempo yang mendesak sekali pada tahun 1945, dan segala sesuatunya dapat dilanjutkan pengaturannya dalam peraturan-peraturan organik oleh pemerintah, eksekutif dan DPR. Ia, sebagai Ketua Panitia Perancang UUD dengan tegas menyatakan bahwa UUD Proklamasi yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 sebagai “Konstitusi Ekspres, alias UUD Kilat”. Dalam konteks yang demikian, menurut pandangan Bagir Manan, peperangan Asia Timur Raya merupakan kenyataan paling dominan mempengaruhi pada saat penyusunan UUD 1945. Salah satu pengaruhnya adalah keadaan serba tergesa-gesa dalam penyusunan dan pengesahan UUD 1945, sehingga didapati berbagai kekurangan. 7 Bila dibandingkan dengan Konstitusi RIS dan UUDS 1950, hak-hak asasi manusia yang diatur dalam Konstitusi RIS jauh lebih lengkap, dan dimasukkan dalam suatu bagian tersendiri oleh UUDS 1950, yaitu dalam Bagian V yang meliputi 27 pasal (lihat pasal 7 sampai pasal 34). Yamin sendiri mencatat dalam kitabnya “Proklamasi dan Konstitusi RIS”, sebagaimana dikutip oleh Koentjoro, menyatakan bahwa “Konstitusi RIS dan UUDS 1950 adalah satu-satunya dari segala konstitusi yang telah berhasil memasukkan hak asasi manusia seperti putusan UNO itu ke dalam Piagam Konstitusi” 8 Dalam masa pemberlakuan UUDS, krisis yang terjadi sepanjang tahun 19501959, terlebih-lebih setelah Pemilu 1955 tidak menghasilkan partai mayoritas mutlak sehingga gagal melakukan pembentukan pengganti UUDS. 9 Setelah melalui Dekrit Presiden 1959, Soekarno yang saat itu kecewa dengan hasil sidang Dewan Konstituante, memberlakukan kembali UUD 1945 dan menyatakan adanya Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy), dengan jalan yang 6 sesungguhnya “inkonstitutional”. 10 . Drs. Soekarno, Tata Negara Indonesia, hal. 145, sebagaimana dikutip oleh Solly Lubis, 1997, hal. 271. . Prof. Dr. Bagir Manan, SH., MCL., Perkembangan UUD 1945, FHAL UII Press, Yogyakarta, 2004, hal. 13. 8 . Prof. Mr. Koetjoro Poerbopranoto, Hak-Hak Manusia dan Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia, Groningen, J.B. Wolters, Jakarta, 1953, hal. 92. 9 . Perbedaan yang tajam di antara para politisi saat itu memang banyak terjadi, dan kabinet begitu mudah berganti-ganti, ditambah pula pergolakan di daerah yang terus menerus terjadi, seperti pergolakan dengan PRRI dan Permesta. Sementara partai yang mayoritas mutlak tidak ada, maka menambah deretan persoalan tidak segera terbentuknya konstitusi baru yang macet tatkala tidak berhasil menyepakati dasar negara. Meskipun partai mayoritas mutlak bukanlah syarat untuk bisa mengubah atau mengamandemen UUD, tetapi saat itu quorum sidang tidak terpenuhi sebagaimana diatur dalam pasal 137 ayat (1) dan (2) UUDS 1950. 10 . Pemberian tanda kutip di atas kata inkonstitutional disengaja untuk menjelaskan, bahwa dalam situasi ketatanegaraan yang macet, buntu, dan tidak segera mendapat jalan keluar, sementara struktur kelembagaan negara yang seharusnya bekerja untuk menyelesaikannya tidak bisa melakukan tindakan lebih jauh, maka langkah Soekarno 7 6 Pemberlakukan kembali UUD 1945 yang diharapkan memberikan proses demokratisasi dan penopang jaminan hak-hak asasi manusia, sangat berat dilakukan, karena banyak sekali praktek penyalahgunaan kekuasaan yang justru diawali dari sang pemimpin itu sendiri. Hal ini diperjelas dengan pandangan Bagir Manan yang menyatakan bahwa kembali ke UUD 1945 berarti kembali pada produk yang dibuat secara tergesa-gesa yang mengandung kekosongan. Selain soal hak asasi, sistem check and balances yang kurang memadai, sistem UUD 1945 sangat menekankan pada kekuasaan eksekutif (executive heavy). Sehingga ia menyimpulkan potensi menuju sistem kediktatoran penguasa, sebagaimana terjadi pada rezim Orde Lama dan Orde Baru. 11 Gagasan negara yang berlandaskan konstitusi dan hukum juga secara jelas terekam dalam perdebatan di sidang pleno konstituante pada saat membahas falsafah negara atau dasar negara, HAM, dan pemberlakuan kembali UUD 1945 antara kurun waktu tahun 1956- 1959. Dalam rentangan berdirinya bangsa dan negara Indonesia telah lebih dulu dirumuskan dari Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB, karena Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya diundangkan pada tanggal 18 Agustus 1945, adapun Deklarasi PBB pada tahun 1948. Hal tersebut merupakan fakta pada dunia bahwa bangsa Indonesia sebelum tercapainya pernyataan HAM sedunia oleh PBB, telah mengangkat dan melindunginya dalam kehidupan bernegara yang tertuang dalam UUD 1945. Hal ini juga telah ditekankan oleh para pendiri negara, misalnya pernyataan Moh. Hatta dalam sidang BPUPKI sebagai berikut : “Walaupun yang dibentuk itu negara kekeluargaan, tetapi masih perlu ditetapkan beberapa hak dari warga negara agar jangan sampai timbul negara kekuasaan (Machsstaat atau negara penindas)”. Deklarasi bangsa Indonesia pada prinsipnya termuat dalam naskah Pembukaan UUD 1945, dan Pembukaan UUD 1945 merupakan sumber normatif bagi hukum positif Indonesia terutama penjabaran dalam pasal-pasal UUD 1945. Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea kesatu dinyatakan bahwa “kemerdekaan ialah hak segala bangsa”. Dalam secara hukum bisa dikatakan keliru, tetapi secara politik (atau tepatnya naluri sebagai politisi) dengan perhitungan resiko-resiko ketatanegaraan untuk mencari jalan keluar penyelesaian adalah hal yang patut dihargai sebagai langkah yang menyelamatkan situasi negara akibat perpecahalan yang terjadi di level elit politik. 11 . Prof. Dr. Bagir Manan, SH., M.C.L., Perkembangan UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, hal. 1718. Potensi ini bisa dilihalat dari upaya sakralisasi dan ideologisasi UUD 1945 sebagai cara mencengkeram kekuasaan, sehingga UUD 1945 dinyatakan tidak dapat diganggu gugat (onchalenbaar). Bila ada fikiran atau tindakan untuk mengubahalnya maka dipandang sebagai upaya “merongrong pembangunan” yang mengancam sendisendi dasar bernegara. 7 pernyataan tersebut terkandung pengakuan secara yuridis hak asasi manusia tentang kemerdekaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 PBB DUHAM. Dasar filosofi HAM tersebut bukanlah kebebasan individualis, melainkan menempatkan manusia dalam hubungannya dengan bangsa (makhluk sosial) sehingga HAM tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban asasi manusia. Kata-kata berikutnya adalah pada alinea ketiga Pembukaan UUD 1945, sebagai berikut: “Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorong oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. UUD 1945 sebelum diubah dengan perubahan kedua pada tahun 2000, hanya memuat sedikit ketentuan yang dapat dikaitkan dengan pengertian HAM. Pasal yang biasa dinisbatkan dengan pengertian HAM yaitu Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 34. Dari semua pasal tersebut, istilah HAM tidak dijumpai namun yang ditemukan adalah hak dan kewajiban warga negara. Meskipun UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis yang di dalamnya memuat hak-hak dasar menusia serta kewajibannya yang bersifat dasar pula, seharusnya mengenai HAM dicantumkan secara tegas dalam UUD Tahun 1945. Namun jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh hanya satu ketentuan saja yang memang memberikan jaminan konstitusional atas HAM yaitu Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan, “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu”. Sedangkan ketentuan yang lain, sama sekali bukan rumusan tentang HAM, melainkan hanya kententuan mengenai hak warga negara atau the citizen rights atau biasa juga disebut the citizen constituonal rights. Hak konstitusional warga negara hanya berlaku bagi orang yang berstatus sebagai warga negara, sedangkan bagi orang asing tidak dijamin. Satu-satunya yang berlaku bagi tiap-tiap penduduk, tanpa membedakan status kewarganegaraannya adalah Pasal 29 ayat (2) tersebut. Selain itu, ketentuan Pasal 28 dapat dikatakan memang terkait dengan ide HAM. Akan tetapi, Pasal 28 UUD 1945 belum memberikan jaminan konstitusional secara langsung dan tegas mengenai adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan bagi setiap orang, Pasal 28 hanya menentukan hal ihwal mengenai kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dengan 8 lisan dan tulisan itu masih akan diatur lebih lanjut dan jaminan mengenai hal itu masih akan ditetapkan dengan undang-undang. Dalam UUD Tahun 1945 perubahan kedua, pengaturan mengenai HAM tercantum dalam satu bab tersendiri yaitu dalam Bab XA dengan 10 pasal serta 24 ayat yaitu Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J terkait jaminan HAM dan penegakan hukum untuk menjamin tegaknya HAM sebagai sebuah pilar negara hukum. Rumusan mengenai HAM ini sangat lengkap yang mencakup seluruh aspek HAM yang diakui secara universal. Seluruh HAM yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. HAM dapat dibatasi juga diperkuat dengan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang HAM. Sistematika pengaturan mengenai HAM dalam UUD 1945 ini sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal pembatasan HAM sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, :”in the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purposes of securing due regocnition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general walfare in a democratic society.” HAM harus pula dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidupnya sejak sebelum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai manusia. Pembentukan negara dan pemerintahan, untuk alasan apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewajiban tidak ditentukan oleh kedudukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang di manapun ia berada harus dijamin hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana mestinya. Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pandangan bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab. HAM yang diatur dalam perubahan kedua UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Pembatasan HAM di Indonesia telah memberikan kejelasan bahwasannya tidak ada satu pun HAM di Indonesia yang bersifat mutlak dan tanpa batas. HAM dalam UUD 1945 dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok, yaitu hak sipil dan politik, hak 9 ekonomi, sosial, dan budaya, hak atas pembangunan dan hak khusus lain, serta tanggung jawab negara dan kewajiban asasi manusia. Selain itu, terdapat hak yang dikategorikan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights) yang meliputi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar yang berlaku surut. Sebelum perubahan UUD 1945, pada tahun 1988-1990 yaitu pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, telah dikeluarkan Ketetapan MPR RI Nomor XVII/1998 mengenai HAM yang di dalamnya tercantum Piagam HAM Bangsa Indonesia dalam Sidang Istimewa MPR RI 1998, dan dilanjutkan dengan UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut telah mengakomodir DUHAM. Apa yang termuat dalam perubahan UUD 1945 (Pasal 28A s/d Pasal 28J) adalah merujuk pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut, dengan perumusan kembali secara sistematis. Kecurigaan bahwa konsep HAM yang diadaptasi oleh bangsa Indonesia selama ini dari Barat diantisipasi oleh amandemen pada Pasal 28J UUD 1945 yang mengatur adanya pembatasan HAM. Karena itu, pemahaman terhadap Pasal 28J pada saat itu adalah pasal mengenai pembatasan HAM yang bersifat sangat bebas dan indvidualistis itu dan sekaligus pasal mengenai kewajiban asasi. Jadi tidak saja hak asasi tetapi juga kewajiban asasi. Ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang menjadi basic law adalah norma tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara. Karena letaknya dalam konstitusi, maka ketentuanketentuan mengenai HAM harus dihormati dan dijamin pelaksanaanya oleh negara. Karena itulah pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Pengaturan mengenai HAM dalam UUD 1945 yaitu bahwa antara hak dan kewajban warga negara adalah seimbang. Kebebasan HAM terhadap manusia lainnya dibatasi oleh undang-undang. Pembatasan atas pelaksanaan HAM hanya dapat ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis. HAM di Indonesia bersumber dan bermuara pada Pancasila. Yang artinya HAM mendapat jaminan kuat dari falsafah 10 bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan HAM tersebut harus memperhatikan garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan HAM bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya melainkan harus memperhatikan ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara mutlak tanpa memperhatikan hak orang lain. Pengaturan HAM dalam UUD 1945 mengatur hak-hak dasar setiap warga negara di dalam bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, sipil, serta hak atas pembangunan. Setiap warga negara seimbang antara hak dan kewajibannya. Pengaturan mengenai HAM dalam UUD 1945 adalah seimbang antara hak dan kewajiban. 2. Konstitusi Indonesia Setelah Tahun 1999 Sampai Era Reformasi Di bawah hukum dasar yang sama, memungkinkan terjadinya pergeseran- pergeseran atau juga pergesekan-pergesekan politik dalam rangka mencapai tujuan negara sebagaimana tercantum dalam UUD. Kajian terhadap hukum dasar tersebut, secara teori tidak bisa dilepaskan dari praktik ketatanegaraan yang telah berjalan, karena sistem ketatanegaraan Indonesia dijalankan berdasarkan tidak hanya pada konstitusi tertulis (UUD), tetapi juga didasarkan pada kebiasaan praktik penyelenggaraan pemerintahan. Meskipun demikian, UUD sebagai hukum tata negara tertulis memiliki ajaran-ajaran (karena mengandung tinjauan ideologi dan filosofi negara) yang menjadi pemandu ukuran konstitutionalitas bagi tindakan (tanggung jawab) pemerintah atas nama negara terhadap rakyatnya. Mengkaji sistem ketatanegaraan belumlah cukup hanya dengan mengkaji dari sisi asas atau ajaran dalam konstitusi, karena konstitusi berbeda dengan hukum konstitusi dan ia hanya salah satu sumber dari hukum konstitusi. Finer menyatakan, “that these documents are highly incomplete, if not misleading, guides to actual practice, that is to what is often called the “working constitution” or the “governance” of a country.” 12 Untuk menelusuri sistem ketatanegaraannya, maka kita mengawali dengan melihat bagaimana tujuan suatu negara itu. Ada dua pembedaan fungsi dan tujuan negara, yakni fungsi dan tujuan negara klasik dan fungsi dan tujuan negara modern. 12 . SE Finer (et al.), Comparing Constitutions, 1995, hal. 1. 11 Fungsi dan tujuan negara klasik ialah hanya memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat, negara hanya merupakan negara penjaga malam (nacht wakerstaat). 13 Sedangkan fungsi dan tujuan negara yang modern adalah di samping berfungsi pemeliharaan ketertiban dan keamanan, negara juga berfungsi dan bertujuan untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum bagi seluruh warganya dalam arti seluasluasnya, jasmaniah, rohaniah, di lapangan ekonomi, sosial, kultural, dan lain-lain.14 Pembedaan tersebut juga memiliki implikasi terhadap konteks hukum dalam kaitan fungsi dan tujuan negara hukum, dimana Prof. Dr. E. Utrecht menyatakan adanya “klassiekerechtstaat” (negara hukum klasik atau negara hukum dalam arti formal) dan “modernrechtstaat” (negara hukum modern dalam arti materiil, yang melihat berlakunya hukum yang tidak hanya tertulis, tetapi mengkui hukum tidak tertulis serta melihat tujuan negara yang lebih memperluas kesejahteraan warganya). 15 Para pendiri negara kita telah mengkonsepsikan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum, negara yang demokratis (berkedaulatan rakyat), berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan berkeadilan sosial, atau disebut oleh Prof. Mukhtie sebagai “theo-democratische-sozial-rechstaat”. 16 Indonesia yang menegaskan dirinya sebagai negara hukum, memiliki beberapa tujuan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yang salah satunya menyebutkan tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga ia terkategori sebagai bagian dari bentuk negara hukum modern (modernsrechtstaat). 17 Meskipun demikian, kita harus lebih berhati-hati menggunakan pengistilahan modern dalam arti tersebut, karena seringkali pemahamannya akan justru terjebak dalam simplifikasi “normativisme”. Karena istilah modern tidak serta merta berarti soal hukum harus tertulis, dan atau terundangkan, tetapi secara substansial mengandung pengertian pembeda dan lebih luas, yakni upaya mencapai tujuan penyejahteraan warga negaranya. 13 . J. Barent, Ilmu Politik (terjemahalan dari De Wetenschalap Der Politiek), PT. Pembangunan, Jakarta, 1965, hal. 152. 14 . A. Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia-Intrans, Malang, 2004, hal. 34. 15 . Utrech, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Balai Buku Ichaltiar, Jakarta, 1962, hal. 19. 16 . A. Mukhtie Fajar, Konsep Negara Hukum dan Pembangunan, master thesis, 1985, dikutip dari A. Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia-Intrans, Malang, 2004, hal. 85. 17 . Menarik pula berdasarkan analisis Kuntjoro Purbopranoto bahwa Tujuan Negara yang dimiliki Indonesia berdasarkan UUD 1945 tersebut memiliki dua arah, yakni ‘tujuan ke dalam’ terhadap seluruh bangsa Indonesia dan juga ‘tujuan ke luar’, yang ditujukan kepada dunia internasional yakni untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tetapi, dalam Mukadimana Konstitusi RIS dan UUDS, ‘tujuan ke luar’ tersebut tidak lagi disebut dan berubah penyusunannya. Lihat, Kuntjoro Purbopranoto, HakHak Asasi Manusia dan Pancasila, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979, hal. 45. 12 Pasca amandemen UUD 1945, tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, tetap tidak mengalami pengubahan dalam amandemen I-IV yang dilakukan sejak tahun 1999-2002. Artinya, meskipun pasal-pasal atau dulu disebut batang tubuh UUD 1945 mengalami banyak perubahan, bahwa konsepsi tujuan negara tersebut tetap dipergunakan sebagai landasan setiap penyelenggaran kehidupan negara dan bangsa Indonesia. Tetapi, dalam pasal-pasalnya, pengaturan hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945 pasca amandemen mengalami banyak sekali perubahan dan tambahan, yang nampak mencolok dan sangat berkeinginan untuk memasukkan segala hak-hak yang diakui secara universal dalam Universal Declaration of Human Rights 1948. Di dalam UUD 1945 tersebut, terselip konsepsi tanggung jawab negara dalam hak asasi manusia (state responsibilities), sebagaimana terlihat dalam pasal 28I (4) dan (5), yang menyatakan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah dan Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.” 18 Keduanya, merupakan kunci dalam melihat tanggung jawab konstitutional yang harus dilakukan oleh negara, dalam hal ini pemerintah, untuk melaksanakan upaya-upaya pemajuan hak asasi manusia. Kedua pasal tersebut juga memiliki konsepsi tersendiri sebagai elemen kewajiban negara. Konsepsi dalam pasal 28I ayat (4), saya sebut sebagai konsep realisasi progresif (progressive realization), yang secara substansi menegaskan bahwa negara harus memajukan kondisi hak-hak asasi manusia secara berkelanjutan, maju (tiada kesengajaan/kelalaian untuk mundur), dan jelas ukuran atau tahapannya. Sedangkan pasal 28I ayat (5), disebut sebagai konsepsi pendayagunaan kewenangan dan instrumentasi hukum. Artinya, negara dalam menjalankan kewajibannya, ia bisa menggunakan segala kewenangannya terutama untuk membangun instrumentasi hukum sebagai sarana yang melindungi hak-hak masyarakat, baik dalam pembentukan saranasarana kelembagaan yang melindungi hak-hak asasi manusia maupun proses legislasi. Bila diperbandingkan, khususnya dalam diskursus hukum tanggung jawab negara atas hak asasi manusia, terutama bila kita menyimak perdebatan-perdebatan 18 . Ketentuan pasal 28 (4) dan (5) UUD 1945 dihasilkan dalam Perubahan Kedua, disahkan 18 Agustus 2000. 13 dalam sidang umum PBB untuk melihat laporan hasil kemajuan rutin masalah hak asasi manusia di setiap negara, dikenal pula konsepsi tanggung jawab negara dalam mandat hukum internasional. Konsepsi tersebut disandarkan pada instrumentasi hukum hak asasi manusia internasional, yakni pasal 2 ayat (1) International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966 (selanjutnya disebut ICESCR 1966) 19, dinyatakan: “Each State party to the present Covenant undertakes to take steps, individually and through international assistance and co - operation, especially economic and technical, to the maximum of available resources, with a view to achieving progressively the full realization of the rights recognized in the present Covenant by all appropriate means, including particularly the adoption of legislative measures.” Pasal tersebut mengandung empat konsepsi kewajiban hukum negara di bawah provisi ICESCR 1966, yakni: (1) undertakes to take steps, (2) to the maximum available resources, (3) achieving progressively the full realization, and (4) by all appropriate means including particularly the adoption of legislative measures. Konsepsi ‘undertakes to take steps’ atau mengambil langkah-langkah, 20 merupakan elemen pertama yang menegaskan bahwa negara akan bertanggungjawab atas segala tindakan atau tiadanya tindakan dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia. Konsepsi kedua, adalah ‘to the maximum available resources’, atau upaya pemaksimalan sumberdaya. Upaya memaksimalkan ketersedian sumberdaya merupakan elemen penting untuk memahami bahwa negara memiliki kewajiban untuk memprioritaskan program-programnya dan mendayagunakan alokasi sumberdayanya secara optimal. Konsepsi ini merupakan konsepsi yang menghubungkan antara alokasi sumberdaya anggaran dengan kewajiban negara dalam hak-hak asasi manusia. Sedangkan konsepsi ‘achieving progressively the full realization’ dan ’by all appropriate means including particularly the adoption of legislative measures’, merupakan konsepsi yang hampir sama dengan konstruksi hukum yang diatur dalam pasal 28I ayat (4) dan (5) UUD 1945. Dalam UU HAM, juga sama dengan kontruksi hukum yang ada dalam UUD 1945, yakni mendayagunakan kewenangan dan saranasarana hukum, baik pembentukan lembaga dan hukum baru, review perundangundangan atau kebijakan, atau juga ratifikasi aturan hukum internasional. Bisa 19 . ICESCR sudah diratifikasi dengan UU No. 11 Tahun 2005. . Konsepsi ini juga dikenal dalam pasal 2 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966. 20 14 disimpulkan bahwa, baik UUD 1945 maupun UU HAM tidak mengenal konsep kewajiban negara yang pertama dan kedua, yakni yang berupa mengambil langkahlangkah dan upaya pemaksimalan sumberdaya. Secara konsepsional, tanggung jawab negara yang dimiliki dalam UUD 1945 pasca amandemen dengan hukum HAM internasional masih kurang lengkap, sehingga faktor ini pulalah yang menyebabkan banyak permasalahan HAM terutama dalam bidang hak ekonomi, sosial dan budaya kurang diperhatikan. Salah satu contohnya adalah, ketidakbecusan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk kebutuhan dasar rakyat miskin bukanlah dipandang sebagai bentuk pelanggaran terhadap kewajiban negara dalam hak-hak asasi manusia, melainkan hanya dilihat sebagai persoalan programatik prosedural dan kewajaran tanpa ukuran yang jelas, baik arah maupun dasar perumusannya. 21 Oleh sebab itu, kegagalan negara dalam mewujudkan hak-hak asasi manusia sesungguhnya telah dimulai dalam kerangka hukum normatifnya dalam konstitusi yang lemah dan tidak lengkap. Di sisi lain, konsep tanggung jawab yang diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen, mengenal apa yang disebut kewajiban asasi (human obligations), sebagaimana diatur dalam pasal 28J ayat (1) dan (2). Dalam pasal tersebut, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Konsep human obligations ini dimaksudkan untuk melengkapi bahwa persoalan hak-hak asasi manusia tidak sekedar persoalan di tanggung jawab negara, tetapi ada pula kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap manusia termasuk wilayah-wilayah yang tidak mungkin seratus persen dijangkau oleh negara. Seperti contoh persoalan kekerasan dalam rumah tangga, pemaksaan keyakinan atau agama dalam keluarga, eksploitasi anak-anak dalam ekonomi keluarga, dan masih ada contoh lainnya yang 21 . R. Herlambang Perdana Wiratraman, Anggaran Berbasis Kebutuhan Dasar Rakyat Miskin: Sebuah Agenda Advokasi Kebijakan Anggaran dan Perubahan Gerakan Sosial Akar Rumput, Paper untuk Lokakarya “Pengawasan Anggaran”, 29-31 Januari 2004. 15 mana negara tidak bisa terlibat sepenuhnya karena ada faktor non-negara seperti tradisi atau budaya. Meskipun demikian, konsep human obligations ini sama sekali tidak mengajak untuk menegasikan peran negara, melainkan justru sifatnya melengkapi peran utama negara dalam HAM (state responsibilities). C. HAM DAN GLOBALISASI Globalisasi telah menjadi realita harian yang tidak dapat dihindari. Prosesnya yang berlangsung sangat cepat dan kompleks dengan jangkauan aspek-aspek yang luas, tanpa dapat dihentikan masuk ke seluruh bidang kehidupan umat manusia. Globalisasi adalah proses multidimensional dalam aspek sosial, ekonomi, politik, kultural yang bergerak secara ekstensif dan intensif ke dalam masyarakat dunia. 22 Secara harfiah global berarti sedunia, sejagat. 23 Kata ini selanjutnya menjadi istilah yang merujuk kepada suatu keadaan di mana antara satu negara dengan negara lain sudah menyatu. Batas teritorial, kultural, dan sebagainya sudah bukan merupakan hambatan lagi untuk melakukan penyatuan tersebut. Situasi ini tercipta berkat adanya dukungan teknologi canggih di bidang komunikasi, seperti radio, televisi, telephon, faxsimile, internet dan sebagainya. Globalisasi kemudian menembus batas ruang dan waktu,dan aksesibel. Lahirnya teritori dunia baru yang mendunia, kemudian berpengaruh pada dunia lokal. Dengan demikian, globalisasi dapat dimaknai sebagai faktor yang bekerja secara bersamaan, danfaktor itu meliputi ekonomi informasi, percepatan teknologi komunikasi, dan politik internasional. Kesemuanya terangkum dalam jaringan saling berhubungan. 24 Globalisasi juga dimaknai dengan peningkatan, keterkaitan dan ketergantungan antar-bangsa dan antar-manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi lainnya, sehingga batas-batas suatu negara tersamarkan. Di samping itu, globalisasi juga dikaitkan dengan berkurangnya kedaulatan negara dalam melindungi kepentingan nasionalnya. Secara sederhana, globalisasi dipahami sebagai suatu proses pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam suatu sistim ekonomi global dengan aktor perusahaan22 . Nanang Indra Kurniawan, "Masyarakat Dunia, Globalisasi dan Nation-State", dalam Nanang Pamuji Mugasejati dan Ucu Martanto, Kritik Globalisasi & Neoliberalisme, FISIP UGM, Yogyakarta, 2006, hal. 36. 23 . John M. Echalols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal. 271. 24 . Hanifati Alifa Radhalia, Globalisasi dan Antropologi, halttp://www.academia.edu/4247579/Review_Globalisasi. akses, 14-05-2015 16 perusahaan transnasional-Transnasional Corporations (TNCs), World Organization (WTO), serta World Bank dan International Monetary Fund (IMF). Trade 25 Akbar S. Ahmed dan Hastings Donan memberi batasan bahwa globalisasi ”pada prinsipnya mengacu pada perkembanganperkembangan yang cepat di dalam teknologi komunikasi, transformasi, informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh (menjadi hal-hal) yang bisa menjangkau dengan mudah”. 26 Globalisasi sebagai kelanjutan multinasionalisasi dan transnasionalisasi telah merobohkan batas-batas kebudayaan secara meluas lebih dari sekadar melintasi batas geografis administrasi antar negara. Proses ini menjadikan manusia dengan relasi-relasi sosial budayanya sebagai sub-human dalam pusaran pasar global dunia. Globalisasi bahkan merupakan puncak dari kapitalisme dunia di penghujung abad ke-20 ini, yang memberikan kemungkinan besar kepada dunia kemanusiaan sebagai tersubordinasi dan terkooptasi oleh mesin kapitalisme global yang keras dan serba melintasi. Sejumlah krisis kemanusiaan diduga akan semakin massive dan kompleks. 27 Setidaknya ada lima dampak buruk globalisasi bagi masyarakat. Pertama, pengaburan batas-batas kultural dan geografis/ekologis tidak diperhatikan, sehingga kemampuan menyesuaikan diri dan daya tahan menurun, terutama bagi masyarakat atau negara lemah. Kedua, gaya pikir akan dipengaruhi oleh produsen informasi dan penyebarannya yang dominan sehingga menimbulkan gangguan yang tidak dapat diadaptasi. Ketiga, hak-hak manusia yang dipropagandakan adalah versi Barat dengan bersandar pada individualisme. Hak-hak kelompok banyak terlanggar, tetapi diabaikan saja. Hak-hak manusia seringkali dikalahkan oleh hak-hak modal, sehingga globalisme dapat dianggap perang pembebasan modal. Keempat, terancamnya demokrasi oleh globalisme. Demokrasi berarti banyak pilihan, multiopsional, tiap-tiap manusia dan negara bebas memilih yang terbaik untuk dirinya. Sedangkan globalisme mengurangi penganekaragaman di dunia yang sangat bervariasi. Kelima, kontak budaya akan terjadi dalam skala besar, cepat, multidimensional dan serempak, sehingga tidak dapat dielakkan terjadinya peniadaan 25 . Daryono, halttp://sekolahbareng.blogspot.com/2012/10/konsep-dan-ciri-ciriglobalisasi. html. akses 14-05- 2015 26 . Akbar S. Ahmed dan Hastings, Islam, Globalization and Postmodernity Routledge, London, 1994, hal. 1. Mereka mendasarkan referensi dari A. Giddens, Thale Cosequences of Modernity, Polity Press , Cambridge, 1990, hal. 64. 27 . Haedar Nashalir, “Sains, Modernitas, dan Kemanusiaan”, dalam Jurnal Inovasi, No. 1. TH. VIII. 1998. Hal. 6. 17 budaya, kesalahan adaptasi, dan kegoncangan budaya. Pengaruh yang mencolok terlihat dari perubahan pola hubungan antar anggota masyarakat. Masyarakat sebagai individu lebih bersikap individualistik, hedonis dan acuh terhadap orang lain. Kelima hal di atas adalah sedikit catatan dari dampak buruk globalisasi. Globalisasi yang ditandai dengan pesatnya penemuan hal baru baik dalam ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mendorong masyarakat untuk berubah dengan cepat. Melalui berbagai peralatan tersebut berbagai peristiwa atau kejadian yang terjadi di belahan dunia yang lain pun dapat dengan mudah diketahui bahkan diakses. Semakin banyak manusia menggunakan peralatan tersebut semakin banyak informasi yang dapat diketahui. Selanjutnya, mengingat arus informasi tersebut demikian banyak dan padat, maka tingkat kecepatan untuk mendapatkan informasi tersebut menjadi semakin tinggi. Pada dataran empirik globalisasi berarti proses kaitan yang semakin erat dari semua aspek kehidupan, suatu gejala yang muncul dari interaksi yang semakin intensif dalam perdagangan, transaksi finansial, media dan tehnologi. 28 Globalisasi mengandung ambivalensi. Di satu sisi, proses globalisasi merupakan kesempatan besar di zaman ini yang membawa kepada perkembangan yang semakin manusiawi sampai ke pojok-pojok dunia dan memberikan keuntungan bagi semuanya. Namun di sisi lain, globalisasi melahirkan pertentangan antar manusia di muka bumi ini, yang disebabkan oleh arus penyeragaman budaya yang memaksa. 29 Selain membawa dampak positif berupa peningkatan akumulasi modal, teknologi, jaringan yang semakin luas; globalisasi juga membawa dampak negatif seperti kondisi ketergantungan baik bagi individu, kelompok masyarakat maupun Negara dan semakin parahnya kemiskinan yang melanda penduduk di Negara-negara berkembang. Secara tajam dapat dirumuskan, dengan istilah lain, globalisasi merupakan gejala yang sekaligus dirayakan dan diratapi. 30 Oleh karena globalisasi terkait dengan situasi konkret dan hidup mati manusia di planet bumi, maka sudah selayaknya dirumuskan suatu standar etika sosial berhadapan 28 . B. Herry Priyono, “Rakyat dalam Pusaran Globalisasi”, Kompas, 9/08/2002, halal.4-5. . German Bishop’s Converence Research Group on thale Universal Tasks of the Chalurch, The Many Faces of Globalization: Perspective for Human World Order, Bonn, 2000, hal. 11. 30 . B. Herry Priyono, “Rakyat dalam Pusaran Globalisasi”, hal. 12. 29 18 dengannya. German Bishop’s Conference (GBS), merumuskan dua premis menyangkut standar etika sosial tersebut. Pertama, rakyat hendaknya menjadi pusat setiap perkembangan atau pembangunan. Yang menjadi dasar premis ini adalah martabat manusia. Orientasi konkretnya, kaum miskin yang tidak mampu dan tidak punya peluang untuk ambil bagian dalam proses pembangunan. Kedua, ekonomi, pasar, kemajuan tehnologi, dan globalisasi bukan demi dirinya sendiri, melainkan merupakan sarana demi kesejahteraan hidup dan perkembangan manusia. Yang menjadi orientasi di sini adalah tanggung jawab bersama di berbagai tingkat untuk tujuan bonum communae, kebaikan bersama. 31 Globalisasi dilukiskan sebagai penyusutan ruang dan waktu yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang mencerminkan peningkatan interkoneksi dan interdependensi sosial, politik, ekonomi dan kultural dalam skala global. 32 Ia dipahami sebagai tatanan masyarakat baru yang tidak lagi membicarakan hal-hal yang sifatnya lokal. Transformasi global telah merambah ke seluruh dunia, yang mana tidak lagi ada batasbatas yang jelas dalam suatu negara, budaya, transformasi, ekonomi, hukum dan bahkan perilaku masyarakat. 33 Globalisasi mengakibatkan kian meredupnya keutamaan faham negara bangsa (nation state) bahkan merupakan fenomena penting yang tidak bisa dihindarkan oleh siapapun, bangsa manapun dan negara manapun, termasuk masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. 34 31 . GBC, The Many Faces, p. 44-45. Baca juga Agustinus Mintara, “Modal Sosial dalam Arus Globalisasi”, Basis, Nomor 1-2, Tahun ke-52, Januari-Februari 2003. hal. 44. 32 . Manfred B. Steger, Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar, terj. Heru Prasetyo, Lafa di Pustaka, Yogyakarta 2006, hal. 7. 33 . Paul Hirst & Grahame Thompson, Globalization in Question, terj. P. Soemitro, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 1-2. 34 . Mahmud Thoha, Globalisasi, Krisis Ekonomi dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan, Pustaka Quantum, Jakarta, 2002, hal 1. Pembahasan tentang fenomena globalisasi selama ini pada umumnya menekankan pada besarnya pengaruh globalisasi terhaladap perubahan budaya-budaya lokal di indonesiayang kemudian mengancam kestabilan sistem budaya nasional. Ia seringkali dilihat sebagai sumber penyebab munculnya rasionalisasi, konsumerisme dan komersialisasi budaya-budaya lokal yang kemudian mengakibatkan hancur dan hilangnya identitas budaya nasional. Pandangan demikian sebenarnya masih sangat berat sebelah, masih menekankan dari satu sisi globalisasi, tetapi belum melihat dari sisi yang lain, yakni strategi dan dinamika budaya-budaya lokal dalam merespon globalisasi. Baca juga dalam Lambang Trijono, “Globalisasi Modernitas dan Krisis Negara Bangsa: Tantangan Integrasi Nasional dalam Konteks Global”, dalam Jurnal Analisis CSIS Tahun XXV, No. 2 Maret-April 1996, hal. 136. 19 DAFTAR PUSTAKA Ahmed, Akbar S. dan Hastings, Islam, Globalization and Postmodernity Routledge, London, 1994. Barent, J., Ilmu Politik, PT. Pembangunan, Jakarta, 1965. Daryono, halttp://sekolahbareng.blogspot.com/2012/10/konsep-dan-ciri-ciriglobalisasi. html. akses 14-05-2015 Fadjar, A. Mukhtie, Tipe Negara Hukum, Bayumedia-Intrans, Malang, 2004. Fajar, A. Mukhtie, Konsep Negara Hukum dan Pembangunan, master thesis, 1985. German Bishop’s Converence Research Group on thale Universal Tasks of the Chalurch, The Many Faces of Globalization: Perspective for Human World Order, Bonn, 2000. Giddens, A., Thale Cosequences of Modernity, Polity Press , Cambridge, 1990 Haedar Nashalir, “Sains, Modernitas, dan Kemanusiaan”, dalam Jurnal Inovasi, No. 1. TH. VIII. 1998. Hirst, Paul & Grahame Thompson, Globalization in Question, terj. P. Soemitro, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006. John M. Echalols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996. Koetjoro Poerbopranoto, Hak-Hak Manusia dan Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia, Groningen, Jakarta, 1953. Lubis, Solly, Pembahalasan UUD 1945, Penerbit Alumni, Bandung, 1997. Manan, Bagir, Perkembangan UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2004. Masuda, Ato, UUD Negara RI Tahalun 1945 dan Perbandingannya dengan UUD Jepang, Universitas, Jakarta, 1962. Nanang Pamuji Mugasejati dan Ucu Martanto, Kritik Globalisasi & Neoliberalisme, FISIP UGM, Yogyakarta, 2006. Priyono, B. Herry, “Rakyat dalam Pusaran Globalisasi”, Kompas, 9/08/2002. Radhalia, Hanifati Alifa, Globalisasi dan Antropologi, halttp://www.academia.edu/4247579/Review_Globalisasi. akses, 14-05-2015 Steger, Manfred B., Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar, terj. Heru Prasetyo, Lafadi Pustaka, Yogyakarta 2006. 20 The Hague Institute for the Internationalisation of Law (HiiL), Rule of Law (Negara Hukum) : Panduan Bagi Para Politisi, The Raoul Wallenberg Institute of Human Rights and Humanitarian Law, Sweden, 2012. Thoha, Mahmud, Globalisasi, Krisis Ekonomi dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan, Pustaka Quantum, Jakarta, 2002. Trijono, Lambang, “Globalisasi Modernitas dan Krisis Negara Bangsa: Tantangan Integrasi Nasional dalam Konteks Global”, dalam Jurnal Analisis CSIS Tahun XXV, No. 2 Maret-April 1996. Utrech, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Balai Buku Ichaltiar, Jakarta, 1962. Yamin, H. Moh., Proklamasi dan Konstitusi, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1953 21