STUDI KOMPARASI TENTANG MOTIF AFILIASI PADA SISWA YANG ORANG TUANYA SINGLE PARENT DENGAN YANG LENGKAP PADA SISWA KELAS II SMK NEGERI 1 WONOSEGORO TAHUN PELAJARAN 2015/2016 Oleh: Indah Purwaningsih1 Fadjeri2 AR Koesdyantho3 Program Studi Bimbingan dan Konseling Abstraksi Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang perbedaan motif afiliasi pada siswa yang orang tuanya lengkap dengan siswa yang orang tuanya single parents pada siswa kelas II SMK Negeri 1 Wonosegoro Tahun Pelajaran 2015/2016. Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah di SMK Negeri 1 Wonosegoro Tahun Pelajaran 2015/2016 dengan waktu penelitian bulan Januari 2016 sampai dengan Februari 2016. Bentuk penelitian merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan jenis komparatif. Populasi penelitian siswa kelas 2 SMK N 1 Wonosegoro sebanyak 209 siswa. Sampel penelitian sebanyak 95 siswa dengan teknik purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner, wawancara, observasi dan studi pustaka. Teknik analisis data menggunakan independent sample t-test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata motif afiliasi orang tua lengkap adalah 79,73 sedangkan rata-rata motif afiliasi pada orang tua single parent adalah 76,96, hal tersebut menunjukkan bahwa motif afiliasi pada keluarga yang lengkap lebih tinggi daripada motif afiliasi pada siswa dengan keluarga single parent. Hasil perhitungan dengan independent sample t-test diperoleh nilai t hitung sebesar 2,706 dengan p value 0,008 < 0,05, artinya terdapat perbedaan motif afiliasi pada siswa yang orang tuanya lengkap dengan yang single parent pada siswa kelas II SMK Negeri 1 Wonosegoro Tahun Pelajaran 2015/2016. Kata kunci : motif afiliasi, orang tua lengkap, single parent PENDAHULUAN Keluarga merupakan lingkungan yang paling utama bagi manusia, karena sebagian besar kehidupan manusia berada dalam keluarga. Melalui keluarga, manusia dapat berinteraksi dan bersosialisasi sebelum mereka berinteraksi dengan orang lain. Keluarga juga merupakan lembaga pendidikan pertama bagi seseorang. Dalam dunia pendidikan, keluarga memiliki pengaruh yang besar terhadap pembentukkan watak dan kepribadian seseorang. Keluarga terdiri dari orang tua dan anak–anak. Keberadaan orang tua mempunyai arti penting dalam perkembangan pendidikan maupun sosial. Keberadaan orang tua utuh (lengkap) dengan orang tua tunggal (single parent) akan berbeda, jika orang tua utuh menjadi dua figur untuk anak yaitu ayah dan ibu, maka orang tua tunggal akan menjadi satu – satunya 1 figur dalam kehidupan keluarga yang menjadi modeling bagi anak. Tentunya hal ini akan memberikan dampak yang cukup signifikan dalam dunia pendidikan jika satu orang tua menjalankan dua peran sekaligus yaitu sebagai ayah dan ibu. Kegiatan pengasuhan orang tua akan memberikan perhatian, peraturan, disiplin, hadiah dan hukuman, serta tanggapan terhadap keinginan anaknya. Sikap dan tingkah laku kedua orang tua akan diamati oleh anak baik disengaja maupun tidak disengaja sebagai pengalaman bagi anak, karena keluarga adalah lingkungan pendidikan yang pertama dan utama (Slameto, 2010:61). Kenyataan seperti ini terlihat dengan adanya perbedaan motivasi pada diri masing-masing siswa. Ada tiga macam motivasi yang mempengaruhi manusia yaitu: motivasi afiliasi, motivasi berkuasa, dan motivasi berprestasi. Motivasi afiliasi sama dengan kebutuhan untuk bergaul. Apabila seseorang memiliki tingkat motivasi afiliasi yang tinggi, berarti dia selalu berusaha menjaga hubungan baik dengan orang lain. Selain itu, manusia biasanya ingin mempunyai banyak teman, ramah, dan senang bertemu orang baru. Sementara motivasi berkuasa adalah keinginan seseorang untuk mengatur orang atau institusi tertentu. Motivasi ketiga dan yang paling berpengaruh pada kinerja manusia adalah motivasi berprestasi atau need for achievement. Seseorang yang mempunyai need for achievement yang tinggi cenderung mempunyai prestasi yang tinggi. Hal ini dapat membuat orang tersebut dipandang hebat oleh orang-orang di sekelilingnya karena mempunyai kemauan yang keras untuk maju dan menjadi yang terbaik. Motif atau kebutuhan afiliasi merupakan keinginan dari sdiswa untuk mendekatkan diri, bekerja sama, saling menerima dan memberi kepada orang lain yang mempunyai persamaan dengan dirinya, menyenangkan orang lain dan mencari afeksi dari mereka, serta patuh dan setia kepada teman. Hal ini karena pada hakekatnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain. Siswa akan cenderung untuk berinteraksi, berkomunikasi, dan bersosialisasi. Keinginan untuk bersama dengan orang lain, yang dengan kuat mengarahkan seseorang untuk membentuk hubungan interpersonal yang positif dan erat dalam psikologi disebut dengan istilah motivasi afiliasi. Motivasi afiliasi ini muncul sebagai bentuk manifestasi dari kebutuhan dan motivasi seseorang. Individu pada kebutuhan ini lebih menyukai situasi kooperatif dan sangat menginginkan hubungan-hubungan yang memiliki pengertian tinggi. Penelitian yang dilakukan Friskadia Putri Ekinasmara dan HermienLaksimawati (2013) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki motivasi afiliasi yang tinggi akan mudah untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan sosialnya. Hurlock menyebutkan bahwa motivasi afiliasi ini sering sangat dominan dalam diri seorang remaja, hal ini disebabkan karena minat sosial yang kuat serta sangat berpengaruhnya kelompok sosial dalam diri seorang remaja Adanya motivasi afiliasi, akan memberi arah pada tingkah laku remaja. Siswa mampu menyalurkan energinya untuk menyelesaikan tugas-tugas akademis, mengembangkan hubungan sosialnya, memperoleh penghargaan (penerimaan) dari lingkungan sosialnya serta meningkatkan rasa mampu, karena siswa termotivasi untuk memenuhi kekurangan dalam dirinya. Siswa yang memiliki kebutuhan untuk berafiliasi tinggi akan mencari teman, serta berusaha untuk mempertahankan hubungan tersebut. Kebutuhan 2 berafiliasi ini berkaitan dengan rasa khawatir atau rasa tidak aman. Keinginan untuk berafiliasi dengan orang lain dapat mengurangi rasa kekhawatirannya dan ketakutan yang dimiliki seseorang, hal ini disebabkan karena dukungan dari orang-orang di sekitar akan menguji respon remaja terhadap situasi yang mungkin menyebabkan stres, sehingga remaja berusaha menghilangkan stres dan ketakutan mereka terhadap penolakan lingkungan sosial dengan mengikuti semua tuntutan lingkungan sosialnya. Di SMKN 1 Wonosegoro sebanyak 30% siswa ditinggal oleh orangtuanya, ada yang ditinggal bekerja di luar kota, ada yang broken home, dan ada pula yang sudah meninggal serta bercerai, sehingga siswa–siswi tersebut tidak mendapatkan perhatian khusus dalam pendampingan belajar oleh orangtuanya. Orangtua juga sering tidak dapat memantau secara langsung bagaimana perkembangan belajar anaknya, padahal lingkungan keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan bagi anak. Mengingat betapa besarnya pengaruh lingkungan keluarga maka sudah semestinya setiap keluarga memberikan perhatian yang penuh terhadap pendidikan anak. Motif Afiliasi Istilah motivasi (motivation) berasal dari bahasa latin yakni movere, yang berarti “menggerakkan” (to move). Ada banyak perumusan mengenai motivasi, Motivasi mewakili proses-proses psikologika, yang menyebabkan timbulnya, diarahkanya dan terjadinya persistensi kegiatan-kegiatan suka rela (volunter) yang diarahkan ketujuan tertentu (Winardi, 2009: 1). Sardiman (2007: 73), menyebutkan motif dapat diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk melakukan aktifitas-aktifitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Bahkan motif dapat dikatakan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan). Berawal dari kata motif itu, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan atau mendesak. Motif afiliasi adalah keinginan seseorang untuk menjalin dan mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain. Ciri-ciri seseorang yang mempunyai motif afiliasi tinggi adalah lebih suka bersama dengan orang lain, sering berhubungan dengan orang lain, lebih memperhatikan segi hubungan pribadi yang ada dalam pekerjaan, melakukan pekerjaan secara lebih efektif jika bekerja sama dengan orang lain (Malayu SP. Hasibuan, 2009: 119). Adim Indilla Dany (2015: 3) bahwa afiliasi merupakan pembentukan kontak sosial yang menghasilkan sebuah hubungan atau pertalian. Seseorang yang memiliki kebutuhan seperti ini tentu mereka memiliki motivasi untuk persahabatan, menanggung dan bekerja sama daripada sebagai ajang kompetisi di dalam suatu organisasi. Karakter individu dengan kebutuhan afiliasi yang tinggi cenderung dapat menjaga hubungan sosial dengan baik, tidak bisa berada di dalam kondisi yang kompetitif, nyaman dalam norma dan harapan orang lain serta cocok dalam pekerjaan yang membutuhkan kerjasama tim. Kebutuhan afiliasi adalah mendekatkan diri, bekerjasama atau membalas ajakan orang lain yang bersekutu (orang lain yang menyerupai atau menyukai 3 subjek), membuat senang dan mencari afeksi dari objek yang disukai, patuh dan tetap setia kepada seorang kawan (Tri Nurmala Dewi dan Joko Kuncoro, 2011: 71). Menurut Chaplin (2006: 14) motivasi afiliasi adalah suatu bentuk kebutuhan akan pertalian perkawanan dengan orang lain, pembentukan persahabatan, ikut serta dalam kelompok, dengan mendekatkan diri dan bekerja sama untuk membuat senang dan mencari afeksi dari orang lain, saling memberi dan saling menerima orang lain (yang mempunyai persamaan dan menyukai dirinya) serta setia kepada teman. Motivasi afiliasi berkaitan dengan pemeliharaan sikap yang hangat dan bersahabat dalam berhubungan dengan orang lain. Kerangka kerja yang komprehensif untuk meneliti motif afiliasi dengan mengidentifikasi empat alasan seseorang melakukan kontak social, yaitu pengaruh positif, perhatian atau penghargaan, dukungan emosional, dan perbandingan social. Orang dengan kebutuhan akan afiliasi yang moderat cenderung dapat menjadi manajer atau asisten yang efektif daripada mereka yang mempunyai kebutuhan akan afiliasi yang rendah atau tinggi (Galuh Juniarto dan Siti Aminah, 2013: 50). Seseorang yang memiliki kebutuhan kerjasama atau afiliasi yang tinggi akan mengusahakan agar kebutuhan tersebut terpenuhi melalui kerjasama dengan orang lain. Namun demikian perlu dicermati sampai sejauh mana seseorang bersedia bekerjasama dengan orang lain dalam kehidupan berkelompok. Perilaku bekerjasama tersebut tetap dipengaruhi oleh persepsinya terhadap hasil yang diperoleh dari usaha kerjasama tersebut. Ciri-ciri individu dengan kebutuhan afiliasi tinggi menurut McClelland dalam antara lain: 1. Akan tampil lebih baik jika ada insentif afiliasi Individu yang mempunyai motif afiliatif tinggi cenderung akan tampil baik juga walaupun pada situasi atau tugas yang tidak mengandung isi afiliatif, namun insentif dalam situasi tersebut mengarah pada afiliasi. Karakteristik seseorang dengan kebutuhan afiliasi tinggi yaitu bekerja lebih baik ketika mendapatkan dukungan dari orang lain, suka berteman, berkumpul, dan bekerja dengan orang lain di suasana yang bersahabat. 2. Mempertahankan hubungan Individu yang mempunyai motif afiliasi tinggi akan belajar untuk berhubungan sosial dengan cepat, lebih peka, banyak berkomunikasi dengan orang lain, dan hubungan yang dibina sejak awal pertemuan dengan orang lain diharapkan dapat dipertahankan dalam kurun waktu yang lama. Salah satu karakteristik seseorang dengan kebutuhan afiliasi tinggi yaitu memiliki keinginan yang tulus untuk menjaga perasaan orang lain dan berusaha keras untuk persahabatan. 3. Kerjasama, konformitas, dan menghindari konflik Individu dengan kebutuhan afiliasi yang tinggi senang bekerjasama dengan teman-teman (kerjasama) dan bersikap mengalah dari orang lain untuk menghindari situasi yang bersifat kompetitif (menghindari konflik). Individu akan memberikan referensi yang selaras sehingga tidak mengganggu keputusan kelompok apabila diminta untuk memberikan bantuan dalam mengerjakan suatu tugas. Individu dengan afiliasi tinggi suka bekerja dengan 4 orang yang ramah dan lebih menyukai situasi kooperatif daripada kompetitif, serta hubungan yang melibatkan tingkat saling pengertian yang tinggi. Individu dengan kebutuhan afiliasi tinggi cenderung mempertahankan hubungan yang harmonis dan mengurangi konflik. 4. Tingkah laku kepemimpinan kurang Individu yang memiliki motif afiliasi tinggi tidak memiliki kesuksesan dalam bidang manajemen. Individu yang menghindari konflik dan kritik biasanya tidak akan menjadi pemimpin yang baik. Hal ini dikarenakan orang-orang seperti ini hanya lebih banyak menghabiskan waktu dengan bawahan sebagai usaha untuk membina hubungan, akan tetapi tidak mampu untuk mengambil keputusan-keputusan pada situasi yang sulit. Pada pelaksanan tugas mereka senang bersama dengan orang lain dan mengurangi perbedaan diantara mereka, agar mereka dapat selalu bersama-sama. 5. Rasa takut akan penolakan. Individu dengan kebutuhan afiliasi yang tinggi akan menunjukkan rasa takut terhadap situasi yang mengancam ataupun penolakan, menghindari ditinggalkan sendiri secara fisik dan memberikan perhatian kepada sahabat. Manusia memiliki tingkat kebutuhan (motif) afiliasi yang berbeda-beda diantara yang satu dengan yang lainnnya. Franzoni (2006: 172) menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan orang memiliki hasrat berafiliasi yang berbeda-beda. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi motif berafiliasi pada manusia. Ketiga faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1. Warisan/kebudayaan evolusioner manusia Tampaknya kebutuhan manusia untuk memiliki sangat kuat dan fundamental. Saat kebutuhan ini tidak terpenuhi dan mengalami penolakan, manusia akan bertindak dengan beragam cara yang negatifs seperti meningkatnya stres, kecemasan dan perilaku penyerahan diri yang biasanya sering diikuti dengan penurunan kesehatan fisik. Kesimpulannya bahwa kecenderungan manusia untuk mencari orang lain untuk berteman dan untuk membentuk hubungan dekat yang menyenangkan terlihat seperti sifat yang diwarisi yang membantu manusia untuk bertahan dan berproduksi. 2. Otak dan aktivitas sistem saraf pusat Perkembangan bukti biologis mengindikasikan bahwa perbedaan antar individu dalam kebutuhan afiliasi meliputi perbedaan-perbedaan di dalam arrousability sistem saraf pusat dan aktivitas otak yang terkait dengan pengalaman emosi negatif dan positif. Arrousability adalah derajat kebebasan yang membangun produksi stimulasi dari sistem saraf pusat. 3. Kebudayaan, gender dan afiliasi Di luar penyebab biologis, kebutuhan afiliasi juga tampak dibentuk oleh variabel kebudayaan. Walaupun hubungan sosial pada orang-orang individualis cenderung kurang intim daripada orang yang kolektivis, beberapa orang individualis berusaha mempererat hubungan yang lebih intim daripada yang lain, perempuan juga lebih suka daripada laki-laki untuk berfikir, bersikap dan menetapkan dirinya di jalan yang menegaskan koneksi emosi mereka dengan orang lain, berhubungan secara sosial relasi diri yang lebih ini, dapat dibedakan dengan kesendirian kemandirian diri yang menjadi tipikal 5 laki-laki yang membuat seseorang menjadi mandiri dan kurang tertarik dalam pengembangan emosi. Tri Nurmala Dewi dan Joko Kuncoro (2011: 71), menyatakan bahwa aspek-aspek kebutuhan berafiliasi yakni: (a) Simpati yaitu rasa saling mengerti dan menghormati akan keadaan dan keberadaan orang lain. (b) Empati yaitu perasaan mendalam terhadap apa yang dialami orang lain. (c) Kepercayaan yaitu adanya kesanggupan pada diri seseorang untuk mempercayai orang lain dalam berhubungan. (d) Menyenangkan orang lain yaitu keinginan untuk menyenangkan orang lain. Keluarga Friedman dalam Suprayitno (2003: 1) mendefinisikan bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dalam keterikatan aturan dan emosional dimana individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga. Keluarga merupakan kelompok orang yang paling dekat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga keluarga memiliki ikatan psikologis maupun fisik. Menurut Soelaeman (dalam Irma Mailany dan Afrizal Sano, 2013: 76) secara psikologis keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan dan saling menyerahkan diri. Keluarga dikatakan lengkap atau utuh apabila disamping lengkap anggotanya, juga dirasakan lengkap oleh anggotanya terutama anak-anaknya. Jika dalam keluarga terjadi kesenjangan hubungan, perlu diimbangi dengan kualitas dan intensitas hubungan sehingga ketidakadaan ayah atau ibu dirumah tetap dirasakan kehadirannya dan dihayati secara psikologis. Ini diperlukan agar pengaruh, arahan, bimbingan dan sistem nilai yang direalisasikan orang tua senantiasa tetap dihormati, mewarnai sikap dan pola perilaku anak (Shochib, 2008: 18). Orang tua yang lengkap berarti bahwa keluarganya utuh sehingga mampu menjalin komunikasi. Komunikasi merupakan unsur paling penting dalam keluarga. Tanpa adanya komunikasi hubungan antar anggota keluarga tidak akan harmonis. Sebagai tempat kesenjangan, di dalam keluarga sering terjadi kesenjangan antar orangtua dan anak-anak atau antar anak dengan saudarasaudaranya. Khususnya pada anak yang menjelang usia remaja, mereka mulai membeda-bedakan dirinya dengan saudara-saudara yang lain. Dalam situasi inilah kadangkala mereka mengadakan pemberontakan. Orangtua perlu memperhatikan kesenjangan ini sebab anak memerlukan tempat bernaung yang aman dan orangtua seyogianya mengenal sikap anak remajanya dan memperlakukan secara wajar. Single parent menurut Bagus Haryono (2003:28-29) merupakan struktur keluarga yang terdiri dari satu orang tua dengan beberapa anak atau dengan kata lain orang yang melakukan tugas sebagai orang tua (ayah atau ibu) seorang diri karena kehilangan atau terpisah dengan pasangannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Suprayitno (2003:2) yang menyatakan single parent famly adalah keluarga yang terdiri dari salah satu orang tua dengan anak-anak akibat perceraian atau ditinggal pasangannya. Orang tua yang menjadi single parent bukan pilihan setiap orang. Ada kalanya status itu disandang karena keadaan. Diperlukan energi 6 yang besar untuk merangkap berbagai tugas. Pola asuh yang diberikan orang tua tunggal (single parent) kepada anak bergantung pada sejauh mana pemahaman orang tua itu sendiri. Ketika tidak ada pasangan untuk berbagi fungsi, orang tua tunggal cenderung membentuk sikap kemandirian kepada anak. Jika orang tua meninggal dan tidak ada penggantinya, anak-anak akan mendapat kesulitan untuk membentuk gambaran yang positif. Orang tua merupakan penentu penting untuk konsep diri. Pengertian single parent secara umum adalah orang tua tunggal. Single parent mengasuh dan membesarkan anak-anak mereka sendiri tanpa bantuan pasangan, baik itu pihak suami maupun pihak istri. Single parent memiliki kewajiban yang sangat besar dalam mengatur keluarganya. Keluarga single parent memiliki permasalahan-permasalahan paling rumit dibandingkan keluarga yang memiliki ayah atau ibu. Single parent dapat terjadi akibat kematian ataupun perceraian (Zahrotul Layliyah, 2013: 90.) Orang tua sebagai single parent harus menjalankan peran ganda untuk keberlangsungan hidup keluarganya. Single parent harus mampu mengkombinasikan dengan baik antara pekerjaan domestik dan publik. Orang tua yang berstatus single parent harus mencari uang untuk menafkahi keluarganya dan juga memenuhi kebutuhan kasih sayang keluarganya, ia haruslah melakukan perencanaan yang matang dalam menjalankan peran ganda. Keluarga dengan single parent adalah keluarga yang hanya terdiri dari satu orang tua yang dimana mereka secara sendirian membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan, tanggungjawab pasangannya dan hidup bersama dengan anak-anaknya dalam satu rumah. Single parent disebabkan oleh dua hal yaitu diinginkan (sengaja) dan tidak diinginkan (tragedi). Dalam kondisi yang sengaja, biasanya dianut oleh kaum feminist yang menginginkan kebebasan dalam menentukan komposisi suatu keluarga, dalam kondisi seperti ini biasanya wanita sudah mempersiapkan dirinya secara matang. Mereka lebih mandiri dalam segi finansial dan memiliki prinsip yang dipegang dalam menjalani kehidupannya sebagai single parent. Akan tetapi menjadi single parent juga terkadang menjadi suatu pilihan yang memang sebenarnya tidak diinginkan oleh seorang wanita atau pria itu sendiri. Single parent bisa jadi karena pasangan yang menikah tetapi tiba-tiba salah satunya meninggal dunia atau bercerai. Kondisi menjadi lebih sulit oleh pelakunya. Orangtua tunggal yang keberadaannya dalam keluarga memiliki peranan ganda, masalah pergolakan perasaan, kesiapan ekonomi, dan bagaimana menghadapi masalah dalam kehidupan sosial masyarakat (George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2010: 14). Akibat adanya single parent, struktur keluarga pun mengalami perubahan. Orangtua tunggal baik yang diemban oleh seorang ayah ataupun seorang ibu bersama anak-anaknya. Apabila kita amati memang tidak banyak pria yang terus memilih untuk menjadi orangtua tunggal setelah istinya meninggal. Diperkirakan lebih banyak istri yang bertahan untuk terus sendiri dan menjadi orangtua tunggal dibandingkan suami. Ini semua sangat dipengaruhi oleh stereotip peran gender yang sangat memisahkan peran ibu sebagai pengasuh anak yang utama dan peran ayah adalah pencari nafkah keluarga. Jadi, masyarakat sering memandang adanya ketidakpantasan dan tidak mampu bila ayah saja yang mengasuh anak-anak. 7 Keluarga tidak utuh memiliki pengaruh negatif bagi perkembangan anak. Dalam masa perkembangan seorang anak membutuhkan suasana keluarga yang hangat dan penuh kasihsayang. Di dalam keluarga yang tidak utuh kebutuhan ini tidak didapatkan secara memuaskan. Anak yang diasuh oleh ibu tunggal kehilangan figurayah dalam keluarga. Hilangnya figur ayah akibat perceraian mengakibatkan anak kehilangan tokoh identifikasi. Tokoh tempat anak belajar bertingkah laku menjadi berkurang (Yuni Retnowati, 2008: 200). Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan motif afiliasi pada siswa yang orang tuanya lengkap dengan yang single parent pada siswa SMK Negeri 1 Wonosegoro Tahun Pelajaran 2015/2016. METODE PENELITIAN Lokasi penelitian ini adalah di SMKN 1 Wonosegoro dengan waktu penelitian yaitu bulan Januari 2016 sampai dengan Februari 2016. Metode penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif dengan jenis komparatif. Populasi penelitian seluruh siswa kelas 2 SMK N 1 Wonosegoro yang terdiri dari 9 kelas dengan jumlah populasi adalah 209 siswa. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling, yaitu peneliti mengambil sampel yang didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya, dalam hal ini adalah siswa yang mempunyai tingkat kepercayaan diri yang rendah, hal ini dapat diketahui dari hasil observasi yaitu siswa dengan orang tua lengkap dan siswa yang single parent. Sampel penelitian siswa kelas II SMK Negeri 1 Wonosegoro yang diambil 3 kelas dengan jumlah sampel sebanyak 95 siswa. Variabel bebas (independent). Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu keluarga dimana keluarga ini terdiri dari keluarga lengkap dan keluarga single parent. Variabel terikat (dependent) Varibel terikat atau dependent pada penelitian ini yaitu motif afiliasi antara siswa dari keluarga lengkap dengan siswa dari keluarga single parent. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner, wawancara, studi pustaka dan observasi. Teknik analisis data menggunakan uji independent sample t-test Kriteria pengujian dengan tingkat signifikansi (α) sebesar 5% (0,05) adalah : 1. Apabila p value > 0,05 maka tidak terdapat perbedaan motif afiliasi pada siswa yang orang tuanya single parent dengan yang lengkap pada siswa SMK Negeri 1 Wonosegoro Tahun Pelajaran 2015/2016. 2. Apabila p value < 0,05 maka terdapat perbedaan motif afiliasi pada siswa yang orang tuanya single parent dengan yang lengkap pada siswa SMK Negeri 1 Wonosegoro Tahun Pelajaran 2015/2016. 8 HASIL DAN PEMBAHASAN Data dalam penelitian ini diperoleh dari hasil kuesioner atau jawaban angket mengenai motif afiliasi siswa di SMK Negeri 1 Wonosegoro sebanyak 95 siswa. Adapun deskriptif statistik masing-masing variabel adalah sebagai berikut : Tabel 1. Statistik Deskriptif Variabel Penelitian Variabel N Min Max Mean Std. Dev Motif afiliasi orang tua lengkap 67 67.00 89.00 79,73 4.74 Motif afiliasi orang tua single 28 69.00 83.00 76,96 4.01 parent Data skor motif afiliasi diperoleh melalui angket yang diberikan kepada siswa kelas II SMK Negeri 1 Wonosegoro. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa skor terendah variabel motif afiliasi orang tua lengkap adalah 67, skor tertinggi 89, mean 79,73 dengan standar deviasi 4,74. Data skor motif afiliasi diperoleh melalui angket yang diberikan kepada siswa kelas II SMK Negeri 1 Wonosegoro. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa skor terendah variabel motif afiliasi orang tua single parent adalah 69, skor tertinggi 83, mean 76,96 dengan standar deviasi 4,01. Sebelum pengujian bivariat dilakukan uji normalitas untuk menentukan jenis analisis statistik yang digunakan, bila data berdistribusi normal menggunakan uji statistik parametrik dan bila data berdistribusi tidak normal dilakuan uji non parametrik. Uji normalitas data dapat menggunakan Kolmogorov Smirnov. Kriteria uji normalitas adalah apabila p value > 0,05 maka sebaran data dikatakan mendekati distribusi normal atau normal (Imam Ghozali, 2009 : 218). Pengujian uji normalitas menggunakan program SPSS. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Variabel Motif afiliasi orang tua lengkap Motif afiliasi orang tua single parent p value 0,070 0,188 α 0,05 0,05 Kesimpulan terdistribusi normal terdistribusi normal Hasil uji normalitas dengan kolmogorov smirnov diketahui bahwa nilai p value motif afiliasi orang tua lengkap sebesar 0070 > 0,05 sehingga data terdistribusi normal dan p value motif afiliasi orang tua single parent 0,188 > 0,05 sehingga data terdistribusi normal maka digunakan statistik parametrik yaitu uji independent sample t test. Uji ini digunakan untuk menguji hipotesis dua sampel independen. Analisis ini digunakan untuk mengetahui perbedaan motif afiliasi pada siswa yang orang tuanya single parent dengan yang lengkap pada siswa kelas II SMK Negeri 1 Wonosegoro Tahun Pelajaran 2015/2016. Uji independent sample t-test dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer program SPSS. 1. Dari hasil analisis dengan program SPSS dapat diketahui bahwa rata-rata motif afiliasi orang tua lengkap adalah 79,73 sedangkan rata-rata motif afiliasi pada orang tua single parent adalah 76,96 2. Pengujian Varian Dua Sampel 9 a. Penentuan Hipotesis : Ho : Kedua sampel mempunyai varian yang sama Ha : Kedua sampel mempunyai varian yang berbeda b. Pengambilan keputusan Jika F hitung < F tabel atau p value > 0,05 maka Ho diterima Jika F hitung > F tabel atau p value < 0,05 maka Ho ditolak. Dari hasil perhitungan dapat diketahui bahwa harga mempunyai p value sebesar 0,534 > 0,05 maka Ho diterima, artinya varian kedua sampel adalah sama. c. Pengujian rata-rata dua sampel Oleh karena kedua sampel mempunyai varian yang sama maka pengujian terhadap nilai rata-rata menggunakan dasar equal variance assumed (diasumsikan kedua sampel mempunyai varian yang sama). Langkahlangkah pengujian adalah sebagai berikut : 1) Menentukan Ho dan Ha artinya tidak terdapat perbedaan motif afiliasi pada Ho : µ d = 0, siswa yang orang tuanya lengkap dengan yang single parent pada siswa kelas II SMK Negeri 1 Wonosegoro Tahun Pelajaran 2015/2016 Ha : µ d ≠ 0, Ada perbedaan motif afiliasi pada siswa yang orang tuanya lengkap dengan yang single parent pada siswa kelas II SMK Negeri 1 Wonosegoro Tahun Pelajaran 2015/2016 2) Level of significance yang digunakan (α) adalah 0,05 atau 5% Kriteria pengujian Ho diterima apabila : –1,96 < t hitung < 1,96 Ho ditolak apabila : t hitung > 1,96 atau t hitung < -1,96 Atau : Ho diterima apabila p value ≥ 0,05 Ho ditolak apabila p value < 0,05 3) Kesimpulan Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan komputer program SPSS diperoleh nilai t hitung dengan equal variances assumed (diasumsikan kedua varians sama) adalah sebesar 2,706 dengan p value 0,008 < 0,05, artinya terdapat perbedaan motif afiliasi pada siswa yang orang tuanya lengkap dengan yang single parent pada siswa kelas II SMK Negeri 1 Wonosegoro Tahun Pelajaran 2015/2016. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar sebagai berikut : 10 Daerah tolak Ho/Penerimaan Ha Daerah tolak Ho /Penerimaan Ha Daerah terima Ho/penolakan Ha -1,96 1,96 2,706 Berdasarkan hasil perhitungan dapat diperoleh bahwa nilai t hitung adalah sebesar 2,706 > dari nilai t tabel yaitu 1,96 atau p value sebesar 0,008 < 0,05. Ini berarti Ho ditolak dan ha diterima sehingga ada perbedaan motif afiliasi pada siswa yang orang tuanya lengkap dengan yang single parent pada siswa kelas II SMK Negeri 1 Wonosegoro Tahun Pelajaran 2015/2016 sehingga hipotesis dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa “terdapat perbedaan motif afiliasi pada siswa yang orang tuanya lengkap dengan yang single parent pada siswa SMK Negeri 1 Wonosegoro Tahun Pelajaran 2015/2016” terbukti kebenarannya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa keberadaan orang tua mempunyai arti penting dalam perkembangan pendidikan maupun sosial. Keberadaan orang tua utuh (lengkap) dengan orang tua tunggal (single parent) akan berbeda, jika orang tua utuh menjadi dua figur untuk anak yaitu ayah dan ibu, maka orang tua tunggal akan menjadi satu–satunya figur dalam kehidupan keluarga yang menjadi modeling bagi anak. Tentunya hal ini akan memberikan dampak yang cukup signifikan dalam dunia pendidikan jika satu orang tua menjalankan dua peran sekaligus yaitu sebagai ayah dan ibu. Kebutuhan afiliasi merupakan kebutuhan untuk membentuk pertemanan dan untuk bersosialisasi, untuk berinteraksi secara dekat dengan orang lain, untuk bekerja sama dan berkomunikasi dengan orang lain dengan cara bersahabat, dan untuk jatuh cinta. Motif afiliasi pada dasarnya merupakan kebutuhan manusia yang teramat kuat dan harus dipenuhi sesering mungkin. Hal ini karena ia beranggapan bahwa kebutuhan manusia akan berhubungan sosial dengan orang lain bukan hanya sebatas bertemu saja. Motif afiliasi dapat timbul apabila di rumah sudah terbiasa berkomunikasi dengan baik di rumah. Hal tersebut sesuai dengan fungsi keluarga menurut Friedman (2004:17) yaitu sebagai fungsi afektif dan fungsi sosial. Fungsi afektif (The Affective Function) adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain. Fungsi ini dibutuhkan untuk perkembangan individu dan psikososial anggota keluarga sedangkan fungsi sosialisasi yaitu proses perkembangan dan perubahan yang dilalui individu yang menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan dalam lingkungan sosialnya. Sosialisasi dimulai sejak lahir. Fungsi ini berguna untuk membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak dan dan meneruskan nilai-nilai budaya keluarga. 11 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata motif afiliasi orang tua lengkap adalah 79,73 sedangkan rata-rata motif afiliasi pada orang tua single parent adalah 76,96, hal tersebut menunjukkan bahwa motif afiliasi pada keluarga yang lengkap lebih tinggi daripada motif afiliasi pada siswa dengan keluarga single parent. 2. Hasil perhitungan dengan independent sample t-test diperoleh nilai t hitung sebesar 2,706 dengan p value 0,008 < 0,05, artinya terdapat perbedaan motif afiliasi pada siswa yang orang tuanya lengkap dengan yang single parent pada siswa kelas II SMK Negeri 1 Wonosegoro Tahun Pelajaran 2015. Saran Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut : 1. Bagi Siswa Siswa hendaknya tetap mempertahankan hubungan dengan teman-temannya dengan cara lebih menyesuaikan diri lagi dalam berbagai aktivitas sosial, baik dengan teman yang dekat maupun dengan teman-teman sekolah, dengan harapan agar tidak kesepian dan mempunyai motif afiliasi yang baik sehingga dapat membentuk motif sosial yang baik pula. 2. Bagi Orang Tua Orang tua hendaknya sering berkomunikasi dengan anak-anaknya misalnya bertanya tentang kegiatan sehari-hari di sekolah ataupun hambatan yang dihadapi saat sekolah, sehingga terbentuk komunikasi yang baik antara orang tua dengan anak dan akan menimbulkan sikap yang lebih terbuka, sehingga membuat anak merasa nyaman saat berada dengan orang tua. 2. Bagi Peneliti Selanjutnya Peneliti selanjutnya hendaknya melakukan penelitian lanjutan dengan mengetahui faktor lain yang dapat meningkatkan motif afiliasi siswa sehingga didapatkan hasil yang lebih variatif guna mengembangkan landasan teori yang lebih lengkap serta diperoleh hasil penelitian terbaru. DAFTAR PUSTAKA Adim Indilla Dany. 2015. Pengaruh Kebutuhan Prestasi, Kekuasaan, Dan Afiliasi Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Pada Karyawan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Cabang Batu). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)| Vol. 24 No. 2. Bagus Haryono, 2003. Sosiologi Keluarga. Surakarta : Jurnal Sosiologi. Chaplin, C.J. 2006. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 12 Galuh Jurniarto dan Siti Aminah. 2013. Pengaruh Kebutuhan Akan Prestasi, Kebutuhan Afiliasi, Kebutuhan Dominasi Dan Kebutuhan Otonomi Terhadap Kesuksesan Entrepreneur Wanita Di Kota Semarang. Jurnal Ilmiah Dinamika Ekonomi Dan Bisnis. Vol. 1 No. 2 George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta : Kreasi Wacana. Friedman, Marilyn M. 2004. Keperawatan Keluarga: Teori Dan Praktik. Jakarta: EGC.. Friskadia Putri Ekinasmara dan Hermien Laksimawati, 2013, Hubungan Konsep Diri Dan Kebutuhan Berafiliasi Dengan Penyesuaian Sosial Siswa SMPN 8 Madiun. Character, Volume 01, Nomor 02 Malayu SP. Hasibuan. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi, Jakarta : Bumi Aksara. Sardiman, AM. 2007. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Shochib. 2008. Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri. Rineka Cipta. Jakarta. Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Suprayitno. 2003. Asuhan Keperawatan Keluarga : Aplikasi dalam praktek. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran (EGC).. Tri Nurmala Dewi dan Joko Kuncoro, 2011. Kebutuhan Berafiliasi, Introversi Kepribadian Serta Ketergantungan Pada Facebook Pada Mahasiswa, Jurnal Psikologi Proyeksi, Vol 6 No 2 Winardi. 2009. Motivasi dan Pemotivasian. Jakarta: Penerbit Raja Grafindo Yuni Retnowati. 2008. Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal Dalam Membentuk Kemandirian Anak. Jurnal Akademi Komunikasi Indonesia. Volume 6, No.3. Zahrotul Layliyah, 2013. Perjuangan Hidup Single Parent. Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, 13