bab 12 peningkatan kualitas kehidupan dan peran perempuan serta

advertisement
BAB 12
PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN
DAN PERAN PEREMPUAN SERTA KESEJAHTERAAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Permasalahan mendasar dalam pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak yang terjadi
selama ini adalah rendahnya partisipasi perempuan dan anak dalam pembangunan, di samping masih
adanya berbagai bentuk praktek diskriminasi terhadap perempuan. Permasalahan lainnya mencakup
kesenjangan partisipasi politik kaum perempuan yang bersumber dari ketimpangan struktur sosiokultural masyarakat yang diwarnai penafsiran terjemahan ajaran agama yang bias gender. Dalam
konteks sosial, kesenjangan ini mencerminkan masih terbatasnya akses sebagian besar perempuan
terhadap layanan kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan keterlibatan dalam
kegiatan publik yang lebih luas.
A. PERMASALAHAN
Rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan. Masalah utama dalam pembangunan
pemberdayaan perempuan adalah rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, terutama di
bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik. Data Susenas 2003 menunjukkan bahwa,
penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah jumlahnya dua kali
lipat penduduk laki-laki (11,56 persen berbanding 5,43 persen). Penduduk perempuan yang buta
huruf sekitar 12,28 persen, sedangkan penduduk laki-laki yang buta huruf sekitar 5,84 persen. Pada
tahun 2000, angka kematian ibu melahirkan masih tertinggi di ASEAN, yaitu 307 per 100.000
kelahiran hidup. Prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil juga masih tinggi yaitu sekitar 50,9 persen
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001. Berdasarkan Susenas 2003, tingkat partisipasi
angkatan kerja (TPAK) perempuan masih relatif rendah yaitu 44,81 persen, dibandingkan dengan
laki-laki (76,12 persen). Di bidang politik, meskipun Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilu mengamanatkan keterwakilan 30 persen perempuan di lembaga legislatif, namun hasil Pemilu
2004 masih menunjukkan rendahnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, yaitu
keterwakilan perempuan di DPR hanya 11,6 persen dan di DPD hanya 19,8 persen (data Komisi
Pemilihan Umum). Pada tahun 2003, rendahnya keterlibatan perempuan dalam jabatan publik juga
dapat dilihat dari rendahnya persentase perempuan PNS yang menjabat sebagai Eselon I, II, dan III
(12 persen). Sementara itu, peran perempuan di lembaga judikatif juga masih rendah, yaitu masingmasing sebesar 16,2 persen dan 3,4 persen sebagai hakim di Peradilan Umum dan di Peradilan Tata
Usaha Negara, serta 17 persen sebagai Hakim Agung pada tahun 2000 (data Badan Kepegawaian
Negara, 2003).
Tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tindak kekerasan terhadap
perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Meskipun banyak
upaya telah dilakukan oleh pemerintah, seperti penyusunan Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan (RAN-PKTP), pembangunan pusat-pusat krisis terpadu di rumah
sakit, pembangunan ruang pelayanan khusus (RPK) di Polda dan Polres serta pusat pelayanan
terpadu pemberdayaan perempuan (P2TP2) di daerah, dan penyebaran informasi dan kampanye anti
kekerasan terhadap perempuan dan anak, namun kesemua upaya tersebut belum cukup untuk
menekan tingginya tindak kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak. Data yang akurat
Bagian III.12 – 1
belum tersedia, karena banyak kasus-kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak
yang tidak dilaporkan, dengan anggapan bahwa masalah tersebut adalah masalah domestik keluarga
yang tidak perlu diketahui orang lain. Data Pusat Krisis Terpadu (PKT) RS Cipto Mangunkusumo
yang didirikan pada tahun 2000 menunjukkan, bahwa jumlah kasus kekerasan terus meningkat, yaitu
dari sekitar 226 kasus pada tahun 2000 menjadi 655 kasus pada tahun 2003. Dari jumlah kasus
tersebut, hampir 50 persen adalah korban kekerasan seksual; sekitar 47 persen korban adalah anakanak (di bawah usia 18 tahun); dan sekitar 74 persen korban berpendidikan SD hingga SLTA.
Rendahnya kesejahteraan dan perlindungan anak. Upaya pemerintah yang telah dilakukan
selama ini belum sepenuhnya mampu meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak. Di bidang
pendidikan (Susenas 2003), angka partisipasi sekolah (APS) anak usia 7–12 tahun, 13–15 tahun, dan
16–18 tahun masing-masing 96,4 persen, 81,0 persen, dan 51,0 persen. Pada tahun yang sama, anak
usia 3–4 tahun dan 5–6 tahun yang mengikuti pendidikan prasekolah masing-masing hanya sekitar
12,78 persen dan 32,39 persen. Di bidang kesehatan, angka kematian bayi, angka kematian balita,
prevalensi gizi kurang pada anak balita, dan prevalensi GAKY pada anak SD masih tinggi (lihat Bab
28 Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Kesehatan yang Berkualitas). Sementara itu, masalah
perlindungan anak antara lain dapat dilihat dari masih banyaknya pekerja anak. Berdasarkan Sakernas
2003, persentase anak yang bekerja sekitar 5,6 persen dari jumlah anak umur 10–14 tahun; dan
sebagian terbesar dari mereka bekerja lebih dari 35 jam/minggu (73,1 persen) dan bekerja di sektor
pertanian (72,0 persen). Menurut hasil studi Hull dkk. (1997) dan Farid (1999), anak yang dilacurkan
mencapai sekitar 30 persen dari total prostitusi (40.000–70.000 atau bahkan lebih). Di samping itu,
sekitar 60 persen anak tidak memiliki akte kelahiran (Susenas 2001). Kebutuhan tumbuh-kembang
anak juga belum sepenuhnya menjadi pertimbangan utama dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan. Hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya partisipasi anak dalam proses
pembangunan, dan banyaknya kegiatan pembangunan yang belum sepenuhnya peduli anak.
Kesenjangan pencapaian pembangunan antara perempuan dan laki-laki. Angka GDI
(Gender-related Development Index) mengukur pencapaian dari dimensi dan indikator yang sama dengan
HDI (Human Development Index), namun dengan memperhitungkan kesenjangan pencapaian antara
perempuan dan laki-laki. GDI adalah HDI yang disesuaikan oleh adanya kesenjangan gender,
sehingga selisih yang semakin kecil antara GDI dan HDI menyatakan semakin kecilnya kesenjangan
gender. Berdasarkan Indonesia Human Development Report 2004, angka HDI 65,8 dan angka GDI
59,2. Tingginya angka HDI dibandingkan dengan angka GDI menunjukkan, bahwa keberhasilan
pembangunan sumber daya manusia secara keseluruhan belum sepenuhnya diikuti dengan
keberhasilan pembangunan gender, atau masih terdapat kesenjangan gender. Ukuran lain dalam
pembangunan pemberdayaan perempuan adalah GEM (Gender Empowerment Measurement), yang
menitikberatkan pada partisipasi, dengan cara mengukur ketimpangan gender di bidang ekonomi
(perempuan dalam angkatan kerja dan rata-rata upah di sektor non-pertanian), politik (perempuan di
parlemen) dan pengambilan keputusan (perempuan pekerja profesional, pejabat tinggi, dan manajer).
Angka GEM Indonesia pada tahun 2002 adalah 54,6, yaitu ranking ke-33 dari 71 negara yang diukur.
Banyaknya hukum dan peraturan perundang-undangan yang bias gender, diskriminatif
terhadap perempuan, dan belum peduli anak. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini
masih banyak yang bias gender dan atau diskriminatif terhadap perempuan. Perangkat hukum pidana
yang ada belum cukup lengkap dalam melindungi setiap individu, terutama dari tindak kekerasan
dalam rumah tangga. Di samping itu, peraturan perundang-undangan yang ada juga belum
dilaksanakan secara konsekuen untuk menjamin dan melindungi hak-hak perempuan dan anak,
termasuk memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak dari tindak kekerasan, diskriminasi,
dan eksploitasi.
Bagian III.12 – 2
Lemahnya kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak, termasuk
ketersediaan data dan rendahnya partisipasi masyarakat. Sejalan dengan era desentralisasi,
timbul masalah kelembagaan dan jaringan di daerah (propinsi dan kabupaten/kota), terutama yang
menangani masalah-masalah pemberdayaan perempuan dan anak. Karena program-program
pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak merupakan program lintasbidang, maka
diperlukan koordinasi di tingkat nasional dan daerah, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan dan
evaluasi, termasuk dalam pemenuhan komitmen internasional (seperti Convention on the Elimination of
All Forms of Discriminations Against Women, Beijing Platform for Action, Convention on the Rights of the Child,
dan World Fit for Children). Masalah lainnya adalah belum tersedianya data pembangunan yang
terpilah menurut jenis kelamin, sehingga sulit dalam menemukenali masalah-masalah gender yang
ada. Partisipasi masyarakat belum maksimal dalam meningkatkan kualitas hidup perempuan dan
meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak.
B. SASARAN
Sasaran pembangunan yang hendak dicapai pada tahun 2004–2009 dalam rangka peningkatan
kualitas kehidupan dan peran perempuan serta kesejahteraan dan perlindungan anak adalah:
1. Terjaminnya keadilan gender dalam berbagai perundangan, program pembangunan, dan
kebijakan publik;
2. Menurunnya kesenjangan pencapaian pembangunan antara perempuan dan laki-laki, yang
diukur oleh angka GDI dan GEM;
3. Menurunnya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak; serta
4. Meningkatnya kesejahteraan dan perlindungan anak.
C. ARAH KEBIJAKAN
Dengan adanya kondisi yang bersifat kultural (terkait dengan nilai-nilai budaya patriarkal) dan
sekaligus bersifat struktural (dimapankan oleh tatanan sosial politik yang ada) tersebut, maka
diperlukan tindakan pemihakan yang jelas dan nyata guna mengurangi kesenjangan gender di
berbagai bidang pembangunan. Untuk itu, diperlukan kemauan politik yang kuat agar semua
kebijakan dan program pembangunan memperhitungkan kesetaraan dan keadilan gender, serta
peduli anak. Prioritas dan arah kebijakan pembangunan yang akan dilakukan adalah:
1. Meningkatkan keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik;
2. Meningkatkan taraf pendidikan dan layanan kesehatan serta bidang pembangunan lainnya, untuk
mempertinggi kualitas hidup dan sumber daya kaum perempuan;
3. Meningkatkan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak;
4. Menyempurnakan perangkat hukum pidana yang lebih lengkap dalam melindungi setiap
individu dari berbagai tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi, termasuk kekerasan dalam
rumah tangga;
5. Meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak; dan
6. Memperkuat kelembagaan, koordinasi, dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak dalam
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari berbagai kebijakan, program, dan
kegiatan pembangunan di segala bidang, termasuk pemenuhan komitmen-komitmen
internasional, penyediaan data dan statistik gender, serta peningkatan partisipasi masyarakat.
Bagian III.12 – 3
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN
1.
PROGRAM PENINGKATAN KUALITAS HIDUP DAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN
Tujuan program ini untuk meningkatkan kualitas hidup, peran, dan kedudukan perempuan di
berbagai bidang kehidupan dan pembangunan; dan meningkatkan perlindungan bagi perempuan
terhadap berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
7.
Kegiatan pokok yang dilakukan antara lain:
Peningkatan kualitas hidup perempuan melalui aksi afirmasi, terutama di bidang pendidikan,
kesehatan, hukum, ketenagakerjaan, sosial, politik, lingkungan hidup, dan ekonomi;
Peningkatan upaya perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, eksploitasi dan
diskriminasi, termasuk upaya pencegahan dan penanggulangannya;
Pengembangan dan penyempurnaan perangkat hukum dan kebijakan peningkatan kualitas hidup
dan perlindungan perempuan di berbagai bidang pembangunan di tingkat nasional dan daerah;
Pelaksanaan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) peningkatan kualitas hidup dan
perlindungan perempuan di tingkat nasional dan daerah;
Penyusunan sistem pencatatan dan pelaporan, dan sistem penanganan dan penyelesaian kasus
tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi terhadap perempuan;
Pembangunan pusat pelayanan terpadu berbasis rumah sakit dan berbasis masyarakat di tingkat
propinsi dan kabupaten/kota sebagai sarana perlindungan perempuan korban kekerasan,
termasuk perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga; dan
Peningkatan peran masyarakat dan media dalam penanggulangan pornografi dan pornoaksi.
2.
PROGRAM PENINGKATAN KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Tujuan program ini untuk meningkatkan kesejahteraan anak dan mewujudkan anak Indonesia
yang sehat, cerdas, ceria, dan berakhlak mulia; serta melindungi anak terhadap berbagai bentuk
kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Kegiatan pokok yang dilakukan antara lain:
Pengembangan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalam rangka
pemenuhan hak-hak anak, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, hukum, dan
ketenagakerjaan, di tingkat nasional dan daerah;
Pelaksanaan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) peningkatan kesejahteraan dan
perlindungan anak;
Pelaksanaan kebijakan dan peraturan perundang-undangan untuk menjamin dan melindungi
hak-hak anak;
Peningkatan upaya-upaya dalam rangka pemenuhan hak-hak anak, seperti penyediaan akte
kelahiran dan penyediaan ruang publik yang aman untuk bermain;
Pengembangan mekanisme perlindungan bagi anak dalam kondisi khusus, seperti bencana alam
dan sosial (termasuk konflik);
Pengembangan sistem prosedur penanganan hukum yang ramah anak, termasuk peningkatan
upaya perlindungan khusus terhadap anak dalam situasi darurat, konflik dengan hukum,
eksploitasi, trafiking, dan perlakuan salah lainnya;
Pembentukan wadah-wadah guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat dan harapan anak
sebagai bentuk partisipasi anak dalam proses pembangunan; dan
Pelaksanaan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang anak di
tingkat nasional dan daerah.
Bagian III.12 – 4
3.
PROGRAM PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DAN ANAK
Tujuan program ini untuk memperkuat kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender
(PUG) dan anak (PUA) di berbagai bidang pembangunan, di tingkat nasional dan daerah.
1.
2.
3.
4.
4.
Kegiatan pokok yang dilakukan antara lain:
Pengembangan materi dan pelaksanaan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kesetaraan
dan keadilan gender, dan kesejahteraan dan perlindungan anak;
Peningkatan kapasitas dan jaringan kelembagaan pemberdayaan perempuan dan anak di tingkat
propinsi dan kabupaten/kota, termasuk Pusat Studi Wanita/Gender, dan lembaga-lembaga
penelitian, pemerhati dan pemberdayaan anak;
Penyusunan berbagai kebijakan dalam rangka penguatan kelembagaan PUG dan PUA, di tingkat
nasional dan daerah; dan
Penyusunan mekanisme perencanaan, pemantauan, dan evaluasi PUG dan PUA di tingkat
nasional dan daerah.
PROGRAM KESERASIAN KEBIJAKAN PENINGKATAN KUALITAS ANAK DAN PEREMPUAN
Tujuan program ini untuk mewujudkan keserasian kebijakan di berbagai bidang pembangunan
dalam rangka peningkatan kualitas anak dan perempuan, di tingkat nasional dan daerah.
1.
2.
3.
4.
Kegiatan pokok yang dilakukan antara lain:
Analisis dan revisi peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan, bias
gender, dan belum peduli anak;
Penyusunan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk meningkatkan
kualitas hidup perempuan dan melindungi perempuan dan hak-hak anak;
Pelaksanaan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kebijakan dan peraturan perundangundangan tentang perempuan dan anak; dan
Koordinasi perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan peraturan
perundangan, dan program pembangunan pemberdayaan perempuan dan kesejahteraan dan
perlindungan anak, di tingkat nasional dan daerah.
Bagian III.12 – 5
Download