KONSEP KESETARAAN GENDER DALAM

advertisement
KONSEP KESETARAAN GENDER DALAM
PEMIKIRAN ISLAM
(Sebuah Pendekatan Autokritik)
Nursyam*
Abstract
In the Western world, many people who see Islam as a
religion that discriminate against women. Islam puts
women in a position considered second only in men. In
fact, in its essence Islam upholds the equality of men and
women in rights and obligations. Rights and obligations
is always the same for both sexes it. Islam emphasizes the
concept of justice for anyone, for anyone regardless of
their gender. Islam is a religion that has freed people from
the tyranny of slavery, upholding equal rights and never
promote and highlight one particular sex. Present Islam as
a religion that spread compassion for anyone.
Kata Kunci: gender, kesetaraan, pemikiran Islam, autokritik
Pendahuluan
Konsep gender dalam Islam berakar pada paradigma bahwa
secara teologis, perempuan dan laki-laki diciptakan dari asal yang
sama, karenanya keduanya memiliki kualitas kemanusiaan yang
sederajat. Namun demikian, dalam konstalasi pemikiran Islam, ada
tiga pandangan yang berkembang, pandangan konservatif yang
bernuansa patriarkhis, pandangan moderat yang berbasis pada
paradigma keseimbangan dan keadilan dan pandangan liberal yang
mencoba mendekonstruksi konsep konsep religiusitas yang dipandang
merugikan pihak perempuan.Namun jika merujuk pada sejarah dan
filosofi penciptaan, perempuan dengan kualitas femininitanya dan
laki-laki dengan maskulinitasnya memang harus diakui memiliki
kekhasan masing-masing.Justru karena kekhasan tersebut, keduanya
216 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 215-232
komplementer karena merupakan wujud dualitas makrokosmos yang
akhirnya menciptakan keseimbangan.1
Gender pada hakekatnya adalah sebuah terma yang digunakan
untuk membedakan peran antara laki-laki dan perempuan, hasil dari
rekayasa manusia sebagai akibat pengaruh sosial budaya masyarakat
yang tidak bermakna kodrati. Di dalam Women’s Studies
Encyclopedia disebutkan gender adalah suatu konsep kultural yang
berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, prilaku,
mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang di dalam masyarakat. Tidak dipungkiri,
bahwa acapkali muncul relasi problematik antara perempuan dan lakilaki.Bukan perbedaan alamiah keduanya tapi implikasi yang tercipta
dari perbedaan tersebut.Hampir tidak ada isu psikologis apapun yang
begitu kontroversial dan kompleks dibandingkan dengan isu ini.2
Konsep Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Islam
Dalam konsep kesetaraan gender yang ideal memberikan
ketegasan bahwaprestasi individual, baik dalam bidang pendidikan,
spiritual maupunurusan karier profesional, tidak boleh dimonopoli
oleh salah satujenis kelamin tertentu saja. Laki-laki dan perempuan
memperolehkesempatan yang sama untuk meraih prestasi secara
optimal. Namun,dalam kenyataan masyarakat konsep ideal ini
membutuhkan tahapan dansosialisasi, karena masih terdapat sejumlah
kendala terutama kendalabudaya yang sulit diselesaikan.Dari
kenyatan empirik ini, dalam masyarakat terdapat kesan
bahwapendidikan merupakan hak istimewa laki-laki bahkan pada
tahapperkembangan pendidikan selanjutnya hal itu semakin
mencolok bahwapenguasaan teknologi dikuasai oleh lakilaki.Sementara dalam sektordomestik atau keterampilan rumah
tangga hal itu menjadi dunia "khasperempuan".Berabad-abad
lamanya tatanan ini masih terus berkembang, hinggasemakin
mengakar dan menjadi suatu hal yang biasa terjadi.Bahkantanpa
1
Sachiko Murata, The Tao of Islam, Kitab Rujukan tentang Relasi Gender
dalam Kosmologi dan Teologi Islam, (Mizan: Bandung, 2004), 32.
2
Irwan Abdullah, Sangkan Paran Gender (Cet.ke-1; Yokyakarta: Pustaka
Pelajar,2003), 45.
Nursyam: Konsep Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Islam 217
(Sebuah Pendekatan Autokritik)
disadari perempuan sendiri ikut andil didalamnya, itupunberlangsung
lama dan kemudian menjalar melalui segala aspekkehidupan,
pendidikan, politik, sosial ekonomi serta budaya.Dalam aspek
pendidikan perempuan merupakan salah satu pihak yangpaling sedikit
tersentuh di dalampembaharuan pemikiran Islam.Dalamberbagai data
menunjukkan betapa timpangnya antara ilmuwan laki-laki, dan
ilmuwan perempuan dalam lintasan sejarah dunia Islam.Seolaholahdunia pendidikan adalah dunianya kaum laki-laki. Sementara
kaumperempuan mereka dituntut untuk berilmu pengetahuan hanya
sekedarmelampaui batas buta huruf atau supaya dapat mengimbangi
kadarintelektual kaum laki-laki.3
Hal ini terbukti menurut intelektual Palestina Dr. Ghada
Karmisebagaimana dikutip oleh Faridi dalam Artikelnya
Ketertinggalan.Perempuan melaporkan bahwa : "Disektor pendidikan
perempuan jauhketinggalan baik dari tingkat kebutaakasaraan
terlebih partisipasinya. pada lembaga pendidikan formal. Dalam
kebutaaksaraan, kondisi Somaliamerupakan negara terparah, sebab 80
persen dariperempuan dewasanyabuta huruf.di Iraq dan Libia, tingkat
kebutaaksaraan mencapai 51persen, di kuwait 33 persen".4
Realitas menunjukkan bahwa kaum perempuan dalam kuantitas
dan jenjangpendidikan ada perbedaan dari kaum laki-laki yaitu
semakin tinggitingkat pendidikan, semakin terbatas jumlah sekolah
yang tersedia dansemakin mahal biaya yang harus dikeluarkan
khususnya di daerahpedesaan. Besarnya ongkos sekolah ini menjadi
hambatan, terutamauntuk mereka yang miskin dan pada keluarga
miskin orang tua lebihmemilih menyekolahkan anak laki-laki dari
pada anak perempuan, karenatenaga perempuan lebih banyak
dibutuhkan di rumah dan seolah-olahperempuan hanya ditempatkan
di dapur, memasak, mencuci dan mengasuhanak serta ikut suami
setelah mereka menikah.5
Oleh karena itu berbicara gender berarti bicara tentang sebuah
konsepsi yang menunjuk pada suatu sistem peranan dan hubungan
3
Wijdan Aden SZ, dkk, Pemikiran dan Peradaban, (Cet. ke-1; Yokyakarta:
Safirian Insania Press,2007), 35
4
Jawa pos, Minggu 14, 2002:4
5
Agus Purwadi, Islam dan problem Gender (Cet. ke-1; Yokyakarta: Aditya
Media, 2000), 19
218 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 215-232
antara perempuan dan laki-laki yang tidak ditentukan oleh perbedaan
biologis semata melainkan juga oleh lingkungan sosial, politik dan
juga ekonomi. Hal ini perlu ditegaskan guna membedakan segala
sesuatu yang normatif dan biologis dan segala sesuatu yang
merupakan konstruksi sosial budaya dalam bentuk proses
kesepakatan normatif dan sosial yang dapat ditransformasikan.
Ambivalensi yang dihadapi publik tentang isu-isu gender semakin
kompleks ketika dihadapkan pada sebuah fenomena masa kini. Wajar
jika di lingkar pegiat feminis sendiri terdapat dua pandangan yang
saling mengcounter.Pertama, yang berpandangan bahwa gender
adalah konstruksi sosial, sehingga perbedaan jenis kelamin tidak
perlu mengakibatkan perbedaan peran dan perilaku gender dalam
tataran social, karenanya segala peran dan fungsi berbau gender harus
dihilangkan. Sekelompok feminis lainnya menganggap perbedaan
jenis kelamin akan selalu berdampak terhadap konstruksi konsep
gender dalam kehidupan sosial, sehingga akan selalu ada jenis-jenis
peran berstereotip gender. Lebih lanjut, agama-agama Ibrahim
(Abrahamic Religions) terutama Islam sering dianggap sebagai salah
satu factor yang menjustifikasi paham patriarkhi yang bias
gender.Agama dipandang terlalu bersifat maskulin dan patriakhal
sehingga sering mengabaikan aspek femininitas dan peran perempuan
baik secara ritual maupun institusional.Karenanya, wacana gender
memang tidak dapat dilepaskan dari persoalan teologis – karena
memang – posisi perempuan dalam beberapa pemikiran agama
ditempatkan sebagai the second, terutama dalam persoalan asal usul
kejadian laki-laki dan perempuan, juga persoalan fungsi keberadaan
keduanya.6
Namun yang perlu dicermati adalah apakah pelanggengan
ketidakadilan gender secara luas dalam agama bersumber dari watak
agama itu sendiri ataukah justru berasal dari pemahaman, penafsiran
dan pemikiran keagamaan yang tidak mustahil dipengaruhi oleh
tradisi dan kultur patriarkhi ataupun pandangan-pandangan lainnya.
Karena itulah, sebuah keniscayaan, untuk kembali menelusuri ajaranajaran Islam yang autentik, karena Islam sejak awal, memiliki konsep
6
Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci, Kritik atas Hadist-hadist
Shahi, (Yokyakarta: {ilar Religia, 2005) 30.
Nursyam: Konsep Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Islam 219
(Sebuah Pendekatan Autokritik)
yang sangat matang dalam memposisikan perempuan yang didasari
atas tuntunan moral dasar Islam itu sendiri yang ditercantumkan di
dalam Al Quran maupun hadits, justru disaat agama-agama lain
hingga saat ini masih berselisih pendapat dalam menetapkan hukum
perempuan dan kemanusiaanya.
BeberapaPandangan Tentang Diskursus Gender
Secara empirik persoalan gender oleh sebagian pandangan umat
Islam diasosiasikan sebagai the nature yang tak bisa diubah karena
sifatnya yang taken for granted , namun oleh sebagian lainnya justru
diasumsikan sebagai the nuture yang dibentuk dan dikondisikan oleh
sistem nilai dan budaya yang berlaku di masyarakat sehingga bersifat
changeable dari waktu ke waktu dan dari masyarakat ke masyarakat.
Dengan demikian tafsir genderpun dalam pemikiran Islam terderivasi
menjadi beberapa pandangan.Tidak ada homogenitas tafsir.Tidak ada
pandangan tunggal.Dan masing-masing pandangan memilki sudut
pandang tersendiri.
Pandangan Konservatif
Syariat Islam sejak kemunculannya telah berusaha mewujudkan
keadilan gender dalam masyarakat Arab yang memiliki budaya dan
tradisi patriarkhi yang sangat kuat. Upaya tersebut diwujudkan dengan
adanya aturan dan doktrin – doktrin yang berusaha mengangkat harkat
dan martabat kaum perempuan dari posisinya semula.Aturan-aturan
syariat tersebut antara lain mengecam penguburan anak perempuan,
membatasi poligami, memberikan hak waris, hak-hak sebagai isteri,
hak sebagai saksi dan hak-hak lainnya. Dengan kata lain syariat Islam
sejak semula telah memberikan hak dan peran kepada kaum
perempuan baik diwilayah domestik maupun publik. Padahal tradisi
Arab ketika itu secara umum menempatkan perempuan hampir sama
dengan hamba sahaya yang tidak memiliki hak apapun. Karena itu
dapat dilihat dari sisi ini bahwa sesungguhnya semangat dan pesan
moral Islam adalah persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan
dan berusaha menegakkan keadilan gender di tengah masyarakat.
Walaupun pesan universal Islam adalah keadilan gender, namun
banyak penafsir yang memahami teks – teks yang terdapat dalam
alQuran hadis-hanya secara tekstual, parsial dan dilepaskan dari
220 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 215-232
konteks turunnya,sehingga menghasilkan interprestasi yang bias
gender dan melahirkan aturan dan doktrin ketidakadilan gender. Hal
ini terjadi karena setelah nabi wafat, posisi sosial perempuan yang
semula membaik kembali mengalami krisis.Alih-alih stabil secara
sosial, posisi perempuan malah berbalik kembali ke nilai-nilai pra
Islam.Selain masalah menguatnya lagi tribalisme (rasa kesukuan)
Arab, pasca Nabi, Fatimah Mernisi memvonis bahwa adanya
pelepasan historis bentuk pemahaman ajaran agama terhadap
perempuan.Akibatnya sangat jelas, patriarki kembali memberi
pengaruh kuat dalam menafsirkan ajaran Islam."Perempuan kembali
tidak dipercaya," demikian tulis Mernisi dalam Women in Islam.7
Secara historis, sikap misoginis – kegusaran laki-laki atas
derajat keberadaannya yang disamakan dengan perempuan – ini telah
ada
sejak
Islam
muncul
sebagai
gerakan
reformasi
budaya.Sepeninggal Nabi, kecenderungan pada superioritas laki-laki
yang belum sepenuhnya terkikis oleh reformasi budaya Islam kembali
menguat. Hal ini tampak dari interprestasi para sahabat terhadap
beberapa ayat al Quran tentang hubungan sosial antara laki-laki dan
perempuan.Dari sekian sahabat yang dipandang mempunyai kapasitas
penafsiran yang cerdas seperti Ibnu Abbas tetap saja laki-laki
ditempatkan sebagai penguasa, pemimpin dan pengontrol
perempuan.Dominasi budaya patriarkhi mencapai puncaknya di abad
pertengahan Islam, dimana saat itu penafsiran agama yang
diskriminatif dianggap memiliki kebenaran mutlak.Imbasnya segala
produk hokum yang dihasilkan para ulama dan imam madzhab abad
pertengahan secara seragam tidak memberikan ruang gerak
sedikitpun bagi penghargaan terhadap hak perempuan seperti yang
tercantum dalam lembaran kitab-kitab kuning.Dan ironisnya, justru
kitab-kitab kuning yang sangat beraroma patriarkhis inilah yang
kemudian selama berabad abad menjadi referensi utama dalam
masyarakat Islam.
Dalam konteks ini Karen Amstrong dalam A History of God
berpendapat, “ setelah Muhammad wafat- agama Islam kemudian
7
Fatimah Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, Reflasi Lakilaki dan Perempauan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarki (Yokyakarta: LSPPA
Yayasan Prakarsa, 1995), 10.
Nursyam: Konsep Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Islam 221
(Sebuah Pendekatan Autokritik)
dibajak oleh kaum laki-laki yang menafsirkan teks-teks al Quran
dengan cara yang berpandangan negative terhadap perempuan. Oleh
karena itu begitu Islam menempati posisinya di dalam dunia
peradaban, kaum muslim mengadopsi adat Oikumene yang
menempatkan perempuan pada status warga kelas dua. Mereka
mengadopsi kebiasaan Persia dan Kristen Byzantium untuk menutup
wajah perempuan dan mengurungnya di dalam harem. Dengan cara
inilah akhirnya perempuan di dalam Islam terpinggirkan, dan sama
nasibnya dengan rekan mereka di kalangan masyarakat Yahudi dan
Nasrani”.8 Hal senada juga dikatakan Leila Ahmed dalam Women
and Gender in Islam bahwa setelah Muhammad, dimulailah proses
kematian berangsur-angsur partisipasi perempuan dalam komunitas
religius Islam dari sikap positif Muhammad kepada interprestasi
misogynist di kemudian hari.
Dengan membawa justifikasi agama, seperti Ar Rijalu
Qawwamuna ‘ala an Nisaa, konservatisisme yang berbasis pada
paradigma patriarkhis memaknai gender secara distriminatif dan
stuktural, menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua
(second clas ) yang bersubornidasi oleh superioritas pria.
Pandangan Moderat
Keadilan gender pada hakekatnya sudah tercermin sejak periode
awal Islam.Sejak zaman Nabi Saw.banyak wanita menduduki posisi
penting. Khadijah yang juga istri Nabi misalnya, adalah seorang
komisaris sebuah kongsi dagang. Begitu juga Aisyah., seorang wanita
muslim pertama yang menuntut dan menjalani karir politik.
Kecerdasan Aisyah sangat kentara.Ia mempunyai pengetahuan fikih
yang luas dan termasuk di antara barisan orang-orang yang paling
terdidik. Islam telah mengakhiri praktek-praktek diskriminasi dan
pelecehan terhadap perempuan yang terjadi pada masa itu.
Pada masa Muhammad, perempuan menjadi bagian dari sebuah
masyarakat yang kritis karena Muhammad tidak pernah membuat
garis perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dalam hal ilmu
pengetahuan seperti dalam hadis "Menuntut ilmu adalah kewajiban
setiap muslim lelaki maupun perempuan".Dalam sebuah hadis Imam
8
Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, (Cet. ke-2; Bandung: Mizan, 2007), 15
222 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 215-232
Bukhari, Aisyah pernah memuji semangat para perempuan Anshar
dalam menuntut ilmu."Perempuan terbaik adalah mereka dari Anshar,
mereka tidak pernah malu untuk selalu belajar agama," katanya.
Pentingnya kedudukan perempuan pada zaman Rasulullah saw
bias dilihat pada keterlibatan mereka dalam proses periwaytan hadist
dan pembentukan wacana islam awa,tidak jarang mereka
meriwayatkan secara langsung dari Rasulullah saw dan jumlahnya
todak sedikit.misalnya ibnu ishaq menyebut tidak kurang dari lima
puluh ribu perempuan perawi hadist.9
Will Durant, seorang sejarawan Barat terkemuka, mengakui
jasa Muhammad dalam meningkatkan dan memperbaiki hak-hak
wanita. Menurutnya, perlakuan yang ditunjukkan oleh Nabi terhadap
kaum perempuan sungguh-sungguh berbeda dengan perlakuan
masyarakat Arab saat itu menempatkan perempuan pada strata social
urutan paling bawah..
9
Syafig Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan tentang
Keperempuanan dalam Islam (Cet. ke-1; Bandung: Mizan, 2001), 35
Isu-isu
Nursyam: Konsep Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Islam 223
(Sebuah Pendekatan Autokritik)
Pada masa Nabi posisi perempuan justru mengalami mobilitas
vertikal.Gerak dan kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam
berbagai bidang, khususnya bidang keilmuan terbuka luas.Sumbangan
perempuan bahkan sangat signifikan dalam upaya transformasi
masyarakat ke arah yang lebih egaliter. Dalam seting social-kultur
Arab yang sangat paternalistic, apa yang dilakukan Muhammad
adalah sangat revolusionar dan sangat modern.
Islam telah membawa semangat reformasi, transformasi dan
liberasi yang membebaskan perempuan dari praktek-praktek
dehumanisme dan feodalisme.. Ketika exsistensi perempauan sama
sekali tidak mendapat tempat dimasyarakat, Muhammad telah
menempati laki dan perempuan pada kedudukan yang ekuvalin (Lihat
QS Taubat 71, Annisa124 ). Secara empiris, penghormatan,
pengakuan dan penghargaan terhadap existensi perempuan
dicontohkan Muhammad dengan memposisikan isteri-isterinya
sebagai patner perjuangannya, sebagai tempat saring intelektual,
moral dan spiritual yang saling berbagai tugas dalam memenangkan
dakwah. Dalam konteks ini salah satu isteri Hitler berkata “
sesungguhnya sistem poligami adalah salah satu faktor terbesar
dalam mewujudkan keberhasilan dan kemenangan Muhammad.
Untuk itu setelah perang ini aku tidak akan ragu-ragu untuk
membujuk Hitler agar mewajibkan poligami kepada masyarakat
Jerman untuk menggantikan jutaan laki-laki yang menjadi korban
perang”.
Dengan fakta sejarah tersebut, pandangan modernis meyakini
bahwa spirit Islam yang dibawa Muhammad adalam membebaskan
perempuan.Secara histories dikatakan bahwa perubahan yang
dilakukan oleh Rasulullah berjalan secara gradual disesuaikan dengan
kondisi masyarakat Arab pada waktu itu.Meski demikian perubahan
gradual itu dalam konteks historis dan cultural mestinya berjalan
terus dan tidak berhenti ketika Muhammad wafat. Karena menurut
pandangan ini, pola dialektika ajaran Islam menganut asas penerapan
bertahap (relatifering process), karenanya di dalam memposisikan
perempuan, dalam prakteknya tidak dapat sepenuhnya merujuk
kepada pengalaman di masa Nabi. Meskipun nabi telah berupaya
semaksimal mungkin untuk mewujudkan gender equality, tetapi
kultur masyarakat saat itu belum kondusif. Wahyu baru saja selesai
224 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 215-232
turun ketika Nabi wafat, maka Nabi tidak sempat menyaksikan
blueprint ajarannya sepenuhnya terwujud.Terlebih kedudukan
perempuan yang berkembang dalam dunia Islam pasca Nabi tidak
bisa dijadikan rujukan, karena bukannya semakin mendekati kondisi
ideal tetapi malah semakin jauh.Dengan demikian pemaknaan ulang
harus dilakukan terhadap beberapa isu perempuan di dalam Islam
seperti poligami, waris, persaksian, hijab, kepemimpinan dan
lainnya.Ayat-ayat dengan beberapa tema diatas tidak harus dipahami
sesuati teks tertulisnya tetapi harus dipahami sesuai dengan spirit
“pembebasan” yang dalam prakteknya bisa disesuaikan
penerjemahannya sesuai dengan konteks perkembangan jaman. Hal
itu harus dilakukan, karena menurut pandangan ini, Allah telah
pemberikan otoritas kepada umat Islam untuk merefleksikan nilainilai unuversal al-Qur’an dalam prespektif kekinian dan kemudian
mefungsikannya dalam realita empirik sehari-hari secara dinamis dan
progresif agar fungsi al Qur’an sebagai sumber nilai dan norma tidak
mengalam stagnasi tetapi tetap relevan dengan zaman.10
Secara praksis, pandangan modernis tidak menjebak perempuan
pada pilihan dilematis antara dunia public dan domestic, namun tetap
melihat keefektifan kedua peran tersebut. Peran domestic berarti
perempuan berada di belakang layar “ kebesaran “ laki-laki, namun
justru ia tidak menjadi populer dengan perannya. Seringkali
keberhasilan perempuan disektor ini malah memperkuat dominasi
“kekuasaan laki-laki” disektor publik.Karenanya – menurut
pandangan modernis ini - hendaknya fungsi domestikasi perempuan
tidak dijadikan pelengkap keperkasaan laki-laki.Peletakan perempuan
dalam satu sektor domestik saja tanpa mempertimbangan semua
aspek yang melatarbelakanginya merupakan upaya marginalisasi lakilaki terhadap seluruh potensi perempuan. Karenanya teks-teks agama
tidak boleh ditafsirkan untuk melegitimasi otoritas kemaskulinan
yang membagi peran keduanya secara dikotomis : publik dan
domestik. Argumentasi “public milik laki-laki dan domestic milik
perempuan” ini secara kontekstual telah menyalahi kodrat
kemanusiaan.Kelahiran Hawa yang lebih kemudian dari Adam bukan
10
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Soaial, (Cet. ke-2;
Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 50
Nursyam: Konsep Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Islam 225
(Sebuah Pendekatan Autokritik)
berarti hawa lebih rendah.Tak ada dominasi atau resesivitas dalam
hubungan gender.Keduanya komplementer.11
Pandangan Liberal
Pandangan liberal berasumsi bahwa kebebasan dan
keseimbangan berakar pada rasionalitas.Bagi mereka keterbelakangan
perempuan yang terjadi selama ini disebabkan karena perempuan
bersikap irasional dan berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional
agama, tradisi, dan budaya.Sikap seperti ini mengungkung
perempuan dalam dunia domestik yang tidak produktif.Karenanya
keterlibatan perempuan dalam dunia publik mutlak adanya.Menurut
mereka keterlibatan perempuan dalam industrialisasi dan modernisasi
adalah jalan yang harus ditempuh untuk meningkatkan status
perempuan.
Pandangan liberal dalam pemikiran Islam muncul karena
adanya pengaruh fenimisme barat.Pandangan ini berkeyakinan bahwa
jika selama ini perempuan selalu berada dibawah dominasi laki-laki,
maka saatnya kini perempuan menggugat dominasi lakilaki.Pandangan ini berusaha mengkritisi kembali nilai-nilai
kemapananan (status quo) bahkan menggugat juga wilayah-wilayah
aksiomatik (badihi) dalam Islam.Mereka bergerak dalam usaha
mengubah hokum agama yang dianggap merugikan perempuan
karena berkeyakinan bahwa akar ketertindasan perempuan adalah
adanya tradisi dan hokum agama yang membatasi perempuan dari
kesusksesan dunia public. Karena itu solusinya adalah ia harus diberi
hak yang sama di semua aspek kehidupan.12 .
Pandangan ini disatu sisi meluluhlantarkan suatu sistem
dominasi tapi disisi lain meneguhkan sistem dominasi yang lain. Ini
tentu bukanlah jalan tengah yang mencari keseimbangan dan
kesetaraan yang adil dalam hal kedudukan dan peran masing-masing
jenis, laki-laki dan perempuan melainkan justru memunculkan model
ketimpangan dan ketidakharmonisan social lainnya.
11
Nawal el Saadawi, Wajah Telanjang Perempuan, (Cet. ke-1; Yokyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), 23.
12
Ibid., 54
226 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 215-232
Pendekatan Autokritik : Sebuah Tawaran
Wanita Arab – dalam ini Islam - jauh lebih dahulu daripada
Eropa dan Amerika dalam mengkritisi budaya patriarkhis.Abad yang
lalu Ummu Salamah telah mengajukan pertanyaan begitu cerdas’
Kami masuk Islam sebagaimana laki-laki masuk Islam Kami
mengerjakan apa yang mereka kerjakan, tapi mengapa mereka disebut
di dalam al Quran sedangkan kami tidak ?. maka turunlah ayat yang
berbunyi Kaum beriman laki-laki dan kaum beriman perempuan ...
Berbeda dengan paradigma patriarkhi yang acap meredusir
perempuan hanya sekedar menjadi the body, Islam sering
mendeskripsikan eksistensi perempuan dalam konteks kekuatan
moralitas, intelektualitas dan spiritualitas. Hal ini tercermin pada
ungkapan seperti al-Ummu Madrasatun (Ibu adalah universitas
kehidupan) dan al-Jannatu tahta Aqdamil Ummahati (Syurga itu
berada di bawah naungan telapak kaki Ibu ). Teks-teks ini bukti
pengakuan bahwa derajat perempuan memang sangat dimuliakan
dalam Islam. Bahkan, perempuan kemudian diakui sebagai yang
paling berpengaruh dalam pembentukan peradaban sebuah generasi,
sebuah posisi yang sangat strategis bila disadari.13
Catatan histories juga telah membuktikan bahwa dalam
berbagai kasus perempuan bisa menjadi sosok yang sangat
independen, penuh dedikasi bahkan nyaris terlihat seperti “tidak”
memerlukan laki-laki dalam menjalankan perannya dengan
sukses.Ibunda Nabi Musa dan Ibrahim merupakan figur yang dapat
dijadikan referensi yang otentik untuk mendeskripsikan dedikasi
seorang perempuan untuk tetap eksis, justru ketika di bawah represi
laki-laki. Dan jika perempuan adalah makhluk lemah yang tak bisa
memberikan kontribusi positip pada kehidupan, tentu Allah tidak
akan memerintahkan Ibrahim untuk meninggalkan Hajar dan bayinya
untuk berjuang hidup sendirian di Padang Gersang antara Shofa dan
Marwah, Allahpun tidak mungkin menakdirkan Isa lahir dari hanya
seorang perempuan, Maryam, juga Allah tidak perlu “repot-repot”
menghibur dan memberi energi baru kepada Muhammad dengan Isro
Mikroj karena ditinggal Khadijah.14
13
14
Fatimah Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, 35
Ibid., 36
Nursyam: Konsep Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Islam 227
(Sebuah Pendekatan Autokritik)
Dalam at Taubah ayat 72 Allah berfirman “ Dan orang-orang
yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi
penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh berbuat yang makruf
(amar makruf ) dan mencegah dari yang mungkar (nahi mungkar ),
melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada Allah dan
Rasul Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah, Sungguh Allah
Maha perkasa dan Bijaksana.
Dari ayat ini, dalam konteks gender, secara deskriptif
perempuan diperintahkan dapat berperan pertama sebagai “mitra”
yang kompetitif dan aspiratif sebagai personifikasi dari amar ma’ruf
dan sekaligus – meminjam istilah Nurcholis Madjid “oposan loyal”
sebagai personifikasi nahi mungkar bagi laki-laki. Sebagai Mitra
Sejajar Dalam dunia nyata, kekerasan, pelecehan, ketidakadilan dan
eksploitasi yang dialami perempuan selama ini lebih disebabkan
factor internal ketakberdayaan perempuan sendiri untuk membela
dirinya. Dengan kata lain terkadang disadari atau tidak, perempuan
hanya pasrah dan rela atau bahkan “menyediakan diri” untuk
diperlakukan sebagai obyek pelecehan. Pada tahap yang anti klimaks
bahkan ada yang bersikap mashochis yang mengangap bahwa
disakiti, dilemahkan memang merupakan satu bagian takdir ketika ia
hadir menjadi perempuan, dan justru dengan disakiti dan
dilemahkanlah ia bisa menikmati keperempuanannya.Menurut
Rasyid Ridlo, pembebanan kewajiban kepada laki-laki terhadap
perempuan dalam hal nafkah, mahar dan melindungi merupakan
sebab laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan yang kemudian
menjadi semacam adat yang diterima berdasarkan akad untuk
kemaslahatan. Seakan-akan perempuan menurunkan dirinya untuk
tidak sama dengan laki-laki secara penuh karena pilihannya sendiri.
Ia membolehkan laki-laki untuk berada pada satu tingkat diatasnya,
tingkat kepemimpinannya dan ia rela dengan penggantian berupa
pemberian harta dari suaminya.15
Untuk memperkuat pandangan ini, Will Durant – seperti
dikutip Murthadha Mutahhari dalam The Right Wowen in Islam –
mengatakan “ Fungsi perempuan ialah melayani kepentingan jenis,
15
Muhammad Rasyid al Uwayyid, Min Ajli Tahrir Haqiqi lil Mar’ati,
Terjemahan Ghazali Mukri (Cet. ke-1; Yokyakarta, Izzan Pustaka, 2002), 25
228 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 215-232
dan fungsi laki-laki adalah melayani perempuan dan anak. Mereka
mungkin mempunyai fungsi lain juga, namun fungsi lain itu dengan
bijaknya tunduk dapat fungsi ini; dalam tujuan yang mendasar dan
setengah tak sadar inilah alam, telah menempatkan makna dan
kebahagiaan. Watak perempuan adalah lebih mencari perlindungan
daripada berperang dan dalam beberapa jenis, si perempuan
nampaknya sama sekali tidak menaruh instink untuk berkelahi.
Apabila ia berkelahi secara langsung maka itu dilakukan bukan untuk
membela dirinya, melainkan justru pihak lain seperti anaknya.
Perempuan lebih sabar daripada lelaki, walaupun lelaki lebih berani
menghadapi masalah dan krisis kehidupan yang lebih besar,
perempuan lebih memiliki ketabahan besar dalam menghadapi
gangguan kehidupan yang lebih kecil dan terus menerus, tetapi
perempuan juga menyukai perkelahian di pihak orang lain. Ia bersedia
mengikuti seorang prajurit dan meyukai laki-laki perkasa; ada unsur
mashochistis dalam getaran jiwanya apabila melihat kekuatan,
sekalipun korbannya adalah dia sendiri”.16
Fakta lain, masuknya perempuan di sektor publik justru
cenderung dimanfaatkan laki-laki untuk memperluas jiwa imperialis
dan bahwa peran publik lebih menyodorkan bentuk kekuasaan di
pelbagai bidang yang sangat koloninya. Perempuan telah menjelma
menjadi daerah eksploitasi yang bersifat pragmatis serta profit
oriented yang komersil. Kekuasaan tetaplah milik laki-laki dan
perempuan tetap harus menjadi subordinat dari kepentingan lakilaki.Ini menandakan maskulin.Idiom-idiom pembangunan publik
dibingkai atas kepentingan laki-laki.Perempuan benar-benar hanya
menjadi subordinat bukan komplementeer.Peran publik adalah peran
politis yang mempertaruhkan prestise kemaskulinan dan
kefemininan.Jika perempuan tidak hati-hati maka bisa jadi menjadi
kontraproduktif.Maka sangat relevan bila dikatakan bahwa
penindasan terhadap etnis perempuan adalah penindasan terpanjang
sepanjang sejarah, lebih lama dari penindasan terhadap etnis
manapun. Berbeda dengan penindasan lain yang acapkali menuai
simpati dan dukungan, penindasan terhadap perempuan cenderung
16
Murtadha Muthahhari, The Right of Woman in Islam, Terjemahan
M.Hashe, (Cet.I; Jakarta: Lentera, 2001), 65
Nursyam: Konsep Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Islam 229
(Sebuah Pendekatan Autokritik)
dipelihara, hingga sampai saat ini bentuk penindasan hadir dalam
bentuk yang tidak lagi sarkastis melainkan elastis. Penindasan ini
diciptakan secara kultural maupun struktural dan penguatan mitosmitos kultural perempuan.Sayangnya tak semua kaum perempuan
memahami dan mengetahui penindasan ini atau bahkan malah
menikmatinya.Bagaikan korban yang jatuh cinta pada penculiknya.
Ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi pada perempuan di
sector manapun ia berada, semestinya tak akan pernah terjadi jika
saja perempuan mampu memposisikan diri sebagai mitra yang dapat
dipercaya dan dapat diandalkan bagi kaum laki-laki dalam
penyelesaian tugas-tugasnya. Mitra yang memiliki hubungan sinergi
berimbang, harmonis, jauh dari semangat rivalitas yang saling
menaklukan, menguasai dan mendominasi satu sama lain. Menurut
Aminah Wadud, hal yang harus dilakukan perempuan modern saat ini
adalah membangun relasi fungsional antara laki-laki dan perempuan
dalam interaksi social yang didasarkan pada semangat Al Qur’an.
Dalam membangun relasi fungsional dalam kehidupan masyarakat,
Wadud mengembangkan konsep diri (potensi individu) demi
kemajuan hidup manusia.Kesetaraan individu merupakan kunci dalam
mencapai kemajuan tersebut. Bagi Wadud ada beberapa aspek
penting dalam menentukan relasi gender dalam kehidupan sosial.
Yakni pertama, perspektif yang lebih adil dalam hak dan kewajiban
individu
baik
laki-laki
ataupun
perempuan
di
dalam
masyarakat.Kedua, dalam pembagian peran tersebut hendaknya tidak
keluar dari prinsip umum al-Qur'an tentang keadilan sosial,
penghargaan atau martabat manusia, persamaan hak di hadapan
Allah, dan keharmonisan dengan alam.Ketiga, relasi gender
hendaknya secara gradual turut membentuk etika dan moralitas bagi
manusia. Ketiga aspek relasi gender ini menjadi prinsip utama sebuah
‘relasi fungsional’ yang tujuannya tidak lain adalah merealisasikan
misi penciptaan manusia di dunia, yaitu khalifah fi al-ardi.17
Bagaimanapun Islam tidak mengenal paradigma gender yang
strukturalis yang melihat relasi pria dan perempuan sebagai hubungan
atas dan bawah, antara inferior dan superior yang saling menguasai,
17
Aminah Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, Meluruskan Bias Gender
dalam Tradisi Tafsir, (Cet. ke-1; PT Serambi Ilmu Semesta, 2001) 76
230 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 215-232
tetapi sebagai hubungan fungsional ekuivalen yang saling
melengkapi.
Keadilan memang harus disesuaikan dengan jatidiri perempuan
itu sendiri.Karena ada dari sebagian perempuan merasa ‘diperlakukan
secara adil’ justru ketika disibukkan dengan urusan rumah tangga,
suami, dan anak-anaknya.Propaganda bahwa bicara gender berarti
bicara perempuan di dunia public, sesungguhnya justru penjajahan
bagi sebagia perempuan, karena dituntut untuk go public, padahal
sebagian mereka sudah merasa nyaman ketika berada di
rumah.Fenomena semacam inilah yang disebut oleh Ratna
Megawangi sebagai “Contradictio Interminis“.Sebuah konsep yang
menginginkan kebebasan individu (liberty), yang justru dalam
prakteknya dapat membuat individu menjadi tidak bebas atau
tertindas. Padahal liberty menurut John Stuart Mill, adalah kondisi di
mana setiap individu laki-laki dan perempuan dapat berfungsi secara
bebas, dapat mengembangkan kediriannya secara komplet, serta
dapat meningkatkan kepandaiannya sesuai dengan kapasitas dan
karakternya masing-masing
Sejatinya, hakekat wanita sangat berbeda dengan pria dari segi
nature-nya (alami).Sedangkan perbedaan nuture adalah hasil
konstruksi masyarakat yang bermula dari adat dan budaya.Pernyataan
yang sering dilontarkan kaum feminis adalah bahwa diskriminasi
pada wanita karena adanya faktor budaya, di mana budaya patriarki
selalu menempatkan wanita pada posisi yang lebih rendah dari
pria.Dan kendala besar yang diakui feminis untuk dapat berkiprah
setara dengan pria adalah karena hanya wanita saja yang bisa
hamil.Pengakuan ini dapat berarti keragaman biologis memang selalu
ada dalam kenyataan, maka kesetaraan gender yang selalu
dipropagandakan secara fifty-fifty adalah suatu hal yang
utopis.Perbedaan fisiologis yang alami itu pada umumnya kemudian
diperkuat oleh struktur kebudayaan yang ada.Perkembangan wanita
dari
berbagai
segi
disesuaikan
dengan
bakat-bakat
kewanitaan.Sebagian lagi disesuaikan dengan pendapat tradisional,
norma-norma agama, dan kriteria-kriteria feminis tertentu.
Perbedaan eksistensi antara keduanya akan tetap ada meskipun
struktur-struktur sosial yang ada dan norma-norma tradisionalnya
telah berubah. Akhirnya pilihan peran memang bukan persoalan bagi
Nursyam: Konsep Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Islam 231
(Sebuah Pendekatan Autokritik)
perempuan selama perempuan sanggup melakukannya untuk kebaikan
keluarga, pengembangan kreativitas, kapasitas dan kapabilitas dirinya
dan keseimbangan struktur makrokosmos.Bagaimanapun disinilah
substansi persoalannya.Melakukan sebuah pilihan tentu harus
didasarkan pada kondisi obyektif dan nalar yang matang.Dan hal itu
harus dilakukan oleh perempuan sendiri.
Penutup
Dalam konsep kesetaraan gender yang ideal memberikan
ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam pendidikan, spiritual
maupun karier professional, tidak boleh dimonopoli oleh salah satu
jenis kelamin tertentu saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh
kesempatan yang sama untuk meraih prestasi secara optimal. Namun
dalam kenyataan di masyarakat konsep ideal ini membutuhkan
tahapan dan sosialisasi, karena terdapat sejumlah kendala budaya
yang sulit diselesaikan
Konsep kesetaraan Gender dalam perspektif Islam adalah
kesetaran peran yang di dalamnya ada nilai-nilai keadilan bagi lakilaki dan perempuan, sehingga mereka mampu mengembangkan
potensi yang dimilikinya,sehingga dapat berperan dan mempunyai
keterampilan yang diperlukan bagi dirinya,masyarakat, bangsa dan
Negara.
Daftar Pustaka
Aden Wijdan SZ, dkk, Pemikiran dan Peradaban Islam, Safirian
Insania Press, Yogyakarta, 2007.
Agus Purwadi, Islam dan Problem Gender, Aditya Media,
Yogyakarta, 2000.
Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci, Kritik atas Hadis –
Hadis Shahih, Pilar Religia, Yogyakarta, 2005
Aminah Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, Meluruskan Bias
Gender dalam Tradisi Tafsir, PT Serambi Ilmu Semesta, 2001.
Fatimah Mernissi dan Riffat Hassan, Setara Di Hadapan Allah,
Reflasi Laki-Laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca
Patriarkhi, LSPPA Yayasan Prakarsa, Yogyakarta, 1995.
232 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 215-232
Irwan Abdullah, Sangkan Paran Gender, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2003.
Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, Mizan, Bandung, 2007.
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2006.
Muhammad Rasyid al Uwayyid, Min Ajli Tahrir Haqiqi lil Mar’ati,
Terj. Ghazali Mukri, Izzan Pustaka, Yogyakarta, 2002.
Murtadha Muthahhari, The Right of Women in Islam, Terj.
M.Hashem, Lentera.Jakarta, 2001.
M. Subhi Ridlo, Perempuan, Agama dan Demokrasi, LSIP,
Yogyakarta, 2007.
Nawal el Saadawi, Wajah Telanjang Perempuan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2003.
Sachiko Murata, The Tao of Islam, Kitab Ruukan tentang Relasi
Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Mizan, Bandung
* Dosen tetap jurusan Tarbiyah STAIN Datokarama Palu
Download