ISBN 978-979-3793-71-9 - seminar nasional universitas islam riau

advertisement
ISBN 978-979-3793-71-9
KOMUNIKASI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM MENANGKAL
ABRASI DI BENGKALIS
Eko Hero
Program Studi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Riau
Jl. Kaharuddin Nasution 113 Perhentian Marpoyan Pekanbaru-Riau
email : [email protected]
Abstrak
Penelitian ini melihat bagaimana Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat yang dilakukan oleh
pemilik program pelestarian (penanaman) Mangrove dalam upaya menangkal Abrasi di Pantai
Selatbaru Desa Selatbaru Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau. Tujuan
penelitian ini agar proses Komunikasi Pemberdayaan yang dilakukan lebih baik guna
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam setiap program pemberdayaan yang dikucurkan.
Melalui pendekatan kualitatif dengan metode Studi Kasus, serta wawancara terhadap beberapa
orang untuk mendukung hasil survey dan wawancara yang dilakukan keatas fenomena komunikasi
pemberdayaan yang ada. Hasilnya menunjukkan bahwa Komunikasi Pemberdayaan yang dilakukan
masih mengalami banyak kendala seperti terjadinya Gap (Sosial, pendidikan, komunikasi),
Identifikasi sosial kemasyarakatan belum maksimal, evaluasi secara berkala, model komunikasi
cenderung otoriter, teknisi komunikasi belum menjelaskan potensi ekonomi masyarakat secara
mudah kepada masyarakat.
Kata kunci: Komunikasi Pemberdayaan, Abrasi dan pelestarian Mangrove
PENDAHULUAN
Persoalan abrasi di kawasan pesisir pantai Indonesia semakin mengkahwatirkan. Bahkan
sejak 20 tahun terakhir akibat abrasi pantai telah menenggelamkan 2 buah Dusun di desa Bendono
- Demak. Dimana sekitar 250 kepala keluarga terpaksa pindah secara permanen (BBC. 2015). Di
Riau pula sempat di hebohkan dengan abrasi yang terjadi di Kab. Kepulauan Meranti (10 – 20
meter) bibir pantai tergerus (riauonline. 22 april 2016), dan di Indragiri Hilir tanaman Mangrovee
hanya tinggal 30 – 50 meter dari bibir pantai dan sungai (GoRiau. 18 Januari 2017). Di Kawasan
Bengkalis, Pada kurun waktu 26 tahun terakhir telah terjadi abrasi di Pulau Bengkalis dengan laju
abrasi rata-rata 59 ha/tahun, dan laju sedimentasi 16.5 ha/ tahun. Hal ini menunjukkan bahwa,
pulau Bengkalis mengalami pengurangan luas daratan yang cukup besar yaitu rata-rata 42.5
ha/tahun (Sigit : 2014).
Gambar 1. Kondisi Abrasi Pantai Selatbaru, 2016
Salah satu penyebab utama dari abrasi ini selain pemanasan global yang mengakibatkan
naiknya permukaan air laut adalah pembabatan hutan Bakau disepanjang pesisir pantai secara
Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia”
18
ISBN 978-979-3793-71-9
“mebabi buta”.Sebenarnya menyikapi hal ini, elemen akademisi, pemerintah, komunitas/LSM telah
melakukan upaya penanaman kembali Manggrove dibanyak tempat di Propinsi Riau. Namun
hingga saat ini upaya tersebut masih dianggap sebatas seremonial. Tanaman Mangroove yang telah
ditanam kemudian dibiarkan begitu saja dan pada akhirnya hanyut tersapu oleh ombak pantai.
Sehingga program yang telah berulangkali dilaksanakan hasilnya masih belum menampakkan hasil
yang baik.
Pada dasarnya, daerah pantai yang mengalami abrasi sangat sulit untuk dipulihkan atau
kembali dalam keadaaan normal. Selain itu juga, kerusakan pantai akibat abrasi dapat menggangu
mata pencaharian penduduk disekitar, terutama yang berprofesi sebagai nelayan. Pantai yang
mengalami abrasi jika tidak di tanggulangi akan berakibat kerusakan pantai yang semakin parah.
Untuk itu berdasarkan persoalan diatas, maka peneliti ingin melihat bagaimana fenomena
komunikasi pemberdayaan yang terjadi. Sehingga penelitian ini nantinya dapat menemukan potret
komunikasi yang berjalan dan dapat menawarkan model komunikasi alternatif agar persoalan ini
segera terselesaikan.
KAJIAN PUSTAKA
Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat
Komunikasi pemberdayaan masyarakat (KPM) merupakan entitas yang tidak dapat
terlepas dari komunikasi pembangunan (KP). KPM merupakan salah satu strategi pembangunan
yang mengedepankan pembangunan yang terpusat pada manusianya (people-centered),
pengoptimalan partisipasi masyarakat, dan komunikasi dialogis yang berlangsung dua arah.
Kemunculan paradigma partisipatoris, memunculkanvarian komunikasi pembangunan
yang beragam.
Seperti berkembangnya konsep komunikasi penunjang pembangunan
(Development Support Communication/ DSC) yang lahir dari semangat pemberdayaan. Dalam
pandangan peneliti sendiri, sebagaimana yang dikemukakan secara implisit oleh Melkote
(Melkote & Steeves, 2008:217), dilihat dari diferensiasi DSC dan karakteristiknya, mempunyai
konsep yang sama dengan komunikasi pemberdayaan masyarakat, sehingga dapat disebut
sebagai istilah atau nama lain dari komunikasi pemberdayaan itu sendiri.
Melkote
mengetengahkan perbedaan yang jelas antara keduanya.
Komunikasi pembangunan dipotret dalam paradigma modernisasinya memiliki struktur
komunikasi yang top-down, memiliki kecenderungan otoriter dengan hubungannya yang
bernuansa
subjek-objek.
Sementara
komunikasi
penunjang pembangunan/komunikasi
pemberdayaan sendiri mengedepankan komunikasi yang horizontal antar masing-masing individu
atau kelompok dalam masyarakat dengan hubungan yang bernuansa subjek-subjek. Dilihat dari
level peranannya, komunikasi pembangunan berada pada level internasional dan nasional,
KPM sendiri pada level lokal dan akar rumput (grassroots). Komunikasi pembangunan berfokus
pada penggunaan media-media besar seperti TV, radio, surat kabar, dsb sementara KPM
cenderung menggunakan media-media kecil atau menengah, seperti: video, strip film, media
tradisional, komunikasi interpersonal dan kelompok.
Pembangunan regional dan nasional, peningkatan masyarakat, perubahan sosial
terutama di bidang ekonomi merupakan tujuan utama dari komunikasi pembangunan.
Sementara KPM menjadikan pemberdayaan masyarakat, keadilan sosial, pembangunan
kapasitas dan kesetaraan sebagai prioritas dalam tujuannya.
Maka, komunikasi pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai upaya
pembebasan dan pencerahan untuk meningkatkan harkat, martabat, sertam enanamkan jiwa
kemandirian masyarakat sehingga seluruh aktivitas pembangunan diarahkan pada pemberdayaan
masyarakat secara menyeluruh. Pemberdayaan masyarakat merupakan proses perubahan struktur
yang harus muncul dari masyarakat, dilakukan oleh masyarakat, dan hasilnya ditujukan untuk
kesejahteraan masyarakat. Proses perubahan tersebut berlangsung secara alamiah dengan asumsi
bahwa setiap anggota masyarakatsebagai pelaku-pelaku sosial yang ikut dalam proses perubahan
tersebut.
Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia”
19
ISBN 978-979-3793-71-9
Pengertian pemberdayaan dalam arti luas dapat diterjemahkan sebagai perolehan kekuatan
dan akses terhadap sumberdaya untuk mencari nafkah. Pemberdayaan dalam konsep (wacana)
politik menurut Dahl (1963:50) merupakan sebuah kekuatan yang menyangkut suatu kemampuan
seseorang (pihak pertama) untuk mempengaruhi orang lain (pihak kedua) yang sebenarnya tidak
diinginkan oleh pihak kedua.
Abrasi
Abrasi tidak terjadi secara seketika, melainkan terjadi dalam dalam waktu yang lama,
akibat gelombang yang terus menerus terjadi, lambat laun pantai akan menyempit dan semakin
mendekati pemukiman yang ada disekitar. Bukan hanya kekuatan gelombang, akan tepi terjangan
gelombang secara terus menerus yang mengakibatkan Abrasi.
Abrasi merupakan salah satu masalah yang mengancam kondisi pesisir, yang dapat
mengancam garis pantai sehingga mndur kebelakang, merusak tambak maupun lokasi persawahan
yang berada di pinggir pantai, dan juga mengancam bangunan-bangunan yang berbatasan langsung
dengan air laut. Abrasi pantai didefinisikan sebagai mundurnya garis pantai dari posisi asalnya. (B.
Triatmodjo. 1999).
Abrasi atau erosi pantai disebabkan oleh adanya angkutan sedimen menyusur pantai
sehingga mengakibatkan berpindahnya sedimen dari satu tempat ke tempat lainya.( Buddin. Dkk :
2014). Erosion is the physical movemen of sediment away from the shore via wave and current
action, the capacity to exacerbate erosion by promoting offshore transport of sediment (Matthew :
2010).
Dampak yang diakibatkan oleh abrasi antara lain:
1. Penyusutan lebar pantai sehingga menyempitnya lahan,
2. Kerusakan hutan bakau di sepanjang pantai,
3. Rusaknya infrastruktur di sepanjang pantai ,
4. Kehilangan tempat berkumpulnya ikan ikan perairan
Manggrove Untuk Migitasi
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam “tempat berlangsngnya kehidupan yang
mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup itu sendiri, terhadap pada wilayah
pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang
khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang sangat vital, baik bagi
pesisir/ daratan maupun lautan. Selain memiliki fungsi ekologis, ekosistem mangrove memiliki
fungsi fisik sebagai pencegah abrasi, menahan laju angin laut ke udara, intusi garam ke daratan
serta penahanan gelombang pasang dan tsunami (Ghufron, 2012).
Ekosistem mangrove ini keberadaannya sanagt penting bagi kawasan pesisir Selatbaru atau
Bengkalis dan bahkan Pesisir Riau secara umum. Sebab jika dilihat dari keadaan arah angin,
kawasan ini kerap mendapat hembusan angin barat yang cukup kencang dari wilayah (Selat
Malaka) Malaysia. Sehingga ketika jadwal pasang naik maupun pasang surut, maka deburan atau
hempasan air laut ke tebing pantai menjadi sangat kuat. Jika diukur lentingan air pasca hempasan
bisa mencapai ketinggian 4 – 7 meter. Inilah yang menyebabkan potensi abrasi semakin besar.
METODE PENELITIAN
Penelitian “ini dimaksudkan untuk memahami fenomena proses komunikasi yang terjadi di
kelompok tani jamur merang Lestari Makmur, dengan mengidentifikasi kategori-kategori penting
dan mengkonstruksinya sebagai suatu potret model komunikasi. Berdasarkan potret model
komunikasi yang ditemukan, peneliti mencoba mencari alternatif model komunikasi yang
pengembangannya untuk keberhasilan kelompok ke depannya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode studi kasus. Studi kasus
adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu
Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia”
20
ISBN 978-979-3793-71-9
kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program atau suatu situasi sosial (Mulyana, 2001).
Studi kasus digunakan apabila fenomena yang akan dikaji menyangkut pertanyaan how dan atau
why. Yin (2005) mengilustrasikan penggunaan masing-masing pertanyaan penelitian tersebut
dalam kajian yang berbeda.
Studi kasus digunakan jika sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang
diselidiki dan fokus penelitiannya pada fenomena kontemporer. Studi kasus digunakan dalam
kerangka mendeskripsikan fenomena-fenomena berupa kategorikategori yang berkaitan, dan
berdasarkan fenomena yang ditemukan di lapangan (di wilayah penelitian) saat ini (era otonomi
daerah), kemudian disusun model komunikasi dalam kegiatan pemberdayaan masayarakat.
Langkah penyelenggaraan penelitian dengan pendekatan studi kasus ini terutama mengacu pada
apa yang disarankan oleh Yin (2005), mulai dari kegiatan persiapan pengumpulan data,
pelaksanaan pengumpulan data, tahap analisis bukti studi kasus, sampai pada penulisan laporannya.
Dengan demikian tipe studi kasus yang digunakan lebih merupakan studi kasus deskriptifkualitatif, dan bukan deskriptif-kuantitatif. Dalam hal ini, peneliti mencoba mendeskrepsikan
kategori/konsep-konsep yang ada dan mencoba menatanya sehingga memiliki saling
keterkaitan/hubungan antara kategori atau konsep yang satu dengan yang lainnya dalam kerangka
menyusun suatu model komunikasi pemberdayaan masyarakat secara induktif dan kemungkinan
perbaikannya.
Subjek penelitian dalam kajian ini ditujukan kepada 4 orang anggota masyarakat, 2 orang
tokoh masyarakat, 1 orang pihak aparatur desa dan 1 orang . Subyek penelitian diambil secara
purposif, yakni informan yang dipandang memahami, mampu memberikan penjelasan dan terlibat
dalam program penanaman manggrove ini dan terkait dengan permasalahan yang akan dipecahkan
dalam penelitian ini. Kedelapan informan ersebut adalah Bonasir, Karim, Candra dan Safuan
(Masyarakat), Ruliono, Sutrisno (Tokoh Masyarakat), H. Sofyan (kepala Desa Selatbaru), Wan
Gustinawati, S.Pi (Kabid Penanggulangan dan Pengawasan Lingkungan Hidup).
Objek dalam penelitian ini adalah kajian tentang aspek komunikasi pemberdayaan
masyarakat di kawasan Pantai Indah Desa Selatbaru Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis.
Bahan penelitiannya meliputi berbagai informasi dan permasalahannya yang terkait dengan proses
komunikasi dalam kegiatan kelompok pemberdayaan masyarakat di kawasan Pantai Indah Desa
Selatbaru. Data penelitian yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh langsung dari sumber yang terlibat secara langsung terkait dengan
objek penelitian, bisa berupa penjelasan verbal, non verbal, ataupun berbagai tindakan atau
perilaku yang ditunjukkan (yang teramati) petani yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat.
Jenis data sekunder diperoleh dari pihak-pihak yang tidak terlibat secara langsung (baik verbal
maupun non verbal) namun dipandang mengetahui atau memahami terkait dengan objek penelitian,
ataupun berupa hasil-hasil laporan, dokumentasi, dan lainnya yang ada di sejumlah instansi yang
terkait dengan objek penelitian yang dipelajari. Penelitian dikaukan di Masyarakat kawasan pantai
Indah Selatbaru Dusun Parit I Desa Selatbaru, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, tempat
dimana lokasi pantai tersebut berada.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian dilapangan maka ditemukan beberapa fakta yang perlu
mendapatkan perhatian. Pertama, terdapat Gap yang terlihat ada dari sisi tingkat pendidikan,
tingkat ekonomi dan status sosial. Keadaan ini membawa pada dominasi pemerintah dalam
kegiatan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan lebih berorientas kepada program yang telah
ditetapkan oleh pihak lain tanpa berkoordinasi dengan masyarakat setempat.
Misalnya saja dalam aspek penjadwalan penanaman atau reboisasi diperlukan ketepatan
waktu karena akan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Akibatnya bibit manggrove yang
ditanam menjadi sia-sia akibat tergerus oleh pasang surut air laut.
Kemudian kendala dilakukan adalah saat penyuluhan atau sosialisasi dilakukan, pihakpihak pemilik program cenderung mengabaikan kearifan lokal setempat. Mulai dari penglibatan
masyarakat terhadap kegiatan maupun adat istiadat yang dipahami oleh masyarakat setempat.
Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia”
21
ISBN 978-979-3793-71-9
Selanjutnya, gap pendidikan, sosial dan gap komunikasi membawa kepada hubungan
komunikasi turut menjadi hambatan. Tidak jarang persepsi yang dibangun oleh tim pemilik
program yang selalu merasa lebih hebat atau pandai dari masyarakat setempat dan penampilan
menjadi tolak ukur. Keadaan ini membawa kepada pembawaan diri tim program, bahasa dan
ucapan atau tindakan lainnya menganggap masyarakat adalah orang yang tidak tahu. Dan akhirnya
partisipasi diri masyarakat pun menjadi rendah.
Kedua, upaya identifikasi sosial kemasyarakatan yang tidak maksimal. Maksudnya adalah
ketika sebuah program dijalankan dikawasan ini. Penyelenggaran tidak melakukan identifikasi
sosial dengan baik. Sehingga gaya komunikasi dan pendekatan yang dilakukan tidak berbasis
masyarakat tetapi berbasis pada penyelenggara.
Ketiga, kegiatan yang telah dikucurkan atau dijalankan perlu dievaluasi secara berkala.
Bukan hanya evaluasi terkait pada programnya tetapi juga pelaksanaan yang diberikan kepada
masyarakat. Keterbatasan dan kesenjangan kapasitas yang dimiliki oleh warga sebagai penerima
dan pelaksana program perlu dipantau secara berkala. Apalgi kesukaran dalam memprediksi siklus
alam membuat kebiasaan yang ada selama ini perlu diberi sentuhan teknologi baru dimana akan
ada kemungkinan teknologi tersebut belum menyebar secara luas atau familiar digunakan oleh
masyarakat awam. Ini sangat perlu dilakukan akan mempengaruhi keberhasilan program
pelestarian mangrove.
Keempat, dari sisi tindakan komunikasi pula, tidak jarang komunikator atau pemilik
program memiliki kecenderungan menerapkan komunikasi yang otoriter. Model komunikasi
pemberdayaan yang seperti ini akan rentan menimbulkan konflik-konflik komunikasi yang
berujung pada penentangan dan rendahnya partisipasi. Terkait pemberdayaan yang sifatnya jangka
panjang dan membutuhkan masyarakat sebagai pelaksana program tentu model komunikasi
pemberdayaan dengan pendampingan profesional.
Dimana model ini menerapkan banyak unsur dan elemen dalam kegiatan komunikasi dan
pengelolaan komunikasi meliputi berbagai macam aspek. Mulai dai kegiatan komunikasi antar
individu/kelompok, hal-hal teknis dalam sebuah pengelolaan program, aturan norma yang
dijalankan, upaya pendampingan baik secara komunikasi maupun regulasi dan hukum, membangun
nilai-nilai individu dalam masyarakat, hingga kepada sektor ekonomi dalam rangka peningkatan
pendapatan keluarga setelah masyarakat menjalankan program tersebut.
Kelima, sebuah kegiatan atau program yang sifatnya pemberdayaan oleh masyarakat perlu
memiliki potensi ekonomi bagi masyarakat tempatan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Hal ini perlu disampaikan secara terperinci, mudah dan dapat diterima oleh logika masyarakat
awam. Akan tetapi diantara pemiliki program reboisasi hutan bakau dikawasan Selatbaru, tidak
menerangkan sperti apa potensi ekonomiyang akan diperoleh masyarakat. Informasi yang
disampaikan lebih cenderung bagaimana kedepan anak cucu masih dapat melihat dan bermain di
pantai, mencari siput di sela-sela tanaman mangrove.
PENUTUP
Penanggulangan abrasi yang terjadi di pantai Selatbaru perlu campur tangan masyarakat
melalui penglibatan dan pemberdayaan secara komprehensif. Teknisi komunikasi yang
ditempatkan dalam program perlu memberikan dan memahami secara baik makna pemberdayaan
yang sesungguhnya. Sehingga dengan begitu keterlibatan masyarakat terhadap program menjadi
tinggi. Model komunikasi yang dijalankan memerlukan proses dan pendekatan yang sesuai.
Tujuannya adalah agar gap yang ada akan semakin kecil.
Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia”
22
ISBN 978-979-3793-71-9
DAFTAR PUSTAKA
B. Triatmodjo. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset. Yogyakarta..
Hakim. Buddin A. dkk. 2014. Efektifitas Penanggulangan Abrasi Menggunakan Bangunan Pantai
di Pesisir Kota Semarang. Seminar Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. 11
September 2012..
M. Ghufron. H. Kordi K.M.. 2012. Ekosistem Mangrove (Potensi. fungsi. dan pengelolaan). PT.
Rineka Cipta. Jakarta.
Matthew. M. Linham. 2010. Technologies for Climate Change Adaptation. coastal erosion and
Flooding.
Melkote. Srinivas R dan H. Leslie Steeves. 2008. Communications for Development in The Thrid
World. New Delhi: Sage Publications India Ltd.
Mulyana. D. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Paradigma Baru lmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial Lainnya. Remaja Rosdakarya. Bandung:
N. Santoso. Pelestarian danPengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis.PT.
Gramedia Pustaka Utama. 2000. Jakarta. Indonesia. BBC Indonesia. 14 Desember 2015.
Desa bedono Di Demak Terancam Tenggelam Akibat Abrasi. Diakses tanggal 10
september 2016.
Riauonline.co.id.. 22 April 2016. Abrasi Di Kepulauan Meranti. Dinas Perikanan Akan Kelola
Mangrove. Diakses tangal 10 September 2016
Sarmiati Januari-April. 2012 Strategi Komunikasi Berbasis Kearifan Lokal dalam Penanggulangan
Kemiskinan. Jurnal Ilmu Komunikasi. Volume 10. Nomor 1. . halaman 28-39.
Sigit Sutikno. 2014. Analisis Laju Abrasi Pantai Pulau Bengkalis dengan Menggunakan Data
Satelit Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XXXI HATHI. At Padang.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan.
Undang-undang RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaa Lingkungan Hidup.
Yin. R. K. 2005. Studi Kasus. Desain dan Metode. Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Seminar Nasional “Mitigasi Dan Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Di Indonesia”
23
Download