13 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kepuasan Kerja 2.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja Setiap orang yang bekerja mengharapkan memperoleh kepuasan dari tempatnya bekerja. Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual karena setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam diri setiap individu. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu, maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan. Menurut Kreitner dan Kinicki (2001) kepuasan kerja adalah suatu efektifitas atau respons emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan. Davis dan Newstrom (1995) mendeskripsikan kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka. Menurut Robbins (2003) kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang yang menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima. 14 2.1.2 Teori Kepuasan Kerja a. Teori Keseimbangan (Equity Theory) Teori ini dikembangkan oleh Adam, adapun komponen dari teori ini adalah input, outcome, comparison person, dan equtiy – in – equtiy. Wexley dan Yuki (1977) mengemukakan bahwa “Input is anything of value that an employee perceives that he contributes to his job”. Input adalah semua nilai yang diterima pegawai yang dapat menunjang pelaksanaan kerja. Misalnya, pendidikan, pengalaman, skill, usaha, peralatan pribadi, jumlah jam kerja. “Outcome is anything of value that the employee perceives he obtains from the job”. Outcome adalah semua nilai yang diperoleh dan dirasakan oleh pegawai. Misalnya upah, keuntungan tambahan, status simbol, pengenalan kembali (recognition), kesempatan untuk berprestasi atau mengekspresikan diri. Sedangkan “Comparison person mey be someone in the same organization, someone in a different organization, or even the person him self in a previous job”. Comparison person adalah seorang pegawai dalam organisasi yang sama, seorang pegawai dalam organisasi yang berbeda atau dirinya sendiri dalam pekerjaan sebelumnya. Menurut teori ini, puas atau tidak puasnya pegawai merupakan hasil perbandingan input–outcome pegawai lain (comparison person). Jadi, jika perbandingan tersebut dirasakan seimbang (equity) maka pegawai tersebut akan merasa puas. Tetapi, apabila terjadi ketidakseimbangan (inequity) dapat 15 menyebabkan dua (ketidakseimbangan kemungkinan, yang yaitu menguntungkan over dirinya) compensation dan sebaliknya inequity under compensation inequity (ketidakseimbangan yang menguntungkan pegawai lain yang menjadi pembanding atau (comparison person ). b. Teori Perbedaan ( Discrepancy Person ) Teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter (1961) yang berpendapat bahwa mengukur kepuasan kerja dapat dilakukan dengan cara menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan pegawai. Locke (1969) mengemukakan bahwa kepuasan kerja pegawai bergantung pada perbedaan antara apa yang didapat dan apa yang diharapakan oleh pegawai. Apabila yang didapat pegawai ternyata lebih kecil dari pada apa yang diharapkan, akan menyebabkan pegawai tidak puas. 2.1.3 Dimensi Kepuasan Kerja Celluci dan De Vries (1978) merumuskan indikator-indikator kepuasan kerja dalam 5 indikator sebagai berikut : a. Pekerjaan itu sendiri (work it self) Setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan tertentu sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sukar tidaknya suatu pekerjaan serta perasaan seseorang 16 bahwa keahliannya dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan tersebut, akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan. b. Hubungan dengan atasan (supervision) Kepemimpinan yang konsisten berkaitan dengan kepuasan kerja adalah tenggang rasa (consideration). Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana atasan membantu tenaga kerja untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa, misalnya keduanya mempunyai pandangan hidup yang sama. c. Teman sekerja (co workers) Teman kerja merupakan faktor yang berhubungan dengan hubungan antara pegawai dengan atasannya dan dengan pegawai lain, baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaannya. d. Promosi (promotion) Promosi merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh peningkatan karir selama bekerja. e. Gaji atau upah (pay) Merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap layak atau tidak. 17 2.2 Kepemimpinan 2.2.1 Pengertian Kepemimpinan Kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar supaya mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Thoha, 1983). Sedangkan menurut Robbins (2002) Kepemimpian adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan. Ngalim Purwanto (1991) juga mendefinisikan kepemimpinan sebagai sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian, termasuk di dalamnya kewibawaan untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin, serta merasa tidak terpaksa. Menurut John Piffner, kepemimpinan merupakan seni dalam mengkoordinasikan dan mengarahkan individu atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki (H. Abu Ahmadi, 1999). dan pengertian lainnya, Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan, proses, atau fungsi pada umumnya untuk mempengaruhi orang-orang agar berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Slamet, 2002). Berdasarkan pengertian kepemimpinan menurut para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan proses hubungan timbal balik antara pemimpin dengan yang dipimpinnya dimana menghasilkan kesatuan gerak dalam 18 melaksanakan misi menuju visi organisasi. Selain itu melihat beberapa definisi mengenai kepemimpinan, maka jelaslah bahwa peran dari kepemimpinan sangat besar bagi keberlangsungan organisasi. Namun dalam membuat organisasi yang kuat dibutuhkan tim yang kuat. Maka pemimpin yang besar yang dapat membuat tim yang kuat. Kepemimpinan tidak lagi berbicara mengenai individu si pemimpin namun berbicara menganai bagaimana peran seorang pemimpin yang dapat mengorganisir orang-orang yang dipimpinnya. 2.2.2 Gaya Kepemimpinan White dan Lippit dalam Pasolong (2008) mengemukakan tiga tipe gaya kepemimpinan, yaitu : a. Gaya Kepemimpinan Otoriter / Authoritarian Gaya kepemimpinan otoriter adalah gaya pemimpin yang memusatkan segala keputusan dan kebijakan yang diambil dari dirinya sendiri secara penuh. Segala pembagian tugas dan tanggung jawab dipegang oleh si pemimpin yang otoriter tersebut, sedangkan para bawahan hanya melaksanakan tugas yang telah diberikan. b. Gaya Kepemimpinan Demokratis / Democratic Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya pemimpin yang memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Setiap ada permasalahan selalu mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam gaya kepemimpinan 19 demokratis pemimpin memberikan banyak informasi tentang tugas serta tanggung jawab para bawahannya. c. Gaya Kepemimpinan Bebas / Laissez Faire Pemimpin jenis ini hanya terlibat delam kuantitas yang kecil di mana para bawahannya yang secara aktif menentukan tujuan dan penyelesaian masalah yang dihadapi. 2.3 Servant Leadership 2.3.1 Pengertian Servant Leadership (Kepemimpinan Pelayan) Servant leadership (Kepemimpinan Pelayan) adalah sebuah konsep kepemimpinan etis yang diperkenalkan oleh Robert K. Greenleaf sejak tahun 1977. Dalam bukunya yang berjudul servant leadership beliau menyebutkan bahwa Kepemimpinan pelayan adalah suatu kepemimpinan yang berawal dari perasaan tulus yang timbul dari dalam hati yang berkehendak untuk melayani, yaitu untuk menjadi pihak pertama yang melayani. Pilihan yang berasal dari suara hati itu kemudian menghadirkan hasrat untuk menjadi pemimpin. Perbedaan manifestasi dalam pelayanan yang diberikan, pertama adalah memastikan bahwa kebutuhan pihak lain dapat dipenuhi, yaitu menjadikan mereka sebagai orang-orang yang lebih dewasa, sehat, bebas, dan otonom, yang pada akhirnya dapat menjadi pemimpin pelayan berikutnya. 20 Poli (2011) juga dalam bukunya yang berjudul “Manajemen Stratejik” mendefinisikan servant leadership sebagai proses hubungan timbal balik antara pemimpin dan yang dipimpin dimana di dalam prosesnya pemimpin pertama-tama tampil sebagai pihak yang melayani kebutuhan mereka yang dipimpin yang akhirnya menyebabkan ia diakui dan diterima sebagai pemimpin. Konsep kepemimpinan pelayan sebenarnya sudah diterapkan oleh tokoh-tokoh pemimpin dunia sejak lama. Menurut Neuschel (dalam Aorora, 2009), pemimpin pelayan adalah orang dengan rasa kemanusiaan yang tinggi. Bukan nasib pemimpin untuk dilayani, tetapi adalah hak istimewanya untuk melayani. Harus ada sejumlah elemen atau pemahaman tentang hidup dalam kepemimpinan berkualitas tinggi karena tanpa karakter pemimpin pelayan ini, kepemimpinan dapat tampak menjadi-dan sebenarnya menjadi-termotivasi untuk melayani diri sendiri dan mementingkan kepentingannya sendiri. Servant leadership adalah suatu kepemimpinan yang berawal dari perasaan tulus yang timbul dari hati yang berkehendak untuk melayani (Greenleaf, 2002). Orientasi servant leadership adalah untuk melayani pengikut dengan standar moral spiritual. Para pemimpin-pelayan (servant leaders) biasanya menempatkan kebutuhan pengikut sebagai prioritas utama dan memperlakukannya sebagai rekan kerja, sehingga kedekatan diantara keduanya sangatlah erat karena saling terlibat satu sama lain. 21 Vondey (2010) yang mendefinisikan servant leadership merupakan seorang pemimpin yang sangat peduli atas pertumbuhan dan dinamika kehidupan pengikut, dirinya serta komunitasnya, karena itu ia mendahulukan hal-hal tersebut daripada pencapaian ambisi pribadi (personal ambitious) dan kesukaannya semata. 2.3.2 Dimensi Servant Leadership Menurut Barbuto & Wheeler (2006) terdapat 5 dimensi servant leadership, yaitu : a. Altruistic Calling Seorang pemimpin pelayan mengembangkan kemampuan dan komitmen untuk mengenali serta memahami secara jelas kata-kata yang disampaikan oleh orang lain. Mereka berusaha mendengarkan secara tanggap apa yang diakatakan dan tidak dikatakan. Mereka mencari tahu apa yang ada dalam hati, dengan cara mendengarkan yang melampaui upaya untuk mengalahkan suara batinnya sendiri, serta berusaha memahami apa yang dikomunikasikan oleh tubuh, jiwa, dan pikiran. Mendengarkan, diapadukan dengan perenungan yang teratur, mutlak penting bagipertumbuhan sang pemimpin. 22 b. Emotional Healing Salah satu kekuatan besar seorang pemimpin pelayan adalah kemampuannya untuk menyembuhkan diri sendiri dan orang lain. Banyak individu yang patah semangat dan menderita akibat rasa sakit emosional. Mereka belajar untuk mnyembuhkan dirinya sendiri, walaupun sering kali tidak mampu karena diperlukan daya yang sangat kuat untuk perubahan dan integrasi diri. Disinilah peran penting seorang pelayan dalam membantu proses penyembuhannya. Pemimpin pelayan menyadari bahwa mereka mempunyai kesempatan untuk membantu memberikan kesembuhan bagi orang-orang yang berhubungan dengan mereka. Kesempatan ini tidak akan di sia-siakan. Penyembuhan yang diberikan bukan yang sifatnya medikal sebagaimana yang dilakukan oleh dokter. Tetapi penyembuhan yang lebih pada aspek emosional dan jiwa para pengikutnya. c. Wisdom Pemimpin pelayan berusaha untuk terus meningkatkan kemampuan dirinya dalam melihat suatu masalah dari perspektif yang melampaui realitas masa lalu dan saat ini. Banyak orang yang telah disibukkan oleh kebutuhan untuk meraih tujuan operasional jangka pendek. Pemimpin pelayan tidak seperti itu. Ia terus membuka dan mengembangkan wawasan serta pemikirannya hingga dapat mencakup pemikiran konseptual yang mempunyai landasan yang lebih luas. Ini berarti pemimpin pelayan harus mengusahakan 23 keseimbangan yang rumit dan kompleks antara konseptualisasi dan fokus operasional sehari-hari. d. Persuasive Mapping Ciri khas seorang pemimpin pelayan adalah kemampuan diri untuk mempengaruhi orang lain dengan tidak menggunakan wewenang dan kekuasaan yang berasal dari kedudukan atau otoritas formal dalam membuat keputusan di organisasi. Pemimpin pelayan berusaha meyakinkan orang lain, bukannya memaksakan adanya kepatuhan yang buta. Ini merupakan ciri pembeda antara model wewenang tradisional dan model kepemimpinan pelayan. Kepemimpin pelayan lebih efektif dalam membangun konsensus kelompok untuk memecahkan berbagai permasalahan yang timbul. e. Organizational stewardship Pemimpin pelayan berusaha untuk membangun suatu hubungan yang erat sebagaimana layaknya sebuah keluarga dianatara sesama anggota yang bekerja dalam organisasi.Kepemimpinan pelayan menyatakan bahwa komunitas yang sesungguhnya (keluarga) dapat juga diciptakan di lingkungan bisnis dan lembaga lainnya. 24 2.4 Organizational Citizenship Behavior (OCB) 2.4.1 Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB) Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan istilah yang digunakan untuk mengidentifikasikan perilaku karyawan. OCB ini mengacu pada konstruk dari “Extra-Role Behavior” (ERB), didefinisikan sebagai perilaku yang menguntungkan organisasi dan atau berniat untuk menguntungkan organisasi, yang langsung dan mengarah pada peran pengharapan. Dengan demikian OCB merupakan perilaku yang fungsional, extra-role, pro-sosial yang mengarahkan individu, kelompok dan atau organisasi (Dyne, 1995). Sejalan dengan hal diatas, Organ (1988) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu yang bersifat bebas (discretionary), yang tidak secara langsung atau eksplisit mendapat penghargaan dari system imbalan formal, dan yang secara keseluruhan mendorong keefektifan fungsi-fungsi organisasi. OCB ini bersifat bebas dan sukarela karena perilaku tersebut tidak diharuskan oleh persyaratan peran atau deskripsi jabatan yang secara jelas dituntut berdasarkan kontrak dengan organisasi, melainkan sebagai pilihan personal. 2.4.2 Dimensi Organizational Citizenship Behavior Dimensi yang paling sering digunakan untuk mengkonseptualisasi Organizational Citizenship Behavior adalah dimensi-dimensi yang dikembangkan oleh Organ et al. (2006) sebagai berikut : 25 a. Altruism Perilaku karyawan dalam menolong rekan kerjanya yang mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi baik mengenai tugas dalam organisasi maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah kepada memberi pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya. b. Conscientiousness Perilaku yang ditunjukkan dengan berusaha melebihi yang diharapkan perusahaan. Perilaku sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas karyawan. Dimensi ini menjangkau jauh diatas dan jauh ke depan dari panggilan tugas. c. Sportmanship Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan – keberatan. Seseorang yang mempunyai tingkatan yang tinggi dalam spotmanship akan meningkatkan iklim yang positif diantara karyawan, karyawan akan lebih sopan dan bekerja sama dengan yang lain sehingga akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih menyenangkan. d. Courtessy Menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari masalah – masalah interpersonal. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain. 26 e. Civic Virtue Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan organisasi mengikuti perubahan dalam organisasi, mengambil inisiatif untuk merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur – prosedur organisasi dapat diperbaiki, dan melindungi sumber – sumber yang dimiliki oleh organisasi). Dimensi ini mengarah pada tanggung jawab yang diberikan organisasi kepada seorang untuk meningkatkan kualitas bidang pekerjaan yang ditekuni. 2.5 Hubungan Kepuasan Kerja dengan Organizational Citizenship Behavior Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior sebagaimana yang dinyatakan Sloat (1999) karyawan cenderung akan melakukan tindakan yang melampaui tanggung jawab kerja mereka di luar deskripsi pekerjaan mereka apabila mereka puas dengan pekerjaannya, menerima perlakuan yang sportif dan penuh perhatian dari pengawas dan juga percaya bahwa mereka diperlakukan adil oleh organisasi dimana mereka bekerja. Kepuasan kerja berperan terhadap Organizational Citizenship Behavior , Karena karyawan akan memberikan sesuatu kembali untuk perusahaan yang telah memperlakukan karyawan dengan baik. Karyawan cenderung bekerja semaksimal dan sebaik mungkin jika karyawan merasa mendapatkan kepuasan kerja, tetapi jika dalam bekerja karyawan masih kurang nyaman dan tidak mendapatkan kepuasan kerja, makan karyawan tidak maksimal dalam bekeja. 27 2.6 Hubungan Servant Leadership dengan Organizational Citizenship Behavior Seorang pemimpin yang melayani adalah seorang hamba pertama yang memiliki tanggung jawab untuk memberikan kontribusi dan kesejahteraan masyarakat serta komunitas. Seorang servant leadership terlihat dengan kebutuhan rakyat dan bertanya pada dirinya sendiri bagaimana dapat membantu mereka untuk memecahkan masalah dan meningkatkan pengembangan pribadi. Pemimpin servant leadership menempatkan fokus utama pada orang, karena orang dan termotivasi untuk mencapai target mereka dan untuk memenuhi harapan ditetapkan (Mukasabe, 2004). Menurut Katz & Kahn (1978), fungsi organisasi yang efektif membutuhkan karyawan-karyawan yang tidak hanya melakukan peran yang ditentukan oleh orang, tetapi juga keikut sertaan perilaku yang melampaui kewajiban formal. Aspek dari kinerja ini konsisten dengan konsep OCB yang diperkenalkan oleh Organ. OCB merupakan perilaku yang bebas atau bijaksana ditempat kerja yang melampaui pekerjaan dasar seseorang yang dipersyaratkan. Seorang pemimpin servant leadership biasanya melakukan tindakan yang melayani dengan perasaan sukarela. Tindakan ini antara lain karena untuk menolong dan memberikan konstribusi pada bawahannya berupa pengajaran, kasih, pengalaman, atau petuah. Perilaku yang dicerminkan dalam servant leader sangat mempengaruhi OCB pada pengikutnya, karena pengikut cenderung meniru apa yang 28 dilakukan oleh pemimpinnya. Penelitian yang dilakukan oleh Vondey (2010) kepada 130 orang yang bekerja di berbagai industri di seluruh Amerika Serikat menunjukkan bahwa servant leadership berhubungan dengan OCB. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa apabila pemimpin servant leaders memiliki jiwa melayani follower dengan ketulusan dan memberikan contoh OCB yang baik, maka hal ini dapat menumbuhkan OCB pula pada karyawannya. 1.7 Rerangka Teoritis dan Hipotesis Gambar 2.1 Rerangka Teoritis Hipotesis : H1 : Kepuasan Kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB pada Dosen dan Karyawan UTama H2 : Servant Leadership berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB pada Dosen dan Karyawan UTama