Telaah dan Gagasan bagi Reforma Kebijakan Sosial di

advertisement
N
DEMOKRASI TANPA KESEJAHTERAAN?
Telaah dan Gagasan bagi Reforma Kebijakan Sosial di
fndonesia'
D. Triwibowo2
D etnokr asi da;n tclntang an ke s ej ahter ororn
Sanggupkahdemokrasi membawakan kesejahteraandan keadilan sosial bagi warga
negara? Bagi banyak negara berkembangyang memilih jalan demokrasi, tantangan
terbesar-bukan lagi menyelenggarakanpemilihan umum yang ajeg dan akuntibel
namun -lebih _kepada bagaimana memampukan mesin dembkraJi mendongkrak
tingkat kesejahteraan sosial-ekonomi warganya secara lumintu (Diamond, zoog).
Ini bukanlah sebuah tugas yang ringan mengingat begitu banyaknya negara
berkembang Ylng perekonomiannya stagnan Uaht<anmerosot seteiah -er"ng'i<uh
demokrasi. TidaHah mengherankanjika kinerja kesejahteraankerap menjadi batu
uji bagi keberlanjutan sistem demokrasi di suatu negara karena capaian yang buruk
bisa memicu_terjadinyapembalikan demokrasi(democracAreuersal). Sepertihalnya
yang diutaraka! oleh Hutchins bahwa, "The death of democracy is not ltkely to be an
assassinchonfrom ambush. It :urrillbe.a sbu extinctionfrom apathy, indffirence,
and undernourishment'' .
Tantangan ini merupakan isu yang relevanbagi demokrasi di Indonesia. Satu dekade
setelah robohnya Orde Baru, demokrasi masih saja sibuk berpeluh-peluh mengatasi
masalah kemiskinan, kesenjangandan diskriminasi sosial, seita ketimpangan lintas
yrlayah yang menghambat pemenuhan janji kesejahteraan. secira ga*pu.tg
kesulitan ini bisa dilihat dalam capaian Indonesia kala memenuhi target giobal
MDGs bagi pengurangan kemiskinan. Laporan terkini dari uN EScAp, uNDp, dan
ADB menggolongkanIndonesia dalam kategori "falling further behind" (sekelompok
dengan Bangladesh,Myanmar, Laos, PNG, dan rilipina) jika dibandingkan dengan
negara-negaralain di kawasan Asia Pasifik (GAPRI, zoo8). Menurut laporan
tersebut,_ capaian Indonesia secara umum dinilai buruk karena perkembangannya
lamban dan bahkan mengalamaikemunduran.
Capaian kesejahteraan, seperti halnya di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari
keberadaan dan kinerja kebijakan sosial (social policy) yang dikembingkan oleh
negara 1Uidgl9V, 2ooo). Kebijakan sosial, menurut Midgley lebih lanjut, adalah
instrum-en_kebijakan yang secara khusus dirancang dan diterapkan untuk
-meningkatkan kesejahteraan warga negara. Lindenthal (zoo+) mengimbuhkan
bahwa kebijakan sosial secara luas akan melayani empat tujuan utama, yaitu : (i)
pengurangan kemiskinan; (ii) peningkatan standar hidup; (iii) pengurangan
kerentanan sosial (social uulnerabili4r); serta (iv) penciptain kesempatin kerja.
Kebijakarr perlindungan sosial (social protection) aadali instrumen utama bigi
pencapaiantujuan pengurangankerentanansosial.
$9brja_$n sosial yang efektif membutuhkan aktifnya peran negara (Gough, zooo).
Merujuk pada_pe_ngalaman
negara-negarademokrasi lanjut (manffe dem.ocracy),
Gough menandaskanbahwa peran aktif tersebut tidak berarti negara menempatkin
I Makalah pada Panel Gerakan Buruh di Bawah Tirani Modal dalam
Konferensi Warisan
otoritarianisme: DemokrasiIndonesiadan Tirani Modal,5 Agustus2oo8, Depok.
'z Penelitikebijakansosial;kini tengahbekerjapadaperkumpulanprakarsa
Cirinya sebagai satu-satunya sumber pemasok kesejahteraan bagi warga negara.
Negara harus mampu menggunakan kebijakan sosial untuk mengatur bauran
keseiahteraan(welfare mx) denganmenjaga keseimbanganperan mekinisme pasar
dan keluarga sebagai sumber pasok sehingga warga negari tidak menjadi terlalu
bergantung p-adapasar tenaga kerja (de-coimodification) maupun uluran keluarga
mereka (de-familiarr'schon) untuk mendapatkan pasokan keiejahteraan (Gougl,
2ooo).
Nampaknya,halinilah yang belum bisa dilakukan denganbaik oleh entitas negaradi
Indonesia. - -$uji?" Bank -Dunia (zoo7) menunjukkan masih rendahnya t-ingkat
belanja publik di sektor kesehatan dibandingkan dengan negara-negara laii di
kawasan Asia. Demikian juga dalam cakupan kebijikan pirlindungan sosial.
Lindenthal (zoo+) menyatakan bahwa hanya-7%odarl penduduk Indo-nesiayang
tercakup oleh skema-tunjangan hari tua, serta hanya g% yang dilindungi
jaminan
-kelompok
pe.{a.ngqulgll kesehatan. Dikembangkannya jaminan kesehitan bagi
miskin (ASKESKIN) memang bisa memperluas-cakupantersebut dari i5X menliai
belum mampu mencakup separo
-(zooo)
7},?%.dari populasj, lqmun proporsi tersebut juga
dari- jumlah penduduk Indonesia.s Gough
menlkategorikan siitem
-"Iess
perlindungan- sosial di Indonesia sebagai
instttutionilly 1eueloped and
diff_erentiatet', ata:udengan kata lain paling tidak tertata dan terle-mbagakairdengan
baik.
Prospek refortna
di rndonesio-
dari keterbelo.kangan
ke kuldesak
Berbagai faktor mempengaruhi perkembangan kebijakan sosial di suatu negara.
Gough (zooo), sebagai contoh, menjelaskan-bahwafaktor budaya, faktor ekonomi
dan pola pembanguna! yang berlangsung di negara-negaraAsia'berbeda dengan
nega-ra-negara
Eropa sehinggaakan menghasilkanpola kebijakan sosial serta bauian
kesejahteraanyang berbeda pula. Holiday dalam Gough (z6oo) berpendapat bahwa
n_egara-negaraAsia mensubordinasikan kebijakan sosial di bawah kebijakan
ekonomi. Negara-negaraAsia Timur, seperti halnya Korea Selatan, Taiwan, dan
Jepang, mengembangkansistem kebijakan sosialyang bersifat residual, memusatkan
belanja sosial pada sektor-sektor produktif (khususnya pendidikan) serta
menempatkan _peningkatan kesejahteraan sebagai turunan dari pertumbuhan
ekonomi (Holiday, Shin dalam Gough,zooo).
Pola yang berkembans Asia Timur juga tidak sepenuhnyasama dengan yang ada
{i
* atr} le-nggara,.ke-cualisingapura (Holiday dalam Gough, zooo). Sebaglandari
"|<9t-er!glakan_gan"
(backuardness) perkembangan kebijikan sosial di Iidonesia
tidak bisa dilepaskan dari karakteristik dasar yuttg aai ai negara-negara dalam
kawasan tersebut. Gough (zooo) menjelaskanbeberapa faktor |ang mJnyebabkan
gapaian_kesejahteraan di negara-negara Asia Tenggara (khususnya Indonesia,
Thailand, Filipina, dan Malaysia) lebih rendah dibandingkatt n"guiu-tregara Asia
Timur, di antaranya: (i) lebih kuatnya pengaruh dinamika global lerhadap
_perekonomiandomestik di Asia Tenggara; di mlna kekuatan pasir mampu lebift
leluasa menekan negara; (ii) masih belum matangnya sistem ddmokrasi dan masih
lemahnya _posisilayar masyarakat sipil terhadap negara; (iii) rapuhnya kekuatan
serikat pekerja; (rv) masih dominannya sektor pertinian dan jejaring p"^gu-uo
sosial lang disediakannya b€r kesejahteraan warga; serta' (v) t-radisi yang
berkembang untuk menempatkan kebijakan sosial sebagai alai tontrol negara
!g&g4gp rye.€uq9#!? (be4qperlist instiument). Dalamkoriteksini, kebijakansosiut
e Dikutip dari angka
-yang disajikan ILO dalam background Seminar Nasional "Realizing
Social Security for AII - Should JAI4SOSTEK be Reformed?", Le Meridien Hotel, 16 Juii
zoo8.
tidak lebih merupakan sebuah instrumen yang digunakan oleh elit untuk
mempertahankan status quo, meredam tuntutan bagi reforma yang menyeluruh
dengan memberikan konsesi-konsesiyang terbatas pada kelompok-kelompok warga
negarayang terpecah belah (Baldrnrindalam Gough,2ooo).
Nantun, persamaan-persamaan ini tidak dengan sendirinya menyeragamkan
dinamika perkembangan serta taraf capaian kesejahteraan di negara-negaia Asia
Tenggara (Triwibowo dan Bahagijo, zoo6; Pierson, 2oo4). Secaraumum, capaian
yang diraih Indonesia berada di bawah Thailand dan Malaysia. Sebagai contoh,
prosentase belanja sosial Indonesia terhadap PDB sebelum krisis hutwu mencapai
t,7%o,di bawah Malaysia (z,g%) serta Thailand (r,g%). Setelah krisii, sementira
cakupan perlindungan sosial di Thiland berkembang pesat dengan menyertakan
tunjangan pengangguran dan keluarga, Indonesia tidak mengalami perkembangan
yang berarti (Pierson,2oo4).
Secaraumum, Lindenthal (zoo4) mengilustrasikanterbatasnya peran negara dalam
mengoptimalkan kebijakan sosial di Indonesiasebagaiberikut:
.
.
.
o
.
Sifal sistem jaminan sosial (social insurance) yang contributory, di mana
pendanaan bertumpu pada kontribusi pekerja dan pemberi kerja, sementara
negS.rl hanya berperan minimal dengan mengkususkan intervensinya pada
kebijakan pengurangan kemiskinan
Terbatasnya-cakupan sistem jaminan sosial, sebagaibagian dari perlindungan
sosial,yang hanya melayani minoritas populasi
Tingginya ketergantungan pada keluarga (baik keluarga inti maupun keluarga
luas) untuk memberikan perlindungan sosial inormal terhadip hilangnla
pendapatan atau gangguankesehatan
Terbatas {an terfragmentasinya bantuan sosial (socia/ cssistance) pada
kelompok-kelompok miskin
Sistep kesehatanpublik yang tidak didanai dengan memadai dan tidak mampu
memberikan pelayananyang mumpuni terhadap seluruh warga
Upaya reforma slstem perlindungan sosial memang telah menjadi agenda rezim
pemerintahan paska krisis mulai dai era transisi di bawah BJ Habibie (Wisnu, zoo1).
Hanya saja, seperti yang kemudian dalam kasus Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN), upaya reforma yang diawali dari keterbelakangan tersebut bisa dengan
mudah tergelincir menjadi jalan buntu, sebuahkuldesak.
SJSNmerupakan upaya pengintegrasianpengelolaandan perluasan cakupan layanan
perlindunag sosial dengan menjamin penyediaanpelayanin kesehatan,leselamatan
kerja, tunjangan hari tua dan kematian bagi semua wirga negara Indonesia melalui
asuransi sosial da_ntabungan wajib serta denganmewajibkan pemerintah membayar
premi bagi mereka yang tidak mampu (Wisnu, zooT). SJSN juga dimaksudkan
untuk menciptakan sistem terpadu di bawah DewanJaminan Sosiil Nasional (DJSI\I)
yang mengkoordinasikan berbagai lembaga pelaksanasistem jaminan sosial yang
sudah ada (Wisnu, zooT). DJSN merupakanlembagaberbadan hukum wali aminaf,
yang berbe4a dengan bentuk perseroan terbatas milik negara yang dominan dalam
lembagapelaksanayang ada sebelumnya.
Haly_asaja, empat tahun setelahdiundangkan melalui UU No. 4of zoo4, reforma ini
seolah menemqi ialan buntu dalam implementasinya. Wisnr, (uoo7),'menjel^"kar.,
erikut:
"..b9 introducing -a highly dramatic change, i.e. the merger of aII social securitg
agencies under the one roof of D"rsN..., the transformation ojlegal sfatus of the
3
agenciesthat would stop theflou of agents' diuidend-sharing w'ith the state,and the
inclusion of the poor as additional benefi.ciaries of the system without a clear
mechanism of financing it, the Indonesian gouernment adopted a reform that
created seuereresistanceand skeprtcismfrom the stakeholders.."4
Secaraumum, paling tidak ada dua hal di luar resistensi para pemburu rente dalam
birokrasi yang bisa menjelaskan kegagalan reforma kebijakan sosial (khususnya
perlindungan sosial) melalui SJSN,yaitu:
1.
Kenyataan bahtaa negara tetap menempatkan reforma tersebut dalam
kerangka instrumen Bonapartis bagi pengendalian warga negara dan
sumberdaya mereka. Wisnu menunjukkan bahwa reforma teriebut di satu sisi
akan menurunkan tingkat kemanfaatan yang diterima pengiur, namun di sisi
lain kontrol negara atas warga dan dana publik yang dihimpun melalui reforma
tersebut.s Dengan kata lain, reforma ala SJSN ini tetap didorong oleh motivasi
lama- negara dalam menguasai besaran sumber daya yang memungkinkan
mereka berlaku independen terhadap tekanan eksternal serta-kebutuhan untuk
_menciptakaninstrumen kontrol terhadap perilaku aktor non-negara. Banyaknya
kepentingan yang terlibat menyebabkanreforma ini berujung pada kompromikompromi politik yang tidak menguntungkan para pengiur dan warga negara,
khususnyapekerja.
2.
Kuatnya _penolakan yang dilakukan para pemangku kepentingan, termasuk
pekerjg dan sektor priuat. Pada awalnya ide reforma inimendipat sambutan
positif dari sektor privat dan pekerja, Namun, saat mereka sadar bihwa reforma
tersebut tidak didasarkan pada kepentingan pekerja dan warga negara namun
lebih untuk melayani agendarezim pemerintahan yang tengah berkuasa mereka
mulai melakukan penolakan yang kuat. Kesepahamai antira sektor privat dan
pekerja atas tidak idealnya desain dan proses reforma serta makin terbukanya
-mekanismepenyuaraan (uoicing) dalam proses demokratisasi memungkinkin
berlangsungnya penolakan yang efektif terhadap upaya kontrol Bonapartis
negara.
Dalam kasus SJSN, reforma kebijakan sosial tergelincir dalam kuldesak karena
prosesnya tidak dimaksudkan untuk mengatsi keterbelakangan yang ada namun
justru memperkuatnya.
M eng g ag as p akt a sosial
( s o cial p aets) b ag i pr o s e s r eforrna
Apakah demokratisasi mampu memfasilitasi reforma kebijakan sosial yang
bermakna? Alih-alih pesimis, pengalaman dalam reforma via SJSN menunjukkan
bahwa demokrasi di Indonesia membutuhkan lebih dari intervensi-intervensi
Bonaparttsme yang usang. Agenda-agenda reforma terkini, seperti revisi SJSN,
penataan ulang JAMSOSTEK, perluasan cakupan perlindungan sosial untuk
menjangkaupekerja informal maupun pen)'usunankerangka kebijlkan yang terpadu
q Lihat Wisnu, D. 2oo7. Gouerning Social Secuity Economic Cn'srs and Reform in
Indonesia, the Philippines, and Singapore. Disertasi. Ohio State University. Ohio, hal 49r40.
*
*sttatndieaorlaT
E@sug
g e stl'at
improued the benefi.tleuel. The contribution rate has remained skewed towards-putting the
cost-oft!t9 burden on the workers. As funded s7stem,workers not only are not guaraiteed
the leuel benefi.tsthey taould receiue upon contingencies,their pool of accumulaied funds is
subjecttotax,fees,anddiuidendpaymenttothestateasstakeholders..".
Ibid,hal49-44.
4
bagi pemberian bantuan sosial pada kelompok miskin harus terus didorongkan.6
Masalah utama adalah pada bagaimanareforma tersebut dikelola.
]vl-elujukpada Wisnu (zoo7), evolusi kebijakan sosialyang berkembang di Indonesia
lebih merYpakan inisiati birokrasi dan output dari proJes teknokrafrs. Sebagian
besar regulasi yang terkait dengan jaminan kesejahteraanpekerja dari masa drde
kTu -hingga Orde Baru merupakan buah pengaturan kekuatin eksekutif yang
dilakukan secara tertutup. Prosesseperti ini hanya bisa bertahan dalam kekuatai
{eprqi negaradan lemahny-akekuatan tawar aktoi-aktor non negara. Dalam sistem
demokrasi, reforma kebijakan sosial yang bermakna membutirhkatr pengelolaan
prosesyang berbeda karena sifatnya yang melingkupi kemaslahatanbanyik pi[ut .
Penguatan serta revitalisasi pakta sosial sebagailandasan reforma kebijakan sosial
secara _menyeluru!
lerypakan gagasan yang menarik untuk dipertimbangkan.
-telah
Merujuk pada Avdagic, Rhodes, dan Visser (ioos), revitalisasi pui.tu sosial
T"."o.l9tg. panya\ _negara Eropa dalam menyeimbangkan tdkanan kompetisi
globalisasidan perlindungan sosial pekerja sejak dekad" r9!o-at . Bahkan di negara-neg-arayang tidak mgmpunyqi tmdisi korporatisme yang kuat, seperti Irlaidia,
berbagai varian revitalisasi pfkta sosial mampu melindunli kesejahieraan pekerja
dan warga negara (Avdagic,Rhodes,dan Visser, zoo5).
Secerallmum, pakta sosial merujuk pada "suatu bentuk khusus bagi kerjasama
makro (macro cooperation)
_yangierkait denganberbagaibentuk p"trgit,,ru.t makro
(macro concertation) yqng lain atau pertukiran politil
@ottticaf exihange) antara
perwakilan pemerintah_dengan kelompok-kelompbk kepentingan yang te."rorganisir
guna menegosiasikandan mengkoordinasikan pelaksanaankebilakan lintas sektor
maupun lintas tingkataa" (Fajertag dan pochet; siaroff; Hajsel; siegel dalam
Avdagic, Rhodes, dan Visser, zoo5). ILO, secara lebih sederhana, menjefinisikan
pa$l sosial s_ebagai"outcome dari suatu proses dialog sosial yang sukses. Dialog
sosial merupakan pertukaran gagasanantaia pemerintah, sektoi privat, serta pekerji
untuk mencapai kesepahamanterhadap berbigai mgam isu kebijakan sosial -uup.ro
jarang dialog ini juga melibatkan aktor lain, seperti organiiasi
ekonomi' fi{k
masyarakatsipil, serta kelompok-kelompokagama".z
Pakta sosial bisa mengambil banyak bentuk serta membaicarakan isu yang berbeda
antara praktek di ne_garasatu dengan negara lain. Hanya saja, teradapai dua ciri
dasar yang mengikat keragamanpakta sosiil tersebut,yaitu:
'
'
Pelibatan yang b-ermaknaserta pembagiantanggung
jawab antara para peserta
-and
dialog, termasuk pemerintah dalam negosiisi
proses pengambilan
keputusan atas kebijakan sosialtertentu
9ligltasi pada pembentukan kesepahamandan kesepakatanatas berbagai isu
kebijakan sosial dan ekonomi yang pelik dan inelibatkan perteniangan
kepentingan antara pesertadialog
Pakta sosial bisa digunakan untuk menghapus asimetri informasi, mengelola
harapan dan berbagai tanggung jawab dalam mendorong reforma kebijakan iosial
yang lebih menyeluruh.
Proses revitalisasi mencakup upaya penguatan pelembagaan (fnsfi'tutionalbation)
dari ragam pakta yang
pe\!a yang le-bih
!eTpit:e[!!9-tak terintegrqs! & !:"!"\
o Dikutip dari ILO. Op.At.
' Lihat "Social
pacts at the national leuel in European countries", diunduh dari
http ://www.ilo. org/public/ english/dialogue
lebar-inklusif-dan terintegrasi (Avdagic, Rhodes,dan Visser, zoo5). Pada dasarnya
terdapat empat varian pakta sosial yang telah berkembangdi berbagai negaraseperti
yang ditunjukkan dalam gambar r berikut:
Gambar r. Varian/taksonomi pakta sosial
Tingkat
pengaturan
atau
derajat
artikulasi
Shadow pacts
Sempit-elitis-tak
Kuadran z
Headline socialpacts
Luas-inklusif-tak
Peng atur an neo -korp or atis
Luas-inklusif-terintesrasi
Sumber: Avdagic,
n Visser(zooS)
Proses revitalisasi mencakup dua trajektori utama dalam penguatan pelembagaan
yaitu proses integrasi atau pergeseranvertical (kuadran r ke g; kuadran z ke 3; atau
kuadran z ke 4) serta proses ekspansi atau pergeseranhorizontal (kuadran r ke z;
atau kuadran 3 ke 4).
Dasar-dasar pakta sosial yang sejauh ini telah dikembangkan di Indonesia masih
didominasi oleh bentuk-bentuk "shcdou) pects" atas isu-isu yang sempit, dalam
proses yang terfragmentasi dan tertutup. Bentuk palta dalam kuadran 3 yang lebih
terintegrasi sebenarnyatelah mulai dikembangkan namun hanya terbatas pada isu
pengupahan dan masih bersifat elitis. Revitalisasi pakta sosial bagi reforma
kebijakan sosial di Indonesia dengan demikian harus diawali dengan prosesekspansi
(kuadran 3 ke + dan r ke z) serta dikuti dengan integrasi (kuadran zke +). Bentuk
pakta sosial yang mencakup isu yang luas, melibatkan partispasi yang inklusif serta
terintegrasi secara kuat haruslah menjadi tujuan dalam proses reforma kebijakan
sosial di Indonesia.
Kekuatan kolektif kaum pekerja harusnya diarahkan untuk mendorong revitalisasi
pakta sosial. Di banyak negara Eropa, kaum pekerja telah menjadi kekuatan yang
signifikan dalam proses ini baik melalui partai politik maupun melalui kerja-kerja
serikat. Untuk keluar dari keterbelakangan dan menghindari jebakan kuldesak,
adalah tepat saatnyabagi kaum pekerja untuk mempertimbangkan revitalisasi pakta
s_osialsebagai agenda politik bersama. Sebagaisebuah bentuk upaya untuk kiluar
dari sangakar sempit income policies serta bergabung dengan kekuatan masyarakat
sipil lainnya dalam mendorong reforma kebijakan sosial, untuk memastikan
demokrasi mampu memenuhi janji kesejahteraannyakepadawarga negara.
6
Senglaj literatur
Avdagic, S; Rhodes,M dan J. Visser. zoo5. The Emergenceand Evolution of Social Pacts- A
Provisional Framework for ComparativeAnalysis. European GovernancePapers No. N-o5or, diunduh dari http://www.connex-network.org/eurogov/pdf.
Bank Dunja. 2oo7. Spending for Deuelopment - Making the Most of Indonesia'sNero
Opportunities. Indonesia Public Expenditure Reuiewzoo7. BankDunia. jakarta.
Diamond, L.- zoo3. Deueloping Democracy touards Consolid.ation(Edisi Indonesia). IRE
Press. Yoryakarta.
GAPRI. eoo8. The Train of MDGs 2o1S - WilI h make a Stop in Indonesia? GAPRI and
Oxfam GB Indonesia Program. Jakarta.
Gough, I. - zooo. Welfare Regime in East Asia and Europe. Paper dalam Annual World.
Bank Conferenceon Deuelopment EconomicsEurope zooo.- Univerlity of Bath. Bath.
Lindenthal, R. 2oo4.,f4"
Challenge of Sociat Protection for AII Indonesia. Ajoint ILO-UNSFIR paper. UNSFIR. Jakarta.
Policg Option for
policy" dalam J. Midgley, M.B. Tracy dan M.
Midgley, J. eooo. "The
-Definition of soeial
Livermore (ed). TheH andbook of social polfcy. sagepublication. l,ondon.
Pierson, C. zoo4. Late Industrializers and the Deuelopmentof the Welfare Sfafe. IJNRISD
paper.UNRISD. Jenewa.
Triwibowo, D dan Bahagijo, S. zoo6. Mimpi Negara Kesejahteraan- Peran Negara dalam
Produksi dan Alokasi KesejahteraanSosial. Lp3ES. Jakarta.
D. zoo7. Gouerning SocialSecurity - Economic Crisisand Reform in Indonesia,the
!V_i9-nu,
Philippines,and Singapore. Disertasi. Ohio StateUniversiW. Ohio
Download