PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007 PENYELESAIAN SENGKETA E-COMMERCE MELALUI ARBITRASE DI INDONESIA Oleh: Naba Aji Notoseputro ABSTRAK Perkembangan komputer dan teknologi informasi yang demikian pesatnya yang berdampak pada hampir pada seluruh sistem dan tatanan kehidupan masyarakat, termasuk pula sistem perdagangan dunia, tetapi disisi lain dampak tersebut juga berakibat pada masalah-masalah hukum yang berkaitan perkembangan perdagangan melalui elektronika (e-commerce) sebagai cara perdagangan baru. Penanganan untuk sengketa-sengketa perdagangan elektronik (e-commerce) baik itu Business to Business (B2B) atau Business to Costomer (B2C), untuk di Indonesia proses dengan arbitrase dianggap lebih baik dikarenakan lebih fleksibel, lebih efektif dan efisien karena arbitrase tidak terikat kepada formalitas seperti pengadilan biasa. Untuk pengaturan tentang arbitrase, di Indonesia telah ada Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dimana putusan arbitrase asing pun dapat dijamin keberadaannya, sehingga sengketa-sengketa yang berkaitan dengan e-commerce dan terkait dengan pihak asing dapat dijamin pelaksanaannya (enforcement) di Indonesia. I. PENDAHULUAN Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang ada saat ini telah menjadi fenomena besar yang hampir mempengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat, yang pada akhirnya dapat menjungkir-balikkan semua tatanan kehidupan yang ada. Fenomena baru tersebut adalah internet, yang pada awalnya internet hanya digunakan manusia sebagai satu media untuk berkomunikasi semata, tetapi kemudian pada perkembangannya penggunaan internet merambah ke dunia bisnis. Hal tersebut ditandai dengan munculnya suatu bentuk perniagaan atau perdagangan baru yang menggunakan alat bantu komputer, dan bentuk itu disebut sebagai perniagaan atau perdagangan elektronik (electronic commerce atau e-commerce). E-commerce sebagai bagian dari kegiatan bisnis secara umum dapat diartikan sebagai segala bentuk transaksi perdagangan atau perniagaan barang dan jasa (trade of goods and services) dengan menggunakan media elektronik (Makarim, 2003). Media elektronik tersebut dapat berupa telepon, telegraf, teleks dan komputer. E-commerce merupakan bidang yang multi disiplin, sehingga memiliki aspek-aspek hukum yang harus diperhatikan dan terkait dalam pelaksanaannya. Diantara aspek hukum yang terkait, antara lain : mengenai kontrak, asuransi, perlindungan terhadap HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual), electronic paymen dan legal settlement. Di dalam e-commerce seperti halnya transaksi jual-beli pada umumnya terdapat kepentingan-kepentingan para pihak (hak dan kewajiban). Hal tersebut membuka kemungkinan terjadinya benturan antara hak dan kewajiban dari para pihak, baik yang disebabkan oleh wanprestasi, masalah perlindungan konsumen, atau hal-hal lainnya. Untuk itu diperlukan adanya suatu mekanisme penyelesaian sengketa. 14 PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007 Di Indonesia pemanfaatan ecommerce sudah banyak mulai dilakukan oleh dunia bisnis, oleh karenanya untuk melindungi kepentingan hukum para pelaku bisnis tersebut diperlukan suatu kerangka hukum tentang pelaksanaan ecommerce, termasuk didalamnya mengenai penyelesaian sengketa. Sebenarnya sengketa bisnis tersebut dapat saja diselesaikan melalui lembaga formal yaitu pengadilan, tetapi biasanya penyelesaian sengketa tersebut membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Terdapat alternatif lain untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya sengketa tersebut, yaitu melalui Alternative Dispute Resolution (ADR), misalnya dengan negoisasi, mediasi ataupun arbitrase. Penyelesaian sengketa di dalam ecommerce terdapat indikasi para pelakunya lebih menyukai penyelesaian melalui ADR (out court settlement). Salah satu alasannya adalah dalam penyelesaian sengketa tersebut lebih fleksibel, sehingga para pihak dapat membuat kesepakatan mengenai mekanisme pelaksanaannya, seperti misalnya : arbiter yang ditunjuk atau lamanya penyelesaian. Hal lainnya dalam menyelesaikan sengketa ecommerce dimana data yang ada pada umumnya bersifat tidak riil (electronic data), maka proses arbitrase dapat menguntungkan karena hukum acara di Indonesia belum mengatur mengenai data elektronik. Dengan menggunakan arbitrase selama ada persetujuan dari kedua belah pihak maka data elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti. Sebab lain mengapa arbitrase umum dipakai apabila terjadi sengketa, dengan alasan karena ‘lebih cepat, murah dan sederhana’ (Gautama, 1999), dibandingkan dengan berperkara di pengadilan biasa yang memakan waktu lebih lama. Alternatif penyelesaian sengketa dengan arbitrase dianggap sebagai mekanisme paling tepat untuk menyelesaikan berbagai bentuk sengketa, dan sebagai membantu proses penyelesaian sengketa agar lebih mudah dan sederhana (Abdurrasyid, 2002). Disamping itu, pilihan menggunakan arbitrase dinilai lebih efisen dan efektif, karena arbitrase tidak terikat pada formalitas-formalitas sebagaimana peradilan umum dan juga aspek kerahasiaannya terjaga, yang berarti menjamin kerahasiaan identitas dan kebonafitan dari para pihak. Selain itu, proses pengadilan di Indonesia dirasakan hanya membuang waktu dan memerlukan biaya besar, serta ketidakpercayaan para pengusaha kepada hukum positif Indonesia, belum lagi hukum positif kita banyak yang belum mengatur permasalahan yang sekarang sedang aktual terjadi di masyarakat. II. PEMBAHASAN Di dalam tulisan ini akan dibahas tentang e-commerce secara umum dan aspek-aspek hukum yang ada didalamya terutama penyelesaian sengketa melalui arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa. Berdasarkan hal tersebut maka akan dibahas dalam tulisan ini antara lain : 1. Bagaimana proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase dilaksanakan dalam sengketa ecommerce, terutama yang berkaitan dengan transaksi B2B atau B2C ? 2. Kesulitan dan kendala apa saja yang ada di dalam penerapan arbitrase di Indonesia khusus yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa B2B atau B2C e-commerce melalui arbitrase dan cara apa yang paling baik untuk diterapkan saat ini, mengingat belum adanya peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur mengenai e-commerce di Indonesia ? 15 PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007 Tinjauan umum tentang E-Commerce. Perkembangan teknologi informasi yang ada saat ini telah mengubah pola perdagangan yang ada di masyarakat dunia, dari perdagangan biasa mengarah ke perdagangan secara elektronik. Pada prinsipnya perdagangan apapun itu sama saja semuanya menyangkut transaksi yang terjadi antara pelaku-pelaku usaha dalam dunia bisnis atau yang biasa disebut transaksi dagang. Pada umumnya transaksi dagang tersebut berupa perjanjian yang menimbulkan perikatan antara para pihak. Apabila kita melihat pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa segala bentuk perjanjian yang terjadi dalam melakukan aktivitas perdagangan pada hakikatnya diperbolehkan oleh undang-undang untuk diadakan. Hal ini juga berarti dengan dianutnya sistem terbuka, juga dimungkinkan untuk para pelaku usaha melakukan segala transaksi dagangnya dengan cara-cara sendiri, seperti memanfaatkan perkembangan teknologi yang ada dengan melakukan transaski secara elektronik melalui ecommerce. Tentang e-commerce sendiri banyak ahli yang mendefinisikan sebagai perdagangan secara elektronik, tetapi sebagai perbandingan ada beberapa definisi tentang e-commerce, antara lain: “Electronic Commerce can be defined as commercial activities conducted through an exchange of information genered, stored, or communicated by electronical, optical or analogues means, including EDI, e-mail, and so forth” (Walden dalam Makarim, 1996). E-commerce (electronic commerce or EC) is the buying and selling of goods and services on the internet, especially the Word Wide Web. In practice, this term and a new term “e-business”, are often used interchangeably.(lihat pada http://www.whatis.com). Menurut Makarim (2003) ecommerce adalah ditujukan untuk lingkup perdagangan atau perniagaan yang dilakukan secara elektronik dalam arti sempit, termasuk antara lain : perdagangan via internet (internet commerce), perdagangan dengan fasilitas web internet (web commerce) dan perdagangan dengan Sistem Pertukaran Data Terstruktur Secara Elektronik (Electronic Data Interchange/EDI). Dari definisi-definisi tersebut dapat dipahami bahwa e-commerce adalah segala transaksi yang terjadi atau yang mendukung aktivitas perdagangan yang dilakukan dengan menggunakan alatalat elektronik, seperti telepon, faksimili, telegraf dan alat-alat elektronik lainnya seperti komputer, serta difasilitasi oleh jaringan sistem informasi (internet). Saat ini untuk pendefinisian e-commerce di masyarakat luas lebih diutamakan pada transaksi perdagangan yang menggunakan komputer dan melalui jaringan internet. (Riswandi, 2003). Dari keterangan tersebut maka dapat dilihat unsur-unsur yang terdapat dalam e-commerce, antara lain : 1. Segala transaski bisnis atau kegiatan lain yang terdapat dalam lingkup perdagangan, 2. Proses perdagangan tersebut terjadi atau dilakukan dengan menggunakan alat-alat elektronik, 3. Fasilitas pendukung proses perdagangan tersebut dengan memanfaatkan jaringan sistem informasi dan sistem telekomunikasi (internet). E-Commerce sebagai salah satu sistem perdagangan baru. Dalam melakukan perdagangan secara elektronik ini ada beberapa hal yang berbeda jika dibandingkan dengan perdagangan biasa (conventional transaction). Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain : 16 PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007 1. 2. 3. Adanya penggunaan alat-alat elektronik sebagai alat bantu dalam menjalankan transaksi-transaksi dagang, dalam hal ini alat bantu komputer. Perpaduan dari teknologi komputer dengan jaringan komunikasi (communications network) banyak merubah aspekaspek dalam aktivitas perdagangan baik pelaku usaha maupun konsumen (Ramli, 2002). Dengan menggunakan komputer, maka transaksi-transaksi yang terjadi antara para pelaku usaha dilakukan melalui suatu sistem jaringan informasi baik itu berupa jaringan tertutup ataupun jaringan terbuka, seperti internet. Pada transaksi-transaksi bisnis yang terjadi dalam e-commerce para pelaku tidak lagi bertemu secara fisik langsung. Perbedaan-perbedaan di atas tersebut tentunya dapat menimbulkan pertanyaan apakah transaksi perdagangan yang dilakukan dengan ecommerce memenuhi syarat-syarat yang ada di dalam peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Dalam Hukum Perjanjian yang menganut sistem terbuka, seperti yang tercantum dalam pasal 1338 KUHPerdata maka dapat dikatakan bahwa e-commerce dapat dilaksanakan dan tidak menyalahi peraturan perundangan yang ada. Transaksi perdagangan dimana para pihak tidak saling bertemu secara fisik seperti dalam e-commerce, bukan berarti transaksi tersebut menjadi tidak sah. Tetapi sah atau tidaknya suatu perjanjian tergantung pada terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang ada pada pasal 1320 KUHPerdata. Pada dasarnya e-commerce menawarkan banyak keuntungankeuntungan bagi para pelakunya, antara lain : 1. Keuntungan bagi pelaku bisnis : a. Dapat digunakan sebagai lahan menciptakan pendapatan (revenue generation) yang tidak dapat diperoleh dengan cara konvensional, seperti memasarkan langsung produk atau jasa, menjual informasi, iklan (banner), membuka cybermall, dan lain lain. (Darajat, 1999). b. Dapat menurunkan biaya operasional, ini berhubungan langsung dengan pelayanan melalui internet, antara lain : menghemat kertas, biaya telepon, tidak perlu menyiapkan ruang pamer (outlet), staf operasional, gudang besar, dan lain lain. (Baskoro, 1999). c. Dapat memperpendek product cycle dan management supplier. Perusahaan dapat memesan bahan baku atau produk ke supplier langsung ketika ada pesanan sehingga perputaran barang lebih cepat dan tidak diperlukan gudang besar untuk menyimpan produk tersebut (Darajat, 1999). d. Melebarkan dan meluaskan jangkauan (global reach). Pelanggan dapat menghubungi perusahaan atau penjual dari manapun di seluruh dunia. e. Waktu operasi tidak terbatas. Bisnis melalui internet dapat dilakukan selama 24 jam per hari, dan 7 hari per minggu. f. Pelayanan ke pelanggan lebih baik, dikarenakan melalui internet pelanggan dapat secara langsung menyampaikan kebutuhan maupun keluhannya sehingga perusahaan dapat meningkatkan pelayanan. g. Meningkatkan value chain (Value chain, maksudnya adalah rantai nilai yang ada pada proses produksi mulai dari produsen 17 PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007 bahan baku sampai dengan pendistribusian barang. Dengan e-commerce, dapat lebih efisien laju produksi yang ada). Dengan mengkomplementasikan praktek bisnis, mengkonsolidasikan informasi dan membukanya kepada pihak-pihak yang terkait dengan value chain tersebut. i. Dapat meningkatkan loyalitas konsumen. Konsumen dapat dengan mudah dan cepat, produk suatu merek terkenal melalui internet. j. Keuntungan bagi konsumen. k. Home shopping, para pembeli dapat melakukan transaksi dari rumah sehingga dapat menghemat waktu, menghindari kemacetan, dan dapat menjangkau toko-toko yang jauh dari lokasi pembeli. l. Melakukan transaksi melalui internet, tidak memerlukan keahlian khusus. m. Konsumen dapat memilih pilihan yang sangat beragam dan dapat membandingkan dengan produk maupun jasa lainnya. l. Konsumen dapat melakukan transaksi kapan saja, selama 24 jam per hari dan 7 hari per minggu. Selain keuntungan dan kemudahan yang didapat dengan bertransaksi melalui e-commerce, tentunya terdapat pula kerugian atau kesulitan-kesulitan yang terjadi, antara lain : (Musa, 1999). a. Belum jelasnya aturan main dan undang-undang yang mengatur transaksi e-commerce di Indonesia. b. Infrastruktur yang masih kurang memadai, seperti : jaringan internat, bandwicth (kecepatan transfer data), peralatan pendukung, keamanan jaringan, dan lain lain. c. Tersedianya sumberdaya manusia yang berkualitas untuk mendukung e-commerce. d. Dukungan pemerintah, dalam menciptakan insentif dan pengurangan hambatan bisnis untuk membangun dan memanfaatkan e-commerce. Jenis-Jenis Transaski Dalam E-Commerce. Perdagangan Menurut Makarim (2003) jenis-jenis e-commerce yang umum dan yang paling banyak dikenal adalah jenis business to business (B2B) dan business to customer (B2C), tetapi selain keduanya, terdapat juga beberapa jenis lainnya, yaitu : customer to customer (C2C), customer to government (C2G), dan customer to business (C2B). Uraian tentang jenis-jenis e-commerce, sebagai berikut : a. Business to Business (B2B). Transaksi perdagangan yang terjadi antara suatu perusahaan dengan perusahaan dimana para pelaku tersebut bukanlah end user atau pengguna akhir dari obyek perdagangan. b. Business to Customer (B2C). Transaksi perdagangan yang terjadi antara produsen dengan konsumen langsung sebagai end user dari obyek perdagangan. Biasanya bentuk transaksinya adalah jual beli melalui internet dengan menggunakan web-commerce (penjual menawarkan produksnya dengan melakukan penawaran melalui web site), contoh : Amazon.com, glodokshop.com, dan lain lain. c. Customer to Customer (C2C). Transaksi dimana individu saling menjual barang pada satu sama lain, seperti lelang barang, contohnya : e-bay, clasifield2000, dan lain lain (Riswandi, 2003). 18 PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007 d. Customer to Business (C2B). Transaksi yang memungkinkan individu menjual barang kepada suatu perusahaan, contohnya : pricelin.com. e. Customer to Government (C2G). Transaksi di mana individu dapat melakukan transaksi dengan pihak pemerintah, seperti membayar pajak, dan lain lain. Di dalam perkembangnya ecommerce yang ditunjang oleh berkembangnya teknologi informasi, maka muncul beberapa model sistem perdagangan melalui e-commerce yang lain, seperti business to government, customer to government, government to government, dan lain lain. Tetapi didalam tulisan ini hanya akan diulas dan dibahas mengenai model transaksi business to business (B2B) dan busisnes to customer (B2C) saja. Kerangka Hukum (Legal Framework). E-Commerce yang merupakan cara baru dalam melakukan perdagangan, memiliki berbagai macam keunikan seperti telah dijelaskan di atas. Agar dapat dicapai suatu ketertiban dalam pelaksanaannya, maka diperlukan suatu pengaturan khusus yang dapat mengantisipasi segala keunikan dan keunggulan yang ada tersebut. Untuk itu seharusnya pihak pemerintah mengantisipasinya dengan membentuk kerangka hukum yang khusus mengatur dan spesifik tentang ecommerce, walaupun hal tersebut telah ada untuk sistem internasional seperti : UNCITRAL Model Law on electronic commerce (Makarim, 2003). Permasalahan hukum yang terdapat dalam e-commerce cukup banyak, diantaranya adalah tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual atau HAKI (Intellectual Property Right) seperti : hak cipta, merek dagang, rahasia dagang dan paten (Sjahputra, 2002). Permasalahan yang lain, seperti : sistem pembayaran elektronik, sistem pengaturan mata uang digital (digital currency), tindak kejahatan komputer di internet, dan masih banyak lagi masalah yang berkaitan dengan e-commerce. Mengenai kontrak juga merupakan permasalahan hukum yang selalu ada di dalam perdagangan, dengan adanya suatu perjanjian perdagangan maka akan ada perikatan yang menimbulkan hak dan kewajiban secara hukum atas para pelakunya. Oleh karenanya kemungkinan timbul perselesihan atau sengketa perdagangan akan ada, untuk itu cara penyelesaian sengketa tersebut juga merupakan masalah hukum yang harus diperhatikan. Secara logika permasalahan hukum yang muncul di dalam e-commerce, dapat timbul karena beberapa hal, seperti penggunaan jaringan internet, dimana jaringan tersebut terbuka untuk semua orang, maka pelanggaran di bidang HAKI dapat sering terjadi, sebab teknologi digital yang menyebabkan semua hal dapat dikonversikan kedalam bentuk digital. Disisi lain, transaksi dunia maya (cyberspace) yang menyebabkan hilangnya batas-batas wilayah secara fisik, akan menyebabkan masalah yuridiksi yang berhubungan dengan hukum mana yang akan digunakan apabila terjadi suatu sengketa di dalam e-commerce. (Sjahputra, 2002). Di Dalam transaksi B2B contoh sengketa yang mungkin timbul adalah apabila terjadi wanprestasi antara pihakpihak yang terkait. Sedangkan di dalam B2C, sengketa yang sering terjadi pada umumnya menyangkut masalah pembayaran dan perlindungan konsumen. Misalnya seseorang membeli buku di web Amazon.com ternyata tidak mendapatkan kiriman buku yang telah dipesan, padahal pembayaran sudah dilakukan, bagaimana cara menyelesaikannya dan dengan aturan hukum mana dapat diselesaikan. 19 PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007 Untuk menghadapi masalahmasalah tersebut maka diperlukan suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang dinilai cukup efektif, hemat waktu dan biaya, serta dapat segera diterima kedua belah pihak, penyelesaian permasalahan tersebut yang paling memungkinkan adalah melalui arbitrase. Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase. Arbitrase adalah salah satu cara menyelesaikan sengketa yang dapat ditempuh dalam perkara-perkara yang menyangkut hukum perdata dan hukum dagang. Dengan arbitrase maka penyelesaian sengketa tersebut dilakukan diluar pengadilan atau yang biasa disebut out court settlement. Arbitrase ini memberikan suatu putusan berkenaan dengan hak-hak dari para pihak, putusan yang dijatuhkan oleh suatu dengan arbitrase yang terdiri dari seorang arbiter atau beberapa arbiter ini, mengikat kedua belah pihak (Gautama, 1996). Arbitrase dikenal sebagai suatu cara untuk menyelesaikan sengketa yang cukup efektif, dan pada saat ini banyak digunakan. Arbitrase merupakan cara menyelesaikan sengketa di luar pengadilan oleh pihak ketiga yang netral didasarkan pada perjanjian tertulis yang merupakan kesepakatan para pihak, dimana keputusan pihak ketiga tersebut mengikat para pihak. Peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia untuk arbitrase adalah Undang-Undang Nomor : 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pengertian arbitrase menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 30/1999 : “Arbitase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang mendasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Tetapi sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase terbatas pada sengketa perdata, yaitu bersifat hukum perdata dan hukum dagang. (Gautama, 1996). Alasan Penggunaan Arbitrase. Keuntungan dan alasan-alasan yang menjadikan arbitrase lebih suka digunakan dibandingkan dengan berperkara di peradilan umum, antara lain (Goodpaster, 1995) : 1. Kebebasan, kepercayaan dan keamanan. Arbitrase memberikan kebebasan yang tidak perlu mengikuti formalitas yang ketat dan kaku, memberikan rasa aman terhadap keadaan tidak menentu dan ketidakpastian sistem hukum yang berbeda, juga terhadap kemungkinan putusan hakim yang berat sebelah (memihak). 2. Keahlian. Arbitrase dipilih karena kepercayaan yang lebih besar pada keahlian arbiter mengenai persoalan yang menjadi sengketa dibandingkan hakim di peradilan umum. 3. Cepat dan hemat biaya. Arbitrase seringkali lebih cepat, tidak terikat formalitas dan lebih murah dari pada proses litigasi di pengadilan. 4. Bersifat rahasia. Dikarenakan terjadi dilingkungan yang bersifat pribadi (bukan terbuka atau umum), arbitrase juga lebih bersifat pribadi dan tertutup dibandingkan litigasi di hadapan badan pengadilan umum. Sifat rahasia arbitrase dapat melindungi para pihak dari hal-hal yang tidak diinginkan atau merugikan akibat dari penyingkapan informasi bisnis kepada umum. 5. Bersifat nonpreseden. Keputusan arbitrase tidak terikat oleh keputusan arbitrase untuk perkara sebelumnya yang serupa. 20 PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007 6. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat (Gautama, 1995). Putusan arbitrase final dan mengikat, serta tidak dapat diajukan banding, kecuali atas dasar yang sangat khusus. 7. Segi kepentingan komersial (Adolf, 2002). Dengan menyelesaikan suatu sengketa melalui arbitrase, para pihak diusahakan untuk tetap dapat berhubungan komersial di masa depan. Arbitrase mengusahakan agar para pihak tidak bermusuhan, tetapi tetap menjaga hubungan komersial mereka setelah sengketanya diputus. Kelemahan Arbitrase. Meskipun arbitrase memberikan banyak kelebihan dan keuntungan, tetapi pada prakteknya ternyata arbitrase memiliki pula kelemahankelemahan, antara lain (Adolf, 2002) : 1. Kesulitan untuk mempertemukan kedua belah pihak yang bersengketa ke badan arbitrase. 2. Pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing, dimana dewasa ini di banyak negara masalah tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing masing menjadi persoalan yang sulit. 3. Di dalam arbitrase tidak dikenal adanya preseden hukum (legal precedent) atau keterikatan kepada putusan-putusan arbitrase sebelumnya, sehingga setiap sengketa yang telah diputus tidak dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk keputusan arbitrase berikutnya (jurisprudensi). 4. Arbitrase ternyata tidak mempu memberikan jawaban yang bersifat definitif terhadap semua sengketa hukum. Hal ini berkaitan erat dengan adanya konsep yang berbeda pada setiap negara (sistem Anglo Axon, Continental atau sosialis), dan dipengaruhi pula oleh sejarah hukum dan struktur hukum dari masingmasing negara. 5. Keputusan arbitrase selalu bergantung kepada bagaimana arbitrator mengeluarkan keputusan yang memuaskan keinginan para pihak. 6. Ternyata arbitrase pun dapat berlangsung lama dan karenanya membawa akibat biaya tinggi, terutama dalam hal arbitrase di luar negeri. Karakteristik Arbitrase. Arbitrase baru dapat dilakukan apabila terdapat kesepakatan dari para pihak untuk menggunakan metode penyelesaian sengketa ini untuk sengketa yang ada diantara para pihak. Kesepakatan dari para pihak tersebut dapat berupa : 1. Klausul arbitrase. Suatu klausul yang mengatur mengenai kesepakatan para pihak untuk menggunakan arbitrase apabila dikemudian hari diantara mereka terjadi sengketa. Klausul ini terdapat di dalam kontrak atau perjanjian pokok mengenai transaksi perdagangan yang mereka lakukan. Contohnya dalam kontrak untuk menggunakan EDI dalam hubungan B2B antara perusahaan A dan B, disebutkan dalam salah satu pasalnya mengenai penyelesaian sengketa akan diselesaikan melalui arbitrase. 2. Perjanjian arbitrase. Berbeda dengan klausul arbitrase yang ada dalam kontrak pokok, perjanjian arbitrase di sini terpisah dari perjanjian pokoknya. Perjanjian arbitrase pada umumnya dibuat setelah timbulnya sengketa atau masalah diantara para pihak dimana sebelumnya belum ada kesepakatan terlebih dahulu mengenai metode penyelesaian sengketa yang akan digunakan. 21 PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007 Apabila dilihat dari keterangan di atas, maka tentang perjanjian arbitrase ini dalam prakteknya dibedakan antara perjanjian yang dibuat sebelum timbulnya sengketa atau ‘pactum de compromittendo”, dengan perjanjian arbitrase yang dibuat setelah timbulnya sengketa atau “acte van compromis” (Gautama, 2006). Pada Pasal 2 undang-undang No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, disebutkan perlunya adanya kesepakatan para pihak terlebih dahulu untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Sehingga dengan adanya kesepakatan tertulis dari para pihak untuk menggunakan arbitrase ini, maka berarti para pihak telah setuju untuk tidak menyelesaikan sengketa mereka dengan cara berperkara di muka pengadilan umum biasa (Gautama, 1996). Dengan demikian yang dilakukan adalah semacam pilihan forum yang berbeda dengan pengertian pilihan hukum. Perjanjian mengenai kesepakatan para pihak untuk menggunakan arbitrase dalam penyelesaian sengketa, baik yang berupa klausul arbitrase maupun perjanjian arbitrase, mengatur sejauh mana kewenangan arbiter. Arbiter tidak boleh berbuat melebihi kewenangan yang diberikan oleh para pihak padanya. Berdasarkan pasal 1 angka 7 UU No. 30/1999 disebutkan bahwa arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Arbitrase dapat dilakukan secara adhoc atau dapat juga dilakukan dengan menunjuk kepada salah satu badan arbitrase atau yang biasa disebut institutional arbitras. Bila melalui suatu badan arbitrase tertentu, misalnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) di Jakarta atau International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, maka kaidahkaidah yang digunakan adalah kaidahkaidah yang sudah ditetapkan oleh badan arbitrase itu sendiri. Sedangkan apabila arbitrase dilakukan secara adhoc, dapat mengacu pada kaidahkaidah UNCITRAL Arbitration Rule (UAR). PBB telah menganjurkan agar UAR ini dapat diterima secara umum dalam perdagangan internasional di seluruh dunia (Gautama, 1996). Cara Penyelenggaraan Arbitrase. Dalam B2B apabila para pihak yang terlibat didalamnya hanyalah pelaku usaha dan konsumen domestik, berasal dari satu negara yang sama maka dapat digunakan arbitrase dagang domestik. Permasalahannya adalah dalam hal terjadinya hubungan dagang dimana para pelakunya berbeda kewarganegaraan atau berbeda tempat usaha, misalnya terjadi sengketa jual beli, B2C antara perusahaan retail barang elektronik Jepang dengan konsumen Indonesia, maka perlu diadakan arbitrase dagang internasional. Berbagai negara mempunyai ketentuan perundang-undangan arbitrase untuk keperluan domestik dan kemudian menambahkannya dengan peraturan mengenai arbitrase yang sifatnya internasional. Sebagai contoh Singapura sudah memiliki Arbitration Act untuk keperluan domestik, dan kemudian menerima UNCITRAL Model Law untuk keperluan arbitrase yang sifatnya internasional (Gautama, 1996). Dalam Model Law UNCITRAL ada perumusan tersendiri tentang Arbitrase Internasional ini. Pada pasal 1 ayat 3 UU No. 30/1999 menyatakan bahwa arbitrase menjadi ‘internasional’ jika para pihak pada saat membuat perjanjian arbitrase mempunyai tempat usaha (places of business) di dalam negara yang berlainan, seperti contoh dalam 22 PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007 hubungan e-commerce di atas, atau jika salah satu dari tempat tersebut di bawah ini letaknya di luar negara dimana para pihak mempunyai tempat usaha mereka, yakni (Gautama, 1996) : 1. Tempat arbitrase yang ditentukan di dalam perjanjian arbitrase. 2. Setiap tempat di mana bagian terpenting dari pada kewajiban yang berdasarkan hubungan dagang harus dilaksanakan atau tempat dengan mana pokok persoalan sengketa adalah paling dekat kaitannya (most closely connected), atau 3. Para pihak telah secara tegas memufakati bahwa pokok permasalahan dari perjanjian arbitrase ini berhubungan dengan lebih dari satu negara. Peraturan UU No. 30/1999 tidak mengatur bila mana menghadapi arbitrase yang dilakukan antara para pihak pembuat perjanjian arbitrase yang mempunyai tempat usaha di negara yang berbeda. Dalam undang-undang tersebut hanya diatur mengenai masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. Sehingga dalam B2B dan B2C yang melibatkan pihak asing, dapat mengacu atau berpedoman pada peraturan arbitrase internasional yang berlaku di dunia, seperti; UNCITRAL (United Nations Commision on International Trade Law), WIPO (World Intelectual Property Organization), ICSID (International Centre for Settlement of Invesment Dispute), ICC Court of Arbitration, dan lain lain. Arbitrase Internasional. Seperti telah disebutkan di bahwa para pihak dapat memilih melakukan arbitrase ad-hoc menunjuk badan arbitrase, baik nasional maupun internasional. atas untuk atau yang UNCITRAL. UNCITRAL (United Nations Commission on International Trade Law) tidak menyediakan fasilitas arbitrase, namun UNCITRAL telah mensponsori untuk terbentuknya hukum dalam arbitrase internasional, salah satunya dengan The Uncitral Model Law on International Commercial Arbitration (Model Hukum untuk Arbitrase Perdagangan Internasional). WIPO WIPO (World Intellectual Property Organization) merupakan suatu organisasi antar pemerintah berbagai negara dan berpusat di Geneva ini telah membentuk “The WIPO Arbitration Center” atau pusat arbitrase WIPO, untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internasional yang berkaitan dengan HAKI (Lindsay, 2001). Ada 4 (empat) macam prosedur yang telah disediakan untuk penyelesaian sengketa, yaitu: (1) mediasi menurut WIPO Mediation Rules, (2) arbitrase sesuai dengan WIPO Arbitration Rules, (3) arbitrasi secara dipercepat dibawah WIPO Expedited Arbitration Rules, dan (4) prosedur secara kombinasi dari mediasi yang diikuti dengan arbitrase bila cara mediasi tidak berhasil (Gautama, 1996). Sehingga untuk sengketa-sengketa dalam B2B atapun B2C yang menyangkut masalah HAKI dapat dipilih forum arbitrase ini sebagai upaya penyelesaian sengketa. The ICC Court of Arbitration The ICC Court of Arbitration adalah institusi paling penting dalam penyelesaian sengketa perdagangan internasional melalui arbitrase. Lembaga ini bukan sebuah institusi pemerintah, namun sebuah lembaga yang diciptakan oleh International Chamber of Commerce (ICC) yang berkantor pusat di Paris. Arbitrase di bawah peraturan ICC ini terbuka untuk anggota atau non 23 PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007 anggota, pihak yang bersengketa dapat mengajukan permohonan arbitrase melalui cabang-cabang International Chamber of Commerce (ICC) di negaranya atau langsung ke pusat. ICSID ICSID (The International Centre For Setllement of Invesment Dispute) adalah sebuah lembaga yang khusus menangani sengketa-sengketa yang menyangkut penanaman modal asing disuatu negara. ICSID membuat suatu fasilitas yang memungkinkan untuk pihakpihak yang melakukan kontrak di suatu negara dengan investor asing, untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan peraturan yang mereka sepakati. Masalah e-commerce dan kelemahan arbitrase di Indonesia . Seperti telah diuraikan di atas, bahwa titik lemah penyelesaian sengketa ecommerce melalui arbitrase di Indonesia adalah masalah teknis di lapangan (proses administrasi pengadilan) dan aspek penguasaan sumberdaya manusia. Maka untuk masalah arbitrase internasional yang berkaitan dengan ecommerce dalam prakteknya di Indonesia memiliki kelemahankelemahan, antara lain (Abdurrasjid, 2003) : 1. Untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah, seringkali untuk mencapai kesepakatan atau persetujuan itu sulit. 2. Pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing. Dewasa ini di banyak negara, masalah pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitase asing masih menjadi persoalan yang sulit (Adolf, 2002). 3. Telah dimaklumi dalam arbitrase tidak selalu ada perikatan kepada keputusan-keputusan (yurisprudensi) arbitase sebelumnya. 4. Arbitrase ternyata tidak mampu memberikan jawaban yang definitive terhadap semua sengketa hukum, hal ini berkaitan erat dengan adanya konsep dan sistem hukum yang berbeda di setiap negara. 5. Bagaimanapun juga keputusan arbitrase selalu tergantung kepada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan keputusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak. 6. Arbitrase ternyata di beberapa kasus dapat berlangsung lama dan berakibat pada biaya tinggi, terutama dalam hal arbitrase di luar negeri. Sebagai contoh adalah kasus Kartika Plaza (Adolf, 2002). Uraian-uraian dan keteranganketerangan di atas, menerangkan bahwa proses alternatif penyelesaian sengketa melalui arbitrase, tidaklah semudah yang digambarkan di dalam teori-teori hukum. Disisi-sisi lain masih banyak benturan-benturan birokrasi, proses administrasi dan aspek kemampuan sumberdaya manusia terutama yang menyangkut kasus-kasus yang berkaitan dengan transaksi perdagangan elektronik (e-commerce) dikarenakan banyak kasus-kasus belum ada aturan hukumnya untuk menunjang pelaksanaan putusan arbitrase di Indonesia. Untuk keputusan arbitrase ecommerce yang berkaitan dengan arbitrase internasional untuk dapat diimplementasikan di Indonesia, juga masih banyak masalah yang menghambatnya, seperti : pengakuan atas arbiter asing, proses administasi, birokrasi, yurisprudensi, perbedaan sistem dan konsep hukum di suatu negara, serta kemampuan dari sumberdaya manusia di pengadilan itu sendiri. 24 PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007 Paradigma baru hukum pada sistem perdagangan elektronik Dengan digunakannya alat-alat elektronika dan berkembangnya teknologi informasi dalam kegiatan perdagangan di dunia, selain membawa keuntungan-keuntungan juga dapat menimbulkan beberapa permasalahan hukum baru. Permasalahan hukum tersebut antara lain : sistem keamanan jaringan di internet, kontrak online, sistem pembayaran elektronik, penyelesaian sengketa, dan lain-lain. Hal tersebut menjadi karekateristik dari cara perdagangan baru yang disebut ecommerce. Diantara masalah-masalah hukum yang harus diperhatikan dalam perkembangan e-commerce sebagai cara perdagangan baru adalah penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa antara para pihak yang melakukan transaksi di dalam ecommerce tersebut. Penanganan untuk sengketasengketa perdagangan baik itu business to business (B2B) atau business to customer (B2C), agak berbeda dengan penyelesaian sengketa perdagangan pada umumnya mengingat keunikan yang ada di dalam e-commerce. Terdapat 2 (dua) macam penyelesaian sengketa, yaitu melalui pengadilan (in court settlement) dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan (out court setllement), dalam hal ini dengan cara arbitrase. III. KESIMPULAN. Perkembangan teknologi informasi yang demikian pesatnya berdampak pada sistem perdagangan dunia, tetapi disisi lain dampak tersebut juga berakibat pada masalah-masalah hukum yang berkaitan perkembangan e-commerce sebagai cara perdagangan baru. Penanganan untuk sengketa-sengketa perdagangan elektronik (e-commerce) baik itu B2B atau B2C, untuk di Indonesia proses dengan arbitrase dianggap lebih baik dikarenakan lebih fleksibel, lebih efektif dan efisien karena arbitrase tidak terikat kepada formalitas seperti pengadilan biasa. Untuk pengaturan tentang arbitrase, di Indonesia telah ada UndangUndang Nomor: 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dimana putusan arbitrase asing pun dapat dijamin keberadaannya, sehingga sengketasengketa yang berkaitan dengan ecommerce dan terkait dengan pihak asing dapat dijamin pelaksanaannya (enforcement) di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Abdurrasyid, Priyatna. 2002. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Suatu Pengantar. PT. Fikahati Aneska. Jakarta. Adolf, Huala. 2002. Arbitrase Komersial Internasional. PT. Raja Grafindo Perkasa. Jakarta. Gautama, Sudargo. 1996. Aneka Hukum Arbitrase (Kearah Hukum Arbitrase di Indonesia Yang Baru). PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. _________________ . 1999. Undang-Undang Arbitrase Baru 1999. PT.Citra Aditya Bakti. Bandung. Makarim, Edmon. 2003. Kompilasi Hukum Telematika. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Riswandi, Budi Agus. 2003. Hukum Internet di Indonesia. Penerbit UII Press, Yogyakarta. Sitompul, Asri. 2003. Hukum Internet: Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace, PT. Citra Adytia Bakti. Bandung. 25 PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007 Sjahputra, Imam. 2002. Problematika Hukum Internet Indonesia. PT. Prehallindo. Jakarta. Subekti. 1990. Hukum Perjanjian, cet. 12. PT. Intermasa. Jakarta. Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2000 .Hukum Arbitrase, PT. Raja Grafindo Perkasa. Jakarta. Jurnal / Makalah Eddie R, Darajat. 1999. Membangun ECommerce di Indonesia: Sebuah Pengalaman(Makalah) dalam Seminar “Sukses Bisnis Melalui ECommerce”. Majalah Warta Ekonomi, 1 Desember 1999. Jakarta. Ichjar, Musa. 1999. Aspek Legal dan Kelembagaan E-Commerce (Makalah) dalam Seminar “Sukses Bisnis Melalui E-Commerce”. Majalah Warta Ekonomi, 1 Desember 1999. Jakarta. Latifulhayat, Atip. 2002. Perlindungan Data Pribadi Dalam Perdagangan Secara E-Commerce, Jurnal Hukum Bisnis, Edisi Maret 2002. Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis. Jakarta. Ramli, Sentot, Baskoro. 1999. Becoming an Entrepreneur From The ECommerce, dalam Seminar “Sukses Bisnis Melalui ECommerce”. Majalah Warta Ekonomi, 1 Desember 1999. Jakarta. Sutan Remi, Sjahdeni. 2002. Sistem Pengamanan E-Commerce, Jurnal Hukum Bisnis, Edisi Maret 2002. Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis. Jakarta. WEB SITE Http://www.uncitral.org Http://www.hukum.ui.ac.id/lembaga/lkb h.htm Http://www.komisihukum.go.id/artikel Http://www.hukumonline.com/ad/bphn http://www.whatis.com UNDANG-UNDANG Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. KAMUS Sudarsono. 2002. Kamus Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. PT. Ahmad R. 2002. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi E-Commerce, Jurnal Hukum Bisnis, Edisi Maret 2002. Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis. Jakarta. 26