ISSN : 1412-2367 SOSIO-RELIGIA Jurnal Sosial Keagamaan Vol. 10, No. 2, Mei 2012 Peran Intelektual dalam Ranah Publik M. Nurdin Zuhdi Jurnal Sosial Keagamaan Politik Hukum Ekonomi Syari’ah Pasca Reformasi di Indonesia Lukman Santoso Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Hukum Menuju Peningkatan Akreditasi Ach. Tahir Hubungan Agama dan Negara dalam Pemikiran Politik Islam Muh. Syamsuddin Vol. 10, No. 2, Mei 2012 Lingkar Studi Ilmu Agama dan Ilmu Sosial (LinkSAS) Yogyakarta Jurnal Sosial Keagamaan ISSN: 1412-2367 Vol. 10, No. 2, Mei 2012 Pemimpin Redaksi Malik Ibrahim Redaktur Pelaksana Yasin Baidi Tim Redaksi Wawan GA Wahid Ahmad Bunyan Wahib Fuad Arif Fudiyartanto Ahmad Bahiej Budi Ruhiatudin Misnen Ardiansyah Slamet Haryono Udiyo Basuki Redaktur Ahli Machasin Akh. Minhaji Syamsul Anwar Ainurrofiq Dawam Alamat Redaksi Perum Taman Giwangan Asri I D-12 Telp. (0274) 384835 Yogyakarta E-mail: [email protected] Diterbitkan oleh: Lingkar Studi Ilmu Agama dan Ilmu Sosial (LinkSAS) LinkSAS (Lingkar Studi Ilmu Agama dan Ilmu Sosial), merupakan sebuah forum diskusi yang membahas seputar kajian agama dan sosial (humaniora). Daftar Isi Editorial v Hubungan Agama dan Negara dalam Pemikiran Politik Islam Muh. Syamsuddin 1-22 Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan dalam Tatanan Hukum: Studi Atas Keberadaan Ahmadiyah di Yogyakarta Nurainun Mangunsong 23-48 Peran Intelektual dalam Ranah Publik M. Nurdin Zuhdi 49-72 Kejahatan Terhadap Nyawa: Sejarah dan Perkembangan Pengaturannya dalam Hukum Pidana Indonesia Ahmad Bahiej 73-100 Politik Hukum Ekonomi Syari’ah Pasca Reformasi di Indonesia Lukman Santoso 101-122 Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Hukum Menuju Peningkatan Akreditasi Ach. Tahir 123-144 Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif di Indonesia Melalui Demokrasi Deliberatif Habermas Ulya 145-166 Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi Eksklusif Berdasarkan Hukum Laut Internasional Lindra Darnela 167-180 Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa Suciati 181-202 Peranan Baitul Maal Wa Tamwil dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Usaha-Usaha Kecil dan Menengah di Daerah Istimewa Yogyakarta Sunarsih 203-228 Submission Naskah yang dikirim ke redaksi SOSIO-RELIGIA akan dipertimbangkan untuk dimuat jika memenuhi kriteria sebagai berikut. 1. Judul berkaitan dengan kajian keagamaan dan sosial. 2. Bersifat ilmiah. 3. Naskah dapat menggunakan bahasa Indonesia, Arab, Inggris atau asing lainnya dengan disertai abstrak berbahasa Indonesia. 4. Mencantumkan kata kunci, referensi lengkap dengan model footnote (catatan kaki) dan disertai daftar pustaka. 5. Diketik spasi ganda (2 spasi) program MS Word dengan panjang naskah 15-30 halaman kwarto. 6. Menyertakan naskah asli (print out) satu buah dengan disertai disket/CD (master). Contoh model catatan kaki: 1 2 3 Fuad Hasan, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1990), p. 145. Ibid., p. 146. Fuad Hasan, Pengantar Filsafat, p. 147. Daftar pustaka ditulis secara alfabetis. Contoh model penulisan daftar pustaka: Daftar Pustaka Brinton, Crane, The Shaping of The Modern Mind, New York: A Mentor Book, 1989. Eddwards, Paul, The Encyclopedia of Philosophy, Vol. III, New York: Macmillan Publishing Co., Inc. and The Free Press, 1967. Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu, 1995. Merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh LinkSAS (Lingkar Studi Ilmu Agama dan Ilmu Sosial), sebuah forum diskusi yang Jurnal Ilmu Agama dan Ilmu Sosial membahas seputar kajian agama dan sosial (humaniora). Redaksi membuka kesempatan kepada berbagai kalangan untuk berpartisipasi dalam mengembangkan wacana keislaman yang humanis dengan karyakarya aspiratif-komunikatif. Tulisan tidak mencerminkan mainstream SOSIO-RELIGIA dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. SOSIO-RELIGIA v Editorial Jurnal Sosrel Vol. 10, No. 2 Mei 2012 kali ini hadir dengan sepuluh artikel dengan tema-tema aktual dan beragam. Diawali artikel dengan judul Hubungan Agama dan Negara dalam Pemikiran Politik Islam yang ditulis oleh Muh. Syamsuddin menjelaskan perdebatan mengenai hubungan agama dan negara. Dengan analisis pemikiran politik Islam yang berusaha menemukan titik temu antara hubungan agama dan negara baik pada masa lalu hingga sekarang. Artikel dengan judul Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan dalam Tatanan Hukum: Studi Atas Keberadaan Ahmadiyah di Yogyakarta yang ditulis oleh Nurainun Mangunsong menjelaskan tentang keberadaan Ahmadiyah sebagai satu gerakan keagamaan di Yogyakarta. Selain itu, tulisan ini ingin mendudukkan “hak berkeyakinan Ahmadiyah” dalam tatanan hukum. Artikel dengan judul Peran Intelektual dalam Ranah Publik yang ditulis oleh M. Nurdin Zuhdi menarik untuk dicermati bersama. Kajian tentang intelektual publik menjadi tema debat publik yang hangat diperbicangkan dalam dasawarsa terakhir ini. Mengingat selama ini intelektual publik sebagai ilmuan, merupakan para pemikir yang banyak memiliki gagasan dan pemikiran. Namun bagaimanakah seharusnya gagasan-gagasan para intelektual ini dalam menyelesaikan problem-problem aktual kekinian yang ada di ranah publik. Artikel dengan judul Kejahatan Terhadap Nyawa: Sejarah dan Perkembangan Pengaturannya dalam Hukum Pidana Indonesia ditulis oleh: Ahmad Bahiej menjelaskan bahwa sejarah hukum yang dikenal manusia di dunia, terdapat aturan tentang larangan kejahatan terhadap nyawa. Hal ini menunjukkan bahwa naluri dasar kemanusiaan semua bangsa di dunia menilai bahwa menghilangkan nyawa orang lain adalah perbuatan yang dianggap melanggar nilai keadilan dalam diri manusia itu sendiri. Artikel dengan judul Politik Hukum Ekonomi Syari’ah Pasca Reformasi di Indonesia yang di tulis oleh Lukman Santoso menjelaskan tentang Era Reformasi menjadi wujud gejala nyata transformasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan yang merupakan produk interaksi antar elite politik Islam dengan elite kekuasaan (the rulling elite). Lahirnya produk hukum bidang ekonomi syari’ah juga dapat dipahami sebagai bentuk apresiasi dan akomodasi pemerintah terhadap hukum yang hidup di masyarakat (living law). Perkembangan ekonomi syari’ah sedikit banyak ditentukan oleh dinamika internal umat serta hubungan yang harmonis antara umat Islam dan negara. Artikel dengan judul Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Hukum Menuju Peningkatan Akreditasi yang ditulis oleh Ach. Tahir menjelaskan bahwa kurikulum merupakan jantung pendidikan yang menentukan semua gerak kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh institusi pendidikan yang didasarkan pada apa yang direncanakan dalam kurikulum. Kemudian artikel dengan judul Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif di Indonesia Melalui Demokrasi Deliberatif Habermas yang ditulis oleh Ulya menjelaskan tentang konsep demokrasi yang ditawarkan Habermas dikenal dengan nama demokrasi deliberatif. Konsep demokrasi deliberatif ini secara tidak langsung telah menyatu dengan warisan tradisi nenek moyang kita. Salah satu indikator kemenyatuan konsep demokrasi deliberatif dengan warisan tradisi nenek moyang Indonesia adalah melekatnya tradisi perbincangan dalam rangka bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Artikel dengan judul Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi Eksklusif Berdasarkan Hukum Laut Internasional yang ditulis oleh Lindra Darnela menjelaskan untuk mengatur wilayah kelautan di Indonesia, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Selain itu, telah dilakukan pula beberapa perundang-undangan yang berkaitan dangan masalah pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati. Upaya lain yang dilakukan Indonesia adalah melakukan kerjasama baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara-negara lain. vi Artikel dengan judul Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa yang ditulis oleh Suciati Menjelaskan bahwa ajaran mistisisme/sufisme di Indonesia banyak dipengaruhi oleh tradisi Hindu. Ajaran ini banyak terdapat pada masyarakat Jawa yang masuk dalam aliran kepercayaan/kebatinan. Kompromi terhadap kebudayaan lokal yang menafikan syariah membawa konsekuensi sendiri bagi eksistensi sufisme dalam pencapaian derajat spiritual tertinggi dalam beragama. Resiko fatal terhadap pelanggaran syariah agama terlihat ketika mereka yang tercatat menjadi pengikut aliran kebatinan tetap melaksanakan kebiasaan agama hindu (mis: slametan kematian) meskipun mereka mengaku dirinya Islam. Artikel terakhir dengan judul Peranan Baitul Maal Wa Tamwil dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Usaha-Usaha Kecil dan Menengah di Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditulis oleh Sunarsih menjelaskan tentang bagaimana peran BMT terhadap peningkatan daya saing UMKM yang ada. UMKM di Indonesia lebih banyak dibanding pengusaha besar. Oleh karena itu, UMKM mempunyai kontribusi yang besar terhadap pendapatan nasional Indonesia. Namun UMKM memiliki masalah klasik yaitu masalah permodalan dan proses adiministrasi untuk mengakses pembiayaan di perbankan besar. Penulis menggunakan data primer dan dianalisis dengan alat analisis paired sample t test serta analisis diskriptif. Hubungan Agama dan Negara dalam Pemikiran Politik Islam Oleh: Muh. Syamsuddin Abstract The debate over the relationship between religion and the state is never finished, from ancient times until the reform era. The first group states that the relationship between religion and state is a unity that can not be separated. In contrast, other groups who claim that religion and state is a distinct and separate both concept and implementation. The debate over the relationship between religion and the state certainly has implications for the constitutional system in a country, as well as the impact on law enforcement to do with actual problems such as the issue of the establishment of an Islamic state or secular. In Indonesia, the relationship between religion and the state is experiencing ups and downs. There is a harmonious relationship in the future and there is a period where the relationship under strain. One of the most heartbreaking tension is the new order of the days. Where new order with all its power to the people trying to internalize Pancasila accompanied by violent means and state terror. Therefore, in this paper the analysis of Islamic political thought will try to find common ground between religion and state relations both in the past to the present. Key words: religion, the state and political Islam. Abstrak Perdebatan mengenai hubungan agama dan negara tidak pernah selesai, dari zaman dahulu hingga era reformasi ini. Golongan pertama menyatakan bahwa hubungan agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebaliknya, golongan yang lainnya menyatakan bahwa agama dan negara merupakan suatu yang berbeda dan terpisah baik konsep maupun implementasinya. Perdebatan hubungan agama dan negara tentu berimplikasi terhadap sistem ketatanegaraan dalam sebuah negara, serta berdampak kepada penegakan hukum kaitannya dengan problem-problem actual misalnya isu negara Islam atau kebebasan beragama dan berkeyakinan. Di Indonesia, hubungan agama dan negara sebenarnya mengalami pasang surut. Ada di masa hubungan bersifat harmonis dan ada masa dimana hubungan mengalami ketegangan. Salah satu ketegangan yang paling memilukan adalah di masa Orde Baru. Dimana dengan segala kekuasaannya Orde Baru berupaya menginternalisasikan Pancasila kepada masyarakat diiringi dengan cara-cara kekerasan dan teror negara. Oleh karena itu, dalam tulisan ini analisis dengan pemikiran politik Islam akan berusaha menemukan titik temu antara hubungan agama dan negara baik pada masa lalu hingga sekarang. Peneliti Pada Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. E-mail: [email protected] SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 2 Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara... Kata kunci: agama, negara, politik Islam. A. Pendahuluan Hubungan antara agama dan negara atau antara politik dan agama, sudah lama menjadi perbincangan para sarjana, baik dari kalangan yang berpegang teguh pada agama maupun dari kalangan yang berpandangan sekuler. Bagi umat Islam, munculnya topik perbincangan tersebut merupakan hal yang wajar, menganggap risalah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah agama yang penuh dengan ajaran dan undang-undang yang bertujuan untuk membangun manusia guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.1 Namun politik Islam tidak bisa lepas dari agama yang merupakan nilai dan intinya. Sebagai contoh Islam dapat dipahami sebagai fenomena religius, kultural dan politik. Dasar-dasar semua aliran politik dalam Islam yang berkembang selalu berkaitan dengan agama maupun jauh meninggalkan agama karena faktor-faktor di luar dasar-dasar agama itu sendiri.2 Ia adalah suatu kumpulan fakta yang wajib diwujudkan menjadi kenyataan oleh para pemeluknya, dan ia juga adalah metode untuk mewujudkannya. Prinsipprinsip metode tersebut adalah sudah termuat secara garis besar di dalam al-Qur’an.3 Islam sebagai instrumen politik, Islam bukan sekedar tatanan religius melainkan sebuah cara hidup yang sempurna bagi individu, masyarakat, bangsa dan negara.4 Dalam hal ini, Islam menekankan terwujudnya keselarasan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. Menurut Muhammad Abduh kaum Muslim tidak perlu risih dengan penegasannya bahwa Islam memadukan dunia dan akhirat. Islam adalah agama umum dan syari’at yang komprehensif. Oleh karenanya Islam mengandung ajaran yang integratif antara tauhid, ibadah, syariah, akhlaq dan moral serta prinsip-prinsip umum tentang kehidupan masyarakat.5 1 Nurcholish Madjid, “Kata Sambutan dalam Munawir Sjadzali Islam dan Tata Negara Ajaran Sejarah dan Pemikiran”, (Jakarta: UI Press, 1990), p. V. Lihat juga: Aini Linjakumpu, Political Islam in the Global World (Ithaca Press, 2008), p. 6. Lihat juga Tareq Y. Ismael dan Ismael dan Jacquelines Ismail (eds) “Politic Heritage of Islam “, In Tareq Y. Ismael and Jacquelines Ismael (eds) Politics and Government in the Middle East and North Africa, (Miami: Florida International University Press, 1991), p 44. 2. M. Abu Zahrah, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, (Ponorogo: Trimurti, 1991), p 45. 3 Ja’far Idris, Islam dan Perubahan Sosial, (Bandung: Mizan, 1984), p. 30-31. 4 Aini Linjakumpu, Political Islam in the Global (Ithaca Press, 2008), p. 8. 5 J. Suyuthi, Fiqih Siyasah, Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), p. xi.dan lihat Muhammad Abduh, Ivonne Haddad, Perintis Pembaruan Islam dalam Ali Rahnema (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam (Bandung: Mizan, 1996), p. 62. dan lihat SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara... 3 Dalam Islam tidak dikenal pemisahan (deferensiasi) antara yang profan dan yang sakral (politik dan agama) seperti agama Kristen. Sementara dalam Islam berlaku penyatuan agama dan negara. Sebaliknya Islam memandang bahwa politik merupakan tugas keagamaan dan keduniawian sekaligus yang dilaksanakan secara sistematis.6 Pada dasarnya, gereja dan negara itu bertentangan, dengan batas pertentangan antara yang profan dan yang sakral. Setidak-tidaknya, inilah pernyataan yang diulang-ulang untuk membedakan kedua agama tersebut. Oleh karena itu, politik merupakan aktivitas konkret manusia dalam kehidupannya di dunia, tidak dipahami hanya sekedar pemenuhan tugas keduniawian yang lebih banyak mengejar kepentingan-kepentingan pragmatis dengan orientasi yang bersifat jangka pendek. Praktik diberi muatan keagamaan, yaitu nilai-nilai dan moralitas keagamaan sehingga politik menemukan kenyataan hakikinya sebagai refleksi tanggungjawab (amanah) manusia, baik secara kemanusiaan maupun secara ketuhanan.7 Berdasarkan uraian di atas, Islam dipandang berbeda dengan banyak agama lain, sebagaimana diungkapkan oleh Joachim Wach bahwa pada agama Islam, pertentangan dibanding dengan yang ada antara gereja dan negara dalam agama Kristen zaman tengah tidak bisa timbul, karena dalam Islam tidak pernah ada hal yang semacam beda keagamaan (acclessiatical body) apalagi konstitusi keagamaan hirarkhis.8 Secara stereotipical, Marshall Hudgson melihat keseluruhan sejarah Islam sebagai venture atau usaha tidak kenal berhenti untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan dan venture itu melibatkan orang-orang Muslim dalam praktik semua bidang kegiatan hidup, termasuk politik. Pelibatan dalam bidang politik, oleh Huston Smith dilihat sebagai perwujudan dari energi atau kekuatan yang diperoleh umat Islam, karena mereka tunduk dan patuh kepada Tuhan.9 Dengan kata lain, tenaga pendorong untuk menggarap persoalanpula Yusuf Qardhawy, Fiqih Negara, Penerjemah Safril Halim (Jakarta: Rabboni Press, 1977) p. 11. 6 L. Carl Brown, Wajah Islam Politik Pergulatan Agama dan Negara Sepanjang Sejarah Umat, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003)., dan lihat Anjar Nugroho, “Politik Islam Perspektif Sekularisme: Studi Kritis Pemikiran Ali Abd Al- Raziq”, dalam Jurnal AsySyir’ah, Vol. 39, No. 11, Th. 2005, p. 280, dan lihat pula Kalim Siddiqui, Seruan-seruan Islam: Tanggung Jawab Sosial dan Kewajiban Menegakan Syari’at (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), p. 119. 7 Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam dan Pluralisme Budaya dan Politik (Refleksi Teologi untuk Aksi dalam Keberagamaan dan Pendidikan (Yogyakarta: Sipress, 1994), p. 42. 8 Nurcholish Madjid, Kata Pengantar dalam Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1987), p ix., dan Lihat Joachim Wach, The Comparative Study of Religion, ed, Joseph M. Kitagawa, (New York and London: Columbia University Press, 1966), p. 4. 9 Nurcholish Madjid, Kata Sambutan dalam Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran , Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), p. vi. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 4 Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara... persoalan duniawi dengan kesungguhan luar biasa didukung oleh kepasrahan total mereka kepada kehendak Ilahi. Di antara agama yang ada di dunia ini, barangkali hanya Islam yang memiliki hubungan erat dengan politik yang menunjukkan salah satu dari karakteristik perkembangan dalam sejarah. Menurut Muhammad Asad10, ia menegaskan bahwa, mustahil bagi kita untuk memperoleh penilaian yang tepat tentang Islam tanpa mencurahkan perhatian yang sepenuhnya kepada politik. Pernyataan Asad ini, semakin menemukan pembenarannya bila ditarik ke sejarah masa hidup Nabi di Madinah. Pola hubungan komunitas Muslim dan komunitas non Muslim yang diwujudkan oleh Nabi dalam bentuk konstitusi atau disebut Piagam Madinah merupakan contoh kongkrit untuk tidak berlebihan menggarapnya sebagai modal keterkaitan Islam dengan politik. Dalam hal ini, sejumlah persyaratan pokok tumbuhnya kehidupan masyarakat madani yang dikembangkan Nabi Muhammad SAW adalah prinsip kesamaan, egaliter, keadilan, dan partisipasi.11 Oleh karenanya, Bernard Lewis12 mengatakan bahwa, Islam sejak masa hidup pendirinya adalah sebuah negara, dan pertalian antara negara dan agama tertancap tanpa dapat terhapuskan dalam ingatan dan kesadaran pengikut setianya di dalam kitab suci, sejarah dan pengalamannya. Sejumlah pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah bagaimana hubungan agama dan negara dalam pemikiran politik Islam. Di dalam tulisan ini penulis akan memaparkan hubungan agama dan negara dalam pemikiran politik Islam baik pada masa lalu hingga sekarang. B. Hubungan antara Islam dan Politik Politik tidak lahir di masa Nabi Muhammad SAW, karena sejak pertama kali manusia saling berinteraksi dan mengangkat pemimpin diantara mereka, itu artinya politik sudah ada. Namun karakter dunia politik yang terjadi di masa sebelum dan semasa Nabi Muhammad itu penuh dengan kelicikan dan kebusukan. Walau begitu, semua aktivitas tersebut tetaplah bernama politik, karena memang makna utama politik adalah pengelolaan urusan manusia; sedangkan baik atau buruknya pengelolaan itu urusan lain. Perbedaan utama antara politik umum (assiyasah al-‘ammah) dengan politik (Islam as-siyasah as-syar‘iyyah) itu adalah pada standar syari’at Islam. Sejak awal dakwahnya, Nabi Muhammad 10 Muhammad Asad, Pemerintahan dan Azas-azasnya, dalam Salim Azzam (ed), Beberapa Pandangan tentang Pemerintahan Islam, (Bandung: Mizan, 1983), p. 70. 11 Bahtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, (Yogyakarta: Galang Press 2001), p. 81 12 Bernard Lewis, Kebangkitan Islam di Mata Seorang Sarjana Barat, (Bandung: Mizan, 1983), p. 50., dan lihat Akram Dhiyauddin Umari, Masyarakat Madani Tinjauan Historis Kehidupan Nabi, (Jakarta; Gema Insani Press, 1999), p. 77-78. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara... 5 sangat intens mengajarkan prinsip-prinsip politik, khususnya setelah hijrah ke kota Madinah. Nabi Muhammad membangun ulang konsep politik yang selama ini tersebar di umat-umat lain. Membangunnya dengan sentuhan Islam yang lebih manusiawi, bernilai dan rasional.13 Dalam sejarah pemikiran politik, tak terkecuali pemikiran politik Islam, pencarian konsep tentang negara merupakan salah satu isu yang menjadi pusat perhatian para pemikir dan filsuf sejak masa klasik hingga masa modern dalam proses penemuan mereka terhadap bentuk ideal masyarakat manusia. Dalam dinamika berikutnya, pemikiran politik Islam tidak hanya merespons intervensi eksternal, yang selama ini dituduh sebagai sumber malapetaka di dunia Islam. Kekuatan eksternal juga telah memapankan eksistensinya di dunia Islam dengan membentuk seperangkat sistem kemasyarakatan yang cukup kokoh dalam menyebarkan pengaruhnya. Sepintas, banyak orang yang berpendapat bahwa persoalan hubungan agama dan negara merupakan sesuatu yang sudah selesai. Namun, jika diamati secara lebih dalam, hal itu masih merupakan suatu persoalan.14 Secara umum, ada dua kekuatan yang menjadi sumber pokok dari sosial kontrol, yaitu agama dan politik. Seringkali keduanya berfungsi secara integral di dalam masyarakat, inilah yang seringkali disebut sebagai religiopolitical system. Komponen ideologi dalam sistem ini terdapat dalam setiap agama. Dalam konteks ini ideologi politik sekuler tidak eksis, dan legitimasi pemerintah didasarkan pada ide-ide agama. Religiopolitical system merupakan sistem yang terintegrasi dimana pemerintah, ulama, ideologi agama, norma agama, dan kekuatan memaksa dari pemerintah dikombinasikan dalam rangka memaksimalkan stabilitas masyarakat. Dalam konteks politik, domain Islam dibagi menjadi dua. Pertama, domain yang sudah ada teks syar’i. Domain politik yang mempunyai teks syar’i inilah yang termasuk tsawabit, yaitu dalil-dalil yang pasti (qath’i). Referensi dalil-dalil yang tsawabit adalah teks-teks yang ada dari al-Qur’an, sunnah dan ijma umat Islam sehingga semua yang ada dalam ketiga hal tersebut menjadi sebuah ilmu yang wajib diamalkan dan teori yang harus dipraktikkan.15 Di dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman dalam QS. AlHasyr Ayat 7 13 Muhammad Elvandi, Inilah Politikku, (Solo: Era Adicitra Intermedia, 2011), p. 7- 8. Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi (Yogyakarta: Galang Press, 2001), p 158, lihat Khadiq, Gerakan Politik Umat Islam Indonesia di Daerah: Revolusi, Orde Lama, dan Orde Baru, dalam M. Damami Zein (editor) Wacana Politik Islam Kontemporer, (Yogyakarta: SUKA Press, 2007), p. 5-6 15 Lihat Muhammad El-Fandi, Inilah Politikku, (Solo: Era Adicitra Intermedia, 2011), p. 204. 14 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 6 Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara... ُ الر ُس َّ َوَما آتَا ُك ُم َول فَ ُخ ُذوهُ َوَما نَ َها ُكم َعنهُ فَان تَ ُهوا َواتَّ ُقوا اللَّهَ إِ َّن اللَّه ِ يد العِ َق اب ُ َش ِد Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. Ayat di atas menegaskan referensi Islam secara umum, termasuk politik Islam pada khususnya. Kedua sumber itulah yang memberikan penjelasan tentang asas politik Islam dan prinsip-prinsip globalnya. Atau seperti dijelaskan dalam teks sunnah tentang cara mengambil kebijakan politik, bahwa Abu Bakar dalam kebijakan politiknya, jika ia menemukan sebuah konflik, ia akan meninjaunya dari referensi kitabullah, jika ia mendapatkannya maka ia akan menggunakannya untuk menyelesaikan persoalan itu. Tapi jika tidak menemukannya dalam kitabullah maka ia mencari tahu dari sunnah Rasulullah SAW.16 Sebagai sebuah institusi politik, negara bukanlah sebuah entitas yang bisa merasakan, mempercayai, atau menindak. Manusialah yang selalu bertindak atas nama negara, menggunakan kekuasaan atau menjalankannya melalui organ-organnya. Oleh karena itu, negara itu pada hakikatnya rakyat atau bangsa itu sendiri. Jadi kapan pun manusia membuat keputusan tentang persoalan kebijakan, mengusulkan, atau membuat rancang undang-undang yang dianggap mewujudkan prinsip-prinsip Islam17. Mereka percaya bahwa agama tak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial dan politik, karena agama memberitahukan setiap tindakan yang diambil seseorang, dan al-Qur’an memberikan banyak bagian yang menekankan hubungan agama dan negara serta masyarakat.18 Dari persoalan itulah muncul pemikiran politik Islam, yang lebih spesifik yang lahir dari gerakan-gerakan sosial (harakah Islamiyah) yang berusaha melakukan kritik terhadap rezim pro Barat.19 Secara ideal Islam tidak membedakan agama dan negara karena masyarakat Islam yang sebenarnya dibentuk dan dipimpin oleh Nabi Muhammad sendiri di masa sepuluh tahun terakhir masa hayatnya, menuntut komitmen baik keagamaan maupun politis dari para anggotanya. Pesan yang didakwahkan 16 Ibid., p. 204-205 dan lihat pula Tim Tarjih Departemen Agama dan UII, alQur’an dan Tafsirnya Jilid X Juz 28-29-30 (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti, 1991), p. 60-61 17 Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekuler Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan, 2007), p. 28, lihat Muhammad Al-Bahy, Islam dan Sekularisme Antara Cita dan Kenyataan, (Solo: Ramadhani, 1998), p. 19. 18 John L. Esposito, Islam Aktual, (Depok : Inisiasi Press, 2005), p. 164. 19 Surwandono, Pemikiran Politik Islam, (Yogyakarta: LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2001), p. 24. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara... 7 oleh Nabi Muhammad bukanlah sesuatu yang bersifat abstrak melainkan sesuatu yang langsung berhubungan dengan keadaan atau persoalan kehidupan personal dan sosial.20 Dalam hal ini, agama menjaga politik dengan memberikan legitimasi kepada negara, partai, dan perorangan. Legitimasi kepada negara sudah lama dilakukan oleh Islam. Pada dasarnya, bagi pemikir politik Islam, menurut Din Syamsuddin21, pencarian konsep tentang negara sebagaimana disebutkan di atas, mengandung dua maksud. Pertama, upaya menemukan idealitas Islam tentang negara dengan menekankan aspek teoritis dan formal, yaitu mencoba menjawab pertanyaan, ”bagaimana bentuk negara dalam Islam”. Pendekatan ini bertolak dari asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara. Kedua, upaya melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara dengan menekankan aspek praksis dan substansial, yaitu mencoba menjawab pertanyaan, ”bagaimana isi negara menurut Islam”. Pendekatan ini didasarkan pada anggapan bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu tentang negara, tetapi hanya menawarkan prinsip-prinsip dasar berupa etika dan moral.22 Bentuk negara yang ada pada suatu masyarakat Muslim dapat diterima sejauh tidak menyimpang dari nilai dasar tadi. Kendati kedua maksud di atas pendekatannya berbeda, namun keduanya mempunyai tujuan yang sama yakni menemukan rekonsiliasi antara realitas agama dan realitas politik. Rekonsiliasi inilah, antara cita-cita agama dan realitas politik menjadi pemikiran utama para pakar politik Islam. Solusi yang ditawarkan, baik pada masa klasik maupun masa modern terhadap hal ini sangat beragam, seiring dengan keragaman setting sosio-kultural dan politik yang mereka hadapi, seperti tuntutan zaman, sejarah, latar budaya, tingkat perkembangan peradaban dan pengaruh peradaban asing. Dalam hal ini, baik faktor intern maupun faktor ekstern sama-sama mempunyai andil dalam menentukan keragaman tersebut atau dengan kata lain selalu terdapat tarik-menarik antara ketentuan-ketentuan normatif (ajaran Islam) dalam realitas sosial politik dan historis. John Obert Voll, Politik Islam Kelangsungan dan di Dunia Modern, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), p. 39. 21 M. Din Syamsuddin, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Ulumul Quran, No.2, Vol.IV, Tahun 1993), p. 4. 22 Ali Abd Al-Raziq, al Islam wa Ushul-ul Hukum, (Kairo: 1925), p. 24, menurut M. Dhiauddin Rais dalam bukunya Teori Politik Islam (2001), ia menyebutkan bahwa buku Al–Islam wa Usul-ul Hukum karya Ali Abd Al-Raziq itu bukanlah sebuah kajian ilmiah yang murni, namun merupakan sebuah bentuk kampanye politik yang dilakukan oleh beberapa negara kolonialis untuk menyerang eksistensi kekhalifahan Usmaniyah pada saat Perang Dunia I Romawi karena Khalifah yang ditaati oleh kaum muslimin saat itulah mengumumkan kewajiban berjihad melawan negara itu, yaitu Inggris. 20 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara... 8 Sistem politik di dunia Islam pada zaman modern banyak terpengaruh oleh sistem politik Barat. Contoh yang jelas adalah mengenai ”kedaulatan rakyat”. Banyak pihak intelektual yang menuntut bahwa rakyat adalah sumber kekuasaan satu-satunya dalam negara adalah rakyat merupakan faktor menentukan dalam pembentukan instansi negara. Begitu juga dalam bidang legislasi, dan malah ada sementara pihak yang menginginkan kedaulatan rakyat penuh dalam pemerintahan Islam.23 Islam merupakan sistem yang berdiri sendiri, mandiri dalam konsep dan sarana yang dipergunakannya, bahwa Islam tumbuh sendiri dan menempuh jalannya sendiri24 Dengan demikian, maka tujuan paling mendasar dari pemerintahan Islam ialah menyediakan suatu kerangka dasar politik bagi persatuan dan kerjasama umat Islam.25 Dengan demikian, suatu sistem dapat menyandang dua karakter itu sekaligus karena hakikat Islam yang sempurna menerangkan urusan-urusan materi dan rohani, dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Pada pertengahan abad ke-20, sebagian besar dunia Islam telah mencapai kemerdekaan politik. Pengaruh dan daya pikat Barat yang terus menerus merupakan bukti lebih sekulernya jalan yang dipilih oleh kebanyakan pemerintah dan kaum elit modern. Bahkan di negara-negara dimana Islam mempunyai peran penting dalam gerakan-gerakan nasionalis, generasi baru yang berkuasa cenderung berorientasi lebih sekuler. Jika seseorang memandang dunia Islam, maka ada tiga arah atau model dalam hubungan antara agama dengan negara yaitu, Islam, sekuler, Muslim, dan di sini Saudi Arabia memproklamasikan diri sebagai negara Islam. Monarki istana Saud mendasarkan legitimasinya pada Islam, menyatakan diri diatur dan memerintah dengan al-Qur’an dan hukum Islam. Istana Saud telah membangun hubungan yang erat dengan para ulama, yang terus menerus menikmati posisi istimewa sebagai penasihat pemerintah dan pejabat dalam sistem hukum dan pendidikan. Pemerintah Saudi menggunakan Islam untuk melegitimasi politik dalam negeri maupun luar negeri.26 23 121. Rifyal Ka'bah, Islam dan Fundamentalisme, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), p. Lihat James P. Piscatori, “Politik Ideologis di Arab Saudi” dalam Harun Nasution dan Azyumardi Azra (Penyunting perkembangan) Modern dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), p. 196-197. 25 Salim Azzam, Beberapa Pandangan tentang Pemerintahan Islam, (Bandung: Mizan, 1983), p. 73, dan lihat M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta:, Gema Insani, 2001), p. 4, dan lihat pula Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, (Jakarta: Gramedia, 1994), p. 39. 26 Sayyid Quthb, Keadilan Sosial dalam Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1984), p. 134. 24 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara... 9 Sebagai contoh, Turki, satu-satunya peninggalan Kerajaan Usmaniyah yang ada, telah memilih negara sekuler yang membatasi agama hanya untuk kehidupan pribadi. Turki, di bawah kepemimpinan Kemal Attaturk (sebagai Presiden, 1923-1938), melakukan proses Turkinisasi dan westernisasi yang komprehensif, dan juga sekularisasi yang mengubah bahasa dan sejarah serta agama dan politik. Buku-buku berbahasa Inggris menggantikan yang berbahasa Arab, dan sejarah ditulis ulang, dengan menekan komponen-komponen Arabnya dan mengagungkan peninggalan Turkinya. Attaturk secara otokratis mengawasi sederetan pembaruan yang mencampakkan sultan, menghapuskan kekhalifahan, menjatuhkan Islam, menutup pondok-pondok, melarang penggunaan jubah, dan menggantikan lembaga-lembaga tradisional (hukum, pendidikan, pemerintahan) dengan yang modern, suatu pilihan yang diilhami oleh Barat.27 Sebagaimana dijelaskan Esposito dan Brown di atas, sebagian besar negara di dunia Islam mengambil posisi tengah. Mereka adalah negara Muslim dalam arti bahwa mayoritas penduduk dan peninggalannya adalah Muslim, namun mereka mengikuti jalan pembangunan sekuler. Sebagian melihat ke Barat untuk mencari basis bagi sistem pemerintahan konstitusional, hukum dan pendidikan modern. Sementara itu mereka yang memasukkan peraturan Islam ke dalam undang-undang mereka, yang menuntut agar kepala negara adalah orang yang beragama Islam dan hukum Islam harus diakui sebagai sumber hukum (walaupun hal ini tidak dijalankan dalam kenyataannya). Pemerintahan-pemerintahan ini berusaha mengontrol agama dengan cara membangun lembaga-lembaga keagamaan dalam birokrasi mereka, dalam kementerian hukum, pendidikan dan urusan keagamaan. Dengan beberapa pengecualian, pada umumnya trend, harapan, dan tujuan pemerintahan-pemerintahan kaum elite modern yang berpendidikan Barat adalah untuk menciptakan negara modern dengan paradigma Barat sebagai modelnya. Peraturan negara tersebut memaksakan pengaruhnya baik terhadap individu maupun kelompok, dan pada kenyataannya setiap individu membentuk kediriannya sesuai dengan pola yang telah ditentukan oleh negara.28 Jhon I. Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), p. 90, dan lihat L. Carl Brown, Wajah Islam Politik Pergulatan Agama dan Negara Sepanjang Sejarah Umat, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), p. 162-163, dan lihat pula A. Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, (Jakarta: Jambatan, 1994), p. 1-3 28 Hakim Mohammad Said, Moralitas Politik: Konsep Mengenai Negara dalam Fathi Osman (ed), Islam Pilihan Peradaban, (Yogyakarta: Shalahuddin Press), p. 76. 27 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 10 Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara... C. Polarisasi Pemikiran Politik Islam Bertolak dari paradigma di atas, maka pandangan bahwa agama dan negara adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, diwakili oleh kelompok Syi’ah. Pemerintahan negara, menurutnya diselenggarakan atas dasar divine soveregnity (kedaulatan Ilahi), karena kedaulatan hanya milik Allah. Tokoh Revolusi Islam Iran Imam Khomeini, ia mengatakan bahwa ”dalam negara Islam wewenang menetapkan hukum berada pada Tuhan”. Keberhasilan Khomeini yang paling penting adalah untuk menunjukkan bahwa gerakan yang mendapat inspirasi kuat dari Islam dimungkinkan untuk menggulingkan suatu Kerajaan yang jelas-jelas pro Barat dan sangat kuat.29 Sekalipun revolusi Islam di Iran telah menyedot perhatian dunia, pola revolusi agama yang dijumpai di Mesir dan sedikit banyak di Timur Tengah khususnya lebih mewakili arus besar revolusi-revolusi agama.30 Dalam pengertian ini tiada seorang pun yang berhak menetapkan hukum, dan yang boleh berlaku hanyalah hukum dari Tuhan. Atas doktrin imamah yang dimiliki, imam menurut konsep ini, adalah kepanjangan tangan Tuhan di dunia. Oleh karenanya ke-Imaman harus diwujudkan melalui penentuan (wasiyah) yang diturunkan lewat garis keturunan Nabi Muhammad (ahl alBait)31. Dalam hal ini, politik harus berdasarkan legitimasi keagamaan yang hanya dimiliki oleh para keturunan Nabi. Berseberangan dengan paradigma Sunni yang didasarkan pada pemilihan (ikhtiyar) dan pembaiatan (bay’ah) seorang kepala negara (khalifah), paradigma Syi’ah menekankan wilayah (”kecintaan” dan ”pengabdian” kepada Tuhan) dan ishmah (kesucian dan dosa) yang hanya dimiliki oleh para keturunan Nabi sebagai yang berhak dan absah menjadi kepala negara (Imam).32 Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan berfungsi menyelenggarakan kedaulatan Tuhan, negara, dalam perspektif Syi’ah bersifat teokratis, yaitu kekuasaan mutlak berada di tangan Tuhan dan konstitusi negara berdasarkan pada wahyu Tuhan (Syari’ah). Hal ini dapat dikatakan bahwa Islam berpihak sepenuhnya kepada sistem demokrasi, sekalipun dalam menghadapi isu-isu penting tertentu harus berbeda dengan sistem demokrasi yang berkembang di negara-negara non Muslim. Dalam perspektif ini, maka adalah sebuah 29 R.M. Burrell, “Pendahuluan: Fundamentalisme Islam di Timur Tengah Penelitian Asal-usul dan Keanekaragamannya” dalam R.M.Burrell (ed), Fundamentalisme Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), p. 44-45. 30 Mark Huegensmeyer, Menentang Negara Sekuler: Kebangkitan Global Nasionalisme Religius, (Bandung: Mizan, 1989), p. 98. 31 Ibnu Kholdun, Muqaddimah, (Baghdad: Al-Mutsanna, 1967), p. 498. 32 W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1960), p. 110. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara... 11 ironi bilamana sampai hari ini negeri-negeri Islam masih saja bingung dalam mencari suatu sistem politik yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan moral Islam.33 Konsep penyatuan agama dan negara juga menjadi anutan kelompok ”fundamentalis Islam” (al-Ushuliyah al-Islamiyah) yang cenderung berorientasi pada nilai-nilai Islam yang dianggapnya mendasar dan prinsipal. Ibnu Taimiyah, inspirator utama gerakan pembaharuan Islam, kemudian dijuluki Barat sebagai ”Bapak fundamentalisme Islam pada zaman modern”. Penamaan atau cap tersebut merupakan “pemerkosaan besar-besaran” terhadap sejarah. Karena, ”gerakan kembali pada al-Qur’an atau Islam yang murni” itu mempunyai visi, cita, dan orientasi yang sama sekali berbeda dengan fundamentalisme Kristen. Salah satu perbedaan itu adalah fundamentalisme Kristen muncul karena ketidakpuasan terhadap agama (yang semakin lemah dan tidak tahan menghadapi arus penemuan dan pengembangan sains modern), sedangkan ”gerakan yang sama” dalam Islam muncul justru karena ketidakpuasan terhadap keadaan dunia.34 Selain itu, salah seorang di antara pemikir Islam kontemporer yang dipandang sangat vokal menyuarakan konsep ini adalah Abu al-A’la alMaududi (1903-1979).35 Dalam konteks politik Islam syiah, konsep pemisahan kekuasaan negara diatur dalam bingkai demokrasi dan konstitusi Republik Islam berdasarkan pola hubungan imamah dan ummah36. Imamah adalah representasi kekuasaan Allah, sedangkan ummah adalah representasi dari kekuasaan manusia untuk mengatur dirinya sendiri37 dan tidak terbatas pada seseorang secara individual atau kelompok, dan Allah SWT telah mengkhususkannya kepada Ibrahim, dan menjadikannya diwarisi oleh anak cucunya dan orang-orang pilihan. Allah SWT berfirman dalam QS. al-Anbiya ayat 73. 33 Ahmad Syafii Maarif, Politik dalam Perspektif Islam, (Ulumul Quran, No.2, Vol. IV, Tahun 1993), p. 107, dan lihat Syahrough Akhavi, Pemikiran Sosial Syiah dan Praksisnya dalam Sejarah Iran Akhir-akhir ini dalam Harun Nasution dan Azyumardi Azra (Penyunting) dalam Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), p. 162163. 34 Asep Syamsul M. Romli, Isu-isu Dunia Islam, (Yogyakarta: Dinamika, 1996), p. 86-87. 35 Abul ‘Ala Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan 1993), p. 64 36 Lihat Djazimah, Muqaddas, Kontribusi Versi Hakim Perempuan pada Peradilan Islam di Negara-negara Muslim, (Yogyakarta: LKiS, 2011), p. 33. 37 Lihat Djaka Sutapa, Ummah Komunitas Religius Sosial dan Politik dalam al-Qur’an, (Jakarta: Duta Wacana University Press, 1991), p. 17-18. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 12 Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara... ِ وجعلنَاهم أَئِ َّمة ي ه ُدو َن بِأَم ِرنَا وأَوحي نَا إِلَي ِهم فِعل اْلي ر ات َوإِقَ َام ُ ََ َ َ َ َ ََ َ ِِ ِ َّ الصالةِ وإِيتاء ين َ الزَكاة َوَكانُوا لَنَا َعابد َ َ َ َّ Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah. Menurut pandangan Imam Abu al-A’la al-Maududi terhadap kekuasaan dan kedaulatan Tuhan merupakan landasan fundamental dari sistem sosial dan moral, dan itulah satu-satunya titik sentral dari sistem politik Islam. Akibatnya, tidak seorang pun yang diberikan wewenang untuk membuat, menetapkan atau memberikan aturan-aturan, juga tak seorang pun diperlakukan atau diberi keistimewaan untuk membuat undang-undang. Oleh karena itu, imam ibarat matahari terbit yang memancarkan sinarnya dan ia menerangi cakrawala yang tidak dapat dicapai tangan dan penglihatan.38 Berpijak dari konsep di atas, Munawir Sjadzali39 mengemukakan tiga landasan keyakinan yang menurutnya sangat esensial. Pertama, tidak seorang pun baik individu maupun kelompok mendeklarasikan diri sebagai pemegang kedaulatan. Hanya Allah-lah yang memegang kedaulatan dalam arti hakiki, sementara manusia tidak lain hanya sebagai pelaksana dari kedaulatan Tuhan. Kedua, Allah adalah pembuat hukum dalam arti yang sebenarnya, wewenang untuk menetapkan berlakunya undang-undang, sedang manusia sama sekali tidak diberi wewenang menetapkan dan merubah setiap hukum yang telah digariskan Allah. Ketiga, dalam segala hal, negara ditegaskan atas undang-undang Allah, maka sebagai konsekuensinya dalam pemerintahan Islam harus melaksanakan segala ketentuan Allah. Selanjutnya ia mengatakan bahwa oleh karena di dalam Islam hanya Tuhan saja yang berdaulat, maka Tuhan harus dipandang sebagai satu-satunya perumus undang-undang di dalam sebuah negara Islam. Dalam pandangan al-Maududi konsep tentang negara Islam harus berdasarkan syari’ah, tetapi dapat dikatakan bersifat teokratis, disini alMaududi lebih memilih istilah ”teo-demokrat” untuk negara idealnya.40 38 Abul ‘Ala al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Penerjemah Muhammad al-Bagir (Bandung: Karisma, 2007), p. 57-58. Lihat M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2001), p. 122-123. 39 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), p. 166. 40 M. Din Syamsuddin, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Ulumul Quran, No.2, Vol.IV, Tahun 1991), p. 3. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara... 13 Teokrasi dalam Islam merupakan suatu yang sama sekali berbeda dengan tradisi yang pernah berjaya di Eropa, dimana suatu kelompok masyarakat khusus (pendeta) yang melakukan dominasi tidak terhingga dengan menegakkan hukum-hukumnya sendiri atas nama Tuhan, dan pada akhirnya melaksanakan keilahian dan ketuhanan mereka sendiri atas nama rakyat. Sistem pemerintahan yang seperti ini justru bersifat syaitaniyah (Satanic) daripada Ilahiyah (Divine). Hal ini, sangat bertolak belakang dengan teokrasi yang dibangun oleh Islam dan tidaklah dikuasai oleh kelompok keagamaan manapun kecuali seluruh masyarakat Islam dari segala kelompok.41 Pandangan tentang simbiosa agama dan negara atau hubungan timbal balik antara agama dan negara, berdasarkan pada formulasi pemikiran bahwa pada prinsipnya agama memerlukan negara, karena dengan negara, agama dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral. Dalam Islam, pergesekan yang erat antara ajarannya politik, terletak pada dua hal, seruan menegakkan ”kebenaran” dan realitas umat atau masyarakat sendiri.42 Pandangan ini dapat ditemukan umpamanya, dalam pemikiran al-Mawardi dalam karyanya al-Ahkam as-Sultaniyah (peraturanperaturan kerajaan/pemerintahan)43 yang merupakan karya ilmiah pertama tentang ilmu politik dan administrasi negara dalam sejarah Islam,44 bahkan para orientalis memandangnya sebagai dokumen kunci dalam evolusi pemikiran politik Islam,45 dan ia menegaskan bahwa Imamah (kepemimpinan) dilembagakan untuk menggantikan kenabian guna melindungi agama dan mengatur dunia. Apa yang dimaksudkan oleh al-Mawardi dengan imam adalah khalifah, raja, sultan atau kepala negara, dan dengan demikian al-Mawardi memberikan juga baju agama kepada kepala negara di samping baju politik. Menurutnya, Allah mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebagai pengganti (khalifah), untuk mengamankan agama, dengan disertai mandat politik. Dengan demikian, seorang imam disatu pihak adalah pemimpin agama, dan dilain pihak pemimpin politik46. Pemeliharaan 41 Fauzi Rahman dan Miftahuddin, Upaya Al-Maududi Memurnikan Pemahaman Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1993), p. 37-38. 42 Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan, Keharusan Demokrasi dalam Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), p. 129. 43 Abu Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (Mesir: Al-Khalabi, 1973), p. 8, dan lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1978), p. 103. 44 Qamaruddin Khan, The Political Thought of Ibnu Taimiyah, (Islamabad: Islamic Reseach Institute, 1973), p. 19. 45 P. Little Donald, A New Look at Ahkam Al-Sultaniyah, (The Muslim Word, Vol.64, No.1, 1974), p. 1. 46 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: 1990), p. 63. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara... 14 agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda namun berhubungan secara simbiotik, dan keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian. Dalam pandangan Islam, antara fungsi religius dan fungsi politik imam atau khalifah tidak dapat dipisah-pisahkan. Antara keduanya terdapat hubungan timbal balik yang erat sekali.47 Sedemikian dekat dan saling bergantungan antara agama dan kekuasaan politik (negara), atau berhubungan secara integral antara agama dan politik. Agama adalah dasar kata al-Ghazali, dan Sultan adalah penjaganya. Dalam al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Mulk (batangan logam mulia tentang nasihat untuk raja-raja) al-Ghazali antara lain mengisyaratkan hubungan paralel antara agama dan negara, seperti dicontohkan dalam paralelisme Nabi dan raja. Menurutnya, jika Tuhan telah mengirim Nabi-nabi dan memberi mereka ”kekuatan Ilahi”. Keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu kemaslahatan kehidupan manusia. Paralelisme ini dapat ditafsirkan sebagai simbiosa yang bersifat setara. Hal ini, dilakukan oleh pendapat al-Ghazali dalam Kimya-yi Sa’adat bahwa agama dan negara adalah saudara kembar yang lahir dari satu ibu.48 Mencermati polarisasi pemikiran politik Islam, akibat munculnya berbagai pandangan tentang hubungan agama dan negara sebagaimana disebutkan di atas, lebih menunjukkan pada tataran metodologi yang digunakan oleh para pemikir politik dalam menafsirkan sumber ajaran Islam (al-Qur’an dan al-Hadis). Di dalam pola pemikiran Islam di sepanjang sejarah pergumulannya, dikenal dua kutub pendekatan yang berlawanan satu sama lain, yaitu antara skriptualistik dan rasionalistik antara idealistik dan rasionalistik, kemudian terakhir antara formalistik dan substansivistik. Pendekatan demikian mementingkan perlunya formulasi dan institusionalisasi ajaran agama dalam suatu suprastruktur dan infrastruktur politik, seperti ditunjukkan konsep negara Islam dan partai Islam. Sebaliknya, pendekatan substansivistik lebih mengutamakan isi daripada bentuk atau wadah politik. Persoalan utama pendekatan demikian bukan struktur politik yang ditandai dengan terbentuknya negara formal (Islam), tetapi aspek etik dan moralitas yang diformat melalui ajaran-ajaran agama.49 Tipe kecenderungan skriptualistik menampilkan pemahaman yang bersifat tekstual dan literal, yaitu mengandalkan pada penafsiran yang menekankan bahasa. Sementara kecenderungan rasionalistik menampilkan 47Lihat Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), p 130. dan lihat John L. Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), p. 38 48 Al-Ghazali, ‘Iqtishad fi Al-I’tiqad, (Mesir: Maktabah, 1972), p. 109. 49 Asep Syamsul M. Romli, Isu-isu Dunia Islam, (Yogyakarta: Dinamika, 1996), p. 39. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara... 15 penafsiran rasional dan kontekstual. Perbedaan titik pandang pendekatan ini melahirkan perbedaan paham terhadap konsepsi al-Qur’an mengenai negara, sebagaimana dapat ditemukan dalam ayat al-Qur’an mengenai khalifah.50 Khalifah adalah figur di dunia yang mendapat pengasahan dari kalangan “ulama”, yang merupakan para penjaga syari’ah. Dengan demikian, maka tipe idealistik cenderung melakukan idealisasi terhadap sistem pemerintahan dengan menawarkan nilai-nilai Islam yang ideal, sebagaimana konsepsi negara yang ditawarkan oleh para filsuf seperti AlFarabi dengan al-Madinah al-Fadhilahnya (Negara Terbaik) di dalamnya ia menguraikan bahwa negara terbaik ialah negara yang dikepalai seorang Rasul. Tetapi karena zaman Rasul-rasul telah selesai, maka negara terbaik kelas dua ialah negara yang dikepalai oleh seorang filosof 51, kendati belum pernah menjadi kenyataan dalam sejarah. Jika kaum idealis sebagaimana digambarkan di atas, cenderung menolak format kenegaraan yang ada, maka kaum realis cenderung menerimanya. Selain itu, tipe formalistik cenderung mementingkan bentuk daripada isi. Pendekatan ini menawarkan konsep tentang negara dengan simbolisme keagamaan, seperti tampak pada model negara Islam atau partai Islam, sementara pendekatan substansivistik, sebaliknya menekankan isi daripada bentuk. Konsepsi tentang negara yang ditawarkan tidak mempersoalkan format dari negara itu, tetapi memusatkan perhatian kepada pemberian seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. D. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagai agama yang telah disempurnakan dan diperuntukkan bagi umat manusia sepanjang masa, Islam memberikan pedoman hidup yang menyeluruh, meliputi segala aspek yang diperlukan dalam hidup manusia, yaitu aspek aqidah, ibadah, akhlak dan muamalat. Untuk merealisir ajaran Islam yang mencakup aspek-aspek kehidupan itu, kenyataan-kenyataan manusiawi memperoleh perhatian sepenuhnya. Islam yang memberikan pedoman kepada manusia yang bersifat menyeluruh dan menjamin akan mendatangkan kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat serta memberi perhatian kepada kenyataan-kenyataan manusiawi itu pada tempatnyalah apabila dinyatakan sebagai agama rahmat. M. Din Syamsuddin, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Islam (Ulumul Quran, No.2, Vol.IV, Tahun 1993), p. 29-30. dan lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), p. 5. 51 Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1978), p. 104-105. 50 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 16 Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara... Oleh karena itu, hubungan agama dan negara dalam pemikiran politik Islam, dapat dikelompokkan dalam tiga paradigma utama. Pertama, mereka memandang bahwa negara adalah lembaga keagamaan dan sekaligus lembaga politik, karena itu kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama sekaligus kekuasaan politik. Kedua, negara oleh mereka dianggap sebagai lembaga keagamaan tetapi mempunyai fungsi politik, karena itu kepala negara mempunyai kekuasaan agama yang berdimensi politik. Ketiga, mereka pun memandang bahwa negara adalah sebagai lembaga politik yang sama sekali terpisah dari agama, kepala negara karenanya hanya mempunyai kekuasaan politik atau penguasa dunia saja. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara... 17 Daftar Pustaka Abd ar-Raziq, Ali, Al-Islam wa Usul-al Hukmi, Kairo: 1925. Abdillah, Masykuri, Islam, Negara dan Civil Society, Prospek dan Tantangan Pasca Orde Baru dalam M. Dawam Rahardjo Mewujudkan Satu Umat, Jakarta: Puzam, 2002. Abduh, Muhammad, Perintis Pembaruan Islam, dalam Ali Rahmena (ed), Ivonne Haddad, Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan, 1996. Ahmad, Z.A., Konsepsi Negara Islam, Bandung: N.V. Alma’arif, 1952. ----------, Republik Islam Demokratis, Tebing Tinggi, tt. Ahmed An-Na'im, Abdullahi, Islam dan Negara Sekular Menegosiasikan Masa Depan Syariah, Bandung: Mizan, 2007. Akhavi, Shahrough, Pemikiran Sosial Syiah dan Praksisnya dalam Sejarah Iran Akhir-akhir ini, dalam Harun Nasution dan Azyumardi Azra (Penyunting) Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985. Al-Bahy, Muhammad, Islam dan Sekularisme Antara Cita dan Kenyataan, Solo: Ramadhani, 1998. Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad, Mesir: Maktabah AlJundi, 1972 Ali, Fachry, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan, Keharusan Demokrasi dalam Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996. Al-Jashshash, Ahkam Al-Qur’an, Baitut: Darul Fikr,1405. Al-Maududi. Abul ‘Ala, Khilafah dan Kerajaan, Penerjemah Muhammad alBagir, Bandung: Karisma, 2007 Al-Qurtubi, Aljami’ li Ahkam al-Qur’an, Kairo: Maktabah Darul Kutub alMishriah, 1994. Amiruddin, M. Hasbi, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta: UII Press, 2000. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 18 Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara... Asad, Muhammad, Pemerintahan dan Azaz-azaznya, dalam Salim Azzam (ed), Beberapa Pandangan tentang Pemerintahan Islam, Bandung: Mizan, 1983. Ashaari, Omardin, Sistem Politik dalam Islam, Kuala Lumpur: Yayasan Dakwah Islamiah, 2008. At-Thabari, Jami’ul Bayan, Boulak, 1328 H. Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996 Azzam, Salim, Beberapa Pandangan tentang Pemerintahan Islam, Bandung: Mizan, 1983. Basyir, Ahmad Azhar, Negara dan Pemerintahan dalam Islam (Sebuah Pengantar Filsafat Politik Islam), Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1981. Brown, L. Carl, Wajah Islam Politik Pergulatan Agama & Negara Sepanjang Sejarah Umat, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003. Dhiauddin Umari, Akram, Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, Jakarta: Gema Insani, 1999. Donal, P. Little, A New Look al-Ahkam Al-Sultaniyah, The Muslim Word, Vol;.64, No.1, 1994. Edwards, Beverley Milton, Islam & Politics, Cambridge: Polity Press, 2004. Effendy, Bahtiar, Teologi Baru Politik Islam Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press, 2001. Elvandi, Muhammad, Inilah Politikku, Solo: Era Adicitra Intermedia, 2011. Esposito, John, L, Ancaman Islam Mitos Atau Realitas, Bandung: Mizan, 1994. -----------, Islam dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1990. ----------, Islam Aktual, Depok: Inisiasi Press, 2005. Garaudy, Roger, Islam Fundamentalis dan Fundamentalis Lainnya, Bandung: Pustaka, 1993. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara... 19 Haekal, Muhammad Hussain, Pemerintahan Islam (Terj), Jakarta: Pustaka Firdaus 1993 Hasbi, Artani, Musyawarah dan Demokrasi: Analisis Konseptual Aplikatif dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001. Ibnu Kholdun, Abd al-Rahman, Muqaddimah, Baghdad: Al-Mutsanna, 1967. Idris, Ja’far, Islam dan Perubahan Sosial, Bandung: Mizan, 1984. Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007. Ismael, Y.and Ismael Jacquelines, "Political Hertage of Islam". In Tareq Y. Ismael and Jacquelines Ismael (eds) Politics and Goverment in the Middle East and North Africa, Miami: Florida International University Press, 1991. Ka’bah, Rifyal, Islam dan Fundamentalisme, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984. Khadiq, Gerakan Politik Umat Islam Indonesia Tiga Era: Revolusi, Orde Lama, dan Orde Baru, dalam M. Damami Zein (editor), Wacana Politik Islam Kontemporer, SUKA Press, 2007. Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997. Lewis, Bernard, Kebangkitan Islam di Mata Seorang Sarjana Barat, Bandung: Mizan, 1983. -----------, Bahasa Politik Islam, Jakarta: Gramedia, 1994. Linjakumpu, Aini, Political Islam in the Global World, Ithaca Press, 2008. M. Romli, Asep Syamsul, Isu-isu Dunia Islam, Yogyakarta: Dinamika, 1996. Maarif, Syafii, Islam Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1987. -----------, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1993. -----------, Politik dalam Perspektif Islam, Ulumul Quran, No.2, Vol.IV, Tahun 1993. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 20 Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara... Madaniy, A. Malik, Politik Berpayung Fiqh, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010. Madjid, Nurcholish, Kata Pengantar dalam Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1987. -----------, Kata Sambutan dalam Munawir Sjadzali; Islam dan Tata Negara,Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990. Mark Juergensmeyer, Menentang Negara Sekuler: Kebangkitan Global Nasionalisme Religius, Bandung: Mizan, 1998. Muhammad Said, Hakim, Moralitas Politik Konsep Mengenai Negara, dalam Fathi Osman (ed), Islam Pilihan Peradaban, Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1989. Mukti Ali,H.A., Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Jakarta: Jambatan, 1994. Muqaddas, Djazimah, Kontribusi Versi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam di Negara-negara Muslim, Yogyakarta: LKiS, 2011. Nasroen, M., Asal Mula Negara, Jakarta: Aksara Baru, 1986. Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1978 Obert Voll, John, Politik Islam Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997. Piscatori, James P., Politik Ideologis di Arab Saudi dalam Harun Nasution dan Azyumardi Azra (Penyunting), Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985 Qadir Hamid, Tijani Abd. Pemikiran Politik dalam Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2000. Qamaruddin, Khan, The Political Thought of Ibn Taimiyah, Islamabad: Islamic Reseach Institute, 1973. Qardhawy, Yusuf, Fiqih Negara, Penerjemah Safril Halim, Jakarta: Rabboni Press, 1977. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara... 21 Quthb, Sayyid, Keadilan Sosial dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1984. --------, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Beirut: Daar Ihya al-Thurats al-Arabi Cet ke V, 1967. --------, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Penerjemah Aunurrafiq Shaleh Tamhid, Jakarta: Rabbani Press, 2001. Rahman, Fauzi dan Miftahuddin, Upaya Al-Maududi Memurnikan Pemahaman Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1993. Rahnema, Ali (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan, 1995. Rais, M. Dhiauddin, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani, 2001. Rasyid Ridha, M, Tafsir Al-Manar, Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t. Sharif, M. Islamic and Educational Studies, Lahore: Institute of Islamic Culture, 1964. Siddiqui, Kalim, Seruan-seruan Islam: Tanggung Jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syari’at, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990. Sukarna, Ideologi: Suatu Studi Ilmu Politik, Jakarta: Bandung: Alumni, 1981. Surwandono, Pemikiran Politik Islam, Yogyakarta: LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2001. Suyuthi, J., Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Syamsuddin, M. Din, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Islam, Ulumul Quran, No.2, Vol. IV, Tahun 1993. Tholhah Hasan, Muhammad, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural, Jakarta: Lantabora Press, 2005. Tim Tarjih Departemen Agama dan Universitas Islam Indonesia, AlQur’an dan Tafsirnya, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1991. ----------, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1991. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 22 Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara... Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik (Refleksi Teologi untuk Aksi dalam Keberagamaan dan Pendidikan, Yogyakarta: Sipress, 1994. Wach, Joachim, The Comparative Study of Religion, Joseph M. Kitagawa (ed), New York and London: Colombia University Press, 1996. Watt, W. Montgomery, Islamic Political Though, Edinburgh: Edinbugh University Press, 1960. Zahrah, M. Abu, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, Ponorogo: Trimurti, 1991. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan dalam Tatanan Hukum: Studi Atas Keberadaan Ahmadiyah di Yogyakarta Oleh: Nurainun Mangunsong Abstract Theologically, Ahmadiyya is a new religious movement as a manifestation of an autonomous human being in an attempt to be universal menkontekstualisasikan Islam (rahmatan lil'alamin) accepted by the people in the world. Therefore, the Ahmadiyya sect emerged as a new center of Islamic factions others. However, after the death of Mirza Ghulam Ahmad, the founder of Ahmadiyya movement split in two (Lahore Ahmadis and Ahmadiyya Qodian) which has a doctrinal difference principle. It was also caused controversy acceptance Ahmadiyah in Indonesia. In Yogyakarta, the arrival of the Lahore Ahmadiyya by preachers present in the midst of Muhammadiyah (the students). Demographically, Yogyakarta is an area with a pluralist society and culture typology abangan and academic community (aristocratic) were dominant. Because it was difficult for him accepted by the Java community. Although internally, Ahmadiyya Yogyakarta is exclusive, but externally, this group is quite inclusive and adaptive with rituals such as Java and nyadran tahlilan or nyekar. Islamic acculturation and Hindu communities living in Yogyakarta ritual brings egalitarian attitude and high tolerance against Ahmadis. Ahmadis also seen as a group that have contributed to the education and the struggle for Independence Homeland. The presence of PIRI (Islamic University of Indonesia) and the issuance of Javanese Quran, Quran Jarwoe Jarwi, is evidence of the struggle that has existed since 1924. This paper would like to examine the existence of Ahmadiyah as a religious movement in Yogyakarta. Furthermore, this paper would like to sit "right Ahmadiyya belief" in the legal order. Key words: human rights, freedom of religion and belief rights Abstrak Secara teologis, Ahmadiyah merupakan gerakan keagamaan baru sebagai manifestasi otonom manusia dalam upaya menkontekstualisasikan ajaran Islam agar universal (rahmatan lil’alamin) diterima oleh umat di dunia. Karena itu ajaran Ahmadiyah muncul sebagai mazhab baru di tengah golongan-golongan Islam yang lain. Namun, sepeninggal Mirza Ghulam Ahmad, selaku pendiri Ahmadiyah, gerakan ini terbelah dua (Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qodian) yang secara doktriner memiliki perbedaan yang prinsipiil. Hal itu pula yang menimbulkan kontroversi penerimaan Ahmadiyah di Indonesia. Di Yogyakarta, kedatangan Ahmadiyah oleh Mubaligh Lahore hadir di tengah-tengah warga Muhammadiyah (kaum Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. E-mail: [email protected] SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 24 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... santri). Secara demografi, Yogyakarta merupakan daerah dengan kultur masyarakat yang pluralis dan tipologi masyarakat abangan dan akademik (priyayi) yang dominan. Karena itu tak menyulitkannya diterima oleh masyarakat Jawa. Meski secara internal, Ahmadiyah Yogyakarta adalah eksklusif, namun secara eksternal, kelompok ini cukup inklusif dan adaptif dengan ritual Jawa seperti tahlilan dan nyadran atau nyekar. Akulturasi Islam dan hindu yang hidup dalam ritual masyarakat Yogyakarta membawa sikap egaliter dan toleransi yang tinggi terhadap Ahmadiyah. Ahmadiyah juga dipandang sebagai kelompok yang telah memberi kontribusi pendidikan dan perjuangan Kemerdekaan NKRI. Kehadiran PIRI (Perguruan Islam Republik Indonesia) dan penerbitan Quran berbahasa Jawa, Quran Jarwoe Jarwi, adalah bukti perjuangannya yang telah eksis sejak 1924. Tulisan ini ingin mengkaji keberadaan Ahmadiyah sebagai satu gerakan keagamaan di Yogyakarta. Selanjutnya, tulisan ini ingin mendudukkan “hak berkeyakinan Ahmadiyah” dalam tatanan hukum. Kata kunci: hak asasi manusia, hak beragama dan hak berkeyakinan A. Pendahuluan Salah satu kado istimewa yang lahir dari rahim reformasi adalah penganugerahan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) yang cukup moderat setelah sekian lama terpasung oleh kediktatoran rezim Soeharto melalui berbagai macam bentuk regulasi dan aksi. Kebebasan yang secara formil dimanifestasikan dalam UUD RI 1945 (Amandemen) yang begitu luas dan elegan, tak ayal disambut suka cita bahkan euforia yang belakangan kerap menimbulkan gesekan-gesekan sosial beragama yang cukup memprihatinkan. Secara materiil, Amandemen UUD 1945 terkait dengan HAM merupakan hasil kompromi dan langkah konvergentif terhadap sekian konvensi HAM internasional dan ketentuan HAM sebagaimana diatur dalam KRIS 1949 dan UUDS 1950. Pada tataran internasional sendiri, wacana HAM telah berkembang cukup signifikan setelah revolusi politik yang terjadi di Eropa yang kemudian diikuti pula oleh revolusi industri. Sejak diproklamirkannya The Universal Declaration of Human Right tahun 1948, telah tercatat dua tonggak historis lainnya dalam petualangan penegakan hak asasi manusia internasional. Pertama, diterimanya dua kovenan (covenant) PBB, yaitu yang mengenai Hak Sipil dan Hak Politik serta Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dua kovenan itu sudah dipermaklumkan sejak tahun 1966, namun baru berlaku sepuluh tahun kemudian setelah diratifikasi tiga puluh lima negara anggota PBB. Kedua, diterimanya Deklarasi Wina beserta Program Aksinya oleh para wakil dari 171 negara pada tanggal 25 Juni 1993 dalam Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia PBB di Wina, Austria. Deklarasi SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... 25 yang kedua ini merupakan kompromi antar visi negara-negara Barat dengan pandangan negara-negara berkembang dalam penegakan hak asasi manusia. Perkembangan HAM Internasional ini merupakan manifestasi lebih lanjut dari konsepsi hak naturalis yang berciri universal yang kemudian mengalami positivisasi guna menjawab keberlakuannya dalam lintas regional dan nasional. Di Indonesia, hasil ratifikasi dari sekian kovenan di atas melahirkan sejumlah aturan HAM seperti UU No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU No. 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Pemenuhan Hak-hak Sipil dan Politik dari seluruh warga negara tanpa kecuali. Rativikasi kovenan internasional ke dalam regulasi hukum di Indonesia termasuk Amandemen UUD 1945 tersebut jelas membawa implikasi sosio-yuridis manifestasi HAM warga Indonesia tak terkecuali hak berkeyakinan yang belakangan ini cukup kompleks bahkan menyita perhatian seluruh dunia. Hal demikian bisa terjadi karena menurut John Stuart Mill, agama atau perselisihan iman di antara orang per orang merupakan fakta umum yang kerap mengalami ketidakadilan.1 Ditambahkan pula oleh Wim Beuken dan Karl-Josef Kuschel2 bahwa fenomena kekerasan sosial yang terjadi meski tidak semua berbasis agama, akan tetapi kenyataannya banyak sekali kekerasan yang terjadi atas nama agama. Seperti, teror atas nama jihad, pengeboman oleh fundamentalis Kristen, Katolik, dan salah satu sekte di Jepang, pembunuhan oleh pengikut Hindu dan Budha, pembantaian di Afrika, perang antar umat Katolik, konflik antara Muslim Ortodoks3 dan Muslim sempalan (Ahmadiyah) di Indonesia, penindasan terhadap keadilan sosial di Amerika Latin, dan lain sebagainya. Indonesia sebagai negara pluralis yang diikat oleh ideologi Pancasila yang berbineka tunggal ika, rajut kebersamaan, keharmonisan, dan 1Lihat dalam Karen Lebacqz, Six Theories of Justice (Indiana Polis: Augsbung Publishing House, 1986), p. 20. 2Lihat Pengantar Wim Beuken, Karl-Josef Kuschel (et al), dalam Religion as a Source of Violence? (New York: Maryknoll, SCM Press Ltd and Orbis Books, 1997), p. v 3Muslim Ortodoks, menurut Martin Marty merupakan fenomena fundamentalisme. Fundamentalisme sendiri secara umum tidak hanya konservatif, tradisional, atau ortodoks. Fundamentalisme tidak sekedar tekstualis atau mayoritas paham, atau anti rasional dan teknologi. Mereka ialah orang-orang yang reaktif terhadap pluralisme, konsumerisme, materialisme, dan egalitarianisme. Lihat Martin Marty, “Fundamentalisme as a Social Phenomena”, Bulletin of the American Academy of Arts and Science 42 (1988), p. 15-29. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 26 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... kegotong-royongan adalah satu hal yang kuat dan tak perlu diragukan lagi. Komitmen konstitusionalitas kebersamaan itu dapat terekam dalam sejarah, bagaimana para pendiri NKRI ini mampu mengatasi konflik politik dengan menyepakati “tujuh kata”, sila pertama, dalam Alenia Keempat Pembukaan UUD 1945, menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. 4 Keputusan arif dewan perumus tersebut berangkat dari faktual politik dan sosial masyarakat yang memang plural dan cenderung konfliktual, karenanya perlu diakomodasi secara sama (equality before the law) sebagai bentuk pengakuan hak-hak konstitusional warga. Berangkat dari realitas politik itu, bahkan jauh hari sebelum kemerdekaan 1945, tepatnya Tahun 1924, Ahmadiyah sebagai golongan agama atau keyakinan baru telah hadir di Indonesia dan mendapat respon positif, khususnya Muhammadiyah di Yogyakarta. Organisasi Islam lain seperti Nahdhatul ‘Ulama (NU, 1926) dan Masyumi (1945) yang menyusul belakangan, tentu menerima kehadirannya sebagai organisasi keagamaan pada umumnya. Situasi baru berubah menjelang politisasi Islam ke dalam partai politik di tahun 1955. Islam yang mulai terpola ke dalam kelompok berbasis pada ideologi, substruktur sosial,5 kesukuan, dan agama, perlahanlahan menjadi partikularistik dan cenderung pragmatis. Islam politik di satu sisi menjadi mediasi dan rekonsiliasi berbagai perbedaan yang ada, namun di sisi lain dapat menjadi akar radikalisme sosial agama yang memicu gerakan-gerakan separatis, seperti DI/TII dan Gerakan Kahar Muzakkir. Akibat dari stigma itu, Masyumipun akhirnya dibubarkan Soekarno (1949-1959).6 Menjadi satu pertanyaan besar manakala pascareformasi kehadiran Ahmadiyah dipersoalkan kembali. Terlepas bahwa dakwaan sesat hanya diarahkan pada Jema’at Ahmadiyah Indonesia (JAI), namun faktanya Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) yang berpusat di Yogyakarta juga mendapat stigma yang sama. Meski keduanya berbeda secara doktriner dan prinsipil, sudah seharusnya di bawah naungan falsafah Pancasila dan konstitusi keduanya mendapat perlakuan yang sama secara adil. Tulisan ini akan mengurai keberadaan Ahmadiyah sebagai satu gerakan keagamaan di Yogyakarta. Selanjutnya, tulisan ini ingin mendudukkan “hak berkeyakinan Ahmadiyah” dalam tatanan hukum. 4 Lihat dalam Saafroedin Bahar dkk. (Tim Penyunting), Risalah Sidang BPUPKIPPKI 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1995. 5 C. Geertz., The Religion of Java (1960) dan The Social History of Indonesia (1965). Lihat juga Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1999), p. 84-85. 6 Daniel S. Lev., dalam Teori-teori Mutakhir Partai Politik, Ichlasul Amal (ed)., (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2012), p. 149. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... 27 B. Gerakan Ahmadiyah Indonesia di Yogyakarta dan Sisi-sisi Antropologisnya Tepat pukul sembilan pagi,7 hari itu, terlihat seorang ibu yang telah berusia delapan puluhan tahun yang meski sedikit lemah, akan tetapi masih memperlihatkan semangat ke-Islamannya pada saya. Meski tinggal dan hidup sendiri, karena kedua anaknya yang kembar telah berkeluarga dan tinggal di luar kota, ia masih tetap mandiri dan menyibukkan hariharinya membaca risalah-risalah Ahmadiyah. Ibu yang fasyih berbahasa Belanda dan bekas seorang guru agama ini, bercerita banyak tentang peran ayahanda dan ibundanya yang turut andil besar mengembangkan syi’ar Islam melalui Ahmadiyah. Sapa saja ia dengan Ibu Siti Rohania Prayogo, yang tidak lain adalah anak kandung Pemimpin Besar Ahmadiyah Minhadjurrahman Djojosugito. Keluarga yang berlatar belakang guru ini masih ingat betul bagaimana rutinitas spiritual sosialnya ia habiskan untuk mendudukkan ajaran Ahmadiyah kepada masyarakat Islam Jawa di Yogyakarta melalui majelis ta’lim dwi mingguan atau perayaan besar Islam. Menurutnya, Ahmadiyah sama dengan ajaran kelompok Islam yang lain yakni hadir untuk menyerukan Islam dengan damai. Hal ini seperti terungkap dari kata salama, yang berarti keselamatan atau kedamaian. Ayat al-Quran menambahkan pula, ‘ud’u ila sabili robbika bilhikmati, maksudnya, serukan Islam itu dengan bil hikmah atau kebijakan agar orang menerima Islam dengan kelapangan bukan ketakutan. Sambil berjalan menuju rak buku, yang salah satu buku ia tunjukkan pada saya, kenangnya bahwa, “Mirza Ghulam Ahmad8 (pendiri Ahmadiyah) itu ialah sosok Mujaddid (Pembaharu) yang mampu menyampaikan Islam seperti Rasulullah saw.” Ajaran-ajaran Ahmadiyah,9 menurutnya, sangat rasional, santun, dan arif. Dijelaskannya pula bahwa, di tengah kemunduran Islam, Mirza justru melakukan perbaikan dan pembangunan supra dan inprastruktur pendidikan. Dengan pendidikan, umat bisa memahami Islam dengan baik dan menyerukannya dengan bijaksana.” Sembari membuka-buka buku, ia menambahkan, “karena itulah Ahmadiyah tidak pernah memerangi musuh seperti ketika India dijajah Inggris. Sikap Mirza justru mendekatinya agar kelompok elit Inggris bisa memahami Islam dari sudut yang lain.” Sama 7 Wawancara dengan Siti Rohania Prayogo, anak bungsu Djojosugito dari istri pertama, tertanggal 20 September 2007. 8 Mirza Ghulam Ahmad, lahir 13 Februari 1835 di Desa Qodian Punjab, 105 Km sebelah Timur Laut kota Lahore (Pakistan). Ayahnya bernama Mirza Ghulam Murtada, keturunan Haji Barlas dari Persi (Iran). Beliau ialah tokoh pendiri Ahmadiyah. 9 Ahmadiyah adalah sebuah ajaran, gerakan, perserikatan atau jum'iyah keagamaan yang mapan, yang diimpor dari India-Pakistan. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... 28 halnya dengan ungkapan Mulyono,10 yang akrab disapa Pak Mul, seorang da’i sekaligus guru PIRI ini, cooperative Mirza dengan kolonialis Inggris (1960-an)11 bukan menunjukkan oportunisnya melainkan upaya langkah soft Islam masuk di lingkungan kekuasaan Inggris agar penyebaran Islam lebih leluasa. Diceritakannya bahwa, di saat itu, India mengalami konflik horizontal baik sesama Islam sendiri (Sunni-Syiah) dan antar pemeluk agama yang lain (Islam dengan Arya Samad). Melihat kondisi itu, jelas India tidak bisa berbuat apa-apa melawan Inggris. Mirzapun mencoba mendekat dan hasil kedekatan itu, meskipun penuh kontroversi, keluarga Inggris akhirnya ada yang masuk Islam (tak disebutkan namanya). Dari penuturan sejarah itu, sebagaimana diungkap dua tokoh di atas, Ahmadiyah meyakini Islam sebagai gerakan damai mampu menghadirkan Islam tanpa kekerasan (seperti halnya nirkekerasan Gandhi) meski dengan musuh sekalipun. Kesabaran Mirza dalam misi Islam, meski di awal penuh dengan perlawanan yang justru datang dari internal kelompok Islam sendiri, akhirnya mampu mendudukkan Ahmadiyah sebagai satu gerakan Islam baru di tengah gerakan keagamaan ortodoks yang ada. Dialektika sosial keagamaan ini menunjukkan metamorfosis agama atau keyakinan yang cenderung atomis merupakan satu fenomena teologis dimana manusia pada dasarnya makhluk ber-Tuhan dengan segala manifestasi ketuhanannya. Manusia menerimanya seperti menerima jodoh dalam takdir sosialnya. Segala sesuatu dikondisikan dalam penyesuaian dan penerimaan hati (keyakinan) serta seluruh raganya. Manusia bukan benda dalam keterasingan dan kotak kosong, melainkan makhluk yang bersenyawa dengan multidimensi kehidupan sekitarnya. Maka, manusiapun menjadi sangat fenomenologis. Semua pola sosial keagamaannya menjadi sangat beragam. Hakiki sosial keagamaan ini harus dipandang universal dan merupakan hak yang universal pula. Dalam buku Qanun Asasi Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Aliran Lahore), yang disusun oleh PB GAI terbitan Darul Kutubil Islamiyah Yogyakarta, dijelaskan bahwa Ahmadiyah diambil dari kata 'Ahmad' atau 'Muhammad' yang dipetik dari nama Muhammad saw bin Abdilah bin Abdil Muttallib, keturunan Kinanah, keturunan 'Adnan, keturunan Ismail as.12 Bukan dari nama akhir Mirza Ghulam Ahmad sendiri, sebagaimana 10 2007. Wawancara dengan Mulyono, salah seorang pengurus PB GAI, 16 September 11Lihat juga dalam Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2005), p. 72-73. 12 Penegasan ini secara langsung dinyatakan Mirza Ghulam Ahmad, menurut kesaksian Maulana Muhammad Ali –yang belakangan menjadi pendiri Ahmadiyah Lahore--, seorang Ahmadi yang menduduki jabatan Sekretaris di masanya. Lihat dalam Maulana Muhammad Ali, Mengenal Ahmadiyah Lahore, (Lahore: Darul Kutubil SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... 29 yang dipahami dan diyakini puteranya, Bashiruddin Mahmud Ahmad, Ahmadi dari Qodian.13 Kemunculan nama Ahmad telah diberitakan AlQuran dalam surat al-Shof: 6, yang isinya menyatakan: "Dan tatkala Isa anak Maryam berkata: Hai anak keturunan Israil, sesungguhnya aku ini utusan Allah kepada kamu, membetulkan apa yang dimuka saya yaitu Taurat, dan memberi berita baik akan seorang utusan yang datang sesudah saya yang namanya AHMAD;14 akan tetapi setelah datang kepada mereka dengan tanda bukti yang terang, mereka berkata, inilah sihir yang terang." Secara esensiil, kedua kata ini memiliki arti yang sama yakni puji. Perbedaan hanya pada bentuknya. Kalau Ahmad artinya 'orang yang banyak memuji' atau 'yang sangat banyak memuji', sedangkan Muhammad, berarti orang yang sangat terpuji atau yang sangat terpuji. Kata Ahmad mengandung sifat jamali, yakni sifat keindahan, kelemahlembutan dan keelokan budi, sebagaimana diperlihatkan oleh Nabi Suci Muhammad saw. pada zaman Mekkah; sedangkan nama Muhammad mengandung sifat jalali, yakni sifat keagungan dan kebesaran, sebagaimana yang diperlihatkan di Madinah.15 Dengan demikian, sesuai dengan artinya, pemberian nama Ahmadiyah ini dimaksudkan agar setiap Ahmadi menghayati gerakan ini dengan sifat jamali, yaitu berdakwah Islam dengan keindahan, keelokan, kelemahlembutan tutur kata dan kehalusan budi berlandaskan takwa kepada Allah swt. Islamiyah, tt). Lihat juga dalam PB. GAI, Qanun Asasi Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Aliran Lahore), (Yogyakarta: Darul Kutubil Islamiyah, tanpa tahun), p. 8 13 Maulana Muhammad Ali, Ibid. Lihat juga Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2005), p. 72-73. 14 Kata “Ahmad” dalam QS. al-Shof tersebut ditafsirkan Bashiruddin Mahmud Ahmad (putera kandung Mirza Ghulam Ahmad) sebagai nama yang ditujukan pada diri Mirza Ghulam Ahmad. Dalam bukunya yang berjudul Mirza Ghulam Ahmad, AlKhutbatul-Islamiyah, Rabwah wikalah at-tab-syiir li-tharik uj-jadid, 1388. p. 86: (wa-an Allaha sammahu Ahmad bima yahmadu bihi-rRabbul Jalil fil-ardhi kama yahmadu fis-sama'). Lebih jelasnya ungkapan itu dinyatakan “Jika orang benar-benar meniliti maksud AlQur'an itu (surah 61:6 tadi) maka akan mengetahui, bahwa yang dimaksud dengan nama AHMAD bukanlah Nabi Muhammad saw. tetapi seorang RASUL yang diturunkan Allah swt. pada akhir zaman sekarang ini. Bagi kami ialah: Hazrat (Mirza Ghulam) AHMAD Al-Qadiani." Penguatan tafsir itu oleh Bashiruddin Mahmud Ahmad dikaitkan pula dengan al-Shof: 7-8, dimana konteks zaman yang dimaksud ialah masa kehadiran Mirza Ghulam Ahmad. Di sinilah titik perbedaan tafsir, yang menurut sebagian besar mufassir bahwa penafsiran harus mengkoneksikan dengan asbabun nuzulnya dan tafsir-tafsir yang lain secara intersubjektif. Pendekatan ini guna melacak orisinalitas makna dan kebenarannya. Hanya saja, penafsiran memang memiliki kebenaran yang relatif dan subjektif karena itu klaim kebenaran tidak dibolehkan. Lihat dalam PB. GAI, "Mengenal Gerakan Ahmadiyah Lahore (GAI)" dalam Brosur Paket Dakwah No. 1, Tahun 1404 H/1984, p. 14. 15 Ibid. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... 30 Awal kemunculan pergerakan Ahmadiyah di Indonesia yang dibawa oleh dua aliran Ahmadiyah tidak begitu jelas. Hasil penelitian G.F. Pijper, menyebutkan, kemunculan awalnya adalah di Yogyakarta yang dibawa oleh Ahmadiyah Lahore bernama Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baiq. Sementara menurut Syarif Ahmad Saitama Lubis, Sekretaris Mal Pengurus Besar 2004-2007, sebagaimana ditulis dalam bukunya Dari Ahmadiyah Untuk Bangsa, kemunculan awal Ahmadiyah di Indonesia baru di mulai tahun 1925, ditandai ketika Rahmat Ali dari Ahmadiyah Qodian menginjak Tapaktuan, pantai barat wilayah Aceh. Setelah itu, disusul para muballigh lain dari India dan Pakistan untuk memperkuat misi Ahmadiyah. Menurut Iskandar Zulkarnain, sebagaimana ditulis dalam bukunya Gerakan Ahmadiyah di Indonesia16 Sumatera Barat sebagai basis tokoh pembaru Islam di Indonesia merupakan pusat aktivitas penyebaran paham Ahmadiyah Qodian sebelum berkembang ke Jawa walaupun penaburan benih pertama berada di Tapaktuan, Aceh, pada tahun 1925. Temuan ini diperkuat dengan pengetahuan orang-orang Indonesia tentang ajaran Ahmadiyah aliran Qodian melalui sekolah-sekolah di Qodian bagi pemuda-pemuda Sumatera. Sejalan dengan pandangan ini, Federspiel juga menyatakan bahwa awal sampainya Ahmadiyah ke Indonesia melalui para siswa yang kembali dari sekolah Ahmadiyah di India pada akhir abad ke19. Akan tetapi secara kronologis temuan ini dipersoalkan sebab masa itu adalah gerakan Ahmadiyah baru lahir. Menurut Hamka sebagaimana dikutip Iskandar Zulkarnain, berita tentang Ahmadiyah tersebar melalui buku-buku dan majalah-majalah yang terbit di luar negeri. Sebaliknya, artikel yang muncul belakangan menunjukkan bahwa Ahmadiyah tidak dikenal di Indonesia sampai tiga orang siswa Indonesia pergi belajar ke India pada tahun 1922. Hasil pembelajaran di India ini ternyata tidak kurang hebatnya dengan belajar di Timur Tengah. Sejak itu banyak siswa Indonesia berangkat ke India untuk meneruskan pendidikannya ke Lahore menuju kampung Qodian. Baru setelah itu para siswa ini mengirim berita ke Indonesia mengenai risalah Ahmadiyah. Sementara itu, Raden Ngabei Haji Minhadjurrahman Djojosugito menulis bahwa ia mendengar bahwa gerakan Ahmadiyah antara tahun 1921 dan 1922. Sebenarnya, Ahmadiyah mulai dikenal sejak tahun 1918 melalui majalah Islamic Review edisi Melayu yang terbit di Singapura. Akan tetapi, Ahmadiyah baru diperkenalkan oleh tokoh Ahmadiyah Indonesia sendiri pada tahun 1920. Di Yogyakarta, Ahmadiyah Lahore lebih dulu dikenal dibanding Ahmadiyah Qodian. Kedatangan mubaligh Hindustan Ahmadiyah Lahore, 16 Ibid. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... 31 Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baiq ke Yogyakarta tidak begitu jelas siapa yang mengundangnya. Menurut Muhammadiyah, Wali Ahmad Baiq mengemukakan bahwa ia sebenarnya ingin ke Manila, namun karena kehabisan bekal ia harus singgah di Indonesia. Sumber lain mengemukakan, Wali Ahmad Baiq bermaksud ke Cina dan hanya berniat berhenti sebentar untuk mengadakan kunjungan singkat di Indonesia.17 Dalam perkembangan kemudian, muballigh Ahmadiyah Lahore mendapat fasilitas dari organisasi Muhammadiyah. Hal ini dibuktikan dengan pemberian tempat tinggal Wali Ahmad Baiq oleh Haji Hilal di Kauman, tempat kelahiran Muhammadiyah dan pusat aktivitas Islam di Yogyakarta. Bahkan dua muballigh itu diberi kesempatan memberikan sambutan pada Kongres Muhammadiyah 1924, Maulana Ahmad memberi sambutan dengan bahasa Arab, sedangkan Wali Ahmad Baiq dengan bahasa Inggris. Maulana Ahmad sendiri menyampaikan materi yang menetang dogma-dogma Kristen, khususnya tentang Ketuhanan dan Yesus seorang anak Tuhan. Ia juga menjelaskan ada dua prinsip dalam dakwahnya. Pertama, mendorong agama Islam. Kedua, menjauhi aktivitas politik. Pidato Maulana Ahmad mendapat sambutan hangat dari peserta kongres.18 Menurut Mukti Ali, hubungan baik antara Wali Ahmad Baiq dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah terjadi karena Ahmadiyah Lahore memperluas gerakannya di Indonesia, di samping dalam tablighnya, Ahmadiyah Lahore juga ingin menyerang Kristen. Tak pelak lagi kediaman Wali Ahmad Baiq menjadi tempat pertemuan orang-orang Muhammdiyah, khususnya dari kalangan muda, termasuk tokoh muda Muhammadiyah, antara lain Sekretaris Jenderal Pengurus Besar dan Direktur HIS Muhammadiyah, Muhammad Husni dan Sudewo.19, Dari penuturan itu terlihat bahwa Ahmadiyah datang dan diterima dalam lingkungan priyayi (pendidik) Jawa Muhammadiyah. Muhammadiyah (1912) merupakan organisasi keagamaan puritanis yang ajarannya dipengaruhi oleh gerakan Wahhabi yang bersebarangan dengan kaum Nahdhatul ‘Ulama’ (NU) yang sinkretis dan tradisionalis. Bagi Muhammadiyyin20 ajaran Ahmadiyyah tentang Kenabian, Isa al-Masih, Ya’zud dan Ma’zud merupakan ajaran rasional dengan bukti-bukti historis dan empirik yang cukup meyakinkan. Latar rasionalistik itu pula, memungkinkan rasionalitas ajaran Ahmadiyah diterima dan dikembangkan PB. GAI, "Mengenal Gerakan Ahmadiyah Lahore (GAI)" dalam Brosur Paket Dakwah No. 1, Tahun 1404 H/1984. 18 Ibid. 19 Ibid. 20 Pengikut Muhammadiyah. 17 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 32 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... oleh fungsionaris pendidik dan da’i sekaligus. Rasionalitas ajaran Ahmadiyah terlihat pada tujuh doktrin ajarannya yakni: 1. Masalah al-Mahdi dan al-Masih. Bagi Ahmdiyah Qodian dan Lahore doktrin ini diterima sepenuhnya dan tidak ada perbedaan prinsipiil, justru perbedaan datang dari kaum Sunni. Menurut Ahmadiyah, doktrin al-Mahdi tidak dapat dipisahkan dari masalah kedatangan al-Masih di akhir zaman. Hal itu karena al-Mahdi dan al-Masih adalah satu tokoh yang kedatangannya dijanjikan Tuhan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhori dari Ibnu Bukair, dari al-Laits dari Yunus, dari Ibnu Syihab, dari Nafi Maula Abi Qatadah alAnshari, dari Abu Hurairoh disebutkan bahwa "Nabi berkata: Bagaimana kamu jika Ibnu Maryam turun di dalam, di antara, kamu, dan menjadi imam kamu, dari antara kamu". Ahmadiyah memahami bahwa kata-kata "...dan menjadi imam kamu, dari antara kamu" menunjukkan seseorang di antara umat Islam sendiri. Artinya, bukan seorang imam yang datang dari luar umat Islam, misalnya dari Bani Israil. Dengan demikian, al-Masih yang akan datang di akhir zaman itu bukanlah Nabi Isa a.s., yang telah wafat, melainkan seorang muslim yang mempunyai perangai dan sifat-sifat seperti Nabi Isa a.s. Dan dalam pandangan Ahmadiyah, al-Masih tersebut adalah Mirza Ghulam Ahmad.21 Hadits lain dalam Sunan Ibnu Majah dijelaskan bahwa "Nabi berkata: al-Mahdi dan al-Masih adalah pribadi yang sama." Yang membedakan keduanya hanya orientasi dakwahnya. Jika dakwah al-Masih berorientasi keluar khususnya kepada bangsa-bangsa Kristen, sedangkan al-Mahdi lebih berorientasi ke dalam, yakni kepada internal umat Islam. 2. Masalah Mujaddid (pembaru) Manurut Ahmadiyah Lahore, istilah pembaruan atau tajdid mempunyai pengertian mengembalikan umat Islam kepada pangkal kebenaran Islam. Caranya adalah dengan melenyapkan kesesatankesesatan yang menyerbu umat Islam, menghidupkan iman umat Islam yang sedang surut dan memancarkan penerangan baru tentang kebenaran Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman. Di sini ada kesamaannya dengan tajdid dalam pengertian Muhammadiyah. Pembaruan dalam spirit Ahmadiyah berangkat dari Q.S. an-Nur: 55, yang artinya: "Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan berbuat baik bahwa Dia pasti akan menjadikan mereka penguasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka menjadi penguasa.." Bagi Ahmadiyah Lahore, ayat tersebut bukan saja meramalkan akan berdirinya 21 PB. GAI, Qanun Asasi Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Aliran Lahore), (Yogyakarta: Darul Kutubil Islamiyah, tanpa tahun), p. 45. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... 33 kerajaan Islam, melainkan juga kelangsungannya sehingga perlu dibangkitkan ke-khalifahan yang akan menggantikan Nabi Muhammad Saw. 3. Masalah Kematian Nabi Isa a.s Menurut Mirza Ghulam Ahmad, Nabi Is a.s., adalah manusia biasa yang meninggal secara wajar dan dikubur Srinagar,22 Kashmir. Artinya, Nabi Isa tidak mati di tiang salib sebagaimana yang menjadi kepercayaan umat kristiani. Dasar yang digunakan Mirza Ghulam Ahmad antara lain: QS. al-Maidah: 117; Ali Imran: 54 dan 143; as-Shaff: 6. Dengan meninggalnya Isa al Masih maka Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan Tuhan. 4. Masalah Wahyu Keberadaan wahyu tidak hanya terbatas sampai pada Nabi Muhammad Saw. Setelah Nabi wafat wahyu Tuhan masih akan tetap turun, dan bahkan sampai hari akhir. Wahyu tidak hanya diperuntukkan bagi para Nabi dan Rasul, tetapi juga untuk manusia, binatang, dan bahkan benda mati. 5. Masalah Kenabian Terhadap doktrin ini, kedua aliran Ahmadiyah berbeda pandangan. Bagi Ahmadiyah Qodian, Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi, dan barangsiapa tidak berbai'at berarti kafir. Nabi yang dimaksud adalah nabi buruzi. Artinya nabi yang tidak membawa syari'at. Sedangkan Ahmadiyah Lahore menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Mujaddid bukan Nabi. Karena itu bagi kaum muslim yang tidak berbai'at padanya bukalah kafir. 6. Masalah Khilafat Sebagaimana pandangan terhadap kenabian, terhadap masalah kekhalifahan, kedua aliran ini juga berbeda pandangan. Menurut Lahore, setelah al-Khulafa ar-Rasyidun sudah tidak ada lagi khalifah, yang ada adalah mujaddid. Sementara menurut Qodian, semua nabi adalah khalifah Allah, termasuk Mirza Ghulam Ahmad. Menurut Qodian, setelah al-Khulafa arRosyidun masih akan tetap muncul khalifah, yakni khalifah (rohani), khalifah yang muncul setelah meninggalnya Mirza Ghulam Ahmad dengan sebutan klalifatul Masih. 22 Ibid. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... 34 7. Masalah Jihad. Jihad dalam hal ini bukan perang, melainkan diartikan menyebarkan ajaran Islam dengan pena dan lisan dan memerangi hawa nafsu. Dalam kaitannya dengan Pemerintah, Ahmadiyah berpandangan bahwa umat Islam harus setia dan taat meski terhadap Pemerintah penjajah. Metode dakwah Ahmadiyah secara lunak ini dimaksudkan agar Islam dapat masuk di lingkungan elit secara diplomatis tanpa perlawanan kekerasan yang justru dianggap merugikan Islam.23 Dengan demikian, Ahmadiyah sesungguhnya merupakan gerakan teologis (tauhid) baru atas tafsir-tafsir keagamaan. Ranahnya lebih kepada dimensi teologis yang ketika itu menjadi misi-misi yang populer di Jawa. Aspek teologis itu merupakan aqidah dan menjadi tujuh doktrin pokok Ahmadiyah Yogyakarta (GAI) sebagaimana yang disebutkan di atas. 24 Berbeda dengan ranah teologis, ranah syariat atau dimensi fikih (manusia dan lingkungan sosial budayanya), Ahmadiyah Yogyakarta tidak mengenal monolitas mazhab. Bahkan komunitas Ahmadi sendiri menganut banyak mazhab (plural) yang umumnya banyak dipengaruhi oleh mazhab Syafi’i atau Ahlul Sunnah wal Jama’ah.25 Mazhab ini di samping mengutamakan al-Quran dan hadits sebagai sumber hukum, juga ‘uruf (hukum kebiasaan) dalam rujukan berperilaku sosial. Karenanya, Ahmadipun sangat akomodatif dengan nilai-nilai tradisionalis yang ada. Maka, tak dapat dipungkiri bahwa Yogyakarta dengan latar Keraton memiliki latar sosiologis priyayi, abangan dan santri yang harmonis seperti munculnya Islam tasauf, mistisisme, dan Islam kejawen. Jadi priyayi abangan atau santri abangan kemudian menjadi fenomena tersendiri atas manifestasi Ahmadiyah di Yogyakarta. Bukti hal ini bisa ditelusuri dengan akulturasi budaya Hindu Budha yang telah ada sebelum Islam, yang masih dilakoni Ahmadi dengan lingkungan sosial masyarakat, seperti nyadran dan tahlilan. C. Hak Berkeyakinan Ahmadiyah dalam Tatanan Hukum Sejak zaman primordial atau manusia yang paling primitif, agama telah muncul dalam bentuk yang sangat sederhana yang terendap dalam alam fikir dan khayal manusia ketika manusia berhadapan dengan keterbatasan dan ketidaktahuannya akan hakekat di balik kekuatan alam yang maha dahsyat. Alam primordial manusia memaknainya sebagai kekuatan (dinamisme), ruh-ruh (animisme), dan sekumpulan ruh yang 23 Diperkuat dengan hasil wawancara dengan Mulyono, PB. GAI. 16 September 24 Ibid. Ibid. 2007 25 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... 35 memiliki kekuatan dalam bentuk kutub yang berlawanan dan berpasangan (politeisme), yang kemudian bermetamorfosis ke dalam bentuk yang sempurna dengan mewujudkan kebenaran kekuatan-kekuatan itu ke dalam institusi Ilahiyah atau Tuhan yang datang dari diri-Nya sendiri melalui kabar dari seorang Rasul dan melalui Kitab (agama samawi). Fenomena lain dari manifestasi agama diperlihatkan dengan ritus keagamaan yang semata-mata sebagai manifestasi budaya tanpa mengkaitkannya dengan peran Kitab di dalamnya. Hal ini yang menurut Durkheim di mana agama merupakan abstraksi dari solidaritas sosial. 26 Takrif agama dalam fungsi sosialnya, menurut Durkheim,27 menganggap dan memperlakukan agama sebagai sistem keyakinan dan upacara (rituals) seraya mengacu pada yang suci yang mengikat orang bersama ke dalam kelompok sosial. Dengan takrif itu, dan berkaitan dengan pembahasan ini, maka agama dan berkeyakinan (Ahmadiyah) merupakan dua sisi dalam satu ruang yang manifestasinya adalah sama. Dengan demikian, agama menjadi satu terma yang menarik dan mendasar bagi kehidupan umat manusia, meski terkadang realitasnya sulit sekali mencari titik temu pengertian yang dirumuskan dari istilah agama itu sendiri. 28 Sebab, dalam agama (internal) sendiri masih terdapat beragam keyakinan yang semua berangkat dari perbedaan pemaknaan teks yang terkadang berkaitkelindang dengan sosial budaya dan politik yang mengitarinya. Perbedaan-perbedaan yang terkadang konvergentif, dan tak jarang pula kontradiktif muncul di masyarakat berhadap-hadapan sebagai perwakilan entitas sosial agama. Secara sosiologis, perbedaan dan persinggungan antar keyakinan itu merupakan takdir sosial yang sulit untuk dihindari. Sementara, ortodoksi Islam lebih memilih langkah pragmatis ketimbang mencari solusi yang berkeadilan. Seperti menstigma tafsir Ahmadiyah sebagai sesat karena dianggap bertentangan dengan tafsir umum umat Islam seperti di antaranya, tafsir kenabian, wahyu, dan khilafah. Alhasil, Islam yang direpresentasikan oleh institusi-institusi yang ada hanya berperan sebatas instrumen semata.29 Pertanyaan kemudian, bagaimanakah sesungguhnya hukum memandang persoalan itu? Islam merupakan ajaran dan tuntunan agung yang sejalan dengan fitrah manusia. Islam memiliki konsep dan landasan ideal, etik, dan universal yang menjamin kebebasan otentik manusia sebagai konsekuensi 26 Lihat dalam Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: Radjawali Press, 1985), p. 4 27 Ibid. 28 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, cet, keenam (Jakarta: Radjawali Press, 2001), p. 16-22 29 Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, (Jakarta: Erlangga, 2006), p.xiii SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... 36 takdir fitrah yang dimilikinya. Meski, latar suprastruktur maupun inprastruktur lingkungan sosial budaya ataupun ideologi manusia berpengaruh dan berbeda-beda, namun sejatinya fitrah akan mengawal kepada kebenaran dan kesucian. Karena itu, manusia bebas menjalani dan menentukan garis keyakinannya tanpa harus memaksakan dan menyeragamkan ketauhidan meski secara subjektif kebenaran itu wahid. Allah telah menegaskan hukum-hukum yang autentik seperti mubah dan halal,30 sementara hal-hal yang haram,31 Allah cukup membatasinya. Hal demikian dimaksudkan agar manusia tidak kehilangan kebebasan autentiknya. Karena itu pula, pluralisme beragama merupakan satu keniscayaan sebagaimana yang diungkapkan dalam Quran Surat alIkhlas. Agama merupakan ranah teologis yang subyektif yang berhak memperoleh apresiasi secara objektif. Setiap orang berhak secara otonom mengekspresikan perjalanan spiritualnya menuju ke tahta Sang Khaliq berdasarkan tatanan sistem syari’at yang ditetapkan. Syari’at merupakan jalan menuju Tuhan. Bagaimana cara menempuh jalan itu, manusia diberi kebebasan untuknya. Jadi, hakekat syari’at adalah sarana bukan tujuan. Menjadi persoalan kemudian, manakala syari’at dipahami sebagai pedoman yuridis baku baik dalam pengaturan ritus ke-Tuhanan maupun kemanusiaan. Persepsi demikian hanya maslahah dalam ranah politik totaliteristik yang menghambakan keseragaman dan keharmonisan dalam rupa sosial agama yang homogen. Tapi tidak dalam ranah heterogenitas sosial suku, ras, dan agama seperti Indonesia. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan al-Syatibi bahwa tujuan syari’at dalam optik yang paling primitif tidak lain ialah untuk menyelamatkan seseorang dari hawa nafsunya hingga menjadi hamba Allah seutuhnya. Dalam optik yang progresif, tujuan syari’at sudah barang tentu menjadikan manusia sebagai insan kamil (khoirunnas anfa’ahum linnas). Dengan demikian, syari’at sebagai tuntunan semula bukan dimaksudkan membatasi kebebasan manusia melainkan ia lahir sebagai abstraksi kebebasan manusia dalam menentukan aturan hidup yang terbaik bagi tujuan hidupnya kelak. Meminjam istilah John Rowls, pembatasan hanya dibenarkan demi kebebasan itu sendiri.32 Karena itu, di dalam syari’at terdapat tuntutan ideal dan praktis yang menyangkut keluesan Q.S. Ali Imran: 93 Q.S. Al-An’am: 151-153 32 Lihat dalam Karen Lebacqz, Six Theories of Justice (Indianapolis: Augsbung Publishing House, 1986), p. 53. Atau dalam John Rowls, Theory of Justice (Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1971), p. 542. Dalam buku itu Rowls mengatakan bahwa, kebebasan bisa kemungkinan dibatasi dengan tujuan untuk memperkuat sistem total kebebasan. Kebebasan yang kurang atau setara pasti diterima bagi mereka yang kebebasannya kurang, utamanya karena hal itu akan memperkuat kebebasan mereka di masa depan. 30 31 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... 37 dalam dimensi sosial, dan internasional sebagai komunitas yang diidealkan. Syari’at dalam relasi sosial kemudian kemudian menjadi Syari’at yang berbasis pada kontrak sosial yang meliputi aspek tauhid, ibadah, muamalah, dan akhlak.33 Baik prinsip, hukum, ataupun ajaran dasar tersebut merupakan syari’at yang bersumber dari Al-Quran, sunnah, ataupun ijma’ dalam optik yang sangat manusiawi dan sosialistik. Demikian pandangan ulama kontemporer dalam memahami syari’at. Karenanya, persoalan keyakinan sesungguhnya bukan monopoli Ilmu Kalam yang memandang keagamaan adalah wilayah sakral dan ideologi absolut yang eksklusif. Ahmadiyah (Lahore) memiliki pandangan yang sama dalam hal ini. Menurut mereka, agama, bukan hanya merupakan jembatan vertikal manusia kepada Sangpencipta, melainkan terdapat aspek multidimensional di dalamnya dengan titik arah membentuk sebuah komunitas sosial yang rahmatan lil’alamin atau insan kamil.34 Seluruh jumhur ‘ulama sepakat tentang otoritas Allah selaku al-Hakim, dengan menempatkan otoritas Nash sebagai sumber hukum (taklifi). Dasar penekanan al-Hakim itu sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran surat alAn’am ayat 57, surat al-Maidah ayat 47 dan 49, yang intinya menyatakan bahwa hak menetapkan hukum itu hanya milik Allah dan terdapat ancaman fasik bagi orang-orang yang tidak mematuhinya. Namun, manakala persoalan keagamaan masuk dalam wilayah Nash yang umum (sehingga multitafsir) atau bahkan tidak terdapat pengaturan Nash di dalamnya, maka di antara ‘ulama berbeda-beda dalam memandang persoalan otoritas itu. Kaum Asy’ariah berpandangan tetap meneguhkan otoritas Nash. Al Maturidiah dan Hanafiah berpandangan perlunya otoritas akal meski dibatasi otoritas Nash dengan jalan metode istimbath seperti di antaranya qias, istihsan, dan istihshab. Sementara Syiah dan Mu’tazilah memandang bahwa menonjolnya otoritas akal di sini karena akal mampu melihat dan membedakan hasan li dzatih (hal baik menurut zatnya) dan qabih li dzatih (hal buruk menurut zatnya), bahkan baina hasan li dzatih wa qabih li dzatih (di antara keduanya). Kedua golongan ini masih berbeda memandang drajat akal. Syiah memandang, meski akal berperan tetapi ia tidak memiliki otoritas taklifi hukum (menetapkan/membebankan hukum), sementara Mu’tazilah sebaliknya. Menurut Imam al-Ka’bi,35 dalam hukum syara’, peran akal 33 Pengertian syariat di sini lebih luas, mencakup di dalamnya agama dam fikih. Pandangan ini lahir dari pemikiran ulama kontemporer (qaul jadid). Sementara menurut ulama klasik (qaul qodim), antara syariat, agama, dan fikih dibedakan karena objeknya berbeda. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih (terj) cet. ke-13 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010), p. 2 34 Wawancara dengan Mulyono, PB. GAI. 16 September 2007 35 Dalam Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqih (terj) cet. ke-13 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010), p. 60 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... 38 hanya melahirkan hukum perintah dan larangan. Akal, apakah secara teoritis maupun praktis dapat menentukan yang maslahah bagi manusia. Karenanya tidak akan terdapat mubah dalam hukum. Allah akan menghukum perbuatan orang-orang mukallaf berdasarkan niat dan tujuan sikap tindaknya. Keberanian Mu’tazilah ini didasari latar historis dimana peran akal lebih dulu digunakan sebelum diturunkannya Nash. Dalam konteks praksis, manusia dengan latar sosio-historisnya mampu menentukan nilai baik buruk karena sejatinya hukum adalah bagi kebaikan manusia. Sejalan dengan pandangan itu, Durkheim36 menyatakan bahwa asalinya hukum keagamaan adalah otoritas Tuhan dengan tujuan-tujuan yang manusiawi dalam optik sosial yang naturalis. Agama berisi titah Tuhan yang harus diterjemahkan dalam konteks sosial. Akal atas dasar pertimbangan idealis atau empiris mampu merumuskan kebaikan-kebaikan manusia dan sosialnya. Karena sesungguhnya pola pikir manusia (akal) sudah dibentuk dan dipengaruhi masyarakat sejak ia lahir yang kemudian diwariskan secara terus-menerus dari generasi ke generasi. Karena itu pula, hukum agama dengan akal sebagai sandarannya tidak pernah lepas dari konteks sosial.37 Dengan demikian, ciri agama kemudian menjadi sangat manusiawi, sosialistik, bahkan internasionalistik (humanis dan inklusif). Dalam kerangka itu, syari’at menggambarkan sebuah aktivitas dinamis dan progresif dalam mendesain dan merekonstruksi hukum yang kritis terhadap perubahan dan kedhaliman sosial. Hukum harus menjadi sarana ijtihad pembebasan manusia dari berbagai akar totalitarian. Al-haddad lebih jauh menjelaskan metodologi dalam mengkaji Nash secara tematik dengan membedakan antara Nash normatif etik dengan praktis kasuistik. Akan halnya dengan pembedaan antara ayat normatif di satu sisi dengan ayat kasuistik di sisi lain, al-Haddad adalah satu di antara ulama yang membedakan antara (1) ayat-ayat yang mengandung ajaran prinsip umum (normatif), seperti ajaran tauhid, etika, keadilan dan kesetaraan; dan (2) ayat-ayat yang mengandung ajaran perintah-praktis yang temporal, yang biasanya sangat tergantung pada kepentingankepentingan manusia, khususnya sebagai jawaban terhadap masalahmasalah yang berhubungan dengan kondisi masyarakat Arab pra-Islam dan di masa pewahyuan (kasuistik).38 Karena itu, al-Haddad membagi ayatayat Al-Quran kepada dua hal: (1) ayat-ayat yang mengandung ajaran Lihat dalam Daniel L. Pals, Seven Theiries of Religion (New York: Oxford University Press, 1996), p. 287-288. Lihat juga dalam Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), p. 16 37 Ibid., p. 172 38 Al-Tahir al-Haddad, Wanita dalam Syari’at dan Masyarakat (terj), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1972), p. 6 36 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... 39 prinsip umum, yaitu norma yang bersifat universal yang harus berlaku dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat yang lain; (2) perintah atau ajaran kontekstual yang aplikasinya tergantung pada konteks sosial tertentu. Al-Haddad berargumen, bahwa untuk dapat memahami lebih baik Al-Quran dan tesis-tesis umum yang ada di dalamnya, adalah penting menempatkannya sesuai dengan kondisi sosial dimana akan diaplikasinya. Masih dalam hubungannya dengan pengelompokan ayat Al-Quran, Asghar Ali Engineer memiliki pemikiran yang sama yaitu dengan membedakannya (1) pernyataan-pernyataan umum sebagai ayat-ayat normatif; dengan (2) ayat-ayat kasuistik sebagai ayat-ayat kontekstual. Engineer menuliskan bahwa:39 “Kita harus mengerti bahwa ada ayat normatif dan ada ayat kontekstual dalam Al-Quran. Apa yang diinginkan Allah disebutkan dalam Al-Quran, sama dengan realitas yang ada dalam masyarakat juga disinggung. Sebagai kitab suci, Al-Quran menunjukkan tujuan dalam bentuk seharusnya dan sebaiknya (should dan ought), tetapi juga tetap harus memperhatikan apa yang terjadi dalam masyarakat yang terjadi ketika itu. Kemudian harus ada dialog antara keduanya, yakni antara yang seharusnya dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dengan cara itu, kitab suci sebagai petunjuk akan dapat diterima masyarakat dalam kehidupan nyata dan dalam kondisi dan tuntutan yang ada. Dengan demikian sebagai petunjuk Al-Quran tidak lagi hanya bersifat abstrak. Namun demikian, pada waktu yang bersamaan norma transendennya juga harus tetap ditunjukkan agar pada waktunya kalau kondisinya sudah memungkinkan (kondusif) dapat diterima yang kemudian diaplikasikan, atau minimal berusaha lebih dekat dan lebih dekat lagi kepada nilai normatif tersebut”. Dari pembagian dan pembedaaan jenis ayat dan metodologi tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa persoalan tauhid sesungguhnya masuk dalam Nash yang bersifat normatif. Normatif artinya berisi ketentuan atau kaedah Ilahi yang bersifat general karena itu pula ia bersifat universal yang harus berlaku dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat yang lain. Hal ini berbeda dengan jenis ayat yang kasuistik dan spesifik yang telah terikat oleh ruang dan waktu di mana ayat itu turun (asbabun nuzul). Ayat-ayat kasuistis inipun masih terdapat cela reinterpretasi manakala terdapat kasus yang sama akan tetapi berubah tatanan sosialnya. Misal, persoalan kesaksian zina yang dipersyaratkan harus melihat pelaku zina secara langsung. Hemat Penulis, untuk menyeret pelaku zina, saat ini sudah jauh lebih muda karena kecanggihan teknologi yang ada sudah 39 Asghar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam (Lahore, Karachi, Islamabad, Peshawar: Vanguard Books (PVT) Ltd, 1992), p. 10-11. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... 40 dapat mendeteksinya sehingga tidak perlu digugurkan karena saksi tidak melihatnya secara langsung. Kembali kepada inti persoalan, karena itu pula maka kedudukan keyakinan atau memaknai Nash ketauhidan pada tataran teologis hanya bersifat umum. Mufassir ataupun ahli Ushul Fikih masih diberi ruang untuk menetapkan penjelasan atau hukum lebih dalam pada tataran praktis. Karena dalam persoalan tafsir, kebenarannya bersifat relatif. Berkaitan dengan itu, posisi tafsir Ahmadiyah yang melahirkan doktrindoktrin teologisnya juga memiliki kedudukan yang sama. Mereka memiliki kebebasan menafsirkan dan menyebarluaskan ajaran-ajarannya sebab di masa awal pendiriannya tahun 1924, gerakan ini tidak dilarang oleh Pemerintah. Seperti halnya tafsir Ahmadiyah mengenai mujaddid, kewafatan Isa alMasih, Nabi, Dajjal, dan ajarannya yang lain. Dengan demikian, tafsir keagamaan dalam ranah teologis ataupun hukum bersifat partikularistik relatif karena itu semua penganut keyakinan harus diperlakukan sama, termasuk Ahmadiyah, sebagai basis keadilan. Mill menemukan enam kondisi umum yang umumnya disepakati sebagai hal yang ‘tidak adil’: (1) memisahkan manusia dari hal-hal yang atasnya mereka memiliki hak legal; (2) memisahkan manusia dari hal-hal yang atasnya mereka memiliki hak moral; (3) manusia tidak memperoleh apa yang layak diterimanya –kebaikan bagi yang bertindak benar, dan keburukan bagi yang bertindak salah; (4) perselisihan iman di antara orang per orang; (5) bersikap setengah-setengah, contohnya menunjukkan dukungan hanya sebagai pemanis bibir; (6) mengancam atau menekan orang lain yang tidak setara dengannya.40 Berangkat dari enam kondisi itu, maka Ahmadi sebagai warga negara memiliki hak legal atas keyakinannya. Hak legal itu, secara institusional telah diakui berdasarkan registasi badan hukum yang tercatat di Departemen Kehakiman (saat ini menjadi Kementerian Hukum dan HAM) pada tanggal 28 September 1929. Karena itu dan sejalan dengan falsafah kebinekatunggalikaan Pancasila maka mari merajut kebersamaan dalam perbedaan. Siap bersanding dengan teman seiman yang berbeda keyakinan. Rubah pola pandang keimanan monolitik ‘ke luar’ dengan dialog yang humanis (aku dan kamu adalah kita), dan perteguh keimanan monolitik ‘ke dalam’ dengan kesantunan dan peradaban (aku dan kamu adalah kami). Mendudukkan Ahmadiyah dan penganut keyakinan yang lain secara sama dengan ortodoksi Islam yang ada merupakan tuntutan aqidah konstitusional. Sudah seharusnya negara menciptakan sistem yang terbuka untuk itu, utamanya dalam desain sistem pendidikan. Pendidikan harus bisa membebaskan warga dari kungkungan monolitik teologis. Karena 40 Mill, Utilitarianism, (New York: Bobbs-Merrill, 1957), p. 54-57 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... 41 desain pendidikan agama yang demikian sesungguhnya bertentangan dengan konsep pendidikan insan kamil atau ‘manusia yang utuh’ sebagaimana diperjuangkan Bertrand Russel, Paulo Freire,41 Ivan Illich, Montessori, Neil Postman, Ki Hadjar Dewantoro, dan Dewi Sartika.42 Pendidikan menurut mereka harus mampu membangunkan peserta didik dari kesadaran palsu43 dan kemerdekaan. Sejalan dengan teori konflik, sistem pendidikan selama ini sadar atau tidak sesungguhnya melahirkan klas-klas sosial dan melegitimasi dominasi klas elit dalam desain kurikulumnya, seperti materi studi agama yang hanya merefresentasikan paham ortodoksi Islam yang ada. Alhasil sistem pendidikan hanya melayani klas sosial, stratifikasi sosial, keyakinan sosial tertentu saja. Karena itu, mengapa persoalan konflik keyakinan masih saja kerap terjadi dan sulit diselesaikan, hemat Penulis disebabkan beberapa hal. Pertama, tidak dilakukan kajian teks secara komprehensif sehingga pembedaan jenis ayat dan metode kajiannya tidak dilakukan dalam konteks realitas sosial yang lokalistik, berubah, berbeda, terbuka, dan beradab (sebagaimana amanat Pancasila yang konstitusional). Kedua, sebagian kelompok dan institusi Islam yang umumnya menganut paham Syafi’iah atau Asy’ariah terjebab ke dalam pemahaman yang eksklusif dalam memandang dan menempatkan tatanan hierarkis sumber norm (Al-Quran, Sunnah, dan ijma’) hanya secara normatif untuk menjaga totalitas ajaran dan unitarian faham dan jama’ah. Perbedaanperbedaan paham yang tidak dikenalkan secara metodologis dalam sistem pendidikan akhirnya membawa umat ke dalam sikap taklid dengan menghukumi sesat pada kelompok lain. Pandangan yang bersandar pada hierakis sistem norm itu merupakan sarana dan instrumen jama’ah dalam memelihara keutuhan institusionalnya agar tidak roboh, sebagaimana argumentasi al-Baqillani (buthlan ad-dalil yu’dzanu bi-buthlan al-madlul “batalnya sebuah dalil memungkinkan batalnya suatu materi doktrinal”).44 Karenanya, wilayah syari’at yang termasuk tauhid di dalamnya, dan fikih adalah wilayah kajian yang berbeda dan terpisah. Menurut pandangan ini, syari’at mencakup hukum Tuhan secara menyeluruh yang berasal dari Al-Quran dan Sunnah. Sedangkan fikih adalah instrumen yuridis (istimbath hukum) para yuris yang dibentuk melalui proses nalar, baik pada tataran teoritis maupun praktis atas hukum-hukum agama yang 41 42 Paulo Freire, Pedagogy of Opressed, (Penguin Books, 1978), p. 5 Lihat Saratri Wilonoyudho, “Pendidikan yang Membebaskan,” dalam Kompas, 2 Juli 2012. Kesadaran palsu yang dimaksud Paulo Freire adalah tahu penjajah tetapi taksadar dijajah. Jika dianalogkan dengan persoalan ini, tahu ketidakadilan tetapi taksadar kalo melanggengkan ketidakadilan. 44 Ahmad Baso, NU Studies., p. xviii. 43 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... 42 obyeknya perilaku manusia (menjadi mubah, sunnah, makruh, wajib, dan haram). Dalam proses penalaran itu ditekankan kepatuhan Nash secara normatif dan komitmen orisinal sanad dan rijalul hadits untuk menduduki peringkat shohih. Keautentikan fikih dilekatkan pada keshohihannya ketimbang rekonstruksi fikih demi keadilan sosialnya (reformatif). Fikih keberagamaan dan berkeyakinan seperti manifestasi Ahmadiyah atas doktrin-doktrin teologisnya, sesungguhnya dalam rangka kontekstualisasi Nash atas situasi sosial masyarakat India saat itu. Seperti, persoalan wahyu, yang dipandangnya tidak terhenti sampai pada Rasulullah Muhammad saw, melainkan masih berlanjut pada ‘ulama-‘ulama sesudahnya, termasuk Mirza Ghulam Ahmad. Hanya, wahyu tersebut tidak berisi syar’i melainkan non-syar’i seperti ajaran-ajaran keagamaan yang umumnya diberikan pada Nabi bukan Rasul. Maksud perluasan makna wahyu tersebut, agar pesan Tuhan tidak terhenti hanya pada Rasul, namun sepeninggal Rasulpun wahyu tetap diturunkan Tuhan pada orang-orang yang dikehendakinya. Dengan demikian, risalah Islam tidak akan dimonopoli oleh sekelompok tertentu saja, melainkan di luar kelompok yang ada, hal itu dimungkinkan. Karena itu beberapa solusi yang dapat ditawarkan adalah sebagai berikut: pertama, membangun kesadaran praktis para mufassir atau yuris dalam berushul fikih dalam mewujudkan makna teks Nash ke dalam makna kontekstual yang inklusif, humanis, dan beradab (al-muhafazhah ‘ala al-qadim ash-shalih wal-akhdz bil jadid al-ashlah). Teks-teks Nash umum harus diterjemahkan secara praktis dengan pendekatan kearifan lokal (kultural subjektif) Indonesia dan maslahah mursalah-nya agar hukum benar-benar mampu mewujudkan tujuan syari’at. Karena itu pula dibutuhkan verifikasi mendasar mana masalah yang masuk dalam teks dan doktrin yang umum atau pokok (ushul) dan mana masalah yang masuk dalam wilayah doktrin yang cabang (furu’). Membumikan Nash ke dalam alam Indonesia sesungguhnya ide lama yang diusung oleh Hasbi Ash Shiddieqy dan Hazairin dengan lahirnya fikih Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, dan adanya jurusan atau program studi Perbandingan Mazhab dan Hukum di lingkungan akademik Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang sekarang sebagian telah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Menurut Hasbi, Indonesia sebagai bangsa yang religius harus mampu mentransformasikan hukum Islam ke dalam hukum Indonesia (positif) karenanya hukum Islam Indonesia harus berpatok pada ‘Urf Indonesia dan ijtihad jama’i (Ijma’). Atau dengan kata lain, perlu dilakukan transmisi nash45 Arab ke dalam nash Indonesia. Karenanya bermazhabpun perlu 45 Penulisan “nash” dengan “n” kecil dimaksudkan makna sosio-kulturalnya. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... 43 digeser dari bermazhab tekstual (qauliy) ke arah bermazhab secara metodologis. Dua metode ini dapat menghindari perbedaan yang mengarah pada perpecahan umat. Ditambahkannya pula, agar hukum Islam Indonesia merepresentasikan fikih Indonesia sebagai kajian berbagai mazhab dengan segala keragaman kultural yang melingkupinya, maka dibutuhkan semacam inprastruktur kelembagaan yang ia sebut dengan ahlul halli wal ‘aqdi. Lembaga ini ia rumuskan dengan sistem dua kamar (bicameral system) yaitu haiatus siyasah (lembaga politik). Yang dipilih langsung oleh rakyat dan memiliki kompetensi di beberapa bidang. Kedua, haiatut tasyri’iyah (lembaga legislatif), yang terdiri dari dua komponen: ahlul ijtihad dan ahlul ikhtishash (kaum spesialis). Lembaga inilah yang berkompeten melahirkan hukum (fikih) berdasarkan ijtihad jama’i, tegasnya. Meskipun ide kelembagaan Hasbi ini belum terwujud secara menyeluruh, namun, ide haiatut tasyri’iyah yang dimaksudkan sebagai refresentasi ‘ulama dari berbagai golongan, katakanlah seperti MUI, saat ini justru melahirkan fatwa-fatwa yang kontroversial. Ijma’ sebagai hukum pun kemudian mengalami problematika dan perlawanan. Karena sebagian umat Islam tidak percaya dan merasa tidak terwakili di dalamnya. Karena itu, dibutuhkan reformasi konseptual dan struktural MUI, jika ijma’ masih dipandang relevan sebagai formulasi hukum Islam Muslim Indonesia (internal). Secara struktural, MUI harus merepresentasikan pluralisme jama’ah yang ada di Indonesia (inklusif), termasuk kelompok sempalan. MUI juga harus independen sehingga ijma’ yang dihasilkan otonom berbasis syara’ dan keadilan sosial. Secara konseptual, visi keagamaan harus progresif dalam menjawab persoalan keadilan dan kesejahteraan sosial umat Islam. Visi keagamaan harus melawan segala bentuk ketidakadilan dan mampu mendorong kebijakan-kebijakan negara yang berorientasi pada kemaslahatan umat (tasharruf al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bil-maslahah). Apabila tatanan demikian terbentuk, maka ijma’ dimungkinkan lahir dan terbuka peluang qonunisasi di dalamnya. Kedua, melakukan integrasi dan interkoneksi metodologi dalam menafsirkan makna teks Nash dengan metode ilmu lain yang relevan dengan pokok masalah. Penafsir harus mampu keluar dari kungkungan doktrin konvensional (dogmatis teologis, linguistik deduktif, nostalgisme historis) ke arah makna reformatif praksis dengan bersandarkan pada maqashid as-syari’ah. Berangkat dari kerangka konseptual itu, maka hukum sebagai satu tatanan sosial keagamaan pada prinsipnya harus memberi ruang terpenuhinya hak beragama dan berkeyakinan yang sama di antara warga. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 28E ayat (1) yang SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 44 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... menjelaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya .....”. Dan, ayat (2), “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan...”. Ini artinya, kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan kepercayaan yang dianut adalah hak asasi manusia (human rights) sekaligus hak warga negara (the citizen’s rights) yang secara konstitusional dijamin oleh UUD 1945. Jika kita ingin jujur melacak historis perumusan Pasal 28E ayat (1 dan 2) oleh Panitia ad-hoc MPR yang merumuskan perubahan itu maka ketentuan itu sesungguhnya merupakan derivasi dari isi Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM, Pasal 18, yakni : “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.” Namun, perumus perubahan UUD 1945 ternyata tidak berani ‘sefulgar dan seliberal’ itu dengan memilih posisi ‘aman’ pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 28J. Dengan Pasal 28J ini, maka seluruh ketentuan HAM, termasuk terkait dengan kebebasan berkeyakinan dimungkinkan dapat dibatasi. Mengutip istilah Muladi bahwa yang demikian itu termasuk bersifat partikularistik relatif. Sampai di sini memang tampaknya kita masih setengah-setengah dalam mengatur persoalan kebebasan berkeyakinan di Indonesia. Menjadi semakin demikian membingungkan jika kita mengaitkan dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 4: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Kemudian secara khusus, hak beragama ini diatur dalam Pasal 22 ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 22 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam UU No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965) secara implisit juga dijelaskan dalam konsideran huruf d bahwa “Konvensi tersebut pada huruf c mengatur penghapusan segala bentuk pembedaan, pengucilan, pembatasan atau preferensi yang didasarkan pada ras, warna kulit, keturunan, asal-usul kebangsaan atau etnis yang mempunyai tujuan atau akibat meniadakan atau menghalangi SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... 45 pengakuan, perolehan atau pelaksanaan pada suatu dasar yang sama tentang hak asasi manusia dan kebebasan mendasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, atau bidang kehidupan umum lainnya”. Secara redaksi, memang tidak ditemukan bidang agama di dalamnya akan tetapi dengan kata “atau bidang kehidupan umum lainnya” dapat ditafsirkan bahwa bidang agama dan segala ruang lingkupnya termasuk materi yang tidak diperkenankan mendapat perlakuan diskriminasi oleh institusi negara atau kelompok komunitas yang lain. Atau dengan kata lain pada prinsipnya negara harus menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, sehingga segala bentuk diskriminasi rasial harus dicegah dan dilarang. Dalam UU NO. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya) atau dikenal dengan Undang-undang Hak Sipil, secara umum dijelaskan bahwa: “Negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.” Ketentuan ini merupakan konsekwensi yuridis bergabungnya Indonesia ke dalam ke anggotaan PBB sehingga mau tidak mau harus meratifikasi kovenan-kovenan yang disahkan ke dalam undang-undang. Dengan turutnya Pemerintah Indonesia menandatangani sekaligus mengundangkannya ke dalam undang-undang, maka hak-hak sipil khususnya terkait dengan agama semakin kuat legitimasinya menjadi legal rights. Dengan demikian negara berkewajiban menjamin, memenuhi, dan memeliharanya agar kehidupan beragama yang kondusif terwujud. Dasar kewajiban dan hak itu sudah barang tentu bersumber dari falsafah Pancasila yang termuat dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 itu sendiri. Sejalan dengan dasar filosofis itu, maka Ahmadiyah di Yogyakarta sesungguhnya merupakan golongan keyakinan yang patut dihormati dan diperlakukan sama seperti halnya golongan yang lain. Ajaran dan gerakannya tidak bertentangan dan semata-mata merupakan gerakan pembaruan teologis (berbasis tafsir yang dalam Islam sendiri mengandung makna yang relatif). Pengikut Ahmadiyah Yogyakarta sendiri cenderung menganut mazhab pluralis yang lebih mengakulturasi dengan budaya Jawa Indonesia. Karenanya, penerimaan keberadaan Ahmadiyah merupakan satu keniscayaan. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 46 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... D. Kesimpulan Hak beragama dan berkeyakinan merupakan persoalan aktual dan kompleks di Indonesia, karena itu mendudukkan posisi hak beragama dan berkeyakinan harus dikoneksikan antara Nash dengan konteks sosial agama demi menjawab keadilan itu sendiri. Perlu kajian yang dalam yang secara metodologis harus menyentuh faktor sosial, budaya, politik dan ekonomi masyarakat. Karena itu, pendekatan filosofis mutlak dibutuhkan agar kajian hak berkeyakinan mampu menjawab akar masalah sesungguhnya. Secara epistemologis, mengurai hak berkeyakinan merupakan kajian teologis yang bersumber pada teks Nash yang normatif. Nash menempati sumber tertinggi dalam pembenaran jalan menuju Tuhan. Karena itu, syari’at sebagai satu tatanan hukum dibutuhkan untuk mencapai tujuan insan kamil. Namun, Nash yang global yang terbatas dimensi problem sosial yang mengitarinya dibutuhkan keberanian akal untuk menjawabnya. Di sinilah dinamika aliran teologis dan politik yang mewarnai hukum beragama dalam konteks negara. Dibutuhkan rekonstruksi beragama dan menafsirkan Nash dalam konteks sosial agama agar permasalahan sesungguhnya dapat terjawab. Hak berkeyakinan adalah hak asasi manusia dan warga negara Indonesia yang dijamin secara konstitusional dan hukum. Karena itu, Ahmadiyah Yogyakarta atau lebih resmi dikenal Ahmadiyah Lahore yang jika ditilik aspek kesejarahannya dan kontekstualisasi ajarannya secara metodologis, harus diakui dan mempunyai kedudukan dan hak yang sama. Maqom Ahmadiyah ialah pada wilayah teologis atas nash-nash yang normatif dan umum, yang secara metodologis itu dimungkinkan dan dibenarkan (relatif). Berbeda dengan Ahmadiyah Qodian (Jema’at Ahmadiyah Indonesia) yang berbasis di Parung Jawa Barat, yang ajarannya masuk dalam wilayah fikih, Ahmadiyah Yogyakarta justru tidak melakukan itu. Ahmadiyah Yogyakarta umumnya menganut mazhab plural dengan lebih mengakulturasi budaya Jawa Indonesia (Mazhab Indonesia). Melihat benang merah ini, sebagai bangsa Indonesia sudah seharusnya mengapresiasi Ahmadiyah Yogyakarta secara layak agar ia dapat tumbuh dan berkembang seperti halnya golongan yang lain. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... 47 Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, cet. Ke-3 Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum , Gadjah Mada University Press, 2006. Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996. Bahmueller, C.F. Principles and Practies of Education for Democratic Citizenship: International Perspectives and Projects, USA: Eric Adjunct Clearinghouse for International Civic Education, 1996. Baso, Ahmad, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, Jakarta: Erlangga, 2006. Beuken, Wim, Karl-Josef Kuschel (et al), dalam Religion as a Source of Violence?, New York: Maryknoll, SCM Press Ltd and Orbis Books, 1997. Bleicher, Josep, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, London: Routledge & Kegan Paul, 1980. Engineer, Asghar Ali, The Rights of Women in Islam, Lahore, Karachi, Islamabad, Peshawar: Vanguard Books (PVT) Ltd, 1992. Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Qur’ani, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002. Freire, Paulo, Pedagogy of Opressed, Penguin Books, 1978. Ghani, Abdul Maqsud Abdul, dalam Agama dan Filsafat (Kajian terhadap pemikiran Filosof Andalusia Ibnu Masarroh, Ibnu Thufail dan Ibnu Rushd). Terjemahan, Kuswaidi Syafi’ie (ed.), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Haddad, Al-Tahir al-, Wanita dalam Syari’at dan Masyarakat (terj), Jakarta: Pustaka Firdaus, 1972. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 48 Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan... Hanafi, Hasan, Hermeneutika Al-Quran? (terjemahan), Yudian Wahyudi, Yogyakarta: Pesantren Nawesia Press, 2009. Hantington, Samuel P., The Clash of Civilization, USA:Foreign Affairs, 1993, Edisi Summer. Hendropriyono, A.M., Nation State di Masa Teror, Semarang:Penerbit Rumah Kata, 2007. John Rowls, Theory of Justice, Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1971. Kompas, 2 Juli 2012. Lebacqz, Karen, Six Theories of Justice, Indiana Polis: Augsbung Publishing House, 1986. Mill, Utilitarianism, New York: Bobbs-Merrill, 1957. Nasr, Sayyed Hossen, Knowledge and Sacred, New York State University Press, 1989. Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, cet, keenam, Jakarta: Radjawali Press, 2001. Nottingham, Elizabeth K., Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: Radjawali Press, 1985. Pals, Daniel L., Seven Theiries of Religion, New York: Oxford University Press, 1996. Soleh, A. Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Solomon, Robert C., From Rationalism to existentialism: the Existentialist and Their Nineteenth-Century Backgrounds, New York: Herper & Row Publisher, 1972. Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqih (terj) cet. ke-13, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Peran Intelektual dalam Ranah Publik M. Nurdin Zuhdi Abstract During these intellectuals believed that scientists are only related in academic region alone. Even intellectuals with scientific viewed as something safely isolated without giving effect and solutions to people's lives. The presence of these scientists as if there is no influence in the public sphere. Public space with all the Problem faced by the public and should require the completion of a thought. As scientists, intellectuals are thinkers. Especially thinking in complete growing problems. From this, then comes the anxiety of academic, how should the ideas of intellectuals capable of contributing to the wider society, especially in solving actual problems that exist in the public domain? The intellectuals should not just dwell on areas of scientific disciplines / academic per se, but the intellectual is supposed to be much better able to respond to and resolve the problems that exist in the public domain, not least the problems faced by the common people. Key words: public intellectuals, public domain, actor intellectuals. Abstrak Selama ini para intelektual diyakini sebagai ilmuan yang hanya berhubungan pada wilayah akademik semata. Bahkan para intelektual dengan keilmuannya dipandang sebagai sesuatu yang terisolasi dengan aman tanpa memberikan pengaruh dan solusi terhadap kehidupan masyarakat luas. Kehadiran para ilmuan ini seolaholah tidak ada pengaruhnya di ruang publik. Ruang publik dengan segenap problematikanya yang dihadapi oleh masyarakat seyogyanya membutuhkan sebuah pemikiran dan penyelesaian. Sebagai ilmuan, para intelektual merupakan para pemikir. Terutama berpikir dalam menyelesaikan problem-problem yang berkembang. Dari sinilah, kemudian muncul kegelisahan akademik, bagaimanakah seharusnya gagasan-gagasan para intelektual ini mampu ikut berperan terhadap kehidupan masyarakat luas, terutama dalam menyelesaikan problem-problem aktual kekinian yang ada di ranah publik? Intelektual seharusnya tidak hanya sekedar berkutat pada wilayah disiplin keilmuan/akademik semata, namun seharusnya jauh lebih mampu dalam merespon dan menyelesaikan problematika yang ada di ranah publik, tidak terkecuali problem-problem yang dihadapi oleh masyarakat awam. Kata kunci: intelektual publik, ranah publik, peran intelektual. Candidat Doktor (S3) Islamic Studies di Program Doktor PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. E-mail: [email protected] SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 50 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... A. Pendahuluan Ada beberapa problem akademik yang mendasar ketika membicarakan peran intelektual di ranah publik.1 Kegelisahan akademik inilah yang dialami oleh Palmquist yang bermula dalam suatu konferensi yang diikutinya pada bulan Juli 1997. Pada saat itu, Palmquist menemukan sebuah makalah yang menunjukkan bahwa seorang psikolog bernama Carl Jung2 yang sangat terpengaruh oleh ide-ide Kant yang dinilai bermanfaat sebagai perangkat konseling dalam psikologi.3 Dari sini kemudian 1Menurut F. Budi Hardiman, Ruang Publik (Indonesia), Publik Sphere (Inggris), atau Offentlichkeit (Jerman ), merupakan sebuah konsep yang dewasa ini menjadi populer di dalam ilmu-ilmu sosial, teori-teori demokrasi dan diskursus politis pada umumnya. Filsafat dan ilmu-ilmu sosial pasca-komunisme berbicara bukan hanya tentang ‘globalisasi’ sebagai proses lanjut dalam kapitalisme-lanjut, melainkan juga berbicara tentang “ruang publik” sebagai konsep kunci untuk memahami demokrasi dalam masyarakat kompleks yang terglobalisasi di awal abad ke-21. Konsep ini praktis juga menggeser konsep lain yang dulu pernah popular dan selalu terkait dengan kekerasan sosio-politis, yaitu “revolusi”. Alih-alih mendorong perubahan sosial lewat suatu cetakbiru ideologis yang ditetapkan oleh elit, konsep “ruang publik” ingin mendorong partisipasi seluruh warga negara untuk mengubah praktik-praktik sosio-politis mereka lewat reformasi hukum dan politik secara komunikatif. Kata “publik” (public) dan “kepublikan” (publicity) bukan berasal dari bahasa Indonesia. Kata ‘publik’ ini berasal dari kata Latin, yaitu ‘publicus’. Dalam masyarakat Romawi kata publicus memiliki dua arti: pertama, milik rakyat sebagai satuan politis atau milik Negara; dan kedua, sesuai dengan rakyat sebagai seluruh penduduk atau umum. Lihat, F. Budi Hardiman (ed.), Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokrasi dari Polis Sampai Cyberspace (Yogyakarta: Kanisius, 2010), p.1. 2Carl Gustav Jung lahir pada 26 Juli 1875 di Kesswil, sebuah kota kecil dekat Danau Constance, Swiss. Kakek dari garis ayah, Carl Gustav Jung senior adalah seorang dokter ternama di Basel. Ayahnya adalah pendeta di Gereja Reformasi Swiss dan ibunya merupakan seorang putri dari teolog. Jung menempuh pendidikannya di Fakultas Kedokteran University of Basel dengan mengambil spesialisasi dibidang psikiatri pada tahun 1900. Jung adalah pencetus ide ketaksadaran kolektif (collective unconscious). Sistem psikologi yang digagasnya hampir sama dengan Freud. Dia menyebut sistemnya ‘Psikologi analitik’ (Analitical Psycology). Perbedaan Utama pada Teori Libido. Freud memperlihatkan libido terutama dalam konteks seksual, sedangkan Jung memperlihatkan seks sebagai hanya salah satu bagian penggerak kekuatan dari libido. 3Stephen R. Palmquist, “Philosophers in the Public Square: A Relegious Resolution of Kant’s Conflict”, dalam M. Amin Abdullah, “Bahan Ajar Kuliah Program Doktor Islamic Studies” PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013, p. 231. Dalam ranah Psikologi Kepribadian pemikiran Kant masuk dalam teori yang disusun berdasar pemikiran spekulatif berdasarkan metodologi yang digunakan menyusun suatu teori. Pemikiran Immanuel Kant masuk dalam teori temperamen ketika menggolongkan atas dasar komponen kepribadian yang dipakai sebagai titik tolak dalam penyusunan perumusan teoritis, dan teori yang mempunyai cara pendekatan tipologis. Teori Immanuel Kant tentang kepribadian manusia sebagian terdapat dalam Critique der praktischen vernunft (1788) dan Anthropologie (1799). Watak (character) dalam arti normatif terdapat dalam Critique der praktischen vernunft. Watak sebagai kualitas pembeda satu orang dengan yang lain secara khas terdapat dalam Anthropologie. Lihat, “Pemikiran Immanuel SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... 51 Palmquist terdorong untuk mengekplorasi lebih jauh gagasan-gagasan filusf—dalam hal ini adalah Kant—yang semestinya dapat diterapkan oleh para filusf di ranah publik.4 Pertanyaan akademik yang muncul kemudian adalah Pertama, bagaimana seyogyanya peran intelektual di ranah publik? Kedua, sejauh mana para intelektual sebagai ilmuan yang selama ini identik dengan dunia akedmik ini mampu berintegrasi secara langsung dengan persoalanpersolan lain, terutama dengan hal-hal yang berhubungan langsung dengan warga masyarakat luas? Apakah para ineteltual juga memiliki peran yang pantas sebagai pegawai pemerintahan juga sebagai pemangku keagamaan? Kedua, sejauhmanakah seorang pemangku keagamaan (teolog) yang sejak awal hanya mengenakan “jubah kebesaran” keagamaanya, juga sekaligus berperan sebagai intelektual praktis? Artikel ini mengajak pembaca mendiskusikan tema aktual yang akhir-akhir ini mencuat dan hangat diperbincangkan dalam ranah publik. Kajian tentang intelektual publik menjadi tema debat publik yang hangat diperbicangkan dalam dasawarsa terakhir ini. Hal tersebut terbukti ketika Majalah Prospect yang cukup berpengaruh di Inggris bekerja sama dengan Majalah Foreign Policy pada tahun 2005 dan 2008 membuat jajak pendapat tentang siapa saja intelektual publik yang pemikirannya mempunyai pengaruh global dalam berbagai aspek debat publik. Majalah Foreign Policy ini berisi kebijakan publik AS yang membuat daftar 100 intelektual terkemuka dunia dan membuat polling untuk mencari The Top 20 Public Intellectual. Jajak pendapat ini merilis 100 nama intelektual publik yang paling berpengaruh di dunia. Pada tahun 2005, nama 100 tokoh intelektual publik yang masuk adalah Noam Chomsky, Umberto Eco, Richard Dawkins, Václav Havel, Christopher Hitchens, Paul Krugman, Jürgen Habermas, Amartya Sen, Jared Diamond, Salman Rushdie, Naomi Klein, Shirin Ebadi, Hernando de Soto, Bjørn Lomborg, Abdolkarim Soroush,Thomas Friedman, Pope Benedict XVI, Eric Hobsbawm, Paul Wolfowitz, Camille Paglia, Francis Fukuyama, Jean Baudrillard, Slavoj Žižek, Daniel Dennett, Freeman Dyson, Steven Pinker, Jeffrey Sachs, Samuel Huntington, Mario Vargas Llosa, Ali al-Sistani, Edward O. Wilson, Richard Posner, Peter Singer, Bernard Lewis, Fareed Zakaria, Gary Becker, Michael Ignatieff, Chinua Achebe, Anthony Giddens, Lawrence Lessig, Richard Rorty, Jagdish Bhagwati, Fernando Henrique Cardoso, JM Coetzee, Niall Ferguson, Ayaan Hirsi Ali, Steven Weinberg, Julia Kristeva, Germaine Greer, Kant Pengaruhnya Pada Filsafat, Modernisme dan Psikologi” dalam https: //susansutardjo.wordpress.com/tag/pengaruh-kant-pada-psikologi/akses 18 Februari 2013. 4 Stephen R. Palmquist, “Philosophers in the Public Square”, p. 231. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... 52 Antonio Negri, Rem Koolhaas, Timothy Garton Ash, Martha Nussbaum, Orhan Pamuk, Clifford Geertz, Yusuf al-Qaradawi, Henry Louis Gates Jr., Tariq Ramadan, Amos Oz, Larry Summers, Hans Küng, Robert Kagan, Paul Kennedy, Daniel Kahneman, Sari Nusseibeh, Wole Soyinka, Kemal Derviş, Michael Walzer, Gao Xingjian, Howard Gardner, James Lovelock, Robert Hughes, Ali Mazrui, Craig Venter, Martin Rees, James Q. Wilson, Robert Putnam, Peter Sloterdijk, Sergei Karaganov, Sunita Narain, Alain Finkielkraut, Fan Gang, Florence Wambugu, Gilles Kepel, Enrique Krauze, Ha Jin, Neil Gershenfeld, Paul Ekman, Jaron Lanier, Gordon Conway, Pavol Demes, Elaine Scarry, Robert Cooper, Harold Varmus, Pramoedya Ananta Toer, Zheng Bijian, Kenichi Ohmae, Wang Jisi, Kishore Mahbubani dan Shintaro Ishihara.5 Jika dilihat dari tempat kelahiran 100 tokoh intelektual publik di atas, bisa dipersentasikan sebagai berikut: 40% berasal dari Amerika Serikat dan Kanada, 25% dari Eropa, dan 22% dari Timur Tengah. Sedangkan yang lainnya yang kurang dari 5% diantaranya adalah Amerika Latin sebanyak 4 orang, Afrika dan Australia sebanyak 3. Kemudian jika dilihat dari jenis klamin, intelektual publik laki-laki sebesar 92%, sedangkan intelektual publik perempuan hanya 8%. Namun yang menarik untuk dicermati dari data di atas adalah, ada satu nama tokoh dari Indonesia yang masuk, yaitu Pramoedya Ananta Toer. Dalam jajak tersebut, Pramoedya Ananta Toer menempati nomor urut ke 95. Hasil polling ini tentu menggembirakan. Pramoedya Ananta Toer adalah seorang pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya. Bahkan karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing. Salah satu karya fenomenalnya berjudul Bumi Manusia.6 Sedangkan Pada tahun 2008, nama 100 tokoh intelektual publik yang masuk adalah Fethullah Gülen, Muhammad Yunus, Yusuf alQaradawi, Orhan Pamuk, Aitzaz Ahsan, Amr Khaled, Abdolkarim Soroush, Tariq Ramadan, Mahmood Mamdani, Shirin Ebadi, Noam Chomsky, Al Gore, Bernard Lewis, Umberto Eco, Ayaan Hirsi Ali, 5Lihat, The 2005 list "Intellectuals", dalam Prospect magazine, 2009. Retrieved 19 February 2010, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/FP_Top_100_Global_Thinkers/ akses 15 Mei 2013; lihat juga, http://www. foreignpolicy.com/story/cms.php?story_id =4293. 6Bumi Manusia adalah buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang pertama kali diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tahun 1980. Buku ini ditulis Pramoedya Ananta Toer ketika masih mendekam di Pulau Buru. Sebelum ditulis pada tahun 1975, sejak tahun 1973 terlebih dahulu telah diceritakan ulang kepada temantemannya. Setelah diterbitkan, Bumi Manusia kemudian dilarang beredar setahun kemudian atas perintah Jaksa Agung. Buku ini sukses dengan 10 kali cetak ulang dalam setahun pada 1980-1981. Sampai tahun 2005, buku ini telah diterbitkan dalam 33 bahasa. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... 53 Amartya Sen, Fareed Zakaria, Garry Kasparov, Richard Dawkins, Mario Vargas Llosa, Lee Smolin, Jürgen Habermas, Salman Rushdie, Sari Nusseibeh, Slavoj Žižek, Václav Havel, Christopher Hitchens, Samuel Huntington, Peter Singer, Paul Krugman, Jared Diamond, Pope Benedict XVI, Fan Gang, Michael Ignatieff, Fernando Henrique Cardoso, Lilia Shevtsova, Charles Taylor, Martin Wolf, E.O. Wilson, Thomas Friedman, Bjørn Lomborg, Daniel Dennett, Francis Fukuyama, Ramachandra Guha, Tony Judt, Steven Levitt, Nouriel Roubini, Jeffrey Sachs, Wang Hui, V.S. Ramachandran, Drew Gilpin Faust, Lawrence Lessig, J.M. Coetzee, Fernando Savater, Wole Soyinka, Yan Xuetong, Steven Pinker, Alma Guillermoprieto, Sunita Narain, Anies Baswedan, Michael Walzer, Niall Ferguson, George Ayittey, Ashis Nandy, David Petraeus, Olivier Roy, Lawrence Summers, Martha Nussbaum, Robert Kagan, James Lovelock, J. Craig Venter, Amos Oz, Samantha Power, Lee Kuan Yew, Hu Shuli, Kwame Anthony Appiah, Malcolm Gladwell, Alexander de Waal, Gianni Riotta, Daniel Barenboim, Therese Delpech, William Easterly, Minxin Pei, Richard Posner, Ivan Krastev, Enrique Krauze, Anne Applebaum, Rem Koolhaas, Jacques Attali, Paul Collier, Esther Duflo, Michael Spence, Robert Putnam, Harold Varmus, Howard Gardner, Daniel Kahneman, Yegor Gaidar, Neil Gershenfeld, Alain Finkielkraut dan Ian Buruma.7 Pada polling tahun 2008 ini ada beberapa tokoh yang kembali masuk, diantaranya adalah Christopher Hitchens, Jürgen Habermas, Abdolkarim Soroush, Yusuf al-Qaradawi dan lainnya. Pemikiran dan gagasan-gagasan tokoh-tokoh ini pada tahun 2008 masih memiliki pengaruh global, bahkan sampai hari ini. misalnya saja Jürgen Habermas yang pemikirannya sampai hari ini masih hangat diperbincangkan, bukan hanya pada tingkat diskusi semata, namun juga sampai kepada penelitian setingkat disertasi. Pengaruh pemikiran dan gagasan-gagasan Jürgen Habermas rupanya telah menyebar keseluruh dunia. Maka wajar, jika Majalah Prospect dan Majalah Foreign Policy pada tahun 2005 dan 2008 memasukannya lagi ke dalam 100 intelektual publik yang paling berpengaruh di dunia. Namun dari data ini, yang menarik untuk dicermati adalah kembali terpilihnya satu tokoh muda dari Indonesia. Tokoh muda tersebut adalah Anies Baswedan. Anies adalah satu-satunya tokoh dari Asia Tengara, yang terpilih sebagai 100 Tokoh Intelektual Publik Dunia versi Majalah Foreign Policy tahun 2008 yang terbit di AS. Nama Rektor Universitas Paramadina ini disejajarkan dengan tokoh dunia seperti Samuel Huntington, Muhammad Yunus, Orhan Pamuk, Al Gore, Christopher Hitchens, Jürgen Habermas, Noam Chomsky, Abdolkarim Soroush, Yusuf alQaradawi, Tariq Ramadan, Salman Rushdie dan sebagainya. 7 Ibid. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... 54 Nama pria kelahiran 7 Mei 1969 ini juga bertengger bersama 230 tokoh muda dunia yang meraih “Young Global Leaders 2009” dari The World Economic Forum (WEF).8 Anies pun satu-satunya tokoh dari 100 intelektual publik dari Indonesia yang terpilih sebagai 20 tokoh yang membawa perubahan dunia untuk 20 tahun mendatang versi Majalah Foresight pada April 2010 yang terbit di Jepang. Sedangkan di Indonesia sendiri, Rektor termuda ini masuk dalam daftar 25 Tokoh Islam Damai versi Majalah MADINA tahun 2008. Fenomena masuknya Anies dalam 100 tokoh intelektual publik paling berpengaruh di dunia ini merupakan bukti bahwa Indonesia bisa bersaing dalam kancah global. Anies telah membuktikan bahwa seorang akademisi tidaklah harus hanya berkutat pada wilayah akademik semata, namun bisa berkarya yang dapat memberi pengaruh besar kepada dunia. Hal inipun membuktikan bahwa seorang akademisi, baik itu sarjana, magister, doktor, guru hingga dosen sekalipun seharunya bisa memberikan andil bagi masyarakat luas. Jika tidak mampu secara global, setidaknya secara nasional. Bahkan kepada masyarakat sekitarnya sekalipun. Debat mengenai peran intelektual dalam ranah publik ini mengundang banyak perhatian. Sehingga dalam dasawarsa terakhir ini banyak para tokoh intelektual yang meresponnya dengan melahirkan karya yang telah dipublikasikan dalam jurnal nasional maupun internasional. Diantaranya adalah karya Gabriel Faimau dengan judul Ntt dan Intelektual Publik;9 Anna Julia Cooper, Worth, and Public Intellectuals karya Carolyn M. Cusick;10 Academics as Public Intellectuals, Edited by Sven Eliaeson and Ragnvald Kalleberg;11 How to be a Public Intellectual karya Christopher Hitchens;12 Introduction: Ideas, Intellectuals and the Public karya Dolan Cummings;13 Public Intellectuals and Civil Society karya Jeffrey C. Alexander;14 8Selain Anies, ada empat tokoh Indonesia lainnya yang masuk Young Global Leaders 2009 yaitu, Nia diNata (Film Director), Butet Manurung (Educator and Conservationist), Yenny Wahid (Director Wahid Institute) dan Silverius Oscar Unggul (Founder JAUH). Lihat, The World Economic Forum (WEF), Young Global Leader Honorees 2009 , p. 1-2. 9Lihat, Gabriel Faimau, “NTT dan Intelektual Publik” dalam Journal of NTT Studies 1 (2), 2009, p. 088-094. 10 Carolyn M. Cusick “Anna Julia Cooper, Worth, and Public Intellectuals” dalam Philosophia Africana, Vol. 12, No. 1, March 2009, p. 21-40. 11Sven Eliaeson and Ragnvald Kalleberg (ed.), Academics as Public Intellectuals, (Newcastle: Cambridge Scholars Publishing, 2008). 12Christopher Hitchens, “How to be a Public Intellectual” dalam Prospect Magazine, Issue 146, May 2008. 13Dolan Cummings, “Introduction: Ideas, Intellectuals and the Public” dalam Critical Review of International Social and Political Philosophy, Vol. 6, No. 4, Winter 2003, p. 17. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... 55 Race and the Public Intellectual:A Conversation with Michael Eric Dyson karya Sidney I. Dobrin;15 Reflections of a Sometime-Public Intellectual karya Amitai Etzioni;16 Rules for Public Intellectuals karya Lorenzo Morris;17 Public Intellectuals and the Public Interest: Toward a Politics of Political Science as a Calling karya Theodore J. Lowi;18 Sociology’s Public Intellectual karya McLaughlin;19 The Bioethicist as Public Intellectual karya Karen E. Geraghty;20 The Public Intellectual as Agent of Justice: In Search of a Regime karya Steve Fuller;21 Paul Robeson: The Quintessential Public Intellectual karya Paul Von Blum, J.D.;22 The Resurfacing of the Public Intellectual: Towards the Proliferation of Public Spaces of Critical Intervention karya Ulrich Oslender;23 The RSC as public intellectual karya Gilles Paquet;24 dan yang terbaru adalah artikel berjudul What does it mean to be a public intellectual? karya John Issitt and Duncan Jackson.25 Karya-karya yang membahas tentang intelektual publik di atas merupakan bukti bahwa tema ini penting untuk diangkat ke permukaan publik. Para pemerhati kajian intelektual publik ini ingin mengajak bahwa para intelektual hendaknya bisa berperan lebih luas dalam kiprahnya. Para Jeffrey C. Alexander, “Public Intellectuals and Civil Society”. Paper prepared as the keynote address for “Public Intellectuals and Europe–European Public Intellectuals? Sociological Perspective” UCD Dublin, October 7-8, 2005. Do not quote without permission of author. 15 Sidney I. Dobrin, “Race and the Public Intellectual: A Conversation with Michael Eric Dyson” (ttp: tt.), p. 143-181. 16 Amitai Etzioni, “Reflections of a Sometime-Public Intellectual” dalam Symposium: Public Intellectuals, (ttp: tt.), p. 151-655. 17 Lorenzo Morris “Rules for Public Intellectuals” dalam Symposium: Public Intellectuals, (ttp: tt.), p. 671-674. 18 Theodore J. Lowi, “Public Intellectuals and the Public Interest: Toward a Politics of Political Science as a Calling” dalam Symposium: Public Intellectuals, (ttp: tt.), p. 675-181. 19 McLaughlin, “Sociology’s Public Intellectual” Canadian Journal of Sociology Online May-June 2002, p. 1-2. 20 Karen E. Geraghty,” The Bioethicist as Public Intellectual” dalam The American Journal of Bioethics, Vol. 4, No. 1, 2004, p. 17-23. 21 Steve Fuller, “the Public Intellectual as Agent of Justice: In Search of a Regime” Philosophy and Rhetoric, Vol. 39, No. 2, 2006, p. 149-157. 22 Paul Von Blum, J.D. “Paul Robeson: The Quintessential Public Intellectual” dalam The Journal of Pan African Studies, Vol. 2, No. 7, December 2008, p. 70-81. 23 Ulrich Oslender, “The Resurfacing of the Public Intellectual: Towards the Proliferation of Public Spaces of Critical Intervention” dalam ACME: An International EJournal for Critical Geographies, Vol. 6, No. 1, p. 98-123. 24 This paper was presented to the 2005 Annual Symposium of the RSC – The Academies of Arts, Humanities and Sciences of Canada on the general theme of CANADA’S FUTURE. This symposium was held in Ottawa on November 25th, 2005. Gilles Paquet was the President of the RSC from 2003 to 2005. In this paper, “Public Intellectual” in the masculine refers to both men and women. 25 John Issitt and Duncan Jackson, “What does it mean to be a public intellectual?” Tp.p. Tp.t. Maret, 2013. 14 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 56 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... intelektual publik hendaknya dapat mengambil peran besar dalam kehidupan masyarakat luas, termasuk msyarakat awam sekalipun. Sehingga seorang intelektual dapat memberikan sumbangsih serta soslusi yang berarti bagi masyarakat dan dunia. Isu-isu aktual serta problematika yang dihadapi oleh masyarakat akhir-akhir ini cukup pelik. Mulai dari isu ekonomi, pendidikan hingga masalah kekerasan atas nama agama. Isu-isu aktual yang dihadapi oleh masyarakat tersebut membutuhkan penyelesaian yang mendesak. Di sinilah seharusnya seorang intelektual dapat berperan aktif serta terlibat secara langsung di tengah-tengah masyarakat guna menyelesaikan problematikanya. Hendaknya para intelektual tidak “nyaman di menara gading”, sehingga lupa terhadap masyarakat yang ada disekelilingnya. B. Siapakah Intelektual Publik itu? Christopher Hitchens yang namanya masuk dalam daftar 100 intelektual publik paling berpengaruh di dunia pada tahun 2005 dan 2008 menulis sebuah artikel menarik dalam Propect Magazine pada 24 Mei 2008.26 Hitchens mencoba mengkritisi penggunaan dan juga penyalahgunaan istilah ‘intelektual publik’. Dalam artikel tersebut, Hitchens meruntut sejumlah pandangan umum tentang siapa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah intelektual publik. Mulai dari pandangan bahwa intelektual publik adalah seseorang yang mencari makan minum atau mendukung hidupnya dengan terlibat aktif dalam ‘perang ide’, sampai pada keyakinan klise bahwa intelektual publik adalah seseorang yang berdiri tegak memperjuangkan kebenaran di hadapan penguasa dan kekuasaan.27 Dari definisi tersebut, Hitchens ingin menunjukkan bahwa menjadi seorang intelektual publik adalah seseorang yang banyak berbuat positif bagi orang lain seluas-luasnya. Tidak penting siapa dirinya, namun yang penting adalah seberapa besar kontribusinya bagi orang lain. Pernyataan Hitchens ini senada dengan pernyataan Gus Dur yang menyatakan banwa “Tidak penting apapun agamamu atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan ‘sesuatu’ yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya agamamu atau sukumu”. Pernyataan Gus Dur ini menarik untuk dicermati, mengingat Indonesia merupakan negara yang plural. Bahkan, akhir-akhir ini banyak kekerasan yang terjadi ditengah masyarakat yang mengatasnamakan agama. Sedangkan menurut Gabriel Faimau intelektual publik adalah mereka yang menuangkan dan meneruskan gagasan mereka 26Lihat, Christopher Hitchens, “How to be a public intellectual”, dalam Prospect Magazine, Issue 146, 24 Mei 2008. 27Gabriel Faimau, “NTT Dan Intelektual Publik”, p. 139. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... 57 kepada dunia luas tetapi juga menemukan jalan agar gagasan itu bisa diwujudnyatakan.28 Dari berbagai pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, seorang intelektual publik adalah mereka yang mempunyai gagasan/pemikiran, dan mampu menuangkan gagasan/pemikirannya sacara luas, serta menjadikan gagasan/pemikirannya tersebut hidup dan memiliki pengaruh positif bagi kehidupan masayarakat dan dunia. Sehingga, seorang intelektual tidak hanya terpaku hanya kepada seorang filusf semata yang banyak memiliki ide dan gagasan-gagasan, misalnya. Namun, seorang mahasiswa (S1, S2, S3), professor, dosen, guru, cendekiawan hingga budayawan juga termasuk seorang intelektual, bahkan “seorang awam” sekalipun. Jadi pengertian intelektual publik sangat luas, tidak tertuju hanya pada golongan tertentu saja, mamun bisa mencakup siapa saja. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, sudah berapa banyakkah intelektual publik Indonesia yang pemikiran dan gagasannya mampu memberikan pengaruh secara global? Sejauhmanakah kualitas atau peran intelektual publik Indonesia selama ini dalam kancah internasional? Seberapa produktifkah para intelektual publik—teramasuk para pendidik, guru, dosen, sarjana, S1, S2 dan S3—tersebut dalam melahirkan karya yang mampu meberikan kontribusi berarti bagi masyarakat luas? Sejauhmana peran intelektual publik dalam menyelesaikan tema-tema aktual kekinian yang banyak menjadi problem maysarakat dewasa ini? C. Tingkatan Peran Intelektual dalam Ranah Publik Dalam menjalankan perannya di ranah publik, seorang intelektual hendaknya bisa memilih peran yang cocok bagi dirinya. Sehingga peran yang diemban dapat di jalankan dengan maksimal dan memberikan pengaruh posisif bagi orang lain. Berbicara mengenai tingkatan peran dalam ranah publik, Palmquist menjelaskan bahwa dalam pemikiran Kant ada empat tingkatan mengenai peran filusf dalam ranah publik. Dimana peran ini hemat penulis dapat juga di gunakan oleh seorang intelektual ketika ia hendak terjun di ranah publik. Empat tingkatan peran tersebut adalah sebagai berikut:29 1. Tingkatan pertama adalah General Publik. Tingkatan pertama ini diduduki oleh masyarakat umum. Tingkatan pertama ini memiliki potensial untuk dapat diperhatikan bagi setiap orang. Dalam arti bahwa segala sesuatu yang terbuka untuk didiskusikan oleh semua orang. Peran tingkatan pertama ini adalah sebagai anggota publik dalam kehidupan warga masyarakat. 28 Ibid. 29Lihat lebih lanjut dalam Stephen R. Palmquist, “Philosophers in the Public Square”, p. 232-242. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 58 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... 2. Tingkatan kedua adalah Public Servants. Tingkatan kedua ini diduduki oleh para pegawai negeri (PNS). Yaitu orang-orang yang bekerja pada pemerintahan, seperti penguhulu (KUA), hakim, dokter, atau juga bisa professional apapun yang bidang keahliannya berhubungan secara langsung dengan warga masyarakat umum. Tingkatan kedua ini perannya adalah berurusan secara langsung dengan khalayak umum dengan memberikan layanan kesejahtraan sosial. 3. Tingkatan ketiga adalah Higher Faculties. Tingkatan ini diduduki oleh para komunitas akademik. Komunitas akademik seperti pendidik, guru, atau dosen. Komunitas akademik ini disebut dengan higher faculties (fakultas atas). Komunitas akademik ini berperan melatih para calon professional yang akan menduduki posisi-posisi penting dalam jabatan pemerintahan. 4. Tingkatan keempat adalah Philosophy Faculty. Tingkatan keempat ini diduduki oleh fakultas filsafat yang oleh Kant disebut dengan lower faculty (fakultas bawah). Berbeda dengan higher faculties yang berperan mendidik para calon profesioanal yang akan menduduki posisi-posisi penting dalam jabatan pemerintahan, istilah lower faculty merujuk kepada sesuatu yang berhubungan secara langsung dengan masyarakat umum. Tingkatan terakhir ini memiliki peran yang berurusan dengan konflik kreatif antar komunitas akademik. Dari beberapa tingkatan peran dalam ranah publik yang ditawarkan oleh Kant di atas, hemat penulis bisa digunakan oleh para inteltktual publik sesaui dengan bidangnya masing-masing ketika terjun di tengahtengah masyarakat. Namun ada beberapa kelemahan tingkatan yang ditawarkan oleh Kant di atas, termasuk tingkatan kedua dan ketiga. Karena tingkatan Higher Faculties untuk konteks Indonesia juga bisa masuk pada tingkatan Public Servants. Dimana tingkatan kedua ini diduduki oleh para pegawai negeri (PNS). Sehingga kedua tingkatan ini berbenturan. Padahal pendidik, baik itu guru maupun dosen sebagian besar merupakan pegawai negeri (PNS). Namun, di luar itu semua, tingkatan peran dalam ranah publik yang ditawarkan oleh Kant telah memberikan gambaran bagi para intelektual yang ingin berperan lebih luas dalam ranah publik. D. Intelektual Publik dan Problematika Masyarakat: dari Akademisi sampai Masalah Teologi Menurut Palmquist, para higher faculties, sebagaimana juga pegawai pemerintahan, mereka berperan sebagai anggota masyarakat ketika mereka menjalani kehidupan sehari-hari sebagaimana warga masyarakat pada SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... 59 umumnya.30 Namun, ketika mereka melaksanakan tugas-tugas resmi di dalam dunia akademik, para higher faculties ini berfungsi sebagai pendidik. Para higher faculties ini berperan melatih para calon professional yang akan menduduki posisi-posisi penting dalam jabatan pemerintahan. Kant berpendapat bahwa pemerintah memiliki tugas yang semestinya untuk melakukan pengendalian sampai batas tertentu terhadap para professional ini. Karena pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi masyarakat agar merasa aman dari segala tekanan dan bentuk kejahatan dari pihak manapun. Kant berpendapat bahwa pada umumnya masyarakat itu ingin dipimpin. Karena kebanyakan orang, dalam hal ini warga masyarakat, rentan untuk diperdayai. Nah, di sinilah tugas pemerintah melindungi masyarakatnya dari segala kemungkinan buruk yang akan terjadi. Jika warga masyarakat tersebut semakin tercerahkan secara akademik, maka semakin mudahlah pemerintah dalam mengontrolnya.31 Untuk konteks Indonesia, beberapa tahun terakhir para intelektual ini perannya semakin luas. Intelektual bukan hanya bekerja pada wilayah akademik semata, namun sudah mulai merambah secara lebih luas. Contohnya, adanya departemen agama dalam pemerintahan Indonesia. Padahal di barat departeman agama tidak ada. Di barat, antara agama dan pemerintahan telah dipisahkan. Bagi mereka agama adalah masalah individual. Pemerintah tidak perlu ikut campur dalam menangani masalah keagamaan. Namun dalam konteks Indoensia masalah agama masih ditangani oleh pemerintahan. Contohnya adalah adanya departemendeparteman Agama, Hindu, Budha, Kristen, Katolik dan Islam. Bukanhanya itu, di Indonesia pun sampai ada Mentri Agama. Departemen agama ini tuganya adalah mengurusi segala macam persoalan keagamaan yang di hadapi oleh publik. Di sinilah, para intelektual mulai berperan secara lebih luas dalam ranah publik. Para intelktual ini bukan hanya berurusan dengan masyarakat semata, namuan juga sekaligus berkaitan dengan pemerintahan. Jika diperhatikan, isu-isu aktual dan problematika yang terjadi di Indonesia bukan hanya masalah ekonomi, kesehatan dan pendidikan semata, bahkan akhir-akhir ini problematika yang krusial adalah problem keagamaan. Sehingga tidak heran jika akhir-akhir ini banyak sekali kekerasan yang terjadi di tengahtengah masyarakat mengatasnamankan agama. Untuk mengetahui lebih jauh tentang tema “Masyarakat Warga” lihat, Fitzerald K. Sitorus, “Masyarakat Warga dalam Pemikiran G. W. F. Hegel” dalam F. Budi Hardiman, Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokrasi dari Polis sampai Cyberspace (Yogyakarta: Kanisius, 2010), p. 123-166. 31 Stephen R. Palmquist, “Philosophers in the Public Square”, p. 233-234. 30 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 60 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... Dari fenomena yang terjadi di Indonesia inilah, pemerintahan Indonesia menciptakan Kementrian Agama RI, dimana di dalamnya ada sebuah Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Badan Kementrian Agama Islam ini mulai dipimpin oleh kalangan intelektual akademisi hingga politisi, mulai dari zamannya Prof. Dr. A. Mukti Ali hingga Dr. (HC) Suryadarma Ali. Selain sebagai seorang mentri dalam kabinet pemerintahan, Mukti Ali adalah merupakan seorang intelektual yang kapabilitas keilmunnya tidaklah diragukan lagi. Di kalangan PTAIN dan PTAIS, misalnya, khususnya UIN Sunan Kalijaga sendiri, pemikiran Mukti Ali sampai hari ini masih memiliki pengaruh besar, termasuk dalam kajian Islam (Islamic Studies). UIN Sunan Kalijaga yang dulunya IAIN32 dikenal sebagai lembaga yang masih sangat kental berkiblat ke Timur, namun dalam perkembangannya mengalami perubahan paradigma sejak dari generasi A. Mukti Ali sampai munculnya kelompok tamatan Barat, termasuk kelompok McGill University, dan beberapa universitas Amerika pada masa Menteri Agama, Munawir Sjadzali.33 Perubahan paradigma ini sejalan dengan perkembangan keilmuan di Barat, sejak abad ke-19 dalam kajiankajian agama.34 Perubahan paradigma dari pola ketimuran hingga pengaruh Barat, juga berkembangnya berbagai metode ilmiah kontemporer tentunya akan memberikan nuansa tersendiri bagi lahirnya produk pemikiran dalam Studi Islam. Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan ini ditangani oleh para intelektual-intelektual (akademisi) yang tidak diragukan lagi kualitas keilmuannya, sebut saja misalnya seperti Prof. Dr. Atho’ Mudhar, Prof. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D, Prof. Dr.Phil H. M. Nur Kholis Setiawan, MA. dan lain-lainya. Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan telah banyak melakukan trobosan dalam menyelesaikan konflik-konflik keagamaan di masyarakat. Salah satunya adalah mengadakan penelitian-penelitian tentang kehidupan keagamaan.35 Dimana di dalamnya melibatkan berbagai kalangan, mulai 32Mengenai perubahan IAIN menuju UIN, lihat lebih lengkap dalam, M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), p. 361-404; lihat juga, M. Amin Abdullah, “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pola Pendekatan DikotomisAtomistik ke Arah Integratif Interdisciplinary,” dalam Zainal Abidin Bagir dkk. ed.), Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan Pustaka, 2005), p. 234-265. 33 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 2000), p. 172. 34 Ibid, p. 229-230. 35 Beberapa penelitian yang telah dipublikasikan diantaranya adalah, Nuhrison M. Nuh (ed.), Aliran-aliran Keagamaan Aktual di Indonesia, (Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010); Kustini (ed.), Peranan Forum Kerukunan Umat Beragama dalam Pelaksanaan Pasal 8, 9, Dan 10 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... 61 dari dosen, penyuluh agama, mahasiswa, maupun peneliti, baik peneliti individual, lembaga atau ormas (LSM) di bidang keagamaan. Penelitian terbaru yang di adakan oleh Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan adalah Penelitian Kompetitif 2013 dengan berbagai tema keagamaan. Tema besar penelititan pada tahun 2013 ini adalah Format Baru Kehidupan Keagamaan di Indonesia yang Inklusif. Tema besar penelitian ini mencakup subtema paham, aliran dan gerakan keagamaan; pelayanan keagamaan dan hubungan umat beragama.36 Selain berperan dalam pemerintahan, seorang intelektual pun juga bisa berperan sebagai penulis yang produktif. Dimana karya karya tulisnya mampu memberikan pengaruh luas bagi masyarakat, bahkan dunia. Terutama dalam memecahkan tema-tema aktual kekinian yang menjadi problem masyarakat, baik dalam bentuk buku, jurnal (nasionalinternasional), koran, maupun di media massa lainnya. Banyak tokoh intelektual dunia yang memiliki pengaruh besar dan luas melalui gagasangagasannya yang dituangkan ke dalam karya tulis. Lihat saja misalnya, beberapa tokoh intelektual yang masuk dalam daftar 100 intelektual publik yang berpengaruh di dunia yang di publikasikan dalam Majalah Prospect dan Majalah Foreign Policy pada tahun 2005 dan 2008. Contohnya, Abdolkarim Soroush yang menulis buku berjudul Reason, Freedom, & Democracy in Islam;37 Habermas dengan salah satu karyanya Theorie des kommunikativen Handelns (Band 2), Zur Kritik der funktionalistischen Vernunft;38 dan The Structural Transformation of the Publik Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society;39 Clifford Geertz dengan salah atu karyanya berjudul Local Knowledge;40 Yusuf Qardhawi dengan salah satu karya monumentalnya 2006, (Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010); Bashori A. Hakim (ed.), Pandangan Masyarakat terhadap Tindak Kekerasan Atas Nama Agama: Studi Hubungan antara Pemahaman Keagamaan dengan Tindak Kekerasan Atas Nama Agama, (Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010); Imam Syaukani (ed.), Kepuasan Jamaah Haji Terhadap Kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji Ahun 1430 H/2009 M,(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011); Ahmad Syafi’i Mufid (ed.) Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011). 36 Lihat, Kemenag RI, “Panduan Pelaksanaan Penelitian Kompetitif Kehidupan Keagamaan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Tahun 2013” (Jakarta: Badan Litbang dan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2013), p. 4-5. 37Lihat, Abdolkarim Soroush, Reason, Freedom, & Democracy in Islam (Oxford: University Press, 2000). 38 Jurgen Habermas, Theorie des kommunikativen Handelns (Band 2), Zur Kritik der funktionalistischen Vernunft, (Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 1988). 39Jurgen Habermas, The Structural Transformation of the Publik Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (Cambridge: MIT Press, 1989). 40 Clifford Geertz, Local Knowledge, (London: Fontana Press, 1993). SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 62 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... Dirasah Muqaranah li Ahkamihi wa Falsafatihi fi Dhau’ al-Qur’an wa alSunnah;41 dan lain sebagainya. Selain menjadi pejabat pemerintahan dan paroduktif melahrikan karya, seorang intelektual pun bisa berperan sebagai pemangku agama sekaligus. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh M. Amin Abdullah sebagai berikut: “…bahwa kemajuan ilmu pengetahuan, perkembangan intelektual dan mekarnya pengalaman kehidupan manusia (human experience), secara berlahan tapi pasti, akan bersentuhan dengan bangunan, struktur, dan isi (content) ilmu pengetahuan keagamaan”.42 Lihat saja misalanya, akhir-akhir ini banyak para dosen dan akademisi yang mulai membangun pesantren. Akhir-akhir ini pun banyak para pengasuh pondok pesantren di Indonesia yang memiliki gelar sarjana, bahkan tidak sedikit yang bergelar Doktor. Bahkan, sesepuh Pesantren Munawwir selain sebagai pengasuh pesantren, ia juga sebagai seorang penulis kamus terkenal, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia.43 Selain itu kita juga bisa menemukan kyai-kyai yang produktif dalam melahirkan karya tulis, sebut saja misalnya Gus Dur, Gus Mus, Sahal Mahfudz dan lainlainnya. Mereka bukan hanya dikenal sebagai pemangku agama semata, namun mereka juga dikenal secara global internasional. Karya-karya mereka di kenal secara luas. Bahkan tidak sedikit gagasan-gagasan pemikirannya mampu memberikan kontribusi dalam menyelesaikan problem-problem aktual kekinian, terutama mengenai isu-isu agama (pluralism) yang akhir-akhir ini hangat diperbincangkan. Walaupun dalam sejarah pernah, bahkan mungkin sebagian kalangan sampai saat ini masih menganggap bahwa hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan (Science), dalam hal ini para intelektual, baik pada wilayah keilmuan-teoritis maupun pada wilayah praksis-keberagamaan tidak bisa dipertemukan secara bersama. Keduanya memiliki hubungan yang kurang harmonis. Hampir sepanjang masa, dua bentuk disiplin dan cara pandang keilmuan ini senantiasa terlibat perseteruan, saling menonjolkan diri, saling sikut, saling hantam, dan saling berebut pengaruh di kalangan para 41 Yusuf Qardhawi, Dirasah Muqaranah li Ahkamihi wa Falsafatihi fi Dhau’ al-Qur’an wa al-Sunnah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2009). 42 M. Amin Abdullah, “Metode Kontemporer dalam Tafsir al-Qur’an: Kesalingterkaitan Asbab al-Nuzul al-Qadim dan al-Jadid dalam Tafsir al-Qur’an Kontemporer” dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 13, No. 1, 2011, p. 910. 43 Ahmad Warsono Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997). SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... 63 peminat keilmuan dan para penganut agama pada umumnya.44 Pertanyaan yang muncul adalah, apakah keduanya tidak bisa didamaikan dan disandingkan secara bersama? Hangatnya diskusi mengenai hubungan agama dan sains ini mengundang banyak perhatian para intelektual. Hal tersebut telah banyak memunculkan para intelektual dan cerdikcendekia untuk menawarkan gagasan-gagasannya terkait dengan hubungan agama dengan sains ini. Ada beberapa tokoh yang muncul dan menawarkan gagasanya. Diataranya adalah Ian G. Barbour,45 Rolston Holmes,46 Ebrahim Moosa,47 Ibrahim Kalin,48 dan M. Amin Abdulla.49 Menurut Amin Abdullah, hubungan antara agama dan sains setidaknya dapat dilihat dari empat sisi, yaitu:50 1. Conflict (Bertentangan). 2. Independence (Berdiri sendiri-sendiri; tak berhubungan; tidak bertegursapa). 3. Dialog (Berdialog; Berinteraksi, Bertegursapa). 4. Integration (Satu kesatuan yang utuh; saling memerlukan satu sama lain). Dari empat pandangan inilah hubungan antara agama dan sains bisa dilihat secara lebih cermat. Dan pada era sekarang setidaknya poin ke 3 dan ke 4 bisa menjawab tantangan zaman. Pada dasawarsa terakhir ini PTAI-PTAI yang ada di Tanah Air mencoba mempertemukan hubungan Agama dan Sains untuk mencari keharmonisan antara keduanya. Imam Iqbal, “Struktur Nalar di Balik Polemik Teologi dan Filsafat Islam: dari Konflik Ke Kerjasama, Menuju Appropriasi” Esensia Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol. 10, No. 1, Juli 2009, p. 63. 45 Ian G. Barbour, Isu dalam Sains dan Agama, terj. Damayanti dan Ridwan, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006). 46 Rolston Holmes, III, Science and Religion, A Critical Survey, (New York: Random House, 1987). 47Ebrahim Moosa, “Perjumpaan Sains dengan Yurinprudensi: Pelbagai Pandangan tentang Tubuh dalam Etika Islam Modern” dalam Ted Petters, Muzaffal Iqbal dan Syed Nomanul Haq (eds.), Tuhan, Alam, Manusia: Perspektif Sains dan Agama, terj. Ahsin Muhammad, Gunawan Admiranto dan Munir A. Muin (Bandung: PT Mizan, 2006). 48Ibrahim Kalin, “Tiga Pandangan tentang Sains di Dunia Islam”, dalam Ted Petters, Muzaffal Iqbal dan Syed Nomanul Haq (eds.), Tuhan, Alam, Manusia: Perspektif Sains dan Agama, terj. Ahsin Muhammad, Gunawan Admiranto dan Munir A. Muin (Bandung: PT Mizan, 2006). 49 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan IntegratifInterkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006); M. Amin Abdullah, “Mempertautkan keilmuan Ulum al-Diin, al-Fikr al-Islamiy, dan Dirasat al-Islamiyyah: Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban Global” dalam Marwan Saridjo (Peny.), Mereka Bicara Pendidikan Islam: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009). 50 Lihat, M. Amin Abdullah, “Ilmu, Agama dan Filsafat” dalam Draf Kuliah Filsafat Ilmu, Program S 3, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Juli 2013, h. 5. 44 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... 64 Pada awal tulisannya, Palmquist menceritakan kegelisahan akademiknya bahwa tidak bisakah para filusf ini yang kental sekali dengan dunia akademik semata sesekali terjun ke ranah publik dan secara langsung beruhubungan dengan masyarakat umum. Palmquist melihat, bahwa gagasan-gagasan para intelektual (filusf) seperti Kant ini bisa diterapkan dan digunakan oleh masayarakat awam sekalipun. Itu artinya bahwa Palmquist mengajak para intelektual untuk terjun ke ranah publik, berhubungan secara langsung dengan masyarakat luas. Menurut Kant, sebagaimana yang dijelaskan oleh Palmquist bahwa seorang filusf tidak hanya memiliki hak, namun juga memiliki kewajiban untuk melangkah ke luar ke ranah publik.51 Dari sinilah, hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan seharusnya bisa di damaikan. Keduanya seharusnya bisa saling melengkapi, bersinergi, berintegrasi satu sama lain dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik untuk masyarakat luas. Bagaimanakah seharusnya intelektual dan agama ini secara praksis berjalan secara bersamaan dan saling bersinergi satu salama lain? Jika dicermati, anatara teolog dan intelektual (filusf) sangat banyak memiliki potensial untuk dirukunkan dalam rangka menciptakan perdamaian yang lebih luas. Menurut Kant, hal ini dapat terwujud jika antara filsafat dan agama ini keduanya dipahami dengan cara yang benar agar tercerahkan.52 Bahkan Kant berpendapat seorang filusf sudah seharusnya berani mengambil peran aktif dalam ranah agama sehingga bisa membuat dampak yang signifikan bagi masyarakat luas.53 Begitupun sebaliknya seorang teolog tidak ada salahnya dalam kesempatan yang lain berperan sebagai seorang intelektual praktis. Artinya bahwa, seorang intelektual tidak hanya berdiam diri atau nyaman di zona aman akademik semata, namun seorang intelektual selain memiliki hak ia pun memiliki kewajiban untuk terjun ke ranah publik dan berhubungan secara langsung dengan masyarakat luas. Begitupun dengan para teolog yang selalu nyaman mengenakan “jubah keteologiannya”. Jika semakin banyak para itelektual yang ada diseluruh dunia ini menyadari bahwa dunia akademik bukanlah satu-satunya profesi yang dapat digeluti oleh para intelektual, melainkan para intelektual ini bisa terjun secara langsung ke dalam ranah publik yang berhubungan secara langsung dengan masayarakat umum tanpa harus meninggalkan status mereka sebagai akademisi. Dengan adanya kesadaran para intelektual ini untuk terjun ke ranah publik, maka masyarakat umum akan menjadi semakin bisa tercerahkan. Bahkan, jika agama memang menjadi fokus utama dalam kajian para intelektual, seharunya profesi alternatif lain yang Stephen R. Palmquist, “Philosophers in the Public Square”, p. 242. Ibid. 53 Ibid. 51 52 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... 65 bisa dijalankan oleh seorang intelektual adalah menjadi pemangku keagamaan. Dari sinilah, ada beberapa langkah yang dapat dijalankan oleh seorang intelektual agar dapat memainkan peran aktif dan positif dalam komunitas keberagamaan.54 Dimana langkah-langkah ini menurut penulis dapat diterapkan oleh para intelektual publik. Langkah-langka tersebut adalah pertama, langkah ini dilakukan oleh seorang intelektual dengan cara bergabung dan mendukung kelompok keagamaan dengan cara mendekat sedekat mungkin tanpa memegang posisi professional apapun dalam kelompok keagamaan tersebut. Kedua, jika seorang intelektual berharap dapat menciptakan perbedaan dan perubahan yang positif dalam komunitas keberagamaan dengan cara membawa pengetahuannya ke arena publik, maka langkah yang bisa dilakukan oleh seorang intelektual adalah dengan cara memegang posisi sebagai pemimpin agama formal. Kedua langkah tersebut bisa diambil atau dipilih bagi para intelektual yang ingin terjun secara langsung dalam ranah publik. Langkahlangkah tersebut dapat dijalankan oleh seorang intelektual agar dapat memainkan peran aktif dan positif dalam komunitas keberagamaan di tengah-tengah masyarakat. Seorang intelektual publik memiliki peran dan andil yang besar dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat secara lebih luas. Namun yang paling penting untuk dicermati ketika seorang intelektual ingin terjun ke ranah publik, termasuk dalam kehidupan keberagaman adalah menterjemahkan (men-translate) bahasa agama ke dalam bahasa publik. Pentingnya menterjemahkan bahasa agama ke dalam bahasa publik ini sangat memberikan pengaruh besar terhadap kerukunan dalam beragama. Karena jika bahasa agama dibawa ke arena publik secara mentah-mentah, tanpa “diterjemahkan”, bisa memberikan pengaruh terhadap keharmonisan keberagamaan. Lebih parah lagi jika membawa simbol-simbol kelompok agama tertentu ke arena publik, dimana dalam arena publik tersebut banyak terdapat bermacam-macam dan bentuk kelompok agama yang berbeda-beda. Untuk menyikapi perbedaan dalam keberagamaan, agar tidak menimbulkan keresahan maka pentingnya menterjemahkan bahasa agama sebelum di bawa ke dalam arena publik. Contohnya, di dalam Islam sendiri ada banyak aliran dan kelompok organisasi yang berbeda-beda dalam mengucapkan salam. Misalnya NU dengan Muhammadiyah sendiri saja sudah berbeda. Ketika seorang intelektual dari aliran atau kelompok organisasi tertentu, misalnya, memiliki cara mengucapkan salam yang berbeda dengan aliran atau kelompok organisasi lainya, maka ketika 54 Langkah-langkah yang penulis tawarkan ini terinspirasi dari gagasanya Palmquist. Lihat, Stephen R. Palmquist, “Philosophers in the Public Square”…, p.243244. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 66 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... seorang intelektual tersebut terjun ke dalam ranah publik, di mana di dalamnya telah diketahui banyak aliran atau kelompok organisasi lainnya yang hadir, maka seorang intelektual tersebut tidak perlu membawa “embel-embel” salamnya ke dalam ranah publik tersebut. Cukuplah mengucapkan salam secara global atau umum saja. Itulah yang dimaksud dengan menterjemahkan bahasa agama ke dalam bahasa publik. Itu hanyalah contoh ringan saja. Masih banyak lagi masalah-masalah keagamaan lainnya yang perlu diterjemahkan ketika akan dibawa ke dalam ranah publik. Seperti masalah moral, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, lingkungan dan lain-lainnya. E. Kesimpulan Dari pemaparan tersebut di atas, beberapa kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa yang dimaksud dengan intelektual publik adalah mereka yang mempunyai gagasan/pemikiran dan mampu menuangkannya serta menjadikan gagasan/pemikirannya tersebut terus hidup ditengahtengah masyarakat dan memiliki makna serta pengaruh positif bagi kehidupan. Sehingga, seorang intelektual tidaklah hanya terpaku kepada seorang filusf atau seorang akademisi semata. Namun, seorang mahasiswa (S1, S2, S3), santri, sufi, pemangku agama (kyai, pendeta, pastur, romo, biksu dll.), pendidik, guru, dosen, profesor, cendekiawan hingga budayawan atau bahkan masyarakat awam sekalipun juga bisa termasuk intelektual publik. Jadi pengertian intelektual publik sangat luas, tidak tertuju hanya pada seseorang atau golongan tertentu saja, mamun bisa mencakup siapa saja. Intelektual publik yang selama ini selalu identik dengan dunia akademik sudah seharusnya terjun dan berbaur dalam ranah publik agar dapat memberikan pengaruh positif bagi masyarakat luas. Seorang intelektual publik selain memiliki hak namun juga memiliki kewajiban untuk terjun dan berhubungan secara langsung dengan masayarakat umum, agar masyarakat umum dapat lebih tercerahkan. Intelektual publik bisa terlibat secara aktif dalam komunitas keagamaan atau bahkan dapat berperan langsung sebagai pemangku keagamaan tanpa harus meninggalkan statusnya sebagai seorang ilmuan/akademisi. Disamping itu, intelektual publik juga bisa berperan aktif dan produktif dalam penelitian dan melahrikan karya tulis yang mampu memberikan pengaruh besar dan kontribusi positif bagi masyarakat luas. Selain itu, teolog dan intelektual pun sudah saatnya untuk hidup harmonis dan berdampingan, saling membantu dan melengkapi satu sama lain. Seorang teolog dan intelektual sudah saatnya untuk berdialog; berinteraksi, bertegursapa dan ber-integration; menjadi satu kesatuan yang utuh, saling memerlukan satu sama lain guna mewujudkan kehidupan masyarakat yang sehat, damai, rukun, mandiri, SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... 67 berpendidikan. Begitupun sebaliknya, seorang teolog tidak ada salahnya dalam kesempatan yang lain berperan dalam komuitas intelektual tanpa meninggalkan “jubah” ke-teologiannya. Intelektual publik sudah saatnya berani mengambil peran aktif dalam ranah publik sehingga bisa membuat pengaruh positif bagi kehidupan dan masyarakat luas. Dengan demikian kehidupan dan masyarakat ini semakin sejahtera dan tercerahkan.[] SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 68 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin. “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Arah Integratif Interdisciplinary,” dalam Zainal Abidin Bagir dkk. ed.), Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, Bandung: Mizan Pustaka, 2005. ______, “Ilmu, Agama dan Filsafat” dalam Draf Kuliah Filsafat Ilmu, Program S 3, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Juli 2013. ______, “Mempertautkan keilmuan Ulum al-Diin, al-Fikr al-Islamiy, dan Dirasat al-Islamiyyah: Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban Global” dalam Marwan Saridjo (Peny.), Mereka Bicara Pendidikan Islam: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009. ______, “Metode Kontemporer dalam Tafsir al-Qur’an: Kesalingterkaitan Asbab al-Nuzul al-Qadim dan al-Jadid dalam Tafsir al-Qur’an Kontemporer” dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 13, No. 1, 2011. ______, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. ______, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Alexander, Jeffrey C.. “Public Intellectuals and Civil Society”. Paper prepared as the keynote address for “Public Intellectuals and Europe–European Public Intellectuals? Sociological Perspective” UCD Dublin, October 7-8, 2005. Do not quote without permission of author. Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 2000. Barbour, Ian G.. Isu dalam Sains dan Agama, terj. Damayanti dan Ridwan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006. Blum, J.D, Paul Von. “Paul Robeson: The Quintessential Public Intellectual” dalam The Journal of Pan African Studies, Vol. 2, No. 7, December 2008. Cummings, Dolan. “Introduction: Ideas, Intellectuals and the Public” dalam Critical Review of International Social and Political Philosophy, Vol. 6, No. 4, Winter 2003. Cusick, Carolyn M.. “Anna Julia Cooper, Worth, and Public Intellectuals” dalam Philosophia Africana, Vol. 12, No. 1, March 2009. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... 69 Dobrin, Sidney I.. “Race and the Public Intellectual: A Conversation with Michael Eric Dyson” (ttp: tt.). Eliaeson, Sven. and Ragnvald Kalleberg (ed.), Academics as Public Intellectuals, Newcastle: Cambridge Scholars Publishing, 2008. Etzioni, Amitai. “Reflections of a Sometime-Public Intellectual” dalam Symposium: Public Intellectuals, (ttp: tt.). Faimau, Gabriel. “NTT dan Intelektual Publik” dalam Journal of NTT Studies 1 (2), 2009. Fuller, Steve. “the Public Intellectual as Agent of Justice: In Search of a Regime” Philosophy and Rhetoric, Vol. 39, No. 2, 2006. Geertz, Clifford. Local Knowledge, London: Fontana Press, 1993. Geraghty, Karen E.. “The Bioethicist as Public Intellectual” dalam The American Journal of Bioethics, Vol. 4, No. 1, 2004. Habermas, Jurgen. The Structural Transformation of the Publik Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, Cambridge: MIT Press, 1989. ______, Theorie des kommunikativen Handelns (Band 2), Zur Kritik der funktionalistischen Vernunft, Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 1988. Hakim (ed.), Bashori A.. Pandangan Masyarakat terhadap Tindak Kekerasan Atas Nama Agama: Studi Hubungan antara Pemahaman Keagamaan dengan Tindak Kekerasan Atas Nama Agama, Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010. Hardiman (ed.), F. Budi. Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokrasi dari Polis Sampai Cyberspace, Yogyakarta: Kanisius, 2010. Hitchens, Christopher. “How to be a Public Intellectual” dalam Prospect Magazine, Issue 146, May 2008. Holmes, Rolston. III, Science and Religion, A Critical Survey, New York: Random House, 1987. http://en.wikipedia.org/wiki/FP_Top_100_Global_Thinkers http://www. foreignpolicy.com/story/cms.php?story_id =4293. https://susansutardjo.wordpress.com/tag/pengaruh-kant-pada-psikologi Iqbal, Imam. “Struktur Nalar di Balik Polemik Teologi dan Filsafat Islam: dari Konflik Ke Kerjasama, Menuju Appropriasi” Esensia Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol. 10, No. 1, Juli 2009. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 70 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... Issitt, John. and Duncan Jackson, “What does it mean to be a public intellectual?” Tp.p. Tp.t. Maret, 2013. Kalin, Ibrahim. “Tiga Pandangan tentang Sains di Dunia Islam”, dalam Ted Petters, Muzaffal Iqbal dan Syed Nomanul Haq (eds.), Tuhan, Alam, Manusia: Perspektif Sains dan Agama, terj. Ahsin Muhammad, Gunawan Admiranto dan Munir A. Muin, Bandung: PT Mizan, 2006. Kemenag RI, “Panduan Pelaksanaan Penelitian Kompetitif Kehidupan Keagamaan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Tahun 2013” Jakarta: Badan Litbang dan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2013. Kustini (ed.), Peranan Forum Kerukunan Umat Beragama dalam Pelaksanaan Pasal 8, 9, Dan 10 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010. Lowi, Theodore J.. “Public Intellectuals and the Public Interest: Toward a Politics of Political Science as a Calling” dalam Symposium: Public Intellectuals, (ttp: tt.). M. Nuh (ed.), Nuhrison. Aliran-aliran Keagamaan Aktual di Indonesia, Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010. McLaughlin, “Sociology’s Public Intellectual” Canadian Journal of Sociology Online May-June 2002. Moosa, Ebrahim. “Perjumpaan Sains dengan Yurinprudensi: Pelbagai Pandangan tentang Tubuh dalam Etika Islam Modern” dalam Ted Petters, Muzaffal Iqbal dan Syed Nomanul Haq (eds.), Tuhan, Alam, Manusia: Perspektif Sains dan Agama, terj. Ahsin Muhammad, Gunawan Admiranto dan Munir A. Muin, Bandung: PT Mizan, 2006. Morris, Lorenzo. “Rules for Public Intellectuals” dalam Symposium: Public Intellectuals, (ttp: tt.). Mufid (ed.), Ahmad Syafi’i. Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di Indonesia, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011. Munawwir, Ahmad Warsono. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Oslender, Ulrich. “The Resurfacing of the Public Intellectual: Towards the Proliferation of Public Spaces of Critical Intervention” dalam SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... 71 ACME: An International E-Journal for Critical Geographies, Vol. 6, No. 1. Palmquist, Stephen R.. “Philosophers in the Public Square: A Relegious Resolution of Kant’s Conflict”, dalam M. Amin Abdullah, “Bahan Ajar Kuliah Program Doktor Islamic Studies” PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013. Qardhawi, Yusuf. Dirasah Muqaranah li Ahkamihi wa Falsafatihi fi Dhau’ alQur’an wa al-Sunnah, Kairo: Maktabah Wahbah, 2009. Sitorus, Fitzerald K.. “Masyarakat Warga dalam Pemikiran G. W. F. Hegel” dalam F. Budi Hardiman, Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokrasi dari Polis sampai Cyberspace, Yogyakarta: Kanisius, 2010. Soroush, Abdolkarim. Reason, Freedom, & Democracy in Islam, Oxford: University Press, 2000. Syaukani (ed.), Imam. Kepuasan Jamaah Haji Terhadap Kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji Ahun 1430 H/2009 M, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 72 M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik... SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… 73 Kejahatan Terhadap Nyawa: Sejarah dan Perkembangan Pengaturannya dalam Hukum Pidana Indonesia Oleh: Ahmad Bahiej * Abstract As a crime that is considered the most ancient and earliest performed by human beings, crimes against life or murder and then setted it’s penalties. In the history of the law known to man in the world, there are rules on the prohibition of crimes against this life. This suggests that the basic human instinct of all the nations of the world consider that taking the life of others is an act in violation of the value of justice in humanity itself. Crimes against life set out in Chapter XIX of the Indonesian Criminal Code entitled "Crimes against Life" which consists of various types of crime, namely murder, murder by weighting, murder, murder of a baby by his mother, infanticide by mothers with the plan, the murder at the request of victims themselves, advocacy for suicide and abortion. In the draft Indonesian Penal Code 2010, there are some differences or developments in the regulation of criminal murder, which does not explicitly mention the word "deliberate", a special formulation of minimum criminal penalty and the maximum specific and formulated alternative sanctions to criminal penalties. In addition, in the draft Indonesian Penal Code 2010 also regulates the bill on crimes such as the murder of the mother, father, son, wife, or husband with the threat of criminal offenses take more weight than ordinary murder. Key words: murder, a crime against life, the Indonesian criminal law, criminal law reform Indonesia, Penal Code Bill Abstrak Sebagai sebuah kejahatan yang dianggap paling kuno dan paling awal dilakukan oleh manusia, kejahatan terhadap nyawa atau pembunuhan kemudian diatur tentang ancaman hukumannya. Dalam sejarah hukum yang dikenal manusia di dunia, terdapat aturan tentang larangan kejahatan terhadap nyawa ini. Hal ini menunjukkan bahwa naluri dasar kemanusiaan semua bangsa di dunia menilai bahwa menghilangkan nyawa orang lain adalah perbuatan yang dianggap melanggar nilai keadilan dalam diri manusia itu sendiri. Kejahatan terhadap nyawa diatur dalam Bab XIX KUHP dengan judul “Kejahatan terhadap Nyawa” yang terdiri dari berbagai macam jenis tindak pidana, yaitu pembunuhan biasa, pembunuhan dengan pemberatan, pembunuhan berencana, pembunuhan bayi oleh ibunya, pembunuhan bayi oleh ibunya dengan rencana, pembunuhan atas permintaan korban Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. E-mail: [email protected] * SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 74 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… sendiri, penganjuran untuk bunuh diri, dan pengguguran kandungan. Dalam RUU KUHP 2010, terdapat beberapa perbedaan atau perkembangan dalam pengaturan tindak pidana pembunuhan ini, yaitu tidak disebutkannya secara eksplisit kata “sengaja”, dirumuskannya ancaman pidana minimum khusus dan maksimal khusus, serta sanksi dirumuskan secara alternatif dengan pidana denda. Di samping itu, di dalam RUU KUHP 2010 diatur pula tentang tindak pidana pembunuhan terhadap orang tertentu seperti ibu, bapak, anak, istri, atau suaminya dengan ancaman pidana yang lebuh berat daripada tindak pidana pembunuhan biasa. Kata kunci: pembunuhan, kejahatan terhadap nyawa, hukum pidana Indonesia, pembaharuan hukum pidana Indonesia, RUU KUHP A. Pendahuluan Tindak pidana terhadap nyawa merupakan salah satu tindak pidana yang paling awal dilakukan oleh manusia. Dalam sejarah munculnya manusia di muka bumi yang termaktub dalam kitab-kitab agama menyebutkan bahwa anak Adam dan Hawa, yaitu Qabil1 melakukan pembunuhan terhadap Habil2, saudara laki-lakinya.3 Dalam al-Qur’an, kisah pembunuhan Qabil terhadap Habil diceritakan dalam surat AlMaidah (5) ayat 27-30 yang artinya kurang lebih sebagai berikut. “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari 1 Nama lain Qabil adalah "Kain" dari קי ִן ַ / ; ָקי ִןdalam transliterasi Ibrani standar, Qáyin sementara dalam Bahasa Ibrani Tiberias Qáyin / Qāyin. www.id.wikipedia.org, akses 29 Agustus 2012. 2 "Habel" dari הבֶל ֶ / ; ָהבֶלdalam transliterasi Ibrani standar, Hével / Hável, dan dalam Bahasa Ibrani Tiberias Héḇel / Hāḇel. Dalam Al-Qur'an, Habel disebut Hābīl ( ;)هابيلKain tidak disebutkan namanya dalam Al-Qur'an, meskipun tradisi Islam mencatat namanya Qābīl ()قابيل. Kain disebut Qayen (ቃየን) dalam versi Ethiopia dari Kitab Kejadian, meskipun dalam beberapa tempat lainnya seperti Surat Yudas 1:11, ia disebut dengan variannya Qayel (ቃየል), dan dengan nama ini ia lebih sering disebut dalam khotbah-khotbah. Sebagian orang telah mengusulkan bahwa nama Habel harus diidentifikasikan dengan kata dalam bahasa Asyur “aplu”, yang semata-mata berarti "anak lelaki". www.id.wikipedia.org, akses 29 Agustus 2012. 3 Qabil dan Habil adalah anak pertama, dan kedua dari pasangan pertama Adam dan Hawa, yang dilahirkan setelah bumi setelah melakukan larangan Tuhan. Dalam Alkitab, anak Adam dan Hawa yang lain yang disebut adalah Set. Cerita mereka dikisahkan dalam Alkitab Ibrani atau Perjanjian Lama di Alkitab Kristen, yaitu dalam Kitab Kejadian pasal 4 dan dalam Al-Qur'an dalam Surah 5:27-32. Dalam kedua versi ini Qabil melakukan pembunuhan yang pertama dengan membunuh saudaranya setelah Allah menolak korbannya, tetapi menerima korban Habil. Kitab Kejadian memberikan tekanan pada pekerjaan kedua saudara ini; Habil menggembalakan ternak, sementara Kain seorang petani. www.id.wikipedia.org, akses 29 Agustus 2012. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… 75 yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!.” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.” “Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam.” “Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zhalim.” Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.”4 Beberapa ilustrasi kuno tentang pembunuhan Qabil/Kail terhadap Habil/Habel digambarkan oleh bangsa Barat kuno sejak abad ke-15 berdasarkan kisah yang diceritakan dalam kitab suci agama Nasrani maupun Yahudi. Dalam Alkitab, khususnya dalam Kitab Kejadian (4:1-17) memberikan gambaran singkat tentang kedua saudara ini. Dikatakan bahwa Qabil/Kain adalah seorang petani yang mengolah tanahnya, sementara adiknya Habel adalah seorang gembala. Suatu hari mereka mempersembahkan kurban kepada Allah. Kain mempersembahkan buah-buahan dan gandum dan padi, sementara Habel mempersembahkan domba yang gemuk, anak domba, atau susu, seperti yang dikatakan oleh Yosefus dari hasil pertama ternaknya. Karena Allah tidak mau menerima apapun yg tumbuh dari bumi maka Allah tidak menerima persembahan kain, Allah menerima kurban Habel, dan karena itu Kain membunuh Habel, karena alasan yang juga tidak dijelaskan, seringkali dianggap sebagai sekadar rasa iri karena Allah pilih kasih. Cerita ini berlanjut dengan Allah yang mendekati Kain dan menanyakan di mana Habel berada. Jawaban Kain yang kemudian menjadi ucapan yang sangat terkenal ialah, " Apakah aku penjaga adikku?". Allah melihat bahwa Kain mencoba menipu, karena "Darah [Habel] adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah". Allah mengutuk Kain untuk mengembara di muka bumi. Kain ketakutan bahwa ia akan dibunuh orang lain di muka bumi dan dalam rasa takutnya itu ia memohon kepada Allah, dan karena itu Allah memberikan kepadanya tanda pada wajah Kain sehingga ia tidak akan dibunuh, sambil berkata bahwa "barangsiapa yang membunuh Kain akan dibalaskan kepadanya tujuh kali lipat." Lalu Kain pergi, "ke negeri pengembaraan". Terjemahan-terjemahan lainnya menyebutkan bahwa ia pergi "ke Tanah Nod", yang umumnya dianggap sebagai kekeliruan terjemahan dari kata Ibrani Nod, yang artinya pengembaraan. Meskipun ia dikutuk untuk hidup mengembara, Kain belakangan disebutkan mempunyai keturunan, dan mendirikan sebuah kota yang dinamainya Henokh, sesuai dengan nama anaknya. www.id.wikipedia.org, akses 29 Agustus 2012. 4 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… 76 Lukisan Kain dan Habel di Katedral Santo Bavo (1432) dan di Speculum Humane Salvationis, Jerman (abad ke-15). Sumber www.id.wikipedia.org Setelah terjadi pembunuhan tersebut, al-Qur’an tidak menyebutkan hukuman yang ditimpakan kepada Qabil selaku pembunuh. Namun athThabari menjelaskan dalam Qisas al-Anbiya bahwa Qabil kemudian melarikan diri dari ayahnya (Adam) menuju Yaman.5 Versi yang lain menyebutkan bahwa Qabil mengembara di muka bumi sebagai bentuk hukuman karena pembunuhan itu. Lukisan Fernand-Anne Piestre Cormon yang berjudul "Kain melarikan diri karena Kutuk Yahweh " (sekitar 1880, Musée d'Orsay, Paris. Sumber: www.id.wikipedia.com) B. Sejarah Pengaturan Kejahatan terhadap Nyawa Sebagai sebuah kejahatan yang dianggap paling kuno dan paling awal dilakukan oleh manusia, kejahatan terhadap nyawa atau pembunuhan kemudian diatur tentang ancaman hukuman bagi si pembunuh. Dalam sejarah hukum yang dikenal manusia di dunia, terdapat aturan tentang 5 Kisah Habil dan Qabil, hermadut.blogspot.com, akses 29 Agustus 2012. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… 77 larangan kejahatan terhadap nyawa ini. Hal ini menunjukkan bahwa naluri dasar kemanusiaan semua bangsa di dunia menilai bahwa menghilangkan nyawa orang lain adalah perbuatan yang dianggap melanggar nilai keadilan dalam diri manusia itu sendiri. Namun demikian, Kode Hammurabi6 yang dianggap sebagai aturan hukum pertama kali di dunia ternyata sama sekali tidak menyebutkan hukuman bagi pembunuhan, walaupun pidana mati sering kali dijatuhkan.7 Kode Hammurabi hanya menyebutkan bahwa “if a man put out the eye of another man, his eye shall be put out. [an eye for an eye].If he break another man's bone, his bone shall be broken.”8 Ketentuan yang dikenal dengan istilah lex talionis ini dikenal pula dalam hukum Yahudi (Musa) yaitu eye an eye. Larangan membunuh dalam hukum Yahudi dan Kristen tercantum pula dalam sepuluh perintah Tuhan.9 Mengenai larangan membunuh ini, tidak ada perbedaan antara ajaran dalam agama Yahudi, Ortodoks, Katolik Roma, Katolik Lutheran, Anglikan, Reformasi, dan Protestan lain.10 Hukum tentang pembunuhan yang dibawa oleh Nabi Musa dicantumkan dalam Kitab Keluaran Pasal 21: “Sesungguhnya barangsiapa memukul manusia dan (mengakibatkan manusia itu) mati, maka ia harus dibunuh. Dan jika orang laki-laki berlaku aniaya terhadap laki-laki lain sehingga ia membunuhnya secara licik, maka engkau harus mengambil dari mazbah-ku agar orang itu dibunuh. Barangsiapa memukul ayah dan ibunya, maka ia harus dihukum mati. Jika terjadi penganiayaan, maka balaslah jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, gigi dengan Kode Hammurabi adalah kode hukum Babilonia, tertanggal 1700 SM Kode ini adalah salah satu tulisan tertua di dunia yang diuraikan secara panjang dan signifikan. Raja Babilonia keenam, Hammurabi (memerintah 1792-1750 SM), membuat kode itu di batu seukuran manusia yang berbentuk tablet dari tanah liat. Kode ini terdiri dari 282 pasal undang-undang dan ditulis dalam bahasa Akkadia, menggunakan cuneiform script yang diukir pada prasasti tersebut. Saat ini Kode Hammurabi dipamerkan di Louvre, Paris. 7 Claude Hermann Walter Johns, Babylonian Law-The Code of Hammurabi, Lillian Goldman Law Library, Yale Law School, http://avalon.law.yale.edu. Akses 29 Agustus 2012. 8 Lihat Pasal 196 dan 197 Kode Hammurabi, The Code of Hammurabi, Lillian Goldman Law Library, Yale Law School, http://avalon.law.yale.edu. Akses 29 Agustus 2012. 9 Sepuluh perintah Tuhan atau bahasa Latinnya Dekalog (δέκα λόγοι) adalah daftar perintah agama dan moral, yang merupakan sepuluh perintah yang ditulis oleh Tuhan dan diberikan kepada bangsa Israel melalui perantaraan Nabi Musa di gunung Sinai dalam bentuk dua loh (tablet) batu. Sepuluh Perintah Allah, www.id.wikipedia.org. Akses 29 Agustus 2012. 10 Ibid. 6 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… 78 gigi, tangan dengan tangan, kaki- dengan kaki, luka dengan luka, relah (dibalas) dengan rela”.11 Dalam hukum yang dibawa Nabi Isa sebagian berpendapat bahwa hukuman mati bagi pembunuh tidak ada dasarnya sama sekali. Mereka berargumen dengan kitab kelima yang memuat sabda Nabi Isa: “Janganlah engkau membalas kejahatan dengan kejahatan, akan tetapi jika seseorang menempeleng pipi kananmu maka berilah juga pipi kirimu. Dan (jika) ada orang yang memusuhimu dan mengambil bajumu, maka berikanlah baju itu kepadanya. Dan (jika) ada orang yang menghinamu satu mil, maka pergilah bersamanya sejauh dua mil”.12 Pendapat ini didukung oleh asy-Syafi’i dalam kitabnya al-Um yang menyatakan bahwa bagi kaum Injil (Nasrani) diwajibkan memaafkan pembunuh dan tidak membunuhnya.13 Sebagian yang lain berpendapat bahwa hukum yang dibawa Nabi Isa mengenal adanya pidana mati dengan berdasar pada apa yang telah diucapkan oleh Nabi Isa: “Aku tidak datang untuk menghapuskan an-namūs (aturan hukum yang telah ada sebelumnya), namun aku datang untuk menyempurnakannya”.14 Hal ini berarti hukum yang dibawa Nabi Isa tidak menghapuskan hukum yang dibawa Nabi Musa dalam kitab Taurat yang diturunkan lebih dahulu, namun lebih pada penyempurnaan. Pandangan demikian juga selaras dengan al-Qur’an dalam surat Ali Imran ayat 50. Muhammad Abduh juga menyatakan bahwa pidana qisas merupakan keharusan bagi kaum Yahudi, diyat merupakan keharusan bagi kaum Nasrani, dan alQur’an berada di tengah-tengahnya yakni qisas dapat dilaksanakan jika pihak keluarga korban menghendakinya atau keluarga dapat menerima diyat jika ia memaafkannya. Namun pendapat Muhammad Abduh tentang adanya pemaafan dalam syariat Nasrani ini ditolak oleh salah seorang muridnya, Rasyid Rida, karena pernyataan ini tidak disebutkan dalam kitab Injil. Kitab Injil hanya menyebutkan wasiat agar memudahkan dan memberi maaf serta membalas kejahatan dengan kebaikan. Dengan demikian, adanya syariat diyat dalam Nasrani bertentangan dengan adanya ketentuan ini.15 Sedangkan dalam ajaran agama Islam, pembunuhan merupakan salah satu jinayah (tindak pidana) yang pelakunya dapat dikenai hukuman kisas atau diyat. Penentuan pidana kisas-diyat sebagai pidana bagi As-Sayyid as-Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), p. 431. Ibid. 13 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, tth.), p. 279. 14 As-Sayyid as-Sabiq, Fiqh as-Sunnah, p. 432. 15 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam, p. 279. 11 12 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… 79 pembunuhan dalam hukum pidana Islam berdasar atas beberapa ayat alQur’an antara lain pada surat al-Baqarah ayat 178-179, Surat an-Nisa ayat 92 dan 93, dan Surat al-Maidah ayat 43. Surat al-Baqarah ayat 178-179 menjelaskan tentang sanksi pidana yang dapat diberikan kepada pelaku pembunuhan sengaja, yaitu pertama, diberikan sanksi pidana qisas yang setara kepada pelaku pembunuhan tersebut. Kedua, pemberian maaf dari keluarga korban terhadap pelaku pembunuhan. Jika ada pemaafan dari pihak korban, maka pelaku pembunuhan cukup membayar diyat (ganti rugi) kepada keluarga korban. Pada akhir ayat ini Allah kemudian menutupnya dengan adanya warning agar kaum beriman tidak melampaui batas. Tindakan-tindakan yang melampaui batas dan mencerminkan ketidakadilan seringkali terjadi sebelum turunnya ayat ini. Sebagai contoh jika terjadi pembunuhan antara anggota kaum Yahudi Bani Quraizah dengan Bani Nazir. Bani Nazir yang memposisikan derajatnya lebih tinggi daripada Bani Quraizah beranggapan bahwa jika ada anggota Bani Nazir yang membunuh salah seorang anggota Bani Quraizah, maka tidak dibalas dengan pidana mati (qisas), namun cukup dibayar dengan denda seratus wasaq kurma.16 Sebagai gambaran, 1 wasaq sama dengan 60 gantang.17 Jika 1 gantang sama dengan 3,125 kg18 maka Bani Nazir kurang lebih membayar 18.750 kg (18,75 ton) kurma kepada Bani Quraizah. Namun sebaliknya, jika anggota Bani Quraizah membunuh salah seorang anggota Bani Nazir, maka Bani Quraizah diwajibkan membayar denda dua kali lipat, yaitu sebanyak 200 wasaq (± 37,5 ton) kurma. Awal ayat pertama menjelaskan pula bahwa hukuman qisas harus dilaksanakan secara sepadan dengan kalimat yang terjemahnya “…orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita…”. Pada masa Arab Jahiliyyah sering terjadi peperangan antar suku dan mengakibatkan adanya jatuh korban di kedua belah pihak, termasuk di dalamnya kaum wanita dan para budak. Pada saat suku-suku itu menyatakan keislamannya, banyak di antara mereka yang belum melakukan tuntutan. Di lain pihak, masih adanya anggapan bahwa sukunya lebih mulia daripada suku yang lain. Oleh karena itu, di antara mereka ada yang menuntut agar budak-budak mereka yang terbunuh 16 Ibn Katsir, "Tafsir Ibn Katsir", dalam al-Qur'an al-Karīm, 1997, Sakhr, CD ROM, I: 210 17 Adib Bisri, Kamus Al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), p. 778. 18 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), p. 291. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 80 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… dibayar dengan orang-orang yang merdeka dan wanita yang terbunuh dibayar dengan laki-laki.19 Sedangkan surat an-Nisa ayat 92 dan 93 menjelaskan kepada kaum beriman tentang pembunuhan yang dilakukan tanpa adanya unsur kesengajaan. Sanksi pidana bagi pembunuhan tidak sengaja adalah memerdekakan hamba sahaya (budak) yang beriman sebagai kaffarah (penebus dosa) serta diwajibkan membayar diyat atau ganti rugi kepada keluarga korban. Terdapat dua kategori sanksi pidana dalam ayat pembunuhan tidak sengaja ini, yaitu: a. jika korban adalah dari kaum mukmin, namun bermusuhan dengan pelakunya, maka pidana hanya berupa kaffarah yaitu memerdekakan hamba sahaya. b.jika korban adalah orang kafir yang telah ada perjanjian damai dengan kaum mukmin, dikenakan pidana ganda, yaitu membayar diyat atau ganti rugi kepada keluarga korban serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin sebagai kaffarah-nya. Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai asbāb an-nuzūl (sebabsebab turun) ayat ini.20 Menurut Mujahid ayat ini turun berkenaan dengan kasus ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah, saudara seibu dari Abu Jahal, yang membunuh al-Haris bin Yazid al-Ghamidy. Pada saat ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah masuk Islam, dia disiksa oleh Abu Jahal dan al-Haris bin Yazid alGhamidy. Al-Haris bin Yazid al-Ghamidy kemudian masuk Islam dan mengikuti Nabi hijrah ke Madinah. Namun ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah tidak mengetahui hal itu. Pada saat penaklukan kota Makkah (fath al-Makkah) ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah melihat al-Haris bin Yazid al-Ghamidy dan dia menyangka bahwa al-Haris bin Yazid al-Ghamidy masih kafir. Kemudian ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah membunuh al-Haris bin Yazid al-Ghamidy. Sedangkan Abdurrahman bin Yazid bin Aslam berpendapat bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kasus Abi Darda’ yang telah membunuh seseorang.21 Sebelum orang tersebut terbunuh, ketika Abi Darda’ sedang mengangkat pedangnya, orang tersebut mengucapkan kalimat al-īman (syahadat). Abi Darda’ tidak menghiraukan dan tetap membunuhnya. Kejadian tersebut kemudian diceritakan kepada Nabi dengan ditambahi bahwa orang yang terbunuh itu mengucapkan kalimat al-īmān agar ia terhindar dari pembunuhan. Nabi kemudian bertanya kepada Abi Darda’, “Hal syaqaqta ‘an qalbihi?” (“Apakah Engkau telah membedah hatinya?”). 19 Ibn Katsir, "Tafsir Ibn Katsir; ‘Ali ash-Shabuni, Rawāi' al-Bayān Tafsīr Ayāt alAhkām min al-Qur'ān, (Damaskus: Maktabah al-Ghazali, tth.), p. 171-172. 20 Ibid. 21 Ibid. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… 81 Pertanyaan ini merupakan pertanyaan retoris Nabi kepada Abi Darda’ bahwa seseorang tidak akan dapat mengetahui isi hati orang lain. Menurut Ibn Katsir, surat al-Maidah ayat 45 juga menyerang kaum Yahudi yang telah mengubah hukum Tuhan dalam kitab Taurat dengan memberlakukan hukum yang tidak adil.22 Bentuk ketidakadilan kaum Yahudi adalah dengan sengaja dan menentang dan memberlakukan pidana denda bagi Bani Nazir jika membunuh Bani Quraizah. Namun memberlakukan pidana mati bagi Bani Quraizah jika membunuh anggota Bani Nazir. Bentuk pengubahan hukum oleh kaum Yahudi ini sebagaimana terjadi dalam pemidanaan rajam bagi pezina muhsan yang diganti dengan sanksi pidana dera, mempermalukan dengan dibedaki hitam, dan diarak keliling pasar. Oleh karena itu, Allah menutup ayat ini dengan kalimat barangsiapa tidak menghukumi menurut apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka termasuk orang-orang yang dzalim. Dalam tradisi hukum Barat modern, Kode Penal dianggap sebagai kodifikasi hukum pidana modern dan menjadi induk bagi hukum pidana terutama di negara-negara yang menganut Civil Law System, termasuk di Indonesia.23 Kode Penal Perancis yang dibuat pertama kali tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Perancis mengatur tentang kejahatan terhadap nyawa dalam Buku III tentang Crimes and Delicts, and their Punishment yang ditetapkan pada 17 Februari 1810 dan diumumkan pada 27 Februari 1810. Bab I Buku III Kode Penal tersebut mengatur tentang pembunuhan dan ancaman pidananya dalam Bagian I pada Pasal 295-308.24 Ibid. Sumber hukum pidana Indonesia saat ini, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), merupakan warisan kolonial Belanda yang bernama asli Wetboek van Strafrecht vor Nederlandsch Indie (WvSNI) dan berganti nama setelah Indonesia merdeka menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS) dan kemudian berdasar UU Nomor 1 Tahun 1946 bisa dibaca dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Negara Belanda pertama kali membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809 saat pemerintahan Lodewijk Napoleon. Kodifikasi hukum pidana Belanda pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Perancis menjajah Belanda dan memberlakukan Penal Code (kodifikasi hukum pidana). Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Penal Code itu sampai tahun 1886. Setelah perginya Perancis pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan hukum pidananya (Penal Code) selama kurang lebih 68 tahun (sampai tahun 1881). 24 The Napoleon Series, France Penal Code: Book The Third of Crimes and Delitcs, and Their Punishment, transcribed by Tom Holmberg, www.napoleon-series.org. Akses 29 Agustus 2012. 22 23 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… 82 Dalam Kode Penal tersebut, kehajatan pembunuhan terdiri dari beberapa jenis, yaitu: a. Pembunuhan berencana; b. Pembunuhan terhadap orang tua (ayah/ibu); c. Pembunuhan bayi; d. Pembunuhan dengan peracunan dan penyiksaan/kebiadaban. Sanksi pidana bagi pembunuh diatur dalam Pasal 304 yaitu murder shall be punished with death, whenever it shall have preceded, accompanied, or followed any other crime or delict. Dalam kasus yang lain, seseorang yang bersalah karena membunuh dipidana dengan kerja keras terus-menerus (perpetual hard labour). Selain itu, yang menarik lain dalam Kode Penal Perancis ini adalah disebutkannya jenis sanksi pidana lain bagi kejahatan pembunuhan, yaitu penjara dan denda (lengkap dengan ancaman maksimum dan minimumnya), serta sanksi pidana pengawasan. Dengan demikian, sanksi pidana yang diterapkan dalam kejahatan terhadap nyawa dalam Kode Penal Perancis adalah sebagai berikut. a. Mati; b. Penjara; c. Denda; d. Pengawasan. Sedangkan dalam sejarah tradisi hukum di Nusantara, pengaturan tentang kejahatan terhadap nyawa telah diatur dalam perundang-undangan kerajaan Majapahit (1293-1500 M) yaitu dalam Kitab Kutaramanawa atau Kutaramana-wadharmasastra.25 Bab II Kitab Kutaramanawa mengatur tentang delapan macam pembunuhan yang disebut dengan astadusta, yaitu: 1. Membunuh orang yang tidak berdosa; 2. Menyuruh bunuh orang yang tidak berdosa; 3. Melukai orang yang tidak berdosa; 4. Makan bersama dengan pembunuh; 5. Mengikuti jejak pembunuh; 6. Bersahabat dengan pembunuh; 7. Memberi tempat kepada pembunuh; 8. Memberi pertolongan kepada pembunuh. Sanksi yang dikenakan terhadap tiga yang pertama (membunuh, menyuruh pembunuhan, dan melukai orang yang tidak berdosa) adalah pati. Ketiga dusta tersebut dikenal dengan istilah dusta bertaruh jiwa. Jika memang yang terbukti bersalah mengajukan permohonan hidup kepada Kutaramanawa atau Kutaramana-wadharmasastra adalah Kitab perundang-undangan yang dipakai pada jaman kerajaan Majapahit. Kitab ini tertera dalam prasasti Bendasari dan Trowulan yang berangka tahun 1358. 25 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… 83 raja yang berkuasa, ketiga-tiganya dikenakan denda empat laksa masingmasing sebagai syarat penghapus dosanya. Sedangkan yang lima lainnya (makan bersama pembunuh, mengikuti jejak pembunuh, memberi tempat, bersahabat, dan menolong pembunuh) sanksinya berupa uang. C. Kejahatan terhadap Nyawa dalam Hukum Pidana Indonesia Menurut W.J.S. Poerwadarminta, pembunuhan secara terminologi adalah perkara membunuh; perbuatan (hal, dsb) membunuh.26 Sedangkan dalam istilah KUHP, pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain.27 Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka tindak pidana pembunuhan dianggap sebagai delik material bila delik tersebut selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh Undang-undang.28 Kejahatan terhadap nyawa diatur dalam Bab XIX KUHP dengan judul “Kejahatan terhadap Nyawa”.29 Bab XIX ini terdiri dari Pasal 338 s.d. Pasal 350 yang terdiri dari berbagai macam jenis tindak pidana, yaitu: a. Pembunuhan Biasa (Pasal 338 KUHP) Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP ini merupakan tindak pidana dalam bentuk yang pokok, yaitu delik yang telah dirumuskan secara lengkap dengan semua unsur-unsurnya.30 Adapun rumusan Pasal 338 KUHP adalah “barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama limabelas tahun”. Dari ketentuan dalam pasal tersebut, maka unsur-unsur dalam pembunuhan biasa adalah sebagai berikut. 1. Unsur subyektif: perbuatan dengan sengaja 2. Unsur obyektif: perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain. “Dengan sengaja” artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus) yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah terbentuk tanpa direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud sengaja dalam Pasal 340 adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. 5 (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), p. 169. 27 P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus, cet. 1 (Bandung: Bina Cipta, 1986), p. 1. 28 Ibid. 29 Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), p. xvii. 30 P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus, p. 17. 26 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… 84 menghilangkan nyawa orang lain yang terbentuk dengan direncanakan terlebih dahulu.31 Unsur obyektif yang pertama dari tindak pembunuhan yaitu “menghilangkan”. Unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan, artinya pelaku harus menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan menghilangkan tersebut, dan ia pun harus mengetahui, bahwa tindakannya itu bertujuan untuk menghilangkan nyawa orang lain.32 Berkenaan dengan “nyawa orang lain” maksudnya adalah nyawa orang lain dari si pembunuhan. Terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi soal, meskipun pembunuhan itu dilakukan terhadap bapak/ibu sendiri, termasuk juga pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP. Dari pernyataan ini, maka KUHP tidak mengenal ketentuan yang menyatakan bahwa seorang pembunuh akan dikenai sanksi yang lebih berat karena telah membunuh dengan sengaja orang yang mempunyai kedudukan tertentu atau mempunyai hubungan khusus dengan pelaku.33 Berkenaan dengan unsur nyawa orang lain juga, melenyapkan nyawa sendiri tidak termasuk perbuatan yang dapat dihukum, karena orang yang bunuh diri dianggap orang yang sakit ingatan dan ia tidak dapat dipertanggung jawabkan.34 b. Pembunuhan dengan Pemberatan (Pasal 339 KUHP) Pembunuhan dengan pemberatan diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut. Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya daripada hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun. Perbedaannya dengan pembunuhan biasa dalam Pasal 338 KUHP ialah digunakannya redaksi “diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan” dalam Pasal 339. Kata “diikuti” dimaksudkan “diikuti kejahatan lain”. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan dilakukannya kejahatan lain. Misalnya A hendak membunuh B. Karena B dikawal oleh P maka A lebih dahulu menembak P, baru kemudian membunuh B. Ibid., p. 30-31. Ibid., p. 31. 33 Ibid. 34 M. Sudradjat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di dalam KUHP, cet. ke-2, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986), p. 122. 31 32 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… 85 Kata “disertai” dimaksudkan “disertai kejahatan lain”. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempermudah terlaksananya kejahatan lain itu. Misalnya C hendak membongkar sebuah bank. Karena bank tersebut ada penjaganya, maka C lebih dahulu membunuh penjaganya. Kata “didahului” dimaksudkan “didahului kejahatan lainnya atau menjamin agar pelaku kejahatan tetap dapat menguasai barang-barang yang diperoleh dari kejahatan”. Misalnya D melarikan barang yang dirampok. Untuk menyelamatkan barang yang dirampok tersebut, maka D menembak polisi yang mengejarnya.35 Unsur-unsur dari tindak pidana dengan keadaankeadaan yang memberatkan dalam rumusan Pasal 339 KUHP itu adalah sebagai berikut. 1. Unsur subyektif : 1) dengan sengaja 2) dengan maksud 2. Unsur obyektif : a). menghilangkan nyawa orang lain b). diikuti, disertai, dan didahului dengan tindak pidana lain c). untuk menyiapkan/memudahkan pelaksanaan dari tindak pidana yang akan, sedang atau telah dilakukan d). untuk menjamin tidak dapat dipidananya diri sendiri atau lainnya (peserta) dalam tindak pidana yang bersangkutan e). untuk dapat menjamin tetap dapat dikuasainya benda yang telah diperoleh secara melawan hukum, dalam ia/mereka kepergok pada waktu melaksanakan tindak pidana.36 Unsur subyektif yang kedua “dengan maksud” harus diartikan sebagai maksud pribadi dari pelaku, yakni maksud untuk mencapai salah satu tujuan itu (unsur obyektif), dan untuk dapat dipidanakannya pelaku, seperti dirumuskan dalam Pasal 339 KUHP, maksud pribadi itu tidak perlu telah terwujud/selesai, tetapi unsur ini harus didakwakan oleh Penuntut Umum dan harus dibuktikan di depan sidang pengadilan. Sedang unsur obyektif yang kedua, “tindak pidana” dalam rumusan Pasal 339 KUHP, maka termasuk pula dalam pengertiannya yaitu semua jenis tindak pidana yang (oleh UU) telah ditetapkan sebagai pelanggaranpelanggaran dan bukan semata-mata jenis-jenis tindak pidana yang diklasifikasikan dalam kejahatan-kejahatan. Sedang yang dimaksud dengan “lain-lain peserta” adalah mereka yang disebutkan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP, yakni mereka yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan (doenpleger), yang menggerakkan/membujuk mereka untuk melakukan 35 Leden Marpaung, Tindak Pidana terhadap Nyawa, (Bandung: Grafika, 1990), p. 36 P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus, p. 37. 30. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 86 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… tindak pidana yang bersangkutan (uitlokker), dan mereka yang membantu/turut serta melaksanakan tindak pidana tersebut (medepleger).37 Jika unsur-unsur subyektif atau obyektif yang menyebabkan pembunuhan itu terbukti di Pengadilan, maka hal itu memberatkan tindak pidana itu, sehingga ancaman hukumannya pun lebih berat dari pembunuhan biasa, yaitu dengan hukuman seumur hidup atau selamalamanya dua puluh tahun. Dan jika unsur-unsur tersebut tidak dapat dibuktikan, maka dapat memperingan atau bahkan menghilangkan hukuman. c. Pembunuhan Berencana Pembunuhan berencana diatur dalam Pasal 340 KUHP yang bunyinya sebagai berikut. Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Pengertian “dengan rencana lebih dahulu” menurut Memorie van Toelichting tentang pembentukan Pasal 340 diutarakan “dengan rencana lebih dahulu” diperlukan saat pemikiran dengan tenang dan berfikir dengan tenang. Untuk itu sudah cukup jika si pelaku berpikir sebentar saja sebelum atau pada waktu ia akan melakukan kejahatan sehingga ia menyadari apa yang dilakukannya.38 M.H. Tirtaamidjaja mengutarakan “direncanakan lebih dahulu” antara lain bermakna sebagai “bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang.”39 Chidir Ali menyebutkan, yang dimaksud dengan direncanakan lebih dahulu, adalah suatu saat untuk menimbang-nimbang dengan tenang, untuk memikirkan dengan tenang. Selanjutnya juga bersalah melakukan perbuatannya dengan hati tenang.40 Dari rumusan tersebut, maka unsur-unsur pembunuhan berencana adalah: a). Unsur subyektif, yaitu dilakukan dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu. b). Unsur obyektif, yaitu menghilangkan nyawa orang lain. 37 Ibid., p. 36. Lihat juga Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, (Bandung: Armico, 1985), p. 9. 38 Leden Marpaung, Tindak Pidan., p. 31. 39 Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Fasco, 1955), p. 34. 40 Chidir Ali, Responsi., p. 74. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… 87 Jika unsur-unsur di atas telah terpenuhi, dan seorang pelaku sadar dan sengaja akan timbulnya suatu akibat tetapi ia tidak membatalkan niatnya, maka ia dapat dikenai Pasal 340 KUHP. d. Pembunuhan Bayi oleh Ibunya (kinder-doodslag) Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 341 KUHP yang bunyinya sebagai berikut. Seorang ibu yang dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah dilahirkan karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak dihukum karena pembunuhan anak dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun. Unsur pokok dalam Pasal 341 tersebut adalah bahwa seorang ibu “dengan sengaja” merampas nyawa anaknya sendiri pada saat ia melahirkan anaknya atau tidak berapa lama setelah anak dilahirkan. Sedangkan unsur yang penting dalam rumusan Pasal tersebut adalah bahwa perbuatannya si ibu harus didasarkan atas suatu alasan (motief), yaitu didorong oleh perasaan takut akan diketahui atas kelahiran anaknya.41 Jadi Pasal ini hanya berlaku jika anak yang dibunuh oleh si ibu adalah anak kandungnya sendiri bukan anak orang lain, dan juga pembunuhan tersebut haruslah pada saat anak itu dilahirkan atau belum lama setelah dilahirkan. Apabila anak yang dibunuh itu telah lama dilahirkan, maka pembunuhan tersebut tidak termasuk dalam kinderdoodslag melainkan pembunuhan biasa menurut Pasal 338 KUHP. e. Pembunuhan Bayi oleh Ibunya secara Berencana (kinder-moord) Tindak pidana ini diatur oleh Pasal 342 KUHP: Seorang ibu dengan sengaja akan menjalankan keputusan yang diambil sebab takut ketahuan bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan anak, menghilangkan jiwa anaknya itu pada saat dilahirkan atau tidak lama kemudian daripada itu dihukum karena membunuh bayi secara berencana dengan hukuman penjara selamalamanya sembilan tahun. Perbedaan Pasal 342 KUHP dengan Pasal 341 KUHP adalah bahwa Pasal 342 KUHP, telah direncanakan lebih dahulu, artinya sebelum melahirkan bayi tersebut, telah dipikirkan dan telah ditentukan cara-cara melakukan pembunuhan itu dan mempersiapkan alat-alatnya. Tetapi pembunuhan bayi yang baru dilahirkan, tidak memerlukan peralatan khusus sehingga sangat rumit untuk membedakannya dengan Pasal 341 KUHP khususnya dalam pembuktian karena keputusan yang ditentukan 41 Ibid., p. 76. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… 88 hanya si ibu tersebut yang mengetahuinya dan baru dapat dibuktikan jika si ibu tersebut telah mempersiapkan alat-alatnya. f. Pembunuhan atas Permintaan Sendiri Tindak pidana ini diatur oleh Pasal 344 KUHP: Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang lain itu sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. Pasal 344 ini mengatur mengenai pembunuhan atas permintaan dari yang bersangkutan. Unsur khususnya, yaitu permintaan yang tegas dan sungguh/nyata, artinya jika orang yang minta dibunuh itu permintaanya tidak secara tegas dan nyata, tapi hanya atas persetujuan saja, maka dalam hal ini tidak ada pelanggaran atas Pasal 344, karena belum memenuhi perumusan dari Pasal 344, akan tetapi memenuhi perumusan Pasal 338 (pembunuhan biasa). Contoh kasus dari Pasal 344 KUHP ini adalah jika dalam sebuah pendakian (ekspedisi), seseorang minta kepada temannya agar temannya membunuhnya. Hal ini disebabkan orang tersebut menderita sakit parah sehingga ia tidak ada harapan untuk meneruskan pendakian mencapai puncak gunung. Sementara orang tersebut tidak suka membebani kawankawannya dalam mencapai tujuan. g. Penganjuran agar Bunuh Diri Tindak pidana ini diatur oleh Pasal 345 KUHP: Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang supaya membunuh diri, atau menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi ikhtiar kepadanya untuk itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, kalau jadi orangnya bunuh diri. Yang diatur dalam Pasal tersebut adalah “dengan sengaja menganjurkan atau memberi daya upaya kepada orang lain, untuk bunuh diri dan bunuh diri itu benar terjadi”. Jadi seseorang dapat terlibat dalam persoalan itu dan kemudian dipidana karena kesalahannya, apabila orang lain menggerakkan atau membantu atau memberi daya upaya untuk bunuh diri dan baru dapat dipidana kalau nyatanya orang yang digerakkan dan lain itu bunuh diri dan mati karenanya. Unsur “jika pembunuhan diri terjadi” merupakan “bijkomende voorwaarde van strafbaarheid”, yaitu syarat tambahan yang harus dipenuhi agar perbuatan yang terlarang/dilarang tadi dapat dipidana.42 42 Ibid, p. 76. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… 89 h. Pengguguran Kandungan Kata “pengguguran kandungan” adalah terjemahan dari kata abortus provocatus yang dalam Kamus Kedokteran diterjemahkan dengan “membuat keguguran”. Pengguguran kandungan diatur dalam KUHP Pasal-Pasal 346, 347, 348, dan 349. Jika diamati pasal-pasal tersebut maka akan dapat diketahui bahwa ada tiga unsur atau faktor pada kasus pengguguran kandungan. Unsur-unsur tersebut adalah: 1. janin 2. ibu yang mengandung 3. orang ketiga, yaitu yang terlibat pada pengguguran tersebut.43 Tujuan pasal-pasal tersebut adalah untuk melindungi janin. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat arti “janin” sebagai (1) bakal bayi (masih di kandungan (2) embrio setelah melebihi umur dua bulan. Perkataan “gugur kandungan” tidak sama dengan “matinya janin”. Kemungkinan, janin dalam kandungan dapat dibunuh, tanpa gugur. Namun pembuat undang-undang dalam rumusan KUHP, belum membedakan kedua hal tersebut.44 Pengaturan KUHP mengenai “pengguguran kandungan” adalah sebagai berikut. 1) Pengguguran Kandungan oleh si Ibu Hal ini diatur oleh Pasal 346 KUHP yang bunyinya sebagai berikut. Perempuan dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya atau menyuruh orang lain menyebabkan itu dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun. 2) Pengguguran Kandungan oleh Orang Lain Tanpa Izin Perempuan yang Mengandung Hal ini diatur KUHP Pasal 347 yang bunyinya sebagai berikut. (1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seseorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun (2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun. 3. Pengguguran Kandungan dengan Izin Perempuan yang Mengandungnya Hal ini diatur oleh Pasal 348 KUHP yang bunyinya sebagai berikut. (1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang perempuan dengan izin perempuan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan 43 44 Leden Marpaung, Tindak Pidana., p. 46. Ibid., p. 47. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 90 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… (2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun. Adapun sanksi tindak pidana pembunuhan sesuai dengan KUHP bab XIX buku II adalah sebagai berikut. 1. Pembunuhan biasa, diancam dengan hukuman penjara selamalamanyalimabelas tahun 2. Pembunuhan dengan pemberatan, diancam dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun 3. Pembunuhan berencana, diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun 4. Pembunuhan bayi oleh ibunya, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun 5. Pembunuhan bayi oleh ibunya secara berencana, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun 6. Pembunuhan atas permintaan sendiri, bagi orang yang membunuh diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun 7. Penganjuran agar bunuh diri, jika benar-benar orangnya membunuh diri pelaku penganjuran diancam dengan hukuman penjara selamalamanya empat tahun 8. Pengguguran kandungan a) Pengguguran kandungan oleh si ibu, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun. b) Pengguguran kandungan oleh orang lain tanpa izin perempuan yang mengandung, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun atau limabelas tahun, jika perempuan itu mati. 9. Pengguguran kandungan dengan izin perempuan yang mengandungnya, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya limatahun enam bulan atau tujuh tahun, jika perempuan itu mati. Adapun tabel sanksi pidana bagi pembunuhan sebagaimana disebutkan di atas adalah sebagai berikut: No 1 2 3 4 5 Tabel 1.1. Sanksi Pidana Pembunuhan dalam KUHP Jenis Pembunuhan Pasal Akibat Pembunuhan biasa 338 kematian Pembunuhan dengan 339 kematian pemberatan Pembunuhan berencana 340 kematian Pembunuhan bayi oleh Ibunya Pembunuhan bayi oleh Ibunya secara berencana 341 kematian Sanksi 15 tahun penjara seumur hidup atau 20 tahun pidana mati atau seumur hidup atau 20 tahun 7 tahun penjara 342 kematian 9 tahun penjara SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… 6 7 8 Pembunuhan atas permintaan sendiri Penganjuran agar bunuh Diri Pengguguran kandungan - oleh si Ibu - oleh orang lain tanpa izin perempuan yang mengandung - oleh orang lain dengan izin perempuan yang mengandung 91 344 kematian 12 tahun penjara 345 kematian 4 tahun penjara 346 347 348 Kematian bayi Kematian bayi Kematian ibu Kematian bayi Kematian ibu 4 tahun penjara 12 tahun penjara 15 tahun penjara 5 tahun 6 bulan penjara 7 tahun penjara Adapun alasan-alasan yang dapat menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan dibedakan dalam dua kategori, yaitu: a. Alasan yang membenarkan atau menghalalkan perbuatan pidana, adalah: 1). Paksaan/membela diri atau noodweer (Pasal 49 ayat (1) KUHP) 2). Melaksanakan ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP) 3). Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh seorang penguasa yang berwenang (Pasal 51 ayat (1) KUHP) Ketiga alasan ini menghilangkan sifat melawan hukum dari suatu tindakan sehingga perbuatan si pelaku menjadi diperbolehkan. b. Alasan yang memaafkan pelaku, hal ini termuat dalam beberapa pasal. 1) Pasal 44 ayat (1) KUHP yang menyatakan seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya, disebabkan jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing) 2) Pasal 48 KUHP yang menyatakan seseorang yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana. 3) Pasal 49 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana. 4) Pasal 51 ayat (2) KUHP yang menyatakan terhapusnya pidana karena perintah jabatan tanpa wenang, jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wenang, dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaanya. Ketentuan-ketentuan tentang alasan dan hal-hal yang mempengaruhi pemidanaan ini bersifat umum, sehingga berlaku juga pada kejahatan terhadap nyawa. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… 92 D. Kejahatan terhadap Nyawa dalam RUU KUHP 2010 Dalam RUU KUHP 2010, tindak pidana pembunuhan diatur dalam Pasal 572-581. Beberapa jenis tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam RUU KUHP 2010 adalah sebagai berikut. a. Pembunuhan Biasa Tindak pidana pembunuhan biasa diatur dalam Pasal 572 ayat (1) dan (2) RUU KUHP 2010 dengan rumusan sebegai berikut. (1) Setiap orang yang merampas nyawa seorang lain, dipidana karena pembunuhan dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Ada beberapa perbedaan rumusan tindak pidana pembunuhan biasa ini dengan yang diatur dalam KUHP. 1). Unsur subyektif dari tindak pidana ini tidak disebutkan secara eksplisit, yaitu “sengaja” sebagaimana disebutkan dalam KUHP. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa pembunuhan selalu diartikan bahwa korban harus mati, dan kematian ini dikehendaki oleh pembuat. Dengan demikian pengertian pembunuhan secara implisit mengandung unsur kesengajaan. Apabila tidak ada unsur kesengajaan atau tidak ada niat atau maksud untuk mematikan orang, tetapi kemudian ternyata orang tersebut mati, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana pembunuhan menurut pasal ini. Dalam ketentuan ayat ini tidak dicantumkan unsur "dengan sengaja" atau "dengan berencana", karena kedua hal tersebut sudah diatur dalam Pasal 39 dan Pasal 55 huruf j. Ditiadakannya tindak pidana berencana dimaksudkan untuk memberi kebebasan kepada hakim dalam mempertimbangkan ada tidaknya unsur berencana tersebut dalam setiap kasus yang dihadapi. Dengan demikian hakim akan lebih mengutamakan untuk mempertimbangkan motif, cara, sarana, atau upaya membunuh, serta akibat dan dampaknya suatu pembunuhan bagi masyarakat.45 2). Sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana ini telah mengenal adanya sanksi pidana minimum khusus (3 tahun penjara) dan maksimum khusus (15 tahun penjara). Adanya ancaman pidana minimum khusus ini merupakan hal baru dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (baca: RUU KUHP 2010) yang belum dikenal dalam KUHP, namun telah dikenal dalam beberapa perundang-undangan pidana di luar KUHP. Pengaturan sistem pemidanaan baru ini dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu untuk menghindari adanya disparitas 45 RUU KUHP 2010, p. 281, diakses dari dirjenpp.kemenkumham.go.id. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… 93 pidana yang sangat mencolok bagi tindak pidana yang sama atau kurang lebih sama kualitasnya; untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat; dan apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana dapat diperberat, maka sebagai analog dipertimbangkan pula bahwa untuk minimum pidana pun dalam halhal tertentu dapat diperberat. Pada prinsipnya pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya.46 3). Di samping itu, RUU KUHP 2010 telah memasukkan tindak pidana pembunuhan dengan korban yang ada hubungan darah dengan pelaku, yaitu terhadap ibu, bapak, istri, suami, atau anaknya, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga). Hal ini belum diatur dalam KUHP. Adanya pemberatan pemidanaan terhadap tindak pidana ini didasarkan pertimbangan adanya hubungan antara pembuat tindak pidana dan korban, yang seharusnya pembuat tindak pidana berkewajiban memberi perlindungan kepada korban. 47 b. Pembunuhan dengan Pemberatan Pembunuhan dengan pemberatan diatur dalam Pasal 572 ayat (3) KUHP, yaitu: Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh suatu tindak pidana yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri atau peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, atau untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Tindak pidana pembunuhan dengan pemberatan ini hampir sama pengaturannya dalam KUHP. Perbedaannya pada adanya sanksi pidana minimum khusus 5 tahun penjara. c. Pembunuhan Berencana Pembunuhan berencana diatur dalam Pasal 573 RUU KUHP 2010 yang berbunyi sebagai berikut. 46 47 Ibid. p. 193. Ibid. p. 193. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 94 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… Setiap orang yang dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pengaturan tentang tindak pidana pembunuhan berencana dalam RUU KUHP sama seperti dalam KUHP, dengan perbedaan pada ancaman pidana minimum khusus 5 tahun penjara. d. Pembunuhan Bayi oleh Ibunya Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 574 yang bunyi lengkapnya sebagai berikut. (1) Seorang ibu yang merampas nyawa anaknya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, karena takut kelahiran anak tersebut diketahui orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun. (2) Orang lain yang turut serta melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipandang sebagai melakukan pembunuhan. Pengaturan tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibunya dalam RUU KUHP ini hampir sama dengan KUHP dengan ancaman pidana maksimal 7 tahun penjara. Namun terdapat sedikit berbeda dengan KUHP, yaitu pada adanya ancaman pidana minimum khusus 1 tahun penjara. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa ayat ini memuat peringanan ancaman pidana yang didasarkan pada pertimbangan bahwa rasa takut seorang ibu yang melahirkan diketahui orang lain sudah dianggap suatu penderitaan. Di samping itu, secara eksplisit diatur bahwa orang lain yang turut serta melakukan perbuatan ini dipandang sebagai melakukan pembunuhan dengan pertimbangan karena orang lain yang turut serta dalam pembunuhan tidak berada dalam kondisi psikologis yang sama dengan kondisi seorang ibu yang melakukan tindak pidana tersebut, sehingga prinsip penyertaan tidak berlaku dalam ketentuan ayat ini. Berarti orang yang turut serta dalam pembunuhan bayi oleh ibunya dipidana karena pembunuhan biasa. Dalam RUU KUHP 2010 juga tidak mengatur tentang tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibunya dengan rencana terlebih dahulu. e. Pembunuhan atas Permintaan Sendiri Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 575 RUU KUHP 2010 sebagai berikut. Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… 95 keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun. Perbedaan aturan ini dengan yang ada dalam KUHP adalah pada ancaman sanksi pidananya. Dalam KUHP, ancaman pidana untuk pembunuhan atas permintaan sendiri adalah lebih berat, yaitu 12 tahun penjara, sedangkan dalam RUU KUHP 2010 ancaman minimum khususnya 2 tahun penjara dan maksimum khususnya 9 tahun. Adapun seorang dokter yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 575 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa ketentuan dalam pasal ini mengatur tindak pidana yang dikenal dengan “euthanasia aktif”. Bentuk “euthanasia pasif'” tidak diatur dalam ketentuan ini karena masyarakat maupun dunia kedokteran tidak menganggap pembuatan tersebut sebagai perbuatan anti. Meskipun “euthanasia aktif” dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, namun perbuatan tersebut tetap diancam dengan pidana. Hal ini berdasarkan suatu pertimbangan karena perbuatan tersebut dinilai bertentangan dengan moral agama. Di samping itu juga untuk mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki, misalnya oleh pembuat tindak pidana justru diciptakan suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga timbul permintaan untuk merampas nyawa dari yang bersangkutan. Ancaman pidana di sini tidak ditujukan terhadap kehidupan seseorang, melainkan ditujukan terhadap penghormatan kehidupan manusia pada umumnya, meskipun dalam kondisi orang tersebut sangat menderita, baik jasmani maupun rohani. Jadi motif pembuat tidak relevan untuk dipertimbangkan dalam tindak pidana. Pengertian “tidak sadar” dalam ketentuan Pasal ini harus diartikan sesuai dengan perkembangan dalam dunia kedokteran. f. Penganjuran atau Pembantuan Orang Lain Bunuh Diri Pasal 577 mengatur tindak pidana ini, yaitu: Setiap orang yang mendorong, membantu, atau memberi sarana kepada orang lain untuk bunuh diri dan orang tersebut benar-benar mati karena bunuh diri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Ancaman pidana dalam pasal ini berbeda dengan KUHP yang mengancam lebih tinggi 1 tahun (yaitu 4 tahun penjara) dan dengan sistem tunggal, sementara dalam RUU KUHP 2010 ancaman pidananya 3 tahun penjara dan dialternatifkan dengan sanksi pidana denda maksimal Rp.75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 96 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… g. Pengguguran Kandungan Pengguguran kandungan diatur dalam Pasal 578-581 RUU KUHP 2010 yang terdiri dari: 1). Pengguguran Kandungan oleh si Ibu Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 578 ayat (1) dengan rumusan sebagai berikut: Seorang perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Jika dibandingkan pengaturannya dengan KUHP, ancaman pidana maksimal dalam tindak pidana ini sama, namun dalam RUU KUHP 2010 dirumuskan secara alternatif dengan pidana denda maksimal Rp.75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). 2). Pengguguran Kandungan oleh Orang Lain Tanpa Izin Perempuan yang Mengandung Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 578 ayat (2) RUU KUHP 2010 dengan rumusan: (1) Setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun. (3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan matinya perempuan tersebut, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Aturan bagi tindak pidana ini mengalami kemajuan sebagaimana dalam pendahulunya (KUHP) di mana dalam RUU KUHP 2010 diatur ancaman pidana minimal khususnya, yaitu 3 tahun penjara. 3). Pengguguran Kandungan dengan Izin Perempuan yang Mengandungnya Hal ini diatur oleh Pasal 579 RUU KUHP 2010 yang bunyinya sebagai berikut. (1) Setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya perempuan tersebut, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… 97 Aturan ini sama dengan yang ada dalam KUHP dengan perbedaan dirumuskannya secara alternatif dengan sanksi pidana denda Kategori IV (maksimal Rp.75.000.000,00) serta dirumuskannya sanksi pidana minimal khusus. Sedangkan Pasal 580 RUU KUHP 2010 diatur tentang pemberatan pidana dalam tindak pidana pengguguran kandungan (Pasal 578 dan 579) bagi seseorang dengan profesi khusus, yaitu dokter, paramedis, bidan, apoteker dengan pemeberatan pidana ditambah 1/3. Namun tidak dipidana jika pengguguran kandungan dilakukan oleh dokter dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan/atau janinnya. Adapun tabel sanksi pidana bagi pembunuhan sebagaimana disebutkan di atas adalah sebagai berikut: No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Tabel 1.2. Sanksi Pidana Pembunuhan dalam RUU KUHP 2010 dan Perbandingannya dengan KUHP Jenis Pembunuhan Pasal Akibat Sanksi KUHP Pembunuhan biasa 572 kematian 15 tahun (1) penjara Pembunuhan terhadap 572 kematian ibu, bapak, istri, (2) suami, atau anaknya Pembunuhan dengan 572 kematian seumur hidup pemberatan (3) atau 20 tahun Pembunuhan 573 kematian pidana mati berencana atau seumur hidup atau 20 tahun Pembunuhan bayi 574 kematian 7 tahun oleh Ibunya penjara Pembunuhan atas 575 kematian 12 tahun permintaan sendiri penjara Dokter yang 576 kematian melakukan eutanasia atas permintaan sendiri Penganjuran dan 577 kematian 4 tahun pembantuan agar penjara orang lain bunuh diri Pengguguran kandungan - oleh si Ibu - oleh orang lain 578 578 kematian SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 4 tahun penjara Sanksi RUU KUHP 2010 3-15 tahun penjara Ditambah 1/3 3-20 tahun penjara pidana mati atau seumur hidup atau 520 tahun 1-7 tahun penjara 2-9 tahun penjara 12 tahun penjara 3 tahun penjara atau pidana denda kategori IV 4 th atau denda kategori Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… 98 tanpa izin perempuan yang mengandung - oleh orang lain dengan izin perempuan yang mengandung (2) 579 12 tahun penjara 15 tahun penjara 5 tahun 6 bulan penjara 7 tahun penjara IV 3-12 tahun penjara 3-15 tahun penjara 5 tahun penjara atau denda kategori IV 2-9 tahun penjara E. Kesimpulan Kejahatan terhadap nyawa diatur dalam Bab XIX KUHP dengan judul “Kejahatan terhadap Nyawa” yang terdiri dari berbagai macam jenis tindak pidana, yaitu pembunuhan biasa, pembunuhan dengan pemberatan, pembunuhan berencana, pembunuhan bayi oleh ibunya, pembunuhan bayi oleh ibunya dengan rencana, pembunuhan atas permintaan korban sendiri, penganjuran untuk bunuh diri, dan pengguguran kandungan. Sedangkan dalam RUU KUHP 2010, terdapat beberapa perbedaan atau perkembangan dalam pengaturan tindak pidana pembunuhan ini, yaitu tidak disebutkannya secara eksplisit kata “sengaja”, dirumuskannya ancaman pidana minimum khusus dan maksimal khusus, serta sanksi dirumuskan secara alternatif dengan pidana denda. Di samping itu, di dalam RUU KUHP 2010 diatur pula tentang tindak pidana pembunuhan terhadap orang tertentu seperti ibu, bapak, anak, istri, atau suaminya dengan ancaman pidana yang lebuh berat daripada tindak pidana pembunuhan biasa. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… 99 Daftar Pustaka Ali, Chidir, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Bandung: Armico, 1985. Ash-Shabuni, ‘Ali Rawāi', al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur'ān, Damaskus: Maktabah al-Ghazali, tth. As-Sabiq, As-Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, 1977. Bassar, M. Sudradjat, Tindak-tindak Pidana Tertentu di dalam KUHP, cet. ke2, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986. Bisri, Adib, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997. Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah, Jakarta: Bulan Bintang, tth.. hermadut.blogspot.com Katsir, Ibn, "Tafsir Ibn Katsir", dalam al-Qur'an al-Karīm, 1997, Sakhr, CD ROM. Lamintang, P.A.F., Delik-delik Khusus, cet. 1, Bandung: Bina Cipta, 1986. Marpaung, Leden, Tindak Pidana terhadap Nyawa, Bandung: Grafika, 1990. Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1985. Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. 5, Jakarta: Balai Pustaka, 1982. RUU KUHP 2010, diakses dari dirjenpp.kemenkumham.go.id. Series, The Napoleon, France Penal Code: Book The Third of Crimes and Delitcs, and Their Punishment, transcribed by Tom Holmberg, www.napoleon-series.org. The Code of Hammurabi, Lillian Goldman Law Library, Yale Law School, http://avalon.law.yale.edu. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 100 Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa… Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, Jakarta: Fasco, 1955. Walter Johns, Claude Hermann, Babylonian Law-The Code of Hammurabi, Lillian Goldman Law Library, Yale Law School, http://avalon.law.yale.edu. www.id.wikipedia.org SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Politik Hukum Ekonomi Syari’ah Pasca Reformasi di Indonesia Oleh: Lukman Santoso Abstract As a law country, Indonesia depends every country’s project pervading its government on the regulation. In this construction of law country, Islamic law would be a integrated part of reformulation and configuration national law. When New Orde replaced by reformation in 1998, the process of legislation of Islamic law gets change significantly. This era is the face of real transformation of Islamic law in shape of regulation which is a product of interacting between Islamic political elite and the rulling elite. Bearing of law product in form of economy syari’ah also may be seen as a shape of appreciation and accommodation of government toward the law which lives in society (living law). Even though bearing this product of law is the fresh air for legislation of Islamic law in Indonesia, but left a basic problem yet. It needs a codification of law product of syari’ah comprehensively and has a strong backing of law, hence it could be a basic reason how the legislation of economic law syari’ah should be more important to effort. Implementing Islamic law in economic activity or other modern financial activity is not a simple thing to do. In this case, the development of economy syari’ah a little more decided by the internal dynamics of humanity and the harmonic relation among Islamic and citizen. The condusive climate of politic is likely to develop syari’ah banking, which finally, the politic of law in economy syari’ah based on a process of integration and legislation for Islamic social-political concept into system and configuration of national social-politic. Key word: legal policy, pasca reformation, economic shari’a Abstrak Sebagai negara hukum, Indonesia selalu mendasarkan setiap penyelenggaraan negara dan pemerintahannya pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam bangunan negara hukum inilah, hukum Islam menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam reformulasi dan konfigurasi hukum nasional. Ketika era reformasi menggantikan era Orde Baru di tahun 1998, proses legislasi hukum Islam pun mengalami perubahan signifikan. Era ini menjadi wujud gejala nyata transformasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan yang merupakan produk interaksi antar elite politik Islam dengan elite kekuasaan (the rulling elite). Lahirnya produk hukum bidang ekonomi syari’ah juga dapat dipahami sebagai bentuk apresiasi dan akomodasi pemerintah terhadap hukum yang hidup di masyarakat (living law). Meski lahirnya produk hukum ini merupakan angin segar atas legislasi hukum Islam di Indonesia, namun menyisakan persoalan yang juga mendasar, yaitu belum adanya Dosen Hukum STAIDA Lampung. E-mail: [email protected] SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah... 102 kodifikasi produk hukum ekonomi syari’ah yang secara komprehensif dan memiliki payung hukum kuat, sehingga menjadi alasan mendasar bagaimana legislasi hukum ekonomi syari’ah menjadi sangat penting untuk diupayakan. Penerapan hukum Islam dalam kegiatan ekonomi atau kegiatan keuangan lainnya yang modern bukanlah pekerjaan yang sederhana. Dalam konteks itu, perkembangan ekonomi syari’ah sedikit banyak ditentukan oleh dinamika internal umat serta hubungan yang harmonis antara umat Islam dan Negara. Iklim politik yang kondusif memungkinkan berkembannya perbankan syariah, yang pada akhirnya, politik hukum dalam bidang ekonomi syari’ah ditentukan oleh proses integrasi dan legislasi gagasan sosial politik Islam kedalam sistem dan konfigurasi sosial politik nasional. Kata kunci: politik hukum, pasca reformasi, ekonomi syari’ah A. Pendahuluan Secara yuridis konseptual, Indonesia merupakan negara hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia selalu mendasarkan setiap penyelenggaraan negara dan pemerintahannya pada peraturan perundangundangan yang berlaku. Spirit negara hukum itu salah satunya teraktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan dengan tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.1 Dalam bangunan negara hukum inilah, hukum Islam disamping hukum adat dan Barat menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam reformulasi dan konfigurasi hukum nasional. Tidak bisa dipungkiri bahwa hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Islam ke nusantara. Sejak agama Islam dianut oleh penduduk nusantara, hukum Islampun mulai diberlakukan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Norma atau kaidah hukum dijadikan sebagai pedoman kehidupan setelah terlebih dahulu mengalami institusionalisasi dan internalisasi. Dari proses interaksi sosial inilah hukum Islam mulai mengakar dan menjadi sistem hukum dalam masyarakat hingga saat ini.2 Ketika era reformasi menggantikan era Orde Baru di tahun 1998, proses legislasi hukum Islam pun mengalami perubahan signifikan. Era reformasi menjadi penanda tidak ada lagi kekuasaan represif seperti era Orde Baru, dan bertambah luasnya kran-kran aspirasi politik umat Islam dengan bermunculannya partai-partai Islam dan tokoh-tokoh politik Islam sehingga keterwakilan suara umat Islam bertambah di lembaga legislatif maupun eksekutif. Perkembangan hukum Islam pada masa ini memang mengalami kemajuan. Secara riil hukum Islam semakin Lihat UUD 1945 Pasca Perubahan Pasal 1 ayat (3). Sodiqin, “Periodisasi Sejarah Hukum Islam di Indonesia,” dalam www. serbasejarah.wordpress.com, akses pada 19 September 2012. 1 2Ali SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah... 103 teraktualisasikan dalam kehidupan sosial. Wilayah cakupannya menjadi sangat luas, tidak hanya dalam masalah hukum privat atau perdata saja tetapi mulai masuk dalam ranah hukum publik, sehingga tidak heran jika di berbagai daerah muncul perda-perda bernuansa syari’ah. Era ini menjadi wujud gejala nyata transformasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan (Takhrij al-Ahkâm fî al-Nash al-Qânun) yang merupakan produk interaksi antar elite politik Islam (para ulama, tokoh ormas, dan cendekiawan muslim) dengan elite kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai contoh pergumulan ini, diundangkannya UU tentang Wakaf, Zakat, dan beberapa hukum lain, peranan elite Islam cukup dominan dalam melakukan pendekatan dengan kalangan elite di tingkat legislatif, sehingga berbagai undang-undang tersebut dapat dikodifikasikan. Adapun prosedur pengambilan keputusan politik di tingkat legislatif dan eksekutif dalam hal legislasi hukum Islam (legal drafting) mengacu kepada politik hukum yang dianut oleh badan kekuasaan negara secara kolektif. Dalam sebuah perjalanan pemerintah atau Negara, tentu hukum tidak dapat dipisahkan dengan politik. Disatu sisi hukum itu dibuat sesuai dengan keinginan para pemegang kebijakan politik, sementara disisi lain para pemegang kebijakan politik harus tunduk dan bermain politik berdasarkan aturan hukum yang telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang. Oleh karena itu antara politik dan hukum terdapat hubungan yang sangat erat dan merupakan “two faces or a coin” (dua sisi mata uang).3 Dari berbagai pandangan tersebut, artinya ketika hukum dalam dimensi sosiologis difahami sebagai refleksi tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tentu, meskipun terjadi persinggungan antara politik dan hukum, muatan hukum yang berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan. Pluralitas agama, sosial dan budaya di Indonesia tidak cukup menjadi alasan untuk membatasi implementasi hukum Islam hanya pada spek tertentu saja yang dikehendaki pemerintah, semisal hukum keluarga. Tetapi juga apa yang menjadi wacana dan kebutuhan masyarakat, termasuk dalam bidang muamalah (ekonomi syari’ah) misalnya, hukum perbankan, perdagangan, hukum tata niaga syari’ah, pidana syari’ah, atau bahkan tata negara Islam. Terlebih kegiatan di bidang muamalah, semisal ekonomi syari’ah di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami pertumbuhan yang signifikan, namun banyak menyisakan permasalahan 3 M.Solly Lubis, Politik Dan Hukum Di Era Reformasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003), p. 43 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah... 104 karena belum terakomodir secara baik dalam regulasi formil yang utuh maupun kodifikasi hukum.4 Praktek hukum ekonomi syari’ah sebenarnya sudah dilaksanakan di Indonesia sejak lama, namun masih dalam kebiasaan masyarakat (living law) semata. Proses positivisasi baru diakomodir setelah era reformasi, yaitu dengan lahirnya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan terakhir UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, itu pun masih dalam batas yang sederhana.5 Lahirnya produk hukum ini menandai sejarah baru di bidang perbankan yang mulai memberlakukan sistem ganda (dual system banking) di Indonesia, yaitu sistem perbankan konvensional dengan piranti bunga dan sistem perbankan syari’ah dengan piranti akad yang sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah. Perkembangan ini menunjukkan bahwa pelembagaan hukum Islam sudah tidak dikhotomis, meskipun masih banyak kelemahan di banyak aspek. Kebijakan Pemerintah di bidang hukum pada era ini, menurut Arif Sidharta, memiliki ciri-ciri: berwawasan kebangsaan dan nusantara; mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan; berbentuk tertulis dan terunifikasi; bersifat rasional baik segi efisiensi, kewajaran, kaidah dan nilai; transparansi dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.6 Lahirnya produk hukum bidang ekonomi syari’ah juga dapat dipahami sebagai bentuk apresiasi dan akomodasi pemerintah terhadap hukum yang hidup di masyarakat (living law). Hal ini berbeda dengan tiga dasawarsa sebelumnya dimana paradigma pembangunan hukum yang dianut pemerintah cenderung bersifat sentralisme hukum (legal centralism), melalui implementasi politik unifikasi dan kodifikasi hukum bagi seluruh rakyat dalam teritori negara, yang kemudian berimplikasi pada hukum negara yang mengusur, mengabaikan dan mendominasi sistem hukum yang lain. Implikasi yang juga timbul dari proses konfigurasi politik era reformasi ini adalah adanya kewenangan pengadilan agama untuk mengadili sengketa ekonomi syari’ah, yakni melalui UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama (UU PA) Pasal 49 sampai Pasal 53.7 Dalam Suhartono, “Dinamika Politik Hukum Kompetensi Peradilan Agama,” dalam www.badilag.net, akses pada 19 September 2012. 5 Syaugi Mubarak Seff, “Regulasi Perbankan Syari’ah Pasca Lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah (Kajian Politik Hukum),” Jurnal Risalah Hukum, Vol. 6, No. 2,Desember 2008, p. 86. 6 Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Era Reformasi,” Jurnal Islamica, Vol 6, No. 1, September 2011, p. 121. 7 Lihat UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49-53. 4 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah... 105 undang-undang tersebut dijelaskan bahwa cakupan ekonomi syari’ah juga sangat luas, yang dalam hal ini tercakup dalam lembaga keuangan baik lembaga keuangan bank maupun lembaga non bank yang mendasarkan pengelolaan operasionalnya menggunakan prinsip syari’ah. Meski lahirnya produk hukum ini merupakan angin segar atas legislasi hukum Islam di Indonesia, namun menyisakan persoalan yang juga mendasar. Persoalan itu adalah terkait ambiguitas kewenangan mengadili sengketa ekonomi syari’ah. Dalam UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah disebut secara jelas terkait kewenangan sengketa merupakan penegasan dari UU PA. Namun, penyebutan penyelesaian sengketa pada Bab IX Pasal 55 UU Perbankan Syari’ah selain mengokohkan kewenangan yurisdiksi PA, juga mereduksi dan membuat ambigu kewenangan tersebut. Apakah ini merupakan bentuk ketidakpercayaan pemerintah/legislator terhadap institusi PA. Dalam pasal tersebut disebutkan, penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah selain di PA, bisa diselesaikan melalui musyawarah, mediasi perbankan, Basyarnas, badan arbitrase lainnya atau peradilan umum.8 Ketentuan ini tentu menunjukkan bahwa UU Perbankan Syari’ah belum sinkron dan harmonis dengan produk hukum lainnya. Selain juga dapat menimbukan persoalan dan mengganggu kemandirian PA. Belum tuntas persoalan terkait kewenangan yang diberikan pada PA untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dan belum genap satu dasawarsa kewenangan tersebut diberikan, kini nampaknya sudah ada gejala-gejala untuk dibatasi. Sebagaimana diketahui dari usulan pemerintah yang dituangkan pada Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) ekonomi syari’ah, secara diam-diam pemerintah berniat menyerahkan kewenangan penyelesaian sengketa perbankan syari’ah kepada Peradilan Umum. Tentu persoalannya tidak sesederhana itu, karena pasti akan memunculkan kontroversi dari berbagai kalangan dalam perspektif yuridis, filosofis, maupun metodologis. Dikhawatirkan hal ini menjadi titik balik dan kontraproduktif dari semangat ekonomi Islam yang sedang bergairah.9 Dari diskusi dikalangan para guru besar, pakar, dan praktisi hukum ekonomi syari’ah, serta wacana yang berkembang, seputar nomenklatur ilmu ekonomi syariah dan kompetensi Peradilan Agama, juga menunjukkan adanya bias kepentingan pragmatis dan inkonsistensi bahkan kerancuan dari sisi aturan main pembentukan perundangundangan. Patut diduga pemerintah sebagai penyusun draft tidak sepenuhnya memahami tentang substansi dan konsep ekonomi syari’ah. Pemerintah masih beranggapan bahwa Peradilan Agama merupakan Syaugi Mubarak Seff, “Regulasi Perbankan Syari’ah Pasca, p. 91 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), p. 3. 8 9 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 106 Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah... peradilan eksklusif umat Islam, dan anggapan eksklusivitas ini melahirkan kekhawatiran otoritas moneter kita tentang keengganan investor asing datang ke Indonesia. Kesan inilah yang pada gilirannya akan melahirkan nuansa Islamophobia atau bahkan mengebiri perkembangan politik hukum Islam yang tidak semestinya hadir.10 Dalam konteks itu, perlu adanya kodifikasi produk hukum ekonomi syari’ah yang secara komprehensif dan memiliki payung hukum kuat, yang merupakan alasan mendasar bagaimana legislasi hukum ekonomi syari’ah menjadi sangat penting utuk diupayakan. Kompendium yang saat ini ada, yakni Kitab Hukum Ekonomi syari’ah (KHES) yang di keluarkan Mahkamah Agung juga belum bisa dijadikan rujukan yang memadai, karna masih sebatas peraturan MA dan belum masuk dalam hierarki perundangundangan. Apalagi, adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang lebih dulu lahir, secara konstitusional juga masih sangat lemah, karena keberadaannya hanyalah sebagai Inpres (Intruksi Presiden). Karena itu dibutuhkan suatu aturan hukum yang lebih kuat yang dapat menjadi rujukan para hakim dalam memutuskan berbagai persoalan hukum. Untuk itulah kita perlu merumuskan Kodifikasi Hukum Ekonomi Islam dan KHI menjadi satu, sebagaimana yang dibuat pemerintahan Turki Usmani bernama Al-Majallah Al-Ahkam al-’Adliyah yang terdiri dari 1851 Pasal.11 Beberapa persoalan inilah yang harus dirumuskan secara baik dalam proses legislasi di masa depan. Selain juga tetap menelaah terhadap produk hukum yang ada terkait bagaimana proses legislasinya dan mengapa sampai menimbulkan ketidak harmonisan dengan produk hukum lain. Meskipun tidak dipungkiri, upaya legislasi hukum Islam di Indonesia selalu menghadapi kendala struktural dan kultural, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, para pendukung sistem hukum Islam belum tentu beranggapan bahwa hukum Islam itu sebagai suatu sistem yang belum final, perlu dikembangkan dalam konteks hukum nasional. Sedangkan kendala eksternal yakni struktur politik yang ada belum tentu mendukung proses legislasi hukum Islam. Memang proses mengusung ke jalur legislasi sehingga menghasilkan produk undang-undang yang baik tidaklah mudah. Maka dalam proses perumusannya perlu mengkomparasikan pendapat madzhab fikih muamalah yang tertuang dalam kitab-kitab fikih, tentunya yang sesuai dengan sosio-kultural bangsa Indonesia sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran syari’ah. Disamping itu, perlu melibatkan pakar akademisi dan praktisi ekonomi syari’ah, perlu juga melibatkan DPS 10Suhartono, “Dinamika Politik Hukum Kompetensi Peradilan Agama,” dalam www.badilag.net, akses pada 19 September 2012. 11Agustianto, “Urgensi Kodifikasi Hukum Ekonomi Syari’ah,” dalam www.pesantrenvirtual.com, akses 19 September 2012. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah... 107 (Dewan Pengawas Syari’ah), Dewan Syari’ah Nasional (DSN), BASYARNAS, BAMUI, Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahtsul Matsa’il Nahdhatul ulama (NU), karena bagaimanapun mereka adalah representasi pemikir hukum Islam di Indonesia yang dalam kesehariannya selalu bergelut dengan persoalan-persoalan kontemporer hukum Islam, khususnya ekonomi syari’ah. Hal ini secara otomatis dapat menghilangkan sikap ta’assub (fanatik) madzhab. Aspek-aspek inilah yang akan menjadi fokus kajian yang berjudul “Konfigurasi Politik Dan Hukum Islam Pasca Reformasi di Indonesia; Studi Tetang Reformulasi Politik Hukum Bidang Ekonomi Syari’ah.” Dengan kajian ini diharapkan telaah atas nilai-nilai hukum Islam di Indonesia mempunyai lingkup yang lebih luas lagi. Karna bagaimanapun hukum merupakan penjelmaan dari struktur ruhaniyah suatu masyarakat atau sebagai penjelmaan dari nilai-nilai sosial budaya dari golongan yang membentuk hukum tersebut.12 B. Konsep Politik Hukum Islam Hingga saat ini, istilah politik hukum sudah sangat banyak digunakan dalam berbagai disiplin cabang-cabang ilmu hukum. Beberapa pakar hukum juga mengungkapkan pengertian politik hukum yang cukup definitif. Politik hukum secara mendasar lahir dari istilah Belanda yaitu “rechts-politiek” yakni bentukan dua kata “rechts” (hukum) dan “politiek” (politik). Antara kedua kata ini terdapat hubungan yang erat walaupun masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda. Kata politik dalam kamus bahasa Belanda yang ditulis Van der Tas mengandung arti beleid, yang berarti kebijakan (policy). Adapun kebijakan sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak.13 Sedangkan hukum secara sederhana dapat dikatakan bahwa law in generic sense, is a body of rules of action or conduct prescribed by controlling authority, and having binding legal force atau mengutip Sri Soemantri Martosoewignjo, bahwa hukum adalah seperangkat aturan tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat. Artinya semua ilmuwan hukum sependapat bahwa hukum adalah aturan-aturan mengenai perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, yaitu apa yang patut dan tidak patut dilakukan dalam pergaulan hidupnya.14 12 Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat (Jakarta: Rajawali, 1987), p. 33 13 “Konsep Dasar Politik Hukum Pemerintahan,” dalam http://harryarudam.blogspot.com, akses pada 14 Februari 2013 14 Ibid. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 108 Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah... Dari pengertian diatas, sebagaimana dikatakan Satjipto Rahardjo, bahwa Politik Hukum sebagai aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara–cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat. Sedang Moh. Mahfud MD mengatakan bahwa politik hukum adalah “legal policy”, atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan peggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan Negara”.15 Demikian halnya Bellfroid mendefinisikan, bahwa politik hukum (rechtpolitiek) merupakan proses pembentukan hukum positif dari hukum yang akan dan harus ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum terkadang juga dikaitkan dengan kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas Dye yaitu: “whatever the government choose to do or not to do”. Secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum peraturan, dengan suatu tujuan yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).16 Terkait hal ini, politik hukum juga dipahami bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum. Juga mempertimbangkan etik hukum, baik buruknya, adil tidaknya, atau cocok tidaknya ketentuanketentuan hukum itu bagi masyarakat yang bersangkutan, karena hal itu ada hubungannya dengan ditaati atau tidaknya hukum itu dalam suatu masyarakat.17 Senada dengan itu, Daniel S. Lev, menyebut politik hukum itu merupakan produk interaksi di kalangan elit politik yang berbasis kepada berbagai kelompok dan budaya. Ketika elit politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik, pengembangan hukum Islam dalam suprastruktur politik pun memiliki peluang yang sangat besar.18 Berdasarkan elaborasi ragam definisi politik hukum tersebut, dengan kata lain politik hukum nasional mengandung dua makna utama yang berjalan dialektis yaitu pertama, sebagai legal policy dan kedua, sebagai instrumen untuk menilai dan mengkritisi (instrument pengendali) apakah hukum yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka pikir legal policy tersebut. Sebagai legal policy, politik hukum dijadikan sebagai “blue print” dalam menetukan arah pencapaian tujuan negara yang tertuang 15 Pengertian Politik Hukum,” dalam http://www.pengertiandefinisi.com, akses pada 14 Februari 2013 16 Suhartono, “Menggagas Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah Ke Ranah Sistem Hukum Nasional,” dalam www.badilag.net. Akses pada 19 September 2012. 17 Ibid., p. 4. 18 Cik Hasan Bisri, “Transformasi Hukum Islam Ke Dalam Sistem Hukum Nasional,” Jurnal Mimbar Hukum, No. 56 Thn XIII, Al-Hikmah, Jakarta, 2002, p. 31. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah... 109 dalam berbagai produk peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan konvensi ketatanegaraan. Sedangkan politik hukum sebagai instrument pengendali artinya bahwa dalam mengimplemetasikan hukum, negara melalui organ-organnya berfungsi untuk menjaga agar kebijakan hukum berjalan sesuai dengan fungsinya. Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari konsep politik hukum berada dalam ruang konfigurasi yang tidak bebas nilai. Nilai-nilai yang berasal dari aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Dengan demikian, pembentukan peraturan perundangundangan dalam konsep politik hukum di Indonesia tidak hanya memiliki satu konfigurasi saja, melainkan lebih. Ada konfigurasi politik, ada konfigurasi sosio-kultural, ada konfigurasi sosial-ekonomi, ada konfigurasi hukum dan sebagainya. Konfigurasi-konfigurasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ini secara teoretikal akan menghasilkan 3 (tiga) klasifikasi dasar hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakat, yaitu :19 (1) hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai pelayan kekuasaan represif (law or legislation as the servant of repressive power); (2) hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (law or legislation as a differentiated institution capable of taming repression and protecting its own integrity); (3) hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (law or legislation as a facilitator or response to social needs an aspirations). Demikian halnya dalam konteks berlakunya hukum Islam di Indonesia sepanjang sejarah telah mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahkan di balik semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik. Namun demikian, hukum Islam telah mengalami perkembangan secara berkesinambungan. baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya itu.20 Cara pandang dan interpretasi yang berbeda dalam keanekaragaman pemahaman orang Islam di Indonesia terhadap hakikat hukum Islam telah Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, (New York: Harper & Row, 1978), p. 14. 20 Dadan Muttaqien, “Legislasi Hukum Islam Di Indonesia Dalam Prespektif Politik Hukum,” dalam http://master.islamic.uii.ac.id, akses pada 14 Februari 2013 19 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 110 Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah... berimplikasi dalam sudut aplikasinya. M. Atho Mudzhar21 misalnya, menjelaskan cara pandang yang berbeda dalam bidang pemikiran hukum Islam menurutnya dibagi menjadi empat jenis, yakni kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan Pengadilan agama, peraturan Perundang-undangan di negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama. Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam proses transformasi hukum Islam di Indonesia. Terlebih lagi hukum Islam sesungguhnya telah berlaku sejak kedatangan pertama Islam di Indonesia, di mana stigma hukum yang berlaku dikategorikan menjadi hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat. Sedangkan hukum Islam dilihat dari dua segi. Pertama, hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal, artinya telah dikodifikasikan dalam struktur hukum nasional. Kedua, hukum Islam yang berlaku secara normatif yakni hukum Islam yang diyakini memiliki sanksi atau padanan hukum bagi masyarakat muslim untuk melaksanakannya. Untuk mengembangkan proses transformasi hukum Islam, khususnya bidang ekonomi syari’ah ke dalam supremasi hukum nasional, diperlukan partisipasi semua pihak dan lembaga terkait, seperti halnya hubungan hukum Islam dengan badan kekuasaan negara yang mengacu kepada kebijakan politik hukum yang ditetapkan (adatrechts politiek). Politik hukum tersebut merupakan produk interaksi kalangan elite politik yang berbasis kepada berbagai kelompok sosial budaya. Ketika elite politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik itu, maka peluang bagi pengembangan hukum Islam untuk ditransformasikan semakin besar. Realitas itu dapat kita cermati dari lahirnya produk hukum yang berdimensi keislaman pasca reformasi. Artinya, kodifikasi hukum Islam menjadi sebuah undang-undang (takhrij al-ahkam fi al-nash al-taqnin) sejalan dengan politik hukum dan prosedur konstitusional cita hukum di Indonesia. Tinggal bagaimana lebih dikerucutkan dalam bidang hukum ekonomi syari’ah. C. Arah Reformulasi Hukum Ekonomi Syari’ah Pasca Reformasi Sebetulnya kajian tentang konfigurasi politik dan hukum Islam di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Sebagai contoh misalnya kajian 21 Keanekaragaman yang dimaksud adalah perbedaan pemahaman orang Islam di dalam memahami hukum Islam yang memiliki dua kecenderungan, yakni hukum Islam identik dengan syari’ah dan identik dengan fiqh. Ini banyak terjadi bukan hanya di kalangan ulama Fiqh, tetapi juga di kalangan akademisi dan praktisi hukum Islam. Lihat M. Atho Mudzhar, “Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum Islam,” dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 tahun II (Jakarta: AI-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1991), p. 21-30 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah... 111 Ahmad Gunaryo,22 yang berjudul “Pergumulan Politik dan Hukum Islam; Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan Pupuk Bawang Menuju Peradilan yang Sesungguhnya.” Salah satu pokok kajian Gunaryo adalah menguraikan proses rekonsiliasi kelembagaan instrumentatif antar Peradilan Agama dan Hukum Islam di satu sisi dan Peradilan Hukum Sekular di sisi lain. Termasuk kajian terkait hukum ekonomi syari’ah yang menjadi wilayah kewenangan peradilan agama, namun masih dalam kajian yang umum. Secara etimologi, kata ekonomi berasal dari kata latin: Oikonomia, yang terdiri dari dua kata oikos yang berarti rumah-tangga, dan nomos artinya mengatur. Sehingga secara literar ekonomi, diartikan sebagai halhal yang berkaitan dengan ilmu mengatur rumah-tangga. Sementara dalam literatur Arab, ilmu ekonomi disebut dengan ilmu al-iqtishad yang diambil dari kata qashada, yaqshudu, qashdan yang berarti niat, maksud, tujuan, atau jalan lurus. Selain itu dari akar kata Al-Qashdu kemudian menjadi kata almuqtashid, yang berarti penghematan dan kesederhanaan (economze-simplicty), dalam arti inilah padanan kata ekonomi yang tepat dalam bahasa arab.23 Sedangkan, perkataan syari’ah dapat difahami sebagai perangkat hukum ilahiah yang berupa dalil-dalil qat’i (definitif-imperatif), maupun yang bersifat zanni (hipotetik-probalistik).24 Dari penggabungan dua kata “ekonomi” dan “syari’ah” tersebut yang dimaksudkan adalah produk keuangan/transaksi ekonomi yang dilihat dari berbagai sudut pandang kislaman terutama aspek hukum atau syari’ahnya. Dua faktor yang ingin dicapai adalah dimensi insaniyah dan dimensi ilahiyat dalam sistem ekonomi Islam. Dalam perspektif metodologi (ushul fikih), masalahmasalah ekonomi yang masuk kategori muamalah adalah bagian dari masalah-masalah “taaqquli” yang menjadi domain umat untuk merekayasa sistem dan tekniknya, sehingga sistem maupun hukum ekonomi syari’ah senantiasa menerima perkembangan dan berubahan, “qoobilun li al-taghyir wa al-niqas wa tajdiid” agar bersifat dinamis sejalan dengan arus perubahan zaman yang melingkupi kehidupan umat manusia. Walaupun demikian kebebasan melakukan perubahan dan pembaruan tersebut tidak mutlak tetapi ada batasan-batasan hukum yang bersifat universal.25 Lihat Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik Dan Hukum Islam; Reposisi Peradilan Agama dan Peradilan Pupuk Bawang Menuju Peradilan Sesungguhnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), p. 12. 23“definisi ekonomi,” dalam http://ekonomidalamislam.blogspot.com/2007/12/definisi-ekonomi.html, akses 16 April 2013. 24 M. Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syari'ah, (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), p. 99 25 M. Yazd Afandi, “Perbankan dalam Perspektif Ushul Fiqih,” dalam http://kuifmandiri10.wordpress.com/2012, akses pada 16 April 2013. 22 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah... 112 Senafas dengan itu, dapatlah dikatakan bahwa legislasi hukum ekonomi syari’ah di Indonesia semakin terasa penting. Apalagi ketika dihubungkan dengan pembangunan ekonomi nasional Indonesia yang disebut-sebut berorientasi atau berbasis kerakyatan. Urgensi dari kedudukan dan peran hukum ekonomi syari’ah dapat dilihat dari berbagai sudut pandang misalnya sudut pandang sejarah, komunitas bangsa Indonesia, kebutuhan masyarakat, dan bahkan dari sisi falsafah dan konstitusi negara sekalipun. Hal ini juga sejalan dengan UUD 1945 BAB XI (Agama) Pasal 29 ayat (1) dan (2), serta BAB XIV Pasal 33 dan 34 yang mengatur perihal perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial Indonesia.26 Pijakan arah politik hukum bidang ekonomi syari’ah di Indonesia memang baru tampak dalam tahapan legislasi UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memungkinkan beroperasinya bank dengan sistem bagi hasil (Pasal 6).27 UU ini kemudian dirubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang secara eksplisit menyebutkan istilah "bank berdasarkan prinsip syariah". Terbitnya UU tersebut, menjadi moment penting bagi dimulainya gerakan ekonomi syari’ah di Indonesia. Setelah itu, gerakan ekonomi syariah terus digaungkan dan diperjuangkan oleh para aktivis ekonomi syariah, baik para ulama, akademisi maupun praktisi tidak kenal lelah. Hal ini tentunya sangat menggembirakan dan harus disyukuri, karena setahap-demi setahap hukum syari’ah diundangkan dalam konstitusi hukum positif dapat menjamin kepastian hukum bagi umat Islam Indonesia.28 Hal ini menegaskan bahwa kehadiran ekonomi syari’ah di Indonesia tidak hanya semata-mata memperkaya khazanah intelektual para ilmuwan, tetapi juga turut serta menjadi solusi terbaik bagi perkembangan dan pembangunan suatu negara, karena ia menjadi alternatif sistem perekonomian tidak saja di Indonesia tetapi juga dunia dan kelanjutan peradaban umat manusia. Hanya saja hukum ekonomi syari’ah Islam itu harus terus dikaji secara mendalam sesuai dengan perkembangan zaman, tanpa harus melanggar norma-norma atau etika yang diajarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Karena itu Ijtihad atau fatwa ulama mempunyai perananan penting untuk menjawab permasalahan-permasalahan baru yang timbul seputar masalah ekonomi syari’ah. Sebab sistem dan kegiatan perekonomian yang terjadi saat ini seakan-akan tidak terjamah oleh Anonim, “Arah Pengembangan Hukum Ekonomi Syari’ah di Indonesia,” dalam www.nyatanyatafakta.info , akses pada 5 Februari 2013. 27 Sistem bagi hasil merupakan konsepsi dasar ekonomi berbasis syari’ah. 28 M. Ridwan, “Era Baru Hukum Syari’ah di Indonesia,” dalam www.ensiklopediaislamika.blogspot.com, akses pada 5 Februari 2013. 26 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah... 113 konsep-konsep fikih klasik yang telah ada sehingga terjadi kesenjangan antara realitas masa kini dengan konsep-konsep fikih klasik. Pada proporsi seperti inilah mutlak diperlukan adanya rekonstruksi-dekonstruksi pemikiran diakibatkan adanya tuntutan dan kebutuhan zaman. Dalam upaya pembaharuan hukum ekonomi syari’ah di Indonesia, terdapat beberapa kaidah yang secara spesifik dapat dijadikan dasar arah politik hukum islam di Indonesia, yaitu kaidah tafriq al-halal min al-haram dan i’adah an-nadhar.29 a. Tafriq al-halal min al-haram Kaidah ini relevan dikembangkan di bidang ekonomi syari’ah, mengingat bahwa kegiatan ekonomi syari’ah belum bisa terlepas sepenuhnya dari sistem ekonomi konvensional yang mengandung unsur riba. Paling tidak, lembaga ekonomi syariah akan berhubungan dengan ekonomi konvensional yang ribawi dari aspek permodalan, pengembangan produk, maupun keuntungan yang diperoleh. Kaidah tafriq al-halal min alharam (pemisahan unsur halal dari yang haram) dapat dilakukan sepanjang yang diharamkan tidak lebih besar atau dominan dari yang halal. Bila unsur haram dan halal telah dapat diidentifikasi maka unsur haram harus dikeluarkan. b. I’adah al-nadhar Pembaruan hukum ekonomi syariah juga dapat dikembangkan dengan mengedepankan teori i’adah al-nadhar (telaah ulang) dengan cara menguji kembali alasan hukum (illat) dari pendapat ulama terdahulu tentang suatu masalah. Telaah ulang ini dilakukan, karena illat hukumnya telah berubah atau karena beberapa pendapat para ulama terdahulu dipandang tidak aplikatif dan tidak memadai dengan kondisi kontemporer. Pendapat itu dianggap sudah tidak cocok lagi untuk dipedomani, karena sulit diimplementasikan (ta’assur, ta’adzdzur aw shu’ubah al-amal). Salah satu cara yang bisa dipakai untuk melakukan telaah ulang adalah dengan menguji kembali pendapat yang mu’tamad dengan mempertimbangkan pendapat hukum yang selama ini dipandang lemah (marjuh bahkan mahjur), karena adanya illat hukum yang baru dan atau pendapat tersebut lebih membawa kemaslahatan. Implementasi kebijakan hukum Ekonomi syari’ah di Indonesia menemui momentumnya sejak didirikannya Bank Muamalat Indonesia tahun 1992, dengan landasan hukumnya UU Nomor 7 Tahun 1992 29 Ibid. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah... 114 tentang perbankan, yang telah direvisi dalam UU No 10 tahun 1998.30 Selanjutnya berturut-turut telah hadir beberapa UU sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap kemajuan aplikasi ekonomi Islam di Indonesia, termasuk penanganan sengketa syari’ah. mealui Pengadilan Agama.31 Kewenangan ini merupakan bentuk perubahan politik hukum terkait kewenangan pengadilan agama sebelumnya. Lahirnya UU No. 3 tahun 2006 ini membawa implikasi baru, yakni terhadap perundang-undangan yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara luas.32 Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah diselesaikan di PN yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah dan masih mengacu pada ketentuan KUH Perdata.33 Arus politik hukum ekonomi syari’ah pasca reformasi telah melahirkan sejumlah undang-undang dan peraturan perundangan lainnya, misalnya UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, UU No. 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Berbagai Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Bapepam, dan peraturan-peraturan lainnya, merupakah langkah politik hukum yang luar biasa dalam melengkapi kelembagaan “hukum” untuk mewujudkan gerakan ekonomi syari’ah di Indonesia. Selanjutnya kemajuan itu juga terlihat dengan kehadiran KHES berdasarkan PERMA No 2 Tahun 2008, dengan segala kekurangannya, setidaknya layak diapresiasi dan direspon konstruktif dengan melakukan studi kritis terhadap materi yang ada di dalam KHES yang berisi 4 buku, 43 bab, 796 Pasal.34 Di antara beberapa hal yang perlu dikritisi adalah Rahmani Timorita Yulianti, “Perbankan Islam di Indonesia (Studi Peraturan Perundang-undangan)”, dalam Jurnal FENOMENA, Vol. 01 No.2, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UII, p. 104. 31 Lihat UU No. 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama Pasca Perubahan 32 Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi : a. Bank syariah, 2.Lembaga keuangan mikro syari’ah, c. asuransi syari’ah, d. reasurasi syari’ah, e. reksadana syari’ah, f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, g. sekuritas syariah, h. Pembiayaan syari’ah, i. Pegadaian syari’ah, j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan k. bisnis syari’ah. 33 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, ( Jakarta: Gema Insani Press bekerja sama dengan Tazkia Institute , 2001), p. 214. 34 Buku I berisi tentang Subyek Hukum dan Amwal (3 bab, 19 Pasal), Buku II tentang Akad (29 bab, 655 Pasal). Buku III tentang Zakat dan Hibah (4 bab, 60 Pasal), dan Buku IV tentang Akuntansi Syariah (7 bab, 62 Pasal). Sebagai perbandingan adalah Majallah, pengkodivikasian hukum Islam yang dibuat pada masa pemerintahan Turki Usmani (Ottoman Empire) yang pembuatannya memakan waktu selama 7 tahun (1285 H/1869 M – 1293 H/1876 M, yang berlaku di seluruh wilayah kekuasaan Turki Usmani. Lihat M.Rusydi “ Formalisasi Hukum Ekonomi Islam: Peluang dan Tantangan (Menyikapi UU No.3 Tahun 2006) dalam Jurnal Hukum Islam Al-Mawarid, Edisi XVII Tahun 2007, p. 10. 30 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah... 115 pertama, posisi KHES dalam konteks bangunan hukum nasional. Kedua, paradigma dan prinsip yang menjadi pijakan dalam perumusan KHES. Ketiga, pendekatan dan metode istinbat yang dilakukan tim KHES dalam melahirkan hukum ekonomi syari’ah. Keempat, hubungan KHES dengan undang-undang terkait. Kelima, kedudukan dan kewenangan DSN pasca lahirnya KHES. Keenam, apakah aturan-aturan hukum di dalam KHES memberikan ruang yang cukup luas bagi perkembangan ekonomi syariah atau malah sebaliknya akan membatasi ruang gerak ekonomi syariah.35 Dalam memperkuat proses legislasi hukum ekonomi syari’ah ke jalur legislasi, setidaknya perlu memperhatikan tiga hal yaitu subtansi, bentuk dan proses. Dalam hal subtansi, diperlukan doktrin-doktrin yang ada dalam kitab fikih, ijtihad dan fatwa para ulama, serta putusan hakim dalam bentuk yurisprudensi dan yang sudah terakomodir dalam peraturan perundang-undangan, merupakan acuan yang tidak dapat diabaikan. Dalam hal bentuk, yang perlu diperhatikan yakni jangkauan berlakunya disesuaikan dengan tingkatan hirarkis perundang-undangan di Indonesia. Sedangkan dalam hal proses tergantung pada yang dipilih, karena legislasi hukum ekonomi syari’ah menjurus dalam bentuk undang-undang, prosesnya lebih sulit daripada bentuk peraturan pemerintah dan peraturanperaturan dibawahnya.36 Namun demikian melihat kenyataan yang ada, lahirnya kopendium atau undang-undang tentang ekonomi syari’ah mempunyai peluang yang cukup besar, bebarapa hal penting yang berpotensi sebagai faktor pendukung yakni antara lain:37 1).Subtansi hukum ekonomi syariah yang established (sudah mapan), disamping telah adanya KHES, penggunaan fikih-fikih produk imam madzhab25 yang sudah teruji pelaksanaannya baik di lingkungan Pengadilan Agama maupun dalam dalam masyarakat, juga ditunjang beberapa pemikiran fikih madzhab Indonesia yang telah lama digagas oleh para pakar hukum Islam di Indonesia. 2). Produk legislasi adalah produk politik, sehingga untuk berhasil memperjuangkan legislasi hukum Islam harus mendapatkan dukungan suara mayoritas di lembaga pembentuk hukum dan fakta politik Lembaga-lembaga yang juga mengiringi arus politik hukum ini seperti Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), dan sebagainya. Gerakan dan perjuangan ekonomi syariah ini kemudian melahirkan lembaga-lembaga teknis di lingkungan pemerintah, seperti Direktorat Perbankan Syari’ah di Bank Indonesia, Direktorat Pembiayaan Syari’ah di Departemen Keuangan, dan berbagai biro di Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM). 36 Suhartono, Menggagas Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah ke Ranah Sistem Hukum Nasional, dalam www.badilag.net, akses 15 April 2013 37 Ibid., p. 10 35 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah... 116 menunjukkan bahwa meskipun aspirasi politik Islam bukan mayoritas di Indonesia. 3). Materi hukum yang hendak diusung ke jalur legislasi mencakup hukum privat yang bersifat universal dan netral sehingga tidak memancing sentimen agama lain. Kemungkinan besar tidak akan menimbulkan gejolak sosial yang cost-nya sangat mahal. 4). Sistem politik Indonesia memberikan peluang bagi tumbuh dan berkembangnya aspirasi politik Islam, termasuk aspirasi untuk melegislasikan hukum ekonomi syari’ah. 5). Pada tataran yuridis konstitusional, berdasarkan Sila Pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945, hukum Islam adalah bagian dari hukum nasional dan harus ditampung dalam pembinaan hukum nasional, serta sejalan dengan program legislasi nasional. Selain itu, hukum ekonomi syari’ah yang diusung ke jalur legislasi dalam bentuk buku atau kitab undang-undang yang tersusun rapi, praktis dan sistematis selain mengokohkan eksistensi fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dalam pelaksanaan perundang-undangan yang dibentuk, termasuk dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI), juga harus bukan hanya berasal dari satu madzhab fikih saja, melainkan dipilih dan di-tarjih (menguatkan salah satu dari beberapa pendapat madzhab) dari berbagai pendapat madzhab fikih yang lebih sesuai dengan kondisi dan kemaslahatan yang menghendaki. Hal ini secara otomatis menghilangkan sikap ta’assub (fanatik) madzhab, dan dapat dierima banyak pihak. Agar dari sekian gambaran idealisme tersebut dapat terwujud, satu hal yang perlu dicatat adalah sejauhmana kesungguhan lembaga eksekutif maupun legislatif untuk merumuskan undang-undang tersebut secara baik dan berkualitas. Agar melalui program legislasi nasional tersebut, subtansi hukum yang dilahirkan bukan hanya mejadi hukum positif, namun kadar hukum itu akan menjadi bagian terbesar dari pelaksanaan hukum yang memberikan kebaikan bagi seluruh masyakat dan kemajuan bangsa. Sebagaimana dikatakan Lawrence M. Friedman, budaya hukum merupakan bagian dari sistem hukum.38 Senada dengan itu, Chambliss dan Seidman mengemukakan adanya pengaruh-pengaruh kekuatan sosial dalam bekerjanya hukum.39 Implementasi ketentuan peraturan perundangan yang mengatur tentang pertanggungjawaban di depan hukum juga dipengaruhi oleh budaya hukum pelaku yang ada di H.R.Otje Salman dan Anthon F.Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, (Bandung: PT Alumni, 2004), p. 49-63 39 Esmi Warassih, Basis Sosial Hukum: Pertautan Ilmu Pengetahuan Hukum dan Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Pranata Hukum, (Sebuah Telaah Sosiologis), (Semarang: PT Suryandaru Utama, 2005), p. 12 38 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah... 117 masyarakat. Kekuatan sosial keagamaan juga mempengaruhi bekerjanya hukum di masyarakat. Mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam, oleh karena itu adalah wajar jika mereka mengamalkan ajaran syari`at agamanya sebagai wujud ketaatan kepada Tuhan. Kekuatan sosial yang terbangun dalam tradisi masyarakat ini mempengaruhi bekerjanya hukum termasuk aturan tentang pertanggungjawaban hukum yang terdapat dalam peraturan perundangan di Indonesia. Harry C.Bredemeier menyatakan bahwa hukum dapat digunakan sebagai pengintegrasi, dan sarana untuk memperlancar integrasi sosial. Teori ini merupakan pengembangan dari teori sistem sosial Talcott Parsons, yang mengatakan bahwa sistem sosial terurai dalam sub sistemsub sistem.40 Talcott Parsons dengan teori struktural fungsional yang dimulai dengan empat fungsi penting sistem tindakan, yaitu adaptation (adaptasi), goal attainment (pencapaian tujuan), integration (integrasi), dan latency (pemeliharaan pola). Yang diperlukan dalam teori tindakan adalah suatu adaptasi aktif, bukan pasif. Teori ini menuntut adanya transformasi lingkungan secara aktif melawan kemandekan, untuk merealisasikan nilainilai kemanusiaan. Upaya manusiawi menghasilkan keseimbangan yang kompleks antara faktor-faktor yang menghalangi dan memperlancar perubahan evolusioner. Hal ini sesuai dengan tujuan hukum dalam paradigma al-Siyasat alSyar’iyyah (politik hukum) yang menyatakan bahwa, kebijakan pemimpin atas rakyat semata mata demi kemashlahatan bersama (tasarruf al-imam ‘ala raiyyah manuttun bi al-maslahah). Kaidah tersebut mengandung makna bahwa kebijakan pemimpin didasarkan atas dan bertujuan semata-mata untuk mewujudkan kemaslatan umum yang dapat memberikan manfaat bagi rakyat yang dipimpinnya.41 Di sisi lain, ketika sebuah produk perundang-undangan telah melembaga dan menjadi kesadaran hukum, maka ia akan dapat menjadi cetak biru (blue print) bagi masyarakat, untuk mengawasi masyarakat (social control), agar juga senantiasa berada dalam kebaikan dan kesejahteraan dalam bingkai negara hukum Indonesia yang berasaskan pancasila. Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1977), p. 143 - 148 41 Ali Ahmad an-Nadwi, al-Qawa’id al-Fiqhiyya, (Damascus: Dar al-Qalam, 2000), p. 157. Lihat pula Jalal al-Din 'Abd al-Rahman al-Suyuti, al-Ashbah wa al-Nazair, Cet. I (Beirut: Muassasah al-Kutub al-haqafiyyah, 1994), p. 158. 40 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 118 Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah... D. Kesimpulan Terdapat beberapa kesimpulan dari kajian keberlangsungan hukum ekonomi syari’ah ini. Pertama, penerapan hukum Islam dalam kegiatan ekonomi atau kegiatan keuangan lainnya yang modern bukanlah pekerjaan yang sederhana. Dalam konteks itu, perkembangan ekonomi syari’ah sedikit banyak ditentukan oleh dinamika internal umat serta hubungan yang harmonis antara umat Islam dan Negara. Iklim politik yang kondusif memungkinkan berkembannya perbankan syariah, yang pada akhirnya, politik hukum dalam bidang ekonomi syari’ah ditentukan oleh proses integrasi gagasan sosial politik Islam kedalam sistem dan konfigurasi sosial politik nasional. Kedua, dalam konteks sengketa ekonomi syari’ah seharusnya dipertegas bahwa perselisihan dalam masalah ekonomi syariah, hanya bisa diselesaikan di Peradilan Agama dan untuk Pengadilan Negeri tidak dibenarkan. Hal ini agar tidak terjadi dualisme putusan dan fungsi kelembagaan. Selain itu diperlukan perubahan (penambahan) materi Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah Islam (KHES) yang terintegrasi dengan KHI didalamnya melalui kitab undang-undang tersendiri selevel KUHPerdata, sehingga menjadi produk hukum yang komprehensif dalam tataran peraturan perundang-undangan. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah... 119 Daftar Pustaka Afandi, M. Yazid, “Perbankan dalam Perspektif Ushul Fiqih,” dalam http://kuifmandiri10.wordpress.com/2012, akses pada 16 April 2013. Agustianto, “Urgensi Kodifikasi Hukum Ekonomi Syari’ah,” dalam www.pesantrenvirtual.com, akses 19 September 2012. Al-Rahman al-Suyuti, Jalal al-Din 'Abd, al-Ashbah wa al-Nazair, Beirut: Muassasah al-Kutub al-haqafiyyah, 1994. An-Nadwi, Ali Ahmad, al-Qawa’id al-Fiqhiyya, Damascus: Dar al-Qalam, 2000. Anonim, “Arah Pengembangan Hukum Ekonomi Syari’ah di Indonesia,” dalam www.nyatanyatafakta.info , akses pada 5 Februari 2013. Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press bekerja sama dengan Tazkia Institute , 2001. Bisri, Cik Hasan, “Transformasi Hukum Islam Ke Dalam Sistem Hukum Nasional,” Jurnal Mimbar Hukum, No. 56 Thn XIII, Al-Hikmah, Jakarta, 2002. Gunaryo, Achmad, Pergumulan Politik Dan Hukum Islam; Reposisi Peradilan Agama dan Peradilan Pupuk Bawang Menuju Peradilan Sesungguhnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Hasan, M. Hasbi, Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syari'ah, Jakarta: Gramata Publishing, 2010. http://harry-arudam.blogspot.com, akses pada 14 Februari 2013 http://www.pengertiandefinisi.com, akses pada 14 Februari 2013 Lubis, M. Solly, Politik Dan Hukum Di Era Reformasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003. Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Era Reformasi,” Jurnal Islamica, Vol 6, No. 1, September 2011. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 120 Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah... Mubarak Seff, Syaugi, “Regulasi Perbankan Syari’ah Pasca Lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah (Kajian Politik Hukum),” Jurnal Risalah Hukum, Vol. 6, No. 2,Desember 2008. Mudzhar, M. Atho, “Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum Islam,” dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 tahun II, Jakarta: AI-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1991. Muttaqien, Dadan, “Legislasi Hukum Islam Di Indonesia Dalam Prespektif Politik Hukum,” dalam http://master.islamic.uii.ac.id, akses pada 14 Februari 2013. Nonet, Philippe and Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, New York: Harper & Row, 1978. Rahardjo, Satjipto, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1977. Ridwan, M., “Era Baru Hukum Syari’ah di Indonesia,” dalam www.ensiklopedia-islamika.blogspot.com, akses pada 5 Februari 2013. Rusydi, M.,“ Formalisasi Hukum Ekonomi Islam: Peluang dan Tantangan (Menyikapi UU No.3 Tahun 2006) dalam Jurnal Hukum Islam AlMawarid, Edisi XVII Tahun 2007. Salman, H.R.Otje dan Anthon F.Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Bandung: PT Alumni, 2004. Sodiqin, Ali, “Periodisasi Sejarah Hukum Islam di Indonesia,” dalam www. serbasejarah.wordpress.com, akses pada 19 September 2012. Soekanto, Soerjono dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Jakarta: Rajawali, 1987. Suhartono, “Dinamika Politik Hukum Kompetensi Peradilan Agama,” dalam www.badilag.net, akses pada 19 September 2012. Suhartono, “Menggagas Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah Ke Ranah Sistem Hukum Nasional,” dalam www.badilag.net. Akses pada 19 September 2012. UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah... 121 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. UUD 1945 Pasca Perubahan. Warassih, Esmi, Basis Sosial Hukum: Pertautan Ilmu Pengetahuan Hukum dan Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Pranata Hukum, (Sebuah Telaah Sosiologis), Semarang: PT Suryandaru Utama, 2005. Yulianti, Rahmani, Timorita “Perbankan Islam di Indonesia (Studi Peraturan Perundang-undangan)”, dalam Jurnal FENOMENA, Vol. 01 No.2, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UII, p. 104. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 122 Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah... SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Hukum Menuju Peningkatan Akreditasi Oleh: Ach. Tahir Abstract The curriculum is at the heart of education Determines that all motion learning activities undertaken by educational institutions that are based on what is planned in the curriculum. The principle of Determining the curriculum, in the Faculty of Sharia and Law of the State Islamic University Sunan Kalidjaga Yogyakarta, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Depok London following a deal agreed by 30 of the 35 people Dean of the Faculty of Law, State Universities (PTN) in Indonesia on April 22, 2006 were agreed as much as 23 compulsory courses offered by the Faculty of Law of any State College (PTN), in Indonesia to his students. The number of credits available at each study program is based on the Decree Kemendikbud RI No.0211/U/1982 stating that the Program Tier 1 (One) set a minimum cumulative study of 144 credits and a maximum of 160 credits are packaged in 8 semesters to 14 semesters. Key words: curriculum development, accreditation and education. Abstrak Kurikulum merupakan jantung pendidikan yang menentukan semua gerak kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh institusi pendidikan yang didasarkan pada apa yang direncanakan dalam kurikulum. Prinsipnya penentuan kurikulum, di Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung mengikuti kesepakatan Depok yang disepakati oleh 30 dari 35 orang Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri (PTN) se-Indonesia pada tanggal 22 April 2006 yang menyepakati sebanyak 23 Mata kuliah wajib ditawarkan oleh setiap Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri (PTN), se-Indonesia kepada para mahasiswanya. Jumlah SKS yang ada pada setiap Program Studi didasarkan pada Surat Keputusan Kemendikbud R.I. No.0211/U/1982 yang menyatakan bahwa Program Strata 1 (Satu) ditetapkan studi komulatif minimal 144 SKS dan maksimal 160 SKS yang dipaketkan dalam 8 semester sampai 14 semester. Kata kunci: pengembangan kurikulum, akreditasi dan pendidikan. Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. E-mail: [email protected] SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan... 124 A. Pendahuluan Pendidikan tinggi di abad ke-21 dihadapkan pada persoalan globalisasi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun sosial budaya yang melanda Indonesia dan dunia. Pada era borderless world ini, dunia pendidikan dikejutkan dengan adanya model pengelolaan pendidikan berbasis industri membuat kejadian yang terjadi di suatu wilayah pada saat tertentu akan berpengaruh sama di wilayah lain.1 Pengelolaan model ini secara filosofis, menekankan pada pencarian secara konsisten terhadap perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Karena tujuan umum pendidikan adalah mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya dalam arti pendidikan yang dilakukan tetap mempertahankan kesatuan, keanekaragaman, mengembangkan cita-cita perorangan.2 Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan secara merata dengan keunggulan (excellence) dan penyeimbangan (equity) antara pemanfaatan (acces) dengan prestasi (achievement).3 Tujuan yang mulia ini akan dapat tercapai apabila dilakukan aktivitas pendidikan yang bertanggung jawab dan terjaminnya kualitas akademik pada desain, manajemen proses pendidikan, bertumpu pada konsep pertumbuhan, pengembangan, pembaharuan, dan kelangsungannya sehingga penyelenggaraan pendidikan harus dikelola secara profesional. Bidang pendidikan yang menjadi tumpuan harapan banyak pihak untuk dapat menghasilkan sumber daya yang berkualitas, kerap terengah-engah karena dihadapkan pada persoalan serius akibat perkembangan yang terusmenerus dan sangat cepat.4 Salah satu tantangan Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung ke depan yang harus mendapat perhatian adalah peningkatan akreditasi dan mutu, mengingat akreditasi adalah suatu bentuk penilaian resmi dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa Prodi tersebut mempunyai standart mutu nasional, karena strategi yang dikembangkan dalam penggunaan manajemen mutu terpadu dalam dunia pendidikan institusi pendidikan memposisikan dirinya sebagai institusi jasa yang 1Ali Mudlofir, Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Bahan Ajar dalam Pendidikan Agama Islam,(Jakarta: Rajawali Press, 2007), p. 9. 2Muhammad Ilyasin dan Nanik Nurhayati, Manajemen Pendidikan Islam, (Malang: Aditya Media Publishing, 2012), p. 1. 3Zainudin, Reformasi Pendidikan: Kritik Kurikulum dan Manajemen Berbasis Sekolah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), p. 30. 4Mudyaharjo, Redja, Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), p. 34. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan... 125 memberikan pelayanan (service) sesuai yang diinginkan oleh pelanggan (customer). Jasa atau pelayanan yang diinginkan oleh pelanggan tentu saja merupakan sesuatu yang bermutu dan memberikan kepuasan terhadap mereka. Maka pada saat itulah dibutuhkan suatu sistem manajemen Prodi yang mampu memberdayakan program studi agar lebih bermutu.5 Sedangkan misi dari Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung adalah memadukan dan mengembangkan keilmuan serta keislaman dalam pendidikan dan pengajaran ilmu hukum yang berwawasan keindonesiaan dan kemanusiaan, mengembangkan budaya ijtihad atau penemuan hukum dalam penelitian ilmu hukum secara multidisipliner serta bermanfaat bagi kepentingan akademik dan masyarakat, meningkatkan peran serta Program Studi Ilmu Hukum dalam menyelesaikan persoalan bangsa berdasarkan pada keislaman dan keilmuan melalui penerapan ilmu hukum bagi teruwujudnya masyarakat madani, membangun kepercayaan dan mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan Tri Dharma perguruan tinggi.6 Untuk mengetahui secara lengkap, urgensi pengembangan kurikulum berbasis akreditasi, diperlukan teori-teori pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mengkritisi memanajemen kurikulum yang sudah ada. Tulisan ini akan membahas secara mendalam tentang upaya pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, untuk peningkatan akreditasi. B. Kajian terhadap Kurikulum Secara Umum Kurikulum memiliki posisi sentral dalam setiap upaya pendidikan. Posisi sentral ini menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan kependidikan yang utama adalah proses interaksi akademik antara peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa setiap interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat 5Edwar Sallis, Total Quality Managemen In Education, Manajemen Mutu Terpadu Pedidikan, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), p. 7. 6Lihat buku pedoman panduan akademik, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun Akademik 2011. Lihat juga buku Pedoman Panduan Akademik, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Tahun Akademik 2011. Baca juga buku pedoman panduan akademik, Fakultas syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun Akademik 2011. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan... 126 dilakukan tanpa interaksi dan kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.7 Kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus dapat memberikan “academic accountability” dan "legal accountability" berupa kurikulum8. Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum maka ia harus mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan tersebut. Dalam pengertian "intrinsic" kependidikan maka kurikulum adalah jantung pendidikan Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah didasarkan pada apa yang direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah kehidupan yang dirancang berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum. Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan adalah didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan kurikulum.9 Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi kualitas pribadi yang maksimal. Untuk menegakkan akuntabilitasnya maka kurikulum tidak boleh hanya membatasi diri pada persoalan pendidikan dalam pandangan perenialisme atau esensialisme. Kedua pandangan ini hanya akan membatasi kurikulum, dan pendidikan, dalam kepeduliaannya. Kurikulum dan pendidikan melepaskan diri dari berbagai masalah sosial yang muncul, hidup, dan berkembang di masyarakat. Kurikulum menyebabkan sekolah menjadi lembaga menara gading yang tidak terjamah oleh keadaan 7Made Pidarta, Landasan Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta,2000), p. 30. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, (Jakarta: Grafindo persada, 1996), 8Subandijah, p. 12. 9Muhammad Ansyar, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Dirjen Dikti, 1988), p. 25. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan... 127 masyarakat dan tidak berhubungan dengan masyarakat. Situasi seperti ini tidak dapat dipertahankan dan kurikulum harus memperhatikan tuntutan masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa mendatang. Problema masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi kepeduliaan dan masalah kurikulum. Apakah kurikulum bersifat mengembangkan kualitas peserta didik yang diharapkan dapat memperbaiki masalah dan tantangan masyarakat ataukah kurikulum merupakan upaya pendidikan membangun masyarakat baru yang diinginkan bangsa menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda.10 Secara singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah kurikulum adalah "construct" yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan. Pengertian kurikulum berdasarkan pandangan filosofis perenialisme dan esensialisme sangat mendukung posisi pertama kurikulum ini. Kedua, adalah kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi ini dicerminkan oleh pengertian kurikulum yang didasarkan pada pandangan filosofi progresivisme. Posisi ketiga adalah kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai11 rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan.12 Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan pendidikan lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar pendidikan bangsa Indonesia yang diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar. Apabila pendidikan dasar Indonesia adalah 9 tahun maka tujuan pendidikan nasional harus tercapai dalam masa pendidikan 9 tahun yang dialami seluruh bangsa Indonesia. Tujuan di atas pendidikan dasar tidak mungkin tercapai oleh setiap warganegara karena pendidikan tersebut, pendidikan menengah dan tinggi, tidak diikuti oleh setiap warga bangsa. Oleh karena itu kualitas yang dihasilkannya bukanlah kualitas yang harus dimiliki seluruh warga bangsa tetapi kualitas yang dimiliki hanya oleh sebagian dari warga bangsa.13 10Haris Mudjiman, Manajemen Pelatihan Berbasis Belajar Mandiri. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), p. 21. 11 A.A. Anwar Prabu Mangkunegara, Perencanaan Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Bandung: PT. Rineka Cipta,2003), p. 45. 12 Peter Oliva, Developing The Curriculum, (New York: Harper Collin Publishers, 1992), p. 56. 13 A.A. Anwar Prabu Mangkunegara, Perencanaan Pengembangan Sumber, p. 119. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 128 Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan... Peraturan perundangan ini kemudian kembali dituliskan dalam PP 17 Tahun 2010 Pasal 97 ayat 3 yang bunyinya:14 Pasal 97 (1) Kurikulum perguruan tinggi dikembangkan dan dilaksanakan berbasis kompetensi. (2) Kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk setiap program studi di perguruan tinggi dikembangkan dan ditetapkan oleh tiap-tiap perguruan tinggi dengan mengacu Standar Nasional Pendidikan. (3) Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi elemen kurikulum sebagai berikut: a. landasan kepribadian; b. penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga; c. kemampuan dan keterampilan berkarya; d. sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai; e. penguasaan kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya. Dengan demikian, ketentuan bahwa kurikulum pendidikan tinggi harus berbasis kepada kompetensi dan mengandung lima elemen secara lengkap sebagaimana tertuang dalam pasal 97 ayat 1-3 PP 17/2010 adalah yang harus dilaksanakan oleh pendidikan tinggi.15 Suatu kurikulum disusun dengan mengacu pada satu atau beberapa teori kurikulum dan teori kurikulum dijabarkan berdasarkan teori pendidikan tertentu. Nana S. Sukmadinata mengemukakan 4 (empat ) teori pendidikan, yaitu : (1) pendidikan klasik; (2) pendidikan pribadi; (3) teknologi pendidikan dan (4) teori pendidikan interaksional.16 1. Pendidikan Klasik (classical education) Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, seperti Perenialisme, Eessensialisme, dan Eksistensialisme dan memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses. Isi pendidikan atau materi diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan sistematis. Dalam praktiknya, pendidik mempunyai peranan besar dan 14Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (Jakarta: Depdiknas,2003). 15 Ibid. 16Nana S. Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2009), p. 40. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan... 129 lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari pendidik. Pendidikan klasik menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum subjek akademis, yaitu suatu kurikulum yang bertujuan memberikan pengetahuan yang solid serta melatih peserta didik menggunakan ide-ide dan proses ”penelitian”, melalui metode ekspositori dan inkuiri.17 2. Pendidikan Pribadi (personalized education) Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa sejak dilahirkan anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Pendidikan harus dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dengan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik menjadi pelaku utama pendidikan, sedangkan pendidik hanya menempati posisi kedua, yang lebih berperan sebagai pembimbing, pendorong, fasilitator dan pelayan peserta didik. Teori ini memiliki dua aliran yaitu pendidikan progresif dan pendidikan romantik. Pendidikan progresif dengan tokoh pendahulunya- Francis Parker dan John Dewey memandang bahwa peserta didik merupakan satu kesatuan yang utuh. Materi pengajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Ia merefleksi terhadap masalahmasalah yang muncul dalam kehidupannya. Berkat refleksinya itu, ia dapat memahami dan menggunakannya bagi kehidupan. Pendidik lebih merupakan ahli dalam metodologi dan membantu perkembangan peserta didik sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya masing-masing. Pendidikan romantik berpangkal dari pemikiran-pemikiran J.J. Rouseau tentang tabula rasa, yang memandang setiap individu dalam keadaan fitrah,– memiliki nurani kejujuran, kebenaran dan ketulusan.18 Teori pendidikan pribadi menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum humanis. yaitu suatu model kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi diri. Kurikulum humanis merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih menekankan pada aspek intelektual (kurikulum subjek akademis).19 17Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,2000), p. 72. 18Isaac, S. and Michael, W.B, Handbook in Research and Evaluation; For Education and Behavioral Sciences. Second Edition. San Diego, (Amerika: Edits Publisher, 1981), p. 373. 19Brannen, Julia, Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research. Brookfield USA : Avebury, (London:Oxport Universty, 1992), p. 756. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 130 Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan... 3. Teknologi Pendidikan Teknologi pendidikan yaitu suatu konsep pendidikan yang mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan pendidikan dalam menyampaikan informasi. Namun diantara keduanya ada yang berbeda. Dalam tekonologi pendidikan, lebih diutamakan adalah pembentukan dan penguasaan kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya lama. Dalam konsep pendidikan teknologi, isi pendidikan dipilih oleh tim ahli bidang-bidang khusus. Isi pendidikan berupa data obyektif dan keterampilanketerampilan yang yang mengarah kepada kemampuan vocational. Isi disusun dalam bentuk desain program atau desain pengajaran dan disampaikan dengan menggunakan bantuan media elektronika dan para peserta didik belajar secara individual. Peserta didik berusaha untuk menguasai sejumlah besar bahan dan pola-pola kegiatan secara efisien tanpa refleksi. Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam masyarakat. Pendidik berfungsi sebagai direktur belajar (director of learning)20, lebih banyak tugas-tugas pengelolaan dari pada penyampaian dan pendalaman bahan. Teknologi pendidikan menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum teknologis, yaitu model kurikulum yang bertujuan memberikan penguasaan kompetensi bagi para peserta didik, melalui metode pembelajaran individual, media buku atau pun elektronik, sehingga mereka dapat menguasai keterampilan-keterampilan dasar tertentu.21 4. Pendidikan Interaksional Pendidikan interaksional yaitu suatu konsep pendidikan yang bertitik tolak dari pemikiran manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dan bekerja sama dengan manusia lainnya. Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerja sama dan interaksi. Lebih dari itu, interaksi ini juga terjadi antara peserta didik dengan materi pembelajaran dan dengan lingkungan, antara pemikiran manusia dengan lingkungannya. Interaksi ini terjadi melalui berbagai bentuk dialog. Dalam pendidikan interaksional, belajar lebih sekadar mempelajari fakta-fakta. Peserta didik mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh serta memahaminya dalam konteks kehidupan. Filsafat yang melandasi pendidikan interaksional yaitu filsafat rekonstruksi sosial. Pendidikan interaksional menjadi sumber untuk 20Sindhunata, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), p. 172. 21Deni Darmawan, Teknologi Pembelajaran, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2009),p. 65. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan... 131 pengembangan model kurikulum rekonstruksi sosial, yaitu model kurikulum yang memiliki tujuan utama menghadapkan para peserta didik pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan-gangguan yang dihadapi manusia. Peserta didik didorong untuk mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak (crucial) dan bekerja sama untuk memecahkannya. Untuk mendapatkan rumusan tentang pengertian kurikulum, para ahli mengemukakan pandangan yang beragam. Dalam pandangan klasik, lebih menekankan kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran di suatu sekolah.22 Untuk mengakomodasi perbedaan pandangan tersebut, Hamid Hasan mengemukakan bahwa konsep kurikulum dapat ditinjau dalam empat dimensi, yaitu:23 a. kurikulum sebagai suatu ide; yang dihasilkan melalui teori-teori dan penelitian, khususnya dalam bidang kurikulum dan pendidikan. b. kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, sebagai perwujudan dari kurikulum sebagai suatu ide; yang didalamnya memuat tentang tujuan, bahan, kegiatan, alat-alat, dan waktu. c. kurikulum sebagai suatu kegiatan, yang merupakan pelaksanaan dari kurikulum sebagai suatu rencana tertulis; dalam bentuk praktek pembelajaran. d. kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekwensi dari kurikulum sebagai suatu kegiatan, dalam bentuk ketercapaian tujuan kurikulum yakni tercapainya perubahan perilaku atau kemampuan tertentu dari para peserta didik. Sementara itu, Purwadi memilah pengertian kurikulum menjadi enam bagian:24 (1) kurikulum sebagai ide; (2) kurikulum formal berupa dokumen yang dijadikan sebagai pedoman dan panduan dalam melaksanakan kurikulum; (3) kurikulum menurut persepsi pengajar; (4) kurikulum operasional yang dilaksanakan atau dioprasional kan oleh pengajar di kelas; (5) kurikulum experience yakni kurikulum yang dialami oleh peserta didik; dan (6) kurikulum yang diperoleh dari penerapan kurikulum. Dalam perspektif kebijakan pendidikab nasional sebagaimana dapat dilihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang 22H.A.R. Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007), p.100. 23Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2008), p. 175. 24Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007), p. 95. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan... 132 digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. C. Kajian Terhadap Kurikulum Integrasi-Interkoneksi dalam Kurikulum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung Jargon “integratif-interkonektif” memang cukup populer di dengar terutama bagi kalangan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jargon ini tidak hanya sekedar jargon pasca peralihan IAIN menjadi UIN tetapi lebih dari itu menjadi core values dan paradigma yang akan dikembangkan UIN Sunan Kalijaga yang mengisyaratkan tidak ada lagi dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Gagasan integratifinterkonektif ini muncul dari mantan rektor UIN Sunan Kalijaga Amin Abdullah yang kemudian mengaplikasikannya dalam pengembangan IAIN menjadi UIN. Gagasan keilmuan yang integratif dan interkonektif ini muncul dari sebuah kegelisahan Amin Abdullah,25 terkait dengan tantangan perkembangan zaman yang sedemikian pesatnya yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Teknologi yang semakin canggih sehingga tidak ada lagi sekat-sekat antar bangsa dan budaya, persoalan migrasi, revolusi IPTEK, genetika, pendidikan, hubungan antar agama, gender, HAM dan lain sebagainya. Perkembangan zaman mau tidak mau menuntut perubahan dalam segala bidang tanpa tekecuali pendidikan keislaman, karena tanda adanya respon yang cepat melihat perkembangan yang ada maka kaum muslimin akan semakin jauh tertinggal dan hanya akan menjadi penonton, konsumen bahkan korban di tengah ketatnya persaingan global. Menghadapi tantangan era globlalilasi ini, umat Islam tidak hanya butuh untuk survive tetapi bagaimana bisa menjadi garda depan perubahan. Hal ini kemudian dibutuhkan reorientasi pemikiran dalam pendidikan Islam dan rekonstruksi sistem kelembagaan.26 Jika selama ini terdapat sekat-sekat yang sangat tajam antara science dan religius dimana keduanya seolah menjadi entitas yang berdiri sendiri dan tidak bisa dipertemukan, mempunyai wilayah sendiri baik dari segi objek-formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan hingga institusi penyelenggaranya. Maka tawaran paradigma integratif-interkoneksi berupaya mengurangi keteganganketegangan tersebut tanpa meleburkan satu sama lain tetapi berusaha 25Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan integratif-interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2006), p. 34. 26Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modernisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1994), p. 57. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan... 133 mendekatkan dan mengaitkannya sehingga menjadi bertegur sapa satu sama lain27. Apa yang terjadi selama ini adalah dikotomi yang cukup tajam antara keilmuan sekuler dan keilmuan agama. Keduanya seolah mempunyai wilayah sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lain. Hal ini juga berimplikasi pada model pendidikan di Indonesia yang memisahkan antara kedua jenis keilmuan ini. Ilmu-ilmu sekuler dikembangkan di perguruan tinggi umum sementara ilmu-ilmu agama dikembangkan di perguruan tingga agama. Perkembangan ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkan oleh perguruan tinggi umum berjalan seolah tercerabut dari nilai-nilai akar moral dan etik kehidupan manusia, sementara itu perkembangan ilmu agama yang dikembangkan oleh perguruan tinggi agama hanya menekankan pada teks-teks Islam normativ, sehingga dirasa kurang menjawab tantangan zaman. Jarak yang cukup jauh ini kemudian menjadikan kedua bidang keilmuan ini mengalami proses pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik dan keagamaan di Indonesia.28 Selain dikotomi yang tajam antara kedua jenis keilmuan ini, tantangan berat yang harus dihadapi oleh masyarakat saat ini adalah perkembangan zaman yang demikian pesat. Era globalisasi yang seolah datang dengan perubahan yang cukup fundamental dimana sekat-sekat antar individu, bangsa seolah sudah tidak ada lagi sehingga memunculkan kompleksitas persoalan. Paradigma integratif-interkonektif yang ditawarkan oleh Amin Abdullah ini merupakan jawaban dari berbagai persoalan di atas. Integrasi dan interkoneksi antar berbagai disiplin ilmu, baik dari keilmuan sekuler maupun keilmuan agama, akan menjadikan keduanya saling terkait satu sama lain, “bertegur sapa”, saling mengisi kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Dengan demikian maka ilmu agama (baca ilmu keislaman) tidak lagi hanya berkutat pada teks-teks klasik tetapi juga menyentuh pada ilmu-ilmu sosial kontemporer. Dengan paradigma ini juga, maka tiga wilayah pokok dalam ilmu pengetahuan, yakni natural sciences, social sciences dan humanities tidak lagi berdiri sendiri tetapi akan saling terkait satu dengan lainnya. Ketiganya juga akan menjadi semakin cair meski tidak akan menyatukan ketiganya, tetapi paling tidak akan ada lagi superioritas dan inferioritas dalam keilmuan, tidak ada lagi klaim kebenaran ilmu pengetahuan sehingga Ibid, p. 30. Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), p.56. Lihat juga Sutoyo dan Ismail Navianto, Religiousitas Sains Meretas Menuju Perdaban Zaman Diskursus Filsafat Ilmu, (Malang: Brawijaya Press, 2010), p. vii. 27 28Amin SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan... 134 dengan paradigma ini para ilmuwan yang menekuni keilmuan ini juga akan mempunya sikap dan cara berfikir yang berbeda dari sebelumnya.29 Hadarah al-‘ilm (budaya ilmu), yaitu ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan, seperti sains, teknologi dan ilmu-ilmu yang terkait dengan realitas tidak lagi berdiri sendiri tetapi juga bersentuhan dengan hadarah alfalsafah sehingga tetap memperhatikan etika emansipatoris. Begitu juga sebaliknya, hadarah al-falsafah (budaya filsafat) akan terasa kering dan gersang jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang termuat dalam budaya teks dan lebih-lebih jika menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan dan dihadapi oleh hadarah al-‘ilm. Dari skema di atas tampak jelas bahwa ketiga keilmuan tersebut menjadi bentuk dialektika atau tegur sapa. Hal inilah yangmenjadi tolak ukur signifikansi dalam penerapan integrasi-interkoneksi dalam keilmuan UIN Sunan Kalijaga. Tiga dimensi pengembangan keilmuan ini bertujuan untuk mempertemukan kembali ilmu-ilmu modern dengan ilmu-ilmu keislaman (integrasi-interkoneksi).30 Paradigma integrative-interkonektif ini terlihat sangat dipengaruhi oleh Abid al-Jabiri yang membagi epistemolog Islam menjadi tiga, yakni epistemologi bayani, epistemologi burhani dan epistemologi irfani. Berbeda dengan Abid al-Jabiri yang melihat epistemologi irfani tidak penting dalam perkembangan pemikiran Islam, bagi Amin Abdullah ketiga epistemologi seharusnya bisa berdialog dan berjalan beriringan. Selama ini epistemologi bayani lebih banyak mendominasi dan bersifat hegemonik sehingga sulit untuk berdialog dengan tradisi epistemologi irfani dan burhani, pola pikir bayani ini akan bekembang jika melakukan dialog, mampu memahami dan mengambil manfaat sisi-sisi fundamental yang dimiliki oleh pola pikir irfani dan burhani. Karenanya hubungan yang baik antara ketiga epistemologi ini tidak dalam bentuk pararel ataupun linier tetapi dalam bentuk sirkular. Bentuk pararel akan melahirkan corak epistemologi yang berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang lain. Sedangkan bentuk linier akan berasumsi bahwa salah satu dari ketiga epistemologi menjadi “primadona”, sehingga sangat tergantung pada latar belakang, kecenderungandan kepentingan pribadi atau kelompok, sedangkan dengan bentuk sirkular diharapkan masing-masing corak epistemologi keilmuan dalam Islam akan memahami kekurangan dan kelebihan masing-masing sehingga dapat mengambil manfaat dari temuan- 29Amin Abdullah, Studi Agama Era Multicultural-Multiriligius, (Yogyakarta: PSAP, 2005), p. 3 30Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modernisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1994), p. 12. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan... 135 temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan lain dalam rangka memperbaiki kekurangan yang ada.31 Paradigma integratif-interkonektif secara konseptual memang sangat relevan bagi perkembangan keilmuan islam (Islamic Studies), dimana dialog antar disiplin ilmu akan semakin memperkuat keilmuan islam dalam menghadapi tantangan zaman dengan segala kompleksitas yang ada. Namun demikian apa yang telah digagas oleh Amin Abdullah ini ketika diaplikasikan dalam bentuk pendidikan model UIN menjadi tidak applicable dalam pengembangan studi islam, karena dalam hal ini tenyata pekembangan IAIN menjadi UIN sekali lagi menurut pandangan penulis justru semakin menyisihkan keilmuan agama dari ilmu alam dan sosial humaniora dan membuat ketidakjelasan. Hal ini bisa dilihat adanya kerancuan dalam program studi yang ditawarkan, ada sosiologi agama, ada sosiologi umum, ada psikologi dan psikologi agama, kemudian jika Fakultas Ushuluddin akan membuka antropologi agama dan kemudian Fakultas Sosial Humaniora juga akan membuka antropologi maka yang tejadi adalah ketidakjelasan yang justru akan merugikan banyak pihak terutama bagi out put dari produk UIN. Dalam hal ini bisa jadi kerancuan ini akibat belum “mapannya” epistemologi dalam keilmuan integratif-interkonektif yang digagas oleh Amin Abdullah ini. Dalam hal ini penulis curiga jangan-jangan paradigma yang dibangun oleh pak Amin ini hanya untuk dijadikan legitimasi dalam mengubah IAIN menjadi UIN dan bukan untuk kebutuhan pengembangan Islamic studies murni. Di sini berbeda dengan terobosan pemikiran Amin Abdullah tentang historisitas dan normativitas dalam pendekatan studi agama yang selalu relevan baik dalam konsep maupun aplikasinya hingga saat ini, apalagi dalam konteks Indonesia saat ini dimana banyak muncul kelompok-kelompok Islam tekstualis-skripturalis dimana aspek historisitas dan normativitas seringkali sulit dibedakan atau bahkan aspek historisitas sengaja dilupakan.32 Dengan Hadarah al-‘ilm (budaya ilmu), yaitu ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan, seperti sains, teknologi dan ilmu-ilmu yang terkait dengan realitas tidak lagi berdiri sendiri tetapi juga bersentuhan dengan hadarah alfalsafah sehingga tetap memperhatikan etika emansipatoris. Sebagai Prodi yang ada di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta harus memiliki kekhasan antara yang satu dengan yang lainnya. 31Ibid , p. 32. Abdullah, Islamic Studies dalam Pradigma Integrasi-Interkoneksi,( Yogyakarta: Suka Press, 2007), p. 13-20. 32Amin SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 136 Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan... Kekhasan yang harus dimiliki setiap Prodi Ilmu Hukum tersebut adalah kemampuan menguasai materi hukum positif (materil dan formal), Islamic Studies terutama Hukum Islam, Kemampuan berkomunikasi minimal dengan bahasa Inggris dan Arab serta kemampuan untuk menguasai materi yang disampaikan oleh dosen pengampu masingmasing Program Studi, seperti mata kuliah keislaman yang ditawarkan di setiap Program Studi Ilmu Hukum yang ada di Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, juga berbeda-beda seperti contoh: di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mata kuliah keislaman yang ditawarkan sebanyak 9 mata kuliah keislaman dengan jumlah beban 18 SKS seperti: Bahasa Arab, Tafsir Ayat Hukum, Pengantar Studi Islam, Pengantar Hukum Islam, Hukum Kewarisan Islam, Hukum Pidana Islam, Hukum Perdata Islam, Hukum Perdata Islam, Hukum Perkawinan Islam, dan Hadis Hukum tetapi di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, mata kuliah keislaman yang ditawarkan sebanyak 14 mata kuliah keislaman dengan jumlah beban 31 SKS seperti: Akidah Ahlak, Ulumul Qur’an dan Hadis, Bahasa Arab I, Ushul Fiqih I, Fiqih dan Praktek Ibadah, Bahasa Arab II, Hukum Perkawinan dan Kewaisan Islam, Hukum Perikatan Islam, Hukum Pidana Islam, Ushul Fiqih II, Hukum Bisnis Islam, Hukum Tata Negara Islam, Pengantar Studi Islam, dan Logika. Dan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Sunan Gunung Djati Bandung hanya menawarkan 12 mata kuliah keislaman seperti: Ilmu Alamiah Dasar, Antropologi Hukum Islam, Bahasa Arab I, Bahasa Arab II, Ilmu Ahlak, Ulumul Qur’an, Dirasah Islamiyah, Ulumul Hadis, Ushul Fiqih, Hukum Perdata Islam, Hukum Pidana Islam dan Hukum Tata Negara Islam. D. Pengembangan Kurikulum: Suatu Komparasi di Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga dalam Meningkatkan Akreditasi Dalam penentuan kurikulum, pada prinsipnya setiap Fakultas Hukum diberi kebebasan untuk menentukan kurikulumnya, kecuali penentuan kurikulum inti Fakultas Hukum yang didasarkan pada “Kesepakatan Depok” yang disepakati pada tanggal 22 April 2006 oleh 30 dari 35 orang Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinngi Negeri (PTN) seIndonesia. Dalam Rapat Kerja Badan Kerja Sama (BKS) atau Kesepakatan Depok tersebut, para Dekan tersebut menyepakati sebanyak 23 Mata kuliah wajib ditawarkan oleh setiap Fakultas Hukum Perguruan Tinggi SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan... 137 Negeri (PTN), se-Indonesia kepada para mahasiswanya. Mata kuliah wajib tersebut adalah:33 Pengantar Ilmu Hukum, Pengantar Hukum Indonesia, Ilmu Negara, Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Internasional, Hukum Dagang, Hukum Adat, Hukum Islam, Hukum Agraria, Hukum Lingkungan, Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Peraktik Peradilan Pidana, Peraktik Acara Perdata, Peraktik Peradilan Tata Usaha Negara, Perancangan Peraturan PerundangUndangan, Perancangan Kontrak, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Tugas Akhir/ Skripsi Dari 23 mata kuliah tersebut, khusus mata kuliah Hukum Dagang mendapat perdebatan yang cukup panjang, untuk dapat masuk dalam matakuliah inti. Perdebatannya yang muncul bahwa mata kuliah Hukum Dagang dapat digabungkan atau diberikan dalam mata kuliah Hukum Perdata. Namun akhirnya sidang yang dipimpin oleh Hikmahanto Juwana, yang merupakan koordinator BKS memutuskan bahwa Hukum Dagang tetap dimasukkan dalam kurikulum inti. Untuk mata kuliah lainnya, tetap ditawarkan oleh Fakultas Hukum masing-masing universitas negeri menjadi mata kuliah institusional (lokal). Sehingga pada akhirnya nanti para calon mahasiswa Fakultas Hukum yang memilih perguruan tinggi negeri yang akan dimasukinya berdasarkan kekhususan materi yang ditawarkan oleh masing-masing universitas, bukan lagi nama besarnya. Materi lain selain 23 mata kuliah tersebut di atas, Kesepakatan Depok ini juga menyepakati bahwa untuk mata kuliah yang sebelumnya ada dalam kurikulum 2001 yang tidak termasuk dalam mata kuliah inti, pelaksanaan mata kuliah tersebut di serahkan sepenuhnya kepada Fakultas Hukum masing-masing universitas. Kurikulum inti ini akan diberlakukan paling lambat mulai tahun ajaran 2007/2008. Dari penjelasan di atas, perbedaan jumlah SKS yang ada pada setiap Program Studi Ilmu Hukum yang hanya pada Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung didasarkan pada Surat Keputusan Kemendikbud R.I. No.0211/U/1982 yang menyatakan bahwa Progran Strata 1 (Satu) ditetapkan studi komulatif minimal 144 SKS dan maksimal 160 SKS yang dipaketkan dalam 8 semester sampai 14 semester. Berdasarkan Surat Keputusan Kemendikbud tersebut, maka Program Studi Ilmu Hukum yang ada di Fakultas Syari’ah dan Hukum 33http://law.ui.ac.id/index.php/berita-Fakultas/157-old-58.html, acces tanggal 17 September 2012. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 138 Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan... Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung dapat meneraapkan beban SKS antara 144-160 SKS. Dalam pandangan peneliti, Prodi tidak perlu terlalu tegas menetapkan jumlah SKS yang harus ditempuh oleh setiap maahasiswa, namun semuanya diserahkan kepada setiap mahasiswa untuk mengambil jumlah SKS yang akan ditempuh. Yang harus dilaakukan oleh Prodi adalah memberikan masukan kepada setiap mahasiswa tentang plus minusnya mengambil mata kuliah minimum dan maksimum. Selain jumlah SKS yang berbeda di setiap Program Studi Ilmu Hukum yang ada di Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, mata kuliah yang di tawarkan kepada mahasiswa juga berbedabeda seperti contoh: di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum dikenal adanya Hukum Pidana I, Hukum Pidana II, Hukum Perdata I, Hukum Perdata II, Hukum Agraria I, Hukum Agraria II, Hukum Administrasi Negara I, Hukum Administrasi Negara II, Hukum Tata Negara I, Hukum Tata Negara II, Hukum Adat I, Hukum Adat II, tetapi di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta dan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Sunan Gunung Djati Bandung hanya menawarkan mata kuliah seperti: Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Agraria, Hukum Adminisrasi Negara, Hukum Tata Negara, Hukum Adat dan lain-lain. Selain mata kuliah yang di tawarkan kepada mahasiswa yang berbeda-beda nama konsentrasi/kekhususan di setiap Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Sunan Gunung Djati Bandung juga berbeda-beda seperti: a. Konsentrasi/kekhususan di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta: 1. Konsentrasi Hukum Bisnis 2. Konsentrasi Hukum Pidana 3. Konsentrasi Hukum Tata Negara 4. Konsentrasi Hukum International b. Konsentrasi/kekhususan di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta: 1. Konsentrasi Hukum Bisnis 2. Konsentrasi Hukum International SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan... 139 3. Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara c. Konsentrasi/kekhususan di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung: 1. Kekhususan Hukum Perdata 2. Kekhususan Hukum Pidana 3. Kekhususan Hukum Tata Negara Perbedaan Mata Kuliah, Konsentrasi/Kekhususan, yang ada di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung tidak sampai meniadakan mata kuliah yang sudah disepakati oleh 30 dari 35 orang Dekan Fakultas Hukum PTN se-Indonesia yang lebih dikenal dengan “Kesepakatan Depok”. Mata kuliah wajib ditawarkan oleh setiap Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri (PTN), se-Indonesia kepada para mahasiswanya. Mata kuliah wajib dan sama di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung tersebut adalah: Pengantar Hukum Indonesia, Pengantar Ilmu Hukum, Ilmu Negara, Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Internasional, Hukum Dagang, Hukum Adat, Hukum Islam, Hukum Agraria, Hukum Lingkungan, Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Peraktik Peradilan Pidana, Peraktik Acara Perdata, Peraktik Peradilan Tata Usaha Negara, Perancangan Peraturan PerundangUndangan, Perancangan Kontrak, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum dan Tugas Akhir/ Skripsi. Selain jumlah SKS, Konsentrasi, Mata Kuliah yang berbeda di setiap Program Studi Ilmu Hukum yang ada di Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, mata kuliah keislaman yang ditawarkan kepada mahasiswa juga berbeda-beda seperti contoh: di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum mata kuliah keislaman yang ditawarkan sebanyak 9 mata kuliah keislaman dengan jumlah beban 18 SKS seperti: Bahasa Arab, Tafsir Ayat Hukum, Pengantar Studi Islam, Pengantar Hukum Islam, Hukum Kewarisan Islam, Hukum Pidana Islam, Hukum Perdata Islam, Hukum Perdata Islam, Hukum Perkawinan Islam, dan Hadis Hukum tetapi di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta, mata kuliah keislaman yang SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 140 Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan... ditawarkan sebanyak 14 mata kuliah keislaman dengan jumlah beban 31 SKS seperti: Akidah Ahlak, Ulumul Qur’an dan Hadis, Bahasa Arab I, Ushul Fiqih I, Fiqih dan Praktek Ibadah, Bahasa Arab II, Hukum Perkawinan dan Kewaisan Islam, Hukum Perikatan Islam, Hukum Pidana Islam, Ushul Fiqih II, Hukum Bisnis Islam, Hukum Tata Negara Islam, Pengantar Studi Islam, dan Logika. Dan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Sunan Gunung Djati Bandung hanya menawarkan 12 mata kuliah keislaman seperti: Ilmu Alamiah Dasar, Antropologi Hukum Islam, B. Arab I, Bahasa Arab II, Ilmu Ahlak, Ulumul Qur’an, Dirasah Islamiyah, Ulumul Hadis, Ushul Fiqih, Hukum Perdata Islam, Hukum Pidana Islam dan Hukum Tata Negara Islam. E. Kesimpulan Di dalam menentukan mata kuliah dan kurikulum yang sesuai dengan visi dan misi serta tujuan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, ada beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya: Pertama penentuan mata kuliah minimal yang wajib diambil berdasarkan Surat Keputusan Mendikbut R.I. No. 0211/U/1982, untuk Program Strata 1 ditetapkan beban studi kumulatifnya minimal 144 SKS dan maksimal 160 SKS yang dipaketkan dalam 8 semester sampai 14 semester. Kedua Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Gunung Djati, dalam menetapkan, mengembangkan kurikulum harus memperhatikan “Kesepakatan Depok” yang dihadiri oleh 30 Dekan Fakultas Hukum PTN se-Indonesia yang telah menyepakati kurikulum inti Fakultas Hukum sebanyak 23 mata kuliah yang wajib ditawarkan oleh Fakultas hukum PTN se-Indonesia kepada para mahasiswanya. Ke 23 mata kuliah yang wajib tersebut adalah (1) Pengantar Hukum Indonesia, (2) Pengantar Ilmu Hukum, (3) Ilmu Negara, (4) Hukum Perdata, (5) Hukum Pidana, (6) Hukum Tata Negara, (7) Hukum Administrasi Negara, (8) Hukum Internasional, (9) Hukum Dagang, (10) Hukum Adat (11) Hukum Islam, (12) Hukum Agraria, (13) Hukum Lingkungan, (14) Hukum Acara Perdata, (15) Hukum Acara Pidana, (16) Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (17) Peraktik Peradilan Pidana, (18) Peraktik Acara Perdata, (19) Peraktik Peradilan Tata Usaha Negara, (20) Perancangan Peraturan Perundang-Undangan , (21) Perancangan Kontrak, (22) Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (23) Tugas Akhir/ Skripsi. Selain mata kuliah yang telah disepakati, mata kuliah lainnya tetap SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan... 141 ditawarkan oleh masing-masing Fakultas menjadi mata kuliah institusional (lokal). SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 142 Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan... Daftar Pustaka Abdullah Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan integratifinterkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2006. _________Falsafah Kalam di Era Post modernisasi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1994. _________Falsafah Kalam di Era Post modernisasi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1994. _________Islamic Studies dalam Pradigma Integrasi-Interkoneksi, Yogyakarta: Suka Press, 2007. _________Studi Agama Yogyakarta:PSAP,2005. Era Multicultural-Multiriligius, _________Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Bakhtiar, Amsal dkk, Pedoman Akademik Program Strata 1 Tahun Akademik 2010/2011, Jakarta: UIN Jakarta Press,2010. Brannen, Julia, Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Reearch. Brookfield USA : Avebury, London:Oxport Universty, 1992. Buku Pedoman Panduan Akademik, Fakultas syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Tahun Akademik 2010/2011. Buku Pedoman Panduan Akademik, Fakultas syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun Akademik 2011. Darmawan, Deni, Teknologi Pembelajaran, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2009. H.A.R.Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007. Hamalik, Oemar, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan... 143 Hamid, Hasan, Evaluasi Kurikulum, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2008.. Haris, Mudjiman, Manajemen Pelatihan Berbasis Belajar Mandiri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Isaac, S. and Michael, W.B, Handbook in Research and Evaluation; For Education and Behavioral Sciences. Second Edition. San Diego, Amerika: Edits Publisher, 1981. Made, Pidarta, Landasan Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta,2000. Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu, Perencanaan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: PT. Rineka Cipta, 2003. Mudlofir, Ali, Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Bahan Ajar Dalam Pendidikan Agama Islam, Jakarta:Rajawali Press, 2007. Muhammad, Ansyar, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, Jakarta: Dirjen Dikti, 1988. Muhammad, Ilyasin dan Nanik Nurhayati, Manajemen Pendidikan Islam, Malang: Aditya Media Publishing, 2012. Nana S. Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2009. Oliva, Peter, Developing The Curriculum, New York: Harper Collin Publishers1992. Purwanto, Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,2000. Sallis, Edwar, Total Quality Managemen In Education, Manajemen Mutu Terpadu Pedidikan, Yogyakarta: IRCiSoD, 2011. Sindhunata,Menggagas Paradigma Baru Pendidikan Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Yogyakarta: Kanisius, 2000. Subandijah ,Pengembangan dan Inovasi kurikulum, Jakarta: Grafindo persada, 1996. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 144 Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan... Subandijah, Pengembangan dan Inovasi kurikulum, Jakarta: Grafindo persada, 1996. Sukmadinata, Nana S., Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2009. Sutoyo dan Ismail Navianto, Religiousitas Sains Meretas Jalan Menuju Peradaban Zaman Diskursus Filsafat Ilmu, Malang: Brawijaya Press, 2010. Tilaar, H.A.R., Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif di Indonesia Melalui Demokrasi Deliberatif Habermas Oleh: Ulya Abstract In a simple term, it can be said that the discussion of politics is the discussion about the legitimacy of power. Politics is a conception which contains provisions about who is the source of state authority, who is the executive power, what is the basis and how to determine to whom the authority to exercise the powers is given, to whom the executive authority will be responsible and what the form of its responsibility. In this political context, Habermas states that politics is a situation where people work together. While democracy is a concept of political thought since it also strives for how people can work together. Habermas's concept of democracy is known as deliberative democracy. This concept has become a trend nowadays and seems a new term. However, if we follow him later, the real concept of deliberative democracy indirectly has fused with the traditions of our ancestors, Indonesia, although this local tradition has continued to fade recently. One of the integration of deliberative democracy concept with the Indonesian local tradition indicators is a discussion culture to reach a consensus in Indonesian society. This paper is important because it discusses a conversation or what sort of communication required by the perfectionist in deliberative democracy. Key word: habermas, deliberative democracy, communicative social order, indonesian Abstrak Secara sederhana dapat dikatakan bahwa perbincangan tentang politik adalah perbincangan tentang legitimasi kekuasaan. Detailnya bahwa politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan negara, siapa pelaksana kekuasaan tersebut, apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan, kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawab itu. Dalam konteks politik ini Habermas menyatakan bahwa politik adalah sebuah situasi yang mana orang-orang bekerja secara bersama-sama. Sedangkan demokrasi adalah sebuah konsep pemikiran politik karena di dalamnya juga mengupayakan bagaimana orang bisa bekerja secara bersama-sama. Konsep demokrasi yang ditawarkan Habermas dikenal dengan nama demokrasi deliberatif. Konsep ini sekarang menjadi mode dan istilah ini tampak kelihatan baru, tetapi jika kita mengikuti penjelasannya nanti, sesungguhnya konsep demokrasi deliberatif ini Dosen Jurusan Ushuluddin STAIN Kudus. E-mail: [email protected] SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif... 146 secara tidak langsung telah menyatu dengan warisan tradisi nenek moyang kita, Indonesia, meski akhir-akhir ini tradisi lokal ini dalam praktiknya terus memudar. Salah satu indikator kemenyatuan konsep demokrasi deliberatif dengan warisan tradisi nenek moyang Indonesia adalah melekatnya tradisi perbincangan dalam rangka bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Bahasan ini menjadi penting untuk didiskusikan karena memuat persoalan, utamanya, adaah perbincangan atau komunikasi macam apa yang dituntut secara perfeksionis oleh demokrasi deliberatif. Kata kunci: habermas, demokrasi deliberatif, tatanan sosial komunikatif , indonesia A.Pendahuluan Demokrasi adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh masyarakat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.1 Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran politik di Yunani Kuno dan selanjutnya dipraktikkan dalam hidup berbangsa dan bernegara antara abad ke-4 SM sampai abad 6 M. Setelah abad ini demokrasi boleh dikatakan lenyap dari bumi ketika bangsa Romawi dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat dan benua Eropa memasuki abad pertengahan (6-14M). Pada masa ini kehidupan sosial dan spiritualnya dikuasai oleh gereja, yakni Paus dan pejabat-pejabat agama, sedangkan kehidupan politiknya dikuasai oleh para bangsawan. Munculnya kembali demokrasi sangat didorong oleh motif perubahan sosial kultural yang berintikan pada pendekatan pemerdekaan akal dari kelangan agama dan gereja.2 Pemikiran tentang demokrasi ini muncul dan dalam perkembngannya mengambil format dalam konsep live, liberty, property-nya John Locke (1632-1704), Trias politika-nya Montesquieu (1689-1955), konsep sosial contract dan volonte generale-nya Rousseau (1712-1778), sampai demokrasi deliberatif-nya Habermas (1929). Yang terakhir inilah dalam tulisan ini penulis akan mencoba memaparkan. Pembahasan secara berturut-turut akan diawali dengan melihat potret hidup Habermas, teori komunikasi sebagai pendahulu ide demokrasinya, membahas tentang demokrasi deliberatif, Ruang publik sebgai wahana berdemokrasi deliberatif, dan demokrasi deliberatif menciptakan tatanan sosial komunikatif di Indonesia, keudian diakhiri dengan kesimpulan sebagai penutup. 1Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, (New York : Oxford UNIversity Press, 1960), p.70 2Moh. Mahfud, Demokrasi dan Konstitusi Di Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1993), p. 20, 21. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif... 147 B. Potret Hidup Habermas Jurgen Habermas dilahirkan di Dusseldorf, Jerman, pada tahun 1929 dan dibesarkan di Gummersbach.3 Dia anak dari seorang ayah yang menjabat sebagai Ketua Kamar Dagang Propinsi Rheinland Estfalen di Jerman Barat dan cucu seorang pendeta Protestan, sehingga Habermas di masa kecilnya hidup di tengah-tengah iklim Borjuis-Protestan. Lingkungan masyarakat Habermas sendiri sebenarnya kental dengan suasana Katolik, yang peka dan kritis terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Lagi pula secara kebetulan bahwa di sebelah rumah Habermas terdapat toko buku Marxis, yang membuat Habermas mempunyai banyak kesempatan untuk melalap buku-buku untuk mempertajam kepekaan dan kekritisannya.4 Dua buku filsafat berkualitas saat itu yang dengan segera habis dibacanya saat dia masih belia adalah History and Class Conciousness karya George Lukacs dan Dialektik der Aufklarung karya Max Horkheimer dan Adorno.5 Habermas di masa mudanya belajar kesusasteraan Jerman, sejarah, dan filsafat, psikologi, ekonomi di Universitas Gottingen. Kemudian dia melanjutkan ke Universitas Bonn untuk mengkonsentrasikan dirinya pada bidang kajian filsafat sampai dia mendapat gelar doktor bidang filsafat melalui disertasi yang dipertahankannya adalah Das Absolute und die Geschichte (Yang Absolut dan Sejarah) pada tahun 1954. Habermas memulai karir akademiknya pada tahun 1956. Di tahun ini dia bergabung dengan Lembaga Riset di Frankfurt yang diketuai oleh Adorno, tokoh yang menjadi idolanya sejak dia belia dan telah banyak mempengaruhi pemikirannya. Cerminan dari dukungannya terhadap Adorno ini di antaranya terlihat pada tahun 1961 tatkala dilaksanakan seminar di Universitas Tubingen yang memperhadapkan antara Adorno dan Karl Popper. Saat itu Karl Popper menolak gagasan bahwa sejarah mempunyai hukum perkembangan dan tujuan obyektif. Popper menuduh yang seperti ini adalah ideologis karena cenderung mengorbankan manusia nyata demi tujuan obyektif sejarah. Baginya sejarah adalah bersifat faktual semata-mata. Hal yang demikian dikaunter oleh Adorno dengan menyatakan bahwa dengan pendekatan yang bebas nilai itulah yang justru ideologis karena telah menutup kepentingan-kepentingan terselubung di bawah payung yang dinamakan obyektivitas.6 3K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer : Inggris-Jerman, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1990), p. 236 4E. Sumaryono, Hermeneutik : Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1999), p.87 5Frans Magnis Suseno, “75 Tahun Jurgen Habermas”, dalam Basis, No.11-12, Tahun ke-53, November-Desember 2004, p. 5 6Ibid., p. 6. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif... 148 Dalam konteks ini Habermas jelas-jelas memihak Adorno. Bentuk aktualisasi dukungannya ini nantinya terangkum dalam buku karyanya yang berjudul Erkenntnis und Interesse (Pengetahuan atau Pengenalan dan Kepentingan Manusiawi). Tahun 1970, Habermas meninggalkan Frankfurt dan pindah ke Stanberg untuk menerima tawaran menjadi Direktur pada Max Planck Institute, sebuah lembaga yang mempelajari kondisi-kondisi kehidupan dalam dunia ilmiah – teknis.7 Dari Max Planck Institute, dia kembali ke Universitas Frankfurt untuk mengabdi di sana sampai memasuki masa pensiunnya di tahun 1994.8 Sampai saat ini Habermas dikenal sebagai filosof kontemporer yang tidak hanya terkenal di Jerman tetapi di seluruh dunia. Yang khas dari Habermas ini adalah semangatnya yang tak pernah pupus untuk mengembangkan pemikiran-pemikirannya dalam diskursus yang terusmenerus dengan pemikir-pemikir lain, mulai dari Karl Marx, Max Weber, Emile Durkheim, Herbert Mead, George Lukacs, Max Horkheimer, dan Adorno, yang sangat menentukan langkah perkembangan pemikirannya, juga termasuk pemikir yang menjadi lawan intelektualnya, seperti : Karl Popper, Sigmund Freud, Gadamer, Lawrence Kohlberg, Jean Piaget, Talcott Parson, Hannah Arendt, dan lain-lain.9 Gajah mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Nama Habermas selalu dikenang para peminat kajian filsafat melalui tulisan-tulisannya yang monumental, seperti : 1. Legitimations probleme im Spatkapitalismus (Masalah Legitimasi dalam Kapitalisme di Kemudian Hari), 2. Kultur und Kritik (Kebudayaan dan Kritik), 3. Zur Rekonstrukion des Historischen Materislismus (Demi Rekonstruksi Materialisme Historis), 4. Theorie des Kommunikativen Handelns (Teori tentang Praksis Komunikasi), 5. Moralbewusstsein und Kommunikatives Handeln (Kesadaran Moral dan Praksis Komunikasi), 6. Der Philosophische Diskurs der Moderne (Diskursus Filosofis Tentang Orang Modern), 7. Nachmetaphisisches Denken, Philosophische Aufsatze (Pemikiran Pasca Metafisis , Esai-esai Filosofis), 8. Erlauterungen zur Diskursethik (Penjelasan tentang Etika Diskursus), Faktizitat und Geltung (Fakta dan Norma), 7E. Sumaryono, Hermeneutik, p. 88 Bertens, Filsafat Barat., p. 241 9Frans Magnis Suseno, “75 Tahun Jurgen Habermas”, dalam Basis, p. 4 8K. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif... 149 9. Die Einbeziehung des Anderen, Studien zur Politischen Theorie (Keterlibatan Orang Lain, Studi Tentang Teori Politik), dan lain-lain.10 10. Jurgen Habermas, The Structural Transformation of the Publik Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, Cambridge: MIT Press, 1989. 11.Jurgen Habermas, Theorie des Kommunikativen Handelns (Band 2), Zur Kritik der funktionalistischen Vernunft, Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 1988. C. Teori Komunikasi Sebagai Pendahulu Ide Demokrasinya Di antara peninggalan pemikiran Habermas yang sampai saat ini familiar dan populer karena diingat banyak orang adalah perjuangannya yang tak kenal lelah dalam menggali potensi komunikasi manusia. Bagi Habermas komunikasi adalah harta karun yang tak pernah habis digali sehingga darinya memunculkan karya tulisnya yang berjudul Theorie des Kommunikativen Handelns (Teori tentang Praksis Komunikasi). Pemikiran Habermas tentang komunikasi ini menjadi dasar pemikirannya secara keseluruhan, termasuk pemikiran politiknya yaitu demokrasi deliberatif. Baginya komunikasi merupakan sesuatu yang khas dan dasariah melekat pada masyarakat sehingga tanpanya masyarakat tidak akan ada, meminjam bahasa Heidegger barangkali boleh disebut bahwa komunikasi adalah sebagai fenomenologi dassein, karakter khas yang dimiliki oleh manusia. Dalam karya tulis di atas, Habermas membagi tindakan menjadi 4 (empat), yaitu : tindakan teleologis, tindakan normatif, tindakan dramaturgik, dan tindakan komunikatif. 11 Adapun penjelasan masing-masing sebagai berikut : 1. Tindakan Teleologis Tindakan teleologis adalah sebuah tindakan yang mana pelaku melakukan hal tertentu untuk mencapai dan atau mempertahankan tujuan yang khusus. Untuk mencapainya dibutuhkan sarana yang tepat dan sesuai, yaitu keputusan. Untuk membina tindakan ini diperlukan model dan strategi dengan maksud untuk keberhasilan tindakan pelaku, juga antisipasi dari keputusan yang menjadi bagian yang ditambahkan pada tujuan yang hendak dicapai. Jadi konsep pokok tindakan ini adalah keputusan. Contoh : Seorang mahasiswa menyatakan bahwa untuk mendapatkan nilai baik dalam ujian maka harus giat belajar. 2. Tindakan Normatif Tindakan normatif adalah tindakan yang tidak diarahkan dan tidak ditujukan untuk kepentingan sendiri. Pelaku melakukan perbuatan ini 10K. 11 Bertens, Filsafat Barat, p. 240-241. E. Sumaryono, Hermeneutik, p. 94-95. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif... 150 justru diarahkan dan ditujukan untuk memenuhi kepentingan anggotaanggota kelompok masyarakat. Manusia adalah zoon politicon, maka dia tak pernah bisa hidup tanpa manusia yang lain. Karena itulah maka manusia mempunyai kecenderungan menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang berlaku umum di masyarakat, upaya mengukur sebuah tindakan itu atas dasar kesesuaian dengan norma masyarakat atau tidak. Jadi, konsep utama tindakan ini adalah pemenuhan terhadap norma. Contoh: tindakan pengendara kendaraan di jalan raya tatkala menghadapi traffic light. Jika lampu merah yang menyala maka pengendara tersebut menghentikan laju kendaraannya. 3. Tindakan Dramaturgik Tindakan dramaturgik adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang bukan karena untuk kepentingan dirinya atau memenuhi norma sosial masyarakat, melainkan ditujukan untuk masyarakat umum. Pelaku mencoba menampilkan diri dalam image atau gambaran penampilan dirinya itu. Konsep utama tindakan ini adalah penampilan diri di depan umum. Contoh : Tindakan penyiar televisi di depan kamera, tindakan dosen yang mengajar di depan mahasiswanya, dan lain-lain. 4. Tindakan Komunikatif Tindakan komunikatif adalah tindakan yang menunjuk kepada interaksi, sekurang-kurangnya dua orang yang mempunyai kemampuan berbicara dan bertindak, serta dapat membentuk hubungan antar pribadi, baik secara verbal maupun non-verbal. Di sini pelaku mencapai pemahaman terhadap situasi tindakan serta rencana tindakan-tindakannya, juga tindakan terbaik atas dasar persetujuan. Konsep pokok tindakan ini adalah interpretasi atau penafsiran. Contoh: Tindakan mahasiswamahasiswa yang kuliah bersama pada waktu dan kelas yang sama, terjadinya momentum jual-beli antara penjual dan pembeli di pasar, dan lain-lain. Berlangsungnya tindakan komunikatif ini bercirikan adanya universalitas, artinya semua orang harus memiliki persepsi yang sama atas sesuatu. Sebagai contoh semua orang sepakat kalau mencuri adalah moralitas tak terpuji. Universalitas inilah yang diuji melalui praksis komunikasi12 ; kemudian komunikasi harus berlangsung secara terbuka, Praksis komunikasi tidak sama praksis instrumental dan praktis strategis. Yang pertama adalah keseluruhan perbuatan manusia yang bertujuan mencapai persetujuan dengan manusia lain dalam konteks kemasyarakatan, yang kedua adalah terikat dengan hukum-hukum teknis dan instrumen-instrumen kerja, contohnya menciptakan hubungan palng cepat dan paling ekonomis antara dua kota, yang ketiga adalah perbuatan manusia yang juga berkaitan dengan manusia yang lain tetapi demi terlaksananya suatu tujuan 12 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif... 151 jujur, dan bebas. Tidak karena dipaksa, dimanipulasi ataupun dikondisikan sebelumnya. Sebagai contoh dalam pemilihan kepala desa, seorang memilih karena telah diberi uang. Ini bukan tindakan komunikasi. Kemudian adalah bahwa ending dari tindakan komunikasi ini adalah untuk mendatangkan persetujuan atas dasar alasan yang baik (good reasons). Dalam hal ini maka persetujuan untuk melakukan kejahatan bukanlah tindakan komunikasi. Di dalam proses pemahaman ini melibatkan dan ada interaksi antara linguistik atau bahasa, tindakan, dan pengalaman.13 Tentang linguistik, Habermas menyatakan bahwa komunikasi tanpa bahasa adalah tak mungkin. Dia telah merancang beberapa kategori tentang ekspresi bahasa sebagai bahan pengelompokan dalam dialog, yaitu : kata ganti perorangan dan kata jadiannya yang membentuk sistem referensi antara para pelaku komnikasi yang pada akhirnya menyadari peran saya dan kamu. Kemudian ekspresi tentang ruang dan waktu serta kata sandang dan kata tunjuk yang menghubungkan wilayah saya dan kamu saat mengadakan interaksi berkaitan dengan obyek yang dibicarakan. Lalu tanya jawab sebagai aktivitas perbincangan.14 Ekspresi linguistik atau bahasa ini muncul dalam bentuknya yang absolut yaitu yang menggambarkan hasil pemahaman monologis. Inilah yang seringkali akan menimbulkan jurang pemisah antara apa yang diucapkan dengan apa yang dimaksudkan. Tentang tindakan dilakukan melalui komunikasi (communicative action). Situasi komunikasi yang ideal sebagaimana dijelaskan di atas ditandai dengan tidak adanya hambatan apapun atau teknan-tekanan yang datang selama proses komunikasi. Habermas sebagaimana dikutip oleh Thompson menyatakan bahwa: “Proses komunikasi itu sendiri tidak akan melahirkan tekanan-tekana jika dan hanya jika – bagi semua partisipan-di sana ada distribusi kesempatan yang seimbang dalam memilih dan memberi kesempatan peserta yang berpartisipasi sdalam aktivitas perbincangan.” 15 Tentang pengalaman bahwa pemahaman memang melibatkan sesuatu yang mendahuluinya, suatu konsensus atau tradisi. Penafsir atau pembaca juga harus memperhitungkan hal ini dalam aktivitas pemahaman, termasuk yang diekspresikan dalam bentuk reaksi tubuh yang berupa kecenderungan yang tidak dicetuskan atau sebagai ungkapan non-verbal. pribadi, misalnya persaingan dalam bisnis, mendapatkan keuntungan dengan cara menipu, dan lain-lain. Lihat dalam K. Bertens, Filsafat Barat, p. 245. 13 E. Sumaryono, Hermeneutik, p. 91. 14 John B. Thompson, Filsafat Bahasa dan Hermeneutik, (terj. A. Khozin Afandi), (Surabaya : Visi Humanika, 2005), p.179-180 15 Ibid., p.180-181. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 152 Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif... Selanjutnya secara detail, penjelasan dan perbandingan antara 4 (empat) macam tindakan tersebut di atas adalah sebagai berikut: a. Dilihat dari hubungan pelaku dengan dunianya Macam tindakan Hubungan pelaku dengan dunia Teleologis Hubungan obyektif (di luar saya adalah obyek) Normatif Hubungan sosial dan obyek (orang lain diperhatikan sekaligus obyek) Dramaturgik Hubungan subyektif dan obyektif (tindakan atas pertimbangan diri dan orang lain) Komunikatif Obyek-subyek-sosial b. Dilihat dari hubungan pelaku dengan orang lain Macam tindakan Hubungan pelaku dengan orang lain Teleologis Orang lain sebagai sarana Normatif Tunduk pada konformitas atau kesesuaian norma bersama. Yang utama adalah keabadian normanorma bersama Dramaturgik Untuk bisa saling menyenangkan antara aktor dan orang lain supaya diri sendiri puas Komunikatif Orang lain sebagai mitra untuk mencari saling pengakuan, maka orang lain sebagai pembicara, tujuan pembicaraan, dan saksi pembicaraan c. Dilihat dari tujuannya Macam tindakan Teleologis Normatif Dramaturgik Komunikatif Tujuan Untuk mencapai sukses pribadi Transmisi atau peyampaian nilai Estetis dan stylistis Kesepahaman tentang situasi tindakan bersama d. Dilihat dari konsep sentralnya Macam tindakan Konsep sentral Teleologis Keputusan Normatif Ketaatan pada norma Dramaturgik Penampilan Komunikatif Penafsiran dan pemahaman, tidak pada apa yang dikatakan SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif... 153 e. Dilihat dari peran bahasanya Macam tindakan Peran bahasa Teleologis Medium dari yang lain Sarana untuk membentuk opini-opiniuntuk mengungkapkan maksud, tujuan, dan meraih sukses Normatif Medium penyampaian nilai-nilai budaya Dramaturgik Sarana penampilan Komunikatif Sebagai mekanisme koordinasi tindakan f. Dilihat dari tipe komunikasinya Macam tindakan Tipe komunikasi Teleologis Saling memahamai secara tak langsung dan untuk mencapai tujuan Normatif Aktivitas/konsensus yang diaktualisasikan untuk kelangsungan nilai-nilai Dramaturgik Diarahkan untuk penonton Komunikatif Digunakan untuk medium saling pengertian tanpa manipulasi, tanpa kondisioning, sifatnya dialogal g. Dilihat dari mekanisme koordinasinya Macam tindakan Mekanisme koordinasi Teleologis Tindakan diatur oleh perhitungan egosentris dari kegunaan dan dikoordinasi oleh konstelasi kepentingan Normatif Tindakan menyesuaikan pada nilai bersama Dramaturgik Dari diri dan apa yang diharapkan oleh publik Komunikatif Saling pengertian agar saling mengakui atau menerima isi proposisi h. Dilihat dari maksim atau aturannya Macam tindakan Maksim atau aturan Teleologis Aturan ini sudah masuk dalam kerangka fix dan diterima (ada kriterianya) Normatif Maksimnya ditentukan oleh nilai-nilai bersama yang sudah ada sebelumnya Dramaturgik Maksim ditentukan lebih dulu tetapi pelaku boleh berimprovisasi Komunikatif Maksim menjadi sasaran perdebatan terbuka (kesepakatan) SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 154 Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif... i. Dilihat dari keprihatinan utamanya Macam tindakan Keprihatinan utama Teleologis Mencapai tujuan dan memperhitungkan konsekuensi – konsekuensi tindakannya Normatif Penerimaan nilai-nilai yang disampaikan Dramaturgik Penampilan atau performance Komunikatif Menunda dalam mengejar tujuan masing-masing agar tercapai tujuan bersama tapi tanpa ancaman, kondisioning, dan manipulasi j. Dilihat dari lingkupnya Macam tindakan Teleologis Normatif Dramaturgik Komunikatif Lingkup Punya dua lingkup (privat dan publik) Publik Publik dan panggung Publik, privat, dan dunia yang dihayati k. Dilihat dari kriteria ungkapannya Macam tindakan Kriteria ungkapan yang dapat dipahami Teleologis Dapat dipahami dan meyakinkan Normatif Ketepatan normatif, rasional-tidak Dramaturgik Ketulusan penafsiran atau maksudnya Komunikatif Kebenaran dalam pernyataan, tepat bahasanya, ketulusan dalam maksudnya D. Tentang Demokrasi Deliberatif Pemikiran Habermas tentang demokrasi deliberatif ini sesungguhnya merupakan penerjemahan dari tindakan komunikatif dalam institusi politik. Istilah demokrasi deliberatif berasal dari 2 (dua) kata, yaitu demokrasi dan deliberatif. Demokrasi secara umum adalah pemerintahan oleh yang diperintah (regierung der regierten). Adapun secara definitif sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yakni sebuah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.16 16 Jurgen Habermas, The Structural Transformation of the Publik Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, (Cambridge: MIT Press, 1989), p. 34. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 dalam Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif... 155 Sedangkan kata deliberasi berasal dari bahasa Inggris, deliberation, yang artinya careful consideration and discussion,17 artinya diskusi dan pertimbangan yang hati-hati, tetapi kemudian seringkali diterjemahkan menjadi konsultasi, menimbang-nimbang, atau dalam istilah politik adalah musyawarah. Deliberation dalam bahasa Inggris sebagaimana di atas berasal dari akar kata, deliberatio, dari bahasa latinnya.18 Selanjutnya pemakaian istilah demokrasi yang dilekatkan pada kata deliberasi memberikan makna tersendiri bagi konsep demokrasi. Istilah demokrasi deliberatif ini memiliki makna yang tersirat yaitu diskursus praktis, formasi opini, dan aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai prosedur.19 Demokrasi deliberatif tidak memfokuskan pandangannya dengan aturan-aturan tertentu yang mengatur masyarakat, tetapi justru perhatian diarahkan pada sebuah prosedur yang menghasilkan aturan-aturan, undang-undang, atau kebijakan publik lainnya. Aktivitas ini membantu untuk bagaimana keputusan-keputusan politis diambil dan dalam kondisi bagaimanakah aturan-aturan tersebut dihasilkan sedemikian rupa sehingga masyarakat mematuhi peraturan-peraturan tersebut. Dengan kata lain, demokrasi deliberatif meminati kesahihan keputusan-keputusan kolektif itu atas dasar klaim bahwa keputusan-keputusan dibuat sendiri oleh masyarakat maka masyarakat hendaknya mematuhinya. 20 Demokrasi deliberatif akan terjadi jika prosedur yang menghasilkan aturan atau kandidat undang-undang atau kebijakan publik lainnya melibatkan proses pemberian alasan yang diuji terlebih dahulu lewat diskursus publik atau rational discussion.21 Disebut rasional jika semua orang yang berada dalam suatu perbincangan dapat mengemukakan semua argumentasi-argumentasi yang masuk akal, yang relevan pada saat itu sehingga pengandaian-pengandaian yang berperanan dalam diskusi tersebut dapat dikritik, juga kalau perlu diubah atau bahkan diganti dengan alternatif lain jika para peserta menginginkannya.22 Dalam diskursus publik inilah mayarakat yang terlibat bisa memberikan argumentasinya secara rasional untuk meyetujui atau menolak jalan keluar atas persoalan- persoalan yang dibahas. Jadi dalam demokrasi deliberatif bahwa nantinya produk jalan keluar dari persoalan-persolan yang dibahas ditentukan dalam proses pembentukan keputusan yang 17AS. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford : Oxford University Press, 1987), p.228 18F. Budi Hardiman, “Demokrasi Deliberatif : Model Untuk Indonesia PascaSoeharto ?”, dalam Basis ,p.18. 19Http//id.wikipedia.org/wiki/jurgen_habermas 20Ibid. 21F. Budi Hardiman, “Demokrasi Deliberatif : Model Untuk Indonesia PascaSoeharto ? “, dalam Basis, p. 18 22K. Bertens, Filsafat Barat, p. 247 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 156 Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif... melibatkan komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam perbincangan dimaksud. Komunikasi yang diciptakan adalah bukan komunikasi yang dominatif , tetapi komuniksi yang sejajar. Sebagai contoh ketika Pemerintah Daerah Kabupaten Kudus hendak mengundangkan wilayah bebas becak, maka sebelum UndangUndang itu diputuskan terdapat prinsip yang tak bisa ditolak dalam demokrasi deliberatif, yaitu mengikutsertakan pihak-pihak yang akan terkena peraturan perundang-undangan itu. Dengan demikian pemerintah harus meminta pendapat si tukang becak, si pemilik becak, si pengguna becak, si pengguna jalan raya, masyarakat peduli becak, dalam sebuah diskursus publik yang diselenggarakan. Ini berarti bahwa demokrasi deliberatif merupakan suatu proseduralisme dalam politik dan hukum. Legitimitas tidak terletak pada fakta bahwa mayoritas telah diraih, melainkan pada fakta bahwa cara-cara meraihnya melibatkan proses komunikatif, rasional, fair, adil, tanpa paksaan, tanpa ancaman, tidak dengan bujukan atau rayuan, sehingga akhirnya sebuah jalan keluar, produk hukum, undang-undang atau kebijakan publik lain yang diraih dengan cara-cara tersebutlah yang mempunyai alasan kuat untuk ditaati masyarakat. Demokrasi deliberatif ini bertujuan untuk meningkatkan intensitas partisipasi masyarakat dalam proses penyaluran dan pembentukan aspirasi agar undang-undang atau kebijakan publik lain yang dihasilkan oleh pihak yang memerintah semakin mendekati harapan semua pihak. Hal ini karena tujuan dari konsep demokrasi deliberatif Habermas adalah untuk mencapai sebuah hubungan yang damai meskipun dalam masyarakat yang beranekaragam, baik agama, suku, bangsa, bahasa, dan lain-lain. Sesungguhnya pemikiran yang disampaikan oleh Habermas tentang demokrasi deliberatif ini terbilang unik dan berbeda dengan pemikiran para pendahulunya, seperti : Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), ataupun Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Jika Hobbes menyatakan bahwa negara didirikan untuk melindungi hak-hak individu yang bersepakat untuk mendirikan suatu lembaga dengan wewenang mutlak yang menata mereka melalui undang-undang. Mereka menyerahkan semua hak mereka tanpa kemungkinan bagi mereka untuk mempersoalkannya.23 Kemudian berangkat dari asumsi yang sama dengan Hobbes, John locke menyatakan negara didirikan untuk melindungi hak milik pribadi. Bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengontrol pertumbuhan milik pribadi yang tak seimbang, melainkan justru untuk menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. 23Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1994), p. 207 dan 212 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif... 157 Oleh karena itu undang-undang negara tidak boleh mengurangi hak pribadi masyarakat. Oleh karena itu kekuasaan membuat undang-undang negara tidak bisa diserahkan pada pihak lain, misalnya kepada raja.24 Sedangkan Rousseau menekankan pada social contract dan volonte generale (kehendak umum). Kehendak umum adalah kehendak bersama semua individu yan mengarah pada kepentingan bersama. Kepentingan bersama ini dapat disaring dari kehendak semua melalui pemungutan suara. Dalam pemungutan suara, kepentingan-kepentingan khusus - yang bertentangan satu ama lain-saling meniadakan sehingga akhirnya tinggal kepentingan umum yang dikehendaki oleh semua.25 Dalam konteks ini maka sebagai contoh bahwa produk undangundang atau kebijakan publik lain lebih penting daripada proses legislasinya. Sebagai contoh bahwa jika DPR menghasilkan undangundang maka yang penting undang-undang tersebut harus disepakati oleh bersama atau oleh mayoritas dengan tanpa mempedulikan lewat cara apa. Jika undang-undang sudah dihasilkan dengan cara demikian maka undangundang dianggap sudah mempunyai legitimasi. Dengan demikian maka secara khusus, sesungguhnya demokrasi deliberatif Habermas ini adalah bentuk respons atas pemikiran-pemikiran sebelumnya, merupakan produk gagasan dalam rangka menanggapi adanya ketegangan kreatif (creative tention) yang panjang dalam sejarah pemikiran tentang hukum, negara, dan demokrasi. Paling tidak ada 2 (dua) tradisi kenegaraan modern yang menjadi representasi dari creative tention ini yaitu tradisi yang bermuara pada pemikiran John Locke yang menekankan pada indivudu dan tradisi yang meneruskan paham kenegaraan Rousseau yang lebih mengakomodir kelompok.26 Tradisi Locke memandang hukum dan negara secara utilitaristik sebagai lembaga-lembaga yang perlu untuk menjamin kebebasankebebasan individu dalam masyarakat. Negara bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan lembaga yang menciptakan kondisi keamanan yang diperlukan agar warga masyarakat dapat hidup dan berusaha dengan bebas.27 Sebaliknya Rousseau memandang hukum sebagai ekspresi kehendak umum, kehendak suci rakyat. Mengabdikan diri pada negara adalah tugas suci. Negara tidak dapat berdiri secara mantap kalau hanya 24Ibid., p. 221 dan 224 p. 240 26 Jurgen Habermas, Theorie des Kommunikativen Handelns (Band 2), Zur Kritik der funktionalistischen Vernunft, (Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 1988), p. 23. 27Leo Strauss dan Joseph Cropsey, History of Political Philosophy, (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1987), p. 476-485 25Ibid., SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif... 158 dianggap sebagai sarana pelayanan kebebasan individual. Negara berhak menuntut komitmen dan pengorbanan dari warga negara.28 Dalam mengatasi 2 (dua) ketegangan kreatif tersebut tampknya Habermas dengan deliberatifnya berupaya secara langsung memperbaiki konsep Rousseau bahwa dalam upaya memproduksi hukum, yang terpenting bukan jumlah kehendak individu/perseorangan, kesahihan hukum bukan bersumber pada kehendak umum. Bagi Habermas, yang terutama, adalah bahwa pemecahan masalah dalam bidang apapun, dalam pembentukan undang-undang atau kebijakan publik lainnya harus diciptakan melaui tindakan komunikasi, selalu terbuka terhadap revisi, yang tentunya mengandalkan argumen-argumen rasional. E. Ruang Publik Sebagai Wahana Berdemokrasi Deliberatif Bagi Habermas, ruang publik (public sphere) memiliki peran yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi deiberatif.29 Ruang publik merupakan ruang demokratis atau tempat atau wadah berwacana bagi publik, yang mana publik dapat menyatakan pendapatnya, opini-opininya, kepentingan-kepentingannya secara terbuka, rasional, dan diskursif – argumentatif. Adapun yang dinamakan publik adalah masyarakat yang memiliki keberanian untuk mengekspresikan dirinya dengan mengemukakan pendapatnya, menegaskan eksistensi dirinya dengan memperjuangkan pemenuhan hak-haknya, dan mendesak agar kepentingan-kepentingannya terakomodasi.30 Jadi publik bukanlah masyarakat yang diam dan pasif melainkan masyarakat yang bersuara dan aktif. Ruang publik tidaklah sesuatu yang bersifat fisik dan hanya berkaitan dengan lembaga atau institusi-institusi yang formal dan bersifat legal, melainkan menunjuk pada adanya komunikasi masyarakat itu sendiri. Ruang publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan, dan tidak ada intervensi dari otoritas. Ruang publik itu harus mudah diakses semua orang. Dari ruang publik ini nantinya dapat terhimpun kekuatan solidaritas masyarakat berhadapan dengan yang memiliki otoritas.31 Ruang publik dimaksud bisa berwujud kebebasan pers, bebebasan berpartai, kebebasan berakal sehat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan berunjuk rasa, 28Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan., (Jakarta : Gramedia, 2001), p. 245-253 29 Http//id.wikipedia.org/wiki/juergen_habermas 30Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan: Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru, (Bandung : Mizan, 2000), p. 269-270 31 Http//id.wikipedia.org/wiki/juergen_habermas SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif... 159 kebebasan membela diri, kebebasan membela komunitas, otonomi daerah, independensi, dan keadilan sistem hukum.32 Habermas membagi-bagi ruang publik, tempat para aktor-aktor masyarakat warga membangun ruang publik, sebagai pluralitas (keluarga, kelompok-kelompok informal, organisasi-organisasi sukarela, dan seterusnya.), publisitas (media massa, institusi-institusi kultural,dan lainlain), keprivatan (wilayah perkembangan individu dan moral), dan legalitas (struktur-struktur hukum umum dan hak-hak dasar). Dengan demikian, maka ruang publik begitu banyak terdapat di tengah-tengah masyarakat. Ruang publik tidak dapat dibatasi lingkup dan wilayahnya secara fisikal. Dimana ada masyarakat yang berkomunikasi, berdiskusi tentang tematema yang relevan, maka disitulah akan hadir ruang publik. Ruang publik bersifat bebas dan tidak terbatas. F.Demokrasi Deliberatif Menciptakan Tatanan Sosial Komunikatif di Indonesia Sepanjang masa kemerdekaannya, bangsa Indonesia telah mencoba menerapkan bermacam-macam demokrasi. Hingga tahun 1959, dijalankan suatu praktik demokrasi yang cenderung pada sistem demokrasi liberal sebagaimana berlaku di negara-negara Barat yang bersifat individualistik. Pada tahun 1959-1966 diterapkan demokrasi terpimpin, yang dalam praktiknya justru kekuasaan hanya berada di satu tangan sehingga cenderung otoriter. Mulai tahun 1966 hingga berakhirnya masa Orde Baru pada tahun 1998 diterapkan demokrasi pancasila yang praktiknya belum bisa dikatakan sebagai demokrasi karena kepentingan-kepentingan rakyat seringkali tidak terakomodasi sedangkan suara-suara masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasinya dibatasi, kalau tidak dibungkam sama sekali. Dengan berakhirnya rezim Orde Baru maka masyarakat membuka pintu memasuki orde Reformasi. Orde Reformasi mewariskan banyak permasalahan yang harus dituntaskan. Tentunya masih lekat dalam ingatan bahwa dengan runtuhnya Orde Baru sampai sekarang ini telah mengantarkan Indonesia menghadapi berbagai ujian berat di berbagai bidang akibat iklim perpolitikan yang kurang sehat selama masa itu. Kondisi tersebut berbias sangat luas yang sangat mengancam terhadap keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Persoalan-persoalan baru bermunculan, di antaranya : persoalan disintegrasi bangsa dengan pisahnya Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, meruncingnya persoalan Aceh, Papua, Maluku dengan tuntutan yang kurang lebih sama ; kekerasan antar warga dengan semakin maraknya tawuran antar daerah sampai tawuran di kalangan mahasiswa dan siswa, belum lagi ketegangan 32 Eep Saefulloh Fatah, Zaman, p. 277. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif... 160 yang tak pernah henti-hentinya di antara elite pejabat di lingkungan legislatif maupun eksekutif. Wajah tatanan sosial masyarakat Indonesia yang dahulu terkenal ramah dan santun, berubah menjadi beringas dan tak kenal kata maaf. Insiden-insiden tersebut perlu mendapatkan perhatian untuk dicarikan solusinya, yakni solusi tindakan yang idealnya berakar pada telaah intelektual yang mendalam dan refleksif untuk memenuhi sebuah ekspektasi kemampuan mewadahi kehidupan multikultur sebagai salah satu karakter khas masyarakat Indonesia. Salah satu solusi yang perlu dipertimbangkan adalah diberlakukannya tradisi yang berbasis pada demokrasi deliberatif di setiap langkah yang melibatkan pemecahan berbagai masalah, pembentukan undang-undang, atau pembangunan kebijakan publik lainnya. Pemecahan berbagai masalah, pembentukan undang-undang, dan kebijakan publik lainnya hendaknya dikonstruksi dengan mengikutsertakan partisipasi dari semua pihak untuk melakukan diskusi rasional (rational discussion). Diskusi rasional akan berjalan dengan baik dan menghasilkan jika situasi tidak terdistorsi sedikitpun. Maksudnya : 1. Semua peserta diskusi mempunyai peluang yang sama untuk memulai suatu diskusi dan dalam diskusi itu mempunyai peluang yang sama untuk mengemukakan argumen-argumen dan mengkritik argumenargumen peserta lain. 2. Di antara peserta tidak ada perbedaan kekuasaan yang dapat menghindari bahwa argumen-argumen yang mungkin relevan sungguhsungguh diajukan juga, dan akhirnya 3. Semua peserta mengungkapkan pemikirannya dengan ikhlas sehingga tidak mungkin terjadi yang satu memanipulasi yang lain tanpa disadarinya.33 Selanjutnya bahwa dalam prakteknya, demokrasi deliberatif juga ditandai dengan pembuatan keputusan yang dilakukan melalui partisipasi semua pihak secara langsung, bukan melalui voting atau perwakilan tetapi melalui dialog, musyawarah dan mufakat. Implikasi konkret dalam realitasnya adalah: 1. Partisipasi luas untuk menghindari terjadinya oligarki elit dalam pengambilan keputusan. 2. Menghindari kompetisi individual dalam memperebutkan posisi pimpinan dalam proses pemilihan langsung. 3. Mengurangi praktik-praktik intimidasi, kekerasan, politik uang, KKN, dan lain-lain. Diterapkannya demokrasi deliberatif dalam kehidupan multikultur akan dapat mengatasi 2 (dua) kecenderungan tradisi di masyarakat yang 33 K. Bertens, Filsafat Barat, p. 247-248 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif... 161 seringkali berbias konflik berbasis egoisme individual maupun fanatisme kelompok, yaitu kecenderungan individualistik-liberalistik dan kecenderungan kolektivistik-komunitarian. Praksis deliberatif mendorong orang-orang yang terlibat dalam diskursus publik untuk mengatasi perspektif individualistik mereka dan mengambil peran sebagai warga negara yang berorientasi keseluruhan. 34 Implikasinya, individu dalam deliberasi akan meraih identitasnya tidak dari dirinya sendiri sebagaimana individu liberal, tidak juga dari komunitasnya sebagaimana individu komunitarian, melainkan dari suatu proses pembentukan identitas baru yang dirancang bersama secara diskursif . Sebagai contoh seorang yang beragama Islam dengan seorang Katholik, atau seorang dari Jawa dan seorang dari Batak, atau seorang dari partai A dan seorang dari partai B yang berkomunikasi untuk mencapai saling pemahaman akan mengatasi perspektif individualistik mereka dengan mengambil alih perspektif partner dialognya. Dengan cara ini, identitas kultural mereka akan dilampaui dan terbentuk identitas baru yang lahir dari saling pemahaman di antara keduanya. Istilah lain adalah masyarakat yang bersifat beyond subjectivity. Masyarakat dengan identitas baru yang bersifat beyond subjectivity ini akan terwujud karena masyarakat menerapkan tradisi demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif berlandaskan pada tindakan komunikatif maka jika tradisi demokrasi deliberatif ini diaplikasikan, khususnya di Indonesia, maka akan mewujudkan tatanan sosial yang komunikatif. Tentunya komunikatif di sini tidak sekedar komunikasi yang dipahami dalam pengertian sempit sebagai praktik interaksi dan saling berwicara, namun harus dimaknai komunikasi dalam arti luas yakni sebagai cara berada manusia. Tanpa komunikasi tatanan sosial akan berantakan. Harapan tercipta tatanan sosial yang lebih baik jika masyarakat semakin menggali dan mengembangkan kompetensi berkomunikasi yang dimilikinya. Kompetensi komunikasi yang dimaksud adalah sanggup mengemukakan kebenaran, sanggup mengupayakan keadilan satu sama lain, sanggup menjalin relasi yang tulus satu sama lain.35 Demokrasi yang deliberatif diperlukan untuk menyatukan multikepentingan yang muncul dalam masyarakat Indonesia yang heterogen. Jadi setiap kebijakan publik hendaknya lahir dari musyawarah bukan dipaksakan oleh sekelompok elit saja. Demokrasi deliberatif mengutamakan penggunaan tata cara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan masyarakat, jadi F. Budi Hardiman, Basis, p. 21 Saptono, “Menimbang Pendidikan Komunikatif”, dalam Basis, Nomor 07-08, Tahun ke-57, Juli-Agustus 2008, p. 54 34 35 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 162 Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif... bukan atas dasar hegemoni elit pemegang otoritas. Demokrasi deliberatif berbeda dengan demokrasi perwakilan, yang hari ini berlaku di Indonesia yang malah menjadi demokrasi prosedural semata. Mengaku mewakili dan memperjuangkan kesejahtera masyarakat tetapi justru membohongi rakyat dan melakukan korupsi, mengaku melaksanakan musyawarah mufakat tetapi justru asyik nonton video porno, dan seterusnya. Dengan dilaksanakan demokrasi deliberatif ini tidak saja menciptakan demokrasi yang baik, dimana keterlibatan rakyat tidak hanya sekedar prosedural seperti yang dijelaskan di atas tetapi juga bagaimana masyarakat keterlibatannya mampu mengkonsultasikan permasalahanpermasalahan bersama yang akan meciptakan kesepahaman bersama. Agar demokrasi deliberatif terwujud di Indonesia maka ruang publik harus diwujudkan seluas-luasnya. Satu sisi harus ada political will dari pemerintah untuk segera membuka ruang publik yang bersifat akomodatif dan responsif terhadap kepentingan masyarakat, di sisi lain masyarakatpun harus terus memperjuangkan terjadinya ruang publik itu, kalau perlu dengan merebutnya. Implementasi ruang-ruang publik ini adalah salah satu agenda demokratisasi di Indonesia yang terus harus diperjuangkan pasca runtuhnya rezim Orde Baru. G. Kesimpulan Berangkat dari pembahasan di atas maka secara ringkas dipahami bahwa benar jika banyak yang menyebutkan bahwa Habermas, seorang filosof Jerman saat ini, adalah masterpiece-nya komunikasi. Dengan teori tindakan komunikasinya. Seluruh pemikirannya, baik tentang etika/moral, agama, politik, termasuk tentang bahasan tentang demokrasi deliberatif ini merupakan penerjemahan dari teori tindakan komunikatifnya.Demokrasi deliberatif dalam pandangan Habermas adalah cara mengatur sebuah masyarakat yang didasarkan undang-undang atau kebijakan publik lainnya, yang terbentuk melalui diskursus publik atau rational discussion, tidak melalui pemaksaan kehendak, penggiringan opini, maupun voting atau suara terbanyak. Dengan cara ini diharapkan undang-undang atau kebijakan publik lain yang dihasilkan oleh pihak yang memerintah semakin mendekati harapan semua pihak yang diperintah, dan akhirnya produk keputusan, undang-undang, atau kebijakan publik lain yang diraih dengan cara-cara tersebutlah yang mempunyai alasan kuat untuk ditaati oleh semua anggota masyarakat. Konsep Habermas ini memediasi, khususnya, antara pemikiran John Locke dengan individualismenya yang eksesif dalam konsep liberalismenya dengan pemikiran Rousseau yang bertendensi kolektivisme dalam konsep komunitarianismenya. Dalam konteks keindonesiaan, tampaknya sudah mendesak untuk diterapkannya demokrasi yang berbasis SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif... 163 deliberatif dalam rangka mewujudkan suatu sistem politik dan pemerintahan yang sehat, memberi ruang bebas kepada masyarakat untuk beraspirasi melalui organ-organ publik di ruang publik. Ruang publik yang bersifat bebas, terbuka, mudah diakses oleh semua orang, transparan dan otonom. Tak ada pihak lain yang mengintervensi ruang ini. Diskusi-diskusi publik harus segera mendapat tempat dalam kehidupan bermasyarakat. Segala aturan, kandidat undang-undang, kebijakan publik harus dikonsultasikan, dimusyawarahkan dengan masyarakat sehingga tatkala aturan diterapkan tidak terjadi pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan aturan tersebut. Di sinilah maka ketegangan bahkan konflik akan segera teratasi. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 164 Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif... Daftar Pustaka B. Mayo, Henry. An Introduction to Democratic Theory, New York : Oxford University Press, 1960. Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer : Inggris-Jerman, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1990. Fatah, Eep Saifullah. Zaman Kesempatan : Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru, Bandung : Mizan, 2000. Hardiman, F. Budi. “Demokrasi Deliberatif : Model Untuk Indonesia Pasca-Soeharto ?”, dalam Basis No.11-12, Tahun ke-53, NovemberDesember 2004 Hornby, AS. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford: Oxford University Press, 1987. Http//id.wikipedia.org/wiki/jurgen_habermas Jurgen Habermas, The Structural Transformation of the Publik Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, Cambridge: MIT Press, 1989. Jurgen Habermas, Theorie des Kommunikativen Handelns (Band 2), Zur Kritik der funktionalistischen Vernunft, Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 1988. Mahfud, Moh., Demokrasi dan Konstitusi Di Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1993. Saptono, “Menimbang Pendidikan Komunikatif”, dalam Basis, Nomor 0708, Tahun ke-57, Juli-Agustus 2, 2008 Strauss, Leo dan Joseph Cropsey. History of Political Philosophy, Chicago and London : The University of Chicago Press, 1987. Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat : Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan., Jakarta : Gramedia, 2001. Sumaryono, E. Hermeneutik : Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, 1999. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif... 165 Suseno, Franz Magnis “75 Tahun Jurgen Habermas”, dalam Basis, No.1112, Tahun ke-53, November-Desember 2004 ------- . Etika Politik : Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1994. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 166 Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif... SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi Eksklusif Berdasarkan Hukum Laut Internasional Oleh: Lindra Darnela Abstract Exclusive Economic Zone is a new rule in international law set forth in the "United Nations on the Law of the Sea 1982". The basis of the Exclusive Economic Zone is the idea that fisheries resources could be depleted and thus it is positive to implement conservation measures. This provision if used properly, it will benefit Indonesia as an archipelagic state in the utilization of natural resources. To manage marine areas in Indonesia, the Government issued Law No. 5 of 1983 on the Indonesian Exclusive Economic Zone along with other regulations that are useful in the context of setting the archipelagic waters of Indonesia in the utilization of natural resources. Other efforts by Indonesia to regulate economic zone is through cooperation both bilaterally and multilaterally with other countries particularly with ASEAN countries. Key word: exclusive economic zones, international maritime law Abstrak Zona Ekonomi Eksklusif merupakan aturan baru dalam hukum internasional yang ditetapkan dalam “United Nation on the Law of the Sea 1982”. Dasar dari Zona Ekonomi Eksklusif ini adalah adanya pemikiran bahwa sumbersumber penangkapan ikan bisa saja akan habis dan dengan demikian sangatlah positif untuk menerapkan ukuran-ukuran konservasi. Ketentuan ini jika digunakan dengan baik, maka akan menguntungkan Indonesia sebagai negara kepulauan dalam pemanfaatan sumber daya alamnya. Untuk mengatur wilayah kelautan di Indonesia, Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia beserta peraturan-peraturan lain yang berguna dalam rangka pengaturan perairan kepulauan Indonesia dalam pemanfaatan sumber daya alamnya. Upaya lain yang dilakukan Indonesia dalam mengatur wilayah Zona Ekonomi adalah dengan melakukan kerjasama baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara-negara lain khususnya dengan negara-negara ASEAN. Kata kunci: zona ekonomi eksklusif, hukum laut internasional A. Pendahuluan Bumi ini kurang lebih tiga perempatnya terdiri dari lautan dengan segala sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.1 Potensi yang Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. E-mail: [email protected] SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 168 Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi... dimiliki laut berupa kekayaan alam, sumber energi lautan maupun fungsinya sebagai sarana lalu lintas perdagangan antar bangsa, seringkali menjadikan laut tersebut sebagai arena pertentangan kepentingan antar bangsa di dunia. Maka dari itu, berbagai cara untuk menguasai lautan dengan dasar alasan yang berbeda-beda, ikut mewarnai perkembangan hukum laut internasional. Perkembangan dewasa ini, ketika kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin meningkat, menunjukkan semakin besarnya kebutuhan manusia akan sumber kekayaan alam. Sementara itu, sumber kekayaan alam yang terdapat di daratan semakin berkurang akibat eksploitasi yang berlebihan tanpa pengaturan yang baik, maka sumber kekayaan di lautan menjadi alternatif bagai pemenuhan kebutuhan sumber kekayaan alam demi kepentingan dan kesejahteraan ummat manusia di bumi ini. Dengan dimanfaatkannya sumber kekayaan alam di laut tersebut, menyebabkan peranan hukum laut internasional menjadi penting untuk mengatur dan mengelola sumber kekayaan alam bagi kepentingan umat manusia. Permasalahan yang kemudian timbul adalah bagaimana praktek Negara Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan (archipelago state) yang memiliki wilayah perairan yang luas dalam mengatur Zona Ekonomi Eksklusifnya, apakah sesuai dengan hukum laut internasional atau tidak. B. Ratifikasi Konvensi Hukum Laut III 1982 Usaha yang dilakukan masyarakat internasional untuk mengatur masalah-masalah kelautan melalui Konferensi Hukum Laut ke III, telah berhasil melahirkan “United Nation on the Law of the Sea 1982” (Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa 1982). Terbentuknya Konvensi Laut Perserikatan Bangsa-bangsa 1982 (untuk selanjutnya di sebut Konvensi Hukum Laut 1982) menandai dimulainya suatu era baru dalam hukum laut internasional. Ditandatanganinya Konvensi Hukum Laut 1982 oleh 117 negara dan 2 satuan bukan negara di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982 ini, merupakan gambaran dari usaha masyarakat internasional untuk mengkodifikasikan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang telah ada.2 Selain itu, hal tersebut merupakan perangkat hukum laut yang dapat menggambarkan perkembangan progresif (progressive development) dari hukum internasional.3 1“Ocean”, Encyclopeida Americana, Grolier Incorporated, Connecticut, 1983, Vol.20 p. 611-619. 2Churchill and A.V. Lowe, The Law of the Sea, (Manchester: Manchester University Press, 1983), p. 12-17. 3Etty R. Agoes, Konvensi Hukum Laut 1982: Masalah Pengaturan hak Lintas Kapal Asing, (tp: Abardin, 1991), p. 1. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi... 169 Dengan dilakukannya ratifikasi yang ke 60 oleh Guyana pada tanggal 16 November 1983, maka Konvensi Hukum Laut yang 1982 mulai berlaku pada tanggal 16 November 1984.4 Berlakunya Konvensi tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi menjadi suatu hal yang penting untuk dilaksanakan oleh negara-negara di dunia, sebagaimana yang diatur sendiri dalam Konvensi Hukum Laut 1982, dinyatakan: “state Parties shall fulfill in good faith the obligations assumed under this Convention and shall exercise the rights, jurisdiction and freedoms recognized in this Convention in a manner which would not constitute an abuse of right”.5 Pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982 juga merupakan hal yang penting bagi Indonesia dengan diratifikasinya Konvensi tersebut melalui Undangundang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut. Maka dari itu, Indonesia terikat oleh kententuan-ketentuan yang ada dalam Konvensi. C. Zona Ekonomi Eksklusif: Ketentuan baru dalam Hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982 terdiri dari atas 17 Bab, 320 Pasal, dan 9 Lampiran, serta berisikan pengetahuan atas rezim-rezim hukum laut secara lengkap, menyeluruh dan satu sama lain tidak dapat di pisahkan. Salah satu bagian yang penting dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982 dan juga merupan salah satu pengetahuan yang baru dalam hukum laut internasional, adalah ketentuan mengenai Exclusive Economic Zone atau Zona Ekonomi Eksklusif.6 Konsep Zona Ekonomi Eksklusif yang berkembang, berawal dari kesadaran bahwa sumber-sumber penangkapan ikan bisa saja akan habis dan dengan demikian sangatlah positif untuk menerapkan ukuran-ukuran konservasi.7 Ketentuan tersebut merupakan perwujudan usaha dan perjuangan dari negara-negara pantai yang sedang membangun untuk mendapatkan kesempatan yang sama dengan negara-negara maju dalam memanfaatkan 4Pasal 308 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982 menyatakan:“This Convention spl enter into force 12 months after the date of deposit of the sixtieth instrument of ratification or acceiso”. 5 Pasal 300 Konvensi Hukum Laut 1982. 6Etty R. Agoes, “Perkembangan Hukum Internasional Dewasa Ini”, dalam Projustitia, No. 18 Juli 1983, p. 87. 7Rebecca M.M Wallace, Hukum Internasional (International Law), Penerjemah: Bambang Arumanadi, (Semarang: IKIP Semarang Press, tt.), p. 164. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 170 Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi... sumber kekayaan alam yang terdapat dalam perairannya dan yang berdekatan dengan pantainya.8 Pada zona Ekonomi Eksklusif, negara pantai mempunyai hak berdaulat9 meskipun tidak penuh,10 karena hanya dapat untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan tanah di bawahnya11 dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin.12 Selain hak berdaulat, negara pantai mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu antara lain melakukan tindakan konservasi dan pengelolaan yang tepat; menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan; bekerjasama dengan organisasi internasional yang berwenang baik dalam tingkat sub regional, regional, maupun global; menjamin hasil maksimum yang lestari; serta menyumbangkan dan saling mempertukarkan data ilmiah, statistik penangkapan dan usaha perikanan lainnya.13 Dalam hubunganya dengan pemanfaatan, negara pantai juga mempunyai kewajiban untuk memajukan tujuan pemanfaatan yang optimal, menetapkan kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya alam hayati, serta memberikan kesempatan kepada negara lain untuk memanfaatkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan yang masih tersisa.14 Dari uraian di atas, satu hal yang cukup penting sehubungan dengan hak berdaulat dari negara pantai di Zona Ekonomi Eksklusif adalah ditetapkanya keharusan untuk menjamin (shall ensure) diadakanya kerjasama antara negara pantai dengan organisasi internasional yang berwenang pada tingat sub regional, regional, maupun internasional dalam perlaksanaan konservasi sumber kekayaan hayati di Zona Ekonomi Eksklusif.15 Hal 8Ketentuan mengenai Zona Ekonomi Eksklusif ini diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982 pada Bab V dari Pasal 55 sampai dengan Pasal 55 sampai dengan Pasal 77. Pada pokoknya kententuan tentang Zona Ekonomi Eksklusif berisikan: hak dan kewajiban negara pantai, hak dan kewajiban negara lain, dan ketentuan dalam Konvensi untuk mengatur semua kegiatan di Zona Ekonomi Eksklusif yang tidak termasuk dalam hak dan kewajiban negara pantai dan negara lain. Curchil and A.V Lowe, The Law of the Sea, p. 130-136. 9Hak berdaulat di Zona Ekonomi Eksklusif berkaitan dengan sumber daya alam hanya pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan di laut, penelitian ilmiah kelautan serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. 10Rebecca M.M Wallace, Hukum Internasional, p. 164 11D.J. Harris, Cases and Materials on Internasional Law, 5th. Edition, (London: Sweet and Maxwell, 1998), p. 463. 12Pasal 56 ayat (1) sub. a Konvensi Hukum laut 1982. 13Pasal 61 Konvensi Hukum Laut 1982. 14Pasal 62 Konvensi Hukum Laut 1982. 15Pasal 61 ayat (2) Konvensi Hukum Laut 1982. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi... 171 tersebut dilakukan dengan maksud untuk mengatur agar sumber kekayaan hayati16 yang terdapat di Zona Ekonomi Ekslusif dapat terus menerus dimanfaatkan bagi kepentingan bersama umat manusia, tidak hanya oleh negara pantai saja. D. Pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif di Indonesia Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dengan letak geografis antar pulau satu dengan pulau lain berjauhan. Kadangkala laut berpisah antara dua pulau lebih luas dari pada pulau yang dipisahkannya. Meskipun demikian, semua yang ada di sisi bagian garis pangkal merupakan satu kesatuan,17 karena Indonesia menggunakan penarikan garis pangkal lurus (straight base line) dari titik terluar pulau terluar, sehingga Indonesia berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 disebut sebagai negara kepulauan (archipelago state).18 Dengan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km 2 merupakan negara kepulauan dengan luas perairan Zona Ekonomi Eksklusif ketiga terbesar di dunia.19 Sebagai negara yang berada pada garis katulistiwa yang beriklim tropis serta terletak di antarA dua benua dan dua samudera, ditambah lagi dengan luas perairan yang demikian besar, maka sumber kekayaan hayati20 yang terdapat di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia memiliki potensi yang sangat besar pula. Oleh karena itu, perikanan sebagai salah satu unsur dari sumber daya alam hayati yang terdapat pada perairan di Indonesia memiliki jenis dan sifat tersendiri. Potensi perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia diperkirakan sekitar 4,231 juta ton pertahun. Dari jumlah tersebut diperkirakan potensi lestarinya sekitar 2,115 juta ton pertahun, dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan adalah sekitar 1,863 juta ton pertahun.21 Namun dari jumlah tangkapan yang di perbolehkan tersebut, kemampuan Indonesia untuk memanfaatkan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusifnya 16Istilah “sumber kekayaan hayati” merupakan terjemahan resmi living resources yang diambil dari Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut yang dikeluarkan oleh Direktorat Perjanjian Internasional, Departemen Luar Neger, tanpa tahun. 17Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, (Jakarta: Binacipta, 1986), p. 186. 18Dalam Konvensi Hukum Laut 1982, Konsep Negara Kepulauan sudah diakui, seperti dalam Part.IV, Pasal 46-64 19Churchill dan A.V Lower, The Law of the Sea, p. 140 20Sumber kekayaan hayati merupakan istilah yang terdapat dalam perundangundangan Indonesia, yang artinya adalah semua jenis binatang dan tumbuhan termasuk bagian-bagian yang terdapat di dasar lautan ruang air Zona Ekonomi Eksklusif. Pasal 1 sub a Undang-undang No. 5 thaun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. 21Direktorat Bina Sumber Hayati, Hasil Evaluasi Potensi Sumber Daya Hayati Perikanan Laut di Perairan Indonesia dan Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tahun 1983, (Jakarta: Departemen Peranian, 19830, p. 23. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 172 Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi... hanya sekitar 25%. Rendahnya kemampuan yang dimiliki Indonesia untuk memanfaatkan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusifnya disebabkan oleh beberapa kendala di antarnya di bidang permodalan teknologi, sumber daya manusia serta sarana yang belum memadai. Adanya keharusan sebagai negara pantai untuk memanfaatkan sumber kekayaan hayati yang terdapat di Zona Ekonomi Eksklusif, sementara kemampauan untuk memanfaatkan perikanan oleh Indonesia masih sangat rendah, menyebabkan negara-negara lain memiliki kesempatan untuk memanfaatkan jumlah tangkapan yang dapat diperbolehkan yang masih tersisia di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.22 Dalam melakukan pemanfaatan secara optimal potensi perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ini, kepentingan negara lain untuk ikut memanfaatkan potensi tersebut dilakukan dalam bentuk usaha patungan atau bentuk kerjasama lainya.23 Dengan usaha-usaha tersebut, maka diharapkan pemanfaatan secara optimal perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dapat dilakukan untuk kepentingan sebesarbesarnya bagi negara dan bangsa Indonesia, bukan kepentingan individu atau suatu kelompok tertentu. E. Peraturan tentang Sumber Daya Laut di Indonesia Beberapa peraturan ditetapkan sebagai upaya mengantisipasi diakuinya pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif dalam Konvensi Hukum Laut 1982 sebelum diberlakukanya Konvensi tersebut pada tahun 1994, yaitu Undang-undang No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dalam undang-udang tersebut dikatakan bahwa pada Zona Ekonomi Eksklusifnya, Indonesia memiliki hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati.24 Dengan dasar yuridis seperti tersebut di atas, persoalan bagi Indonesia adalah bagaimana sumber daya alam hayati yang terdapat pada Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan bangsa dan negara. Selain undang-undang No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, telah dikeluarkan pula beberapa perundang-udangan yang barkaitan dengan masalah pengolahan dan konservasi sumber daya alam hayati, antara lain: (a) Undang-udang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan; (b) Undang-undang No. 9 tahun 1985 tentang perikanan; (c) Undang-undang No. 5 tahun 22Pasal 62 Konvensi Hukum Laut 1982 3 Peraturan pemerintah No. 15 tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. 24Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No.5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. 23Pasal SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi... 173 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; (d) Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Sedangkan bagi pengelolaan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 1984 tentang Pengelolaan sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia serta beberapa Keputusan Menteri Pertanian. Dalam kaitanya dengan pengelolaan sumber daya alam hayati perikanan di zona eksklusif Indonesia,25 dengan luas perairan serta potensi perikanan yang demikian besar, maka pemanfaatan secara optimal bagi kemakmuran bangsa merupakan tujuan yang diamanatkan dalam pembangunan nasional di Indonesia. F. Kerjasama Regional Sebagai Upaya Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Indonesia Secara geografis, Indonesia terletak pada kawasan Asia Tenggara dan bersama-sama dengan Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, Brunai dan Vietnam yang bergabung dalam organisasi regional Association of Southeast Asian Nation (ASEAN). Selain Indonesia, negara-negara lain yang bergabung dalam ASEAN tersebut, telah mengumumkan Zona Ekonomi Eksklusifnya masing-masing.26 Akan tetapi sampai sekarang ini belum terdapat perundingan-perundingan mengenai penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif di antara negara-negara ASEAN. Penetapan ini sangat penting mengingat adanya batas-batas Zona Ekonomi Eksklusif yang saling tumpang tindih. Sehubungan dengan ini, Mukhtar Kusumaatmadja mengatakan: “the exiting claims to maritime jurisdiction in the southeast Asia region have important implications for development of the region”27 Selain penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif, sifat dari perikanan yang terdapat pada kawasan Asia Tenggara juga merupakan suatu kendala dalam memanfaatkanya secara optimal. Dengan kondisi geografis dari negara-negara yang terletak pada kawasan Asia Tenggara, keadaan perairan, arus air, menyebabkan sering berpindahnya ikan dari satu perairan keperairan yang lain, bahkan melewati batas-batas perairan suatu negara. Oleh karena itu, dalam memanfaatkan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif secara optimal diperlukan suatu tindakan pengelolaan 25Yang dimaksud dengan pengelolaan adalah segala upaya dan kegiatan pemerintah untuk menggerakkan dan mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pasal 1 sub a Undang-undang No. 15 tahun 1985 tentang ZEE Indonesia. 26Kriangsak Kittichaisaree, The Law of the Sea and Maritim Boundary Delimitation in South-East Asia, (New York: Oxford University Press, 1987), p. 123-128. 27Mokhtar Kusumaatmadja, Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut: dilihat dari Sudut Hukum Internasional, Regional dan Nasional, (Jakarta: Sinar grafika dan Pusat Studi Wawasan Nusantara, 1992), p. 55. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi... 174 perikanan yang sebaik-baiknya secara regional antara Indonesia dengan negara-negara lain pada kawasan Asia Tenggara.28 Untuk Indonesia, hal tersebut perlu dilakukan sebagai usaha dalam memanfaatkan secara optimal sumber daya alam hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang masih tersisa sekitar 1.097.052 ton pertahun.29 Kerjasama tersebut dapat dilakukan dengan negara-negara lain dalam bentuk kerjasama bilateral, regional maupun internasional. Mengingat letak geografis Indonesia yang terletak pada kawasan Asia Tenggara, maka kerjasama regional antara negar ASEAN merupakan salah satu alternatif untuk memanfaatkan sumber daya alam hayati secara optimal. Dalam melakukan pengelolaan perikanan kerjasama yang dilaksanakan oleh negara-negara yang tergabung dalam ASEAN didasarkan pada Persetujuan Tingkat Menteri ASEAN (ASEAN Ministerial Understanding) yang ditandatangani pada tanggal 22 Oktober 1983. Persetujuan tersebut menjadi dasar bagi kerjasama regional dalam pengelolaan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif karena menekankan pada kerjasama pengelolaan dan konservasi sumber-sumbser perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif. Selain hal tersebut di atas, dalam usahanya untuk memanfaatkan secara optimal perikanan yang terdapat pada perairan Indonesia, telah dilakukan pula beberapa kerjasama melalui Indo Fasific Fishery Countcil, Shouth China Sea Fishery Council, serta ASEAN Permanent Committee on Food and Agriculture.30 Terdapat juga suatu perjanjian tentang Koservasi Alam dan Sumber Daya Alam telah ditandatangani negara-negara anggota ASEAN tanggal 9 Juli 1985 yang dalam Pasal 3 dari perjanjian ini mengatur perihal konservasi dari spesies dan ekosistem seperti melakukan upaya-upaya untuk konservasi habitat pantai dan laut.31 Dilakukannya kerjasama yang bersifat regional tersebut dimaksudkan agar sumber perikanan di perairan Indonesia dapat dimanfaatkan untuk memberi nilai tambah bagi kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Selain dari perjanjian di atas, di lain pihak terdapat beberapa organisasi internasional yang berfungsi untuk melaksanakan kerja sama berbagai aspek bidang perikanan untu wilayah ASEAN, di antaranya sebagai berikut. 1. Indo Pasific Fisheries Council (IPFC), suatu badan regional yang dibentuk oleh FAO (Food and Agliculture Organization). Di dirikan tahun 1984 dan Pasal 63 dan 64 Konvensi Hukum Laut 1982. “Digodok, Aturan Impor Kapal Ikan Termasuk Kapal Bebas”, Kompas, 24 November 1994. 30Lewis M. Alexander, Marine Regionalism in the Southeast Asia Seas, (Hawaii: EastWest Environment and Policy Institute, 1982), p. 43. 31Charil Anwar, Zona Ekonomi Eksklusif di dalam Hukum Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), p. 140. 28 29 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi... 175 menangani pengembangan serta pemanfaatan yang layak dari sumber perikanan untuk wilayah Indo-Pasifik, termasuk wilayah ASEAN. Bersifat sebagai badan penasihat dan tidak mempunyai kekuasaan untuk menciptakan peraturan-peraturan tertentu. 2. ASEAN Fisheries Federation (AFF) yang didirikan pada tahun 1989, merupakan organisasi regional pengusaha-pengusaha perikanan ASEAN untuk pertukaran informasi tentang masalah perikanan dan pemecahannya. 3. Committee for the Development and Management of Fisheries in the South Chine Sea (CDMFSCS) yang dibentuk pada bulan Mei tahun 1980 oleh IPFC. Komite ini dibentuk untuk mengembangkan dan mengatur perikanan di Laut China Selatan. 4. The International Center for Living Resources Management (ICLARM). Di bentuk dengan maksud melakukan riset dan mendorong diskusi dan informasi perikanan guna dapat memenuhi kebutuhan nutrisi, ekonomis, dan kebutuhan sosial pada negara berkembang. 5. South East Asian Fisheries Development Center (SESFDEC) yang didirikan oleh pertemuan menteri-menteri di Singapura tahun 1968. 6. Marketing Information and Advisory Service for Fish Products in the AsiaPasific Region. Badan ini berkedudukan di Kuala Lumpur dan bertugas melakukan informasi pemasaran dan nasehat teknis bagi perikanan di wilayah Asia-Pasifik.32 Peran dari wilayah organisasi regional menjadi sangat penting untuk melaksanakan kerjasama regional dalam pengelolaan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif kawasan Asia Tenggara, karena beberapa manfaat yang didapat: Pertama, terbatasnya jumlah negara yang terlibat berdasarkan kepentingan yang lebih konkrit secara regional memudahkan proses pengambilan keputusan; kedua, masalah ketenagaan, biaya dan peralatan tidak lagi terbatas pada satu negara; ketiga, keterlibatan organisasi internasional lebih mudah dilakukan karena programnya lebih konkrit.33 Kerjasama regional dalam pengelolaan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif kawasan ASEAN yang menjadi kebutuhan bagi Indonesia untuk ikut berpartisipasi dalam mengoptimalkan pemanfaatan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusifnya. Dari hal tersebut, aspek yang relevan dan penting adalah tinjauan atas pengaturan hukum internasional dan regional serta praktek yang dilakukan oleh negara-negara pada suatu kawasan tertentu dalam menunjang kerjasama regional yang dilakukan bagi pengelolaan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif. 32Ibid, p. 142-144. Silalahi, Pengaturan Hukum Lingkungan Laut Indonesia dan Implikasinya Secara Regional, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), p. 156. 33Daud SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 176 Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi... Salah satu bidang dari kerja sama di lingkungan ASEAN yang dapat dilakukan adalah harmonisasi melalui perundang-undangan perikanan tentang penanganan illegal fishing oleh kapal-kapal perikanan dari regional atau di luar regional ASEAN. Bidang lain dapat pula meliputi standarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan teknis pengepakan seperti peraturan tentang besarnya mata jala penangkap ikan (mesh size regulation). Cara lain melaksanakan harmonisasi adalah melakukan perjanjian bilateral. Perselisihan perbatasan, hak perikanan tradisional dan masalah akses sumber perikanan menunjuk kepada penyelesaian melalui perjanjian bilateral. Adapun perjanjian-perjanjian yang mempunyai implikasi perikanan adalah sebagai berikut. 1. Perjanjian antara Indonesia dan Malaysia tentang Batas Landas Kontinen di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan tahun 1969. 2. Perjanjian antara Thailand, Indonesia dan Malaysia tentang Batas Landasan Kontinen di bagian Utara Selatan Malaka tahun 1971. 3. Perjanjian antar Indonesia, Malaysia dan Singapura untuk melindungi lingkungan kelautan dari selat Malaka dan terhadap polusi minyak tahun 1975. Selain dari pada itu, yang dapat dirintis oleh ASEAN ialah meliputi standar prosedur peradilan atas pelanggaran-pelanggaran perundangundangan perikanan masing-masing anggota ASEAN. Di lain pihak, suatu prosedur bersama untuk melakukan penegakan hukum dari peraturan lingkungan dan program konservasi dari sumber perikanan dapat pula merupakan sasaran kerjasama ASEAN di dalam harmonisasi masalah perikanan. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Perjanjian Bilateral (Bilateral Agreement) dengan Australia yang tertuang dalam Meorandum of Understanding tahun 1974 yang mengatur mengenai aktivitas nelayan tradisional di perairan Australia. Perjanjian tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya pertikaian yang merusak hubungan diplomatik antara kedua negara tersebut. Dalam perjanjian tersebut, pemerintah Australia mengijinkan nelayan tradisional Indonesia untu mengambil ikan di perairan Australia; mendarat untuk mengambil air minum. Perizinan singgah misalnya terbatas di sekitar perairan dekat Ashmore Reef, Cartier Islet, Cott Reff, Pulau Datu dan Browse Islet.34 Kasus perikanan nelayan Indonesia di wilayah perairan Australia, menjadi persoalan yang sangat menarik untuk dibahas. Tidak saja menimbulkan kerugian finansial bagi pemerintah Australia, juga menggangu kelancaran hubungan diplomatik bagi kedua negara. Hal ini 34Jawahir Thontowi, Hukum Internasional di Indonesia, Dinamika dan Implementasinya dalam Beberapa Kasus kemanusiaan, (Yogyakarta: Madya Press, 2002), p. 179. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi... 177 tersebut semakin memperuncing rusaknya hubungan kedua negara pasca terlepasnya Timor Timur dari NKRI yang mengundang kepedulian masyarakat serta pemerintah Australia terhadap issu tersebut. Kemiskinan masyarakat nelayan Indonesia yang dipicu dengan modernisasi menjadi faktor utama dalam kasus tersebut. Adanya persaingan yang tidak seimbang antara nelayan tradisional dan nelayan modern dalam pemanfaatan sumber daya laut, memberi pengaruh kepada nelayan tradisional Indonesia untuk menyebrang ke perairan Australia. Di satu pihak memang benar jika berkurangnya penghasilan para nelayan tradisional karena semakin berkurangya sumber daya laut yang disebabkan oleh ledakan penduduk yang semakin pesat. Namun di pihak lain, penggunaan alat-alat modern yang canggih seperti drift gillnets, trawl dan pukat harimau justru lebih “efektif” untuk menyingkirkan kelompok nelayan-nelayan kecil dari perairan Indonesia yang sah. Selain itu, ditemukan pula kapal-kapal asing seperti dari Taiwan, Hingkong Korea Selatan Jepang dan Singapura yang beroperasi di laut Arapura, menjadi penyebab tersisihnya nelayan tradisional35 Indonesia. Keadaan seperti itu semakin menyudutkan posisi kecil, yang diakibatkan oleh terbatasnya pengawasan yang dilakukan oleh petugas pengawas pantai, dan Angkatan Laut RI terhadap nelayan asing yang melakukan kegiatan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.36 Ketika mereka dapat menemukan dan menangkap nelayan-nelayan asing yang melanggar batas teritorial, penyelesaiannya sering dilakukan di luar aturan hukum. Jika ada kebijakan yaitu dikeluarkanya surat izin penangkapan ikan bagi perusahaan asing oleh Dirjen Perikanan, maka kebijakan tersebut lebih bersifat khusus dan disertai dengan syarat-syarat yang ketat. Namun dalam prakteknya, dampaknya terkadang tidak mudah untuk dikedalikan. Kondisi nelayan yang terhimpit tersebut mendorong mereka untuk melakukan tindakan spekulatif. Kegiatan mengambil dari laut di wilayah perairan Australia seperti tripang, kerang, sirip ikan hiu dan lain sebagainya yang bernilai eksport tinggi. Dengan demikian, faktor internal seperti latar belakang, sejarah, kondisi sosio-ekonomi, maupun akibat dari lemahnya pengawasan terhadap nelayan asing dan meningkatnya komoditi ekspor dan impor dari sumber laut telah menyebabkan nelayan-nelayan 35Istilah “nelayan tradisional” merupakan pusat terjadinya penafsiran karena tidak adanya batasan yang jelas mengenai p p tersebut. Nelayan tradisional yang secara umum sering diartikan sebagai nelayan yang mengambil ikan dengan cara dan alat yang sederhana dan dikonsumsi sendiri untuk kehidupan sehari-hari, menjadi kabur karena banyak nelayan yang mencari ikan dengan tujuan komersial tetapi masih saja digolongkan sebagai nelayan tradisional. 36Mubyanto, Loekman Soetrisno dan Michael Dove, Nelayan dan Kemiskinan: Studi Ekonomi dan Antropologi di Dua Desa Pantai, (Jakarta: Rajawali Press dan Yayasan Argo Ekonomika, 1984), p. 23. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi... 178 tradisional Indonesia lebih memilih perairan Australia sebagai lahan baru mereka. Terjadinya perubahan yurisdiksi laut teritorial 12 mil, sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan nelayan tradisional. Akan tetapi hal tersebut tidak mencukupi untuk kepentingan pertahanan dan militer suatu negara. Oleh karena itu, konservasi hukum Internasional juga menetapkan Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil sebagai perluasan dari klaim 12 mil. Perbedaannya adalah bahwa klaim 12 mil memberikan wewenang bagi setiap negara lain untuk dibolehkan melakukan penangkapan ikan. Tumpang tindih batas yurisdiksi batas laut antar Indonesia dan Austarlia terjadi ketika kedua negara menetapkan Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil yaitu pada tahun 1979/1980. Kesepakatan tentang 12 mil dan Zona Ekonomi Eksklusif sangat menguntungkan Negara Republik Indonesia, sebab sejalan dengan kebijakan hukum, ekonomi dan politik yang tergambar dalam “Wawasan Nusantara” yaitu strategi pembangunan nasional yang terpadu, adanya kesatuan politik, kesatuan sosial budaya, satu kesatuan ekonomi dan satu persatuan pertahanan dan keamanan Indonesia.37 Oleh karena itu, bumi, air, udara dan isi yang terkandung di dalamnya merupakan satu kesatuan yang utuh yang pemanfaatannya semata-mata untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Relevasi hubungan atara konsep Wawasan Nusantara dan perubahan tatanan hukum laut, khususnya bagai negara pulau (archipelagics states) seperti Indonesia adalah mengenai kedudukan aktivitas nelayan tradisional. Sekalipun batas yurisdiksi laut suatu negara telah ditetapkan baik melalui hukum nasional maupun hukum internasional, kebijakan nelayan untuk mengarungi samudra luas tidak mudah dicegah hanya dengan batasan yuridiksi hukum semata. Hal tersebut terjadi karena kebutuhan yang mendesak bagi para nelayan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari mempedulikan akibat lain yang akan terjadi apalagi mengingat nama baik negaranya. Hal itulah yang seharusnya menjadi perhatian Permerintah Indonesia untuk melakukan pengaturan yang relevan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi yang terjadi dalam masyarakat, serta upaya-upaya untuk menjaga dan melestarikan kekayaan alam yang sudah dimiliki dan mencegah campur tangan negara asing yang merugikan, sehingga tidak ada penyesalan ketika kekayaan alam miliknya di ambil oleh negara lain, seperti kasus yang telah terjadi mengenai Pulau Sipadan dan Ligitan, hendaknya menjadi pelajaran yang berharga bagi bangsa Indonesia. 37TAP MPR/ IV / MPR SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi... 179 G. Kesimpulan Untuk mengatur wilayah kelautan di Indonesia, Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Selain itu, telah dilakukan pula beberapa perundangundangan yang berkaitan dangan masalah pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati, antara lain: (a) Undang-udang No.4 tahun 1982 tentang ketentuan Pokok pengelolaan lingkungan; (b) Undang-undang No. 9 tahun 1985 tentang perikanan; (c) Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; (d) Undang-undang No.24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Bagi pengelolaan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia diatur melalui Peraturan Pemerintah No.15 tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia serta beberapa keputusan menteri Pertanian. Peraturan-peraturan tersebut sangat berguna dalam rangka pengaturan perairan kepulauan Indonesia dalam pemanfaatan sumber daya alamnya. Upaya lain yang dilakukan Indonesia dalam mengatur wilayah Zona Ekonomi Eksklusifnya yang berbenturan dengan kepentingan negara lain adalah dengan melakukan kerjasama baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara-negara lain. Sebagai negara anggota dan berada di wilayah Asia Tenggara, Indonesia ikut dalam suatu kerjasama regional ASEAN dalam pengelolaan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN yang berdasarkan: pertama, implementasi Konvensi Hukum Laut 1982 yang telah diratifikasi oleh sebagian negara-negara anggota ASEAN; kedua, ASEAN Munisterial Understanding on Fisheries Cooperation 1993 yang secara tidak langsung merupakan pengakuan terhadap Zona Ekonomi Eksklusif negara-negara anggota ASEAN. Namun kerjasama regional ASEAN sudah dilaksanakan melalui beberapa program yang dibuat CGFI maupun ASEAN Fisheries Federation tersebut memiliki beberapa kendala yang menghambat terselenggaranya kerjasama antara lain: 1) tumpang tindihnya batas-batas Zona Ekonomi Eksklusif; 2) Belum konsistennya negara-negara anggota ASEAN dalam melakukan implementasi Konvensi Hukum laut 1982; 3) kemampuan keuangan dan kebijakan dari masing-masing negara ASEAN yang tidak sama. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 180 Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi... Daftar Pustaka Agoes, Etty R., “perkembangan Hukum Internasional Dewasa Ini”, dalam Projustisia, No. 18 Juli 1983. Alexander, Lewis M., Marine Regionalism in the Southeast Asia Seas, Hawai: East-West Environment and Policy Institute, 1982, Anwar, Charil, Zona Ekonomi Eksklusif di dalam Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 1995. Churchill and A.V. Lowe, The Law of the Sea, Manchester University Press, Manchester, tt. Direktorat Bina Sumber Hayati, Hasil Evaluasi Potensi Sumber Daya Hayati Perikakan Laut di Perairan Indonesia dan Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tahun 1983, Jakarta: Departemen Peranian, 1983. Harris, D. J., Cases and Materials on Internasional Law, 5th. Edition, London: Sweet and Maxwell, 1998. Kittichaisaree, Kriangsak, The Law of the Sea and Maritim Boundary Delimitation in South-East Asia, New York: Oxford University Press, 1987. Kusumaatmadja, Mokhtar, Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut: Diliahat dari Sudut Hukum Internasional, Regional dan Nasional, Jakarta: Sinar Grafika dan Pusat Studi Wawasan Nusantara, 1992. Mubyanto, Loekman Soetrisno dan Michael Dove, Nelayan dan Kemiskinan: Studi Ekonomi dan Antropologi di Dua Desa Pantai, Jakarta: Rajawali Press dan Yayasan Argo Ekonomika, 1984. Silalahi, Daud, Pengaturan Hukum Lingkungan Laut Indonesia dan Imlikasinya Secara Regional, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992. Thontowi, Jawahir, Hukum Internasional di Indonesia, Dinamika dan Implementasinya dalam Beberapa Kasus Kemanusiaan, Yogyakarta: Madya Press, 2002. Wallace, Rebecca M.M, Hukum Internasional (International Law), Penerjemah: Bambang Arumanadi, Semarang: IKIP Semarang Press, 1993. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa Oleh: Suciati Abstract Teachings of mysticism/Sufism in Indonesia is heavily influenced by Hindu tradition. This doctrine is widely available in the Java community that fall into the cult/psychotherapy. Teachings of Sufism is looking so closely in popular religious practices in society, including the Java world. Moreover, Sufism became the largest channel in the spread of Islam. However, on the other side of the practical consequences of the doctrine of monistic was carrying (unitary form) brings a very serious threat of Islamic sharia concept itself. Key words: sufism, religion, javanese and Indonesian-ness. Abstrak Ajaran mistisisme/sufisme di Indonesia banyak dipengaruhi oleh tradisi Hindu. Ajaran ini banyak terdapat pada masyarakat Jawa yang masuk dalam aliran kepercayaan/kebatinan. Ajaran sufisme ini tampak begitu lekat dalam praktek agama populer di masyarakat dunia termasuk orang Jawa. Selain itu, sufisme menjadi saluran yang terbesar dalam penyebaran agama Islam. Namun, di sisi lainnya konsekuensi praktis dari doktrin monistik yang dibawanya (kesatuan wujud) membawa ancaman yang sangat fatal konsep syari’ah Islam itu sendiri. Kata kunci: sufisme, agama, jawa dan keindonesiaan. A. Pendahuluan Mistisisme merupakan istilah yang terdapat dalam sebuah agama/kepercayaan baik di dalam maupun di luar Islam yang berarti kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.1 Mistisisme dalam Islam disebut tassawuf atau sufisme. Dengan demikian sufisme akan bersinggungan dengan aspek batin, bukan aspek lahir. Hal ini terlihat dalam doktrin monistiknya yaitu kesatuan wujud dengan Tuhan, bahwa Tuhan adalah satu-satunya realitas dari segala sesuatu. Dalam perkembangannya, sufisme memancarkan daya tarik yang luar biasa pada pikiran banyak orang pada abad 10 M dan 11 M. Mereka mendapatkan pengikut dengan jumlah yang luar biasa termasuk para kelompok intelegensia. Ajaran sufisme ini tampak begitu lekat dalam Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. E-mail: [email protected] 1 Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI press, 1986), p. 212. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama... 182 praktek agama popular di masyarakat dunia termasuk orang Jawa. Hal ini yang tercermin dalam ajaran doktrin sufisme diadopsi oleh aliran kepercayaan/ kebatinan di Indonesia menjadi slogan :‘ Manunggaling kawulo Gusti’. Ketika di satu sisi sufisme menjadi saluran yang terbesar dalam penyebaran agama Islam namun di sisi lainnya konsekuensi praktis dari doktrin monistik yang dibawanya (kesatuan wujud) membawa ancaman yang sangat fatal konsep syariah Islam itu sendiri. Pengikut sufisme semakin dibawa ke alamnya sendiri untuk senantiasa berkontemplasi dengan Tuhannya, sementara mereka melupakan bahwa ada syariahsyariah yang harus dipenuhi juga ketika seseorang ingin menuju ke tataran insan kamil. Berdasarkan paparan di atas, maka dapat dirumuskan sebuah permasalahan: Bagaimana bentuk implementasi ajaran sufisme pada agama popular/kepercayaan lokal masyarakat Jawa. B. Konsep Mistisisme dan Sufisme Kata ‘mistik’ berasal dari kata Yunani, yang dalam perkembangan selanjutnya masuk dalam khasanah kapustakaan Eropa. Adapun dalam bahasa Arab, Persia, dan Turki, kata mistik erat kaitannya dengan istilah Islam, yaitu sufi. Namun demikian istilah sufi lebih mempunyai makna yang khas dan religious dibandingkan istilah mistik. Dengan kata lain bahwa sufi dapat diartikan sebagai mistik yang dianut oleh para pemeluk agama Islam. Oleh sebagian sufi , bahwa asal-usul kata sufi berasal dari bahasa Arab yaitu kemurnian. Dengan demikian seorang sufi diartikan sebagai orang yang murni hatinya atau insan yang terpilih. Lain halnya dengan Noldeke, dalam sebuah artikelnya yang ditulis pada dua puluh tahun yang lalu: Kata suf berasal dari bahasa Arab yang berarti bulu domba. Istilah tersebut pertama kalinya dikenakan pada orang-orang Islam yang hidup sebagai pertapa (asketis), yang meniru kehidupan para biarawan Nasrani. Orang-orang tersebut biasanya mengenakan pakaian bulu domba yang kasar, sebagai tanda tobat dan keinginannya untuk meninggalkan kehidupan duniawi ( zuhud). 2 Mistisisme juga berarti sebuah kepercayaan bahwa manusia dapat mengalami persatuan dengan penciptanya ( transcendental ). Adapun tahapan untuk menuju persatuan transcendental ini meliputi 3 hal, antara lain: membersihkan diri dari nafsu lahiriah, penyucian karsa serta penjernihan cipta. Istilah ini juga sering sekali dikaitkan dengan istilah tasawuf dalam Islam. Ajaran mistisisme banyak juga dikenal dalam filsafat Phytagoras dan Plotinus. 2 Reinold A Nicholson, Mistik dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), p. 6-7. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama... 183 C. Mistisisme Jawa Ajaran mistisisme/sufisme di Indonesia banyak dipengaruhi oleh tradisi Hindu. Ajaran ini banyak terdapat pada masyarakat Jawa yang masuk dalam aliran kepercayaan/kebatinan. Berdasarkan pandangan tradisional orang Jawa, sudah banyak mengalami perubahan dibandingkan pada masa dahulu. Setiap benda, misalnya pohon, batu atau keris dianggap mengandung kekuatan ghaib. Oleh karena itu melalui kegiatan ritual mereka memohon kepada arwah yang mengisi benda-benda tersebut melalui berbagai ritual agar mereka tidak diganggu. Lebih banyak orang Jawa yang kini melakukan ritual demi keselamatan arwah nenek moyang mereka. Itulah sebabnya mengapa masih banyak orang Jawa muslim yang memperingati kematian orang yang mereka kasihi, dari hari pertama hingga hari ke tujuh, seratus atau seribu.3 Namun demikian, apa yang dipahami sebagai kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa seperti saat ini, pada masa lalu dikenal sebagai aliran kebatinan, kejiwaan, kerokhanian. Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa bukanlah sesuatu yang baru di bumi Indonesia ini. Kepercayaan ini sudah terlebih dulu ada, sebelum masuknya agama Hindhu, Budha, Islam, dan Kristen ( Protestan dan Katolik), datang di Indonesia. Pada saat itu kepercayaan masyarakat Indonesia sudah ada dan jumlahnya relative banyak. Kepercayaan masyarakat Indonesia yang beraneka ragam tersebut tidak didirikan oleh seorang pendiri, tetapi tumbuh di tengah-tengah masyarakat setempat. Kepercayaan yang merupakan jiwa kebudayaan Indonesia adalah milik bersama masyarakat, yang secara turun-temurun dihayati, dikembangkan dan diwariskan oleh setiap generasi. Dalam pertemuan dengan agama-agama yang datang dari luar yaitu Hindhu, Budha, Islam, Kristen dan Katolik timbullah sinkretisme. Kepercayaan asli tersebut terus berlangsung meskipun agama yang datang dari luar negeri itu menjadi agama resmi Negara kita. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, yang menyebut aliran kepercayaan dengan Kejawen. Menurutnya bahwa kejawen di satu sisi merupakan suatu kompleks keyakinan dan konsepkonsep Hindhu-Budha yang cenderung ke arah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam, adapun di sisi lain merupakan sebuah metodologi dalam kebudayaan Jawa. Metodologi ini meliputi kemahiran dalam menerapkan othak-athik gathuk ( kreatif dalam menemukan titik penyesuaian sehingga kelihatan pas), peka dalam pemaknaan simbolik (wong Jowo iku nggoning semu=orang Jawa itu tempatnya 3 Dedy Mulyana, Komunikasi Multikultiral, (Bandung: Remadja Rosdakarya, 2005), p. 34. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama... 184 symbol), serta cenderung menerima fakta secara mitos yaitu cenderung melebih-lebihkan fakta yang sebenarnya.4 Konsep ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan Sejarah asal masuknya Agama Islam ke Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Dahulu kala, sebagai agama baru di Nusantara, Islam datang dalam bentuk yang tidak semurni yang diajarkan Rasulullah Muhammad SAW. Untuk dapat sampai ke Indonesia, Islam memerlukan perantaraan tangan-tangan budaya dan filsafat Timur (bukan Timur Tengah). Budaya Persia dan Hindu merupakan racikan kebudayaan dan filsafat yang masih meninggalkan residu dalam pola kehidupan umat Islam Indonesia. Ini dapat dilihat dalam konsep-konsep keberagamaan para penganut dan penganjur tasawuf, tarekat, dan pengikut fiqih mazhab Syafi’i. Islam memperlakukan tradisi dan budaya lokal Jawa dengan hormat dan meluruskan berbagai kekeliruannya dengan cara yang arif dan bijaksana. Dongeng, mitos, dan mistik dari unsur Budha, Hindu, Animisme, dan Dinamisme dibentuk menjadi kisah-kisah Islami versi kaum tarekat dan sufi, dalam hal ini: Walisongo. Dengan demikian, sebagai penganut agama baru, masyarakat Muslim Jawa terbentuk menjadi masyarakat yang lekat dengan nilai-nilai ruhaniah sufistik dan non-rasional. Pola hidup masyarakat Jawa yang secara struktural diciptakan, manut terhadap sabda pandita, para penguasa, dan penyelenggara pemerintahan, nrimo, dan mudah menyerah kepada keadaan -semakin mendarah-daging. Doktrin-doktrin sufistik yang mengarah kepada pola fatalistik (jabariy), yang meyakini bahwa Tuhan memegang kekuasaan dan kehendak mutlak atas manusia, mempunyai peranan yang cukup dominan dalam pembentukan pola budaya demikian.5 Niels Mulder lebih mempertegas konsep jawanisme atau kejawen ini dengan mengatakan bahwa kejawen lebih menunjuk pada etika dan gaya hidup yang diilhami oleh pemikiran Jawa, sehingga ketika sebagian orang mengungkap kejawen mereka dalam praktek beragama, seperti dalam mistisisme maka pada hakikatnya hal itu merupakan suatu karakteristik yang secara cultural condong pada kehidupan yang mengatasi keanekaragaman religious. Elemen-elemen dalam Jawanisme ini umumnya diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam menjalani kehidupan. Kemunculan aliran kepercayaan/ kebatinan Muhammad Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, (Yogyakarta: LESFI, 2000), p. 102. 5Http://sonysikumbang.wordpress.com/2010/10/04/beberapa-konsep-walisongo. 4 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama... 185 menandakan adanya suatu gerakan rakyat yang berupaya menemukan kebenaran dan jati diri dalam warisan budaya mereka sendiri.6 Negara sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pembinaan aliran kepercayaan, sebenarnya sejak awal sudah mengantisipasi terhadap keinginan beberapa aliran untuk menjadi agama baru selain agama yang diakui di Indonesia. Hal ini jelas diatur dalam ketetapan MPR No. IV/MPR/ 1978, serta Tap MPR No. IV/ MPR/1988 tentang garis-garis besar Haluan Negara dikatakan bahwa Kepercayaan Kepada Tuhan yang maha Esa bukanlah merupakan agama, sehingga pembinaan yang dilakukan kepada aliran kepercayaan bertujuan antara lain: a. agar tidak mengarah kepada pembentukan agama baru. b. untuk mengefektifkan pengambilan langkah yang perlu agar pelaksanaan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, benar-benar sesuai dengan dasar Ketuhanan yang maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Pemberian hukum dan legalitas aliran kepercayaan menjadi sebuah agama terletak pada keberatan kaum agama yaitu akan memberikan peluang bahkan mendorong orang yang lemah iman dan perasaan keagamaannya untuk mengikuti ajaran kepercayaan tersebut. Apalagi kalau diingat bahwa sebagian orang yang menganut kepercayaan masih mengakui bahwa dia seorang penganut agama Islam, walaupun masuk dalam kategori Islam turunan.7 Bagi kebanyakan orang Jawa, sungguh membuat sedih hati mereka ketika melihat kenyataan bahwa buah mistis dari tanah mereka tidak mendapatkan pengakuan sebagai ekspresi keimanan yang sederajat dengan agama-agama ’impor’. Memang mereka jarang menyalakan doktrin-doktrin yang bermacam-macam itu, tetapi mereka melihat ekspresi religious tertentu yang betul-betul memuakkan. Bagi mereka, Tuhan terletak di hati. Dia bukanlah sosok yang jauh dan tak terjangkau, tetapi sangat dekat. Namun meski ide Islam ataupun Kristen telah mempengaruhi mistis orang Jawa, tetap saja mereka tidak bisa menerima Muhammad sebagai nabi pamungkas atau Kristus sebagai satu-satunya penyelamat. Berkat keintiman mereka dengan realitas tertinggi, mereka mengetahui bahwa wahyu bisa diturunkan setiap hari. Tetapi pesan mistiknya tidak terlalu menjanjikan penyelamatan atau surga, karena pesan itu diarahkan untuk menafsirkan eksistensi duniawi dalam sebuah perspektif kosmologis.8 Niels Mulder, Mistisisme Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 2001), p. 10. Yunan Nasution, Islam dan Problema-Problema Masyarakat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), p. 264-265. 8 Niels Mulder, Mistisisme Jawa, p. 24-25. 6 7 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 186 Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama... Berbeda dengan Mulder, maka Simuh mencoba untuk memberi ciri sendiri terhadap kejawen. Menurutnya aspek kerokhanian ini tidak mempunyai kitab suci dan tidak mempunyai kesatuan konsep. Aspek kerohanian jawa merupakan pembauran berbagai unsur dari kebudayaan asli pribumi, Hindhu-Budha, dan Islam dengan kadar yang beraneka ragam, sesuai dengan pemahaman dan paham masing-masing guru Pembina alirannya. Ada sejumlah aliran yang lebih menekankan pada aspek mistiknya yang cukup halus, yakni mencapai penghayatan Manunggaling Kawulo Gusti, namun adapula sejumlah aliran yang mempunyai ajaran dengan sangat sederhana dan lugu, ada juga aliran yang menonjolkan aspek animisme dan dinamisme, yaitu hubungan roh-roh gaib untuk mendapatkan wangsit dari berbagai keperluan.9 Penganut-penganut kepercayaan sebenarnya sudah mengakui tidak termasuk dalam kelompok agama, walaupun mereka percaya kepada Tuhan yang maha Esa. Namun kiranya masih ada pertanyaan apakah Tuhan yang maha esa yang dimaksud adalah Allah SWT yang menciptakan alam ini? Yang jelas bahwa penganut kepercayaan tersebut tidak mempunyai kitab yang dapat dijadikan pedoman tertulis dan pegangan untuk berkonsultasi dan menjadi tempat kembali (terugval basis) dalam menghadapi ataupun memecahkan persoalan.10 Spranger menyamakan agama dengan mistik. Olehnya agama dilukiskan sebagai penyatuan alam semesta dengan eksistensi diri. Namun di pihak lain ada mistik yang bukan agama yaitu bila mistik bersifat immanen, yaitu peleburan antara insan dengan Illahi dalam kesatuan dengan alam semesta. Spranger mempersempit gejala agama dengan membatasi pengertiannya pada satu bentuk agama tertentu, yaitu pada bentuk mistik. Namun demikian hubungan manusia dengan Tuhannya tidak selalu harus berbentuk mistik. Agama dapat juga dihayati dengan bentuk yang bukan mistik. Misalnya saja dengan jalan menghayati bahwa manusia ditugasi oleh Tuhan untuk memuliakanNya dengan memelihara dunia, terutama membahagiakan sesama. Ia juga boleh percaya penuh pada bantuan Tuhan pada umatNya. Bentuk seperti ini jelas berlainan dengan mistik yang lebih mengarah pada kontemplasi Illahi. Hingga pada akhirnya perlu dicatat bahwa mistik transenden mengakibatkan orang yang bersangkutan tidak mampu menerima nilai-nilai duniawi. Hal ini erat kaitannya dengan psikologisme : dimensi transenden. Pada dasarnya praktek mistisisme merupakan upaya individual. Dalam hal ini seorang manusia melakukan penyatuan kembali dengan asalnya yang mencita-citakan pengalaman rahasia keberadaan, atau 9 Simuh, Sufisme Jawa transformasi tasawuf Islam ke mistik Jawa, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995), p. 65. 10 Yunan Nasution, Islam dan Problema-Problema Masyarakat, p. 265. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama... 187 pelepasan dari segala kegiatan duniawi. Perjalanan mistik, oleh Mulder dikatakan melalui 4 tahap.11 a. syareat, mengindahkan dan hidup menurut pranata dan hukum agama, misalnya sholat 5 waktu bagi orang Islam b. tarikat, yaitu orang menyadarkan diri atas perilaku yang dilakukan pada tahap pertama, misalnya bahwa sholat bukan saja untuk menggerakkan tubuh tetapi juga menyiapkan diri ‘menemui’ Tuhan c. hakikat, yaitu perjumpaan dengan kebenaran, yaitu pemahaman yang mendalam bahwa satu-satunya cara untuk mengada adalah menjadi ‘hamba’ Tuhan d. makrifat, saat tujuan menyatunya hamba dengan Tuhannya sudah tercapai ( jumbuhing kawula lan gusti ) Dikatakan juga oleh Suwardi bahwa menurut Geertz ada beberapa postulat konkrit terkait dengan teori mistik. a. tujuan hidup manusia adalah tenteram ing manah ( ketenangan) b. rasa menyatu dengan individu dan individu menyatu dengan Tuhan c. tujuan manusia untuk tahu dan merasakan rasa tertinggi dalam diri sendiri untuk membuat prestasi untuk kekuatan spiritual d. untuk memperoleh pengetahuan tentang rasa tertinggi,maka manusia harus memusatkan pada batin. e. Pengalaman rasa f. Manusia berbeda-beda dalam kesanggupannya melakukan disiplin spiritual g. Dalam tingkat pengalaman dan eksistensi tertinggi, semua manusia adalah satu dan sama Rupanya tahap-tahapan di atas sejalan dengan pokok-pokok ajaran tasawuf dalam rangka mencapai makrifat, dikemukakan oleh Al Ghozali sebagai berikut: 12 a. Distansi Berarti mengambil jarak dari nafsu-nafsu dunia yang memperbudak dirinya. Nafsu yang dimaksud adalah nafsu amarah dan lawwamah ataupun penghambaan terhadap dunia sehingga seorang manusia benar-benar menemukan ‘akunya’ sehingga benar-benar dapat berdiri sebagai khalifah. Dalam tasawuf, distansi dimaksudkan untuk membina sikap eskapisme agar bisa mencapai suasana hati yang bersih, terbebas dari ikatan-ikatan selain hanya Allah. Tahapan ini adalah yang paling berat karena merupakan aspek positif yang akan menjadi sumbangan yang paling efektif untuk kehidupan masyarakat yang Niels Mulders, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, (Jakarta: Gramedia, 1984), p. 47-48. 12 Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam, p. 28-29. 11 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama... 188 bertanggung jawab serta jujur, menciptakan aparat yang bersih dan berwibawa, bebas dari sikap korup, aji mumpung, kolusi kekuasaan dan lain-lain. b. Konsentrasi Maksudnya adalah berzikir kepada Allah. Konsentrasi merupakan aspek praktis sehingga setiap orang dapat menjalankan dzikir. Meskipun yang dapat menjalankan dzikir secara benar-benar adalah orang-orang tertentu yang khawas saja ( para wali) dan bukan golongan awam yang menghormati dan berwasilah pada orang-orang suci dan dianggap keramat. Konsentrasi dengan wasilah dzikir ini dijadikan sarana untuk memfanakan dan mengalihkan pusat kesadaran alam materi ke pusat kesadaran dunia kejiwaan yang disebut dengan iluminasi. c. Iluminasi Menurut Al-Ghozali, konsentrasi dzikir bila berhasil akam mengalami fana terhadap kesadaran inderawi dari mulai kasyaf (tersingkap tabir) terhadap penghayatan alam ghaib dan memuncak ke dalam alam makrifat. Mulai kasyaf ini, kaum sufi mulai dengan mi’raj jiwanya, sehingga dapat bertemu dengan malaikat, ruh, para nabi dan dapat memperoleh ilmu laduni dan bahkan dapat melihat nasib di lauh mahfud. Inilah yang kemudian disebut dengan manunggaling kawulo Gusti ( mistik union). d. Insan kamil Sebagaimana logika tasawuf, bahwa ketika orang dapat berhubungan dengan alam ghaib dan makrifat kepada Tuhan maka merekalah yang dinamakan manusia pilihan sebagai predikat manusia sempurna (insane kamil). Maka orang-orang suci ini dalam kehidupannya akan memancarkan sifat-sifat ke-Illahi-an bahkan penjelmaan Tuhan di muka bumi. Mereka memiliki berbagai macam karomah ( saktisme). Dalam berbagai versi cerita, maka walisanga sebagaimana yang tertulis di serat babad fungsi Walisanga, para wali dikatakan “ bisa berjalan di atas air, terbang di udara, mendatangkan hujan, berada pada beberapa tempat pada suatu waktu, menyembuhkan penyakit dengan hembusan nafasnya, menghidupkan orang mati, mengetahui dan meramalkan kehidupan mendatang, membaca pikiran orang dan lain. Bagaimanapun juga faham Tuhan dekat dengan manusia yang merupakan ajaran dalam mistisisme/sufisme, terdapat pula dalam Al Qur’an dan Hadis: 13 13Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, p. 72-73. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama... 189 a. QS Al-Baqarah 186 jika hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang diriKu, Aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika ia panggil Aku. b. ayat 115 Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja mereka berpaling, disitu (kamu jumpai ) wajah Tuhan c. QS Qof ayat 16 Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepada-Nya daripada pembuluh darahnya sendiri Jalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi sebenarnya tidaklah licin akan tetapi penuh duri. Dia harus merangkak dari stasion-stasion (al maqomat) secara bertahap. Stasion itu biasa disebut sebagai tobat, zuhud, sabar, tawakkal dan ridho. Disamping stasion itu, mereka juga harus melalui al-hal (keadaan mental): perasaan takut, rendah hati, rasa berteman, gembira hati dan syukur. Bedanya dengan al-maqom, maka al-hal datang bukan atas usaha manusia tetapi datang berdasarkan anugerah Tuhan, dan sifatnya sementara, datang dan pergi.14 Adapun ajaran sufisme ini sejalan dengan apa yang terdapat dalam mistik kejawen yang sesungguhnya merupakan manifestasi agama Jawa. Agama Jawa merupakan manifestasi praktik religi dalam masyarakat. Sebagian orang meyakini bahwa dalam mistik Jawa terdapat pengaruh sinkretik dengan agama lain, sedikitnya Budha, Hindhu dan Islam. Sebaliknya ada juga yang meyakini bahwa mistik kejawen adalah milik manusia Jawa yang telah ada dan belum ada pengaruh dari budaya lain.15 Mistik kejawen adalah upaya spiritual ke arah pendekatan diri kepada Tuhan YME yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. 14 15 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, p. 79. Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, (Yogyakarta: Narasi, 2006), p. 74. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 190 Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama... Beberapa ajaran tentang sufisme/tasawuf dalam distansi sudah merupakan nilai-nilai yang disepakati sebagai nilai-nilai luhur bangsa kita. Berikut akan dijabarkan lebih rinci nilai-nilai luhur budaya bangsa yang dimaksud : 1. Ajaran tentang ketuhanan Konsep Tuhan adalah adoh tanpo wangenan cedak tanpo senggolan yang artinya jauh tidak kelihatan, dekat tetapi tidak bersentuhan. Tuhan dekat sekali dengan manusia. Namun apabila manusia tidak mendekatkan diri pada Tuhan, maka manusia akan dijauhi oleh Tuhan. Manusia perlu melakukan perbuatan baik kepada Tuhan. Selain itu manusia juga wajib menciptakan suasana dumadi, rendah hati dan kasih sayang serta saling menyayangi pada semua ciptaan Tuhan. Manusia harus percaya kepada Tuhan yang membuat hidup, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Manusia tidak boleh percaya begitu saja tetapi harus diikuti dengan eling dan mituhu (percaya dan berdoa ). Setelah percaya, mituhu dilakukan manusia karena manusia senantiasa mengubah dan mengusik Tuhan, maka disitulah letak kesalahan baik yang terlihat maupun tidak. Oleh karenanya manusia wajib berdoa dan memuji untuk menebus kesalahan atau bertaubat atas kesalahan yang telah diperbuat. Tuhan memiliki sifat yang serba maha ( maha kuasa, maha pemurah, maha pengasih, dsb). Sifat-sifat tersebut setelah manusia memiliki kesadaran batin. Dalam pemusatan batin, sifat tersebut harus ditiru oleh manusia, dengan demikian manusia tidak mungkin melakukan hal-hal yang tidak benar. Kekuasaan Tuhan tidak hanya tergantung pada pada hal-hal yang sudah nyata, akan tetapi hal-hal yang akan terjadi juga ada pada kekuasaan Tuhan. Misalnya saja peristiwa seperti gunung meletus, banjir, gempa serta lainnya. Manusia secara kodrat memiliki sifat yang berbedabeda sehingga tidak mudah untuk berbuat baik dan sempurna. Hal yang harus dijalankan oleh manusia adalah tidak boleh mengurangi dan tidak boleh menambah haknya yang telah diberikan Tuhan. Menambah misalnya memuja punden, pesanggrahan, pusaka, batu, pohon, dsb. Sedangkan mengurang berarti melakukan hal-hal seperti menyiksa diri, misalnya memaksakan diri untuk berpuasa, yang akhirnya sakit. Kemanunggalan antara sang pencipta dan ciptaan sudah terjadi dalam diri manusia. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah sampai dimanakah kesadaran manusia bahwa sang pencipta berada dalam diri kita. Hal ini dibuktikan bahwa terlalu banyak hal-hal yang kita lakukan tidak sesuai dengan kehendakNya. Sebaliknya bahwa banyak hal yang kita lakukan tanpa peduli bahwa sang Pencipta itu berada di di dalam diri kita dan mengatur, mengendalikan serta memberi arahan bagaimana berbuat benar. Orang cenderung banyak memutuskan masalah yang mendukung kebenarannya sendiri tanpa memikirkan apakah itu benar bagi orang lain. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama... 191 Sudah banyak contoh yang menunjukkan bahwa setiap kelompok ingin mempertahankan kebenarannya sehingga memunculkan egoisme pribadi maupun kelompok. Hal ini tentu saja akan menghambat adanya persatuan dan kesatuan.16 2. Ajaran tentang kemanusiaan Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan mempunyai watak yang berbeda-beda. Secara sadar maupun tidak sadar sebenarnya manusia sudah mempunyai dasar iman dan percaya, sehingga tidak akan menimbulkan hal-hal yang menyimpang dari akal budinya. Jika sampai terjadi suatu penyimpangan karena akal budi manusia maka hal ini karena dihinggapi oleh gangguan setan, jin, iblis dan sebagainya. Oleh karenanya perlu ditanamkan adanya sikap manembah dan ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan cara itu diharapkan manusia akan dapat menghimpun diri pribadinya, sehingga mampu memiliki sifat-sifat yang baik. Selanjutnya manusia diharapkan akan dapat memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk, salah dan benar. Dengan demikian manusia akan dapat membentuk pribadinya lahir dan batin. Misalnya saja ketika berangkat kerja maka manusia harus berdoa agar memperoleh keselamatan dalam pekerjaannya. Setelah pulang dari kerja maka manusia kembali berdoa untuk mengucapkan terimakasih atas kuasa Tuhan. Di sisi lain apabila manusia tidak sadar dan tidak bisa menghindari nafsunya maka akan menimbulkan keresahan dan tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu, tidak tekun dan tidak dapat menempatkan diri. Sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna, maka manusia memiliki kelebihan yang berupa akal, budi, cipta, rasa, dan karsa. Dengan kelebihan itu maka manusia mempunyai kewajiban dan tugas terhadap sang pencipta. Adapun tugas dan kewajiban itu adalah manembah, dan ingat dan berdoa bersama yang diwujudkan dalam bentuk suci, damai dan penyayang. Manusia harus selalu sujud dimanapun dan kapanpun ia berada. Adapun terhadap dirinya sendiri manusia harus selalu andhap ashor atau rendah hati, juga tidak sombong juga tidak pamer. Sedangkan dalam hubungannya dengan sesamanya maka manusia diwajibkan untuk saling menyayangi serta menghindari sifat dengki, iri, jahat, dsb, sehingga akan tercapai suatu suasana yang damai, rukun, aman, tentram. Berkaitan dengan alam maka manusia wajib mengelolanya dengan baik. Sebab dengan memanfaatkan dan mengolah dengan baik maka akan mendatangkan hasil yang baik pula. Dengan demikian kebutuhan manusia akan tercukupi dan terciptalah kehidupan yang aman, tenteram dan bahagia. 16 Buletin Galih edisi 2007: p. 56 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama... 192 Segala sesuatu yang dilakukan manusia di dunia akan berkaitan dengan alam langgeng nanti. Oleh sebab itu maka perbuatan manusia di dunia harus sesuai dengan kebenaran yang nyata. Yang berasal dari Tuhan yang maha Kuasa. Dengan demikian maka untuk mencapai ketentraman dunia harus dilandasi dengan takwa, yaitu ingat, sujud, dan manembah kepada Tuhan. Uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pepatah leluhur kita ” wong yen nandur bakal ngunduh ” artinya bahwa orang yang menanam akan memetik buahnya adalah benar. Hal ini dapat diartikan bahwa apa yang diperbuat manusia di dunia akan mendapatkan pembalasan di akherat kelak. 3. Ajaran tentang alam semesta Alam diciptakan oleh Tuhan untuk kelangsungan hidup mahluk yang lain. Namun demikian Tuhan tetap menguasainya dan Tuhanlah yang menentukan. Misalnya saja terjadinya gempa, banjir, gunung meletus, datangnya selalu tiba-tiba. Kadang-kadang ada tanda-tanda terjadinya musibah, misalnya cuaca gelap. Dengan tanda itu maka manusia hendaknya dapat membaca musibah itu. Alam memiliki kekuatan yang luar biasa yang disebut dengan ghaib, artinya tidak diketahui oleh manusia, namun hanya Tuhanlah yang tahu apa yang akan terjadi. Manusia harus dapat memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya. Mereka berdua saling berhubungan satu sama lain. Alam tanpa manusia tidak bermanfaat, sebaliknya, manusia tanpa alam tidak dapat hidup. Istiasih dalam artikelnya yang berjudul ”Memayu hayuning Bawono” Sebagai Pedoman Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha esa ” mencoba untuk menegaskan konsep yang secara umum berlaku dalam hubungan manusia dengan alam.17 Istiasih menyatakan bahwa makna ”Memayu hayuning Bawono” tidak lain adalah mewujudkan keadaan dunia untuk tetap indah sekaligus selamat. Makna tersebut setidaknya dapat diwujudkan dengan sikap dan perilaku aktif berbuat kebajikan kepada siapapun dan apapun, termasuk di dalamnya menjaga serta memelihara lingkungan hidup yang sehat, asri, indah dan lestari. Dengan demikian, maka lingkungan akan selalu mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Adapun hal yang dapat mendasari sikap agar manusia senantiasa menjaga kelestarian alam dengan ” Memayu hayuning Bawono ” antara lain : a. Bahwa seseorang wajib menjaga kelestarian dan menghormati serta memperindah alam b. Menjaga alam lingkungan agar dapat diwariskan kepada generasi mendatang 17 Buletin Galih, edisi 2006: p. 21-22 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama... 193 c. Jika alam tidak dijaga dengan baik akan merugikan masyarakat alam merupakan anugerah Tuhan untuk manusia, sehingga manusia wajib menjaga agar tetap bermanfaat bagi kehidupan manusia. Pada dasarnya alam beserta isinya termasuk manusia tidak boleh dirusak akan tetapi harus dijaga, dipelihara dan dilestarikan sehingga tidak akan menimbulkan gejolak alam seperti bencana alam yang terjadi di sekitar manusia. Menurut pemahaman ini, terjadinya bencana alam disebabkan karena banyaknya manusia yang berbuat tidak baik, curang, culas atau dengan kata lain tidak Berketuhanan Yang Maha Esa. Ibaratnya ketika bumi diduduki oleh pencakar langit tidak akan ambles tetapi giliran bumi diduduki oleh manusia yang jahat, maka bumi menjadi bergeser dan terjadilah gempa bumi. Dalam kaitannya dengan hal ini maka banyak orang yang masih tidak percaya bahwa perilaku manusia mempengaruhi perilaku alam.18 D. Interaksi Agama dengan Kebatinan Berbicara tentang interaksi antara agama dengan aliran kepercayaan/ kebatinan itu sendiri ternyata melibatkan banyak pendapat yang berbeda. Ada pernyataan yang begitu tegas mengatakan bahwa aliran kebatinan berada di atas agama. Ada yang menyatakan bahwa keduanya tidak dapat dipertemukan dan adapula yang menyatakan bahwa antara agama dan aliran kepercayaan bersifat kompromis. Sikap radikal yang menyatakan bahwa aliran kebatinan di atas semua agama didasari atas adanya faktor yang menimbulkan kekecewaan sebagaimana telah diungkap sebelumnya. Dimana agama-agama lama dianggap tidak mampu menjiwai manusia. A Wakhid dalam Rahmat Subagya mengatakan bahwa “kegagalan hirarki dan struktur-struktur agama besar di Indonesia untuk memberikan pemecahan terhadap persoalan-persoalan sosial yang pokok dari kehidupan masyarakat dewasa ini”. Demikian juga diungkapkan bahwa agama-agama besar dianggap gagal dalam menyelenggarakan perdamaian dunia. Hanya kebatinanlah yang dianggap sanggup untuk menunaikan tugas mulia yang dilakukan oleh agama-agama itu. Golongan agama katanya berkedok pada nama murni agama dan telah membangkitkan iri hati, fitnah, dengki dan dendam.19 Hal ini diperkuat oleh pendapat Mr. Wongsonegoro, bahwasannya pendidikan kebatinan mempunyai dasar lebih luas daripada pendidikan agama maupun pendidikan budi pekerti, oleh karenanya juga menyinggung Buletin Galih, edisi 2007: p. 45 Rahmat Subagya, Kepercayaan, Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan: Kepercayaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), p. 76. 18 19 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama... 194 batin manusia. Mengapa agama tidak dapat menentramkan dunia. Hal ini disebabkan karena orang-orang yang menjalankan agama sering menitikberatkan pada satu segi saja yaitu berbakti kepada Tuhan dengan melepaskan sama sekali kebatinan. Dengan kata lain bahwa agama dan kebatinan harus dilakukan bersama supaya lebih menampakkan perannya. Menurut pemikiran ini maka kebatinan dianggap bersuperioritas di atas agama meski baru mulai dan dapat menyumbang perdamaian dunia namun cukup optimis. Pandangan sebaliknya diungkapkan oleh S. Mertodipura menyatakan bahwa kebatinan seyogyanya masuk dalam agama, karena kebatinan menyajikan ragi dalam hidup keagamaan. Dalam konggres kebatinan II di Surakarta pada tahun 1956 dinyatakan oleh Mr. Wongsonegoro, bahwa gerakan kebatinan bukanlah suatu agama baru yang akan mendesak agama-agama yang sudah ada, akan tetapi kebatinan bahkan akan memperdalam atau sublimeren agama-agama yang sudah ada.20 Adapun untuk pendekatan yang sifatnya kompromis disampaikan dalam symposium Nasional kepercayaan 1970 yang dinyatakan oleh salah satu aliran kepercayaan yaitu Pangestu : “Jelaslah bahwa pelajaran Sang Suksmo sejati bukan suatu agama dan tidak pula dimaksudkan untuk mengubah agama Tuhan yang telah ada, yakni Islam dan Kristen.Sang Guru Sejati menegaskan agar mereka yang telah memeluk suatu agama Islam atau Kristen hendaknya benar-benar dan sungguh-sungguh melaksanakan semua petunjuk-petunjuk rahayu yang tersimpul dalam kitab-kitab suci Al Qur’andan Injil. Bagi mereka yang belum memiliki salah satu agama, baik Islam atau Kristen, maka pelajaran Sang Suksmo Sejati dapat dipakai sebagai obor penyuluh jalan yang menuntun dan menyelamatkan kita di dunia dan akherat”. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kebatinan juga mempunyai andil terhadap pembentukan jati diri masyarakat Jawa. Nilai-nilai yang bersifat transcendental dan kemanusiaan paling tidak dapat membentengi pengaruh westernisasi yang cenderung negative. Masuknya teknologi komunikasi menyebabkan arus globalisasi semakin cepat dirasakan imbasnya oleh siapapun. Pengaruh Barat bukan tidak mungkin akan masuk dan berinteraksi dengan masyarakat lokal. Namun ada sebuah keyakinan dari sekelompok orang Jawa, bahwa budaya Jawa yang telah mengakar kuat tidak mungkin dapat tergantikan dengan budaya Barat. Sebagai konsekuensinya, maka budaya Barat banyak membawa perubahan tata moral masyarakat. Sayang sekali tata moral ini lebih mengarah kepada hal-hal yang negatif daripada yang positip. Tata moral yang rusak ini sering diasumsikan pada etika dan pandangan dunia yang berubah juga. Namun tidaklah demikian, bahwa 20 Ibid., p. 69. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama... 195 norma dan nilai yang berubah adalah titik beratnya saja, penekanan dan relevansinya. Konsep-konsep Jawa tentang keteraturan dan hidup baik, sedikit saja yang dipengaruhi perubahan-perubahan struktural yang pesat dan pengalaman-pengalaman politik kemerdekaan. Maka bangkitnya kebatinan dan usaha menyusun kepribadian nasional atas dasar nilai asli merupakan bukti vitalitas, dan keberlangsungan pemikiran kejawen.21 Bagaimanapun juga ketika manusia membahas tentang mistisisme tidak lain adalah pembahasan dalam arti batiniah. Pembahasan ini harus dimulai dengan pengakuan bahwa mistisisme adalah unsur dari keagamaan dalam arti luas. Dengan kata lain bahwa mistisisme dan agama saling merasuki. Sedangkan perbedaannya hanyalah pada penekanannya saja. Mistisisme lebih menekankan pada pengalaman batin dalam pengalaman individu seseorang, dan penyatuan langsung dengan sesuatu yang absolute. Sedangkan pada agama orang mengenal esensi melalui wujud luar. Dengan kata lain bahwa aspek kebatinan berada dalam agama. Secara universal, kalangan mistik mengatakan bahwa pengalaman tidak dapat dicapai oleh nalar. E. Interaksi Tasawuf dengan Kebatinan Mistisisme ataupun sufisme yang bertujuan untuk mengajak batin manusia untuk berkontemplasi untuk kesatuan wujud dengan Tuhan, tidak lain adalah untuk mencapai derajat spiritual yang tinggi. Namun demikian dalam praktiknya ada kecenderungan dari mereka untuk mengacaukan dengan berkompromi pada kepercayaan-kepercayaan dan praktek popular dari masyarakat yang setengah-setengah masuk Islam bahkan yang hanya masuk Islam dengan namanya saja. Sufisme membiarkan dirinya bercampur aduk dengan ajaran agama lama dari pemeluk agama Islam baru . Hal ini terjadi pada kepercayaan animisme di Afrika hingga pantheisme di India. Kecenderungan yang kuat untuk berkompromi dengan ide dan adat kebiasaan lokal dari pemeluk Islam yang baru justeru telah memecah belah Islam menjadi aneka ragam budaya social dan keagamaan.22 Pernyataan Fazlur Rahman ini terbukti dengan kondisi munculnya ajaran manunggaling kawulo gusti yang begitu didengung-dengungkan oleh aliran kebatinan di Indonesia tetapi tetap mereka tidak dapat meninggalkan pengaruh hindu (misalnya saja memperingati kematian seseorang dengan slametan/kendurenan) sebagai sebuah ritual yang justeru di dalam agama Islam dilarang. Mereka juga sama sekali tidak melakukan syari’ah-syari’ah yang semestinya dilakukan oleh orang yang 21 22 Niels Mulders, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, p. 75-76. Fazlur Rahman, Islam, 224-225. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 196 Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama... beragama Islam, misalnya shalat dan puasa. Meski yang terjadi mereka mengatakan beragama Islam. F. Doktrin Monistik: Manunggaling Kawulo Gusti Lebih ekstrem lagi ketika menyimak pengalaman batin dari tokohtokoh sufi dalam sejarah , misalnya saja Abu Yazid ataupun Syeh Siti Jenar. Lekatnya slogan Manunggaling Kawulo Gusti dalam diri mereka justeru membawa mereka kepada pemahaman yang salah terhadap makrifat. Titik tekan pada konsep makrifat ini membawa mereka menganggap dirinya sebagai Tuhan. “Tidak ada Tuhan selain aku maka sembahlah aku”, itulah pernyataan yang keluar dari Abu Yazid dan Syeh Siti Jenar, yang mengaku sebagai orang yang sudah mencapai tingkatan makrifat dalam sufi. Lain lagi dengan tokoh sufi lainnya, yaitu Jalaluddin Rumi. Gagasan Rumi tentang Manunggaling Kawulo Gusti boleh jadi dianggap sebagai gagasan menyimpang dan memberontak syariat agama. Namun bagi Rumi semua pandangan terhadap gagasannya adalah sah-sah saja, karena menurutnya perbedaan pandangan adalah sebuah rahmat. Rumi memandang segala sesuatu dari sisi hakikatnya, bukan dari dunia bentuk atau luar. Karena itu Rumi memandang dari aspek kesejatiannya bukan dari kulit luarnya. Gagasan cinta kepada Allah sangat mendominasi pikiran dan puisinya, sering diungkapkan dengan cara di luar syariat, yaitu dengan membentuk sebuah tarian yang disebut “para darwis yang menari “the wirling dervishes” . Dengan tarian mistiknya, maka Rumi sampai kepada Allah. Jika kemudian muncul pertanyaan tentang cara-cara Rumi yang tidak melalui pintu syariat, maka ia pun siap dengan jawaban: “orang harus mendobrak dan mematahkan batas-batas pemikiran untuk menyaksikan kekuatan cinta yang tertinggi, dan untuk menyerap kebesaran Allah tercinta ”Dan semua itu bisa melalui music dan tari”. Rumusan manusia Jawa dalam menyikapi sekaligus meyakini Tuhan diungkapkan lewat pernyataan cedhak tanpa senggolan (dekat tanpa bersinggungan) dan adoh tanpo wangenan (jauh tanpa adanya jarak). Rumusan tersebut adalah hasil pendalaman falsafah manunggaling kawulo Gusti pada awalnya disebabkan oleh kesadaran mendalam antara wong cilik dengan ningrat ( bangsawan) yang perlu dibina sebaik-baiknya hubungan kedua belah pihak tersebut agar tidak timbul gejolak yang tidak perlu, baik social maupun politik. Sementara itu ada dugaan lain bahwa manunggaling kawulo Gusti itu kelanjutan dari falsafah ngudi kasampurnan (mencapai hidup yang sempurna), yang bersifat asli pada jaman pra sejarah. Namun Al Ghozali sebagai pemikir Islam justeru mengingatkan para ashikin (orang yang diliputi mabuk kepayang dengan Tuhan) justeru harus disikapi secara hati-hati sembari mengingatkan mereka. Dengan kata lain sebenarnya bukanlah itu yang menjadi tujuan dari sebuah mistisisme. Imam Ghozali mengatakan : SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama... 197 “Di saat-saat kemabukan (ekstase), (para sufi) seharusnya tidak menceritakan kepada khalayak ramai, jadi sebaiknya disembunyikan. Alasannya mereka sendiri ketika kesadarannya mulai pulih kembali maka kembali keamampuan akalnya, sehingga mereka itu bukan benar-benar menyatu dengan Tuhan, tetapi hanya menyerupai keadaan menyatu (ittihad)”. Al-Ghozali mengibaratkan bahwa mereka ibarat orang yang belum pernah menyaksikan sebuah cermin, kemudian tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah cermin dan menyaksikan gambar dirinya di sana. Disangkanya bahwa gambar yang disaksikan pada cermin itu adalah gambar cermin yang telah menyatu dengan gambar dirinya. Al Ghazali sangat mewantiwanti kepada mereka yang telah sampai kepada tingkatan makrifat untuk jangan sekali-sekali mengklaim dirinya sebagai Tuihan. Sebab manusia sebagaimana kodratnya adalah tetap manusia, sedangkan Tuhan adalah Dzat ghaib yang jauh berbeda dari mahluknya.23 Namun demikian aneka ragam unsur sufisme yang dilontarkan oleh Al-Ghozali berakibat pada menjurusnya pada dua arah yang berbeda dalam prakteknya. Jurusan yang pertama ke arah sufisme intelektual yang menghasilkan tasawuf, atau disebut juga dengan gnostik, sedangkan jurusan lainnya adalah ke arah popular yang diterjemahkan dalam bentuk konkret sebagai lembaga-lembaga persaudaraan keagamaan. Rupanya jurusan yang kedua inilah yang kemudian berkembang dengan pesat di praktek keberagamaan masyarakat dan inilah sebenarnya yang menjadi poin bagi kritik Fazlur Rahman sebagai bentuk penyimpangan. Pada sufisme intelektual, kaum sufi gnostik berbicara tentang para nabi dan tugas mereka, tentang berpencarnya yang banyak dari yang satu, tentang hubungan mahluk dengan Khaliknya, tentang struktur dunia, tentang merasuknya Tuhan dalam jiwa sufi, dan sebagainya. Adapun pada tingkat prakteknya metode yang dipakai beragam dan seringkali mengeras menjadi kemahiran, berlama-lama menyiksa diri, zikr (menyerukan berulang-ulang nama Allah ), sama’ ( mendengarkan music). Usaha untuk pemanunggalan dengan Tuhan itu disertai dengan kemahiran dalam penguasaan atas alam, atas sifat manusiawi si sufi, tetapi juga atas sifat lahiriyah sesuai dengan saling pengaruh secara gnostik antara makrokosmos dan mikrokosmos. Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa jurusan yang ke dua inilah yang justeru berkembang dengan pesat dalam masyarakat. Persaudaraan keagamaan lebih menekankan pada ketukan Tuhan ke hati, daripada renungan-renungan gnostik. Hal ini menjadikan tersebarnya secara hebat orde-orde atau lembaga-lembaga persaudaraan di seluruh dunia 23 Sri Muryanto, Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti, (Yogyakarta: Kreasi wacana, 2009, p. 21. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama... 198 Islam. Apa yang diusahakan adalah mengetuk hati manusia, mengajaknya mendekatkan diri dengan Tuhan setulus-tulusnya. Penyebaran ini ditunjang oleh kemudahan dari ‘misionaris’ Islam dalam menerima para pemeluk baru. Apa yang mereka tuntut hanyalah keinginan masuk Islam, pembacaan dengan sungguh-sungguh, dan pengakuan keimanan (syahadah). Mereka menutup mata terhadap adat kebiasaan lama. Buah liberalism inilah yang kemudian mengubah seluruh wajah Islam yang bisa dirasakan selama beberapa abad. Orde-orde luar kota yang tersebar di desa-desa lebih banyak menjadi sasaran pengaruh lokal. Tetapi juga ada kelompok tertentu lembaga persaudaraan yang mempunyai cabangcabangnya di kota dan tetap sangat dekat dengan ajaran resmi dan cabangcabang di luar kota dengan sisa-sisa animisme yang masih nampak.24 G. Agama ideal Idealnya, sebuah agama harus menekankan pada aspek lahir maupun batin secara bersama-sama. Kesalahan penyebarluasan sufisme pada kepercayaan local masyarakat ini mencerminkan adanya sebuah problem pada empat tingkatan jalan mistik yang telah diperbincangkan secara panjang lebar oleh Hamzah Fansuri dalam bukunya : Sharab Al-Ashikin ( minuman bagi para pecinta Tuhan), yang diantaranya dijelaskan bahwa empat tingkatan mistik : syariat, tarekat, hakikat dan makrifat, adalah saling bergantung, sebagaimana dikatakannya: 25 “Siapa yang memagari dirinya dengan syariat maka tidak akan pernah terbujuk oleh Syaitan. Siapapun yang berpendapat bahwa syariat itu kurang penting, atau siapapun yang merendahkannya, maka ia menjadi kafir,kita memohon perlindungan Allah daripadanya: karena syariat tidak berbeda dengan tarekat, tarekat tidak berbeda dengan hakekat, dan hakekat tidak berbeda dengan makrifat. Ini seperti sebuah kapal. Syariat adalah dindingnya, tarekat adalah geladaknya, hakekat adalah muatannya, dan makrifat adalah keuntungannya.Jika dindingnya dibuang, kapal tersebut akan tenggelam dagangan dan modalnya hilang selamanya, dan menurut hukum hal ini berbahaya”. Dengan demikian, bagaimanapun juga untuk menuju kepada insane kamil rupanya keempat tahapan mistik itu tidak boleh dipisahkan satu dengan lainnya atau mengambilnya hanya sebagian dan tidak sebagian lainnya. Inilah kemungkinan yang dimaksud oleh Fazlur Rahman sebagai terpecah belahnya Islam karena mengambil sebagian dari tingkatan mistik/ sufisme. Hal ini juga bisa kita lihat pada masa walisanga. Keberadaan Beck dan Kaptein (redaktur), Pandangan Barat terhadap Literature, Hukum, Filosofi, Teologi, dan Mistik Tradisi Islam, (Jakarta: INIS, 1988), p. 64-68. 25 Fauzan Naif dkk., Warna Islam dalam Mistisisme Jawa, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006), p. 79. 24 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama... 199 mereka untuk tujuan penyebarluasan agama Islam melalui budaya local memang sangat efektif. Upaya sinkretisme dengan budaya Hindu kala itu dianggap sebuah strategi yang jitu untuk merangsang penerimaan masyarakat. Namun di balik itu belum terbersit kalau pencampuran syariat agama yang berbeda itu ternyata berjalan sampai dewasa ini dan sulit untuk dihilangkan. Pernyataan Fazlur Rahman dipertegas kembali oleh Esposito yang pada dasarnya terjadi penyimpangan yang besar dalam ajaran konsep tasawuf. Tasawuf menawarkan jalan menuju ketaatan, dan cinta pada Tuhan. Muslim yang baik tidak hanya orang yang taat pada hukum Tuhan tetapi juga orang yang beriman dan berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan berbagai cara seperti bertafakur atau merasakan kehadiran Tuhan. Paduan antara tasawuf dengan ketaatan mengubah tasawuf menjadi gerakan elite urban yang relative kecil ke gerakan kerakyatan yang meluas yang masyarakatnya banyak terdiri dari berbagai lapisan kelas social dan kelas pendidikan. Dari abad 12-14 persaudaraan sufi diubah dari perkumpulan sukarela yang kecil menjadi persaudaraan yang terorganisasi memiliki jaringan internasional pusat-pusat yang tersebar ke dunia Islam. Di Afrika dan India Tenggara, Islam terutama disebarkan oleh persaudaraan-persaudaraan sufi dan pedagang dan bukan tentara Islam Tasawuf membawa pesan Islam yang ajaran-ajaran mistiknya serta praktik-praktiknya terbukti menarik perhatian banyak orang dan terbuka untuk berhubungan dengan adat-istiadat serta tradisi agama setempat. Jika Islam yang resmi seringkali menekankan pelaksanaan yang tepat atas hukum, maka tasawuf lebih memberikan alternatif tradisi yang fleksibel dan terbuka untuk asimilasi dan sintesis. Pengaruh-pengaruh luar yang diserap dari Kristen, neoplatonisme, Hindhu dan Budha. Namun demikian, yang lebih khas diantara doktrin-doktrin khusus sufisme tentang kandungan kesadaran mistik adalah prinsip pengetahuan ma’rifah (gnostik) dengan sifat kepastibenaran intuitifnya, yang berpagar hak istimewa akan penuturan khusus yang tidak tersalahkan (infallibility). Tentu saja hal ini tidak akan bisa diterima dan tidak akan diterima para ulama, mengingat sufisme gnostik ini sudah melanggar apa yang disebut pada masa-masa sufisme kesalehan. Pada awal sufisme ini, hanya memberi penekanan pada kemurnian kesadaran menghadapi perbuatan-perbuatan lahiriyah. Kini kaum sufi mengklaim sebuah cara yang tidak mungkin dikoreksi dalam memperoleh pengetahuan, yang dianggap kebal dari sebuah kekeliruan. Lebih jauh lagi, kandungannya sama sekali berbeda dengan pengetahuan intelektual. Keesaan tuhan diganti dengan “persatuan” Tuhan, yang berdasarkan kata tauhid bahasa Arab berarti memandang sesuatu sebagai “satu” maupun mempersatukan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kaum ulama menentang klaim ini tidak hanya karena ia mengancam sekumpulan doktrin yang telah mereka kembangkan dengan susah payah selama 4 abad, tetapi lebih mendasar lagi karena sufi ma’rifah tidak terbuka terhadap pengecekan dan control. Definisinya yang demikian dalam doktrinnya menjadi tidak mungkin dikoreksi lagi. Pernyataan-pernyataan tersebut dibuat dalam keadaan “mabuk” oleh karenanya tidak dapat dianggap valid. Hal ini berarti SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 200 Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama... menutup penyelidikan kritis tentang cara teratur memperoleh pengetahuan. Doktrin sufi yang diungkapkan karena “kemabukan” cinta pada Tuhan justeru pada gilirannya menjadi sebuah bomerang terhadap ajaran sufisme sendiri. H. Kesimpulan Kajian kritis Fazlur Rahman bahwa sufisme melakukan beberapa penyimpangan dalam pelaksanaan keberagamaan bisa dibuktikan dengan kondisi yang terjadi pada berbagai aliran kepercayaan/kebatinan di Indonesia. Kompromi terhadap kebudayaan local yang menafikan syariah membawa konsekuensi sendiri bagi eksistensi sufisme dalam pencapaian derajat spiritual tertinggi dalam beragama. Resiko fatal terhadap pelanggaran syariah agama terlihat ketika mereka yang tercatat menjadi pengikut aliran kebatinan tetap melaksanakan kebiasaan agama hindu ( mis : slametan kematian ) meskipun mereka mengaku dirinya Islam. Doktrin ‘Manunggaling kawulo gusti’ tidak lain adalah refleksi dari doktrin monistik kesatuan wujud yang didengung-dengungkan oleh sufisme. Akhirnya tujuan awal sufisme dengan doktrinnya dalam mencapai insan kamil menjadi bias oleh metode penyebarannnya yang keliru di beberapa Negara, termasuk di Indonesia. Bagaimanapun juga sebuah mistis tidak dapat dipisahkan dari agama. Sufisme dengan doktrin monistiknya akan mampu merasuk dalam agama tanpa meninggalkan konsep syari’ah di dalamnya jika diimplementasikan dengan tahapan-tahapan yang benar. Tentu saja aspek politis untuk mencapai pengikut yang sebanyak-banyaknya harus dikesampingkan untuk tujuan pencapaian insane kamil. Hal ini menjadi syarat mutlak, sebab mistisisme/sufisme tidak berbicara tentang kuantitas pemeluk agama Islam tetapi lebih kepada kualitas beragama dari seorang muslim dalam mencapai penyatuan dengan Tuhannya. Sufisme harus dikembalikan lagi kepada konsep awal yaitu kepada sufisme intelektual bukan persaudaraan keagamaan yang menyebabkan bias tujuan dalam pencapaian hakikat kebenaran beragama. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama... 201 Daftar Pustaka Beck dan Kaptein (redaktur), Pandangan Barat terhadap Literature, Hukum, Filosofi, Teologi, dan Mistik Tradisi Islam, Jakarta: INIS, 1988 Buletin Galih edisi 2007. Damami, Muhammad, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, Yogyakarta, LESFI, 2000. Endraswara, Suwardi, Mistik Kejawen, Yogyakarta: Narasi, 2006. Http://sonysikumbang.wordpress.com/2010/10/04/beberapa-konsepwali-songo. Mulder, Niels, Mistisisme Jawa, Yogyakarta, LKIS, 2001. Mulders, Niels, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, Jakarta: Gramedia, 1984. Mulyana, Dedy, Komunikasi Multikultiral, (Bandung: Remadja Rosdakarya, 2005. Muryanto, Sri, Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti, Yogyakarta: Kreasi wacana, 2009. Naif, Fauzan dkk., Warna Islam dalam Mistisisme Jawa, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006. Nasution, Harun, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI press, 1986. Nasution, Yunan, Islam dan Problema-Problema Masyarakat, Jakarta, Bulan Bintang, 1988. Nicholson, Reinold A., Mistik dalam Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 2000. Simuh, Sufisme Jawa transformasi tasawuf Islam ke mistik Jawa, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995. Subagya, Rahmat, Kepercayaan, Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan : Kepercayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1990. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 202 Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama... SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Peranan Baitul Maal Wa Tamwil dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Usaha-Usaha Kecil dan Menengah di Daerah Istimewa Yogyakarta Oleh: Sunarsih Abstract Small, medium and micro enterprises in Indonesia, more than large employers. Small, medium and micro enterprises have a major contribution to the national income of Indonesia. However, Small, medium and micro enterprises have the classic problem of the issue of capital and the adiministrasi to access financing at big banks. In Indonesia, from 1984 up BMT. BMT is a cooperative legal entity that is expected to resolve the problems related to Small, medium and micro enterprises capital fulfillment. This research examines how the role of BMT to improving the competitiveness of existing Small, medium and micro enterprises. The study uses primary data analysis tools and analyzed by paired sample t test and descriptive analysis. The results of this study are BMT proven enhance competitiveness of Small, medium and micro enterprises, to see a significant increase in revenue between Small, medium and micro enterprises before taking and after using the murabaha financing. Kay word: small, medium and micro enterprises and BMT Abstrak UMKM di Indonesia lebih banyak dibanding pengusaha besar. UMKM mempunyai kontribusi yang besar terhadap pendapatan nasional Indonesia. Namun UMKM memiliki masalah klasik yaitu masalah permodalan dan proses adiministrasi untuk mengakses pembiayaan di perbankan besar. Di Indonesia, mulai 1984 berdiri BMT. BMT ini berbadan hukum koperasi sehingga diharapkan dapat mengatasi permasalahan UMKM terkait pemenuhan permodalan. Tulisan ini ingin mengupas bagaimana peran BMT terhadap peningkatan daya saing UMKM yang ada. Tulisan ini menggunakan data primer dan dianalisis dengan alat analisis paired sample t test serta analisis diskriptif. Hasil dari tulisan ini adalah BMT tebukti meningkatkan daya saing UMKM, dengan dilihat adanya peningkatan pendapatan yang signifikan antara para pelaku UMKM sebelum mengambil pembiayaan murabahah dan setelah menggunakan pembiayaan murabahah. Kata kunci: usaha-usaha kecil, menengah dan peran BMT. A. Pendahuluan Indonesia adalah negara yang sedang berkembang, sehingga di Indonesia jumlah pengusaha kecil lebih banyak dibandingkan pengusaha Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan kalijaga Yogyakarta. E-mail: [email protected] SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... 204 besar. Jumlah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia pada tahun 2011 bertambah 15-20 persen. Secara keseluruhan, jumlahnya mencapai 52 juta UMKM. UMKM merupakan penyumbang yang lebih besar terhadap pendapatan nasional dibandingkan pengusaha besar. Pada tahun 2011 UMKM telah menyumbang 56-60 persen produk domestik bruto Indonesia. UMKM telah membuktikan dirinya tahan terhadap krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sekitar tahun 1997/1998. Hal ini membuktikan bahwa UMKM telah menjadi backbone dan buffer zone yang menyelamatkan negara dari keterpurukan ekonomi.1 Baitul Maal Wat Tamwil merupakan salah satu jenis badan koperasi yang merupakan lembaga intermediasi antara pemilik sumber dana dan pihak yang memerlukan dana, dengan prinsip operasionalnya sesuai syariat Islam. Berdirinya Baitul Maal Wat Tamwil ini akan menimbulkan kegairahan berusaha bagi pengusaha, karena BMT ini akan memberikan pembiayaan bagi pengusaha yang membutuhkan suntikan dana untuk meningkatkan volume usaha dan produktifitasnya. Market share BMT terutama adalah usaha-usaha mikro, kecil dan menengah, sehingga memegang fungsi strategis dalam rangka memajukan pengenbangan usaha mikro, kecil, dan menengah, serta pertumbuhan ekonomi negara dimana usaha mikro, kecil dan menengah merupakan usaha yang mendominasi di Indonesia ini. Sejak berdiri pada tahun 2005 hingga 2010 saja, Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) atau juga dikenal Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) telah menyalurkan pembiayaan kepada sekitar 3 juta nasabah mikro. Pertumbuhan LKMS dari tahun ke tahun terus meningkat. Secara kelembagaan, sekarang sudah ada sekitar 4.000 LKMS/BMT dengan aset aset yang dikelola sekitar Rp 3 triliun rupiah. LKMS/BMT itu umumnya berbadan hukum koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) atau koperasi simpan pinjam syariah (KSP).2 Untuk mengetahui berbagai kondisi riil apakah BMT yang ada saat ini telah mampu meningkatkan daya saing UMKM yang menjadi anggotanya, maka dilakukan kajian yang mendalam tentang peran BMT dalam meningkatkan pendapatan para anggotanya. Penelitian ini akan dilakukan dengan mengambil responden pada para anggotanya yang mengambil pembiayaan murabahah di BMT Bina Ihsanul Fikri (BIF). Alasan pemilihan subyek tersebut adalah karena BMT tersebut adalah BMT yang sudah besar di Yogyakarta. Lokasi kajian dalam penelitian ini meliputi wilayah yang ada di Kodya Yogyakarta. Responden penelitian adalah para stakeholder di setiap wilayah penelitian sehingga gambaran mengenai persepsi mereka dapat 1 2 http://Kompas.com, diakses 26 Agustus 2011 http://Kompas.com, diakses 20 Juli 2011 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... 205 mewakili keadaan populasi pada umumnya. Responden penelitian di wilayah sampel terdiri dari UMKM di lingkungan sentra, berjumlah antara 62 unit, terdiri dari UMKM yang melakukan usaha perdagangan. Penelitian ini akan mengungkapkan persepsi stakeholder mengenai peningkatan pemberdayaan UMKM. Untuk itu variabel penelitian meliputi permodalan, usaha, persaingan dan pendapatan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer berupa data hasil pengamatan lapang dari UMKM yang bersifat kuantitatif di wilayah sampel dianalisis dengan uji paired sample t test dan analisis diskriptif untuk mengetahui peran BMT dalam peningkatan pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah. Paired sample t test adalah analisis perbandingan untuk dua sampel yang berpasangan. Dua sampel yang berpasangan diartikan sebagai sebuah sampel dengan subjek yang sama namun mengalami dua perlakuan atau pengukuran yang berbeda.3 B. Selayang Pandang Baitul Maal Wa Tanwil BMT (Baitul Maal wa at-Tamwil) merupakan lembaga keuangan mikro yang beroperasi dengan prinsip bagi hasil dengan tujuan menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil dalam rangka meningkatkan derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin.4 BMT bertujuan untuk meningkatkan kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.5 Dengan tujuan tersebut maka BMT harus berorientasi pada upaya peningkatan kesejahteraan para anggota dan masyarakat. Anggota harus diberdayakan supaya dapat t mungkin dapat mandiri. Dengan menjadi anggota, diharapkan masyarakat dapat meningkatkan taraf hidup melalui peningkatan usaha. Pemberian modal pinjaman sedapat mungkin memandirikan ekonomi para peminjam. BMT bersifat usaha bisnis, mandiri, ditumbuhkembangkan secara swadaya dan dikelola secara profesional sehingga mencapai tingkat efisiensi tertinggi. Aspek bisnis BMT adalah kunci sukses mengembangkan BMT, yang diharapkan mampu memberikan bagi hasil yang kompetitif kepada para deposannya dan mampu meningkatkan kesejahteraan para pengelolanya sejajar dengan lembaga lain. Singgih Santoso, SPSS Versi 10: Mengolah Data Statistik Secara Profesional, PT. Gramedia Jakarta, 2002, p. 222-223. 4 M. Amin Azis, Tata Cara Pendirian BMT, pkes publishing,2008, hal. 2 5 Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal wa Tamwil, UII Press, 2002, p. 128. Lihat juga, Muhammad Ridwan, Sistem dan Prosedur Prndirian Baitul Mal wat Tamwil, Citra Media, 2006, p. 5 3 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 206 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... BMT memiliki dua fungsi mendasar, yaitu (1) Baitu at-Tamwil (rumah pengembangan harta), BMT pada fungsi ini melakukan kegiatan usaha produktif dan investasi untuk meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil serta pemberdayaan masyarakat. Bentuk kegiatan tersebut dilakukan dengan mendorong kegiatan menabung, menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi dan melakukan berbagai bentuk investasi untuk memperoleh keuntungan. Fungsi kedua, yaitu, (2) Baitul Maal (rumah harta). BMT pada fungsi ini adalah; menerima titipan dana zakat, infak, dan sedekah serta mengoptimalkan distribusinya kepada mereka yang berhak menerima sesuai dengan ketentuan agaman dan amanah yang diemban BMT6 Dalam rangka mencapai tujuannya, BMT berfungsi:7 a. Mengidentifikasi, memobilisasi, mengorganisasi, mendorong dan mengembangkan potensi ekonomi anggota, kelompok anggota muamalat (Pokusma), dan daerah kerjanya. b. Meningkatkan kualitas SDM anggota dan Pokusma menjadi lebih professional dan Islami sehingga semakin utuh dan tangguh dalam menghadapi persaingan global. c. Menggalang dan memobilisasi potensi masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan anggota. d. Menjadi perantara keuangan (financial intermediary) antara agniya sebagai shohibul maal dengan dhu’afa sebagai mudharib, terutama untuk dana-dana sosial seperti zakat, infaq, sedekah, wakaf, hibah, dan lain-lain. e. Menjadi perantara keuangan (financial intermediary) antara pemilik dana (shohibul maal), baik sebagai pemodal maupun penyimpan 6 Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta) dimaksudkan sebagai Lembaga Amil Zakat (LAZ) sebagaimana kemudian muncul UU No. 38/1999 yaitu menerima titipan dana Zakat, Infaq dan Shadaqah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya. Istilah Baitul Maal telah ada dan tumbuh sejak zaman Rasulullah SAW, meskipun saat itu belum terbentuk suatu lembaga yang permanen dan terpisah. Kelembagaan Baitul Maal secara mandiri sebagai lembaga ekonomi berdiri pada masa khalifah Umar bin Khathab atas usulan seorang ahli fiqh bernama,WalidbinHisyam. Sejak masa tersebut dan masa kejayaan Islam selanjutnya (Dinasti Abbasiyah dan Umayyah), Baitul Maal telah menjadi institusi yang cukup vital bagi kehidupan negara, Ketika itu Baitul Maal telah menangani bermacam-macam urusan mulai dari penarikan zakat (juga pajak) ghonimah sampai menbangun fasilitas umum seperti jalan, jembatan, menggaji tentara, pejabat negara serta membangun fasilitas umum lainnya (Ensiklopedia Islam, jilid 2 hal. 222-224). Bila dipersamakan dengan saat ini, maka Baitul Maal ketika zaman sejarah Islam yang lalu dapat dikatakan menjalankan fungsi sebagai Departemen Keuangan, Ditjend Pajak, Departemen Sosial, Departemen Pekerjaan Umum/ Kimpraswil, dan lain sebagainya. 7 Ibid., p. 131 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... a. b. c. d. 207 dengan pengguna dana (mudharib) untuk pengembangan usaha produktif. Sedangkan ciri-ciri Utama BMT adalah sebagai berikut:8 Berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan pemanfaatan ekonomi paling banyak untuk anggota dan masyarakat. Bukan lembaga sosial, tetapi bermanfaat untuk mengefektifkan penggunaan dana-dana sosial untuk kesejahteraan orang banyak serta dapat menyelenggarakan kegitan pendidikan untuk memperdayakan anggotanya dalam rangka menunjang ekonomi. Ditumbuhkan dari bawah berlandaskan peran serta masyarakat sekitarnya. Milik bersama masyarakat kecil dari lingkungan BMT itu sendiri, bukan milik perseorangan atau orang dari luar masyarakat. Atas dasar ini BMT tidak dapat berbadan hukum perseroan. C. Produk-produk BMT Sistem operasional yang dijalankan oleh BMT adalah; bagi hasil, jual beli, non profit dan jasa. Fungsi BMT sebagaimana fungsi perbankan syariah yaitu sebagai penghimpun dana, serta penyalur jasa. Perbankan memberikan pelayanan jasa keuangan terhadap nasabah sedangkan BMT sebagaimana koperasi memberikan pelayanan kepada para anggota yang telah memenuhi persyaratan. 1. Produk Penghimpunan Dana Penghimpunan dana oleh BMT diperoleh melalui simpanan, yaitu dana yang dipercayakan oleh nasabah kepada BMT untuk disalurkan ke sektor produktif dalam bentuk pembiayaan. Sumber-sumber dana BMT berasal dari simpanan para anggota, pinjaman atau sumbangan dari pihak ketiga dan dari SHU yang dicadangkan. Prinsip utama dalam penghimpunan dana ini adalah kepercayaan, artinya kemauan masyarakat untuk menaruh dananya pada BMT sangat dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan masyarakat terhadap BMT itu sendiri. Menurut Muhammad Ridwan, karena BMT pada prinsipnya merupakan lembaga amanah (trust), sehingga setiap insan BMT harus dapat menunjukkan sikap amanah tersebut. Prinsip simpanan di BMT menganut asas wadi’ah dan mudharabah.9 a. Prinsip Wadi’ah Wadi’ah berarti titipan. Simpanan Wadi’ah merupakan akad penitipan barang atau uang pada BMT. BMT mempunyai kewajiban menjaga dan merawat barang tersebut dengan baik serta mengembalikan saat penitip 8 9 Ibid., p. 132 Ibid., p.150 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... 208 (muwadi’) menghendakinya. Wadi’ah dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Wadi’ah Amanah adalah penitipan barang atau uang tetapi BMT tidak memiliki hak untuk mendayagunakan titipan tersebut. BMT dapat mensyaratkan adanya jasa (fee) kepada penitip (muwadi’) sebagai imbalan atas pengamanan, pemeliharaan dan administrasinya. Wadi’ah amanah sering berlaku pada bank dengan jenis produknya kotak penyimpanan (save deposit box); 2. Wadi’ah Yad Dhamanah adalah akad penitipan barang atau uang (umumnya berbentuk uang) kepada BMT, namun BMT memiliki hak ntuk mendayagunakan dana tersebut. Deposan mendapatkan imbalan berupa bonus yang besarnya tergantung dengan kebijakan manajemen BMT. Namun produk ini kurang berkembang karena deposan menghendaki adanya bagi hasil yang layak. b. Prinsip Mudharabah Mudharabah merupakan akad kerja sama modal dari pemilik dana (shohibul maal) dengan pengelola dana atau pengusaha (mudharib) atas dasar bagi hasil. Dalam hal ini, BMT berfungsi sebagai mudharib dan penyimpan dana sebagai shohibul maal. Menurut Ridwan10 ada ketentuan yang berlaku untuk sistem mudharabah yaitu : 1). Modal - Harus diserahkan secara tunai. - Dinyatakan dalam nilai nominal yang jelas. - Langsung diserahkan kepada mudharib untuk segera memulai usaha. 2). Pembagian Hasil - Nisbah bagi hasil harus disepakati diawal perjanjian. - Pembagian hasilnya dapat dilakukan saat mudharib telah mengembalikan seluruh modalnya atau sesuai dengan periode tertentu yang disepakati. 3). Resiko - Bila terjadi kerugian usaha, maka semua kerugian akan ditanggung oleh shohibul maal, dan mudharib tidak akan mendapatkan keuntungan usaha. - Untuk memperkecil resiko, shohibul maal dapat mensyaratkan batasan-batasan tertentu kepada mudharib. 2. Produk-produk Pembiayaan BMT Menurut pemanfaatannya, pembiayaan BMT dapat dibagi menjadi dua yakni pembiayaan investasi dan pembiayaan modal kerja. Pembiayaan Investasi adalah pembiayaan yang digunakan untuk pemenuhan barang10 Ibid., p 152 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... 209 barang permodalan (capital goods) serta fasilitas-fasilitas lain yang erat hubungannya dengan hal tersebut. Sementara Pembiayaan Modal Kerja adalah pembiayaan yang ditujukan untuk pemenuhan, peningkatan produksi, dalam arti yang luas dan menyangkut semua sektor ekonomi, perdagangan dalam arti yang luas maupun penyediaan jasa. Sedangkan menurut sifatnya, pembiayaan juga dibagi menjadi dua, yakni pembiayaan produktif dan pembiayaan konsumtif. Pembiayaan Produktif yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti yang sangat luas seperti pemenuhan kebutuhan modal untuk meningkatkan volume penjualan dan produksi, pertanian, perkebunan, maupun jasa. Sementara Pembiayaan Konsumtif yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, baik yang digunakan sesaat maupun dalam jangka waktu yang relatif panjang. Agar dapat memaksimalkan pengelolaan dana, maka manajemen BMT harus memperhatikan tiga aspek penting dalam pembiayaan yaitu: 11 1. Aman, artinya keyakinan bahwa dana yang telah dilempar dapat ditarik kembali sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Untuk menciptakan kondisi tersebut, sebelum dilakukan pencairan pembiaayan, BMT harus melakukan survey usaha telebih dahulu untuk memastikan bahwa usaha yang dibiayai layak. 2, Lancar yaitu keyakinan bahwa dana BMT dapat berputar dengan lancar dan cepat. Semakin cepat dan lancar perputaran dananya maka pengembangan BMT akan semakin baik. 3, Menguntungkan adalah perhitungan atau proyeksi yang tepat, untuk memastikan bahwa dana yang dilempar akan menghasilkan pendapatan. Semakin tepat dalam memproyeksi usaha, kemungkinan besar gagal dapat diminimalisasi. Pembiayaan pada intinya berarti I Believe, I Trust. Pembiayaan yang berarti kepercayaan, berarti lembaga pembiayaan selaku shahibul mal menaruh kepercayaan kepada seseorang untuk melaksanakan amanah yang diberikan. Dana tersebut harus digunakan dengan benar, adil, dan harus disertai dengan ikatan dan syarat-syarat yang jelas, dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.12 Dalam setiap pembiayaan pada lembaga keuangan, ada tiga pihak/pelaku yang terlibat yaitu: lembaga keuanga, nasabah/customer, dan negara selaku regulator. Dalam perbankan sayariah, selaku regulator selain negara dan bank sentral, juga Dewan Syariah Nasional (DSN). DSN mengawasi dan menguluarkan fatwa berkaitan dengan kepatuhan atas aspek syariahnya. Ibid., p 164. Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Islamic Financial Management: Teori, Konsep, dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi, dan Mahasiswa, Rajawali Press, Edisi 1, 2008. p. 3. 11 12 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... 210 Setiap manusia ingin dapat memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkankesejahterahaannnya. Hal ini bisa dicapai dengan cara meningkatkan pendapatannya. Hal ini mendorong manusia untuk melakukan kegiatan-kegiatan untuk eksistensi dirinya baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Tindakan-tindakan ini dilakukan karena seiring terdorong oleh kuatnya minat dan keinginan manusia untuk memperhatikan hidupnya, di mana dalam hal ini terdapat persoalan bagaimana usaha yang diinginkannya.Untuk mendapatkan keinginan tersebut diperoleh suatu pendapatan sebagai penunjang. Suatu pendapatan usaha tergantung dari besar kecilnya modal yang digunakan. Jika modal besar maka produk yang dihasilkan juga besar sehingga pendapatannya pun meningkat. Begitu juga sebaliknya jika modal yang digunakan kecil maka produk yang dihasilkan hanya sedikit dan pendapatan yang diperoleh juga sedikit. Untuk itu diperlukan pembiayaan umtuk meningkatkan pendapatan pengusaha kecil. Peningkatan usaha kecil kunci utamanya adalah modal. Bagi usaha kecil, sering dijumpai pemerolehan modal diiringi dengan membayar bunga yang cukup tinggi. Sehingga pinjaman menjadi beban yang sewaktuwaktu dapat menjadi boomerang bila terjadi kemacetan angsuran. Pada umumnya pedagang kecil dan industri rumah tangga mempunyai margin (keuntungan) atau pendapatan yang cukup tinggi namun tidak bisa lepas dari keterbatasan modal. Untuk itu perlu adanya bantuan dalam pembiayaan. Dengan demikian pembiayaan bagi nasabah berfungsi sebagai salah satu potensi untuk mengembangkan usaha, dapat meningkatkan kinerja perusahaan, dan sebagai salah satu alternatif pembiayaan perusahaan.13 D.Usaha Mikro, Kecil atau Menengah Menurut UU No. 20 Tahun 2008 pasal 1 menjelaskan tentang usaha mikro, kecil, dan menengah. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.14 Pada pasal 6 dalam UU No. 20 Tahun 2008 mengatur tentang kriteria usaha mikro sebagai berikut:15 a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau Baca Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Islamic Financial Management: Teori, Konsep, dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi, dan Mahasiswa, Rajawali Press, Edisi 1, 2008. P. 6. 14 UU N0. 20 Tahun 2008, p 2 15 Ibid., p. 5 13 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... 211 b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. 16Pada pasal 6 UU No. 20 Tahun 2008 diterangkan bahwa usaha kecil memiliki kriteria sebagai berikut:17 a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. Memiliki memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini.18 Pada pasal 6 dijelaskan kriteria usaha menengah adalah:19 a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah). Keunggulan dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menurut Partomo dan Rachman antara lain:20 1. Inovasi dalam teknologi yang dengan mudah terjadi dalam pengembangan produk. 2. Hubungan kemanusiaan yang akrab di dalam perusahaan kecil. 3. Fleksibilitas dan kemampuan menyesuaikan diri terhadap kondisi pasar yang berubah dengan cepat dibandingkan dengan perusahaan berskala besar yang pada umumnya birokratis Ibid., p. 2 Ibid., p. 5-6 18 Ibid., p. 2 19 Ibid., p. 6 20 http://tariles41.blogspot.com/2010, diakses 10 September 2012 16 17 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 212 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... 4. Terdapat dinamisme manajerial dan peranan kewirausahaan. Sedangkan kelemahan dari UMKM adalah :21 1. Kelemahan dalam mengakses pasar. Kelemahan akses pasar selama ini merupakan kelemahan yang dialami hampir sebagian besar UMKM di tanah air. Hal ini karena mereka rata-rata kurang memiliki informasi yang lengkap dan rinci, terkait pasar mana saja yang bisa ditembus oleh produk yang dihasilkan. 2. Kelemahan dalam akses teknologi. Akses teknologi merupakan salah satu kelemahan sektor UMKM. Kondisi ini tentu merupakan salah satu hambatan, demi memajukan sektor UMKM. Padahal jika produk UMKM sudah mendapat sentuhan teknologi, tentu akan mudah diterima pasar. 3. Kelemahan dalam akses modal. Akses modal juga merupakan kelemahan UMKM. 4. Kelemahan dalam manajemen keuangan. Kalangan UMKM rata-rata tidak memiliki pola majemen keuangan yang rapi. Sehingga kadang sulit membedakan antara keuangan perusahaan dan keuangan rumah tangga. 5. Kelemahan SDM. SDM yang mendukung UMKM rata-rata memang relatif kurang handal. Dalam kondisi inilah pemerintah, perguruan tinggi atau lembaga sosial yang lain hendaknya bisa ikut berperan meningkatkan SDM yang mendukung UMKM. Ada beberapa hal yang menjadi kendala bagi perkembangan UMKM. Pertama, sesulitan modal dan aksesnya. Bank masih memberlakukan suku bunga tinggi. Namun beberapa program permodalan yang digagas pemerintah seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) cukup menghibur, masalahnya seberapa besar KUR mampu menjangkau UMKM yang ada. Kedua, soal prosedur administrasi perbankan dan ketiadaan agunan. Namun hal ini telah terbantu dengan adanya beberapa produk Kredit Tanpa Agunan yang dimiliki perbankan dan Pegadaian, juga adanya dana PKBL dari BUMN. Meski demikian keberpihakan melalui kebijakan jangka panjang menjadi sangat berarti. Data pada tahun 2010 ini memberi gambaran bahwa masih sangat banyak pengusaha UMKM yang belum tersentuh oleh perbankan dan jasa keuangan lainnya, yaitu hanya sebesar 11,78 persen saja yang mendapatkan permodalan dari perbankan. Uniknya, di Indonesia ini lebih dari 51 persen usaha tidak memiliki badan hukum. Perusahaan atau usaha yang memiliki badan hukum hanya 21 Adindaa, Peran UMKM dalam Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, http://adindaa08.student.ipb.ac.id, diakses 23 September 2011. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... 213 sebanyak 6 persen, sedangkan 43 persen lainnya tidak dapat dipertanyakan keadaan badan hukumnya.22 Dari hal tersebut di atas sangat diperlukan pemberian pembiayaan bagi UMKM yang berguna dalam peningkatan pendapatannya. Pembiayaan yang diberikan sebagai modal usaha bukan berasal dari rentenir yang sekarang ini masih dijumpai di daerah pedesaan. Bukan membantu pengusaha kecil melainkan menghambat pengembangan usaha mereka akibat bunga yang tinggi. Pembiayaan yang berasal dari BMT diharapkan mendorong pengusaha kecil untuk dapat meningkatkan produksinya sehingga meningkatkan pendapatan dan mampu bersaing dengan pengusaha lain. E. Problematika BMT dan Analisis Statistik Obyek penelitian ini adalah seluruh anggota BMT BIF yang masih aktif menggunakan pembiayaan murabahah per-Oktober 2010. Sampel yang diambil adalah sebanyak 5% dari angka populasi 1247 orang yakni sebanyak 62 orang responden dengan cara kuesioner, wawancara, dan observasi. Kuesioner dan wawancara dilakukan secara bersamaan karena untuk meminimalisir risiko peneliti seperti tidak dikembalikannya kuesioner atau angket yang diberi peneliti kepada para responden. Adapun gambaran umum responden adalah: a. Jenis Kelamin Responden Tabel 1 Daftar Jenis Kelamin yang Terpilih sebagai Sampel Jenis Kelamin Jumlah Pria 17 Wanita 45 Jumlah 62 Sumber: Data tahun 2011 yang diolah Prosentase 27% 73% 100% Data tersebut merupakan penggambaran proporsi responden pria dan wanita yang menggunakan pembiayaan murabahah pada BMT BIF Gedong Kuning. Hasil prosentase yang diperoleh untuk pria 27% dan wanita 73%. Hal ini menunjukkan bahwa prosentase wanita lebih dominan dibandingkan pria karena kebanyakan para responden beralasan ingin membantu perekonomian keluarga khususnya suami. 22 Sri Hartini, UMKM Indonesia Mengapa dan Bagaimana, http://www.majalahwk.com/artikel-artikel/info-usaha/196-edisi-majalah.html, diakses 23 September 2011. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 214 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... Selain itu, alasan lainnya adalah lebih mengertinya kaum wanita dalam hal pemenuhan kebutuhan harian rumah tangga, jadi suatu hal wajar jika pedagang di pasar tradisional lebih dominan kaum wanita dibanding kaum pria. b. Tingkat Usia Responden Tabel 2 Daftar Tingkat Usia yang Terpilih sebagai Sampel Usia Jumlah Prosentase ≤ 25 tahun 25 - 40 tahun 22 35% 40 - 55 tahun 30 49% ≥ 55 tahun 10 16% Jumlah 62 100% Sumber: Data tahun 2011 yang diolah Dari perolehan kategori usia ditunjukkan bahwa mayoritas responden yang menggunakan pembiayaan murabahah berada pada usia 40-55 tahun sejumlah 30 orang atau 49%. Usia 25-40 tahun berada pada urutan kedua yakni sejumlah 22 orang atau 35%. Usia ≥ 55 tahun berada pada urutan ketiga yakni sejumlah 10 orang atau 16%. Dapat diartikan bahwasannya mayoritas pedagang yang berada di pasar tradisional pada usia paruh baya bukan pada usia produktif. Hal ini disebabkan lamanya dalam berdagang dengan alasan berawal dari membantu ekonomi keluarga dan pembiayaan murabahah digunakan untuk memperlancar usaha dagang dalam memperlebar atau menambah dagangan (kulakan). Pada usia 25-40 tahun, pembiayaan murabahah digunakan untuk tambahan modal serta sebagai penopang kebutuhan keluarga seperti biaya sekolah anak. Untuk usia ≥ 55 tahun, pembiayaan digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. c. Pendidikan Terakhir Responden Tabel 3 Daftar Pendidikan Terakhir yang Terpilih sebagai Sampel Pendidikan Tidak Sekolah SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Jumlah Prosentase 2 3% Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... 215 SD 24 39% SMP 12 19% SMA 24 39% Jumlah 62 100% Sumber: Data tahun 2011 yang diolah Data yang diperoleh menunjukkan bahwa mayoritas pendidikan terakhir adalah SD dan SMA yakni sebanyak 24 orang atau 39%, SMP 12 orang atau 19%, dan yang tidak sekolah sebanyak 2 orang atau 3%. Banyaknya anggota pada tingkatan SD dikarenakan mereka lebih mementingkan penghasilan cepat dengan alasan membantu keuangan keluarga. Pada penggunaan murabahah, responden atau anggota yang hanya berpendidikan sebatas SD, murabahah digunakan untuk modal dan konsumsi. Bagi mereka, perputaran keuangan cepat sangat perlu demi melangsungkan kehidupannya sehari-hari. Sedangkan pada tingkatan lulusan SMA, berdagang merupakan lahan usaha pribadi jadi, pembiayaan murabahah digunakan sebagai penambahan modal pada saat dana tidak tercukupi dan perputaran uang diambil dari hasil harian mereka dengan mengurangi seluruh biaya-biaya yang nantinya sisa dari biaya-biaya tersebut dapat menjadi pemutaran dagang dan biaya hidup sehari-hari. Dengan kata lain, reponden yang berpendidikan akhir SMA lebih memiliki manajemen yang bagus dibandingkan dengan responden yang pendidikannya ada pada taraf tingkat SD. Pada tingkatan pendidikan anggota yang tidak sekolah dan SMP kurang lebih memiliki pendapat yang sama dengan anggota berpendidikan tingkat SD, dimana pembiayaan murabahah sebagian digunakan untuk penambahan modal dan sebagian lagi untuk pemenuhan kebutuhan Rumah Tangga (RT). Hal ini tampak jelas bahwasannya pendidikan memiliki peran penting dalam pemaksimalan dana melalui pembiayaan murabahah. d. Pendidikan Non Formal Tabel 4.4 Daftar Pekerjaan yang Terpilih sebagai Sampel Pekerjaan Pelatihan kewirausahaan Kursus ketrampilan SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Jumlah Prosentase 1 1,6% 0 10 216 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... Seminar Kewirausahaan 0 0% Lainnya 61 98.4% Jumlah 62 100% Sumber: Data tahun 2011 yang diolah Tabel di atas terlihat bahwa 1,6% atau 1 orang yang menjadi sampel menyatakan pernah mendapat pelatihan kewirausahaan. Sedang sisanya 61 orang mendapatkan pelatihan yang lainnya. e. Pekerjaan Responden Tabel 5 Daftar Pekerjaan yang Terpilih sebagai Sampel Pekerjaan Jumlah PedagangSayur 21 Pedagang Buah 10 Pedagang Makanan 9 Pedagang Daging 6 Pedagang Ikan 6 Pedagang Bumbu Dapur 6 Pedagang Perabotan 4 Jumlah 62 Sumber: Data tahun 2011 yang diolah Prosentase 34% 16% 14% 10% 10% 10% 6% 100% Tabel di atas terlihat bahwa 34% atau 21 orang berprofesi sebagai pedagang sayur. Dominasai banyaknya pada pedagang sayur karena tidak terlepas dari murah dan mudahnya dalam memperoleh barang dagangan (kulakan) di pasar induk maupun di daerah masingmasing, dimana pedagang langsung beli kepada petani. Jadi, biaya murah dan sisa dari pembiayaan murabahah bisa digunakan kebutuhan lainnya. Selain itu, responden juga beranggapan bahwa pasar tradisional identik dengan kebutuhan makan harian rumah tangga. Adapun pedagang daging dan ikan, mayoritas dagangan yang dijual adalah barang titip jual dari pemasok. Dengan kata lain, pengambilan stok yang pembayarannya setelah laku terjual dengan bagi hasil atas keuntungan yang diperoleh antara penjual dan pemasok. Dilakukannya SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... 217 hal tersebut karena para responden bukan peternak atau nelayan. Akan tetapi, terdapat 2 dari responden daging dan 1 responden ikan yang memiliki saudara dan atau suami yang berprofesi sebagai peternak dan nelayan. Dengan demikian, dapat memperbesar dalam keuntungan karena stok dari keluarga sendiri. f. Kepemilikan Kompetitor Dalam Usaha Tabel 6 Daftar Kepemiliki Kompetitor Dalam Usaha Kriteria Jumlah Prosentase Memiliki 62 100% Tidak 0 0% Jumlah 62 100% Sumber: Data tahun 2011 yang diolah Tabel di atas terlihat bahwa 100% atau 62 orang pedagang yang menjadi sampel menyatakan memiliki kompetitor dalam usahanya, bahkan kompetitor dari masing-masing pedagang itu lebih dari 2 pedagang yang sejenis di lokasi pasar yang sama. Sehingga hal ini menyebabkan pembelian para konsumen tidak hanya terpusat pada dagangannya saja, tetapi para konsumen bisa memeli barang yang didagangkan oleh responden ke pedagang yang lain. g. Latar Belakang Keluarga Sebelum Berusaha Tabel 7 Daftar Latar Belakang Keluarga SebelumBerusaha Kriteria Jumlah Petani 6 Pegawai 15 Pebisnis 41 Jumlah 62 Sumber: Data tahun 2011 yang diolah Prosentase 9,7% 24,2% 66,1% 100% Tabel di atas terlihat bahwa 9,7% atau 6 orang pedagang yang menjadi sampel menyatakan memiliki latar belakang keluarga sebelum berusaha sebagai petani, dan 24,2% atau 15 orang memiliki latar belakang keluarga sebagai pegawai, dan sisanya 41 orang atau 66,1% memiliki latar belakang keluarga sebagai pebisnis. Dari data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa mayoritas sampel memiliki SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 218 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... ketrampilan untuk menjalan usaha, karena kegiatan usaha yang dilakukan saat ini bukan merupakan hal yang baru bagi mereka. h. Pembiayaan Dari Kreditor Lain Tabel 8 Daftar Pembiayaan dari Pihak Lain Kriteria Jumlah Prosentase Ada Pembiayaan dari pihak lain 25 40,3% Tidak ada pembiayaan dari pihak lain 37 59,7% Jumlah 62 100% Sumber: Data tahun 2011 yang diolah Tabel di atas terlihat bahwa 40,3% atau 25 orang pedagang yang menjadi sampel menyatakan bahwa selain mengambil pembiayaan di BIF juga mengambil pembiayaan di bank lain, baik di bank maupun di BMT yang ada di Yogyakrta dan 59,3% atau 37 orang tidak mengambil pembiayaan dari bank atau BMT yang lain. i. Periode Pembiayaan Murabahah Responden Tabel 9 Daftar Periode yang Terpilih sebagai Sampel Periode Jumlah Prosentase 4 Bulan 31 50% 6 Bulan 7 12% 10 Bulan 8 13% 12 Bulan 12 19% 18 Bulan 2 3% 24 Bulan 2 3% Jumlah 62 100% Sumber: Data tahun 2011 yang diolah Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas dari responden yang menggunakan pembiayaan murabahah mengambil angsuran atau cicilan paling banyak selama 4 bulan (100 hari) sebanyak 31 orang atau 50%. Hal ini disebabkan kecilnya risiko dimana tidak terasanya dalam SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... 219 penanggungan biaya-biaya yang diangsur ditiap harinya dan terasa ringan di tiap cicilannya. j. Pendapatan Sebelum dan Sesudah Penggunaan Murabahah 1). Pedagang Perabotan Rumah Tangga (RT) Tabel 10 Daftar Pedagang Perabotan yang Terpilih sebagai Sampel Pedagang Sebelum Sesudah Perabotan 1 150,000 350,000 Perabotan 2 100,000 400,000 Perabotan 3 40,000 200,000 Perabotan 4 500,000 2,500,000 Sumber: Data tahun 2011 yang diolah Dari data yang diperoleh, sampel yang diambil kategori pedagang perabotan rumah tangga terdapat peningkatan pendapatan secara jelas dalam bentuk rupiah. Naiknya pendapatan para responden karena barang yang dijual merupakan barang yang tahan lama, seperti ember, gayung, botol, dsb. Menurut para reponden perabotan RT, meningkatnya pendapatan dikarenakan penggunaan murabahah secara utuh dalam menggunakan fungsinya, yakni penambahan barang dagangan. Bagi mereka, murabahah sangat membantu dalam hal penambahan modal selain mudah dalam pengajuan pinjaman juga mudah dalam pembayaran cicilan di tiap hari atau bulannya. 2). Pedagang Bumbu dapur Tabel 11 Daftar Pedagang Bumbu Dapur yang Terpilih sebagai Sampel Pedagang Sebelum Sesudah Bumbu Dapur 1 30,000 50,000 Bumbu Dapur 2 25,000 35,000 Bumbu Dapur 3 20,000 35,000 Bumbu Dapur 4 45,000 45,000 Bumbu Dapur 5 50,000 50,000 Bumbu Dapur 6 10,000 35,000 Sumber: Data tahun 2011 yang diolah Dari data yang diperoleh, sampel yang diambil kategori pedagang bumbu dapur terdapat peningkatan pendapatan dalam bentuk rupiah. Menurut beberapa responden, meskipun pembiayaan yang mereka SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 220 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... ajukan ditujukan untuk penambahan barang dagangan akan tetapi mereka tidak terlalu merasakan dalam peningkatan pendapatan. Hal tersebut dikarenakan terdapat faktor lain yang tidak dibahas dalam penelitian ini yang menjadi alasan para responden mengenai naiknya pendapatan. Di sisi lain, bagi mereka murabahah cukup membantu dalam melangsungkan kegiatan usahanya. Dapat disimpulkan bahwa meskipun pendapatan yang diperoleh tidak terlalu meningkat, para responden beranggapan bahwa murabahah memiliki peran dalam keberlangsungan usaha yang mereka jalani. 3). Pedagang Ikan Tabel 12 Daftar Pedagang Ikan yang Terpilih sebagai Sampel Pedagang Sebelum Sesudah Ikan 1 70,000 80,000 Ikan 2 40,000 40,000 Ikan 3 50,000 80,000 Ikan 4 70,000 100,000 Ikan 5 50,000 100,000 Ikan 6 80,000 80,000 Sumber: Data tahun 2011 yang diolah Dari data yang diperoleh, sampel yang diambil kategori pedagang ikan terdapat peningkatan pendapatan yang tidak jauh berbeda dari sebelumnya. Responden pedagang ikan 2 dan 8 tidak mengalami perubahan pendapatan. Responden pedagang ikan 2 berprofesi sebagai penjual ikan asin dan reseponden pedagang ikan 8 berprofesi sebagai penjual ikan basah. Pembiayaan yang diikuti oleh kedua responden tersebut digunakan untuk menghidupi keluarga selain menambah barang dagangan. Pembiayaan murabahah dirasa membantu sekali jika para responden sedang kesulitan keuangan untuk berdagang dan tambahan keuangan keluarga. Adapun para responden lainnya juga turut merasakan jika murabahah memiliki peran dalam keuangan usaha dan keluarganya. Naiknya pendapatan para responden adalah adanya peningkatan kulakan ikan dalam menambah variasi dagangannya. 4). Pedagang Daging Tabel 13 Daftar Pedagang Daging yang Terpilih sebagai Sampel Pedagang Daging 1 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Sebelum 50,000 Sesudah 100,000 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... Daging 2 Daging 3 Daging 4 Daging 5 Daging 6 50,000 30,000 50,000 70,000 30,000 221 100,000 30,000 50,000 70,000 100,000 Sumber:Data tahun 2011 yang diolah Dari 6 responden pedagang daging, terdapat 3 (tiga) responden pedagang daging yang tidak mengalami perubahan dalam memperoleh pendapatan setelah menggunakan pembiayaan murabahah yakni pedagang daging 3, 4, dan 5. Bagi responden, pembiayaan yang mereka ambil cukup membantu keuangan keluarga dalam memenuhi biaya hidup. Bagi responden daging 6, keuntungan yang diperoleh lebih terasa dan perekonomian keluarga terangkat, sehingga cukup membantu dalam pemenuhan biaya-biaya rumah tangga yang tidak terduga. 5). Pedagang Makanan Tabel 14 Daftar Pedagang Makanan yang Terpilih sebagai Sampel Pedagang Sebelum Sesudah Makanan 1 100,000 400,000 Makanan 2 200,000 200,000 Makanan 3 150,000 400,000 Makanan 4 60,000 60,000 Makanan 5 50,000 80,000 Makanan 6 75,000 150,000 Makanan 7 80,000 80,000 Makanan 8 150,000 150,000 Makakan 9 80,000 100,000 Sumber: Data tahun 2011 yang diolah Diketahui dari 9 responden yang diambil, terdapat 5 responden yang berada pada pendapatan di bawah Rp. 100.000,00 dan atau 4 dari 9 responden tidak mengalami peningkatan pendapatan atau tidak ada perbedaan setelah menggunakan murabahah. Hal ini disebabkan pembiayaan yang diajukan digunakan untuk penutupan modal pada saat kurang tercukupinya modal. Dengan kata lain, para responden kurang bisa memutar uang yang mereka peroleh dengan pengadaan SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 222 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... barang. Menurut para responden, kurang adanya dampak yang terlihat secara signifikan dikarenakan dagangannya merupakan suatu hal yang menyangkut selera, begitu juga menurut responden yang mengalami penambahan pendapatan. 6). Pedagang Buah Tabel 15 Daftar Pedagang Buah yang Terpilih sebagai Sampel Pedagang Sebelum Sesudah Buah 1 100,000 100,000 Buah 2 500,000 900,000 Buah 3 150,000 150,000 Buah 4 75,000 150,000 Buah 5 40,000 200,000 Buah 6 100,000 100,000 Buah 7 300,000 300,000 Buah 8 60,000 250,000 Buah 9 80,000 150,000 Buah 10 200,000 200,000 Sumber: Data tahun 2011 yang diolah Diketahui dari 10 responden, 5 di antaranya tidak merasakan dampak pendapatan dari pembiayaan yang diajukan. Sebaliknya, 5 responden lainnya merasakan dampak pembiayaan, khususnya responden buah 2. Tidak dirasakannya dampak dari pembiayaan sebagai meningkatnya pendapatan karena barang dagangannya memiliki jumlah yang sama dengan sebelumnya dan permintaan pasar tetap sama. Dalam hal ini, pembiayaan digunakan sebagai penutup modal jika dirasa kurang dalam kulakan. Adapun responden buah 2, dirasakannya dampak dari pembiayaan karena selama angsuran atau cicilan diambil dari tabungan. Dalam hal ini, pendapatan di tiap harinya disisihkan untuk menabung dan berinvestasi. 7). Pedagang Sayur Tabel 16 Daftar Pedagang Buah yang Terpilih sebagai Sampel Pedagang Sebelum Sesudah Sayur 1 50,000 80,000 Sayur 2 30,000 70,000 Sayur 3 10,000 30,000 Sayur 4 60,000 60,000 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... Sayur 5 30,000 Sayur 6 35,000 Sayur 7 30,000 Sayur 8 25,000 Sayur 9 50,000 Sayur 10 100,000 Sayur 11 50,000 Sayur 12 50,000 Sayur 13 15,000 Sayur 14 20,000 Sayur 15 5,000 Sayur 16 70,000 Sayur 17 45,000 Sayur 18 10,000 Sayur 19 25,000 Sayur 20 50,000 Sayur 21 60,000 Sumber: Data tahun 2011 yang 223 30,000 50,000 30,000 45,000 50,000 100,000 70,000 100,000 40,000 20,000 20,000 130,000 45,000 30,000 25,000 80,000 60,000 diolah Dari data yang diperoleh terdapat 9 (Sembilan) responden yang tidak mengalami peningkatan pendapatan, akan tetapi merasakan dampak dari pembiayaan murabahah. Hal ini dikarenakan, keuangan dagangan dan atau keluarga terbantu oleh adanya mengikuti pembiayaan murabahah. Tidak meningkatnya pendapatan dikarenakan kurang adanya kemauan untuk menambah barang dagangan dengan alasan dagangannya merupakan barang basah sehingga cepat layu. Selain itu, terdapat banyak penjual yang menjual sayur-mayur. Adapun responden yang mengalami peningkatan pendapatan karena mereka beranggapan dengan banyaknya variasi sayuran akan ada daya minat tersendiri bagi para konsumennya meskipun tidak bervolume banyak. Dalam penelitian ini menggunakan alat analisis t-berpasangan (Paired t-test). Paired t-test merupakan salah satu metode pengujian hipotesis dimana data yang digunakan untuk kasus yang memperoleh 2 (dua) macam keadaan dalam 1 (satu) sampel, yaitu data dari perlakuan pertama dan data dari perlakuan kedua.23 Adapun hasil uji rata-rata pendapatan anggota yang diperoleh dari hasil Paired t-test dengan menggunakan SPSS versi 10 dapat dilihat pada tabel 17. 23 http://ineddeni.wordpress.com/ diakses pada tanggal 02 Oktober 2011. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... 224 Tabel 17 Paired Samples Statistics Mean N Sebelum 80,322.58 62 Sesudah 159,919.35 62 Sumber: Data tahun 2011 yang diolah. Hasil Paired t-test pada tabel 3.1 di atas menunjukkan bahwa ratarata pendapatan yang diperoleh anggota BMT BIF Gedong Kuning Yogyakarta adalah Rp. 80.322,58, sedangkan pendapatan sesudah menggunakan pembiayaan murabahah rata-rata yang diperoleh oleh anggota atau sampel diperoleh Rp. 159.919,35 dengan jumlah sampel 62 orang anggota. Peningkatan rata-rata pendapatan yang diperoleh adalah sebesar Rp. 79.596,77 atau mencapai 50% dari pendapatan sebelum penggunaan pembiayaan murabahah. Dari hasil rata-rata pendapatan pada paragraf sebelumnya, ditemukan hasil korelasi atau hubungan antara pendapatan sebelum dan sesudah penggunaan pembiayaan murabahah. Hasil yang ditemukan melalui paired t-test dengan aplikasi SPSS versi 10 ditunjukkan dari tabel 18. Tabel 18 Paired Samples Correlation N Correlation Sebelum dan Sesudah 62 0.813 Sumber: Data tahun 2011 yang diolah. Hasil hubungan antara pendapatan sebelum & sesudah dari sampel yang diperoleh sebanyak 62 orang, dapat disimpulkan bahwa pembiayaan yang digunakan memiliki hubungan kuantitatif sebesar 81,3% dengan permodalan anggota. Sehingga, dengan perolehan hasil yang didapat dari SPSS 10 terdapat hubungan secara garis lurus antara pendapatan dan pembiayaan yang diajukan oleh anggota BMT BIF Gedong Kuning Yogyakarta, dimana semakin besar peminjaman yang diambil semakin besar juga penghasilan atau pendapatan yang diperoleh oleh anggota. Tabel 19 Paired Samples Test T Mean Sebelum – Sesudah -79596.774 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 std. deviation 261842.93 -2394 Sig. (2tailed) .020 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... 225 Pada tabel di atas terlihat bahwa mean sebesar -79596,774 dengan standar deviasi sebesar 261842,93. Nilai sebesar -2394. Sedangkan nilai Sig (2-tailed) sebesar 0,020 < 0,05. Dari perhitungan paired samples test melalui program SPSS 10, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan rata-rata pendapatan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendapatan berdampak positif pada pendapatan anggota sesudah menggunakan pembiayaan murabahah BMT BIF Gedong Kuning Yogyakarta Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 62 sampel terdapat 25 orang atau 40% dari sampel yang terkumpul berada pada pendapatan tetap atau tidak ada perubahan pendapatan antara sebelum dan sesudah menggunakan pembiayaan murabahah. Sedangkan 37 orang atau 60% mengalami perubahan pendapatan setelah menggunakan pembiayaan murabahah, yakni adanya peningkatan setelah periode pinjaman pembiayaan murabahah. Dari hasil uji statistik, pembiayaan murabahah memiliki dampak pada pendapatan anggota sebelum menggunakan murabahah, hal ini ditunjukkan dengan perolehan rata-rata pendapatan Rp. 80.322,58 dan setelah menggunakan murabahah diperoleh rata-rata pendapatan Rp. 159.919,35. Dari perolehan hasil secara statistik, anggota mengalami peningkatan pendapatan rata-rata sebesar Rp. 79.596,77 atau 50% dari pendapatan sebelum menggunakan pembiayaan murabahah. Dapat disimpulkan, anggota yang menggunakan murabahah pada BMT BIF Gedong Kuning mengalami peningkatan secara signifikan sebesar 50%. Di lain sisi, jika dilihat dari uji paired samples test, diperoleh nilai signifikansi atau sig 2-tailed sebesar 0,2 dimana kurang dari 0,5 yang berarti pembiayaan murabahah memiliki dampak pada pendapatan anggota secara signifikan. Hasil penelitian secara kuantitatif penelitian ini mempertegas hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa hubungan antara pendapatan dan penambahan modal menunjukkan hubungan yang searah. Semakin bertambahnya modal yang dimiliki, maka akan meningkat pendapatan yang akan dicapai. Begitu pula sebaliknya, sedikitnya modal yang dimiliki maka sedikit pula pendapatan yang akan diraih. Berkurangnya pendapatan yang diperoleh dapat mengakibatkan tersendatnya angsuran, yang dampaknya akan dirasakan oleh BMT di mana akan mengalami penurunan kas karena kredit macet, dan bagi anggota, akan mengalami penumpukan angsuran atau cicilan pinjaman. Secara deskriptif, anggota BMT BIF Gedong Kuning Yogyakarta yang merupakan mayoritas anggotanya berprofesi sebagai pengusaha mikro di pasar tradisional. Mereka memiliki keterbatasan modal yang merupakan hal pokok yang harus dipenuhi untuk mendukung jalannya usaha yakni dengan cara menggunakan fasilitas atau produk yang ditawarkan, di antaranya adalah pembiayaan murabahah. Pada BMT BIF SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 226 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... Gedong Kuning Yogyakarta, murabahah digunakan untuk pembelian barang konsumsi maupun barang dagangan (tambah modal) yang pembayarannya dilakukan secara tangguh (jatuh tempo atau angsuran) dengan akad wakalah (diwakilkan kepada anggota) atas pembelian barang yang diinginkan oleh anggota.24 Jadi, BMT menerima rancangan dana yang nantinya berfungsi sebagai syarat pengajuan pembiayaan murabahah dimaksudkan untuk menelaah lebih lanjut penggunaan dana yang diajukan dan pada saat pengajuan diterima, anggota menerima dana dengan atas dasar akad wakalah (diwakilkan dana atas anggota) yang dilanjutkan dengan kesepakatan antara BMT dan anggota atas keuntungan yang diambil oleh BMT beserta penentuan tabungan dan cicilan di tiap angsurannya. F. Kesimpulan UMKM memberi kontribusi terhadap Indonesia dengan meningkatkan PDB negara. Namun masalah yang selalu dihadapi oleh UMKM adalah masalah pemodalan dan prosedur administrasi dalam pengajuan financial/ pembiayaan di bank, untuk meningkatkan daya saing UMKM. Masalah ini sekarang mulai bisa diatasi dengan berdirinya BMTBMT. Dari hasil penelitian ini, dengan menggunakan alat analisis paired sample t test, dapat diketahui bahwa BMT ternyata mampu meningkatkan daya saing para responden UMKM. Para responden yang mengambil pembiayaan murobahah mengalami peningkatan pendapatan sekitar 50% dibanding sebelum mengambil pembiayaan. Dengan demikian pemerintah Indonesia harus memberi iklim yang mendukung perkembangan BMT-BMT. Karena dengan semakin banyaknya BMT maka alternatif pembiayaan bagi UMKM juga semakin beragam, sehingga masalah UMKM terkait pemenuhan modal baginya teratasi. Dengan teratasi masalah tersebut maka UMKM di Indonesia ini semakin berkembang, sehingga kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Karena sedikit banyak UMKM ini membantu mengurangi pengangguran di Indonesia. 24 Wawancara dengan Fitri, Bagian Penelitian dan Skripsi, Gedong Kuning, Yogyakarta, tanggal 23 September 2011. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... 227 Daftar Pustaka Adinda, Peran UMKM dalam Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, http://adindaa08.student.ipb.ac.id Azis, M. Amin, Tata Cara Pendirian BMT, pkes publishing,2008 Ridwan, Muhammad, Manajemen Baitul Maal wa Tamwil, UII Press, 2002. Ridwan, Muhammad, Sistem dan Prosedur Prndirian Baitul Mal wat Tamwil, Citra Media, 2006. Rivai, Veithzal, dan Veithzal, Andria Permata, Islamic Financial Management: Teori, Konsep, dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi, dan Mahasiswa, Rajawali Press, Edisi 1, 2008 Santoso Singgih, SPSS Versi 10: Mengolah Data Statistik Secara Profesional, PT. Gramedia Jakarta, 2002 UU N0. 20 Tahun 2008 http://ineddeni.wordpress.com/ http://Kompas.com http://tariles41.blogspot.com SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012 228 Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil... SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012