Peran Intelektual dalam Ranah Publik M. Nurdin - AIFIS

advertisement
ISSN : 1412-2367
SOSIO-RELIGIA
Jurnal Sosial Keagamaan
Vol. 10, No. 2, Mei 2012
Peran Intelektual dalam Ranah Publik
M. Nurdin Zuhdi
Jurnal Sosial Keagamaan
Politik Hukum Ekonomi Syari’ah
Pasca Reformasi di Indonesia
Lukman Santoso
Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Hukum Menuju Peningkatan Akreditasi
Ach. Tahir
Hubungan Agama dan Negara dalam
Pemikiran Politik Islam
Muh. Syamsuddin
Vol. 10, No. 2, Mei 2012
Lingkar Studi Ilmu Agama dan Ilmu Sosial (LinkSAS)
Yogyakarta
Jurnal Sosial Keagamaan
ISSN: 1412-2367
Vol. 10, No. 2, Mei 2012
Pemimpin Redaksi
Malik Ibrahim
Redaktur Pelaksana
Yasin Baidi
Tim Redaksi
Wawan GA Wahid
Ahmad Bunyan Wahib
Fuad Arif Fudiyartanto
Ahmad Bahiej
Budi Ruhiatudin
Misnen Ardiansyah
Slamet Haryono
Udiyo Basuki
Redaktur Ahli
Machasin
Akh. Minhaji
Syamsul Anwar
Ainurrofiq Dawam
Alamat Redaksi
Perum Taman Giwangan Asri I D-12
Telp. (0274) 384835 Yogyakarta
E-mail: [email protected]
Diterbitkan oleh:
Lingkar Studi Ilmu Agama dan
Ilmu Sosial (LinkSAS)
LinkSAS (Lingkar Studi Ilmu
Agama dan Ilmu Sosial),
merupakan sebuah forum
diskusi yang membahas seputar
kajian agama dan sosial
(humaniora).
Daftar Isi
Editorial
v
Hubungan Agama dan Negara dalam Pemikiran Politik Islam
Muh. Syamsuddin
1-22
Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan dalam Tatanan Hukum:
Studi Atas Keberadaan Ahmadiyah di Yogyakarta
Nurainun Mangunsong
23-48
Peran Intelektual dalam Ranah Publik
M. Nurdin Zuhdi
49-72
Kejahatan Terhadap Nyawa: Sejarah dan Perkembangan
Pengaturannya dalam Hukum Pidana Indonesia
Ahmad Bahiej
73-100
Politik Hukum Ekonomi Syari’ah Pasca Reformasi di Indonesia
Lukman Santoso
101-122
Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Hukum Menuju
Peningkatan Akreditasi
Ach. Tahir
123-144
Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif di Indonesia Melalui
Demokrasi Deliberatif Habermas
Ulya
145-166
Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi Eksklusif
Berdasarkan Hukum Laut Internasional
Lindra Darnela
167-180
Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa
Suciati
181-202
Peranan Baitul Maal Wa Tamwil dalam Rangka Peningkatan
Daya Saing Usaha-Usaha Kecil dan Menengah di Daerah
Istimewa Yogyakarta
Sunarsih
203-228
Submission
Naskah yang dikirim ke redaksi SOSIO-RELIGIA akan dipertimbangkan untuk dimuat jika memenuhi kriteria sebagai berikut.
1. Judul berkaitan dengan kajian keagamaan dan sosial.
2. Bersifat ilmiah.
3. Naskah dapat menggunakan bahasa Indonesia, Arab, Inggris atau
asing lainnya dengan disertai abstrak berbahasa Indonesia.
4. Mencantumkan kata kunci, referensi lengkap dengan model footnote
(catatan kaki) dan disertai daftar pustaka.
5. Diketik spasi ganda (2 spasi) program MS Word dengan panjang
naskah 15-30 halaman kwarto.
6. Menyertakan naskah asli (print out) satu buah dengan disertai
disket/CD (master).
Contoh model catatan kaki:
1
2
3
Fuad Hasan, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1990), p. 145.
Ibid., p. 146.
Fuad Hasan, Pengantar Filsafat, p. 147.
Daftar pustaka ditulis secara alfabetis.
Contoh model penulisan daftar pustaka:
Daftar Pustaka
Brinton, Crane, The Shaping of The Modern Mind, New York: A Mentor
Book, 1989.
Eddwards, Paul, The Encyclopedia of Philosophy, Vol. III, New York:
Macmillan Publishing Co., Inc. and The Free Press, 1967.
Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu, 1995.
Merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan
oleh LinkSAS (Lingkar Studi Ilmu Agama dan
Ilmu Sosial), sebuah forum diskusi yang
Jurnal Ilmu Agama dan Ilmu Sosial
membahas seputar kajian agama dan sosial
(humaniora). Redaksi membuka kesempatan kepada berbagai kalangan untuk
berpartisipasi dalam mengembangkan wacana keislaman yang humanis dengan karyakarya aspiratif-komunikatif. Tulisan tidak mencerminkan mainstream SOSIO-RELIGIA
dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
SOSIO-RELIGIA
v
Editorial
Jurnal Sosrel Vol. 10, No. 2 Mei 2012 kali ini hadir dengan sepuluh artikel dengan tema-tema
aktual dan beragam. Diawali artikel dengan judul Hubungan Agama dan Negara dalam Pemikiran Politik
Islam yang ditulis oleh Muh. Syamsuddin menjelaskan perdebatan mengenai hubungan agama dan
negara. Dengan analisis pemikiran politik Islam yang berusaha menemukan titik temu antara
hubungan agama dan negara baik pada masa lalu hingga sekarang. Artikel dengan judul Ahmadiyah
dan Hak Berkeyakinan dalam Tatanan Hukum: Studi Atas Keberadaan Ahmadiyah di Yogyakarta yang
ditulis oleh Nurainun Mangunsong menjelaskan tentang keberadaan Ahmadiyah sebagai satu gerakan
keagamaan di Yogyakarta. Selain itu, tulisan ini ingin mendudukkan “hak berkeyakinan Ahmadiyah”
dalam tatanan hukum. Artikel dengan judul Peran Intelektual dalam Ranah Publik yang ditulis oleh M.
Nurdin Zuhdi menarik untuk dicermati bersama. Kajian tentang intelektual publik menjadi tema
debat publik yang hangat diperbicangkan dalam dasawarsa terakhir ini. Mengingat selama ini
intelektual publik sebagai ilmuan, merupakan para pemikir yang banyak memiliki gagasan dan
pemikiran. Namun bagaimanakah seharusnya gagasan-gagasan para intelektual ini dalam
menyelesaikan problem-problem aktual kekinian yang ada di ranah publik.
Artikel dengan judul Kejahatan Terhadap Nyawa: Sejarah dan Perkembangan Pengaturannya dalam
Hukum Pidana Indonesia ditulis oleh: Ahmad Bahiej menjelaskan bahwa sejarah hukum yang dikenal
manusia di dunia, terdapat aturan tentang larangan kejahatan terhadap nyawa. Hal ini menunjukkan
bahwa naluri dasar kemanusiaan semua bangsa di dunia menilai bahwa menghilangkan nyawa orang
lain adalah perbuatan yang dianggap melanggar nilai keadilan dalam diri manusia itu sendiri. Artikel
dengan judul Politik Hukum Ekonomi Syari’ah Pasca Reformasi di Indonesia yang di tulis oleh Lukman
Santoso menjelaskan tentang Era Reformasi menjadi wujud gejala nyata transformasi hukum Islam
dalam bentuk perundang-undangan yang merupakan produk interaksi antar elite politik Islam
dengan elite kekuasaan (the rulling elite). Lahirnya produk hukum bidang ekonomi syari’ah juga
dapat dipahami sebagai bentuk apresiasi dan akomodasi pemerintah terhadap hukum yang hidup di
masyarakat (living law). Perkembangan ekonomi syari’ah sedikit banyak ditentukan oleh dinamika
internal umat serta hubungan yang harmonis antara umat Islam dan negara.
Artikel dengan judul Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Hukum Menuju Peningkatan
Akreditasi yang ditulis oleh Ach. Tahir menjelaskan bahwa kurikulum merupakan jantung pendidikan
yang menentukan semua gerak kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh institusi pendidikan
yang didasarkan pada apa yang direncanakan dalam kurikulum. Kemudian artikel dengan judul
Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif di Indonesia Melalui Demokrasi Deliberatif Habermas yang ditulis
oleh Ulya menjelaskan tentang konsep demokrasi yang ditawarkan Habermas dikenal dengan nama
demokrasi deliberatif. Konsep demokrasi deliberatif ini secara tidak langsung telah menyatu dengan
warisan tradisi nenek moyang kita. Salah satu indikator kemenyatuan konsep demokrasi deliberatif
dengan warisan tradisi nenek moyang Indonesia adalah melekatnya tradisi perbincangan dalam
rangka bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Artikel dengan judul Upaya Indonesia dalam
Mengatur Zona Ekonomi Eksklusif Berdasarkan Hukum Laut Internasional yang ditulis oleh Lindra
Darnela menjelaskan untuk mengatur wilayah kelautan di Indonesia, pemerintah mengeluarkan
Undang-undang No 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Selain itu, telah
dilakukan pula beberapa perundang-undangan yang berkaitan dangan masalah pengelolaan dan
konservasi sumber daya alam hayati. Upaya lain yang dilakukan Indonesia adalah melakukan
kerjasama baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara-negara lain.
vi
Artikel dengan judul Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa yang ditulis oleh Suciati
Menjelaskan bahwa ajaran mistisisme/sufisme di Indonesia banyak dipengaruhi oleh tradisi Hindu.
Ajaran ini banyak terdapat pada masyarakat Jawa yang masuk dalam aliran kepercayaan/kebatinan.
Kompromi terhadap kebudayaan lokal yang menafikan syariah membawa konsekuensi sendiri bagi
eksistensi sufisme dalam pencapaian derajat spiritual tertinggi dalam beragama. Resiko fatal terhadap
pelanggaran syariah agama terlihat ketika mereka yang tercatat menjadi pengikut aliran kebatinan
tetap melaksanakan kebiasaan agama hindu (mis: slametan kematian) meskipun mereka mengaku
dirinya Islam. Artikel terakhir dengan judul Peranan Baitul Maal Wa Tamwil dalam Rangka Peningkatan
Daya Saing Usaha-Usaha Kecil dan Menengah di Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditulis oleh Sunarsih
menjelaskan tentang bagaimana peran BMT terhadap peningkatan daya saing UMKM yang ada.
UMKM di Indonesia lebih banyak dibanding pengusaha besar. Oleh karena itu, UMKM mempunyai
kontribusi yang besar terhadap pendapatan nasional Indonesia. Namun UMKM memiliki masalah
klasik yaitu masalah permodalan dan proses adiministrasi untuk mengakses pembiayaan di
perbankan besar. Penulis menggunakan data primer dan dianalisis dengan alat analisis paired sample
t test serta analisis diskriptif.
Hubungan Agama dan Negara dalam
Pemikiran Politik Islam
Oleh: Muh. Syamsuddin 
Abstract
The debate over the relationship between religion and the state is never finished,
from ancient times until the reform era. The first group states that the relationship
between religion and state is a unity that can not be separated. In contrast, other groups
who claim that religion and state is a distinct and separate both concept and
implementation. The debate over the relationship between religion and the state certainly
has implications for the constitutional system in a country, as well as the impact on law
enforcement to do with actual problems such as the issue of the establishment of an
Islamic state or secular. In Indonesia, the relationship between religion and the state is
experiencing ups and downs. There is a harmonious relationship in the future and there
is a period where the relationship under strain. One of the most heartbreaking tension is
the new order of the days. Where new order with all its power to the people trying to
internalize Pancasila accompanied by violent means and state terror. Therefore, in this
paper the analysis of Islamic political thought will try to find common ground between
religion and state relations both in the past to the present.
Key words: religion, the state and political Islam.
Abstrak
Perdebatan mengenai hubungan agama dan negara tidak pernah selesai, dari
zaman dahulu hingga era reformasi ini. Golongan pertama menyatakan bahwa
hubungan agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Sebaliknya, golongan yang lainnya menyatakan bahwa agama dan negara
merupakan suatu yang berbeda dan terpisah baik konsep maupun implementasinya.
Perdebatan hubungan agama dan negara tentu berimplikasi terhadap sistem
ketatanegaraan dalam sebuah negara, serta berdampak kepada penegakan hukum
kaitannya dengan problem-problem actual misalnya isu negara Islam atau kebebasan
beragama dan berkeyakinan. Di Indonesia, hubungan agama dan negara sebenarnya
mengalami pasang surut. Ada di masa hubungan bersifat harmonis dan ada masa
dimana hubungan mengalami ketegangan. Salah satu ketegangan yang paling
memilukan adalah di masa Orde Baru. Dimana dengan segala kekuasaannya Orde
Baru berupaya menginternalisasikan Pancasila kepada masyarakat diiringi dengan
cara-cara kekerasan dan teror negara. Oleh karena itu, dalam tulisan ini analisis
dengan pemikiran politik Islam akan berusaha menemukan titik temu antara
hubungan agama dan negara baik pada masa lalu hingga sekarang.

Peneliti Pada Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. E-mail:
[email protected]
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
2
Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara...
Kata kunci: agama, negara, politik Islam.
A. Pendahuluan
Hubungan antara agama dan negara atau antara politik dan agama,
sudah lama menjadi perbincangan para sarjana, baik dari kalangan yang
berpegang teguh pada agama maupun dari kalangan yang berpandangan
sekuler. Bagi umat Islam, munculnya topik perbincangan tersebut
merupakan hal yang wajar, menganggap risalah Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW adalah agama yang penuh dengan ajaran dan
undang-undang yang bertujuan untuk membangun manusia guna
memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.1 Namun politik
Islam tidak bisa lepas dari agama yang merupakan nilai dan intinya.
Sebagai contoh Islam dapat dipahami sebagai fenomena religius, kultural
dan politik.
Dasar-dasar semua aliran politik dalam Islam yang berkembang
selalu berkaitan dengan agama maupun jauh meninggalkan agama karena
faktor-faktor di luar dasar-dasar agama itu sendiri.2 Ia adalah suatu
kumpulan fakta yang wajib diwujudkan menjadi kenyataan oleh para
pemeluknya, dan ia juga adalah metode untuk mewujudkannya. Prinsipprinsip metode tersebut adalah sudah termuat secara garis besar di dalam
al-Qur’an.3 Islam sebagai instrumen politik, Islam bukan sekedar tatanan
religius melainkan sebuah cara hidup yang sempurna bagi individu,
masyarakat, bangsa dan negara.4
Dalam hal ini, Islam menekankan terwujudnya keselarasan antara
kepentingan duniawi dan ukhrawi. Menurut Muhammad Abduh kaum
Muslim tidak perlu risih dengan penegasannya bahwa Islam memadukan
dunia dan akhirat. Islam adalah agama umum dan syari’at yang
komprehensif. Oleh karenanya Islam mengandung ajaran yang integratif
antara tauhid, ibadah, syariah, akhlaq dan moral serta prinsip-prinsip
umum tentang kehidupan masyarakat.5
1 Nurcholish Madjid, “Kata Sambutan dalam Munawir Sjadzali Islam dan Tata
Negara Ajaran Sejarah dan Pemikiran”, (Jakarta: UI Press, 1990), p. V. Lihat juga: Aini
Linjakumpu, Political Islam in the Global World (Ithaca Press, 2008), p. 6. Lihat juga
Tareq Y. Ismael dan Ismael dan Jacquelines Ismail (eds) “Politic Heritage of Islam “, In
Tareq Y. Ismael and Jacquelines Ismael (eds) Politics and Government in the Middle
East and North Africa, (Miami: Florida International University Press, 1991), p 44.
2. M. Abu Zahrah, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah,
(Ponorogo: Trimurti, 1991), p 45.
3 Ja’far Idris, Islam dan Perubahan Sosial, (Bandung: Mizan, 1984), p. 30-31.
4 Aini Linjakumpu, Political Islam in the Global (Ithaca Press, 2008), p. 8.
5 J. Suyuthi, Fiqih Siyasah, Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995), p. xi.dan lihat Muhammad Abduh, Ivonne Haddad, Perintis Pembaruan Islam dalam
Ali Rahnema (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam (Bandung: Mizan, 1996), p. 62. dan lihat
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara...
3
Dalam Islam tidak dikenal pemisahan (deferensiasi) antara yang profan
dan yang sakral (politik dan agama) seperti agama Kristen. Sementara
dalam Islam berlaku penyatuan agama dan negara. Sebaliknya Islam
memandang bahwa politik merupakan tugas keagamaan dan keduniawian
sekaligus yang dilaksanakan secara sistematis.6 Pada dasarnya, gereja dan
negara itu bertentangan, dengan batas pertentangan antara yang profan
dan yang sakral. Setidak-tidaknya, inilah pernyataan yang diulang-ulang
untuk membedakan kedua agama tersebut. Oleh karena itu, politik
merupakan aktivitas konkret manusia dalam kehidupannya di dunia, tidak
dipahami hanya sekedar pemenuhan tugas keduniawian yang lebih banyak
mengejar kepentingan-kepentingan pragmatis dengan orientasi yang
bersifat jangka pendek. Praktik diberi muatan keagamaan, yaitu nilai-nilai
dan moralitas keagamaan sehingga politik menemukan kenyataan
hakikinya sebagai refleksi tanggungjawab (amanah) manusia, baik secara
kemanusiaan maupun secara ketuhanan.7
Berdasarkan uraian di atas, Islam dipandang berbeda dengan banyak
agama lain, sebagaimana diungkapkan oleh Joachim Wach bahwa pada
agama Islam, pertentangan dibanding dengan yang ada antara gereja dan
negara dalam agama Kristen zaman tengah tidak bisa timbul, karena dalam
Islam tidak pernah ada hal yang semacam beda keagamaan (acclessiatical
body) apalagi konstitusi keagamaan hirarkhis.8 Secara stereotipical, Marshall
Hudgson melihat keseluruhan sejarah Islam sebagai venture atau usaha
tidak kenal berhenti untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan
dan venture itu melibatkan orang-orang Muslim dalam praktik semua
bidang kegiatan hidup, termasuk politik. Pelibatan dalam bidang politik,
oleh Huston Smith dilihat sebagai perwujudan dari energi atau kekuatan
yang diperoleh umat Islam, karena mereka tunduk dan patuh kepada
Tuhan.9 Dengan kata lain, tenaga pendorong untuk menggarap persoalanpula Yusuf Qardhawy, Fiqih Negara, Penerjemah Safril Halim (Jakarta: Rabboni Press,
1977) p. 11.
6 L. Carl Brown, Wajah Islam Politik Pergulatan Agama dan Negara Sepanjang Sejarah
Umat, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003)., dan lihat Anjar Nugroho, “Politik Islam
Perspektif Sekularisme: Studi Kritis Pemikiran Ali Abd Al- Raziq”, dalam Jurnal AsySyir’ah, Vol. 39, No. 11, Th. 2005, p. 280, dan lihat pula Kalim Siddiqui, Seruan-seruan
Islam: Tanggung Jawab Sosial dan Kewajiban Menegakan Syari’at (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), p. 119.
7 Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam dan Pluralisme Budaya dan Politik (Refleksi Teologi
untuk Aksi dalam Keberagamaan dan Pendidikan (Yogyakarta: Sipress, 1994), p. 42.
8 Nurcholish Madjid, Kata Pengantar dalam Syafii Maarif, Islam dan Masalah
Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1987), p ix., dan
Lihat Joachim Wach, The Comparative Study of Religion, ed, Joseph M. Kitagawa, (New York
and London: Columbia University Press, 1966), p. 4.
9 Nurcholish Madjid, Kata Sambutan dalam Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara, Ajaran , Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), p. vi.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
4
Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara...
persoalan duniawi dengan kesungguhan luar biasa didukung oleh
kepasrahan total mereka kepada kehendak Ilahi.
Di antara agama yang ada di dunia ini, barangkali hanya Islam yang
memiliki hubungan erat dengan politik yang menunjukkan salah satu dari
karakteristik perkembangan dalam sejarah. Menurut Muhammad Asad10,
ia menegaskan bahwa, mustahil bagi kita untuk memperoleh penilaian
yang tepat tentang Islam tanpa mencurahkan perhatian yang sepenuhnya
kepada politik. Pernyataan Asad ini, semakin menemukan pembenarannya
bila ditarik ke sejarah masa hidup Nabi di Madinah. Pola hubungan
komunitas Muslim dan komunitas non Muslim yang diwujudkan oleh
Nabi dalam bentuk konstitusi atau disebut Piagam Madinah merupakan
contoh kongkrit untuk tidak berlebihan menggarapnya sebagai modal
keterkaitan Islam dengan politik.
Dalam hal ini, sejumlah persyaratan pokok tumbuhnya kehidupan
masyarakat madani yang dikembangkan Nabi Muhammad SAW adalah
prinsip kesamaan, egaliter, keadilan, dan partisipasi.11 Oleh karenanya,
Bernard Lewis12 mengatakan bahwa, Islam sejak masa hidup pendirinya
adalah sebuah negara, dan pertalian antara negara dan agama tertancap
tanpa dapat terhapuskan dalam ingatan dan kesadaran pengikut setianya di
dalam kitab suci, sejarah dan pengalamannya. Sejumlah pertanyaan yang
ingin dijawab dalam tulisan ini adalah bagaimana hubungan agama dan
negara dalam pemikiran politik Islam. Di dalam tulisan ini penulis akan
memaparkan hubungan agama dan negara dalam pemikiran politik Islam
baik pada masa lalu hingga sekarang.
B. Hubungan antara Islam dan Politik
Politik tidak lahir di masa Nabi Muhammad SAW, karena sejak
pertama kali manusia saling berinteraksi dan mengangkat pemimpin
diantara mereka, itu artinya politik sudah ada. Namun karakter dunia
politik yang terjadi di masa sebelum dan semasa Nabi Muhammad itu
penuh dengan kelicikan dan kebusukan. Walau begitu, semua aktivitas
tersebut tetaplah bernama politik, karena memang makna utama politik
adalah pengelolaan urusan manusia; sedangkan baik atau buruknya
pengelolaan itu urusan lain. Perbedaan utama antara politik umum (assiyasah al-‘ammah) dengan politik (Islam as-siyasah as-syar‘iyyah) itu adalah
pada standar syari’at Islam. Sejak awal dakwahnya, Nabi Muhammad
10 Muhammad Asad, Pemerintahan dan Azas-azasnya, dalam Salim Azzam (ed),
Beberapa Pandangan tentang Pemerintahan Islam, (Bandung: Mizan, 1983), p. 70.
11 Bahtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, (Yogyakarta:
Galang Press 2001), p. 81
12 Bernard Lewis, Kebangkitan Islam di Mata Seorang Sarjana Barat, (Bandung: Mizan,
1983), p. 50., dan lihat Akram Dhiyauddin Umari, Masyarakat Madani Tinjauan Historis
Kehidupan Nabi, (Jakarta; Gema Insani Press, 1999), p. 77-78.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara...
5
sangat intens mengajarkan prinsip-prinsip politik, khususnya setelah hijrah
ke kota Madinah. Nabi Muhammad membangun ulang konsep politik
yang selama ini tersebar di umat-umat lain. Membangunnya dengan
sentuhan Islam yang lebih manusiawi, bernilai dan rasional.13
Dalam sejarah pemikiran politik, tak terkecuali pemikiran politik
Islam, pencarian konsep tentang negara merupakan salah satu isu yang
menjadi pusat perhatian para pemikir dan filsuf sejak masa klasik hingga
masa modern dalam proses penemuan mereka terhadap bentuk ideal
masyarakat manusia. Dalam dinamika berikutnya, pemikiran politik Islam
tidak hanya merespons intervensi eksternal, yang selama ini dituduh
sebagai sumber malapetaka di dunia Islam. Kekuatan eksternal juga telah
memapankan eksistensinya di dunia Islam dengan membentuk
seperangkat sistem kemasyarakatan yang cukup kokoh dalam
menyebarkan pengaruhnya. Sepintas, banyak orang yang berpendapat
bahwa persoalan hubungan agama dan negara merupakan sesuatu yang
sudah selesai. Namun, jika diamati secara lebih dalam, hal itu masih
merupakan suatu persoalan.14
Secara umum, ada dua kekuatan yang menjadi sumber pokok dari
sosial kontrol, yaitu agama dan politik. Seringkali keduanya berfungsi
secara integral di dalam masyarakat, inilah yang seringkali disebut sebagai
religiopolitical system. Komponen ideologi dalam sistem ini terdapat dalam
setiap agama. Dalam konteks ini ideologi politik sekuler tidak eksis, dan
legitimasi pemerintah didasarkan pada ide-ide agama. Religiopolitical system
merupakan sistem yang terintegrasi dimana pemerintah, ulama, ideologi
agama, norma agama, dan kekuatan memaksa dari pemerintah
dikombinasikan dalam rangka memaksimalkan stabilitas masyarakat.
Dalam konteks politik, domain Islam dibagi menjadi dua. Pertama,
domain yang sudah ada teks syar’i. Domain politik yang mempunyai teks
syar’i inilah yang termasuk tsawabit, yaitu dalil-dalil yang pasti (qath’i).
Referensi dalil-dalil yang tsawabit adalah teks-teks yang ada dari al-Qur’an,
sunnah dan ijma umat Islam sehingga semua yang ada dalam ketiga hal
tersebut menjadi sebuah ilmu yang wajib diamalkan dan teori yang harus
dipraktikkan.15 Di dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman dalam QS. AlHasyr Ayat 7
13
Muhammad Elvandi, Inilah Politikku, (Solo: Era Adicitra Intermedia, 2011), p. 7-
8.
Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi
(Yogyakarta: Galang Press, 2001), p 158, lihat Khadiq, Gerakan Politik Umat Islam Indonesia
di Daerah: Revolusi, Orde Lama, dan Orde Baru, dalam M. Damami Zein (editor) Wacana Politik
Islam Kontemporer, (Yogyakarta: SUKA Press, 2007), p. 5-6
15 Lihat Muhammad El-Fandi, Inilah Politikku, (Solo: Era Adicitra Intermedia,
2011), p. 204.
14
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
6
Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara...
ُ ‫الر ُس‬
َّ ‫َوَما آتَا ُك ُم‬
َ‫ول فَ ُخ ُذوهُ َوَما نَ َها ُكم َعنهُ فَان تَ ُهوا َواتَّ ُقوا اللَّهَ إِ َّن اللَّه‬
ِ ‫يد العِ َق‬
‫اب‬
ُ ‫َش ِد‬
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
Ayat di atas menegaskan referensi Islam secara umum, termasuk
politik Islam pada khususnya. Kedua sumber itulah yang memberikan
penjelasan tentang asas politik Islam dan prinsip-prinsip globalnya. Atau
seperti dijelaskan dalam teks sunnah tentang cara mengambil kebijakan
politik, bahwa Abu Bakar dalam kebijakan politiknya, jika ia menemukan
sebuah konflik, ia akan meninjaunya dari referensi kitabullah, jika ia
mendapatkannya maka ia akan menggunakannya untuk menyelesaikan
persoalan itu. Tapi jika tidak menemukannya dalam kitabullah maka ia
mencari tahu dari sunnah Rasulullah SAW.16
Sebagai sebuah institusi politik, negara bukanlah sebuah entitas yang
bisa merasakan, mempercayai, atau menindak. Manusialah yang selalu
bertindak atas nama negara, menggunakan kekuasaan atau menjalankannya
melalui organ-organnya. Oleh karena itu, negara itu pada hakikatnya
rakyat atau bangsa itu sendiri. Jadi kapan pun manusia membuat
keputusan tentang persoalan kebijakan, mengusulkan, atau membuat
rancang undang-undang yang dianggap mewujudkan prinsip-prinsip
Islam17. Mereka percaya bahwa agama tak dapat dipisahkan dari kehidupan
sosial dan politik, karena agama memberitahukan setiap tindakan yang
diambil seseorang, dan al-Qur’an memberikan banyak bagian yang
menekankan hubungan agama dan negara serta masyarakat.18
Dari persoalan itulah muncul pemikiran politik Islam, yang lebih
spesifik yang lahir dari gerakan-gerakan sosial (harakah Islamiyah) yang
berusaha melakukan kritik terhadap rezim pro Barat.19 Secara ideal Islam
tidak membedakan agama dan negara karena masyarakat Islam yang
sebenarnya dibentuk dan dipimpin oleh Nabi Muhammad sendiri di masa
sepuluh tahun terakhir masa hayatnya, menuntut komitmen baik
keagamaan maupun politis dari para anggotanya. Pesan yang didakwahkan
16 Ibid., p. 204-205 dan lihat pula Tim Tarjih Departemen Agama dan UII, alQur’an dan Tafsirnya Jilid X Juz 28-29-30 (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti, 1991), p. 60-61
17 Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekuler Menegosiasikan Masa Depan
Syariah (Bandung: Mizan, 2007), p. 28, lihat Muhammad Al-Bahy, Islam dan Sekularisme
Antara Cita dan Kenyataan, (Solo: Ramadhani, 1998), p. 19.
18 John L. Esposito, Islam Aktual, (Depok : Inisiasi Press, 2005), p. 164.
19
Surwandono, Pemikiran Politik Islam, (Yogyakarta: LPPI Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, 2001), p. 24.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara...
7
oleh Nabi Muhammad bukanlah sesuatu yang bersifat abstrak melainkan
sesuatu yang langsung berhubungan dengan keadaan atau persoalan
kehidupan personal dan sosial.20
Dalam hal ini, agama menjaga politik dengan memberikan legitimasi
kepada negara, partai, dan perorangan. Legitimasi kepada negara sudah
lama dilakukan oleh Islam. Pada dasarnya, bagi pemikir politik Islam,
menurut Din Syamsuddin21,
pencarian konsep tentang negara
sebagaimana disebutkan di atas, mengandung dua maksud. Pertama, upaya
menemukan idealitas Islam tentang negara dengan menekankan aspek
teoritis dan formal, yaitu mencoba menjawab pertanyaan, ”bagaimana
bentuk negara dalam Islam”. Pendekatan ini bertolak dari asumsi bahwa
Islam memiliki konsep tertentu tentang negara. Kedua, upaya melakukan
idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara
dengan menekankan aspek praksis dan substansial, yaitu mencoba
menjawab pertanyaan, ”bagaimana isi negara menurut Islam”. Pendekatan
ini didasarkan pada anggapan bahwa Islam tidak membawa konsep
tertentu tentang negara, tetapi hanya menawarkan prinsip-prinsip dasar
berupa etika dan moral.22 Bentuk negara yang ada pada suatu masyarakat
Muslim dapat diterima sejauh tidak menyimpang dari nilai dasar tadi.
Kendati kedua maksud di atas pendekatannya berbeda, namun keduanya
mempunyai tujuan yang sama yakni menemukan rekonsiliasi antara realitas
agama dan realitas politik.
Rekonsiliasi inilah, antara cita-cita agama dan realitas politik menjadi
pemikiran utama para pakar politik Islam. Solusi yang ditawarkan, baik
pada masa klasik maupun masa modern terhadap hal ini sangat beragam,
seiring dengan keragaman setting sosio-kultural dan politik yang mereka
hadapi, seperti tuntutan zaman, sejarah, latar budaya, tingkat
perkembangan peradaban dan pengaruh peradaban asing. Dalam hal ini,
baik faktor intern maupun faktor ekstern sama-sama mempunyai andil
dalam menentukan keragaman tersebut atau dengan kata lain selalu
terdapat tarik-menarik antara ketentuan-ketentuan normatif (ajaran Islam)
dalam realitas sosial politik dan historis.
John Obert Voll, Politik Islam Kelangsungan dan di Dunia Modern, (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1997), p. 39.
21 M. Din Syamsuddin, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Islam,
(Ulumul Quran, No.2, Vol.IV, Tahun 1993), p. 4.
22 Ali Abd Al-Raziq, al Islam wa Ushul-ul Hukum, (Kairo: 1925), p. 24, menurut M.
Dhiauddin Rais dalam bukunya Teori Politik Islam (2001), ia menyebutkan bahwa buku
Al–Islam wa Usul-ul Hukum karya Ali Abd Al-Raziq itu bukanlah sebuah kajian ilmiah
yang murni, namun merupakan sebuah bentuk kampanye politik yang dilakukan oleh
beberapa negara kolonialis untuk menyerang eksistensi kekhalifahan Usmaniyah pada saat
Perang Dunia I Romawi karena Khalifah yang ditaati oleh kaum muslimin saat itulah
mengumumkan kewajiban berjihad melawan negara itu, yaitu Inggris.
20
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara...
8
Sistem politik di dunia Islam pada zaman modern banyak
terpengaruh oleh sistem politik Barat. Contoh yang jelas adalah mengenai
”kedaulatan rakyat”. Banyak pihak intelektual yang menuntut bahwa
rakyat adalah sumber kekuasaan satu-satunya dalam negara adalah rakyat
merupakan faktor menentukan dalam pembentukan instansi negara.
Begitu juga dalam bidang legislasi, dan malah ada sementara pihak yang
menginginkan kedaulatan rakyat penuh dalam pemerintahan Islam.23 Islam
merupakan sistem yang berdiri sendiri, mandiri dalam konsep dan sarana
yang dipergunakannya, bahwa Islam tumbuh sendiri dan menempuh
jalannya sendiri24 Dengan demikian, maka tujuan paling mendasar dari
pemerintahan Islam ialah menyediakan suatu kerangka dasar politik bagi
persatuan dan kerjasama umat Islam.25 Dengan demikian, suatu sistem
dapat menyandang dua karakter itu sekaligus karena hakikat Islam yang
sempurna menerangkan urusan-urusan materi dan rohani, dan mengurus
perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat.
Pada pertengahan abad ke-20, sebagian besar dunia Islam telah
mencapai kemerdekaan politik. Pengaruh dan daya pikat Barat yang terus
menerus merupakan bukti lebih sekulernya jalan yang dipilih oleh
kebanyakan pemerintah dan kaum elit modern. Bahkan di negara-negara
dimana Islam mempunyai peran penting dalam gerakan-gerakan
nasionalis, generasi baru yang berkuasa cenderung berorientasi lebih
sekuler. Jika seseorang memandang dunia Islam, maka ada tiga arah atau
model dalam hubungan antara agama dengan negara yaitu, Islam, sekuler,
Muslim, dan di sini Saudi Arabia memproklamasikan diri sebagai negara
Islam. Monarki istana Saud mendasarkan legitimasinya pada Islam,
menyatakan diri diatur dan memerintah dengan al-Qur’an dan hukum
Islam. Istana Saud telah membangun hubungan yang erat dengan para
ulama, yang terus menerus menikmati posisi istimewa sebagai penasihat
pemerintah dan pejabat dalam sistem hukum dan pendidikan. Pemerintah
Saudi menggunakan Islam untuk melegitimasi politik dalam negeri
maupun luar negeri.26
23
121.
Rifyal Ka'bah, Islam dan Fundamentalisme, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), p.
Lihat James P. Piscatori, “Politik Ideologis di Arab Saudi” dalam Harun
Nasution dan Azyumardi Azra (Penyunting perkembangan) Modern dalam Islam (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1985), p. 196-197.
25 Salim Azzam, Beberapa Pandangan tentang Pemerintahan Islam, (Bandung: Mizan,
1983), p. 73, dan lihat M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta:, Gema Insani,
2001), p. 4, dan lihat pula Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, (Jakarta: Gramedia, 1994),
p. 39.
26 Sayyid Quthb, Keadilan Sosial dalam Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1984), p.
134.
24
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara...
9
Sebagai contoh, Turki, satu-satunya peninggalan Kerajaan
Usmaniyah yang ada, telah memilih negara sekuler yang membatasi agama
hanya untuk kehidupan pribadi. Turki, di bawah kepemimpinan Kemal
Attaturk (sebagai Presiden, 1923-1938), melakukan proses Turkinisasi dan
westernisasi yang komprehensif, dan juga sekularisasi yang mengubah
bahasa dan sejarah serta agama dan politik. Buku-buku berbahasa Inggris
menggantikan yang berbahasa Arab, dan sejarah ditulis ulang, dengan
menekan
komponen-komponen
Arabnya
dan
mengagungkan
peninggalan Turkinya. Attaturk secara otokratis mengawasi sederetan
pembaruan yang mencampakkan sultan, menghapuskan kekhalifahan,
menjatuhkan Islam, menutup pondok-pondok, melarang penggunaan
jubah, dan menggantikan lembaga-lembaga tradisional (hukum,
pendidikan, pemerintahan) dengan yang modern, suatu pilihan yang
diilhami oleh Barat.27
Sebagaimana dijelaskan Esposito dan Brown di atas, sebagian besar
negara di dunia Islam mengambil posisi tengah. Mereka adalah negara
Muslim dalam arti bahwa mayoritas penduduk dan peninggalannya adalah
Muslim, namun mereka mengikuti jalan pembangunan sekuler. Sebagian
melihat ke Barat untuk mencari basis bagi sistem pemerintahan
konstitusional, hukum dan pendidikan modern. Sementara itu mereka
yang memasukkan peraturan Islam ke dalam undang-undang mereka, yang
menuntut agar kepala negara adalah orang yang beragama Islam dan
hukum Islam harus diakui sebagai sumber hukum (walaupun hal ini tidak
dijalankan dalam kenyataannya).
Pemerintahan-pemerintahan ini berusaha mengontrol agama dengan
cara membangun lembaga-lembaga keagamaan dalam birokrasi mereka,
dalam kementerian hukum, pendidikan dan urusan keagamaan. Dengan
beberapa pengecualian, pada umumnya trend, harapan, dan tujuan
pemerintahan-pemerintahan kaum elite modern yang berpendidikan Barat
adalah untuk menciptakan negara modern dengan paradigma Barat sebagai
modelnya. Peraturan negara tersebut memaksakan pengaruhnya baik
terhadap individu maupun kelompok, dan pada kenyataannya setiap
individu membentuk kediriannya sesuai dengan pola yang telah ditentukan
oleh negara.28
Jhon I. Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), p. 90, dan lihat
L. Carl Brown, Wajah Islam Politik Pergulatan Agama dan Negara Sepanjang Sejarah Umat,
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), p. 162-163, dan lihat pula A. Mukti Ali, Islam dan
Sekularisme di Turki Modern, (Jakarta: Jambatan, 1994), p. 1-3
28 Hakim Mohammad Said, Moralitas Politik: Konsep Mengenai Negara dalam
Fathi Osman (ed), Islam Pilihan Peradaban, (Yogyakarta: Shalahuddin Press), p. 76.
27
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
10
Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara...
C. Polarisasi Pemikiran Politik Islam
Bertolak dari paradigma di atas, maka pandangan bahwa agama dan
negara adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, diwakili oleh kelompok
Syi’ah. Pemerintahan negara, menurutnya diselenggarakan atas dasar divine
soveregnity (kedaulatan Ilahi), karena kedaulatan hanya milik Allah. Tokoh
Revolusi Islam Iran Imam Khomeini, ia mengatakan bahwa ”dalam negara
Islam wewenang menetapkan hukum berada pada Tuhan”. Keberhasilan
Khomeini yang paling penting adalah untuk menunjukkan bahwa gerakan
yang mendapat inspirasi kuat dari Islam dimungkinkan untuk
menggulingkan suatu Kerajaan yang jelas-jelas pro Barat dan sangat kuat.29
Sekalipun revolusi Islam di Iran telah menyedot perhatian dunia,
pola revolusi agama yang dijumpai di Mesir dan sedikit banyak di Timur
Tengah khususnya lebih mewakili arus besar revolusi-revolusi agama.30
Dalam pengertian ini tiada seorang pun yang berhak menetapkan hukum,
dan yang boleh berlaku hanyalah hukum dari Tuhan. Atas doktrin imamah
yang dimiliki, imam menurut konsep ini, adalah kepanjangan tangan Tuhan di
dunia. Oleh karenanya ke-Imaman harus diwujudkan melalui penentuan
(wasiyah) yang diturunkan lewat garis keturunan Nabi Muhammad (ahl alBait)31. Dalam hal ini, politik harus berdasarkan legitimasi keagamaan yang
hanya dimiliki oleh para keturunan Nabi.
Berseberangan dengan paradigma Sunni yang didasarkan pada
pemilihan (ikhtiyar) dan pembaiatan (bay’ah) seorang kepala negara
(khalifah), paradigma Syi’ah menekankan wilayah (”kecintaan” dan
”pengabdian” kepada Tuhan) dan ishmah (kesucian dan dosa) yang hanya
dimiliki oleh para keturunan Nabi sebagai yang berhak dan absah menjadi
kepala negara (Imam).32
Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan
dan berfungsi menyelenggarakan kedaulatan Tuhan, negara, dalam
perspektif Syi’ah bersifat teokratis, yaitu kekuasaan mutlak berada di
tangan Tuhan dan konstitusi negara berdasarkan pada wahyu Tuhan
(Syari’ah). Hal ini dapat dikatakan bahwa Islam berpihak sepenuhnya
kepada sistem demokrasi, sekalipun dalam menghadapi isu-isu penting
tertentu harus berbeda dengan sistem demokrasi yang berkembang di
negara-negara non Muslim. Dalam perspektif ini, maka adalah sebuah
29 R.M. Burrell, “Pendahuluan: Fundamentalisme Islam di Timur Tengah
Penelitian Asal-usul dan Keanekaragamannya” dalam R.M.Burrell (ed), Fundamentalisme
Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), p. 44-45.
30 Mark Huegensmeyer, Menentang Negara Sekuler: Kebangkitan Global Nasionalisme
Religius, (Bandung: Mizan, 1989), p. 98.
31 Ibnu Kholdun, Muqaddimah, (Baghdad: Al-Mutsanna, 1967), p. 498.
32 W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1960), p. 110.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara...
11
ironi bilamana sampai hari ini negeri-negeri Islam masih saja bingung
dalam mencari suatu sistem politik yang dapat dipakai untuk mencapai
tujuan moral Islam.33
Konsep penyatuan agama dan negara juga menjadi anutan kelompok
”fundamentalis Islam” (al-Ushuliyah al-Islamiyah) yang cenderung
berorientasi pada nilai-nilai Islam yang dianggapnya mendasar dan
prinsipal. Ibnu Taimiyah, inspirator utama gerakan pembaharuan Islam,
kemudian dijuluki Barat sebagai ”Bapak fundamentalisme Islam pada
zaman modern”. Penamaan atau cap tersebut merupakan “pemerkosaan
besar-besaran” terhadap sejarah. Karena, ”gerakan kembali pada al-Qur’an
atau Islam yang murni” itu mempunyai visi, cita, dan orientasi yang sama
sekali berbeda dengan fundamentalisme Kristen. Salah satu perbedaan itu
adalah fundamentalisme Kristen muncul karena ketidakpuasan terhadap
agama (yang semakin lemah dan tidak tahan menghadapi arus penemuan
dan pengembangan sains modern), sedangkan ”gerakan yang sama” dalam
Islam muncul justru karena ketidakpuasan terhadap keadaan dunia.34
Selain itu, salah seorang di antara pemikir Islam kontemporer yang
dipandang sangat vokal menyuarakan konsep ini adalah Abu al-A’la alMaududi (1903-1979).35 Dalam konteks politik Islam syiah, konsep
pemisahan kekuasaan negara diatur dalam bingkai demokrasi dan
konstitusi Republik Islam berdasarkan pola hubungan imamah dan
ummah36. Imamah adalah representasi kekuasaan Allah, sedangkan ummah
adalah representasi dari kekuasaan manusia untuk mengatur dirinya
sendiri37 dan tidak terbatas pada seseorang secara individual atau
kelompok, dan Allah SWT telah mengkhususkannya kepada Ibrahim, dan
menjadikannya diwarisi oleh anak cucunya dan orang-orang pilihan. Allah
SWT berfirman dalam QS. al-Anbiya ayat 73.
33 Ahmad Syafii Maarif, Politik dalam Perspektif Islam, (Ulumul Quran, No.2, Vol.
IV, Tahun 1993), p. 107, dan lihat Syahrough Akhavi, Pemikiran Sosial Syiah dan Praksisnya
dalam Sejarah Iran Akhir-akhir ini dalam Harun Nasution dan Azyumardi Azra (Penyunting)
dalam Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), p. 162163.
34 Asep Syamsul M. Romli, Isu-isu Dunia Islam, (Yogyakarta: Dinamika, 1996), p.
86-87.
35 Abul ‘Ala Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam, (Bandung:
Mizan 1993), p. 64
36 Lihat Djazimah, Muqaddas, Kontribusi Versi Hakim Perempuan pada Peradilan Islam
di Negara-negara Muslim, (Yogyakarta: LKiS, 2011), p. 33.
37 Lihat Djaka Sutapa, Ummah Komunitas Religius Sosial dan Politik dalam al-Qur’an,
(Jakarta: Duta Wacana University Press, 1991), p. 17-18.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
12
Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara...
ِ ‫وجعلنَاهم أَئِ َّمة ي ه ُدو َن بِأَم ِرنَا وأَوحي نَا إِلَي ِهم فِعل اْلي ر‬
‫ات َوإِقَ َام‬
ُ ََ َ
َ َ
َ
ََ َ
ِِ
ِ َّ ‫الصالةِ وإِيتاء‬
‫ين‬
َ ‫الزَكاة َوَكانُوا لَنَا َعابد‬
َ َ َ َّ
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada
mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan
zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah.
Menurut pandangan Imam Abu al-A’la al-Maududi terhadap
kekuasaan dan kedaulatan Tuhan merupakan landasan fundamental dari
sistem sosial dan moral, dan itulah satu-satunya titik sentral dari sistem
politik Islam. Akibatnya, tidak seorang pun yang diberikan wewenang
untuk membuat, menetapkan atau memberikan aturan-aturan, juga tak
seorang pun diperlakukan atau diberi keistimewaan untuk membuat
undang-undang. Oleh karena itu, imam ibarat matahari terbit yang
memancarkan sinarnya dan ia menerangi cakrawala yang tidak dapat
dicapai tangan dan penglihatan.38
Berpijak dari konsep di atas, Munawir Sjadzali39 mengemukakan tiga
landasan keyakinan yang menurutnya sangat esensial. Pertama, tidak
seorang pun baik individu maupun kelompok mendeklarasikan diri sebagai
pemegang kedaulatan. Hanya Allah-lah yang memegang kedaulatan dalam
arti hakiki, sementara manusia tidak lain hanya sebagai pelaksana dari
kedaulatan Tuhan. Kedua, Allah adalah pembuat hukum dalam arti yang
sebenarnya, wewenang untuk menetapkan berlakunya undang-undang,
sedang manusia sama sekali tidak diberi wewenang menetapkan dan
merubah setiap hukum yang telah digariskan Allah. Ketiga, dalam segala
hal, negara ditegaskan atas undang-undang Allah, maka sebagai
konsekuensinya dalam pemerintahan Islam harus melaksanakan segala
ketentuan Allah. Selanjutnya ia mengatakan bahwa oleh karena di dalam
Islam hanya Tuhan saja yang berdaulat, maka Tuhan harus dipandang
sebagai satu-satunya perumus undang-undang di dalam sebuah negara
Islam.
Dalam pandangan al-Maududi konsep tentang negara Islam harus
berdasarkan syari’ah, tetapi dapat dikatakan bersifat teokratis, disini alMaududi lebih memilih istilah ”teo-demokrat” untuk negara idealnya.40
38 Abul ‘Ala al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Penerjemah Muhammad al-Bagir
(Bandung: Karisma, 2007), p. 57-58. Lihat M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta:
Gema Insani, 2001), p. 122-123.
39 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta:
UI Press, 1990), p. 166.
40 M. Din Syamsuddin, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Islam,
(Ulumul Quran, No.2, Vol.IV, Tahun 1991), p. 3.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara...
13
Teokrasi dalam Islam merupakan suatu yang sama sekali berbeda dengan
tradisi yang pernah berjaya di Eropa, dimana suatu kelompok masyarakat
khusus (pendeta) yang melakukan dominasi tidak terhingga dengan
menegakkan hukum-hukumnya sendiri atas nama Tuhan, dan pada
akhirnya melaksanakan keilahian dan ketuhanan mereka sendiri atas nama
rakyat. Sistem pemerintahan yang seperti ini justru bersifat syaitaniyah
(Satanic) daripada Ilahiyah (Divine). Hal ini, sangat bertolak belakang
dengan teokrasi yang dibangun oleh Islam dan tidaklah dikuasai oleh
kelompok keagamaan manapun kecuali seluruh masyarakat Islam dari
segala kelompok.41
Pandangan tentang simbiosa agama dan negara atau hubungan
timbal balik antara agama dan negara, berdasarkan pada formulasi
pemikiran bahwa pada prinsipnya agama memerlukan negara, karena
dengan negara, agama dapat berkembang dalam bimbingan etika dan
moral. Dalam Islam, pergesekan yang erat antara ajarannya politik, terletak
pada dua hal, seruan menegakkan ”kebenaran” dan realitas umat atau
masyarakat sendiri.42 Pandangan ini dapat ditemukan umpamanya, dalam
pemikiran al-Mawardi dalam karyanya al-Ahkam as-Sultaniyah (peraturanperaturan kerajaan/pemerintahan)43 yang merupakan karya ilmiah pertama
tentang ilmu politik dan administrasi negara dalam sejarah Islam,44 bahkan
para orientalis memandangnya sebagai dokumen kunci dalam evolusi
pemikiran politik Islam,45 dan ia menegaskan bahwa Imamah
(kepemimpinan) dilembagakan untuk menggantikan kenabian guna
melindungi agama dan mengatur dunia.
Apa yang dimaksudkan oleh al-Mawardi dengan imam adalah
khalifah, raja, sultan atau kepala negara, dan dengan demikian al-Mawardi
memberikan juga baju agama kepada kepala negara di samping baju
politik. Menurutnya, Allah mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin
sebagai pengganti (khalifah), untuk mengamankan agama, dengan disertai
mandat politik. Dengan demikian, seorang imam disatu pihak adalah
pemimpin agama, dan dilain pihak pemimpin politik46. Pemeliharaan
41 Fauzi Rahman dan Miftahuddin, Upaya Al-Maududi Memurnikan Pemahaman
Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1993), p. 37-38.
42 Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan, Keharusan Demokrasi dalam Islam,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1996), p. 129.
43 Abu Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (Mesir: Al-Khalabi, 1973), p.
8, dan lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI
Press, 1978), p. 103.
44 Qamaruddin Khan, The Political Thought of Ibnu Taimiyah, (Islamabad: Islamic
Reseach Institute, 1973), p. 19.
45 P. Little Donald, A New Look at Ahkam Al-Sultaniyah, (The Muslim Word,
Vol.64, No.1, 1974), p. 1.
46 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta:
1990), p. 63.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara...
14
agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda
namun berhubungan secara simbiotik, dan keduanya merupakan dua
dimensi dari misi kenabian. Dalam pandangan Islam, antara fungsi religius
dan fungsi politik imam atau khalifah tidak dapat dipisah-pisahkan. Antara
keduanya terdapat hubungan timbal balik yang erat sekali.47
Sedemikian dekat dan saling bergantungan antara agama dan
kekuasaan politik (negara), atau berhubungan secara integral antara agama
dan politik. Agama adalah dasar kata al-Ghazali, dan Sultan adalah
penjaganya. Dalam al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Mulk (batangan logam
mulia tentang nasihat untuk raja-raja) al-Ghazali antara lain
mengisyaratkan hubungan paralel antara agama dan negara, seperti
dicontohkan dalam paralelisme Nabi dan raja. Menurutnya, jika Tuhan
telah mengirim Nabi-nabi dan memberi mereka ”kekuatan Ilahi”.
Keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu kemaslahatan kehidupan
manusia. Paralelisme ini dapat ditafsirkan sebagai simbiosa yang bersifat
setara. Hal ini, dilakukan oleh pendapat al-Ghazali dalam Kimya-yi Sa’adat
bahwa agama dan negara adalah saudara kembar yang lahir dari satu ibu.48
Mencermati polarisasi pemikiran politik Islam, akibat munculnya
berbagai pandangan tentang hubungan agama dan negara sebagaimana
disebutkan di atas, lebih menunjukkan pada tataran metodologi yang
digunakan oleh para pemikir politik dalam menafsirkan sumber ajaran
Islam (al-Qur’an dan al-Hadis). Di dalam pola pemikiran Islam di
sepanjang sejarah pergumulannya, dikenal dua kutub pendekatan yang
berlawanan satu sama lain, yaitu antara skriptualistik dan rasionalistik
antara idealistik dan rasionalistik, kemudian terakhir antara formalistik dan
substansivistik. Pendekatan demikian mementingkan perlunya formulasi
dan institusionalisasi ajaran agama dalam suatu suprastruktur dan
infrastruktur politik, seperti ditunjukkan konsep negara Islam dan partai
Islam. Sebaliknya, pendekatan substansivistik lebih mengutamakan isi
daripada bentuk atau wadah politik. Persoalan utama pendekatan demikian
bukan struktur politik yang ditandai dengan terbentuknya negara formal
(Islam), tetapi aspek etik dan moralitas yang diformat melalui ajaran-ajaran
agama.49
Tipe kecenderungan skriptualistik menampilkan pemahaman yang
bersifat tekstual dan literal, yaitu mengandalkan pada penafsiran yang
menekankan bahasa. Sementara kecenderungan rasionalistik menampilkan
47Lihat
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), p 130. dan lihat John L. Esposito, Islam dan Politik,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1990), p. 38
48 Al-Ghazali, ‘Iqtishad fi Al-I’tiqad, (Mesir: Maktabah, 1972), p. 109.
49 Asep Syamsul M. Romli, Isu-isu Dunia Islam, (Yogyakarta: Dinamika, 1996), p.
39.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara...
15
penafsiran rasional dan kontekstual. Perbedaan titik pandang pendekatan
ini melahirkan perbedaan paham terhadap konsepsi al-Qur’an mengenai
negara, sebagaimana dapat ditemukan dalam ayat al-Qur’an mengenai
khalifah.50 Khalifah adalah figur di dunia yang mendapat pengasahan dari
kalangan “ulama”, yang merupakan para penjaga syari’ah. Dengan
demikian, maka tipe idealistik cenderung melakukan idealisasi terhadap
sistem pemerintahan dengan menawarkan nilai-nilai Islam yang ideal,
sebagaimana konsepsi negara yang ditawarkan oleh para filsuf seperti AlFarabi dengan al-Madinah al-Fadhilahnya (Negara Terbaik) di dalamnya ia
menguraikan bahwa negara terbaik ialah negara yang dikepalai seorang
Rasul. Tetapi karena zaman Rasul-rasul telah selesai, maka negara terbaik
kelas dua ialah negara yang dikepalai oleh seorang filosof 51, kendati belum
pernah menjadi kenyataan dalam sejarah.
Jika kaum idealis sebagaimana digambarkan di atas, cenderung
menolak format kenegaraan yang ada, maka kaum realis cenderung
menerimanya. Selain itu, tipe formalistik cenderung mementingkan bentuk
daripada isi. Pendekatan ini menawarkan konsep tentang negara dengan
simbolisme keagamaan, seperti tampak pada model negara Islam atau
partai Islam, sementara pendekatan substansivistik, sebaliknya
menekankan isi daripada bentuk. Konsepsi tentang negara yang
ditawarkan tidak mempersoalkan format dari negara itu, tetapi
memusatkan perhatian kepada pemberian seperangkat tata nilai etika bagi
kehidupan bernegara.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagai agama
yang telah disempurnakan dan diperuntukkan bagi umat manusia
sepanjang masa, Islam memberikan pedoman hidup yang menyeluruh,
meliputi segala aspek yang diperlukan dalam hidup manusia, yaitu aspek
aqidah, ibadah, akhlak dan muamalat. Untuk merealisir ajaran Islam yang
mencakup aspek-aspek kehidupan itu, kenyataan-kenyataan manusiawi
memperoleh perhatian sepenuhnya. Islam yang memberikan pedoman
kepada manusia yang bersifat menyeluruh dan menjamin akan
mendatangkan kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di
akhirat serta memberi perhatian kepada kenyataan-kenyataan manusiawi
itu pada tempatnyalah apabila dinyatakan sebagai agama rahmat.
M. Din Syamsuddin, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Islam
(Ulumul Quran, No.2, Vol.IV, Tahun 1993), p. 29-30. dan lihat Azyumardi Azra,
Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme, (Jakarta:
Paramadina, 1996), p. 5.
51 Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press,
1978), p. 104-105.
50
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
16
Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara...
Oleh karena itu, hubungan agama dan negara dalam pemikiran
politik Islam, dapat dikelompokkan dalam tiga paradigma utama. Pertama,
mereka memandang bahwa negara adalah lembaga keagamaan dan
sekaligus lembaga politik, karena itu kepala negara adalah pemegang
kekuasaan agama sekaligus kekuasaan politik. Kedua, negara oleh mereka
dianggap sebagai lembaga keagamaan tetapi mempunyai fungsi politik,
karena itu kepala negara mempunyai kekuasaan agama yang berdimensi
politik. Ketiga, mereka pun memandang bahwa negara adalah sebagai
lembaga politik yang sama sekali terpisah dari agama, kepala negara
karenanya hanya mempunyai kekuasaan politik atau penguasa dunia saja.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara...
17
Daftar Pustaka
Abd ar-Raziq, Ali, Al-Islam wa Usul-al Hukmi, Kairo: 1925.
Abdillah, Masykuri, Islam, Negara dan Civil Society, Prospek dan
Tantangan Pasca Orde Baru dalam M. Dawam Rahardjo
Mewujudkan Satu Umat, Jakarta: Puzam, 2002.
Abduh, Muhammad, Perintis Pembaruan Islam, dalam Ali Rahmena (ed),
Ivonne Haddad, Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan,
1996.
Ahmad, Z.A., Konsepsi Negara Islam, Bandung: N.V. Alma’arif, 1952.
----------, Republik Islam Demokratis, Tebing Tinggi, tt.
Ahmed An-Na'im, Abdullahi, Islam dan Negara Sekular Menegosiasikan Masa
Depan Syariah, Bandung: Mizan, 2007.
Akhavi, Shahrough, Pemikiran Sosial Syiah dan Praksisnya dalam Sejarah Iran
Akhir-akhir ini, dalam Harun Nasution dan Azyumardi Azra
(Penyunting) Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1985.
Al-Bahy, Muhammad, Islam dan Sekularisme Antara Cita dan Kenyataan, Solo:
Ramadhani, 1998.
Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad, Mesir: Maktabah AlJundi, 1972
Ali, Fachry, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan, Keharusan Demokrasi
dalam Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
Al-Jashshash, Ahkam Al-Qur’an, Baitut: Darul Fikr,1405.
Al-Maududi. Abul ‘Ala, Khilafah dan Kerajaan, Penerjemah Muhammad alBagir, Bandung: Karisma, 2007
Al-Qurtubi, Aljami’ li Ahkam al-Qur’an, Kairo: Maktabah Darul Kutub alMishriah, 1994.
Amiruddin, M. Hasbi, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman,
Yogyakarta: UII Press, 2000.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
18
Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara...
Asad, Muhammad, Pemerintahan dan Azaz-azaznya, dalam Salim Azzam
(ed), Beberapa Pandangan tentang Pemerintahan Islam, Bandung: Mizan,
1983.
Ashaari, Omardin, Sistem Politik dalam Islam, Kuala Lumpur: Yayasan
Dakwah Islamiah, 2008.
At-Thabari, Jami’ul Bayan, Boulak, 1328 H.
Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme
hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996
Azzam, Salim, Beberapa Pandangan tentang Pemerintahan Islam, Bandung:
Mizan, 1983.
Basyir, Ahmad Azhar, Negara dan Pemerintahan dalam Islam (Sebuah Pengantar
Filsafat Politik Islam), Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1981.
Brown, L. Carl, Wajah Islam Politik Pergulatan Agama & Negara Sepanjang
Sejarah Umat, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003.
Dhiauddin Umari, Akram, Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan
Zaman Nabi, Jakarta: Gema Insani, 1999.
Donal, P. Little, A New Look al-Ahkam Al-Sultaniyah, The Muslim Word,
Vol;.64, No.1, 1994.
Edwards, Beverley Milton, Islam & Politics, Cambridge: Polity Press, 2004.
Effendy, Bahtiar, Teologi Baru Politik Islam Pertautan Agama, Negara, dan
Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press, 2001.
Elvandi, Muhammad, Inilah Politikku, Solo: Era Adicitra Intermedia, 2011.
Esposito, John, L, Ancaman Islam Mitos Atau Realitas, Bandung: Mizan,
1994.
-----------, Islam dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
----------, Islam Aktual, Depok: Inisiasi Press, 2005.
Garaudy, Roger, Islam Fundamentalis dan Fundamentalis Lainnya, Bandung:
Pustaka, 1993.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara...
19
Haekal, Muhammad Hussain, Pemerintahan Islam (Terj), Jakarta: Pustaka
Firdaus 1993
Hasbi, Artani, Musyawarah dan Demokrasi: Analisis Konseptual Aplikatif dalam
Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001.
Ibnu Kholdun, Abd al-Rahman, Muqaddimah, Baghdad: Al-Mutsanna,
1967.
Idris, Ja’far, Islam dan Perubahan Sosial, Bandung: Mizan, 1984.
Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Ismael, Y.and Ismael Jacquelines, "Political Hertage of Islam". In Tareq Y.
Ismael and Jacquelines Ismael (eds) Politics and Goverment in the
Middle East and North Africa, Miami: Florida International
University Press, 1991.
Ka’bah, Rifyal, Islam dan Fundamentalisme, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
Khadiq, Gerakan Politik Umat Islam Indonesia Tiga Era: Revolusi, Orde
Lama, dan Orde Baru, dalam M. Damami Zein (editor), Wacana
Politik Islam Kontemporer, SUKA Press, 2007.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997.
Lewis, Bernard, Kebangkitan Islam di Mata Seorang Sarjana Barat, Bandung:
Mizan, 1983.
-----------, Bahasa Politik Islam, Jakarta: Gramedia, 1994.
Linjakumpu, Aini, Political Islam in the Global World, Ithaca Press, 2008.
M. Romli, Asep Syamsul, Isu-isu Dunia Islam, Yogyakarta: Dinamika, 1996.
Maarif, Syafii, Islam Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam
Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1987.
-----------, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1993.
-----------, Politik dalam Perspektif Islam, Ulumul Quran, No.2, Vol.IV,
Tahun 1993.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
20
Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara...
Madaniy, A. Malik, Politik Berpayung Fiqh, Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2010.
Madjid, Nurcholish, Kata Pengantar dalam Syafii Maarif, Islam dan Masalah
Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta:
LP3ES, 1987.
-----------, Kata Sambutan dalam Munawir Sjadzali; Islam dan Tata
Negara,Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990.
Mark Juergensmeyer, Menentang Negara Sekuler: Kebangkitan Global
Nasionalisme Religius, Bandung: Mizan, 1998.
Muhammad Said, Hakim, Moralitas Politik Konsep Mengenai Negara,
dalam Fathi Osman (ed), Islam Pilihan Peradaban, Yogyakarta:
Shalahuddin Press, 1989.
Mukti Ali,H.A., Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Jakarta: Jambatan,
1994.
Muqaddas, Djazimah, Kontribusi Versi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam
di Negara-negara Muslim, Yogyakarta: LKiS, 2011.
Nasroen, M., Asal Mula Negara, Jakarta: Aksara Baru, 1986.
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press,
1978
Obert Voll, John, Politik Islam Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern,
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.
Piscatori, James P., Politik Ideologis di Arab Saudi dalam Harun Nasution
dan Azyumardi Azra (Penyunting), Perkembangan Modern dalam
Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985
Qadir Hamid, Tijani Abd. Pemikiran Politik dalam Al-Qur’an, Jakarta:
Gema Insani, 2000.
Qamaruddin, Khan, The Political Thought of Ibn Taimiyah, Islamabad: Islamic
Reseach Institute, 1973.
Qardhawy, Yusuf, Fiqih Negara, Penerjemah Safril Halim, Jakarta: Rabboni
Press, 1977.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara...
21
Quthb, Sayyid, Keadilan Sosial dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1984.
--------, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Beirut: Daar Ihya al-Thurats al-Arabi Cet
ke V, 1967.
--------, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Penerjemah Aunurrafiq Shaleh Tamhid,
Jakarta: Rabbani Press, 2001.
Rahman, Fauzi dan Miftahuddin, Upaya Al-Maududi Memurnikan
Pemahaman Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1993.
Rahnema, Ali (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan, 1995.
Rais, M. Dhiauddin, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani, 2001.
Rasyid Ridha, M, Tafsir Al-Manar, Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t.
Sharif, M. Islamic and Educational Studies, Lahore: Institute of Islamic
Culture, 1964.
Siddiqui, Kalim, Seruan-seruan Islam: Tanggung Jawab Sosial dan Kewajiban
Menegakkan Syari’at, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
Jakarta: UI Press, 1990.
Sukarna, Ideologi: Suatu Studi Ilmu Politik, Jakarta: Bandung: Alumni, 1981.
Surwandono, Pemikiran Politik Islam, Yogyakarta: LPPI Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, 2001.
Suyuthi, J., Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995.
Syamsuddin, M. Din, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah
Pemikiran Islam, Ulumul Quran, No.2, Vol. IV, Tahun 1993.
Tholhah Hasan, Muhammad, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural, Jakarta:
Lantabora Press, 2005.
Tim Tarjih Departemen Agama dan Universitas Islam Indonesia, AlQur’an dan Tafsirnya, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1991.
----------, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1991.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
22
Moh. Syamsuddin: Hubungan Agama dan Negara...
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik (Refleksi
Teologi untuk Aksi dalam Keberagamaan dan Pendidikan, Yogyakarta:
Sipress, 1994.
Wach, Joachim, The Comparative Study of Religion, Joseph M. Kitagawa (ed),
New York and London: Colombia University Press, 1996.
Watt, W. Montgomery, Islamic Political Though, Edinburgh: Edinbugh
University Press, 1960.
Zahrah, M. Abu, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah,
Ponorogo: Trimurti, 1991.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan dalam Tatanan Hukum:
Studi Atas Keberadaan Ahmadiyah di Yogyakarta
Oleh: Nurainun Mangunsong 
Abstract
Theologically, Ahmadiyya is a new religious movement as a manifestation of an
autonomous human being in an attempt to be universal menkontekstualisasikan Islam
(rahmatan lil'alamin) accepted by the people in the world. Therefore, the Ahmadiyya
sect emerged as a new center of Islamic factions others. However, after the death of
Mirza Ghulam Ahmad, the founder of Ahmadiyya movement split in two (Lahore
Ahmadis and Ahmadiyya Qodian) which has a doctrinal difference principle. It was
also caused controversy acceptance Ahmadiyah in Indonesia. In Yogyakarta, the arrival
of the Lahore Ahmadiyya by preachers present in the midst of Muhammadiyah (the
students). Demographically, Yogyakarta is an area with a pluralist society and culture
typology abangan and academic community (aristocratic) were dominant. Because it was
difficult for him accepted by the Java community. Although internally, Ahmadiyya
Yogyakarta is exclusive, but externally, this group is quite inclusive and adaptive with
rituals such as Java and nyadran tahlilan or nyekar. Islamic acculturation and Hindu
communities living in Yogyakarta ritual brings egalitarian attitude and high tolerance
against Ahmadis. Ahmadis also seen as a group that have contributed to the education
and the struggle for Independence Homeland. The presence of PIRI (Islamic University
of Indonesia) and the issuance of Javanese Quran, Quran Jarwoe Jarwi, is evidence of
the struggle that has existed since 1924. This paper would like to examine the
existence of Ahmadiyah as a religious movement in Yogyakarta. Furthermore, this
paper would like to sit "right Ahmadiyya belief" in the legal order.
Key words: human rights, freedom of religion and belief rights
Abstrak
Secara teologis, Ahmadiyah merupakan gerakan keagamaan baru
sebagai manifestasi otonom manusia dalam upaya menkontekstualisasikan
ajaran Islam agar universal (rahmatan lil’alamin) diterima oleh umat di dunia.
Karena itu ajaran Ahmadiyah muncul sebagai mazhab baru di tengah
golongan-golongan Islam yang lain. Namun, sepeninggal Mirza Ghulam
Ahmad, selaku pendiri Ahmadiyah, gerakan ini terbelah dua (Ahmadiyah
Lahore dan Ahmadiyah Qodian) yang secara doktriner memiliki perbedaan
yang prinsipiil. Hal itu pula yang menimbulkan kontroversi penerimaan
Ahmadiyah di Indonesia. Di Yogyakarta, kedatangan Ahmadiyah oleh
Mubaligh Lahore hadir di tengah-tengah warga Muhammadiyah (kaum

Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. E-mail:
[email protected]
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
24
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
santri). Secara demografi, Yogyakarta merupakan daerah dengan kultur
masyarakat yang pluralis dan tipologi masyarakat abangan dan akademik
(priyayi) yang dominan. Karena itu tak menyulitkannya diterima oleh
masyarakat Jawa. Meski secara internal, Ahmadiyah Yogyakarta adalah
eksklusif, namun secara eksternal, kelompok ini cukup inklusif dan adaptif
dengan ritual Jawa seperti tahlilan dan nyadran atau nyekar. Akulturasi Islam
dan hindu yang hidup dalam ritual masyarakat Yogyakarta membawa sikap
egaliter dan toleransi yang tinggi terhadap Ahmadiyah. Ahmadiyah juga
dipandang sebagai kelompok yang telah memberi kontribusi pendidikan dan
perjuangan Kemerdekaan NKRI. Kehadiran PIRI (Perguruan Islam Republik
Indonesia) dan penerbitan Quran berbahasa Jawa, Quran Jarwoe Jarwi, adalah
bukti perjuangannya yang telah eksis sejak 1924. Tulisan ini ingin mengkaji
keberadaan Ahmadiyah sebagai satu gerakan keagamaan di Yogyakarta.
Selanjutnya, tulisan ini ingin mendudukkan “hak berkeyakinan Ahmadiyah”
dalam tatanan hukum.
Kata kunci: hak asasi manusia, hak beragama dan hak berkeyakinan
A. Pendahuluan
Salah satu kado istimewa yang lahir dari rahim reformasi adalah
penganugerahan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) yang cukup
moderat setelah sekian lama terpasung oleh kediktatoran rezim Soeharto
melalui berbagai macam bentuk regulasi dan aksi. Kebebasan yang secara
formil dimanifestasikan dalam UUD RI 1945 (Amandemen) yang begitu
luas dan elegan, tak ayal disambut suka cita bahkan euforia yang
belakangan kerap menimbulkan gesekan-gesekan sosial beragama yang
cukup memprihatinkan.
Secara materiil, Amandemen UUD 1945 terkait dengan HAM
merupakan hasil kompromi dan langkah konvergentif terhadap sekian
konvensi HAM internasional dan ketentuan HAM sebagaimana diatur
dalam KRIS 1949 dan UUDS 1950. Pada tataran internasional sendiri,
wacana HAM telah berkembang cukup signifikan setelah revolusi politik
yang terjadi di Eropa yang kemudian diikuti pula oleh revolusi industri.
Sejak diproklamirkannya The Universal Declaration of Human Right
tahun 1948, telah tercatat dua tonggak historis lainnya dalam petualangan
penegakan hak asasi manusia internasional. Pertama, diterimanya dua
kovenan (covenant) PBB, yaitu yang mengenai Hak Sipil dan Hak Politik
serta Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Dua kovenan itu sudah dipermaklumkan sejak tahun 1966, namun
baru berlaku sepuluh tahun kemudian setelah diratifikasi tiga puluh lima
negara anggota PBB. Kedua, diterimanya Deklarasi Wina beserta Program
Aksinya oleh para wakil dari 171 negara pada tanggal 25 Juni 1993 dalam
Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia PBB di Wina, Austria. Deklarasi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
25
yang kedua ini merupakan kompromi antar visi negara-negara Barat
dengan pandangan negara-negara berkembang dalam penegakan hak asasi
manusia. Perkembangan HAM Internasional ini merupakan manifestasi
lebih lanjut dari konsepsi hak naturalis yang berciri universal yang
kemudian mengalami positivisasi guna menjawab keberlakuannya dalam
lintas regional dan nasional.
Di Indonesia, hasil ratifikasi dari sekian kovenan di atas melahirkan
sejumlah aturan HAM seperti UU No. 7 Tahun 1984 tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU No.
9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 Tahun 2003
tentang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), dan UU No. 12 Tahun 2005
tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Pemenuhan Hak-hak
Sipil dan Politik dari seluruh warga negara tanpa kecuali. Rativikasi
kovenan internasional ke dalam regulasi hukum di Indonesia termasuk
Amandemen UUD 1945 tersebut jelas membawa implikasi sosio-yuridis
manifestasi HAM warga Indonesia tak terkecuali hak berkeyakinan yang
belakangan ini cukup kompleks bahkan menyita perhatian seluruh dunia.
Hal demikian bisa terjadi karena menurut John Stuart Mill, agama atau
perselisihan iman di antara orang per orang merupakan fakta umum yang
kerap mengalami ketidakadilan.1
Ditambahkan pula oleh Wim Beuken dan Karl-Josef Kuschel2
bahwa fenomena kekerasan sosial yang terjadi meski tidak semua berbasis
agama, akan tetapi kenyataannya banyak sekali kekerasan yang terjadi atas
nama agama. Seperti, teror atas nama jihad, pengeboman oleh
fundamentalis Kristen, Katolik, dan salah satu sekte di Jepang,
pembunuhan oleh pengikut Hindu dan Budha, pembantaian di Afrika,
perang antar umat Katolik, konflik antara Muslim Ortodoks3 dan Muslim
sempalan (Ahmadiyah) di Indonesia, penindasan terhadap keadilan sosial
di Amerika Latin, dan lain sebagainya.
Indonesia sebagai negara pluralis yang diikat oleh ideologi Pancasila
yang berbineka tunggal ika, rajut kebersamaan, keharmonisan, dan
1Lihat
dalam Karen Lebacqz, Six Theories of Justice (Indiana Polis: Augsbung
Publishing House, 1986), p. 20.
2Lihat Pengantar Wim Beuken, Karl-Josef Kuschel (et al), dalam Religion as a Source
of Violence? (New York: Maryknoll, SCM Press Ltd and Orbis Books, 1997), p. v
3Muslim
Ortodoks, menurut Martin Marty merupakan fenomena
fundamentalisme. Fundamentalisme sendiri secara umum tidak hanya konservatif,
tradisional, atau ortodoks. Fundamentalisme tidak sekedar tekstualis atau mayoritas
paham, atau anti rasional dan teknologi. Mereka ialah orang-orang yang reaktif terhadap
pluralisme, konsumerisme, materialisme, dan egalitarianisme. Lihat Martin Marty,
“Fundamentalisme as a Social Phenomena”, Bulletin of the American Academy of Arts and
Science 42 (1988), p. 15-29.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
26
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
kegotong-royongan adalah satu hal yang kuat dan tak perlu diragukan lagi.
Komitmen konstitusionalitas kebersamaan itu dapat terekam dalam
sejarah, bagaimana para pendiri NKRI ini mampu mengatasi konflik
politik dengan menyepakati “tujuh kata”, sila pertama, dalam Alenia
Keempat Pembukaan UUD 1945, menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. 4
Keputusan arif dewan perumus tersebut berangkat dari faktual politik dan
sosial masyarakat yang memang plural dan cenderung konfliktual,
karenanya perlu diakomodasi secara sama (equality before the law) sebagai
bentuk pengakuan hak-hak konstitusional warga.
Berangkat dari realitas politik itu, bahkan jauh hari sebelum
kemerdekaan 1945, tepatnya Tahun 1924, Ahmadiyah sebagai golongan
agama atau keyakinan baru telah hadir di Indonesia dan mendapat respon
positif, khususnya Muhammadiyah di Yogyakarta. Organisasi Islam lain
seperti Nahdhatul ‘Ulama (NU, 1926) dan Masyumi (1945) yang menyusul
belakangan, tentu menerima kehadirannya sebagai organisasi keagamaan
pada umumnya. Situasi baru berubah menjelang politisasi Islam ke dalam
partai politik di tahun 1955. Islam yang mulai terpola ke dalam kelompok
berbasis pada ideologi, substruktur sosial,5 kesukuan, dan agama, perlahanlahan menjadi partikularistik dan cenderung pragmatis. Islam politik di
satu sisi menjadi mediasi dan rekonsiliasi berbagai perbedaan yang ada,
namun di sisi lain dapat menjadi akar radikalisme sosial agama yang
memicu gerakan-gerakan separatis, seperti DI/TII dan Gerakan Kahar
Muzakkir. Akibat dari stigma itu, Masyumipun akhirnya dibubarkan
Soekarno (1949-1959).6
Menjadi satu pertanyaan besar manakala pascareformasi kehadiran
Ahmadiyah dipersoalkan kembali. Terlepas bahwa dakwaan sesat hanya
diarahkan pada Jema’at Ahmadiyah Indonesia (JAI), namun faktanya
Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) yang berpusat di Yogyakarta juga
mendapat stigma yang sama. Meski keduanya berbeda secara doktriner
dan prinsipil, sudah seharusnya di bawah naungan falsafah Pancasila dan
konstitusi keduanya mendapat perlakuan yang sama secara adil. Tulisan ini
akan mengurai keberadaan Ahmadiyah sebagai satu gerakan keagamaan di
Yogyakarta. Selanjutnya, tulisan ini ingin mendudukkan “hak berkeyakinan
Ahmadiyah” dalam tatanan hukum.
4 Lihat dalam Saafroedin Bahar dkk. (Tim Penyunting), Risalah Sidang BPUPKIPPKI 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1995.
5 C. Geertz., The Religion of Java (1960) dan The Social History of Indonesia (1965).
Lihat juga Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1999),
p. 84-85.
6 Daniel S. Lev., dalam Teori-teori Mutakhir Partai Politik, Ichlasul Amal (ed).,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2012), p. 149.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
27
B. Gerakan Ahmadiyah Indonesia di Yogyakarta dan Sisi-sisi
Antropologisnya
Tepat pukul sembilan pagi,7 hari itu, terlihat seorang ibu yang telah
berusia delapan puluhan tahun yang meski sedikit lemah, akan tetapi
masih memperlihatkan semangat ke-Islamannya pada saya. Meski tinggal
dan hidup sendiri, karena kedua anaknya yang kembar telah berkeluarga
dan tinggal di luar kota, ia masih tetap mandiri dan menyibukkan hariharinya membaca risalah-risalah Ahmadiyah. Ibu yang fasyih berbahasa
Belanda dan bekas seorang guru agama ini, bercerita banyak tentang peran
ayahanda dan ibundanya yang turut andil besar mengembangkan syi’ar
Islam melalui Ahmadiyah. Sapa saja ia dengan Ibu Siti Rohania Prayogo,
yang tidak lain adalah anak kandung Pemimpin Besar Ahmadiyah
Minhadjurrahman Djojosugito. Keluarga yang berlatar belakang guru ini
masih ingat betul bagaimana rutinitas spiritual sosialnya ia habiskan untuk
mendudukkan ajaran Ahmadiyah kepada masyarakat Islam Jawa di
Yogyakarta melalui majelis ta’lim dwi mingguan atau perayaan besar Islam.
Menurutnya, Ahmadiyah sama dengan ajaran kelompok Islam yang lain
yakni hadir untuk menyerukan Islam dengan damai.
Hal ini seperti terungkap dari kata salama, yang berarti keselamatan
atau kedamaian. Ayat al-Quran menambahkan pula, ‘ud’u ila sabili robbika
bilhikmati, maksudnya, serukan Islam itu dengan bil hikmah atau kebijakan
agar orang menerima Islam dengan kelapangan bukan ketakutan. Sambil
berjalan menuju rak buku, yang salah satu buku ia tunjukkan pada saya,
kenangnya bahwa, “Mirza Ghulam Ahmad8 (pendiri Ahmadiyah) itu ialah
sosok Mujaddid (Pembaharu) yang mampu menyampaikan Islam seperti
Rasulullah saw.” Ajaran-ajaran Ahmadiyah,9 menurutnya, sangat rasional,
santun, dan arif. Dijelaskannya pula bahwa, di tengah kemunduran Islam,
Mirza justru melakukan perbaikan dan pembangunan supra dan
inprastruktur pendidikan.
Dengan pendidikan, umat bisa memahami Islam dengan baik dan
menyerukannya dengan bijaksana.” Sembari membuka-buka buku, ia
menambahkan, “karena itulah Ahmadiyah tidak pernah memerangi musuh
seperti ketika India dijajah Inggris. Sikap Mirza justru mendekatinya agar
kelompok elit Inggris bisa memahami Islam dari sudut yang lain.” Sama
7 Wawancara dengan Siti Rohania Prayogo, anak bungsu Djojosugito dari istri
pertama, tertanggal 20 September 2007.
8 Mirza Ghulam Ahmad, lahir 13 Februari 1835 di Desa Qodian Punjab, 105 Km
sebelah Timur Laut kota Lahore (Pakistan). Ayahnya bernama Mirza Ghulam Murtada,
keturunan Haji Barlas dari Persi (Iran). Beliau ialah tokoh pendiri Ahmadiyah.
9 Ahmadiyah adalah sebuah ajaran, gerakan, perserikatan atau jum'iyah keagamaan
yang mapan, yang diimpor dari India-Pakistan.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
28
halnya dengan ungkapan Mulyono,10 yang akrab disapa Pak Mul, seorang
da’i sekaligus guru PIRI ini, cooperative Mirza dengan kolonialis Inggris
(1960-an)11 bukan menunjukkan oportunisnya melainkan upaya langkah
soft Islam masuk di lingkungan kekuasaan Inggris agar penyebaran Islam
lebih leluasa. Diceritakannya bahwa, di saat itu, India mengalami konflik
horizontal baik sesama Islam sendiri (Sunni-Syiah) dan antar pemeluk
agama yang lain (Islam dengan Arya Samad). Melihat kondisi itu, jelas
India tidak bisa berbuat apa-apa melawan Inggris. Mirzapun mencoba
mendekat dan hasil kedekatan itu, meskipun penuh kontroversi, keluarga
Inggris akhirnya ada yang masuk Islam (tak disebutkan namanya).
Dari penuturan sejarah itu, sebagaimana diungkap dua tokoh di atas,
Ahmadiyah meyakini Islam sebagai gerakan damai mampu menghadirkan
Islam tanpa kekerasan (seperti halnya nirkekerasan Gandhi) meski dengan
musuh sekalipun. Kesabaran Mirza dalam misi Islam, meski di awal penuh
dengan perlawanan yang justru datang dari internal kelompok Islam
sendiri, akhirnya mampu mendudukkan Ahmadiyah sebagai satu gerakan
Islam baru di tengah gerakan keagamaan ortodoks yang ada. Dialektika
sosial keagamaan ini menunjukkan metamorfosis agama atau keyakinan
yang cenderung atomis merupakan satu fenomena teologis dimana
manusia pada dasarnya makhluk ber-Tuhan dengan segala manifestasi
ketuhanannya. Manusia menerimanya seperti menerima jodoh dalam
takdir sosialnya. Segala sesuatu dikondisikan dalam penyesuaian dan
penerimaan hati (keyakinan) serta seluruh raganya. Manusia bukan benda
dalam keterasingan dan kotak kosong, melainkan makhluk yang
bersenyawa dengan multidimensi kehidupan sekitarnya. Maka,
manusiapun menjadi sangat fenomenologis. Semua pola sosial
keagamaannya menjadi sangat beragam. Hakiki sosial keagamaan ini harus
dipandang universal dan merupakan hak yang universal pula.
Dalam buku Qanun Asasi Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Aliran
Lahore), yang disusun oleh PB GAI terbitan Darul Kutubil Islamiyah
Yogyakarta, dijelaskan bahwa Ahmadiyah diambil dari kata 'Ahmad' atau
'Muhammad' yang dipetik dari nama Muhammad saw bin Abdilah bin
Abdil Muttallib, keturunan Kinanah, keturunan 'Adnan, keturunan Ismail
as.12 Bukan dari nama akhir Mirza Ghulam Ahmad sendiri, sebagaimana
10
2007.
Wawancara dengan Mulyono, salah seorang pengurus PB GAI, 16 September
11Lihat
juga dalam Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia,
(Yogyakarta: LKiS, 2005), p. 72-73.
12 Penegasan ini secara langsung dinyatakan Mirza Ghulam Ahmad, menurut
kesaksian Maulana Muhammad Ali –yang belakangan menjadi pendiri Ahmadiyah
Lahore--, seorang Ahmadi yang menduduki jabatan Sekretaris di masanya. Lihat dalam
Maulana Muhammad Ali, Mengenal Ahmadiyah Lahore, (Lahore: Darul Kutubil
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
29
yang dipahami dan diyakini puteranya, Bashiruddin Mahmud Ahmad,
Ahmadi dari Qodian.13 Kemunculan nama Ahmad telah diberitakan AlQuran dalam surat al-Shof: 6, yang isinya menyatakan:
"Dan tatkala Isa anak Maryam berkata: Hai anak keturunan Israil,
sesungguhnya aku ini utusan Allah kepada kamu, membetulkan apa yang dimuka
saya yaitu Taurat, dan memberi berita baik akan seorang utusan yang datang sesudah
saya yang namanya AHMAD;14 akan tetapi setelah datang kepada mereka dengan
tanda bukti yang terang, mereka berkata, inilah sihir yang terang."
Secara esensiil, kedua kata ini memiliki arti yang sama yakni puji.
Perbedaan hanya pada bentuknya. Kalau Ahmad artinya 'orang yang
banyak memuji' atau 'yang sangat banyak memuji', sedangkan Muhammad,
berarti orang yang sangat terpuji atau yang sangat terpuji. Kata Ahmad
mengandung sifat jamali, yakni sifat keindahan, kelemahlembutan dan
keelokan budi, sebagaimana diperlihatkan oleh Nabi Suci Muhammad saw.
pada zaman Mekkah; sedangkan nama Muhammad mengandung sifat jalali,
yakni sifat keagungan dan kebesaran, sebagaimana yang diperlihatkan di
Madinah.15 Dengan demikian, sesuai dengan artinya, pemberian nama
Ahmadiyah ini dimaksudkan agar setiap Ahmadi menghayati gerakan ini
dengan sifat jamali, yaitu berdakwah Islam dengan keindahan, keelokan,
kelemahlembutan tutur kata dan kehalusan budi berlandaskan takwa
kepada Allah swt.
Islamiyah, tt). Lihat juga dalam PB. GAI, Qanun Asasi Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Aliran
Lahore), (Yogyakarta: Darul Kutubil Islamiyah, tanpa tahun), p. 8
13 Maulana Muhammad Ali, Ibid. Lihat juga Iskandar Zulkarnain, Gerakan
Ahmadiyah di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2005), p. 72-73.
14 Kata “Ahmad” dalam QS. al-Shof tersebut ditafsirkan Bashiruddin Mahmud
Ahmad (putera kandung Mirza Ghulam Ahmad) sebagai nama yang ditujukan pada diri
Mirza Ghulam Ahmad. Dalam bukunya yang berjudul Mirza Ghulam Ahmad, AlKhutbatul-Islamiyah, Rabwah wikalah at-tab-syiir li-tharik uj-jadid, 1388. p. 86: (wa-an
Allaha sammahu Ahmad bima yahmadu bihi-rRabbul Jalil fil-ardhi kama yahmadu fis-sama').
Lebih jelasnya ungkapan itu dinyatakan “Jika orang benar-benar meniliti maksud AlQur'an itu (surah 61:6 tadi) maka akan mengetahui, bahwa yang dimaksud dengan nama
AHMAD bukanlah Nabi Muhammad saw. tetapi seorang RASUL yang diturunkan Allah
swt. pada akhir zaman sekarang ini. Bagi kami ialah: Hazrat (Mirza Ghulam) AHMAD
Al-Qadiani." Penguatan tafsir itu oleh Bashiruddin Mahmud Ahmad dikaitkan pula
dengan al-Shof: 7-8, dimana konteks zaman yang dimaksud ialah masa kehadiran Mirza
Ghulam Ahmad. Di sinilah titik perbedaan tafsir, yang menurut sebagian besar mufassir
bahwa penafsiran harus mengkoneksikan dengan asbabun nuzulnya dan tafsir-tafsir yang
lain secara intersubjektif. Pendekatan ini guna melacak orisinalitas makna dan
kebenarannya. Hanya saja, penafsiran memang memiliki kebenaran yang relatif dan
subjektif karena itu klaim kebenaran tidak dibolehkan. Lihat dalam PB. GAI, "Mengenal
Gerakan Ahmadiyah Lahore (GAI)" dalam Brosur Paket Dakwah No. 1, Tahun 1404
H/1984, p. 14.
15 Ibid.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
30
Awal kemunculan pergerakan Ahmadiyah di Indonesia yang dibawa
oleh dua aliran Ahmadiyah tidak begitu jelas. Hasil penelitian G.F. Pijper,
menyebutkan, kemunculan awalnya adalah di Yogyakarta yang dibawa
oleh Ahmadiyah Lahore bernama Maulana Ahmad dan Mirza Wali
Ahmad Baiq. Sementara menurut Syarif Ahmad Saitama Lubis, Sekretaris
Mal Pengurus Besar 2004-2007, sebagaimana ditulis dalam bukunya Dari
Ahmadiyah Untuk Bangsa, kemunculan awal Ahmadiyah di Indonesia
baru di mulai tahun 1925, ditandai ketika Rahmat Ali dari Ahmadiyah
Qodian menginjak Tapaktuan, pantai barat wilayah Aceh. Setelah itu,
disusul para muballigh lain dari India dan Pakistan untuk memperkuat
misi Ahmadiyah.
Menurut Iskandar Zulkarnain, sebagaimana ditulis dalam bukunya
Gerakan Ahmadiyah di Indonesia16 Sumatera Barat sebagai basis tokoh
pembaru Islam di Indonesia merupakan pusat aktivitas penyebaran paham
Ahmadiyah Qodian sebelum berkembang ke Jawa walaupun penaburan
benih pertama berada di Tapaktuan, Aceh, pada tahun 1925. Temuan ini
diperkuat dengan pengetahuan orang-orang Indonesia tentang ajaran
Ahmadiyah aliran Qodian melalui sekolah-sekolah di Qodian bagi
pemuda-pemuda Sumatera. Sejalan dengan pandangan ini, Federspiel juga
menyatakan bahwa awal sampainya Ahmadiyah ke Indonesia melalui para
siswa yang kembali dari sekolah Ahmadiyah di India pada akhir abad ke19. Akan tetapi secara kronologis temuan ini dipersoalkan sebab masa itu
adalah gerakan Ahmadiyah baru lahir.
Menurut Hamka sebagaimana dikutip Iskandar Zulkarnain, berita
tentang Ahmadiyah tersebar melalui buku-buku dan majalah-majalah yang
terbit di luar negeri. Sebaliknya, artikel yang muncul belakangan
menunjukkan bahwa Ahmadiyah tidak dikenal di Indonesia sampai tiga
orang siswa Indonesia pergi belajar ke India pada tahun 1922. Hasil
pembelajaran di India ini ternyata tidak kurang hebatnya dengan belajar di
Timur Tengah. Sejak itu banyak siswa Indonesia berangkat ke India untuk
meneruskan pendidikannya ke Lahore menuju kampung Qodian. Baru
setelah itu para siswa ini mengirim berita ke Indonesia mengenai risalah
Ahmadiyah.
Sementara itu, Raden Ngabei Haji Minhadjurrahman Djojosugito
menulis bahwa ia mendengar bahwa gerakan Ahmadiyah antara tahun
1921 dan 1922. Sebenarnya, Ahmadiyah mulai dikenal sejak tahun 1918
melalui majalah Islamic Review edisi Melayu yang terbit di Singapura.
Akan tetapi, Ahmadiyah baru diperkenalkan oleh tokoh Ahmadiyah
Indonesia sendiri pada tahun 1920.
Di Yogyakarta, Ahmadiyah Lahore lebih dulu dikenal dibanding
Ahmadiyah Qodian. Kedatangan mubaligh Hindustan Ahmadiyah Lahore,
16
Ibid.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
31
Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baiq ke Yogyakarta tidak begitu
jelas siapa yang mengundangnya. Menurut Muhammadiyah, Wali Ahmad
Baiq mengemukakan bahwa ia sebenarnya ingin ke Manila, namun karena
kehabisan bekal ia harus singgah di Indonesia. Sumber lain
mengemukakan, Wali Ahmad Baiq bermaksud ke Cina dan hanya berniat
berhenti sebentar untuk mengadakan kunjungan singkat di Indonesia.17
Dalam perkembangan kemudian, muballigh Ahmadiyah Lahore
mendapat fasilitas dari organisasi Muhammadiyah. Hal ini dibuktikan
dengan pemberian tempat tinggal Wali Ahmad Baiq oleh Haji Hilal di
Kauman, tempat kelahiran Muhammadiyah dan pusat aktivitas Islam di
Yogyakarta. Bahkan dua muballigh itu diberi kesempatan memberikan
sambutan pada Kongres Muhammadiyah 1924, Maulana Ahmad memberi
sambutan dengan bahasa Arab, sedangkan Wali Ahmad Baiq dengan
bahasa Inggris. Maulana Ahmad sendiri menyampaikan materi yang
menetang dogma-dogma Kristen, khususnya tentang Ketuhanan dan
Yesus seorang anak Tuhan. Ia juga menjelaskan ada dua prinsip dalam
dakwahnya. Pertama, mendorong agama Islam. Kedua, menjauhi aktivitas
politik. Pidato Maulana Ahmad mendapat sambutan hangat dari peserta
kongres.18
Menurut Mukti Ali, hubungan baik antara Wali Ahmad Baiq dengan
tokoh-tokoh Muhammadiyah terjadi karena Ahmadiyah Lahore
memperluas gerakannya di Indonesia, di samping dalam tablighnya,
Ahmadiyah Lahore juga ingin menyerang Kristen. Tak pelak lagi kediaman
Wali Ahmad Baiq menjadi tempat pertemuan orang-orang Muhammdiyah,
khususnya dari kalangan muda, termasuk tokoh muda Muhammadiyah,
antara lain Sekretaris Jenderal Pengurus Besar dan Direktur HIS
Muhammadiyah, Muhammad Husni dan Sudewo.19,
Dari penuturan itu terlihat bahwa Ahmadiyah datang dan diterima
dalam lingkungan priyayi (pendidik) Jawa
Muhammadiyah.
Muhammadiyah (1912) merupakan organisasi keagamaan puritanis yang
ajarannya dipengaruhi oleh gerakan Wahhabi yang bersebarangan dengan
kaum Nahdhatul ‘Ulama’ (NU) yang sinkretis dan tradisionalis. Bagi
Muhammadiyyin20 ajaran Ahmadiyyah tentang Kenabian, Isa al-Masih,
Ya’zud dan Ma’zud merupakan ajaran rasional dengan bukti-bukti historis
dan empirik yang cukup meyakinkan. Latar rasionalistik itu pula,
memungkinkan rasionalitas ajaran Ahmadiyah diterima dan dikembangkan
PB. GAI, "Mengenal Gerakan Ahmadiyah Lahore (GAI)" dalam Brosur Paket
Dakwah No. 1, Tahun 1404 H/1984.
18 Ibid.
19 Ibid.
20 Pengikut Muhammadiyah.
17
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
32
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
oleh fungsionaris pendidik dan da’i sekaligus. Rasionalitas ajaran
Ahmadiyah terlihat pada tujuh doktrin ajarannya yakni:
1. Masalah al-Mahdi dan al-Masih.
Bagi Ahmdiyah Qodian dan Lahore doktrin ini diterima sepenuhnya
dan tidak ada perbedaan prinsipiil, justru perbedaan datang dari kaum
Sunni. Menurut Ahmadiyah, doktrin al-Mahdi tidak dapat dipisahkan dari
masalah kedatangan al-Masih di akhir zaman. Hal itu karena al-Mahdi dan
al-Masih adalah satu tokoh yang kedatangannya dijanjikan Tuhan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhori dari Ibnu Bukair,
dari al-Laits dari Yunus, dari Ibnu Syihab, dari Nafi Maula Abi Qatadah alAnshari, dari Abu Hurairoh disebutkan bahwa "Nabi berkata: Bagaimana
kamu jika Ibnu Maryam turun di dalam, di antara, kamu, dan menjadi
imam kamu, dari antara kamu". Ahmadiyah memahami bahwa kata-kata
"...dan menjadi imam kamu, dari antara kamu" menunjukkan seseorang di
antara umat Islam sendiri. Artinya, bukan seorang imam yang datang dari
luar umat Islam, misalnya dari Bani Israil. Dengan demikian, al-Masih
yang akan datang di akhir zaman itu bukanlah Nabi Isa a.s., yang telah
wafat, melainkan seorang muslim yang mempunyai perangai dan sifat-sifat
seperti Nabi Isa a.s. Dan dalam pandangan Ahmadiyah, al-Masih tersebut
adalah Mirza Ghulam Ahmad.21
Hadits lain dalam Sunan Ibnu Majah dijelaskan bahwa "Nabi
berkata: al-Mahdi dan al-Masih adalah pribadi yang sama." Yang
membedakan keduanya hanya orientasi dakwahnya. Jika dakwah al-Masih
berorientasi keluar khususnya kepada bangsa-bangsa Kristen, sedangkan
al-Mahdi lebih berorientasi ke dalam, yakni kepada internal umat Islam.
2. Masalah Mujaddid (pembaru)
Manurut Ahmadiyah Lahore, istilah pembaruan atau tajdid
mempunyai pengertian mengembalikan umat Islam kepada pangkal
kebenaran Islam. Caranya adalah dengan melenyapkan kesesatankesesatan yang menyerbu umat Islam, menghidupkan iman umat Islam
yang sedang surut dan memancarkan penerangan baru tentang kebenaran
Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman. Di sini ada kesamaannya
dengan tajdid dalam pengertian Muhammadiyah. Pembaruan dalam spirit
Ahmadiyah berangkat dari Q.S. an-Nur: 55, yang artinya: "Allah berjanji
kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan berbuat baik bahwa
Dia pasti akan menjadikan mereka penguasa di bumi sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang sebelum mereka menjadi penguasa.." Bagi
Ahmadiyah Lahore, ayat tersebut bukan saja meramalkan akan berdirinya
21 PB. GAI, Qanun Asasi Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Aliran Lahore), (Yogyakarta:
Darul Kutubil Islamiyah, tanpa tahun), p. 45.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
33
kerajaan Islam, melainkan juga kelangsungannya sehingga perlu
dibangkitkan ke-khalifahan yang akan menggantikan Nabi Muhammad
Saw.
3. Masalah Kematian Nabi Isa a.s
Menurut Mirza Ghulam Ahmad, Nabi Is a.s., adalah manusia biasa
yang meninggal secara wajar dan dikubur Srinagar,22 Kashmir. Artinya,
Nabi Isa tidak mati di tiang salib sebagaimana yang menjadi kepercayaan
umat kristiani. Dasar yang digunakan Mirza Ghulam Ahmad antara lain:
QS. al-Maidah: 117; Ali Imran: 54 dan 143; as-Shaff: 6. Dengan
meninggalnya Isa al Masih maka Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Masih
dan al-Mahdi yang dijanjikan Tuhan.
4. Masalah Wahyu
Keberadaan wahyu tidak hanya terbatas sampai pada Nabi
Muhammad Saw. Setelah Nabi wafat wahyu Tuhan masih akan tetap
turun, dan bahkan sampai hari akhir. Wahyu tidak hanya diperuntukkan
bagi para Nabi dan Rasul, tetapi juga untuk manusia, binatang, dan bahkan
benda mati.
5. Masalah Kenabian
Terhadap doktrin ini, kedua aliran Ahmadiyah berbeda pandangan.
Bagi Ahmadiyah Qodian, Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi, dan
barangsiapa tidak berbai'at berarti kafir. Nabi yang dimaksud adalah nabi
buruzi. Artinya nabi yang tidak membawa syari'at. Sedangkan Ahmadiyah
Lahore menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang
Mujaddid bukan Nabi. Karena itu bagi kaum muslim yang tidak berbai'at
padanya bukalah kafir.
6. Masalah Khilafat
Sebagaimana pandangan terhadap kenabian, terhadap masalah
kekhalifahan, kedua aliran ini juga berbeda pandangan. Menurut Lahore,
setelah al-Khulafa ar-Rasyidun sudah tidak ada lagi khalifah, yang ada adalah
mujaddid. Sementara menurut Qodian, semua nabi adalah khalifah Allah,
termasuk Mirza Ghulam Ahmad. Menurut Qodian, setelah al-Khulafa arRosyidun masih akan tetap muncul khalifah, yakni khalifah (rohani),
khalifah yang muncul setelah meninggalnya Mirza Ghulam Ahmad dengan
sebutan klalifatul Masih.
22
Ibid.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
34
7. Masalah Jihad.
Jihad dalam hal ini bukan perang, melainkan diartikan menyebarkan
ajaran Islam dengan pena dan lisan dan memerangi hawa nafsu. Dalam
kaitannya dengan Pemerintah, Ahmadiyah berpandangan bahwa umat
Islam harus setia dan taat meski terhadap Pemerintah penjajah. Metode
dakwah Ahmadiyah secara lunak ini dimaksudkan agar Islam dapat masuk
di lingkungan elit secara diplomatis tanpa perlawanan kekerasan yang
justru dianggap merugikan Islam.23
Dengan demikian, Ahmadiyah sesungguhnya merupakan gerakan
teologis (tauhid) baru atas tafsir-tafsir keagamaan. Ranahnya lebih kepada
dimensi teologis yang ketika itu menjadi misi-misi yang populer di Jawa.
Aspek teologis itu merupakan aqidah dan menjadi tujuh doktrin pokok
Ahmadiyah Yogyakarta (GAI) sebagaimana yang disebutkan di atas. 24
Berbeda dengan ranah teologis, ranah syariat atau dimensi fikih (manusia
dan lingkungan sosial budayanya), Ahmadiyah Yogyakarta tidak mengenal
monolitas mazhab. Bahkan komunitas Ahmadi sendiri menganut banyak
mazhab (plural) yang umumnya banyak dipengaruhi oleh mazhab Syafi’i
atau Ahlul Sunnah wal Jama’ah.25
Mazhab ini di samping mengutamakan al-Quran dan hadits sebagai
sumber hukum, juga ‘uruf (hukum kebiasaan) dalam rujukan berperilaku
sosial. Karenanya, Ahmadipun sangat akomodatif dengan nilai-nilai
tradisionalis yang ada. Maka, tak dapat dipungkiri bahwa Yogyakarta
dengan latar Keraton memiliki latar sosiologis priyayi, abangan dan santri
yang harmonis seperti munculnya Islam tasauf, mistisisme, dan Islam
kejawen. Jadi priyayi abangan atau santri abangan kemudian menjadi
fenomena tersendiri atas manifestasi Ahmadiyah di Yogyakarta. Bukti hal
ini bisa ditelusuri dengan akulturasi budaya Hindu Budha yang telah ada
sebelum Islam, yang masih dilakoni Ahmadi dengan lingkungan sosial
masyarakat, seperti nyadran dan tahlilan.
C. Hak Berkeyakinan Ahmadiyah dalam Tatanan Hukum
Sejak zaman primordial atau manusia yang paling primitif, agama
telah muncul dalam bentuk yang sangat sederhana yang terendap dalam
alam fikir dan khayal manusia ketika manusia berhadapan dengan
keterbatasan dan ketidaktahuannya akan hakekat di balik kekuatan alam
yang maha dahsyat. Alam primordial manusia memaknainya sebagai
kekuatan (dinamisme), ruh-ruh (animisme), dan sekumpulan ruh yang
23
Diperkuat dengan hasil wawancara dengan Mulyono, PB. GAI. 16 September
24
Ibid.
Ibid.
2007
25
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
35
memiliki kekuatan dalam bentuk kutub yang berlawanan dan berpasangan
(politeisme), yang kemudian bermetamorfosis ke dalam bentuk yang
sempurna dengan mewujudkan kebenaran kekuatan-kekuatan itu ke dalam
institusi Ilahiyah atau Tuhan yang datang dari diri-Nya sendiri melalui
kabar dari seorang Rasul dan melalui Kitab (agama samawi).
Fenomena lain dari manifestasi agama diperlihatkan dengan ritus
keagamaan yang semata-mata sebagai manifestasi budaya tanpa
mengkaitkannya dengan peran Kitab di dalamnya. Hal ini yang menurut
Durkheim di mana agama merupakan abstraksi dari solidaritas sosial. 26
Takrif agama dalam fungsi sosialnya, menurut Durkheim,27 menganggap
dan memperlakukan agama sebagai sistem keyakinan dan upacara (rituals)
seraya mengacu pada yang suci yang mengikat orang bersama ke dalam
kelompok sosial. Dengan takrif itu, dan berkaitan dengan pembahasan ini,
maka agama dan berkeyakinan (Ahmadiyah) merupakan dua sisi dalam
satu ruang yang manifestasinya adalah sama.
Dengan demikian, agama menjadi satu terma yang menarik dan
mendasar bagi kehidupan umat manusia, meski terkadang realitasnya sulit
sekali mencari titik temu pengertian yang dirumuskan dari istilah agama itu
sendiri. 28 Sebab, dalam agama (internal) sendiri masih terdapat beragam
keyakinan yang semua berangkat dari perbedaan pemaknaan teks yang
terkadang berkaitkelindang dengan sosial budaya dan politik yang
mengitarinya. Perbedaan-perbedaan yang terkadang konvergentif, dan tak
jarang pula kontradiktif muncul di masyarakat berhadap-hadapan sebagai
perwakilan entitas sosial agama.
Secara sosiologis, perbedaan dan persinggungan antar keyakinan itu
merupakan takdir sosial yang sulit untuk dihindari. Sementara, ortodoksi
Islam lebih memilih langkah pragmatis ketimbang mencari solusi yang
berkeadilan. Seperti menstigma tafsir Ahmadiyah sebagai sesat karena
dianggap bertentangan dengan tafsir umum umat Islam seperti di
antaranya, tafsir kenabian, wahyu, dan khilafah. Alhasil, Islam yang
direpresentasikan oleh institusi-institusi yang ada hanya berperan sebatas
instrumen semata.29 Pertanyaan kemudian, bagaimanakah sesungguhnya
hukum memandang persoalan itu?
Islam merupakan ajaran dan tuntunan agung yang sejalan dengan
fitrah manusia. Islam memiliki konsep dan landasan ideal, etik, dan
universal yang menjamin kebebasan otentik manusia sebagai konsekuensi
26 Lihat dalam Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar
Sosiologi Agama, (Jakarta: Radjawali Press, 1985), p. 4
27 Ibid.
28 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, cet, keenam (Jakarta: Radjawali Press,
2001), p. 16-22
29 Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan
Fundamentalisme Neo-Liberal, (Jakarta: Erlangga, 2006), p.xiii
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
36
takdir fitrah yang dimilikinya. Meski, latar suprastruktur maupun
inprastruktur lingkungan sosial budaya ataupun ideologi manusia
berpengaruh dan berbeda-beda, namun sejatinya fitrah akan mengawal
kepada kebenaran dan kesucian. Karena itu, manusia bebas menjalani dan
menentukan garis keyakinannya tanpa harus memaksakan dan
menyeragamkan ketauhidan meski secara subjektif kebenaran itu wahid.
Allah telah menegaskan hukum-hukum yang autentik seperti mubah dan
halal,30 sementara hal-hal yang haram,31 Allah cukup membatasinya.
Hal demikian dimaksudkan agar manusia tidak kehilangan
kebebasan autentiknya. Karena itu pula, pluralisme beragama merupakan
satu keniscayaan sebagaimana yang diungkapkan dalam Quran Surat alIkhlas. Agama merupakan ranah teologis yang subyektif yang berhak
memperoleh apresiasi secara objektif. Setiap orang berhak secara otonom
mengekspresikan perjalanan spiritualnya menuju ke tahta Sang Khaliq
berdasarkan tatanan sistem syari’at yang ditetapkan. Syari’at merupakan
jalan menuju Tuhan. Bagaimana cara menempuh jalan itu, manusia diberi
kebebasan untuknya. Jadi, hakekat syari’at adalah sarana bukan tujuan.
Menjadi persoalan kemudian, manakala syari’at dipahami sebagai
pedoman yuridis baku baik dalam pengaturan ritus ke-Tuhanan maupun
kemanusiaan. Persepsi demikian hanya maslahah dalam ranah politik
totaliteristik yang menghambakan keseragaman dan keharmonisan dalam
rupa sosial agama yang homogen. Tapi tidak dalam ranah heterogenitas
sosial suku, ras, dan agama seperti Indonesia. Hal ini sejalan dengan apa
yang diungkapkan al-Syatibi bahwa tujuan syari’at dalam optik yang paling
primitif tidak lain ialah untuk menyelamatkan seseorang dari hawa
nafsunya hingga menjadi hamba Allah seutuhnya. Dalam optik yang
progresif, tujuan syari’at sudah barang tentu menjadikan manusia sebagai
insan kamil (khoirunnas anfa’ahum linnas).
Dengan demikian, syari’at sebagai tuntunan semula bukan
dimaksudkan membatasi kebebasan manusia melainkan ia lahir sebagai
abstraksi kebebasan manusia dalam menentukan aturan hidup yang terbaik
bagi tujuan hidupnya kelak. Meminjam istilah John Rowls, pembatasan
hanya dibenarkan demi kebebasan itu sendiri.32 Karena itu, di dalam
syari’at terdapat tuntutan ideal dan praktis yang menyangkut keluesan
Q.S. Ali Imran: 93
Q.S. Al-An’am: 151-153
32 Lihat dalam Karen Lebacqz, Six Theories of Justice (Indianapolis: Augsbung
Publishing House, 1986), p. 53. Atau dalam John Rowls, Theory of Justice (Cambridge,
Mass: Harvard University Press, 1971), p. 542. Dalam buku itu Rowls mengatakan
bahwa, kebebasan bisa kemungkinan dibatasi dengan tujuan untuk memperkuat sistem
total kebebasan. Kebebasan yang kurang atau setara pasti diterima bagi mereka yang
kebebasannya kurang, utamanya karena hal itu akan memperkuat kebebasan mereka di
masa depan.
30
31
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
37
dalam dimensi sosial, dan internasional sebagai komunitas yang diidealkan.
Syari’at dalam relasi sosial kemudian kemudian menjadi Syari’at yang
berbasis pada kontrak sosial yang meliputi aspek tauhid, ibadah,
muamalah, dan akhlak.33 Baik prinsip, hukum, ataupun ajaran dasar
tersebut merupakan syari’at yang bersumber dari Al-Quran, sunnah,
ataupun ijma’ dalam optik yang sangat manusiawi dan sosialistik.
Demikian pandangan ulama kontemporer dalam memahami syari’at.
Karenanya, persoalan keyakinan sesungguhnya bukan monopoli Ilmu
Kalam yang memandang keagamaan adalah wilayah sakral dan ideologi
absolut yang eksklusif. Ahmadiyah (Lahore) memiliki pandangan yang
sama dalam hal ini. Menurut mereka, agama, bukan hanya merupakan
jembatan vertikal manusia kepada Sangpencipta, melainkan terdapat aspek
multidimensional di dalamnya dengan titik arah membentuk sebuah
komunitas sosial yang rahmatan lil’alamin atau insan kamil.34 Seluruh jumhur
‘ulama sepakat tentang otoritas Allah selaku al-Hakim, dengan
menempatkan otoritas Nash sebagai sumber hukum (taklifi). Dasar
penekanan al-Hakim itu sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran surat alAn’am ayat 57, surat al-Maidah ayat 47 dan 49, yang intinya menyatakan
bahwa hak menetapkan hukum itu hanya milik Allah dan terdapat
ancaman fasik bagi orang-orang yang tidak mematuhinya.
Namun, manakala persoalan keagamaan masuk dalam wilayah Nash
yang umum (sehingga multitafsir) atau bahkan tidak terdapat pengaturan
Nash di dalamnya, maka di antara ‘ulama berbeda-beda dalam
memandang persoalan otoritas itu. Kaum Asy’ariah berpandangan tetap
meneguhkan otoritas Nash. Al Maturidiah dan Hanafiah berpandangan
perlunya otoritas akal meski dibatasi otoritas Nash dengan jalan metode
istimbath seperti di antaranya qias, istihsan, dan istihshab. Sementara Syiah
dan Mu’tazilah memandang bahwa menonjolnya otoritas akal di sini
karena akal mampu melihat dan membedakan hasan li dzatih (hal baik
menurut zatnya) dan qabih li dzatih (hal buruk menurut zatnya), bahkan
baina hasan li dzatih wa qabih li dzatih (di antara keduanya).
Kedua golongan ini masih berbeda memandang drajat akal. Syiah
memandang, meski akal berperan tetapi ia tidak memiliki otoritas taklifi
hukum (menetapkan/membebankan hukum), sementara Mu’tazilah
sebaliknya. Menurut Imam al-Ka’bi,35 dalam hukum syara’, peran akal
33 Pengertian syariat di sini lebih luas, mencakup di dalamnya agama dam fikih.
Pandangan ini lahir dari pemikiran ulama kontemporer (qaul jadid). Sementara menurut
ulama klasik (qaul qodim), antara syariat, agama, dan fikih dibedakan karena objeknya
berbeda. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih (terj) cet. ke-13 (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2010), p. 2
34 Wawancara dengan Mulyono, PB. GAI. 16 September 2007
35 Dalam Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqih (terj) cet. ke-13 (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2010), p. 60
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
38
hanya melahirkan hukum perintah dan larangan. Akal, apakah secara
teoritis maupun praktis dapat menentukan yang maslahah bagi manusia.
Karenanya tidak akan terdapat mubah dalam hukum. Allah akan
menghukum perbuatan orang-orang mukallaf berdasarkan niat dan tujuan
sikap tindaknya. Keberanian Mu’tazilah ini didasari latar historis dimana
peran akal lebih dulu digunakan sebelum diturunkannya Nash. Dalam
konteks praksis, manusia dengan latar sosio-historisnya mampu
menentukan nilai baik buruk karena sejatinya hukum adalah bagi kebaikan
manusia.
Sejalan dengan pandangan itu, Durkheim36 menyatakan bahwa
asalinya hukum keagamaan adalah otoritas Tuhan dengan tujuan-tujuan
yang manusiawi dalam optik sosial yang naturalis. Agama berisi titah
Tuhan yang harus diterjemahkan dalam konteks sosial. Akal atas dasar
pertimbangan idealis atau empiris mampu merumuskan kebaikan-kebaikan
manusia dan sosialnya. Karena sesungguhnya pola pikir manusia (akal)
sudah dibentuk dan dipengaruhi masyarakat sejak ia lahir yang kemudian
diwariskan secara terus-menerus dari generasi ke generasi. Karena itu pula,
hukum agama dengan akal sebagai sandarannya tidak pernah lepas dari
konteks sosial.37 Dengan demikian, ciri agama kemudian menjadi sangat
manusiawi, sosialistik, bahkan internasionalistik (humanis dan inklusif).
Dalam kerangka itu, syari’at menggambarkan sebuah aktivitas dinamis dan
progresif dalam mendesain dan merekonstruksi hukum yang kritis
terhadap perubahan dan kedhaliman sosial. Hukum harus menjadi sarana
ijtihad pembebasan manusia dari berbagai akar totalitarian.
Al-haddad lebih jauh menjelaskan metodologi dalam mengkaji Nash
secara tematik dengan membedakan antara Nash normatif etik dengan
praktis kasuistik. Akan halnya dengan pembedaan antara ayat normatif di
satu sisi dengan ayat kasuistik di sisi lain, al-Haddad adalah satu di antara
ulama yang membedakan antara (1) ayat-ayat yang mengandung ajaran
prinsip umum (normatif), seperti ajaran tauhid, etika, keadilan dan
kesetaraan; dan (2) ayat-ayat yang mengandung ajaran perintah-praktis
yang temporal, yang biasanya sangat tergantung pada kepentingankepentingan manusia, khususnya sebagai jawaban terhadap masalahmasalah yang berhubungan dengan kondisi masyarakat Arab pra-Islam
dan di masa pewahyuan (kasuistik).38 Karena itu, al-Haddad membagi ayatayat Al-Quran kepada dua hal: (1) ayat-ayat yang mengandung ajaran
Lihat dalam Daniel L. Pals, Seven Theiries of Religion (New York: Oxford
University Press, 1996), p. 287-288. Lihat juga dalam Lorens Bagus, Kamus Filsafat
(Jakarta: Gramedia, 1996), p. 16
37 Ibid., p. 172
38 Al-Tahir al-Haddad, Wanita dalam Syari’at dan Masyarakat (terj), (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1972), p. 6
36
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
39
prinsip umum, yaitu norma yang bersifat universal yang harus berlaku dari
waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat yang lain; (2) perintah atau
ajaran kontekstual yang aplikasinya tergantung pada konteks sosial
tertentu. Al-Haddad berargumen, bahwa untuk dapat memahami lebih
baik Al-Quran dan tesis-tesis umum yang ada di dalamnya, adalah penting
menempatkannya sesuai dengan kondisi sosial dimana akan diaplikasinya.
Masih dalam hubungannya dengan pengelompokan ayat Al-Quran,
Asghar Ali Engineer memiliki pemikiran yang sama yaitu dengan
membedakannya (1) pernyataan-pernyataan umum sebagai ayat-ayat
normatif; dengan (2) ayat-ayat kasuistik sebagai ayat-ayat kontekstual.
Engineer menuliskan bahwa:39
“Kita harus mengerti bahwa ada ayat normatif dan ada ayat
kontekstual dalam Al-Quran. Apa yang diinginkan Allah disebutkan
dalam Al-Quran, sama dengan realitas yang ada dalam masyarakat
juga disinggung. Sebagai kitab suci, Al-Quran menunjukkan tujuan
dalam bentuk seharusnya dan sebaiknya (should dan ought), tetapi juga
tetap harus memperhatikan apa yang terjadi dalam masyarakat yang
terjadi ketika itu. Kemudian harus ada dialog antara keduanya, yakni
antara yang seharusnya dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dengan
cara itu, kitab suci sebagai petunjuk akan dapat diterima masyarakat
dalam kehidupan nyata dan dalam kondisi dan tuntutan yang ada.
Dengan demikian sebagai petunjuk Al-Quran tidak lagi hanya
bersifat abstrak. Namun demikian, pada waktu yang bersamaan
norma transendennya juga harus tetap ditunjukkan agar pada
waktunya kalau kondisinya sudah memungkinkan (kondusif) dapat
diterima yang kemudian diaplikasikan, atau minimal berusaha lebih
dekat dan lebih dekat lagi kepada nilai normatif tersebut”.
Dari pembagian dan pembedaaan jenis ayat dan metodologi
tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa persoalan tauhid
sesungguhnya masuk dalam Nash yang bersifat normatif. Normatif artinya
berisi ketentuan atau kaedah Ilahi yang bersifat general karena itu pula ia
bersifat universal yang harus berlaku dari waktu ke waktu, dari satu tempat
ke tempat yang lain. Hal ini berbeda dengan jenis ayat yang kasuistik dan
spesifik yang telah terikat oleh ruang dan waktu di mana ayat itu turun
(asbabun nuzul). Ayat-ayat kasuistis inipun masih terdapat cela reinterpretasi
manakala terdapat kasus yang sama akan tetapi berubah tatanan sosialnya.
Misal, persoalan kesaksian zina yang dipersyaratkan harus melihat pelaku
zina secara langsung. Hemat Penulis, untuk menyeret pelaku zina, saat ini
sudah jauh lebih muda karena kecanggihan teknologi yang ada sudah
39 Asghar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam (Lahore, Karachi, Islamabad,
Peshawar: Vanguard Books (PVT) Ltd, 1992), p. 10-11.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
40
dapat mendeteksinya sehingga tidak perlu digugurkan karena saksi tidak
melihatnya secara langsung.
Kembali kepada inti persoalan, karena itu pula maka kedudukan
keyakinan atau memaknai Nash ketauhidan pada tataran teologis hanya
bersifat umum. Mufassir ataupun ahli Ushul Fikih masih diberi ruang
untuk menetapkan penjelasan atau hukum lebih dalam pada tataran
praktis. Karena dalam persoalan tafsir, kebenarannya bersifat relatif.
Berkaitan dengan itu, posisi tafsir Ahmadiyah yang melahirkan doktrindoktrin teologisnya juga memiliki kedudukan yang sama. Mereka memiliki
kebebasan menafsirkan dan menyebarluaskan ajaran-ajarannya sebab di
masa awal pendiriannya tahun 1924, gerakan ini tidak dilarang oleh
Pemerintah.
Seperti halnya tafsir Ahmadiyah mengenai mujaddid, kewafatan Isa alMasih, Nabi, Dajjal, dan ajarannya yang lain. Dengan demikian, tafsir
keagamaan dalam ranah teologis ataupun hukum bersifat partikularistik
relatif karena itu semua penganut keyakinan harus diperlakukan sama,
termasuk Ahmadiyah, sebagai basis keadilan. Mill menemukan enam
kondisi umum yang umumnya disepakati sebagai hal yang ‘tidak adil’: (1)
memisahkan manusia dari hal-hal yang atasnya mereka memiliki hak legal;
(2) memisahkan manusia dari hal-hal yang atasnya mereka memiliki hak
moral; (3) manusia tidak memperoleh apa yang layak diterimanya –kebaikan
bagi yang bertindak benar, dan keburukan bagi yang bertindak salah; (4)
perselisihan iman di antara orang per orang; (5) bersikap setengah-setengah,
contohnya menunjukkan dukungan hanya sebagai pemanis bibir; (6)
mengancam atau menekan orang lain yang tidak setara dengannya.40
Berangkat dari enam kondisi itu, maka Ahmadi sebagai warga negara
memiliki hak legal atas keyakinannya. Hak legal itu, secara institusional
telah diakui berdasarkan registasi badan hukum yang tercatat di
Departemen Kehakiman (saat ini menjadi Kementerian Hukum dan
HAM) pada tanggal 28 September 1929.
Karena itu dan sejalan dengan falsafah kebinekatunggalikaan
Pancasila maka mari merajut kebersamaan dalam perbedaan. Siap
bersanding dengan teman seiman yang berbeda keyakinan. Rubah pola
pandang keimanan monolitik ‘ke luar’ dengan dialog yang humanis (aku
dan kamu adalah kita), dan perteguh keimanan monolitik ‘ke dalam’
dengan kesantunan dan peradaban (aku dan kamu adalah kami).
Mendudukkan Ahmadiyah dan penganut keyakinan yang lain secara sama
dengan ortodoksi Islam yang ada merupakan tuntutan aqidah
konstitusional. Sudah seharusnya negara menciptakan sistem yang terbuka
untuk itu, utamanya dalam desain sistem pendidikan. Pendidikan harus
bisa membebaskan warga dari kungkungan monolitik teologis. Karena
40
Mill, Utilitarianism, (New York: Bobbs-Merrill, 1957), p. 54-57
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
41
desain pendidikan agama yang demikian sesungguhnya bertentangan
dengan konsep pendidikan insan kamil atau ‘manusia yang utuh’
sebagaimana diperjuangkan Bertrand Russel, Paulo Freire,41 Ivan Illich,
Montessori, Neil Postman, Ki Hadjar Dewantoro, dan Dewi Sartika.42
Pendidikan menurut mereka harus mampu membangunkan peserta didik
dari kesadaran palsu43 dan kemerdekaan. Sejalan dengan teori konflik,
sistem pendidikan selama ini sadar atau tidak sesungguhnya melahirkan
klas-klas sosial dan melegitimasi dominasi klas elit dalam desain
kurikulumnya, seperti materi studi agama yang hanya merefresentasikan
paham ortodoksi Islam yang ada. Alhasil sistem pendidikan hanya
melayani klas sosial, stratifikasi sosial, keyakinan sosial tertentu saja.
Karena itu, mengapa persoalan konflik keyakinan masih saja kerap
terjadi dan sulit diselesaikan, hemat Penulis disebabkan beberapa hal.
Pertama, tidak dilakukan kajian teks secara komprehensif sehingga
pembedaan jenis ayat dan metode kajiannya tidak dilakukan dalam konteks
realitas sosial yang lokalistik, berubah, berbeda, terbuka, dan beradab
(sebagaimana amanat Pancasila yang konstitusional).
Kedua, sebagian kelompok dan institusi Islam yang umumnya
menganut paham Syafi’iah atau Asy’ariah terjebab ke dalam pemahaman
yang eksklusif dalam memandang dan menempatkan tatanan hierarkis
sumber norm (Al-Quran, Sunnah, dan ijma’) hanya secara normatif untuk
menjaga totalitas ajaran dan unitarian faham dan jama’ah. Perbedaanperbedaan paham yang tidak dikenalkan secara metodologis dalam sistem
pendidikan akhirnya membawa umat ke dalam sikap taklid dengan
menghukumi sesat pada kelompok lain. Pandangan yang bersandar pada
hierakis sistem norm itu merupakan sarana dan instrumen jama’ah dalam
memelihara keutuhan institusionalnya agar tidak roboh, sebagaimana
argumentasi al-Baqillani (buthlan ad-dalil yu’dzanu bi-buthlan al-madlul
“batalnya sebuah dalil memungkinkan batalnya suatu materi doktrinal”).44
Karenanya, wilayah syari’at yang termasuk tauhid di dalamnya, dan
fikih adalah wilayah kajian yang berbeda dan terpisah. Menurut pandangan
ini, syari’at mencakup hukum Tuhan secara menyeluruh yang berasal dari
Al-Quran dan Sunnah. Sedangkan fikih adalah instrumen yuridis
(istimbath hukum) para yuris yang dibentuk melalui proses nalar, baik
pada tataran teoritis maupun praktis atas hukum-hukum agama yang
41
42
Paulo Freire, Pedagogy of Opressed, (Penguin Books, 1978), p. 5
Lihat Saratri Wilonoyudho, “Pendidikan yang Membebaskan,” dalam Kompas, 2
Juli 2012.
Kesadaran palsu yang dimaksud Paulo Freire adalah tahu penjajah tetapi
taksadar dijajah. Jika dianalogkan dengan persoalan ini, tahu ketidakadilan tetapi taksadar
kalo melanggengkan ketidakadilan.
44 Ahmad Baso, NU Studies., p. xviii.
43
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
42
obyeknya perilaku manusia (menjadi mubah, sunnah, makruh, wajib, dan
haram).
Dalam proses penalaran itu ditekankan kepatuhan Nash secara
normatif dan komitmen orisinal sanad dan rijalul hadits untuk menduduki
peringkat shohih. Keautentikan fikih dilekatkan pada keshohihannya
ketimbang rekonstruksi fikih demi keadilan sosialnya (reformatif). Fikih
keberagamaan dan berkeyakinan seperti manifestasi Ahmadiyah atas
doktrin-doktrin teologisnya, sesungguhnya dalam rangka kontekstualisasi
Nash atas situasi sosial masyarakat India saat itu. Seperti, persoalan wahyu,
yang dipandangnya tidak terhenti sampai pada Rasulullah Muhammad
saw, melainkan masih berlanjut pada ‘ulama-‘ulama sesudahnya, termasuk
Mirza Ghulam Ahmad. Hanya, wahyu tersebut tidak berisi syar’i
melainkan non-syar’i seperti ajaran-ajaran keagamaan yang umumnya
diberikan pada Nabi bukan Rasul. Maksud perluasan makna wahyu
tersebut, agar pesan Tuhan tidak terhenti hanya pada Rasul, namun
sepeninggal Rasulpun wahyu tetap diturunkan Tuhan pada orang-orang
yang dikehendakinya. Dengan demikian, risalah Islam tidak akan
dimonopoli oleh sekelompok tertentu saja, melainkan di luar kelompok
yang ada, hal itu dimungkinkan.
Karena itu beberapa solusi yang dapat ditawarkan adalah sebagai
berikut: pertama, membangun kesadaran praktis para mufassir atau yuris
dalam berushul fikih dalam mewujudkan makna teks Nash ke dalam
makna kontekstual yang inklusif, humanis, dan beradab (al-muhafazhah ‘ala
al-qadim ash-shalih wal-akhdz bil jadid al-ashlah). Teks-teks Nash umum harus
diterjemahkan secara praktis dengan pendekatan kearifan lokal (kultural
subjektif) Indonesia dan maslahah mursalah-nya agar hukum benar-benar
mampu mewujudkan tujuan syari’at. Karena itu pula dibutuhkan verifikasi
mendasar mana masalah yang masuk dalam teks dan doktrin yang umum
atau pokok (ushul) dan mana masalah yang masuk dalam wilayah doktrin
yang cabang (furu’).
Membumikan Nash ke dalam alam Indonesia sesungguhnya ide
lama yang diusung oleh Hasbi Ash Shiddieqy dan Hazairin dengan
lahirnya fikih Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, dan adanya jurusan
atau program studi Perbandingan Mazhab dan Hukum di lingkungan
akademik Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang
sekarang sebagian telah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Menurut
Hasbi, Indonesia sebagai bangsa yang religius harus mampu
mentransformasikan hukum Islam ke dalam hukum Indonesia (positif)
karenanya hukum Islam Indonesia harus berpatok pada ‘Urf Indonesia dan
ijtihad jama’i (Ijma’). Atau dengan kata lain, perlu dilakukan transmisi
nash45 Arab ke dalam nash Indonesia. Karenanya bermazhabpun perlu
45
Penulisan “nash” dengan “n” kecil dimaksudkan makna sosio-kulturalnya.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
43
digeser dari bermazhab tekstual (qauliy) ke arah bermazhab secara
metodologis.
Dua metode ini dapat menghindari perbedaan yang mengarah pada
perpecahan umat. Ditambahkannya pula, agar hukum Islam Indonesia
merepresentasikan fikih Indonesia sebagai kajian berbagai mazhab dengan
segala keragaman kultural yang melingkupinya, maka dibutuhkan semacam
inprastruktur kelembagaan yang ia sebut dengan ahlul halli wal ‘aqdi.
Lembaga ini ia rumuskan dengan sistem dua kamar (bicameral system) yaitu
haiatus siyasah (lembaga politik). Yang dipilih langsung oleh rakyat dan
memiliki kompetensi di beberapa bidang. Kedua, haiatut tasyri’iyah
(lembaga legislatif), yang terdiri dari dua komponen: ahlul ijtihad dan ahlul
ikhtishash (kaum spesialis). Lembaga inilah yang berkompeten melahirkan
hukum (fikih) berdasarkan ijtihad jama’i, tegasnya. Meskipun ide
kelembagaan Hasbi ini belum terwujud secara menyeluruh, namun, ide
haiatut tasyri’iyah yang dimaksudkan sebagai refresentasi ‘ulama dari
berbagai golongan, katakanlah seperti MUI, saat ini justru melahirkan
fatwa-fatwa yang kontroversial. Ijma’ sebagai hukum pun kemudian
mengalami problematika dan perlawanan. Karena sebagian umat Islam
tidak percaya dan merasa tidak terwakili di dalamnya. Karena itu,
dibutuhkan reformasi konseptual dan struktural MUI, jika ijma’ masih
dipandang relevan sebagai formulasi hukum Islam Muslim Indonesia
(internal).
Secara struktural, MUI harus merepresentasikan pluralisme jama’ah
yang ada di Indonesia (inklusif), termasuk kelompok sempalan. MUI juga
harus independen sehingga ijma’ yang dihasilkan otonom berbasis syara’
dan keadilan sosial. Secara konseptual, visi keagamaan harus progresif
dalam menjawab persoalan keadilan dan kesejahteraan sosial umat Islam.
Visi keagamaan harus melawan segala bentuk ketidakadilan dan mampu
mendorong kebijakan-kebijakan negara yang berorientasi pada
kemaslahatan umat (tasharruf al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bil-maslahah).
Apabila tatanan demikian terbentuk, maka ijma’ dimungkinkan lahir dan
terbuka peluang qonunisasi di dalamnya.
Kedua, melakukan integrasi dan interkoneksi metodologi dalam
menafsirkan makna teks Nash dengan metode ilmu lain yang relevan
dengan pokok masalah. Penafsir harus mampu keluar dari kungkungan
doktrin konvensional (dogmatis teologis, linguistik deduktif, nostalgisme
historis) ke arah makna reformatif praksis dengan bersandarkan pada
maqashid as-syari’ah.
Berangkat dari kerangka konseptual itu, maka hukum sebagai satu
tatanan sosial keagamaan pada prinsipnya harus memberi ruang
terpenuhinya hak beragama dan berkeyakinan yang sama di antara warga.
Hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 28E ayat (1) yang
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
44
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
menjelaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya .....”. Dan, ayat (2), “Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan...”. Ini artinya, kebebasan beragama dan
beribadah sesuai dengan kepercayaan yang dianut adalah hak asasi manusia
(human rights) sekaligus hak warga negara (the citizen’s rights) yang secara
konstitusional dijamin oleh UUD 1945.
Jika kita ingin jujur melacak historis perumusan Pasal 28E ayat (1
dan 2) oleh Panitia ad-hoc MPR yang merumuskan perubahan itu maka
ketentuan itu sesungguhnya merupakan derivasi dari isi Deklarasi
Universal PBB 1948 tentang HAM, Pasal 18, yakni : “Setiap orang berhak
atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal ini termasuk
kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan
agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan
menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum
maupun sendiri.” Namun, perumus perubahan UUD 1945 ternyata tidak
berani ‘sefulgar dan seliberal’ itu dengan memilih posisi ‘aman’
pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 28J. Dengan Pasal 28J ini,
maka seluruh ketentuan HAM, termasuk terkait dengan kebebasan
berkeyakinan dimungkinkan dapat dibatasi. Mengutip istilah Muladi bahwa
yang demikian itu termasuk bersifat partikularistik relatif.
Sampai di sini memang tampaknya kita masih setengah-setengah
dalam mengatur persoalan kebebasan berkeyakinan di Indonesia. Menjadi
semakin demikian membingungkan jika kita mengaitkan dengan UU No.
39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 4: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan
di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun dan oleh siapapun. Kemudian secara khusus, hak
beragama ini diatur dalam Pasal 22 ayat (1): Setiap orang bebas memeluk
agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. Pasal 22 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan
setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam UU No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International
Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965
(Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial 1965) secara implisit juga dijelaskan dalam konsideran
huruf d bahwa “Konvensi tersebut pada huruf c mengatur penghapusan
segala bentuk pembedaan, pengucilan, pembatasan atau preferensi yang
didasarkan pada ras, warna kulit, keturunan, asal-usul kebangsaan atau
etnis yang mempunyai tujuan atau akibat meniadakan atau menghalangi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
45
pengakuan, perolehan atau pelaksanaan pada suatu dasar yang sama
tentang hak asasi manusia dan kebebasan mendasar di bidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, atau bidang kehidupan umum lainnya”.
Secara redaksi, memang tidak ditemukan bidang agama di dalamnya
akan tetapi dengan kata “atau bidang kehidupan umum lainnya” dapat
ditafsirkan bahwa bidang agama dan segala ruang lingkupnya termasuk
materi yang tidak diperkenankan mendapat perlakuan diskriminasi oleh
institusi negara atau kelompok komunitas yang lain. Atau dengan kata lain
pada prinsipnya negara harus menjamin semua warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum, sehingga segala bentuk diskriminasi rasial
harus dicegah dan dilarang.
Dalam UU NO. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant On Economic, Social And Cultural Rights (Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya) atau dikenal dengan
Undang-undang Hak Sipil, secara umum dijelaskan bahwa:
“Negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa
hak-hak yang diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa
diskriminasi apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau
sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.”
Ketentuan ini merupakan konsekwensi yuridis bergabungnya
Indonesia ke dalam ke anggotaan PBB sehingga mau tidak mau harus
meratifikasi kovenan-kovenan yang disahkan ke dalam undang-undang.
Dengan turutnya Pemerintah Indonesia menandatangani sekaligus
mengundangkannya ke dalam undang-undang, maka hak-hak sipil
khususnya terkait dengan agama semakin kuat legitimasinya menjadi legal
rights.
Dengan demikian negara berkewajiban menjamin, memenuhi, dan
memeliharanya agar kehidupan beragama yang kondusif terwujud. Dasar
kewajiban dan hak itu sudah barang tentu bersumber dari falsafah
Pancasila yang termuat dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945
itu sendiri. Sejalan dengan dasar filosofis itu, maka Ahmadiyah di
Yogyakarta sesungguhnya merupakan golongan keyakinan yang patut
dihormati dan diperlakukan sama seperti halnya golongan yang lain.
Ajaran dan gerakannya tidak bertentangan dan semata-mata merupakan
gerakan pembaruan teologis (berbasis tafsir yang dalam Islam sendiri
mengandung makna yang relatif). Pengikut Ahmadiyah Yogyakarta sendiri
cenderung menganut mazhab pluralis yang lebih mengakulturasi dengan
budaya Jawa Indonesia. Karenanya, penerimaan keberadaan Ahmadiyah
merupakan satu keniscayaan.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
46
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
D. Kesimpulan
Hak beragama dan berkeyakinan merupakan persoalan aktual dan
kompleks di Indonesia, karena itu mendudukkan posisi hak beragama dan
berkeyakinan harus dikoneksikan antara Nash dengan konteks sosial
agama demi menjawab keadilan itu sendiri. Perlu kajian yang dalam yang
secara metodologis harus menyentuh faktor sosial, budaya, politik dan
ekonomi masyarakat. Karena itu, pendekatan filosofis mutlak dibutuhkan
agar kajian hak berkeyakinan mampu menjawab akar masalah
sesungguhnya.
Secara epistemologis, mengurai hak berkeyakinan merupakan kajian
teologis yang bersumber pada teks Nash yang normatif. Nash menempati
sumber tertinggi dalam pembenaran jalan menuju Tuhan. Karena itu,
syari’at sebagai satu tatanan hukum dibutuhkan untuk mencapai tujuan
insan kamil. Namun, Nash yang global yang terbatas dimensi problem
sosial yang mengitarinya dibutuhkan keberanian akal untuk menjawabnya.
Di sinilah dinamika aliran teologis dan politik yang mewarnai hukum
beragama dalam konteks negara. Dibutuhkan rekonstruksi beragama dan
menafsirkan Nash dalam konteks sosial agama agar permasalahan
sesungguhnya dapat terjawab.
Hak berkeyakinan adalah hak asasi manusia dan warga negara
Indonesia yang dijamin secara konstitusional dan hukum. Karena itu,
Ahmadiyah Yogyakarta atau lebih resmi dikenal Ahmadiyah Lahore yang
jika ditilik aspek kesejarahannya dan kontekstualisasi ajarannya secara
metodologis, harus diakui dan mempunyai kedudukan dan hak yang sama.
Maqom Ahmadiyah ialah pada wilayah teologis atas nash-nash yang
normatif dan umum, yang secara metodologis itu dimungkinkan dan
dibenarkan (relatif). Berbeda dengan Ahmadiyah Qodian (Jema’at
Ahmadiyah Indonesia) yang berbasis di Parung Jawa Barat, yang ajarannya
masuk dalam wilayah fikih, Ahmadiyah Yogyakarta justru tidak melakukan
itu. Ahmadiyah Yogyakarta umumnya menganut mazhab plural dengan
lebih mengakulturasi budaya Jawa Indonesia (Mazhab Indonesia). Melihat
benang merah ini, sebagai bangsa Indonesia sudah seharusnya
mengapresiasi Ahmadiyah Yogyakarta secara layak agar ia dapat tumbuh
dan berkembang seperti halnya golongan yang lain.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
47
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, cet. Ke-3
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum , Gadjah Mada University Press,
2006.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996.
Bahmueller, C.F. Principles and Practies of Education for Democratic Citizenship:
International Perspectives and Projects, USA: Eric Adjunct Clearinghouse
for International Civic Education, 1996.
Baso, Ahmad, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam
dan Fundamentalisme Neo-Liberal, Jakarta: Erlangga, 2006.
Beuken, Wim, Karl-Josef Kuschel (et al), dalam Religion as a Source of
Violence?, New York: Maryknoll, SCM Press Ltd and Orbis Books,
1997.
Bleicher, Josep, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy
and Critique, London: Routledge & Kegan Paul, 1980.
Engineer, Asghar Ali, The Rights of Women in Islam, Lahore, Karachi,
Islamabad, Peshawar: Vanguard Books (PVT) Ltd, 1992.
Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Qur’ani, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002.
Freire, Paulo, Pedagogy of Opressed, Penguin Books, 1978.
Ghani, Abdul Maqsud Abdul, dalam Agama dan Filsafat (Kajian terhadap
pemikiran Filosof Andalusia Ibnu Masarroh, Ibnu Thufail dan Ibnu Rushd).
Terjemahan, Kuswaidi Syafi’ie (ed.), Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000.
Haddad, Al-Tahir al-, Wanita dalam Syari’at dan Masyarakat (terj), Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1972.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
48
Nurainun Mangunsong: Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan...
Hanafi, Hasan, Hermeneutika Al-Quran? (terjemahan), Yudian Wahyudi,
Yogyakarta: Pesantren Nawesia Press, 2009.
Hantington, Samuel P., The Clash of Civilization, USA:Foreign Affairs, 1993,
Edisi Summer.
Hendropriyono, A.M., Nation State di Masa Teror, Semarang:Penerbit
Rumah Kata, 2007.
John Rowls, Theory of Justice, Cambridge, Mass: Harvard University Press,
1971.
Kompas, 2 Juli 2012.
Lebacqz, Karen, Six Theories of Justice, Indiana Polis: Augsbung Publishing
House, 1986.
Mill, Utilitarianism, New York: Bobbs-Merrill, 1957.
Nasr, Sayyed Hossen, Knowledge and Sacred, New York State University
Press, 1989.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, cet, keenam, Jakarta: Radjawali
Press, 2001.
Nottingham, Elizabeth K., Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi
Agama, Jakarta: Radjawali Press, 1985.
Pals, Daniel L., Seven Theiries of Religion, New York: Oxford University
Press, 1996.
Soleh, A. Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004.
Solomon, Robert C., From Rationalism to existentialism: the Existentialist and
Their Nineteenth-Century Backgrounds, New York: Herper & Row
Publisher, 1972.
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996.
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqih (terj) cet. ke-13, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2010.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Peran Intelektual dalam Ranah Publik
M. Nurdin Zuhdi 
Abstract
During these intellectuals believed that scientists are only related in academic
region alone. Even intellectuals with scientific viewed as something safely isolated
without giving effect and solutions to people's lives. The presence of these scientists as if
there is no influence in the public sphere. Public space with all the Problem faced by the
public and should require the completion of a thought. As scientists, intellectuals are
thinkers. Especially thinking in complete growing problems. From this, then comes the
anxiety of academic, how should the ideas of intellectuals capable of contributing to the
wider society, especially in solving actual problems that exist in the public domain? The
intellectuals should not just dwell on areas of scientific disciplines / academic per se, but
the intellectual is supposed to be much better able to respond to and resolve the problems
that exist in the public domain, not least the problems faced by the common people.
Key words: public intellectuals, public domain, actor intellectuals.
Abstrak
Selama ini para intelektual diyakini sebagai ilmuan yang hanya berhubungan
pada wilayah akademik semata. Bahkan para intelektual dengan keilmuannya
dipandang sebagai sesuatu yang terisolasi dengan aman tanpa memberikan pengaruh
dan solusi terhadap kehidupan masyarakat luas. Kehadiran para ilmuan ini seolaholah tidak ada pengaruhnya di ruang publik. Ruang publik dengan segenap
problematikanya yang dihadapi oleh masyarakat seyogyanya membutuhkan sebuah
pemikiran dan penyelesaian. Sebagai ilmuan, para intelektual merupakan para
pemikir. Terutama berpikir dalam menyelesaikan problem-problem yang berkembang.
Dari sinilah, kemudian muncul kegelisahan akademik, bagaimanakah seharusnya
gagasan-gagasan para intelektual ini mampu ikut berperan terhadap kehidupan
masyarakat luas, terutama dalam menyelesaikan problem-problem aktual kekinian
yang ada di ranah publik? Intelektual seharusnya tidak hanya sekedar berkutat pada
wilayah disiplin keilmuan/akademik semata, namun seharusnya jauh lebih mampu
dalam merespon dan menyelesaikan problematika yang ada di ranah publik, tidak
terkecuali problem-problem yang dihadapi oleh masyarakat awam.
Kata kunci: intelektual publik, ranah publik, peran intelektual.

Candidat Doktor (S3) Islamic Studies di Program Doktor PPs UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. E-mail: [email protected]
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
50
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
A. Pendahuluan
Ada beberapa problem akademik yang mendasar ketika
membicarakan peran intelektual di ranah publik.1 Kegelisahan akademik
inilah yang dialami oleh Palmquist yang bermula dalam suatu konferensi
yang diikutinya pada bulan Juli 1997. Pada saat itu, Palmquist menemukan
sebuah makalah yang menunjukkan bahwa seorang psikolog bernama Carl
Jung2 yang sangat terpengaruh oleh ide-ide Kant yang dinilai bermanfaat
sebagai perangkat konseling dalam psikologi.3 Dari sini kemudian
1Menurut F. Budi Hardiman, Ruang Publik (Indonesia), Publik Sphere (Inggris),
atau Offentlichkeit (Jerman ), merupakan sebuah konsep yang dewasa ini menjadi populer
di dalam ilmu-ilmu sosial, teori-teori demokrasi dan diskursus politis pada umumnya.
Filsafat dan ilmu-ilmu sosial pasca-komunisme berbicara bukan hanya tentang
‘globalisasi’ sebagai proses lanjut dalam kapitalisme-lanjut, melainkan juga berbicara
tentang “ruang publik” sebagai konsep kunci untuk memahami demokrasi dalam
masyarakat kompleks yang terglobalisasi di awal abad ke-21. Konsep ini praktis juga
menggeser konsep lain yang dulu pernah popular dan selalu terkait dengan kekerasan
sosio-politis, yaitu “revolusi”. Alih-alih mendorong perubahan sosial lewat suatu cetakbiru ideologis yang ditetapkan oleh elit, konsep “ruang publik” ingin mendorong
partisipasi seluruh warga negara untuk mengubah praktik-praktik sosio-politis mereka
lewat reformasi hukum dan politik secara komunikatif. Kata “publik” (public) dan
“kepublikan” (publicity) bukan berasal dari bahasa Indonesia. Kata ‘publik’ ini berasal dari
kata Latin, yaitu ‘publicus’. Dalam masyarakat Romawi kata publicus memiliki dua arti:
pertama, milik rakyat sebagai satuan politis atau milik Negara; dan kedua, sesuai dengan
rakyat sebagai seluruh penduduk atau umum. Lihat, F. Budi Hardiman (ed.), Ruang
Publik: Melacak Partisipasi Demokrasi dari Polis Sampai Cyberspace (Yogyakarta: Kanisius,
2010), p.1.
2Carl Gustav Jung lahir pada 26 Juli 1875 di Kesswil, sebuah kota kecil dekat
Danau Constance, Swiss. Kakek dari garis ayah, Carl Gustav Jung senior adalah seorang
dokter ternama di Basel. Ayahnya adalah pendeta di Gereja Reformasi Swiss dan ibunya
merupakan seorang putri dari teolog. Jung menempuh pendidikannya di Fakultas
Kedokteran University of Basel dengan mengambil spesialisasi dibidang psikiatri pada
tahun 1900. Jung adalah pencetus ide ketaksadaran kolektif (collective unconscious).
Sistem psikologi yang digagasnya hampir sama dengan Freud. Dia menyebut sistemnya
‘Psikologi analitik’ (Analitical Psycology). Perbedaan Utama pada Teori Libido. Freud
memperlihatkan libido terutama dalam konteks seksual, sedangkan Jung memperlihatkan
seks sebagai hanya salah satu bagian penggerak kekuatan dari libido.
3Stephen R. Palmquist, “Philosophers in the Public Square: A Relegious
Resolution of Kant’s Conflict”, dalam M. Amin Abdullah, “Bahan Ajar Kuliah Program
Doktor Islamic Studies” PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013, p. 231. Dalam ranah
Psikologi Kepribadian pemikiran Kant masuk dalam teori yang disusun berdasar
pemikiran spekulatif berdasarkan metodologi yang digunakan menyusun suatu teori.
Pemikiran Immanuel Kant masuk dalam teori temperamen ketika menggolongkan atas
dasar komponen kepribadian yang dipakai sebagai titik tolak dalam penyusunan
perumusan teoritis, dan teori yang mempunyai cara pendekatan tipologis. Teori
Immanuel Kant tentang kepribadian manusia sebagian terdapat dalam Critique der
praktischen vernunft (1788) dan Anthropologie (1799). Watak (character) dalam arti normatif
terdapat dalam Critique der praktischen vernunft. Watak sebagai kualitas pembeda satu orang
dengan yang lain secara khas terdapat dalam Anthropologie. Lihat, “Pemikiran Immanuel
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
51
Palmquist terdorong untuk mengekplorasi lebih jauh gagasan-gagasan
filusf—dalam hal ini adalah Kant—yang semestinya dapat diterapkan oleh
para filusf di ranah publik.4
Pertanyaan akademik yang muncul kemudian adalah Pertama,
bagaimana seyogyanya peran intelektual di ranah publik? Kedua, sejauh
mana para intelektual sebagai ilmuan yang selama ini identik dengan dunia
akedmik ini mampu berintegrasi secara langsung dengan persoalanpersolan lain, terutama dengan hal-hal yang berhubungan langsung dengan
warga masyarakat luas? Apakah para ineteltual juga memiliki peran yang
pantas sebagai pegawai pemerintahan juga sebagai pemangku keagamaan?
Kedua, sejauhmanakah seorang pemangku keagamaan (teolog) yang sejak
awal hanya mengenakan “jubah kebesaran” keagamaanya, juga sekaligus
berperan sebagai intelektual praktis? Artikel ini mengajak pembaca
mendiskusikan tema aktual yang akhir-akhir ini mencuat dan hangat
diperbincangkan dalam ranah publik.
Kajian tentang intelektual publik menjadi tema debat publik yang
hangat diperbicangkan dalam dasawarsa terakhir ini. Hal tersebut terbukti
ketika Majalah Prospect yang cukup berpengaruh di Inggris bekerja sama
dengan Majalah Foreign Policy pada tahun 2005 dan 2008 membuat jajak
pendapat tentang siapa saja intelektual publik yang pemikirannya
mempunyai pengaruh global dalam berbagai aspek debat publik. Majalah
Foreign Policy ini berisi kebijakan publik AS yang membuat daftar 100
intelektual terkemuka dunia dan membuat polling untuk mencari The Top
20 Public Intellectual. Jajak pendapat ini merilis 100 nama intelektual publik
yang paling berpengaruh di dunia.
Pada tahun 2005, nama 100 tokoh intelektual publik yang masuk
adalah Noam Chomsky, Umberto Eco, Richard Dawkins, Václav Havel,
Christopher Hitchens, Paul Krugman, Jürgen Habermas, Amartya Sen,
Jared Diamond, Salman Rushdie, Naomi Klein, Shirin Ebadi, Hernando
de Soto, Bjørn Lomborg, Abdolkarim Soroush,Thomas Friedman, Pope
Benedict XVI, Eric Hobsbawm, Paul Wolfowitz, Camille Paglia, Francis
Fukuyama, Jean Baudrillard, Slavoj Žižek, Daniel Dennett, Freeman
Dyson, Steven Pinker, Jeffrey Sachs, Samuel Huntington, Mario Vargas
Llosa, Ali al-Sistani, Edward O. Wilson, Richard Posner, Peter Singer,
Bernard Lewis, Fareed Zakaria, Gary Becker, Michael Ignatieff, Chinua
Achebe, Anthony Giddens, Lawrence Lessig, Richard Rorty, Jagdish
Bhagwati, Fernando Henrique Cardoso, JM Coetzee, Niall Ferguson,
Ayaan Hirsi Ali, Steven Weinberg, Julia Kristeva, Germaine Greer,
Kant Pengaruhnya Pada Filsafat, Modernisme dan Psikologi” dalam https:
//susansutardjo.wordpress.com/tag/pengaruh-kant-pada-psikologi/akses 18 Februari
2013.
4 Stephen R. Palmquist, “Philosophers in the Public Square”, p. 231.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
52
Antonio Negri, Rem Koolhaas, Timothy Garton Ash, Martha Nussbaum,
Orhan Pamuk, Clifford Geertz, Yusuf al-Qaradawi, Henry Louis Gates Jr.,
Tariq Ramadan, Amos Oz, Larry Summers, Hans Küng, Robert Kagan,
Paul Kennedy, Daniel Kahneman, Sari Nusseibeh, Wole Soyinka, Kemal
Derviş, Michael Walzer, Gao Xingjian, Howard Gardner, James Lovelock,
Robert Hughes, Ali Mazrui, Craig Venter, Martin Rees, James Q. Wilson,
Robert Putnam, Peter Sloterdijk, Sergei Karaganov, Sunita Narain, Alain
Finkielkraut, Fan Gang, Florence Wambugu, Gilles Kepel, Enrique
Krauze, Ha Jin, Neil Gershenfeld, Paul Ekman, Jaron Lanier, Gordon
Conway, Pavol Demes, Elaine Scarry, Robert Cooper, Harold Varmus,
Pramoedya Ananta Toer, Zheng Bijian, Kenichi Ohmae, Wang Jisi,
Kishore Mahbubani dan Shintaro Ishihara.5
Jika dilihat dari tempat kelahiran 100 tokoh intelektual publik di
atas, bisa dipersentasikan sebagai berikut: 40% berasal dari Amerika
Serikat dan Kanada, 25% dari Eropa, dan 22% dari Timur Tengah.
Sedangkan yang lainnya yang kurang dari 5% diantaranya adalah Amerika
Latin sebanyak 4 orang, Afrika dan Australia sebanyak 3. Kemudian jika
dilihat dari jenis klamin, intelektual publik laki-laki sebesar 92%,
sedangkan intelektual publik perempuan hanya 8%. Namun yang menarik
untuk dicermati dari data di atas adalah, ada satu nama tokoh dari
Indonesia yang masuk, yaitu Pramoedya Ananta Toer. Dalam jajak
tersebut, Pramoedya Ananta Toer menempati nomor urut ke 95. Hasil
polling ini tentu menggembirakan. Pramoedya Ananta Toer adalah
seorang pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia.
Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya. Bahkan karyanya telah
diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing. Salah satu karya
fenomenalnya berjudul Bumi Manusia.6
Sedangkan Pada tahun 2008, nama 100 tokoh intelektual publik
yang masuk adalah Fethullah Gülen, Muhammad Yunus, Yusuf alQaradawi, Orhan Pamuk, Aitzaz Ahsan, Amr Khaled, Abdolkarim
Soroush, Tariq Ramadan, Mahmood Mamdani, Shirin Ebadi, Noam
Chomsky, Al Gore, Bernard Lewis, Umberto Eco, Ayaan Hirsi Ali,
5Lihat,
The 2005 list "Intellectuals", dalam Prospect magazine, 2009. Retrieved 19
February 2010, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/FP_Top_100_Global_Thinkers/
akses 15 Mei 2013; lihat juga, http://www. foreignpolicy.com/story/cms.php?story_id
=4293.
6Bumi Manusia adalah buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta
Toer yang pertama kali diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tahun 1980. Buku ini ditulis
Pramoedya Ananta Toer ketika masih mendekam di Pulau Buru. Sebelum ditulis pada
tahun 1975, sejak tahun 1973 terlebih dahulu telah diceritakan ulang kepada temantemannya. Setelah diterbitkan, Bumi Manusia kemudian dilarang beredar setahun
kemudian atas perintah Jaksa Agung. Buku ini sukses dengan 10 kali cetak ulang dalam
setahun pada 1980-1981. Sampai tahun 2005, buku ini telah diterbitkan dalam 33 bahasa.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
53
Amartya Sen, Fareed Zakaria, Garry Kasparov, Richard Dawkins, Mario
Vargas Llosa, Lee Smolin, Jürgen Habermas, Salman Rushdie, Sari
Nusseibeh, Slavoj Žižek, Václav Havel, Christopher Hitchens, Samuel
Huntington, Peter Singer, Paul Krugman, Jared Diamond, Pope Benedict
XVI, Fan Gang, Michael Ignatieff, Fernando Henrique Cardoso, Lilia
Shevtsova, Charles Taylor, Martin Wolf, E.O. Wilson, Thomas Friedman,
Bjørn Lomborg, Daniel Dennett, Francis Fukuyama, Ramachandra Guha,
Tony Judt, Steven Levitt, Nouriel Roubini, Jeffrey Sachs, Wang Hui, V.S.
Ramachandran,
Drew Gilpin Faust, Lawrence Lessig, J.M. Coetzee,
Fernando Savater, Wole Soyinka, Yan Xuetong, Steven Pinker, Alma
Guillermoprieto, Sunita Narain, Anies Baswedan, Michael Walzer, Niall
Ferguson, George Ayittey, Ashis Nandy, David Petraeus, Olivier Roy,
Lawrence Summers, Martha Nussbaum, Robert Kagan, James Lovelock, J.
Craig Venter, Amos Oz, Samantha Power, Lee Kuan Yew, Hu Shuli,
Kwame Anthony Appiah, Malcolm Gladwell, Alexander de Waal, Gianni
Riotta, Daniel Barenboim, Therese Delpech, William Easterly, Minxin Pei,
Richard Posner, Ivan Krastev, Enrique Krauze, Anne Applebaum, Rem
Koolhaas, Jacques Attali, Paul Collier, Esther Duflo, Michael Spence,
Robert Putnam, Harold Varmus, Howard Gardner, Daniel Kahneman,
Yegor Gaidar, Neil Gershenfeld, Alain Finkielkraut dan Ian Buruma.7
Pada polling tahun 2008 ini ada beberapa tokoh yang kembali
masuk, diantaranya adalah Christopher Hitchens, Jürgen Habermas,
Abdolkarim Soroush, Yusuf al-Qaradawi dan lainnya. Pemikiran dan
gagasan-gagasan tokoh-tokoh ini pada tahun 2008 masih memiliki
pengaruh global, bahkan sampai hari ini. misalnya saja Jürgen Habermas
yang pemikirannya sampai hari ini masih hangat diperbincangkan, bukan
hanya pada tingkat diskusi semata, namun juga sampai kepada penelitian
setingkat disertasi. Pengaruh pemikiran dan gagasan-gagasan Jürgen
Habermas rupanya telah menyebar keseluruh dunia. Maka wajar, jika
Majalah Prospect dan Majalah Foreign Policy pada tahun 2005 dan 2008
memasukannya lagi ke dalam 100 intelektual publik yang paling
berpengaruh di dunia.
Namun dari data ini, yang menarik untuk dicermati adalah kembali
terpilihnya satu tokoh muda dari Indonesia. Tokoh muda tersebut adalah
Anies Baswedan. Anies adalah satu-satunya tokoh dari Asia Tengara, yang
terpilih sebagai 100 Tokoh Intelektual Publik Dunia versi Majalah Foreign
Policy tahun 2008 yang terbit di AS. Nama Rektor Universitas Paramadina
ini disejajarkan dengan tokoh dunia seperti Samuel Huntington,
Muhammad Yunus, Orhan Pamuk, Al Gore, Christopher Hitchens,
Jürgen Habermas, Noam Chomsky, Abdolkarim Soroush, Yusuf alQaradawi, Tariq Ramadan, Salman Rushdie dan sebagainya.
7
Ibid.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
54
Nama pria kelahiran 7 Mei 1969 ini juga bertengger bersama 230
tokoh muda dunia yang meraih “Young Global Leaders 2009” dari The
World Economic Forum (WEF).8 Anies pun satu-satunya tokoh dari 100
intelektual publik dari Indonesia yang terpilih sebagai 20 tokoh yang
membawa perubahan dunia untuk 20 tahun mendatang versi Majalah
Foresight pada April 2010 yang terbit di Jepang. Sedangkan di Indonesia
sendiri, Rektor termuda ini masuk dalam daftar 25 Tokoh Islam Damai
versi Majalah MADINA tahun 2008.
Fenomena masuknya Anies dalam 100 tokoh intelektual publik
paling berpengaruh di dunia ini merupakan bukti bahwa Indonesia bisa
bersaing dalam kancah global. Anies telah membuktikan bahwa seorang
akademisi tidaklah harus hanya berkutat pada wilayah akademik semata,
namun bisa berkarya yang dapat memberi pengaruh besar kepada dunia.
Hal inipun membuktikan bahwa seorang akademisi, baik itu sarjana,
magister, doktor, guru hingga dosen sekalipun seharunya bisa memberikan
andil bagi masyarakat luas. Jika tidak mampu secara global, setidaknya
secara nasional. Bahkan kepada masyarakat sekitarnya sekalipun.
Debat mengenai peran intelektual dalam ranah publik ini
mengundang banyak perhatian. Sehingga dalam dasawarsa terakhir ini
banyak para tokoh intelektual yang meresponnya dengan melahirkan karya
yang telah dipublikasikan dalam jurnal nasional maupun internasional.
Diantaranya adalah karya Gabriel Faimau dengan judul Ntt dan Intelektual
Publik;9 Anna Julia Cooper, Worth, and Public Intellectuals karya Carolyn M.
Cusick;10 Academics as Public Intellectuals, Edited by Sven Eliaeson and
Ragnvald Kalleberg;11 How to be a Public Intellectual karya Christopher
Hitchens;12 Introduction: Ideas, Intellectuals and the Public karya Dolan
Cummings;13 Public Intellectuals and Civil Society karya Jeffrey C. Alexander;14
8Selain
Anies, ada empat tokoh Indonesia lainnya yang masuk Young Global
Leaders 2009 yaitu, Nia diNata (Film Director), Butet Manurung (Educator and
Conservationist), Yenny Wahid (Director Wahid Institute) dan Silverius Oscar Unggul
(Founder JAUH). Lihat, The World Economic Forum (WEF), Young Global Leader
Honorees 2009 , p. 1-2.
9Lihat, Gabriel Faimau, “NTT dan Intelektual Publik” dalam Journal of NTT
Studies 1 (2), 2009, p. 088-094.
10 Carolyn M. Cusick “Anna Julia Cooper, Worth, and Public Intellectuals” dalam
Philosophia Africana, Vol. 12, No. 1, March 2009, p. 21-40.
11Sven Eliaeson and Ragnvald Kalleberg (ed.), Academics as Public Intellectuals,
(Newcastle: Cambridge Scholars Publishing, 2008).
12Christopher Hitchens, “How to be a Public Intellectual” dalam Prospect Magazine,
Issue 146, May 2008.
13Dolan Cummings, “Introduction: Ideas, Intellectuals and the Public” dalam
Critical Review of International Social and Political Philosophy, Vol. 6, No. 4, Winter 2003, p. 17.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
55
Race and the Public Intellectual:A Conversation with Michael Eric Dyson karya
Sidney I. Dobrin;15 Reflections of a Sometime-Public Intellectual karya Amitai
Etzioni;16 Rules for Public Intellectuals karya Lorenzo Morris;17 Public
Intellectuals and the Public Interest: Toward a Politics of Political Science as a Calling
karya Theodore J. Lowi;18 Sociology’s Public Intellectual karya McLaughlin;19
The Bioethicist as Public Intellectual karya Karen E. Geraghty;20 The Public
Intellectual as Agent of Justice: In Search of a Regime karya Steve Fuller;21 Paul
Robeson: The Quintessential Public Intellectual karya Paul Von Blum, J.D.;22 The
Resurfacing of the Public Intellectual: Towards the Proliferation of Public Spaces of
Critical Intervention karya Ulrich Oslender;23 The RSC as public intellectual
karya Gilles Paquet;24 dan yang terbaru adalah artikel berjudul What does it
mean to be a public intellectual? karya John Issitt and Duncan Jackson.25
Karya-karya yang membahas tentang intelektual publik di atas
merupakan bukti bahwa tema ini penting untuk diangkat ke permukaan
publik. Para pemerhati kajian intelektual publik ini ingin mengajak bahwa
para intelektual hendaknya bisa berperan lebih luas dalam kiprahnya. Para
Jeffrey C. Alexander, “Public Intellectuals and Civil Society”. Paper prepared as
the keynote address for “Public Intellectuals and Europe–European Public Intellectuals?
Sociological Perspective” UCD Dublin, October 7-8, 2005. Do not quote without
permission of author.
15 Sidney I. Dobrin, “Race and the Public Intellectual: A Conversation with Michael Eric
Dyson” (ttp: tt.), p. 143-181.
16 Amitai Etzioni, “Reflections of a Sometime-Public Intellectual” dalam
Symposium: Public Intellectuals, (ttp: tt.), p. 151-655.
17 Lorenzo Morris “Rules for Public Intellectuals” dalam Symposium: Public
Intellectuals, (ttp: tt.), p. 671-674.
18 Theodore J. Lowi, “Public Intellectuals and the Public Interest: Toward a
Politics of Political Science as a Calling” dalam Symposium: Public Intellectuals, (ttp: tt.), p.
675-181.
19 McLaughlin, “Sociology’s Public Intellectual” Canadian Journal of Sociology Online
May-June 2002, p. 1-2.
20 Karen E. Geraghty,” The Bioethicist as Public Intellectual” dalam The American
Journal of Bioethics, Vol. 4, No. 1, 2004, p. 17-23.
21 Steve Fuller, “the Public Intellectual as Agent of Justice: In Search of a Regime”
Philosophy and Rhetoric, Vol. 39, No. 2, 2006, p. 149-157.
22 Paul Von Blum, J.D. “Paul Robeson: The Quintessential Public Intellectual”
dalam The Journal of Pan African Studies, Vol. 2, No. 7, December 2008, p. 70-81.
23 Ulrich Oslender, “The Resurfacing of the Public Intellectual: Towards the
Proliferation of Public Spaces of Critical Intervention” dalam ACME: An International EJournal for Critical Geographies, Vol. 6, No. 1, p. 98-123.
24 This paper was presented to the 2005 Annual Symposium of the RSC – The
Academies of Arts, Humanities and Sciences of Canada on the general theme of
CANADA’S FUTURE. This symposium was held in Ottawa on November 25th, 2005.
Gilles Paquet was the President of the RSC from 2003 to 2005. In this paper, “Public
Intellectual” in the masculine refers to both men and women.
25 John Issitt and Duncan Jackson, “What does it mean to be a public
intellectual?” Tp.p. Tp.t. Maret, 2013.
14
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
56
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
intelektual publik hendaknya dapat mengambil peran besar dalam
kehidupan masyarakat luas, termasuk msyarakat awam sekalipun. Sehingga
seorang intelektual dapat memberikan sumbangsih serta soslusi yang
berarti bagi masyarakat dan dunia. Isu-isu aktual serta problematika yang
dihadapi oleh masyarakat akhir-akhir ini cukup pelik. Mulai dari isu
ekonomi, pendidikan hingga masalah kekerasan atas nama agama. Isu-isu
aktual yang dihadapi oleh masyarakat tersebut membutuhkan penyelesaian
yang mendesak. Di sinilah seharusnya seorang intelektual dapat berperan
aktif serta terlibat secara langsung di tengah-tengah masyarakat guna
menyelesaikan problematikanya. Hendaknya para intelektual tidak
“nyaman di menara gading”, sehingga lupa terhadap masyarakat yang ada
disekelilingnya.
B. Siapakah Intelektual Publik itu?
Christopher Hitchens yang namanya masuk dalam daftar 100
intelektual publik paling berpengaruh di dunia pada tahun 2005 dan 2008
menulis sebuah artikel menarik dalam Propect Magazine pada 24 Mei 2008.26
Hitchens mencoba mengkritisi penggunaan dan juga penyalahgunaan
istilah ‘intelektual publik’. Dalam artikel tersebut, Hitchens meruntut
sejumlah pandangan umum tentang siapa sebenarnya yang dimaksud
dengan istilah intelektual publik. Mulai dari pandangan bahwa intelektual
publik adalah seseorang yang mencari makan minum atau mendukung
hidupnya dengan terlibat aktif dalam ‘perang ide’, sampai pada keyakinan
klise bahwa intelektual publik adalah seseorang yang berdiri tegak
memperjuangkan kebenaran di hadapan penguasa dan kekuasaan.27
Dari definisi tersebut, Hitchens ingin menunjukkan bahwa menjadi
seorang intelektual publik adalah seseorang yang banyak berbuat positif
bagi orang lain seluas-luasnya. Tidak penting siapa dirinya, namun yang
penting adalah seberapa besar kontribusinya bagi orang lain. Pernyataan
Hitchens ini senada dengan pernyataan Gus Dur yang menyatakan banwa
“Tidak penting apapun agamamu atau sukumu. Kalau kamu bisa
melakukan ‘sesuatu’ yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah
tanya agamamu atau sukumu”. Pernyataan Gus Dur ini menarik untuk
dicermati, mengingat Indonesia merupakan negara yang plural. Bahkan,
akhir-akhir ini banyak kekerasan yang terjadi ditengah masyarakat yang
mengatasnamakan agama. Sedangkan menurut Gabriel Faimau intelektual
publik adalah mereka yang menuangkan dan meneruskan gagasan mereka
26Lihat, Christopher Hitchens, “How to be a public intellectual”, dalam Prospect
Magazine, Issue 146, 24 Mei 2008.
27Gabriel Faimau, “NTT Dan Intelektual Publik”, p. 139.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
57
kepada dunia luas tetapi juga menemukan jalan agar gagasan itu bisa
diwujudnyatakan.28
Dari berbagai pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa,
seorang intelektual publik adalah mereka yang mempunyai
gagasan/pemikiran, dan mampu menuangkan gagasan/pemikirannya
sacara luas, serta menjadikan gagasan/pemikirannya tersebut hidup dan
memiliki pengaruh positif bagi kehidupan masayarakat dan dunia.
Sehingga, seorang intelektual tidak hanya terpaku hanya kepada seorang
filusf semata yang banyak memiliki ide dan gagasan-gagasan, misalnya.
Namun, seorang mahasiswa (S1, S2, S3), professor, dosen, guru,
cendekiawan hingga budayawan juga termasuk seorang intelektual, bahkan
“seorang awam” sekalipun. Jadi pengertian intelektual publik sangat luas,
tidak tertuju hanya pada golongan tertentu saja, mamun bisa mencakup
siapa saja. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, sudah berapa
banyakkah intelektual publik Indonesia yang pemikiran dan gagasannya
mampu memberikan pengaruh secara global? Sejauhmanakah kualitas atau
peran intelektual publik Indonesia selama ini dalam kancah internasional?
Seberapa produktifkah para intelektual publik—teramasuk para pendidik,
guru, dosen, sarjana, S1, S2 dan S3—tersebut dalam melahirkan karya
yang mampu meberikan kontribusi berarti bagi masyarakat luas?
Sejauhmana peran intelektual publik dalam menyelesaikan tema-tema
aktual kekinian yang banyak menjadi problem maysarakat dewasa ini?
C. Tingkatan Peran Intelektual dalam Ranah Publik
Dalam menjalankan perannya di ranah publik, seorang intelektual
hendaknya bisa memilih peran yang cocok bagi dirinya. Sehingga peran
yang diemban dapat di jalankan dengan maksimal dan memberikan
pengaruh posisif bagi orang lain. Berbicara mengenai tingkatan peran
dalam ranah publik, Palmquist menjelaskan bahwa dalam pemikiran Kant
ada empat tingkatan mengenai peran filusf dalam ranah publik. Dimana
peran ini hemat penulis dapat juga di gunakan oleh seorang intelektual
ketika ia hendak terjun di ranah publik. Empat tingkatan peran tersebut
adalah sebagai berikut:29
1. Tingkatan pertama adalah General Publik. Tingkatan pertama ini
diduduki oleh masyarakat umum. Tingkatan pertama ini memiliki
potensial untuk dapat diperhatikan bagi setiap orang. Dalam arti bahwa
segala sesuatu yang terbuka untuk didiskusikan oleh semua orang.
Peran tingkatan pertama ini adalah sebagai anggota publik dalam
kehidupan warga masyarakat.
28
Ibid.
29Lihat
lebih lanjut dalam Stephen R. Palmquist, “Philosophers in the Public
Square”, p. 232-242.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
58
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
2. Tingkatan kedua adalah Public Servants. Tingkatan kedua ini diduduki
oleh para pegawai negeri (PNS). Yaitu orang-orang yang bekerja pada
pemerintahan, seperti penguhulu (KUA), hakim, dokter, atau juga bisa
professional apapun yang bidang keahliannya berhubungan secara
langsung dengan warga masyarakat umum. Tingkatan kedua ini
perannya adalah berurusan secara langsung dengan khalayak umum
dengan memberikan layanan kesejahtraan sosial.
3. Tingkatan ketiga adalah Higher Faculties. Tingkatan ini diduduki oleh
para komunitas akademik. Komunitas akademik seperti pendidik, guru,
atau dosen. Komunitas akademik ini disebut dengan higher faculties
(fakultas atas). Komunitas akademik ini berperan melatih para calon
professional yang akan menduduki posisi-posisi penting dalam jabatan
pemerintahan.
4. Tingkatan keempat adalah Philosophy Faculty. Tingkatan keempat ini
diduduki oleh fakultas filsafat yang oleh Kant disebut dengan lower
faculty (fakultas bawah). Berbeda dengan higher faculties yang berperan
mendidik para calon profesioanal yang akan menduduki posisi-posisi
penting dalam jabatan pemerintahan, istilah lower faculty merujuk kepada
sesuatu yang berhubungan secara langsung dengan masyarakat umum.
Tingkatan terakhir ini memiliki peran yang berurusan dengan konflik
kreatif antar komunitas akademik.
Dari beberapa tingkatan peran dalam ranah publik yang ditawarkan
oleh Kant di atas, hemat penulis bisa digunakan oleh para inteltktual
publik sesaui dengan bidangnya masing-masing ketika terjun di tengahtengah masyarakat. Namun ada beberapa kelemahan tingkatan yang
ditawarkan oleh Kant di atas, termasuk tingkatan kedua dan ketiga. Karena
tingkatan Higher Faculties untuk konteks Indonesia juga bisa masuk pada
tingkatan Public Servants. Dimana tingkatan kedua ini diduduki oleh para
pegawai negeri (PNS). Sehingga kedua tingkatan ini berbenturan. Padahal
pendidik, baik itu guru maupun dosen sebagian besar merupakan pegawai
negeri (PNS). Namun, di luar itu semua, tingkatan peran dalam ranah
publik yang ditawarkan oleh Kant telah memberikan gambaran bagi para
intelektual yang ingin berperan lebih luas dalam ranah publik.
D. Intelektual Publik dan Problematika Masyarakat: dari Akademisi
sampai Masalah Teologi
Menurut Palmquist, para higher faculties, sebagaimana juga pegawai
pemerintahan, mereka berperan sebagai anggota masyarakat ketika mereka
menjalani kehidupan sehari-hari sebagaimana warga masyarakat pada
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
59
umumnya.30 Namun, ketika mereka melaksanakan tugas-tugas resmi di
dalam dunia akademik, para higher faculties ini berfungsi sebagai pendidik.
Para higher faculties ini berperan melatih para calon professional yang akan
menduduki posisi-posisi penting dalam jabatan pemerintahan.
Kant berpendapat bahwa pemerintah memiliki tugas yang
semestinya untuk melakukan pengendalian sampai batas tertentu terhadap
para professional ini. Karena pemerintah memiliki kewajiban untuk
melindungi masyarakat agar merasa aman dari segala tekanan dan bentuk
kejahatan dari pihak manapun. Kant berpendapat bahwa pada umumnya
masyarakat itu ingin dipimpin. Karena kebanyakan orang, dalam hal ini
warga masyarakat, rentan untuk diperdayai. Nah, di sinilah tugas
pemerintah melindungi masyarakatnya dari segala kemungkinan buruk
yang akan terjadi. Jika warga masyarakat tersebut semakin tercerahkan
secara akademik, maka semakin mudahlah pemerintah dalam
mengontrolnya.31
Untuk konteks Indonesia, beberapa tahun terakhir para intelektual
ini perannya semakin luas. Intelektual bukan hanya bekerja pada wilayah
akademik semata, namun sudah mulai merambah secara lebih luas.
Contohnya, adanya departemen agama dalam pemerintahan Indonesia.
Padahal di barat departeman agama tidak ada. Di barat, antara agama dan
pemerintahan telah dipisahkan. Bagi mereka agama adalah masalah
individual. Pemerintah tidak perlu ikut campur dalam menangani masalah
keagamaan. Namun dalam konteks Indoensia masalah agama masih
ditangani oleh pemerintahan. Contohnya adalah adanya departemendeparteman Agama, Hindu, Budha, Kristen, Katolik dan Islam.
Bukanhanya itu, di Indonesia pun sampai ada Mentri Agama.
Departemen agama ini tuganya adalah mengurusi segala macam
persoalan keagamaan yang di hadapi oleh publik. Di sinilah, para
intelektual mulai berperan secara lebih luas dalam ranah publik. Para
intelktual ini bukan hanya berurusan dengan masyarakat semata, namuan
juga sekaligus berkaitan dengan pemerintahan. Jika diperhatikan, isu-isu
aktual dan problematika yang terjadi di Indonesia bukan hanya masalah
ekonomi, kesehatan dan pendidikan semata, bahkan akhir-akhir ini
problematika yang krusial adalah problem keagamaan. Sehingga tidak
heran jika akhir-akhir ini banyak sekali kekerasan yang terjadi di tengahtengah masyarakat mengatasnamankan agama.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang tema “Masyarakat Warga” lihat, Fitzerald
K. Sitorus, “Masyarakat Warga dalam Pemikiran G. W. F. Hegel” dalam F. Budi
Hardiman, Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokrasi dari Polis sampai Cyberspace
(Yogyakarta: Kanisius, 2010), p. 123-166.
31 Stephen R. Palmquist, “Philosophers in the Public Square”, p. 233-234.
30
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
60
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
Dari fenomena yang terjadi di Indonesia inilah, pemerintahan
Indonesia menciptakan Kementrian Agama RI, dimana di dalamnya ada
sebuah Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan.
Badan Kementrian Agama Islam ini mulai dipimpin oleh kalangan
intelektual akademisi hingga politisi, mulai dari zamannya Prof. Dr. A.
Mukti Ali hingga Dr. (HC) Suryadarma Ali. Selain sebagai seorang mentri
dalam kabinet pemerintahan, Mukti Ali adalah merupakan seorang
intelektual yang kapabilitas keilmunnya tidaklah diragukan lagi. Di
kalangan PTAIN dan PTAIS, misalnya, khususnya UIN Sunan Kalijaga
sendiri, pemikiran Mukti Ali sampai hari ini masih memiliki pengaruh
besar, termasuk dalam kajian Islam (Islamic Studies).
UIN Sunan Kalijaga yang dulunya IAIN32 dikenal sebagai lembaga
yang masih sangat kental berkiblat ke Timur, namun dalam
perkembangannya mengalami perubahan paradigma sejak dari generasi A.
Mukti Ali sampai munculnya kelompok tamatan Barat, termasuk
kelompok McGill University, dan beberapa universitas Amerika pada
masa Menteri Agama, Munawir Sjadzali.33 Perubahan paradigma ini sejalan
dengan perkembangan keilmuan di Barat, sejak abad ke-19 dalam kajiankajian agama.34 Perubahan paradigma dari pola ketimuran hingga pengaruh
Barat, juga berkembangnya berbagai metode ilmiah kontemporer tentunya
akan memberikan nuansa tersendiri bagi lahirnya produk pemikiran dalam
Studi Islam.
Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan ini
ditangani oleh para intelektual-intelektual (akademisi) yang tidak diragukan
lagi kualitas keilmuannya, sebut saja misalnya seperti Prof. Dr. Atho’
Mudhar, Prof. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D, Prof. Dr.Phil H. M. Nur
Kholis Setiawan, MA. dan lain-lainya. Badan Litbang dan Diklat
Puslitbang Kehidupan Keagamaan telah banyak melakukan trobosan
dalam menyelesaikan konflik-konflik keagamaan di masyarakat. Salah
satunya adalah mengadakan penelitian-penelitian tentang kehidupan
keagamaan.35 Dimana di dalamnya melibatkan berbagai kalangan, mulai
32Mengenai perubahan IAIN menuju UIN, lihat lebih lengkap dalam, M. Amin
Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), p. 361-404; lihat juga, M. Amin Abdullah, “Desain Pengembangan
Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pola Pendekatan DikotomisAtomistik ke Arah Integratif Interdisciplinary,” dalam Zainal Abidin Bagir dkk. ed.),
Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan Pustaka, 2005), p. 234-265.
33 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
(Jakarta: Logos, 2000), p. 172.
34 Ibid, p. 229-230.
35 Beberapa penelitian yang telah dipublikasikan diantaranya adalah, Nuhrison M.
Nuh (ed.), Aliran-aliran Keagamaan Aktual di Indonesia, (Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press,
2010); Kustini (ed.), Peranan Forum Kerukunan Umat Beragama dalam Pelaksanaan Pasal 8, 9,
Dan 10 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
61
dari dosen, penyuluh agama, mahasiswa, maupun peneliti, baik peneliti
individual, lembaga atau ormas (LSM) di bidang keagamaan. Penelitian
terbaru yang di adakan oleh Badan Litbang dan Diklat Puslitbang
Kehidupan Keagamaan adalah Penelitian Kompetitif 2013 dengan
berbagai tema keagamaan. Tema besar penelititan pada tahun 2013 ini
adalah Format Baru Kehidupan Keagamaan di Indonesia yang Inklusif. Tema
besar penelitian ini mencakup subtema paham, aliran dan gerakan
keagamaan; pelayanan keagamaan dan hubungan umat beragama.36
Selain berperan dalam pemerintahan, seorang intelektual pun juga
bisa berperan sebagai penulis yang produktif. Dimana karya karya tulisnya
mampu memberikan pengaruh luas bagi masyarakat, bahkan dunia.
Terutama dalam memecahkan tema-tema aktual kekinian yang menjadi
problem masyarakat, baik dalam bentuk buku, jurnal (nasionalinternasional), koran, maupun di media massa lainnya. Banyak tokoh
intelektual dunia yang memiliki pengaruh besar dan luas melalui gagasangagasannya yang dituangkan ke dalam karya tulis. Lihat saja misalnya,
beberapa tokoh intelektual yang masuk dalam daftar 100 intelektual publik
yang berpengaruh di dunia yang di publikasikan dalam Majalah Prospect dan
Majalah Foreign Policy pada tahun 2005 dan 2008. Contohnya, Abdolkarim
Soroush yang menulis buku berjudul Reason, Freedom, & Democracy in
Islam;37 Habermas dengan salah satu karyanya Theorie des kommunikativen
Handelns (Band 2), Zur Kritik der funktionalistischen Vernunft;38 dan The
Structural Transformation of the Publik Sphere: An Inquiry into a Category of
Bourgeois Society;39 Clifford Geertz dengan salah atu karyanya berjudul Local
Knowledge;40 Yusuf Qardhawi dengan salah satu karya monumentalnya
2006, (Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010); Bashori A. Hakim (ed.), Pandangan
Masyarakat terhadap Tindak Kekerasan Atas Nama Agama: Studi Hubungan antara Pemahaman
Keagamaan dengan Tindak Kekerasan Atas Nama Agama, (Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press,
2010); Imam Syaukani (ed.), Kepuasan Jamaah Haji Terhadap Kualitas Penyelenggaraan Ibadah
Haji Ahun 1430 H/2009 M,(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2011); Ahmad Syafi’i Mufid (ed.) Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di Indonesia
(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011).
36 Lihat, Kemenag RI, “Panduan Pelaksanaan Penelitian Kompetitif Kehidupan
Keagamaan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Tahun 2013” (Jakarta: Badan Litbang dan
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2013), p. 4-5.
37Lihat, Abdolkarim Soroush, Reason, Freedom, & Democracy in Islam (Oxford:
University Press, 2000).
38 Jurgen Habermas, Theorie des kommunikativen Handelns (Band 2), Zur Kritik der
funktionalistischen Vernunft, (Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 1988).
39Jurgen Habermas, The Structural Transformation of the Publik Sphere: An Inquiry into a
Category of Bourgeois Society (Cambridge: MIT Press, 1989).
40 Clifford Geertz, Local Knowledge, (London: Fontana Press, 1993).
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
62
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
Dirasah Muqaranah li Ahkamihi wa Falsafatihi fi Dhau’ al-Qur’an wa alSunnah;41 dan lain sebagainya.
Selain menjadi pejabat pemerintahan dan paroduktif melahrikan
karya, seorang intelektual pun bisa berperan sebagai pemangku agama
sekaligus. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh M. Amin Abdullah sebagai
berikut:
“…bahwa kemajuan ilmu pengetahuan, perkembangan
intelektual dan mekarnya pengalaman kehidupan manusia (human
experience), secara berlahan tapi pasti, akan bersentuhan dengan
bangunan, struktur, dan isi (content) ilmu pengetahuan
keagamaan”.42
Lihat saja misalanya, akhir-akhir ini banyak para dosen dan
akademisi yang mulai membangun pesantren. Akhir-akhir ini pun banyak
para pengasuh pondok pesantren di Indonesia yang memiliki gelar sarjana,
bahkan tidak sedikit yang bergelar Doktor. Bahkan, sesepuh Pesantren
Munawwir selain sebagai pengasuh pesantren, ia juga sebagai seorang
penulis kamus terkenal, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia.43 Selain itu kita
juga bisa menemukan kyai-kyai yang produktif dalam melahirkan karya
tulis, sebut saja misalnya Gus Dur, Gus Mus, Sahal Mahfudz dan lainlainnya. Mereka bukan hanya dikenal sebagai pemangku agama semata,
namun mereka juga dikenal secara global internasional. Karya-karya
mereka di kenal secara luas. Bahkan tidak sedikit gagasan-gagasan
pemikirannya mampu memberikan kontribusi dalam menyelesaikan
problem-problem aktual kekinian, terutama mengenai isu-isu agama
(pluralism) yang akhir-akhir ini hangat diperbincangkan.
Walaupun dalam sejarah pernah, bahkan mungkin sebagian kalangan
sampai saat ini masih menganggap bahwa hubungan antara agama dan
ilmu pengetahuan (Science), dalam hal ini para intelektual, baik pada wilayah
keilmuan-teoritis maupun pada wilayah praksis-keberagamaan tidak bisa
dipertemukan secara bersama. Keduanya memiliki hubungan yang kurang
harmonis. Hampir sepanjang masa, dua bentuk disiplin dan cara pandang
keilmuan ini senantiasa terlibat perseteruan, saling menonjolkan diri, saling
sikut, saling hantam, dan saling berebut pengaruh di kalangan para
41 Yusuf Qardhawi, Dirasah Muqaranah li Ahkamihi wa Falsafatihi fi Dhau’ al-Qur’an
wa al-Sunnah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2009).
42 M. Amin Abdullah, “Metode Kontemporer dalam Tafsir al-Qur’an:
Kesalingterkaitan Asbab al-Nuzul al-Qadim dan al-Jadid dalam Tafsir al-Qur’an
Kontemporer” dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 13, No. 1, 2011, p. 910.
43 Ahmad Warsono Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997).
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
63
peminat keilmuan dan para penganut agama pada umumnya.44 Pertanyaan
yang muncul adalah, apakah keduanya tidak bisa didamaikan dan
disandingkan secara bersama?
Hangatnya diskusi mengenai hubungan agama dan sains ini
mengundang banyak perhatian para intelektual. Hal tersebut telah banyak
memunculkan para intelektual dan cerdikcendekia untuk menawarkan
gagasan-gagasannya terkait dengan hubungan agama dengan sains ini. Ada
beberapa tokoh yang muncul dan menawarkan gagasanya. Diataranya
adalah Ian G. Barbour,45 Rolston Holmes,46 Ebrahim Moosa,47 Ibrahim
Kalin,48 dan M. Amin Abdulla.49
Menurut Amin Abdullah, hubungan antara agama dan sains
setidaknya dapat dilihat dari empat sisi, yaitu:50
1. Conflict (Bertentangan).
2. Independence (Berdiri sendiri-sendiri; tak berhubungan; tidak
bertegursapa).
3. Dialog (Berdialog; Berinteraksi, Bertegursapa).
4. Integration (Satu kesatuan yang utuh; saling memerlukan satu sama lain).
Dari empat pandangan inilah hubungan antara agama dan sains bisa
dilihat secara lebih cermat. Dan pada era sekarang setidaknya poin ke 3
dan ke 4 bisa menjawab tantangan zaman. Pada dasawarsa terakhir ini
PTAI-PTAI yang ada di Tanah Air mencoba mempertemukan hubungan
Agama dan Sains untuk mencari keharmonisan antara keduanya.
Imam Iqbal, “Struktur Nalar di Balik Polemik Teologi dan Filsafat Islam: dari
Konflik Ke Kerjasama, Menuju Appropriasi” Esensia Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol. 10,
No. 1, Juli 2009, p. 63.
45 Ian G. Barbour, Isu dalam Sains dan Agama, terj. Damayanti dan Ridwan,
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006).
46 Rolston Holmes, III, Science and Religion, A Critical Survey, (New York: Random
House, 1987).
47Ebrahim Moosa, “Perjumpaan Sains dengan Yurinprudensi: Pelbagai Pandangan
tentang Tubuh dalam Etika Islam Modern” dalam Ted Petters, Muzaffal Iqbal dan Syed
Nomanul Haq (eds.), Tuhan, Alam, Manusia: Perspektif Sains dan Agama, terj. Ahsin
Muhammad, Gunawan Admiranto dan Munir A. Muin (Bandung: PT Mizan, 2006).
48Ibrahim Kalin, “Tiga Pandangan tentang Sains di Dunia Islam”, dalam Ted
Petters, Muzaffal Iqbal dan Syed Nomanul Haq (eds.), Tuhan, Alam, Manusia: Perspektif
Sains dan Agama, terj. Ahsin Muhammad, Gunawan Admiranto dan Munir A. Muin
(Bandung: PT Mizan, 2006).
49 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan IntegratifInterkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006); M. Amin Abdullah, “Mempertautkan
keilmuan Ulum al-Diin, al-Fikr al-Islamiy, dan Dirasat al-Islamiyyah: Sumbangan Keilmuan
Islam untuk Peradaban Global” dalam Marwan Saridjo (Peny.), Mereka Bicara Pendidikan
Islam: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009).
50 Lihat, M. Amin Abdullah, “Ilmu, Agama dan Filsafat” dalam Draf Kuliah
Filsafat Ilmu, Program S 3, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Juli 2013, h. 5.
44
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
64
Pada awal tulisannya, Palmquist menceritakan kegelisahan
akademiknya bahwa tidak bisakah para filusf ini yang kental sekali dengan
dunia akademik semata sesekali terjun ke ranah publik dan secara langsung
beruhubungan dengan masyarakat umum. Palmquist melihat, bahwa
gagasan-gagasan para intelektual (filusf) seperti Kant ini bisa diterapkan
dan digunakan oleh masayarakat awam sekalipun. Itu artinya bahwa
Palmquist mengajak para intelektual untuk terjun ke ranah publik,
berhubungan secara langsung dengan masyarakat luas. Menurut Kant,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Palmquist bahwa seorang filusf tidak
hanya memiliki hak, namun juga memiliki kewajiban untuk melangkah ke
luar ke ranah publik.51 Dari sinilah, hubungan antara agama dan ilmu
pengetahuan seharusnya bisa di damaikan. Keduanya seharusnya bisa
saling melengkapi, bersinergi, berintegrasi satu sama lain dalam
mewujudkan kehidupan yang lebih baik untuk masyarakat luas.
Bagaimanakah seharusnya intelektual dan agama ini secara praksis berjalan
secara bersamaan dan saling bersinergi satu salama lain?
Jika dicermati, anatara teolog dan intelektual (filusf) sangat banyak
memiliki potensial untuk dirukunkan dalam rangka menciptakan
perdamaian yang lebih luas. Menurut Kant, hal ini dapat terwujud jika
antara filsafat dan agama ini keduanya dipahami dengan cara yang benar
agar tercerahkan.52 Bahkan Kant berpendapat seorang filusf sudah
seharusnya berani mengambil peran aktif dalam ranah agama sehingga bisa
membuat dampak yang signifikan bagi masyarakat luas.53 Begitupun
sebaliknya seorang teolog tidak ada salahnya dalam kesempatan yang lain
berperan sebagai seorang intelektual praktis. Artinya bahwa, seorang
intelektual tidak hanya berdiam diri atau nyaman di zona aman akademik
semata, namun seorang intelektual selain memiliki hak ia pun memiliki
kewajiban untuk terjun ke ranah publik dan berhubungan secara langsung
dengan masyarakat luas. Begitupun dengan para teolog yang selalu nyaman
mengenakan “jubah keteologiannya”.
Jika semakin banyak para itelektual yang ada diseluruh dunia ini
menyadari bahwa dunia akademik bukanlah satu-satunya profesi yang
dapat digeluti oleh para intelektual, melainkan para intelektual ini bisa
terjun secara langsung ke dalam ranah publik yang berhubungan secara
langsung dengan masayarakat umum tanpa harus meninggalkan status
mereka sebagai akademisi. Dengan adanya kesadaran para intelektual ini
untuk terjun ke ranah publik, maka masyarakat umum akan menjadi
semakin bisa tercerahkan. Bahkan, jika agama memang menjadi fokus
utama dalam kajian para intelektual, seharunya profesi alternatif lain yang
Stephen R. Palmquist, “Philosophers in the Public Square”, p. 242.
Ibid.
53 Ibid.
51
52
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
65
bisa dijalankan oleh seorang intelektual adalah menjadi pemangku
keagamaan.
Dari sinilah, ada beberapa langkah yang dapat dijalankan oleh
seorang intelektual agar dapat memainkan peran aktif dan positif dalam
komunitas keberagamaan.54 Dimana langkah-langkah ini menurut penulis
dapat diterapkan oleh para intelektual publik. Langkah-langka tersebut
adalah pertama, langkah ini dilakukan oleh seorang intelektual dengan cara
bergabung dan mendukung kelompok keagamaan dengan cara mendekat
sedekat mungkin tanpa memegang posisi professional apapun dalam
kelompok keagamaan tersebut. Kedua, jika seorang intelektual berharap
dapat menciptakan perbedaan dan perubahan yang positif dalam
komunitas keberagamaan dengan cara membawa pengetahuannya ke arena
publik, maka langkah yang bisa dilakukan oleh seorang intelektual adalah
dengan cara memegang posisi sebagai pemimpin agama formal.
Kedua langkah tersebut bisa diambil atau dipilih bagi para
intelektual yang ingin terjun secara langsung dalam ranah publik. Langkahlangkah tersebut dapat dijalankan oleh seorang intelektual agar dapat
memainkan peran aktif dan positif dalam komunitas keberagamaan di
tengah-tengah masyarakat. Seorang intelektual publik memiliki peran dan
andil yang besar dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat secara lebih
luas. Namun yang paling penting untuk dicermati ketika seorang
intelektual ingin terjun ke ranah publik, termasuk dalam kehidupan
keberagaman adalah menterjemahkan (men-translate) bahasa agama ke
dalam bahasa publik. Pentingnya menterjemahkan bahasa agama ke dalam
bahasa publik ini sangat memberikan pengaruh besar terhadap kerukunan
dalam beragama. Karena jika bahasa agama dibawa ke arena publik secara
mentah-mentah, tanpa “diterjemahkan”, bisa memberikan pengaruh
terhadap keharmonisan keberagamaan. Lebih parah lagi jika membawa
simbol-simbol kelompok agama tertentu ke arena publik, dimana dalam
arena publik tersebut banyak terdapat bermacam-macam dan bentuk
kelompok agama yang berbeda-beda.
Untuk menyikapi perbedaan dalam keberagamaan, agar tidak
menimbulkan keresahan maka pentingnya menterjemahkan bahasa agama
sebelum di bawa ke dalam arena publik. Contohnya, di dalam Islam
sendiri ada banyak aliran dan kelompok organisasi yang berbeda-beda
dalam mengucapkan salam. Misalnya NU dengan Muhammadiyah sendiri
saja sudah berbeda. Ketika seorang intelektual dari aliran atau kelompok
organisasi tertentu, misalnya, memiliki cara mengucapkan salam yang
berbeda dengan aliran atau kelompok organisasi lainya, maka ketika
54 Langkah-langkah yang penulis tawarkan ini terinspirasi dari gagasanya
Palmquist. Lihat, Stephen R. Palmquist, “Philosophers in the Public Square”…, p.243244.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
66
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
seorang intelektual tersebut terjun ke dalam ranah publik, di mana di
dalamnya telah diketahui banyak aliran atau kelompok organisasi lainnya
yang hadir, maka seorang intelektual tersebut tidak perlu membawa
“embel-embel” salamnya ke dalam ranah publik tersebut. Cukuplah
mengucapkan salam secara global atau umum saja. Itulah yang dimaksud
dengan menterjemahkan bahasa agama ke dalam bahasa publik. Itu
hanyalah contoh ringan saja. Masih banyak lagi masalah-masalah
keagamaan lainnya yang perlu diterjemahkan ketika akan dibawa ke dalam
ranah publik. Seperti masalah moral, politik, ekonomi, sosial, budaya,
pendidikan, kesehatan, lingkungan dan lain-lainnya.
E. Kesimpulan
Dari pemaparan tersebut di atas, beberapa kesimpulan yang dapat
diambil adalah bahwa yang dimaksud dengan intelektual publik adalah
mereka yang mempunyai gagasan/pemikiran dan mampu menuangkannya
serta menjadikan gagasan/pemikirannya tersebut terus hidup ditengahtengah masyarakat dan memiliki makna serta pengaruh positif bagi
kehidupan. Sehingga, seorang intelektual tidaklah hanya terpaku kepada
seorang filusf atau seorang akademisi semata. Namun, seorang mahasiswa
(S1, S2, S3), santri, sufi, pemangku agama (kyai, pendeta, pastur, romo,
biksu dll.), pendidik, guru, dosen, profesor, cendekiawan hingga
budayawan atau bahkan masyarakat awam sekalipun juga bisa termasuk
intelektual publik. Jadi pengertian intelektual publik sangat luas, tidak
tertuju hanya pada seseorang atau golongan tertentu saja, mamun bisa
mencakup siapa saja.
Intelektual publik yang selama ini selalu identik dengan dunia
akademik sudah seharusnya terjun dan berbaur dalam ranah publik agar
dapat memberikan pengaruh positif bagi masyarakat luas. Seorang
intelektual publik selain memiliki hak namun juga memiliki kewajiban
untuk terjun dan berhubungan secara langsung dengan masayarakat
umum, agar masyarakat umum dapat lebih tercerahkan. Intelektual publik
bisa terlibat secara aktif dalam komunitas keagamaan atau bahkan dapat
berperan langsung sebagai pemangku keagamaan tanpa harus
meninggalkan statusnya sebagai seorang ilmuan/akademisi. Disamping itu,
intelektual publik juga bisa berperan aktif dan produktif dalam penelitian
dan melahrikan karya tulis yang mampu memberikan pengaruh besar dan
kontribusi positif bagi masyarakat luas. Selain itu, teolog dan intelektual
pun sudah saatnya untuk hidup harmonis dan berdampingan, saling
membantu dan melengkapi satu sama lain. Seorang teolog dan intelektual
sudah saatnya untuk berdialog; berinteraksi, bertegursapa dan ber-integration;
menjadi satu kesatuan yang utuh, saling memerlukan satu sama lain guna
mewujudkan kehidupan masyarakat yang sehat, damai, rukun, mandiri,
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
67
berpendidikan. Begitupun sebaliknya, seorang teolog tidak ada salahnya
dalam kesempatan yang lain berperan dalam komuitas intelektual tanpa
meninggalkan “jubah” ke-teologiannya. Intelektual publik sudah saatnya
berani mengambil peran aktif dalam ranah publik sehingga bisa membuat
pengaruh positif bagi kehidupan dan masyarakat luas. Dengan demikian
kehidupan dan masyarakat ini semakin sejahtera dan tercerahkan.[]
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
68
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin. “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju
UIN Sunan Kalijaga: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke
Arah Integratif Interdisciplinary,” dalam Zainal Abidin Bagir dkk.
ed.), Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, Bandung: Mizan
Pustaka, 2005.
______, “Ilmu, Agama dan Filsafat” dalam Draf Kuliah Filsafat Ilmu,
Program S 3, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Juli 2013.
______, “Mempertautkan keilmuan Ulum al-Diin, al-Fikr al-Islamiy, dan
Dirasat al-Islamiyyah: Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban
Global” dalam Marwan Saridjo (Peny.), Mereka Bicara Pendidikan
Islam: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009.
______, “Metode Kontemporer dalam Tafsir al-Qur’an: Kesalingterkaitan
Asbab al-Nuzul al-Qadim dan al-Jadid dalam Tafsir al-Qur’an
Kontemporer” dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol.
13, No. 1, 2011.
______, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
______, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Alexander, Jeffrey C.. “Public Intellectuals and Civil Society”. Paper
prepared as the keynote address for “Public Intellectuals and
Europe–European Public Intellectuals? Sociological Perspective”
UCD Dublin, October 7-8, 2005. Do not quote without permission
of author.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru, Jakarta: Logos, 2000.
Barbour, Ian G.. Isu dalam Sains dan Agama, terj. Damayanti dan Ridwan,
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006.
Blum, J.D, Paul Von. “Paul Robeson: The Quintessential Public
Intellectual” dalam The Journal of Pan African Studies, Vol. 2, No. 7,
December 2008.
Cummings, Dolan. “Introduction: Ideas, Intellectuals and the Public”
dalam Critical Review of International Social and Political Philosophy, Vol.
6, No. 4, Winter 2003.
Cusick, Carolyn M.. “Anna Julia Cooper, Worth, and Public Intellectuals”
dalam Philosophia Africana, Vol. 12, No. 1, March 2009.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
69
Dobrin, Sidney I.. “Race and the Public Intellectual: A Conversation with Michael
Eric Dyson” (ttp: tt.).
Eliaeson, Sven. and Ragnvald Kalleberg (ed.), Academics as Public
Intellectuals, Newcastle: Cambridge Scholars Publishing, 2008.
Etzioni, Amitai. “Reflections of a Sometime-Public Intellectual” dalam
Symposium: Public Intellectuals, (ttp: tt.).
Faimau, Gabriel. “NTT dan Intelektual Publik” dalam Journal of NTT
Studies 1 (2), 2009.
Fuller, Steve. “the Public Intellectual as Agent of Justice: In Search of a
Regime” Philosophy and Rhetoric, Vol. 39, No. 2, 2006.
Geertz, Clifford. Local Knowledge, London: Fontana Press, 1993.
Geraghty, Karen E.. “The Bioethicist as Public Intellectual” dalam The
American Journal of Bioethics, Vol. 4, No. 1, 2004.
Habermas, Jurgen. The Structural Transformation of the Publik Sphere: An
Inquiry into a Category of Bourgeois Society, Cambridge: MIT Press, 1989.
______, Theorie des kommunikativen Handelns (Band 2), Zur Kritik der
funktionalistischen Vernunft, Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag,
1988.
Hakim (ed.), Bashori A.. Pandangan Masyarakat terhadap Tindak Kekerasan
Atas Nama Agama: Studi Hubungan antara Pemahaman Keagamaan
dengan Tindak Kekerasan Atas Nama Agama, Jakarta: Maloho Jaya
Abadi Press, 2010.
Hardiman (ed.), F. Budi. Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokrasi dari
Polis Sampai Cyberspace, Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Hitchens, Christopher. “How to be a Public Intellectual” dalam Prospect
Magazine, Issue 146, May 2008.
Holmes, Rolston. III, Science and Religion, A Critical Survey, New York:
Random House, 1987.
http://en.wikipedia.org/wiki/FP_Top_100_Global_Thinkers
http://www. foreignpolicy.com/story/cms.php?story_id =4293.
https://susansutardjo.wordpress.com/tag/pengaruh-kant-pada-psikologi
Iqbal, Imam. “Struktur Nalar di Balik Polemik Teologi dan Filsafat Islam:
dari Konflik Ke Kerjasama, Menuju Appropriasi” Esensia Jurnal
Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol. 10, No. 1, Juli 2009.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
70
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
Issitt, John. and Duncan Jackson, “What does it mean to be a public
intellectual?” Tp.p. Tp.t. Maret, 2013.
Kalin, Ibrahim. “Tiga Pandangan tentang Sains di Dunia Islam”, dalam
Ted Petters, Muzaffal Iqbal dan Syed Nomanul Haq (eds.), Tuhan,
Alam, Manusia: Perspektif Sains dan Agama, terj. Ahsin Muhammad,
Gunawan Admiranto dan Munir A. Muin, Bandung: PT Mizan,
2006.
Kemenag RI, “Panduan Pelaksanaan Penelitian Kompetitif Kehidupan
Keagamaan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Tahun 2013”
Jakarta: Badan Litbang dan Puslitbang Kehidupan Keagamaan,
2013.
Kustini (ed.), Peranan Forum Kerukunan Umat Beragama dalam Pelaksanaan
Pasal 8, 9, Dan 10 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam
Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press,
2010.
Lowi, Theodore J.. “Public Intellectuals and the Public Interest: Toward a
Politics of Political Science as a Calling” dalam Symposium: Public
Intellectuals, (ttp: tt.).
M. Nuh (ed.), Nuhrison. Aliran-aliran Keagamaan Aktual di Indonesia,
Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010.
McLaughlin, “Sociology’s Public Intellectual” Canadian Journal of Sociology
Online May-June 2002.
Moosa, Ebrahim. “Perjumpaan Sains dengan Yurinprudensi: Pelbagai
Pandangan tentang Tubuh dalam Etika Islam Modern” dalam Ted
Petters, Muzaffal Iqbal dan Syed Nomanul Haq (eds.), Tuhan, Alam,
Manusia: Perspektif Sains dan Agama, terj. Ahsin Muhammad,
Gunawan Admiranto dan Munir A. Muin, Bandung: PT Mizan,
2006.
Morris, Lorenzo. “Rules for Public Intellectuals” dalam Symposium: Public
Intellectuals, (ttp: tt.).
Mufid (ed.), Ahmad Syafi’i. Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di
Indonesia, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2011.
Munawwir, Ahmad Warsono. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia,
Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Oslender, Ulrich. “The Resurfacing of the Public Intellectual: Towards the
Proliferation of Public Spaces of Critical Intervention” dalam
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
71
ACME: An International E-Journal for Critical Geographies, Vol. 6, No.
1.
Palmquist, Stephen R.. “Philosophers in the Public Square: A Relegious
Resolution of Kant’s Conflict”, dalam M. Amin Abdullah, “Bahan
Ajar Kuliah Program Doktor Islamic Studies” PPs UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2013.
Qardhawi, Yusuf. Dirasah Muqaranah li Ahkamihi wa Falsafatihi fi Dhau’ alQur’an wa al-Sunnah, Kairo: Maktabah Wahbah, 2009.
Sitorus, Fitzerald K.. “Masyarakat Warga dalam Pemikiran G. W. F.
Hegel” dalam F. Budi Hardiman, Ruang Publik: Melacak Partisipasi
Demokrasi dari Polis sampai Cyberspace, Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Soroush, Abdolkarim. Reason, Freedom, & Democracy in Islam, Oxford:
University Press, 2000.
Syaukani (ed.), Imam. Kepuasan Jamaah Haji Terhadap Kualitas Penyelenggaraan
Ibadah Haji Ahun 1430 H/2009 M, Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI, 2011.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
72
M. Nurdin Zuhdi: Peran Intelektual dalam Ranah Publik...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
73
Kejahatan Terhadap Nyawa:
Sejarah dan Perkembangan Pengaturannya
dalam Hukum Pidana Indonesia
Oleh: Ahmad Bahiej *
Abstract
As a crime that is considered the most ancient and earliest performed by human
beings, crimes against life or murder and then setted it’s penalties. In the history of the
law known to man in the world, there are rules on the prohibition of crimes against this
life. This suggests that the basic human instinct of all the nations of the world consider
that taking the life of others is an act in violation of the value of justice in humanity
itself. Crimes against life set out in Chapter XIX of the Indonesian Criminal Code
entitled "Crimes against Life" which consists of various types of crime, namely murder,
murder by weighting, murder, murder of a baby by his mother, infanticide by mothers
with the plan, the murder at the request of victims themselves, advocacy for suicide and
abortion. In the draft Indonesian Penal Code 2010, there are some differences or
developments in the regulation of criminal murder, which does not explicitly mention the
word "deliberate", a special formulation of minimum criminal penalty and the
maximum specific and formulated alternative sanctions to criminal penalties. In
addition, in the draft Indonesian Penal Code 2010 also regulates the bill on crimes
such as the murder of the mother, father, son, wife, or husband with the threat of
criminal offenses take more weight than ordinary murder.
Key words: murder, a crime against life, the Indonesian criminal law,
criminal law reform Indonesia, Penal Code Bill
Abstrak
Sebagai sebuah kejahatan yang dianggap paling kuno dan paling awal
dilakukan oleh manusia, kejahatan terhadap nyawa atau pembunuhan kemudian
diatur tentang ancaman hukumannya. Dalam sejarah hukum yang dikenal manusia
di dunia, terdapat aturan tentang larangan kejahatan terhadap nyawa ini. Hal ini
menunjukkan bahwa naluri dasar kemanusiaan semua bangsa di dunia menilai
bahwa menghilangkan nyawa orang lain adalah perbuatan yang dianggap melanggar
nilai keadilan dalam diri manusia itu sendiri. Kejahatan terhadap nyawa diatur
dalam Bab XIX KUHP dengan judul “Kejahatan terhadap Nyawa” yang terdiri
dari berbagai macam jenis tindak pidana, yaitu pembunuhan biasa, pembunuhan
dengan pemberatan, pembunuhan berencana, pembunuhan bayi oleh ibunya,
pembunuhan bayi oleh ibunya dengan rencana, pembunuhan atas permintaan korban
Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. E-mail: [email protected]
*
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
74
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
sendiri, penganjuran untuk bunuh diri, dan pengguguran kandungan. Dalam RUU
KUHP 2010, terdapat beberapa perbedaan atau perkembangan dalam pengaturan
tindak pidana pembunuhan ini, yaitu tidak disebutkannya secara eksplisit kata
“sengaja”, dirumuskannya ancaman pidana minimum khusus dan maksimal
khusus, serta sanksi dirumuskan secara alternatif dengan pidana denda. Di samping
itu, di dalam RUU KUHP 2010 diatur pula tentang tindak pidana pembunuhan
terhadap orang tertentu seperti ibu, bapak, anak, istri, atau suaminya dengan
ancaman pidana yang lebuh berat daripada tindak pidana pembunuhan biasa.
Kata kunci: pembunuhan, kejahatan terhadap nyawa, hukum pidana Indonesia,
pembaharuan hukum pidana Indonesia, RUU KUHP
A. Pendahuluan
Tindak pidana terhadap nyawa merupakan salah satu tindak pidana
yang paling awal dilakukan oleh manusia. Dalam sejarah munculnya
manusia di muka bumi yang termaktub dalam kitab-kitab agama
menyebutkan bahwa anak Adam dan Hawa, yaitu Qabil1 melakukan
pembunuhan terhadap Habil2, saudara laki-lakinya.3 Dalam al-Qur’an,
kisah pembunuhan Qabil terhadap Habil diceritakan dalam surat AlMaidah (5) ayat 27-30 yang artinya kurang lebih sebagai berikut.
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil)
menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka
diterima salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari
1 Nama lain Qabil adalah "Kain" dari ‫קי ִן‬
ַ /‫ ; ָקי ִן‬dalam transliterasi Ibrani standar,
Qáyin sementara dalam Bahasa Ibrani Tiberias Qáyin / Qāyin. www.id.wikipedia.org,
akses 29 Agustus 2012.
2 "Habel" dari ‫הבֶל‬
ֶ / ‫ ; ָהבֶל‬dalam transliterasi Ibrani standar, Hével / Hável, dan
dalam Bahasa Ibrani Tiberias Héḇel / Hāḇel. Dalam Al-Qur'an, Habel disebut Hābīl
(‫ ;)هابيل‬Kain tidak disebutkan namanya dalam Al-Qur'an, meskipun tradisi Islam mencatat
namanya Qābīl (‫)قابيل‬. Kain disebut Qayen (ቃየን) dalam versi Ethiopia dari Kitab
Kejadian, meskipun dalam beberapa tempat lainnya seperti Surat Yudas 1:11, ia disebut
dengan variannya Qayel (ቃየል), dan dengan nama ini ia lebih sering disebut dalam
khotbah-khotbah. Sebagian orang telah mengusulkan bahwa nama Habel harus
diidentifikasikan dengan kata dalam bahasa Asyur “aplu”, yang semata-mata berarti "anak
lelaki". www.id.wikipedia.org, akses 29 Agustus 2012.
3 Qabil dan Habil adalah anak pertama, dan kedua dari pasangan pertama Adam
dan Hawa, yang dilahirkan setelah bumi setelah melakukan larangan Tuhan. Dalam
Alkitab, anak Adam dan Hawa yang lain yang disebut adalah Set. Cerita mereka
dikisahkan dalam Alkitab Ibrani atau Perjanjian Lama di Alkitab Kristen, yaitu dalam
Kitab Kejadian pasal 4 dan dalam Al-Qur'an dalam Surah 5:27-32. Dalam kedua versi ini
Qabil melakukan pembunuhan yang pertama dengan membunuh saudaranya setelah
Allah menolak korbannya, tetapi menerima korban Habil. Kitab Kejadian memberikan
tekanan pada pekerjaan kedua saudara ini; Habil menggembalakan ternak, sementara
Kain seorang petani. www.id.wikipedia.org, akses 29 Agustus 2012.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
75
yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!.” Berkata
Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang
bertakwa.”
“Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk
membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku
kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah,
Tuhan seru sekalian alam.”
“Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa
(membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni
neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zhalim.”
Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh
saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara
orang-orang yang merugi.”4
Beberapa ilustrasi kuno tentang pembunuhan Qabil/Kail terhadap
Habil/Habel digambarkan oleh bangsa Barat kuno sejak abad ke-15
berdasarkan kisah yang diceritakan dalam kitab suci agama Nasrani
maupun Yahudi.
Dalam Alkitab, khususnya dalam Kitab Kejadian (4:1-17) memberikan gambaran
singkat tentang kedua saudara ini. Dikatakan bahwa Qabil/Kain adalah seorang petani
yang mengolah tanahnya, sementara adiknya Habel adalah seorang gembala. Suatu hari
mereka mempersembahkan kurban kepada Allah. Kain mempersembahkan buah-buahan
dan gandum dan padi, sementara Habel mempersembahkan domba yang gemuk, anak
domba, atau susu, seperti yang dikatakan oleh Yosefus dari hasil pertama ternaknya.
Karena Allah tidak mau menerima apapun yg tumbuh dari bumi maka Allah tidak
menerima persembahan kain, Allah menerima kurban Habel, dan karena itu Kain
membunuh Habel, karena alasan yang juga tidak dijelaskan, seringkali dianggap sebagai
sekadar rasa iri karena Allah pilih kasih. Cerita ini berlanjut dengan Allah yang mendekati
Kain dan menanyakan di mana Habel berada. Jawaban Kain yang kemudian menjadi
ucapan yang sangat terkenal ialah, " Apakah aku penjaga adikku?". Allah melihat bahwa
Kain mencoba menipu, karena "Darah [Habel] adikmu itu berteriak kepada-Ku dari
tanah". Allah mengutuk Kain untuk mengembara di muka bumi. Kain ketakutan bahwa
ia akan dibunuh orang lain di muka bumi dan dalam rasa takutnya itu ia memohon
kepada Allah, dan karena itu Allah memberikan kepadanya tanda pada wajah Kain
sehingga ia tidak akan dibunuh, sambil berkata bahwa "barangsiapa yang membunuh
Kain akan dibalaskan kepadanya tujuh kali lipat." Lalu Kain pergi, "ke negeri
pengembaraan". Terjemahan-terjemahan lainnya menyebutkan bahwa ia pergi "ke Tanah
Nod", yang umumnya dianggap sebagai kekeliruan terjemahan dari kata Ibrani Nod, yang
artinya pengembaraan. Meskipun ia dikutuk untuk hidup mengembara, Kain belakangan
disebutkan mempunyai keturunan, dan mendirikan sebuah kota yang dinamainya
Henokh, sesuai dengan nama anaknya. www.id.wikipedia.org, akses 29 Agustus 2012.
4
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
76
Lukisan Kain dan Habel di Katedral Santo Bavo (1432) dan di Speculum Humane Salvationis, Jerman (abad ke-15).
Sumber www.id.wikipedia.org
Setelah terjadi pembunuhan tersebut, al-Qur’an tidak menyebutkan
hukuman yang ditimpakan kepada Qabil selaku pembunuh. Namun athThabari menjelaskan dalam Qisas al-Anbiya bahwa Qabil kemudian
melarikan diri dari ayahnya (Adam) menuju Yaman.5 Versi yang lain
menyebutkan bahwa Qabil mengembara di muka bumi sebagai bentuk
hukuman karena pembunuhan itu.
Lukisan Fernand-Anne Piestre Cormon yang berjudul "Kain melarikan diri karena Kutuk Yahweh "
(sekitar 1880, Musée d'Orsay, Paris. Sumber: www.id.wikipedia.com)
B. Sejarah Pengaturan Kejahatan terhadap Nyawa
Sebagai sebuah kejahatan yang dianggap paling kuno dan paling
awal dilakukan oleh manusia, kejahatan terhadap nyawa atau pembunuhan
kemudian diatur tentang ancaman hukuman bagi si pembunuh. Dalam
sejarah hukum yang dikenal manusia di dunia, terdapat aturan tentang
5
Kisah Habil dan Qabil, hermadut.blogspot.com, akses 29 Agustus 2012.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
77
larangan kejahatan terhadap nyawa ini. Hal ini menunjukkan bahwa naluri
dasar kemanusiaan semua bangsa di dunia menilai bahwa menghilangkan
nyawa orang lain adalah perbuatan yang dianggap melanggar nilai keadilan
dalam diri manusia itu sendiri.
Namun demikian, Kode Hammurabi6 yang dianggap sebagai aturan
hukum pertama kali di dunia ternyata sama sekali tidak menyebutkan
hukuman bagi pembunuhan, walaupun pidana mati sering kali dijatuhkan.7
Kode Hammurabi hanya menyebutkan bahwa “if a man put out the eye of
another man, his eye shall be put out. [an eye for an eye].If he break another man's
bone, his bone shall be broken.”8 Ketentuan yang dikenal dengan istilah lex
talionis ini dikenal pula dalam hukum Yahudi (Musa) yaitu eye an eye.
Larangan membunuh dalam hukum Yahudi dan Kristen tercantum
pula dalam sepuluh perintah Tuhan.9 Mengenai larangan membunuh ini,
tidak ada perbedaan antara ajaran dalam agama Yahudi, Ortodoks, Katolik
Roma, Katolik Lutheran, Anglikan, Reformasi, dan Protestan lain.10
Hukum tentang pembunuhan yang dibawa oleh Nabi Musa dicantumkan
dalam Kitab Keluaran Pasal 21:
“Sesungguhnya barangsiapa memukul manusia dan (mengakibatkan manusia
itu) mati, maka ia harus dibunuh. Dan jika orang laki-laki berlaku aniaya
terhadap laki-laki lain sehingga ia membunuhnya secara licik, maka engkau
harus mengambil dari mazbah-ku agar orang itu dibunuh. Barangsiapa
memukul ayah dan ibunya, maka ia harus dihukum mati. Jika terjadi
penganiayaan, maka balaslah jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, gigi dengan
Kode Hammurabi adalah kode hukum Babilonia, tertanggal 1700 SM Kode ini
adalah salah satu tulisan tertua di dunia yang diuraikan secara panjang dan signifikan. Raja
Babilonia keenam, Hammurabi (memerintah 1792-1750 SM), membuat kode itu di batu
seukuran manusia yang berbentuk tablet dari tanah liat. Kode ini terdiri dari 282 pasal
undang-undang dan ditulis dalam bahasa Akkadia, menggunakan cuneiform script yang
diukir pada prasasti tersebut. Saat ini Kode Hammurabi dipamerkan di Louvre, Paris.
7 Claude Hermann Walter Johns, Babylonian Law-The Code of Hammurabi, Lillian
Goldman Law Library, Yale Law School, http://avalon.law.yale.edu. Akses 29 Agustus
2012.
8 Lihat Pasal 196 dan 197 Kode Hammurabi, The Code of Hammurabi, Lillian
Goldman Law Library, Yale Law School, http://avalon.law.yale.edu. Akses 29 Agustus
2012.
9 Sepuluh perintah Tuhan atau bahasa Latinnya Dekalog (δέκα λόγοι) adalah
daftar perintah agama dan moral, yang merupakan sepuluh perintah yang ditulis oleh
Tuhan dan diberikan kepada bangsa Israel melalui perantaraan Nabi Musa di gunung
Sinai dalam bentuk dua loh (tablet) batu. Sepuluh Perintah Allah, www.id.wikipedia.org.
Akses 29 Agustus 2012.
10 Ibid.
6
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
78
gigi, tangan dengan tangan, kaki- dengan kaki, luka dengan luka, relah
(dibalas) dengan rela”.11
Dalam hukum yang dibawa Nabi Isa sebagian berpendapat bahwa
hukuman mati bagi pembunuh tidak ada dasarnya sama sekali. Mereka
berargumen dengan kitab kelima yang memuat sabda Nabi Isa:
“Janganlah engkau membalas kejahatan dengan kejahatan, akan tetapi jika
seseorang menempeleng pipi kananmu maka berilah juga pipi kirimu. Dan
(jika) ada orang yang memusuhimu dan mengambil bajumu, maka berikanlah
baju itu kepadanya. Dan (jika) ada orang yang menghinamu satu mil, maka
pergilah bersamanya sejauh dua mil”.12
Pendapat ini didukung oleh asy-Syafi’i dalam kitabnya al-Um yang
menyatakan bahwa bagi kaum Injil (Nasrani) diwajibkan memaafkan
pembunuh dan tidak membunuhnya.13 Sebagian yang lain berpendapat
bahwa hukum yang dibawa Nabi Isa mengenal adanya pidana mati dengan
berdasar pada apa yang telah diucapkan oleh Nabi Isa:
“Aku tidak datang untuk menghapuskan an-namūs (aturan hukum yang
telah ada sebelumnya), namun aku datang untuk menyempurnakannya”.14
Hal ini berarti hukum yang dibawa Nabi Isa tidak menghapuskan
hukum yang dibawa Nabi Musa dalam kitab Taurat yang diturunkan lebih
dahulu, namun lebih pada penyempurnaan. Pandangan demikian juga
selaras dengan al-Qur’an dalam surat Ali Imran ayat 50. Muhammad
Abduh juga menyatakan bahwa pidana qisas merupakan keharusan bagi
kaum Yahudi, diyat merupakan keharusan bagi kaum Nasrani, dan alQur’an berada di tengah-tengahnya yakni qisas dapat dilaksanakan jika
pihak keluarga korban menghendakinya atau keluarga dapat menerima
diyat jika ia memaafkannya.
Namun pendapat Muhammad Abduh tentang adanya pemaafan
dalam syariat Nasrani ini ditolak oleh salah seorang muridnya, Rasyid
Rida, karena pernyataan ini tidak disebutkan dalam kitab Injil. Kitab Injil
hanya menyebutkan wasiat agar memudahkan dan memberi maaf serta
membalas kejahatan dengan kebaikan. Dengan demikian, adanya syariat
diyat dalam Nasrani bertentangan dengan adanya ketentuan ini.15
Sedangkan dalam ajaran agama Islam, pembunuhan merupakan
salah satu jinayah (tindak pidana) yang pelakunya dapat dikenai hukuman
kisas atau diyat. Penentuan pidana kisas-diyat sebagai pidana bagi
As-Sayyid as-Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), p. 431.
Ibid.
13 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah, (Jakarta:
Bulan Bintang, tth.), p. 279.
14 As-Sayyid as-Sabiq, Fiqh as-Sunnah, p. 432.
15 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam, p. 279.
11
12
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
79
pembunuhan dalam hukum pidana Islam berdasar atas beberapa ayat alQur’an antara lain pada surat al-Baqarah ayat 178-179, Surat an-Nisa ayat
92 dan 93, dan Surat al-Maidah ayat 43.
Surat al-Baqarah ayat 178-179 menjelaskan tentang sanksi pidana
yang dapat diberikan kepada pelaku pembunuhan sengaja, yaitu pertama,
diberikan sanksi pidana qisas yang setara kepada pelaku pembunuhan
tersebut. Kedua, pemberian maaf dari keluarga korban terhadap pelaku
pembunuhan. Jika ada pemaafan dari pihak korban, maka pelaku
pembunuhan cukup membayar diyat (ganti rugi) kepada keluarga korban.
Pada akhir ayat ini Allah kemudian menutupnya dengan adanya
warning agar kaum beriman tidak melampaui batas. Tindakan-tindakan
yang melampaui batas dan mencerminkan ketidakadilan seringkali terjadi
sebelum turunnya ayat ini. Sebagai contoh jika terjadi pembunuhan antara
anggota kaum Yahudi Bani Quraizah dengan Bani Nazir. Bani Nazir yang
memposisikan derajatnya lebih tinggi daripada Bani Quraizah beranggapan
bahwa jika ada anggota Bani Nazir yang membunuh salah seorang anggota
Bani Quraizah, maka tidak dibalas dengan pidana mati (qisas), namun
cukup dibayar dengan denda seratus wasaq kurma.16 Sebagai gambaran, 1
wasaq sama dengan 60 gantang.17 Jika 1 gantang sama dengan 3,125 kg18
maka Bani Nazir kurang lebih membayar 18.750 kg (18,75 ton) kurma
kepada Bani Quraizah. Namun sebaliknya, jika anggota Bani Quraizah
membunuh salah seorang anggota Bani Nazir, maka Bani Quraizah
diwajibkan membayar denda dua kali lipat, yaitu sebanyak 200 wasaq (±
37,5 ton) kurma.
Awal ayat pertama menjelaskan pula bahwa hukuman qisas harus
dilaksanakan secara sepadan dengan kalimat yang terjemahnya “…orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita…”.
Pada masa Arab Jahiliyyah sering terjadi peperangan antar suku dan
mengakibatkan adanya jatuh korban di kedua belah pihak, termasuk di
dalamnya kaum wanita dan para budak. Pada saat suku-suku itu
menyatakan keislamannya, banyak di antara mereka yang belum
melakukan tuntutan. Di lain pihak, masih adanya anggapan bahwa
sukunya lebih mulia daripada suku yang lain. Oleh karena itu, di antara
mereka ada yang menuntut agar budak-budak mereka yang terbunuh
16 Ibn Katsir, "Tafsir Ibn Katsir", dalam al-Qur'an al-Karīm, 1997, Sakhr, CD
ROM, I: 210
17 Adib Bisri, Kamus Al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), p. 778.
18 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1997), p. 291.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
80
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
dibayar dengan orang-orang yang merdeka dan wanita yang terbunuh
dibayar dengan laki-laki.19
Sedangkan surat an-Nisa ayat 92 dan 93 menjelaskan kepada kaum
beriman tentang pembunuhan yang dilakukan tanpa adanya unsur
kesengajaan. Sanksi pidana bagi pembunuhan tidak sengaja adalah
memerdekakan hamba sahaya (budak) yang beriman sebagai kaffarah
(penebus dosa) serta diwajibkan membayar diyat atau ganti rugi kepada
keluarga korban. Terdapat dua kategori sanksi pidana dalam ayat
pembunuhan tidak sengaja ini, yaitu:
a. jika korban adalah dari kaum mukmin, namun bermusuhan dengan
pelakunya, maka pidana hanya berupa kaffarah yaitu memerdekakan
hamba sahaya.
b.jika korban adalah orang kafir yang telah ada perjanjian damai dengan
kaum mukmin, dikenakan pidana ganda, yaitu membayar diyat atau ganti
rugi kepada keluarga korban serta memerdekakan hamba sahaya yang
mukmin sebagai kaffarah-nya.
Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai asbāb an-nuzūl (sebabsebab turun) ayat ini.20 Menurut Mujahid ayat ini turun berkenaan dengan
kasus ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah, saudara seibu dari Abu Jahal, yang
membunuh al-Haris bin Yazid al-Ghamidy. Pada saat ‘Iyasy bin Abi
Rabi’ah masuk Islam, dia disiksa oleh Abu Jahal dan al-Haris bin Yazid alGhamidy. Al-Haris bin Yazid al-Ghamidy kemudian masuk Islam dan
mengikuti Nabi hijrah ke Madinah. Namun ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah tidak
mengetahui hal itu. Pada saat penaklukan kota Makkah (fath al-Makkah)
‘Iyasy bin Abi Rabi’ah melihat al-Haris bin Yazid al-Ghamidy dan dia
menyangka bahwa al-Haris bin Yazid al-Ghamidy masih kafir. Kemudian
‘Iyasy bin Abi Rabi’ah membunuh al-Haris bin Yazid al-Ghamidy.
Sedangkan Abdurrahman bin Yazid bin Aslam berpendapat bahwa
ayat ini turun berkaitan dengan kasus Abi Darda’ yang telah membunuh
seseorang.21 Sebelum orang tersebut terbunuh, ketika Abi Darda’ sedang
mengangkat pedangnya, orang tersebut mengucapkan kalimat al-īman
(syahadat). Abi Darda’ tidak menghiraukan dan tetap membunuhnya.
Kejadian tersebut kemudian diceritakan kepada Nabi dengan ditambahi
bahwa orang yang terbunuh itu mengucapkan kalimat al-īmān agar ia
terhindar dari pembunuhan. Nabi kemudian bertanya kepada Abi Darda’,
“Hal syaqaqta ‘an qalbihi?” (“Apakah Engkau telah membedah hatinya?”).
19 Ibn Katsir, "Tafsir Ibn Katsir; ‘Ali ash-Shabuni, Rawāi' al-Bayān Tafsīr Ayāt alAhkām min al-Qur'ān, (Damaskus: Maktabah al-Ghazali, tth.), p. 171-172.
20 Ibid.
21 Ibid.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
81
Pertanyaan ini merupakan pertanyaan retoris Nabi kepada Abi Darda’
bahwa seseorang tidak akan dapat mengetahui isi hati orang lain.
Menurut Ibn Katsir, surat al-Maidah ayat 45 juga menyerang kaum
Yahudi yang telah mengubah hukum Tuhan dalam kitab Taurat dengan
memberlakukan hukum yang tidak adil.22 Bentuk ketidakadilan kaum
Yahudi adalah dengan sengaja dan menentang dan memberlakukan pidana
denda bagi Bani Nazir jika membunuh Bani Quraizah. Namun
memberlakukan pidana mati bagi Bani Quraizah jika membunuh anggota
Bani Nazir. Bentuk pengubahan hukum oleh kaum Yahudi ini
sebagaimana terjadi dalam pemidanaan rajam bagi pezina muhsan yang
diganti dengan sanksi pidana dera, mempermalukan dengan dibedaki
hitam, dan diarak keliling pasar. Oleh karena itu, Allah menutup ayat ini
dengan kalimat barangsiapa tidak menghukumi menurut apa yang telah
diturunkan oleh Allah, maka mereka termasuk orang-orang yang dzalim.
Dalam tradisi hukum Barat modern, Kode Penal dianggap sebagai
kodifikasi hukum pidana modern dan menjadi induk bagi hukum pidana
terutama di negara-negara yang menganut Civil Law System, termasuk di
Indonesia.23 Kode Penal Perancis yang dibuat pertama kali tahun 1810
saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Perancis mengatur tentang
kejahatan terhadap nyawa dalam Buku III tentang Crimes and Delicts, and
their Punishment yang ditetapkan pada 17 Februari 1810 dan diumumkan
pada 27 Februari 1810. Bab I Buku III Kode Penal tersebut mengatur
tentang pembunuhan dan ancaman pidananya dalam Bagian I pada Pasal
295-308.24
Ibid.
Sumber hukum pidana Indonesia saat ini, yaitu Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), merupakan warisan kolonial Belanda yang bernama asli Wetboek van
Strafrecht vor Nederlandsch Indie (WvSNI) dan berganti nama setelah Indonesia merdeka
menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS) dan kemudian berdasar UU Nomor 1 Tahun 1946
bisa dibaca dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Negara Belanda
pertama kali membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan
disahkan pada tahun 1809 saat pemerintahan Lodewijk Napoleon. Kodifikasi hukum
pidana Belanda pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland.
Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Perancis menjajah Belanda dan
memberlakukan Penal Code (kodifikasi hukum pidana). Pada tahun 1813, Perancis
meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan
Penal Code itu sampai tahun 1886. Setelah perginya Perancis pada tahun 1813, Belanda
melakukan usaha pembaharuan hukum pidananya (Penal Code) selama kurang lebih 68
tahun (sampai tahun 1881).
24 The Napoleon Series, France Penal Code: Book The Third of Crimes and Delitcs, and
Their Punishment, transcribed by Tom Holmberg, www.napoleon-series.org. Akses 29
Agustus 2012.
22
23
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
82
Dalam Kode Penal tersebut, kehajatan pembunuhan terdiri dari
beberapa jenis, yaitu:
a. Pembunuhan berencana;
b. Pembunuhan terhadap orang tua (ayah/ibu);
c. Pembunuhan bayi;
d. Pembunuhan dengan peracunan dan penyiksaan/kebiadaban.
Sanksi pidana bagi pembunuh diatur dalam Pasal 304 yaitu murder
shall be punished with death, whenever it shall have preceded, accompanied, or followed
any other crime or delict. Dalam kasus yang lain, seseorang yang bersalah
karena membunuh dipidana dengan kerja keras terus-menerus (perpetual
hard labour). Selain itu, yang menarik lain dalam Kode Penal Perancis ini
adalah disebutkannya jenis sanksi pidana lain bagi kejahatan pembunuhan,
yaitu penjara dan denda (lengkap dengan ancaman maksimum dan
minimumnya), serta sanksi pidana pengawasan. Dengan demikian, sanksi
pidana yang diterapkan dalam kejahatan terhadap nyawa dalam Kode
Penal Perancis adalah sebagai berikut.
a. Mati;
b. Penjara;
c. Denda;
d. Pengawasan.
Sedangkan dalam sejarah tradisi hukum di Nusantara, pengaturan
tentang kejahatan terhadap nyawa telah diatur dalam perundang-undangan
kerajaan Majapahit (1293-1500 M) yaitu dalam Kitab Kutaramanawa atau
Kutaramana-wadharmasastra.25 Bab II Kitab Kutaramanawa mengatur tentang
delapan macam pembunuhan yang disebut dengan astadusta, yaitu:
1. Membunuh orang yang tidak berdosa;
2. Menyuruh bunuh orang yang tidak berdosa;
3. Melukai orang yang tidak berdosa;
4. Makan bersama dengan pembunuh;
5. Mengikuti jejak pembunuh;
6. Bersahabat dengan pembunuh;
7. Memberi tempat kepada pembunuh;
8. Memberi pertolongan kepada pembunuh.
Sanksi yang dikenakan terhadap tiga yang pertama (membunuh,
menyuruh pembunuhan, dan melukai orang yang tidak berdosa) adalah
pati. Ketiga dusta tersebut dikenal dengan istilah dusta bertaruh jiwa. Jika
memang yang terbukti bersalah mengajukan permohonan hidup kepada
Kutaramanawa atau Kutaramana-wadharmasastra adalah Kitab perundang-undangan
yang dipakai pada jaman kerajaan Majapahit. Kitab ini tertera dalam prasasti Bendasari
dan Trowulan yang berangka tahun 1358.
25
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
83
raja yang berkuasa, ketiga-tiganya dikenakan denda empat laksa masingmasing sebagai syarat penghapus dosanya. Sedangkan yang lima lainnya
(makan bersama pembunuh, mengikuti jejak pembunuh, memberi tempat,
bersahabat, dan menolong pembunuh) sanksinya berupa uang.
C. Kejahatan terhadap Nyawa dalam Hukum Pidana Indonesia
Menurut W.J.S. Poerwadarminta, pembunuhan secara terminologi
adalah perkara membunuh; perbuatan (hal, dsb) membunuh.26 Sedangkan
dalam istilah KUHP, pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan
nyawa orang lain.27 Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka tindak
pidana pembunuhan dianggap sebagai delik material bila delik tersebut
selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang
atau yang tidak dikehendaki oleh Undang-undang.28
Kejahatan terhadap nyawa diatur dalam Bab XIX KUHP dengan
judul “Kejahatan terhadap Nyawa”.29 Bab XIX ini terdiri dari Pasal 338
s.d. Pasal 350 yang terdiri dari berbagai macam jenis tindak pidana, yaitu:
a. Pembunuhan Biasa (Pasal 338 KUHP)
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP ini merupakan
tindak pidana dalam bentuk yang pokok, yaitu delik yang telah dirumuskan
secara lengkap dengan semua unsur-unsurnya.30 Adapun rumusan Pasal
338 KUHP adalah “barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam,
karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama limabelas tahun”.
Dari ketentuan dalam pasal tersebut, maka unsur-unsur dalam
pembunuhan biasa adalah sebagai berikut.
1. Unsur subyektif: perbuatan dengan sengaja
2. Unsur obyektif: perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain.
“Dengan sengaja” artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja dan
kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus)
yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah
terbentuk tanpa direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud
sengaja dalam Pasal 340 adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. 5 (Jakarta: Balai
Pustaka, 1982), p. 169.
27 P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus, cet. 1 (Bandung: Bina Cipta, 1986), p. 1.
28 Ibid.
29 Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1985),
p. xvii.
30 P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus, p. 17.
26
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
84
menghilangkan nyawa orang lain yang terbentuk dengan direncanakan
terlebih dahulu.31
Unsur obyektif yang pertama dari tindak pembunuhan yaitu
“menghilangkan”. Unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan, artinya pelaku
harus menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan
menghilangkan tersebut, dan ia pun harus mengetahui, bahwa tindakannya
itu bertujuan untuk menghilangkan nyawa orang lain.32 Berkenaan dengan
“nyawa orang lain” maksudnya adalah nyawa orang lain dari si
pembunuhan. Terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi
soal, meskipun pembunuhan itu dilakukan terhadap bapak/ibu sendiri,
termasuk juga pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP.
Dari pernyataan ini, maka KUHP tidak mengenal ketentuan yang
menyatakan bahwa seorang pembunuh akan dikenai sanksi yang lebih
berat karena telah membunuh dengan sengaja orang yang mempunyai
kedudukan tertentu atau mempunyai hubungan khusus dengan pelaku.33
Berkenaan dengan unsur nyawa orang lain juga, melenyapkan nyawa
sendiri tidak termasuk perbuatan yang dapat dihukum, karena orang yang
bunuh diri dianggap orang yang sakit ingatan dan ia tidak dapat
dipertanggung jawabkan.34
b. Pembunuhan dengan Pemberatan (Pasal 339 KUHP)
Pembunuhan dengan pemberatan diatur Pasal 339 KUHP yang
bunyinya sebagai berikut.
Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang
dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika tertangkap
tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya daripada hukuman, atau
supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum tetap ada dalam
tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara
selama-lamanya dua puluh tahun.
Perbedaannya dengan pembunuhan biasa dalam Pasal 338 KUHP
ialah
digunakannya redaksi “diikuti, disertai, atau didahului oleh
kejahatan” dalam Pasal 339. Kata “diikuti” dimaksudkan “diikuti
kejahatan lain”. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan
dilakukannya kejahatan lain. Misalnya A hendak membunuh B. Karena B
dikawal oleh P maka A lebih dahulu menembak P, baru kemudian
membunuh B.
Ibid., p. 30-31.
Ibid., p. 31.
33 Ibid.
34 M. Sudradjat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di dalam KUHP, cet. ke-2,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986), p. 122.
31
32
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
85
Kata “disertai” dimaksudkan “disertai kejahatan lain”. Pembunuhan
itu dimaksudkan untuk mempermudah terlaksananya kejahatan lain itu.
Misalnya C hendak membongkar sebuah bank. Karena bank tersebut ada
penjaganya, maka C lebih dahulu membunuh penjaganya. Kata
“didahului” dimaksudkan “didahului kejahatan lainnya atau menjamin agar
pelaku kejahatan tetap dapat menguasai barang-barang yang diperoleh dari
kejahatan”. Misalnya D melarikan barang yang dirampok. Untuk
menyelamatkan barang yang dirampok tersebut, maka D menembak polisi
yang mengejarnya.35 Unsur-unsur dari tindak pidana dengan keadaankeadaan yang memberatkan dalam rumusan Pasal 339 KUHP itu adalah
sebagai berikut.
1. Unsur subyektif
:
1) dengan sengaja
2) dengan maksud
2. Unsur obyektif
:
a). menghilangkan nyawa orang lain
b). diikuti, disertai, dan didahului dengan tindak pidana lain
c). untuk menyiapkan/memudahkan pelaksanaan dari tindak pidana yang
akan, sedang atau telah dilakukan
d). untuk menjamin tidak dapat dipidananya diri sendiri atau lainnya
(peserta) dalam tindak pidana yang bersangkutan
e). untuk dapat menjamin tetap dapat dikuasainya benda yang telah
diperoleh secara melawan hukum, dalam ia/mereka kepergok pada
waktu melaksanakan tindak pidana.36
Unsur subyektif yang kedua “dengan maksud” harus diartikan
sebagai maksud pribadi dari pelaku, yakni maksud untuk mencapai salah
satu tujuan itu (unsur obyektif), dan untuk dapat dipidanakannya pelaku,
seperti dirumuskan dalam Pasal 339 KUHP, maksud pribadi itu tidak
perlu telah terwujud/selesai, tetapi unsur ini harus didakwakan oleh
Penuntut Umum dan harus dibuktikan di depan sidang pengadilan.
Sedang unsur obyektif yang kedua, “tindak pidana” dalam rumusan
Pasal 339 KUHP, maka termasuk pula dalam pengertiannya yaitu semua
jenis tindak pidana yang (oleh UU) telah ditetapkan sebagai pelanggaranpelanggaran dan bukan semata-mata jenis-jenis tindak pidana yang
diklasifikasikan dalam kejahatan-kejahatan. Sedang yang dimaksud dengan
“lain-lain peserta” adalah mereka yang disebutkan dalam Pasal 55 dan 56
KUHP, yakni mereka yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan
(doenpleger), yang menggerakkan/membujuk mereka untuk melakukan
35
Leden Marpaung, Tindak Pidana terhadap Nyawa, (Bandung: Grafika, 1990), p.
36
P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus, p. 37.
30.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
86
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
tindak pidana yang bersangkutan (uitlokker), dan mereka yang
membantu/turut serta melaksanakan tindak pidana tersebut (medepleger).37
Jika unsur-unsur subyektif atau obyektif yang menyebabkan
pembunuhan itu terbukti di Pengadilan, maka hal itu memberatkan tindak
pidana itu, sehingga ancaman hukumannya pun lebih berat dari
pembunuhan biasa, yaitu dengan hukuman seumur hidup atau selamalamanya dua puluh tahun. Dan jika unsur-unsur tersebut tidak dapat
dibuktikan, maka dapat memperingan atau bahkan menghilangkan
hukuman.
c. Pembunuhan Berencana
Pembunuhan berencana diatur dalam Pasal 340 KUHP yang
bunyinya sebagai berikut.
Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang
lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun.
Pengertian “dengan rencana lebih dahulu” menurut Memorie van
Toelichting tentang pembentukan Pasal 340 diutarakan “dengan rencana
lebih dahulu” diperlukan saat pemikiran dengan tenang dan berfikir
dengan tenang. Untuk itu sudah cukup jika si pelaku berpikir sebentar saja
sebelum atau pada waktu ia akan melakukan kejahatan sehingga ia
menyadari apa yang dilakukannya.38
M.H. Tirtaamidjaja mengutarakan “direncanakan lebih dahulu”
antara lain bermakna sebagai “bahwa ada suatu jangka waktu,
bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir
dengan tenang.”39 Chidir Ali menyebutkan, yang dimaksud dengan
direncanakan lebih dahulu, adalah suatu saat untuk menimbang-nimbang
dengan tenang, untuk memikirkan dengan tenang. Selanjutnya juga
bersalah melakukan perbuatannya dengan hati tenang.40
Dari rumusan tersebut, maka unsur-unsur pembunuhan berencana
adalah:
a). Unsur subyektif, yaitu dilakukan dengan sengaja dan direncanakan
terlebih dahulu.
b). Unsur obyektif, yaitu menghilangkan nyawa orang lain.
37 Ibid., p. 36. Lihat juga Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan
Tindak Pidana, (Bandung: Armico, 1985), p. 9.
38 Leden Marpaung, Tindak Pidan., p. 31.
39 Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Fasco, 1955), p. 34.
40 Chidir Ali, Responsi., p. 74.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
87
Jika unsur-unsur di atas telah terpenuhi, dan seorang pelaku sadar
dan sengaja akan timbulnya suatu akibat tetapi ia tidak membatalkan
niatnya, maka ia dapat dikenai Pasal 340 KUHP.
d. Pembunuhan Bayi oleh Ibunya (kinder-doodslag)
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 341 KUHP yang bunyinya
sebagai berikut.
Seorang ibu yang dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya pada ketika
dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah dilahirkan karena takut ketahuan
bahwa ia sudah melahirkan anak dihukum karena pembunuhan anak dengan
hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Unsur pokok dalam Pasal 341 tersebut adalah bahwa seorang ibu
“dengan sengaja” merampas nyawa anaknya sendiri pada saat ia
melahirkan anaknya atau tidak berapa lama setelah anak dilahirkan.
Sedangkan unsur yang penting dalam rumusan Pasal tersebut adalah
bahwa perbuatannya si ibu harus didasarkan atas suatu alasan (motief), yaitu
didorong oleh perasaan takut akan diketahui atas kelahiran anaknya.41
Jadi Pasal ini hanya berlaku jika anak yang dibunuh oleh si ibu
adalah anak kandungnya sendiri bukan anak orang lain, dan juga
pembunuhan tersebut haruslah pada saat anak itu dilahirkan atau belum
lama setelah dilahirkan. Apabila anak yang dibunuh itu telah lama
dilahirkan, maka pembunuhan tersebut tidak termasuk dalam kinderdoodslag
melainkan pembunuhan biasa menurut Pasal 338 KUHP.
e. Pembunuhan Bayi oleh Ibunya secara Berencana (kinder-moord)
Tindak pidana ini diatur oleh Pasal 342 KUHP:
Seorang ibu dengan sengaja akan menjalankan keputusan yang diambil sebab
takut ketahuan bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan anak, menghilangkan
jiwa anaknya itu pada saat dilahirkan atau tidak lama kemudian daripada itu
dihukum karena membunuh bayi secara berencana dengan hukuman penjara selamalamanya sembilan tahun.
Perbedaan Pasal 342 KUHP dengan Pasal 341 KUHP adalah
bahwa Pasal 342 KUHP, telah direncanakan lebih dahulu, artinya sebelum
melahirkan bayi tersebut, telah dipikirkan dan telah ditentukan cara-cara
melakukan pembunuhan itu dan mempersiapkan alat-alatnya. Tetapi
pembunuhan bayi yang baru dilahirkan, tidak memerlukan peralatan
khusus sehingga sangat rumit untuk membedakannya dengan Pasal 341
KUHP khususnya dalam pembuktian karena keputusan yang ditentukan
41
Ibid., p. 76.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
88
hanya si ibu tersebut yang mengetahuinya dan baru dapat dibuktikan jika
si ibu tersebut telah mempersiapkan alat-alatnya.
f. Pembunuhan atas Permintaan Sendiri
Tindak pidana ini diatur oleh Pasal 344 KUHP:
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang lain itu
sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya dua belas tahun.
Pasal 344 ini mengatur mengenai pembunuhan atas permintaan dari
yang bersangkutan. Unsur khususnya, yaitu permintaan yang tegas dan
sungguh/nyata, artinya jika orang yang minta dibunuh itu permintaanya
tidak secara tegas dan nyata, tapi hanya atas persetujuan saja, maka dalam
hal ini tidak ada pelanggaran atas Pasal 344, karena belum memenuhi
perumusan dari Pasal 344, akan tetapi memenuhi perumusan Pasal 338
(pembunuhan biasa).
Contoh kasus dari Pasal 344 KUHP ini adalah jika dalam sebuah
pendakian (ekspedisi), seseorang minta kepada temannya agar temannya
membunuhnya. Hal ini disebabkan orang tersebut menderita sakit parah
sehingga ia tidak ada harapan untuk meneruskan pendakian mencapai
puncak gunung. Sementara orang tersebut tidak suka membebani kawankawannya dalam mencapai tujuan.
g. Penganjuran agar Bunuh Diri
Tindak pidana ini diatur oleh Pasal 345 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang supaya membunuh diri, atau
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi ikhtiar kepadanya untuk itu,
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, kalau jadi
orangnya bunuh diri.
Yang diatur dalam Pasal tersebut adalah “dengan sengaja
menganjurkan atau memberi daya upaya kepada orang lain, untuk bunuh
diri dan bunuh diri itu benar terjadi”. Jadi seseorang dapat terlibat dalam
persoalan itu dan kemudian dipidana karena kesalahannya, apabila orang
lain menggerakkan atau membantu atau memberi daya upaya untuk bunuh
diri dan baru dapat dipidana kalau nyatanya orang yang digerakkan dan
lain itu bunuh diri dan mati karenanya.
Unsur “jika pembunuhan diri terjadi” merupakan “bijkomende voorwaarde van strafbaarheid”, yaitu syarat tambahan yang harus dipenuhi agar
perbuatan yang terlarang/dilarang tadi dapat dipidana.42
42
Ibid, p. 76.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
89
h. Pengguguran Kandungan
Kata “pengguguran kandungan” adalah terjemahan dari kata abortus
provocatus yang dalam Kamus Kedokteran diterjemahkan dengan
“membuat keguguran”. Pengguguran kandungan diatur dalam KUHP
Pasal-Pasal 346, 347, 348, dan 349. Jika diamati pasal-pasal tersebut maka
akan dapat diketahui bahwa ada tiga unsur atau faktor pada kasus
pengguguran kandungan. Unsur-unsur tersebut adalah:
1. janin
2. ibu yang mengandung
3. orang ketiga, yaitu yang terlibat pada pengguguran tersebut.43
Tujuan pasal-pasal tersebut adalah untuk melindungi janin.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat arti “janin” sebagai
(1) bakal bayi (masih di kandungan (2) embrio setelah melebihi umur dua
bulan. Perkataan “gugur kandungan” tidak sama dengan “matinya janin”.
Kemungkinan, janin dalam kandungan dapat dibunuh, tanpa gugur.
Namun pembuat undang-undang dalam rumusan KUHP, belum
membedakan kedua hal tersebut.44
Pengaturan KUHP mengenai “pengguguran kandungan” adalah
sebagai berikut.
1) Pengguguran Kandungan oleh si Ibu
Hal ini diatur oleh Pasal 346 KUHP yang bunyinya sebagai berikut.
Perempuan dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya atau
menyuruh orang lain menyebabkan itu dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya empat tahun.
2) Pengguguran Kandungan oleh Orang Lain Tanpa Izin Perempuan
yang Mengandung
Hal ini diatur KUHP Pasal 347 yang bunyinya sebagai berikut.
(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan
seseorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu, dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
(2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
3. Pengguguran Kandungan dengan Izin Perempuan yang
Mengandungnya
Hal ini diatur oleh Pasal 348 KUHP yang bunyinya sebagai berikut.
(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan
seorang perempuan dengan izin perempuan itu, dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan
43
44
Leden Marpaung, Tindak Pidana., p. 46.
Ibid., p. 47.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
90
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
(2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Adapun sanksi tindak pidana pembunuhan sesuai dengan KUHP
bab XIX buku II adalah sebagai berikut.
1. Pembunuhan biasa, diancam dengan hukuman penjara selamalamanyalimabelas tahun
2. Pembunuhan dengan pemberatan, diancam dengan hukuman penjara
seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun
3. Pembunuhan berencana, diancam dengan hukuman mati atau penjara
seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun
4. Pembunuhan bayi oleh ibunya, diancam dengan hukuman penjara
selama-lamanya tujuh tahun
5. Pembunuhan bayi oleh ibunya secara berencana, diancam dengan
hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun
6. Pembunuhan atas permintaan sendiri, bagi orang yang membunuh
diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
7. Penganjuran agar bunuh diri, jika benar-benar orangnya membunuh
diri pelaku penganjuran diancam dengan hukuman penjara selamalamanya empat tahun
8. Pengguguran kandungan
a) Pengguguran kandungan oleh si ibu, diancam dengan hukuman
penjara selama-lamanya empat tahun.
b) Pengguguran kandungan oleh orang lain tanpa izin perempuan yang
mengandung, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya
dua belas tahun atau limabelas tahun, jika perempuan itu mati.
9. Pengguguran kandungan dengan izin perempuan yang
mengandungnya, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya
limatahun enam bulan atau tujuh tahun, jika perempuan itu mati.
Adapun tabel sanksi pidana bagi pembunuhan sebagaimana
disebutkan di atas adalah sebagai berikut:
No
1
2
3
4
5
Tabel 1.1.
Sanksi Pidana Pembunuhan dalam KUHP
Jenis Pembunuhan
Pasal
Akibat
Pembunuhan biasa
338
kematian
Pembunuhan
dengan 339
kematian
pemberatan
Pembunuhan berencana
340
kematian
Pembunuhan bayi oleh
Ibunya
Pembunuhan bayi oleh
Ibunya secara berencana
341
kematian
Sanksi
15 tahun penjara
seumur hidup atau
20 tahun
pidana mati
atau seumur hidup
atau 20 tahun
7 tahun penjara
342
kematian
9 tahun penjara
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
6
7
8
Pembunuhan atas
permintaan sendiri
Penganjuran agar bunuh
Diri
Pengguguran kandungan
- oleh si Ibu
- oleh orang lain tanpa izin
perempuan
yang
mengandung
- oleh orang lain dengan
izin perempuan yang
mengandung
91
344
kematian
12 tahun penjara
345
kematian
4 tahun penjara
346
347
348
Kematian bayi
Kematian bayi
Kematian ibu
Kematian bayi
Kematian ibu
4 tahun penjara
12 tahun penjara
15 tahun penjara
5 tahun 6 bulan
penjara
7 tahun penjara
Adapun alasan-alasan yang dapat menghilangkan sifat melawan
hukumnya perbuatan dibedakan dalam dua kategori, yaitu:
a. Alasan yang membenarkan atau menghalalkan perbuatan pidana, adalah:
1). Paksaan/membela diri atau noodweer (Pasal 49 ayat (1) KUHP)
2). Melaksanakan ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP)
3). Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh seorang
penguasa yang berwenang (Pasal 51 ayat (1) KUHP)
Ketiga alasan ini menghilangkan sifat melawan hukum dari suatu
tindakan sehingga perbuatan si pelaku menjadi diperbolehkan.
b. Alasan yang memaafkan pelaku, hal ini termuat dalam beberapa pasal.
1) Pasal 44 ayat (1) KUHP yang menyatakan seseorang tidak dapat
dipertanggungjawabkan perbuatannya, disebabkan jiwanya cacat dalam
tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit
(ziekelijke storing)
2) Pasal 48 KUHP yang menyatakan seseorang yang melakukan
perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.
3) Pasal 49 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa pembelaan
terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh
kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan
itu, tidak dipidana.
4) Pasal 51 ayat (2) KUHP yang menyatakan terhapusnya pidana
karena perintah jabatan tanpa wenang, jika yang diperintah, dengan
itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wenang, dan
pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaanya.
Ketentuan-ketentuan tentang alasan dan hal-hal yang
mempengaruhi pemidanaan ini bersifat umum, sehingga berlaku juga pada
kejahatan terhadap nyawa.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
92
D. Kejahatan terhadap Nyawa dalam RUU KUHP 2010
Dalam RUU KUHP 2010, tindak pidana pembunuhan diatur dalam
Pasal 572-581. Beberapa jenis tindak pidana pembunuhan yang diatur
dalam RUU KUHP 2010 adalah sebagai berikut.
a. Pembunuhan Biasa
Tindak pidana pembunuhan biasa diatur dalam Pasal 572 ayat (1)
dan (2) RUU KUHP 2010 dengan rumusan sebegai berikut.
(1) Setiap orang yang merampas nyawa seorang lain, dipidana karena pembunuhan
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun.
Ada beberapa perbedaan rumusan tindak pidana pembunuhan biasa ini
dengan yang diatur dalam KUHP.
1). Unsur subyektif dari tindak pidana ini tidak disebutkan secara eksplisit,
yaitu “sengaja” sebagaimana disebutkan dalam KUHP. Dalam
penjelasannya disebutkan bahwa pembunuhan selalu diartikan bahwa
korban harus mati, dan kematian ini
dikehendaki oleh pembuat.
Dengan demikian pengertian pembunuhan secara implisit mengandung
unsur kesengajaan. Apabila tidak ada unsur kesengajaan atau tidak ada
niat atau maksud untuk mematikan orang, tetapi kemudian ternyata
orang tersebut mati, maka perbuatan tersebut tidak dapat
dikualifikasikan sebagai tindak pidana pembunuhan menurut pasal ini.
Dalam ketentuan ayat ini tidak dicantumkan unsur "dengan sengaja"
atau "dengan berencana", karena kedua hal tersebut sudah diatur dalam
Pasal 39 dan Pasal 55 huruf j. Ditiadakannya tindak pidana berencana
dimaksudkan untuk memberi kebebasan kepada hakim dalam
mempertimbangkan ada tidaknya unsur berencana tersebut dalam
setiap kasus yang dihadapi. Dengan demikian hakim akan lebih
mengutamakan untuk mempertimbangkan motif, cara, sarana, atau
upaya membunuh, serta akibat dan dampaknya suatu pembunuhan bagi
masyarakat.45
2). Sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana ini telah mengenal adanya
sanksi pidana minimum khusus (3 tahun penjara) dan maksimum
khusus (15 tahun penjara). Adanya ancaman pidana minimum khusus
ini merupakan hal baru dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(baca: RUU KUHP 2010) yang belum dikenal dalam KUHP, namun
telah dikenal dalam beberapa perundang-undangan pidana di luar
KUHP. Pengaturan sistem pemidanaan baru ini dilakukan berdasarkan
beberapa pertimbangan, yaitu untuk menghindari adanya disparitas
45
RUU KUHP 2010, p. 281, diakses dari dirjenpp.kemenkumham.go.id.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
93
pidana yang sangat mencolok bagi tindak pidana yang sama atau
kurang lebih sama kualitasnya; untuk lebih mengefektifkan pengaruh
prevensi umum, khususnya bagi tindak pidana yang dipandang
membahayakan dan meresahkan masyarakat; dan apabila dalam hal-hal
tertentu maksimum pidana dapat diperberat, maka sebagai analog
dipertimbangkan pula bahwa untuk minimum pidana pun dalam halhal tertentu dapat diperberat. Pada prinsipnya pidana minimum khusus
merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana
tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau
meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau
diperberat oleh akibatnya.46
3). Di samping itu, RUU KUHP 2010 telah memasukkan tindak pidana
pembunuhan dengan korban yang ada hubungan darah dengan pelaku,
yaitu terhadap ibu, bapak, istri, suami, atau anaknya, maka pidananya
dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga). Hal ini belum diatur dalam
KUHP. Adanya pemberatan pemidanaan terhadap tindak pidana ini
didasarkan pertimbangan adanya hubungan antara pembuat tindak
pidana dan korban, yang seharusnya pembuat tindak pidana
berkewajiban memberi perlindungan kepada korban. 47
b. Pembunuhan dengan Pemberatan
Pembunuhan dengan pemberatan diatur dalam Pasal 572 ayat (3)
KUHP, yaitu:
Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh suatu tindak pidana yang
dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah
pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri atau peserta lainnya dari pidana
dalam hal tertangkap tangan, atau untuk memastikan penguasaan barang yang
diperolehnya secara melawan hukum, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun.
Tindak pidana pembunuhan dengan pemberatan ini hampir sama
pengaturannya dalam KUHP. Perbedaannya pada adanya sanksi pidana
minimum khusus 5 tahun penjara.
c. Pembunuhan Berencana
Pembunuhan berencana diatur dalam Pasal 573 RUU KUHP 2010
yang berbunyi sebagai berikut.
46
47
Ibid. p. 193.
Ibid. p. 193.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
94
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
Setiap orang yang dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun.
Pengaturan tentang tindak pidana pembunuhan berencana dalam
RUU KUHP sama seperti dalam KUHP, dengan perbedaan pada
ancaman pidana minimum khusus 5 tahun penjara.
d. Pembunuhan Bayi oleh Ibunya
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 574 yang bunyi lengkapnya
sebagai berikut.
(1) Seorang ibu yang merampas nyawa anaknya pada saat atau tidak lama setelah
dilahirkan, karena takut kelahiran anak tersebut diketahui orang lain,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
7 (tujuh) tahun.
(2) Orang lain yang turut serta melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipandang sebagai melakukan pembunuhan.
Pengaturan tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibunya dalam
RUU KUHP ini hampir sama dengan KUHP dengan ancaman pidana
maksimal 7 tahun penjara. Namun terdapat sedikit berbeda dengan
KUHP, yaitu pada adanya ancaman pidana minimum khusus 1 tahun
penjara. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa ayat ini memuat
peringanan ancaman pidana yang didasarkan pada pertimbangan bahwa
rasa takut seorang ibu yang melahirkan diketahui orang lain sudah
dianggap suatu penderitaan. Di samping itu, secara eksplisit diatur bahwa
orang lain yang turut serta melakukan perbuatan ini dipandang sebagai
melakukan pembunuhan dengan pertimbangan karena orang lain yang
turut serta dalam pembunuhan tidak berada dalam kondisi psikologis yang
sama dengan kondisi seorang ibu yang melakukan tindak pidana tersebut,
sehingga prinsip penyertaan tidak berlaku dalam ketentuan ayat ini. Berarti
orang yang turut serta dalam pembunuhan bayi oleh ibunya dipidana
karena pembunuhan biasa. Dalam RUU KUHP 2010 juga tidak mengatur
tentang tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibunya dengan rencana
terlebih dahulu.
e. Pembunuhan atas Permintaan Sendiri
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 575 RUU KUHP 2010 sebagai
berikut.
Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain
tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
95
keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun.
Perbedaan aturan ini dengan yang ada dalam KUHP adalah pada
ancaman sanksi pidananya. Dalam KUHP, ancaman pidana untuk
pembunuhan atas permintaan sendiri adalah lebih berat, yaitu 12 tahun
penjara, sedangkan dalam RUU KUHP 2010 ancaman minimum
khususnya 2 tahun penjara dan maksimum khususnya 9 tahun. Adapun
seorang dokter yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 575 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa ketentuan dalam pasal
ini mengatur tindak pidana yang dikenal dengan “euthanasia aktif”. Bentuk
“euthanasia pasif'” tidak diatur dalam ketentuan ini karena masyarakat
maupun dunia kedokteran tidak menganggap pembuatan tersebut sebagai
perbuatan anti. Meskipun “euthanasia aktif” dilakukan atas permintaan
orang yang bersangkutan yang dinyatakan dengan kesungguhan hati,
namun perbuatan tersebut tetap diancam dengan pidana. Hal ini
berdasarkan suatu pertimbangan karena perbuatan tersebut dinilai
bertentangan dengan moral agama. Di samping itu juga untuk mencegah
kemungkinan yang tidak dikehendaki, misalnya oleh pembuat tindak
pidana justru diciptakan suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga
timbul permintaan untuk merampas nyawa dari yang bersangkutan.
Ancaman pidana di sini tidak ditujukan terhadap kehidupan seseorang,
melainkan ditujukan terhadap penghormatan kehidupan manusia pada
umumnya, meskipun dalam kondisi orang tersebut sangat menderita, baik
jasmani maupun rohani. Jadi motif pembuat tidak relevan untuk
dipertimbangkan dalam tindak pidana. Pengertian “tidak sadar” dalam
ketentuan Pasal ini harus diartikan sesuai dengan perkembangan dalam
dunia kedokteran.
f. Penganjuran atau Pembantuan Orang Lain Bunuh Diri
Pasal 577 mengatur tindak pidana ini, yaitu:
Setiap orang yang mendorong, membantu, atau memberi sarana kepada orang lain
untuk bunuh diri dan orang tersebut benar-benar mati karena bunuh diri, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak
Kategori IV.
Ancaman pidana dalam pasal ini berbeda dengan KUHP yang
mengancam lebih tinggi 1 tahun (yaitu 4 tahun penjara) dan dengan sistem
tunggal, sementara dalam RUU KUHP 2010 ancaman pidananya 3 tahun
penjara dan dialternatifkan dengan sanksi pidana denda maksimal
Rp.75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
96
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
g. Pengguguran Kandungan
Pengguguran kandungan diatur dalam Pasal 578-581 RUU KUHP
2010 yang terdiri dari:
1). Pengguguran Kandungan oleh si Ibu
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 578 ayat (1) dengan rumusan
sebagai berikut:
Seorang perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak
Kategori IV.
Jika dibandingkan pengaturannya dengan KUHP, ancaman pidana
maksimal dalam tindak pidana ini sama, namun dalam RUU KUHP 2010
dirumuskan secara alternatif dengan pidana denda maksimal
Rp.75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
2). Pengguguran Kandungan oleh Orang Lain Tanpa Izin Perempuan
yang Mengandung
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 578 ayat (2) RUU KUHP 2010
dengan rumusan:
(1) Setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
perempuan tanpa persetujuannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mengakibatkan matinya perempuan tersebut, maka pembuat tindak pidana
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun.
Aturan bagi tindak pidana ini mengalami kemajuan sebagaimana dalam
pendahulunya (KUHP) di mana dalam RUU KUHP 2010 diatur ancaman
pidana minimal khususnya, yaitu 3 tahun penjara.
3). Pengguguran Kandungan dengan Izin Perempuan yang
Mengandungnya
Hal ini diatur oleh Pasal 579 RUU KUHP 2010 yang bunyinya
sebagai berikut.
(1) Setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
perempuan dengan persetujuannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
matinya perempuan tersebut, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan)
tahun.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
97
Aturan ini sama dengan yang ada dalam KUHP dengan perbedaan
dirumuskannya secara alternatif dengan sanksi pidana denda Kategori IV
(maksimal Rp.75.000.000,00) serta dirumuskannya sanksi pidana minimal
khusus.
Sedangkan Pasal 580 RUU KUHP 2010 diatur tentang pemberatan
pidana dalam tindak pidana pengguguran kandungan (Pasal 578 dan 579)
bagi seseorang dengan profesi khusus, yaitu dokter, paramedis, bidan,
apoteker dengan pemeberatan pidana ditambah 1/3. Namun tidak
dipidana jika pengguguran kandungan dilakukan oleh dokter dalam
keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil
dan/atau janinnya.
Adapun tabel sanksi pidana bagi pembunuhan sebagaimana
disebutkan di atas adalah sebagai berikut:
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Tabel 1.2.
Sanksi Pidana Pembunuhan dalam RUU KUHP 2010
dan Perbandingannya dengan KUHP
Jenis Pembunuhan
Pasal
Akibat
Sanksi
KUHP
Pembunuhan biasa
572
kematian
15
tahun
(1)
penjara
Pembunuhan terhadap 572
kematian
ibu,
bapak,
istri, (2)
suami, atau anaknya
Pembunuhan dengan 572
kematian
seumur hidup
pemberatan
(3)
atau 20 tahun
Pembunuhan
573
kematian
pidana mati
berencana
atau seumur
hidup atau 20
tahun
Pembunuhan
bayi 574
kematian
7
tahun
oleh Ibunya
penjara
Pembunuhan atas
575
kematian
12
tahun
permintaan sendiri
penjara
Dokter
yang 576
kematian
melakukan
eutanasia
atas
permintaan
sendiri
Penganjuran
dan 577
kematian
4
tahun
pembantuan
agar
penjara
orang lain bunuh diri
Pengguguran
kandungan
- oleh si Ibu
- oleh orang
lain
578
578
kematian
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
4
tahun
penjara
Sanksi RUU
KUHP 2010
3-15
tahun
penjara
Ditambah 1/3
3-20
tahun
penjara
pidana mati
atau seumur
hidup atau 520 tahun
1-7
tahun
penjara
2-9
tahun
penjara
12
tahun
penjara
3
tahun
penjara atau
pidana denda
kategori IV
4
th atau
denda kategori
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
98
tanpa
izin
perempuan
yang
mengandung
- oleh orang lain
dengan
izin
perempuan
yang
mengandung
(2)
579
12
tahun
penjara
15
tahun
penjara
5 tahun 6
bulan penjara
7
tahun
penjara
IV
3-12
tahun
penjara
3-15
tahun
penjara
5
tahun
penjara atau
denda kategori
IV
2-9
tahun
penjara
E. Kesimpulan
Kejahatan terhadap nyawa diatur dalam Bab XIX KUHP dengan
judul “Kejahatan terhadap Nyawa” yang terdiri dari berbagai macam jenis
tindak pidana, yaitu pembunuhan biasa, pembunuhan dengan pemberatan,
pembunuhan berencana, pembunuhan bayi oleh ibunya, pembunuhan
bayi oleh ibunya dengan rencana, pembunuhan atas permintaan korban
sendiri, penganjuran untuk bunuh diri, dan pengguguran kandungan.
Sedangkan dalam RUU KUHP 2010, terdapat beberapa perbedaan atau
perkembangan dalam pengaturan tindak pidana pembunuhan ini, yaitu
tidak disebutkannya secara eksplisit kata “sengaja”, dirumuskannya
ancaman pidana minimum khusus dan maksimal khusus, serta sanksi
dirumuskan secara alternatif dengan pidana denda. Di samping itu, di
dalam RUU KUHP 2010 diatur pula tentang tindak pidana pembunuhan
terhadap orang tertentu seperti ibu, bapak, anak, istri, atau suaminya
dengan ancaman pidana yang lebuh berat daripada tindak pidana
pembunuhan biasa.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
99
Daftar Pustaka
Ali, Chidir, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana,
Bandung: Armico, 1985.
Ash-Shabuni, ‘Ali Rawāi', al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur'ān,
Damaskus: Maktabah al-Ghazali, tth.
As-Sabiq, As-Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, 1977.
Bassar, M. Sudradjat, Tindak-tindak Pidana Tertentu di dalam KUHP, cet. ke2, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986.
Bisri, Adib, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1997.
Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah, Jakarta:
Bulan Bintang, tth..
hermadut.blogspot.com
Katsir, Ibn, "Tafsir Ibn Katsir", dalam al-Qur'an al-Karīm, 1997, Sakhr, CD
ROM.
Lamintang, P.A.F., Delik-delik Khusus, cet. 1, Bandung: Bina Cipta, 1986.
Marpaung, Leden, Tindak Pidana terhadap Nyawa, Bandung: Grafika, 1990.
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. 5, Jakarta: Balai
Pustaka, 1982.
RUU KUHP 2010, diakses dari dirjenpp.kemenkumham.go.id.
Series, The Napoleon, France Penal Code: Book The Third of Crimes and
Delitcs, and Their Punishment, transcribed by Tom Holmberg,
www.napoleon-series.org.
The Code of Hammurabi, Lillian Goldman Law Library, Yale Law School,
http://avalon.law.yale.edu.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
100
Ahmad Bahiej: Kejahatan Terhadap Nyawa…
Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, Jakarta: Fasco, 1955.
Walter Johns, Claude Hermann, Babylonian Law-The Code of Hammurabi,
Lillian
Goldman
Law
Library,
Yale
Law
School,
http://avalon.law.yale.edu.
www.id.wikipedia.org
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Politik Hukum Ekonomi Syari’ah Pasca
Reformasi di Indonesia
Oleh: Lukman Santoso 
Abstract
As a law country, Indonesia depends every country’s project pervading its
government on the regulation. In this construction of law country, Islamic law would be
a integrated part of reformulation and configuration national law. When New Orde
replaced by reformation in 1998, the process of legislation of Islamic law gets change
significantly. This era is the face of real transformation of Islamic law in shape of
regulation which is a product of interacting between Islamic political elite and the rulling
elite. Bearing of law product in form of economy syari’ah also may be seen as a shape of
appreciation and accommodation of government toward the law which lives in society
(living law). Even though bearing this product of law is the fresh air for legislation of
Islamic law in Indonesia, but left a basic problem yet. It needs a codification of law
product of syari’ah comprehensively and has a strong backing of law, hence it could be a
basic reason how the legislation of economic law syari’ah should be more important to
effort. Implementing Islamic law in economic activity or other modern financial activity
is not a simple thing to do. In this case, the development of economy syari’ah a little
more decided by the internal dynamics of humanity and the harmonic relation among
Islamic and citizen. The condusive climate of politic is likely to develop syari’ah
banking, which finally, the politic of law in economy syari’ah based on a process of
integration and legislation for Islamic social-political concept into system and
configuration of national social-politic.
Key word: legal policy, pasca reformation, economic shari’a
Abstrak
Sebagai negara hukum, Indonesia selalu mendasarkan setiap penyelenggaraan
negara dan pemerintahannya pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam bangunan negara hukum inilah, hukum Islam menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam reformulasi dan konfigurasi hukum nasional. Ketika era reformasi
menggantikan era Orde Baru di tahun 1998, proses legislasi hukum Islam pun
mengalami perubahan signifikan. Era ini menjadi wujud gejala nyata transformasi
hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan yang merupakan produk interaksi
antar elite politik Islam dengan elite kekuasaan (the rulling elite). Lahirnya produk
hukum bidang ekonomi syari’ah juga dapat dipahami sebagai bentuk apresiasi dan
akomodasi pemerintah terhadap hukum yang hidup di masyarakat (living law).
Meski lahirnya produk hukum ini merupakan angin segar atas legislasi hukum Islam
di Indonesia, namun menyisakan persoalan yang juga mendasar, yaitu belum adanya

Dosen Hukum STAIDA Lampung. E-mail: [email protected]
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah...
102
kodifikasi produk hukum ekonomi syari’ah yang secara komprehensif dan memiliki
payung hukum kuat, sehingga menjadi alasan mendasar bagaimana legislasi hukum
ekonomi syari’ah menjadi sangat penting untuk diupayakan. Penerapan hukum Islam
dalam kegiatan ekonomi atau kegiatan keuangan lainnya yang modern bukanlah
pekerjaan yang sederhana. Dalam konteks itu, perkembangan ekonomi syari’ah
sedikit banyak ditentukan oleh dinamika internal umat serta hubungan yang
harmonis antara umat Islam dan Negara. Iklim politik yang
kondusif memungkinkan berkembannya perbankan syariah, yang pada akhirnya,
politik hukum dalam bidang ekonomi syari’ah ditentukan oleh proses integrasi dan
legislasi gagasan sosial politik Islam kedalam sistem dan konfigurasi sosial politik
nasional.
Kata kunci: politik hukum, pasca reformasi, ekonomi syari’ah
A. Pendahuluan
Secara yuridis konseptual, Indonesia merupakan negara hukum.
Sebagai negara hukum, Indonesia selalu mendasarkan setiap
penyelenggaraan negara dan pemerintahannya pada peraturan perundangundangan yang berlaku. Spirit negara hukum itu salah satunya teraktub
dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan dengan tegas bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum.1 Dalam bangunan negara hukum
inilah, hukum Islam disamping hukum adat dan Barat menjadi bagian yang
tak terpisahkan dalam reformulasi dan konfigurasi hukum nasional.
Tidak bisa dipungkiri bahwa hukum Islam masuk ke Indonesia
bersamaan dengan masuknya agama Islam ke nusantara. Sejak agama
Islam dianut oleh penduduk nusantara, hukum Islampun mulai
diberlakukan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Norma atau kaidah
hukum dijadikan sebagai pedoman kehidupan setelah terlebih dahulu
mengalami institusionalisasi dan internalisasi. Dari proses interaksi sosial
inilah hukum Islam mulai mengakar dan menjadi sistem hukum dalam
masyarakat hingga saat ini.2
Ketika era reformasi menggantikan era Orde Baru di tahun
1998, proses legislasi hukum Islam pun mengalami perubahan signifikan.
Era reformasi menjadi penanda tidak ada lagi kekuasaan represif seperti
era Orde Baru, dan bertambah luasnya kran-kran aspirasi politik umat
Islam dengan bermunculannya partai-partai Islam dan tokoh-tokoh politik
Islam sehingga keterwakilan suara umat Islam bertambah di lembaga
legislatif maupun eksekutif. Perkembangan hukum Islam pada masa ini
memang mengalami kemajuan. Secara riil hukum Islam semakin
Lihat UUD 1945 Pasca Perubahan Pasal 1 ayat (3).
Sodiqin, “Periodisasi Sejarah Hukum Islam di Indonesia,” dalam www.
serbasejarah.wordpress.com, akses pada 19 September 2012.
1
2Ali
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah...
103
teraktualisasikan dalam kehidupan sosial. Wilayah cakupannya menjadi
sangat luas, tidak hanya dalam masalah hukum privat atau perdata saja
tetapi mulai masuk dalam ranah hukum publik, sehingga tidak heran jika
di berbagai daerah muncul perda-perda bernuansa syari’ah.
Era ini menjadi wujud gejala nyata transformasi hukum Islam dalam
bentuk perundang-undangan (Takhrij al-Ahkâm fî al-Nash al-Qânun) yang
merupakan produk interaksi antar elite politik Islam (para ulama, tokoh
ormas, dan cendekiawan muslim) dengan elite kekuasaan (the rulling elite)
yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai contoh pergumulan ini,
diundangkannya UU tentang Wakaf, Zakat, dan beberapa hukum lain,
peranan elite Islam cukup dominan dalam melakukan pendekatan dengan
kalangan elite di tingkat legislatif, sehingga berbagai undang-undang
tersebut dapat dikodifikasikan. Adapun prosedur pengambilan keputusan
politik di tingkat legislatif dan eksekutif dalam hal legislasi hukum Islam
(legal drafting) mengacu kepada politik hukum yang dianut oleh badan
kekuasaan negara secara kolektif.
Dalam sebuah perjalanan pemerintah atau Negara, tentu hukum
tidak dapat dipisahkan dengan politik. Disatu sisi hukum itu dibuat sesuai
dengan keinginan para pemegang kebijakan politik, sementara disisi lain
para pemegang kebijakan politik harus tunduk dan bermain politik
berdasarkan aturan hukum yang telah ditetapkan oleh lembaga yang
berwenang. Oleh karena itu antara politik dan hukum terdapat hubungan
yang sangat erat dan merupakan “two faces or a coin” (dua sisi mata uang).3
Dari berbagai pandangan tersebut, artinya ketika hukum dalam
dimensi sosiologis difahami sebagai refleksi tata nilai yang diyakini
masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Tentu, meskipun terjadi persinggungan antara
politik dan hukum, muatan hukum yang berlaku selayaknya mampu
menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan
hanya yang bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam
mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan.
Pluralitas agama, sosial dan budaya di Indonesia tidak cukup menjadi
alasan untuk membatasi implementasi hukum Islam hanya pada spek
tertentu saja yang dikehendaki pemerintah, semisal hukum keluarga.
Tetapi juga apa yang menjadi wacana dan kebutuhan masyarakat, termasuk
dalam bidang muamalah (ekonomi syari’ah) misalnya, hukum perbankan,
perdagangan, hukum tata niaga syari’ah, pidana syari’ah, atau bahkan tata
negara Islam. Terlebih kegiatan di bidang muamalah, semisal ekonomi
syari’ah di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami
pertumbuhan yang signifikan, namun banyak menyisakan permasalahan
3 M.Solly Lubis, Politik Dan Hukum Di Era Reformasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2003), p. 43
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah...
104
karena belum terakomodir secara baik dalam regulasi formil yang utuh
maupun kodifikasi hukum.4
Praktek hukum ekonomi syari’ah sebenarnya sudah dilaksanakan di
Indonesia sejak lama, namun masih dalam kebiasaan masyarakat (living law)
semata. Proses positivisasi baru diakomodir setelah era reformasi, yaitu
dengan lahirnya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, dan terakhir UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syari’ah, itu pun masih dalam batas yang sederhana.5
Lahirnya produk hukum ini menandai sejarah baru di bidang perbankan
yang mulai memberlakukan sistem ganda (dual system banking) di Indonesia,
yaitu sistem perbankan konvensional dengan piranti bunga dan sistem
perbankan syari’ah dengan piranti akad yang sesuai dengan prinsip-prinsip
syari’ah.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa pelembagaan hukum Islam
sudah tidak dikhotomis, meskipun masih banyak kelemahan di banyak
aspek. Kebijakan Pemerintah di bidang hukum pada era ini, menurut Arif
Sidharta, memiliki ciri-ciri: berwawasan kebangsaan dan nusantara;
mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan
dan keyakinan keagamaan; berbentuk tertulis dan terunifikasi; bersifat
rasional baik segi efisiensi, kewajaran, kaidah dan nilai; transparansi dan
responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.6
Lahirnya produk hukum bidang ekonomi syari’ah juga dapat
dipahami sebagai bentuk apresiasi dan akomodasi pemerintah terhadap
hukum yang hidup di masyarakat (living law). Hal ini berbeda dengan tiga
dasawarsa sebelumnya dimana paradigma pembangunan hukum yang
dianut pemerintah cenderung bersifat sentralisme hukum (legal centralism),
melalui implementasi politik unifikasi dan kodifikasi hukum bagi seluruh
rakyat dalam teritori negara, yang kemudian berimplikasi pada hukum
negara yang mengusur, mengabaikan dan mendominasi sistem hukum
yang lain.
Implikasi yang juga timbul dari proses konfigurasi politik era
reformasi ini adalah adanya kewenangan pengadilan agama untuk
mengadili sengketa ekonomi syari’ah, yakni melalui UU No. 3 Tahun 2006
Tentang Peradilan Agama (UU PA) Pasal 49 sampai Pasal 53.7 Dalam
Suhartono, “Dinamika Politik Hukum Kompetensi Peradilan Agama,” dalam
www.badilag.net, akses pada 19 September 2012.
5 Syaugi Mubarak Seff, “Regulasi Perbankan Syari’ah Pasca Lahirnya UU No. 21
Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah (Kajian Politik Hukum),” Jurnal Risalah Hukum,
Vol. 6, No. 2,Desember 2008, p. 86.
6 Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Era Reformasi,” Jurnal
Islamica, Vol 6, No. 1, September 2011, p. 121.
7 Lihat UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama Pasal 49-53.
4
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah...
105
undang-undang tersebut dijelaskan bahwa cakupan ekonomi syari’ah juga
sangat luas, yang dalam hal ini tercakup dalam lembaga keuangan baik
lembaga keuangan bank maupun lembaga non bank yang mendasarkan
pengelolaan operasionalnya menggunakan prinsip syari’ah.
Meski lahirnya produk hukum ini merupakan angin segar atas
legislasi hukum Islam di Indonesia, namun menyisakan persoalan yang
juga mendasar. Persoalan itu adalah terkait ambiguitas kewenangan
mengadili sengketa ekonomi syari’ah. Dalam UU No. 10 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syari’ah disebut secara jelas terkait kewenangan
sengketa merupakan penegasan dari UU PA. Namun, penyebutan
penyelesaian sengketa pada Bab IX Pasal 55 UU Perbankan Syari’ah selain
mengokohkan kewenangan yurisdiksi PA, juga mereduksi dan membuat
ambigu kewenangan tersebut. Apakah ini merupakan bentuk
ketidakpercayaan pemerintah/legislator terhadap institusi PA. Dalam pasal
tersebut disebutkan, penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah selain di PA,
bisa diselesaikan melalui musyawarah, mediasi perbankan, Basyarnas,
badan arbitrase lainnya atau peradilan umum.8 Ketentuan ini tentu
menunjukkan bahwa UU Perbankan Syari’ah belum sinkron dan harmonis
dengan produk hukum lainnya. Selain juga dapat menimbukan persoalan
dan mengganggu kemandirian PA.
Belum tuntas persoalan terkait kewenangan yang diberikan pada PA
untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dan belum genap satu
dasawarsa kewenangan tersebut diberikan, kini nampaknya sudah ada
gejala-gejala untuk dibatasi. Sebagaimana diketahui dari usulan pemerintah
yang dituangkan pada Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) ekonomi
syari’ah, secara diam-diam pemerintah berniat menyerahkan kewenangan
penyelesaian sengketa perbankan syari’ah kepada Peradilan Umum. Tentu
persoalannya tidak sesederhana itu, karena pasti akan memunculkan
kontroversi dari berbagai kalangan dalam perspektif yuridis, filosofis,
maupun metodologis. Dikhawatirkan hal ini menjadi titik balik dan
kontraproduktif dari semangat ekonomi Islam yang sedang bergairah.9
Dari diskusi dikalangan para guru besar, pakar, dan praktisi hukum
ekonomi syari’ah, serta wacana yang berkembang, seputar nomenklatur
ilmu ekonomi syariah dan kompetensi Peradilan Agama, juga
menunjukkan adanya bias kepentingan pragmatis dan inkonsistensi
bahkan kerancuan dari sisi aturan main pembentukan perundangundangan. Patut diduga pemerintah sebagai penyusun draft tidak
sepenuhnya memahami tentang substansi dan konsep ekonomi syari’ah.
Pemerintah masih beranggapan bahwa Peradilan Agama merupakan
Syaugi Mubarak Seff, “Regulasi Perbankan Syari’ah Pasca, p. 91
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema
Insani, 2001), p. 3.
8
9
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
106
Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah...
peradilan eksklusif umat Islam, dan anggapan eksklusivitas ini melahirkan
kekhawatiran otoritas moneter kita tentang keengganan investor asing
datang ke Indonesia. Kesan inilah yang pada gilirannya akan melahirkan
nuansa Islamophobia atau bahkan mengebiri perkembangan politik hukum
Islam yang tidak semestinya hadir.10
Dalam konteks itu, perlu adanya kodifikasi produk hukum ekonomi
syari’ah yang secara komprehensif dan memiliki payung hukum kuat, yang
merupakan alasan mendasar bagaimana legislasi hukum ekonomi syari’ah
menjadi sangat penting utuk diupayakan. Kompendium yang saat ini ada,
yakni Kitab Hukum Ekonomi syari’ah (KHES) yang di keluarkan
Mahkamah Agung juga belum bisa dijadikan rujukan yang memadai, karna
masih sebatas peraturan MA dan belum masuk dalam hierarki perundangundangan. Apalagi, adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang lebih
dulu lahir, secara konstitusional juga masih sangat lemah, karena
keberadaannya hanyalah sebagai Inpres (Intruksi Presiden). Karena itu
dibutuhkan suatu aturan hukum yang lebih kuat yang dapat menjadi
rujukan para hakim dalam memutuskan berbagai persoalan hukum. Untuk
itulah kita perlu merumuskan Kodifikasi Hukum Ekonomi Islam dan KHI
menjadi satu, sebagaimana yang dibuat pemerintahan Turki Usmani
bernama Al-Majallah Al-Ahkam al-’Adliyah yang terdiri dari 1851 Pasal.11
Beberapa persoalan inilah yang harus dirumuskan secara baik dalam
proses legislasi di masa depan. Selain juga tetap menelaah terhadap produk
hukum yang ada terkait bagaimana proses legislasinya dan mengapa
sampai menimbulkan ketidak harmonisan dengan produk hukum lain.
Meskipun tidak dipungkiri, upaya legislasi hukum Islam di Indonesia selalu
menghadapi kendala struktural dan kultural, baik secara internal maupun
eksternal. Secara internal, para pendukung sistem hukum Islam belum
tentu beranggapan bahwa hukum Islam itu sebagai suatu sistem yang
belum final, perlu dikembangkan dalam konteks hukum nasional.
Sedangkan kendala eksternal yakni struktur politik yang ada belum tentu
mendukung proses legislasi hukum Islam.
Memang proses mengusung ke jalur legislasi sehingga menghasilkan
produk undang-undang yang baik tidaklah mudah. Maka dalam proses
perumusannya perlu mengkomparasikan pendapat madzhab fikih
muamalah yang tertuang dalam kitab-kitab fikih, tentunya yang sesuai
dengan sosio-kultural bangsa Indonesia sepanjang tidak bertentangan
dengan nilai-nilai ajaran syari’ah. Disamping itu, perlu melibatkan pakar
akademisi dan praktisi ekonomi syari’ah, perlu juga melibatkan DPS
10Suhartono,
“Dinamika Politik Hukum Kompetensi Peradilan Agama,” dalam
www.badilag.net, akses pada 19 September 2012.
11Agustianto,
“Urgensi Kodifikasi Hukum Ekonomi Syari’ah,” dalam
www.pesantrenvirtual.com, akses 19 September 2012.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah...
107
(Dewan Pengawas Syari’ah), Dewan Syari’ah Nasional (DSN),
BASYARNAS, BAMUI, Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahtsul
Matsa’il Nahdhatul ulama (NU), karena bagaimanapun mereka adalah
representasi pemikir hukum Islam di Indonesia yang dalam kesehariannya
selalu bergelut dengan persoalan-persoalan kontemporer hukum Islam,
khususnya ekonomi syari’ah. Hal ini secara otomatis dapat menghilangkan
sikap ta’assub (fanatik) madzhab.
Aspek-aspek inilah yang akan menjadi fokus kajian yang berjudul
“Konfigurasi Politik Dan Hukum Islam Pasca Reformasi di Indonesia;
Studi Tetang Reformulasi Politik Hukum Bidang Ekonomi Syari’ah.”
Dengan kajian ini diharapkan telaah atas nilai-nilai hukum Islam di
Indonesia mempunyai lingkup yang lebih luas lagi. Karna bagaimanapun
hukum merupakan penjelmaan dari struktur ruhaniyah suatu masyarakat
atau sebagai penjelmaan dari nilai-nilai sosial budaya dari golongan yang
membentuk hukum tersebut.12
B. Konsep Politik Hukum Islam
Hingga saat ini, istilah politik hukum sudah sangat banyak
digunakan dalam berbagai disiplin cabang-cabang ilmu hukum. Beberapa
pakar hukum juga mengungkapkan pengertian politik hukum yang cukup
definitif. Politik hukum secara mendasar lahir dari istilah Belanda yaitu
“rechts-politiek” yakni bentukan dua kata “rechts” (hukum) dan “politiek”
(politik). Antara kedua kata ini terdapat hubungan yang erat walaupun
masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda. Kata politik dalam
kamus bahasa Belanda yang ditulis Van der Tas mengandung arti beleid,
yang berarti kebijakan (policy). Adapun kebijakan sendiri dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia berarti rangkaian konsep dan asas yang menjadi
garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan dan cara bertindak.13
Sedangkan hukum secara sederhana dapat dikatakan bahwa law in
generic sense, is a body of rules of action or conduct prescribed by controlling authority,
and having binding legal force atau mengutip Sri Soemantri Martosoewignjo,
bahwa hukum adalah seperangkat aturan tingkah laku yang berlaku dalam
masyarakat. Artinya semua ilmuwan hukum sependapat bahwa hukum
adalah aturan-aturan mengenai perilaku manusia dalam kehidupan
masyarakat, yaitu apa yang patut dan tidak patut dilakukan dalam
pergaulan hidupnya.14
12 Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat
(Jakarta: Rajawali, 1987), p. 33
13 “Konsep Dasar Politik Hukum Pemerintahan,” dalam http://harryarudam.blogspot.com, akses pada 14 Februari 2013
14 Ibid.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
108
Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah...
Dari pengertian diatas, sebagaimana dikatakan Satjipto Rahardjo,
bahwa Politik Hukum sebagai aktivitas untuk menentukan suatu pilihan
mengenai tujuan dan cara–cara yang hendak dipakai untuk mencapai
tujuan hukum dalam masyarakat. Sedang Moh. Mahfud MD mengatakan
bahwa politik hukum adalah “legal policy”, atau garis (kebijakan) resmi
tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum
baru maupun dengan peggantian hukum lama, dalam rangka mencapai
tujuan Negara”.15
Demikian halnya Bellfroid mendefinisikan, bahwa politik hukum
(rechtpolitiek) merupakan proses pembentukan hukum positif dari hukum
yang akan dan harus ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan perubahan
dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum terkadang juga dikaitkan
dengan kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas Dye yaitu:
“whatever the government choose to do or not to do”. Secara umum dapat diartikan
sebagai prinsip-prinsip umum penyusunan peraturan perundang-undangan
dan pengaplikasian hukum peraturan, dengan suatu tujuan yang mengarah
pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat
(warga negara).16
Terkait hal ini, politik hukum juga dipahami bagaimana politik
mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada
di belakang pembuatan dan penegakan hukum. Juga mempertimbangkan
etik hukum, baik buruknya, adil tidaknya, atau cocok tidaknya ketentuanketentuan hukum itu bagi masyarakat yang bersangkutan, karena hal itu
ada hubungannya dengan ditaati atau tidaknya hukum itu dalam suatu
masyarakat.17 Senada dengan itu, Daniel S. Lev, menyebut politik hukum
itu merupakan produk interaksi di kalangan elit politik yang berbasis
kepada berbagai kelompok dan budaya. Ketika elit politik Islam memiliki
daya tawar yang kuat dalam interaksi politik, pengembangan hukum Islam
dalam suprastruktur politik pun memiliki peluang yang sangat besar.18
Berdasarkan elaborasi ragam definisi politik hukum tersebut, dengan
kata lain politik hukum nasional mengandung dua makna utama yang
berjalan dialektis yaitu pertama, sebagai legal policy dan kedua, sebagai
instrumen untuk menilai dan mengkritisi (instrument pengendali) apakah
hukum yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka pikir legal
policy tersebut. Sebagai legal policy, politik hukum dijadikan sebagai “blue
print” dalam menetukan arah pencapaian tujuan negara yang tertuang
15 Pengertian Politik Hukum,” dalam http://www.pengertiandefinisi.com, akses
pada 14 Februari 2013
16 Suhartono, “Menggagas Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah Ke Ranah Sistem
Hukum Nasional,” dalam www.badilag.net. Akses pada 19 September 2012.
17 Ibid., p. 4.
18 Cik Hasan Bisri, “Transformasi Hukum Islam Ke Dalam Sistem Hukum Nasional,”
Jurnal Mimbar Hukum, No. 56 Thn XIII, Al-Hikmah, Jakarta, 2002, p. 31.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah...
109
dalam berbagai produk peraturan perundang-undangan, yurisprudensi,
dan konvensi ketatanegaraan. Sedangkan politik hukum sebagai
instrument pengendali artinya bahwa dalam mengimplemetasikan hukum,
negara melalui organ-organnya berfungsi untuk menjaga agar kebijakan
hukum berjalan sesuai dengan fungsinya.
Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari
konsep politik hukum berada dalam ruang konfigurasi yang tidak bebas
nilai. Nilai-nilai yang berasal dari aspek sosial, budaya, politik, ekonomi,
hukum dan sebagainya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu
sama lainnya. Dengan demikian, pembentukan peraturan perundangundangan dalam konsep politik hukum di Indonesia tidak hanya memiliki
satu konfigurasi saja, melainkan lebih. Ada konfigurasi politik, ada
konfigurasi sosio-kultural, ada konfigurasi sosial-ekonomi, ada konfigurasi
hukum dan sebagainya. Konfigurasi-konfigurasi dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan ini secara teoretikal akan menghasilkan 3
(tiga) klasifikasi dasar hukum atau peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam masyarakat, yaitu :19
(1) hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai pelayan kekuasaan
represif (law or legislation as the servant of repressive power);
(2) hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai institusi
tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas
dirinya (law or legislation as a differentiated institution capable of taming
repression and protecting its own integrity);
(3) hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai fasilitator dari
berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (law or
legislation as a facilitator or response to social needs an aspirations).
Demikian halnya dalam konteks berlakunya hukum Islam di
Indonesia sepanjang sejarah telah mengalami pasang surut seiring dengan
politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahkan di balik
semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam
proses pengambilan keputusan politik. Namun demikian, hukum Islam
telah mengalami perkembangan secara berkesinambungan. baik melalui
jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan
kekuatan sosial budaya itu.20
Cara pandang dan interpretasi yang berbeda dalam keanekaragaman
pemahaman orang Islam di Indonesia terhadap hakikat hukum Islam telah
Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward
Responsive Law, (New York: Harper & Row, 1978), p. 14.
20 Dadan Muttaqien, “Legislasi Hukum Islam Di Indonesia Dalam Prespektif
Politik Hukum,” dalam http://master.islamic.uii.ac.id, akses pada 14 Februari 2013
19
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
110
Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah...
berimplikasi dalam sudut aplikasinya. M. Atho Mudzhar21 misalnya,
menjelaskan cara pandang yang berbeda dalam bidang pemikiran hukum
Islam menurutnya dibagi menjadi empat jenis, yakni kitab-kitab fiqh,
keputusan-keputusan Pengadilan agama, peraturan Perundang-undangan
di negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama.
Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh cukup besar
dalam proses transformasi hukum Islam di Indonesia. Terlebih lagi hukum
Islam sesungguhnya telah berlaku sejak kedatangan pertama Islam di
Indonesia, di mana stigma hukum yang berlaku dikategorikan menjadi
hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat. Sedangkan hukum Islam
dilihat dari dua segi. Pertama, hukum Islam yang berlaku secara yuridis
formal, artinya telah dikodifikasikan dalam struktur hukum nasional.
Kedua, hukum Islam yang berlaku secara normatif yakni hukum Islam yang
diyakini memiliki sanksi atau padanan hukum bagi masyarakat muslim
untuk melaksanakannya.
Untuk mengembangkan proses transformasi hukum Islam,
khususnya bidang ekonomi syari’ah ke dalam supremasi hukum nasional,
diperlukan partisipasi semua pihak dan lembaga terkait, seperti halnya
hubungan hukum Islam dengan badan kekuasaan negara yang mengacu
kepada kebijakan politik hukum yang ditetapkan (adatrechts politiek). Politik
hukum tersebut merupakan produk interaksi kalangan elite politik yang
berbasis kepada berbagai kelompok sosial budaya. Ketika elite politik
Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik itu, maka
peluang bagi pengembangan hukum Islam untuk ditransformasikan
semakin besar. Realitas itu dapat kita cermati dari lahirnya produk hukum
yang berdimensi keislaman pasca reformasi. Artinya, kodifikasi hukum
Islam menjadi sebuah undang-undang (takhrij al-ahkam fi al-nash al-taqnin)
sejalan dengan politik hukum dan prosedur konstitusional cita hukum di
Indonesia. Tinggal bagaimana lebih dikerucutkan dalam bidang hukum
ekonomi syari’ah.
C. Arah Reformulasi Hukum Ekonomi Syari’ah Pasca Reformasi
Sebetulnya kajian tentang konfigurasi politik dan hukum Islam di
Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Sebagai contoh misalnya kajian
21 Keanekaragaman yang dimaksud adalah perbedaan pemahaman orang Islam di
dalam memahami hukum Islam yang memiliki dua kecenderungan, yakni hukum Islam
identik dengan syari’ah dan identik dengan fiqh. Ini banyak terjadi bukan hanya di
kalangan ulama Fiqh, tetapi juga di kalangan akademisi dan praktisi hukum Islam. Lihat
M. Atho Mudzhar, “Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum
Islam,” dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 tahun II (Jakarta: AI-Hikmah dan
Ditbinbapera Islam, 1991), p. 21-30
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah...
111
Ahmad Gunaryo,22 yang berjudul “Pergumulan Politik dan Hukum Islam;
Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan Pupuk Bawang Menuju Peradilan
yang Sesungguhnya.” Salah satu pokok kajian Gunaryo adalah
menguraikan proses rekonsiliasi kelembagaan instrumentatif antar
Peradilan Agama dan Hukum Islam di satu sisi dan Peradilan Hukum
Sekular di sisi lain. Termasuk kajian terkait hukum ekonomi syari’ah yang
menjadi wilayah kewenangan peradilan agama, namun masih dalam kajian
yang umum.
Secara etimologi, kata ekonomi berasal dari kata latin: Oikonomia,
yang terdiri dari dua kata oikos yang berarti rumah-tangga, dan nomos
artinya mengatur. Sehingga secara literar ekonomi, diartikan sebagai halhal yang berkaitan dengan ilmu mengatur rumah-tangga. Sementara dalam
literatur Arab, ilmu ekonomi disebut dengan ilmu al-iqtishad yang diambil
dari kata qashada, yaqshudu, qashdan yang berarti niat, maksud, tujuan, atau
jalan lurus. Selain itu dari akar kata Al-Qashdu kemudian menjadi kata almuqtashid, yang berarti penghematan dan kesederhanaan (economze-simplicty),
dalam arti inilah padanan kata ekonomi yang tepat dalam bahasa arab.23
Sedangkan, perkataan syari’ah dapat difahami sebagai perangkat
hukum ilahiah yang berupa dalil-dalil qat’i (definitif-imperatif), maupun
yang bersifat zanni (hipotetik-probalistik).24 Dari penggabungan dua kata
“ekonomi” dan “syari’ah” tersebut yang dimaksudkan adalah produk
keuangan/transaksi ekonomi yang dilihat dari berbagai sudut pandang
kislaman terutama aspek hukum atau syari’ahnya. Dua faktor yang ingin
dicapai adalah dimensi insaniyah dan dimensi ilahiyat dalam sistem
ekonomi Islam. Dalam perspektif metodologi (ushul fikih), masalahmasalah ekonomi yang masuk kategori muamalah adalah bagian dari
masalah-masalah “taaqquli” yang menjadi domain umat untuk merekayasa
sistem dan tekniknya, sehingga sistem maupun hukum ekonomi syari’ah
senantiasa menerima perkembangan dan berubahan, “qoobilun li al-taghyir
wa al-niqas wa tajdiid” agar bersifat dinamis sejalan dengan arus perubahan
zaman yang melingkupi kehidupan umat manusia. Walaupun demikian
kebebasan melakukan perubahan dan pembaruan tersebut tidak mutlak
tetapi ada batasan-batasan hukum yang bersifat universal.25
Lihat Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik Dan Hukum Islam; Reposisi Peradilan
Agama dan Peradilan Pupuk Bawang Menuju Peradilan Sesungguhnya, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), p. 12.
23“definisi
ekonomi,”
dalam
http://ekonomidalamislam.blogspot.com/2007/12/definisi-ekonomi.html, akses 16
April 2013.
24 M. Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi
Syari'ah, (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), p. 99
25 M. Yazd Afandi, “Perbankan dalam Perspektif Ushul Fiqih,” dalam
http://kuifmandiri10.wordpress.com/2012, akses pada 16 April 2013.
22
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah...
112
Senafas dengan itu, dapatlah dikatakan bahwa legislasi hukum
ekonomi syari’ah di Indonesia semakin terasa penting. Apalagi ketika
dihubungkan dengan pembangunan ekonomi nasional Indonesia yang
disebut-sebut berorientasi atau berbasis kerakyatan. Urgensi dari
kedudukan dan peran hukum ekonomi syari’ah dapat dilihat dari berbagai
sudut pandang misalnya sudut pandang sejarah, komunitas bangsa
Indonesia, kebutuhan masyarakat, dan bahkan dari sisi falsafah dan
konstitusi negara sekalipun. Hal ini juga sejalan dengan UUD 1945 BAB
XI (Agama) Pasal 29 ayat (1) dan (2), serta BAB XIV Pasal 33 dan 34 yang
mengatur perihal perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial
Indonesia.26
Pijakan arah politik hukum bidang ekonomi syari’ah di Indonesia
memang baru tampak dalam tahapan legislasi UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, yang memungkinkan beroperasinya bank dengan
sistem bagi hasil (Pasal 6).27 UU ini kemudian dirubah dengan UU No. 10
Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, yang secara eksplisit menyebutkan istilah "bank berdasarkan
prinsip syariah". Terbitnya UU tersebut, menjadi moment penting bagi
dimulainya gerakan ekonomi syari’ah di Indonesia. Setelah itu, gerakan
ekonomi syariah terus digaungkan dan diperjuangkan oleh para aktivis
ekonomi syariah, baik para ulama, akademisi maupun praktisi tidak kenal
lelah. Hal ini tentunya sangat menggembirakan dan harus disyukuri, karena
setahap-demi setahap hukum syari’ah diundangkan dalam konstitusi
hukum positif dapat menjamin kepastian hukum bagi umat Islam
Indonesia.28
Hal ini menegaskan bahwa kehadiran ekonomi syari’ah di Indonesia
tidak hanya semata-mata memperkaya khazanah intelektual para ilmuwan,
tetapi juga turut serta menjadi solusi terbaik bagi perkembangan dan
pembangunan suatu negara, karena ia menjadi alternatif sistem
perekonomian tidak saja di Indonesia tetapi juga dunia dan kelanjutan
peradaban umat manusia. Hanya saja hukum ekonomi syari’ah Islam itu
harus terus dikaji secara mendalam sesuai dengan perkembangan zaman,
tanpa harus melanggar norma-norma atau etika yang diajarkan Al-Qur-an
dan As-Sunnah. Karena itu Ijtihad atau fatwa ulama mempunyai
perananan penting untuk menjawab permasalahan-permasalahan baru
yang timbul seputar masalah ekonomi syari’ah. Sebab sistem dan kegiatan
perekonomian yang terjadi saat ini seakan-akan tidak terjamah oleh
Anonim, “Arah Pengembangan Hukum Ekonomi Syari’ah di Indonesia,” dalam
www.nyatanyatafakta.info , akses pada 5 Februari 2013.
27 Sistem bagi hasil merupakan konsepsi dasar ekonomi berbasis syari’ah.
28 M. Ridwan, “Era Baru Hukum Syari’ah di Indonesia,” dalam www.ensiklopediaislamika.blogspot.com, akses pada 5 Februari 2013.
26
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah...
113
konsep-konsep fikih klasik yang telah ada sehingga terjadi kesenjangan
antara realitas masa kini dengan konsep-konsep fikih klasik. Pada proporsi
seperti inilah mutlak diperlukan adanya rekonstruksi-dekonstruksi
pemikiran diakibatkan adanya tuntutan dan kebutuhan zaman.
Dalam upaya pembaharuan hukum ekonomi syari’ah di Indonesia,
terdapat beberapa kaidah yang secara spesifik dapat dijadikan dasar arah
politik hukum islam di Indonesia, yaitu kaidah tafriq al-halal min al-haram
dan i’adah an-nadhar.29
a. Tafriq al-halal min al-haram
Kaidah ini relevan dikembangkan di bidang ekonomi syari’ah,
mengingat bahwa kegiatan ekonomi syari’ah belum bisa terlepas
sepenuhnya dari sistem ekonomi konvensional yang mengandung unsur
riba. Paling tidak, lembaga ekonomi syariah akan berhubungan dengan
ekonomi konvensional yang ribawi dari aspek permodalan, pengembangan
produk, maupun keuntungan yang diperoleh. Kaidah tafriq al-halal min alharam (pemisahan unsur halal dari yang haram) dapat dilakukan sepanjang
yang diharamkan tidak lebih besar atau dominan dari yang halal. Bila unsur
haram dan halal telah dapat diidentifikasi maka unsur haram harus
dikeluarkan.
b. I’adah al-nadhar
Pembaruan hukum ekonomi syariah juga dapat dikembangkan
dengan mengedepankan teori i’adah al-nadhar (telaah ulang) dengan cara
menguji kembali alasan hukum (illat) dari pendapat ulama terdahulu
tentang suatu masalah. Telaah ulang ini dilakukan, karena illat hukumnya
telah berubah atau karena beberapa pendapat para ulama terdahulu
dipandang tidak aplikatif dan tidak memadai dengan kondisi kontemporer.
Pendapat itu dianggap sudah tidak cocok lagi untuk dipedomani, karena
sulit diimplementasikan (ta’assur, ta’adzdzur aw shu’ubah al-amal). Salah satu
cara yang bisa dipakai untuk melakukan telaah ulang adalah dengan
menguji kembali pendapat yang mu’tamad dengan mempertimbangkan
pendapat hukum yang selama ini dipandang lemah (marjuh bahkan
mahjur), karena adanya illat hukum yang baru dan atau pendapat tersebut
lebih membawa kemaslahatan.
Implementasi kebijakan hukum Ekonomi syari’ah di Indonesia
menemui momentumnya sejak didirikannya Bank Muamalat Indonesia
tahun 1992, dengan landasan hukumnya UU Nomor 7 Tahun 1992
29
Ibid.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah...
114
tentang perbankan, yang telah direvisi dalam UU No 10 tahun 1998.30
Selanjutnya berturut-turut telah hadir beberapa UU sebagai bentuk
dukungan pemerintah terhadap kemajuan aplikasi ekonomi Islam di
Indonesia, termasuk penanganan sengketa syari’ah. mealui Pengadilan
Agama.31 Kewenangan ini merupakan bentuk perubahan politik hukum
terkait kewenangan pengadilan agama sebelumnya.
Lahirnya UU No. 3 tahun 2006 ini membawa implikasi baru, yakni
terhadap perundang-undangan yang mengatur harta benda, bisnis dan
perdagangan secara luas.32 Selama ini, wewenang untuk menangani
perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah diselesaikan di
PN yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah dan masih
mengacu pada ketentuan KUH Perdata.33 Arus politik hukum ekonomi
syari’ah pasca reformasi telah melahirkan sejumlah undang-undang dan
peraturan perundangan lainnya, misalnya UU No. 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah, UU No. 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga
Syariah Negara (SBSN), Berbagai Peraturan Bank Indonesia, Peraturan
Bapepam, dan peraturan-peraturan lainnya, merupakah langkah politik
hukum yang luar biasa dalam melengkapi kelembagaan “hukum” untuk
mewujudkan gerakan ekonomi syari’ah di Indonesia.
Selanjutnya kemajuan itu juga terlihat dengan kehadiran KHES
berdasarkan PERMA No 2 Tahun 2008, dengan segala kekurangannya,
setidaknya layak diapresiasi dan direspon konstruktif dengan melakukan
studi kritis terhadap materi yang ada di dalam KHES yang berisi 4 buku,
43 bab, 796 Pasal.34 Di antara beberapa hal yang perlu dikritisi adalah
Rahmani Timorita Yulianti, “Perbankan Islam di Indonesia (Studi Peraturan
Perundang-undangan)”, dalam Jurnal FENOMENA, Vol. 01 No.2, Yogyakarta: Lembaga
Penelitian UII, p. 104.
31 Lihat UU No. 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama Pasca Perubahan
32 Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip
syari’ah, antara lain meliputi : a. Bank syariah, 2.Lembaga keuangan mikro syari’ah, c.
asuransi syari’ah, d. reasurasi syari’ah, e. reksadana syari’ah, f. obligasi syariah dan surat
berharga berjangka menengah syariah, g. sekuritas syariah, h. Pembiayaan syari’ah, i.
Pegadaian syari’ah, j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan k. bisnis syari’ah.
33 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, ( Jakarta: Gema
Insani Press bekerja sama dengan Tazkia Institute , 2001), p. 214.
34 Buku I berisi tentang Subyek Hukum dan Amwal (3 bab, 19 Pasal), Buku II
tentang Akad (29 bab, 655 Pasal). Buku III tentang Zakat dan Hibah (4 bab, 60 Pasal),
dan Buku IV tentang Akuntansi Syariah (7 bab, 62 Pasal). Sebagai perbandingan adalah
Majallah, pengkodivikasian hukum Islam yang dibuat pada masa pemerintahan Turki
Usmani (Ottoman Empire) yang pembuatannya memakan waktu selama 7 tahun (1285
H/1869 M – 1293 H/1876 M, yang berlaku di seluruh wilayah kekuasaan Turki Usmani.
Lihat M.Rusydi “ Formalisasi Hukum Ekonomi Islam: Peluang dan Tantangan
(Menyikapi UU No.3 Tahun 2006) dalam Jurnal Hukum Islam Al-Mawarid, Edisi XVII
Tahun 2007, p. 10.
30
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah...
115
pertama, posisi KHES dalam konteks bangunan hukum nasional. Kedua,
paradigma dan prinsip yang menjadi pijakan dalam perumusan KHES.
Ketiga, pendekatan dan metode istinbat yang dilakukan tim KHES dalam
melahirkan hukum ekonomi syari’ah. Keempat, hubungan KHES dengan
undang-undang terkait. Kelima, kedudukan dan kewenangan DSN pasca
lahirnya KHES. Keenam, apakah aturan-aturan hukum di dalam KHES
memberikan ruang yang cukup luas bagi perkembangan ekonomi syariah
atau malah sebaliknya akan membatasi ruang gerak ekonomi syariah.35
Dalam memperkuat proses legislasi hukum ekonomi syari’ah ke jalur
legislasi, setidaknya perlu memperhatikan tiga hal yaitu subtansi, bentuk
dan proses. Dalam hal subtansi, diperlukan doktrin-doktrin yang ada
dalam kitab fikih, ijtihad dan fatwa para ulama, serta putusan hakim dalam
bentuk yurisprudensi dan yang sudah terakomodir dalam peraturan
perundang-undangan, merupakan acuan yang tidak dapat diabaikan.
Dalam hal bentuk, yang perlu diperhatikan yakni jangkauan berlakunya
disesuaikan dengan tingkatan hirarkis perundang-undangan di Indonesia.
Sedangkan dalam hal proses tergantung pada yang dipilih, karena legislasi
hukum ekonomi syari’ah menjurus dalam bentuk undang-undang,
prosesnya lebih sulit daripada bentuk peraturan pemerintah dan peraturanperaturan dibawahnya.36
Namun demikian melihat kenyataan yang ada, lahirnya kopendium
atau undang-undang tentang ekonomi syari’ah mempunyai peluang yang
cukup besar, bebarapa hal penting yang berpotensi sebagai faktor
pendukung yakni antara lain:37
1).Subtansi hukum ekonomi syariah yang established (sudah mapan),
disamping telah adanya KHES, penggunaan fikih-fikih produk imam
madzhab25 yang sudah teruji pelaksanaannya baik di lingkungan
Pengadilan Agama maupun dalam dalam masyarakat, juga ditunjang
beberapa pemikiran fikih madzhab Indonesia yang telah lama digagas
oleh para pakar hukum Islam di Indonesia.
2). Produk legislasi adalah produk politik, sehingga untuk berhasil
memperjuangkan legislasi hukum Islam harus mendapatkan dukungan
suara mayoritas di lembaga pembentuk hukum dan fakta politik
Lembaga-lembaga yang juga mengiringi arus politik hukum ini seperti Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Masyarakat Ekonomi Syariah
(MES), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), dan sebagainya. Gerakan dan perjuangan
ekonomi syariah ini kemudian melahirkan lembaga-lembaga teknis di lingkungan
pemerintah, seperti Direktorat Perbankan Syari’ah di Bank Indonesia, Direktorat
Pembiayaan Syari’ah di Departemen Keuangan, dan berbagai biro di Badan Pengawas
Pasar Modal (BAPEPAM).
36 Suhartono, Menggagas Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah ke Ranah Sistem
Hukum Nasional, dalam www.badilag.net, akses 15 April 2013
37 Ibid., p. 10
35
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah...
116
menunjukkan bahwa meskipun aspirasi politik Islam bukan mayoritas
di Indonesia.
3). Materi hukum yang hendak diusung ke jalur legislasi mencakup hukum
privat yang bersifat universal dan netral sehingga tidak memancing
sentimen agama lain. Kemungkinan besar tidak akan menimbulkan
gejolak sosial yang cost-nya sangat mahal.
4). Sistem politik Indonesia memberikan peluang bagi tumbuh dan
berkembangnya aspirasi politik Islam, termasuk aspirasi untuk
melegislasikan hukum ekonomi syari’ah.
5). Pada tataran yuridis konstitusional, berdasarkan Sila Pertama Pancasila
dan Pasal 29 UUD 1945, hukum Islam adalah bagian dari hukum
nasional dan harus ditampung dalam pembinaan hukum nasional, serta
sejalan dengan program legislasi nasional.
Selain itu, hukum ekonomi syari’ah yang diusung ke jalur legislasi
dalam bentuk buku atau kitab undang-undang yang tersusun rapi, praktis
dan sistematis selain mengokohkan eksistensi fatwa Dewan Syari’ah
Nasional (DSN) dalam pelaksanaan perundang-undangan yang dibentuk,
termasuk dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank
Indonesia (SEBI), juga harus bukan hanya berasal dari satu madzhab fikih
saja, melainkan dipilih dan di-tarjih (menguatkan salah satu dari beberapa
pendapat madzhab) dari berbagai pendapat madzhab fikih yang lebih
sesuai dengan kondisi dan kemaslahatan yang menghendaki. Hal ini secara
otomatis menghilangkan sikap ta’assub (fanatik) madzhab, dan dapat
dierima banyak pihak.
Agar dari sekian gambaran idealisme tersebut dapat terwujud, satu
hal yang perlu dicatat adalah sejauhmana kesungguhan lembaga eksekutif
maupun legislatif untuk merumuskan undang-undang tersebut secara baik
dan berkualitas. Agar melalui program legislasi nasional tersebut, subtansi
hukum yang dilahirkan bukan hanya mejadi hukum positif, namun kadar
hukum itu akan menjadi bagian terbesar dari pelaksanaan hukum yang
memberikan kebaikan bagi seluruh masyakat dan kemajuan bangsa.
Sebagaimana dikatakan Lawrence M. Friedman, budaya hukum
merupakan bagian dari sistem hukum.38 Senada dengan itu, Chambliss
dan Seidman mengemukakan adanya pengaruh-pengaruh kekuatan sosial
dalam bekerjanya hukum.39 Implementasi ketentuan peraturan
perundangan yang mengatur tentang pertanggungjawaban di depan
hukum juga dipengaruhi oleh budaya hukum pelaku yang ada di
H.R.Otje Salman dan Anthon F.Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum,
(Bandung: PT Alumni, 2004), p. 49-63
39 Esmi Warassih, Basis Sosial Hukum: Pertautan Ilmu Pengetahuan Hukum dan Ilmu
Pengetahuan Sosial dalam Pranata Hukum, (Sebuah Telaah Sosiologis), (Semarang: PT
Suryandaru Utama, 2005), p. 12
38
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah...
117
masyarakat. Kekuatan sosial keagamaan juga mempengaruhi bekerjanya
hukum di masyarakat. Mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama
Islam, oleh karena itu adalah wajar jika mereka mengamalkan ajaran
syari`at agamanya sebagai wujud ketaatan kepada Tuhan. Kekuatan sosial
yang terbangun dalam tradisi masyarakat ini mempengaruhi bekerjanya
hukum termasuk aturan tentang pertanggungjawaban hukum yang
terdapat dalam peraturan perundangan di Indonesia.
Harry C.Bredemeier menyatakan bahwa hukum dapat digunakan
sebagai pengintegrasi, dan sarana untuk memperlancar integrasi sosial.
Teori ini merupakan pengembangan dari teori sistem sosial Talcott
Parsons, yang mengatakan bahwa sistem sosial terurai dalam sub sistemsub sistem.40 Talcott Parsons dengan teori struktural fungsional yang
dimulai dengan empat fungsi penting sistem tindakan, yaitu adaptation
(adaptasi), goal attainment (pencapaian tujuan), integration (integrasi), dan
latency (pemeliharaan pola). Yang diperlukan dalam teori tindakan adalah
suatu adaptasi aktif, bukan pasif. Teori ini menuntut adanya transformasi
lingkungan secara aktif melawan kemandekan, untuk merealisasikan nilainilai kemanusiaan. Upaya manusiawi menghasilkan keseimbangan yang
kompleks antara faktor-faktor yang menghalangi dan memperlancar
perubahan evolusioner.
Hal ini sesuai dengan tujuan hukum dalam paradigma al-Siyasat alSyar’iyyah (politik hukum) yang menyatakan bahwa, kebijakan pemimpin
atas rakyat semata mata demi kemashlahatan bersama (tasarruf al-imam ‘ala
raiyyah manuttun bi al-maslahah). Kaidah tersebut mengandung makna
bahwa kebijakan pemimpin didasarkan atas dan bertujuan semata-mata
untuk mewujudkan kemaslatan umum yang dapat memberikan manfaat
bagi rakyat yang dipimpinnya.41 Di sisi lain, ketika sebuah produk
perundang-undangan telah melembaga dan menjadi kesadaran hukum,
maka ia akan dapat menjadi cetak biru (blue print) bagi masyarakat, untuk
mengawasi masyarakat (social control), agar juga senantiasa berada dalam
kebaikan dan kesejahteraan dalam bingkai negara hukum Indonesia yang
berasaskan pancasila.
Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum,
(Bandung: Alumni, 1977), p. 143 - 148
41 Ali Ahmad an-Nadwi, al-Qawa’id al-Fiqhiyya, (Damascus: Dar al-Qalam, 2000), p.
157. Lihat pula Jalal al-Din 'Abd al-Rahman al-Suyuti, al-Ashbah wa al-Nazair, Cet. I
(Beirut: Muassasah al-Kutub al-haqafiyyah, 1994), p. 158.
40
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
118
Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah...
D. Kesimpulan
Terdapat beberapa kesimpulan dari kajian keberlangsungan hukum
ekonomi syari’ah ini. Pertama, penerapan hukum Islam dalam kegiatan
ekonomi atau kegiatan keuangan lainnya yang modern bukanlah pekerjaan
yang sederhana. Dalam konteks itu, perkembangan ekonomi syari’ah
sedikit banyak ditentukan oleh dinamika internal umat serta hubungan
yang harmonis antara umat Islam dan Negara. Iklim politik yang
kondusif memungkinkan berkembannya perbankan syariah, yang pada
akhirnya, politik hukum dalam bidang ekonomi syari’ah ditentukan oleh
proses integrasi gagasan sosial politik Islam kedalam sistem dan
konfigurasi sosial politik nasional. Kedua, dalam konteks sengketa ekonomi
syari’ah seharusnya dipertegas bahwa perselisihan dalam masalah ekonomi
syariah, hanya bisa diselesaikan di Peradilan Agama dan untuk Pengadilan
Negeri tidak dibenarkan. Hal ini agar tidak terjadi dualisme putusan dan
fungsi kelembagaan. Selain itu diperlukan perubahan (penambahan) materi
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah Islam (KHES) yang terintegrasi
dengan KHI didalamnya melalui kitab undang-undang tersendiri selevel
KUHPerdata, sehingga menjadi produk hukum yang komprehensif dalam
tataran peraturan perundang-undangan.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah...
119
Daftar Pustaka
Afandi, M. Yazid, “Perbankan dalam Perspektif Ushul Fiqih,” dalam
http://kuifmandiri10.wordpress.com/2012, akses pada 16 April
2013.
Agustianto, “Urgensi Kodifikasi Hukum Ekonomi Syari’ah,” dalam
www.pesantrenvirtual.com, akses 19 September 2012.
Al-Rahman al-Suyuti, Jalal al-Din 'Abd, al-Ashbah wa al-Nazair, Beirut:
Muassasah al-Kutub al-haqafiyyah, 1994.
An-Nadwi, Ali Ahmad, al-Qawa’id al-Fiqhiyya, Damascus: Dar al-Qalam,
2000.
Anonim, “Arah Pengembangan Hukum Ekonomi Syari’ah di Indonesia,”
dalam www.nyatanyatafakta.info , akses pada 5 Februari 2013.
Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, Jakarta:
Gema Insani Press bekerja sama dengan Tazkia Institute , 2001.
Bisri, Cik Hasan, “Transformasi Hukum Islam Ke Dalam Sistem Hukum
Nasional,” Jurnal Mimbar Hukum, No. 56 Thn XIII, Al-Hikmah,
Jakarta, 2002.
Gunaryo, Achmad, Pergumulan Politik Dan Hukum Islam; Reposisi Peradilan
Agama dan Peradilan Pupuk Bawang Menuju Peradilan Sesungguhnya,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Hasan, M. Hasbi, Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Perkara
Ekonomi Syari'ah, Jakarta: Gramata Publishing, 2010.
http://harry-arudam.blogspot.com, akses pada 14 Februari 2013
http://www.pengertiandefinisi.com, akses pada 14 Februari 2013
Lubis, M. Solly, Politik Dan Hukum Di Era Reformasi, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada,2003.
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Era Reformasi,” Jurnal
Islamica, Vol 6, No. 1, September 2011.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
120
Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah...
Mubarak Seff, Syaugi, “Regulasi Perbankan Syari’ah Pasca Lahirnya UU
No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah (Kajian Politik
Hukum),” Jurnal Risalah Hukum, Vol. 6, No. 2,Desember 2008.
Mudzhar, M. Atho, “Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk
Pemikiran Hukum Islam,” dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 tahun
II, Jakarta: AI-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1991.
Muttaqien, Dadan, “Legislasi Hukum Islam Di Indonesia Dalam
Prespektif Politik Hukum,” dalam http://master.islamic.uii.ac.id,
akses pada 14 Februari 2013.
Nonet, Philippe and Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward
Responsive Law, New York: Harper & Row, 1978.
Rahardjo, Satjipto, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu
Hukum, Bandung: Alumni, 1977.
Ridwan, M., “Era Baru Hukum Syari’ah di Indonesia,” dalam
www.ensiklopedia-islamika.blogspot.com, akses pada 5 Februari
2013.
Rusydi, M.,“ Formalisasi Hukum Ekonomi Islam: Peluang dan Tantangan
(Menyikapi UU No.3 Tahun 2006) dalam Jurnal Hukum Islam AlMawarid, Edisi XVII Tahun 2007.
Salman, H.R.Otje dan Anthon F.Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum,
Bandung: PT Alumni, 2004.
Sodiqin, Ali, “Periodisasi Sejarah Hukum Islam di Indonesia,” dalam
www. serbasejarah.wordpress.com, akses pada 19 September 2012.
Soekanto, Soerjono dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam
Masyarakat, Jakarta: Rajawali, 1987.
Suhartono, “Dinamika Politik Hukum Kompetensi Peradilan Agama,”
dalam www.badilag.net, akses pada 19 September 2012.
Suhartono, “Menggagas Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah Ke Ranah
Sistem Hukum Nasional,” dalam www.badilag.net. Akses pada 19
September 2012.
UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah...
121
UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
UUD 1945 Pasca Perubahan.
Warassih, Esmi, Basis Sosial Hukum: Pertautan Ilmu Pengetahuan Hukum dan
Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Pranata Hukum, (Sebuah Telaah Sosiologis),
Semarang: PT Suryandaru Utama, 2005.
Yulianti, Rahmani, Timorita “Perbankan Islam di Indonesia (Studi
Peraturan Perundang-undangan)”, dalam Jurnal FENOMENA, Vol.
01 No.2, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UII, p. 104.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
122
Lukman Santoso: Politik Hukum Ekonomi Syari’ah...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Hukum Menuju Peningkatan Akreditasi
Oleh: Ach. Tahir 
Abstract
The curriculum is at the heart of education Determines that all motion learning
activities undertaken by educational institutions that are based on what is planned in
the curriculum. The principle of Determining the curriculum, in the Faculty of Sharia
and Law of the State Islamic University Sunan Kalidjaga Yogyakarta, Syarif
Hidayatullah State Islamic University Jakarta, Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Depok London following a deal agreed by 30 of the 35 people Dean of
the Faculty of Law, State Universities (PTN) in Indonesia on April 22, 2006 were
agreed as much as 23 compulsory courses offered by the Faculty of Law of any State
College (PTN), in Indonesia to his students. The number of credits available at each
study program is based on the Decree Kemendikbud RI No.0211/U/1982 stating
that the Program Tier 1 (One) set a minimum cumulative study of 144 credits and a
maximum of 160 credits are packaged in 8 semesters to 14 semesters.
Key words: curriculum development, accreditation and education.
Abstrak
Kurikulum merupakan jantung pendidikan yang menentukan semua gerak
kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh institusi pendidikan yang didasarkan
pada apa yang direncanakan dalam kurikulum. Prinsipnya penentuan kurikulum, di
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas
Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung mengikuti kesepakatan Depok yang
disepakati oleh 30 dari 35 orang Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri
(PTN) se-Indonesia pada tanggal 22 April 2006 yang menyepakati sebanyak 23
Mata kuliah wajib ditawarkan oleh setiap Fakultas Hukum Perguruan Tinggi
Negeri (PTN), se-Indonesia kepada para mahasiswanya. Jumlah SKS yang ada pada
setiap Program Studi didasarkan pada Surat Keputusan Kemendikbud R.I.
No.0211/U/1982 yang menyatakan bahwa Program Strata 1 (Satu) ditetapkan
studi komulatif minimal 144 SKS dan maksimal 160 SKS yang dipaketkan dalam
8 semester sampai 14 semester.
Kata kunci: pengembangan kurikulum, akreditasi dan pendidikan.

Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. E-mail: [email protected]
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan...
124
A. Pendahuluan
Pendidikan tinggi di abad ke-21 dihadapkan pada persoalan
globalisasi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun sosial budaya
yang melanda Indonesia dan dunia. Pada era borderless world ini, dunia
pendidikan dikejutkan dengan adanya model pengelolaan pendidikan
berbasis industri membuat kejadian yang terjadi di suatu wilayah pada saat
tertentu akan berpengaruh sama di wilayah lain.1 Pengelolaan model ini
secara filosofis, menekankan pada pencarian secara konsisten terhadap
perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan
pelanggan. Karena tujuan umum pendidikan adalah mengembangkan
manusia Indonesia seutuhnya dalam arti pendidikan yang dilakukan tetap
mempertahankan kesatuan, keanekaragaman, mengembangkan cita-cita
perorangan.2
Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan secara merata
dengan keunggulan (excellence) dan penyeimbangan (equity) antara
pemanfaatan (acces) dengan prestasi (achievement).3 Tujuan yang mulia ini
akan dapat tercapai apabila dilakukan aktivitas pendidikan yang
bertanggung jawab dan terjaminnya kualitas akademik pada desain,
manajemen proses pendidikan, bertumpu pada konsep pertumbuhan,
pengembangan,
pembaharuan,
dan kelangsungannya sehingga
penyelenggaraan pendidikan harus dikelola secara profesional. Bidang
pendidikan yang menjadi tumpuan harapan banyak pihak untuk dapat
menghasilkan sumber daya yang berkualitas, kerap terengah-engah karena
dihadapkan pada persoalan serius akibat perkembangan yang terusmenerus dan sangat cepat.4
Salah satu tantangan Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung ke depan yang harus mendapat
perhatian adalah peningkatan akreditasi dan mutu, mengingat akreditasi
adalah suatu bentuk penilaian resmi dari pemerintah dalam hal ini
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa Prodi tersebut
mempunyai standart mutu nasional, karena strategi yang dikembangkan
dalam penggunaan manajemen mutu terpadu dalam dunia pendidikan
institusi pendidikan memposisikan dirinya sebagai institusi jasa yang
1Ali
Mudlofir, Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Bahan
Ajar dalam Pendidikan Agama Islam,(Jakarta: Rajawali Press, 2007), p. 9.
2Muhammad Ilyasin dan Nanik Nurhayati, Manajemen Pendidikan Islam, (Malang:
Aditya Media Publishing, 2012), p. 1.
3Zainudin, Reformasi Pendidikan: Kritik Kurikulum dan Manajemen Berbasis Sekolah
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), p. 30.
4Mudyaharjo, Redja, Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2009), p. 34.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan...
125
memberikan pelayanan (service) sesuai yang diinginkan oleh pelanggan
(customer). Jasa atau pelayanan yang diinginkan oleh pelanggan tentu saja
merupakan sesuatu yang bermutu dan memberikan kepuasan terhadap
mereka. Maka pada saat itulah dibutuhkan suatu sistem manajemen Prodi
yang mampu memberdayakan program studi agar lebih bermutu.5
Sedangkan misi dari Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung adalah memadukan dan
mengembangkan keilmuan serta keislaman dalam pendidikan dan
pengajaran ilmu hukum yang berwawasan keindonesiaan dan
kemanusiaan, mengembangkan budaya ijtihad atau penemuan hukum
dalam penelitian ilmu hukum secara multidisipliner serta bermanfaat bagi
kepentingan akademik dan masyarakat, meningkatkan peran serta Program
Studi Ilmu Hukum dalam menyelesaikan persoalan bangsa berdasarkan
pada keislaman dan keilmuan melalui penerapan ilmu hukum bagi
teruwujudnya masyarakat madani, membangun kepercayaan dan
mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan
kualitas pelaksanaan Tri Dharma perguruan tinggi.6
Untuk mengetahui secara lengkap, urgensi pengembangan
kurikulum berbasis akreditasi, diperlukan teori-teori pendidikan baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk mengkritisi memanajemen
kurikulum yang sudah ada. Tulisan ini akan membahas secara mendalam
tentang upaya pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh Prodi Ilmu
Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
untuk peningkatan akreditasi.
B. Kajian terhadap Kurikulum Secara Umum
Kurikulum memiliki posisi sentral dalam setiap upaya pendidikan.
Posisi sentral ini menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan
kependidikan yang utama adalah proses interaksi akademik antara peserta
didik, pendidik, sumber dan lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan
pula bahwa setiap interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan. Dapat
dikatakan bahwa kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat
5Edwar Sallis, Total Quality Managemen In Education, Manajemen Mutu Terpadu
Pedidikan, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), p. 7.
6Lihat buku pedoman panduan
akademik, Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun Akademik 2011. Lihat juga
buku Pedoman Panduan Akademik, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Tahun Akademik 2011. Baca juga buku pedoman
panduan akademik, Fakultas syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Tahun Akademik 2011.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan...
126
dilakukan tanpa interaksi dan kurikulum adalah desain dari interaksi
tersebut.7
Kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan
terhadap masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga
pendidikan yang terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan
khusus haruslah dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya
terhadap masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus dapat
memberikan “academic accountability” dan "legal accountability" berupa
kurikulum8. Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji dan mengetahui
kegiatan akademik apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga
pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang
ingin mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang
terjadi di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum
maka ia harus mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan
tersebut.
Dalam pengertian "intrinsic" kependidikan maka kurikulum adalah
jantung pendidikan Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang
dilakukan sekolah didasarkan pada apa yang direncanakan kurikulum.
Kehidupan di sekolah adalah kehidupan yang dirancang berdasarkan apa
yang diinginkan kurikulum. Pengembangan potensi peserta didik menjadi
kualitas yang diharapkan adalah didasarkan pada kurikulum. Proses belajar
yang dialami peserta didik dikembangkan berdasarkan apa yang
direncanakan kurikulum.9 Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah
kualitas yang diharapkan sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan
berdasarkan rencana yang dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu
kurikulum adalah dasar dan sekaligus pengontrol terhadap aktivitas
pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas apalagi jika tidak ada kurikulum
sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga menjadi tanpa
arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik
menjadi kualitas pribadi yang maksimal.
Untuk menegakkan akuntabilitasnya maka kurikulum tidak boleh
hanya membatasi diri pada persoalan pendidikan dalam pandangan
perenialisme atau esensialisme. Kedua pandangan ini hanya akan
membatasi kurikulum, dan pendidikan, dalam kepeduliaannya. Kurikulum
dan pendidikan melepaskan diri dari berbagai masalah sosial yang muncul,
hidup, dan berkembang di masyarakat. Kurikulum menyebabkan sekolah
menjadi lembaga menara gading yang tidak terjamah oleh keadaan
7Made
Pidarta, Landasan Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta,2000), p. 30.
Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, (Jakarta: Grafindo persada, 1996),
8Subandijah,
p. 12.
9Muhammad Ansyar, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Dirjen Dikti,
1988), p. 25.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan...
127
masyarakat dan tidak berhubungan dengan masyarakat. Situasi seperti ini
tidak dapat dipertahankan dan kurikulum harus memperhatikan tuntutan
masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa mendatang.
Problema masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi
kepeduliaan dan masalah kurikulum. Apakah kurikulum bersifat
mengembangkan kualitas peserta didik yang diharapkan dapat
memperbaiki masalah dan tantangan masyarakat ataukah kurikulum
merupakan upaya pendidikan membangun masyarakat baru yang
diinginkan bangsa menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda.10
Secara singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga.
Posisi pertama adalah kurikulum adalah "construct" yang dibangun untuk
mentransfer apa yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi
berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan. Pengertian
kurikulum berdasarkan pandangan filosofis perenialisme dan esensialisme
sangat mendukung posisi pertama kurikulum ini. Kedua, adalah kurikulum
berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial
yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi ini dicerminkan oleh pengertian
kurikulum yang didasarkan pada pandangan filosofi progresivisme. Posisi
ketiga adalah kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan
dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai11 rencana
pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk
mengembangkan kehidupan masa depan.12
Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan
diterjemahkan dalam tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan
jenjang pendidikan dan tujuan pendidikan lembaga pendidikan. Tujuan
pendidikan nasional adalah tujuan besar pendidikan bangsa Indonesia
yang diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar. Apabila pendidikan
dasar Indonesia adalah 9 tahun maka tujuan pendidikan nasional harus
tercapai dalam masa pendidikan 9 tahun yang dialami seluruh bangsa
Indonesia. Tujuan di atas pendidikan dasar tidak mungkin tercapai oleh
setiap warganegara karena pendidikan tersebut, pendidikan menengah dan
tinggi, tidak diikuti oleh setiap warga bangsa. Oleh karena itu kualitas yang
dihasilkannya bukanlah kualitas yang harus dimiliki seluruh warga bangsa
tetapi kualitas yang dimiliki hanya oleh sebagian dari warga bangsa.13
10Haris Mudjiman, Manajemen Pelatihan Berbasis Belajar Mandiri. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), p. 21.
11 A.A. Anwar Prabu Mangkunegara, Perencanaan Pengembangan Sumber Daya
Manusia, (Bandung: PT. Rineka Cipta,2003), p. 45.
12 Peter Oliva, Developing The Curriculum, (New York: Harper Collin Publishers,
1992), p. 56.
13 A.A. Anwar Prabu Mangkunegara, Perencanaan Pengembangan Sumber, p. 119.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
128
Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan...
Peraturan perundangan ini kemudian kembali dituliskan dalam PP
17 Tahun 2010 Pasal 97 ayat 3 yang bunyinya:14
Pasal 97
(1) Kurikulum perguruan tinggi dikembangkan dan dilaksanakan
berbasis kompetensi.
(2) Kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk setiap program studi
di perguruan tinggi dikembangkan dan ditetapkan oleh tiap-tiap
perguruan tinggi dengan mengacu Standar Nasional Pendidikan.
(3) Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memenuhi elemen kurikulum sebagai berikut:
a. landasan kepribadian;
b. penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau
olahraga;
c. kemampuan dan keterampilan berkarya;
d. sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian
berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai;
e. penguasaan kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai
dengan pilihan keahlian dalam berkarya.
Dengan demikian, ketentuan bahwa kurikulum pendidikan tinggi
harus berbasis kepada kompetensi dan mengandung lima elemen secara
lengkap sebagaimana tertuang dalam pasal 97 ayat 1-3 PP 17/2010 adalah
yang harus dilaksanakan oleh pendidikan tinggi.15 Suatu kurikulum disusun
dengan mengacu pada satu atau beberapa teori kurikulum dan teori
kurikulum dijabarkan berdasarkan teori pendidikan tertentu. Nana S.
Sukmadinata mengemukakan 4 (empat ) teori pendidikan, yaitu : (1)
pendidikan klasik; (2) pendidikan pribadi; (3) teknologi pendidikan dan (4)
teori pendidikan interaksional.16
1. Pendidikan Klasik (classical education)
Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, seperti
Perenialisme, Eessensialisme, dan Eksistensialisme dan memandang
bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan
meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan
peranan isi pendidikan dari pada proses. Isi pendidikan atau materi
diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan
dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan
sistematis. Dalam praktiknya, pendidik mempunyai peranan besar dan
14Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
(Jakarta: Depdiknas,2003).
15
Ibid.
16Nana S. Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2009), p. 40.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan...
129
lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai
penerima informasi dan tugas-tugas dari pendidik. Pendidikan klasik
menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum subjek akademis,
yaitu suatu kurikulum yang bertujuan memberikan pengetahuan yang solid
serta melatih peserta didik menggunakan ide-ide dan proses ”penelitian”,
melalui metode ekspositori dan inkuiri.17
2. Pendidikan Pribadi (personalized education)
Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa sejak dilahirkan
anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Pendidikan harus dapat
mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dengan
bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam hal ini, peserta
didik menjadi pelaku utama pendidikan, sedangkan pendidik hanya
menempati posisi kedua, yang lebih berperan sebagai pembimbing,
pendorong, fasilitator dan pelayan peserta didik. Teori ini memiliki dua
aliran yaitu pendidikan progresif dan pendidikan romantik. Pendidikan
progresif dengan tokoh pendahulunya- Francis Parker dan John Dewey memandang bahwa peserta didik merupakan satu kesatuan yang utuh.
Materi pengajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang
sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Ia merefleksi terhadap masalahmasalah yang muncul dalam kehidupannya. Berkat refleksinya itu, ia dapat
memahami dan menggunakannya bagi kehidupan. Pendidik lebih
merupakan ahli dalam metodologi dan membantu perkembangan peserta
didik sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya masing-masing.
Pendidikan romantik berpangkal dari pemikiran-pemikiran J.J. Rouseau
tentang tabula rasa, yang memandang setiap individu dalam keadaan
fitrah,– memiliki nurani kejujuran, kebenaran dan ketulusan.18
Teori pendidikan pribadi menjadi sumber bagi pengembangan
model kurikulum humanis. yaitu suatu model kurikulum yang bertujuan
memperluas kesadaran diri dan mengurangi kerenggangan dan
keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi diri. Kurikulum
humanis merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih menekankan pada
aspek intelektual (kurikulum subjek akademis).19
17Ngalim
Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya,2000), p. 72.
18Isaac, S. and Michael, W.B, Handbook in Research and Evaluation; For Education and
Behavioral Sciences. Second Edition. San Diego, (Amerika: Edits Publisher, 1981), p. 373.
19Brannen, Julia, Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research. Brookfield
USA : Avebury, (London:Oxport Universty, 1992), p. 756.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
130
Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan...
3. Teknologi Pendidikan
Teknologi pendidikan yaitu suatu konsep pendidikan yang
mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan
pendidikan dalam menyampaikan informasi. Namun diantara keduanya
ada yang berbeda. Dalam tekonologi pendidikan, lebih diutamakan adalah
pembentukan dan penguasaan kompetensi atau kemampuan-kemampuan
praktis, bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya lama. Dalam konsep
pendidikan teknologi, isi pendidikan dipilih oleh tim ahli bidang-bidang
khusus. Isi pendidikan berupa data obyektif dan keterampilanketerampilan yang yang mengarah kepada kemampuan vocational. Isi
disusun dalam bentuk desain program atau desain pengajaran dan
disampaikan dengan menggunakan bantuan media elektronika dan para
peserta didik belajar secara individual. Peserta didik berusaha untuk
menguasai sejumlah besar bahan dan pola-pola kegiatan secara efisien
tanpa refleksi. Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan
dalam masyarakat. Pendidik berfungsi sebagai direktur belajar (director of
learning)20, lebih banyak tugas-tugas pengelolaan dari pada penyampaian
dan pendalaman bahan. Teknologi pendidikan menjadi sumber untuk
pengembangan model kurikulum teknologis, yaitu model kurikulum yang
bertujuan memberikan penguasaan kompetensi bagi para peserta didik,
melalui metode pembelajaran individual, media buku atau pun elektronik,
sehingga mereka dapat menguasai keterampilan-keterampilan dasar
tertentu.21
4. Pendidikan Interaksional
Pendidikan interaksional yaitu suatu konsep pendidikan yang bertitik
tolak dari pemikiran manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa
berinteraksi dan bekerja sama dengan manusia lainnya. Pendidikan sebagai
salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerja sama dan interaksi.
Lebih dari itu, interaksi ini juga terjadi antara peserta didik dengan materi
pembelajaran dan dengan lingkungan, antara pemikiran manusia dengan
lingkungannya. Interaksi ini terjadi melalui berbagai bentuk dialog. Dalam
pendidikan interaksional, belajar lebih sekadar mempelajari fakta-fakta.
Peserta didik mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta
tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh serta
memahaminya dalam konteks kehidupan.
Filsafat yang melandasi pendidikan interaksional yaitu filsafat
rekonstruksi sosial. Pendidikan interaksional menjadi sumber untuk
20Sindhunata,
Menggagas Paradigma Baru Pendidikan Demokratisasi, Otonomi, Civil
Society, Globalisasi, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), p. 172.
21Deni Darmawan, Teknologi Pembelajaran, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2009),p. 65.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan...
131
pengembangan model kurikulum rekonstruksi sosial, yaitu model
kurikulum yang memiliki tujuan utama menghadapkan para peserta didik
pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan-gangguan
yang dihadapi manusia. Peserta didik didorong untuk mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak
(crucial) dan bekerja sama untuk memecahkannya. Untuk mendapatkan
rumusan tentang pengertian kurikulum, para ahli mengemukakan
pandangan yang beragam. Dalam pandangan klasik, lebih menekankan
kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran di suatu sekolah.22
Untuk mengakomodasi perbedaan pandangan tersebut, Hamid
Hasan mengemukakan bahwa konsep kurikulum dapat ditinjau dalam
empat dimensi, yaitu:23
a. kurikulum sebagai suatu ide; yang dihasilkan melalui teori-teori dan
penelitian, khususnya dalam bidang kurikulum dan pendidikan.
b. kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, sebagai perwujudan dari
kurikulum sebagai suatu ide; yang didalamnya memuat tentang tujuan,
bahan, kegiatan, alat-alat, dan waktu.
c. kurikulum sebagai suatu kegiatan, yang merupakan pelaksanaan dari
kurikulum sebagai suatu rencana tertulis; dalam bentuk praktek
pembelajaran.
d. kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekwensi dari
kurikulum sebagai suatu kegiatan, dalam bentuk ketercapaian tujuan
kurikulum yakni tercapainya perubahan perilaku atau kemampuan
tertentu dari para peserta didik.
Sementara itu, Purwadi memilah pengertian kurikulum menjadi
enam bagian:24 (1) kurikulum sebagai ide; (2) kurikulum formal berupa
dokumen yang dijadikan sebagai pedoman dan panduan dalam
melaksanakan kurikulum; (3) kurikulum menurut persepsi pengajar; (4)
kurikulum operasional yang dilaksanakan atau dioprasional kan oleh
pengajar di kelas; (5) kurikulum experience yakni kurikulum yang dialami
oleh peserta didik; dan (6) kurikulum yang diperoleh dari penerapan
kurikulum. Dalam perspektif kebijakan pendidikab nasional sebagaimana
dapat dilihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20
Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
22H.A.R.
Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya, 2007), p.100.
23Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2008), p.
175.
24Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya, 2007), p. 95.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan...
132
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
C. Kajian Terhadap Kurikulum Integrasi-Interkoneksi dalam
Kurikulum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Jargon “integratif-interkonektif” memang cukup populer di dengar
terutama bagi kalangan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Jargon ini tidak hanya sekedar jargon pasca peralihan IAIN menjadi UIN
tetapi lebih dari itu menjadi core values dan paradigma yang akan
dikembangkan UIN Sunan Kalijaga yang mengisyaratkan tidak ada lagi
dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Gagasan integratifinterkonektif ini muncul dari mantan rektor UIN Sunan Kalijaga Amin
Abdullah yang kemudian mengaplikasikannya dalam pengembangan IAIN
menjadi UIN.
Gagasan keilmuan yang integratif dan interkonektif ini muncul dari
sebuah kegelisahan
Amin Abdullah,25 terkait dengan tantangan
perkembangan zaman yang sedemikian pesatnya yang dihadapi oleh umat
Islam saat ini. Teknologi yang semakin canggih sehingga tidak ada lagi
sekat-sekat antar bangsa dan budaya, persoalan migrasi, revolusi IPTEK,
genetika, pendidikan, hubungan antar agama, gender, HAM dan lain
sebagainya. Perkembangan zaman mau tidak mau menuntut perubahan
dalam segala bidang tanpa tekecuali pendidikan keislaman, karena tanda
adanya respon yang cepat melihat perkembangan yang ada maka kaum
muslimin akan semakin jauh tertinggal dan hanya akan menjadi penonton,
konsumen bahkan korban di tengah ketatnya persaingan global.
Menghadapi tantangan era globlalilasi ini, umat Islam tidak hanya butuh
untuk survive tetapi bagaimana bisa menjadi garda depan perubahan. Hal
ini kemudian dibutuhkan reorientasi pemikiran dalam pendidikan Islam
dan rekonstruksi sistem kelembagaan.26
Jika selama ini terdapat sekat-sekat yang sangat tajam antara science
dan religius dimana keduanya seolah menjadi entitas yang berdiri sendiri
dan tidak bisa dipertemukan, mempunyai wilayah sendiri baik dari segi
objek-formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang
dimainkan oleh ilmuwan hingga institusi penyelenggaranya. Maka tawaran
paradigma integratif-interkoneksi berupaya mengurangi keteganganketegangan tersebut tanpa meleburkan satu sama lain tetapi berusaha
25Amin
Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan integratif-interkonektif,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2006), p. 34.
26Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modernisasi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1994), p. 57.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan...
133
mendekatkan dan mengaitkannya sehingga menjadi bertegur sapa satu
sama lain27.
Apa yang terjadi selama ini adalah dikotomi yang cukup tajam antara
keilmuan sekuler dan keilmuan agama. Keduanya seolah mempunyai
wilayah sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lain. Hal ini juga
berimplikasi pada model pendidikan di Indonesia yang memisahkan antara
kedua jenis keilmuan ini. Ilmu-ilmu sekuler dikembangkan di perguruan
tinggi umum sementara ilmu-ilmu agama dikembangkan di perguruan
tingga agama. Perkembangan ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkan oleh
perguruan tinggi umum berjalan seolah tercerabut dari nilai-nilai akar
moral dan etik kehidupan manusia, sementara itu perkembangan ilmu
agama yang dikembangkan oleh perguruan tinggi agama hanya
menekankan pada teks-teks Islam normativ, sehingga dirasa kurang
menjawab tantangan zaman. Jarak yang cukup jauh ini kemudian
menjadikan kedua bidang keilmuan ini mengalami proses pertumbuhan
yang tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi pertumbuhan dan
perkembangan kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik dan keagamaan
di Indonesia.28
Selain dikotomi yang tajam antara kedua jenis keilmuan ini,
tantangan berat yang harus dihadapi oleh masyarakat saat ini adalah
perkembangan zaman yang demikian pesat. Era globalisasi yang seolah
datang dengan perubahan yang cukup fundamental dimana sekat-sekat
antar individu, bangsa seolah sudah tidak ada lagi sehingga memunculkan
kompleksitas persoalan. Paradigma integratif-interkonektif
yang
ditawarkan oleh Amin Abdullah ini merupakan jawaban dari berbagai
persoalan di atas. Integrasi dan interkoneksi antar berbagai disiplin ilmu,
baik dari keilmuan sekuler maupun keilmuan agama, akan menjadikan
keduanya saling terkait satu sama lain, “bertegur sapa”, saling mengisi
kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Dengan demikian maka ilmu
agama (baca ilmu keislaman) tidak lagi hanya berkutat pada teks-teks klasik
tetapi juga menyentuh pada ilmu-ilmu sosial kontemporer.
Dengan paradigma ini juga, maka tiga wilayah pokok dalam ilmu
pengetahuan, yakni natural sciences, social sciences dan humanities tidak lagi
berdiri sendiri tetapi akan saling terkait satu dengan lainnya. Ketiganya
juga akan menjadi semakin cair meski tidak akan menyatukan ketiganya,
tetapi paling tidak akan ada lagi superioritas dan inferioritas dalam
keilmuan, tidak ada lagi klaim kebenaran ilmu pengetahuan sehingga
Ibid, p. 30.
Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), p.56. Lihat juga Sutoyo dan Ismail Navianto, Religiousitas Sains Meretas
Menuju Perdaban Zaman Diskursus Filsafat Ilmu, (Malang: Brawijaya Press, 2010), p. vii.
27
28Amin
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan...
134
dengan paradigma ini para ilmuwan yang menekuni keilmuan ini juga akan
mempunya sikap dan cara berfikir yang berbeda dari sebelumnya.29
Hadarah al-‘ilm (budaya ilmu), yaitu ilmu-ilmu empiris yang
menghasilkan, seperti sains, teknologi dan ilmu-ilmu yang terkait dengan
realitas tidak lagi berdiri sendiri tetapi juga bersentuhan dengan hadarah alfalsafah sehingga tetap memperhatikan etika emansipatoris. Begitu juga
sebaliknya, hadarah al-falsafah (budaya filsafat) akan terasa kering dan
gersang jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang termuat dalam
budaya teks dan lebih-lebih jika menjauh dari problem-problem yang
ditimbulkan dan dihadapi oleh hadarah al-‘ilm. Dari skema di atas tampak
jelas bahwa ketiga keilmuan tersebut menjadi bentuk dialektika atau tegur
sapa. Hal inilah yangmenjadi tolak ukur signifikansi dalam penerapan
integrasi-interkoneksi dalam keilmuan UIN Sunan Kalijaga. Tiga dimensi
pengembangan keilmuan ini bertujuan untuk mempertemukan kembali
ilmu-ilmu modern dengan ilmu-ilmu keislaman (integrasi-interkoneksi).30
Paradigma integrative-interkonektif ini terlihat sangat dipengaruhi oleh
Abid al-Jabiri yang membagi epistemolog Islam menjadi tiga, yakni
epistemologi bayani, epistemologi burhani dan epistemologi irfani.
Berbeda dengan Abid al-Jabiri yang melihat epistemologi irfani tidak
penting dalam perkembangan pemikiran Islam, bagi Amin Abdullah ketiga
epistemologi seharusnya bisa berdialog dan berjalan beriringan. Selama ini
epistemologi bayani lebih banyak mendominasi dan bersifat hegemonik
sehingga sulit untuk berdialog dengan tradisi epistemologi irfani dan
burhani, pola pikir bayani ini akan bekembang jika melakukan dialog,
mampu memahami dan mengambil manfaat sisi-sisi fundamental yang
dimiliki oleh pola pikir irfani dan burhani.
Karenanya hubungan yang baik antara ketiga epistemologi ini tidak
dalam bentuk pararel ataupun linier tetapi dalam bentuk sirkular. Bentuk
pararel akan melahirkan corak epistemologi yang berjalan sendiri-sendiri
tanpa adanya hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang lain.
Sedangkan bentuk linier akan berasumsi bahwa salah satu dari ketiga
epistemologi menjadi “primadona”, sehingga sangat tergantung pada latar
belakang, kecenderungandan kepentingan pribadi atau kelompok,
sedangkan dengan bentuk sirkular diharapkan masing-masing corak
epistemologi keilmuan dalam Islam akan memahami kekurangan dan
kelebihan masing-masing sehingga dapat mengambil manfaat dari temuan-
29Amin
Abdullah, Studi Agama Era Multicultural-Multiriligius, (Yogyakarta: PSAP,
2005), p. 3
30Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modernisasi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1994), p. 12.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan...
135
temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan lain dalam rangka
memperbaiki kekurangan yang ada.31
Paradigma integratif-interkonektif secara konseptual memang sangat
relevan bagi perkembangan keilmuan islam (Islamic Studies), dimana dialog
antar disiplin ilmu akan semakin memperkuat keilmuan islam dalam
menghadapi tantangan zaman dengan segala kompleksitas yang ada.
Namun demikian apa yang telah digagas oleh Amin Abdullah ini ketika
diaplikasikan dalam bentuk pendidikan model UIN menjadi
tidak applicable dalam pengembangan studi islam, karena dalam hal ini
tenyata pekembangan IAIN menjadi UIN sekali lagi menurut pandangan
penulis justru semakin menyisihkan keilmuan agama dari ilmu alam dan
sosial humaniora dan membuat ketidakjelasan. Hal ini bisa dilihat adanya
kerancuan dalam program studi yang ditawarkan, ada sosiologi agama, ada
sosiologi umum, ada psikologi dan psikologi agama, kemudian jika
Fakultas Ushuluddin akan membuka antropologi agama dan kemudian
Fakultas Sosial Humaniora juga akan membuka antropologi maka yang
tejadi adalah ketidakjelasan yang justru akan merugikan banyak pihak
terutama bagi out put dari produk UIN.
Dalam hal ini bisa jadi kerancuan ini akibat belum “mapannya”
epistemologi dalam keilmuan integratif-interkonektif yang digagas oleh
Amin Abdullah ini. Dalam hal ini penulis curiga jangan-jangan paradigma
yang dibangun oleh pak Amin ini hanya untuk dijadikan legitimasi dalam
mengubah IAIN menjadi UIN dan bukan untuk kebutuhan
pengembangan Islamic studies murni. Di sini berbeda dengan terobosan
pemikiran Amin Abdullah tentang historisitas dan normativitas dalam
pendekatan studi agama yang selalu relevan baik dalam konsep maupun
aplikasinya hingga saat ini, apalagi dalam konteks Indonesia saat ini
dimana banyak muncul kelompok-kelompok Islam tekstualis-skripturalis
dimana aspek historisitas dan normativitas seringkali sulit dibedakan atau
bahkan aspek historisitas sengaja dilupakan.32
Dengan Hadarah al-‘ilm (budaya ilmu), yaitu ilmu-ilmu empiris yang
menghasilkan, seperti sains, teknologi dan ilmu-ilmu yang terkait dengan
realitas tidak lagi berdiri sendiri tetapi juga bersentuhan dengan hadarah alfalsafah sehingga tetap memperhatikan etika emansipatoris. Sebagai Prodi
yang ada di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), Program
Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Bandung, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta harus
memiliki kekhasan antara yang satu dengan yang lainnya.
31Ibid
, p. 32.
Abdullah, Islamic Studies dalam Pradigma Integrasi-Interkoneksi,( Yogyakarta:
Suka Press, 2007), p. 13-20.
32Amin
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
136
Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan...
Kekhasan yang harus dimiliki setiap Prodi Ilmu Hukum tersebut
adalah kemampuan menguasai materi hukum positif (materil dan formal),
Islamic Studies terutama Hukum Islam, Kemampuan berkomunikasi
minimal dengan bahasa Inggris dan Arab serta kemampuan untuk
menguasai materi yang disampaikan oleh dosen pengampu masingmasing Program Studi, seperti mata kuliah keislaman yang ditawarkan di
setiap Program Studi Ilmu Hukum yang ada di Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Bandung, juga berbeda-beda seperti contoh: di Program
Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta mata kuliah keislaman yang ditawarkan sebanyak 9 mata kuliah
keislaman dengan jumlah beban 18 SKS seperti: Bahasa Arab, Tafsir Ayat
Hukum, Pengantar Studi Islam, Pengantar Hukum Islam, Hukum
Kewarisan Islam, Hukum Pidana Islam, Hukum Perdata Islam, Hukum
Perdata Islam, Hukum Perkawinan Islam, dan Hadis Hukum tetapi di
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Syarif Hidayatullah Jakarta, mata kuliah keislaman yang ditawarkan
sebanyak 14 mata kuliah keislaman dengan jumlah beban 31 SKS seperti:
Akidah Ahlak, Ulumul Qur’an dan Hadis, Bahasa Arab I, Ushul Fiqih I,
Fiqih dan Praktek Ibadah, Bahasa Arab II, Hukum Perkawinan dan
Kewaisan Islam, Hukum Perikatan Islam, Hukum Pidana Islam, Ushul
Fiqih II, Hukum Bisnis Islam, Hukum Tata Negara Islam, Pengantar Studi
Islam, dan Logika. Dan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Sunan Gunung Djati Bandung hanya menawarkan 12
mata kuliah keislaman seperti: Ilmu Alamiah Dasar, Antropologi Hukum
Islam, Bahasa Arab I, Bahasa Arab II, Ilmu Ahlak, Ulumul Qur’an,
Dirasah Islamiyah, Ulumul Hadis, Ushul Fiqih, Hukum Perdata Islam,
Hukum Pidana Islam dan Hukum Tata Negara Islam.
D. Pengembangan Kurikulum: Suatu Komparasi di Program Studi
Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga dalam Meningkatkan Akreditasi
Dalam penentuan kurikulum, pada prinsipnya setiap Fakultas
Hukum diberi kebebasan untuk menentukan kurikulumnya, kecuali
penentuan kurikulum inti Fakultas Hukum yang didasarkan pada
“Kesepakatan Depok” yang disepakati pada tanggal 22 April 2006 oleh 30
dari 35 orang Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinngi Negeri (PTN) seIndonesia. Dalam Rapat Kerja Badan Kerja Sama (BKS) atau Kesepakatan
Depok tersebut, para Dekan tersebut menyepakati sebanyak 23 Mata
kuliah wajib ditawarkan oleh setiap Fakultas Hukum Perguruan Tinggi
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan...
137
Negeri (PTN), se-Indonesia kepada para mahasiswanya. Mata kuliah
wajib tersebut adalah:33
Pengantar Ilmu Hukum, Pengantar Hukum Indonesia, Ilmu Negara,
Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum
Administrasi Negara, Hukum Internasional, Hukum Dagang, Hukum
Adat, Hukum Islam, Hukum Agraria, Hukum Lingkungan, Hukum Acara
Perdata, Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, Peraktik Peradilan Pidana, Peraktik Acara Perdata, Peraktik
Peradilan Tata Usaha Negara, Perancangan Peraturan PerundangUndangan, Perancangan Kontrak, Metode Penelitian dan Penulisan
Hukum, Tugas Akhir/ Skripsi
Dari 23 mata kuliah tersebut, khusus mata kuliah Hukum Dagang
mendapat perdebatan yang cukup panjang, untuk dapat masuk dalam
matakuliah inti. Perdebatannya yang muncul bahwa mata kuliah Hukum
Dagang dapat digabungkan atau diberikan dalam mata kuliah Hukum
Perdata. Namun akhirnya sidang yang dipimpin oleh Hikmahanto Juwana,
yang merupakan koordinator BKS memutuskan bahwa Hukum Dagang
tetap dimasukkan dalam kurikulum inti.
Untuk mata kuliah lainnya, tetap ditawarkan oleh Fakultas Hukum
masing-masing universitas negeri menjadi mata kuliah institusional (lokal).
Sehingga pada akhirnya nanti para calon mahasiswa Fakultas Hukum yang
memilih perguruan tinggi negeri yang akan dimasukinya berdasarkan
kekhususan materi yang ditawarkan oleh masing-masing universitas, bukan
lagi nama besarnya.
Materi lain selain 23 mata kuliah tersebut di atas, Kesepakatan
Depok ini juga menyepakati bahwa untuk mata kuliah yang sebelumnya
ada dalam kurikulum 2001 yang tidak termasuk dalam mata kuliah inti,
pelaksanaan mata kuliah tersebut di serahkan sepenuhnya kepada Fakultas
Hukum masing-masing universitas. Kurikulum inti ini akan diberlakukan
paling lambat mulai tahun ajaran 2007/2008.
Dari penjelasan di atas, perbedaan jumlah SKS yang ada pada setiap
Program Studi Ilmu Hukum yang hanya pada Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Bandung didasarkan pada Surat Keputusan Kemendikbud
R.I. No.0211/U/1982 yang menyatakan bahwa Progran Strata 1 (Satu)
ditetapkan studi komulatif minimal 144 SKS dan maksimal 160 SKS yang
dipaketkan dalam 8 semester sampai 14 semester.
Berdasarkan Surat Keputusan
Kemendikbud tersebut, maka
Program Studi Ilmu Hukum yang ada di Fakultas Syari’ah dan Hukum
33http://law.ui.ac.id/index.php/berita-Fakultas/157-old-58.html, acces tanggal 17
September 2012.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
138
Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan...
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Bandung dapat meneraapkan beban SKS antara 144-160
SKS. Dalam pandangan peneliti, Prodi tidak perlu terlalu tegas
menetapkan jumlah SKS yang harus ditempuh oleh setiap maahasiswa,
namun semuanya diserahkan kepada setiap mahasiswa untuk mengambil
jumlah SKS yang akan ditempuh. Yang harus dilaakukan oleh Prodi adalah
memberikan masukan kepada setiap mahasiswa tentang plus minusnya
mengambil mata kuliah minimum dan maksimum.
Selain jumlah SKS yang berbeda di setiap Program Studi Ilmu
Hukum yang ada di Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Bandung, mata kuliah yang di tawarkan kepada mahasiswa juga berbedabeda seperti contoh: di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan
Hukum dikenal adanya Hukum Pidana I, Hukum Pidana II, Hukum
Perdata I, Hukum Perdata II, Hukum Agraria I, Hukum Agraria II,
Hukum Administrasi Negara I, Hukum Administrasi Negara II, Hukum
Tata Negara I, Hukum Tata Negara II, Hukum Adat I, Hukum Adat II,
tetapi di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah
dan Hukum Sunan Gunung Djati Bandung hanya menawarkan mata
kuliah seperti: Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Agraria, Hukum
Adminisrasi Negara, Hukum Tata Negara, Hukum Adat dan lain-lain.
Selain mata kuliah yang di tawarkan kepada mahasiswa yang berbeda-beda
nama konsentrasi/kekhususan di setiap Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Syari’ah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi
Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Sunan Kalijaga Yogyakarta
dan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Sunan Gunung Djati Bandung juga berbeda-beda seperti:
a. Konsentrasi/kekhususan di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta:
1. Konsentrasi Hukum Bisnis
2. Konsentrasi Hukum Pidana
3. Konsentrasi Hukum Tata Negara
4. Konsentrasi Hukum International
b. Konsentrasi/kekhususan di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta:
1. Konsentrasi Hukum Bisnis
2. Konsentrasi Hukum International
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan...
139
3. Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara
c. Konsentrasi/kekhususan di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Bandung:
1. Kekhususan Hukum Perdata
2. Kekhususan Hukum Pidana
3. Kekhususan Hukum Tata Negara
Perbedaan Mata Kuliah, Konsentrasi/Kekhususan, yang ada di
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Bandung tidak sampai meniadakan mata kuliah yang sudah disepakati oleh
30 dari 35 orang Dekan Fakultas Hukum PTN se-Indonesia yang lebih
dikenal dengan “Kesepakatan Depok”. Mata kuliah wajib ditawarkan oleh
setiap Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri (PTN), se-Indonesia
kepada para mahasiswanya. Mata kuliah wajib dan sama di Program Studi
Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung tersebut
adalah:
Pengantar Hukum Indonesia, Pengantar Ilmu Hukum, Ilmu Negara,
Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum
Administrasi Negara, Hukum Internasional, Hukum Dagang, Hukum
Adat, Hukum Islam, Hukum Agraria, Hukum Lingkungan, Hukum Acara
Perdata, Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, Peraktik Peradilan Pidana, Peraktik Acara Perdata, Peraktik
Peradilan Tata Usaha Negara, Perancangan Peraturan PerundangUndangan, Perancangan Kontrak, Metode Penelitian dan Penulisan
Hukum dan Tugas Akhir/ Skripsi.
Selain jumlah SKS, Konsentrasi, Mata Kuliah yang berbeda di setiap
Program Studi Ilmu Hukum yang ada di Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Bandung, mata kuliah keislaman yang ditawarkan kepada
mahasiswa juga berbeda-beda seperti contoh: di Program Studi Ilmu
Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum mata kuliah keislaman yang
ditawarkan sebanyak 9 mata kuliah keislaman dengan jumlah beban 18
SKS seperti: Bahasa Arab, Tafsir Ayat Hukum, Pengantar Studi Islam,
Pengantar Hukum Islam, Hukum Kewarisan Islam, Hukum Pidana Islam,
Hukum Perdata Islam, Hukum Perdata Islam, Hukum Perkawinan Islam,
dan Hadis Hukum tetapi di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah
dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta, mata kuliah keislaman yang
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
140
Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan...
ditawarkan sebanyak 14 mata kuliah keislaman dengan jumlah beban 31
SKS seperti: Akidah Ahlak, Ulumul Qur’an dan Hadis, Bahasa Arab I,
Ushul Fiqih I, Fiqih dan Praktek Ibadah, Bahasa Arab II, Hukum
Perkawinan dan Kewaisan Islam, Hukum Perikatan Islam, Hukum Pidana
Islam, Ushul Fiqih II, Hukum Bisnis Islam, Hukum Tata Negara Islam,
Pengantar Studi Islam, dan Logika. Dan Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Syari’ah dan Hukum Sunan Gunung Djati Bandung hanya
menawarkan 12 mata kuliah keislaman seperti: Ilmu Alamiah Dasar,
Antropologi Hukum Islam, B. Arab I, Bahasa Arab II, Ilmu Ahlak,
Ulumul Qur’an, Dirasah Islamiyah, Ulumul Hadis, Ushul Fiqih, Hukum
Perdata Islam, Hukum Pidana Islam dan Hukum Tata Negara Islam.
E. Kesimpulan
Di dalam menentukan mata kuliah dan kurikulum yang sesuai
dengan visi dan misi serta tujuan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan diantaranya:
Pertama penentuan mata kuliah minimal yang wajib diambil
berdasarkan Surat Keputusan Mendikbut R.I. No. 0211/U/1982, untuk
Program Strata 1 ditetapkan beban studi kumulatifnya minimal 144 SKS
dan maksimal 160 SKS yang dipaketkan dalam 8 semester sampai 14
semester.
Kedua Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan
Gunung Djati, dalam menetapkan, mengembangkan kurikulum harus
memperhatikan “Kesepakatan Depok” yang dihadiri oleh 30 Dekan
Fakultas Hukum PTN se-Indonesia yang telah menyepakati kurikulum inti
Fakultas Hukum sebanyak 23 mata kuliah yang wajib ditawarkan oleh
Fakultas hukum PTN se-Indonesia kepada para mahasiswanya. Ke 23
mata kuliah yang wajib tersebut adalah (1) Pengantar Hukum Indonesia,
(2) Pengantar Ilmu Hukum, (3) Ilmu Negara, (4) Hukum Perdata, (5)
Hukum Pidana, (6) Hukum Tata Negara, (7) Hukum Administrasi Negara,
(8) Hukum Internasional, (9) Hukum Dagang, (10) Hukum Adat (11)
Hukum Islam, (12) Hukum Agraria, (13) Hukum Lingkungan, (14)
Hukum Acara Perdata, (15) Hukum Acara Pidana, (16) Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara, (17) Peraktik Peradilan Pidana, (18)
Peraktik Acara Perdata, (19) Peraktik Peradilan Tata Usaha Negara, (20)
Perancangan Peraturan Perundang-Undangan , (21) Perancangan Kontrak,
(22) Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (23) Tugas Akhir/ Skripsi.
Selain mata kuliah yang telah disepakati, mata kuliah lainnya tetap
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan...
141
ditawarkan oleh masing-masing Fakultas menjadi mata kuliah institusional
(lokal).
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
142
Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan...
Daftar Pustaka
Abdullah Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan integratifinterkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2006.
_________Falsafah Kalam di Era Post modernisasi, Yogyakarta:Pustaka
Pelajar,1994.
_________Falsafah Kalam di Era Post modernisasi, Yogyakarta:Pustaka
Pelajar,1994.
_________Islamic Studies dalam Pradigma Integrasi-Interkoneksi, Yogyakarta:
Suka Press, 2007.
_________Studi
Agama
Yogyakarta:PSAP,2005.
Era
Multicultural-Multiriligius,
_________Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002.
Bakhtiar, Amsal dkk, Pedoman Akademik Program Strata 1 Tahun Akademik
2010/2011, Jakarta: UIN Jakarta Press,2010.
Brannen, Julia, Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Reearch.
Brookfield USA : Avebury, London:Oxport Universty, 1992.
Buku Pedoman Panduan Akademik, Fakultas syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Tahun Akademik
2010/2011.
Buku Pedoman Panduan Akademik, Fakultas syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun
Akademik 2011.
Darmawan, Deni, Teknologi Pembelajaran, Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2009.
H.A.R.Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia,
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007.
Hamalik, Oemar, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya, 2007.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan...
143
Hamid, Hasan, Evaluasi Kurikulum, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2008..
Haris, Mudjiman, Manajemen Pelatihan Berbasis Belajar Mandiri. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006.
Isaac, S. and Michael, W.B, Handbook in Research and Evaluation; For
Education and Behavioral Sciences. Second Edition. San Diego, Amerika:
Edits Publisher, 1981.
Made, Pidarta, Landasan Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta,2000.
Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu, Perencanaan Pengembangan Sumber Daya
Manusia. Bandung: PT. Rineka Cipta, 2003.
Mudlofir, Ali, Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
dan Bahan Ajar Dalam Pendidikan Agama Islam, Jakarta:Rajawali Press,
2007.
Muhammad, Ansyar, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, Jakarta:
Dirjen Dikti, 1988.
Muhammad, Ilyasin dan Nanik Nurhayati, Manajemen Pendidikan Islam,
Malang: Aditya Media Publishing, 2012.
Nana S. Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya, 2009.
Oliva, Peter, Developing The Curriculum, New York: Harper Collin
Publishers1992.
Purwanto, Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya,2000.
Sallis, Edwar, Total Quality Managemen In Education, Manajemen Mutu Terpadu
Pedidikan, Yogyakarta: IRCiSoD, 2011.
Sindhunata,Menggagas Paradigma Baru Pendidikan Demokratisasi, Otonomi, Civil
Society, Globalisasi, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Subandijah ,Pengembangan dan Inovasi kurikulum, Jakarta: Grafindo persada,
1996.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
144
Ach. Tahir: Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan...
Subandijah, Pengembangan dan Inovasi kurikulum, Jakarta: Grafindo persada,
1996.
Sukmadinata, Nana S., Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya, 2009.
Sutoyo dan Ismail Navianto, Religiousitas Sains Meretas Jalan Menuju
Peradaban Zaman Diskursus Filsafat Ilmu, Malang: Brawijaya Press,
2010.
Tilaar, H.A.R., Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia,
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Depdiknas.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif di Indonesia
Melalui Demokrasi Deliberatif Habermas
Oleh: Ulya 
Abstract
In a simple term, it can be said that the discussion of politics is the discussion
about the legitimacy of power. Politics is a conception which contains provisions about
who is the source of state authority, who is the executive power, what is the basis and
how to determine to whom the authority to exercise the powers is given, to whom the
executive authority will be responsible and what the form of its responsibility. In this
political context, Habermas states that politics is a situation where people work
together. While democracy is a concept of political thought since it also strives for how
people can work together. Habermas's concept of democracy is known as deliberative
democracy. This concept has become a trend nowadays and seems a new term. However,
if we follow him later, the real concept of deliberative democracy indirectly has fused with
the traditions of our ancestors, Indonesia, although this local tradition has continued to
fade recently. One of the integration of deliberative democracy concept with the
Indonesian local tradition indicators is a discussion culture to reach a consensus in
Indonesian society. This paper is important because it discusses a conversation or what
sort of communication required by the perfectionist in deliberative democracy.
Key word: habermas, deliberative democracy, communicative social order,
indonesian
Abstrak
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa perbincangan tentang politik adalah
perbincangan tentang legitimasi kekuasaan. Detailnya bahwa politik adalah suatu
konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber
kekuasaan negara, siapa pelaksana kekuasaan tersebut, apa dasar dan bagaimana
cara untuk menentukan kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu
diberikan, kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana
bentuk tanggung jawab itu. Dalam konteks politik ini Habermas menyatakan bahwa
politik adalah sebuah situasi yang mana orang-orang bekerja secara bersama-sama.
Sedangkan demokrasi adalah sebuah konsep pemikiran politik karena di dalamnya
juga mengupayakan bagaimana orang bisa bekerja secara bersama-sama. Konsep
demokrasi yang ditawarkan Habermas dikenal dengan nama demokrasi deliberatif.
Konsep ini sekarang menjadi mode dan istilah ini tampak kelihatan baru, tetapi jika
kita mengikuti penjelasannya nanti, sesungguhnya konsep demokrasi deliberatif ini

Dosen Jurusan Ushuluddin STAIN Kudus. E-mail: [email protected]
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif...
146
secara tidak langsung telah menyatu dengan warisan tradisi nenek moyang kita,
Indonesia, meski akhir-akhir ini tradisi lokal ini dalam praktiknya terus memudar.
Salah satu indikator kemenyatuan konsep demokrasi deliberatif dengan warisan
tradisi nenek moyang Indonesia adalah melekatnya tradisi perbincangan dalam
rangka bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Bahasan ini menjadi penting untuk
didiskusikan karena memuat persoalan, utamanya, adaah perbincangan atau
komunikasi macam apa yang dituntut secara perfeksionis oleh demokrasi deliberatif.
Kata kunci: habermas, demokrasi deliberatif, tatanan sosial komunikatif ,
indonesia
A.Pendahuluan
Demokrasi adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan
umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi
secara efektif oleh masyarakat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam
suasana terjaminnya kebebasan politik.1 Konsep demokrasi semula lahir
dari pemikiran politik di Yunani Kuno dan selanjutnya dipraktikkan dalam
hidup berbangsa dan bernegara antara abad ke-4 SM sampai abad 6 M.
Setelah abad ini demokrasi boleh dikatakan lenyap dari bumi ketika bangsa
Romawi dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat dan benua Eropa
memasuki abad pertengahan (6-14M).
Pada masa ini kehidupan sosial dan spiritualnya dikuasai oleh gereja,
yakni Paus dan pejabat-pejabat agama, sedangkan kehidupan politiknya
dikuasai oleh para bangsawan. Munculnya kembali demokrasi sangat
didorong oleh motif perubahan sosial kultural yang berintikan pada
pendekatan pemerdekaan akal dari kelangan agama dan gereja.2 Pemikiran
tentang demokrasi ini muncul dan dalam perkembngannya mengambil
format dalam konsep live, liberty, property-nya John Locke (1632-1704), Trias
politika-nya Montesquieu (1689-1955), konsep sosial contract dan volonte
generale-nya Rousseau (1712-1778), sampai demokrasi deliberatif-nya
Habermas (1929).
Yang terakhir inilah dalam tulisan ini penulis akan mencoba
memaparkan. Pembahasan secara berturut-turut akan diawali dengan
melihat potret hidup Habermas, teori komunikasi sebagai pendahulu ide
demokrasinya, membahas tentang demokrasi deliberatif, Ruang publik
sebgai wahana berdemokrasi deliberatif, dan demokrasi deliberatif
menciptakan tatanan sosial komunikatif di Indonesia, keudian diakhiri
dengan kesimpulan sebagai penutup.
1Henry
B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, (New York : Oxford
UNIversity Press, 1960), p.70
2Moh. Mahfud, Demokrasi dan Konstitusi Di Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1993),
p. 20, 21.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif...
147
B. Potret Hidup Habermas
Jurgen Habermas dilahirkan di Dusseldorf, Jerman, pada tahun 1929
dan dibesarkan di Gummersbach.3 Dia anak dari seorang ayah yang
menjabat sebagai Ketua Kamar Dagang Propinsi Rheinland Estfalen di
Jerman Barat dan cucu seorang pendeta Protestan, sehingga Habermas di
masa kecilnya hidup di tengah-tengah iklim Borjuis-Protestan. Lingkungan
masyarakat Habermas sendiri sebenarnya kental dengan suasana Katolik,
yang peka dan kritis terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di
masyarakat. Lagi pula secara kebetulan bahwa di sebelah rumah Habermas
terdapat toko buku Marxis, yang membuat Habermas mempunyai banyak
kesempatan untuk melalap buku-buku untuk mempertajam kepekaan dan
kekritisannya.4 Dua buku filsafat berkualitas saat itu yang dengan segera
habis dibacanya saat dia masih belia adalah History and Class Conciousness
karya George Lukacs dan Dialektik der Aufklarung karya Max Horkheimer
dan Adorno.5
Habermas di masa mudanya belajar kesusasteraan Jerman, sejarah,
dan filsafat, psikologi, ekonomi di Universitas Gottingen. Kemudian dia
melanjutkan ke Universitas Bonn untuk mengkonsentrasikan dirinya pada
bidang kajian filsafat sampai dia mendapat gelar doktor bidang filsafat
melalui disertasi yang dipertahankannya adalah Das Absolute und die
Geschichte (Yang Absolut dan Sejarah) pada tahun 1954.
Habermas memulai karir akademiknya pada tahun 1956. Di tahun
ini dia bergabung dengan Lembaga Riset di Frankfurt yang diketuai oleh
Adorno, tokoh yang menjadi idolanya sejak dia belia dan telah banyak
mempengaruhi pemikirannya. Cerminan dari dukungannya terhadap
Adorno ini di antaranya terlihat pada tahun 1961 tatkala dilaksanakan
seminar di Universitas Tubingen yang memperhadapkan antara Adorno
dan Karl Popper. Saat itu Karl Popper menolak gagasan bahwa sejarah
mempunyai hukum perkembangan dan tujuan obyektif. Popper menuduh
yang seperti ini adalah ideologis karena cenderung mengorbankan manusia
nyata demi tujuan obyektif sejarah. Baginya sejarah adalah bersifat faktual
semata-mata. Hal yang demikian dikaunter oleh Adorno dengan
menyatakan bahwa dengan pendekatan yang bebas nilai itulah yang justru
ideologis karena telah menutup kepentingan-kepentingan terselubung di
bawah payung yang dinamakan obyektivitas.6
3K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer : Inggris-Jerman, (Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 1990), p. 236
4E. Sumaryono, Hermeneutik : Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1999),
p.87
5Frans Magnis Suseno, “75 Tahun Jurgen Habermas”, dalam Basis, No.11-12,
Tahun ke-53, November-Desember 2004, p. 5
6Ibid., p. 6.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif...
148
Dalam konteks ini Habermas jelas-jelas memihak Adorno. Bentuk
aktualisasi dukungannya ini nantinya terangkum dalam buku karyanya yang
berjudul Erkenntnis und Interesse (Pengetahuan atau Pengenalan dan
Kepentingan Manusiawi). Tahun 1970, Habermas meninggalkan Frankfurt
dan pindah ke Stanberg untuk menerima tawaran menjadi Direktur pada
Max Planck Institute, sebuah lembaga yang mempelajari kondisi-kondisi
kehidupan dalam dunia ilmiah – teknis.7 Dari Max Planck Institute, dia
kembali ke Universitas Frankfurt untuk mengabdi di sana sampai
memasuki masa pensiunnya di tahun 1994.8
Sampai saat ini Habermas dikenal sebagai filosof kontemporer yang
tidak hanya terkenal di Jerman tetapi di seluruh dunia. Yang khas dari
Habermas ini adalah semangatnya yang tak pernah pupus untuk
mengembangkan pemikiran-pemikirannya dalam diskursus yang terusmenerus dengan pemikir-pemikir lain, mulai dari Karl Marx, Max Weber,
Emile Durkheim, Herbert Mead, George Lukacs, Max Horkheimer, dan
Adorno, yang sangat menentukan langkah perkembangan pemikirannya,
juga termasuk pemikir yang menjadi lawan intelektualnya, seperti : Karl
Popper, Sigmund Freud, Gadamer, Lawrence Kohlberg, Jean Piaget,
Talcott Parson, Hannah Arendt, dan lain-lain.9
Gajah mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan
belang, manusia mati meninggalkan nama. Nama Habermas selalu
dikenang para peminat kajian filsafat melalui tulisan-tulisannya yang
monumental, seperti :
1. Legitimations probleme im Spatkapitalismus (Masalah Legitimasi dalam
Kapitalisme di Kemudian Hari),
2. Kultur und Kritik (Kebudayaan dan Kritik),
3. Zur Rekonstrukion des Historischen Materislismus (Demi Rekonstruksi
Materialisme Historis),
4. Theorie des Kommunikativen Handelns (Teori tentang Praksis Komunikasi),
5. Moralbewusstsein und Kommunikatives Handeln (Kesadaran Moral dan
Praksis Komunikasi),
6. Der Philosophische Diskurs der Moderne (Diskursus Filosofis Tentang
Orang Modern),
7. Nachmetaphisisches Denken, Philosophische Aufsatze (Pemikiran Pasca
Metafisis , Esai-esai Filosofis),
8. Erlauterungen zur Diskursethik (Penjelasan tentang Etika Diskursus),
Faktizitat und Geltung (Fakta dan Norma),
7E.
Sumaryono, Hermeneutik, p. 88
Bertens, Filsafat Barat., p. 241
9Frans Magnis Suseno, “75 Tahun Jurgen Habermas”, dalam Basis, p. 4
8K.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif...
149
9. Die Einbeziehung des Anderen, Studien zur Politischen Theorie (Keterlibatan
Orang Lain, Studi Tentang Teori Politik), dan lain-lain.10
10. Jurgen Habermas, The Structural Transformation of the Publik Sphere: An
Inquiry into a Category of Bourgeois Society, Cambridge: MIT Press, 1989.
11.Jurgen Habermas, Theorie des Kommunikativen Handelns (Band 2), Zur
Kritik der funktionalistischen Vernunft, Frankfurt am Main: Suhrkamp
Verlag, 1988.
C. Teori Komunikasi Sebagai Pendahulu Ide Demokrasinya
Di antara peninggalan pemikiran Habermas yang sampai saat ini
familiar dan populer karena diingat banyak orang adalah perjuangannya
yang tak kenal lelah dalam menggali potensi komunikasi manusia. Bagi
Habermas komunikasi adalah harta karun yang tak pernah habis digali
sehingga darinya memunculkan karya tulisnya yang berjudul Theorie des
Kommunikativen Handelns (Teori tentang Praksis Komunikasi). Pemikiran
Habermas tentang komunikasi ini menjadi dasar pemikirannya secara
keseluruhan, termasuk pemikiran politiknya yaitu demokrasi deliberatif.
Baginya komunikasi merupakan sesuatu yang khas dan dasariah melekat
pada masyarakat sehingga tanpanya masyarakat tidak akan ada, meminjam
bahasa Heidegger barangkali boleh disebut bahwa komunikasi adalah
sebagai fenomenologi dassein, karakter khas yang dimiliki oleh manusia.
Dalam karya tulis di atas, Habermas membagi tindakan menjadi 4 (empat),
yaitu : tindakan teleologis, tindakan normatif, tindakan dramaturgik, dan
tindakan komunikatif. 11 Adapun penjelasan masing-masing sebagai
berikut :
1. Tindakan Teleologis
Tindakan teleologis adalah sebuah tindakan yang mana pelaku
melakukan hal tertentu untuk mencapai dan atau mempertahankan tujuan
yang khusus. Untuk mencapainya dibutuhkan sarana yang tepat dan sesuai,
yaitu keputusan. Untuk membina tindakan ini diperlukan model dan
strategi dengan maksud untuk keberhasilan tindakan pelaku, juga
antisipasi dari keputusan yang menjadi bagian yang ditambahkan pada
tujuan yang hendak dicapai. Jadi konsep pokok tindakan ini adalah
keputusan. Contoh : Seorang mahasiswa menyatakan bahwa untuk
mendapatkan nilai baik dalam ujian maka harus giat belajar.
2. Tindakan Normatif
Tindakan normatif adalah tindakan yang tidak diarahkan dan tidak
ditujukan untuk kepentingan sendiri. Pelaku melakukan perbuatan ini
10K.
11
Bertens, Filsafat Barat, p. 240-241.
E. Sumaryono, Hermeneutik, p. 94-95.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif...
150
justru diarahkan dan ditujukan untuk memenuhi kepentingan anggotaanggota kelompok masyarakat.
Manusia adalah zoon politicon, maka dia tak pernah bisa hidup tanpa
manusia yang lain. Karena itulah maka manusia mempunyai
kecenderungan menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang berlaku umum di
masyarakat, upaya mengukur sebuah tindakan itu atas dasar kesesuaian
dengan norma masyarakat atau tidak. Jadi, konsep utama tindakan ini
adalah pemenuhan terhadap norma. Contoh: tindakan pengendara
kendaraan di jalan raya tatkala menghadapi traffic light. Jika lampu merah
yang menyala maka pengendara tersebut menghentikan laju kendaraannya.
3. Tindakan Dramaturgik
Tindakan dramaturgik adalah tindakan
yang dilakukan oleh
seseorang bukan karena untuk kepentingan dirinya atau memenuhi norma
sosial masyarakat, melainkan ditujukan untuk masyarakat umum. Pelaku
mencoba menampilkan diri dalam image atau gambaran penampilan dirinya
itu. Konsep utama tindakan ini adalah penampilan diri di depan umum.
Contoh : Tindakan penyiar televisi di depan kamera, tindakan dosen yang
mengajar di depan mahasiswanya, dan lain-lain.
4. Tindakan Komunikatif
Tindakan komunikatif adalah tindakan yang menunjuk kepada
interaksi, sekurang-kurangnya dua orang yang mempunyai kemampuan
berbicara dan bertindak, serta dapat membentuk hubungan antar pribadi,
baik secara verbal maupun non-verbal. Di sini pelaku mencapai
pemahaman terhadap situasi tindakan serta rencana tindakan-tindakannya,
juga tindakan terbaik atas dasar persetujuan. Konsep pokok tindakan ini
adalah interpretasi atau penafsiran. Contoh: Tindakan mahasiswamahasiswa yang kuliah bersama pada waktu dan kelas yang sama,
terjadinya momentum jual-beli antara penjual dan pembeli di pasar, dan
lain-lain.
Berlangsungnya tindakan komunikatif ini bercirikan adanya
universalitas, artinya semua orang harus memiliki persepsi yang sama atas
sesuatu. Sebagai contoh semua orang sepakat kalau mencuri adalah
moralitas tak terpuji. Universalitas inilah yang diuji melalui praksis
komunikasi12 ; kemudian komunikasi harus berlangsung secara terbuka,
Praksis komunikasi tidak sama praksis instrumental dan praktis strategis. Yang
pertama adalah keseluruhan perbuatan manusia yang bertujuan mencapai persetujuan
dengan manusia lain dalam konteks kemasyarakatan, yang kedua adalah terikat dengan
hukum-hukum teknis dan instrumen-instrumen kerja, contohnya menciptakan hubungan
palng cepat dan paling ekonomis antara dua kota, yang ketiga adalah perbuatan manusia
yang juga berkaitan dengan manusia yang lain tetapi demi terlaksananya suatu tujuan
12
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif...
151
jujur, dan bebas. Tidak karena dipaksa, dimanipulasi ataupun dikondisikan
sebelumnya. Sebagai contoh dalam pemilihan kepala desa, seorang
memilih karena telah diberi uang. Ini bukan tindakan komunikasi.
Kemudian adalah bahwa ending dari tindakan komunikasi ini adalah untuk
mendatangkan persetujuan atas dasar alasan yang baik (good reasons). Dalam
hal ini maka persetujuan untuk melakukan kejahatan bukanlah tindakan
komunikasi.
Di dalam proses pemahaman ini melibatkan dan ada interaksi antara
linguistik atau bahasa, tindakan, dan pengalaman.13 Tentang linguistik,
Habermas menyatakan bahwa komunikasi tanpa bahasa adalah tak
mungkin. Dia telah merancang beberapa kategori tentang ekspresi bahasa
sebagai bahan pengelompokan dalam dialog, yaitu : kata ganti perorangan
dan kata jadiannya yang membentuk sistem referensi antara para pelaku
komnikasi yang pada akhirnya menyadari peran saya dan kamu. Kemudian
ekspresi tentang ruang dan waktu serta kata sandang dan kata tunjuk yang
menghubungkan wilayah saya dan kamu saat mengadakan interaksi
berkaitan dengan obyek yang dibicarakan. Lalu tanya jawab sebagai
aktivitas perbincangan.14
Ekspresi linguistik atau bahasa ini muncul dalam bentuknya yang
absolut yaitu yang menggambarkan hasil pemahaman monologis. Inilah
yang seringkali akan menimbulkan jurang pemisah antara apa yang
diucapkan dengan apa yang dimaksudkan. Tentang tindakan dilakukan
melalui komunikasi (communicative action). Situasi komunikasi yang ideal
sebagaimana dijelaskan di atas ditandai dengan tidak adanya hambatan
apapun atau teknan-tekanan yang datang selama proses komunikasi.
Habermas sebagaimana dikutip oleh Thompson menyatakan bahwa:
“Proses komunikasi itu sendiri tidak akan melahirkan tekanan-tekana jika
dan hanya jika – bagi semua partisipan-di sana ada distribusi kesempatan
yang seimbang dalam memilih dan memberi kesempatan peserta yang
berpartisipasi sdalam aktivitas perbincangan.” 15
Tentang pengalaman bahwa pemahaman memang melibatkan
sesuatu yang mendahuluinya, suatu konsensus atau tradisi. Penafsir atau
pembaca juga harus memperhitungkan hal ini dalam aktivitas pemahaman,
termasuk yang diekspresikan dalam bentuk reaksi tubuh yang berupa
kecenderungan yang tidak dicetuskan atau sebagai ungkapan non-verbal.
pribadi, misalnya persaingan dalam bisnis, mendapatkan keuntungan dengan cara
menipu, dan lain-lain. Lihat dalam K. Bertens, Filsafat Barat, p. 245.
13 E. Sumaryono, Hermeneutik, p. 91.
14 John B. Thompson, Filsafat Bahasa dan Hermeneutik, (terj. A. Khozin Afandi),
(Surabaya : Visi Humanika, 2005), p.179-180
15 Ibid., p.180-181.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
152
Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif...
Selanjutnya secara detail, penjelasan dan perbandingan antara 4 (empat)
macam tindakan tersebut di atas adalah sebagai berikut:
a. Dilihat dari hubungan pelaku dengan dunianya
Macam tindakan
Hubungan pelaku dengan dunia
Teleologis
Hubungan obyektif (di luar saya adalah obyek)
Normatif
Hubungan sosial dan obyek (orang lain
diperhatikan sekaligus obyek)
Dramaturgik
Hubungan subyektif dan obyektif (tindakan atas
pertimbangan diri dan orang lain)
Komunikatif
Obyek-subyek-sosial
b. Dilihat dari hubungan pelaku dengan orang lain
Macam tindakan
Hubungan pelaku dengan orang lain
Teleologis
Orang lain sebagai sarana
Normatif
Tunduk pada konformitas atau kesesuaian norma
bersama. Yang utama adalah keabadian normanorma bersama
Dramaturgik
Untuk bisa saling menyenangkan antara aktor dan
orang lain supaya diri sendiri puas
Komunikatif
Orang lain sebagai mitra untuk mencari saling
pengakuan, maka orang lain sebagai pembicara,
tujuan pembicaraan, dan saksi pembicaraan
c. Dilihat dari tujuannya
Macam tindakan
Teleologis
Normatif
Dramaturgik
Komunikatif
Tujuan
Untuk mencapai sukses pribadi
Transmisi atau peyampaian nilai
Estetis dan stylistis
Kesepahaman tentang situasi tindakan bersama
d. Dilihat dari konsep sentralnya
Macam tindakan
Konsep sentral
Teleologis
Keputusan
Normatif
Ketaatan pada norma
Dramaturgik
Penampilan
Komunikatif
Penafsiran dan pemahaman, tidak pada apa yang
dikatakan
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif...
153
e. Dilihat dari peran bahasanya
Macam tindakan
Peran bahasa
Teleologis
Medium dari yang lain
Sarana untuk membentuk opini-opiniuntuk
mengungkapkan maksud, tujuan, dan meraih
sukses
Normatif
Medium penyampaian nilai-nilai budaya
Dramaturgik
Sarana penampilan
Komunikatif
Sebagai mekanisme koordinasi tindakan
f. Dilihat dari tipe komunikasinya
Macam tindakan
Tipe komunikasi
Teleologis
Saling memahamai secara tak langsung dan untuk
mencapai tujuan
Normatif
Aktivitas/konsensus yang diaktualisasikan untuk
kelangsungan nilai-nilai
Dramaturgik
Diarahkan untuk penonton
Komunikatif
Digunakan untuk medium saling pengertian tanpa
manipulasi, tanpa kondisioning, sifatnya dialogal
g. Dilihat dari mekanisme koordinasinya
Macam tindakan
Mekanisme koordinasi
Teleologis
Tindakan diatur oleh perhitungan egosentris dari
kegunaan dan dikoordinasi oleh konstelasi
kepentingan
Normatif
Tindakan menyesuaikan pada nilai bersama
Dramaturgik
Dari diri dan apa yang diharapkan oleh publik
Komunikatif
Saling pengertian agar saling mengakui atau
menerima isi proposisi
h. Dilihat dari maksim atau aturannya
Macam tindakan
Maksim atau aturan
Teleologis
Aturan ini sudah masuk dalam kerangka fix dan
diterima (ada kriterianya)
Normatif
Maksimnya ditentukan oleh nilai-nilai bersama yang
sudah ada sebelumnya
Dramaturgik
Maksim ditentukan lebih dulu tetapi pelaku boleh
berimprovisasi
Komunikatif
Maksim menjadi sasaran perdebatan terbuka
(kesepakatan)
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
154
Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif...
i. Dilihat dari keprihatinan utamanya
Macam tindakan
Keprihatinan utama
Teleologis
Mencapai
tujuan
dan
memperhitungkan
konsekuensi – konsekuensi tindakannya
Normatif
Penerimaan nilai-nilai yang disampaikan
Dramaturgik
Penampilan atau performance
Komunikatif
Menunda dalam mengejar tujuan masing-masing
agar tercapai tujuan bersama tapi tanpa ancaman,
kondisioning, dan manipulasi
j. Dilihat dari lingkupnya
Macam tindakan
Teleologis
Normatif
Dramaturgik
Komunikatif
Lingkup
Punya dua lingkup (privat dan publik)
Publik
Publik dan panggung
Publik, privat, dan dunia yang dihayati
k. Dilihat dari kriteria ungkapannya
Macam tindakan
Kriteria ungkapan yang dapat dipahami
Teleologis
Dapat dipahami dan meyakinkan
Normatif
Ketepatan normatif, rasional-tidak
Dramaturgik
Ketulusan penafsiran atau maksudnya
Komunikatif
Kebenaran dalam pernyataan, tepat
bahasanya, ketulusan dalam maksudnya
D. Tentang Demokrasi Deliberatif
Pemikiran Habermas tentang demokrasi deliberatif ini
sesungguhnya merupakan penerjemahan dari tindakan komunikatif dalam
institusi politik. Istilah demokrasi deliberatif berasal dari 2 (dua) kata,
yaitu demokrasi dan deliberatif. Demokrasi secara umum adalah
pemerintahan oleh yang diperintah (regierung der regierten). Adapun secara
definitif sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yakni sebuah sistem
yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar
mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam
pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik
dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.16
16 Jurgen Habermas, The Structural Transformation of the Publik Sphere: An Inquiry into
a Category of Bourgeois Society, (Cambridge: MIT Press, 1989), p. 34.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
dalam
Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif...
155
Sedangkan kata deliberasi berasal dari bahasa Inggris, deliberation,
yang artinya careful consideration and discussion,17 artinya diskusi dan
pertimbangan yang hati-hati, tetapi kemudian seringkali diterjemahkan
menjadi konsultasi, menimbang-nimbang, atau dalam istilah politik adalah
musyawarah. Deliberation dalam bahasa Inggris sebagaimana di atas berasal
dari akar kata, deliberatio, dari bahasa latinnya.18 Selanjutnya pemakaian
istilah demokrasi yang dilekatkan pada kata deliberasi memberikan makna
tersendiri bagi konsep demokrasi. Istilah demokrasi deliberatif ini
memiliki makna yang tersirat yaitu diskursus praktis, formasi opini, dan
aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai prosedur.19
Demokrasi deliberatif tidak memfokuskan pandangannya dengan
aturan-aturan tertentu yang mengatur masyarakat, tetapi justru perhatian
diarahkan pada sebuah prosedur yang menghasilkan aturan-aturan,
undang-undang, atau kebijakan publik lainnya. Aktivitas ini membantu
untuk bagaimana keputusan-keputusan politis diambil dan dalam kondisi
bagaimanakah aturan-aturan tersebut dihasilkan sedemikian rupa sehingga
masyarakat mematuhi peraturan-peraturan tersebut. Dengan kata lain,
demokrasi deliberatif meminati kesahihan keputusan-keputusan kolektif
itu atas dasar klaim bahwa keputusan-keputusan dibuat sendiri oleh
masyarakat maka masyarakat hendaknya mematuhinya. 20
Demokrasi deliberatif akan terjadi jika prosedur yang menghasilkan
aturan atau kandidat undang-undang atau kebijakan publik lainnya
melibatkan proses pemberian alasan yang diuji terlebih dahulu lewat
diskursus publik atau rational discussion.21 Disebut rasional jika semua orang
yang berada dalam suatu perbincangan dapat mengemukakan semua
argumentasi-argumentasi yang masuk akal, yang relevan pada saat itu
sehingga pengandaian-pengandaian yang berperanan dalam diskusi
tersebut dapat dikritik, juga kalau perlu diubah atau bahkan diganti
dengan alternatif lain jika para peserta menginginkannya.22
Dalam diskursus publik inilah mayarakat yang terlibat bisa
memberikan argumentasinya secara rasional untuk meyetujui atau menolak
jalan keluar atas persoalan- persoalan yang dibahas. Jadi dalam demokrasi
deliberatif bahwa nantinya produk jalan keluar dari persoalan-persolan
yang dibahas ditentukan dalam proses pembentukan keputusan yang
17AS.
Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford :
Oxford University Press, 1987), p.228
18F. Budi Hardiman, “Demokrasi Deliberatif : Model Untuk Indonesia PascaSoeharto ?”, dalam Basis ,p.18.
19Http//id.wikipedia.org/wiki/jurgen_habermas
20Ibid.
21F. Budi Hardiman, “Demokrasi Deliberatif : Model Untuk Indonesia PascaSoeharto ? “, dalam Basis, p. 18
22K. Bertens, Filsafat Barat, p. 247
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
156
Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif...
melibatkan komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam
perbincangan dimaksud. Komunikasi yang diciptakan adalah bukan
komunikasi yang dominatif , tetapi komuniksi yang sejajar.
Sebagai contoh ketika Pemerintah Daerah Kabupaten Kudus
hendak mengundangkan wilayah bebas becak, maka sebelum UndangUndang itu diputuskan terdapat prinsip yang tak bisa ditolak dalam
demokrasi deliberatif, yaitu mengikutsertakan pihak-pihak yang akan
terkena peraturan perundang-undangan itu. Dengan demikian pemerintah
harus meminta pendapat si tukang becak, si pemilik becak, si pengguna
becak, si pengguna jalan raya, masyarakat peduli becak, dalam sebuah
diskursus publik yang diselenggarakan.
Ini berarti bahwa demokrasi deliberatif merupakan suatu
proseduralisme dalam politik dan hukum. Legitimitas tidak terletak pada
fakta bahwa mayoritas telah diraih, melainkan pada fakta bahwa cara-cara
meraihnya melibatkan proses komunikatif, rasional, fair, adil, tanpa
paksaan, tanpa ancaman, tidak dengan bujukan atau rayuan, sehingga
akhirnya sebuah jalan keluar, produk hukum, undang-undang atau
kebijakan publik lain yang diraih dengan cara-cara tersebutlah yang
mempunyai alasan kuat untuk ditaati masyarakat.
Demokrasi deliberatif ini bertujuan untuk meningkatkan intensitas
partisipasi masyarakat dalam proses penyaluran dan pembentukan aspirasi
agar undang-undang atau kebijakan publik lain yang dihasilkan oleh pihak
yang memerintah semakin mendekati harapan semua pihak. Hal ini
karena tujuan dari konsep demokrasi deliberatif Habermas adalah untuk
mencapai sebuah hubungan yang damai meskipun dalam masyarakat yang
beranekaragam, baik agama, suku, bangsa, bahasa, dan lain-lain.
Sesungguhnya pemikiran yang disampaikan oleh Habermas tentang
demokrasi deliberatif ini terbilang unik dan berbeda dengan pemikiran
para pendahulunya, seperti : Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke
(1632-1704), ataupun Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Jika Hobbes
menyatakan bahwa negara didirikan untuk melindungi hak-hak individu
yang bersepakat untuk mendirikan suatu lembaga dengan wewenang
mutlak yang menata mereka melalui undang-undang. Mereka
menyerahkan semua hak mereka tanpa kemungkinan bagi mereka untuk
mempersoalkannya.23 Kemudian berangkat dari asumsi yang sama dengan
Hobbes, John locke menyatakan negara didirikan untuk melindungi hak
milik pribadi. Bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengontrol
pertumbuhan milik pribadi yang tak seimbang, melainkan justru untuk
menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya.
23Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
(Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1994), p. 207 dan 212
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif...
157
Oleh karena itu undang-undang negara tidak boleh mengurangi hak
pribadi masyarakat. Oleh karena itu kekuasaan membuat undang-undang
negara tidak bisa diserahkan pada pihak lain, misalnya kepada raja.24
Sedangkan Rousseau menekankan pada social contract dan volonte generale
(kehendak umum). Kehendak umum adalah kehendak bersama semua
individu yan mengarah pada kepentingan bersama. Kepentingan bersama
ini dapat disaring dari kehendak semua melalui pemungutan suara. Dalam
pemungutan suara, kepentingan-kepentingan khusus - yang bertentangan
satu ama lain-saling meniadakan sehingga akhirnya tinggal kepentingan
umum yang dikehendaki oleh semua.25
Dalam konteks ini maka sebagai contoh bahwa produk undangundang atau kebijakan publik lain lebih penting daripada proses
legislasinya. Sebagai contoh bahwa jika DPR menghasilkan undangundang maka yang penting undang-undang tersebut harus disepakati oleh
bersama atau oleh mayoritas dengan tanpa mempedulikan lewat cara apa.
Jika undang-undang sudah dihasilkan dengan cara demikian maka undangundang dianggap sudah mempunyai legitimasi.
Dengan demikian maka secara khusus, sesungguhnya demokrasi
deliberatif Habermas ini adalah bentuk respons atas pemikiran-pemikiran
sebelumnya, merupakan produk gagasan dalam rangka menanggapi adanya
ketegangan kreatif (creative tention) yang panjang dalam sejarah pemikiran
tentang hukum, negara, dan demokrasi. Paling tidak ada 2 (dua) tradisi
kenegaraan modern yang menjadi representasi dari creative tention ini yaitu
tradisi yang bermuara pada pemikiran John Locke yang menekankan pada
indivudu dan tradisi yang meneruskan paham kenegaraan Rousseau yang
lebih mengakomodir kelompok.26
Tradisi Locke memandang hukum dan negara secara utilitaristik
sebagai lembaga-lembaga yang perlu untuk menjamin kebebasankebebasan individu dalam masyarakat. Negara bukan tujuan pada dirinya
sendiri, melainkan lembaga yang menciptakan kondisi keamanan yang
diperlukan agar warga masyarakat dapat hidup dan berusaha dengan
bebas.27 Sebaliknya Rousseau memandang hukum sebagai ekspresi
kehendak umum, kehendak suci rakyat. Mengabdikan diri pada negara
adalah tugas suci. Negara tidak dapat berdiri secara mantap kalau hanya
24Ibid.,
p. 221 dan 224
p. 240
26 Jurgen Habermas, Theorie des Kommunikativen Handelns (Band 2), Zur Kritik der
funktionalistischen Vernunft, (Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 1988), p. 23.
27Leo Strauss dan Joseph Cropsey, History of Political Philosophy, (Chicago and
London: The University of Chicago Press, 1987), p. 476-485
25Ibid.,
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif...
158
dianggap sebagai sarana pelayanan kebebasan individual. Negara berhak
menuntut komitmen dan pengorbanan dari warga negara.28
Dalam mengatasi 2 (dua) ketegangan kreatif tersebut tampknya
Habermas dengan deliberatifnya berupaya secara langsung memperbaiki
konsep Rousseau bahwa dalam upaya memproduksi hukum, yang
terpenting bukan jumlah kehendak individu/perseorangan, kesahihan
hukum bukan bersumber pada kehendak umum. Bagi Habermas, yang
terutama, adalah bahwa pemecahan masalah dalam bidang apapun, dalam
pembentukan undang-undang atau kebijakan publik lainnya harus
diciptakan melaui tindakan komunikasi, selalu terbuka terhadap revisi,
yang tentunya mengandalkan argumen-argumen rasional.
E. Ruang Publik Sebagai Wahana Berdemokrasi Deliberatif
Bagi Habermas, ruang publik (public sphere) memiliki peran yang
cukup berarti dalam proses berdemokrasi deiberatif.29 Ruang publik
merupakan ruang demokratis atau tempat atau wadah berwacana bagi
publik, yang mana publik dapat menyatakan pendapatnya, opini-opininya,
kepentingan-kepentingannya secara terbuka, rasional, dan diskursif –
argumentatif. Adapun yang dinamakan publik adalah masyarakat yang
memiliki keberanian untuk mengekspresikan dirinya dengan
mengemukakan pendapatnya, menegaskan eksistensi dirinya dengan
memperjuangkan pemenuhan hak-haknya, dan mendesak agar
kepentingan-kepentingannya terakomodasi.30 Jadi publik bukanlah
masyarakat yang diam dan pasif melainkan masyarakat yang bersuara dan
aktif.
Ruang publik tidaklah sesuatu yang bersifat fisik dan hanya
berkaitan dengan lembaga atau institusi-institusi yang formal dan bersifat
legal, melainkan menunjuk pada adanya komunikasi masyarakat itu sendiri.
Ruang publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan, dan tidak ada
intervensi dari otoritas. Ruang publik itu harus mudah diakses semua
orang. Dari ruang publik ini nantinya dapat terhimpun kekuatan solidaritas
masyarakat berhadapan dengan yang memiliki otoritas.31 Ruang publik
dimaksud bisa berwujud kebebasan pers, bebebasan berpartai, kebebasan
berakal sehat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan berunjuk rasa,
28Ahmad
Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran
Negara, Masyarakat dan Kekuasaan., (Jakarta : Gramedia, 2001), p. 245-253
29 Http//id.wikipedia.org/wiki/juergen_habermas
30Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan: Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca
Orde Baru, (Bandung : Mizan, 2000), p. 269-270
31 Http//id.wikipedia.org/wiki/juergen_habermas
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif...
159
kebebasan membela diri, kebebasan membela komunitas, otonomi daerah,
independensi, dan keadilan sistem hukum.32
Habermas membagi-bagi ruang publik, tempat para aktor-aktor
masyarakat warga membangun ruang publik, sebagai pluralitas (keluarga,
kelompok-kelompok informal, organisasi-organisasi sukarela, dan
seterusnya.), publisitas (media massa, institusi-institusi kultural,dan lainlain), keprivatan (wilayah perkembangan individu dan moral), dan legalitas
(struktur-struktur hukum umum dan hak-hak dasar). Dengan demikian,
maka ruang publik begitu banyak terdapat di tengah-tengah masyarakat.
Ruang publik tidak dapat dibatasi lingkup dan wilayahnya secara fisikal.
Dimana ada masyarakat yang berkomunikasi, berdiskusi tentang tematema yang relevan, maka disitulah akan hadir ruang publik. Ruang publik
bersifat bebas dan tidak terbatas.
F.Demokrasi Deliberatif Menciptakan Tatanan Sosial Komunikatif
di Indonesia
Sepanjang masa kemerdekaannya, bangsa Indonesia telah mencoba
menerapkan bermacam-macam demokrasi. Hingga tahun 1959, dijalankan
suatu praktik demokrasi yang cenderung pada sistem demokrasi liberal
sebagaimana berlaku di negara-negara Barat yang bersifat individualistik.
Pada tahun 1959-1966 diterapkan demokrasi terpimpin, yang dalam
praktiknya justru kekuasaan hanya berada di satu tangan sehingga
cenderung otoriter. Mulai tahun 1966 hingga berakhirnya masa Orde Baru
pada tahun 1998 diterapkan demokrasi pancasila yang praktiknya belum
bisa dikatakan sebagai demokrasi karena kepentingan-kepentingan rakyat
seringkali tidak terakomodasi sedangkan suara-suara masyarakat yang ingin
menyampaikan aspirasinya dibatasi, kalau tidak dibungkam sama sekali.
Dengan berakhirnya rezim Orde Baru maka masyarakat membuka
pintu memasuki orde Reformasi. Orde Reformasi mewariskan banyak
permasalahan yang harus dituntaskan. Tentunya masih lekat dalam ingatan
bahwa dengan runtuhnya Orde Baru sampai sekarang ini telah
mengantarkan Indonesia menghadapi berbagai ujian berat di berbagai
bidang akibat iklim perpolitikan yang kurang sehat selama masa itu.
Kondisi tersebut berbias sangat luas yang sangat mengancam terhadap
keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Persoalan-persoalan baru
bermunculan, di antaranya : persoalan disintegrasi bangsa dengan pisahnya
Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, meruncingnya
persoalan Aceh, Papua, Maluku dengan tuntutan yang kurang lebih sama ;
kekerasan antar warga dengan semakin maraknya tawuran antar daerah
sampai tawuran di kalangan mahasiswa dan siswa, belum lagi ketegangan
32
Eep Saefulloh Fatah, Zaman, p. 277.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif...
160
yang tak pernah henti-hentinya di antara elite pejabat di lingkungan
legislatif maupun eksekutif. Wajah tatanan sosial masyarakat Indonesia
yang dahulu terkenal ramah dan santun, berubah menjadi beringas dan
tak kenal kata maaf.
Insiden-insiden tersebut perlu mendapatkan perhatian untuk
dicarikan solusinya, yakni solusi tindakan yang idealnya berakar pada
telaah intelektual yang mendalam dan refleksif untuk memenuhi sebuah
ekspektasi kemampuan mewadahi kehidupan multikultur sebagai salah
satu karakter khas masyarakat Indonesia.
Salah satu solusi yang perlu dipertimbangkan adalah
diberlakukannya tradisi yang berbasis pada demokrasi deliberatif di setiap
langkah yang melibatkan pemecahan berbagai masalah, pembentukan
undang-undang, atau pembangunan kebijakan publik lainnya. Pemecahan
berbagai masalah, pembentukan undang-undang, dan kebijakan publik
lainnya hendaknya dikonstruksi dengan mengikutsertakan partisipasi dari
semua pihak untuk melakukan diskusi rasional (rational discussion). Diskusi
rasional akan berjalan dengan baik dan menghasilkan jika situasi tidak
terdistorsi sedikitpun. Maksudnya :
1. Semua peserta diskusi mempunyai peluang yang sama untuk memulai
suatu diskusi dan dalam diskusi itu mempunyai peluang yang sama
untuk mengemukakan argumen-argumen dan mengkritik argumenargumen peserta lain.
2. Di antara peserta tidak ada perbedaan kekuasaan yang dapat
menghindari bahwa argumen-argumen yang mungkin relevan sungguhsungguh diajukan juga, dan akhirnya
3. Semua peserta mengungkapkan pemikirannya dengan ikhlas sehingga
tidak mungkin terjadi yang satu memanipulasi yang lain tanpa
disadarinya.33
Selanjutnya bahwa dalam prakteknya, demokrasi deliberatif juga
ditandai dengan pembuatan keputusan yang dilakukan melalui partisipasi
semua pihak secara langsung, bukan melalui voting atau perwakilan tetapi
melalui dialog, musyawarah dan mufakat. Implikasi konkret dalam
realitasnya adalah:
1. Partisipasi luas untuk menghindari terjadinya oligarki elit dalam
pengambilan keputusan.
2. Menghindari kompetisi individual dalam memperebutkan posisi
pimpinan dalam proses pemilihan langsung.
3. Mengurangi praktik-praktik intimidasi, kekerasan, politik uang, KKN,
dan lain-lain.
Diterapkannya demokrasi deliberatif dalam kehidupan multikultur
akan dapat mengatasi 2 (dua) kecenderungan tradisi di masyarakat yang
33
K. Bertens, Filsafat Barat, p. 247-248
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif...
161
seringkali berbias konflik berbasis egoisme individual maupun fanatisme
kelompok,
yaitu
kecenderungan individualistik-liberalistik
dan
kecenderungan kolektivistik-komunitarian. Praksis deliberatif mendorong
orang-orang yang terlibat dalam diskursus publik untuk mengatasi
perspektif individualistik mereka dan mengambil peran sebagai warga
negara yang berorientasi keseluruhan. 34
Implikasinya, individu dalam deliberasi akan meraih identitasnya
tidak dari dirinya sendiri sebagaimana individu liberal, tidak juga dari
komunitasnya sebagaimana individu komunitarian, melainkan dari suatu
proses pembentukan identitas baru yang dirancang bersama secara
diskursif . Sebagai contoh seorang yang beragama Islam dengan seorang
Katholik, atau seorang dari Jawa dan seorang dari Batak, atau seorang dari
partai A dan seorang dari partai B yang berkomunikasi untuk mencapai
saling pemahaman akan mengatasi perspektif individualistik mereka
dengan mengambil alih perspektif partner dialognya. Dengan cara ini,
identitas kultural mereka akan dilampaui dan terbentuk identitas baru yang
lahir dari saling pemahaman di antara keduanya. Istilah lain adalah
masyarakat yang bersifat beyond subjectivity.
Masyarakat dengan identitas baru yang bersifat beyond subjectivity ini
akan terwujud karena masyarakat menerapkan tradisi demokrasi
deliberatif.
Demokrasi deliberatif berlandaskan pada tindakan
komunikatif maka jika tradisi demokrasi deliberatif ini diaplikasikan,
khususnya di Indonesia, maka akan mewujudkan tatanan sosial yang
komunikatif. Tentunya komunikatif di sini tidak sekedar komunikasi yang
dipahami dalam pengertian sempit sebagai praktik interaksi dan saling
berwicara, namun harus dimaknai komunikasi dalam arti luas yakni sebagai
cara berada manusia. Tanpa komunikasi tatanan sosial akan berantakan.
Harapan tercipta tatanan sosial yang lebih baik jika masyarakat semakin
menggali dan mengembangkan kompetensi berkomunikasi yang
dimilikinya. Kompetensi komunikasi yang dimaksud adalah sanggup
mengemukakan kebenaran, sanggup mengupayakan keadilan satu sama
lain, sanggup menjalin relasi yang tulus satu sama lain.35
Demokrasi yang deliberatif diperlukan untuk menyatukan multikepentingan yang muncul dalam masyarakat Indonesia yang heterogen.
Jadi setiap kebijakan publik hendaknya lahir dari musyawarah bukan
dipaksakan oleh sekelompok elit saja.
Demokrasi deliberatif mengutamakan penggunaan tata cara pengambilan
keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui
dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan masyarakat, jadi
F. Budi Hardiman, Basis, p. 21
Saptono, “Menimbang Pendidikan Komunikatif”, dalam Basis, Nomor 07-08,
Tahun ke-57, Juli-Agustus 2008, p. 54
34
35
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
162
Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif...
bukan atas dasar hegemoni elit pemegang otoritas. Demokrasi deliberatif
berbeda dengan demokrasi perwakilan, yang hari ini berlaku di Indonesia
yang malah menjadi demokrasi prosedural semata. Mengaku mewakili dan
memperjuangkan kesejahtera masyarakat tetapi justru membohongi rakyat
dan melakukan korupsi, mengaku melaksanakan musyawarah mufakat
tetapi justru asyik nonton video porno, dan seterusnya.
Dengan dilaksanakan demokrasi deliberatif ini tidak saja
menciptakan demokrasi yang baik, dimana keterlibatan rakyat tidak hanya
sekedar prosedural seperti yang dijelaskan di atas tetapi juga bagaimana
masyarakat keterlibatannya mampu mengkonsultasikan permasalahanpermasalahan bersama yang akan meciptakan kesepahaman bersama. Agar
demokrasi deliberatif terwujud di Indonesia maka ruang publik harus
diwujudkan seluas-luasnya. Satu sisi harus ada political will dari pemerintah
untuk segera membuka ruang publik yang bersifat akomodatif dan
responsif terhadap kepentingan masyarakat, di sisi lain masyarakatpun
harus terus memperjuangkan terjadinya ruang publik itu, kalau perlu
dengan merebutnya. Implementasi ruang-ruang publik ini adalah salah
satu agenda demokratisasi di Indonesia yang terus harus diperjuangkan
pasca runtuhnya rezim Orde Baru.
G. Kesimpulan
Berangkat dari pembahasan di atas maka secara ringkas dipahami
bahwa benar jika banyak yang menyebutkan bahwa Habermas, seorang
filosof Jerman saat ini, adalah masterpiece-nya komunikasi. Dengan teori
tindakan komunikasinya. Seluruh pemikirannya, baik tentang etika/moral,
agama, politik, termasuk tentang bahasan tentang demokrasi deliberatif ini
merupakan penerjemahan dari teori tindakan komunikatifnya.Demokrasi
deliberatif dalam pandangan Habermas adalah cara mengatur sebuah
masyarakat yang didasarkan undang-undang atau kebijakan publik lainnya,
yang terbentuk melalui diskursus publik atau rational discussion, tidak
melalui pemaksaan kehendak, penggiringan opini, maupun voting atau
suara terbanyak. Dengan cara ini diharapkan undang-undang atau
kebijakan publik lain yang dihasilkan oleh pihak yang memerintah semakin
mendekati harapan semua pihak yang diperintah, dan akhirnya produk
keputusan, undang-undang, atau kebijakan publik lain yang diraih dengan
cara-cara tersebutlah yang mempunyai alasan kuat untuk ditaati oleh
semua anggota masyarakat.
Konsep Habermas ini memediasi, khususnya, antara pemikiran John
Locke dengan individualismenya yang eksesif
dalam konsep
liberalismenya dengan pemikiran Rousseau yang bertendensi kolektivisme
dalam konsep komunitarianismenya. Dalam konteks keindonesiaan,
tampaknya sudah mendesak untuk diterapkannya demokrasi yang berbasis
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif...
163
deliberatif dalam rangka mewujudkan suatu sistem politik dan
pemerintahan yang sehat, memberi ruang bebas kepada masyarakat untuk
beraspirasi melalui organ-organ publik di ruang publik. Ruang publik yang
bersifat bebas, terbuka, mudah diakses oleh semua orang, transparan dan
otonom. Tak ada pihak lain yang mengintervensi ruang ini. Diskusi-diskusi
publik harus segera mendapat tempat dalam kehidupan bermasyarakat.
Segala aturan, kandidat undang-undang, kebijakan publik harus
dikonsultasikan, dimusyawarahkan dengan masyarakat sehingga tatkala
aturan diterapkan tidak terjadi pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan
aturan tersebut. Di sinilah maka ketegangan bahkan konflik akan segera
teratasi.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
164
Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif...
Daftar Pustaka
B. Mayo, Henry. An Introduction to Democratic Theory, New York : Oxford
University Press, 1960.
Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer : Inggris-Jerman, Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama, 1990.
Fatah, Eep Saifullah. Zaman Kesempatan : Agenda-Agenda Besar Demokratisasi
Pasca Orde Baru, Bandung : Mizan, 2000.
Hardiman, F. Budi. “Demokrasi Deliberatif : Model Untuk Indonesia
Pasca-Soeharto ?”, dalam Basis No.11-12, Tahun ke-53, NovemberDesember 2004
Hornby, AS. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford:
Oxford University Press, 1987.
Http//id.wikipedia.org/wiki/jurgen_habermas
Jurgen Habermas, The Structural Transformation of the Publik Sphere: An
Inquiry into a Category of Bourgeois Society, Cambridge: MIT Press, 1989.
Jurgen Habermas, Theorie des Kommunikativen Handelns (Band 2), Zur Kritik
der funktionalistischen Vernunft, Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag,
1988.
Mahfud, Moh., Demokrasi dan Konstitusi Di Indonesia, Yogyakarta : Liberty,
1993.
Saptono, “Menimbang Pendidikan Komunikatif”, dalam Basis, Nomor 0708, Tahun ke-57, Juli-Agustus 2, 2008
Strauss, Leo dan Joseph Cropsey. History of Political Philosophy, Chicago and
London : The University of Chicago Press, 1987.
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat : Kajian Sejarah Perkembangan
Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan., Jakarta : Gramedia,
2001.
Sumaryono, E. Hermeneutik : Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta : Kanisius,
1999.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif...
165
Suseno, Franz Magnis “75 Tahun Jurgen Habermas”, dalam Basis, No.1112, Tahun ke-53, November-Desember 2004
------- . Etika Politik : Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta
: Gramedia Pustaka Utama, 1994.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
166
Ulya: Membentuk Tatanan Sosial Komunikatif...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi Eksklusif
Berdasarkan Hukum Laut Internasional
Oleh: Lindra Darnela
Abstract
Exclusive Economic Zone is a new rule in international law set forth in the
"United Nations on the Law of the Sea 1982". The basis of the Exclusive Economic
Zone is the idea that fisheries resources could be depleted and thus it is positive to
implement conservation measures. This provision if used properly, it will benefit
Indonesia as an archipelagic state in the utilization of natural resources. To manage
marine areas in Indonesia, the Government issued Law No. 5 of 1983 on the
Indonesian Exclusive Economic Zone along with other regulations that are useful in the
context of setting the archipelagic waters of Indonesia in the utilization of natural
resources. Other efforts by Indonesia to regulate economic zone is through cooperation
both bilaterally and multilaterally with other countries particularly with ASEAN
countries.
Key word: exclusive economic zones, international maritime law
Abstrak
Zona Ekonomi Eksklusif merupakan aturan baru dalam hukum
internasional yang ditetapkan dalam “United Nation on the Law of the Sea 1982”.
Dasar dari Zona Ekonomi Eksklusif ini adalah adanya pemikiran bahwa sumbersumber penangkapan ikan bisa saja akan habis dan dengan demikian sangatlah
positif untuk menerapkan ukuran-ukuran konservasi. Ketentuan ini jika digunakan
dengan baik, maka akan menguntungkan Indonesia sebagai negara kepulauan dalam
pemanfaatan sumber daya alamnya. Untuk mengatur wilayah kelautan di Indonesia,
Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No 5 tahun 1983 tentang Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia beserta peraturan-peraturan lain yang berguna dalam
rangka pengaturan perairan kepulauan Indonesia dalam pemanfaatan sumber daya
alamnya. Upaya lain yang dilakukan Indonesia dalam mengatur wilayah Zona
Ekonomi adalah dengan melakukan kerjasama baik secara bilateral maupun
multilateral dengan negara-negara lain khususnya dengan negara-negara ASEAN.
Kata kunci: zona ekonomi eksklusif, hukum laut internasional
A. Pendahuluan
Bumi ini kurang lebih tiga perempatnya terdiri dari lautan dengan
segala sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.1 Potensi yang

Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. E-mail:
[email protected]
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
168
Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi...
dimiliki laut berupa kekayaan alam, sumber energi lautan maupun
fungsinya sebagai sarana lalu lintas perdagangan antar bangsa, seringkali
menjadikan laut tersebut sebagai arena pertentangan kepentingan antar
bangsa di dunia. Maka dari itu, berbagai cara untuk menguasai lautan
dengan dasar alasan yang berbeda-beda, ikut mewarnai perkembangan
hukum laut internasional.
Perkembangan dewasa ini, ketika kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi semakin meningkat, menunjukkan semakin besarnya kebutuhan
manusia akan sumber kekayaan alam. Sementara itu, sumber kekayaan
alam yang terdapat di daratan semakin berkurang akibat eksploitasi yang
berlebihan tanpa pengaturan yang baik, maka sumber kekayaan di lautan
menjadi alternatif bagai pemenuhan kebutuhan sumber kekayaan alam
demi kepentingan dan kesejahteraan ummat manusia di bumi ini. Dengan
dimanfaatkannya sumber kekayaan alam di laut tersebut, menyebabkan
peranan hukum laut internasional menjadi penting untuk mengatur dan
mengelola sumber kekayaan alam bagi kepentingan umat manusia.
Permasalahan yang kemudian timbul adalah bagaimana praktek
Negara Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan (archipelago state)
yang memiliki wilayah perairan yang luas dalam mengatur Zona Ekonomi
Eksklusifnya, apakah sesuai dengan hukum laut internasional atau tidak.
B. Ratifikasi Konvensi Hukum Laut III 1982
Usaha yang dilakukan masyarakat internasional untuk mengatur
masalah-masalah kelautan melalui Konferensi Hukum Laut ke III, telah
berhasil melahirkan “United Nation on the Law of the Sea 1982” (Konvensi
Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa 1982). Terbentuknya Konvensi
Laut Perserikatan Bangsa-bangsa 1982 (untuk selanjutnya di sebut
Konvensi Hukum Laut 1982) menandai dimulainya suatu era baru dalam
hukum laut internasional.
Ditandatanganinya Konvensi Hukum Laut 1982 oleh 117 negara
dan 2 satuan bukan negara di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10
Desember 1982 ini, merupakan gambaran dari usaha masyarakat
internasional untuk mengkodifikasikan ketentuan-ketentuan hukum
internasional yang telah ada.2 Selain itu, hal tersebut merupakan perangkat
hukum laut yang dapat menggambarkan perkembangan progresif
(progressive development) dari hukum internasional.3
1“Ocean”,
Encyclopeida Americana, Grolier Incorporated, Connecticut, 1983, Vol.20
p. 611-619.
2Churchill and A.V. Lowe, The Law of the Sea, (Manchester: Manchester University
Press, 1983), p. 12-17.
3Etty R. Agoes, Konvensi Hukum Laut 1982: Masalah Pengaturan hak Lintas Kapal
Asing, (tp: Abardin, 1991), p. 1.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi...
169
Dengan dilakukannya ratifikasi yang ke 60 oleh Guyana pada tanggal
16 November 1983, maka Konvensi Hukum Laut yang 1982 mulai
berlaku pada tanggal 16 November 1984.4 Berlakunya Konvensi tersebut
menunjukkan bahwa pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam Konvensi menjadi suatu hal yang penting untuk dilaksanakan oleh
negara-negara di dunia, sebagaimana yang diatur sendiri dalam Konvensi
Hukum Laut 1982, dinyatakan:
“state Parties shall fulfill in good faith the obligations assumed under this
Convention and shall exercise the rights, jurisdiction and freedoms recognized
in this Convention in a manner which would not constitute an abuse of
right”.5
Pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
Konvensi Hukum Laut 1982 juga merupakan hal yang penting bagi
Indonesia dengan diratifikasinya Konvensi tersebut melalui Undangundang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan
Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut. Maka dari itu, Indonesia terikat oleh
kententuan-ketentuan yang ada dalam Konvensi.
C. Zona Ekonomi Eksklusif: Ketentuan baru dalam Hukum Laut
Internasional
Konvensi Hukum Laut 1982 terdiri dari atas 17 Bab, 320 Pasal, dan
9 Lampiran, serta berisikan pengetahuan atas rezim-rezim hukum laut
secara lengkap, menyeluruh dan satu sama lain tidak dapat di pisahkan.
Salah satu bagian yang penting dari ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam Konvensi Hukum Laut 1982 dan juga merupan salah satu
pengetahuan yang baru dalam hukum laut internasional, adalah ketentuan
mengenai Exclusive Economic Zone atau Zona Ekonomi Eksklusif.6 Konsep
Zona Ekonomi Eksklusif yang berkembang, berawal dari kesadaran
bahwa sumber-sumber penangkapan ikan bisa saja akan habis dan dengan
demikian sangatlah positif untuk menerapkan ukuran-ukuran konservasi.7
Ketentuan tersebut merupakan perwujudan usaha dan perjuangan dari
negara-negara pantai yang sedang membangun untuk mendapatkan
kesempatan yang sama dengan negara-negara maju dalam memanfaatkan
4Pasal 308 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982 menyatakan:“This Convention spl
enter into force 12 months after the date of deposit of the sixtieth instrument of ratification or acceiso”.
5 Pasal 300 Konvensi Hukum Laut 1982.
6Etty R. Agoes, “Perkembangan Hukum Internasional Dewasa Ini”, dalam
Projustitia, No. 18 Juli 1983, p. 87.
7Rebecca M.M Wallace, Hukum Internasional (International Law), Penerjemah:
Bambang Arumanadi, (Semarang: IKIP Semarang Press, tt.), p. 164.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
170
Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi...
sumber kekayaan alam yang terdapat dalam perairannya dan yang
berdekatan dengan pantainya.8
Pada zona Ekonomi Eksklusif, negara pantai mempunyai hak
berdaulat9 meskipun tidak penuh,10 karena hanya dapat untuk melakukan
eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam,
baik hayati maupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan tanah di
bawahnya11 dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan
eksplorasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus
dan angin.12
Selain hak berdaulat, negara pantai mempunyai kewajiban-kewajiban
tertentu antara lain melakukan tindakan konservasi dan pengelolaan yang
tepat; menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan; bekerjasama
dengan organisasi internasional yang berwenang baik dalam tingkat sub
regional, regional, maupun global; menjamin hasil maksimum yang lestari;
serta menyumbangkan dan saling mempertukarkan data ilmiah, statistik
penangkapan dan usaha perikanan lainnya.13 Dalam hubunganya dengan
pemanfaatan, negara pantai juga mempunyai kewajiban untuk memajukan
tujuan pemanfaatan yang optimal, menetapkan kemampuan untuk
memanfaatkan sumber daya alam hayati, serta memberikan kesempatan
kepada negara lain untuk memanfaatkan jumlah tangkapan yang
diperbolehkan dan yang masih tersisa.14
Dari uraian di atas, satu hal yang cukup penting sehubungan dengan
hak berdaulat dari negara pantai di Zona Ekonomi Eksklusif adalah
ditetapkanya keharusan untuk menjamin (shall ensure) diadakanya kerjasama
antara negara pantai dengan organisasi internasional yang berwenang pada
tingat sub regional, regional, maupun internasional dalam perlaksanaan
konservasi sumber kekayaan hayati di Zona Ekonomi Eksklusif.15 Hal
8Ketentuan mengenai Zona Ekonomi Eksklusif ini diatur dalam Konvensi
Hukum Laut 1982 pada Bab V dari Pasal 55 sampai dengan Pasal 55 sampai dengan Pasal
77. Pada pokoknya kententuan tentang Zona Ekonomi Eksklusif berisikan: hak dan
kewajiban negara pantai, hak dan kewajiban negara lain, dan ketentuan dalam Konvensi
untuk mengatur semua kegiatan di Zona Ekonomi Eksklusif yang tidak termasuk dalam
hak dan kewajiban negara pantai dan negara lain. Curchil and A.V Lowe, The Law of the
Sea, p. 130-136.
9Hak berdaulat di Zona Ekonomi Eksklusif berkaitan dengan sumber daya alam
hanya pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan di laut, penelitian ilmiah
kelautan serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
10Rebecca M.M Wallace, Hukum Internasional, p. 164
11D.J. Harris, Cases and Materials on Internasional Law, 5th. Edition, (London: Sweet
and Maxwell, 1998), p. 463.
12Pasal 56 ayat (1) sub. a Konvensi Hukum laut 1982.
13Pasal 61 Konvensi Hukum Laut 1982.
14Pasal 62 Konvensi Hukum Laut 1982.
15Pasal 61 ayat (2) Konvensi Hukum Laut 1982.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi...
171
tersebut dilakukan dengan maksud untuk mengatur agar sumber kekayaan
hayati16 yang terdapat di Zona Ekonomi Ekslusif dapat terus menerus
dimanfaatkan bagi kepentingan bersama umat manusia, tidak hanya oleh
negara pantai saja.
D. Pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif di Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dengan
letak geografis antar pulau satu dengan pulau lain berjauhan. Kadangkala
laut berpisah antara dua pulau lebih luas dari pada pulau yang
dipisahkannya. Meskipun demikian, semua yang ada di sisi bagian garis
pangkal merupakan satu kesatuan,17 karena Indonesia menggunakan
penarikan garis pangkal lurus (straight base line) dari titik terluar pulau
terluar, sehingga Indonesia berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982
disebut sebagai negara kepulauan (archipelago state).18 Dengan Zona
Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km 2 merupakan negara kepulauan
dengan luas perairan Zona Ekonomi Eksklusif ketiga terbesar di dunia.19
Sebagai negara yang berada pada garis katulistiwa yang beriklim
tropis serta terletak di antarA dua benua dan dua samudera, ditambah lagi
dengan luas perairan yang demikian besar, maka sumber kekayaan hayati20
yang terdapat di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia memiliki potensi
yang sangat besar pula. Oleh karena itu, perikanan sebagai salah satu unsur
dari sumber daya alam hayati yang terdapat pada perairan di Indonesia
memiliki jenis dan sifat tersendiri.
Potensi perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
diperkirakan sekitar 4,231 juta ton pertahun. Dari jumlah tersebut
diperkirakan potensi lestarinya sekitar 2,115 juta ton pertahun, dan jumlah
tangkapan yang diperbolehkan adalah sekitar 1,863 juta ton pertahun.21
Namun dari jumlah tangkapan yang di perbolehkan tersebut, kemampuan
Indonesia untuk memanfaatkan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusifnya
16Istilah
“sumber kekayaan hayati” merupakan terjemahan resmi living resources
yang diambil dari Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut yang dikeluarkan
oleh Direktorat Perjanjian Internasional, Departemen Luar Neger, tanpa tahun.
17Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, (Jakarta: Binacipta, 1986),
p. 186.
18Dalam Konvensi Hukum Laut 1982, Konsep Negara Kepulauan sudah diakui,
seperti dalam Part.IV, Pasal 46-64
19Churchill dan A.V Lower, The Law of the Sea, p. 140
20Sumber kekayaan hayati merupakan istilah yang terdapat dalam perundangundangan Indonesia, yang artinya adalah semua jenis binatang dan tumbuhan termasuk
bagian-bagian yang terdapat di dasar lautan ruang air Zona Ekonomi Eksklusif. Pasal 1
sub a Undang-undang No. 5 thaun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
21Direktorat Bina Sumber Hayati, Hasil Evaluasi Potensi Sumber Daya Hayati
Perikanan Laut di Perairan Indonesia dan Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tahun
1983, (Jakarta: Departemen Peranian, 19830, p. 23.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
172
Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi...
hanya sekitar 25%. Rendahnya kemampuan yang dimiliki Indonesia untuk
memanfaatkan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusifnya disebabkan oleh
beberapa kendala di antarnya di bidang permodalan teknologi, sumber
daya manusia serta sarana yang belum memadai.
Adanya keharusan sebagai negara pantai untuk memanfaatkan
sumber kekayaan hayati yang terdapat di Zona Ekonomi Eksklusif,
sementara kemampauan untuk memanfaatkan perikanan oleh Indonesia
masih sangat rendah, menyebabkan negara-negara lain memiliki
kesempatan untuk memanfaatkan jumlah tangkapan yang dapat
diperbolehkan yang masih tersisia di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia.22 Dalam melakukan pemanfaatan secara optimal potensi
perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ini, kepentingan negara
lain untuk ikut memanfaatkan potensi tersebut dilakukan dalam bentuk
usaha patungan atau bentuk kerjasama lainya.23 Dengan usaha-usaha
tersebut, maka diharapkan pemanfaatan secara optimal perikanan di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia dapat dilakukan untuk kepentingan sebesarbesarnya bagi negara dan bangsa Indonesia, bukan kepentingan individu
atau suatu kelompok tertentu.
E. Peraturan tentang Sumber Daya Laut di Indonesia
Beberapa peraturan ditetapkan sebagai upaya mengantisipasi
diakuinya pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif dalam Konvensi Hukum
Laut 1982 sebelum diberlakukanya Konvensi tersebut pada tahun 1994,
yaitu Undang-undang No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia. Dalam undang-udang tersebut dikatakan bahwa pada Zona
Ekonomi Eksklusifnya, Indonesia memiliki hak berdaulat untuk
melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber
daya alam hayati dan non hayati.24 Dengan dasar yuridis seperti tersebut di
atas, persoalan bagi Indonesia adalah bagaimana sumber daya alam hayati
yang terdapat pada Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dapat
dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan bangsa dan negara.
Selain undang-undang No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia, telah dikeluarkan pula beberapa perundang-udangan
yang barkaitan dengan masalah pengolahan dan konservasi sumber daya
alam hayati, antara lain: (a) Undang-udang No. 4 tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan; (b) Undang-undang
No. 9 tahun 1985 tentang perikanan; (c) Undang-undang No. 5 tahun
22Pasal
62 Konvensi Hukum Laut 1982
3 Peraturan pemerintah No. 15 tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber
Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
24Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No.5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia.
23Pasal
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi...
173
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
(d) Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Sedangkan bagi pengelolaan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia diatur
melalui Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 1984 tentang Pengelolaan
sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia serta
beberapa Keputusan Menteri Pertanian.
Dalam kaitanya dengan pengelolaan sumber daya alam hayati
perikanan di zona eksklusif Indonesia,25 dengan luas perairan serta potensi
perikanan yang demikian besar, maka pemanfaatan secara optimal bagi
kemakmuran bangsa merupakan tujuan yang diamanatkan dalam
pembangunan nasional di Indonesia.
F. Kerjasama Regional Sebagai Upaya Pengelolaan Sumber Daya
Alam Hayati di Indonesia
Secara geografis, Indonesia terletak pada kawasan Asia Tenggara
dan bersama-sama dengan Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, Brunai
dan Vietnam yang bergabung dalam organisasi regional Association of
Southeast Asian Nation (ASEAN). Selain Indonesia, negara-negara lain yang
bergabung dalam ASEAN tersebut, telah mengumumkan Zona Ekonomi
Eksklusifnya masing-masing.26 Akan tetapi sampai sekarang ini belum
terdapat perundingan-perundingan mengenai penetapan batas Zona
Ekonomi Eksklusif di antara negara-negara ASEAN. Penetapan ini sangat
penting mengingat adanya batas-batas Zona Ekonomi Eksklusif yang
saling tumpang tindih. Sehubungan dengan ini, Mukhtar Kusumaatmadja
mengatakan: “the exiting claims to maritime jurisdiction in the southeast Asia region
have important implications for development of the region”27
Selain penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif, sifat dari
perikanan yang terdapat pada kawasan Asia Tenggara juga merupakan
suatu kendala dalam memanfaatkanya secara optimal. Dengan kondisi
geografis dari negara-negara yang terletak pada kawasan Asia Tenggara,
keadaan perairan, arus air, menyebabkan sering berpindahnya ikan dari
satu perairan keperairan yang lain, bahkan melewati batas-batas perairan
suatu negara. Oleh karena itu, dalam memanfaatkan perikanan di Zona
Ekonomi Eksklusif secara optimal diperlukan suatu tindakan pengelolaan
25Yang
dimaksud dengan pengelolaan adalah segala upaya dan kegiatan
pemerintah untuk menggerakkan dan mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam
hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pasal 1 sub a Undang-undang No. 15
tahun 1985 tentang ZEE Indonesia.
26Kriangsak Kittichaisaree, The Law of the Sea and Maritim Boundary Delimitation in
South-East Asia, (New York: Oxford University Press, 1987), p. 123-128.
27Mokhtar Kusumaatmadja, Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut: dilihat dari
Sudut Hukum Internasional, Regional dan Nasional, (Jakarta: Sinar grafika dan Pusat Studi
Wawasan Nusantara, 1992), p. 55.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi...
174
perikanan yang sebaik-baiknya secara regional antara Indonesia dengan
negara-negara lain pada kawasan Asia Tenggara.28 Untuk Indonesia, hal
tersebut perlu dilakukan sebagai usaha dalam memanfaatkan secara
optimal sumber daya alam hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
yang masih tersisa sekitar 1.097.052 ton pertahun.29 Kerjasama tersebut
dapat dilakukan dengan negara-negara lain dalam bentuk kerjasama
bilateral, regional maupun internasional.
Mengingat letak geografis Indonesia yang terletak pada kawasan
Asia Tenggara, maka kerjasama regional antara negar ASEAN merupakan
salah satu alternatif untuk memanfaatkan sumber daya alam hayati secara
optimal. Dalam melakukan pengelolaan perikanan kerjasama yang
dilaksanakan oleh negara-negara yang tergabung dalam ASEAN
didasarkan pada Persetujuan Tingkat Menteri ASEAN (ASEAN
Ministerial Understanding) yang ditandatangani pada tanggal 22 Oktober
1983. Persetujuan tersebut menjadi dasar bagi kerjasama regional dalam
pengelolaan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif karena menekankan
pada kerjasama pengelolaan dan konservasi sumber-sumbser perikanan di
Zona Ekonomi Eksklusif.
Selain hal tersebut di atas, dalam usahanya untuk memanfaatkan
secara optimal perikanan yang terdapat pada perairan Indonesia, telah
dilakukan pula beberapa kerjasama melalui Indo Fasific Fishery Countcil,
Shouth China Sea Fishery Council, serta ASEAN Permanent Committee on Food
and Agriculture.30 Terdapat juga suatu perjanjian tentang Koservasi Alam
dan Sumber Daya Alam telah ditandatangani negara-negara anggota
ASEAN tanggal 9 Juli 1985 yang dalam Pasal 3 dari perjanjian ini
mengatur perihal konservasi dari spesies dan ekosistem seperti melakukan
upaya-upaya untuk konservasi habitat pantai dan laut.31 Dilakukannya
kerjasama yang bersifat regional tersebut dimaksudkan agar sumber
perikanan di perairan Indonesia dapat dimanfaatkan untuk memberi nilai
tambah bagi kepentingan bangsa dan negara Indonesia.
Selain dari perjanjian di atas, di lain pihak terdapat beberapa
organisasi internasional yang berfungsi untuk melaksanakan kerja sama
berbagai aspek bidang perikanan untu wilayah ASEAN, di antaranya
sebagai berikut.
1. Indo Pasific Fisheries Council (IPFC), suatu badan regional yang dibentuk
oleh FAO (Food and Agliculture Organization). Di dirikan tahun 1984 dan
Pasal 63 dan 64 Konvensi Hukum Laut 1982.
“Digodok, Aturan Impor Kapal Ikan Termasuk Kapal Bebas”, Kompas, 24
November 1994.
30Lewis M. Alexander, Marine Regionalism in the Southeast Asia Seas, (Hawaii: EastWest Environment and Policy Institute, 1982), p. 43.
31Charil Anwar, Zona Ekonomi Eksklusif di dalam Hukum Internasional, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1995), p. 140.
28
29
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi...
175
menangani pengembangan serta pemanfaatan yang layak dari sumber
perikanan untuk wilayah Indo-Pasifik, termasuk wilayah ASEAN.
Bersifat sebagai badan penasihat dan tidak mempunyai kekuasaan
untuk menciptakan peraturan-peraturan tertentu.
2. ASEAN Fisheries Federation (AFF) yang didirikan pada tahun 1989,
merupakan organisasi regional pengusaha-pengusaha perikanan
ASEAN untuk pertukaran informasi tentang masalah perikanan dan
pemecahannya.
3. Committee for the Development and Management of Fisheries in the South Chine
Sea (CDMFSCS) yang dibentuk pada bulan Mei tahun 1980 oleh
IPFC. Komite ini dibentuk untuk mengembangkan dan mengatur
perikanan di Laut China Selatan.
4. The International Center for Living Resources Management (ICLARM). Di
bentuk dengan maksud melakukan riset dan mendorong diskusi dan
informasi perikanan guna dapat memenuhi kebutuhan nutrisi,
ekonomis, dan kebutuhan sosial pada negara berkembang.
5. South East Asian Fisheries Development Center (SESFDEC) yang didirikan
oleh pertemuan menteri-menteri di Singapura tahun 1968.
6. Marketing Information and Advisory Service for Fish Products in the AsiaPasific Region. Badan ini berkedudukan di Kuala Lumpur dan bertugas
melakukan informasi pemasaran dan nasehat teknis bagi perikanan di
wilayah Asia-Pasifik.32
Peran dari wilayah organisasi regional menjadi sangat penting untuk
melaksanakan kerjasama regional dalam pengelolaan perikanan di Zona
Ekonomi Eksklusif kawasan Asia Tenggara, karena beberapa manfaat
yang didapat: Pertama, terbatasnya jumlah negara yang terlibat berdasarkan
kepentingan yang lebih konkrit secara regional memudahkan proses
pengambilan keputusan; kedua, masalah ketenagaan, biaya dan peralatan
tidak lagi terbatas pada satu negara; ketiga, keterlibatan organisasi
internasional lebih mudah dilakukan karena programnya lebih konkrit.33
Kerjasama regional dalam pengelolaan perikanan di Zona Ekonomi
Eksklusif kawasan ASEAN yang menjadi kebutuhan bagi Indonesia untuk
ikut berpartisipasi dalam mengoptimalkan pemanfaatan perikanan di Zona
Ekonomi Eksklusifnya. Dari hal tersebut, aspek yang relevan dan penting
adalah tinjauan atas pengaturan hukum internasional dan regional serta
praktek yang dilakukan oleh negara-negara pada suatu kawasan tertentu
dalam menunjang kerjasama regional yang dilakukan bagi pengelolaan
perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif.
32Ibid,
p. 142-144.
Silalahi, Pengaturan Hukum Lingkungan Laut Indonesia dan Implikasinya Secara
Regional, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), p. 156.
33Daud
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
176
Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi...
Salah satu bidang dari kerja sama di lingkungan ASEAN yang dapat
dilakukan adalah harmonisasi melalui perundang-undangan perikanan
tentang penanganan illegal fishing oleh kapal-kapal perikanan dari regional
atau di luar regional ASEAN. Bidang lain dapat pula meliputi standarisasi
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan teknis pengepakan seperti
peraturan tentang besarnya mata jala penangkap ikan (mesh size regulation).
Cara lain melaksanakan harmonisasi adalah melakukan perjanjian bilateral.
Perselisihan perbatasan, hak perikanan tradisional dan masalah akses
sumber perikanan menunjuk kepada penyelesaian melalui perjanjian
bilateral. Adapun perjanjian-perjanjian yang mempunyai implikasi
perikanan adalah sebagai berikut.
1. Perjanjian antara Indonesia dan Malaysia tentang Batas Landas
Kontinen di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan tahun 1969.
2. Perjanjian antara Thailand, Indonesia dan Malaysia tentang Batas
Landasan Kontinen di bagian Utara Selatan Malaka tahun 1971.
3. Perjanjian antar Indonesia, Malaysia dan Singapura untuk melindungi
lingkungan kelautan dari selat Malaka dan terhadap polusi minyak
tahun 1975.
Selain dari pada itu, yang dapat dirintis oleh ASEAN ialah meliputi
standar prosedur peradilan atas pelanggaran-pelanggaran perundangundangan perikanan masing-masing anggota ASEAN. Di lain pihak, suatu
prosedur bersama untuk melakukan penegakan hukum dari peraturan
lingkungan dan program konservasi dari sumber perikanan dapat pula
merupakan sasaran kerjasama ASEAN di dalam harmonisasi masalah
perikanan.
Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Perjanjian Bilateral
(Bilateral Agreement) dengan Australia yang tertuang dalam Meorandum of
Understanding tahun 1974 yang mengatur mengenai aktivitas nelayan
tradisional di perairan Australia. Perjanjian tersebut dilakukan untuk
menghindari terjadinya pertikaian yang merusak hubungan diplomatik
antara kedua negara tersebut.
Dalam perjanjian tersebut, pemerintah Australia mengijinkan
nelayan tradisional Indonesia untu mengambil ikan di perairan Australia;
mendarat untuk mengambil air minum. Perizinan singgah misalnya
terbatas di sekitar perairan dekat Ashmore Reef, Cartier Islet, Cott Reff,
Pulau Datu dan Browse Islet.34
Kasus perikanan nelayan Indonesia di wilayah perairan Australia,
menjadi persoalan yang sangat menarik untuk dibahas. Tidak saja
menimbulkan kerugian finansial bagi pemerintah Australia, juga
menggangu kelancaran hubungan diplomatik bagi kedua negara. Hal ini
34Jawahir Thontowi, Hukum Internasional di Indonesia, Dinamika dan Implementasinya
dalam Beberapa Kasus kemanusiaan, (Yogyakarta: Madya Press, 2002), p. 179.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi...
177
tersebut semakin memperuncing rusaknya hubungan kedua negara pasca
terlepasnya Timor Timur dari NKRI yang mengundang kepedulian
masyarakat serta pemerintah Australia terhadap issu tersebut.
Kemiskinan masyarakat nelayan Indonesia yang dipicu dengan
modernisasi menjadi faktor utama dalam kasus tersebut. Adanya
persaingan yang tidak seimbang antara nelayan tradisional dan nelayan
modern dalam pemanfaatan sumber daya laut, memberi pengaruh kepada
nelayan tradisional Indonesia untuk menyebrang ke perairan Australia. Di
satu pihak memang benar jika berkurangnya penghasilan para nelayan
tradisional karena semakin berkurangya sumber daya laut yang disebabkan
oleh ledakan penduduk yang semakin pesat. Namun di pihak lain,
penggunaan alat-alat modern yang canggih seperti drift gillnets, trawl dan
pukat harimau justru lebih “efektif” untuk menyingkirkan kelompok
nelayan-nelayan kecil dari perairan Indonesia yang sah. Selain itu,
ditemukan pula kapal-kapal asing seperti dari Taiwan, Hingkong Korea
Selatan Jepang dan Singapura yang beroperasi di laut Arapura, menjadi
penyebab tersisihnya nelayan tradisional35 Indonesia.
Keadaan seperti itu semakin menyudutkan posisi kecil, yang
diakibatkan oleh terbatasnya pengawasan yang dilakukan oleh petugas
pengawas pantai, dan Angkatan Laut RI terhadap nelayan asing yang
melakukan kegiatan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.36 Ketika
mereka dapat menemukan dan menangkap nelayan-nelayan asing yang
melanggar batas teritorial, penyelesaiannya sering dilakukan di luar aturan
hukum. Jika ada kebijakan yaitu dikeluarkanya surat izin penangkapan ikan
bagi perusahaan asing oleh Dirjen Perikanan, maka kebijakan tersebut
lebih bersifat khusus dan disertai dengan syarat-syarat yang ketat. Namun
dalam prakteknya, dampaknya terkadang tidak mudah untuk dikedalikan.
Kondisi nelayan yang terhimpit tersebut mendorong mereka untuk
melakukan tindakan spekulatif. Kegiatan mengambil dari laut di wilayah
perairan Australia seperti tripang, kerang, sirip ikan hiu dan lain sebagainya
yang bernilai eksport tinggi. Dengan demikian, faktor internal seperti latar
belakang, sejarah, kondisi sosio-ekonomi, maupun akibat dari lemahnya
pengawasan terhadap nelayan asing dan meningkatnya komoditi ekspor
dan impor dari sumber laut telah menyebabkan nelayan-nelayan
35Istilah
“nelayan tradisional” merupakan pusat terjadinya penafsiran karena tidak
adanya batasan yang jelas mengenai p p tersebut. Nelayan tradisional yang secara umum
sering diartikan sebagai nelayan yang mengambil ikan dengan cara dan alat yang
sederhana dan dikonsumsi sendiri untuk kehidupan sehari-hari, menjadi kabur karena
banyak nelayan yang mencari ikan dengan tujuan komersial tetapi masih saja digolongkan
sebagai nelayan tradisional.
36Mubyanto, Loekman Soetrisno dan Michael Dove, Nelayan dan Kemiskinan: Studi
Ekonomi dan Antropologi di Dua Desa Pantai, (Jakarta: Rajawali Press dan Yayasan Argo
Ekonomika, 1984), p. 23.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi...
178
tradisional Indonesia lebih memilih perairan Australia sebagai lahan baru
mereka.
Terjadinya perubahan yurisdiksi laut teritorial 12 mil, sangat besar
pengaruhnya terhadap kehidupan nelayan tradisional. Akan tetapi hal
tersebut tidak mencukupi untuk kepentingan pertahanan dan militer suatu
negara. Oleh karena itu, konservasi hukum Internasional juga menetapkan
Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil sebagai perluasan dari klaim 12 mil.
Perbedaannya adalah bahwa klaim 12 mil memberikan wewenang bagi
setiap negara lain untuk dibolehkan melakukan penangkapan ikan.
Tumpang tindih batas yurisdiksi batas laut antar Indonesia dan Austarlia
terjadi ketika kedua negara menetapkan Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil
yaitu pada tahun 1979/1980.
Kesepakatan tentang 12 mil dan Zona Ekonomi Eksklusif sangat
menguntungkan Negara Republik Indonesia, sebab sejalan dengan
kebijakan hukum, ekonomi dan politik yang tergambar dalam “Wawasan
Nusantara” yaitu strategi pembangunan nasional yang terpadu, adanya
kesatuan politik, kesatuan sosial budaya, satu kesatuan ekonomi dan satu
persatuan pertahanan dan keamanan Indonesia.37 Oleh karena itu, bumi,
air, udara dan isi yang terkandung di dalamnya merupakan satu kesatuan
yang utuh yang pemanfaatannya semata-mata untuk kesejahteraan
masyarakat Indonesia.
Relevasi hubungan atara konsep Wawasan Nusantara dan
perubahan tatanan hukum laut, khususnya bagai negara pulau (archipelagics
states) seperti Indonesia adalah mengenai kedudukan aktivitas nelayan
tradisional. Sekalipun batas yurisdiksi laut suatu negara telah ditetapkan
baik melalui hukum nasional maupun hukum internasional, kebijakan
nelayan untuk mengarungi samudra luas tidak mudah dicegah hanya
dengan batasan yuridiksi hukum semata. Hal tersebut terjadi karena
kebutuhan yang mendesak bagi para nelayan untuk memenuhi
kebutuhannya sehari-hari mempedulikan akibat lain yang akan terjadi
apalagi mengingat nama baik negaranya.
Hal itulah yang seharusnya menjadi perhatian Permerintah
Indonesia untuk melakukan pengaturan yang relevan dengan kebutuhan,
situasi dan kondisi yang terjadi dalam masyarakat, serta upaya-upaya untuk
menjaga dan melestarikan kekayaan alam yang sudah dimiliki dan
mencegah campur tangan negara asing yang merugikan, sehingga tidak ada
penyesalan ketika kekayaan alam miliknya di ambil oleh negara lain, seperti
kasus yang telah terjadi mengenai Pulau Sipadan dan Ligitan, hendaknya
menjadi pelajaran yang berharga bagi bangsa Indonesia.
37TAP
MPR/ IV / MPR
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi...
179
G. Kesimpulan
Untuk mengatur wilayah kelautan di Indonesia, Pemerintah
mengeluarkan Undang-undang No 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia. Selain itu, telah dilakukan pula beberapa perundangundangan yang berkaitan dangan masalah pengelolaan dan konservasi
sumber daya alam hayati, antara lain: (a) Undang-udang No.4 tahun 1982
tentang ketentuan Pokok pengelolaan lingkungan; (b) Undang-undang
No. 9 tahun 1985 tentang perikanan; (c) Undang-undang No. 5 tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
(d) Undang-undang No.24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Bagi
pengelolaan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia diatur melalui Peraturan
Pemerintah No.15 tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia serta beberapa keputusan
menteri Pertanian. Peraturan-peraturan tersebut sangat berguna dalam
rangka pengaturan perairan kepulauan Indonesia dalam pemanfaatan
sumber daya alamnya.
Upaya lain yang dilakukan Indonesia dalam mengatur wilayah Zona
Ekonomi Eksklusifnya yang berbenturan dengan kepentingan negara lain
adalah dengan melakukan kerjasama baik secara bilateral maupun
multilateral dengan negara-negara lain. Sebagai negara anggota dan berada
di wilayah Asia Tenggara, Indonesia ikut dalam suatu kerjasama regional
ASEAN dalam pengelolaan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif
dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN yang berdasarkan: pertama,
implementasi Konvensi Hukum Laut 1982 yang telah diratifikasi oleh
sebagian negara-negara anggota ASEAN; kedua, ASEAN Munisterial
Understanding on Fisheries Cooperation 1993 yang secara tidak langsung
merupakan pengakuan terhadap Zona Ekonomi Eksklusif negara-negara
anggota ASEAN. Namun kerjasama regional ASEAN sudah dilaksanakan
melalui beberapa program yang dibuat CGFI maupun ASEAN Fisheries
Federation tersebut memiliki beberapa kendala yang menghambat
terselenggaranya kerjasama antara lain: 1) tumpang tindihnya batas-batas
Zona Ekonomi Eksklusif; 2) Belum konsistennya negara-negara anggota
ASEAN dalam melakukan implementasi Konvensi Hukum laut 1982; 3)
kemampuan keuangan dan kebijakan dari masing-masing negara ASEAN
yang tidak sama.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
180
Lindra Darnela: Upaya Indonesia dalam Mengatur Zona Ekonomi...
Daftar Pustaka
Agoes, Etty R., “perkembangan Hukum Internasional Dewasa Ini”, dalam
Projustisia, No. 18 Juli 1983.
Alexander, Lewis M., Marine Regionalism in the Southeast Asia Seas, Hawai:
East-West Environment and Policy Institute, 1982,
Anwar, Charil, Zona Ekonomi Eksklusif di dalam Hukum Internasional,
Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
Churchill and A.V. Lowe, The Law of the Sea, Manchester University Press,
Manchester, tt.
Direktorat Bina Sumber Hayati, Hasil Evaluasi Potensi Sumber Daya Hayati
Perikakan Laut di Perairan Indonesia dan Perairan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia tahun 1983, Jakarta: Departemen Peranian, 1983.
Harris, D. J., Cases and Materials on Internasional Law, 5th. Edition, London:
Sweet and Maxwell, 1998.
Kittichaisaree, Kriangsak, The Law of the Sea and Maritim Boundary
Delimitation in South-East Asia, New York: Oxford University Press,
1987.
Kusumaatmadja, Mokhtar, Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut:
Diliahat dari Sudut Hukum Internasional, Regional dan Nasional, Jakarta:
Sinar Grafika dan Pusat Studi Wawasan Nusantara, 1992.
Mubyanto, Loekman Soetrisno dan Michael Dove, Nelayan dan Kemiskinan:
Studi Ekonomi dan Antropologi di Dua Desa Pantai, Jakarta: Rajawali
Press dan Yayasan Argo Ekonomika, 1984.
Silalahi, Daud, Pengaturan Hukum Lingkungan Laut Indonesia dan Imlikasinya
Secara Regional, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992.
Thontowi, Jawahir, Hukum Internasional di Indonesia, Dinamika dan
Implementasinya dalam Beberapa Kasus Kemanusiaan, Yogyakarta: Madya
Press, 2002.
Wallace, Rebecca M.M, Hukum Internasional (International Law),
Penerjemah: Bambang Arumanadi, Semarang: IKIP Semarang
Press, 1993.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Implementasi Sufisme dalam Agama di Jawa
Oleh: Suciati 
Abstract
Teachings of mysticism/Sufism in Indonesia is heavily influenced by Hindu
tradition. This doctrine is widely available in the Java community that fall into the
cult/psychotherapy. Teachings of Sufism is looking so closely in popular religious
practices in society, including the Java world. Moreover, Sufism became the largest
channel in the spread of Islam. However, on the other side of the practical consequences
of the doctrine of monistic was carrying (unitary form) brings a very serious threat of
Islamic sharia concept itself.
Key words: sufism, religion, javanese and Indonesian-ness.
Abstrak
Ajaran mistisisme/sufisme di Indonesia banyak dipengaruhi oleh tradisi
Hindu. Ajaran ini banyak terdapat pada masyarakat Jawa yang masuk dalam
aliran kepercayaan/kebatinan. Ajaran sufisme ini tampak begitu lekat dalam
praktek agama populer di masyarakat dunia termasuk orang Jawa. Selain itu,
sufisme menjadi saluran yang terbesar dalam penyebaran agama Islam. Namun, di
sisi lainnya konsekuensi praktis dari doktrin monistik yang dibawanya (kesatuan
wujud) membawa ancaman yang sangat fatal konsep syari’ah Islam itu sendiri.
Kata kunci: sufisme, agama, jawa dan keindonesiaan.
A. Pendahuluan
Mistisisme merupakan istilah yang terdapat dalam sebuah
agama/kepercayaan baik di dalam maupun di luar Islam yang berarti
kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan
Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.1 Mistisisme dalam
Islam disebut tassawuf atau sufisme. Dengan demikian sufisme akan
bersinggungan dengan aspek batin, bukan aspek lahir. Hal ini terlihat
dalam doktrin monistiknya yaitu kesatuan wujud dengan Tuhan, bahwa
Tuhan adalah satu-satunya realitas dari segala sesuatu.
Dalam perkembangannya, sufisme memancarkan daya tarik yang
luar biasa pada pikiran banyak orang pada abad 10 M dan 11 M. Mereka
mendapatkan pengikut dengan jumlah yang luar biasa termasuk para
kelompok intelegensia. Ajaran sufisme ini tampak begitu lekat dalam

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
E-mail: [email protected]
1 Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI press, 1986), p.
212.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...
182
praktek agama popular di masyarakat dunia termasuk orang Jawa. Hal ini
yang tercermin dalam ajaran doktrin sufisme diadopsi oleh aliran
kepercayaan/ kebatinan di Indonesia menjadi slogan :‘ Manunggaling kawulo
Gusti’.
Ketika di satu sisi sufisme menjadi saluran yang terbesar dalam
penyebaran agama Islam namun di sisi lainnya konsekuensi praktis dari
doktrin monistik yang dibawanya (kesatuan wujud) membawa ancaman
yang sangat fatal konsep syariah Islam itu sendiri. Pengikut sufisme
semakin dibawa ke alamnya sendiri untuk senantiasa berkontemplasi
dengan Tuhannya, sementara mereka melupakan bahwa ada syariahsyariah yang harus dipenuhi juga ketika seseorang ingin menuju ke tataran
insan kamil. Berdasarkan paparan di atas, maka dapat dirumuskan sebuah
permasalahan: Bagaimana bentuk implementasi ajaran sufisme pada agama
popular/kepercayaan lokal masyarakat Jawa.
B. Konsep Mistisisme dan Sufisme
Kata ‘mistik’ berasal dari kata Yunani, yang dalam perkembangan
selanjutnya masuk dalam khasanah kapustakaan Eropa. Adapun dalam
bahasa Arab, Persia, dan Turki, kata mistik erat kaitannya dengan istilah
Islam, yaitu sufi. Namun demikian istilah sufi lebih mempunyai makna
yang khas dan religious dibandingkan istilah mistik. Dengan kata lain
bahwa sufi dapat diartikan sebagai mistik yang dianut oleh para pemeluk
agama Islam. Oleh sebagian sufi , bahwa asal-usul kata sufi berasal dari
bahasa Arab yaitu kemurnian. Dengan demikian seorang sufi diartikan
sebagai orang yang murni hatinya atau insan yang terpilih.
Lain halnya dengan Noldeke, dalam sebuah artikelnya yang ditulis
pada dua puluh tahun yang lalu:
Kata suf berasal dari bahasa Arab yang berarti bulu domba. Istilah
tersebut pertama kalinya dikenakan pada orang-orang Islam yang hidup
sebagai pertapa (asketis), yang meniru kehidupan para biarawan Nasrani.
Orang-orang tersebut biasanya mengenakan pakaian bulu domba yang
kasar, sebagai tanda tobat dan keinginannya untuk meninggalkan
kehidupan duniawi ( zuhud). 2
Mistisisme juga berarti sebuah kepercayaan bahwa manusia dapat
mengalami persatuan dengan penciptanya ( transcendental ). Adapun
tahapan untuk menuju persatuan transcendental ini meliputi 3 hal, antara
lain: membersihkan diri dari nafsu lahiriah, penyucian karsa serta
penjernihan cipta. Istilah ini juga sering sekali dikaitkan dengan istilah
tasawuf dalam Islam. Ajaran mistisisme banyak juga dikenal dalam filsafat
Phytagoras dan Plotinus.
2
Reinold A Nicholson, Mistik dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), p. 6-7.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...
183
C. Mistisisme Jawa
Ajaran mistisisme/sufisme di Indonesia banyak dipengaruhi oleh
tradisi Hindu. Ajaran ini banyak terdapat pada masyarakat Jawa yang
masuk dalam aliran kepercayaan/kebatinan. Berdasarkan pandangan
tradisional orang Jawa, sudah banyak mengalami perubahan dibandingkan
pada masa dahulu. Setiap benda, misalnya pohon, batu atau keris dianggap
mengandung kekuatan ghaib. Oleh karena itu melalui kegiatan ritual
mereka memohon kepada arwah yang mengisi benda-benda tersebut
melalui berbagai ritual agar mereka tidak diganggu. Lebih banyak orang
Jawa yang kini melakukan ritual demi keselamatan arwah nenek moyang
mereka. Itulah sebabnya mengapa masih banyak orang Jawa muslim yang
memperingati kematian orang yang mereka kasihi, dari hari pertama
hingga hari ke tujuh, seratus atau seribu.3
Namun demikian, apa yang dipahami sebagai kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa seperti saat ini, pada masa lalu dikenal sebagai
aliran kebatinan, kejiwaan, kerokhanian. Kepercayaan terhadap Tuhan
yang Maha Esa bukanlah sesuatu yang baru di bumi Indonesia ini.
Kepercayaan ini sudah terlebih dulu ada, sebelum masuknya agama
Hindhu, Budha, Islam, dan Kristen ( Protestan dan Katolik), datang di
Indonesia. Pada saat itu kepercayaan masyarakat Indonesia sudah ada dan
jumlahnya relative banyak. Kepercayaan masyarakat Indonesia yang
beraneka ragam tersebut tidak didirikan oleh seorang pendiri, tetapi
tumbuh di tengah-tengah masyarakat setempat. Kepercayaan yang
merupakan jiwa kebudayaan Indonesia adalah milik bersama masyarakat,
yang secara turun-temurun dihayati, dikembangkan dan diwariskan oleh
setiap generasi. Dalam pertemuan dengan agama-agama yang datang dari
luar yaitu Hindhu, Budha, Islam, Kristen dan Katolik timbullah
sinkretisme. Kepercayaan asli tersebut terus berlangsung meskipun agama
yang datang dari luar negeri itu menjadi agama resmi Negara kita.
Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat,
yang menyebut aliran kepercayaan dengan Kejawen. Menurutnya bahwa
kejawen di satu sisi merupakan suatu kompleks keyakinan dan konsepkonsep Hindhu-Budha yang cenderung ke arah mistik, yang tercampur
menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam, adapun di sisi lain
merupakan sebuah metodologi dalam kebudayaan Jawa. Metodologi ini
meliputi kemahiran dalam menerapkan othak-athik gathuk ( kreatif dalam
menemukan titik penyesuaian sehingga kelihatan pas), peka dalam
pemaknaan simbolik (wong Jowo iku nggoning semu=orang Jawa itu tempatnya
3
Dedy Mulyana, Komunikasi Multikultiral, (Bandung: Remadja Rosdakarya, 2005),
p. 34.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...
184
symbol), serta cenderung menerima fakta secara mitos yaitu cenderung
melebih-lebihkan fakta yang sebenarnya.4
Konsep ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan Sejarah
asal masuknya Agama Islam ke Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Dahulu
kala, sebagai agama baru di Nusantara, Islam datang dalam bentuk yang
tidak semurni yang diajarkan Rasulullah Muhammad SAW. Untuk dapat
sampai ke Indonesia, Islam memerlukan perantaraan tangan-tangan
budaya dan filsafat Timur (bukan Timur Tengah). Budaya Persia dan
Hindu merupakan racikan kebudayaan dan filsafat yang masih
meninggalkan residu dalam pola kehidupan umat Islam Indonesia. Ini
dapat dilihat dalam konsep-konsep keberagamaan para penganut dan
penganjur tasawuf, tarekat, dan pengikut fiqih mazhab Syafi’i.
Islam memperlakukan tradisi dan budaya lokal Jawa dengan hormat
dan meluruskan berbagai kekeliruannya dengan cara yang arif dan
bijaksana. Dongeng, mitos, dan mistik dari unsur Budha, Hindu,
Animisme, dan Dinamisme dibentuk menjadi kisah-kisah Islami versi
kaum tarekat dan sufi, dalam hal ini: Walisongo. Dengan demikian, sebagai
penganut agama baru, masyarakat Muslim Jawa terbentuk menjadi
masyarakat yang lekat dengan nilai-nilai ruhaniah sufistik dan non-rasional.
Pola hidup masyarakat Jawa yang secara struktural diciptakan, manut
terhadap sabda pandita, para penguasa, dan penyelenggara pemerintahan,
nrimo, dan mudah menyerah kepada keadaan -semakin mendarah-daging.
Doktrin-doktrin sufistik yang mengarah kepada pola fatalistik (jabariy),
yang meyakini bahwa Tuhan memegang kekuasaan dan kehendak mutlak
atas manusia, mempunyai peranan yang cukup dominan dalam
pembentukan pola budaya demikian.5
Niels Mulder lebih mempertegas konsep jawanisme atau kejawen ini
dengan mengatakan bahwa kejawen lebih menunjuk pada etika dan gaya
hidup yang diilhami oleh pemikiran Jawa, sehingga ketika sebagian orang
mengungkap kejawen mereka dalam praktek beragama, seperti dalam
mistisisme maka pada hakikatnya hal itu merupakan suatu karakteristik
yang secara cultural condong pada kehidupan yang mengatasi
keanekaragaman religious. Elemen-elemen dalam Jawanisme ini umumnya
diduga berasal dari periode Hindhu-Budha dalam sejarah Jawa yang
kemudian menyatu dalam sebuah filsafat yang berisi prinsip-prinsip dalam
menjalani kehidupan. Kemunculan aliran kepercayaan/ kebatinan
Muhammad Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, (Yogyakarta: LESFI,
2000), p. 102.
5Http://sonysikumbang.wordpress.com/2010/10/04/beberapa-konsep-walisongo.
4
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...
185
menandakan adanya suatu gerakan rakyat yang berupaya menemukan
kebenaran dan jati diri dalam warisan budaya mereka sendiri.6
Negara sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap
pembinaan aliran kepercayaan, sebenarnya sejak awal sudah
mengantisipasi terhadap keinginan beberapa aliran untuk menjadi agama
baru selain agama yang diakui di Indonesia. Hal ini jelas diatur dalam
ketetapan MPR No. IV/MPR/ 1978, serta Tap MPR No. IV/ MPR/1988
tentang garis-garis besar Haluan Negara dikatakan bahwa Kepercayaan
Kepada Tuhan yang maha Esa bukanlah merupakan agama, sehingga
pembinaan yang dilakukan kepada aliran kepercayaan bertujuan antara
lain:
a. agar tidak mengarah kepada pembentukan agama baru.
b. untuk mengefektifkan pengambilan langkah yang perlu agar
pelaksanaan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, benar-benar
sesuai dengan dasar Ketuhanan yang maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pemberian hukum dan legalitas aliran kepercayaan menjadi sebuah
agama terletak pada keberatan kaum agama yaitu akan memberikan
peluang bahkan mendorong orang yang lemah iman dan perasaan
keagamaannya untuk mengikuti ajaran kepercayaan tersebut. Apalagi kalau
diingat bahwa sebagian orang yang menganut kepercayaan masih
mengakui bahwa dia seorang penganut agama Islam, walaupun masuk
dalam kategori Islam turunan.7
Bagi kebanyakan orang Jawa, sungguh membuat sedih hati mereka
ketika melihat kenyataan bahwa buah mistis dari tanah mereka tidak
mendapatkan pengakuan sebagai ekspresi keimanan yang sederajat dengan
agama-agama ’impor’. Memang mereka jarang menyalakan doktrin-doktrin
yang bermacam-macam itu, tetapi mereka melihat ekspresi religious
tertentu yang betul-betul memuakkan. Bagi mereka, Tuhan terletak di hati.
Dia bukanlah sosok yang jauh dan tak terjangkau, tetapi sangat dekat.
Namun meski ide Islam ataupun Kristen telah mempengaruhi mistis orang
Jawa, tetap saja mereka tidak bisa menerima Muhammad sebagai nabi
pamungkas atau Kristus sebagai satu-satunya penyelamat. Berkat
keintiman mereka dengan realitas tertinggi, mereka mengetahui bahwa
wahyu bisa diturunkan setiap hari. Tetapi pesan mistiknya tidak terlalu
menjanjikan penyelamatan atau surga, karena pesan itu diarahkan untuk
menafsirkan eksistensi duniawi dalam sebuah perspektif kosmologis.8
Niels Mulder, Mistisisme Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 2001), p. 10.
Yunan Nasution, Islam dan Problema-Problema Masyarakat, (Jakarta: Bulan Bintang,
1988), p. 264-265.
8 Niels Mulder, Mistisisme Jawa, p. 24-25.
6
7
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
186
Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...
Berbeda dengan Mulder, maka Simuh mencoba untuk memberi ciri
sendiri terhadap kejawen. Menurutnya aspek kerokhanian ini tidak
mempunyai kitab suci dan tidak mempunyai kesatuan konsep. Aspek
kerohanian jawa merupakan pembauran berbagai unsur dari kebudayaan
asli pribumi, Hindhu-Budha, dan Islam dengan kadar yang beraneka
ragam, sesuai dengan pemahaman dan paham masing-masing guru
Pembina alirannya. Ada sejumlah aliran yang lebih menekankan pada
aspek mistiknya yang cukup halus, yakni mencapai penghayatan
Manunggaling Kawulo Gusti, namun adapula sejumlah aliran yang
mempunyai ajaran dengan sangat sederhana dan lugu, ada juga aliran yang
menonjolkan aspek animisme dan dinamisme, yaitu hubungan roh-roh
gaib untuk mendapatkan wangsit dari berbagai keperluan.9
Penganut-penganut kepercayaan sebenarnya sudah mengakui tidak
termasuk dalam kelompok agama, walaupun mereka percaya kepada
Tuhan yang maha Esa. Namun kiranya masih ada pertanyaan apakah
Tuhan yang maha esa yang dimaksud adalah Allah SWT yang menciptakan
alam ini? Yang jelas bahwa penganut kepercayaan tersebut tidak
mempunyai kitab yang dapat dijadikan pedoman tertulis dan pegangan
untuk berkonsultasi dan menjadi tempat kembali (terugval basis) dalam
menghadapi ataupun memecahkan persoalan.10
Spranger menyamakan agama dengan mistik. Olehnya agama
dilukiskan sebagai penyatuan alam semesta dengan eksistensi diri. Namun
di pihak lain ada mistik yang bukan agama yaitu bila mistik bersifat
immanen, yaitu peleburan antara insan dengan Illahi dalam kesatuan dengan
alam semesta. Spranger mempersempit gejala agama dengan membatasi
pengertiannya pada satu bentuk agama tertentu, yaitu pada bentuk mistik.
Namun demikian hubungan manusia dengan Tuhannya tidak selalu harus
berbentuk mistik. Agama dapat juga dihayati dengan bentuk yang bukan
mistik. Misalnya saja dengan jalan menghayati bahwa manusia ditugasi
oleh Tuhan untuk memuliakanNya dengan memelihara dunia, terutama
membahagiakan sesama. Ia juga boleh percaya penuh pada bantuan Tuhan
pada umatNya. Bentuk seperti ini jelas berlainan dengan mistik yang lebih
mengarah pada kontemplasi Illahi. Hingga pada akhirnya perlu dicatat
bahwa mistik transenden mengakibatkan orang yang bersangkutan tidak
mampu menerima nilai-nilai duniawi. Hal ini erat kaitannya dengan
psikologisme : dimensi transenden.
Pada dasarnya praktek mistisisme merupakan upaya individual.
Dalam hal ini seorang manusia melakukan penyatuan kembali dengan
asalnya yang mencita-citakan pengalaman rahasia keberadaan, atau
9 Simuh, Sufisme Jawa transformasi tasawuf Islam ke mistik Jawa, (Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 1995), p. 65.
10 Yunan Nasution, Islam dan Problema-Problema Masyarakat, p. 265.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...
187
pelepasan dari segala kegiatan duniawi. Perjalanan mistik, oleh Mulder
dikatakan melalui 4 tahap.11
a. syareat, mengindahkan dan hidup menurut pranata dan hukum agama,
misalnya sholat 5 waktu bagi orang Islam
b. tarikat, yaitu orang menyadarkan diri atas perilaku yang dilakukan pada
tahap pertama, misalnya bahwa sholat bukan saja untuk menggerakkan
tubuh tetapi juga menyiapkan diri ‘menemui’ Tuhan
c. hakikat, yaitu perjumpaan dengan kebenaran, yaitu pemahaman yang
mendalam bahwa satu-satunya cara untuk mengada adalah menjadi
‘hamba’ Tuhan
d. makrifat, saat tujuan menyatunya hamba dengan Tuhannya sudah
tercapai ( jumbuhing kawula lan gusti )
Dikatakan juga oleh Suwardi bahwa menurut Geertz ada beberapa
postulat konkrit terkait dengan teori mistik.
a. tujuan hidup manusia adalah tenteram ing manah ( ketenangan)
b. rasa menyatu dengan individu dan individu menyatu dengan Tuhan
c. tujuan manusia untuk tahu dan merasakan rasa tertinggi dalam diri
sendiri untuk membuat prestasi untuk kekuatan spiritual
d. untuk memperoleh pengetahuan tentang rasa tertinggi,maka manusia
harus memusatkan pada batin.
e. Pengalaman rasa
f. Manusia berbeda-beda dalam kesanggupannya melakukan disiplin
spiritual
g. Dalam tingkat pengalaman dan eksistensi tertinggi, semua manusia
adalah satu dan sama
Rupanya tahap-tahapan di atas sejalan dengan pokok-pokok ajaran
tasawuf dalam rangka mencapai makrifat, dikemukakan oleh Al Ghozali
sebagai berikut: 12
a. Distansi
Berarti mengambil jarak dari nafsu-nafsu dunia yang
memperbudak dirinya. Nafsu yang dimaksud adalah nafsu amarah dan
lawwamah ataupun penghambaan terhadap dunia sehingga seorang
manusia benar-benar menemukan ‘akunya’ sehingga benar-benar dapat
berdiri sebagai khalifah. Dalam tasawuf, distansi dimaksudkan untuk
membina sikap eskapisme agar bisa mencapai suasana hati yang bersih,
terbebas dari ikatan-ikatan selain hanya Allah. Tahapan ini adalah yang
paling berat karena merupakan aspek positif yang akan menjadi
sumbangan yang paling efektif untuk kehidupan masyarakat yang
Niels Mulders, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, (Jakarta: Gramedia,
1984), p. 47-48.
12 Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam, p. 28-29.
11
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...
188
bertanggung jawab serta jujur, menciptakan aparat yang bersih dan
berwibawa, bebas dari sikap korup, aji mumpung, kolusi kekuasaan dan
lain-lain.
b. Konsentrasi
Maksudnya adalah berzikir kepada Allah. Konsentrasi merupakan
aspek praktis sehingga setiap orang dapat menjalankan dzikir.
Meskipun yang dapat menjalankan dzikir secara benar-benar adalah
orang-orang tertentu yang khawas saja ( para wali) dan bukan golongan
awam yang menghormati dan berwasilah pada orang-orang suci dan
dianggap keramat. Konsentrasi dengan wasilah dzikir ini dijadikan
sarana untuk memfanakan dan mengalihkan pusat kesadaran alam
materi ke pusat kesadaran dunia kejiwaan yang disebut dengan
iluminasi.
c. Iluminasi
Menurut Al-Ghozali, konsentrasi dzikir bila berhasil akam
mengalami fana terhadap kesadaran inderawi dari mulai kasyaf
(tersingkap tabir) terhadap penghayatan alam ghaib dan memuncak ke
dalam alam makrifat. Mulai kasyaf ini, kaum sufi mulai dengan mi’raj
jiwanya, sehingga dapat bertemu dengan malaikat, ruh, para nabi dan
dapat memperoleh ilmu laduni dan bahkan dapat melihat nasib di lauh
mahfud. Inilah yang kemudian disebut dengan manunggaling kawulo
Gusti ( mistik union).
d. Insan kamil
Sebagaimana logika tasawuf, bahwa ketika orang dapat
berhubungan dengan alam ghaib dan makrifat kepada Tuhan maka
merekalah yang dinamakan manusia pilihan sebagai predikat manusia
sempurna (insane kamil). Maka orang-orang suci ini dalam kehidupannya
akan memancarkan sifat-sifat ke-Illahi-an bahkan penjelmaan Tuhan di
muka bumi. Mereka memiliki berbagai macam karomah ( saktisme).
Dalam berbagai versi cerita, maka walisanga sebagaimana yang
tertulis di serat babad fungsi Walisanga, para wali dikatakan “ bisa berjalan
di atas air, terbang di udara, mendatangkan hujan, berada pada beberapa
tempat pada suatu waktu, menyembuhkan penyakit dengan hembusan
nafasnya, menghidupkan orang mati, mengetahui dan meramalkan
kehidupan mendatang, membaca pikiran orang dan lain.
Bagaimanapun juga faham Tuhan dekat dengan manusia yang
merupakan ajaran dalam mistisisme/sufisme, terdapat pula dalam Al
Qur’an dan Hadis: 13
13Harun
Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, p. 72-73.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...
189
a. QS Al-Baqarah 186
            
     
jika hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang diriKu, Aku adalah
dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika ia panggil Aku.
b. ayat 115
             
Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja mereka berpaling,
disitu (kamu jumpai ) wajah Tuhan
c. QS Qof ayat 16
          
   
Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan kami tahu apa yang dibisikkan
dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepada-Nya daripada pembuluh
darahnya sendiri
Jalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi sebenarnya tidaklah
licin akan tetapi penuh duri. Dia harus merangkak dari stasion-stasion (al
maqomat) secara bertahap. Stasion itu biasa disebut sebagai tobat, zuhud,
sabar, tawakkal dan ridho. Disamping stasion itu, mereka juga harus
melalui al-hal (keadaan mental): perasaan takut, rendah hati, rasa
berteman, gembira hati dan syukur. Bedanya dengan al-maqom, maka al-hal
datang bukan atas usaha manusia tetapi datang berdasarkan anugerah
Tuhan, dan sifatnya sementara, datang dan pergi.14
Adapun ajaran sufisme ini sejalan dengan apa yang terdapat dalam
mistik kejawen yang sesungguhnya merupakan manifestasi agama Jawa.
Agama Jawa merupakan manifestasi praktik religi dalam masyarakat.
Sebagian orang meyakini bahwa dalam mistik Jawa terdapat pengaruh
sinkretik dengan agama lain, sedikitnya Budha, Hindhu dan Islam.
Sebaliknya ada juga yang meyakini bahwa mistik kejawen adalah milik
manusia Jawa yang telah ada dan belum ada pengaruh dari budaya lain.15
Mistik kejawen adalah upaya spiritual ke arah pendekatan diri kepada
Tuhan YME yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa.
14
15
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, p. 79.
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, (Yogyakarta: Narasi, 2006), p. 74.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
190
Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...
Beberapa ajaran tentang sufisme/tasawuf dalam distansi sudah
merupakan nilai-nilai yang disepakati sebagai nilai-nilai luhur bangsa kita.
Berikut akan dijabarkan lebih rinci nilai-nilai luhur budaya bangsa yang
dimaksud :
1. Ajaran tentang ketuhanan
Konsep Tuhan adalah adoh tanpo wangenan cedak tanpo senggolan yang
artinya jauh tidak kelihatan, dekat tetapi tidak bersentuhan. Tuhan dekat
sekali dengan manusia. Namun apabila manusia tidak mendekatkan diri
pada Tuhan, maka manusia akan dijauhi oleh Tuhan. Manusia perlu
melakukan perbuatan baik kepada Tuhan. Selain itu manusia juga wajib
menciptakan suasana dumadi, rendah hati dan kasih sayang serta saling
menyayangi pada semua ciptaan Tuhan. Manusia harus percaya kepada
Tuhan yang membuat hidup, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Manusia tidak
boleh percaya begitu saja tetapi harus diikuti dengan eling dan mituhu
(percaya dan berdoa ). Setelah percaya, mituhu dilakukan manusia karena
manusia senantiasa mengubah dan mengusik Tuhan, maka disitulah letak
kesalahan baik yang terlihat maupun tidak. Oleh karenanya manusia wajib
berdoa dan memuji untuk menebus kesalahan atau bertaubat atas
kesalahan yang telah diperbuat.
Tuhan memiliki sifat yang serba maha ( maha kuasa, maha pemurah,
maha pengasih, dsb). Sifat-sifat tersebut setelah manusia memiliki
kesadaran batin. Dalam pemusatan batin, sifat tersebut harus ditiru oleh
manusia, dengan demikian manusia tidak mungkin melakukan hal-hal yang
tidak benar. Kekuasaan Tuhan tidak hanya tergantung pada pada hal-hal
yang sudah nyata, akan tetapi hal-hal yang akan terjadi juga ada pada
kekuasaan Tuhan. Misalnya saja peristiwa seperti gunung meletus, banjir,
gempa serta lainnya. Manusia secara kodrat memiliki sifat yang berbedabeda sehingga tidak mudah untuk berbuat baik dan sempurna. Hal yang
harus dijalankan oleh manusia adalah tidak boleh mengurangi dan tidak
boleh menambah haknya yang telah diberikan Tuhan. Menambah
misalnya memuja punden, pesanggrahan, pusaka, batu, pohon, dsb.
Sedangkan mengurang berarti melakukan hal-hal seperti menyiksa diri,
misalnya memaksakan diri untuk berpuasa, yang akhirnya sakit.
Kemanunggalan antara sang pencipta dan ciptaan sudah terjadi
dalam diri manusia. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah sampai
dimanakah kesadaran manusia bahwa sang pencipta berada dalam diri kita.
Hal ini dibuktikan bahwa terlalu banyak hal-hal yang kita lakukan tidak
sesuai dengan kehendakNya. Sebaliknya bahwa banyak hal yang kita
lakukan tanpa peduli bahwa sang Pencipta itu berada di di dalam diri kita
dan mengatur, mengendalikan serta memberi arahan bagaimana berbuat
benar. Orang cenderung banyak memutuskan masalah yang mendukung
kebenarannya sendiri tanpa memikirkan apakah itu benar bagi orang lain.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...
191
Sudah banyak contoh yang menunjukkan bahwa setiap kelompok ingin
mempertahankan kebenarannya sehingga memunculkan egoisme pribadi
maupun kelompok. Hal ini tentu saja akan menghambat adanya persatuan
dan kesatuan.16
2. Ajaran tentang kemanusiaan
Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan mempunyai watak yang
berbeda-beda. Secara sadar maupun tidak sadar sebenarnya manusia sudah
mempunyai dasar iman dan percaya, sehingga tidak akan menimbulkan
hal-hal yang menyimpang dari akal budinya. Jika sampai terjadi suatu
penyimpangan karena akal budi manusia maka hal ini karena dihinggapi
oleh gangguan setan, jin, iblis dan sebagainya. Oleh karenanya perlu
ditanamkan adanya sikap manembah dan ingat kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Dengan cara itu diharapkan manusia akan dapat menghimpun diri
pribadinya, sehingga mampu memiliki sifat-sifat yang baik. Selanjutnya
manusia diharapkan akan dapat memilah-milah mana yang baik dan mana
yang buruk, salah dan benar. Dengan demikian manusia akan dapat
membentuk pribadinya lahir dan batin. Misalnya saja ketika berangkat
kerja maka manusia harus berdoa agar memperoleh keselamatan dalam
pekerjaannya. Setelah pulang dari kerja maka manusia kembali berdoa
untuk mengucapkan terimakasih atas kuasa Tuhan. Di sisi lain apabila
manusia tidak sadar dan tidak bisa menghindari nafsunya maka akan
menimbulkan keresahan dan tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu, tidak
tekun dan tidak dapat menempatkan diri.
Sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna, maka manusia memiliki
kelebihan yang berupa akal, budi, cipta, rasa, dan karsa. Dengan kelebihan
itu maka manusia mempunyai kewajiban dan tugas terhadap sang
pencipta. Adapun tugas dan kewajiban itu adalah manembah, dan ingat
dan berdoa bersama yang diwujudkan dalam bentuk suci, damai dan
penyayang. Manusia harus selalu sujud dimanapun dan kapanpun ia
berada.
Adapun terhadap dirinya sendiri manusia harus selalu andhap ashor
atau rendah hati, juga tidak sombong juga tidak pamer. Sedangkan dalam
hubungannya dengan sesamanya maka manusia diwajibkan untuk saling
menyayangi serta menghindari sifat dengki, iri, jahat, dsb, sehingga akan
tercapai suatu suasana yang damai, rukun, aman, tentram. Berkaitan
dengan alam maka manusia wajib mengelolanya dengan baik. Sebab
dengan memanfaatkan dan mengolah dengan baik maka akan
mendatangkan hasil yang baik pula. Dengan demikian kebutuhan manusia
akan tercukupi dan terciptalah kehidupan yang aman, tenteram dan
bahagia.
16
Buletin Galih edisi 2007: p. 56
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...
192
Segala sesuatu yang dilakukan manusia di dunia akan berkaitan
dengan alam langgeng nanti. Oleh sebab itu maka perbuatan manusia di
dunia harus sesuai dengan kebenaran yang nyata. Yang berasal dari Tuhan
yang maha Kuasa. Dengan demikian maka untuk mencapai ketentraman
dunia harus dilandasi dengan takwa, yaitu ingat, sujud, dan manembah
kepada Tuhan. Uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pepatah leluhur
kita ” wong yen nandur bakal ngunduh ” artinya bahwa orang yang menanam
akan memetik buahnya adalah benar. Hal ini dapat diartikan bahwa apa
yang diperbuat manusia di dunia akan mendapatkan pembalasan di akherat
kelak.
3. Ajaran tentang alam semesta
Alam diciptakan oleh Tuhan untuk kelangsungan hidup mahluk
yang lain. Namun demikian Tuhan tetap menguasainya dan Tuhanlah yang
menentukan. Misalnya saja terjadinya gempa, banjir, gunung meletus,
datangnya selalu tiba-tiba. Kadang-kadang ada tanda-tanda terjadinya
musibah, misalnya cuaca gelap. Dengan tanda itu maka manusia
hendaknya dapat membaca musibah itu. Alam memiliki kekuatan yang luar
biasa yang disebut dengan ghaib, artinya tidak diketahui oleh manusia,
namun hanya Tuhanlah yang tahu apa yang akan terjadi. Manusia harus
dapat memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya. Mereka berdua saling
berhubungan satu sama lain. Alam tanpa manusia tidak bermanfaat,
sebaliknya, manusia tanpa alam tidak dapat hidup.
Istiasih dalam artikelnya yang berjudul ”Memayu hayuning Bawono”
Sebagai Pedoman Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha esa
” mencoba untuk menegaskan konsep yang secara umum berlaku dalam
hubungan manusia dengan alam.17 Istiasih menyatakan bahwa makna
”Memayu hayuning Bawono” tidak lain adalah mewujudkan keadaan
dunia untuk tetap indah sekaligus selamat. Makna tersebut setidaknya
dapat diwujudkan dengan sikap dan perilaku aktif berbuat kebajikan
kepada siapapun dan apapun, termasuk di dalamnya menjaga serta
memelihara lingkungan hidup yang sehat, asri, indah dan lestari. Dengan
demikian, maka lingkungan akan selalu mampu meningkatkan harkat dan
martabat manusia. Adapun hal yang dapat mendasari sikap agar manusia
senantiasa menjaga kelestarian alam dengan ” Memayu hayuning Bawono ”
antara lain :
a. Bahwa seseorang wajib menjaga kelestarian dan menghormati serta
memperindah alam
b. Menjaga alam lingkungan agar dapat diwariskan kepada generasi
mendatang
17
Buletin Galih, edisi 2006: p. 21-22
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...
193
c. Jika alam tidak dijaga dengan baik akan merugikan masyarakat alam
merupakan anugerah Tuhan untuk manusia, sehingga manusia wajib
menjaga agar tetap bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Pada dasarnya alam beserta isinya termasuk manusia tidak boleh
dirusak akan tetapi harus dijaga, dipelihara dan dilestarikan sehingga tidak
akan menimbulkan gejolak alam seperti bencana alam yang terjadi di
sekitar manusia.
Menurut pemahaman ini, terjadinya bencana alam disebabkan
karena banyaknya manusia yang berbuat tidak baik, curang, culas atau
dengan kata lain tidak Berketuhanan Yang Maha Esa. Ibaratnya ketika
bumi diduduki oleh pencakar langit tidak akan ambles tetapi giliran bumi
diduduki oleh manusia yang jahat, maka bumi menjadi bergeser dan
terjadilah gempa bumi. Dalam kaitannya dengan hal ini maka banyak
orang yang masih tidak percaya bahwa perilaku manusia mempengaruhi
perilaku alam.18
D. Interaksi Agama dengan Kebatinan
Berbicara tentang interaksi antara agama dengan aliran kepercayaan/
kebatinan itu sendiri ternyata melibatkan banyak pendapat yang berbeda.
Ada pernyataan yang begitu tegas mengatakan bahwa aliran kebatinan
berada di atas agama. Ada yang menyatakan bahwa keduanya tidak dapat
dipertemukan dan adapula yang menyatakan bahwa antara agama dan
aliran kepercayaan bersifat kompromis.
Sikap radikal yang menyatakan bahwa aliran kebatinan di atas semua
agama didasari atas adanya faktor yang menimbulkan kekecewaan
sebagaimana telah diungkap sebelumnya. Dimana agama-agama lama
dianggap tidak mampu menjiwai manusia. A Wakhid dalam Rahmat
Subagya mengatakan bahwa “kegagalan hirarki dan struktur-struktur
agama besar di Indonesia untuk memberikan pemecahan terhadap
persoalan-persoalan sosial yang pokok dari kehidupan masyarakat dewasa
ini”. Demikian juga diungkapkan bahwa agama-agama besar dianggap
gagal dalam menyelenggarakan perdamaian dunia. Hanya kebatinanlah
yang dianggap sanggup untuk menunaikan tugas mulia yang dilakukan
oleh agama-agama itu. Golongan agama katanya berkedok pada nama
murni agama dan telah membangkitkan iri hati, fitnah, dengki dan
dendam.19
Hal ini diperkuat oleh pendapat Mr. Wongsonegoro, bahwasannya
pendidikan kebatinan mempunyai dasar lebih luas daripada pendidikan
agama maupun pendidikan budi pekerti, oleh karenanya juga menyinggung
Buletin Galih, edisi 2007: p. 45
Rahmat Subagya, Kepercayaan, Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan: Kepercayaan dan
Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), p. 76.
18
19
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...
194
batin manusia. Mengapa agama tidak dapat menentramkan dunia. Hal ini
disebabkan karena orang-orang yang menjalankan agama sering
menitikberatkan pada satu segi saja yaitu berbakti kepada Tuhan dengan
melepaskan sama sekali kebatinan. Dengan kata lain bahwa agama dan
kebatinan harus dilakukan bersama supaya lebih menampakkan perannya.
Menurut pemikiran ini maka kebatinan dianggap bersuperioritas di atas
agama meski baru mulai dan dapat menyumbang perdamaian dunia
namun cukup optimis.
Pandangan sebaliknya diungkapkan oleh S. Mertodipura menyatakan
bahwa kebatinan seyogyanya masuk dalam agama, karena kebatinan
menyajikan ragi dalam hidup keagamaan. Dalam konggres kebatinan II di
Surakarta pada tahun 1956 dinyatakan oleh Mr. Wongsonegoro, bahwa
gerakan kebatinan bukanlah suatu agama baru yang akan mendesak
agama-agama yang sudah ada, akan tetapi kebatinan bahkan akan
memperdalam atau sublimeren agama-agama yang sudah ada.20
Adapun untuk pendekatan yang sifatnya kompromis disampaikan
dalam symposium Nasional kepercayaan 1970 yang dinyatakan oleh salah
satu aliran kepercayaan yaitu Pangestu :
“Jelaslah bahwa pelajaran Sang Suksmo sejati bukan suatu agama dan
tidak pula dimaksudkan untuk mengubah agama Tuhan yang telah ada,
yakni Islam dan Kristen.Sang Guru Sejati menegaskan agar mereka yang
telah memeluk suatu agama Islam atau Kristen hendaknya benar-benar dan
sungguh-sungguh melaksanakan semua petunjuk-petunjuk rahayu yang
tersimpul dalam kitab-kitab suci Al Qur’andan Injil. Bagi mereka yang
belum memiliki salah satu agama, baik Islam atau Kristen, maka pelajaran
Sang Suksmo Sejati dapat dipakai sebagai obor penyuluh jalan yang
menuntun dan menyelamatkan kita di dunia dan akherat”.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kebatinan juga mempunyai
andil terhadap pembentukan jati diri masyarakat Jawa. Nilai-nilai yang
bersifat transcendental dan kemanusiaan paling tidak dapat membentengi
pengaruh westernisasi yang cenderung negative. Masuknya teknologi
komunikasi menyebabkan arus globalisasi semakin cepat dirasakan
imbasnya oleh siapapun. Pengaruh Barat bukan tidak mungkin akan
masuk dan berinteraksi dengan masyarakat lokal. Namun ada sebuah
keyakinan dari sekelompok orang Jawa, bahwa budaya Jawa yang telah
mengakar kuat tidak mungkin dapat tergantikan dengan budaya Barat.
Sebagai konsekuensinya, maka budaya Barat banyak membawa perubahan
tata moral masyarakat. Sayang sekali tata moral ini lebih mengarah kepada
hal-hal yang negatif daripada yang positip.
Tata moral yang rusak ini sering diasumsikan pada etika dan
pandangan dunia yang berubah juga. Namun tidaklah demikian, bahwa
20
Ibid., p. 69.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...
195
norma dan nilai yang berubah adalah titik beratnya saja, penekanan dan
relevansinya. Konsep-konsep Jawa tentang keteraturan dan hidup baik,
sedikit saja yang dipengaruhi perubahan-perubahan struktural yang pesat
dan pengalaman-pengalaman politik kemerdekaan. Maka bangkitnya
kebatinan dan usaha menyusun kepribadian nasional atas dasar nilai asli
merupakan bukti vitalitas, dan keberlangsungan pemikiran kejawen.21
Bagaimanapun juga ketika manusia membahas tentang mistisisme
tidak lain adalah pembahasan dalam arti batiniah. Pembahasan ini harus
dimulai dengan pengakuan bahwa mistisisme adalah unsur dari keagamaan
dalam arti luas. Dengan kata lain bahwa mistisisme dan agama saling
merasuki. Sedangkan perbedaannya hanyalah pada penekanannya saja.
Mistisisme lebih menekankan pada pengalaman batin dalam pengalaman
individu seseorang, dan penyatuan langsung dengan sesuatu yang absolute.
Sedangkan pada agama orang mengenal esensi melalui wujud luar. Dengan
kata lain bahwa aspek kebatinan berada dalam agama. Secara universal,
kalangan mistik mengatakan bahwa pengalaman tidak dapat dicapai oleh
nalar.
E. Interaksi Tasawuf dengan Kebatinan
Mistisisme ataupun sufisme yang bertujuan untuk mengajak batin
manusia untuk berkontemplasi untuk kesatuan wujud dengan Tuhan, tidak
lain adalah untuk mencapai derajat spiritual yang tinggi. Namun demikian
dalam praktiknya ada kecenderungan dari mereka untuk mengacaukan
dengan berkompromi pada kepercayaan-kepercayaan dan praktek popular
dari masyarakat yang setengah-setengah masuk Islam bahkan yang hanya
masuk Islam dengan namanya saja. Sufisme membiarkan dirinya
bercampur aduk dengan ajaran agama lama dari pemeluk agama Islam
baru . Hal ini terjadi pada kepercayaan animisme di Afrika hingga
pantheisme di India. Kecenderungan yang kuat untuk berkompromi
dengan ide dan adat kebiasaan lokal dari pemeluk Islam yang baru justeru
telah memecah belah Islam menjadi aneka ragam budaya social dan
keagamaan.22
Pernyataan Fazlur Rahman ini terbukti dengan kondisi munculnya
ajaran manunggaling kawulo gusti yang begitu didengung-dengungkan oleh
aliran kebatinan di Indonesia tetapi tetap mereka tidak dapat
meninggalkan pengaruh hindu (misalnya saja memperingati kematian
seseorang dengan slametan/kendurenan) sebagai sebuah ritual yang
justeru di dalam agama Islam dilarang. Mereka juga sama sekali tidak
melakukan syari’ah-syari’ah yang semestinya dilakukan oleh orang yang
21
22
Niels Mulders, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, p. 75-76.
Fazlur Rahman, Islam, 224-225.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
196
Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...
beragama Islam, misalnya shalat dan puasa. Meski yang terjadi mereka
mengatakan beragama Islam.
F. Doktrin Monistik: Manunggaling Kawulo Gusti
Lebih ekstrem lagi ketika menyimak pengalaman batin dari tokohtokoh sufi dalam sejarah , misalnya saja Abu Yazid ataupun Syeh Siti
Jenar. Lekatnya slogan Manunggaling Kawulo Gusti dalam diri mereka justeru
membawa mereka kepada pemahaman yang salah terhadap makrifat. Titik
tekan pada konsep makrifat ini membawa mereka menganggap dirinya
sebagai Tuhan. “Tidak ada Tuhan selain aku maka sembahlah aku”, itulah
pernyataan yang keluar dari Abu Yazid dan Syeh Siti Jenar, yang mengaku
sebagai orang yang sudah mencapai tingkatan makrifat dalam sufi.
Lain lagi dengan tokoh sufi lainnya, yaitu Jalaluddin Rumi. Gagasan
Rumi tentang Manunggaling Kawulo Gusti boleh jadi dianggap sebagai
gagasan menyimpang dan memberontak syariat agama. Namun bagi Rumi
semua pandangan terhadap gagasannya adalah sah-sah saja, karena
menurutnya perbedaan pandangan adalah sebuah rahmat. Rumi
memandang segala sesuatu dari sisi hakikatnya, bukan dari dunia bentuk
atau luar. Karena itu Rumi memandang dari aspek kesejatiannya bukan
dari kulit luarnya. Gagasan cinta kepada Allah sangat mendominasi pikiran
dan puisinya, sering diungkapkan dengan cara di luar syariat, yaitu dengan
membentuk sebuah tarian yang disebut “para darwis yang menari “the
wirling dervishes” . Dengan tarian mistiknya, maka Rumi sampai kepada
Allah. Jika kemudian muncul pertanyaan tentang cara-cara Rumi yang
tidak melalui pintu syariat, maka ia pun siap dengan jawaban: “orang harus
mendobrak dan mematahkan batas-batas pemikiran untuk menyaksikan
kekuatan cinta yang tertinggi, dan untuk menyerap kebesaran Allah
tercinta ”Dan semua itu bisa melalui music dan tari”.
Rumusan manusia Jawa dalam menyikapi sekaligus meyakini Tuhan
diungkapkan lewat pernyataan cedhak tanpa senggolan (dekat tanpa
bersinggungan) dan adoh tanpo wangenan (jauh tanpa adanya jarak).
Rumusan tersebut adalah hasil pendalaman falsafah manunggaling kawulo
Gusti pada awalnya disebabkan oleh kesadaran mendalam antara wong cilik
dengan ningrat ( bangsawan) yang perlu dibina sebaik-baiknya hubungan
kedua belah pihak tersebut agar tidak timbul gejolak yang tidak perlu, baik
social maupun politik. Sementara itu ada dugaan lain bahwa manunggaling
kawulo Gusti itu kelanjutan dari falsafah ngudi kasampurnan (mencapai
hidup yang sempurna), yang bersifat asli pada jaman pra sejarah.
Namun Al Ghozali sebagai pemikir Islam justeru mengingatkan para
ashikin (orang yang diliputi mabuk kepayang dengan Tuhan) justeru harus
disikapi secara hati-hati sembari mengingatkan mereka. Dengan kata lain
sebenarnya bukanlah itu yang menjadi tujuan dari sebuah mistisisme.
Imam Ghozali mengatakan :
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...
197
“Di saat-saat kemabukan (ekstase), (para sufi) seharusnya tidak
menceritakan kepada khalayak ramai, jadi sebaiknya disembunyikan.
Alasannya mereka sendiri ketika kesadarannya mulai pulih kembali maka
kembali keamampuan akalnya, sehingga mereka itu bukan benar-benar
menyatu dengan Tuhan, tetapi hanya menyerupai keadaan menyatu
(ittihad)”.
Al-Ghozali mengibaratkan bahwa mereka ibarat orang yang belum
pernah menyaksikan sebuah cermin, kemudian tiba-tiba dikejutkan oleh
sebuah cermin dan menyaksikan gambar dirinya di sana. Disangkanya
bahwa gambar yang disaksikan pada cermin itu adalah gambar cermin
yang telah menyatu dengan gambar dirinya. Al Ghazali sangat mewantiwanti kepada mereka yang telah sampai kepada tingkatan makrifat untuk
jangan sekali-sekali mengklaim dirinya sebagai Tuihan. Sebab manusia
sebagaimana kodratnya adalah tetap manusia, sedangkan Tuhan adalah
Dzat ghaib yang jauh berbeda dari mahluknya.23
Namun demikian aneka ragam unsur sufisme yang dilontarkan oleh
Al-Ghozali berakibat pada menjurusnya pada dua arah yang berbeda
dalam prakteknya. Jurusan yang pertama ke arah sufisme intelektual yang
menghasilkan tasawuf, atau disebut juga dengan gnostik, sedangkan jurusan
lainnya adalah ke arah popular yang diterjemahkan dalam bentuk konkret
sebagai lembaga-lembaga persaudaraan keagamaan. Rupanya jurusan yang
kedua inilah yang kemudian berkembang dengan pesat di praktek
keberagamaan masyarakat dan inilah sebenarnya yang menjadi poin bagi
kritik Fazlur Rahman sebagai bentuk penyimpangan.
Pada sufisme intelektual, kaum sufi gnostik berbicara tentang para
nabi dan tugas mereka, tentang berpencarnya yang banyak dari yang satu,
tentang hubungan mahluk dengan Khaliknya, tentang struktur dunia,
tentang merasuknya Tuhan dalam jiwa sufi, dan sebagainya. Adapun pada
tingkat prakteknya metode yang dipakai beragam dan seringkali mengeras
menjadi kemahiran, berlama-lama menyiksa diri, zikr (menyerukan
berulang-ulang nama Allah ), sama’ ( mendengarkan music). Usaha untuk
pemanunggalan dengan Tuhan itu disertai dengan kemahiran dalam
penguasaan atas alam, atas sifat manusiawi si sufi, tetapi juga atas sifat
lahiriyah sesuai dengan saling pengaruh secara gnostik antara
makrokosmos dan mikrokosmos.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa jurusan yang ke dua
inilah yang justeru berkembang dengan pesat dalam masyarakat.
Persaudaraan keagamaan lebih menekankan pada ketukan Tuhan ke hati,
daripada renungan-renungan gnostik. Hal ini menjadikan tersebarnya secara
hebat orde-orde atau lembaga-lembaga persaudaraan di seluruh dunia
23 Sri Muryanto, Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti, (Yogyakarta: Kreasi wacana,
2009, p. 21.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...
198
Islam. Apa yang diusahakan adalah mengetuk hati manusia, mengajaknya
mendekatkan diri dengan Tuhan setulus-tulusnya. Penyebaran ini
ditunjang oleh kemudahan dari ‘misionaris’ Islam dalam menerima para
pemeluk baru. Apa yang mereka tuntut hanyalah keinginan masuk Islam,
pembacaan dengan sungguh-sungguh, dan pengakuan keimanan
(syahadah). Mereka menutup mata terhadap adat kebiasaan lama. Buah
liberalism inilah yang kemudian mengubah seluruh wajah Islam yang bisa
dirasakan selama beberapa abad. Orde-orde luar kota yang tersebar di
desa-desa lebih banyak menjadi sasaran pengaruh lokal. Tetapi juga ada
kelompok tertentu lembaga persaudaraan yang mempunyai cabangcabangnya di kota dan tetap sangat dekat dengan ajaran resmi dan cabangcabang di luar kota dengan sisa-sisa animisme yang masih nampak.24
G. Agama ideal
Idealnya, sebuah agama harus menekankan pada aspek lahir maupun
batin secara bersama-sama. Kesalahan penyebarluasan sufisme pada
kepercayaan local masyarakat ini mencerminkan adanya sebuah problem
pada empat tingkatan jalan mistik yang telah diperbincangkan secara
panjang lebar oleh Hamzah Fansuri dalam bukunya : Sharab Al-Ashikin (
minuman bagi para pecinta Tuhan), yang diantaranya dijelaskan bahwa
empat tingkatan mistik : syariat, tarekat, hakikat dan makrifat, adalah saling
bergantung, sebagaimana dikatakannya: 25
“Siapa yang memagari dirinya dengan syariat maka tidak akan pernah
terbujuk oleh Syaitan. Siapapun yang berpendapat bahwa syariat itu kurang
penting, atau siapapun yang merendahkannya, maka ia menjadi kafir,kita
memohon perlindungan Allah daripadanya: karena syariat tidak berbeda
dengan tarekat, tarekat tidak berbeda dengan hakekat, dan hakekat tidak
berbeda dengan makrifat. Ini seperti sebuah kapal. Syariat adalah
dindingnya, tarekat adalah geladaknya, hakekat adalah muatannya, dan
makrifat adalah keuntungannya.Jika dindingnya dibuang, kapal tersebut
akan tenggelam dagangan dan modalnya hilang selamanya, dan menurut
hukum hal ini berbahaya”.
Dengan demikian, bagaimanapun juga untuk menuju kepada insane
kamil rupanya keempat tahapan mistik itu tidak boleh dipisahkan satu
dengan lainnya atau mengambilnya hanya sebagian dan tidak sebagian
lainnya. Inilah kemungkinan yang dimaksud oleh Fazlur Rahman sebagai
terpecah belahnya Islam karena mengambil sebagian dari tingkatan mistik/
sufisme. Hal ini juga bisa kita lihat pada masa walisanga. Keberadaan
Beck dan Kaptein (redaktur), Pandangan Barat terhadap Literature, Hukum, Filosofi,
Teologi, dan Mistik Tradisi Islam, (Jakarta: INIS, 1988), p. 64-68.
25 Fauzan Naif dkk., Warna Islam dalam Mistisisme Jawa, (Yogyakarta: Lembaga
Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006), p. 79.
24
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...
199
mereka untuk tujuan penyebarluasan agama Islam melalui budaya local
memang sangat efektif. Upaya sinkretisme dengan budaya Hindu kala itu
dianggap sebuah strategi yang jitu untuk merangsang penerimaan
masyarakat. Namun di balik itu belum terbersit kalau pencampuran syariat
agama yang berbeda itu ternyata berjalan sampai dewasa ini dan sulit
untuk dihilangkan.
Pernyataan Fazlur Rahman dipertegas kembali oleh Esposito yang pada
dasarnya terjadi penyimpangan yang besar dalam ajaran konsep tasawuf. Tasawuf
menawarkan jalan menuju ketaatan, dan cinta pada Tuhan. Muslim yang baik
tidak hanya orang yang taat pada hukum Tuhan tetapi juga orang yang beriman
dan berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan berbagai cara
seperti bertafakur atau merasakan kehadiran Tuhan. Paduan antara tasawuf
dengan ketaatan mengubah tasawuf menjadi gerakan elite urban yang relative kecil
ke gerakan kerakyatan yang meluas yang masyarakatnya banyak terdiri dari
berbagai lapisan kelas social dan kelas pendidikan. Dari abad 12-14 persaudaraan
sufi diubah dari perkumpulan sukarela yang kecil menjadi persaudaraan yang
terorganisasi memiliki jaringan internasional pusat-pusat yang tersebar ke dunia
Islam.
Di Afrika dan India Tenggara, Islam terutama disebarkan oleh
persaudaraan-persaudaraan sufi dan pedagang dan bukan tentara Islam Tasawuf
membawa pesan Islam yang ajaran-ajaran mistiknya serta praktik-praktiknya
terbukti menarik perhatian banyak orang dan terbuka untuk berhubungan
dengan adat-istiadat serta tradisi agama setempat. Jika Islam yang resmi seringkali
menekankan pelaksanaan yang tepat atas hukum, maka tasawuf lebih
memberikan alternatif tradisi yang fleksibel dan terbuka untuk asimilasi dan
sintesis. Pengaruh-pengaruh luar yang diserap dari Kristen, neoplatonisme,
Hindhu dan Budha.
Namun demikian, yang lebih khas diantara doktrin-doktrin khusus sufisme
tentang kandungan kesadaran mistik adalah prinsip pengetahuan ma’rifah
(gnostik) dengan sifat kepastibenaran intuitifnya, yang berpagar hak istimewa akan
penuturan khusus yang tidak tersalahkan (infallibility). Tentu saja hal ini tidak akan
bisa diterima dan tidak akan diterima para ulama, mengingat sufisme gnostik ini
sudah melanggar apa yang disebut pada masa-masa sufisme kesalehan. Pada awal
sufisme ini, hanya memberi penekanan pada kemurnian kesadaran menghadapi
perbuatan-perbuatan lahiriyah. Kini kaum sufi mengklaim sebuah cara yang tidak
mungkin dikoreksi dalam memperoleh pengetahuan, yang dianggap kebal dari
sebuah kekeliruan. Lebih jauh lagi, kandungannya sama sekali berbeda dengan
pengetahuan intelektual. Keesaan tuhan diganti dengan “persatuan” Tuhan, yang
berdasarkan kata tauhid bahasa Arab berarti memandang sesuatu sebagai “satu”
maupun mempersatukan sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Kaum ulama menentang klaim ini tidak hanya karena ia mengancam
sekumpulan doktrin yang telah mereka kembangkan dengan susah payah selama
4 abad, tetapi lebih mendasar lagi karena sufi ma’rifah tidak terbuka terhadap
pengecekan dan control. Definisinya yang demikian dalam doktrinnya menjadi
tidak mungkin dikoreksi lagi. Pernyataan-pernyataan tersebut dibuat dalam
keadaan “mabuk” oleh karenanya tidak dapat dianggap valid. Hal ini berarti
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
200
Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...
menutup penyelidikan kritis tentang cara teratur memperoleh pengetahuan.
Doktrin sufi yang diungkapkan karena “kemabukan” cinta pada Tuhan justeru
pada gilirannya menjadi sebuah bomerang terhadap ajaran sufisme sendiri.
H. Kesimpulan
Kajian kritis Fazlur Rahman bahwa sufisme melakukan beberapa
penyimpangan dalam pelaksanaan keberagamaan bisa dibuktikan dengan
kondisi yang terjadi pada berbagai aliran kepercayaan/kebatinan di
Indonesia. Kompromi terhadap kebudayaan local yang menafikan syariah
membawa konsekuensi sendiri bagi eksistensi sufisme dalam pencapaian
derajat spiritual tertinggi dalam beragama. Resiko fatal terhadap
pelanggaran syariah agama terlihat ketika mereka yang tercatat menjadi
pengikut aliran kebatinan tetap melaksanakan kebiasaan agama hindu ( mis
: slametan kematian ) meskipun mereka mengaku dirinya Islam. Doktrin
‘Manunggaling kawulo gusti’ tidak lain adalah refleksi dari doktrin monistik
kesatuan wujud yang didengung-dengungkan oleh sufisme. Akhirnya tujuan
awal sufisme dengan doktrinnya dalam mencapai insan kamil menjadi bias
oleh metode penyebarannnya yang keliru di beberapa Negara, termasuk di
Indonesia.
Bagaimanapun juga sebuah mistis tidak dapat dipisahkan dari agama.
Sufisme dengan doktrin monistiknya akan mampu merasuk dalam agama
tanpa meninggalkan konsep syari’ah di dalamnya jika diimplementasikan
dengan tahapan-tahapan yang benar. Tentu saja aspek politis untuk
mencapai pengikut yang sebanyak-banyaknya harus dikesampingkan untuk
tujuan pencapaian insane kamil. Hal ini menjadi syarat mutlak, sebab
mistisisme/sufisme tidak berbicara tentang kuantitas pemeluk agama
Islam tetapi lebih kepada kualitas beragama dari seorang muslim dalam
mencapai penyatuan dengan Tuhannya. Sufisme harus dikembalikan lagi
kepada konsep awal yaitu kepada sufisme intelektual bukan persaudaraan
keagamaan yang menyebabkan bias tujuan dalam pencapaian hakikat
kebenaran beragama.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...
201
Daftar Pustaka
Beck dan Kaptein (redaktur), Pandangan Barat terhadap Literature, Hukum,
Filosofi, Teologi, dan Mistik Tradisi Islam, Jakarta: INIS, 1988
Buletin Galih edisi 2007.
Damami, Muhammad, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, Yogyakarta,
LESFI, 2000.
Endraswara, Suwardi, Mistik Kejawen, Yogyakarta: Narasi, 2006.
Http://sonysikumbang.wordpress.com/2010/10/04/beberapa-konsepwali-songo.
Mulder, Niels, Mistisisme Jawa, Yogyakarta, LKIS, 2001.
Mulders, Niels, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, Jakarta:
Gramedia, 1984.
Mulyana, Dedy, Komunikasi Multikultiral, (Bandung: Remadja Rosdakarya,
2005.
Muryanto, Sri, Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti, Yogyakarta: Kreasi
wacana, 2009.
Naif, Fauzan dkk., Warna Islam dalam Mistisisme Jawa, Yogyakarta: Lembaga
Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006.
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI press,
1986.
Nasution, Yunan, Islam dan Problema-Problema Masyarakat, Jakarta, Bulan
Bintang, 1988.
Nicholson, Reinold A., Mistik dalam Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 2000.
Simuh, Sufisme Jawa transformasi tasawuf Islam ke mistik Jawa, Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 1995.
Subagya, Rahmat, Kepercayaan, Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan : Kepercayaan
dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1990.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
202
Suciati: Implementasi Sufisme dalam Agama...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Peranan Baitul Maal Wa Tamwil dalam Rangka Peningkatan
Daya Saing Usaha-Usaha Kecil dan Menengah
di Daerah Istimewa Yogyakarta
Oleh: Sunarsih 
Abstract
Small, medium and micro enterprises in Indonesia, more than large employers.
Small, medium and micro enterprises have a major contribution to the national income
of Indonesia. However, Small, medium and micro enterprises have the classic problem of
the issue of capital and the adiministrasi to access financing at big banks. In
Indonesia, from 1984 up BMT. BMT is a cooperative legal entity that is expected to
resolve the problems related to Small, medium and micro enterprises capital fulfillment.
This research examines how the role of BMT to improving the competitiveness of
existing Small, medium and micro enterprises. The study uses primary data analysis
tools and analyzed by paired sample t test and descriptive analysis. The results of this
study are BMT proven enhance competitiveness of Small, medium and micro
enterprises, to see a significant increase in revenue between Small, medium and micro
enterprises before taking and after using the murabaha financing.
Kay word: small, medium and micro enterprises and BMT
Abstrak
UMKM di Indonesia lebih banyak dibanding pengusaha besar. UMKM
mempunyai kontribusi yang besar terhadap pendapatan nasional Indonesia. Namun
UMKM memiliki masalah klasik yaitu masalah permodalan dan proses
adiministrasi untuk mengakses pembiayaan di perbankan besar. Di Indonesia, mulai
1984 berdiri BMT. BMT ini berbadan hukum koperasi sehingga diharapkan dapat
mengatasi permasalahan UMKM terkait pemenuhan permodalan. Tulisan ini ingin
mengupas bagaimana peran BMT terhadap peningkatan daya saing UMKM yang
ada. Tulisan ini menggunakan data primer dan dianalisis dengan alat analisis paired
sample t test serta analisis diskriptif. Hasil dari tulisan ini adalah BMT tebukti
meningkatkan daya saing UMKM, dengan dilihat adanya peningkatan pendapatan
yang signifikan antara para pelaku UMKM sebelum mengambil pembiayaan
murabahah dan setelah menggunakan pembiayaan murabahah.
Kata kunci: usaha-usaha kecil, menengah dan peran BMT.
A. Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang sedang berkembang, sehingga di
Indonesia jumlah pengusaha kecil lebih banyak dibandingkan pengusaha

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan kalijaga Yogyakarta. E-mail:
[email protected]
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
204
besar. Jumlah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia
pada tahun 2011 bertambah 15-20 persen. Secara keseluruhan, jumlahnya
mencapai 52 juta UMKM. UMKM merupakan penyumbang yang lebih
besar terhadap pendapatan nasional dibandingkan pengusaha besar. Pada
tahun 2011 UMKM telah menyumbang 56-60 persen produk domestik
bruto Indonesia. UMKM telah membuktikan dirinya tahan terhadap krisis
ekonomi yang terjadi di Indonesia sekitar tahun 1997/1998. Hal ini
membuktikan bahwa UMKM telah menjadi backbone dan buffer zone yang
menyelamatkan negara dari keterpurukan ekonomi.1
Baitul Maal Wat Tamwil merupakan salah satu jenis badan koperasi
yang merupakan lembaga intermediasi antara pemilik sumber dana dan
pihak yang memerlukan dana, dengan prinsip operasionalnya sesuai syariat
Islam. Berdirinya Baitul Maal Wat Tamwil ini akan menimbulkan
kegairahan berusaha bagi pengusaha, karena BMT ini akan memberikan
pembiayaan bagi pengusaha yang membutuhkan suntikan dana untuk
meningkatkan volume usaha dan produktifitasnya. Market share BMT
terutama adalah usaha-usaha mikro, kecil dan menengah, sehingga
memegang fungsi strategis dalam rangka memajukan pengenbangan usaha
mikro, kecil, dan menengah, serta pertumbuhan ekonomi negara dimana
usaha mikro, kecil dan menengah merupakan usaha yang mendominasi di
Indonesia ini.
Sejak berdiri pada tahun 2005 hingga 2010 saja, Lembaga Keuangan
Mikro Syariah (LKMS) atau juga dikenal Baitul Maal Wat Tamwil (BMT)
telah menyalurkan pembiayaan kepada sekitar 3 juta nasabah mikro.
Pertumbuhan LKMS dari tahun ke tahun terus meningkat. Secara
kelembagaan, sekarang sudah ada sekitar 4.000 LKMS/BMT dengan aset
aset yang dikelola sekitar Rp 3 triliun rupiah. LKMS/BMT itu umumnya
berbadan hukum koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) atau koperasi
simpan pinjam syariah (KSP).2
Untuk mengetahui berbagai kondisi riil apakah BMT yang ada saat
ini telah mampu meningkatkan daya saing UMKM yang menjadi
anggotanya, maka dilakukan kajian yang mendalam tentang peran BMT
dalam meningkatkan pendapatan para anggotanya. Penelitian ini akan
dilakukan dengan mengambil responden pada para anggotanya yang
mengambil pembiayaan murabahah di BMT Bina Ihsanul Fikri (BIF).
Alasan pemilihan subyek tersebut adalah karena BMT tersebut adalah
BMT yang sudah besar di Yogyakarta.
Lokasi kajian dalam penelitian ini meliputi wilayah yang ada di
Kodya Yogyakarta. Responden penelitian adalah para stakeholder di setiap
wilayah penelitian sehingga gambaran mengenai persepsi mereka dapat
1
2
http://Kompas.com, diakses 26 Agustus 2011
http://Kompas.com, diakses 20 Juli 2011
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
205
mewakili keadaan populasi pada umumnya. Responden penelitian di
wilayah sampel terdiri dari UMKM di lingkungan sentra, berjumlah antara
62 unit, terdiri dari UMKM yang melakukan usaha perdagangan.
Penelitian ini akan mengungkapkan persepsi stakeholder mengenai
peningkatan pemberdayaan UMKM. Untuk itu variabel penelitian meliputi
permodalan, usaha, persaingan dan pendapatan. Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer berupa data hasil
pengamatan lapang dari UMKM yang bersifat kuantitatif di wilayah
sampel dianalisis dengan uji paired sample t test dan analisis diskriptif untuk
mengetahui peran BMT dalam peningkatan pemberdayaan usaha mikro,
kecil dan menengah. Paired sample t test adalah analisis perbandingan untuk
dua sampel yang berpasangan. Dua sampel yang berpasangan diartikan
sebagai sebuah sampel dengan subjek yang sama namun mengalami dua
perlakuan atau pengukuran yang berbeda.3
B. Selayang Pandang Baitul Maal Wa Tanwil
BMT (Baitul Maal wa at-Tamwil) merupakan lembaga keuangan
mikro yang beroperasi dengan prinsip bagi hasil dengan tujuan
menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil dalam rangka
meningkatkan derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir
miskin.4
BMT bertujuan untuk meningkatkan kualitas usaha ekonomi untuk
kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.5
Dengan tujuan tersebut maka BMT harus berorientasi pada upaya
peningkatan kesejahteraan para anggota dan masyarakat. Anggota harus
diberdayakan supaya dapat t mungkin dapat mandiri. Dengan menjadi
anggota, diharapkan masyarakat dapat meningkatkan taraf hidup melalui
peningkatan usaha. Pemberian modal pinjaman sedapat mungkin
memandirikan ekonomi para peminjam.
BMT bersifat usaha bisnis, mandiri, ditumbuhkembangkan secara
swadaya dan dikelola secara profesional sehingga mencapai tingkat
efisiensi tertinggi. Aspek bisnis BMT adalah kunci sukses mengembangkan
BMT, yang diharapkan mampu memberikan bagi hasil yang kompetitif
kepada para deposannya dan mampu meningkatkan kesejahteraan para
pengelolanya sejajar dengan lembaga lain.
Singgih Santoso, SPSS Versi 10: Mengolah Data Statistik Secara Profesional,
PT. Gramedia Jakarta, 2002, p. 222-223.
4 M. Amin Azis, Tata Cara Pendirian BMT, pkes publishing,2008, hal. 2
5 Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal wa Tamwil, UII Press, 2002, p.
128. Lihat juga, Muhammad Ridwan, Sistem dan Prosedur Prndirian Baitul Mal wat
Tamwil, Citra Media, 2006, p. 5
3
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
206
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
BMT memiliki dua fungsi mendasar, yaitu (1) Baitu at-Tamwil (rumah
pengembangan harta), BMT pada fungsi ini melakukan kegiatan usaha
produktif dan investasi untuk meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha
mikro dan kecil serta pemberdayaan masyarakat. Bentuk kegiatan tersebut
dilakukan
dengan mendorong kegiatan menabung, menunjang
pembiayaan kegiatan ekonomi dan melakukan berbagai bentuk investasi
untuk memperoleh keuntungan. Fungsi kedua, yaitu, (2) Baitul Maal
(rumah harta). BMT pada fungsi ini adalah; menerima titipan dana zakat,
infak, dan sedekah serta mengoptimalkan distribusinya kepada mereka
yang berhak menerima sesuai dengan ketentuan agaman dan amanah yang
diemban BMT6
Dalam rangka mencapai tujuannya, BMT berfungsi:7
a. Mengidentifikasi, memobilisasi, mengorganisasi, mendorong dan
mengembangkan potensi ekonomi anggota, kelompok anggota
muamalat (Pokusma), dan daerah kerjanya.
b. Meningkatkan kualitas SDM anggota dan Pokusma menjadi lebih
professional dan Islami sehingga semakin utuh dan tangguh dalam
menghadapi persaingan global.
c. Menggalang dan memobilisasi potensi masyarakat dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan anggota.
d. Menjadi perantara keuangan (financial intermediary) antara agniya
sebagai shohibul maal dengan dhu’afa sebagai mudharib, terutama
untuk dana-dana sosial seperti zakat, infaq, sedekah, wakaf, hibah, dan
lain-lain.
e. Menjadi perantara keuangan (financial intermediary) antara pemilik
dana (shohibul maal), baik sebagai pemodal maupun penyimpan
6 Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta) dimaksudkan sebagai Lembaga Amil
Zakat (LAZ) sebagaimana kemudian muncul UU No. 38/1999 yaitu menerima titipan
dana Zakat, Infaq dan Shadaqah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan
peraturan dan amanahnya. Istilah Baitul Maal telah ada dan tumbuh sejak zaman
Rasulullah SAW, meskipun saat itu belum terbentuk suatu lembaga yang permanen dan
terpisah. Kelembagaan Baitul Maal secara mandiri sebagai lembaga ekonomi berdiri pada
masa khalifah Umar bin Khathab atas usulan seorang ahli fiqh bernama,WalidbinHisyam. Sejak masa tersebut dan masa kejayaan Islam selanjutnya (Dinasti Abbasiyah
dan Umayyah), Baitul Maal telah menjadi institusi yang cukup vital bagi kehidupan
negara, Ketika itu Baitul Maal telah menangani bermacam-macam urusan mulai dari
penarikan zakat (juga pajak) ghonimah sampai menbangun fasilitas umum seperti jalan,
jembatan, menggaji tentara, pejabat negara serta membangun fasilitas umum lainnya
(Ensiklopedia Islam, jilid 2 hal. 222-224). Bila dipersamakan dengan saat ini, maka Baitul
Maal ketika zaman sejarah Islam yang lalu dapat dikatakan menjalankan fungsi sebagai
Departemen Keuangan, Ditjend Pajak, Departemen Sosial, Departemen Pekerjaan
Umum/ Kimpraswil, dan lain sebagainya.
7 Ibid., p. 131
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
a.
b.
c.
d.
207
dengan pengguna dana (mudharib) untuk pengembangan usaha
produktif.
Sedangkan ciri-ciri Utama BMT adalah sebagai berikut:8
Berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan pemanfaatan
ekonomi paling banyak untuk anggota dan masyarakat.
Bukan lembaga sosial, tetapi bermanfaat untuk mengefektifkan
penggunaan dana-dana sosial untuk kesejahteraan orang banyak serta
dapat menyelenggarakan kegitan pendidikan untuk memperdayakan
anggotanya dalam rangka menunjang ekonomi.
Ditumbuhkan dari bawah berlandaskan peran serta masyarakat
sekitarnya.
Milik bersama masyarakat kecil dari lingkungan BMT itu sendiri, bukan
milik perseorangan atau orang dari luar masyarakat. Atas dasar ini BMT
tidak dapat berbadan hukum perseroan.
C. Produk-produk BMT
Sistem operasional yang dijalankan oleh BMT adalah; bagi hasil, jual
beli, non profit dan jasa. Fungsi BMT sebagaimana fungsi perbankan
syariah yaitu sebagai penghimpun dana, serta penyalur jasa. Perbankan
memberikan pelayanan jasa keuangan terhadap nasabah sedangkan BMT
sebagaimana koperasi memberikan pelayanan kepada para anggota yang
telah memenuhi persyaratan.
1. Produk Penghimpunan Dana
Penghimpunan dana oleh BMT diperoleh melalui simpanan, yaitu
dana yang dipercayakan oleh nasabah kepada BMT untuk disalurkan ke
sektor produktif dalam bentuk pembiayaan. Sumber-sumber dana BMT
berasal dari simpanan para anggota, pinjaman atau sumbangan dari pihak
ketiga dan dari SHU yang dicadangkan. Prinsip utama dalam
penghimpunan dana ini adalah kepercayaan, artinya kemauan masyarakat
untuk menaruh dananya pada BMT sangat dipengaruhi oleh tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap BMT itu sendiri. Menurut Muhammad
Ridwan, karena BMT pada prinsipnya merupakan lembaga amanah (trust),
sehingga setiap insan BMT harus dapat menunjukkan sikap amanah
tersebut.
Prinsip simpanan di BMT menganut asas wadi’ah dan mudharabah.9
a. Prinsip Wadi’ah
Wadi’ah berarti titipan. Simpanan Wadi’ah merupakan akad penitipan
barang atau uang pada BMT. BMT mempunyai kewajiban menjaga dan
merawat barang tersebut dengan baik serta mengembalikan saat penitip
8
9
Ibid., p. 132
Ibid., p.150
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
208
(muwadi’) menghendakinya. Wadi’ah dibagi menjadi dua, yaitu: 1.
Wadi’ah Amanah adalah penitipan barang atau uang tetapi BMT tidak
memiliki hak untuk mendayagunakan titipan tersebut. BMT dapat
mensyaratkan adanya jasa (fee) kepada penitip (muwadi’) sebagai
imbalan atas pengamanan, pemeliharaan dan administrasinya. Wadi’ah
amanah sering berlaku pada bank dengan jenis produknya kotak
penyimpanan (save deposit box); 2. Wadi’ah Yad Dhamanah adalah
akad penitipan barang atau uang (umumnya berbentuk uang) kepada
BMT, namun BMT memiliki hak ntuk mendayagunakan dana tersebut.
Deposan mendapatkan imbalan berupa bonus yang besarnya
tergantung dengan kebijakan manajemen BMT. Namun produk ini
kurang berkembang karena deposan menghendaki adanya bagi hasil
yang layak.
b. Prinsip Mudharabah
Mudharabah merupakan akad kerja sama modal dari pemilik dana
(shohibul maal) dengan pengelola dana atau pengusaha (mudharib) atas
dasar bagi hasil. Dalam hal ini, BMT berfungsi sebagai mudharib dan
penyimpan dana sebagai shohibul maal. Menurut Ridwan10 ada ketentuan
yang berlaku untuk sistem mudharabah yaitu :
1). Modal
- Harus diserahkan secara tunai.
- Dinyatakan dalam nilai nominal yang jelas.
- Langsung diserahkan kepada mudharib untuk segera memulai
usaha.
2). Pembagian Hasil
- Nisbah bagi hasil harus disepakati diawal perjanjian.
- Pembagian hasilnya dapat dilakukan saat mudharib telah
mengembalikan seluruh modalnya atau sesuai dengan periode
tertentu yang disepakati.
3). Resiko
- Bila terjadi kerugian usaha, maka semua kerugian akan ditanggung
oleh shohibul maal, dan mudharib tidak akan mendapatkan
keuntungan usaha.
- Untuk memperkecil resiko, shohibul maal dapat mensyaratkan
batasan-batasan tertentu kepada mudharib.
2. Produk-produk Pembiayaan BMT
Menurut pemanfaatannya, pembiayaan BMT dapat dibagi menjadi
dua yakni pembiayaan investasi dan pembiayaan modal kerja. Pembiayaan
Investasi adalah pembiayaan yang digunakan untuk pemenuhan barang10
Ibid., p 152
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
209
barang permodalan (capital goods) serta fasilitas-fasilitas lain yang erat
hubungannya dengan hal tersebut. Sementara Pembiayaan Modal Kerja
adalah pembiayaan yang ditujukan untuk pemenuhan, peningkatan
produksi, dalam arti yang luas dan menyangkut semua sektor ekonomi,
perdagangan dalam arti yang luas maupun penyediaan jasa.
Sedangkan menurut sifatnya, pembiayaan juga dibagi menjadi dua,
yakni pembiayaan produktif dan pembiayaan konsumtif. Pembiayaan
Produktif yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
produksi dalam arti yang sangat luas seperti pemenuhan kebutuhan modal
untuk meningkatkan volume penjualan dan produksi, pertanian,
perkebunan, maupun jasa. Sementara Pembiayaan Konsumtif yaitu
pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, baik
yang digunakan sesaat maupun dalam jangka waktu yang relatif panjang.
Agar dapat memaksimalkan pengelolaan dana, maka manajemen
BMT harus memperhatikan tiga aspek penting dalam pembiayaan yaitu: 11
1. Aman, artinya keyakinan bahwa dana yang telah dilempar dapat ditarik
kembali sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Untuk menciptakan
kondisi tersebut, sebelum dilakukan pencairan pembiaayan, BMT harus
melakukan survey usaha telebih dahulu untuk memastikan bahwa usaha
yang dibiayai layak. 2, Lancar yaitu keyakinan bahwa dana BMT dapat
berputar dengan lancar dan cepat. Semakin cepat dan lancar perputaran
dananya maka pengembangan BMT akan semakin baik. 3,
Menguntungkan adalah perhitungan atau proyeksi yang tepat, untuk
memastikan bahwa dana yang dilempar akan menghasilkan pendapatan.
Semakin tepat dalam memproyeksi usaha, kemungkinan besar gagal dapat
diminimalisasi.
Pembiayaan pada intinya berarti I Believe, I Trust. Pembiayaan yang
berarti kepercayaan, berarti lembaga pembiayaan selaku shahibul mal
menaruh kepercayaan kepada seseorang untuk melaksanakan amanah yang
diberikan. Dana tersebut harus digunakan dengan benar, adil, dan harus
disertai dengan ikatan dan syarat-syarat yang jelas, dan saling
menguntungkan bagi kedua belah pihak.12
Dalam setiap pembiayaan pada lembaga keuangan, ada tiga
pihak/pelaku yang terlibat yaitu: lembaga keuanga, nasabah/customer,
dan negara selaku regulator. Dalam perbankan sayariah, selaku regulator
selain negara dan bank sentral, juga Dewan Syariah Nasional (DSN). DSN
mengawasi dan menguluarkan fatwa berkaitan dengan kepatuhan atas
aspek syariahnya.
Ibid., p 164.
Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Islamic Financial Management:
Teori, Konsep, dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasabah,
Praktisi, dan Mahasiswa, Rajawali Press, Edisi 1, 2008. p. 3.
11
12
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
210
Setiap manusia ingin dapat memenuhi kebutuhan hidup dan
meningkatkankesejahterahaannnya. Hal ini bisa dicapai dengan cara
meningkatkan pendapatannya. Hal ini mendorong manusia untuk
melakukan kegiatan-kegiatan untuk eksistensi dirinya baik sebagai individu
maupun sebagai anggota masyarakat. Tindakan-tindakan ini dilakukan
karena seiring terdorong oleh kuatnya minat dan keinginan manusia untuk
memperhatikan hidupnya, di mana dalam hal ini terdapat persoalan
bagaimana usaha yang diinginkannya.Untuk mendapatkan keinginan
tersebut diperoleh suatu pendapatan sebagai penunjang.
Suatu pendapatan usaha tergantung dari besar kecilnya modal yang
digunakan. Jika modal besar maka produk yang dihasilkan juga besar
sehingga pendapatannya pun meningkat. Begitu juga sebaliknya jika modal
yang digunakan kecil maka produk yang dihasilkan hanya sedikit dan
pendapatan yang diperoleh juga sedikit. Untuk itu diperlukan pembiayaan
umtuk meningkatkan pendapatan pengusaha kecil.
Peningkatan usaha kecil kunci utamanya adalah modal. Bagi usaha
kecil, sering dijumpai pemerolehan modal diiringi dengan membayar
bunga yang cukup tinggi. Sehingga pinjaman menjadi beban yang sewaktuwaktu dapat menjadi boomerang bila terjadi kemacetan angsuran. Pada
umumnya pedagang kecil dan industri rumah tangga mempunyai margin
(keuntungan) atau pendapatan yang cukup tinggi namun tidak bisa lepas
dari keterbatasan modal. Untuk itu perlu adanya bantuan dalam
pembiayaan.
Dengan demikian pembiayaan bagi nasabah berfungsi sebagai salah
satu potensi untuk mengembangkan usaha, dapat meningkatkan kinerja
perusahaan, dan sebagai salah satu alternatif pembiayaan perusahaan.13
D.Usaha Mikro, Kecil atau Menengah
Menurut UU No. 20 Tahun 2008 pasal 1 menjelaskan tentang usaha
mikro, kecil, dan menengah. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik
orang perorangan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria
Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.14 Pada pasal
6 dalam UU No. 20 Tahun 2008 mengatur tentang kriteria usaha mikro
sebagai berikut:15
a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
Baca Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Islamic Financial
Management: Teori, Konsep, dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan,
Nasabah, Praktisi, dan Mahasiswa, Rajawali Press, Edisi 1, 2008. P. 6.
14 UU N0. 20 Tahun 2008, p 2
15 Ibid., p. 5
13
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
211
b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).
Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,
yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki,
dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari
Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. 16Pada pasal 6 UU No.
20 Tahun 2008 diterangkan bahwa usaha kecil memiliki kriteria sebagai
berikut:17
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. Memiliki memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri
sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang
bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki,
dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung
dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau
hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini.18
Pada pasal 6 dijelaskan kriteria usaha menengah adalah:19
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua
milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
Keunggulan dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
menurut Partomo dan Rachman antara lain:20
1. Inovasi dalam teknologi yang dengan mudah terjadi dalam
pengembangan produk.
2. Hubungan kemanusiaan yang akrab di dalam perusahaan kecil.
3. Fleksibilitas dan kemampuan menyesuaikan diri terhadap kondisi pasar
yang berubah dengan cepat dibandingkan dengan perusahaan berskala
besar yang pada umumnya birokratis
Ibid., p. 2
Ibid., p. 5-6
18 Ibid., p. 2
19 Ibid., p. 6
20 http://tariles41.blogspot.com/2010, diakses 10 September 2012
16
17
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
212
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
4. Terdapat dinamisme manajerial dan peranan kewirausahaan.
Sedangkan kelemahan dari UMKM adalah :21
1. Kelemahan dalam mengakses pasar. Kelemahan akses pasar selama ini
merupakan kelemahan yang dialami hampir sebagian besar UMKM di
tanah air. Hal ini karena mereka rata-rata kurang memiliki informasi
yang lengkap dan rinci, terkait pasar mana saja yang bisa ditembus oleh
produk yang dihasilkan.
2. Kelemahan dalam akses teknologi. Akses teknologi merupakan salah
satu kelemahan sektor UMKM. Kondisi ini tentu merupakan salah satu
hambatan, demi memajukan sektor UMKM. Padahal jika produk
UMKM sudah mendapat sentuhan teknologi, tentu akan mudah
diterima pasar.
3. Kelemahan dalam akses modal. Akses modal juga merupakan
kelemahan UMKM.
4. Kelemahan dalam manajemen keuangan. Kalangan UMKM rata-rata
tidak memiliki pola majemen keuangan yang rapi. Sehingga kadang sulit
membedakan antara keuangan perusahaan dan keuangan rumah tangga.
5. Kelemahan SDM. SDM yang mendukung UMKM rata-rata memang
relatif kurang handal. Dalam kondisi inilah pemerintah, perguruan
tinggi atau lembaga sosial yang lain hendaknya bisa ikut berperan
meningkatkan SDM yang mendukung UMKM.
Ada beberapa hal yang menjadi kendala bagi perkembangan
UMKM. Pertama, sesulitan modal dan aksesnya. Bank masih
memberlakukan suku bunga tinggi. Namun beberapa program
permodalan yang digagas pemerintah seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR)
cukup menghibur, masalahnya seberapa besar KUR mampu menjangkau
UMKM yang ada.
Kedua, soal prosedur administrasi perbankan dan ketiadaan agunan.
Namun hal ini telah terbantu dengan adanya beberapa produk Kredit
Tanpa Agunan yang dimiliki perbankan dan Pegadaian, juga adanya dana
PKBL dari BUMN. Meski demikian keberpihakan melalui kebijakan
jangka panjang menjadi sangat berarti. Data pada tahun 2010 ini memberi
gambaran bahwa masih sangat banyak pengusaha UMKM yang belum
tersentuh oleh perbankan dan jasa keuangan lainnya, yaitu hanya sebesar
11,78 persen saja yang mendapatkan permodalan dari perbankan.
Uniknya, di Indonesia ini lebih dari 51 persen usaha tidak memiliki badan
hukum. Perusahaan atau usaha yang memiliki badan hukum hanya
21 Adindaa, Peran UMKM dalam Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia, http://adindaa08.student.ipb.ac.id, diakses 23 September 2011.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
213
sebanyak 6 persen, sedangkan 43 persen lainnya tidak dapat dipertanyakan
keadaan badan hukumnya.22
Dari hal tersebut di atas sangat diperlukan pemberian pembiayaan
bagi UMKM yang berguna dalam peningkatan pendapatannya.
Pembiayaan yang diberikan sebagai modal usaha bukan berasal dari
rentenir yang sekarang ini masih dijumpai di daerah pedesaan. Bukan
membantu pengusaha kecil melainkan menghambat pengembangan usaha
mereka akibat bunga yang tinggi. Pembiayaan yang berasal dari BMT
diharapkan mendorong pengusaha kecil untuk dapat meningkatkan
produksinya sehingga meningkatkan pendapatan dan mampu bersaing
dengan pengusaha lain.
E. Problematika BMT dan Analisis Statistik
Obyek penelitian ini adalah seluruh anggota BMT BIF yang masih
aktif menggunakan pembiayaan murabahah per-Oktober 2010. Sampel yang
diambil adalah sebanyak 5% dari angka populasi 1247 orang yakni
sebanyak 62 orang responden dengan cara kuesioner, wawancara, dan
observasi. Kuesioner dan wawancara dilakukan secara bersamaan karena
untuk meminimalisir risiko peneliti seperti tidak dikembalikannya
kuesioner atau angket yang diberi peneliti kepada para responden. Adapun
gambaran umum responden adalah:
a. Jenis Kelamin Responden
Tabel 1
Daftar Jenis Kelamin yang Terpilih sebagai Sampel
Jenis Kelamin
Jumlah
Pria
17
Wanita
45
Jumlah
62
Sumber: Data tahun 2011 yang diolah
Prosentase
27%
73%
100%
Data tersebut merupakan penggambaran proporsi responden
pria dan wanita yang menggunakan pembiayaan murabahah pada BMT
BIF Gedong Kuning. Hasil prosentase yang diperoleh untuk pria 27%
dan wanita 73%. Hal ini menunjukkan bahwa prosentase wanita lebih
dominan dibandingkan pria karena kebanyakan para responden
beralasan ingin membantu perekonomian keluarga khususnya suami.
22
Sri
Hartini,
UMKM
Indonesia
Mengapa
dan
Bagaimana,
http://www.majalahwk.com/artikel-artikel/info-usaha/196-edisi-majalah.html, diakses
23 September 2011.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
214
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
Selain itu, alasan lainnya adalah lebih mengertinya kaum wanita dalam
hal pemenuhan kebutuhan harian rumah tangga, jadi suatu hal wajar
jika pedagang di pasar tradisional lebih dominan kaum wanita
dibanding kaum pria.
b. Tingkat Usia Responden
Tabel 2
Daftar Tingkat Usia yang Terpilih sebagai Sampel
Usia
Jumlah
Prosentase
≤ 25 tahun
25 - 40
tahun
22
35%
40 - 55
tahun
30
49%
≥ 55 tahun
10
16%
Jumlah
62
100%
Sumber: Data tahun 2011 yang diolah
Dari perolehan kategori usia ditunjukkan bahwa mayoritas
responden yang menggunakan pembiayaan murabahah berada pada usia
40-55 tahun sejumlah 30 orang atau 49%. Usia 25-40 tahun berada
pada urutan kedua yakni sejumlah 22 orang atau 35%. Usia
≥ 55
tahun berada pada urutan ketiga yakni sejumlah 10 orang atau 16%.
Dapat diartikan bahwasannya mayoritas pedagang yang berada di pasar
tradisional pada usia paruh baya bukan pada usia produktif. Hal ini
disebabkan lamanya dalam berdagang dengan alasan berawal dari
membantu ekonomi keluarga dan pembiayaan murabahah digunakan
untuk memperlancar usaha dagang dalam memperlebar atau
menambah dagangan (kulakan). Pada usia 25-40 tahun, pembiayaan
murabahah digunakan untuk tambahan modal serta sebagai penopang
kebutuhan keluarga seperti biaya sekolah anak. Untuk usia ≥ 55 tahun,
pembiayaan digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
c. Pendidikan Terakhir Responden
Tabel 3
Daftar Pendidikan Terakhir yang Terpilih sebagai Sampel
Pendidikan
Tidak
Sekolah
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Jumlah
Prosentase
2
3%
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
215
SD
24
39%
SMP
12
19%
SMA
24
39%
Jumlah
62
100%
Sumber: Data tahun 2011 yang diolah
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa mayoritas pendidikan
terakhir adalah SD dan SMA yakni sebanyak 24 orang atau 39%, SMP
12 orang atau 19%, dan yang tidak sekolah sebanyak 2 orang atau 3%.
Banyaknya anggota pada tingkatan SD dikarenakan mereka lebih
mementingkan penghasilan cepat dengan alasan membantu keuangan
keluarga. Pada penggunaan murabahah, responden atau anggota yang
hanya berpendidikan sebatas SD, murabahah digunakan untuk modal
dan konsumsi. Bagi mereka, perputaran keuangan cepat sangat perlu
demi melangsungkan kehidupannya sehari-hari. Sedangkan pada
tingkatan lulusan SMA, berdagang merupakan lahan usaha pribadi jadi,
pembiayaan murabahah digunakan sebagai penambahan modal pada saat
dana tidak tercukupi dan perputaran uang diambil dari hasil harian
mereka dengan mengurangi seluruh biaya-biaya yang nantinya sisa dari
biaya-biaya tersebut dapat menjadi pemutaran dagang dan biaya hidup
sehari-hari.
Dengan kata lain, reponden yang berpendidikan akhir SMA
lebih memiliki manajemen yang bagus dibandingkan dengan responden
yang pendidikannya ada pada taraf tingkat SD. Pada tingkatan
pendidikan anggota yang tidak sekolah dan SMP kurang lebih memiliki
pendapat yang sama dengan anggota berpendidikan tingkat SD, dimana
pembiayaan murabahah sebagian digunakan untuk penambahan modal
dan sebagian lagi untuk pemenuhan kebutuhan Rumah Tangga (RT).
Hal ini tampak jelas bahwasannya pendidikan memiliki peran penting
dalam pemaksimalan dana melalui pembiayaan murabahah.
d. Pendidikan Non Formal
Tabel 4.4
Daftar Pekerjaan yang Terpilih sebagai Sampel
Pekerjaan
Pelatihan
kewirausahaan
Kursus ketrampilan
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Jumlah
Prosentase
1
1,6%
0
10
216
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
Seminar
Kewirausahaan
0
0%
Lainnya
61
98.4%
Jumlah
62
100%
Sumber: Data tahun 2011 yang diolah
Tabel di atas terlihat bahwa 1,6% atau 1 orang yang menjadi
sampel menyatakan pernah mendapat pelatihan kewirausahaan. Sedang
sisanya 61 orang mendapatkan pelatihan yang lainnya.
e. Pekerjaan Responden
Tabel 5
Daftar Pekerjaan yang Terpilih sebagai Sampel
Pekerjaan
Jumlah
PedagangSayur
21
Pedagang Buah
10
Pedagang
Makanan
9
Pedagang Daging
6
Pedagang Ikan
6
Pedagang Bumbu
Dapur
6
Pedagang
Perabotan
4
Jumlah
62
Sumber: Data tahun 2011 yang diolah
Prosentase
34%
16%
14%
10%
10%
10%
6%
100%
Tabel di atas terlihat bahwa 34% atau 21 orang berprofesi
sebagai pedagang sayur. Dominasai banyaknya pada pedagang sayur
karena tidak terlepas dari murah dan mudahnya dalam memperoleh
barang dagangan (kulakan) di pasar induk maupun di daerah masingmasing, dimana pedagang langsung beli kepada petani. Jadi, biaya
murah dan sisa dari pembiayaan murabahah bisa digunakan kebutuhan
lainnya. Selain itu, responden juga beranggapan bahwa pasar tradisional
identik dengan kebutuhan makan harian rumah tangga. Adapun
pedagang daging dan ikan, mayoritas dagangan yang dijual adalah
barang titip jual dari pemasok. Dengan kata lain, pengambilan stok
yang pembayarannya setelah laku terjual dengan bagi hasil atas
keuntungan yang diperoleh antara penjual dan pemasok. Dilakukannya
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
217
hal tersebut karena para responden bukan peternak atau nelayan. Akan
tetapi, terdapat 2 dari responden daging dan 1 responden ikan yang
memiliki saudara dan atau suami yang berprofesi sebagai peternak dan
nelayan. Dengan demikian, dapat memperbesar dalam keuntungan
karena stok dari keluarga sendiri.
f. Kepemilikan Kompetitor Dalam Usaha
Tabel 6
Daftar Kepemiliki Kompetitor Dalam Usaha
Kriteria
Jumlah
Prosentase
Memiliki
62
100%
Tidak
0
0%
Jumlah
62
100%
Sumber: Data tahun 2011 yang diolah
Tabel di atas terlihat bahwa 100% atau 62 orang pedagang yang
menjadi sampel menyatakan memiliki kompetitor dalam usahanya,
bahkan kompetitor dari masing-masing pedagang itu lebih dari 2
pedagang yang sejenis di lokasi pasar yang sama. Sehingga hal ini
menyebabkan pembelian para konsumen tidak hanya terpusat pada
dagangannya saja, tetapi para konsumen bisa memeli barang yang
didagangkan oleh responden ke pedagang yang lain.
g. Latar Belakang Keluarga Sebelum Berusaha
Tabel 7
Daftar Latar Belakang Keluarga SebelumBerusaha
Kriteria
Jumlah
Petani
6
Pegawai
15
Pebisnis
41
Jumlah
62
Sumber: Data tahun 2011 yang diolah
Prosentase
9,7%
24,2%
66,1%
100%
Tabel di atas terlihat bahwa 9,7% atau 6 orang pedagang yang
menjadi sampel menyatakan memiliki latar belakang keluarga sebelum
berusaha sebagai petani, dan 24,2% atau 15 orang memiliki latar
belakang keluarga sebagai pegawai, dan sisanya 41 orang atau 66,1%
memiliki latar belakang keluarga sebagai pebisnis. Dari data tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa mayoritas sampel memiliki
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
218
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
ketrampilan untuk menjalan usaha, karena kegiatan usaha yang
dilakukan saat ini bukan merupakan hal yang baru bagi mereka.
h. Pembiayaan Dari Kreditor Lain
Tabel 8
Daftar Pembiayaan dari Pihak Lain
Kriteria
Jumlah
Prosentase
Ada
Pembiayaan
dari pihak lain
25
40,3%
Tidak ada
pembiayaan
dari pihak lain
37
59,7%
Jumlah
62
100%
Sumber: Data tahun 2011 yang diolah
Tabel di atas terlihat bahwa 40,3% atau 25 orang pedagang yang
menjadi sampel menyatakan bahwa selain mengambil pembiayaan di
BIF juga mengambil pembiayaan di bank lain, baik di bank maupun di
BMT yang ada di Yogyakrta dan 59,3% atau 37 orang tidak mengambil
pembiayaan dari bank atau BMT yang lain.
i. Periode Pembiayaan Murabahah Responden
Tabel 9
Daftar Periode yang Terpilih sebagai Sampel
Periode
Jumlah Prosentase
4 Bulan
31
50%
6 Bulan
7
12%
10 Bulan
8
13%
12 Bulan
12
19%
18 Bulan
2
3%
24 Bulan
2
3%
Jumlah
62
100%
Sumber: Data tahun 2011 yang diolah
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas dari responden yang
menggunakan pembiayaan murabahah mengambil angsuran atau cicilan
paling banyak selama 4 bulan (100 hari) sebanyak 31 orang atau 50%.
Hal ini disebabkan kecilnya risiko dimana tidak terasanya dalam
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
219
penanggungan biaya-biaya yang diangsur ditiap harinya dan terasa
ringan di tiap cicilannya.
j. Pendapatan Sebelum dan Sesudah Penggunaan Murabahah
1). Pedagang Perabotan Rumah Tangga (RT)
Tabel 10
Daftar Pedagang Perabotan yang Terpilih sebagai Sampel
Pedagang
Sebelum
Sesudah
Perabotan 1
150,000
350,000
Perabotan 2
100,000
400,000
Perabotan 3
40,000
200,000
Perabotan 4
500,000
2,500,000
Sumber: Data tahun 2011 yang diolah
Dari data yang diperoleh, sampel yang diambil kategori pedagang
perabotan rumah tangga terdapat peningkatan pendapatan secara jelas
dalam bentuk rupiah. Naiknya pendapatan para responden karena
barang yang dijual merupakan barang yang tahan lama, seperti ember,
gayung, botol, dsb. Menurut para reponden perabotan RT,
meningkatnya pendapatan dikarenakan penggunaan murabahah secara
utuh dalam menggunakan fungsinya, yakni penambahan barang
dagangan. Bagi mereka, murabahah sangat membantu dalam hal
penambahan modal selain mudah dalam pengajuan pinjaman juga
mudah dalam pembayaran cicilan di tiap hari atau bulannya.
2). Pedagang Bumbu dapur
Tabel 11
Daftar Pedagang Bumbu Dapur yang Terpilih sebagai Sampel
Pedagang
Sebelum
Sesudah
Bumbu Dapur 1
30,000
50,000
Bumbu Dapur 2
25,000
35,000
Bumbu Dapur 3
20,000
35,000
Bumbu Dapur 4
45,000
45,000
Bumbu Dapur 5
50,000
50,000
Bumbu Dapur 6
10,000
35,000
Sumber: Data tahun 2011 yang diolah
Dari data yang diperoleh, sampel yang diambil kategori pedagang
bumbu dapur terdapat peningkatan pendapatan dalam bentuk rupiah.
Menurut beberapa responden, meskipun pembiayaan yang mereka
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
220
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
ajukan ditujukan untuk penambahan barang dagangan akan tetapi
mereka tidak terlalu merasakan dalam peningkatan pendapatan. Hal
tersebut dikarenakan terdapat faktor lain yang tidak dibahas dalam
penelitian ini yang menjadi alasan para responden mengenai naiknya
pendapatan. Di sisi lain, bagi mereka murabahah cukup membantu
dalam melangsungkan kegiatan usahanya. Dapat disimpulkan bahwa
meskipun pendapatan yang diperoleh tidak terlalu meningkat, para
responden beranggapan bahwa murabahah memiliki peran dalam
keberlangsungan usaha yang mereka jalani.
3). Pedagang Ikan
Tabel 12
Daftar Pedagang Ikan yang Terpilih sebagai Sampel
Pedagang
Sebelum
Sesudah
Ikan 1
70,000
80,000
Ikan 2
40,000
40,000
Ikan 3
50,000
80,000
Ikan 4
70,000
100,000
Ikan 5
50,000
100,000
Ikan 6
80,000
80,000
Sumber: Data tahun 2011 yang diolah
Dari data yang diperoleh, sampel yang diambil kategori pedagang
ikan terdapat peningkatan pendapatan yang tidak jauh berbeda dari
sebelumnya. Responden pedagang ikan 2 dan 8 tidak mengalami
perubahan pendapatan. Responden pedagang ikan 2 berprofesi sebagai
penjual ikan asin dan reseponden pedagang ikan 8 berprofesi sebagai
penjual ikan basah. Pembiayaan yang diikuti oleh kedua responden
tersebut digunakan untuk menghidupi keluarga selain menambah
barang dagangan. Pembiayaan murabahah dirasa membantu sekali jika
para responden sedang kesulitan keuangan untuk berdagang dan
tambahan keuangan keluarga. Adapun para responden lainnya juga
turut merasakan jika murabahah memiliki peran dalam keuangan usaha
dan keluarganya. Naiknya pendapatan para responden adalah adanya
peningkatan kulakan ikan dalam menambah variasi dagangannya.
4). Pedagang Daging
Tabel 13
Daftar Pedagang Daging yang Terpilih sebagai Sampel
Pedagang
Daging 1
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Sebelum
50,000
Sesudah
100,000
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
Daging 2
Daging 3
Daging 4
Daging 5
Daging 6
50,000
30,000
50,000
70,000
30,000
221
100,000
30,000
50,000
70,000
100,000
Sumber:Data tahun 2011 yang diolah
Dari 6 responden pedagang daging, terdapat 3 (tiga) responden
pedagang daging yang tidak mengalami perubahan dalam memperoleh
pendapatan setelah menggunakan pembiayaan murabahah yakni
pedagang daging 3, 4, dan 5. Bagi responden, pembiayaan yang mereka
ambil cukup membantu keuangan keluarga dalam memenuhi biaya
hidup. Bagi responden daging 6, keuntungan yang diperoleh lebih
terasa dan perekonomian keluarga terangkat, sehingga cukup
membantu dalam pemenuhan biaya-biaya rumah tangga yang tidak
terduga.
5). Pedagang Makanan
Tabel 14
Daftar Pedagang Makanan yang Terpilih sebagai Sampel
Pedagang
Sebelum Sesudah
Makanan 1
100,000
400,000
Makanan 2
200,000
200,000
Makanan 3
150,000
400,000
Makanan 4
60,000
60,000
Makanan 5
50,000
80,000
Makanan 6
75,000
150,000
Makanan 7
80,000
80,000
Makanan 8
150,000
150,000
Makakan 9
80,000
100,000
Sumber: Data tahun 2011 yang diolah
Diketahui dari 9 responden yang diambil, terdapat 5 responden
yang berada pada pendapatan di bawah Rp. 100.000,00 dan atau 4 dari
9 responden tidak mengalami peningkatan pendapatan atau tidak ada
perbedaan setelah menggunakan murabahah. Hal ini disebabkan
pembiayaan yang diajukan digunakan untuk penutupan modal pada
saat kurang tercukupinya modal. Dengan kata lain, para responden
kurang bisa memutar uang yang mereka peroleh dengan pengadaan
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
222
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
barang. Menurut para responden, kurang adanya dampak yang terlihat
secara signifikan dikarenakan dagangannya merupakan suatu hal yang
menyangkut selera, begitu juga menurut responden yang mengalami
penambahan pendapatan.
6). Pedagang Buah
Tabel 15
Daftar Pedagang Buah yang Terpilih sebagai Sampel
Pedagang
Sebelum
Sesudah
Buah 1
100,000
100,000
Buah 2
500,000
900,000
Buah 3
150,000
150,000
Buah 4
75,000
150,000
Buah 5
40,000
200,000
Buah 6
100,000
100,000
Buah 7
300,000
300,000
Buah 8
60,000
250,000
Buah 9
80,000
150,000
Buah 10
200,000
200,000
Sumber: Data tahun 2011 yang diolah
Diketahui dari 10 responden, 5 di antaranya tidak merasakan
dampak pendapatan dari pembiayaan yang diajukan. Sebaliknya, 5
responden lainnya merasakan dampak pembiayaan, khususnya
responden buah 2. Tidak dirasakannya dampak dari pembiayaan
sebagai meningkatnya pendapatan karena barang dagangannya memiliki
jumlah yang sama dengan sebelumnya dan permintaan pasar tetap
sama. Dalam hal ini, pembiayaan digunakan sebagai penutup modal jika
dirasa kurang dalam kulakan. Adapun responden buah 2, dirasakannya
dampak dari pembiayaan karena selama angsuran atau cicilan diambil
dari tabungan. Dalam hal ini, pendapatan di tiap harinya disisihkan
untuk menabung dan berinvestasi.
7). Pedagang Sayur
Tabel 16
Daftar Pedagang Buah yang Terpilih sebagai Sampel
Pedagang
Sebelum
Sesudah
Sayur 1
50,000
80,000
Sayur 2
30,000
70,000
Sayur 3
10,000
30,000
Sayur 4
60,000
60,000
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
Sayur 5
30,000
Sayur 6
35,000
Sayur 7
30,000
Sayur 8
25,000
Sayur 9
50,000
Sayur 10
100,000
Sayur 11
50,000
Sayur 12
50,000
Sayur 13
15,000
Sayur 14
20,000
Sayur 15
5,000
Sayur 16
70,000
Sayur 17
45,000
Sayur 18
10,000
Sayur 19
25,000
Sayur 20
50,000
Sayur 21
60,000
Sumber: Data tahun 2011 yang
223
30,000
50,000
30,000
45,000
50,000
100,000
70,000
100,000
40,000
20,000
20,000
130,000
45,000
30,000
25,000
80,000
60,000
diolah
Dari data yang diperoleh terdapat 9 (Sembilan) responden yang
tidak mengalami peningkatan pendapatan, akan tetapi merasakan
dampak dari pembiayaan murabahah. Hal ini dikarenakan, keuangan
dagangan dan atau keluarga terbantu oleh adanya mengikuti
pembiayaan murabahah. Tidak meningkatnya pendapatan dikarenakan
kurang adanya kemauan untuk menambah barang dagangan dengan
alasan dagangannya merupakan barang basah sehingga cepat layu.
Selain itu, terdapat banyak penjual yang menjual sayur-mayur. Adapun
responden yang mengalami peningkatan pendapatan karena mereka
beranggapan dengan banyaknya variasi sayuran akan ada daya minat
tersendiri bagi para konsumennya meskipun tidak bervolume banyak.
Dalam penelitian ini menggunakan alat analisis t-berpasangan (Paired
t-test). Paired t-test merupakan salah satu metode pengujian hipotesis dimana
data yang digunakan untuk kasus yang memperoleh 2 (dua) macam
keadaan dalam 1 (satu) sampel, yaitu data dari perlakuan pertama dan data
dari perlakuan kedua.23 Adapun hasil uji rata-rata pendapatan anggota
yang diperoleh dari hasil Paired t-test dengan menggunakan SPSS versi 10
dapat dilihat pada tabel 17.
23
http://ineddeni.wordpress.com/ diakses pada tanggal 02 Oktober 2011.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
224
Tabel 17
Paired Samples Statistics
Mean
N
Sebelum
80,322.58
62
Sesudah
159,919.35
62
Sumber: Data tahun 2011 yang diolah.
Hasil Paired t-test pada tabel 3.1 di atas menunjukkan bahwa ratarata pendapatan yang diperoleh anggota BMT BIF Gedong Kuning
Yogyakarta adalah Rp. 80.322,58, sedangkan pendapatan sesudah
menggunakan pembiayaan murabahah rata-rata yang diperoleh oleh anggota
atau sampel diperoleh Rp. 159.919,35 dengan jumlah sampel 62 orang
anggota. Peningkatan rata-rata pendapatan yang diperoleh adalah sebesar
Rp. 79.596,77 atau mencapai 50% dari pendapatan sebelum penggunaan
pembiayaan murabahah.
Dari hasil rata-rata pendapatan pada paragraf sebelumnya,
ditemukan hasil korelasi atau hubungan antara pendapatan sebelum dan
sesudah penggunaan pembiayaan murabahah. Hasil yang ditemukan melalui
paired t-test dengan aplikasi SPSS versi 10 ditunjukkan dari tabel 18.
Tabel 18
Paired Samples Correlation
N
Correlation
Sebelum dan
Sesudah
62
0.813
Sumber: Data tahun 2011 yang diolah.
Hasil hubungan antara pendapatan sebelum & sesudah dari sampel
yang diperoleh sebanyak 62 orang, dapat disimpulkan bahwa pembiayaan
yang digunakan memiliki hubungan kuantitatif sebesar 81,3% dengan
permodalan anggota. Sehingga, dengan perolehan hasil yang didapat dari
SPSS 10 terdapat hubungan secara garis lurus antara pendapatan dan
pembiayaan yang diajukan oleh anggota BMT BIF Gedong Kuning
Yogyakarta, dimana semakin besar peminjaman yang diambil semakin
besar juga penghasilan atau pendapatan yang diperoleh oleh anggota.
Tabel 19
Paired Samples Test
T
Mean
Sebelum –
Sesudah
-79596.774
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
std. deviation
261842.93
-2394
Sig. (2tailed)
.020
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
225
Pada tabel di atas terlihat bahwa mean sebesar -79596,774 dengan
standar deviasi sebesar 261842,93. Nilai
sebesar -2394. Sedangkan
nilai Sig (2-tailed) sebesar 0,020 < 0,05. Dari perhitungan paired samples test
melalui program SPSS 10, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan
rata-rata pendapatan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendapatan
berdampak positif pada pendapatan anggota sesudah menggunakan
pembiayaan murabahah BMT BIF Gedong Kuning Yogyakarta
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 62 sampel terdapat 25
orang atau 40% dari sampel yang terkumpul berada pada pendapatan tetap
atau tidak ada perubahan pendapatan antara sebelum dan sesudah
menggunakan pembiayaan murabahah. Sedangkan 37 orang atau 60%
mengalami perubahan pendapatan setelah menggunakan pembiayaan
murabahah, yakni adanya peningkatan setelah periode pinjaman
pembiayaan murabahah. Dari hasil uji statistik, pembiayaan murabahah
memiliki dampak pada pendapatan anggota sebelum menggunakan
murabahah, hal ini ditunjukkan dengan perolehan rata-rata pendapatan Rp.
80.322,58 dan setelah menggunakan murabahah diperoleh rata-rata
pendapatan Rp. 159.919,35. Dari perolehan hasil secara statistik, anggota
mengalami peningkatan pendapatan rata-rata sebesar Rp. 79.596,77 atau
50% dari pendapatan sebelum menggunakan pembiayaan murabahah.
Dapat disimpulkan, anggota yang menggunakan murabahah pada BMT BIF
Gedong Kuning mengalami peningkatan secara signifikan sebesar 50%.
Di lain sisi, jika dilihat dari uji paired samples test, diperoleh nilai
signifikansi atau sig 2-tailed sebesar 0,2 dimana kurang dari 0,5 yang
berarti pembiayaan murabahah memiliki dampak pada pendapatan anggota
secara signifikan. Hasil penelitian secara kuantitatif penelitian ini
mempertegas hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa
hubungan antara pendapatan dan penambahan modal menunjukkan
hubungan yang searah. Semakin bertambahnya modal yang dimiliki, maka
akan meningkat pendapatan yang akan dicapai. Begitu pula sebaliknya,
sedikitnya modal yang dimiliki maka sedikit pula pendapatan yang akan
diraih. Berkurangnya pendapatan yang diperoleh dapat mengakibatkan
tersendatnya angsuran, yang dampaknya akan dirasakan oleh BMT di
mana akan mengalami penurunan kas karena kredit macet, dan bagi
anggota, akan mengalami penumpukan angsuran atau cicilan pinjaman.
Secara deskriptif, anggota BMT BIF Gedong Kuning Yogyakarta
yang merupakan mayoritas anggotanya berprofesi sebagai pengusaha
mikro di pasar tradisional. Mereka memiliki keterbatasan modal yang
merupakan hal pokok yang harus dipenuhi untuk mendukung jalannya
usaha yakni dengan cara menggunakan fasilitas atau produk yang
ditawarkan, di antaranya adalah pembiayaan murabahah. Pada BMT BIF
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
226
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
Gedong Kuning Yogyakarta, murabahah digunakan untuk pembelian
barang konsumsi maupun barang dagangan (tambah modal) yang
pembayarannya dilakukan secara tangguh (jatuh tempo atau angsuran)
dengan akad wakalah (diwakilkan kepada anggota) atas pembelian barang
yang diinginkan oleh anggota.24 Jadi, BMT menerima rancangan dana yang
nantinya berfungsi sebagai syarat pengajuan pembiayaan murabahah
dimaksudkan untuk menelaah lebih lanjut penggunaan dana yang diajukan
dan pada saat pengajuan diterima, anggota menerima dana dengan atas
dasar akad wakalah (diwakilkan dana atas anggota) yang dilanjutkan
dengan kesepakatan antara BMT dan anggota atas keuntungan yang
diambil oleh BMT beserta penentuan tabungan dan cicilan di tiap
angsurannya.
F. Kesimpulan
UMKM memberi kontribusi terhadap Indonesia dengan
meningkatkan PDB negara. Namun masalah yang selalu dihadapi oleh
UMKM adalah masalah pemodalan dan prosedur administrasi dalam
pengajuan financial/ pembiayaan di bank, untuk meningkatkan daya saing
UMKM. Masalah ini sekarang mulai bisa diatasi dengan berdirinya BMTBMT. Dari hasil penelitian ini, dengan menggunakan alat analisis paired
sample t test, dapat diketahui bahwa BMT ternyata mampu meningkatkan
daya saing para responden UMKM. Para responden yang mengambil
pembiayaan murobahah mengalami peningkatan pendapatan sekitar 50%
dibanding sebelum mengambil pembiayaan.
Dengan demikian pemerintah Indonesia harus memberi iklim yang
mendukung perkembangan BMT-BMT. Karena dengan semakin
banyaknya BMT maka alternatif pembiayaan bagi UMKM juga semakin
beragam, sehingga masalah UMKM terkait pemenuhan modal baginya
teratasi. Dengan teratasi masalah tersebut maka UMKM di Indonesia ini
semakin berkembang, sehingga kesejahteraan masyarakat semakin
meningkat. Karena sedikit banyak UMKM ini membantu mengurangi
pengangguran di Indonesia.
24 Wawancara dengan Fitri, Bagian Penelitian dan Skripsi, Gedong Kuning,
Yogyakarta, tanggal 23 September 2011.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
227
Daftar Pustaka
Adinda, Peran UMKM dalam Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia, http://adindaa08.student.ipb.ac.id
Azis, M. Amin, Tata Cara Pendirian BMT, pkes publishing,2008
Ridwan, Muhammad, Manajemen Baitul Maal wa Tamwil, UII Press,
2002.
Ridwan, Muhammad, Sistem dan Prosedur Prndirian Baitul Mal wat
Tamwil, Citra Media, 2006.
Rivai, Veithzal, dan Veithzal, Andria Permata,
Islamic Financial
Management: Teori, Konsep, dan Aplikasi Panduan Praktis untuk
Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi, dan Mahasiswa, Rajawali
Press, Edisi 1, 2008
Santoso Singgih, SPSS Versi 10: Mengolah Data Statistik Secara
Profesional, PT. Gramedia Jakarta, 2002
UU N0. 20 Tahun 2008
http://ineddeni.wordpress.com/
http://Kompas.com
http://tariles41.blogspot.com
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
228
Sunarsih: Peranan Baitul Maal Wa Tamwil...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.2, Mei 2012
Download