BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perang antara Israel dan Lebanon Selatan bermula ketika pasukan Hizbullah melakukan serangan udara (operasi True Promise) ke wilayah kota Shlomi perbatasan Israel Utara dan menembakkan roket ke arah Angkatan Pertahanan Israel IDF (Israeli Defence Force). IDF yang sedang melakukan patroli di perbatasan menjadi korban yang mengakibatkan delapan tentara IDF tewas serta ditangkapnya dua tentara lainnya (Ehud Goldwasser dan Elgad Regev). Tentara Hizbullah juga menembakkan roket dan mortil secara beruntun ke wilayah utara Israel lainnya sebagai suatu pengalihan perhatian pada waktu yang sama.1 Israel membalas menyerang Lebanon dengan menggunakan alasan penawanan dua tentara Israel oleh Hizbullah dalam suatu serangan lintas perbatasan. Menurut pejabat Israel diduga kedua tentara itu dibawa ke Iran. Hizbullah berencana melakukan penukaran tawanan dalam membebaskan warga Lebanon dan Palestina yang ditahan Israel. Serangan besar Israel ini diluar dugaan Hizbullah yang sebelumnya memperkirakan Israel hanya akan membalasnya dengan Operasi Komando untuk membalas menculik anggota Hizbullah,seperti yang sebelumnya pernah dilakukan. Tampaknya Israel telah lama mempersiapkan serangan ini atas dukungan dari Amerika Serikat, sebagai penjajakan untuk serangan berikutnya ke Iran. Hizbullah membalas kembali dengan meluncurkan roket-roket ke kawasan utara Israel. Perdana Menteri Israel Ehud Olmert mengatakan serangan akan dihentikan jika Hizbullah membebaskan dua tentara Israel yang disandera. Israel menuduh Hizbullah telah meluncurkan 130 roket dalam waktu 48 jam yang menyebabkan 1 “Lebanon Tolak Draf Resolusi” http://www.suaramerdeka.com/harian/0608/07. htm 1 belasan warga tewas dan ratusan lainnya luka-luka.2 Di saat yang sama, milisi Hizbullah meminta Israel segera menghentikan agresi militernya di wilayah Palestina. Namun, Israel sejak awal menolak berkompromi, dan kemudian melancarkan serangan ke sejumlah kamp milik Fatah dan Hamas. Termasuk beberapa lokasi yang dicurigai potensial untuk melarikan Kopral Gilad Shalit dari tempat penyergapannya di selatan Gaza.3 Dalam tujuh malam berturut-turut sejak penculikan tentara Israel, Jalur Gaza digempur serangan udara. Israel berusaha meningkatkan aksi militernya untuk membebaskan anggotanya. Selain dari darat, militer Israel menggempur Beirut dari udara. Sebuah kawasan pinggiran kota yang banyak dihuni kelompok Hizbullah hancur. Jembatan diwilayah Akkar, beberapa tempat di lembah Bekaa, serta ruas jalan dekat perbatasan Suriah juga tidak luput dari serangan peluru kendali Israel.4 Akibatnya distribusi makanan dan obat-obatan bagi warga sipil sulit disalurkan. Menurut Perdana Menteri Lebanon Fouad Siniora, dalam serangan itu sepertiga dari jumlah korban tewas berusia dibawah 12 tahun. Satu juta warga Lebanon atau seperempat populasinya kini kehilangan tempat tinggal.5 Selain itu, Israel juga menyerang Lebanon pada tanggal 5-6 Agustus 2006. Israel antara lain menggempur kota Tirus, Nakburah dan Nabatiyeh di Lebanon Selatan. Israel juga menyerang markas Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) di Lembah Bekaa. Serangan Israel itu telah menewaskan sedikitnya lima penduduk dan 12 lainnya luka-luka di Desa Al-Ansar dekat Nabatiyeh. Menurut laporan AFP, kelimanya tewas ketika rudal Israel jatuh di sebuah rumah. Selain itu, tiga orang tewas di Nakoura, Lebanon Selatan. Mereka juga tewas akibat tembakan rudal Israel.6 2 “Lebanon War 2006” http://www.globalresearch.ca/kidnapped-in-israel-or-captured-in-lebanonofficial-justification-for-israel-s-invasion-on-thin-ice/2813 diakses 15 April 2013 3 Ibid. 4 “Yulianto, Ari Mayor “Lebanon Pra dan Pasca Perang 34 Hari Irael-Hizbullah“ ,Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2010, hal. 212 5 Ibid 6 Ibid. 2 Dari paparan diatas tampak bahwa Israel jelas telah melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan dalam berbagai tindakan atau aksi militernya terhadap Lebanon. Dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya, Israel telah menggunakan cara-cara yang tidak berprikemanusiaan, seperti dengan sengaja menghancurkan secara besarbesaran instalasi listrik dan air disamping infrastruktur, transportasi yang vital untuk bantuan makanan dan kemanusiaan.7 Tindakan ini melanggah HAM dan mengabaikan Hukum Humaniter seperti terdapat dalam pasal 3 ayat 1 Konvensi Jenewa Tahun 1949. Ayat tersebut berbunyi “Orang-orang yang tidak turut aktif dalam sengketa termasuk anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjatasenjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan, atau sebab lain apapun , dalam keadaan bagimanapun harus diperlakukan dengan kemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu“. Tindakan Israel juga tidak sesuai dengan doktrin Just War yang bermakna bahwa ada justifikasi atau alasan pembenaran untuk melakukan serangan, bahwa perang dilakukan berdasarkan alasan logis dan dapat dibenarkan, bahwa perang berlangsung secara adil dan seimbang, bahwa perang dilakukan terbatas untuk mencapai tujuan tertantu dan bukan untuk menghancurkan atau memusnahkan pihak lawan (suatu negara, suatu bangsa, etnis dan suku bangsa, kelompok/oposisi, dll ).8 Pada dasarnya hukum humaniter bertujuan melindungi masyarakat dan membatasi akibat yang tidak perlu atau berlebihan, yang ditimbulkan oleh peristiwaperistiwa konflik dan perang seperti pembatasan penggunaan senjata dalam perang dan adanya perlindungan terhadap orang yang terlibat maupun tidak terlibat dalam peperangan seperti penduduk sipil, kombatan, wanita dan anak-anak. Pada dasarnya 7 “Israel Lakukan Kejahatan Perang di Lebanon” http://tempointeraktif.com/hg/luarnegeri/2006/08/23/brk,20060823-82461,id.html diakses 15 September 2012 8 “Serangan Israel ke Lebanon: Pelanggaran Hukum Humaniter Dan Hak Asasi Manusia” http://conformeast.multiply.com/journal (pelanggaran hukum humaniter) diakses 12 Agustus 2012 3 hukum humaniter merupakan sejumlah prinsip dasar dan aturan mengenai pembatasan penggunaan kekerasan dalam situasi konflik bersenjata.9 Dengan demikian dari sudut pandang ini, bahwa Israel telah melakukan bentuk-bentuk pelanggaran yang terdapat di dalam hukum humaniter sehingga mengakibatkan kehancuran terhadap wilayah dan kesengsaraan terhadap warga sipil. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan pada paparan latar belakang masalah diatas, maka penulis membuat rumusan masalah yaitu : 1. Apa saja bentuk pelanggaran Hukum Humaniter Internasional yang dilakukan Israel dalam serangannya ke Lebanon Selatan tahun 2006? 2. Apa yang melatarbelakangi Israel tetap melakukan pelanggaran tersebut selama perang? C. KERANGKA PEMIKIRAN Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini dikenal dengan istilah hukum humaniter.10 Menurut Jean-Jadques Rouseau, dijelaskan bahwa Prinsip-prinsip perang antar Negara diartikan sebagai suatu hubungan perang antar Negara, dimana secara individual menjadi musuh hanya karena kebetulan, tidak sebagai manusia atau sebagai warga Negara, tetapi sebagai prajurit. Karena tujuan perang adalah menghancurkan negara musuh, dan sah secara hukum apabila membunuh prajurit yang menjadi pertahanan terakhir musuh sejauh mereka membawa senjata, tetapi 9 “Pokok-Pokok_HAM-Intl”, http://www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Pokok-Pokok HAM Intl diakses pada tanggal 10 Agutus 2012 10 Arlina Permanasari,dkk op.citra hal 117 4 segera setelah mereka meletakkannya dan menyerah, mereka bukan lagi musuh, menjadi orang biasa, dan tidak lagi sah secara hukum untuk mengambil kehidupan mereka.11 Selain itu, Rouseau dan Martens menyusun prinsip-prinsip kemanusiaan dengan memformulasikan prinsip-prinsip pembedaan, prinsip pencegahan penderitaan yang tidak perlu dan prinsip kepentingan kemanusiaan dan keperluan militer. Bahwa satu-satunya objek yang paling sah untuk dicapai oleh suatu negara selama masa perang adalah melemahkan angkatan bersenjata dari pihak lawan.12 Menurut prinsip ini objek tersebut bisa dijadikan sasaran dalam perang tanpa perlu memperburuk penderitaan orang-orang yang tidak berdaya, atau membawa kematian bagi warga sipil. Protokol Tambahan 1977 merinci dan menegaskan kembali prinsip-prinsip ini, khususnya mengenal prinsip pembedaan, yang berisi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik setiap saat harus dapat membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dan antara objek sipil dan objek militer dan karena itu pula pihak-pihak yang terlibat dalam konflik harus mengarahkan operasinya semata-mata hanya untuk menyerang objek militer.13 Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan-aturan pokok, yaitu :14 1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag/The Hague Laws), cara berperang yang tercantum dalam pasal 23 (b) Hague Regulations 1899 (HR) yang melarang membunuh atau melukai orang dari pihak musuh secara curang atau berkhianat (treacherously) . Larangan membunuh atau melukai musuh yang telah berstatus hors de combat atau yang telah menyerah, 11 “Delegasi ICRC Jakarta, “Hukum Humaniter Internasional, ICRC Jakarta, Indonesia 2004, hal. 7 Ambawati,dkk “Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubugan Internasional”, RajaGrafindo Persada, Jakarta 2009, hal. 40 13 Ibid. 14 Haryomataram. Sekelumit Tentang Hukum Humaniter , Sebelas Maret University Press, Surakarta 1994, hal.1 12 5 sebagaimana yang tercantum dalam pasal 23 (c) serta ketentuan dalam pasal 25 HR mengenai larangan pemboman terhadap kota, pedesaan, daerah-daerah atau daerah yang tidak dipertahankan.15 2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/The Geneva Laws). Berkaitan dengan kedudukan dan perlakuan orang-orang yang dilindungi dalam konflik, mereka berhak akan :16 a. Penghormatan atas diri pribadi, b. Hak kekeluargaan, keyakinan, praktek keagamaan, c. Adat-istiadat dan kebiasaan. Selanjutnya, dalam pasal 27-34 konvensi Jenewa ditentukan tindakantindakan yang dilarang yaitu :17 a. Memaksa baik jasmani maupun rohani, untuk memperoleh keterangan, b. Menimbulkan penderitaan jasmani, c. Menjatuhkan hukuman kolektif, d. Mengadakan intimidasi, terorisme, perampokan, e. Tindakan pembalasan terhadap penduduk sipil, f. Menangkap penduduk sipil untuk ditahan sebagai sandera. Sedangkan Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949 yang disebut sebagai konvensi Mini,18 pada ayat 1 memerintahkan para pihak yang bersengketa untuk memperlakukan semua orang yang tidak aktif atau tidak lagi ikut serta dalam tindakan permusuhan, secara manusiawi tanpa perbedaan yang merugikan dalam segala keadaan. 19 Pasal 3 melarang : 1. Kekerasan terhadap jiwa orang, terutama pembunuhan dalam semua jenisnya, 15 Arlina Permanasari dkk, op.cit., hal.23 Ibid. hal. 96 17 Departemen Hukum dan HAM “Terjemahan Konvensi Jenewa 1949”, Jakarta 2009, hal 15 18 Frits Kalshoven , “Constrain on The Waging of War” , ICRC, 1997, hal. 59 19 Arlina Permanasari dkk, op.cit., hal.114 16 6 2. Penyanderaan, 3. Merendahkan martabat pribadi, khususnya perlakuan yang bersifat menghina dan merendahkan martabat, 4. Penghukuman dan pelaksanaan putusan tanpa putusan yang diumumkan terlebih dahulu oleh pengadilan yang dilakukan secara lazim yang memberikan jaminan hukum yang diakui karena sangat dibutuhkan oleh semua bangsa yang beradab. Pasal ini juga mengharuskan pihak-pihak peserta perang memperlakukan korban konflik bersenjata dalam negeri sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam ayat (1), dan pasal 3 ini bagi Mahkamah Internasional merupakan asas umum Hukum Internasional. Pasal ini melarang penjatuhan dan pelaksanaan hukuman tanpa proses hukum.20 Perlu ditekankan bahwa di dalam Hukum Humaniter Internasional ada suatu prinsip atau asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu Negara yang terlibat konflik bersenjata ke dalam dua golongan, yakni kombatan (combatan) dan penduduk sipil (civilan). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan.21 Sedangkan menurut F.Sugeng Istanto, penduduk sipil ialah mereka yang tidak tergolong kombatan. Penduduk sipil tidak berhak ikut serta dalam permusuhan. Penduduk sipil juga tidak boleh dijadikan sasaran secara langsung perbuatan perang.22 Dalam Protokol Tambahan II diatur dalam bagian IV tentang penduduk sipil. Bagian ini mengatur tentang perlindungan umum, bantuan terhadap penduduk sipil, serta perlakuan orang-orang yang berada dalam salah satu kekuasaan pihak yang bersengketa, termasuk di dalamnya perlindungan terhadap pengungsi, orang yang 20 Ibid. hal. 115 Haryomataram “Hukum Humaniter” dalam Arlina Permanasari dkk, “Pengantar Hukum Humaniter”, Rajawali Press, Jakarta 1999, hal. 73 22 F. Sugeng Istanto, “Hukum Internasional”, Penerbitan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 1994, hal.110 21 7 tidak memiliki kewarganegaraan, anak-anak, wanita dan wartawan. Selain itu terdapat perlindungan khusus bagi penduduk sipil yaitu mereka yang umumnya tergabung dalam suatu organisasi sosial yang melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial, membantu penduduk sipil lainnya pada waktu terjadinya sengketa bersenjata. Mereka terhimpun dalam Perhimpunan Palang Merah Nasional dan anggota Perhimpunan Penolong Sukarela Lainnya, termasuk anggota Pertahanan Sipil.23 Selain menggunakan teori hukum humaniter, penulis juga menggunakan Doktrin Just War (Perang yang Sah).24 Doktrin Just War adalah upaya untuk membedakan antara cara-cara yang dapat dibenarkan dengan yang tidak dapat dibenarkan dalam penggunaan angkatan bersenjata yang terorganisasi. Teori doktrin tentang perang yang sah berupaya untuk memahami bagaimana penggunaan senjata dapat dikendalikan, dilakukan dengan cara yang lebih manusiawi, dan pada akhirnya ditujukan pada upaya untuk menciptakan perdamaian dan keadilan yang abadi. Tradisi perang yang sah membahas moralitas penggunaan kekuatan dalam dua bagian, yaitu : pertama, kapan suatu pihak dapat dibenarkan dalam menggunakan angkatan bersenjatanya (keprihatinan tentang Jus ad bellum) dan kedua, cara-cara apa yang harus dilakukan dalam menggunakan angkatan bersenjata itu (keprihatinan tentang Jus in bello).25 Serangan Israel ke Lebanon dengan melakukan pengeboman lewat udara ternyata bukan hanya diarahkan kepada basis-basis Hizbullah tetapi juga infrastruktur penting lainnya di Lebanon, seperti Bandara Internasional Beirut (Rafiq Al-Hariri), Rumah Sakit di Zafed, penyerangan terhadap tempat pengungsian di kota Qana, jembatan yang menghubungkan Beirut dan Damaskus, pembangkit tenaga listrik, tangki-tangki Hizbullah). 26 minyak hingga pemukiman (termasuk kediaman pemimpin Israel juga mengebom stasiun televise milik Hizbullah (Al-Manar) di 23 Arlina Permanasari dkk, op.cit., hal. 170-177 Agus, Fadillah “Doktrin Tentang Perang Yang Sah” , ELSAM, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta 200, 7 hal.48 25 Ibid. 26 “Perang Lebanon 2006” op.cit., 24 8 Distrik Harey Hreik, daerah pinggiran kota Beirut serta kota-kota besar di Lebanon lainnya seperti wilayah utara Lebanon, (Irus,Tripoli, serta perkampungan nelayan Abdeh), wilayah Timur (Baakbek), wilayah barat (Zahleh), serta pemblokadean terhadap wilayah darat dan udara Lebanon. Banyak bangunan, rumah, dan sarana pelayanan publik yang hancur di Lebanon, penduduk meninggal dan luka-luka, ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal.27 Serangan Israel ini tidak membawa keuntungan bagi Israel sendiri tetapi malah mengalami kekalahan, bahkan tujuan yang sebenarnya untuk membebaskan kedua tentaranya tidak bisa tercapai. Serangan Israel banyak yang tidak tepat sasaran, sehingga mengakibatkan banyaknya korban jiwa. Persoalan ini yang kemudian mendapat kecaman masyarakat internasional. Selain menyangkut pelanggaran terhadap aturan di dalam Hukum Humaniter yang berlaku, serangan Israel ke Lebanon memiliki beberapa tujuan politis demi pencapaian kepentingan nasionalnya (National Interest). Dalam beberapa teori, kepentingan nasional sering dijadikan tolok ukur atau kriteria pokok bagi para pengambil keputusan (decision makers) masing-masing negara sebelum merumuskan dan menetapkan sikap atau tindakan. Bahkan setiap langkah kebijakan luar negeri (Foreign Policy) perlu dilandaskan kepada tujuan nasional dan diarahkan untuk mencapai serta melindungi apa yang dikategorikan atau ditetapkan sebagai ”Kepentingan Nasional”. Menurut Morgenthau :”Kepentingan nasional adalah kemampuan minimum negara untuk melindungi, dan mempertahankan identitas fisik, politik, dan kultur dari gangguan negara lain. Dari tinjauan ini para pemimpin negara menurunkan kebijakan spesifik terhadap negara lain yang sifatnya kerjasama atau konflik”.28 27 Human Right Watch “Pelanggaran Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia” , http://www.hrw.org/sites/default/files/reports/lebanon0806webwcover.pdf diakses pada 15 April 2013 28 T.May Rudy, Study Strategis dalam transformasi sistem Internasional Pasca Perang Dingin, Refika Aditama, Bandung, 2002, hal 116 9 Serangan Israel ke Lebanon Selatan merupakan langkah kebijakan luar negeri pemerintah Israel yang dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. Pertama, faktor internal seperti National Security menjadi alasan utama Israel menyerang Lebanon demi mempertahankan kedaulatan mereka di wilayah perbatasan demi menjaga keamanan dan kesejahteraan warganya. Kedua, misi balas dendam (Revenge) atas kekalahannya pada perang tahun 2000 melawan Lebanon juga menjadi faktor yang memperkuat alasan mengapa Israel membalas menyerang penculikan dua tentaranya dengan kekuatan militer penuh.29 Ketiga, alasan dominasi Israel di kawasan Timur Tengah sebagai negara yang paling berpengaruh turut didukung Amerika Serikat turut menjadi faktor alasan penyerangan ini. Dengan melakukan serangan ke markasmarkas pasukan Hizbullah berarti mampu melemahkan salah satu kekuatan gerakan anti- Israel di perbatasan utara mereka yaitu Kelompok Hizbullah. Israel yakin dengan dilumpuhkannya Hizbullah, Israel akan tetap menjaga hegemoninya di Timur Tengah atas dukungan Amerika Serikat dengan tujuan melemahkan kekuatan Iran dan Hamas yang juga merupakan Negara dan kelompok yang anti Israel dan Barat di Timur Tengah. Iran, terutama pasca lemahnya kekuatan Irak setelah Sadam Husein terguling telah menjadi kekuatan terdepan dalam menentang hegemoni AS di Timur Tengah. Melalui isu nuklir, AS berusaha memojokkan Iran agar Negara tersebut menjadi lemah. Tetapi dengan berjalannya waktu, setelah terbukti Iran tidak menggunakan nuklir untuk kepentingan militer, kini AS berusaha menggunakan isu perdamaian Palestina-Israel untuk mengucilkan pemerintahan negara itu. Iran dan sekutu-sekutunya (Suriah, Hamas, Hizbullah, Gerakan perlawanan Syi’ah Irak) yang dipersepsikan telah mengganggu perluasan dominasi AS di Timur Tengah. D. ARGUMEN POKOK Berdasarkan latar belakang masalah dan kerangka pemikiran yang sudah penulis utarakan diatas, maka bentuk-bentuk pelanggaran serangan Israel ke Lebanon 29 “Yulianto, Ari “Lebanon Pra dan Pasca Perang 34 Hari Irael-Hizbullah“ ,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2010, hal. 225 10 Selatan terhadap Hukum Humaniter, yaitu meliputi : Pertama, pelanggaran pada metode dan penggunaan alat-alat berperang yang diatur dalam Hague Regulations (HR) tahun 1899 pasal 25 (Hukum Den Haag/Hague Regulations) dengan menggunakan bomb Cluster yang tidak diperbolehkan dalam perang. Kedua, pelanggaran terhadap perlakuan yang tidak manusiawi kepada non kombatan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 pasal 3 dengan menyerang secara membabi buta tanpa membedakan antara kombatan dan penduduk sipil. Ketiga, pelanggaran pada prinsip pembedaan dan proporsionalitas yang dilakukan Israel dengan serangan pada objek publik seperti tempat ibadah, bandar udara, jalan umum, bukan pada objek militer. Selain itu, beberapa alasan politis menjadi salah satu konsideran penyerangan Israel secara membabi buta dan terus melakukan pelanggaran selama perang berlangsung seperti alasan National Security demi pencapaian kepentingan nasionalnya, dukungan Amerika Serikat dan misi balas dendam atas kekalahan mereka pada perang tahun 2000. E. METODE PENULISAN 1. Metode Penelitian Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis. Pendekatan ini diarahkan pada latar belakang secara holistic (utuh).30 2. Teknik Pengumpulan Data Mentode pengumpulan data menggunakan teknik penelitian kepustakaan (Library Reserach). Data yang digunakan adalah data-data yang diperoleh dari pemanfaatan buku-buku, diktat kuliah, majalah, jurnal, artikel internet maupun sumber tertulis lainnya. 3. Teknik Analisis Data 30 Lexy J.Moleong , Metodologi Penelitian Kualitatif , Remaja Rosdakarya Bandung 1995, hal.3 11 Penelitian ini dipaparkan dengan teknik analisis deskriptif kualitatif, menggunakan analisis data secara induktif. Analisa Induktif ini digunakan karena beberapa alasan, pertama, proses induktif lebih bnayak menemukan kenyataankenyataan yang terdapat di dalam data. Kedua, analisis induktif lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan antar variabel. Ketiga, analisis demikan dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik.31 Dengan demikian dapat ditarik hubunganhubungan antar data dan variabel yang ada, diintrepretasi selanjutnya ditarik kesimpulan. F. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan yang penulis pakai dalam menyusun skripsi ini adalah sebagai baerikut : BAB I : Membahas tentang konstruksi skripsi secara keseluruhan yang meliputi : alasan dari penulis yang memilih masalah ini sebagai obyek penelitian, latar be;lakang masalah, rumusan masalah, kerangka pemikiran, argumen pokok, dan sistematika penulisan. BAB II : Mendeskripsikan tentang sekilas sengketa antara Israel dan Lebanon serta tentang klausula-klausula subtantif Hukum Humaniter yang terkait dengan perang dan deskripsi serangan Israel ke Lebanon pada Juli sampai Agustus 2006 BAB III : Membahas tentang bentuk-bentuk pelanggaran Israel selama perang terhadap Hukum The Hague 1899 dan 1907, Konvensi Jenewa 1949 BAB IV : Membahas tentang hal-hal yang melatarbelakangi Israel melakukan pelanggaran perang secara terus menerus selama perang berlangsung BAB V : Adalah bab terakhir yang berisikan tentang kesimpulan dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya. 31 Ibid. 12