Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1 , Mei 2012 TRANSFORMASI KULTURAL MENUJU DEMOKRASI SUBSTANSIAL Oleh: Sugeng Bayu Wahyono Abstrak Demokrasi diyakini telah membawa perubahan politik dan kultural. Namun, sebenarnya masyarakat telah mempunyai tradisi yang sesuai dengan prinsip demokrasi tersebut. Nilai-nilai demokrasi seperti menghargai pendapat orang lain, toleransi, dan keterbukaan, terus hidup laten di kalangan akar rumput. Kondisi tersebut menunjukkan potensi akar rumput sebagai agen pembaruan menuju masyarakat transformatif secara kultural ke arah demokratisasi sepertinya jauh lebih besar, dibandingkan dengan kelas menengah. Ini artinya, budaya politik kalangan akar rumput yang bertingkah laku politik yang bersih justru perlu ditiru oleh kalangan elite politik. Tingkah laku politik yang bersih akan menghasilkan budaya politik yang menjunjung tinggi nilai kejujuran sebagaimana yang ditunjukkan oleh kalangan akar rumput pada level komunitas RT-RW justru perlu ditiru oleh elit politik pada level politik nasional Kata kunci: transformasi, agen, akar rumput Abstract Democracy is believed already bring social and cultural changes. However, actually people already has tradition that is approriate with principles of democracy. Principles of democracy such as respect another people argument, tolerance and inclusiveness, latently lives in grassroots people. This condition shows bigger potentiality from grassroots people as an renewal agent towards culturally transformative society into democratization rather than people from middle class. This means clean political culture of grassroots people should become a model for political elite. Clean political behavior will produce culture of politics that uphold the value of honesty as shown by grassroots people in community level (RT/RW), this should become a model for political elite in nasional level. Keywords : transformation, agent, grassroots 16 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial A. Pendahuluan tidak bisa bertahan hidup menuju demokrasi.1 Meski tesis Fukuyama ini ditentang oleh Avineri2 Meskipun terdapat sisi kelemahan, tetapi bagaimanapun sebagai demokrasi sistem tetap yang yang mengatakan bahwa nasionalisme, dan dianggap terbaik bukan demokrasi liberal yang ternyata sukses untuk menuju komunisme, yang berarti sejarah masih penyelenggaraan pemerintahan pada suatu belum negara. Dengan pilihan demokrasi, kedaulatan tetapi bagaimanapun demokrasi liberal tetap menjadi pilihan utama. berada di tangan rakyat, hak-hak sipil terjaga, suara dari bawah tersalur, dan Hak Asasi Di Manusia (HAM) dijamin. Karena itu, hampir di pengakuan setiap negara bangsa mempunyai cita-cita merdeka dan berdaulat, perjalanan sejarah menyelenggarakan sistem pemerintahan yang demokrasi juga mengalami pasang-surut. Pada demokratis, kendatipun dalam pencapaiannya awal kemerdekaan, dengan dipelopori oleh sering kali harus ditempuh dengan perjuangan kaum terdidik, ide demokrasi terus diintrodusir panjang. Bahkan tidak sedikit, negara yang harus sebagai dasar bagi sistem pemerintahan yang membayar dengan ongkos kemanusian tinggi dicita-citakan. tatkala dari terpilih sebagai kepala negara dan kepala penindasan rezim otoriter, yaitu jatuhnya pemerintahan untuk pertama kalinya, spirit korban jiwa dalam jumlah cukup signifikan. demokrasi memperjuangkan demokrasi sejak internasional Ketika terasa memperoleh sebagai kemudian begitu negara Soekarno menguat dan Soekarno menerapkan apa yang ia sebut sebagai antara kekuatan otoritarian berhadapan dengan demokrasi kekuatan pro demokrasi, dan pada akhirnya terpimpin, maka seketika itu demokrasi menjadi surut hingga kekuasaannya demokrasi keluar sebagai pemenang. Fukuyama perkembangan dunia, sendiri berjalan amat demokratis. Akan tetapi setelah sendiri senantiasa diwarnai oleh tarik-menarik menganalisis Indonesia puncaknya terselenggaranya Pemilu 1955 yang Sejarah perjalanan sebuah bangsa di dunia itu jatuh ke tangah rezim militer pimpinan bahwa Soeharto, dan Indonesia memasuki masa yang setelah jatuhnya negara-negara komunis yang dikenal dengan Orde Baru. ditandai runtuhnya Uni Soviet, maka demokrasi liberal berdiri sendiri tanpa ada pesaing, dan Pada masa Orde Baru, demokrasi semakin terasa sejarah perjalanan dunia telah berakhir dengan surut kemenangan Fukuyama Soeharto yang lebih memilih sistem politik beranggapan bahwa kaum nasionalis irasional otoriter dengan kekuasaan politik memusat demokrasi. Francis Fukuyama, 1992, The End of History andThe Last Man, New York: Free Press. Shlomo Avineri, 1992, The Return to History: 2The Breakup of the Soviet Union, Brookings Review 10; dan uraian lebih lengkap bisa dilihat Ghia Nodia, 1 berakhir; sebagai konsekuensi pilihan sadar Nationalism and Democracy, dalam Larry Diamond and Marc F. Plattner (ed) Nationalism, Ethnic Conflict, and Democracy, London: Johns Hopkins University Press. 1994. 17 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial pada eksekutif. diupayakan melegitimasi Seluruh aspek legalitas sedemikian rupa untuk kekuasaan yang sentralisasi penekan terhadap seluruh dan bahkan represif. Sudah bisa diduga, dalam situasi politik seperti politik pemusatan, Soeharto melakukan kontrol ketat dijinakkan adakalanya dilumpuhkan dengan kekuatan berporos pada Presiden. Dengan menerapkan secara berhasil itu maka kehidupan demokrasi mengalami masa kekuatan surut, dan Parpol sebagai salah satu pilar masyarakat yang terorganisir, tidak terkecuali demokrasi eksistensinya sangat lemah. Parpol partai politik. Pelan tapi pasti, Soeharto tidak lebih sekadar ornamen politik, yang hanya melakukan penyederhanaan Parpol melalui strategi fusi dengan menerapkan asas tunggal Pancasila. Negara tampil begitu perkasa, yang berfungsi untuk eksekutif dalam melegitimasi proses kehendak penyelenggaraan pemerintah yang penuh formalisme. Pemilu melakukan politik pengendalian dan politik sekadar menjalankan rutinitas politik yang perizinan terhadap aktivitas sosial politik meskipun berhasil terselenggara secara tertib, masyarakat, sehingga tidak ada satu kekuatan tetapi kualitas demokrasinya sangat rendah, dan alternatif yang mampu mengimbangi kekuasaan bahkan cenderung anti-demokrasi. eksekutif. Setelah Soeharto jatuh, Indonesia memasuki Para teoritisi menjelaskan bahwa fenomena negara transisi demokrasi, dan Pemilu kembali seperti itu merupakan kas negara korporasi.3 Di ke multipartai dengan sistem semi-distrik. bawah kendali Soeharto, Indonesia merupakan Secara sederhana masa transisi demokrasi negara yang korporatis. Peran negara di masa dipahami sebagai proses perubahan menuju Orde Baru begitu dominan di segala aspek kualitas sistem politik dan pemerintahan yang kehidupan, dan secara efektif menjalankan lebih demokratik.4 Pada Pemilu 1999 PDI-P fungsi kontrol terhadap masyarakat yang tampil sebagai pemenang, dan Pemilu 2004 eksesnya terhadap kehidupan demokrasi sangat Golkar kembali tampil sebagai pemenang. buruk. Melalui mekanisme politik pengendalian, Setelah negara masuk ke berbagai wilayah publik yang Indonesia memasuki apa yang disepakati sebagai era reformasi, kekuasaan perlahan tapi pasti mampu melumpuhkan tidak lagi terkonsentrasi pada negara dengan berbagai kekuatan pro demokrasi. Partai Politik, pelaku utama militer, birokrasi, dan kaum Ormas, lembaga legislatif, pers, organisasi konglomerat yang ketiganya menjadi agen profesi, mahasiswa, dan berbagai kelompok kekuatan kapitalisme global, maka muncul 3Negara korporatis adalah negara yang mengendalikan semua komponen kekuatan politik, baik kekuatan di seluruh lini institusi negara sendiri maupun kelompokkelompok masyarakat diluarnya. Uraian lengkap dapat dilihat pada Alfred Stepan, 1978, State and Society: Peru in Corporative Perspective. New Jersey: Princetton University Press. Untuk klasifikasi negara-negara lihat juga Maswardi Rauf, “Pendekatan-Pendekatan Dalam Ilmu Politik: Studi Penjajagan”, Ilmu dan Budaya. No. 7, April 1991, hlm. 524526. 4 Dikutip dari Kusnanto Anggoro, 1999, Gagasan Militer Mengenai Demokrasi, Masyarakat Madani dan Transisi Demokratik, Jakarta: CSIS, hlm.8. 17 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial kekuatan baru yaitu elit Parpol. Kemudian elit strategis menjadi perebutan kekuatan politik baru inilah yang kemudian menjadi kelompok- baru. Situasi ini kemudian menjadi momentum kelompok penekan yang mengontrol kebijakan kekuatan oligarki yang belum sepenuhnya negara melalui jalur politik di parlemen. rontok, berusaha keras untuk mempertahankan Fenomena bahwa diri. Mereka ini menjadi diuntungkan karena perkembangan politik Indonesia mengalami pemerintahan baru tidak mampu menyelesaikan pergeseran karakter dari negara korporasi kasus-kasus besar utang konglomerat dan (corporatist state), menuju negara organis praktik KKN kelas kakap, sehingga mereka ini (organic state).5 semakin mendominasi kembali. Dalam situasi negara seperti itu, penjelasan Kekuatan oligarki ini kemudian ikut bermain teoretik yang berangkat dari konsep hubungan dengan kekuatan politik baru. Hasil Pemilu 1999 negara-masyarakat, relevan. yang melahirkan lima kekuatan politik besar, yang PDIP, Golkar, PPP, PKB, dan PAN, dan karena itu berkembang, maka kekuasaan oligarki lebih kekuatan oligarki harus beradaptasi dengan dapat menjelaskan. Keberadaan kekuasaan kekuatan ini. Repotnya, aktor-aktor politik baru oligarki merupakan tidak akan dapat menghilangkan kebiasaan tuntasnya lama, yaitu bahwa politisi baru itu terbukti ini Berdasarkan mengindikasikan lagi kenyataan masih konsekuensi tidak tetap logis dari empiris kuat tidak pergantian elite bentukan Orde Baru. Mereka ini melakukan memang lahir dari sistem politik Orde Baru, dan dilakukan Soeharto bersama oligarkinya. Kini terus aktor-aktor politik baru menjadikan negara melakukan penyesuaian dengan perubahan politik di Indonesia. Munculnya BJ Habibie sebagai yang kekuasaan adalah menu politik mereka, dan ini terjadi tidak hanya di pusat pemerintahan, tetapi juga di daerah-daerah memanfaatkan era Habibie. Semua pertarungan ini bermuara otonomi daerah.6 Kekuatan oligarki ini terbukti makin rontoknya basis-basis oligarki yang mampu beradaptasi dengan perkembangan dibangun oleh Soeharto. Sejak saat itu pusataset-aset seperti menjadi rebutan diantara mereka. Bagi-bagi reformasi dan pro Soeharto maupun pro- dan sama Pusat-pusat kekuasaan dan aset-aset ekonomi pengganti pertarungan berbagai kelompok, baik yang pro- kekuasaan yang sebagai sasaran penjarahan atau sapi perah. Soeharto pada tahun 1998 turut memperluas pusat hal ekonomi Negara organis adalah negara yang posisinya dikendalikan oleh salah satu kelompok atau beberapa kelompok elit sosial. Negara organis dapat berbentuk negara fascis yang dikendalikan oleh kelompok tertentu atau perorangan seperti rezim Nazi di bawah Hitler di Jerman; dapat pula negara dijadikan alat pertarungan oleh kelompok-kelompok elit sosial untuk memperjuangkan kepentingan sempit mereka sendiri seperti negara-negara liberal Eropa Barat dan Amerika Serikat abad 17-19. Uraian lengkap dapat dilihat pada Alfred Stepan, 1978, State and Society: Peru in Corporative Perspective. New Jersey: Princenton University Press. Untuk klasifikasi negaranegara lihat juga, Maswardi Rauf, “Pendekatan-Pendekatan Dalam Ilmu Politik: Studi Penjajagan”, Ilmu dan Budaya No.7, April 1991, hlm. 524-526. 6 Lihat Richard Robinson dan Vedi R Hadiz, 2004, Reorganizing Power in The Politics of Oligarchy in an Age of Markets, London and New York: Routledge Curzon. 5 18 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial politik baru, termasuk membangun koalisi Untuk menyebut beberapa teoretisi yang masuk dengan kekuatan reformis. kategori pendukung kulturalis yang pernah melakukan studi di Indonesia antara lain, Don Tulisan ini akan mencoba melihat bagaimana Emerson, Ben Anderson, Clifford Geertz, Bill dinamika kehidupan politik pada era pasca Orde Baru dengan berbagai Liddle, Karl Jackson, dan Harold Crouch. kompleksitas Sementara itu, suatu studi yang bersifat permasalahan di seputar isu politik Indonesia kulturalis adalah Gabriel Almond dan Sidney kontemporer, melalui perspektif sosial budaya. Verba, ketika keduanya melakukan kajian di Harapannya dengan memberikan penjelasan secara sosio-kultural dapat lima negara yang kemudian melahirkan buku membantu yang sangat berpengaruh pada dekade 1970-an, mengidentifikasi permasalahan fundamental The Civic Culture. dalam upaya membangun Indonesia sebagai negara demokrasi yang substansial. Budaya politik, kata Almond dan Verba, merupakan sikap individu terhadap sistem politik dan komponen-komponennya, juga sikap individu terhadap peranan yang dimainkan B. Perspektif Budaya Politik dalam sebuah sistem politik. Budaya politik upaya tidak lain adalah orientasi psikologis terhadap menjelaskan fenomena politik, akan tetapi yang obyek sosial, dalam hal ini sistem politik yang paling sederhana dapat dibedakan dengan kemudian mengalami proses internalisasi ke pendekatan struktural dan kultural. Penjelasan dalam bentuk orientasi yang bersifat kognitif, ekonomi politik misalnya, termasuk bersifat afektif, dan evaluatif. strukturalis menjelasakan Orientasi yang bersifat kognitif merupakan dengan mengaitkan antara persoalan politik pemahaman dan keyakinan individu terhadap dengan masalah ekonomi. Ada juga pendekatan sistem politik dan atributnya, seperti tentang lain yang lebih cenderung strukturlis yaitu ibukota negara, lambang negara, kepala negara, dengan menjelaskan fenomena politik dari batas-batas negara, mata uang yang dipakai, dan analisis hubungan negara dan masyarakat sebagainya. Sementara itu orientasi afektif dengan kata kunci civil society. Pendekatan ini menyangkut ikatan emosional yang dimiliki cukup mampu menjelaskan fenomena politik di individu era Orde Baru dengan negara berposisi sebagai menyangkut feelings terhadap sistem politik. variabel utama dalam mempengaruhi berbagai Sedangkan orientasi yang bersifat evaluatif peristiwa politik yang ada. menyangkut kapasitas individu dalam rangka Sementara pendekatan yang bersifat kulturalis memberikan penilaian terhadap sistem politik meyakini bahwa kultur lebih dominan dalam yang sedang berjalan dan bagaimana peranan mempengaruhi individu di dalamnya. Terdapat beberapa yang cara mencoba berbagai dalam fenomena politik. 19 terhadap sistem politik. Jadi Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial Dalam suatu masyarakat yang sikap dan Meskipun format dan struktur politik sudah jauh orientasi oleh lebih demokratis jika dibandingkan dengan era akan Orde Baru, tetapi kultur politiknya masih belum parokial. mengalami transformasi, karena itu demokrasi Sementara, dalam sebuah masyarakat yang di Indonesia masih dalam tataran prosedural, sikap dan orientasi politiknya diwarnai oleh belum merupakan demokrasi yang substansial. politiknya karakteristik terbentuk yang bersifat budaya karakteristik didominasi politik yang kognitif yang bersifat afektif, akan Pernyataan seperti itu semakin kuat jika terbentuk budaya politik yang bersifat subyektif. Akhirnya, masyarakat yang dikaitkan memiliki mampu memberikan karakter sosiologis masyarakat Indonesia yang masih lebih terasa kompetensi politik yang tinggi, di mana warga masyarakat dengan sebagai masyarakat patrimonialistik. Dalam evaluasi masyarakat seperti itu, maka persoalan budaya terhadap proses politik yang sedang berjalan, politik menjadi lebih penting. Relasi dalam akan terbentuk sebuah budaya politik yang pergaulan sosial yang masih didasarkan pada bersifat partisipatif.7 pola patron-klien, di mana orang kecil akan Almond dan Verba mengemukakan tesis bahwa banyak mengikuti apa yang dilakukan oleh budaya politik yang demokratik, dalam hal ini mereka yang dianggap menjadi panutan, tanpa budaya akan mempersoalkan sendiri apakah yang dilakukan mendukung terbentuknya sistem politik yang oleh panutan itu benar atau salah. Dalam suatu demokratik dan stabil. Ia mengemukakan bahwa masyarakat dengan pola dasar patron-klien, berdasarkan hasil penelitiannya di sejumlah suatu budaya politik yang sangat tergantung negara yaitu di AS, Inggris, Jerman, Italia, dan kepada tingkah laku elit politiknya. Jika tingkah Meksiko, menemukan di negara-negara yang laku politik para elit politik baik, maka para mempunyai pengikutnya juga baik, dan begitu sebaliknya. politik yang budaya partisipatif, politik tinggi akan menopang demokrasi yang stabil. Sebaliknya, Masih dominannya budaya politik seperti itu negara-negara yang memiliki budaya politik mempunyai implikasi terhadap kesulitan dan rendah tidak mendukung terwujudnya sistem mendorong terjadinya transformasi menuju civil politik demokratik yang stabil. society. Demokrasi kemudian hanya pada Apabila menggunakan model dari Almond dan tataran bentuk, sementara perilaku warga masih Verba, dan kemudian melihat fenomena budaya jauh dari nilai demokrasi. Budaya politik dalam politik di Indonesia, maka banyak yang sepakat organisasi politik seperti Parpol pun juga sangat bahwa dominasi sikap dan orientasi politik yang terasa nuansa patrimonialistiknya. Kondisi ini parokial semakin mapan, ketika lahirnya berbagai parpol masih terasa hingga sekarang. Lihat Gabriel A Almond dan Sidney Verba, 1963, The Civic Culture, Princenton, New Jersey: Princenton University Press. 7 20 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial justru merupakan cermin dari karakteristik Tesis Almond dan Verba ini telah banyak sosio-kultural dikritik, antara lain oleh Brian Barry yang masyarakatnya. Karena itu, parpol yang bermunculan masih berakar pada mengatakan, basis ideologis dan politik aliran. ”teori ekonomi tentang demokrasi” hasilnya Dengan demikian, baik secara ternyata struktural ciri primordialistik tengah berbicara pengaruh struktur politik (realitas) yang kemudian dipersepsikan oleh kewenangan dan bahkan konsentrasi kekuasaan ketimbang struktur berbicara tentang kognisi, sebenarnya kita stabil. Birokrasi parpol pun lebih memberi politik, bahwa Arend Lijphart mengatakan, bahwa ketika kita sistem pemerintahan yang demokratis dan elit membuktikan menggunakan disebut budaya politik tersebut.8 Sementara yang menjadi faktor penyulit bagi upaya membangun kepada dengan politiklah yang melahirkan sikap-sikap yang maupun kultural, parpol di Indonesia masih mengedepankan bahwa masyarakat dan akhirnya menggumpal menjadi misalnya kognisi (kultur) yang kita maksud.9 memberikan peluang bagi penguatan daya tawar basis konstituennya. Proses pencalonan Kritik lain terhadap tesis Almond dan Verba pemimpin nasional, pemimpin daerah dalam adalah dianggap terlalu positivistik, yang Pilkada, dan penyusunan daftar urut Caleg, mengandaikan dinamika perkembangan budaya masih sangat terasa dominasi elit politik, dan politik secara linier dengan pretensi bahwa di bukan melalui proses dari bawah. Rakyat hanya tingkat perkembangan yang paling awal lebih menjadi buruk, obyek Parpol yang dan begitu seterusnya. Perspektif merepresentasikankepentingan elit politik, dan positivistik-linieristik seperti itu mengandaikan kemudian dijadikan alat legitimasi untuk bahwa rakyat bersifat pasif dan hanya mengikuti memperoleh saja apa yang dilakukan oleh patronasenya, kekuasaan. Caranya tidak diperoleh melalui tawaran program yang karena rakyat dianggap rasional dan berorientasi kepada pelayanan kompetensi rakyat, tetapi dimobilisasi melalui sentimen Argumen kaum positivistik seperti itu akan primordialistik, seperti etnis, agama, dan senantiasa menyetujui bahwa untuk mendorong kedaerahan. Dengan demikian, kemunculan terjadinya transformasi kultural menuju sistem banyak Parpol dalam sepuluh tahun terakhir ini pemerintahan yang demokratis, maka rakyat tidak berarti mendorong terciptanya sistem harus politik demokratis dan stabil, tetapi justru yang ditentukan, misalnya harus terdidik, sejahtera terjadi sebaliknya, yaitu elitis, pragmatik, dan secara ekonomi, dan memerlukan waktu yang anarkis yang semuanya anti nilai demokrasi. cukup untuk menunggu ke tahap perkembangan untuk memenuhi kurang bertindak prasyarat memiliki demokratis. yang telah yang diidolakan. Ungkapan yang khas dari Lihat Brian Barry, 1970, Sociologists, Economists, and Democracy. Chicago: University of Chicago Press. Arend Lijphart, 1984: Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Centuries. New Heaven Conn: Yale University Press. 8 9 21 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial pandangan positivistik-linieristik itu misalnya, perkembangan awal itu, mampu menjadi agen Amerika Serikat bisa mencapai tahap demokrasi untuk kehendak bersama berubah menjadi seperti sekarang diperlukan waktu sekitar 200 masyarakat yang demokratis. tahun, sedangkan Indonesia kan baru belum Itulah sebabnya, di era Orde Baru berkembang lama merdeka, jadi jangan berharap terjadi amat pesat pandangan developmentalistik yang demokratisasi yang berkualitas. Logika kaum positivistik memang dilandasi oleh teori-teori modernisasi dalam mengandaikan usaha perkembangan masyarakat secara linier, sama sekali tidak memperhitungkan mengubah masyarakat tradisional. Melalui program-program pembangunan sosial, bahwa ekonomi, dan politik mengandaikan masyarakat perkembangan sejarah masyarakat yang zig-zag. Indonesia masih sangat tertinggal dan bahkan Karena itu pendukung perspektif ini, termasuk primitif, serta senantiasa pasif. Akibatnya Almond dan Verba, kurang menyinggung muncul ironi-ironi, misalnya mensosialisasikan misalnya program-program lompatan ke depan. Pancasila melalui program P-4 ke masyarakat Pandangan positivistik juga sama sekali kurang desa, memperhitungkan adanya kemungkinan bahwa masyarakat desa sudah jauh lebih intens dalam masyarakat mengamalkan yang secara substantif tataran memiliki tradisi pengembangan seperti itu juga terjadi di era berdemokrasi. Ini merupakan implikasi logis reformasi, ketika pemerintah dan beberapa dari asumsi bahwa konstruksi perkembangan aktivis LSM terus mendorong demokratisasi masyarakat harus dimulai dari angka 1 dan desa, padahal warga masyarakat desa jauh kemudian sebelumnya awal, berkembang ke arah angka nilai-nilai telah Pancasila. warga pada perkembangan berada padahal menerapkannya dalam berikutnya secara linier dengan memenuhi berkomunitas prasyarat yang telah ditetapkan menurut tafsir demokrasi. Sebagai ilustrasi, warga masyarakat dari kelompok dominan yang menyebarkan dalam wacana. Oleh karena itu, tidak mengandaikan senantiasa menggunakan adanya akuntabilitas, transparans, fakta tradisional empiris telah bahwa masyarakat melakukan tradisi dengan Model berkomunitas di prinsip-prinsip tingkat RT-RW mekanisme dan partisipatif sebagaimana prinsip demokarasi. Penggunaan berdemokrasi. Bahkan melalui penjelasan teori- dana teori tradisional pembangunan misalnya, senantiasa dilaporkan dianggap sulit berkembang menjadi masyarakat secara transparan di depan forum-forum yang pertemuan modernisasi, demokratis masyarakat dan sejahtera karena bersama dalam warga. RT-RW Dalam untuk perencanaan terkungkung oleh nilai-nilai feodalistik dan pembangunan pun, warga selalu menggunakan patrimonial yang bersifat permanen. Tidak mekanisme dari bawah (bottom-up) dengan diandaikan sama sekali bahwa masyarakat mempertimbangkan aspirasi warga. tradisional yang diposisikan pada level 22 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial Oleh karena itu, menginginkan terjadinya substansial. transformasi kultural menuju kompetensi dalam berdemokrasi, tetapi tidak demokratisasi secara melalui mempunyai dalam substansial Kelompok elit komitmen mempunyai tinggi dalam eksperimen model konseptualisasi pandangan menerapkan kehidupan berdemokrasi secara kaum positivistik, mempunyai konsekuensi lebih substansial, karena pada hakekatnya waktu lama. Dominasi budaya politik parokial mereka lebih pro kemapanan. misalnya, harus diubah lebih dulu menjadi setapak lebih maju ke arah budaya politik subyektif, dan akhirnya ke budaya politik partisipan. Untuk mengurangi budaya politik C. Essensialisme Budaya parokial, maka orientasi politik yang didominasi Budaya politik juga bisa dijelaskan dari koginitif perlu diubah menjadi orientasi politik perspektif esensialisme dan konstruktivisme afektif, dan kemudian menuju orientasi politik budaya. evaluatif. kognitif mengatakan bahwa budaya politik adalah diasumsikan terjadi pada masyarakat level seperangkat nilai, norma dan kebiasaan yang bawah, tidak diperhitungkan sama sekali bahwa menjadi dasar bagi tingkah laku para elit politik. justru orientasi politik pada level kognitif itu Seterusnya diandaikan pula bahwa budaya terjadi pada masyarakat yang berada strata politik tersebut didasarkan pada nilai-nilai kelas atas. Bahkan kalangan elit politik yang budaya dominan yang sedang berlaku. Kaum menganggap dirinya mempunyai tingkat melek esensialisme budaya mengandaikan bahwa nilai, politik tinggi, justru orientasi politiknya hanya norma, dan ketentuan normatif lainnya adalah terbatas pada kognisi, sementara pada tataran sesuatu yang baku, tetap, dan permanen. tindakan (action) kurang mendorong sistem Berangkat dari asumsi itu, maka kubu ini demokrasi. Logikanya, mereka yang menikmati percaya jika ada tingkah laku politik yang tidak struktur sosial yang tidak adil justru adalah sesuai dengan seperangkat rumusan normatif kaum elit, karena itu mereka cenderung itu maka terjadi penyimpangan budaya politik. memapankan. mereka Pandangan ini mengandaikan bahwa warga mempunyai kognisi demokrasi yang tinggi, dan negara bersifat pasif, selalu mengikuti ketentuan mampu evaluasi terhadap sistem politik yang normatif, dan tidak mampu menjadi agen untuk berlaku, melakukan perubahan. Repotnya Karena tetapi orientasi itu cenderung meski memapankan struktursosial-politik yang tidak egalitarian. semacam partisipan, justru tidak mendorong terjadinya sistem esensialis berkembang di kalangan elit politik, dan menjadi orientasi politik evaluatif dan berbudaya politik arah kaum politik tidak lain dari nilai dan kebiasaan yang Indonesia, bahwa kelompok yang memiliki ke Pandangan Konstruktivisme Mengikuti pengertian seperti itu, maka budaya Dengan kata lain, yang sering terjadi di transformasi dan sub-kultur dalam kalangan ini. Masalahnya timbul karena nilai-nilai dan demokrasi 23 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial kebiasaan tersebut dianut oleh sekelompok bukanlah suatu yang tetap, baku, dan permanen. orang yang relatif berkuasa dan berpengaruh Dengan demikian dalam berbicara budaya secara politik. Akibatnya, nilai-nilai, pandangan, politik yang perlu diperhatikan adalah, bahwa kebiasaan dan tingkah laku kelompok sosial ini kebudayaan tidaklah hanya berisikan nilai-nilai dengan mudah menyebar, diikuti dan diterima dan norma-norma, tetapi sekaligus memberikan oleh kalangan masyarakat yang lebih luas. kemungkinan yang sama besarnya bahwa nilai Dengan demikian, kalau dalam bidang ekonomi dan norma tersebut diselewengkan untuk gaya hidup kelas menengah kota mudah kepentingan ekonomi, kepentingan kekuasaan, menjalar dan ditiru oleh strata sosial lainnya atau (juga kalau pendapatn mereka sebenarnya tidak penyelewengan tersebut juga dengan mudah mencukupi gaya hidup dilakukan atas nama nilai-nilai budaya yang tersebut), maka budaya politik adalah semacam sama. Secara teoretis dapatlah dikatakan: “gaya hidup” yang dengan mudah menular budaya politik tidak sekadar menjadi dasar bagi kepada warga negara biasa yang tidak menjadi tingkah laku politik, tetapi juga dibentuk dan bagian dari elit politik (meskipun tingkah laku diberi wujud nyata oleh tingkah laku politik. tersebut tidak selalu disetujuinya secara sadar). Hubungan antara budaya politik dan tingkah Jika untuk membiayai mengandaikan adanya kepentingan lainnya, dimana laku politik bukanlah bahwa yang pertama transformasi mempengaruhi yang kedua, tetapi jugabahwa kultural dalam perilaku politik di Indonesia tingkah laku politik mempengaruhi wujud dan menuju ke arah yang lebih demokratis, maka sifat budaya politik. Ini berarti, tingkah laku gugatan terhadap perspektif teoretik kaum politik yang bersih akan menghasilkan budaya esensialisme budaya, perlu dilakukan. Artinya, politik tidak mungkin ada transformasi kultural jika yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, dan sebaliknya tingkah laku politik berkembang persepsi bahwa suatu nilai dan yang korup akan menghasilkan budaya politik norma bersifat tetap, dan tidak terbuka yang dengan mudah memaafkan (dan pada kemungkinan untuk berubah menyesuaikan akhirnya dengan realitas empiriknya. Oleh karena itu jika membenarkan), berbagai penyelewengan.10 ingin tetap konsisten dalam diskusi tentang budaya politik, dan mengandaikan adanya Itu berarti mengandaikan adanya agen bagi transformasi kultural, maka perlu mengadopsi upaya perspektif budaya politik dari pandangan kaum demokratis. Persoalannya siapa yang berpotensi konstruktivisme budaya. menjadi agen perubahan kultural ke arah Pandangan kaum konstruktivisme transformasi budaya politik yang perilaku politik demokratis secara masif? Dalam budaya berbagai kajian ilmu politik, kelas menengah meyakini bahwa nilai, norma, dan kebiasaan itu Lihat Ignas Kleden, Budaya Politik atau Moralitas Politik?. Artikel, Kompas, 12 Maret 1998, hlm.4-5. 10 24 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial sering dianggap sebagai lokomotif demokrasi mampu mendorong transformasi kultural ke yang berpotensi menarik gerbong masyarakat arah politik demokratis yang substansial? yang berkehendak terhadap terwujudnya sistem Banyak studi menginformasikan bahwa kelas pemerintahan yang demokratis. Di negara- menengah di Indonesia relatif kurang mampu negara berkembang, kelas menengah sering menjadi lokomotif pembaruan, termasuk dalam diandalkan untuk tampil sebagai agen kekuatan mendorong demokratisasi. Pada era Orde Baru pembaruan dari sebuah sistem politik yang anti kelas menengah Indonesia praktis tidak berdaya demokrasi. Korea Selatan misalnya, sering di tengah kuatnya pemberlakuan sistem politik disebut-sebut sebagai cerita sukses kelas yang otoriter. William Liddle melihat bahwa menengah yang mampu mendorong masyarakat tersendatnya demokratisasi di Indonesia pada ke arah pemerintahan demokratis, setelah era Orde Baru adalah dikarenakan pertumbuhan negara tersebut berada dalam pemerintahan kelas menengah yang tertatih-tatih. Liddle junta militer yang otoriter. menunjuk kelas menengah itu sebagai kaum majikan, wiraswastawan atau pengusaha yang Sementara itu, negara-negara di Eropa Timur pasca Perang Dingin merupakan tak kelewat besar sampai menjadi konglomerat, contoh tapi cukup makmur. Ciri mereka independen, tak kegagalan negara-negara yang tidak mampu bergantung memanfaatkan momentum transisi demokrasi. seharusnya negara di kawasan Eropa Timur masuk dalam negara yang memasuki negara tinggi berjalan lamban, karena kelas menengah kurang instrumen lantaran pada pemerintah. karena selama Mereka ini merasa mendapat Liddle ingin menunjukan bahwa ada hubungan antara keberadaan kelas menengah dengan politik, dan bahkan elit politik menggunakan sebagai Tetapi yang terakomodir. Dengan demikian, maka proses demokrasi hanya berlangsung di kalangan elit demokrasi otoriter. perlindungan dan banyak kepentingan mereka demokrasi ke kelas bawah. Dengan kata lain, bahwa yang tergantung mentransformasikan disebabkan posisi kelompok yang mempunyai ketergantungan tersebut mengalami kegagalan, atau paling tidak itu memperkuat independen maka yang sering terlihat adalah tetapi transisi demokrasi di negara-negara kegagalan dapat terbatasnya kaum menengah pengusaha yang dan beberapa negara pecahan Uni Soviet. Akan dalam pemerintah. masyarakat ketika berhadapan dengan kekuatan transisi demokrasi, seperti Polandia, Bulgaria, Rumania, berperan kebaikan Keberadaan kelas menengah ini menurut Liddle, Setelah runtuhnya Uni Soviet, banyak Negarakategori pada berlangsungnya demokratisasi, dimana kelas untuk menengah yang tertaih-tatih (misal di Indonesia memperoleh kekuasaan baru. pada waktu zaman Orde Baru) juga dapat Bagaimana peran kelas menengah di Indonesia, memberikan dampak kepada tersendatnya dalam konteks membangun sistem pemerintah proses demokratisasi. yang demokratis? Apa- kah kelas menengah 25 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial Kelas menengah yang tidak mempunyai otonomi bukan semata-mata tekanan dari dalam negeri relatif terhadap negara, karena memang kelas yang digalang oleh mahasiswa, tetapi tekanan menengah bentukan pemerintah atau mendapat krisis ekonomi yang melibatkan permainan fasilitas dari pemerintah, maka kurang mampu kekuatan kapitalisme global justru terasa lebih menjadi lokomatif pembaruan. Oleh karena itu, signifikan pengaruhnya terhadap perubahan perubahan signifikan situasi politik di Indonesia politik di Indonesia. meski terdapat peran kelas menengah, tetapi Semua itu menjadi indikator lemahnya kelas secara substantif tidak cukup signifikan. Sikap menengah sebagai pendorong perubahan dalam kritis memang selalu ditunjukan oleh golongan sejarah kelas menengah, tetapi dalam sejarah politik di lepas dari faktor eksternal, yaitu menuju sistem pemerintahan demokratis secara lebih substansial. Boleh jadi itu juga merupakan misalnya, perubahan dari era pemerintahan implikasi logis kolonial Belanda ke era kemerdekaan, meski terpeliharanya peran kaum terpelajar dan pergerakan yang menengah politik representasi dengan terus berusaha di Eropa dan Asia. Demikian pula perubahan mengartikulasikan suara dari kelompok akar politik dari era pemerintahan Soekarno ke era rumput. Akan tetapi, pada saat situasi politik cukup relatif stabil kelas menengah justru dengan menonjol, akan tetapi tidak lepas dari skenario cepat menjadi bagian dari elit politik yang politik Amerika Serikat dalam kaitan dengan menghuni struktur kelas atas. Pada titik itulah tarik-menarik kepentingan ekonomi-politik di kemudian hubungan kelas menengah dengan era Perang Dingin. kelas akar rumput menjadi renggang. Sementara itu, perubahan politik dari era Orde Ketika kelas menengah masuk menjadi bagian Baru yang otoriter ke era reformasi meski tidak dari sistem, keterlibatan mereka dalam proses mengecilkan peran kelas menengah, terutama mahasiswa, kelas krisis politik, kelas menengah sering melakukan dunia yang dilanda oleh perang berkepanjangan kalangan hubungan Dalam momen tertentu, atau pada saat- saat tidak lepas dari perubahan konstelasi politik dari dari kurang intensif dan dengan kelompok akar rumput (grassroot). dipolopori oleh kaum kelas menengah, juga peran mahasiswa Indonesia. ketidaklancaran proses transformasi kultural dari dunia internasional. Sebagai ilustrasi meski di pembaruan menjadi titik lemah terjadinya perubahan atau kehendak yang dikendalikan Soeharto, politik Ketidakmampuan kelas menengah sebagai agen Indonesia adanya perubahan politik senantiasa tidak pergulatan namun pengambilan keputusan seringkali terasa lebih faktor pro kemapanan dan bahkan pemilik modal. eksternal dalam bentuk pengkondisian krisis Berbagai produk perundangan legislatif yang ekonomi nasional yang tidak lepas dari skenario merupakan lembaga perwakilan rakyat, banyak negara-negara besar, sepertinya akan sulit yang tidak pro rakyat kelas bawah, tetapi justru terjadi. Jatuhnya rezim pemerintahan Soeharto, pro kaum kapital. Meskipun proses politik 26 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial lahirnya sebuah undang-undang pada era substansial yang ditandai kesejahteraan rakyat reformasi terasa lebih demokratis, tetapi secara dan proses politik yang damai. substansial kurang bermuatan kepentingan rakyat. Elit politik legislatif yang kebanyakan D. Kesimpulan: Akar Rumput sebagai Agen dari kelas menengah justru mengalami erosi kepekaan terhadap aspirasi rakyat bawah. Alih- Jika kelas menengah tidak bisa menjadi alih mendengar suara aspirasi rakyat, malah di tumpuhan dalam transformasi kultural ke arah antara mereka banyak yang lupa sebagai demokrasi substansial, pembawa golongan akar mandat rakyat. Mereka justru mengkonsolidasikan rumput sebagai agen kemudian menyalahgunakan kekuasaan dengan transformasi bisa menjadi tawaran menarik. ramai-ramai Tawaran ini mengandaikan bahwa perilaku melakukan penyimpangan, sehingga banyak di antara mereka terlibat kasus budaya tindak pidana korupsi. dikendalikan oleh sistem yang berlaku atau juga yang diyakini kebenarannya oleh elit politik. Di Banyak kebijakan yang tidak pro rakyat, tetapi sini diandaikan terjadi proses dekonstruksi atas demi orientasi pertumbuhan mereka antusias mengeksplorasi sektor ekstraktif semata-mata berarti bisa dilepaskan begitu saja dari nilai-nilai pencerabutan dari akar basis demokrasinya. asing tidak yang cenderung pro kemapanan. Budaya politik masuk dalam jajaran eksekutif juga mengalami investor rakyat tidak mengikuti perilaku budaya politik elitnya Sementara itu, kalangan kelas menengah yang mengundang politik konstruksi yang telah terbentuk secara mapan untuk tetang nilai-nilai yang pada prinsipnya anti atau demokrasi. pertambangan dan hasil hutan. Hampir semua Kepala Daerah dalam era Otonomi Daerah, Dalam kehidupan politik keseharian di kalangan justru menempuh kebijakan yang pro kapital masyarakat sebenarnya dan melakukan praktik padat modal yang berorientasi sudah banyak demokrasi. Prinsip pertumbuhan ekonomi daerah. Sementara itu partisipasi misalnya, dalam unit komunitas RT- tidak banyak yang berusaha mengedepankan RW telah mengedepankan prinsip partisipasi kebijakan pro rakyat yang padat karya dan dalam beriorientasi pada pemerataan. Akibatnya, pembangunan di seputar lingkungan sosialnya. kesenjangan sosial ekonomi tetap lebar dengan Prinsip mengedepankan transparansi juga telah elit daerah sebagai penikmat atau yang lebih menjadi dikenal sebagai penerima berkah otonomi mekanisme pertanggungjawaban dana daerah. Semua itu mengindikasikan bahwa pembangunan yang dana demokrasi yang dijalankan masih berada pada masyarakat. Perencanaan yang dibuat, kegiatan tataran prosedural, dan belum berjalan secara yang dilaksanakan, dan kebijakan yang diambil, setiap kultur melaksanakan yang terus digalang aktivitas hidup dalam dari semuanya dapat dipertanggungjawabkan di 27 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial depan publik sesuai dengan prinsip level komunitas RT-RW justru perlu ditiru oleh akuntabilitas. Jadi elit dalam berkomunitas pemerintahan masyarakat pada unit bawah telah Sebaliknya, Nilai-nilai demokrasi transformatif secara rumput ke berpotensi mendorong korup yang menjadi budaya agen politik bersih dalam dan demokratis. masyarakat kultural politik nasional. menunjukkan bahwa justru kalangan akar rumput. Karena itu potensi akar rumput sebagai menuju perilaku politik rumput dalam politik pada level desa. Itu semua seperti keterbukaan, terus hidup laten di kalangan akar pembaruan level tidak akan pernah ditiru oleh kalangan akar menghargai pendapat orang lain, toleransi, dan agen pada ditunjukkan oleh elit politik pada level nasional, mempunyai tradisi yang sesuai dengan prinsip demokrasi. politik arah Dalam perspektif budaya yang nilai-nilai yang demokratisasi sepertinya jauh lebih besar, konstruktivistik, dibandingkan dengan kelas menengah yang mendasari selama ini telah diasumsikan sebagai agen penyimpangan akan bisa diubah oleh kalangan demokrasi akar di negara-negara berkembang. bahwa politik perilaku rumput. politik Pandangan yang penuh konstruktivistik Karena itu jika fungsi kelas menengah sebagai memposisikan akar rumput sebagai subyek yang lokomotif demokrasi kurang bisa berjalan aktif dan mampu melakukan dekonstruksi secara efektif, maka fungsi itu bisa diambil alih terhadap budaya politik mapan yang tidak oleh kalangan akar rumput. bersih rumput demokrasi dalam kehidupan berkomunitas. budaya Transformasi dan kemudian meniru budaya politik akar rumput yang telah menunjukkan perilaku politik asumsi demokrasi. bawah dengan kesediaan elit untuk bercermin bercermin pada budaya politik kalangan akar demikian anti kultural dalam berdemokrasi bisa berjalan dari Atau paling tidak, kalangan elit politik bisa Dengan dan yang justru telah sejak lama menjalankan prinsip demokrasi secara lebih politik substansial. esensialistik yang mengandaikan perilaku elit politik yang senantiasa akan ditiru oleh rakyat, sekalipun perilaku bertentangan dengan nilai Daftar Pustaka demokrasi, tidak berlaku. Yang terjadi justru sebaliknya, budaya politik kalangan Arend, Lijphart. 1984. Democracies: Patterns of akar Majoritarian and Consensus Government rumput yang bertingkahlaku politik yang bersih in Twenty-One Countries, New Heaven justru perlu ditiru oleh kalangan elit politik. Tingkah laku politik yang bersih Conn: Yale University Press. akan Almond, Gabriel A. dan Sidney Verba.1963. The menghasilkan budaya politik yang menjunjung tinggi nilai kejujuran sebagaiman Civic Culture. Princeton, New Jersey: yang Princeton University Press. ditunjukkan oleh kalangan akar rumput pada 28 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, 2012 Sugeng Bayu Wahyono Transformasi Kultural Menuju Demokrasi Substansial Avineri, Shlomo. 1992, “The Return to History: The Breakup of the Soviet Union”, Brookings Review 10 Barry, Brian. 1970, Sociologists, Economists and Democracy. Chicago: University of Chicago Press. Fukuyama, Francis.1992. The End of History and The Last Man. New York: Free Press. Ghia Nodia. 1994. “Nationalism and Democracy”, dalam Larry Diamond and Marc F. Plattner (ed) Nationalism, Ethinic Conflict, and Democracy. London: Johns Hopkins University Press. Ignas Kleden, Budaya Politik atau Moralitas Politik?, artikel, Kompas, 12 Maret 1998, hal. 4-5. Kusnanto Anggoro. 1999. Gagasan Militer Mengenai Madani, Demokrasi, dan Masyarakat Transisi Demokratik. “Pendekatan –Pendekatan Jakarta: CSIS Maswardi Rauf, Dalam Ilmu Politik: Studi Penjajagan”, Ilmu dan Budaya. No. 7, April 1991 Robinson, Richard dan Hadiz, Vedi R. 2004, Reorgananising Power in The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London and New York: Routledge Curzon. Stepan, Alfred. 1978. State and Society: Peru in Corporative Perspective. New Jersey: Princetton University Press. 29