obat-obat kalsium antagonis - Repodig Untan

advertisement
MAKALAH
PENGGUNAAN KALSIUM ANTAGONIS
PADA SINDROM KORONER AKUT
Disusun Oleh :
dr. Didiek Pangestu Hadi
NIP. 198212242009121003
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2012
1
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah "Sindrom Koroner Akut" (SKA) mengacu pada suatu gangguan yang
berhubungan erat dengan angina tidak stabil (UA) dan non-ST elevasi miokard infark
(NSTEMI) dan ST elevasi MI. Angka kejadian sindrom koroner akut meliputi 1.8
juta orang tiap-tiap tahun di USA dimana mayoritas 1.4 juta berkaitan dengan UA
dan NSTEMI. Gangguan ini diakibatkan oleh pembentukan suatu trombus
intravaskular. Gangguan ini mengakibatkan paparan prokoagulan dari isi atheroma
yang dimasukkan ke dalam peredaran darah. Pada NSTEMI, thrombus di dalam
umumnya hanya secara parsial dan atau secara temporer menyebabkan sumbatan.
Oleh karena itu, terapi menggunakan antiplatelet dan antithrombin pada awal terapi
digunakan untuk menghambat atau menghentikan perkembangan trombus dalam
manajemen UA dan NSTEMI.1
Berbagai penelitian standar terapi trombolitik secara besar-besaran telah
dipublikasikan untuk infark miokard akut (IMA) dengan harapan memperoleh hasil
optimal dalam reperfusi koroner maupun stabilisasi koroner setelah iskemia.2
Tahun 1980 adalah era berkembangnya metode pengobatan tersebut.
Kemudian pada 1990 perhatian lebih difokuskan pada paradigma baru sindrom
koroner akut (SKA) yang mencakup infark miokard dengan non ST elevasi
(NSTEMI) dan angina pektoris tak stabil (APTS). Sebelumnya hanya ditujukan untuk
1
IMA dan gagal jantung. Troponin T/I masih merupakan "gold standard" untuk
diagnosis maupun penanganan SKA sebagaimana telah dilakukan di Eropa.2
Konsep terapi baru untuk memperbaiki aliran darah koroner telah digunakan
beberapa tahun terakhir. Konsep terapi itu antara lain terapi trombolitik,
antitrombotik, dan penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa yaitu "GP IIb/IIIa
inhibitor", meskipun pendekatan lama tidak ditinggalkan, misalnya oksigenasi pasien,
pemberian nitrogliserin (NTG), penghambat beta adrenergik, atau pemberian
vasodilator.2
Obat golongan vasodilator yang salah satunya adalah calcium-channel
blockers atau kalsium antagonis telah diperkenalkan ke dalam ilmu pengobatan klinik
sejak tahun 1960an dan sekarang, obat ini digunakan untuk pengobatan
kardiovaskular. Obat ini sudah terbukti efektif pada pasien dengan hipertensi,
sindrom koroner akut, dan berhubungan dengan aritmia jantung serta pada pasien
dengan kelainan fungsi diastolik, Sindrom Raynaud's, Migren, serta spasme
esopagus.3
Berikut ini, akan dibahas mengenai peranan obat-obat kalsium antagonis
dalam pengobatan sindrom koroner akut.
2
BAB II
ISI
Definisi SKA
Sindroma koroner akut (SKA) yaitu suatu fase akut dari APTS yang disertai
IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa
gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya
trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil (Vulnerable).2,4,6,7
Sindrom ini menggambarkan suatu penyakit yang berat, dengan mortalitas
tinggi. Mortalitas tidak tergantung pada besarnya prosentase stenosis (plak) koroner,
namun lebih sering ditemukan pada penderita dengan plak kurang dari 50-70% yang
tidak stabil, yakni fibrous cap „dinding (punggung) plak‟ yang tipis dan mudah erosi
atau ruptur.2,4,5,7
Patofisiologi SKA
SKA dimulai dengan adanya ruptur plak arteri koroner, aktivasi kaskade
pembekuan dan platelet, pembentukan trombus, serta aliran darah koroner yang
mendadak berkurang. Hal ini terjadi pada plak koroner yang kaya lipid dengan
fibrous cap yang tipis (vulnerable plaque). Ini disebut fase plaque disruption
„disrupsi plak‟. Setelah plak mengalami ruptur maka tissue factor „faktor jaringan‟
dikeluarkan dan bersama faktor VIIa membentuk tissue factor VIIa complex
mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa sebagai penyebab terjadinya produksi
3
trombin yang banyak. Adanya adesi platelet, aktivasi, dan agregasi, menyebabkan
pembentukan trombus arteri koroner. Ini disebut fase acute thrombosis „trombosis
akut‟.2,6,7,8
Proses inflamasi yang melibatkan aktivasi makrofage dan sel T limfosit,
proteinases, dan sitokin, menyokong terjadinya ruptur plak serta trombosis tersebut.
Sel inflamasi tersebut bertanggung jawab terhadap destabilisasi plak melalui
perubahan dalam antiadesif dan antikoagulan menjadi prokoagulan sel endotelial,
yang menghasilkan faktor jaringan dalam monosit sehingga menyebabkan ruptur
plak.2,7,8
Oleh karena itu, adanya leukositosis dan peningkatan kadar CRP merupakan
petanda inflamasi pada kejadian koroner akut (IMA) dan mempunyai nilai
prognostik. Pada 15% pasien IMA didapatkan kenaikan CRP meskipun troponin-T
negatif. Haidari dan kawan-kawan meneliti hubungan antara serum CRP dengan
penyakit jantung koroner (PJK) secara angiografi terhadap 450 individu. Ternyata,
secara bermakna kadar CRP dengan PJK lebih tinggi daripada kontrol (2,14 mg/L
dibanding 1,45 mg/L) dan hubungan tersebut menandakan adanya proses inflamasi
pada PJK.2,7,8
Endotelium mempunyai peranan homeostasis vaskular yang memproduksi
berbagai zat vasokonstriktor maupun vasodilator lokal. Jika mengalami aterosklerosis
maka segera terjadi disfungsi endotel (bahkan sebelum terjadinya plak). Disfungsi
endotel ini dapat disebabkan meningkatnya inaktivasi nitrit oksid (NO) oleh beberapa
4
spesies oksigen reaktif, yakni xanthine oxidase, NADH/NADPH (nicotinamide
adenine dinucleotide phosphate oxidase), dan endothelial cell Nitric Oxide Synthase
(eNOS). Oksigen reaktif ini dianggap dapat terjadi pada hiperkolesterolemia,
diabetes, aterosklerosis, perokok, hipertensi, dan gagal jantung. Diduga masih ada
beberapa enzim yang terlibat dalam produk radikal pada dinding pembuluh darah,
misalnya lipooxygenases dan P450-monooxygenases. Grindling dkk. mengobservasi
bahwa angiotensin II juga merupakan aktivator NADPH oxidase yang poten. Ia dapat
meningkatkan inflamasi dinding pembuluh darah melalui pengerahan makrofage
yang menghasilkan monocyte chemoattractan protein-1 dari dinding pembuluh darah
sebagai aterogenesis yang esensial.2,7,8
Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri koroner akibat disfungsi
endotel ringan dekat lesi atau respons terhadap lesi itu. Pada keadaan disfungsi
endotel, faktor konstriktor lebih dominan (yakni endotelin-1, tromboksan A2, dan
prostaglandin H2) daripada faktor relaksator (yakni nitrit oksid dan prostasiklin).2,7,8
Seperti diketahui bahwa NO secara langsung menghambat proliferasi sel otot
polos dan migrasi, adesi leukosit ke endotel, serta agregasi platelet dan sebagai
proatherogenic. Melalui efek melawan, TXA2 juga menghambat agregasi platelet
dan menurunkan kontraktilitas miokard, dilatasi koroner, menekan fibrilasi ventrikel,
dan luasnya infark.2,7,8
SKA yang diteliti secara angiografi 60-70% menunjukkan obstruksi plak
aterosklerosis yang ringan sampai dengan moderat, dan terjadi disrupsi plak karena
5
beberapa hal, yakni tipis - tebalnya fibrous cap yang menutupi inti lemak, adanya
inflamasi pada kapsul, dan hemodinamik stress mekanik.2,7,8
Adapun mulai terjadinya SKA, khususnya IMA, dipengaruhi oleh beberapa
keadaan, yakni aktivitas/latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan), stress
emosi, terkejut, udara dingin, waktu dari suatu siklus harian (pagi hari), dan hari dari
suatu mingguan (senin). Keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan
peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar
jantung meningkat, kontraktilitas jantung meningkat, dan aliran koroner juga
meningkat. Dari mekanisme inilah beta blocker mendapat tempat sebagai pencegahan
dan terapi.2,7,8
Diagnosis SKA
Sesuai dengan cara mendiagnosis IMA, ada 3 komponen yang harus
ditemukan, yakni: (1) Sakit dada, berupa APTS; (2) Perubahan EKG, berupa
gambaran STEMI/NSTEMI dengan atau tanpa gelombang Q patologik; (3)
Peningkatan enzim jantung (paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal), terutana
CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk nekrosis miokard.
Nilai normal troponin ialah 0,1--0,2 ng/dl, dan dianggap positif bila > 0,2
ng/dl.2,6,7,8,9,10
Troponin T/I mulai meningkatkan kadarnya pada 3 jam dari permulaan sakit
dada IMA dan menetap 7–10 hari setelah IMA 18. Troponin T/I mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas tinggi sebagai petanda kerusakan sel miokard dan
6
prognosis. Di Eropa sudah menjadi pedoman untuk diagnosis maupun terapi agresif
sampai dengan intervensi. Penelitian PRISM juga menggunakan standar troponin-T/I
pada pasien SKA risiko tinggi yang dicoba dengan tirofiban (GPIIb/IIIa-I).2,7
Pada sakit dada, apakah ruptur plak akan menyebabkan tanpa gejala, APTS,
NSTEMI/STEMI, atau mati (jantung) mendadak tergantung pada: dalamnya ruptur,
miliu trombolitik, dan sirkulasi kolateral.2
APTS dan NSTEMI adalah akibat oklusi total, sementara pembuluh koroner
dengan reperfusi spontan, sedangkan STEMI akibat dari oklusi trombotik yang
menetap. Sebanyak 30–40% SKA terjadi tanpa gejala yang dapat disadari pasien
bahwa ia mempunyai penyakit jantung iskemik ( PJI ).2
Menifestasi klinik disrupsi plak tergantung pada derajat, lokasi, lamanya
iskemi miokard, dan cepatnya pembentukan trombi serta vasokonstriksi sekitar plak.2
Penanganan SKA
Oklusi total yang terjadi lebih dari 4-6 jam pada arteri koroner akan
menyebabkan nekrosis miokard yang irreversibel, dengan gambaran Q-MCI. Namun,
dengan terapi reperfusi yang cepat dan adekuat dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas.2
Dalam menangani SKA dapat dibagi menjadi:2,9
1. Fase sebelum masuk rumah sakit (prehospital stage), yang kemungkinan tanpa
komplikasi atau sudah ada komplikasi, harus diperhatikan dengan seksama.
7
2. Fase masuk rumah sakit (hospital stage) yang dimulai di Instalasi Gawat Darurat
(IGD) dengan tujuan terapi untuk: pencegahan terjadinya IMA, pembatasan
luasnya infark, dan pemeliharaan fungsi jantung (miokard).
Kemudian dilanjutkan perawatan di ruang intensif kardiovaskular (RIK),
dengan lebih lanjut memperhatikan sasaran terapi berupa: (1) pencapaian secara
komplit dan cepat reperfusi aliran darah daerah infark; dan (2) menurunkan risiko
berulannya IMA dengan berbagai terapi medikamentosa.2
Sebelum menindaklanjuti pengobatan SKA, Braunwald membagi klasifikasi
APTS menjadi:2,9
1. Berat - ringannya SKA
o
Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan
nyeri pada waktu istirahat, atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 kali per
hari.
o
Kelas II: Sub-akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan
pada waktu istirahat.
o
Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.
2. Klinis
o
Kelas A: Sekunder, dicetuskan oleh hal-hal di luar koroner, seperti anemia,
infeksi, demam, hipotensi, takiaritmi, tirotoksikosis, dan hipoksia karena
gagal napas.
o
Kelas B: Primer.
8
o
Kelas C: Setelah infark (dalam 2 minggu IMA).
3. Intensitas terapi
o
Belum pernah diobati.
o
Dengan anti angina (penghambat beta adrenergik, nitrat, dan antagonis
kalsium)
o
Antiangina dan nitrogliserin intravena.
Tahap Awal dan Cepat Pengobatan Pasien SKA2,6,7,9,10

Oksigenasi
Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi kekurangan oksigen
pada miokard yang mengalami cedera serta menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini
dilakukan sampai dengan pasien stabil dengan level oksigen 2–3 liter/menit secara
kanul hidung.

Nitrogliserin (NTG)
Digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-mula secara sublingual
(SL) (0,3–0,6 mg) atau aerosol spray. Jika sakit dada tetap ada setelah 3x NTG setiap
5 menit dilanjutkan dengan drip intravena 5–10 ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit)
dan tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah
memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan kebutuhan oksigen di
miokard; menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah tegangan dinding
ventrikel; dilatasi arteri koroner besar dan memperbaiki aliran kolateral; serta
menghambat agregasi platelet (masih menjadi pertanyaan).
9

Morphine
Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan;
mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan venous capacitance;
menurunkan tahanan pembuluh sistemik; serta nadi menurun dan tekanan darah juga
menurun, sehingga preload dan after load menurun, beban miokard berkurang,
pasien tenang tidak kesakitan. Dosis 2–4 mg intravena sambil memperhatikan efek
samping mual, bradikardi, dan depresi pernapasan.

Aspirin
Harus diberikan kepada semua pasien SKA jika tidak ada kontraindikasi
(ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah menghambat siklooksigenase–1 dalam
platelet
dan
mencegah
pembentukan
tromboksan-A2.
Kedua
hal
tersebut
menyebabkan agregasi platelet dan konstriksi arterial.
Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menyatakan bahwa
Aspirin menurunkan mortalitas sebanyak 19%, sedangkan "The Antiplatelet Trialists
Colaboration" melaporkan adanya penurunan kejadian vaskular IMA risiko tinggi
dari 14% menjadi 10% dan nonfatal IMA sebesar 30%.
Dosis yang dianjurkan ialah 160–325 mg perhari, dan absorpsinya lebih baik
"chewable" dari pada tablet, terutama pada stadium awal. Aspirin suppositoria (325
mg) dapat diberikan pada pasien yang mual atau muntah. Aspirin boleh diberikan
bersama atau setelah pemberian GPIIb/IIIa-I atau UFH (unfractioned heparin).
10
Ternyata efektif dalam menurunkan kematian, infark miokard, dan berulangnya
angina pectoris.

Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine
Derivat tinopiridin ini menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu
perdarahan, dan menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP
(adenosine diphosphate) pada reseptor platelet, sehingga menurunkan kejadian
iskemi.
Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46% kematian vaskular dan nonfatal
infark miokard. Dapat dikombinasi dengan Aspirin untuk prevensi trombosis dan
iskemia berulang pada pasien yang telah mengalami implantasi stent koroner. Pada
pemasangan stent koroner dapat memicu terjadinya trombosis, tetapi dapat dicegah
dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari) bersama Ticlopidine 2 x 250
mg/hari. Colombo dkk. memperoleh hasil yang baik dengan menurunnya risiko
trombosis tersebut dari 4,5% menjadi 1,3%, dan menurunnya komplikasi perdarahan
dari 10–16% menjadi 0,2–5,5%. Namun, perlu diamati efek samping netropenia dan
trombositopenia (meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi purpura trombotik
trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada minggu II–III.
Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan
Aspirin, namun tidak ada korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi
gastrointestinalnya bila dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya risiko
perdarahan. Didapatkan setiap 1.000 pasien SKA yang diberikan Clopidogrel, 6
11
orang membutuhkan tranfusi darah. Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat
diabsorbsi dan mulai beraksi sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah
pemberian obat dan 40–60% inhibisi dicapai dalam 3–7 hari .
Penelitian CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of Ischemic
Events) menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna lebih efektif daripada
ASA untuk pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah (IMA, stroke) pada
aterosklerosis (Product Monograph New Plavix).
Penanganan SKA Lebih Lanjut2,6,7,9,10

Heparin
Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-preparat baru yang
lebih aman (tanpa efek samping trombositopenia) dan lebih mudah pemantauannya
(tanpa aPTT). Heparin mempunyai efek menghambat tidak langsung pada
pembentukan trombin, namun dapat merangsang aktivasi platelet. Dosis UFH yang
dianjurkan terakhir (1999) ialah 60 ug/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 12
ug/kg/jam maksimum bolus, yaitu 4.000 ug/kg, dan infus 1.000 ug/jam untuk pasien
dengan berat badan < 70 kg.

Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH)
Diberikan pada APTS atau NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH
mempunyai kelebihan dibanding dengan UFH, yaitu mempunyai waktu paruh lebih
lama; high bioavailability; dose–independent clearance; mempunyai tahanan yang
tinggi untuk menghambat aktivasi platelet; tidak mengaktivasi platelet; menurunkan
12
faktor von Willebrand; kejadian trombositopenia sangat rendah; tidak perlu
pemantauan aPTT; rasio antifaktor Xa / IIa lebih tinggi; lebih banyak menghambat
alur faktor jaringan; dan lebih besar efek hambatan dalam pembentukan trombi dan
aktivitasnya.
Termasuk dalam preparat ini ialah Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxi-parin.
Dosis Fraxiparin untuk APTS dan NQMCI: 86 iu antiXa/kg intravena bersama
Aspirin (maksimum 325 mg) kemudian 85 iu antiXa/kg subkutan selama 6 hari : 2 x
tiap 12 jam (Technical Brochure of Fraxiparin. Sanofi–Synthelabo).

Warfarin
Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran bahwa pengobatan
jangka panjang dapat memperoleh efek antikoagulan secara dini. Tak ada perbedaan
antara pemberian Warfarin plus Aspirin dengan Aspirin saja (CHAMP Study, CARS
Trial) sehingga tak dianjurkan pemberian kombinasi Warfarin dengan Asparin.

Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I)
Obat ini perlu diberikan pada NSTEMI SKA dengan risiko tinggi, terutama
hubungannya dengan intervensi koroner perkutan (IKP). Pada STEMI, bila diberikan
bersama trombolitik akan meningkatkan efek reperfusi (studi GUSTO V dan
ASSENT-3). GUSTO V membandingkan Reteplase dengan Reteplase dan
Abciximab (GPIIb/IIIa-I) pada IMA, sedangkan ASSENT–3 membandingkan antara
Tenecteplase kombinasi dengan Enoxaparin atau Abciximab dengan Tenecteplase
kombinasi UFH pada IMA , yang ternyata tak ada perbedaan pada mortalitas.
13
Efek GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet tersebut dan cukup kuat
terhadap semua tipe stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan serotonin. Ada 3
preparat, yaitu Abciximab, Tirofiban, dan Eptifibatide yang diberikan secara
intravena. Ada juga secara peroral, yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan Ximilofiban.
GPIIb/IIIa-I secara intravena jelas menurunkan kejadian koroner dengan segera,
namun pemberian peroral jangka lama tidak menguntungkan, bahkan dapat
meningkatkan mortalitas.
Secara invitro, obat ini lebih kuat daripada Aspirin dan dapat digunakan untuk
mengurangi akibat disrupsi plak pada tindakan IKP. Banyak penelitian besar telah
dilakukan, baik GPIIb/IIIa-I sendiri maupun kombinasi dengan Aspirin, Heparin,
maupun pada saat tindakan angioplasti dengan hasil cukup baik. Namun, tetap perlu
diamati
komplikasi
perdarahannya
dengan
menghitung
jumlah
platelet
(trombositopenia) meskipun ditemukan tidak serius. Disebut trombositopenia berat
bila jumlah platelet < 50.000 ml.
Dasgupta dkk. (2000) meneliti efek trombositopenia yang terjadi pada
Abciximab tetapi tidak terjadi pada Eptifibatide atau Tirofiban dengan sebab yang
belum jelas. Diduga karena Abciximab menyebabkan respons antibodi yang
merangsang
kombinasi
platelet
meningkat
dan
menyokong
terjadinya
trombositopenia.
Penelitian TARGET menunjukkan superioritas Abciximab dibanding Agrastat
dan tidak ada perbedaan antara intergillin dengan derivat yang lain. Penelitian
14
ESPRIT memprogram untuk persiapan IKP, ternyata hanya menguntungkan pada
grup APTS.

Direct Trombin Inhibitors
Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang berisi 65 asam amino polipeptida yang
mengikat langsung trombin. GUSTO IIb telah mencoba terapi terhadap 142 pasien
APTS/NSTEMI dan STEMI, namun tidak menunjukan perbedaan yang bermakna
terhadap mortalitas.

Trombolitik
Dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch block (LBBB) baru,
dapat menurunkan mortalitas dalam waktu pendek sebesar 18%, namun tidak
menguntungkan bagi kasus APTS dan NSTEMI. Walaupun tissue plasminogen
activator (t-PA) kombinasi dengan Aspirin dan dosis penuh UFH adalah superior dari
Streptokinase, hanya 54% pasien mencapai aliran normal pada daerah infark selama
90 menit. Trombolitik terbaru yang diharapkan dapat memperbaiki patensi arteri
koroner dan mortalitas ialah Reteplase (r-PA) dan Tenecteplase (TNK-t-PA), karena
mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada t-PA. Namun, ada 2 penelitian besar
membandingkan t-PA dengan r-PA plus TNK-t-PA, namun ternyata tidak ada
perbedaan dan risiko perdarahannya sama saja.

Obat-obat Lain
Penghambat Beta Andrenergik
15
Efeknya ialah menurunkan frekuensi debar jantung sehingga menyebabkan
waktu diastolik lebih lama; menurunkan kontraktilitas miokard dan beban jantung;
menghambat stimulasi katekolamin; serta menurunkan pemakaian oksigen miokard.
Obat ini baik untuk APTS / NSTEMI dan dapat menurunkan luasnya infark,
reinfark, serta mortalitas. Tetapi ingat kontraindikasinya, seperti bradikardi, blok AV,
asma bronkial, atau edema paru akut.
Penghambat Enzim Konversi Angiotensin
Boleh diberikan pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi <
40%) maupun GJK. Dalam jangka pendek, tidak banyak perubahan, namun akan
banyak berarti dalam jangka panjang. Efeknya ialah membatasi perluasan infark;
menurunkan sistem neurohumoral; dan meningkatkan aliran darah kolateral.
Magnesium
Tidak dianjurkan secara rutin. Mempunyai efek menurunkan risiko aritmi
ventrikel sehingga menurunkan mortalitas.
Penurunan Kadar Lipid
Terutama golongan statin yang dalam jangka (relatif) lama dapat membantu
memperbaiki pasien setelah IMA dan APTS (frekuensi sekunder). MIRACL
(Myocardial Ischemia Reduction with Aggressive Cholesterol Lowering Study)
menyimpulkan bahwa Atorvastatin 80 mg/hari dapat menurunkan berulangnya iskemi
dalam 16 minggu. Statin mempunyai manfaat lebih, selain penurun kadar Lipid
(LDL/TG) juga mempunyai efek antitrombotik dan antiagregasi platelet melalui
16
mekanisme hambatan terhadap eNOS (endothelial cell Nitric Oxide Synthase),
sehingga mencegah disfungsi endotel dan disebut sebagai efek "pleiotropic".
Recombinan Human Erythropoeitin
Digunakan pada anemia dengan penyakit arteri koroner, namun dapat
memperberat penyakit jantung iskemik itu sendiri.
IKP/PCI (Percutaneus Coronary Intervention)
Tindakan ini akan memperbaiki risiko hidup pada berulangnya infark dalam
30 hari, yaitu 11,9%, dibandingkan terapi trombolitik yang 7,2 % dan risiko stroke.
Hasil memuaskan telah dicoba dengan IPK bersama Stenting dan terapi
GPIIb/IIIa-I 3,17. IPK sendiri sebenarnya dapat menyebabkan disrupsi plak koroner,
namun telah dicoba dengan GPIIb/IIIa-I dapat menurunkan risiko tersebut . IPK harus
dipertimbangkan pada pasien STEMI usia lanjut ( >75 tahun), sebab risiko kematian
cukup tinggi dengan trombolitik.
Antagonis Kalsium
Verapamil, kalsium antagonis pertama yang bermanfaat dalam klinik, adalah hasil
usaha untuk mensintesa analog papaverin yang lebih aktif, suatu alkaloid vasodilator
yang ditemukan dalam opium poppy. Sejak itu, berlusin-lusin obat dengan strukutr
yang berlainan telah ditemukan memiliki aksi farmakologi yang serupa. Nifedipin
adalah prototype dari kalsium antagonis famili dihidropiridin; berlusin-lusin molekul
dari famili ini telah diselidiki, dan enam yang telah disetujui AS untuk angina dan
indikasi lainnya. Nifedifin adalah yang paling banyak dipelajari dari kelompok ini,
17
tetapi sifat-sifat dihidropidin lainnya dapat dianggap sama dengan nifedipin kecuali
disebutkan tersendiri.11,12
Farmakokinetik
Kalsium antagonis adalah obat yang aktif per oral. Obat-obat ini ditandai oleh
adanya efek first past yang tinggi, dan metabolisme yang hebat.11,12
Farmakodinamik
A. Mekanisme Kerja: Bukti-bukti terakhir mengusulkan adanya tiga jenis kanal
kalsium yang tergantung voltase (selain dari kanal kalsium yang dioperasikan
reseptor seperti reseptor α1). Kanal kalsium yang bergantung pada voltase
dikategorikan sebagai tipe L, tipe T, atau tipe N, tergantung apakah saluran ini
bersifat konduktansi besar, semntara lama buka atau distribusi neuronal.Tipe yang
keempat, tipe P, mungkin terdapat di dalam jaringan-jaringan lain. Kanal kalsium
tipe L adalah tipe yang dominant di dalam otot jantung dan otot polos serta
diketahui mengandung beberapa reseptor obat. Telah ditunjukkan bahwa,
nifedipin dan dihidropiridin lainnya mengikat pada satu sisi, sedangkan verapamil
dan diltiazem tampaknya mengikat pada reseptor yang mirip tetapi tidak sama di
sisi lainnya. Pengikatan suatu obat pada reseptor verapamil atau diltiazem juga
mempengaruhi
pengikatan
dihidropiridin.
Sisi-sisi
reseptor
ini
bersifat
stereoselektif , karena terdapat perbedaan yang mencolok dalam kemampuan
mengikat stereoisomer dan dalam potensi farmakologik dari enasiomer-enasiomer
dari verapamil, diltiazem, dan turunan nifedipin yang aktif secara optik.11,12
18
Penghambatan oleh obat-obat ini mirip dengan hambatan saluran natrium oleh
obat anastesi local; obat-obat tersebut bekerja dari sebelah dalam membrane dan
mengikat secara lebih efektif pada kanal dari membrane yang terdepolarisasi.
Pengikatan obat tampkanya mengubah cara kerja kanal dari suatu mode dimana
pembukaan terjadi secara onsisten setelah depolarisasi menjadi mode dimana
pembukaan tersebut jarang terjadi. Hasilnya adalah suatu penurunan yang nyata
dari aliran kalsium transmembran yang disertai dengan suatu relaksasi otot polos
yang lama dan penurunan kontraktilitas otot jantung serta menurunkan kecepatan
pacemaker
sinus
nodus
dan
pengurangan
kecepatan
konduksi
nodus
atrioventrikular. Otot polos yang memberikan respon pada influks kalsium
melalui kanal kalsium yang diatur reseptor juga dikurangi oleh obat-obat ini tetapi
tidak seberapa besar. Penghambatan tersebut sebagian dihilangkan dengan
meningkatkan konsentrasi kalsium, walaupun konsentrasi kalsium yang
diperlukan tidak mudah dicapai. Penghambatan juga dapat dihilangkan sebagian
dengan menggunakan obat-obat yang meningkatkan lairan kalsium transmembran
seperti obat simpatomimetik.11,12
Kanal kalsium tipe T dan tipe N kurang sensitive terhadap penghambatan oleh
kalsium antagonis. Oleh karena itu, jaringan-jaringan dimana kedua tipe ini
berperan utama saraf-saraf dan banyak kelnjar-kelenjar sekretoris kurang
dipengaruhi oleh obat-obat kalsium antagonis dibandingkan terhadap otot polos
dan otot jantung.11,12
19
B. Efek-efek pada Sistem Organ
1. Otot polos- kebanyakan tipe otot polos tergantung pada influks kalsium
transmembran untuk tonus normal dalam keaadaan istirahat dan untuk responrespon kontraksi. Sel-sel ini direlasikan oleh obat-obat kalsium antogonis.
Otot polos vaskular tanpak paling sensitive, tetapi relaksasi yang serupa dapat
ditunjukkan pada otot polos bronkioli, gastrointestinal, dan uterus. Pada
system vaskuler, arterioli tampaknya lebih sensitif dibandingkan vena;
hipotensi ortostatik merupakan efek yang sering terjadi. Tekanan darah dapat
dikurangi, terutama dengan nifedipin. Wanita bisa sensitif dari pada pria
terhadap efek hipotensi diltiazem. Pengurangan tahanan vaskular perifer
merupakan mekanisme mengapa kalsium antagonis bermanfaat pada
penderita angina pectoris karena latihan (angina of effort). Pengurangan tonus
arteri koronaria telah terbukti pada penderita angina varian.11,12
Perbedaan penting pada “selektivitas vascular” dapat ditemui pada
obat-obatan kalsium antgonis. Umumnya, golongan dihidropiridin memiliki
rasio efek otot polos vaskular terhadap jantung yang lebih besar dibandingkan
dengan efek bepridil, diltiazem, dan verapamil. Lebih lajut, dihidropidin bisa
berbeda-beda potensinya pada vaskular beds yang berbeda. Misalnya,
nimodipin dikatakan selektif, terutama untuk pembuluh darah otak.11,12
2. Otot jantung- otot jantung sangat tergantung pada influks kalsium untuk
untuk fungsi yang normal. Pembangkitan impuls didalam nodus sinoatrial dan
20
koduksi dalam nodus atrioventrikular yang disebut “respon lambat” atau
“kerja
potensial
yang
tergantung
kalsium”
antagonis
mengurangi
kontraktilitas jantung dan curah jantung yang sifatnya bergantung pada dosis.
Pengurangan fungsi mekanis ini merupakan cara kerja kalsium antagonis
didalam mengurangi kebutuhan oksigen pada penderita angina pektoris.11,12
Keuntungan
tambahan
dari
hambatan
influks
kalsium
telah
ditunjukkan dalam percobaan infark miokard. Karena iskemia menyebabkan
depolarisasi membrane, influks kalsium didalam sel-sel iskemik ditingkatkan.
Kalsium intraseluler yang meningkat mempercepat aktivitas beberapa enzim
yang menggunakan ATP, yang makin mengurangi simpanan energi sel-sel
yang memang sudah kurang, membuat jantung lebih peka terhadap kerusakan
yang disebabkan oleh iskemia. Kalsium antagonis telah ditunjukkan untuk
melindungi sel-sel jantung terhadap efek kerusakan dari kalsium dengan
mengurangi insidens arirmia dan luas infaks pada binatang percobaan.11,12
Perbedan-perbedaan penting antara obat-obat kalsium antagonis yang
tersedia timbul dari sifat-sifat interaksinya dengan ion kanal jantung dan,
seperti disebutkan diatas, perbedan-perbedaan efek relative pada otot polos
dan jantung. Saluran natrium jantung dihambat oleh bepridil tetapi kurang
efektif dibandingkan saluran kalsium. Saluran natrium dihambat secara
sedang oleh verapamil dan kurang oleh diltiazem. Nifedipin dan
dihidropiridin lainnya tidak mempunyai efek hambatan terhadap saluran
21
natrium jantung. Verapamil dan diltiazem berinteraksi secara kinetik dengan
respon kalsium antagonis dengan cara yang berbeda dari dihidropiridin;
mereka menghambat takikardia pada sel-sel yang bergantung kalsium,
misalnya, nodus atrioventrikular, secara lebih selektif dari pada disebabkan
oleh dihidropiridin. Dilain pihak, dihidropiridin tampaknya menghambat
saluran kalsium otot polos pada konsentrasi yang lebih rendah dari dibutuhkan
untuk hambatan terhadap jantung; oleh karena itu mereka kurang efek
penekanan terhadap jantung dibandingkan verapamil dan diltiazem. Berpridil
juga memiliki efek hambatan terhadap kanal kalium pada jantung. Ini
menyebabkan perpanjangan pada jantung. Ini menyebabkan perpanjangan
repolarisasi jantung dan suatu resiko induksi terjadinya aritmia.11,12
3. Otot rangka-otot rangka tidak ditekankan oleh kalsium antagonis sebab otot
rangka menggunakan simpanan kalsium intrasel untuk mendukung gangguan
eksitas dan kontraksi serta tidak memerlukan influk kalsium transmembran
kalsium yang banyak.11,12
4. Vasopasme dan infark serebral setelah terjadi perdarahan subaraknoid.
Nimopridin, suatu anggota dihidropiridin kalsium antagonis, memiliki suatu
afinitas yang tinggi terhadap pembuluh darah serebral dan tampak
mengurangi morbiditas yang terjadi setelah perdaraham subarakhnoid yaitu
suatu morbiditas yang kemungkinan disebabkan oleh vasospasme yang
ditimbulkan oleh keluarnya darah ke jaringan. Oleh karena itu nimodipin
22
digunakan pada penderita yang telah menderita perdarahan subarakhnoid.
Beberapa bukti juga menyarankan bahwa kalsium antagonis mungkin juga
mengurangi kerusakan serebral setelah stroke tromboembolik. Jika ini
memang benar, tidak diketahui dengan jelas apakah manfaat ini dihasilkan
oleh vasodilatasi serebral atau dari kurangnya kebutuhan oksigen oleh
saraf.11,12
5. Efek-efek lain-kalsium antagonis secara minimal mengganggu gabungan
stimulus sekresi didalam kelenjer-kelenjer dan ujung-ujung saraf karena
perbedaan antara kanal kalsium pada jaringan yang berlainan, seperti
diterangkan diatas. Verapamil telah diperlihatkan untuk menghambat
pelepasan insulin pada manusia, tetapi dosis yang diperlukan adalah lebih
besar dari pada dosis yang dibutuhkan untuk digunakan pada angina.11,12
Verapamil telah diperlihatkan untuk menghambat glikoprotein P170
yang bertanggung jawab pada transport banyak jenis obat-obat yang keluar
dari sel-sel kanker (dan sel-sel lainya); kalsium antagonis lainya tampak juga
memiliki efek yang sama. Tidak seperti penghambatan kanal kalsium, kerja
ini tidaklah streospesifik. Peningkatan ekspresi protein pembawa obat P170
disertai oleh berkembangnya resistensi sel-sel kanker terhadap kemoterapi.
Verapamil telah ditunjukkan secara menghilangkan sebagian resistensi sel-sel
kanker terhadap banyak obat-obat kemoterapeutik in vitro.11,12
23
Toksisitas
Efek toksik terpenting yang dilaporkan dari kalsium antagonis adalah
perluasaan langsung dari aksi terapeutiknya. Hambatan terhadap influks kalsium yang
berlebihan dapat menyebabkan penekanan terhadap jantung yang hebat, meliputi
jantung berhenti, bradikardia, penghambatan atrioventrikular, dan gagal jantung
kongestif. Efek-efek toksik demikian ini jarang terjadi didalam pemakaian klinik.
Bepridil secara konsisten memperpanjang kerja potensial jantung dan pada penderita
yang peka bisa menyebabkan suatu aritmia atau sindrom QT yang memanjang.
Penderita-penderita yang sedang mendapat obat-obat penghambat adrenoseptor beta
lebih sensitive terhadap efek kardiodepresan kalsium antagonis. Toksisitas minor
(biasanya tidak memerlukan penghentian obat) meliputi flusing, edema, pusing,
hyperplasia gingiva, mual, dan konstipasi.11,12
Mekanisme Efek-Efek Klinis
Kalsium antagonis mengurangi tenaga kontraksi miokard yang selanjutnya
mengurangi kebutuhan miokard. Hambatan terhadap masuknya kalsium ke dalam
otot polos arterial disertai dengan menurunnya tonus arterioli dan resistensi vascular
sistemik, menghasilkan penurunan tekanan arterial dan tekanan intraventrikular.
Beberapa dari obat ini, misalnya verapamil juga menghambat adrenoseptor alfa yang
mungkin menyebabkan vasodilatasi perifer. Sebagai hasil dari semua efek ini,
tegangan dinding ventrikel kiri berkurang, yang mengurangi kebutuhan iksigen
miokard. Menurunnya kecepatan denyut jantung pada penggunaan verapamil,
24
diltiazem, atau bepridil lebih lanjut menurunkan kebutuhan oksigen miokard. Obatobat kalsium antagonis juga menghilangkan dan mencegah spasme arteria koronarius
yang merupakan mekanisme utama angina varian. Penggunaan obat kalsium
antagonis telah menjadi suatu pengobatan yang efektif untuk angina jenis ini.11,12
Seperti telah disebutkan di atas, obat-obat kalsium antagonis berbeda-beda
dalam efek kardiovaskular kliniknya. Jaringan nodus sinoartrial dan atrioventrikular,
yang terutama terdiri atas sel-sel yang responnya lambat, dipengaruhi terutama oleh
verapamil, secara sedang oleh diltiazem dan sangat kurang oleh nifedipin. Jadi,
verapamil dan diltiazem menurunkan konduksi nodus arterioventrikular dan efektif di
dalam penanganan supraventricular reentry tachycardia dan di dalam menurunkan
respon ventricular pada arterial fibrilasi atau flutter. Nifedipin tidak mempengaruhi
konduksi atrioventrikular. Antagonisme simpatis yang nonspesifik paling nyata
dengan diltiazem dan sangat kurang dengan verapamil. Nifedipin tampaknya tidak
memiliki efek yang demikian. Jadi, refleks takikardia paling sering terjadi dengan
nifedipin dan kurang dengan verapamil pada respon terhadap hipotensi. Perbedaanperbedaan dalam efek farmakologik ini harus dipertimbangkan dalam memilih
kalsium antagonis untuk pengobatan angina.11,12
Penggunaan Klinis Obat-Obat Kalsium Antagonis
Obat-obat kalsium antagonis berguna pada sindrom koroner akut dengan
meningkatkan aliran darah koroner ke seluruh tubuh dan ke daerah-daerah iskemik;
untuk mengurangi kebutuhan oksigen miokard dengan cara mengurangi tahanan
25
vaskular perifer. Pada beberapa penderita, suatu aliran koroner dapat meningkatkan
pengiriman oksigen ke jaringan-jaringan iskemik. Kalsium antagonis juga dapat
meningkatkan pengiriman oksigen miokard dengan menghilangkan spasme arteri
koronaria.7,10,11
Efek terpenting dari kalsium antagonis adalah vasodilatasi koroner dengan
perbaikan penyaluran darah dan penyerahan oksigen ke otot jantung, vasodilatasi
perifer dengan menurunnya daya tahan pembuluh darah sehingga afterload
berkurang, menekan kerja jantung dengan berkurangnya daya dan frekuensi detak
jantung sehingga penggunaan oksigen pada pembebanan fisik dan emosional
berkurang serta menghindarkan pembekuan eritrosit hingga kelenturannya terpelihara
dan bentuknya tetap bisa berubah guna memasuki kapiler kecil dari jaringan yang
mengalami hipoksia.10,12
Selain pada angina, kalsium antagonis memiliki efikasi yang pasti pada
hipertensi dan takiaritmia supraventrikular. Obat-obat ini juga menunjukkan harapan
dalam banyak kondisi lainnya, termasuk kardiomiopati hipertropik, migren,
fenomena Raynaud, preservasi jaringan pasca infark, dan arteriosklerosis.11
Pemilihan suatu obat kalsium antagonis tertentu harus dibuat dengan
pengetahuan tentang efek sampingnya yang spesifik, sama halnya dengan sifat-sifat
farmakologiknya. Nifedipin tidak mengurangi konduksi arterioventrikular dan oleh
karena itu dapat dipakai secara lebih aman pada keadaan terdapat abnormalitas
konduksi arterioventrikular. Suatu kombinasi verapamil atau diltiazem dengan
26
penghambat beta bisa menghasilkan hambatan arterioventrikular dan penekanan
fungsi ventrikel. Pada keadaan gagal jantung yang jelas, semua kalsium antagonis
dapat menyebabkan keadaan gagal jantung menjadi lebih buruk sebagai hasil dari
efek inotropik negative. Penelitian telah melaporkan suatu angka kematian yang lebih
tinggi pada penderita gagal jantung kongestif bila diobati dengan kalsium antagonis;
oleh karena itu kalsium antagonis dikontraindikasikan sebagai vasodilator pada
pengobatan gagal jantung. Pada tekanan darah yang relative rendah, nifedipin dapat
menyebabkan tekanan darah menjadi lebih rendah dan berbahaya. Verapamil dan
diltiazem kurang menyebabkan hipotensi dan mungkin ditolerir lebih baik pada
keadaan demikian. Pada penderita dengan riwayat atrial takikardia, artrial flutter, dan
artrial fibrilasi, verapamil dan diltiazem memberikan suatu keuntungan yang nyata
karena efek antiaritmianya. Pada penderita dengan digitalisasi, verapamil harus
digunakan secara hati-hati, sebab verapamil dapat meningkatkan kadar digoksin
dalam darah melalui suatu interaksi farmakokinetik. Walaupun peningkatan kadar
digoksin dalam darah terjadi juga dengan diltiazem dan nifedipin, namun lebih
kurang bila dibandingkan dengan verapamil. Kombinasi verapamil dan diltiazem
berguna pada penanganan angina tidak stabil karena dapat mengurangi serangan
dibandingkan dengan penggunaan beta blocker.7,11
27
BAB III
PENUTUP
Sindrom koroner akut ialah suatu kejadian koroner dengan mortalitas yang
cukup tinggi, perlu penanganan yang cepat, cermat dan tepat, baik diagnostik maupun
terapi noninvasif serta invasif.
Obat–obat baru telah banyak ditemukan dengan efektivitas lebih baik, namun
perlu pemahaman indikasi, kontra indikasi dan efek samping obat, dengan
pemantauan yang cermat dan seksama agar tak terjadi hal-hal yang merugikan pasien,
seperti adanya trombositopenia, perdarahan maupun ulkus lambung.
Pertimbangan biaya memang perlu diperhatikan, meski pertimbangan manfaat
sama efektifnya terhadap terapi maupun tindakan, namun yang lebih menguntungkan
dan aman bagi pasien juga menjadi pemikiran para dokter.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Janice, Douglas. Hypertension, Acute Coronary Syndrom, Heart Failure. National
Medical Asccotiation Annual Scientific Convention 2004; (online),
(http://www.emedicine.com.html).
2. Wasid, H.A. Konsep Baru Penanganan Sindrom Koroner Akut . Altavista 2005;
(online), (http://www.altavista.com.html, diakses 28 juli 2009)
3. Allastair, J.J.W. Calsium Antagonist Drug. NEJM vol. 341 2002; (online),
(http://www.emedicine.com.html).
4. Maynard, S.J. Management of Acute Coronary Synndromes. Regional Medical
Cardiology
Centre,
Royal
Victoria
Hospital
2004;
(online),
(http://www.emedicine.com.html).
5. Anonimous. Sindrom Koroner Akut.
(http://www.emedicine.com.html).
Harian
Kompas
2007;
(online),
6. Ever D. Grech dan David R. Acute Coronary Syndrom. Dalam: Buku ABC of
Interventional Cardiology BMJ Book. England, 2005. .
7. David, D. Waters. Diagnosis and Management Patient with Unstable Angina.
Dalam: Hurst The Health vol 2 10th Edition. 2001.USA; 50.
8. Drew E.F. Acute Coronary Syndrome. Department Emedicine St. Mary M.C
2007; (online), (http://www.emedicine.com.html, diakses 28 juli 2009).
9. Braunwald. Unstable Angina. In: A Textbook of Cardiovascular. McGraw-Hill
Pub. 2001. P:107-91.
10. Predinant K. Unstable Angina. Dalam: Buku Current Diagnosis and Treatment in
Cardiology 2nd Edition. 2001. McDraw-Hill Pub; 155.
11. Bestram Z. Katzung. Vasodilator dan Pengobatan Angina Pektoris. Dalam:
Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi IV. EGC, Jakarta. 20002.
12. Tan Hoan Tjay. Antihipertensi. Dalam: Obat-obat Penting Edisi V.Elex Media
Komputindo; Jakarta. 2004.
29
Download