Pemberdayaan Petani Untuk Pemenuhan Kebutuhan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Petani
Tingkat kemandirian petani dipengaruhi oleh kualitas sumberdaya petani.
Menurut Slamet (2003), meskipun para petani yang hidup di pedesaan dan pelosok-pelosok yang jauh dari pusat-pusat peradaban modern dan sering disebut-sebut sebagai terbelakang, bodoh dan miskin, tetapi mereka adalah manusia seperti
kita semua yaitu memiliki potensi dan kemampuan, disamping juga memiliki
kebutuhan dan keinginan. Keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan bukanlah
sesuatu yang akan melekat secara abadi pada para petani dan yang jelas itu semua
bukanlah kemauan dan keinginan mereka. Para petani itu memiliki potensi dan
kemampuan. Sekarang kemampuan mereka mungkin masih rendah, tetapi mereka
mempunyai potensi untuk meningkatkannya. Mereka pun memiliki berbagai
kebutuhan dan keinginan yang akan dapat mereka penuhi sendiri bilamana potensi
dan kemampuan mereka mendapat kesempatan untuk berkembang.
Selanjutnya menurut Slamet (2003), kondisi masyarakat petani masa kini
adalah sebagai berikut:
(1) Percampuran antara yang modern, maju, kaya dan yang tradisional, tertinggal dan miskin.
(2) Mayoritas berpendidikan rendah.
(3) Mayoritas masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar.
(4) Lembaga-lembaga masyarakat belum banyak yang secara nyata memberdayakan masyarakat.
(5) Tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan umumnya masih rendah.
(6) Masyarakat madani masih merupakan cita-cita, disebabkan oleh banyaknya
kendala yang dihadapi, dan kondisi yang belum kondusif.
(7) Mayoritas masih hidup dalam “kegelapan,” kurang informasi dan umumnya
tidak memiliki alternatif yang lebih menguntungkan.
Menurut Tjitropranoto (2005), kondisi petani di lahan marjinal dan pengaruhnya terhadap kapasitas diri dan pemanfaatan kapasitas sumberdaya, produktivitas,
pendapatan dan kesejahteraan, digambarkan secara skematis pada Gambar 1.
11
KESEJAHTERAAN
PENDAPATAN
PRODUKTIVITAS
:
Pemanfaatan
SDA
Akses
Kredit
Adopsi
Teknologi
Akses Pasar
Pemanfaatan Kapasitas
Sumberdaya
Kapasitas Diri
Petani Kecil
Di Lahan Marginal
Pendidikan
Rendah
Motivasi
Rendah
Apatis
Kemauan
Rendah
Percaya
Diri
Rendah
Gambar 1. Petani dan Produktivitasnya di Lahan Marginal
(Tjitropranoto, 2005)
12
Gambar tersebut menjelaskan bahwa ciri-ciri petani di lahan marjinal
antara lain: berpendidikan rendah, motivasi rendah, apatis, berkemauan rendah
dan rasa percaya dirinya rendah. Hal ini mencerminkan rendahnya kapasitas diri
petani dan pemanfaatan kapasitas sumberdaya yang masih rendah, yaitu
kurangnya akses petani terhadap pemanfaatan sumberdaya alam, akses terhadap
kredit, adopsi teknologi dan akses pasar.
Keadaan ini akan menyebabkan
rendahnya produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani. Berdasarkan
pemikiran ini, peningkatan kesejahteraan petani dapat ditingkatkan melalui
peningkatan kapasitas diri petani dan penguatan akses petani terhadap berbagai
sumberdaya.
Pengembangan kapasitas petani dapat dilakukan melalui upaya
pemberdayaan oleh penyuluh pertanian sesuai dengan pengembangan kapasitas
yang mereka butuhkan.
Dalam hal ini penyuluh pertanian berperan mem-
fasilitasi pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani, selanjutnya
petanilah yang mampu mengembangkan kapasitas dirinya.
Karakteristik Petani yang Mempengaruhi
Kemampuan Mengubah Perilaku
Kualitas sumberdaya pribadi (individual/personal characteristic) adalah
ciri-ciri yang melekat pada diri seseorang sebagai individu manusia. Rogers dan
Shoemaker (1981) mengungkapkan bahwa sumberdaya pribadi mencakup: (1) Ciri kepribadian (personality), dan (2) Ciri komunikasi. Ciri kepribadian mencakup:
empati, dogmatisme, kemampuan abstraksi, rasionalitas, intelejensia, sikap terhadap perubahan, sikap mengambil resiko, sikap terhadap ilmu pengetahuan atau
pendidikan, fatalisme, motivasi meningkatkan taraf hidup dan aspirasi terhadap
pendidikan dan pekerjaan. Ciri-ciri komunikasi antara lain: partisipasi sosial,
komunikasi interpersonal dengan sistem luar, kekosmopolitan, kontak dengan
agen pembaharu, keterdadahan terhadap media massa, keinovatifan (keaktifan
mencari inovasi), kepemimpinan (leadership) dan penerimaan terhadap norma
modern.
Rogers (1969) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kemampuan seseorang dalam mengubah perilaku adalah: (a) Kemampuan membaca dan menulis, (b) Sifat kosmopolit, (c) Tingkat pendidikan, (d) Status sosial
Ekonomi dan (e) Umur. Lionberger (1960) menyatakan bahwa karakteristik
13
individu atau personal faktor yang perlu diperhatikan adalah: umur, tingkat pendidikan dan karakter psikologis. Karakteristik psikologis antara lain adalah rasionalitas, fleksibilitas mental, dogmatisme, orientasi terhadap usahatani dan kecenderungan mencari informasi. Mc Leod dan O’Kiefe Jr (1972) menyatakan
bahwa variabel demografik yang digunakan sebagai indikator untuk menerangkan
perilaku individu adalah: jenis kelamin, umur dan status sosial.
Rogers (1969) dan Salkind (1985) mengemukakan bahwa dalam proses
pemberdayaan masyarakat tidak bisa terlepas dari faktor internal dan eksternal.
Faktor internal individu masyarakat antara lain: Umur, pendidikan, jenis kelamin,
jumlah tanggungan, status sosial ekonomi dan pengalaman masa lalu. Faktor
eksternal yang esensial antara lain: Peran penyuluh (fasilitator, motivator, katalisator, pendidik, pelatih); lingkungan (fisik, sosial dan ekonomi) dan ketersediaan
dana/modal usaha.
Salkind (1985) mengemukakan bahwa pengembangan sumberdaya manusia adalah merupakan upaya untuk mengubah/meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Dalam hal ini, haruslah melalui proses dan merupakan
suatu usaha peningkatan taraf hidup manusia agar mendapatkan suatu pengakuan
(recognition) individu dalam kehidupan masyarakat. Lembaga pengembangan
swadaya masyarakat, penyuluh dan lembaga keswadayaan bagi individu sebagai
wadah dengan bentuk kelompok berperan penting dalam proses pemberdayaan
anggota
masyarakat
vidu/masyarakat.
dalam
rangka
mewujudkan
kemandirian
indi-
Dengan demikian kehidupan berkelompok berperan mem-
pengaruhi kemampuan individu mengubah perilaku.
Hal senada dikemukakan oleh Gerungan (1983), faktor eksternal yang
dapat mengubah sikap dan perilaku seseorang antara lain adalah: (a) Kekuatan
(force), (b) Perubahan norma kelompok, (c) Perubahan “membership group,” (d)
Perubahan “reference group,” dan (e) Pembentukan kelompok baru.
Menurut Padmowihardjo (1994), kemampuan umum untuk belajar akan
bagi seseorang berkembang secara gradual semenjak dilahirkan sampai saat
kedewasaan. Seseorang pada usia 15 – 25 tahun akan belajar lebih cepat dan
berhasil mempertahankan retensi belajar, jika diberi bimbingan dalam
14
pembelajaran yang baik. Kemampuan ini akan berkembang dan tumbuh maksimal
pada usia 45 tahun. Kemampuan belajar akan nyata berkurang setelah usia 55
sampai 60 tahun.
Menurut Winkel (1990), pendidikan merupakan proses pembentukan watak seseorang sehingga memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku. Dengan demikian, tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi
kemampuan mengubah perilaku.
Karakteristik Sistem Sosial
Pengertian Sistem Sosial
Faktor lain yang mempengaruhi kualitas pemberdayaan, tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani dalam
beragribisnis adalah faktor sistem sosial. Agen pemberdaya (termasuk penyuluh
dan pendamping) dan petani, hidup dan beraktivitas dalam suatu sistem sosial
tertentu, secara otomatis akan mempengaruhi kualitas pemberdayaan dan akhirnya
mempengaruhi tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas dan
kemandirian petani beragribisnis.
Foster (1973) menyatakan bahwa kegiatan manusia dalam kelompok sosial
dipengaruhi oleh sistem sosial, budaya dan psikologi kelompok atau masyarakat
tempat orang tersebut berada. Sistem sosial mengatur bagaimana hubungan di
antara anggota-anggotanya, bagaimana status dan peranan masing-masing anggota, serta hak dan kewajibannya. Sistem budaya mengatur perilaku anggotaangota kelompok, dimana perilaku tersebut harus mengikuti norma-norma yang
berlaku. Sistem psikologi berhubungan dengan bagaimana individu mereaksi atau
merespon stimulus dari luar dirinya dalam situasi kelompok tertentu. Sistem
psikologi ini meliputi: pengetahuan, persepsi, aspirasi, sikap, motivasi, harapanharapan dan aspek-aspek pengalaman hidup seseorang.
Sistem sosial dan budaya sering digunakan secara bergantian, karena
kedua konsep tersebut saling dekat dan saling pengaruh mempengaruhi. Sistem
sosial menekankan cara kelompok terbentuk dan terorganisasi, macam bentuk
hubungan antar mereka dalam hidup bersama, status dan stratifikasi sosial dan
15
bentuk-bentuk pranata sosial lainnya. Sistem budaya lebih menekankan pada aturan atau norma-norma yang memberi arah perilaku anggotanya. Oleh Foster
diakui bahwa pembatasan tersebut masih kurang jelas dan kabur, sehingga para
ahli lebih mudah memandang konsep tersebut dalam pengertian yang saling mencakup, yaitu konsep sosial-budaya (socio-cultural).
Sistem sosial adalah suatu set (satuan) kehidupan sosial yang tersusun dari
unsur-unsur yang satu sama lainnya saling berhubungan dan pengaruh mempengaruhi (Sanders, 1958; Berlo, 1961; Havelock & Huberman, 1977). Sistem
berkembang dalam suatu situasi tertentu sambil terus mencari bentuknya yang
lebih sempurna.
Loomis (1964) menyebutkan adanya sembilan unsur dalam sistem sosial,
yaitu: (1) Tujuan dari sistem sosial; (2) Kepercayaan atau belief; yaitu kepercayaan yang menyangkut aspek kognitif atau aspek intetellectual ability; (3)
Sentimen, yaitu perasaan tertentu diantara para anggota
yang dapat
mempengaruhi pola interaksinya, sehingga sentimen ini lebih menyangkut aspek
afektif atau emosi; (4) Norma, yaitu standar perilaku atau perilaku-perilaku yang
telah dapat diterima oleh orang-orang dalam sistem sosial itu, dimana norma itu
ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis; (5) Sanksi, yaitu sitem pemberian
penghargaan atau hukuman yang berhubungan dengan perilaku yang ditunjukkan
seseorang, dimana sanksi ini selalu ada hubungan dengan norma; (6) Kedudukan
dan peranan, yaitu kedudukan dan peranan yang jelas dari anggota dalam sistem
sosial; (7)
Kekuasaan/pengaruh, yaitu adanya struktur kekuasaan yang jelas,
sehingga ada struktur kewenangan yang jelas pula; (8) Stratifikasi sosial, yaitu
lapisan-lapisan sosial yang ada dalam masyarakat dan (9) Fasilitas, yaitu segala
macam alat dan wahana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan, baik
perangkat keras (hard ware) dan perangkat lunak berupa peraturan/perundangundangan, dan lain-lain (soft ware).
Selain sembilan unsur tersebut, Betrand (1974) menambahkan satu unsur
lagi yaitu “stres and strain.” Stress dan strain yaitu, tegangan yang timbul di
dalam sistem sosial yang berguna untuk menimbulkan penguatan atau persatuan
diantara anggota sistem.
16
Perubahan dalam Sistem Sosial
Perubahan dalam sistem sosial dapat menuju ke arah yang positif dan
negatif. Berbagai tipe perubahan sistem menurut Havelock dan Huberman (1977)
adalah sebagi berikut:
(1) Perubahan terjadi sebagai akibat datangnya masukan baru, berupa informasi,
ide atau teknologi baru.
(2) Perubahan yang disebabkan karena kegagalan sistem dalam mencapai keseimbangan.
(3) Perubahan dalam rangka proses mencari bentuk baru sebagai sistem secara
keseluruhan.
(4) Perubahan karena sistem lama telah lapuk, sebagai akibat erosi kebudayaan.
(5) Perubahan yang terjadi karena pengaruh penggunaan barang-barang impor.
(6) Perubahan yang terjadi karena fusi dengan sistem sosial lain.
(7) Perubahan yang terjadi karena adanya ide baru yang bertujuan menyempurnakan sistem, atau dalam rangka menciptakan sistem baru yang lebih
sempurna.
Dalam perubahan sistem sosial, dapat terjadi hambatan-hambatan yang
memperlambat terjadi perubahan. Bennis, et al (1969) menyebutkan dua faktor
penghambat terhadap perubahan dalam sistem sosial, pertama adalah hambatan
pribadi dan kedua adalah hambatan dalam sistem sosial itu sendiri. Hambatan pribadi meliputi:
(1) Homeostatis, yaitu sifat pribadi yang ingin tetap seperti pada keadaan semula.
(2) Kebiasaan atau adat yang tidak menginginkan perubahan.
(3) Persepsi anggota sistem sosial yang masih rendah.
(4) Sifat ketergantungan pada seseorang.
(5) Sifat super ego, yaitu dirinya merasa sudah menguasai dan merasa tahu,
sehingga tidak bersedia menerima pengetahuan yang datang dari luar.
(6) Sifat regresi, yaitu tidak mau memandang ke depan, justeru mengagungagungkan masa lampau.
Hambatan-hambatan dalam sistem sosial, meliputi:
(1) Tidak mau menerima ide perubahan karena keterikatannya pada norma sosial.
(2) Sifat yang melekat pada sistem budaya yang berlaku (systemic cultural coherence).
(3) Orang-orang dalam sistem sosial yang vested interest.
17
(4) Menganggap tabu bila meninggalkan adat/tradisi.
(5) Sifat sistem sosial yang tertutup, yang tidak mau menerima masukan baru
dari luar.
Menurut Havelock dan Huberman (1977), ada tujuh faktor penghambat
perubahan dalam sistem sosial, yaitu:
(1) Hambatan geografis. Hambatan ini misalnya terjadi pada daerah terpencil,
dengan sarana transportasi yang sulit, sehingga penyampaian informasi
terganggu. Demikian pula terjadi kelambatan dalam penyampaian bahanbahan yang diperlukan bagi inovasi.
(2) Hambatan historis. Misalnya, sistem pendidikan kolonial yang tidak tepat
dalam menyediakan tenaga kerja yang terampil. Sistem kelembagaan kemasyarakatan yang didominasi kelompok elit yang telah berlangsung lama.
(3) Hambatan ekonomis. Hambatan ini berupa kurang dimilikinya dana dan
modal yang diperlukan bagi inovasi atau ide baru untuk perubahan.
(4) Hambatan dalam prosedur. Hambatan ini berupa tiadanya koordinasi yang
mapan antar pemegang peranan atau lembaga maupun aparat yang akan
melaksanakan perubahan. Sebagai akibatnya, bahan-bahan atau pekerjaan
bagi pembangunan tidak selesai pada waktunya.
(5) Hambatan personal. Hambatan ini tidak tersedianya tenaga-tenaga ahli dan
terampil serta memiliki dedikasi tinggi yang diperlukan dalam pembangunan.
(6) Hambatan sosio-kultural. Misalnya, terdapat pertentangan ideologi, pertentangan kelas-kelas dalam masyarakat, perasaan menyerah pada nasib,
serta
sifat-sifat
tradisi
masyarakat
yang
ingin
mempertahankan
kebiasaannya.
(7) Hambatan politik. Misalnya, kurang terjalinnya komunikasi yang baik antara
pemimpin-pemimpin politik, antara pemimpin politik dengan peguasa negara, cara pengambilan keputusan yang terlalu terpusat, kurang kesempatan
berpartisipasi, padahal masyarakat menghendaki diikut sertakan dalam
proses pengambilan keputusan. Juga hambatan-hambatan karena kurangnya
dukungan penguasa formal dalam gerakan masyarakat setempat.
18
Masyarakat Petani sebagai
Suatu Sistem Sosial
Petani berta keluarganya umunya tinggal di pedesaan atau di pinggiran
kota. Petani dan lingkungan tempat tinggalnya adalah suatu sistem sosial. Sistem
sosial tersusun dari sejumlah unsur yang mengatur tata kehidupan sistem yang
bersangkutan. Masyarakat desa, merupakan kehidupan bersama dan mendiami
suatu wilayah tertentu, juga memiliki sejumlah unsur sistem sosial. Unsur-unsur
itulah yang mengatur pola hubungan antara anggota masyarakat yang satu dengan
yang lain, yang membangun struktur, yang mengatur pembagian tugas, yang
membagi peranan, yang menentukan sanksi sosial dan sebagainya.
Menurut Sanders (1958), masyarakat desa (yang di dalamnya ada petani)
dapat dipandang sebagai tempat pemukiman bersama (community as settlement).
Sebagai pemukiman bersama, masyarakat terdiri dari sejumlah penduduk, terdiri
dari berbagai macam bentuk pekerjaan dan layanan sosial, memiliki jaringan
komunikasi tertentu, memiliki tradisi dan sistem nilai tersendiri, memiliki lapisan
atau
struktur,
memiliki
kelompok-kelompok
sosial
sebagai
wadah
mengekspresikan kehendaknya, merupakan wadah untuk mengadakan interaksi
satu sama lain, memiliki sistem dan mekanisme kontrol yang akan mengatur
perilaku anggotanya dan masyarakat terserbut selalu terjadi perubahan sosial.
Sanders (1958) juga mengemukakan bahwa masyarakat (termasuk petani)
dalam kegiatannya, disamping dilandasi oleh ciri-ciri sebagaimana disebutkan di
atas, masyarakat ditandai oleh adanya usaha untuk kaderisasi, proses sosialisasi,
alokasi dari sesuatu yang dianggap berharga (prestige), mobilitas sosial, integrasi
dari
perilaku
melalui
proses
penyesuaian
(pembudayaan)
dan
adanya
kepemimpinan yang akan mengatur dan mengorganisasi semua kegiatan.
Menurut Sanders (1958), masyarakat sebagai suatu sistem sosial terdiri
dari sub-sub sistem. Sub-sub sistem masyarakat pedesaan terdiri dari sub sistem :
(1) Kehidupan keluarga, (2) Pemerintahan, (3) Ekonomi, (4) Agama dan (5)
Pendidikan.
Sub-subsistem tersebut dalam keseluruhan sistem saling berhu-
19
bungan dan saling pengaruh mempengaruhi. Hubungan saling pengaruh antar sub
sistem tersebut digambarkan Sander seperti terlihat pada Gambar 2.
Pengaruh Kepemimpinan
dalam Sistem Sosial
Kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi oleh pimpinan agar
anggota mau mengikuti pengarahannya (Slamet, 2004). Pengaruh kepemimpinan
merupakan tingkat kekuatan yang melekat pada diri seorang pemimpin. Orang
yang memiliki kepemimpinan yang kuat, akan memiliki pengaruh yang lebih
besar pula. Hammer dan Organ (1978), menyebutkan bahwa pengaruh kepemimpinan bersumber kepada: (1) Otoritas, (2) Keahlian/kecakapan (expertise) dan
(3) Sifat kesetiakawanan (friendship).
Ekonomi
Agama
Kelas
Pemerintahan
Keluarga
Pendidikan
Keterangan Gambar:
Menurut Gambar tersebut, sebelah kanan terdapat “Kelas” dengan 5 anak panah dua ujung.
Artinya, bahwa kelas-kelas atau lapisan dalam masyarakat melintasi kelima komponen yang lain.
Dalam gambar lintasan tersebut tidak diperlihatkan secara jelas, untuk menghindari keruwetan
gambar.
Gambar 2. Saling Hubungan antar Sub Sistem dari Sistem Sosial
Masyarakat Pedesaan (Sanders, 1958)
Dalam hubungannya dengan usaha penyebaran inovasi dan peranan pemimpin dalam pembangunan pertanian dalam suatu sistem sosial, Havelock
20
(1971) dan Rogers & Shoemaker (1971) mengemukakan sejumlah peranan pemimpin masyarakat, yaitu:
(1) Merangsang dan mengajak para pengikutnya untuk mencari, menyebar dan
mengadopsi inovasi.
(2) Mengarahkan pengikutnya untuk melakukan kontak dengan unit sistem sosial
yang lain yang lebih maju.
(3) Mengatur suasana dan iklim dalam sistem, sehingga terjadi hubungan yang
harmonis antar anggota.
(4) Membangun dan membagi peranan di dalam sistem, sehingga setiap anggota
mengetahui dan menyadari tugasnya masing-masing.
(5) Mempengaruhi dan mengajak pengikutnya untuk menghargai dan memanfaatkan setiap ide baru yang datang dari luar.
(6) Menciptakan suatu struktur di dalam sistem sosial yang memungkinkan adanya hubungan yang saling memotivasi, sehingga terjadi hubungan saling
pengaruh mempengaruhi yang bermanfaat dan saling menguntungkan (social
learning interaction).
Konsep-konsep Pemberdayaan
Pengertian Pemberdayaan
Menurut Hikmat (2001), pada awal gerakannya konsep pemberdayaan
bertujuan untuk menemukan alternatif-alternatif baru dalam pembangunan masyarakat. Proses pemberdayaan hakekatnya dapat dipandang sebagai depowerment
dari sistem kekuasaan yang mutlak absolut (intelektual, religius, politik, ekonomi
dan militer). Konsep ini digantikan oleh sistem baru yang berlandaskan idiil
manusia dan kemanusiaan (humanisme). Doktrin dari konsep ini sama dengan
aliran fenomologi, ekstensialisme dan personalisme yang menolak segala bentuk
power yang bermuara hanya pada proses dehumanisasi eksistensi manusia.
Menurut Pranarka dan Moeljarto (Prijono dan. Pranarka, 1996), pemahaman konsep pemberdayaan oleh masing-masing individu secara selektif dan
kritis dirasa penting, karena konsep ini mempunyai akar historis dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan Barat. Perlu upaya mengakulturasikan konsep pemberdayaan tersebut sesuai dengan alam pikiran dan
kebudayaan Indonesia. Selanjutnya, dijelaskan pula oleh Pranarka dan Moeljarto,
21
empowerment hanya akan mempunyai arti kalau proses pemberdayaan menjadi
bagian dan fungsi dari kebudayaan, yaitu aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi
manusia dan bukan sebaliknya menjadi hal yang destruktif bagi proses aktualisasi
dan koaktualisasi eksistensi manusia. Dalam menghadapi era globalisasi dan
demokratisasi, sumberdaya manusia perlu dipersiapkan agar mampu menghadapi
tantangan masa depan.
Apa pengertian pemberdayaan? Pemberdayaan (empowerment) berasal
dari kata empower (memberdayakan). Menurut Merriam Webster dan Oxford
English Dictionery (Prijono dan Pranarka, 1996), kata “empower” mengandung
dua arti. Pengertian pertama adalah to give power or authority to dan pengertian
kedua berarti to give ability to or enable. Dalam pengertian pertama, diartikan
sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan
otoritas ke pihak lain. Dalam pengertian kedua, diartikan sebagai upaya untuk
memberi kemampuan atau keberdayaan.
Menurut Pranarka dan Moeljarto (Prijono dan Pranarka, 1996), berdasarkan penelitian kepustakaan, proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan: (1) Proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada
masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Menurut Oakley & Marsden
(1984), proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material
guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi. Kecenderungan atau proses yang pertama tadi dapat disebut sebagai kecenderungan
primer dari makna pemberdayaan, dan (2) Kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar
mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi
pilihan hidupnya melalui proses dialog. Seringkali terwujudnya kecenderungan
primer harus didahului kecenderungan sekunder. Kecenderungan yang kedua ini
dalam proses pengembangan idenya banyak dipengaruhi oleh karya Paulo Freire.
Menurut Padmowihardjo (2005), makna sebenarnya dari pemberdayaan
adalah “to give official authority or legal power, capacity, to make one able to do
something.” Dengan demikian pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu proses kapasitasi atau pengembangan kapasitas sumberdaya manusia. Dengan kapasitasi seseorang akan memiliki kekuatan (daya) atau kewenangan yang diakui
22
secara official atau legal sehingga orang tersebut tidak termarginalisasi, melainkan
sadar akan harga dirinya, harkatnya dan martabatnya.
Robinson (1994) memperjelas konsep pemberdayaan dengan mengemukakan bahwa:
"Empowerment is a personal and social process, a liberating sense of one’s
own strengths, competence, creativity and freedom of action; to be
empowered is to feel power surging into one from other people and from
inside, specifically the power to act and grow, to become, in Paolo
Freire’s terms, “more fully human.”
Payne (1997) mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan, pada
intinya ditujukan untuk:
“to help clients gain power of decision and action over their own lives by
reducing the effect of social or personal blocks to exercising existing
power, by increasing capacity and self confidence to use power and by
transferring power from the environment to clients”.(membantu klien
memperoleh daya)
Shardlow (1998) mengemukakan bahwa berbagai pengertian yang ada
mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok
ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka (such a
definition of empowerment is centrally about people taking control of their own
lives and having the power to shape their own future).
Menurut Ife (1995) tentang pemberdayaan mengemukakan bahwa:
“Empowerment means providing people with the resource, opportunities,
knowledge and skill to increase their capacity to determine their own future and
participate in and affect the life of their community.”
Ife (1995), menambahkan bahwa “empowerment aims to increase the
power of the disadvantaged.” Chambers (1987) menambahkan, bahwa konsep
pemberdayaan masyarakat memiliki tiga sifat utama, yaitu: berpusat pada manusia, partisipatoris dan berkelanjutan.
Menurut Slamet (2003), pemberdayaan masyarakat merupakan ungkapan
lain dari tujuan penyuluhan pembangunan. Pemberdayaan masyarakat adalah suatu usaha membuat masyarakat mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan,
melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama,
tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko,
mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan
situasi.
23
Syarat Pemberdayaan
Sajogyo (1999) mengemukakan bahwa untuk merangsang lahirnya gerakan masyarakat yang bermula pada komunitas lokal, ada sejumlah syarat yang
harus dipenuhi. Tiga syarat tersebut adalah:
(1) Restrukturisasi kelembagaan dasar komunitas. Tatanan dasar yang mengatur
kehidupan komunitas desa perlu direorientasi (UU Politik dan Pemerintahan)
dari pola yang feodalistik dan kolonial (pemerintahan yang kuat dan paternalistik) ke pola yang lebih partisipatif (masyarakat yang proaktif).
(2) Meninjau kembali segala kebijakan yang memperlemah kreatifitas masyarakat dan menggantinya dengan kebijakan yang lebih memihak pada upaya
peningkatan kreatifitas masyarakat untuk memperbaiki nasib sendiri.
(3) Pendekatan top-down harus segera diganti dengan pendekatan bottom-up,
yang tercermin dari mekanisme pengambilan keputusan dan penyelenggaraan program. Istilah program pengembangan masyarakat desa seharusnya tidak lagi berkonotasi program masuk masyarakat, melainkan program dari masyarakat.
Visi Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Sajogyo (1999), pembangunan haruslah memiliki visi memberdayakan manusia dan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya. Sebab sepanjang jaman, keswadayaan merupakan sumberdaya kehidupan yang abadi
dengan manusia yang menjadi intinya dan partisipasi merupakan perwujudan
optimalnya. Keberdayaan merupakan modal utama masyarakat untuk mengembangkan dirinya serta mempertahankan keberadaannya di tengah masyarakat lain.
Pemberdayaan hanya bisa tercapai melalui sikap intristik “memanusiakan
manusia“ melalui penggalian dan penghargaan
pada nilai-nilai luhur kema-
nusiaan dan melalui pengembangan prakarsa dan partisipasi masyarakat menolong
diri sendiri untuk “berdiri di atas kaki sendiri.” Pemberdayaan merupakan proses
belajar yang produktif dan reproduktif. Produktif dalam pengertian mampu
mendayagunakan potensi diri dan lingkungan dan kerjasama untuk memperoleh
kemanfaatan materil dan immateril bagi masyarakat pada suatu jangka waktu
tertentu. Reproduktif, dalam pengertian mampu mewariskan nilai-nilai kearifan.
24
Setiap generasi yang berdaya harus bisa mewariskan nilai kearifan kepada
generasi berikutnya, utamanya nilai-nilai pembebasan diri dari keterbelakangan
dan kemiskinan.
Misi Utama Pemberdayaan
Menurut Sajogyo (1999), ada lima misi utama yang harus diemban untuk
mencapai hasil pemberdayaan yang baik. Kelima misi tersebut saling terkait, jika
kurang dari lima fungsi itu yang digelar dalam program, maka tidak akan
diperoleh hasil yang berkelanjutan.
Penyadaran
Dalam banyak kasus, orang luar sebagai peneliti atau petugas pelayanan
masyarakat, seringkali menemukan keadaan komunitas desa yang serba mubazir.
Di daerah pinggiran terutama pedesaan, sering terlihat banyak potensi diri dan
lingkungan masyarakat yang tak termanfaatkan, sementara kehidupan mereka
sendiri memprihatinkan. Di tengah daratan, sungai dan laut yang terbentang luas
muncul ironi “ayam lapar di lumbung padi.” Dalam hal ini perlu upaya penyadaran masyarakat, sehingga mereka menemukan potensi diri dan mampu
memanfaatkannya.
Penyadaran yang dimaksudkan adalah penyadaran akan
kemampuan diri, sumberdaya yang mereka miliki, peluang baru yang
bersumber dari dalam dan luar komunitas untuk memperbaiki diri dan arti solidaritas
antar
warga
dalam
memenuhi
kebutuhan,
merupakan
misi
pemberdayaan yang utama.
Pengorganisasian
Salah satu sumber kesalahan yang paling mendasar dalam pengembangan
organisasi komunitas lokal adalah paternalisme perencana. Ketika para perencana
menemukan keadaan kelembagaan tradisional lemah, mereka secara refleks
memperkenalkan organisasi modern kepada komunitas desa dengan bentuk dan
pola yang serba seragam. Dalam proses itu terlupakan bahwa penilaian yang
menyimpulkan lemahnya kelembagaan tradisional seringkali bias pengalaman
dari perencana yang bekerja pada organisasi modern. Juga terlupakan bahwa
25
organisasi dan kelembagaan, hakikinya haruslah berawal dari prakarsa masyarakat
secara sukarela agar memudahkan mereka mengelola potensi sosial ekonomi yang
dimiliki.
Penguatan organisasi masyarakat mutlak diperlukan dalam upaya memberdayakan diri mereka, mengacu pada prinsip memanfaatkan potensi kelembagaan yang berakar kuat dalam struktur masyarakat lokal. Kinerja kelembagaan lokal perlu dinilai kembali oleh, dari dan untuk masyarakat setempat,
sehingga dapat diperkembangkan menjadi “biduk” bagi masyarakat menyongsong
masa depan yang kian terbuka dan kompetitif.
Kaderisasi
Setiap program pada hakekatnya memiliki keharusan mempersiapkan
kader-kader pengembangan keswadayaan lokal yang akan mengambil alih tugas
pendampingan setelah program berakhir.
Kader-kader dapat berasal dari
penduduk lokal yang dipilih oleh masyarakat secara partisipatif dan musyawarah.
Ukuran keberhasilan kaderisasi adalah kemampuan kader lokal untuk memainkan
peran sebagai pendamping bagi masyarakat, minimal menyamai kemampuan
pendamping purna waktu sebelum program berakhir, yang ditentukan oleh
penilaian masyarakat.
Dukungan Teknis
Pembaharuan masyarakat setempat umumnya memerlukan bantuan suatu
lembaga dari luar yang menguasai sumberdaya informasi dan teknologi yang
dapat membantu mempercepat pembaharuan itu menjadi kenyataan. Organisasi
pendukung teknis sering adalah aparat pemerintah, mungkin juga perusahaan
swasta.
Pengelolaan Sistem
Sekelompok masyarakat adalah sistem yang terkait dengan sistem yang
lebih luas. Kebutuhan-kebutuhannya sebagian diperoleh dari pihak lain. Dalam
menjalankan kegiatan usaha, masyarakat memerlukan modal, pengetahuan dan
keterampilan baru yang relevan, namun tidak selalu tersedia dan atau tidak
terpenuhi di tingkat lokal. Oleh sebab itu, pendamping bertugas mengeola sistem,
26
yaitu memperlancar upaya masyarakat memperoleh kebutuhan tersebut baik
secara individu maupun secara berkelompok dalam sistem se-tempat yang
berkelanjutan.
Upaya “pengelolaan sistem,” salah satu misi pemberdayaan dari Sajogyo
(1999), dalam istilah Sumardjo dkk. (2003) adalah “pengembangan kemampuan
berjaringan.” Menurut Sumardjo dkk. (2003), pengembangan jaringan adalah
menggali dan mengembangkan kerjasama sinergis dengan pihak-pihak lain dalam
pengembangan usaha.
Dengan mengemban lima misi pemberdayaan masyarakat tersebut maka
membuka peluang membentuk masa depan yang baru. Penyadaran, pelatihan
kader, pengorganisasian, dukungan teknis dan pengelolaan sistem secara sinergis
merupakan upaya membangun daya manusia.
Menurut Florus (1998), kata pemberdayaan dalam konteks sosial kemasyarakatan mencakup lima elemen pokok, yakni: (1) Pengembangan kemampuan
daya nalar, bersikap dan berpikir kritis, (2) Penguatan akses ke berbagai sumberdaya, (3) Pencerahan terhadap kemampuan mengatur dan memerintah diri sendiri,
(4) Peningkatan kesejahteraan, dan (5) Membina kebersamaan dan kontrol sosial.
Dalam kaitannya dengan kaum miskin, Narayan (2002) mengemukakan
bahwa pemberdayaan merupakan pengembangan aset dan kapabilitas penduduk
miskin untuk berpartisipasi dalam, bernegosiasi dengan, mempengaruhi, mengontrol dan mengendalikan institusi yang akuntabel yang berpengaruh pada kehidupan mereka. Pemberdayaan kaum miskin kerap kali mengandung empat unsur:
(1)
Akses pada informasi. Akses pada informasi yaitu, arus informasi dua
arah dari pemerintah kepada warga dan dari warga kepada pemerintah,
dalam hal ini warga bertanggung jawab dan pemerintah responsif dan akuntabel. Warga yang akses informasi (informed citizen) lebih mudah untuk
mengambil keuntungan dari setiap peluang, mengakses layanan, memanfaatkan hak mereka, bernegosiasi dengan efektif dan mempertanggungjawabkan tindakan mereka.
(2)
Keterlibatan dan partisipasi. Keterlibatan dan partisipasi adalah suatu
tindakan untuk berperanserta yang memberdayakan menempatkan kaum
27
miskin sebagai co-procedurs dengan otoritas dan kendali atas keputusan dan
sumberdaya, terutama sumberdaya financial, termasuk partisipasi dalam
perencanaan.
(3)
Akuntabilitas. Akuntabilitas mengacu kepada daya untuk meminta pejabat
negara, pengusaha swasta dan penyandang dana, membuat kebijakan, mengambil tindakan dan menyediakan banrtuan dana untuk mereka.
(4)
Pengorganisasian lokal. Pengorganisasian lokal yaitu meningkatkan kemampuan penduduk untuk bekerjasama, mengorganisasikan diri dan memobilisasi sumberdaya untuk mengatasi masalah mereka bersama.
Menurut Narayan (2002), suatu tindakan memberdayakan adalah mem-
bangun kekuatan kaum miskin, yaitu: pengetahuan, skill, nilai-nilai, inisiatif dan
motivasi mereka untuk memecahkan masalah, mengelola sumberdaya dan melenyapkan kemiskinan.
Menurut Ife (1995), model pemberdayaan yang dikembangkan mencakup
tujuh jenis power (kekuatan). Ketujuh jenis power yang termasuk dalam strategi
pemberdayaan berbasis komunitas adalah: (1) power atas pilihan pribadi dan
peluang kehidupan, (2) power untuk mendefinisikan kebutuhan, (3) power atas
ide-ide (berpikir sendiri), (4) power atas institusi-institusi, (5) power atas sumberdaya, (6) power atas aktivitas ekonomi dan (7) power atas reproduksi.
Pemberdayaan Model Pentagonal
Pada masa yang lalu cara pandang terhadap petani adalah berdasarkan
kelemahan yang dimiliki petani, sehingga menempatkan petani pada posisi yang
harus dibantu dan dilindungi (petani bodoh, petani fatalis, petani tidak ulet, dan
sebagainya).
Akibat lebih jauh, telah menjadikan para pengambil keputusan
membantu petani dengan sistem top down. Pendekatan ini ternyata membuahkan
hasil petani menjadi “ketergantungan” dan tidak mandiri.
Perlu ada cara pandang baru terhadap petani, yaitu yang melihat petani
berdasarkan “daya/kekuatan/kemampuan yang telah dimiliki,” kemudian diberdayakan dengan mambuka akses seluas-luasnya sehingga petani dapat memberdayakan diri dengan pilihan mandiri. Cara pandang tersebut senada dengan konsep “sustainable livehood’ yang di dalamnya ada “model pentagonal” dari
Departement For International Development (DFID, 1998).
28
Kerangka kerja model pentagonal ini aslinya dibuat oleh Institut of
Development Studi, kemudian disesuaikan untuk mengakomodir konsep DFID
dan tujuan-tujuan praktis. Dalam kerangka kerja ini dilakukan analisa lima asset
yang berbeda yang mana masing-masing petani membangun penghidupannya.
Artinya, dalam memberdayakan petani harus berdasarkan apa yang sudah dimiliki
petani dari lima asset ini dan memberikan daya kepada petani agar memiliki
kemampuan untuk akses terhadap kelima asset tersebut, yaitu:
(1)
Human Capital adalah kapital yang dimiliki petani berkaitan dengan aspek
kemanusiaan baik fisik maupun mental yaitu terkait dengan: keteram,pilan,
pengetahuan, kemampuan bekerja, kesehatan dan sebagainya yang sangat
penting bagi petani untuk mencari strategi bagi penghidupan yang lain.
(2)
Social Capital adalah kemampuan akses petani terhadap membina jaringan
kerja, hubungan kepercayaan, keanggotaan dalam suatu kelompok, akses
terhadap lembaga sosial yang lebih luas dimana petani hidup dan mencari
penghmidupannya.
(3)
Natural Capital adalah kemampuan petani untuk akses terhadap sumberdaya alam yang dapat memberikan manfaat sebagai sumber penghidupan
seperti: tanah/lahan, air, keragaman biologi dan lingkungan.
(4)
Physical Capital adalah kemampuan/daya yang dimiliki petani untuk akses
terhadap infrastruktur pokok seperti alat transportasi, perumahan, sumber air
bersih, energi, sarana produksi, sarana komunikasi yang me-mungkinkan
petani dapat melangsungkan penghidupannya.
(5)
Financial Capital adalah daya yang dimiliki petani agar akses terhadap
permodalan, apakah melalui kemampuan menabung
(berinvestasi), kemampuan menjangkau dan memanfaatkan kredit
untuk
melangsungkan usaha/penghidupannya.
Mengacu pada berbagai pendapat dari: Sayogyo (1999), Florus (1998), Ife
(1995), Narrayan (2002), Sumardjo dkk. (2003) dan Slamet (2000), kata kunci
dari misi (tugas) pemberdayaan yaitu:
(1) Pengembangan perilaku keinovatifan (Slamet, 2000; Florus, 1998), yaitu:
(a) Pengembangan kemampuan daya nalar dan berpikir kritis.
29
(b) Penyadaran akan kemampuan diri, sumberdaya yang mereka miliki dan
peluang-peluang baru.
(c) Pengembangan sikap dan nilai-nilai, inisiatif dan motivasi.
(d) Kemampuan memanfaatkan peluang dan bernegosiasi.
(2) Penguatan berpartisipasi (Florus, 1998; Narrayan, 2002), yaitu:
(a) Melibatkan petani dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
kegiatan.
(b) Meningkatkan kemampuan mendefinisikan kebutuhan pengembangan
kapasitas dan kemandirian.
(3) Pengorganisasian lokal (Sajogyo, 1999; Florus, 1998 dan Narrayan, 2002),
yaitu:
(a) Meningkatkan kemampuan penduduk untuk bekerjasama,
mengorganisasikan diri dan memobilisasi sumberdaya untuk mengatasi
masalah mereka bersama.
(b) Memanfaatkan potensi kelembagaan yang berakar kuat dalam struktur
masyarakat lokal dan berawal dari prakarsa masyarakat.
(4) Penguatan akses terhadap berbagai sumberdaya (Sayogyo, 1999; Florus,
1998; Narrayan, 2002 dan Ife, 1995), yaitu:
(a) Membantu petani menguasai informasi dan teknologi.
(b) Penguatan akses petani untuk memperoleh sarana produksi yang
berkualitas, permodalan, pemasaran dan pengolahan hasil pertanian.
(5) Penguatan kemampuan berjaringan (Sayogyo, 1999; Sumardjo dkk, 2000),
yaitu: menggali dan mengembangkan kerjasama sinergis dengan pihak-pihak
lain dalam pengembangan usaha.
(6) Kaderisasi (Sayogyo, 1999), yaitu: mempersiapkan kader-kader pengembangan keswadayaan lokal yang akan mengambil alih tugas pendampingan
setelah program berakhir atau membantu petugas pemberdayaan dalam mengembangkan keswadayaan masyarakat.
Peran Petugas Pemberdayaan Masyarakat
Peran yang dilakukan seorang petugas pemberdayaan dalam pemberdayaan masyarakat terkait dengan model intervensi yang digunakan. Menurut
30
Spergel, 1975; Zastrow, 1986 dan Adi, 1999 (Adi, 2003), minimal ada tujuh peran
yang dapat dikembangkan yaitu:
Pempercepat Perubahan (Enabler)
Sebagai enabler seorang agen pemberdayaan membantu masyarakat agar
dapat mengartikulasikan kebutuhan mereka, mengidentifikasi masalah mereka dan
mengembangkan kapasitas mereka agar dapat menangani masa-lah yang mereka
hadapi secara lebih efektif. Dasar filosotis dari peran ini adalah "help people to help
themselves."
Ada empat fungsi utama petugas pemberdayaan sebagai pemercepat terja-dinya
perubahan, yaiitu:
(a) Membantu masyarakat menyadari dan melihat kondisi mereka;
(b) Membangkitkan dan mengembangkan `organisasi' dalam masyarakat;
(c) Mengembangkan relasi interpersonal yang baik;
(d)Memfasilitasi perencanaan yang efektif.
Perantara (Broker)
Peranan seorang broker (perantara) dalam intervensi makro terkait erat
dengan upaya menghubungkan individu ataupun kelompok dalam masya-rakat
yang membutuhkan bantuan ataupun layanan masyarakat (community services),
tetapi tidak tahu dimana dan bagaimana mendapatkan bantuan tersebut dengan
lembaga yang menyediakan layanan masyarakat. Peran sebagai perantara, yang
merupakan peran mediasi, dalam konteks pengem-bangan masyarakat juga diikuti
dengan perlunya melibatkan klien dalam kegiatan penghubungan ini. Misalnya
ingin menghubungkan masyarakat di lingkungan kumuh yang memproduksi
pupuk kompos (klien) dengan para pemakai ataupun pembeli pupuk kompos.
Maka upaya menghubungkan klien dengan lembaga yang menyalurkan penjualan
pupuk kompos tidak dilakukan sendiri oleh petugas pemberdayaan, tetapi harus
dikerjakan bersama wakil dari klien tersebut, agar bila sudah tiba waktunya untuk
melakukan terminasi, klien yang bersangkutan dapat tetap menjalin hubung-an
dengan lembaga yang terkait.
Pendidik (Educator)
Dalam menjalankan peran sebagai pendidik, petugas pemberdayaan
diharapkan mempunyai kemampuan menyampaikan informasi dengan baik
31
dan jelas, serta mudah ditangkap oleh komuniti yang menjadi sasaran
perubahan. Disamping itu ia harus mempunyai pengetahuan yang cukup
memadai mengenai topik yang akan dibicarakan. Dalam kaitan dengan hal
ini, seorang petugas pemberdayaan tidak ja-rang harus menghubungi rekan
dari profesi lain yang menguasai materi tersebut. Misalnya saja, ketika
seorang petugas pemberdayaan harus menyampaikan informasi mengenai
perilaku hidup yang sehat, dalam hal ini petugas pemberdayaan mungkin
harus menghubungi dokter puskesmas ataupun ahli kesehatan masyarakat
guna mendapat informasi yang relatif mencukupi untuk disampaikan pada
masyarakat.
Aspek lain yang terkait dengan peran ini adalah keharusan bagi seorang petugas pemberdayaan untuk selalu belajar. Karena begitu seorang
petugas pemberdayaan merasa sudah tidak perlu belajar kembali mengenai topik
yang akan dibicarakan, maka ia mungkin akan terjebak untuk menyampaikan
pandangan yang kurang up-to-date dan kurang menjawab tantangan ataupun
masaiah yang muncul pada waktu itu.
Tenaga Ahli (Expert)
Dalam kaitan dengan peranan sebagai tenaga ahli (expert), petugas
pemberdayaan diharapkan untuk dapat memberikan masukan, saran dan dukungan informasi dalam berbagai area. Misalkan saja, seorang tenaga ahli
diharapkan dapat memberikan usulan mengenai bagaimana struktur organisasi
yang bisa dikembangkan dalam suatu organisasi nirlaba yang menangani masalah
lingkungan, kelompok-kelompok mana saja yang harus terwakili, atau
memberikan masukan mengenai isu apa yang pantas dikembangkan dalam suatu
komunitas (termasuk organisasi).
Seorang expert harus sadar bahwa usulan dan saran yang ia berikan bukanlah mutlak harus dijalankan klien mereka (masyarakat ataupun organisasi),
tetapi usulan dan saran tersebut !ebih merupakan masukan gagasan sebagai bahan
pertimbangan masyarakat ataupun organisasi dalam proses pengambilan
keputusan.
32
Perencana Sosial (Social Planner)
Seorang perencana sosial mengumpulkan data mengenai masalah sosial yang
terdapat dalam komunitas, menganalisisnya dan menyajikan alternatif tindakan yang
rasional untuk menangani masalah tersebut. Setelah itu perencana sosial mengembangkan program, mencoba mencari alternatif sumber pendanaan, dan mengem-bangkan
konsensus dalam kelompok yang mempunyai berbagai minat ataupun kepentingan.
Menurut Zastrow, peran expert dan social planner saling tumpang tindih, dimana
seorang expert lebih memfokuskan pada pemformulasian usulan dan saran (advice)
yang terkait dengan isu dan permasalahan yang ada. Sedangkan perencana sosial lebih
memfokuskan pada tugas-tugas yang terkait dengan pengembangan dan pelaksanaan
program.
Advokat (Advocate)
Peran sebagai advokat' dalam community work dicangkok dari profesi hukum.
Peran `advokat' pada satu sisi berpijak pada tradisi pembaharuan sosial dan pada sisi
lainnya berpijak pada tradisi pelayanan sosial. Peran ini merupakan peran yang
aktif dan terarah (directive), agen pemberdayaan menjalankan fungsi advokasi
atau pembelaan yang mewakili kelompok masyarakat yang membutuhkan suatu
bantuan ataupun layanan, tetapi ins-titusi yang `seharus'nya memberikan
bantuan ataupun layanan tersebut tidak memperdulikan (bersifat negatif ataupun
menolak tuntutan warga). Dalam menjalankan fungsi advokasi, seorang petugas
pemberdayaan tidak jarang harus melakukan persuasi terhadap kelompok
profesional ataupun kelompok elite tertentu, agar dapat mencapai tujuan yang
diharapkan (dalam kaitan dengan upaya mengembangkan suatu komunitas).
Peran advokasi, misalnya saja dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh
lembaga non pemerintah yang menyampaikan tuntutan pada pemerintah, seperti
tuntutan agar pemerintah menyediakan ganti rugi yang memadai bagi mereka
yang digusur; agar pemerintah meringankan biaya pendidikan, agar pemerintah
memperhatikan hak-hak rakyat yang tertindas dan lain sebagainya.
Aktifis (Activist)
Sebagai activist, seorang petugas pemberdayaan mencoba melakukan
perubahan institusional yang lebih mendasar dan seringkali tujuannya adalah
pengalihan sumber daya ataupun kekuasaan (power) pada kelompok yang kurang
33
mendapatkan keuntungan (disadvantaged group). Seorang activis biasanya
memperhatikan isu-isu tertentu, seperti ketidaksesuaian dengan hu-kum yang
berlaku (injustice), kesenjangan (inequity) dan perampasan hak.
Seorang aktivis biasanya mencoba menstimulasi kefompok-kefompok
yang kurang diuntungkan tersebut (disadvantaqed group) untuk mengorga-nisir
diri dan melakukan tindakan melawan struktur kekuasaan vang ada (yang
menjadi 'penekan' mereka). Taktik yang biasa mereka lakukan adalah melalui
konflik, konfrontasi (misalnya melalui demonstrasi) dan negosiasi.
Serupa dengan peran sebagai advokat, seorang aktivis juga menjalankan peran
partisan. Hal ini dilakukan karena mereka melihat klien mereka sebagai `korban'
dari struktur yang berkuasa ataupun sistem yang berjalan saat itu. Upaya aktifis
lingkungan dari keiompok `greenpeace' guna menghalangi kapal pengangkut
plutonium, ataupun pembantaian ikan paus merupakan salah satu bentuk
konvensional yang biasa dilakukan ofeh para aktifis.
Meskipun ada tumpang tindih di antara beberapa peran di atas, dalam
penerapannya yang dikaitkan dengan model intervensi yang dipilih. Tetapi secara
sederhana dapat terlihat bahwa tiga peran pertama (sebagai pemercepat perubahan.
perantara, dan pendidik) lebih banyak terkait dengan model intervensi pengembangan
masyarakat (community development). Kemudian peran sebagai tenaga ahli dan
perencana sosial tampaknya lebih terikait dengan model intervensi pengembangan
pelayanan komunitas (community services approach). Sedangkan peran sebagai advokat
dan aktifis teriihat lebih terkait dengan model intervensi aksi komunitas (community
action).
Menurut Hubeis dkk (1992), empat peran yang mungkin dilakukan oleh
penyuluh pembangunan adalah: (1) Katalis, (2) Penemu solusi, (3) Pendamping
dan (4) Perantara. Secara lebih terinci peran pendampingan adalah:
(1)
Membantu khalayak sasaran pembangunan tentang cara-cara mengenali dan
mendefinisikan keperluan mereka.
(2)
Membantu khalayak sasaran pembangunan tentang cara-cara mendiagnosa
masalah dan menetapkan tujuan perubahan yang hendak dicapai.
34
(3)
Membantu khalayak sasaran pembangunan tentang cara-cara memperoleh
sumber-sumber informasi, sarana dan prasarana pembangunan yang diperlukan.
(4)
Membantu khalayak sasaran pembangunan tentang cara-cara memilih dan
mengkreasi suatu solusi permasalahan yang disesuaikan dengan kondisi
khalayak yang bersangkutan.
(5)
Membantu khalayak sasaran pembangunan tentang cara-cara dalam memodifikasi dan menempatkan solusi-solusi.
(6)
Membantu khalayak sasaran pembangunan tentang cara-cara dalam mengevaluasi kemanfaatan suatu solusi dalam memenuhi kebutuhan mereka dan
mengantisipasi permasalahan yang mungkin akan timbul dimasa yang akan
datang.
Menurut Lippit et al., (1958) tahap-tahap perubahan berencana yang dapat
dilakukan penyuluh adalah:
(1) Menumbuhkan kebutuhan untuk berubah.
(2) Membangun hubungan untuk berubah.
(3) Diagnosis masalah sasaran.
(4) Menetapkan tujuan dan intensitas tindakan.
(5) Melakukan usaha nyata ke arah pencapaian tujuan perubahan.
(6) Generalisasi, yaitu perluasan dan pemantapan perubahan dengan skala kecil.
(7) Hubungan terakhir, yaitu memutuskan hubungan dengan sasaran untuk
mencegah ketergantungan masyarakat pada penyuluh (community worker),
berlanjut dalam pola hubungan yang lainnya.
Karakteristik dan Strategi
Intervensi masyarakat
Berkaitan dengan karakteristik pengembangan masyarakat, Glen (1993)
menggambarkan bahwa ada tiga unsur dasar yang menjadi ciri khas pendekatan ini:
(1) Tujuan dari pendekatan ini adalah memampukan masyarakat untuk mendefinisikan dan memenuhi kebutuhan mereka.
(2) Proses pelaksanaannya melibatkan kreatifitas dan kerjasama masyarakat ataupun
kelompok-kelompok dalam masyarakat tersebut.
(3) Menggunakan pendekatan pengembangan masyarakat yang bersifat non direktif.
35
Kinerja Penyuluh Pertanian dalam
Memberdayakan Petani
Kualitas pemberdayaan petani adalah gambaran dari hasil kinerja
penyuluh pertanian. Menurut Bernandin dan Russel (1993), kinerja adalah
catatan output yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan atau kegiatan tertentu
dalam suatu periode tertentu.
Gruneberg (1979) menyatakan bahwa kinerja
adalah perilaku yang diperagakan secara aktual oleh individu sebagai respon
terhadap pekerjaan yang diberikan kepadanya. Kinerja kerja dapat dilihat atas
dasar hasil kerja, derajat kecepatan kerja dan kualitas (mutu) kerja.
Menurut Slamet (2003), filosofi mutu suatu kinerja adalah:
(1) Setiap pekerjaan menghasilkan barang dan/atau jasa.
(2) Barang dan jasa itu diproduksi atau diusahakan karena ada yang memerlukan
(setidaknya oleh diri sendiri).
(3) Orang-orang yang memerlukan barang/jasa itu disebut pelanggan.
(4) Barang dan/atau jasa itu merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh pelanggannya.
(5) Barang atau jasa itu harus dibuat/diupayakan sedemikian rupa agar dapat
memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggannya (kliennya).
(6) Barang atau jasa itu disebut bermutu apabila dapat memenuhi atau melebihi
kebutuhan dan harapan pelanggannya.
Menurut Kusnadi (2003), kinerja yang baik sebaiknya memiliki karakteritik:
(1) Rasional. Kinerja yang baik seharusnya diterima oleh akal sehat.
(2) Konsisten. Kinerja yang baik seharusnya sejalan dengan nilai-nilai yang
ada.
(3) Tepat. Kinerja yang baik harus dapat dinyatakan secara tepat dan jelas.
(4) Sistematis. Kinerja sebaiknya dilakukan secara sistematis dan tidak acak.
(5) Berorientasi kepada kerjasama. Kinerja seharusnya diarahkan kepada
kerjasama dan lain-lain.
36
Pemberdayaan (empowerment) dilakukan karena ada orang-orang yang
membutuhkannya. Menurut Slamet (2003), penyuluhan pembangunan (merupakan upaya pemberdayaan) adalah industri jasa yang juga memiliki dimensi
kualitas. Penyuluhan (pemberdayaan) akan berkualitas jika dapat memenuhi atau
melebihi kebutuhan dan harapan pelanggan (klien) yang menerimanya. Oleh
sebab itu, yang berhak menilai berkualitas atau tidaknya adalah orang-orang yang
menerimanya dan ditandai oleh tanggapannya; menerima anjuran atau menerima
secara responsif upaya pemberdayaan dan aktif memberdayakan dirinya. Jika
akibat pemberdayaan, klien merasa puas dan menjadi berdaya atau aktif
memberdayakan diri, berarti kinerja petugas pemberdayaan adalah berkualitas.
Agar pemberdayaannya berkualitas, kinerja petugas pemberdayaan harus
mewujudkan visi pemberdayaan dan menjalankan misi (tugas) pemberdayaan.
Menurut Slamet (2003), visi adalah pernyataan tentang maksud akhir yang ingin
diwuudkan oleh/dengan adanya suatu kelembagaan/institusi.
pernyataan yang memberikan
Misi adalah
arah yang jelas apa yang akan ditempuh atau
dilakukan untuk mewujudkan visi. Misi dapat dijabarkan lagi menjadi tindakantindakan.
Kompetensi Penyuluh Pertanian
Gilley dan Eggland (1989) mengatakan bahwa kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang sehingga yang bersangkutan dapat menyelesaikan perannya. Boyatzis (1982) mengemukakan bahwa kompetensi adalah:
“A job competency is an underliying characteristic of a person wich
results in effective and/or superior performance in a job. A job competency is an underiying characteristic of a person in that it may be a
motive, trait, skill, aspect of one’s self image or social role, or a body of
knowledge which he or she uses.”
Menurut Aguinis dan Kraiger (2005), kompetensi adalah kombinasi pengetahuan, keterampilan dan kemampuan. Sumardjo (2006) mengemukakan bahwa kompeten adalah kemampuan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang
untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan
dan sikap sesuai dengan unjuk kerja yang ditetapkan.
37
Berdasarkan beberapa definisi, beberapa padanan kata dari kompetensi,
ada yang menyebutnya sebagai “kemampuan” dan ada juga yang menyebutnya
“keahlian.” Apapun sinonim yang dipilih, kompetensi intinya adalah segala sesuatu pada individu yang menyebabkan kinerja prima, karena kompetensi yang
diperbincangkan ialah kompetensi dalam konteks pekerjaan. Selain itu, kompetensi selalu memiliki aspek-aspek intelektual dan praktis.
Terkait dengan peran yang harus dilakukan oleh seorang community worker (agen
perubahan, petugas pemberdayaan), Mayo (1994) menyatakan ada beberapa keterampilan dasar (kompetensi) yang sebaiknya dikuasai. Keterampilan-keterampilan tersebut yaitu:
(a) Keterampilan menjalin relasi (engagement skill).
(b) Keterampilan dalam melakukan penilaian (assessment), termasuk
penilaian kebutuhan.
(c) Keterampilan melakukan riset atau investigasi.
(d) Keterampilan melakukan dinamika kelompok.
(e) Keterampilan bernegosiasi.
(f)
Keterampilan berkomunikasi.
(g) Keterampilan dalam melakukan konsultasi.
(h) Keterampilan manajemen, termasuk manajemen waktu dan dana.
(i)
Keterampilan mencari sumber dana, termasuk pula pembuatan permohan bantuan.
(j)
Keterampilan dalam penulisan dan pencatatan kasus dan laporan.
(k) Keterampilan dalam melakukan pemantauan dan evaluasi.
Berdasarkan berbagai keterampilan di atas, Mayo (1994) menginventarisasi beberapa tugas-tugas yang terkait praktek intervensi makro (community work). Tugas-tugas tersebut adalah:
(a) Menjalin kontak dengan individu, kelompok ataupun organisasi.
(b) Mengembangkan profil komunitas, menilai (assess) kebutuhan dan
sumber daya masyarakat
© Mengembangkan analisis strategis, merencanakan sasaran, tujuan
jangka pendek, dan tujuan jangka panjang.
(d) Memfasilitasi kemapanan kelompok-kelompok sasaran.
38
(e) Bekerja secara produktif dalam mengatasi konflik, baik konflik antar
kelompok ataupun antar organisasi.
(f) Melakukan kolaborasi dan negosiasi dengan berbagai lembaga dan profesi.
(g) Menghubungkan isu yang ada secara efektif dengan pembuatan keputusan
dan implementasinya, termasuk menjalin relasi dengan politisi di tingkat
lokal;
(h) Berkomunikasi baik dalam bentuk lisan maupun tulisan dengan berbagai
individu, kelompok dan organisasi.
(i)
Bekerja bersama individu dalam komunitas, termasuk melakukan konsultasi
bila diperlukan.
(j)
Mengelola sumber daya yang ada, termasuk waktu dan dana.
(k) Mendukung kelompok dan organisasi guna mencapai sumber daya yang
dibutuhkan, misalnya dalam hal dana dilakukan dengan membuat proposal
permohonan dana.
(l) Memonitor dan mengevaluasi perkembangan program atau kegiatan, terutama
pemanfaatan sumber daya yang ada secara efektif dan efsien.
(m) Menarik diri dari kelompok yang sudah berkembang, dan atau memfasilitasi
proses perpisahan yang efektif.
(n) Mengembangkan, memantau dan mengevaluasi strategi yang serupa.
Chamala dan Shingi (1997) menyarankan empat peran baru penyuluhan,
sebagai kritik terhadap praktek penyuluhan di masa silam. Keempat peran baru
tersebut adalah: (1) Pemberdayaan, (2) Pengorganisasian masyarakat, (3) Pengembangan sumberdaya manusia, dan (4) Pemecahan masalah danpendidikan. Peran
yang harus dilaksanakan penyuluh tersebut, mensyaratkan kompetensi yang harus
dimiliki penyuluh.
Menurut Easter (Edgar et al., 1993), salah satu kelemahan pendekatan
yang telah dilakukan dalam menyiapkan tenaga-tenaga penyuluhan di negara yang
sedang berkembang adalah tidak mampunya memusatkan pada pengembangan
kemampuan profesinalnya. Menurut Edgar et al, (1993), sejumlah studi telah
mengidentifikasi kompetensi profesional yang dibutuhkan oleh tenaga penyuluh
di berbagai negara sedang berkembang. Penemuan dari studi ini menunjukkan
bahwa para penyuluh di negara sedang berkembang perlu menguasai kompetensi
39
professional di bidang: (1) Administrasi, (2) Perencanaan Program, (3) Pelaksanaan Program, (4) Pengajaran, (5) Komunikasi, (6) Memahami Perilaku Manusia,
(7) Memelihara profesionalisme, dan (8) Evaluasi.
Menurut Sumardjo (2006), kompetensi bagi penyuluh sarjana adalah: (1)
Oral communication skill, (2) Ability to work in team settings, (3) Knowledge of
technology, (4) Analytical skill, (5) Ability to work independently, (6) Knowledge
of Field, (7) Writes communication skill dan (8) Logical skill.
Howard M. Carlisle (Rosyada, 2004) mengemukakan ada tiga kecerdasan atau kemampuan (kompetensi) yang perlu dimiliki dalam mengelola sesuatu, anatara lain: (1) Kecerdasan profesional, (2) Kecerdasan Personal, dan (3)
Kecerdasan Managerial. Kecerdasan profesional adalah kecerdasan yang diperoleh melalui pendidikan, yang akan menghasilkan pengetahuan dan keahlian atau
keterampilan tehnis yang spesifik untuk melakukan pekerjaan profesional.
Kecerdasan personal adalah kemampuan skill dan pengetahuan untuk melakukan hubungan sosial yang amat diperlukan agar dapat menjalin hubungan baik
dengan orang lain, baik dalam konteks tata hubungan profesional maupun sosial.
Kecerdasan managerial adalah kecerdasan dalam kaitan dengan kemampuan
bekerjasama dalam mengerjakan sesuatu melalui orang lain.
Teori Kebutuhan
Pengertian Kebutuhan
Menurut Slamet (2004), kebutuhan adalah segala sesuatu yang bila tidak
terpenuhi akan menimbulkan ketidak seimbangan fisiologis atau psikologis (emosional) dan menyebabkan munculnya rasa tidak enak/tidak senang pada orang
yang bersangkutan.
Menurut Drever (1961), arti kata kebutuhan dalam sebuah kamus psikologi disebut sebagai suatu kondisi yang dibentuk oleh perasaan kekurangan
sesuatu atau keinginan terhadap sesuartu atau keperluan terhadap kinerja beberapa
tindakan. Menurut sudut pandang ekonomi ortodoks, kebutuhan adalah preferensi
atau permintaan konsumen.
Oleh karena menimbulkan ketidakseimbangan fisiologis atau psikologis
pada diri seseorang jika kebutuhannya tidak dipenuhi, maka kebutuhan dapat
40
menimbulkan motivasi orang untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian,
kebutuhan adalah sumber motivasi untuk bertindak atau berperilaku.
Ware dan Goodin (1990) membedakan antara konsep “kebutuhan”
(needs) dan “keinginan” (wants). Misalnya, seseorang yang menderita anoreksia
nervosa (gangguan kejiwaan yang menyebabkan individu tidak mau makan atau
bila terpaksa makan ia akan berusaha untuk memuntahkannya kembali). Orang
tersebut sebenarnya membutuhkan makanan, tetapi dia tidak menginginkannya.
Berdasarkan hal ini, seorang penyuluh, pendamping atau community worker harus
sedapat mungkin memenuhi kebutuhan masyarakat, bukan keinginan.
Beberapa ilmuwan lain membedakan kebutuhan atas: (1) kebutuhan yang
dirasakan (felt needs) dan (2) kebutuhan aktual (real needs). Kebutuhan yang
dirasakan adalah kebutuhan menurut pemikiran/perasaan petani, yang mungkin
belum tentu sesuai dengan kebutuhan real. Kebutuhan aktual (real) adalah kebutuhan nyata yang harus dipenuhi petani, sesuai dengan kondisi ideal.
Godin (1990), mengatakan bahwa kebutuhan tidak selalu bersifat absolut.
Menurutnya, kebutuhan mempunyai dua komponen yang perlu diperhatikan,
karena kedua komponen ini mempunyai pengaruh dalam pendefinisian kebutuhan,
yaitu: (1) prioritas dan (2) kerelatifan. Misalnya saja, masyarakat di Sumatra
Selatan apakah benar-benar membutuhkan antena parabola sebagai hiburan
ataukah sebaiknya mereka lebih memusatkan diri pada fasilitas kesehatan dan air
bersih? Dalam hal ini seorang community worker harus melihat dan membantu
masyarakat ntuk mengenal secara lebih tepat mana yang merupakan kebutuhan
prioritas.
Komponen berikutnya adalah kerelatifan dari kebutuhan itu sendiri.Godin
melihat kebutuhan seringkali lebih bersifat relatif dari pada absolut (pasti).
Kebutuhan sangat tergantung dengan unsur waktu, tempat dan lingkungan sosial.
Misalnya saja, kebutuhan akan pakaian pada tempat yang berbeda akan berbeda
pula kebutuhannya.
Hierarki Kebutuhan Maslow
Maslow (1970) menyatakan bahwa manusia mempunyai lima kebutuhan
dasar: (1) kebutuhan Fisiologis, (2) kebutuhan keamanan, (3) kebutuhan sosial,
(4) kebutuhan penghargaan dan (5) kebutuhan aktualisasi diri. Maslow berteori
41
bahwa kelima kebutuhan dasar tersebut bisa disusun dalam suatu hierarki arti
pentingnya atau urutan dimana individu biasanya akan bekerja keras untuk
memuaskan kebutuhan tersebut.
Kebutuhan fisiologis berhubungan dengan
fungsi normal dari tubuh dan termasuk kebutuhan akan air, istirahat, udara dan
kebutuhan biologis. Hingga kebutuhan tersebut terpenuhi, bagian penting dari
perilaku manusia ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tersebut. Kebutuhan
keamanan adalah kebutuhan individu untuk menjauhkan diri dari bahaya. Bahaya tersebut termasuk juga menghindari kecelakaan tubuh dan bencana ekonomi.
Community worker mungkin membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
fisiologis dan keamanan melalui peningkatan pendapatan. Kebutuhan sosial juga
termasuk kebutuhan untuk disayangi, kemitraan dan persahabatan.
Secara
keseluruhan, kebutuhan tersebut mencerminkan keinginan individu untuk diterima
orang lain.
Ketika kebutuhan tersebut terpenuhi, individu akan termo-tivasi
pemenuhan kebutuhan penghargaan.
Kebutuhan penghargaan adalah kebu-
tuhan individu untuk mendapat penghormatan dan biasanya dibagi menjadi dua
kategori: (1) penghargaan diri dan (2) penghargaan pada orang lain. Kebutuhan
untuk mengaktualisasi diri adalah kebutuhan untuk memaksimumkan potensi
yang dimiliki oleh individu. Misalnya, seorang petani yang berusaha memenuhi
kebutuhan aktualisasi diri, akan bekerja keras memanfaatkan segala potensi
dirinya untuk berprestasi dan unggul dibidang pekerjaannya.
Teori Kebutuhan David McClelland
McClelland (Davis dan Newstrom, 1996) mengemukakan empat kebutuhan dasar yang mempengaruhi pencapaian tujuan ekonomi. Kebutuhan tersebut
adalah:
(1) Kebutuhan untuk berprestasi (Need for achievement)
McClelland mendefinisikan kebutuhan berprestasi adalah kebutuhan untuk
mengerjakan sesuatu dengan lebih baik atau lebih efisien dari yang telah
dikerjakan sebelumnya. Pada beberapa orang bisnis, kebutuhan untuk berprestasi demikian kuat sehingga ia lebih termotivasi dibandingkan upaya
mencapai keuntungan.
42
(2) Kebutuhan berafiliasi (Need for affiliation)
Kebutuhan berafiliasi adalah kebutuhan untuk membentuk hubungan yang
hangat dan bersahabat dengan orang lain, keinginan untuk diterima dan disukai.
(3) Kebutuhan kompetensi (Need for competence). Kebutuhan kompetensi
adalah untuk mencapai keunggulan kerja, meningkatkan keterampilan pemecahan masalah dan berusaha keras untuk inovatif.
(4) Kebutuhan untuk berkuasa (Need for power)
Kebutuhan untuk mengendalikan cara-cara mempengaruhi orang lain, keinginan untuk mendominasi, untuk meyakinkan orang lain tentang kebenaran
dari superioritas orang lain.
Teori Kebutuhan Argyris
Rangkaian kesatuan kedewasaan-ketidakdewasaan Argyris (Wiratmo,
1996) memberikan pandangan mengenai kebutuhan kemanusiaan. Menurut
Argyris, ketika orang-orang sesungguhnya mengalami kemajuan dari ketidakdewasaan menuju kedewasaan, maka mereka bergerak:
(1) Dari suatu keadaan fasif sebagai seorang anak kecil ke keadaan meningkatnya aktifitas sebagai orang dewasa.
(2) Dari suatu keadaan ketergantungan pada orang lain sebagai anak kecil ke
keadaan relatif independen sebagai orang dewasa.
(3) Dari suatu keadaan yang hanya mampu berperilaku dengan sedikit cara
sebagai anak kecil menjadi orang yang berperilaku macam-macam (kreatif)
sebagai orang dewasa.
(4) Dari anak kecil yang berminat tidak menentu, sempit, sambil lalu dan
merosot dengan cepat, menjadi orang dewasa yang mempunyai minat lebih
mendalam.
(5) Dari anak kecil yang hanya mempunyai perspfektif jangka pendek menjadi
orang dewasa yang mempunyai perspektif jangka panjang.
(6) Dari anak kecil yang ingin selalu posisi di atas menjadi orang dewasa yang
mempunyai posisi sejajar/ dan atau di bawah (posisi seimbang) dengan orang
dewasa lain.
(7) Dari anak kecil yang kurang mempunyai kesadaran akan diri menjadi orang
dewasa yang mampu mengendalikan diri.
43
Tehnik Pengidentifikasian Kebutuhan
Menurut (Green, 1987) beberapa tehnik yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kebutuhan masyarakat (community needs), antara lain adalah:
(a) Tinjauan Pustaka (Studi literatur); (b) Nominal Group Process, yang lebih
dikenal dengan nama tehnik Van de Ven dan Delbecq; (c) Metode Delphi;
(d) Metode Curah Pendapat (Brainstorming) dan (e) Metode Diskusi Kelompok
Terfokus (Focus Group Discussion
Kebutuhan Pengembangan Kapasitas
Petani Beragribisnis
Istilah kapasitas berasal dari bahasa Inggris capacity, yang artinya:
kemampuan, kecakapan, daya tampung yang ada. Pengertian kapasitas yang
dikembangkan oleh CIDA (2001) adalah:
“capacity as the abilities, skill, under-standings, attitudes, values,
relationships, behaviors, motivatiorn, resources and condition that enable
individual, organizations, network/sectors and broader sosial system to
carry out functions and achieve their development objectives over time.”
The Ontario Prevention Clearinghouse (2002) memberikan definisi
kapasitas adalah:
“the actual knowledge, skills set, participation, leadership and resource
required by individual, organization or a community to effectivelly address
local issues and concern.”
Dengan demikian, pengertian kapasitas petani beragribisnis adalah segala
daya yang dimiliki petani (pengetahuan, keterampilan dan sikap positif) untuk
mampu menjalankan agribisnis yang berorientasi better farming, better living,
friendly environment dan better living.
Menurut Reintjes dkk (1999), tiap rumah tangga tani dan tiap individu
di dalamnya memiliki kebutuhan dan keinginan khusus, namun bisa digolongkan
ke dalam beberapa tujuan, yaitu: produktivitas, keamanan, kesinambungan dan
identitas. Dalam konsep Doyal dan Gough (1991), kebutuhan-kebutuhan yang
disebutkan oleh Reinjers dkk (1999) dapat didefinisikan sebagai kebutuhan antara
(intermediate needs), untuk selanjutnya dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs).
Kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis adalah kebutuhan
untuk mengembangkan kapasitas (kebutuhan memperoleh pengetahuan,
ketertampilan dan sikap) petani dalam menjalankan agribisnisnya sesuai dengan
kondisi ideal yang diharapkan (better farming, better bussiness dan better living).
44
Dalam hal ini adalah kebutuhan belajar petani, dan kebtuhan akan informasi untuk
dapat menjalankan kegiatan agribisnis secara ideal.
Agribisnis dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Tehnik kegiatannya dimulai dari penyediaan sarana produksi (input pertanian),
proses produksi dan pasca produksi (panen, pemasaran /pengolahan hasil
pertanian). Dengan demikian, kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisni adalah kebutuhan pengembangan kapasitas petani adalah kapasitas: (a)
produktivitas; (b) pemasaran; (c) peningkatan pendapatan; (d) keamanan usaha/
agribisnis; (e) berkelompok; (f) berjaringan dan (g) peningkatan prestasi/
kemajuan usaha.
Konsep-Konsep Kemandirian
Menurut Verhagen (1987), tujuan dari upaya pembangunan bukanlah ketergantungan melainkan kemandirian. Selain itu, Nawawi dan Martini (1994)
mengemukakan bahwa kemandirian merupakan totalitas kepribadian yang perlu
atau harus dimiliki oleh setiap individu sebagai sumberdaya manusia.
Apa pengertian kemandirian? Banyak ahli telah mempelajari, meneliti dan
menjabarkan pengertian kemandirian dalam dimensi yang berbeda-beda, namun
pada dasarnya satu sama lain saling melengkapi. Konsep kemandirian yang
penulis maksudkan dalam penelitian ini adalah mengacu kepada konsep kepribadian yang sehat dan matang (menurut Allport), keperibadian yang berfungsi
sepenuhnya atau fully function person (menurut Carl Rogers) dan beberapa
konsep kemandirian lainnya.
Konsep Kepribadian Sehat/Matang
Menurut Allport (Schultz, 2005)
Menurut Allport, orang yang mempunyai kepribadian yang sehat dan
matang adalah pribadi yang bebas dari paksaan-paksaan masa lampau, tetapi
dibimbing dan diarahkan oleh masa sekarang dan oleh intensi-intensi dan antisipasi-antisipasi masa depan. Pandangan pribadi sehat adalah masa depan. Pribadi ini bebas dalam memilih dan bertindak, mempunyai harapan dan aspirasiaspirasi.
45
Menurut Allport, pribadi yang sehat memiliki kebutuhan terus-menerus
akan variasi, sensasi-sensasi dan tantangan-tantangan baru. Mereka tidak suka
akan hal-hal yang rutin dan mereka senang mencari pengalaman-pengalaman baru. Mereka mengambil resiko, berspekulasi dan menyelidiki hal-hal baru.
Teori Allport tentang dorongan dari kepribadian yang sehat memasukkan
“prinsip penguasaan dan kemampuan (principle of mastery and competence).”
Artinya, orang-orang yang matang dan sehat, mereka tidak puas terhadap apa
yang telah dapat dicapai. Mereka didorong untuk mencapai tingkat penguasaan
dan kemampuan yang tinggi dalam usaha memuaskan motif-motif mereka.
Pribadi yang Berfungsi Sepenuhnya
(Fully Function Person) Model Carl Rogers
Menurut Rogers (1963), motivasi orang yang sehat adalah: “aktualisasi.”
Rogers percaya bahwa kecenderungan aktualisasi ditemukan pada setiap makhluk
hidup: Binatang-binatang, pohon-pohon dan bahkan ganggang laut memilikinya.
Sebagaimana dilukiskan Rogers dalam gaya puitis: ”Disini dalam ganggang laut
yang serupa pohon palem, terdapat kegigihan hidup, dorongan hidup untuk maju,
kemampuan untuk masuk ke dalam suatu lingkungan yang benar-benar bermusuhan dan tidak hanya mempertahankan dirinya, tetapi juga menyesuaikan diri,
berkembang dan menjadi dirinya sendiri. “
Menurut Rogers (1961), orang yang memiliki kepribadian yang sehat
adalah orang yang bebas menjadi orang yang mengaktualisasikan diri, untuk
mengembangkan seluruh potensinya. Setelah proses aktualisasi diri berlangsung, orang ini dapat maju ke tujuan terakhir, yang menjadi orang berfungsi
sepenuhnya (fully function person).
Ciri keperibadian sehat yang mengaktualisasikan diri menurut Rogers
(1961) adalah: Pertama, kepribadian yang sehat merupakan suatu proses. Aktualisasi diri berlangsung terus, tidak pernah merupakan suatu kondisi yang selesai atau statis.Kedua, aktualisasi diri merupakan suatu proses yang sukar dan
kadang-kadang menyakitkan. Aktualisasi diri merupakan suatu ujian, rintangan
dan pecutan terus-menerus terhadap semua kemampuan seseorang. Rogers me-
46
nulis, “aktualisasi diri merupakan keberanian untuk ada.” Ketiga, orang-orang
yang mengaktualisasikan diri, yakin mereka benar-benar adalah diri mereka
sendiri. Mereka tidak bersembunyi dibelakang topeng-topeng atau kedok-kedok.
Arah yang dipilih, tingkah laku yang diperlihatkan semata-mata ditentukan oleh
individu-individu mereka sendiri.
Rogers (1961) juga memberikan lima sifat orang yang berfungsi sepenuhnya, yaitu:
(1) Keterbukaan pada pengalaman
Ciri orang yang terbuka pada pengalaman adalah, orang tersebut
mengetahui segala sesuatu tentang kodratnya; tidak ada segi kepribadian tertutup.
Itu berarti bahwa kepribadian adalah fleksibel, tidak hanya mau menerima
pengalaman-pengalaman yang diberikan oleh kehidupan, tetapi juga menggunakannya dalam membuka kesempatan-kesempatan persepsi dan ungkapan baru.
Sebaliknya, kepribadian orang yang defensif, yang beroperasi menurut syaratsyarat penghargaan adalah statis, bersembunyi dibelakang pera-nan-peranan, tidak
dapat menerima atau bahkan mengetahui pengalaman-pengalaman tertentu.
Orang yang berfungsi sepenuhnya dapat dikatakan lebih “emosional”
dalam pengertian bahwa dia mengalami banyak emosi yang bersifat positif dan
negatif (misalnya, baik kegembiraan maupun kesusahan) dan mengalami emosiemosi itu lebih kuat dari pada orang yang defensif.
(2)
Kehidupan eksistensial
Orang yang berfungsi sepenuhnya, hidup sepenuhnya dalam setiap momen
kehidupan. Setiap pengalaman dirasa segar dan baru. Maka dari itu, ada kegembiraan karena setiap pengalaman tersingkap. Karena orang sehat terbuka kepada
semua pengalaman, maka diri atau kepribadian terus-menerus dipengaruhi atau
disegarkan oleh setiap pengalaman.
Orang yang berfungsi sepenuhnya dapat menyesuaikan diri karena struktur
diri terus-menerus terbuka kepada pengalaman-pengalaman baru. Kepribadian
yang demikian itu tidak kaku atau tidak dapat diramalkan. Orang itu berkata
demikian, ”Saya akan menjadi apa dalam momen berikutnya dan apa yang saya
kerjakan, timbul dari momen itu dan baik saya maupun orang-orang lain tidak
dapat meramalkan sebelumnya.”
47
(3)
Kepercayaan terhadap organisme orang sendiri
Seseorang yang beroperasi semata-mata atas dasar rasional atau intelektual
sedikit banyak adalah cacat, karena mengabaikan faktor-faktor emosional dalam
proses mencapai keputusan. Semua segi organisme--sadar, tak sadar, emosional
dan juga intelektual--harus dianalisis dalam kaitannya dengan masalah yang ada.
Karena data yang digunakan untuk mencapai suatu keputusan adalah tepat (tidak
diubah) dan karena seluruh kepribadian mengambil bagian dalam proses membuat
keputusan, maka orang-orang yang sehat percaya akan keputusan mereka, seperti
mereka percaya akan diri mereka sendiri.
(4)
Perasaan bebas
Rogers percaya bahwa semakin seseorang sehat secara psikologis,
semakin juga ia mengalami kebebasan untuk memilih dan bertindak. Orang yang
sehat dapat memilih dengan bebas tanpa adanya paksaan-paksaan atau rintanganrintangan antara alternatif pikiran dan tindakan. Tambahan lagi, orang yang berfungsi sepenuhnya memiliki suatu perasaan berkuasa secara pribadi mengenai
kehidupan dan percaya bahwa masa depan tergantung pada dirinya, tidak diatur
oleh tingkah laku, keadaan atau peristiwa-peristiwa masa lampau. Karena merasa
bebas dan berkuasa ini maka orang yang sehat melihat sangat banyak pilihan
dalam kehidupan dan merasa mampu melakukan apa saja yang mungkin ingin
dilakukannya.
(5)
Kreativitas
Semua orang yang berfungsi sepenuhnya sangat kreatif. Mengingat sifat-
sifat lain yang mereka miliki, sukar untuk melihat bagaimana seandainya kalau
mereka tidak. Orang-orang yang terbuka sepenuhnya kepada semua pengalaman,
yang percaya akan organisme mereka sendiri, yang fleksibel dalam keputusan
serta tindakan mereka ialah orang-orang yang—sebagaimana dikemukakan
Rogers—yang akan mengungkapkan diri mereka dalam produk-produk yang
kreatif dan kehidupan yang kreatif dalam semua aktifitas mereka. Tambahan
lagi, mereka bertingkah laku spontan, berubah, bertumbuh dan berkembang
sebagai respons atas stimulus-stimulus kehidupan yang beraneka ragam di sekitar
mereka.
48
Konsep Kemandirian Lainnya
Istilah kemandirian sepadan dengan istilah autonomy yang dikutip dari
istilah Kant (Sumardjo, 1999). Autonomy berasal dari akar bahasa Yunani autos
yang berarti self dan nomos yang berarti law atau rule. Secara harpiah, arti kata
kemandirian (autonomy) adalah merujuk pada hak atau kemampuan individu
untuk mengatur dirinya sendiri.
Mengacu pada pendapat Kant (Sumardjo,1999), kemandirian (autonomy)
menunjuk pada individualitas, bukan individualistis atau individualisme atau
egoisme. Kemandirian merupakan sikap dan perilaku yang dapat menghantarkan
manusia pada sukses dalam menjalani hidup dan kehidupan, “bersama” dengan
orang lain.
Menurut Sumardjo (1999), mengacu pada konsep filsafat moral autonomy
dari Kant, otonomi moral adalah kehendak manusia untuk bertindak dari prinsip
yang diyakininya sendiri; mampu mengatur diri sendiri; menentukan diri sendiri;
mengarahkan sendiri; bebas dari kehendak orang lain, berhak untuk mengikuti
kemauannya sendiri. Kant membedakan istilah otonomi moral dan heteronomi
moral.
Heteronomi moral berarti sikap moral dimana orang melaksanakan
kewajiban bukan berdasarkan rasa takut, tertekan, takut salah/dosa, misal takut
ditegur, dimarahi atau ancaman lainnya. Pernyataan sikap moral manusia yang
sebenarnya adalah otonomi moral, yang berarti orang yang punya prinsip
sehingga taat dan menjalankan kewajibannya karena ia sadar, ia insyaf, ia yakin
man-faatnya, tetapi bukan berarti suatu sikap yang menutup diri. Dalam otonomi
moral manusia secara rendah hati menerima situasi masyarakat, norma-norma
yang diagungkan dan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Atas dasar konsep itu,
kemandirian petani lebih tepat dan memang
sejalan dengan konsep moral
tersebut.
Senada dengan pendapat di atas, menurut Steinberg (2001), kemandirian
adalah keadaan dimana seorang individu memiliki kemampuan untuk menentukan
keinginannya, mampu mengatasi tekanan sosial untuk berpikir dan berbuat
dengan cara tertentu dan tidak terpengaruh oleh pandangan orang lain terhadap
49
dirinya. Menurut Steinberg, pribadi yang mandiri adalah pribadi yang mengusai
dan mengatur dirinya sendiri.
Selain mengacu kepada pengertian “kebebasan atau ketidakterkungkungan” individu dalam berbuat (kemampuan mengatur diri sendiri), kemandirian juga mengandung makna “mengoptimalkan potensi” yang dimiliki
manusia. Nawawi dan Martini (1994), kemandirian adalah kemampuan mengakomodasikan sifat-sifat baik manusia, untuk ditampilkan dalam sikap dan
perilaku yang tepat berdasarkan situasi dan kondisi yang dihadapi seorang
individu. Hal ini juga senada dengan pendapat Hubeis (1992), kemandirian adalah
perwujudan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan potensi dirinya sendiri
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, yang dicirikan oleh kemampuan dan
kebebasan menentukan pilihan yang terbaik. Menurut Rahardjo (1992) kemandirian diartikan sebagai upaya seseorang yang didasarkan pada kepercayaan
kemampuan diri dan pada sumberdaya yang dimiliki sebagai semangat keswadayaan.
Pengertian lain dari kemandirian adalah mampu bekerjasama secara setara
dengan pihak lain. Hal ini seperti dikemukakan oleh Cartwright dan Zander
(1968), bahwa untuk menumbuhkan dan membina kemandiriannya, kelompok
sasaran perlu diarahkan agar dengan kekuatan dan kemampuannya mereka dapat
berupaya untuk bekerja sama untuk mencapai segala yang dibutuhkan dan diinginkan. Kemandirian tidak berarti anti kerja sama atau menolak saling keterkaitan dan saling ketergantungan. Kemandirian justru perlu menekankan perlunya
kerjasama yang disertai tumbuh dan berkembangnya mengenai: (1) Kemampuan
memecahkan masalah (2) Aspirasi; (3) Kreativitas; (4) Keberanian menghadapi
resiko; dan (5) Keuletan, (6) Sikap dan kemampuan berwirausaha, dan
(7) Prakarsa seseorang bertindak atas dasar kekuatan sendiri dalam kebersamaan
(collective self-reliancy).
50
Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan Covey (Sumardjo, 1999),
individu yang mandiri adalah individu yang mampu menciptakan kesalingketergantungan (interdependency) dan duduk setara dalam pola kolegial
(kemitraan) dengan pihak lain. Keputusan yang diambil petani idealnya adalah
kepu-tusan yang “merdeka” dan dinilai secara sadar oleh individu tersebut sebagai
ke-putusan yang paling menguntungkan.
Menurut Nawawi dan Martini (1994), karakteristik manusia yang berkualitas kepribadian mandiri adalah individu yang memiliki sikap dan sifat rajin,
senang bekerja, sanggup bekerja keras, tekun, gigih, berdisiplin, berani merebut
kesempatan, jujur, mampu bersaing dan mampu pula bekerjasama, dapat dipercaya dan mempercayai orang lain, mempunyai cita-cita dan tahu apa yang harus
diperbuat untuk mewujudkannya, terbuka pada kritik dan saran-saran, tidak mudah putus asa dan berpikir prospektif.
Verhagen (1987) mengemukakan bahwa kemandirian adalah kemampuan memilih berbagai alternatif yang tersedia agar dapat digunakan untuk
melangsungkan kehidupan yang serasi dan berkelanjutan. Kemampuan tersebut
didukung oleh kemampuan-kemampuan yang lain, yaitu kemampuan mengenali
kekuatan dan kelemahan diri sendiri, serta kemampuan untuk memperhitungkan kesempatan dan ancaman yang ada di lingkungan sekitarnya.
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Badan Pengembangan
Swadaya Masyarakat (Bina Swadaya, 1999), kemandirian adalah sikap yang
bersumber pada “kepercayaan diri.” Tetapi kemandirian adalah juga kemampuan
(mental dan fisik) untuk:
(1) Memahami kelemahan dan kekuatan sendiri.
(2) Kemampuan memperhitungkan kesempatan dan ancaman lingkungan.
(3) Kemampuan memilih berbagai alternatif yang tersedia untuk mengatasi
persoalan dan mengembangkan kehidupan secara serasi dan berkesinambungan.
Menurut Ismawan dan Budi (dalam Krisnamurthi, 2005), kemandirian
(keswadayaan) adalah suatu kondisi dimana manusia memiliki sejumlah
kemampuan untuk mengenali kekuatan dan kelemahan diri sendiri, serta mampu
memperhitungkan kesempatan-kesempatan dan ancaman yang ada di lingkungan
sekitarnya, maupun kemampuan untuk memilih berbagai alternatif yang tersedia
51
agar dapat dipakai untuk melangsungkan kehidupan yang berkelanjutan
(sustainable). Kemandirian manusia ini, akan relatif lebih cepat prosesnya bila
melalui interaksi antar manusia dalam kelompok (organisasi).
Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi dan PKM dan LPM UNIBRAW (2001), mengemukakan bahwa kemandirian adalah proses kebangkitan
kembali dan pengembangan kekuatan pada diri manusia yang mungkin sudah
hilang karena ketergantungan, eksploitasi dan subordinasi.
Menurut Barnadib (Mu’tadin, 2002), kemandirian meliputi perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan, mempunyai rasa percaya diri
dalam mengerjakan tugas-tugasnya dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa
bantuan orang lain serta bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya.
Dimensi atau elemen Kemandirian
Menurut Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi
dan PKM dan
LPM UNIBRAW (2001), kemandirian mencakup empat elemen pokok yaitu kemandirian material, kemandirian intelektual dan kemandirian manajemen. Pengertian masing-masing elemen sebagai berikut:
(a) Kemandirian Material
Tidak sama dengan konsep sanggup mencukupi kebutuhan sendiri.
Keman-
dirian material adalah kemampuan produktif guna memenuhi kebutuhan materi dasar serta cadangan dan mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu
krisis.
(b) Kemandirian Intelektual
Kemandirian intelektual yaitu pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh
masyarakat yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi yang lebih halus muncul diluar kontrol terhadap pengetahuan itu.
(c)
Kemandirian Sikap
Kemandirian sikap yaitu kemampuan otonom dalam menyikapi setiap seluruh permasalahan yang muncul dalam kaitan dengan kehidupan. Kemampuan otonom menentukan sikap ini merupakan “sintesa” dari kesadaran diri,
insiatif, motivasi, kepercayaan diri, pengambilan keputusan untuk bertindak
dan sejauh mana kemampuan untuk “menolong” dirinya sendiri.
52
(d) Kemandirian Manajemen
Kemandirian manajemen yaitu kemampuan otonom untuk membina diri dan
menjalani serta mengelola kegiatan kolektif agar ada perubahan dalam situasi
kehidupan usahatani petani.
Steinberg (2001) menjelaskan bahwa dimensi kemandirian meliputi
kemandirian emosi (emotional autonomy), kemandirian perilaku (behavioral
autonomy) dan kemandirian nilai (values autonomy). Masing-masing dimensi dijelaskan berikut:
(1) Kemandirian emosi (emotional autonomy).
Merupakan dimensi kemandirian yang berhubungan dengan perubahan
keterikatan atau kedekatan emosi anak (sesorang) dengan orang tua (orang
lain. Menurut Steinberg dan Silverberg (1986) diacu dalam Steinberg (2001),
dinyatakan ada empat komponen kemandirian emosi (khususnya pada remaja), yaitu:
(a) Suatu tingkat dimana seseorang (remaja) memiliki kemampuan untuk
tidak mengidealkan (de-idealized) orang tuanya (orang lain).
(b) Suatu tingkat dimana seseorang (remaja) memiliki kemampuan untuk
memandang orang tua sebagai orang dewasa atau orang dewasa lain
pada umumnya (parent as people).
(c) Suatu tingkat dimana remaja (seseorang) memiliki sikap non dependency
artinya lebih bersandar pada kemampuannya sendiri, dari pada tergantung pada kemampuan orang lain.
(d) Suatu tingkat dimana remaja (seseorang) menampilkan perilaku bertanggung jawab dalam hubungannya dengan orang tua atau orang lain
(individuated).
(2) Kemandirian perilaku (behavioral autonomy).
Individu yang mandiri secara perilaku memiliki kemampuan untuk membuat
suatu keputusan sendiri dan dapat melaksanakan keputusannya tersebut.
Menurut Sprinthall & Collins (1995), kemandirian dalam perilaku merupakan dimensi kemandirian dalam bentuk fungsi independen individu yang
aktif dan nyata,artinya individu yang memiliki kebebasan untuk berbuat dan
bertindak tanpa harus bergantung pada orang lain. Menurut Steinberg (2001),
53
ada tiga karakteristik remaja (seseorang) yang memiliki kemandirian perilaku, yaitu:
(a) Memiliki kemampuan mengambil keputusan.
(b) Memiliki kekuatan terhadap pengaruh pihak lain.
©
Memiliki rasa percaya diri (self-reliance).
(3) Kemandirian Nilai (values autonomy)
Kemandirian nilai merupakan kemampuan individu untuk mengambil
keputusan dan menetapkan pilihan yang lebih berpegang atas dasar prinsipprinsip individu yang dimilikinya bukan mengambil dari prinsip-prinsip
orang lain. Artinya, individu memiliki seperangkat prinsip tentang benar dan
salah serta penting dan tidak penting dalam memandang sesuatu dilihat dari
sisi nilai.
Menurut Soedijanto (2002), kemandirian terdiri dari kemandirian materil,
kemandirian intelektual dan kemandirian pembinaan. Melalui kemandirian material, seseorang memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara optimal potensi
sumberdaya alam yang mereka miliki sendiri tanpa harus menunggu bantuan
orang lain atau tergantung dari luar. Kemandirian intelektual, memiliki kapasitas
untuk mengkritisi dan mengemukakan pendapat tanpa dibayangi rasa takut atau
tekanan pihak lain. Kemandirian pembinaan, yaitu memiliki kapasitas untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui proses pembelajaran discovery learning
tanpa harus tergantung atau menunggu sampai adanya pembina atau agen
pembaharu dari luar sebagai guru mereka.
Havighurst (1972) menambahkan bahwa kemandirian terdiri dari beberapa
aspek, yaitu:
(1) Emosi, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengotrol emosi dan tidak
tergantungnya kebutuhan emosi dari orang lain.
(2) Ekonomi, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan
tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang lain.
(3) Intelektual, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
54
(4) Sosial, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang
lain.
Kemandirian Petani
Menurut Soediyanto (2001), kegiatan penyuluhan pertanian dalam pembangunan sistem dan usaha agribisnis harus memiliki sasaran tercapainya kemandirian petani dan perilaku agribisnis lainnya, yang meliputi kemandirian material,
kemandirian intelektual dan kemandirian pembinaan.
Subagyo (2000) mengemukakan bahwa petani masa depan adalah model
sosok petani yang mandiri, tangguh dan sebagai subjek pembangunan dengan ciriciri sebagai berikut:
(1) Kegiatan bertani didasari atas suatu rencana usaha yang sesuai dengan
kebutuhan pasar dan potensi wilayah (agroklimat, sosial ekonomi).
(2) Pola kerjanya didasari atas ilmu usahatani yang selalu berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman.
(3) Mempunyai sikap yang rasional dalam mengelola usahataninya.
(4) Mempunyai kemampuan untuk berkembang yang diperoleh melalui pendidikan.
(5) Teknologi yang diterapkan merupakan keputusan sendiri berdasarkan pengalamannya, kondisi sumberdaya alam, perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, serta sesuai dengan ekosistem lokal.
(6) Dalam menghadapi berbagai persoalan/masalah didasari atas proses observasi, pengalaman, analisa, alternatif mengatasinya dan baru mengambil
tindakan.
(7) Ketergantungan bukan pada nasib tetapi petani selalu menggunakan akal atau
rasio yang sehat.
(8) Mempunyai penampilan yang maju sebagaimana seorang manajer dalam
pengelolaan usahataninya.
(9) Organisasinya merupakan organisasi usatani agribisnis, sehingga tahu apa
yang harus dikerjakan, tahu cara-cara yang benar, tahu alasan-alasannya dan
mempunyai percaya diri dalam mengelola usahataninya.
55
Menurut Sumardjo (1999), berdasarkan kajian deduktif yang mengacu
kepada pendapat beberapa ahli, ciri kemandirian petani (farmer autonomy), yaitu:
(1) Petani mandiri mempunyai rasa percaya diri dan mampu memutuskan atau
mengambil suatu tindakan yang dinilai paling menguntungkan (efficient)
secara tepat dan cepat dalam mengelola usahanya di bidang pertanian tanpa
tergantung atau tersubordinasi oleh pihak lain, baik itu berupa perintah,
ancaman, petunjuk atau anjuran (self dependency).
(2) Senantiasa mengembangkan kesadaran diri dan kebutuhan akan pentingnya
memperbaiki diri dan kehidupannya, serta punya inisiatif dan kemauan keras
untuk mewujudkan harapannya (optimistik dan daya juang).
(3) Mampu bekerjasama dengan pihak lain dalam kedudukan setara sehingga
terjadi kesalingtergantungan dalam situasi saling menguntungkan dalam
suatu kemitraan usaha yang berkelanjutan (interdepedence).
(4) Mempunyai daya saring yang tinggi dalam menetapkan pilihan tindakan
terbaik bagi alternatif usaha yang ditempuh dalam kehidupan (filter system).
(5) Senantiasa berusaha memperbaiki kehidupannya (hidup modern) melalui
berbagai upaya memperluas wawasan berpikir dan pengetahuan, sikap dan
keterampilannya (kosmopolit), sehingga berespon secara positif terhadap
perubahan situasi (dinamis) dan berusaha secara sadar mengatasi permasalahan dengan prosedur yang dinilai paling tepat (progresif).
Menurut Radi (1997), petani yang mampu mewujudkan pertanian mandiri
adalah petani yang memiliki karakter:
(1)
Mampu memanfaatkan keanekaragaman sumberdaya pertanian secara optimal melalui kekuatan/kemampuan sendiri.
(2) Mampu memanfaatkan teknologi pertanian yang rujuk lingkungan, serta
tidak menutup diri terhadap berlangsungnya transformasi teknologi yang lebih menguntungkan (integrasi teknologi lokal dengan teknologi dari luar
secara selektif).
(3) Mampu mengembangkan keunggulan kompetitif.
(4) Memiliki kemampuan manajerial dan keterampilan mengelola usaha secara
bisnis.
56
Beberapa Hasil Penelitian tentang Kemandirian
Petani Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
Menurut Sumardjo (1999), secara umum petani di Jawa Barat masih
mempunyai tingkat kemandirian yang rendah. Skor terendah terutama pada aspek
daya saing. Artinya, tingkat kesiapan petani menghadapi era globalisasi masih
relatif belum memadai.
Menurut Sumardjo (1999), fakta hasil uji statistik membuktikan bahwa
tingkat kemandirian petani secara signifikan didipengaruhi oleh faktor internal
dan eksternal petani. Faktor internal meliputi: (1) status sosial, (2) kualitas pribadi, (3) ciri komunikasi, (4) motivasi intrinsik, (5) motivasi ekstrinsik. Faktor
eksternal meliputi: (1) kualitas penyuluhan, (2) pengaruh pasar komoditi pertanian, (3) desakan perkembangan sektor luar pertanian, (4) penetrasi produk non
pertanian, (5) sarana penunjang pengembangan pertanian, (6) ketersediaan
sumberdaya informasi secara lokal, (7) kondisi lingkungan fisik, dan (8) kebijakan
pembangunan pertanian.
Dalam penelitiannya, disarankan oleh Sumardjo (2000) bahwa penelitian
yang menyangkut pengembangan kemandirian belajar (terutama pengembangan
metoda dan tehnik kekondusifan belajar mandiri) semakin diperlukan. Hal ini dimaksudkan untuk memperkaya metoda dan tehnik-tehnik belajar secara mandiri
bagi orang dewasa (para pelaku sistem agribisnis).
Hasil penelitian Soebiyanto(1998) di Jawa Tengah menyatakan bahwa kemandirian petani termasuk kategori sedang. Hal ini dicerminkan oleh rendahnya
tingkat aspirasi, rendahnya kreativitas, kurang memiliki wawasan ke depan dan
semangat kerjasama, tetapi memiliki keuletan kerja yang tinggi. Terdapat perbedaan nyata tingkat kemandirian petani pada berbagai tingkat kemampuan kelompok dan sentra produksi.
Menurut Soebiyanto (1998), karakteristik pribadi yaitu sifat yang melekat
pada diri pribadi petani yang terdiri dari: pengalaman kerja, tingkat pendidikan,
motivasi berkelompok dan keterbukaan terhadap pembaharuan. Karakteristik pribadi petani ini berpengaruh nyata terhadap kemandirian petani, tetapi tidak
57
berpengaruh nyata terhadap ketangguhan berusahatani. Karakteristik ekonomi petani (luas penguasaan lahan, pemilikan sarana produksi, jumlah tenaga kerja yang
digunakan dan penguasaan modal) termasuk peringkat rendah dan juga berpengaruh nyata terhadap kemandirian petani dan ketangguhannya berusahatani.
Sistem Agribisnis
Menurut Soehardjo (Said dan Intan, 2001), agribisnis merupakan sebuah
sistem yang terdiri dari beberapa subsistem (Gambar 3). Setiap subsistem tersebut
mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya.
Subsistem III akan berfungsi dengan baik bila ditunjang oleh ketersediaan
bahan baku yang dihasilkan oleh subsistem II dan subsistem III tersebut akan
berhasil baik bila menemukan pasar untuk produknya. Lembaga pertanahan,
pembiayaan/keuangan, pendidikan, penelitian,
dan perhubungan merupakan
lembaga yang menunjang kegiatan agribisnis yang kebanyakan berada di luar
sektor pertanian, sehingga sektor pertanian terkait erat dengan sektor lainnya.
Subsistem
1
(Pengadaan
dan Penyaluran
Sarana
Produksi
Subsistem
II
Subsistem
III
Subsistem
IV
(Produksi
Primer)
(Pengolahan)
(Pemasaran)
Lembaga Penunjang Agribisnis
(Pertanahan, Keuangan, Penelitian, dll)
Gambar 3. Sistem Agribisnis dan Lembaga Penunjangnya
(Said dan Intan , 2001)
58
Umumnya petani berada pada subsistem II yang khusus menghasilkan
produk pertanian dikarenakan tidak mempunyai modal yang cukup untuk pengadaan sarana produksi, kurang pengetahuan dan teknologi dalam pengolahan, serta
kurang tahu cara pemasaran hasil produksinya. Dengan adanya kemitraan
antara usaha besar dengan petani, maka perusahaan akan memberikan bantuan
yang dibutuhkan petani sehingga masing-masing unit akan bekerja secara
terspesialisasi dalam pengadaan input produksi, menghasilkan produk, mengolah
produk, dan memasarkannya sehingga berada pada kondisi skala ekonomis
dengan menurunnya biaya rata-rata jangka panjang seiring banyaknya unit yang
terlibat (Said dan Intan, 2001).
59
Download