INFEKSI KLAMIDIA TRACHOMATIS SEBAGAI SALAH SATU PENYEBAB OKLUSI TUBAFALOPI dr. AnomSuardika, SpOG(K) BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD / RSUP SANGLAH DENPASAR 2015 1 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekitar 10-15% pasangan di dunia mengalami masalah infertilitas. Jumlah pasangan infertil di dunia maupun di indonesia semakin bertambah, terjadi peningkatan jumlah pasangan infertil sekitar 2% setiap 5 tahun. Dengan semakin meningkatnya ekonomi dan daya beli masyarakat Indonesia, tercatat semakin banyak pasangan infertil yang memeriksakan diri ke dokter.1 Penyebab infertilitas sendiri sangat beragam, namun sekitar 70-75% penyebab infertilas diperoleh dari masalah yang terjadi pada wanita. Faktor terbesar penyebab infertilitas pada wanita diduga dikarenakan banyaknya wanita yang menunda kehamilan di awal-awal usia produktif, dan sebagian besar menikah pada akhir bahkan diluar usia produktif. Namun demikian dari banyak hasil studi menyatakan oklusi tuba dan perlengketan pada adneksa terjadi pada 30-35% wanita infertil baik yang terjadi pada wanita usia muda maupun yang lebih tua. Hal ini menempatkan faktor tuba sebagai salah satu masalah terbesar dalam infertilitas.2 PRP (Penyakit Radang Panggul), endometriosis, riwayat operasi didaerah abdomen bagian bawah merupakan beberapa penyebab gangguan pada tuba. Pada beberapa studi terdahulu didapatkan risiko infertil tuba meningkat seiring dengan derajat keparahan dari infeksi yang terjadi di area panggul, dengan insiden diperkirakan 10-12% setelah satu serangan, 23-35% setelah dua serangan dan 5475% setelah tiga serangan PRP akut. Meskipun banyak wanita denganpenyakit tuba ataupun perlengketan pelvik tidak mempunyai riwayat infeksi sebelumnya, namun data membuktikan secara kuat bahwa ascending infection tanpa gejala merupakan penyebab tersering kerusakan pada tuba. Banyak dari wanita dengan riwayat PRP didapatkan terdeteksi memiliki antibodi klamidia pada infeksi sebelumnya. Selain infeksi chlamydia didapatkan beberapa penyebab lain yang mengakibatkan penyakit radang panggul seperti infeksi tricomonas vaginalis, N gonorrhoe, E. coli, bacteroides fragilis dan mycoplassma genitalium, sedangkan penyebab lain yang lebih jarang terjadi adalah aktonomikosis (infeksi jamur), 1 3 skitosomiasis (infeksi parasit), maupun tuberkolosis.Namun pada kesempatan ini kami bahas mengenai klamidia trachomatis.2 Infeksi klamidia trachomatis dapat dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium diantaranya biakan, pemeriksaan mikroskopik, deteksi antigen langsung, tes DNA maupun serologi terhadap antibodi dalam serum baik Ig G maupun Ig M anti klamidia trachomatis.Cara ini sangat akurat dalam menentukan adanya infeksi klamidia trachomatis.2 Dengan diketahuinya hubungan langsung antara infeksi klamidia dengan angka kejadian oklusi tuba, maka pembuktian tersangka oklusi tuba dapat diperkirakan dari pendeteksian adanya infeksi klamidia melalui pemeriksaan serologis pada seorang wanita, dimana tindakan ini bukan merupakan tindakan invasif dengan risiko dan biaya yang lebih rendah.2 Pada penanganan infertilitas yang lebih modern, fokus evaluasi infertilitas telah bergeser dari penegakan diagnosis secara spesifik menjadi evaluasi menggunakan metode yang paling efisien dengan biaya yang paling rendah.Sehingga pemeriksaan terhadap antibodi klamidia trachomatis dapat digunakan sebagai pemeriksaan awal pada setiap wanita infertil untuk mendeteksi kemungkinan adanya oklusi tuba.2,3 4 BAB II KAJIAN PUSTAKA II.I Anatomi Tuba Bagian tubuler ini merupakan perpanjangan dari uterus dengan panjang sekitar 8-14 cm, masing-masing tuba dibagi menjadi bagian interstitial, isthmus, ampula, infundibulum. Bagian interstitial adalah bagian yang masih dilapisi dengan otot dinding uterus. Bagian isthmus adalah bagian tersempit dari tuba yang berdampingan dengan uterus, masuk ke bagian yang lebih luas, dibagian lateral terdapat ampula. Infundibulum atau lengan fimbria merupakan bagian menyerupai corong yang membuka kearah distal, ujung dari tuba falopi.3 Tuba falopi memiliki ketebalan yang berbeda-beda. Pada bagian yang tersempit yaitu isthmus diameternya sekitar 2-3 mm, dan bagian terluas yaitu ampula berdiameter 5-8 mm. Ujung fimbria dari bagian infundibulum membuka ke rongga abdomen. Bagian fimbria yang menyerupai tangan menjulur hingga ke ovarium disebut sabagai fimbria ovaririca.3 3 5 Gambar II.1 Gambaran potongan tuba pada wanita dewasa: (A) isthmus,(B) ampulla, dan(C) infundibulum.3 Otot-otot pada tuba berkontraksi secara ritmik , bervariasi tergantung dari siklus hormonal ovarium, frekuensi terbesar terjadi selama transport ovum. Tuba falopi dilapisi selapis sel kolumnar, yang sebagian memiliki sillia dan yang lain sekresi. Sel kolumnar dengan sillia paling banyak ditemui dibagian fimbria dan juga terdapat secara acak dibagian-bagian lain.3 Terdapat perbedaan proporsi dua jenis sel kolumnar ini dalam setiap fase dari siklus ovarium. Dikarenakan tidak memiliki submukosa, lapisan epitel berhubungan langsung dengan bagian muskular. Pada mukosa tuba terdapat perubahan histologis secara siklik serupa dengan yang terjadi pada endometrium, namun lebih tidak terlihat. Yang terpenting dari fungsi sel kolumnar bersilia adalah sel ini berperan sebagi petunjuk aliran menuju rongga uterus. Peristaltik tuba dipercaya sebagai faktor yang sangat peting dalam tranport ovum. Tuba didukung oleh banyak jaringan elastik, pembuluh darah, dan jaringan limfatik. Memiliki persarafan simpatik dan parasimpatik yang memiliki efek kerja berlawanan.3 II.II Definisi Klamidia Klamidia trakomatis adalah satu dari 4 spesies (termasuk klamidia puerorum, klamidia psittaci, dan klamidia pneumonia) dalam genus Klamidia. Klamidia trakomatis dapat dibedakan dalam 18 serovars (variasi serologis). Serovar A,B,Ba dan C dihubungkan dengan trakoma (penyakit mata yang serius yang dapat menyebabkan kebutaan), serovars D-K dihubungkan dengan infeksi 6 saluran genital, dan L1-L2 dihubungkan dengan penyakit Limfogranula venereum (LGV). 4 Gambar II.2. Klamidia trachomatis4 Klamidia trakomatis adalah bakteri obligat intraseluler yang menginfeksi urethra dan serviks. Serviks adalah tempat yang paling sering terinfeksi dengan Klamidia trakomatis. Klamidia bukan merupakan penyebab vaginitis, tetapi dapat mengerosi daerah serviks, sehingga dapat menyebabkan keluarnya cairan mukopurulen. Cairan ini mungkin dianggap pasien berasal dari vagina. Neonatus yang lahir dari wanita yang terinfeksi dengan Klamidia memiliki risiko untuk terjadinya inclusion conjungtivitis saat persalinan. 25 sampai dengan 50% dari bayi yang terpapar akan terkena konjungtivitis pada 2 minggu pertama setelah lahir, dan 10 sampai dengan 20 % akan berlanjut ke pneumonia dalam 3 sampai 4 bulan setelah lahir jika tidak diobati dengan segera. Infeksi Klamidia pada awal kehamilan telah dihubungkan dengan terjadinya persalinan prematur, ketuban pecah dini. Meningkatnya angka kejadian late - onset endometritis yang terjadi setelah persalinan pervaginam, dan infeksi panggul yang berat setelah operasi sesar dapat terjadi ketika infeksi Klamidia di diagnosis pada pemeriksaan prenatal awal.4 7 Gambar II.3. Infeksi Klamidia Trachomatis Pada Jaringan Serviks Dan Tuba4 Klamidia Trachomatis merupakan organisme kedua terbanyak dari infeksi menular seksual yang ditemukan pada sebagian besar wanita, dan paling banyak ditemukan pada wanita dibawah usia 25 tahun. Dikarenakan banyak dari kasus infeksi ini merupakan infeksi yang asimptomatik atau tanpa gejala, diperlukan pemeriksaan rutin pada wanita yang sudah aktif secara seksual yang berusia dibawah 25 tahun dan mereka yang memiliki resiko.4 Wanita yang dikatakan memiliki risiko terhadap infeksi klamidia trachomatis adalah wanita yang berganti-ganti pasangan seksual ataupun mempunyai pasangan sesual baru, pekerja seksual, mengunakan kondom secara tidak konsisten, memiliki riwayat infeksi menular seksual lainnya, sebelumnya pernah terinfeksi chlamydia ataupun gonorrhea.4 Klamidia trachomatis merupakan parasit intraseluler obligate yang bergantung pada sel lain untuk hidupnya. Parasit ini menyebabkan infeksi pada epitel kolumnar. Gejala yang muncul diakibatkan karena peradangan pada kelenjar endocervical, yang menghasilkan duh yang mukopurulenta ataupun duh sekresi dari endoservical. Jika terinfeksi, jaringan endocervical biasanya akan membengkak dan kemerahan. Seringkali diikuti dengan urethritis atau infeksi alat kelamin bawah lainnya, sehingga sering dijumpainya adanya nyeri ketika berkemih.4 8 Gambar II.4 Klamidia trachomatis dalam preparat dengan pewarnaan Giemsa (kiri); Servisitis dikarenakan infeksi chlamydia (kanan)4 II.III Prevalensi Prevalensi dari klamidia trakomatis tergantung pada karakteristik dari populasi yang diteliti. Di Amerika Serikat berkisar antara 2 sampai dengan 7% diantara mahasiswi perempuan, dan 4 - l2% diantara wanita yang berkunjung ke klinik keluarga berencana. Di Jepang penelitian diantara pekerja seks komersil yang terinfeksi klamidia adalah l3%. 1,3 Di Inggris penelitian pada pria usia muda memiliki insidens 9,8% positif klamidia. 1,4 Prevalensi infeksi klamidia tertinggi pada kelompok yang paling jarang memeriksakan dirinya ke dokter. Pada wanita yang tidak hamil dapat menyebabkan mukopurulen servisitis, endometitis, salpingitis akut, infertilitas, dan kehamilan ektopik.1,5 Di Indonesia angka kejadian klamidia trakomatis belum didapatkan secara rinci. Beberapa peneliti memberikan hasil yang beragam. Wisnuwardani dalam penelitiannya dengan menggunakan metode ELISA swab (Klamidiazyme) mendapatkan prevalensi klamidia pada pasien dengan servisitis yang berobat di Bagian Kebidanan FKUI/RSCM sebesar l2,66% sedangkan prevalensi antibodi terhadap klamidia trakomatis (chlamydelisa) sebesar 45,57%. Penelitian Sutrisno (1994) di puskesmas Mulya Jaya mendapatkan prevalensi 2l% dengan Clearview. Klamidia dan l8% dengan metode ELISA Wellcozyme®, Penelitian Wahyuni (2002) melaporkan angka kejadian infeksi klamidia pada pasien keputihan sebesar 6,3% dengan metode Gen probe PACE 2. Penelitian Febrianti (2006) mendapatkan prevalensi infeksi klamidia pada PSK sebesar 44,3% dengan QuickstripeTM dan 43,2% dengan 9 PCR. Widjaja dkk.(1999) melaporkan prevalensi infeksi Klamidia pada 3 rumah sakit di Kalimantan Selatan sebesar 9,2% dengan teknik Ligase Chain Reaction (LCR).1,5 II.IV Faktor Risiko Faktor risiko untuk terjadinya infeksi klamidia trakomatis pada wanita seksual aktif termasuk usia muda (usia 15-24 tahun), riwayat infertilitas, memiliki lebih dari 1 partner seksual, adanya partner seks yang baru, tidak menikah, ras kulit hitam, mempunyai riwayat atau sedang menderita penyakit menular seksual, riwayat keguguran, riwayat infeksi saluran kemih, dan penggunaan tidak teratur 1,5 dari kontrasepsi barrier. II.V Patofisiologi Klamidia adalah bakteri intra selular kecil yang membutuhkan sel - sel yang hidup untuk bermultiplikasi. Kromosom bakteri klamidia terdiri dari kurang lebih 1 juta pasangan basa dan memiliki kapasitas untuk mengkodekan lebih dari 600 protein. Ada 18 serotipe dari klamidia trakomatis yang teridentifikasi. Serotipe D - K merupakan penyebab infeksi menular seksual dan infeksi neonatal. Tidak ditemukan bukti kuat bahwa sindroma genital spesifik atau manifestasi klinis, seperti PID, disebabkan oleh serotipe yang spesifik. Siklus sel dari klamidia berbeda dari bakteria yamg lain. Endositosis membuat terjadinya formasi inklusi intraselular yang terikat membran. Kemampuan dari klamidia untuk merubah dari fase istirahat ke fase replikasi, bentuk infeksius dalam sel penjamu yang meningkatkan kesulitan dalam mengeliminasi mikroba ini. Masih banyak yang belum dapat dimengerti mengenai mekanisme spesifik kejadian dalam membran, perlekatan, endositosis, multiplikasi dari organisme dalam sel, tansformasi dari metabolik inaktif badan retikulat (RB) ke metabolik aktif replikatif badan elementer (EB), dan ekspresi dari antigen Klamidia yang berbeda selama siklus sel.6 Klamidia trakomatis memiliki genom yang sangat kecil, tetapi itu bukan berarti klamidia tidak memiliki siklus perkembangan hidup yang kompleks, siklus ini terdiri dari dua bentuk: EB, yang di disain untuk dapat bertahan diluar sel 10 manusia dan untuk menginfeksi sel manusia yang baru, dan RB yang lebih rentan sebagai bentuk pembelahan diri bakteria ini. Bagian dalam dari sel manusia ini sangat kaya akan nutrisi, sehingga RB tidak perlu membuat banyak asam amino dan komponen-komponen lain yang biasanya dibutuhkan sel-sel yang hidup bebas. Meskipun klamidia trakomatis memiliki gen yang sedikit untuk biosintesis asam amino, genom-genonmya memiliki gen-gen untuk beberapa jalur pembangkit energi, termasuk glikolisis, dan jalur pentose phosphate. Pada awalnya, diyakini bahwa klamidia trakomatis adalah suatu parasit adenosine triphosphate (ATP) yang tidak memiliki ATP dan harus mendapatkannya dari sel penjamu. Ternyata hal ini telah diketahui salah, terutama untuk klamidia trakomatis. Spesies lain dari klamidia mungkin parasit ATP, berdasarkan dari kurangnya gen untuk biosintesis energi.7 Meskipun klamidia memiliki sitoplasmik tipe gram negatif dan membran luar, baik EB maupun RB tidak memiliki peptidoglikan. Bagaimana bakteria ini menghindari lisis? RB mungkin dilindungi dalam beberapa hal dengan adanya osmolaritas yang tinggi dari bagian dalam sel manusia. EB bagaimanapun, harus beradaptasi dengan kondisi osmolaritas yang rendah diluar sel penjamu. Jawaban dari pertanyaan kenapa EB resisten terhadap lisis tampaknya karena membran EB memiliki protein dengan persilangan multipel disulfida. Ini termasuk protein yang dinamakan major outer membrane protein (MOMP), polymorphic outer membrane protein (POMP), dan cysteine-rich proteins (CRP). 6,7 11 Gambar II.5Siklus perkembangan Klamidia trachomatis4 Pada siklus perkembangan klamidia, Badan Elemnter (EB) dibawa kedalam endosome dari sel penjamu, kemudian endosome melebur, dan badan elementer berdifferensiasi menjadi Badan Retikulat (RB), Badan retikulat bereplikasidan menyebabkan membrane endoplasmik membesar sampai mengisi hampir semua rongga sitoplasma,Badan Retikulat berubah menjadi badan elementer. Membran endoplasmic akan ruptur dan melepas badan elementer kedalam sitoplasma sel penjamu atau melebur dengan membran sitoplasma 6 penjamu, dan badan elementer akan dikeluarkan ke lingkungan bebas . Infeksi klamidia merupakan suatu komplikasi inflamasi jangka panjang dari infeksi ascending klamidia yang menyebabkan terbentuknya jaringan parut 7 pada tuba. Banyak peneliti yang menemukan adanya organisme ini pada tuba falopii setelah berbulan-bulan atau bertahun-bertahun setelah infeksi yang pertama. Belum dapat dimengerti bagaimana mekanisme yang menjelaskan kenapa klamidia trakomatis menjadi persisten. Dibawah ini dijelaskan mengenai mekanisme evasi imun dari klamidia trakomatis.2,6,7 Infeksi kronik klamidia dapat memicu kerusakan tuba yang dari beberapa penelitian in vitro diperkirakan dapat diakibatkan oleh:1. Badan elementer klamidia trakomatis yang terdapat pada semen pria yang terinfeksi menularkan ke 12 perempuan pasangan seksualnya.. Pertahanan diluar sel pejamu dengan adanya protein permukaan seperti MOMP dan protein membran yang bersifat polimorfik, akan mencegah terjadinya deteksi oleh antibodi. Pertahanan didalam sel pejamu dengan cara replikasi terjadi pada badan inklusi sehingga membatasi paparan terhadap antibodi, inhibisi pelepasan sitokrom-C di mitokondria yang dibutuhkan untuk apoptosis yang dimediasi oleh kaspase 9 sehingga menghambat apoptosis dari sel pejamu yang terinfeksi. Selain itu adanya tyrosyl radical site pada ribonukleotida reduktase bakteri kemungkinan berperan pada peningkatan resistensi terhadap nitric oxide. Sekresi tumor necrosis factor (TNF) oleh makrofag yang terinfeksi klamidia trakomatis merangsang apoptosis dari sel T yang teraktivasi. Begitu pula sekresi dari klamidia trakomatis protease di sitoplasma menghancurkan faktor tanskripsi yang dibutuhkan untuk transkripsi dari major histocompability complex (MHC) yang menghambat interferon-γ (IFNγ) merangsang ekspresi molekul MHC kelas I dan II. Klamidia trakomatis memiliki kemampuan untuk tetap berada dalam bentuk intaselular, yang dapat disebabkan akibat pemberian antibiotika, defisiensi nutrisi atau sitokin (seperti IFN-γ) atau setelah infeksi pada monosit. Adanya ekspresi dari gen yang mengkode triptofan sintase dan represor, menghambat efek IFN-γ. 2. Klamidia naik ke traktus reproduksi wanita dan menginfeksi sel epitel pada tuba falopii. 3. Didalam sel badan elementer berubah menjadi badan retikulat dan mulai untuk bereplikasi. 4. Jalur apoptosis dihambat, yang menyebabkan sel yang terinfeksi dapat bertahan. 5. Ketika jumlah badan elementer mencapai tingkat densitas tertentu, maka badan elementer tersebut akan terlepas dari sel epitel dan menginfeksi sel disebelahnya. 6. Badan elementer ekstaseluler akan mengaktivasi sistem imun berupa diproduksinya IFN-γ, TNF-α dan sitokin-sitokin proinflamasi lainnya. 7. Respon imun akan menurunkan jumlah badan elementer dan menghambat replikasi intraseluler dari badan retikulat. 8. Interupsi replikasi badan retikulat menyebabkan klamidia tetap ada dalam bentuk intaseluler sehingga dapat menimbulkan respon imun yang bersifat destrruksif. Pada bentuk persisten ini, potein-60 (CHSP60) dilepaskan, yang dapat menyebabkan respon inflamasi. 9. Ketika jumlah badan elementer berada di bawah kadar kritis tertentu maka aktivasi sistem imun berhenti dan replikasi badan retikulat mulai kembali. 10. 13 Perubahan siklus infeksi badan elementer dengan destruksi dari sel epitel baru dan persisten dalam intaseluler dengan pelepasan CHSP60 pembentukkan jaringan parut dan merusak patensi tuba falopii. menyebabkan 8 Klamidia yang menginfeksi makrofag juga merangsang apoptosis dari sel imun yang tidak terinfeksi seperti sel T yang meningkatkan perkembangan infeksi persisten. Perfettini, dkk. (2002) menemukan dari penelitian pada tikus bahwa IFN-γ berperan pada patogenesis infeksi klamidia persisten dengan mencegah apoptosis dari sel yang terinfeksi. Disamping secara langsung mencegah apoptosis, IFN-γ juga merangsang adanya efek anti apoptosis. Dean dan Powers (2001) mengemukakan bahwa inhibisi dari apoptosis sel pejamu mengakibatkan Klamidia mampu membentuk infeksi persisten dan IFN- γ dan interleukin-10 (IL-10) membantu perkembangan dari klamidia dengan peningkatan ekspresi dari CHSP60 yang mendukung proses inflamasi. Perbedaan ekspresi MOMP dan CHSP60 selama perkembangan klamidia yang normal maupun yang mengalami perubahan telah diketahui sejak lama, namun makna sebenarnya dari keseimbangan ini dalam infeksi klamidia persisten tidak diketahui. 3,8 Transmisi dapat terjadi melalui kontak seksual langsung melalui oral, vaginal, servikal melalui uretra maupun anus. Bakteri ini dapat menyebar dari lokasi awalnya dan menyebabkan infeksi uterus, tuba fallopii, ovarium, rongga abdomen dan kelenjar pada daerah vulva pada wanita dan testis pada pria. Bayi baru lahir melalui persalinan normal dari ibu yang terinfeksi memiliki risiko yang 1,5 tinggi untuk menderita konjungtivitis klamidia atau pneumonia. Infeksi klamidia trakomatis biasanya menular melalui aktifitas seksual dan dapat menular secara vertikal, yang kemudian menyebabkan konjungtivitis dan pneumonia pada bayi baru lahir. Jika tidak diobati, penyakit kelamin ini dapat berkembang menjadi epididimitis pada pria dan penyakit infeksi saluran genital bagian atas pada wanita. Pria yang terinfeksi memiliki kemungkinan untuk menularkan sekitar 25% melalui hubungan seksual ke wanita yang sehat. Angka penularan dari ibu yang terinfeksi ke bayi baru lahir adalah 50% yang mengakibatkan konjungtivitis atau 2,6 pneumonia (l0 - 20%). 14 Gambar II.6 infeksi klamidia merubah homeostatik tuba falopi .2,5 II.VI Manifestasi Klinik Masa inkubasi dari infeksi klamidia adalah 7-12 hari, masa klinis klamidia sampai muncul gejala adalah 1-3 minggu. Sekitar 25 % pada pria dan sebagian besar pada wanita bersifat asimtomatis. Masa laten timbul 2-14 hari setelah infeksi. Hampir sama dengan N gonorrhea masa inkubasinya 0 - 2 minggu, sehingga menjadi diagnosis banding dari klamidia untuk terjadinya konjungtivitis pada bayi baru lahir. Jika sudah terinfeksi penderita dapat mengidap penyakit ini selama berbulan-bulan bahkan bertahun- tahun tanpa mengetahuinya.6 Manifestasi klinik untuk infeksi klamidia pada perempuan dapat berupa sindroma urethral akut (uretritis), bartolinitis, servisitis, infeksi saluran genital bagian atas (endometritis, salfingo-oophoritis, atau penyakit radang panggul), dan perihepatitis (sindroma Fitz-Hugh-Curtis)atau peradangan pada kapsul hati. Kehamilan ektopik juga dapat terjadi oleh karena infeksi klamidia, yang biasanya didahului dengan penyakit radang panggul. 1,5,6 Gejala tergantung dari lokasi infeksinya. Infeksi dari urethra dan saluran genital bagian bawah dapat menyebabkan disuria, duh vagina yang abnormal, atau perdarahan post koital. Pada saluran genital bagian atas (endometritis, atau salphingitis, kehamilan 15 ektopik) dapat menimbulkan gejala seperti perdarahan rahim yang tidak teratur 2,8,9 dan abdominal atau pelvic discomfort. Gambar II.7Infeksi klamidia trakomatis pada serviks10 Gambar II.8. Infeksi klamidia trachomatis padadaerah tuba dengan Laparaskopi10 Fitz-Hugh Curtis sindrom merupakan kumpulan gejala yang ditandai denga rasa nyeri di daerah abdomen kanan atas terkadang disertai demam dan rasa mual. Pada beberapa kasus sering didapatkan tanpa gejala. Sebagian besar diawali dengan penyakit radang panggul dan biasanya telah berlangsung kronis. Penyebaran infeksi ke atas dapat melalui aliran darah, kelenjar limfa maupun secara langsung. Namun hingga saat ini belum diketahui penyebab secara pasti 16 mengapa perlekatan terjadi di hepar. Pada pencitraan laparoskopi didapatkan perlekatan antara kapsula glison hepar dengan dinding peritonial anterior atau dinding diafragma.9 Menurut Houry DE (2004) apabila pada wanita didapatkan: Adanya riwayat penyakit menular seksual Disuria Adanya keluar cairan mukopurulen dari uretra Keluarnya cairan serviks atau vagina yang mukopurulen Pergerakan serviks yang terbatas Tegang pada bagian adneksa Tegang dibagian perut bawah Tegang dibagian perut kwadran kanan atas Keluarnya cairan mukopurulen dari rektum.9 II.VII Komplikasi Meskipun umumnya orang yang menderita klamidia tidak menunjukkan gejala, manifestasi paling sering pada penyakit ini adalah adanya suatu reaksi lokal peradangan pada mukosa yang dihubungkan dengan keputihan, uretritis pada pria, vaginitis, servisitis pada wanita. Pada wanita dengan infeksi klamidia yang tidak diobati dapat menyebabkan penyakit radang panggul, dengan sequealae termasuk infertilitas, kehamilan ektopik dan radang panggul kronik. 1,6,11 Klamidia merupakan satu dari beberapa penyebab infeksi radang panggul dan infertilitas pada wanita. Setiap episode tunggal dari penyakit radang panggul, risiko untuk terjadinya infertilitas faktor tuba adalah 11%. Setiap episode berikut akan meningkatkan risiko 2 - 3 kali lipat. Wanita yang memiliki riwayat penyakit radang panggul mengalami peningkatan risiko untuk terjadinya kehamilan tuba sebesar 7 - l0 kali lipat. Pada l5% wanita yang menderita infeksi radang panggul, nyeri abdomen yang kronik merupakan gejala klinik jangka panjang yang banyak dihubungkan dengan adanya perlekatan pada ovarium dan tuba falopii di rongga pelvis. 2,3 Pada pasangan subfertil, infeksi klamidia bertanggung jawab untuk terjadinya sekitar 50% infertilitas faktor tuba. Beberapa penelitian telah 17 menunjukkan bahwa pada pasien - pasien dengan tes klamidia positif memiliki risiko untuk terjadinya infertilitas faktor tuba, dan kehamilan ektopik lebih tinggi dibandingkan dengan pasien - pasien dengan tes Klamidia negatif.11 Infertilitas merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi klamidia, dimana infertilitas adalah ketidak mampuan menghasilkan pembuahan setelah selama satu tahun melakukan hubungan seksual tanpa penghalang . Jika sebelumnya tidak pernah ada kehamilan, maka dikategorikan sebagai infertilitas primer, sedangkan jika sebelumnya telah terjadi kehamilan, maka dikategorikan sebagai infertilitas sekunder. Bagi pasangan yang mencoba melalukan pembuahan maka sekitar 50% wanita akan mengalami kehamilan dalam 3 bulan, dan 75% akan hamil dalam 6 bulan, dan 85% akan hamil dalam satu tahun.13 Infertilitas merupakan suatu kondisi yang umum terjadi, ini terjadi pada sekitar 10-15% pasangan pada usia produktif. Sebagai catatan, meskipun tanpa terapi apapun, separuhwanita infertil akan mengalami kehamilan pada tahun kedua. Sehingga banyak pasangan lebih tepat untuk dikategorikan sebagi subinfertil daripada infertil, dimana dapat terjadi pembuahan secara alamiah, namun memerlukan waktu yang lebih lama. Namun pada wanita dengan usia diatas 40 tahun angka kehamilan pada tahun kedua relatif tidak bertambah. Pada umumnya semua sepakat untuk memulai evaluasi infertilitas setelah satu tahun pasangan tidak dapat menghasilkan pembuahan.5 18 Gambar II.9 Penyebab Infertilitas pada pasangan5 Kelainan tuba dan peritoneal diantara penyebab yang lain merupakan kelainan yang sering ditemukan dan biasanya didapatkan sekitar 30-35 % wanita infertil baik usia muda maupun usia yang lebih tua.11 Riwayat PRP, abortus septik, ruptur appendiks, operasi tuba, ataupun kehamilan ektopik menjadi tanda yang kuat mengindikasikan adanya kerusakan tuba. PRP merupakan penyebab terbanyak terjadinya kerusakan tuba maupun kehamilan ektopik.11,12 Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu dengan mendiagnosa PRP menggunakan laparaskopi didapatkan bahwa risiko terjadinya infertilitas akibat faktor tuba meningkat sebanding dengan tingkat keparahan dari infeksi pelvis dan perlengketan yang terjadi, tercatat insidens infertil terjadi pada sekitar 10-12% setelah satu kali episode infeksi, 23-35% setelah dua episode, dan 54-75% setelah tiga kali episode infeksi akut PRP. Risiko terjadinya kehamilan ektopik meningkat 6-7 kali setelah terjadinya infeksi pelvis. Meskipun banyak wanita dengan penyakit tuba atau perlengketan tuba tidak mempunyai riwayat infeksi sebelumnya, dari hasil penelitian kuat mengindikasikan penyebabnya adalah infeksi pada organ genitalia bawah yang menjalar hingga organ genitalia atas yang 19 tidak menimbulkan gejala, dan banyak dari wanita ini diketemukan memiliki hasil positif pada pemeriksaan antibodi chlamydia akibat dari infeksi sebelumnya. Faktor tuba lainnya yang menyebabkan infertilitas adalah inflamasi berkaitan dengan endometriosis, penyakit inflamasi usus besar, trauma pembedahan.11,13,14 Disisi lain, sama halnya dengan infeksi menular seksual lain, infeksi pada ibu memiliki dampak terhadap janin yang dapat tertular melalui jalan lahir. Pada infeksi oleh karena klamidia trakomatis, dapat menyebabkan konjungtivitis dan pneumonia. Pada banyak kasus konjunctivitis yang disebabkan oleh klamidia merupakan penyakit yang self limiting dan tidak menimbulkan komplikasi jangka panjang pada mata. Keadaan ini didapatkan pada jenis - jenis klamidia yang ada di negara - negara maju, sedangkan di negara – Negara berkembang, seperti Nepal, ada beberapa jenis klamidia yang dapat menyebabkan kebutaan (trakoma). Pneumonia pada neonatus yang disebabkan klamidia dapat menimbulkan dampak yang serius. Untungnya bila pneumonia telah terdiagnosis lebih awal, pengobatan dengan antibiotik efektif untuk mengontrol infeksi. 12,14 II.VIII Oklusi Tuba Infeksi klamidia trachomatis baik dengan gejala maupun tanpa gejala dapat mengakibatkan kerusakan pada anatomi tuba khususnya mukosa bagian dalam tuba dimana terdapat mikrosilia. Pada mikrosilia ini dapat terjadi perlengketan yang mengakibatkan oklusi baik dibagian proksimal maupun distal. Jika oklusi terjadi pada bagian proksimal tuba maka transport sperma menuju distal tuba terhalang atau tidak dapat terjadi sama sekali dan ini mengakibatkan gagalnya pertemuan sperma dengan ovum yang biasanya terjadi di distal tuba setelah peristiwa ovulasi sehingga pembuahan tidak terjadi. Jika perlengketan mikrosilia ataupun mukosa terjadi pada dinding tuba distal, maka tuba distal dapat kehilangan fungsinya untuk menangkap ovum dari ovarium, sehingga tidak ada ovum yang siap dibuahi oleh sperma pada tuba distal. Dan angka kejadian terjadinya oklusi tuba baik proksimal maupun distal pada paska infeksi klamidia trachomatis sangat besar, hal ini dibuktikan baik dengan metode HSG maupun laparaskopi.8,14 20 Gambar II.10Hubungan imunitas selular dengan kerusakanb tuba yang disebabkan infeksi klamidia15 Infeksi klamidia trakomatis 80% asimtomatis pada wanita, sehingga sulit untuk mendeteksi dan mendiagnosis . Infeksi klamidia trakomatis merupakan faktor resiko kehamilan ektopik tuba oleh karna terjadinya fibrosis dan jaringan parut post inflamasipada traktus genitaliaatas akibat infeksi berulang klamidia trakomatis tersebut. Pada mekanisme seluler bakteri klamidia trakomatis menyebabkan munculnya sel imun non spesifikterlebih dahulu,kemudian melalui sel tersebut, yang terutama diperankan oleh makrofag, bertindak sebagai anti gen presenting Cell (APC) yang berikatan pada permukaan Pathogen Associated Molecular Patterns (PAMPs) klamidia trakomatis. Reaksi inflamasi yang terjadi berhubungan dengan infiltrasi mononuklear yang di dominasi oleh sel limfosit T CD8. Infeksi klamidia trakomatis berulang menginduksi sintesis mRNA untuk IFN-γ, IL-2, IL-6, dan IL-10. IFN-γ, IL-2 dihasilkan oleh Th 1, sedangkan IL-6 dan IL-10 dihasilkan oleh Th 1 dan sel Th 2. Sitokin IFN-γ, IL-2 dan IL-6 menimbulkan kerusakan jaringan inflamasi dan fibrosis. Pembentukan jaringan fibrosa pada proses penyembuhan akibat inflamasi, dapat mengakibatkan terjadinya sumbatan atau oklusi pada lumen tuba falopi serta adhesi pelvis yang 21 menetap dan menyeluruh dan pada ahirnya dapat mengganggu transport hasil konsepsi sehingga sering kali mengakibatkan terjadinya kehamilan ektopik tuba. Apabila obstruksi terjadi di bagian distal tuba falopi maka dapat terbentuk hidrosalping, yang menyebabkan tidak bertemunya sel sperma dengan sel telur saat ovulasi sehingga pembuahan tidak terjadi.3,10 Gambar II.11Respon imun terhadap infeksi klamidia15 II.IX Penunjang Diagnosis Diagnosis berdasarkan anamnesa, riwayat penyakit, dan pemeriksaan fisik, infeksi klamidia sukar dibedakan dengan gonorrhea karena gejala dari kedua penyakit ini sama dan penyakit ini dapat timbul bersamaan meskipun jarang. Cara yang paling dipercaya untuk mengetahui infeksi klamidia adalah melalui pemeriksaan laboratorium. 12 Pada prinsipnya, penegakan diagnosis infeksi klamidia trakomatis sama seperti infeksi mikroorganisme lainnya, tetapi karena gejala serta gambaran klinis infeksi ini tidak khas, maka diperlukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan tes yang sekarang tersedia termasuk kultur sel, deteksi antigen, deteksi asam nukleat, pemeriksaan serologi. 2,9 22 Baku emas untuk pemeriksaan infeksi klamidia trakomatis adalah kultur dari swab yang didapat dari endoserviks pada wanita atau uretra pada pria.Ini merupakan metode tradisional untuk diagnosis laboratorium dan tetap sebagai metode pilihan untuk spesimen medikolegal dimana sensitifitas diperkirakan 8090% dan spesifitasnya 100%, dibiakkan pada sel-sel Mc.coy yaitu sel-sel fibroblas tikus (L-cel). Tetapi hambatan dari metode pemeriksaan kultur ini adalah waktu yang dibutuhkan lebih lama, dan berkembangnya tes non cultured based. Namun tes non cultured - based, termasuk tes deteksi antigen dan nonamplfied nucleic acid hybridization seperti Direct Fluoresent Antibodi (DFA), dengan tehnik ini Clamidia bebas ekstra seluler yang disebut badan elementer (BE) dapat ditemukan. Cara ini tidak dapat membedakan antara organisme mati atau hidup. Mempunyai kemampuan terbatas karena kegagalan untuk mendeteksi beberapa bagian penting dari infeksi klamidia, tetapi memiliki keuntungan tidak membutuhkan biakan sel jaringan dan hasilnya dapat diketahui dalam 30 menit.8,14,15 Pemeriksaan yang lebih baru dan mendeteksi DNA atau RNA spesifik terhadap klamidia trakomatis (termasuk PCR, ligase chain reaction, dan RNA transcription - mediated amplification) lebih sensitif daripada generasi pertama tes non culture based. Sensitifitasnya kurang dibandingkan dengan metode kultur yaitu 70-80% dan spesifitasnya 99%. Sensitifitas sedikit lebih rendah ketika tes yang baru ini digunakan pada spesimen urin dibandingkan pada specimen endoserviks.14,15 Infeksi klamidia trachomatis dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium dengan memeriksa antibodi Ig G anti chlamydia trachomatis dalam serum secara ELISA. Cara ini memiliki efektifitas yang cukup baik, tidak invasif dan memerlukan biaya yang lebih sedikit.8,14,15,16 Pemeriksaan serologi untuk mendiagnosa infeksi klamidia sekarang ini dilakukan secara rutin sebagi alat pendeteksi tidak invasif yang dapat mengindentifikasi infeksi akut dan kronis. Infeksi awal klamidia terlihat dari dominasi respon IgM (muncul dalam 2-4 minggu) diikuti IgG dan IgA ( 6-8 minggu). Pada fase akut infeksi chlamydia antibodi IgM biasanya menghilang dalam 2-6 bulan, diikuti peningkatan antobodi IgG yang naik secara cepat dan 23 menurun secara lambat ketika antibodi IgA muncul secara cepat. Antibodi IgM digunakan sebagai indikasi adanya infeksi akut, antibodi IgA sebagai petanda infeksi kronis, dimana akan menurun ke titer terendah ketika pengobatan adekuat diberikan. Reinfeksi ditandai dengan peningkatan secara cepat titer antibodi IgG dan tidak didapatkan IgM. Peningkatan 4 kali dari batas normal nilai antibodi IgG mengindikasikan pasien infeksi kronis yang berkelanjutan ataupun infeksi sistemik. Infeksi akut: titer Ig M >1 dan atau peningkatan 4 kali lipat atau penurunan titer Ig G, Infeksi Kronis : titer Ig Gtetap tinggi > 1:256.8,11,14,23,24 Pada laboratorium dengan fasilitas terbatas , sebagai pedoman infeksi klamidia trakomatis pada pria memberi gejala berupa sekret uretra seropurulen atau mukopurulen serta ditemukan sel PMN > 5 perlapangan pandang dan tidak ditemukan diplokokus gram negatif intra atau eksra seluler pada pemeriksaan hapusan sekret uretra. Sedangkan pada wanita adanya sekret serviks seropurulen atau mukopurulen dan sel PMN > 30 perlapangan pandang serta tidak ditemukan kuman diplokokus gram negatif intra ataupun ekstra seluler pada sediaan hapusan.8,11,14,17 Bila telah dicurigai terjadi oklusi dapat ditegakan melalui pemeriksaan HSG atau laparoskopi Kedua pemeriksaan ini merupakan dua metode klasik yang digunakan untuk mengevaluasi kepatenan tuba pada wanita infertil, dan dengan mengabungkan hasil pemeriksaan keduanya akan lebih akurat dibandingkan dengan pemeriksaan salah satunya. Karena baik HSG maupun laraskopi memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. HSG dapat digunakan untuk mengambarkan keadaan rongga uterus dan sekaligus memiliki efek terapi dengan cara membebaskan lubang tuba bagian dalam dari oklusi melalui penyuntikan kontras. Laparoskopi menggambarkan keadan rongga secara lebih detail dan mendapatkan gambaran anatomi pinggul dengan lebih menyeluruh, seperti adanya perlengketan, endometriosis dan kelainan pada ovarium, dimana hal ini tidak dapat dilakukan dengan HSG. HSG dapat dilakukan pada pasien rawat jalan, sehingga menghasilkan biaya yang lebih sedikit dibandingkan laparskopi, namun kurang nyaman dan menimbulkan keram serta nyeri, dan melibatkan paparan terhadap radiasi, risiko infeksi yang dapat berkomplikasi pada infertilitas yang lebih lanjut. Laparoskopi merupakan tindakan yang lebih invasif, biasanya 24 memerlukan bius total, dan tidak dapat mengambarkan bentuk kavum uteri secara meyeluruh, juga risiko paska pembedahan lainnya. Sonohysterosalpingography memiliki kesamaan dengan HSG, namun mengunakan USG dan mengunakan larutan salin steril, sehingga tidak mengunakan media kontras, namun cara ini masih sedikit digunakan dalam evaluasi faktor tuba. Tes antibodi chlamydia merupakan metode pemeriksaan faktor tuba yang paling tidak invasif dan dengan biaya yang lebih rendah. Sehingga tes ini banyak digunakan sebagi evaluasi primer kasus infertil faktor tuba, bagi pasien yang menolak untuk dilakukan laparoskopi.11,18 Pemeriksaan HSG paling baik dilakukan selama hari ke 2-5 setelah akhir dari menstruasi, ini dimaksudkan untuk mengurangi resiko infeksi, menghindari interfensi dari darah dan bekuan darah dari dalam uterus, serta mengurangi kemungkinan terjadinya kehamilan saat dilakukan HSG. Pada dasarnya HSG tidak membutuhkan persiapan spesifik, meskipun premedikasi dengan NSAID 3060 menit sebelum tindakan dapat membantu mengurangi ketidak nyamanan yang berhubungan dengan tindakan ini, analgetik yang lebih kuat ataupun sedatif biasanya tidak diperlukan. Risiko infeksi pada HSG relaif jarang terjadi, bahkan pada wanita yang berisiko tinggi sekalipun, namun pemberian antibiotik pencegahan dilakukan secara rutin untuk mencegah infeksi paska tindakan. Terapi pencegahan dengan antibiotika (doksisiklin 100 mg dua kali sehari selama 5 hari,dimulai 1-2 hari sebelum HSG) diberikan pada pasien yang diduga kuat memiliki infeksi, dan juga pada pasien yang terbukti memilki obstruksi tuba sehingga dapat mencegah infeksi klinis.6,14,19,20,23,25,26 Rata-rata HSG hanya memerlukan 20-30 detik untuk flouroskopi dan dengan paparan radiasi minimal. Tambahan gambaran oblik mungkin diperlukan ketika obstruksi pada uterus maupun tuba tampak tidak normal. Selain indikasi tersebut tidak diperlukan tambahan gambaran, karena dapat meningkatkan paparan radiasi dan tidak diikuti dengan bertambahnya informasi yang didapatkan. Pada masa mendatang dengan semakin berkembangnya teknik penyuntikan kontras dan pengambilan gambar maka didapatkan waktu flouroskopi yang lebih singkat, lebih sedikit volume kontras yang digunakan, lebih sedikit nyeri yang terjadi,dan lebih mudah untuk dilakukan. Penyuntikan 25 kontras secara perlahan dapat membantu mengurangi nyeri yang berhubungan dengan HSG.6,14 HSG dapat menghasilkan patensi tuba bilateral maupun unilateral pada oklusi tuba. Baik positif palsu maupun negatif palsu dapat terjadi, dan semakin kedepan angka kejadiannya semakin tinggi. Penyuntikan kontras pada HSG dapat menyebabkan kontraksi uterus yang secara singkat menutupi segmen interstisial dan mencegah perfusi distal (cornual spasme), dan dapat disalah artikan sebagai oklusi tuba proksimal,sehingga terjadi negatif palsu. Positif palsu juga dapat terjadi seperti ketika kontras memasuki dilatasi hidrosalping yang luas, sehingga kontras terdilusi dan tampak sebagai percikan yang disalah artikan sebagai tuba yang paten.6,14 Gambar II.12: Hasil HSG; Kiri (hidroslaping bilateral); Kanan (Tuba paten bilateral)6 Dibandingkan dengan laparoskopi sebagai metode baku emas patensi tuba, HSG hanya memiliki sensitifitas sedang, tetapi memiliki spesifiktifitas yang cukup tinggi. Implikasi klinis ketika hasil HSG dinyatakan terjadi obstruksi besar kemungkinan (kurang lebih 60%) tuba tersebut terbuka, tetapi ketika hasil HCG menyatakan tuba itu terbuka kecil kemungkinan terjadi oklusi (kurang lebih 5%). Namun demikian hasil HSG dapat dinterpertasikan berbeda antara satu pembaca dengan pembaca lainnya. Sehingga diperlukan kebijaksanaan pada pembaca HSG untuk merekomendasikan pemeriksaan tambahan maupun terapi dari hasil 26 pembacaan pada dokter pemberi terapi yang tidak melakukan HSG secara langsung. Kemungkinan terapi untuk membuahkan kehamilan pada HSG sangat tinggi jika didapatkan kedua tuba panten, dan menjadi sangat rendah ketika tidak satupun tuba didapati paten, dan sedikit berkurang ketika hanya satu tuba yang terbuka. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan apakah diperlukan laparaskopi sebelum memulai terapi infertilitas.6,15 II.X Pengobatan Pengobatan terhadap infeksi klamidia diberikan ketika infeksi ini telah terdiagnosis atau dicurigai. Pengobatan juga melibatkan partner seksual pasien. Pengobatan yang efektif dan murah untuk infeksi genital klamidia telah tersedia untuk setiap gejala klinis yang umum.Pada suatu penelitian randomized controlledntrial (RCT), efikasi pengobatan 7 hari dengan doksisiklin adalah sama dengan pengobatan dengan azitromisin dosis tunggal. Keduanya memiliki angka kesembuhan lebih dari 95% pada pria dan wanita yang tidak hamil.14,16,17,20 Pada ibu hamil yang terinfeksi klamidia, dari Chohrane Review pada 11 penelitian mengenai pengobatan infeksi klamidia pada kehamilan, amoksisilin memiliki efektifitas yang sama dengan eritomisin.16 A. Pada wanita yang tidak hamil 1. Azitomisin 1 gram per oral dalam dosis tunggal (keamanan pada masa hamil atau menyusui tidak dijamin), atau 2. Doksisiklin 100 mg per oral 2 kali/hari selama 7 hari (di kontraindikasikan selama kehamilan) B. Alternatif bagi wanita yang tidak hamil 1. Eritromisin 500 mg per oral 4 kali/hari selama 7 hari, atau 2. Ofloksasin 300 mg per oral 2 kali/hari selama 7 hari (kontra indikasi selama hamil dan menyusui), atau 3. Levofloksasin 500 mg per oral setiap hari selama 7 hari C. Untuk wanita hamil 1. Eritromisin 500 mg per oral 4 kali/hari selama 7 hari, atau 2. Amoksisilin 500 mg 3 kali/hari selama 7 hari.16,18,19 27 II.XI Prognosis Infeksi ulangan dapat terjadi 13- 36% Pengobatan dengan antibiotik 95% efektif pada pengobatan pertama kali, dan prognosa sangat baik bila pengobatan diberikan lebih awal dan pemberian antibiotik dapat selesai dilakukan.10,21,22 28 BAB III KESIMPULAN Sekitar 10-15% pasangan di dunia mengalami masalah infertilitas. Jumlah pasangan infertil di dunia maupun di indonesia semakin bertambah, terjadi peningkatan jumlah pasangan infertil sekitar 2% setiap 5 tahun. Penyebab infertilitas sendiri sangat beragam, namun sekitar 70-75% penyebab infertilas diperoleh dari masalah yang terjadi pada wanita dari banyak hasil studi menyatakan oklusi tuba dan perlengketan pada adneksa terjadi pada 30-35% wanita infertil baik yang terjadi pada wanita usia muda maupun yang lebih tua. Hal ini menempatkan faktor tuba sebagai salah satu masalah terbesar dalam infertilitas. PRP (Penyakit Radang Panggul) merupakan penyebab terbesar infertilitas dari faktor tuba dan juga kehamilan ektopik. Ascending infectiontanpa gejala merupakan penyebab tersering kerusakan pada tuba. Banyak dari wanita dengan riwayat PRP didapatkan terdeteksi memiliki antibodi klamidia pada infeksi sebelumnya. Infeksi klamidia trachomatis dapat dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium terhadap antibodi dalam serum baik Ig G maupun Ig M anti klamidia trachomatis.Cara ini akurat, efisien dan tidak membutuhkan waktu yang lama dalam menentukan adanya infeksi chlamydia trachomatis.Dengan diketahuinya hubungan langsung antara infeksi klamidia dengan angka kejadian oklusi tuba, maka pembuktian tersangka oklusi tuba dapat diperkirakan dari pendeteksian adanya infeksi chlamydia pada seorang wanita, dimana tindakan ini bukan merupakan tindakan invasif dengan resiko dan biaya yang lebih rendah. Prognosis sangat baik bila di diagnosa dan diobati lebih dini. Risiko infertilitas meningkat pada infeksi yang berulang. Reinfeksi dapat dicegah bila semua partner seksual diobati. 27 29 Daftar Pustaka 1. Harahap SD et al. Hubungan infeksi Chlamydia dengan oklusi tuba pada wanita infertil. Indonesian Journal of Obstetric and Gynecology volume.36. 2008; 10-11. 2. Abida malik et al. Chlamydia trachomatis infection & female infertility. Indian J Med Res 123. 2006; 770-775. 3. Cunningham et al. Anatomy and Physiology. Williams Obsterics 23rd. McGraw-Hills Companies. 4. Cengiz L, Kiyan M, Cengiz AT, Aksoy AM, Kara F,Seekin L, et al. Chlamydia trachomatis antigens inendocervical samples and serum IgG antibodies insterile – infertile women using ELISA. Microbiyol Bull. 2008; 26; 203-13. 5. WHO task force: Tubal infertility: Serologic relationshipto past chlamydial and gonococcal infection. Sex Trans.Dis. 2005; 29 ; 71-7. 6. Joyee AG, Thyagarajan SP, Sowmya B, VenkatesanC,Ganapathy M. Need for specific & routine strategy for the diagnosis of genital chlamydial infection among patients with sexually transmitted diseases in India. Indian J Med Res. 2003; 118; 152-7. 7. Schorge et al. Gynecologic Infection. Williams Gynecology 2nd. McGrawHills Companies.2005. 8. Mark A Fritz, Leon Speroff. Female Infertility. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility 8th. Lippincott Williams&Wilkins.2005. 9. Puolakkainen M, Back EH, Reunala T, SuhonenS,Lahteenmaki P, Lehtinen M, et al. Comparison ofperformances of two commercially available tests, aPCR assay and a ligase chain reaction test, in detectionof urogenital Chlamydia trachomatis infection. J Clin. Microbiol. 1998; 36 ; 1489-93. 10. Cunningham et al. Anatomy and Physiology. Williams Obsterics 23rd. McGraw-Hills Companies.2010. 11. Sweet et al. Chlamydial infection. Atlas of Infectious Diseases of Female Genital Tract 1st. Lippincott Williams&Wilkins. 30 12. Linda O. Eckert Gretchen M. Lentz. Infections of the Upper Genital Tract : Endometritis, Acute and Chronic Salpingitis. Comprehensive Gynecology, 5th ed. Mosby, Elsevier.2010. 13. Bakken, I.J., Ghaderi, S, “Incidence of Pelvic Inflammatory Disease in a Large Cohort of Women Tasted for Chlamydia Trachomatis: aHistorical follow up Study”, BMC Infectious Diseases, 9:130 doi: 10.1186/147-2334-9130.2009. 14. Bottcher, M. (2003), “Chlamydia Trachomatis, Information, and Notes on Diagnosis”, available at www.medac.de/medac_international/.../102789152. 15. Joseph Debattis, M.sc, Peter Timmas, Ph.D, “Immunopathogenesis of chlamydia tracomatis infections in women” . American society for reproductive medicinne.2003. 16. Chow, J.M., Yonekura, M.L., Richwald, G.A., Greenland, S., Sweet, R.L., Schacter, J, “The association Between Chlamydia Trachomatis and Ectopic Pregnancy”, JAMA, vol.263, no.23, pp. 3164-3167.1990. 17. Hartog, J.E., Morre, S.A., Land, J.A, “Chlamydia Trachomatis-Associated Tubal Factor Subfertility: Immunogenetic Aspects and Serological Screening”, Human Reproduction Update, vol. 12, no.6, pp. 719-730.2006. 18. Paavonen, J., Kruse, W.E, “Chlamydia Trachomatis: Impact on Human Reproduction”, Human Reproduction Update, vol. 5, no.5, pp. 433-447.2009. 19. Pal, S., Hui, W., Peterson, E.M., Maza, L.M.D, “Factor s Influencing the Induction of Infertility in a Mouse Model of Chlamydia Trachomatis.Ascending Genital Tract Infection”, J.Med. Microbiol, vol. 47, pp. 599-605.2008. 20. Tanikawa, M., Harada, T., Katagiri, C., Onohara, Y., Yoshida, S., Terakawa, N, “Chlamydia Trachomatis Antibody Titres by Enzyme-Linked Immunosorbent Assay are Useful in Predicting Severity of Adnexal Adhesion”, Human Reproduction, vol. 11, no. 11, pp. 2418-2421.2006. 21. Valkengoed, I.G.M. Morre, S.A., Brule, A.J.V., Meijer, C.J.L.M, “Overestimation of Complication Rates in Evaluations of Chlamydia Trachomatis Screening Programmes-Implications for Cost-Effectiveness Analyses”, International Journal of Epidemiology, vol.33., pp. 416-425.2004. 31 22. Stamm WE: Chlamydia Trachomatis Infection in the Adult. In : Holmes KK et all Sexually Transmited Disease 3 rd ed . Mc Graw Hill 2009: 407-22 23. AhmedKhairy Makled et all. Relationship Betwen Serum Chlamidia Tracomatis Antibidy titer and Tubal Block in Infertil Egyptian women.Middle Eas Fertility society.2012. 24. Douglas M.Molina, Sukurmar Pal,et all. Identification of Imunodominan Antigen of Clamidia Trachomatis using Proteum Microarrays. Science Direct.2009. 25. Ruijin Shao et all. From Mice to Women and Back Again: Causalities and clue for Chlamydia- Induced Tubal Ectopic Pregnancy. vol 98 no V. 2012. 26. K.A Broeze et all. Integration of Patient Caracteristic and the Result of Chlamidia Antibodi Testing and Histerosalfingografi in the Diagnosis of Tuba patologi an Individual Patient data Metaanalisis. Human Reproductition. Vol 27 no 10. 2012.