J. Aquawarman. Vol. 1(1) : 1-6. Oktober 2015. AQUAWARMAN JURNAL SAINS DAN TEKNOLOGI AKUAKULTUR Alamat : Jl. Gn. Tabur. Kampus Gn. Kelua. Jurusan Ilmu Akuakultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman Uji Toksisitas Akut Suspensi Akar Tuba (Derris eliptica) Terhadap Ikan Nila (Oreochromis niloticus) (Acute toxicity test of Derris elliptica roots suspension to Nile Tilapia) 1) 2) 3) Said Abdullah , Sulistyawati , Sumoharjo 1), 2), 3) Mahasiswa Jurusan Akuakultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman Staf Pengajar Jurusan Akuakultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman e-mail : [email protected]; [email protected]; [email protected] Abstract The use of pesticides in aquaculture production steps is gained more attention by many stake holders, especially environmental scarcity and food safety. Inorgoanic pesticides had approved its impact onto environment and human health hazards. So, more attention to organic pesticides for environmental-friendly reasoning because it could not leave some residues in the both of the environment and aquatic organisms. This research aimed to determine the acute toxicity level of Derris elliptica roots suspension to Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) that interpreted as LC50-96 hours. Static non renewal method was applied to the treatment with six treatments (P1 (0 mg/L, as control), P2 (1,58 mg/L), P3 (2,51 mg/L), P4 (3,98 mg/L), P5 (6,31 mg/L), and P6 (10 mg/L) and three replications. Furthermore, probit analysis was applied to estimate the lethal concentration of derris root suspension that presented in LC50-96 hours. The result of the treatment showed that 50 % of tested animals were die at 3.3783 mg/L after exposed derris roots suspension for 96 hours. That was classified it in high toxicity agent. Keywords : Pesticides, natural, toxicity, lethal concentrate 1. LATAR BELAKANG Dalam upaya peningkatan produksi budidaya perikanan, hingga saat ini penggunaan pestisida masih dianggap penting sebagai salah satu tahapan dalam proses produksi, terutama pada akuakultur skala tradisional dan ektensif. Pestisida digunakan untuk membasmi hama yang menyerang ikan budidaya, seperti; predator, algae, jamur, parasit, atau ikan lain yang bersifat kompetitor dalam persaingan ruang dan makanan yang dapat mengurangi tingkat produksi. Akan tetapi, penggunaan pertisida 1 J. Aquawarman. Vol. 1(1) : 1-6. Oktober 2015. baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki masalah, terutama dampak residualnya terhadap lingkungan perairan, bahkan pada penggunaan berlebihan dapat menyebabkan kematian pada organisme bukan target serta menurut Paldy, et al (1988) bahwa produk yang dihasilkan menjadi tidak aman konsumsi karena dikhawatirkan terakumulasi dalam tubuh ikan dan kemudian terakumualasi ke dalam tubuh manusia yang dapat menimbulkan berbagai penyakit kronis, mulai dari batuk dan brochitis hingga kanker kulit, mata, ginjal dan jaringan prostat. Menurut Amaraneni (2002) bahwa pestisida akan lebih banyak terakumulasi di sedimen, kemudian di ikan, dan sebagian kecil di air. Akumulasi di sedimen ini lambat laun juga akan masuk ke dalam tubuh ikan terutama jenis-jenis ikan pemakan dasar (bottom feeder) seperti ikan mas, maupun ikan nila (Oreochromis niloticus) yang juga suka menyusuri dasar perairan (grazing). Pestisida yang umum mengalami persistensi yang lama di perairan ini, biasanya adalah pestisida anorganik dengan kategori sangat beracun seperti dari golongan organoklorin dan organofosfat. Menilik dari multi dampak sebagai akibat penggunaan pestisida anorganik bagi akuakultur ini dan dalam rangka kampanye kemanan pangan (food safety) produk akuakultur, maka upaya pemberantasan hama mulai dialihkan kepada paradigma pestisida nabati. Karena sifatnya yang organik, pestisida nabati mudah terurai di alam dan daya racunnya akan hilang dalam beberapa hari. Akan tetapi, tingkat efektifitasnya yang rendah menyebabkan penggunaan pestisida nabati kurang diminati di kalangan pembudidaya, sebagai contoh; penggunaan saponin (biji teh) harus pada konsentrasi 20 mg/L (Rohman, 1986) sedangkan penggunaan Thiodan cukup pada konsentrasi 0,012 mg/L (Rusdiansyah, 2004). Untuk itu, perlu kajian lebih jauh tentang berbagai jenis pestisida nabati yang diharapkan dapat mengimbangi daya racun pestisida anorganik, tetapi tetap ramah lingkungan dan menjamin keamanan pangan. Salah satu jenis pestisida nabati yang sebenarnya juga telah umum digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan adalah akar tuba (Derris reticullata), akan tetapi kajian ilmiah mengenai toksisitasnya masih jarang ditemui, terutama toksisitas spesifiknya pada suatu jenis ikan, waktu depurasinya di alam, dan tingkat efek subletalnya terhadap ikan yang terpapar air tuba. 2. BAHAN DAN METODE a. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Toksikologi perairan, Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Universitas Mulawarman, Samarinda bulan Mei 2012 sampai bulan Juni 2013. b. Desain Percobaan Percobaan dilakukan dalam ruangan terkontrol, menggunakan 6 perlakuan termasuk kontrol dengan 3 ulangan. Masing- Gambar 1. Tata letak unit percobaan 2 J. Aquawarman. Vol. 1(1) : 1-6. Oktober 2015. masing akuarium berisi 10 ekor ikan nila. Tata letak unit percobaan diacak dengan teknik pengacakan sederhan (undian). c. Pelaksanaan Percobaan Sebagai bahan uji, 10 gram akar tuba yang masih segar dimemarkan dan dicincang kemudian direndam ke dalam 500 mL akuadest untuk mengeluarkan suspensinya hingga jenuh. Suspensi inilah yang kemudian digunakan sebagai larutan stok. Untuk ikan uji menggunakan ikan nila (O. niloticus) dengan bobot 2,5 ± 0,5 gram yang dimasukkan ke dalam akuarium dengan volume air 10 liter. Sebelum ditempatkan ke dalam akuarium, ikan nila yang akan diuji dipelihara terlebih dahulu ke dalam akuarium stok ukuran 60 x 40 x 40 cm selama 7 hari, jika terjadi kematian lebih dari 30 %, maka aklimasi dilanjutkan hingga 10 hari berikutnya. Metode uji toksisitas menggunakan metode static non renewal, di mana ikan yang diuji terlebih dahulu dipuasakan selama 1 hari, selama pengujian tidak diberi makan, namun pemberian aerasi tetap dilakukan, dan tidak ada penggantian air maupun ikan yang mati selama 96 jam, sebagaimana prosedur USEPA (1996). Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, yakni : (1) uji pendahuluan dan (2) uji lanjutan d. Uji Pendahuluan Pengujian ambang atas dan ambang bawah konsentrasi akar tuba ini merupakan penentuan nilai kisaran kritis (critical range values). Uji pendahuluan dilakukan untuk memperoleh nilai ambang bawah dan nilai ambang atas. Nilai ambang bawah adalah konsentrasi terkecil dimana semua hewan uji masih hidup selama 48 jam pengujian (LC0 – 48 jam), sedangkan nilai ambang atas adalah konsentrasi tertinggi dimana semua hewan uji mati selama 24 jam pengujian (LC100 – 24 jam). Untuk mendapatkan hasil nilai ambang bawah dan nilai ambang atas, menggunakan 4 (empat) tingkat konsentrasi logaritmik 10, yaitu: 100, 101, 102, 103, mg/L. Konsentrasi ekstrak akar tuba yang digunakan dalam uji pendahuluan , yaitu 0,1 mg/L, 1 mg/L, 10 mg/L dan 100 mg/L. Dalam menentukan volume larutan stok yang digunakan, ditentukan dengan rumus pengenceran, yaitu: V1. N1 = V2 .N2 Keterangan : V1 : Volume akuarium (10 liter – 10.000 mL) N1 : Konsentrasi media uji V2 : Volume stok / ekstrak akar tuba (10.000 mg/L) N2 : Konsentrasi ekstrak akar tuba Ikan ditempatkan dalam akuarium dengan kepadatan 10 ekor, yang telah diadaptasikan sebelumnya selama 24 jam dengan volume air uji 10 liter. Sebelum dimasukan bahan toksik, air terlebih dahulu disipon dan kemudian ditambahkan air kembali sehingga 10 liter. Sebagai contoh, untuk mendapatkan konsentrasi 0,1 mg/L pada 10 liter air media uji dari konsentrasi larutan stok 20.000 mg/L, maka perhitungannya adalah sebagai berikut : 0,1 mg/L x 10 Liter = V2 (liter) x 20.000 mg/L V2 = 1 mg/20.000 mg/L V2 = 0,00005 Liter = 0,05 mL Dengan demikian, maka untuk uji pendahuluan menggunakan 4 tingkat konsentrasi berikut ini : a. b. c. d. 0,1 mg/L (0.05 ml bahan uji), 1 mg/L (0,5 ml bahan uji, 10 mg/L (5 ml bahan uji), dan 100 mg/L ( 50 ml bahan uji). e. Uji Lanjutan Nilai tengah konsentrasi mematikan (LC50) dapat dilakukan melalui dalam serangkaian uji lanjutan dengan menggunakan 6 perlakuan, termasuk kontrol dengan 3 ulangan. Konsentrasi ekstrak akar tuba ditentukan dengan menggunakan rumus (Wardoyo, 1984 dalam Sulistyawati, 2002), yaitu 3 J. Aquawarman. Vol. 1(1) : 1-6. Oktober 2015. N a log =K ቂlog ቃ n n di mana : a b c d e = = = = n a b c d Keterangan : n : Nilai ambang bawah N : Nilai ambang atas K : Banyak interval konsentrasi a, b , c, d,e : Konsentrasi yang digunakan 3. Pengumpulan dan Analisa Data Data mortalitas ikan selama pengujian, baik uji pendahuluan maupun uji lanjutan ditabulasikan berdasarkan urutan perlakuan. Hasil percobaan pada uji pendahuluan kemudian dihitung untuk mendapatkan konsentrasi perlakuan pada uji lanjutan sebagaimana persamaan Wardoyo (1984) dalam Sulistyawati (2002). Untuk hasil percobaan pada uji lanjutan dianalisis dengan analisa probit untuk mengestimasi nilai tengah konsentrasi mematikan 50 % ikan uji selama 96 jam dengan menggunakan perangkat lunak Statsoft 2009. 3. HASIL DAN ANALISIS a. Uji Pendahuluan Dari hasil uji pendahuluan diperoleh bahwa pada konsentrasi 10 mg/L (= 5 mg/L suspensi akar tuba) dapat membunuh ikan uji dalam kurun waktu 30 menit saja sedangkan pada konsentrasi 1 mg/L (= 0,5 ml suspensi akar tuba) tidak menyebabkan kematian ikan uji selama 48 jam pendedahan. Hasil pengamatan mortalitas ikan nila pada uji pendahuluan ditampilkan oleh Tabel 1. berikut ini. Berdasarkan atas hasil uji pendahuluan ini, maka ditetapkanlah bahwa kisaran kritis konsentrasi suspensi akar tuba adalah 10 mg/L sebagai ambang atas (N) dan 1 mg/L sebagai ambang bawah (n). b. Uji Lanjutan Sesuai dengan hasil uji kisaran kritis pada uji pendahuluan, maka penentuan konsentrasi setiap perlakuan untuk uji lanjutan kemudian dihitung dengan menggunakan rumus Wardoyo (1984), di mana diperoleh 5 rentang konsentrasi untuk mendapatkan konsentrasi nilai tengah perlakuan atau konsentrasi mematikan 50 % ikan nila dalam waktu 96 jam (LC50-96 jam), yakni : P1 (0 mg/L, kontrol), P2 (1,58 mg/L), P3 (2,51 mg/L), P4 (3,98 mg/L), P5 (6,31 mg/L), dan P6 (10 mg/L). • Tingkah Laku Ikan Uji Setelah Terpapar Suspensi Akar Tuba Ikan nila yang terpapar suspensi akar tuba pada 30 menit pertama memberikan respon yang berbeda pada masing-masing konsentrasi perlakuan. Pada perlakuan P5 dan P6 respon mulai terjadi dalam 15 menit berupa pergerakan ikan yang tidak terkontrol (parkitson syndrome), berenang berputar (swirling) dan megap-megap ke permukaan air dan kehilangan keseimbangan, bukaan operculum sangat cepat, kemudian tenggelam di dasar dan mulai mati pada menit ke-25 sampai satu jam setelah pendedahan suspensi akar tuba. Respon tingkah laku ini terjadi karena terjadi disfungsi syaraf, pola ini mirip dengan gejala klinis pergerakan tidak normal ikan nila yang terpapar ammonia (Lin dan Liu, 1990). • Toksisitas Letal LC50-96 jam Hasil pengujian toksisitas akut mematikan pada uji lanjutan menunjukkan Tabel 1. Mortalitas ikan nila pada uji pendahuluan Mortalitas (%) / Konsentrasi (mg/L) Jam 0 0,1 mg/L 1 mg/L 10 mg/L 24 0 0 0 100 48 0 0 0 100 100 mg/L 100 100 4 J. Aquawarman. Vol. 1(1) : 1-6. Oktober 2015. bahwa tingkat kematian ikan selama 96 pengujian searah dengan level konsentrasi akar tuba yang dipaparkan. Di mana semakin tinggi konsentrasi semakin banyak ikan uji yang mati dengan kematian hingga 100 % sudah dapat dicapai pada konsentrasi 6,31 mg/L dan kematian terrendah (13,3 %) terjadi pada perlakuan 1 (2,51 mg/L) sedangkan pada konsentrasi (0 mg/L) tidak terjadi kematian. Jumlah kematian ikan banyak terjadi pada 24 jam pertama pendedahan, yakni 1 ekor untuk P2, 3 ekor untuk P3, 13 ekor untuk P4, dan 30 ekor (100 %) kematian telah terjadi pada perlakukan P5 dan P6. Setelah itu, hingga jam ke-72 tidak tejadi kematian ikan sama sekali, tetapi ketika memasuki jam ke-96 mulai terjadi kematian lagi, yakni 1 ekor untuk P2 dan 2 ekor untuk masing-masing perlakuan P3 dan P4. Namun demikian, kematian ikan juga terjadi ketika memasuki jam ke-96 setelah pendedahan. Kondisi ini lebih disebabkan oleh efek kronis sehingga kematian ikan uji memungkinkan terjadi pada ikan yang tidak dapat pulih selama 96 jam. Hal ini sesuai dengan pendapat Smart (1976) bahwa daya racun akar tuba pada konsentrasi rendah dan tidak mematikan tetap dapat mengakibatkan efek subletal berupa kerusakan insang seperti hyperplasia dan perenggangan lapisan epitel yang tentu saja berdampak pada fisiologis insang hingga kematian ikan. Rentang waktu kematian yang cukup jauh ini menunjukkan bahwa toksisitas akar tuba terbukti telah hilang 2-3 hari setelah pendedahan. Menurut O’Brian (1968) bahwa kandungan rotenon dalam akar tuba bersifat tidak stabil sehingga dengan mudah terdegradasi secara alami oleh bakteri yang hidup di dalam air media uji. Pernyataan ini diperkuat dengan hasil percobaan pada konsentrasi 10 mg/L suspensi akar tuba (perlakuan P6) yang dibiarkan selama 4 hari tanpa ikan uji telah kehilangan daya racunnya, karena ketika dimasukkan 10 ekor ikan uji lagi tidak mengakibatkan kematian hingga 96 jam berikutnya. Untuk mengetahui konsentrasi yang mematikan 50 % hewan uji selama 96 jam pengujian (LC50-96 jam) atau lethal median concentration sebagaimana yang dimaksud dalam tujuan penelitian ini, maka dilakukan pengolahan data dari Tabel 2 dengan analisis regresi probit. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk LC50-96 jam diperoleh nilai sebesar 3,3783 mg/L yang berada pada nilai kisaran tertinggi 6.6764 mg/L dan kisaran terendah 1.5409 mg/L. Secara statistik sebaran data dinilai menyebar normal dengan nilai χ2 (chi kuadrat) > 0.05 yang berarti bahwa data mortalitas yang dianalisis memiliki pola sebaran yang berada dalam rentang nilai batas bawah dan batas atas nilai yang dianalisis sesuai dengan grafik regresi probit berikut ini. Gambar 2. Grafik regresi probit untuk hubungan respon dengan perlakuan Hasil analisis probit di atas menghasilkan persamaan regresi berikut : Ŷ = 2,3355 + 5,0398X. Persamaan ini menyatakan bahwa jika terjadi peningkatan konsentrasi sebesar 1 mg/L akan menyebabkan kematian ikan nila sebesar 2,3355 % + 5,0398 % = 7,3753 %. Parameter kualitas air selama percobaan, seperti; suhu, pH, DO, dan CO2, masih berada para criteria yang layak untuk kehidupan ikan nila. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 5 J. Aquawarman. Vol. 1(1) : 1-6. Oktober 2015. 1. Toksisitas akut suspense akar tuba (LC5096 jam) sebesar 3,3783 mg/L dengan estimasi kandungan rotenone sebesar 3,3783 mg/L x 0,433 = 1,4628 mg/L . 2. Suspensi akar tuba termasuk dalam kategori beracun dengan peringkat toksisitas tinggi (1-10 mg/L). 3. Daya racun suspensi akar tuba bersifat akut pada 1 jam setelah pendedahan dan kemudian daya racunnya hilang setelah hari ke empat. 4. Mengingat peringkat toksisitasnya yang termasuk dalam kategori tinggi, maka aplikasi suspensi akar tuba dalam akuakultur sistem kolam/tambak dapat dilakukan dengan skala 10 : 1 jika dibandingkan dengan pestisida anorganik. 5. Masih diperlukan kajian lebih jauh hingga level sub letal untuk melihat respon histopathologis ikan nila akibat terpapar suspense akar tuba ini. rainbow trout (Salmo gairdneri). J. Fish. Res. Board Can. 328-329. Sulistyawati. 1993. Toksisitas Logam Berat CdCl Terhadap Ikan Mas Pada Kondisi Perairan Asam. Tesis untuk Memperoleh gelas Magister Sains (M.Si). Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 126 hlm. United Stated Environmental Protection Agency [USEPA]. 1996. Fish Acute Toxicity Test, Freshwater and Marine. EPA 712–C– 96–118. DAFTAR PUSTAKA Amaraneni, S.R. 2002. Persistence of pesticides in water, sediment and fish from fish farms in Kolleru Lake, India. J. Sci. food.Agric. 82:918-923. O’Brien, R.D. 1967. Insecticides Action and Metabolism, Rotenoids, Academic Press, New York, p. 159. Paldy A, Puskar N, and Farkas I. 1988. Pesticide use related to cancer incidence as studied in rural district of Hungary. Sci.Total.Environ. 73: 224-29. Rohman, M. 1986. Efektifitas Bungkil Biji Teh (Saponin) Sebagai Pemberantas Ikan Liar di Tambak. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Rusdiansyah. 2004. Toksisitas Akut Thiodan 25 EC terhadap ikan mas (Cyprinus carpio). Skripsi. Universitas Mulawarman. Samarinda. Smart, E. 1976. The effects of ammonia exposed on the gill structure of the 6