29 BAB II PENGATURAN HUKUM PENGALIHAN TANAH YANG

advertisement
BAB II
PENGATURAN HUKUM PENGALIHAN TANAH YANG DIPEROLEH
KARENA PEWARISAN BAGI AHLI WARIS YANG BERSTATUS DI
BAWAH UMUR
A. Hukum Waris Di Indonesia
1. Pengertian Hukum Waris Perdata
Telah diketahui, bahwa di Indonesia berlaku lebih dari satu sistem Hukum
Perdata yaitu, Hukum Barat (Hukum Perdata Eropa), Hukum Adat dan Hukum Islam.
Ketiga sistem hukum tersebut semuanya antara lain juga mengatur cara pembagian
harta
warisan.
Hukum
Waris
Perdata
ini
digunakan
bagi
orang
yang
mengesampingkan Hukum Adat Waris dalam mendapatkan penyelesaian pembagian
warisan.
Hukum Waris Perdata Barat berlaku bagi :
a. Orang-orang keturunan Eropa.
b. Orang-orang keturunan Timur Asing Tiong Hoa.
c. Orang-orang yang menundukan diri sepenuhnya kepada Hukum Perdata Barat.
Hukum Waris menurut A. Pitlo yaitu kumpulan peraturan yang mengatur
hukum mengenai harta kekayaan, karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai
pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibatnya dari pemindahan
ini bagi orang-orang yang memperoleh baik dalam hubungan antara mereka, maupun
dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.
29
Universitas Sumatera Utara
30
Sedangkan Hukum Waris Menurut Wirjono Prodjodikoro, Soal apakah dan
bagaimanakah berbagai hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang
pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Hukum Waris adalah bagian dari Hukum Kekayaan, akan tetapi erat sekali dengan
Hukum Keluarga, karena seluruh pewarisan menurut undang-undang berdasarkan
atas hubungan keluarga sedarah dan hubungan perkawinan. Dengan demikian ia
masuk bentuk campuran antara bidang yang dinamakan Hukum Kekayaan dan
Hukum Keluarga.
Kemudian Subekti dan Tjitrosoedibio mengatakan Hukum Waris adalah,
“Hukum yang mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan dari
seorang yang meninggal”.42
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk terjadinya suatu
pewarisan harus dipenuhi 3 (tiga) unsur yaitu :
1) Pewaris, adalah orang yang meninggal dunia meninggalkan harta kepada orang
lain.
2) Ahli Waris, adalah orang yang menggantikan pewaris di dalam kedudukannya
terhadap warisan, baik untuk seluruhnya, maupun untuk sebagian.
3) Harta Warisan, adalah segala harta kekayaan dari orang yang meninggal dunia.
Dalam hal pewarisan, yang dapat diwarisi yaitu hanya hak dan kewajiban
yang meliputi bidang harta kekayaan. Namun ada hak-hak yang sebenarnya masuk
bidang harta kekayaan tetapi tidak dapat diwarisi. Hak-hak yang masuk bidang harta
42
R. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hal. 56
Universitas Sumatera Utara
31
kekayaan yang tidak dapat diwarisi antara lain, hak untuk menikmati hasil dan hak
untuk mendiami rumah. Hak-hak ini tidak dapat diwarisi karena bersifat sangat
pribadi.
Selanjutnya ada juga hak-hak yang bersumber kepada Hukum Keluarga
namun dapat diwarisi antara lain, hak untuk mengajukan tuntutan agar ia diakui
sebagai anaknya dan hak untuk menyangkal keabsahan seorang anak.
Dengan demikian prinsipnya hanya hak dan kewajiban yang meliputi harta
kekayaan saja yang dapat diwarisi, ternyata tidak dapat dipegang teguh dan terdapat
beberapa pengecualian.
2. Pengertian Hukum Waris Adat
Sehubungan dengan Hukum Waris Adat, akan dikemukakan beberapa
pendapat sarjana antara lain,
R. Soepomo berpendapat bahwa, “Hukum Waris Adat memuat peraturanperaturan yang mengatur proses meneruskan dan mengoperkan barang-barang harta
benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari
suatu angkatan manusia (generatie) pada turunannya”.43
Sedangkan Ter Haar Bzn Hukum Waris Adat adalah, “Aturan-aturan hukum
yang bertalian dengan proses dari abad ke abad yang menarik perhatian adalah proses
43
R. Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hal. 79
Universitas Sumatera Utara
32
penerusan dan peralihan kekayaan materieel dan immaterieel dari turunan ke
turunan”.44
Hukum Waris Adat memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara
penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris
kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat
berlangsung sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia.
Pendapat Soerojo Wignjodipoero mengatakan Hukum Waris Adat adalah,
“Norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun
yang immateriil yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada
keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses
peralihannya”.45
Kemudian menurut Bushar Muhammad, Hukum Waris Adat meliputi,
“Aturan-aturan yang bertalian dengan proses yang terus menerus dari abad ke abad,
ialah suatu penerusan dan peralihan kekayaan baik materiil maupun immateriil dari
suatu angkatan ke angkatan berikutnya”.46
Sehingga
Hukum
Waris
Adat
mempunyai
arti
yang
luas
berupa
penyelenggaraan pemindahan dan peralihan kekayaan dari suatu generasi kepada
generasi berikutnya baik mengenai benda materiil maupun benda immateriil.
Dengan pengertian HukumWaris Adat yang telah disebutkan di atas, maka
44
Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh K..N.G. Soebakti
Poesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hal. 202
45
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, CV. Haji Masagung,
Jakarta, 1988, hal. 161
46
Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hal. 35
Universitas Sumatera Utara
33
dapatlah dikemukakan bahwa Hukum Waris Adat itu mengandung beberapa unsur
yaitu :
a) Hukum Waris Adat adalah merupakan aturan hukum.
b) Aturan hukum tersebut mengandung proses penerusan harta warisan.
c) Harta warisan yang diperoleh atau diteruskan dapat berupa harta benda yang
berwujud dan yang tak berwujud.
d) Penerusan atau pengoperan harta warisan ini berlangsung antara satu generasi
atau pewaris kepada generasi berikutnya atau ahli waris.
3. Pengertian Hukum Kekeluargaan
Belum adanya keseragaman tentang istilah hukum kekeluargaan, sehingga
para sarjana memakai istilah yang berbeda.
Hilman Hadikusuma menggunakan istilah Hukum Kekerabatan yakni,
“Hukum yang menunjukkan hubungan-hubungan hukum dalam ikatan kekerabatan
termasuk kedudukan orang seorang sebagai anggota warga kerabat (warga adat
kekerabatan)”.47
Kemudian menurut Djaren Saragih Hukum Kekeluargaan adalah, “Kumpulan
kaedah-kaedah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang ditimbulkan
oleh hubungan biologis”.48
47
Hilman Hadikusuma, Pokok-pokok Pengertian Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1980, hal.
48
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, 1984, hal. 113.
140.
Universitas Sumatera Utara
34
Hubungan-hubungan hukum antara orang seorang sebagai warga adat dalam
ikatan kekerabatan meliputi hubungan hukum antara orang tua dengan anak, antara
anak dengan anggota keluarga pihak bapak dan ibu serta tanggung jawab mereka
secara timbal balik dengan orang tua dan keluarga.
4. Prinsip-Prinsip Keturunan Dalam Hukum Kekeluargaan
Di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia terdapat keanekaragaman sifat
sistem kekeluargaan yang dianut. Sistem kekeluargaan itu dapat dikelompokkan
menjadi tiga macam, yaitu :
a. Sistem kekeluargaan patrilineal
b. Sistem kekeluargaan matrilinial
c. Sistem kekeluargaan parental atau bilateral
Dalam sistem kekeluargaan patrilineal yaitu suatu masyarakat hukum adat,
dimana para anggotannya menarik garis keturunan ke atas melalui garis bapak, bapak
dari bapak terus keatas sehingga kemudian dijumpai seorang laki-laki sebagai
moyang. (contoh : Batak, Bali, Seram, Nias dan Ambon).
Sistem kekeluargaan matrilinial yaitu sistem dimana para anggotanya menarik
garis keatas melalui ibu, ibu dari ibu terus keatas sehingga kemudian dijumpai
seorang perempuan sebagai moyangnya. (contoh : Minangkabau dan Enggano).
Pada sistem kekeluargaan parental atau bilateral yakni suatu sistem dimana
para anggotanya menarik garis keturunan keatas melalui garis bapak dan ibu, terus
keatas sehingga kemudian dijumpai seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai
Universitas Sumatera Utara
35
moyangnya.(contoh : Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Aceh,
Sulawesi dan Kalimantan).
5. Unsur-Unsur Pewarisan
Untuk dapat berlangsungnya suatu proses pewarisan harus dipenuhi tiga unsur
menurut Hukum Adat yaitu :
a. Adanya pewaris
b. Adanya harta warisan
c. Adanya ahli waris.
Pengertian
pewaris
didalam
Hukum
Waris
Adat
menurut
Hilman
Hadikusuma, “Orang yang mempunyai harta peninggalan selagi ia masih hidup atau
sudah wafat, harta peninggalan mana (akan) diteruskan penguasaan atau
pemilikannya dalam keadaan tidak terbagi-bagi atau terbagi-bagi”.
Kedudukan seorang pewaris itu bisa bapak, ibu, paman, kakek dan nenek.
Orang itu disebut pewaris karena ketika hidupnya atau wafatnya mempunyai harta
warisan, dimana harta warisan tersebut akan dialihkan atau diteruskan kepada ahli
warisnya.
Harta warisan atau disebut juga harta peninggalan menurut Hilman
Hadikusuma, “Semua harta berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang beralih
penguasaan atau pemilikannya setelah pewaris meninggal dunia kepada ahli waris”.49
49
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundang-undangan, Hukum
Adat, Hukum Agama Hindu, Islam, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 9-10.
Universitas Sumatera Utara
36
Pengertian ahli waris menurut Hilman Hadikusuma adalah, “Orang-orang
yang berhak mewarisi harta warisan”.50 Artinya bahwa orang tersebut berhak untuk
meneruskan penguasaan dan pemilikan harta warisan atau berhak memiliki bagianbagian yang telah ditentukan dalam pembagian harta warisan diantara ahli waris
tersebut. Ahli waris itu bisa anak, cucu, bapak, ibu, paman, kakek dan nenek. Pada
dasarnya semua ahli waris berhak mewaris kecuali karena tingkah laku atau
perbuatan hukum yang dilakukan oleh ahli waris sangat merugikan si pewaris.
6. Syarat-Syarat Sebagai Ahli Waris
Dalam hukum adat waris, anak-anak dari si peninggal warisan merupakan
golongan ahli waris yang terpenting dibandingkan dengan golongan ahli waris
pengganti lainnya, karena apabila si peninggal harta warisan meninggalkan anak
maka anaknya itulah sebagai ahli waris utama.
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa, untuk menentukan siapa-siapa yang menjadi
ahli waris digunakan empat macam kelompok keutamaan yakni : 51
a. Kelompok keutamaan I : keturunan pewaris
b. Kelompok keutamaan II : orang tua pewaris
c. Kelompok keutamaan III : saudara-saudara pewaris dan keturunanya
d. Kelompok keutamaan IV : kakek dan nenek pewaris.
Sebagai ahli waris utama adalah keturunan pewaris sedangkan ahli waris
lainnya baru berhak atas harta warisan, apabila yang meningal itu tidak mempunyai
50
Ibid., hal. 53
Soerjono Sooekanto dan Sulaiman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, CV. Rajawali,
Jakarta, 1994, hal. 287
51
Universitas Sumatera Utara
37
anak, artinya jika seorang anak lebih dulu meninggal dunia daripada si peninggal
warisan dan anak tersebut meninggalkan anak-anak maka cucu dari si peninggal
warisan ini menggantikan kedudukan orang tuanya. Apabila keturunan pewaris ke
bawah sudah tidak ada lagi maka yang sebagai ahli waris adalah orang tua pewaris
(bapak dan ibu) sebagai kelompok keutamaan II, kemudian kalau orang tua pewaris
sudah meninggal dunia maka sebagai ahli waris adalah kelompok keutamaan III
yakni saudara-saudara pewaris dan keturunannya. Demikian seterusnya jika saudarasaudara pewaris dan keturunannya sudah tidak ada lagi sehingga ahli waris
penggantinya adalah kakek dan nenek dari si pewaris tersebut. Di dalam pelaksanaan
penentuan ahli waris dengan menggunakan kelompok keutamaan maka harus
diperhatikan prinsip garis keturunan yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu.
7. Cara Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam/ BW
Menurut Hukum Adat Waris sistem kewarisan ada tiga yaitu : 52
a. Sistem kewarisan individual, dalam sistem kewarisan harta peninggalan akan
diwarisi bersama-sama dibagi-bagi kepada semua ahli waris (individual). Sistem
ini dapat dilihat pada masyarakat bilateral di Jawa
b. Sistem kewarisan kolektif, dimana harta peniggalan akan diwarisi secara kolektif
(bersama-sama) oleh sekumpulan ahli waris, dimana harta warisan tersebut tidak
akan dibagi-bagikan seperti pada sistem kewarisan individual. Pada sistem ini
harta warisan akan dinikmati secara bersama-sama. Ahli waris hanya mempunyai
52
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an Dan Hadist, Tintamas, Jakarta,
1996, hal. 15
Universitas Sumatera Utara
38
hak pakai atau boleh menikmati saja dari harta warisan dan tidak mempunyai atau
tidak dapat memiliki harta warisan dan tidak mempunyai atau tidak dapat
memiliki harta warisan tersebut. Hal seperti ini dapat dilihat pada pewarisan harta
pusaka.
c. Sistem kewarisan mayorat, dalam sistem kewarisan ini, harta peninggalan secara
keseluruhan atau sebagian besar akan diwarisi oleh seorang ahli waris. Hal seperti
ini dapat dijumpai pada pewarisan terhadap karang desa pada masyarakat Bali.
Ketiga sistem kewarisan tersebut dalam pembagian harta warisannya sering
menimbulkan sengketa, dimana sengketa itu terjadi setelah pewaris meninggal dunia,
tidak saja di kalangan masyarakat yang parental tetapi juga terjadi pada masyarakat
patrilinial dan matrilinial. Hal mana dikarenakan masyarakat adat sudah lebih banyak
dipengaruhi alam pikiran serba kebendaan sebagai akibat kemajuan jaman dan
timbulnya banyak kebutuhan hidup sehingga rasa malu, kekeluargaan dan tolong
menolong sudah semakin surut.53
Dalam mencapai penyelesaian sengketa pembagian warisan pada umumnya
masyarakat hukum adat menghendaki adanya penyelesaian yang rukun dan damai
tidak saja terbatas pada para pihak yang berselisih tetapi juga termasuk semua
anggota almarhum pewaris. Jadi masyarakat bukan menghendaki adanya suatu
keputusan menang atau kalah sehingga salah satu pihak tidak merasakan bahwa
keputusan itu tidak adil dan hubungan kekeluargaan menjadi renggang atau putus
karena perselisihan tidak menemukan penyelesaian. Yang dikehendaki ialah
53
Ibid., hal. 17
Universitas Sumatera Utara
39
perselisihan yang diselesaikan dengan damai sehingga gangguan keseimbangan yang
merusak kerukunan sekeluarga itu dapat dikembalikan.
Jalan penyelesaian atau cara pembagian harta warisan menurut Hilman
Hadikusuma adalah,
Dapat ditempuh dengan cara bermusyawarah, baik musyawarah terbatas dalam
lingkungan anggota keluarga sendiri yakni antara anak-anak pewaris yang
sebagai ahli waris, atau dapat juga dengan musyawarah keluarga. Jika
perselisihan pembagian itu tak juga dapat diselesaikan maka dipandang perlu
dimusyawarahkan di dalam musyawarah perjanjian adat yang disaksikan oleh
petua-petua adat. Apabila segala usaha telah ditempuh dengan jalan damai
dimuka keluarga dan peradilan adat mengalami kegagalan maka barulah perkara
itu dibawa ke pengadilan.54
Selaras dengan pendapat Hilman Hadikusuma, maka Soerojo Wignjodipoero,
mengatakan cara pembagian harta warisan yakni,
Pembagian harta peninggalan merupakan suatu perbuatan daripada para ahli
waris bersama, dimana pembagian ini diselenggarakan dengan permufakatan
atau atas kehendak bersama para ahli warisnya. Pembagian itu biasanya
dilaksanakan dengan kerukunan diantara ahli waris, apabila tidak terdapat
permufakatan dalam menyelesaikan pembagian harta peningalan ini, maka
hakim (hakim adat/hakim perdamaian desa atau hakim pengadilan negeri)
berwenang atas permohonan ahli waris untuk menetapkan cara pembagiannya.55
B. Peralihan Hak Atas Tanah Karena Pewarisan
1. Pengertian Peralihan Hak Atas Tanah
Hak milik berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUPA dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain.
Menurut K. Wantjik Saleh peralihan hak mengandung dua pengertian yaitu
“beralih” dan dapat “dialihkan”. Adapun yang diaksud dengan beralih adalah : “Suatu
54
55
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Op.cit., hal. 116-117
Soerojo Wignjodipoero, Op.cit, h. 181
Universitas Sumatera Utara
40
peralihan hak yang dikarenakan seseorang yang mempunyai salah satu hak meninggal
dunia akan hak itu dengan sendirinya menjadi hak ahli warisnya. Dengan kata lain
bahwa peralihan hak itu terjadi dengan melalui suatu perbuatan hukum tertentu,
berupa jual beli, tukar menukar, hibah wasiat (legaat).56
Dengan demikian maka peralihan hak dapat terjadi karena perbuatan yang
disengaja misalnya jual beli, tukar menukar, hibah wasiat (legaat). Peralihan hak juga
dapat terjadi dengan tidak sengaja dengan suatu perbuatan melainkan karena hukum,
misalnya hak pewaris pada saat meninggal dunia dengan sendirinya menjadi hak ahli
warisnya.
Hak milik dapat beralih maksudnya hak milik berpindah dari seseorang
kepada orang lain melalui peristiwa hukum. Misalnya hak pewaris berpindah kepada
ahli warisnya. Sedangkan hak milik dapat dialihkan maksudnya adalah hak seseorang
berpindah kepada orang lain karena perbuatan hukum yang sengaja dilakukan
misalnya karena jual beli, hibah, tukar menukar.
2. Pengertian Istilah Dan Batasan Hukum Waris
Seperti telah dijelaskan di atas, hak milik dapat beralih dari seseorang kepada
orang lain melalui peristiwa hukum
pewarisan di mana hak pewaris berpindah
kepada ahli warisnya. Berbicara tentang peralihan hak milik karena pewarisan erat
kaitannya dengan hukum waris yang berlaku antara pewaris dan ahli warisnya.
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris
56
K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976, hal. 19
Universitas Sumatera Utara
41
sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia sebab setiap manusia
akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang
selanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang
diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. Penyelesaian hak-hak dan
kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum
waris.57
Soepomo menerangkan bahwa hukum waris itu memuat peraturan-peraturan
yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dari
suatu angkatan manusia kepada turunannya.58
Ter Haar Bzn memberikan rumusan hukum waris sebagai “Hukum Waris
adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad
penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari
generasi ke generasi”.59
A. Pitlo dalam bukunya “Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Belanda” memberikan batasan hukum waris sebagai berikut:
“Hukum Waris, adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai
kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan
yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang
57
Iman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1995, hal.
1
58
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Penerbitan Universitas, 1986, hal. 72
Ter Haar Bzn, Azas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K.N.G. Soebekti Poesponoto,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1960, hal. 197
59
Universitas Sumatera Utara
42
yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka, maupun dalam
hubungan antara mereka dengan pihak ketiga”.60
Soepomo dalam bukunya “Bab-Bab tentang Hukum Adat” mengemukakan
sebagai berikut :
Hukum waris itu memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan
serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang tidak berwujud
benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada
turunannya. Proses itu telah mulai pada waktu orang tua masih hidup. Proses
tersebut tidak menjadi “akuut” oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang
meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu,
akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan
dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut.61
3. Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah Karena Pewarisan
Peralihan hak karena pewarisan terjadi karena hukum pada saat pemegang hak
meninggal dunia. Sejak saat itu para ahli waris menjadi pemegang haknya yang baru.
Mengenai siapa yang menjadi ahli waris diatur dalam Hukum Perdata yang berlaku
bagi pewaris.62
Pendaftaran peralihan hak karena pewarisan diwajibkan dalam rangka
memberi perlindungan hukum kepada para ahli waris dan demi ketertiban tata usaha
pendaftaran tanah, agar data yang tersimpan dan disajikan selalu menunjukan
keadaan yang mutakhir.63
60
A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda,
Terjemahan M. Isa Arief, Intermasa, Jakarta, 1979, hal. 11
61
Soepomo, Op.cit., hal. 72-73
62
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1999, hal. 504
63
Ibid., hal. 505
Universitas Sumatera Utara
43
Surat tanda bukti sebagai ahli waris dapat berupa Akta Keterangan Hak waris,
atau surat Penetapan Ahli Waris atau Surat Keterangan Ahli Waris.
Dalam Pasal 111 Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 tahun 1997, yang isinya
serupa atau paralel dengan Surat Ketua Mahkamah Agung RI tanggal 8 Mei 1991 No.
MA/Kumdil/171/V/K/1991,64 yang menyebutkan surat tanda bukti sebagai ahli waris
dapat berupa :
a. Wasiat dari pewaris;
b. Putusan dari pengadilan;
c. Penetapan Hakim/Ketua Pengadilan;
d. Bagi warga negara Indonesia penduduk asli: surat keterangan ahli waris yang
dibuat oleh para ahli waris, dengan disaksikan oleh 2 orang saksi dan dikuatkan
oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat dari tempat tinggal pewaris pada waktu
meninggal dunia;
e. Bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa: akta keterangan hak mewaris
dari notaris;
f. Bagi warga negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya: surat keterangan
waris dari Balai Harta Peninggalan.
Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah
hak yang sudah terdaftar sebagaimana yang diwajibkan menurut ketentuan Pasal 36
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, maka
64
Syahril Sofyan, Op.cit., hal. 99-100
Universitas Sumatera Utara
44
dokumen-dokumen yang wajib diserahkan oleh yang menerima hak sebagai warisan
kepada Kantor Pertanahan yaitu :
a. Sertipikat hak yang bersangkutan;
b. Surat kematian orang yang namanya tercatat sebagai pemegang haknya;
c. Surat tanda bukti sebagai ahli waris.
Hal ini diatur dalam Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, yang dilengkapi dengan pengaturan dalam Pasal 111 dan
Pasal 112 Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 tahun 1997.
Jika bidang tanah yang merupakan warisan belum didaftar, wajib diserahkan
juga dokumen-dokumen yang disebut dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf b
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, dokumen-dokumen itu berupa :
a. Surat bukti hak sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) atau Surat Keterangan
Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai
bidang tanah tersebut sebagaimana disebut dalam pasal 24 ayat (2); dan
b. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum
bersertipikat dari kantor pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang
jauh dari kedudukan kantor pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan
dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.
Dokumen-dokumen yang membuktikan adanya hak atas tanah kepada yang
mewariskan itu diperlukan, karena pendaftaran peralihan haknya baru dapat
Universitas Sumatera Utara
45
dilakukan setelah dilaksanakan pendaftaran untuk pertama kali hak yang
bersangkutan atas nama yang mewariskan.65
Jika penerima warisan terdiri dari lebih dari satu orang, pendaftaran peralihan
haknya dilakukan kepada orang tersebut berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli
waris yang bersangkutan (Pasal 42 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun
1997).
Jika penerima warisan lebih dari satu orang dan pada waktu peralihan hak
tersebut didaftarkan disertai dengan akta pembagian waris yang memuat keterangan,
bahwa hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun tertentu jatuh kepada
seorang penerima warisan tertentu, pendaftaran peralihan haknya dilakukan langsung
kepada penerima warisan yang bersangkutan, berdasarkan surat tanda bukti sebagai
ahli waris dan akta pembagian waris tersebut (Pasal 42 ayat (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 tahun 1997).
Akta pembagian waris tersebut dapat dibuat dalam bentuk akta di bawah
tangan oleh semua ahli waris dengan disaksikan oleh 2 orang saksi atau dengan akta
notaris (Pasal 111 ayat (3) Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 tahun 1997).
Pencatatan pendaftaran peralihan haknya dilakukan oleh kepala kantor
pertanahan menurut ketentuan Pasal 105 Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 tahun
1997.
Pencatatan peralihan hak dalam buku tanah, sertipikat dan daftar lainnya
dilakukan sebagai berikut :66
65
Ibid., hal. 506
Universitas Sumatera Utara
46
a. Nama pemegang hak lama di dalam buku tanah dicoret dengan tinta hitam dan
dibubuhi paraf oleh kepala kantor pertanahan atau pejabat yang ditunjuk;
b. Nama atau nama-nama pemegang hak yang baru dituliskan pada halaman dan
kolom yang ada pada buku tanahnya dengan dibubuhi tanggal pencatatan, dan
besarnya bagian setiap pemegang hak dalam hal penerima hak beberapa orang
dan besarnya bagian yang ditentukan, dan kemudian ditandatangani oleh kepala
kantor pertanahan atau pejabat yang ditunjuk dan cap dinas kantor pertanahan;
c. Pencoretan dan penulisan nama pemegang hak yang lama dan yang baru
dilakukan juga pada sertipikat dan daftar umum yang memuat nama pemegang
hak yang lama;
d. Nomor dan identitas lain dari tanah yang dialihkan dicoret dari daftar nama
pemegang hak lama dan nomor hak dan identitas dituliskan pada daftar nama
penerima hak.
Apabila pemegang hak yang baru lebih dari satu orang dan hak tersebut
dimiliki bersama, maka untuk masing-masing pemegang hak dibuatkan daftar nama
dan di bawah nomor hak atas tanahnya diberi garis dengan tinta hitam.
Apabila peralihan hak hanya mengenai bagian dari sesuatu hak atas tanah
sehingga hak atas tanah itu menjadi kepunyaan bersama pemegang hak lama dan
pemegang hak baru, maka pendaftarannya dilakukan dengan menuliskan besarnya
bagian pemegang hak lama di belakang namanya dan menuliskan nama pemegang
66
Hasil wawancara dengan Bapak Ridwan Lubis, Kasubsie Pendaftaran Tanah Kantor
Pertanahan Kota Medan, tanggal 24 Mei 2012
Universitas Sumatera Utara
47
hak yang baru beserta besarnya bagian yang diperolehnya dalam halaman perubahan
yang disediakan.
Dalam hal yang dialihkan adalah hak yang belum didaftar, akta PPAT yang
bersangkutan dijadikan alat bukti dalam pendaftaran pertama hak tersebut atas nama
pemegang hak yang terakhir. Demikian ditentukan dalam Pasal 106 Peraturan
Menteri Agraria Nomor 3 tahun 1997.
C. Kecakapan Dalam Melakukan Perbuatan Hukum
Meskipun setiap manusia tidak terkecuali sebagai pendukung hak dan
kewajiban, namun tidak semuanya cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang
yang dinyatakan tidak cakap adalah orang yang secara umum cakap untuk bertindak,
tetapi untuk hal-hal tertentu tidak. Orang yang tidak cakap untuk bertindak adalah
pasti orang yang tidak berwenang adalah orang yang pada umumnya cakap untuk
bertindak tetapi pada peristiwa tertentu tidak dapat melaksanakan tindakan hukum,
dalam hubungannya dengan pembicaraan kita, tidak berwenang menutup perjanjian
tertentu (secara sah).
Kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum, bukan sifat pembawaannya
karenanya tidak tertutup kemungkinan bahwa ia tidak sesuai dengan kenyataannya,
orang yang secara yuridis tidak cakap, ada kemungkinan dalam kenyataannya adalah
orang yang tahu atau sadar betul akan akibat/konsekuensi dari tindakannya.
1. Pengertian Anak Menurut Hukum Perdata
Di dalam Hukum Perdata dijelaskan bahwa setiap anak, berapapun juga
umurnya wajib menghormati dan menghargai orang tuanya. Orang tua wajib
Universitas Sumatera Utara
48
memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang masih dibawah umur. Kehilangan
kekuasaan orang tua atau kekuasaan wali tidak membebaskan mereka dari kewajiban
untuk memberi tunjangan menurut besarnya pendapatan mereka guna membiayai
pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka.
Selama perkawinan orang tuanya, setiap anak sampai dewasa tetap berada
dalam kekuasaan kedua orang tuanya, sejauh orang tua tersebut tidak dilepaskan atau
dipecat dari kekuasaan itu. Kekuasaan orang tua itu pada umumnya dilakukan oleh si
ayah. Jika si ayah berada di luar kemungkinan melakukan kekuasaan itu yang
melakukan kekuasaan adalah si ibu.
Orang tua, meskipun mereka itu tidak mempunyai kekuasaan orang tua
(karena telah terjadi perceraian), wajib memberi tunjangan bagi pemeliharaan dan
penghidupan anak-anak mereka.
Dalam KUHPerdata mengenal 3 (tiga) macam anak, yaitu:
a.
Anak sah;
Diatur dalam pasal 250 sampai dengan Pasal 271a KUHPerdata. Anak yang
dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh suami sebagai bapaknya
(Pasal 250 KUHPerdata), sedangkan sahnya anak yang dilahirkan sebelum hari
keseratus delapan puluh dari perkawinan, dapat diingkari oleh suami. Namun
pengingkaran itu tidak boleh dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut :
1)
Bila sebelum perkawinan suami telah mengetahui kehamilan itu;
Universitas Sumatera Utara
49
2)
Bila pada pembuatan akta kelahiran dia hadir dan akta ini ditanda tangani
olehnya, atau memuat suatu keterangan darinya yang berisi bahwa dia tidak
dapat menandatanganinya;
3)
Bila anak yang dilahirkan meninggal dunia.
Suami tidak dapat mengingkari keabsahan anak atas dasar perzinahan, kecuali
bila kelahiran anak telah dirahasiakan terhadapnya, dalam hal ini, dia harus
diperkenankan untuk menjadikan hal itu sebagai bukti yang sempurna, bahwa
dia bukan ayah anak itu (Pasal 253 KUHPerdata), salah satu pembuktian
tersebut dapat dilakukan oleh suami istri dengan tes DNA.
b.
Anak luar kawin yang diakui;
Anak luar kawin ada 2 (dua) macam yaitu :
1) Anak yang lahir dari ayah dan ibu, tetapi antara mereka tidak terdapat
larangan untuk kawin. Anak ini statusnya sama dengan anak sah, kalau
kemudian mereka (orang tuanya) kawin, dan dapat diakui kalau tidak kawin
(Pasal 272 KUH Perdata).
2) Anak yang lahir dari ayah dan ibu yang dilarang oleh undang-undang, atau
salah satu pihak ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain. Anak ini
disebut anak sumbang atau anak alam atau anak zinah.
Dengan adanya pengakuan terhadap anak luar kawin terlahirlah hubungan
perdata antara anak tersebut dengan bapak atau ibunya. Pengakuan anak dapat
dilakukan dengan cara sebagaimana diatur dalam pasal 281 KUHPerdata, yaitu :
a) Dalam akta kelahiran si anak;
Universitas Sumatera Utara
50
b) Dalam akta perkawinan ayah dan ibu kalau kemudian mereka kawin;
c) Dalam akta yang dibuat oleh Kantor Catatan Sipil;
d) Dalam akta otentik lain.
c.
Anak luar kawin yang tidak diakui.
Dalam hubungan zinah (overspel), maka menurut Pasal 32 KUHPerdata,
perkawinan antara keduanya tidak dapat dilakukan, sedang anak yang dilahirkan
dalam hubungan ini sekali-kali tidak boleh diakui (Pasal 283 KUH Perdata).
Dalam hubungan incest (perkawinan sedarah), perkawinan ini dapat disahkan
kalau ada ijin dari Presiden/Menteri Kehakiman (Pasal 31 KUHPerdata). Anak yang
dilahirkan karena hubungan incest tidak dapat diakui kecuali ada dispensasi dari
Presiden/Menteri Kehakiman.
Anak yang dilahirkan karena perzinahan atau perkawinan sedarah
(incest/sumbang) tidak boleh diakui tanpa mengurangi ketentuan Pasal 273
KUHPerdata terhadap perkawinan sedarah.
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 284 ayat (1) KUHPerdata disebutkan
bahwa suatu pengakuan terhadap anak luar kawin selama ibunya masih hidup,
meskipun ibu itu termasuk golongan Indonesia atau yang disamakan dengan
golongan itu, tidak akan diterima jika si ibu tidak menyetujui pengakuan itu.
Sehingga dengan demikian untuk mengakui anak luar kawin itu hadir ibunya dalam
arti turut hadir dan bertanda tangan dalam akta pengakuan.67
67
Hasil wawancara dengan Bapak Syahril Sofyan, Notaris/PPAT Kota Medan, Tanggal 1 Juni
2012
Universitas Sumatera Utara
51
2. Kecakapan Bertindak Dalam Hukum Perdata
Kecakapan bertindak (Handelingsbokwaam) menunjukan kepada kewenangan
yang umum, kewenangan umum untuk menutup perjanjian-perjanjian lebih luas lagi,
untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya, sedang kewenangan bertindak
menunjuk kepada yang khusus, kewenangan untuk bertindak dalam peristiwa yang
khusus, ketidakwenangan hanya menghalang-halangi untuk melakukan tindakan
hukum tertentu.
Adanya orang-orang yang dinyatakan tak cakap bertindak, pada umumnya
berkaitan dengan masalah ”kehendak”. Undang-undang berangkat dari anggapan jadi
bukan atas dasar kenyataan. Bahwa orang-orang tertentu tidak atau belum dapat
menyatakan kehendaknya dengan sempurna, dalam arti belum dapat menyadari
sepenuhnya akibat hukum yang muncul dari pernyataan kehendaknya, sehingga atas
tindakan hukum mereka yang merupakan pernyataan kehendaknya tidak dapat
diberikan akibat hukum sebagaimana biasanya. Dengan perkataan lain, dalam hal ada
masalah ketidak-cakapan, ketidak sempurnaan dalam segi kehendaknya lain dari pada
apa yang telah kita bicarakan pada kesesatan, paksaan dan penipuan. Dimana orangorang yang merasa tersesat, dipaksa, atau ditipu adalah orang-orang yang memang
cakap untuk bertindak, orang yang tahu betul akibat hukum dari pernyataannya,
hanya kehendaknya yang cacat dalam arti tidak murni. Disini yang dinyatakan tidak
cakap kecuali istri adalah orang-orang yang dalam penyelenggaraan kepentingannya
diurus dan diwakili oleh orang lain (orang tua, wali, kurator).
Universitas Sumatera Utara
52
Prinsip undang-undang tentang kecakapan bertindak adalah undang-undang
berangkat dari anggapan, bahwa setiap orang pada asasnya adalah cakap untuk
bertindak, cakap melakukan tindakan hukum. Tidak cakap merupakan suatu
perkecualian atas asas tersebut diatas dan orang hanya tahu cakap, kalau undangundang menyatakannya demikian. Karenanya untuk mengetahui siapakah orangorang yang tidak cakap untuk bertindak, kita harus melihatnya dalam undang-undang.
Orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tak cakap untuk
melakukan perbuatan hukum, adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1330
KUHPerdata, ada 3 (tiga) golongan yaitu:
a. Orang yang belum dewasa, yaitu anak yang belum mencapai usia 21 (dua puluh
satu) tahun dan belum pernah kawin (Pasal 330 KUH Perdata) sekarang usia
dewasa ini ditentukan 18 (delapan belas) tahun (dalam Undang-undang
Perkawinan nomor : 1 tahun 1974 Pasal 47), demikian pula Undang-undang
tentang Jabatan Notaris (Undang-undang nomor : 30 tahun 2004) menentukan
usia 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah sebagai syarat untuk
menghadap, membuat akta Notaris (Pasal 39 ayat (1 ) butir a);
b. Orang yang dibawah pengampuan (Pasal 433 KUH Perdata);
c. Perempuan bersuami, sekarang ini perempuan bersuami tidak termasuk lagi,
maksudnya seorang perempuan yang masih terikat dalam perkawinan sudah
cakap melakukan perbuatan hukum sendiri (SEMA nomor : 3/1963 juncto Pasal
31 Undang-undang nomor 1 tahun 1974).
Universitas Sumatera Utara
53
3. Arti Dan Fungsi Perwalian
Di dalam Hukum Perdata perwalian diatur dalam Pasal 331 sampai dengan
Pasal 418 KUH Perdata. Sedangkan arti dari perwalian itu sendiri menurut Hukum
Perdata adalah penguasaan terhadap pribadi dan pengurus harta kekayaan seorang
anak yang belum dewasa, jika anak itu tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.
Dengan demikian anak yang orang tuanya telah bercerai atau jika salah satu
dari mereka atau semua (keduanya) telah meninggal dunia, berada di bawah
perwalian. Terhadap anak luar kawin, karena tidak ada kekuasaan orang tua, maka
anak tersebut selalu di bawah perwalian.
Ada 3 (tiga) jenis perwalian :
a.
Perwalian menurut Undang-undang (Pasal 345 KUH Perdata) Jika salah satu
orang tua meninggal dunia, maka perwalian demi hukum, dilakukan oleh orang
tua yang masih hidup terhadap anak yang belum dewasa;
b.
Perwalian dengan wasiat (Pasal 355 KUH Perdata)
Setiap orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian, berhak
mengangkat seorang wali bagi anaknya, jika perwalian itu berakhir pada waktu
ia meninggal dunia atau berakhir dengan penetapan hakim;
c.
Perwalian yang diangkat oleh Hakim (Pasal 359 KUH Perdata)
Dalam hal tidak ada wali menurut Undang-undang atau wali dengan wasiat, oleh
hakim dapat ditetapkan/diangkat seorang wali. Balai Harta peninggalan, baik
sebelum maupun sesudah pengangkatan itu dapat melakukan tindakan-tindakan
Universitas Sumatera Utara
54
seperlunya guna mengurus diri dan harta kekayaan anak yang belum dewasa
sampai perwalian itu mulai berlaku.
Menurut Pasal 331 ayat 1 KUH Perdata, dalam setiap perwalian hanya ada
seorang wali, kecuali yang ditentukan dalam Pasal 351 dan 361 KUH Perdata.
Dengan kata lain kedudukan dan wewenang perwalian tidak dapat dibagi-bagi dan
harus diserahkan kepada satu wali. Asas tidak dapat dibagi-bagi ini mempunyai
kekecualian, yakni :
1) Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup terlama, maka
kalau ia kawin lagi suaminya menjadi wali peserta (mede-voogd)68 (Pasal 351
KUH Perdata);
2) Jika sampai ditunjuk pelaksana pengurusan yang mengurus barang-barang orang
yang belum dewasa di luar Indonesia berdasarkan Pasal 361 KUHPerdata.
Perwalian dinyatakan berakhir apabila :
(a). Anak yang dibawah perwalian telah dewasa;
(b). Anak tersebut meninggal dunia;
(c). Wali meninggal dunia, atau dibebaskan atau dipecat dari perwalian.
Adapun fungsi dari perwalian itu sendiri adalah menyelenggarakan
pemeliharaan dan pendidikan terhadap pribadi si anak yang belum dewasa sesuai
dengan harta kekayaannya serta mewakili dalam segala tindak perdata atau sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku.
68
Kawan wali, seorang wali ibu apabila menyeburkan diri kedalam perkawinan baru, maka
suaminya demi hukum menjadi kawan wali si ibu, pengikutsertaan si suami sebagai wali berakhir
apabila ia dipecat, atau si ibu tidak lagi menjadi wali.
Universitas Sumatera Utara
55
4. Pengertian Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Selaku Wali Pengawas
Balai Harta Peninggalan (BHP), adalah unit pelaksana penyelenggara hukum
dibidang harta peninggalan dan perwalian dalam lingkungan Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, yang secara administratif berada dibawah
Kantor Wilayah Departemen tersebut, sedangkan secara teknis berada dibawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Direktorat Jenderal Administratif Hukum Umum
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Direktorat Perdata.
Balai Harta Peninggalan (BHP) adalah lembaga yang berasal dari pemerintah
Belanda yang diberi nama Wees en Boedel Kamer. Pada mulanya lembaga ini
didirikan untuk mengurus harta-harta yang ditinggalkan oleh tentara VOC bagi
kepentingan para ahli waris yang berada di Nederland, yaitu para anak yatim piatu.
Selanjutnya dalam perkembangannya disebut Balai Harta Peninggalan (BHP). Yang
mana tugas-tugasnya dari Balai Harta Peninggalan tidak hanya mengurus kepentingan
anak yatim piatu dan anak-anak yang belum dewasa, tetapi lembaga tersebut
mengurus harta orang yang dibawah pengampuan, harta kekayaan orang yang hilang
serta harta kekayaan mereka yang pailit.
Dalam pemberian hibah dilakukan semasa orang (penghibah) masih dalam
keadaan hidup, suatu ketika penghibah meninggal dunia sehingga anak tersebut tidak
berada dibawah kekuasaan orang tuanya lagi, untuk pihak keluarga dari anak tersebut
mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menunjuk seorang wali bagi anak
dibawah umur untuk mengurus harta peninggalan dari penghibah.
Universitas Sumatera Utara
56
Orang yang dapat mengajukan permohonan pengurusan terhadap harta
peninggalan yang atasnya turut berhak anak di bawah umur adalah :
a.
Orang tua yang hidup terlama
Menurut Pasal 345 KUH Perdata apabila salah satu dari kedua orang tua
meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak yang belum dewasa diurus oleh
orang tuanya yang hidup terlama.
b.
Perwalian yang diperintahkan bapak atau ibu
Berdasarkan ketentuan dari Pasal 355 KUH Perdata, bahwa masing-masing
orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua atau wali untuk seorang anaknya
atau lebih, berhak mengangkat seorang wali bagi anaknya, jika kiranya
perwalian itu setelah orang tuanya meninggal tidak harus dilakukan orang tua
lainnya.
c.
Perwalian yang diperintahkan oleh Pengadilan Negeri dalam Pasal 359
KUHPerdata, dijelaskan bahwa bagi sekalian anak belum dewasa, yang tidak
bernaung dibawah kekuasaan orang tua dan perwaliannya tidak diatur dengan
sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali, setelah mendengar atau
memanggil keluarga sedarah atau semenda.
Dengan demikian wali harus bertanggung jawab atas tindakan-tindakan balai
dengan tidak mengurangi hak tuntutan terhadapnya.
Adapun tugas perwalian Balai Harta Peninggalan terdiri dari dua macam yaitu :
1) Wali Sementara
Universitas Sumatera Utara
57
Tugas ini tercantum dalam ayat terakhir Pasal 359 KUH Perdata yaitu perwalian
yang diangkat atau ditetapkan oleh hakim atas permohonan yang diajukan oleh
keluarga terdekat dari anak tersebut, apabila penetapan pengangkatan wali di
Pengadilan Negeri belum ada dan kemungkinan keadaan sudah mendesak agar
diadakan tindakan seperlunya demi kepentingan anak belum dewasa tersebut,
halnya dalam keadaan demikian Balai Harta Peninggalan akan mengadakan
tindakan-tindakan seperlunya guna mengurus diri dan harta kekayaan anak
tersebut. Adapun tindakan yang dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan antara
lain mengadakan intervensi atas harta kekayaan anak serta mewakili anak tersebut
dalam suatu tindakan-tindakan hukum.
2) Wali Pengawas
Dalam Pasal 366 KUH Perdata, dijelaskan bahwa tugas sebagai wali pengawas
dikatakan, Balai Harta Peninggalan bertindak sebagai pengawas terhadap wali
yang bersangkutan melaksanakan kewajibannya dan diberikan nasehat-nasehat
kepada wali untuk melakukan kewajiban dengan sebaik-baiknya sesuai dengan
Pasal 370 KUH Perdata yang mengatur kewajiban wali pengawas adalah
mewakili kepentingan-kepentingan anak yang belum dewasa.
Untuk mencegah agar tidak terjadi hal-hal yang dapat merugikan anak
dibawah umur, maka wali mengajukan permohonan kepada Balai Harta Peninggalan
(BHP), untuk mengurus harta anak dibawah umur. Dalam hal ini Balai Harta
Peninggalan menjadi wali pengawas terhadap anak yang masih dibawah umur yang
tidak berada dibawah kekuasaan orang tua serta mengurus harta benda atau kekayaan
Universitas Sumatera Utara
58
anak tersebut, agar tidak terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh wali atau pihak
lain yang dapat merugikan anak dibawah umur tersebut. Sebenarnya tugas wali
pengawas menurut KUHPerdata tidak ada definisinya, meskipun menurut Pasal 366
KUHPerdata tugas tersebut dibebankan kepada Balai Harta Peninggalan setempat,
tetapi untuk singkatnya dapat dijabarkan bahwa tugas dari wali pengawas ini adalah
untuk mengawasi para wali. Wujud pengawasannya atau penjabarannya terlihat dari
redaksi Pasal 370 KUHPerdata.69
Berdasarkan Struktur Organisasi Balai Harta Peninggalan, yaitu Keputusan
Menteri Kehakiman No. M 01.PR.07.01.08 tahun 1980 tanggal 19 Juni 1980, tugas
Balai Harta Peninggalan adalah mewakili dan mengurus kepentingan- kepentingan
orang-orang yang karena hukum atau keputusan hakim tidak dapat menjalankan
sendiri kepentingannya berdasarkan peraturan-peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dalam tiap perwalian di Indonesia, Balai Harta Peninggalan menurut Undangundang menjadi wali pengawas Balai Harta Peninggalan itu berada di Jakarta,
Semarang, Surabaya, Medan dan Makasar, sedangkan tempat-tempat lain mempunyai
Perwakilan atau perwakilan besar atau anggota utusan. Disamping tiap BHP ada
suatu “Dewan Perwalian” (Voogdij Raad) yang terdiri atas ketua dan anggota.
Agar BHP itu dapat melakukan tugasnya, tiap orang tua yang menjadi wali
harus segera melaporkan tentang terjadinya perwalian pada BHP. Begitu pula apabila
69
Syahril Sofyan, Op.cit., hal. 69
Universitas Sumatera Utara
59
hakim mengangkat seorang wali, Panitera Pengadilan harus segera memberitahukan
hal itu pada BHP.
Dalam hal pemeriksaan yang dilakukan oleh BHP terdapat ahli waris dibawah
umur, maka BHP menjadi wali pengawas, ia wajib membuat catatan harta kekayaan
anak dibawah umur, rincian harta kekayaan tersebut kemuadian dituangkan dalam
akta pemisahan dan pembagian yang dibuat dihadapan Notaris dengan terlebih dahulu
harta kekayaan tersebut ditaksir oleh juru taksir. Dalam hal wali akan melakukan
penjualan atas harta kekayaan untuk keperluan anak yang dibawah umur, maka wali
wajib meminta izin dari pihak Pengadilan.
Wali wajib memberikan pertanggungjawaban pengurusan kekayaan anak
dibawah umur kepada wali pengawas setiap (enam) bulan. BHP wajib memberikan
pertanggungjawaban tentang kepengurusan Wali Pengawas kepada Menteri setiap 6
(enam bulan).
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya BHP bersifat sosial, yaitu
melindungi, dan mewakili orang-orang yang karena hukum tidak dapat melaksanakan
sendiri kepentingannya. Selain fungsi sosial BHP juga berfungsi finansial, yaitu
dalam melaksanakan tugas-tugas sosial tersebut BHP juga menarik upah sebagai jasa
pelayanan hukum dan pengelolaan terhadap uang pihak ketiga yang diurus menurut
Stb. 1897/231, demikian juga menerima uang sebagai imbalan atas jasa pelayanan
hukum yang diberikannya dan yang merupakan penghasilan bagi negara yang disebut
sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Universitas Sumatera Utara
Download