BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Berbicara di Depan

advertisement
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecemasan Berbicara di Depan Umum
1. Pengertian Kecemasan
Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya “anxiety” berasal dari
Bahasa Latin“angustus” yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang berarti
mencekik. Menurut Freud (dalam Alwisol, 2005) mengatakan bahwa
kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang
kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif
yang sesuai. Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme yang melindungi ego
karena kecemasan memberi sinyal kepada kita bahwa ada bahaya dan kalau
tidak dilakukan tindakan yang tepat maka bahaya itu akan meningkat sampai
ego dikalahkan.
Taylor (1995) mengatakan bahwa kecemasan ialah suatu pengalaman
subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi
umum dan ketidakmampuan menghadapi masalah atau adanya rasa aman.
Perasaan yang tidak menyenangkan ini umumnya menimbulkan gejala-gejala
fisiologis (seperti gemetar, berkeringat, detak jantung meningkat, dan lainlain) dan gejala-gejala psikologis (seperti panik, tegang, bingung, tak dapat
berkonsentrasi, dan sebagainya). Menurut Chaplin (2006) kecemasan adalah
perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa
mendatang tanpa sebab khusus. Nevid, dkk. (2005) memberikan pengertian
tentang kecemasan sebagai suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri
keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan
kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
15
Atkinson (1996) mendefinisikan kecemasan sebagai emosi yang
tidak menyenangkan yang ditandai dengan istilah kekawatiran yang
kadang-kadang dialami dalam tingkat yang berbeda-beda. Sedangkan
menurut Hurlock (1997) kecemasan adalah situasi efektif yang dirasa tidak
menyenangkan yang diikuti oleh sensi fisik yang memperingatkan
seseorang akan bahaya yang mengancam. Daradjat (2001) menjelaskan
kecemasan sebagai manifestasi dari berbagai proses emosi yang
bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan
perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Ada beberapa jenis
rasa cemas, yaitu cemas akibat mengetahui ada bahaya yang mengancam
dirinya, rasa cemas berupa penyakit yang dapat mempengaruhi
keseluruhan diri pribadi. Selanjutnya, rasa cemas karena perasaan berdosa
atau bersalah yang nantinya dapat menyertai gangguan jiwa.
Sullivan (2006) mengatakan bahwa kecemasan adalah reaksi
normal terhadap kebutuhan yang tak terpenuhi dan stres seperti penolakan
(pertama dari orang tua dan kemudian dari diri sendiri dan kemudian dari
orang lain). Kecemasan juga dapat dilihat sebagai suatu mekanisme
perlindungan yang membuat seseorang tetap aman dari situasi yang
diyakini mengancam. Jhonston (dalam Hawari, 2001) mengemukakan
bahwa kecemasan merupakan reaksi terhadap adanya ancaman, hambatan
terhadap keinginan pribadi, atau merupakan perasaan tertekan karena
adanya rasa kekecewaan, rasa tidak puas, rasa tidak aman, atau sikap
permusuhan dengan orang lain.
16
Lazarus (1976) menyatakan bahwa kecemasan mempunyai dua
arti, yaitu:
1. Kecemasan sebagai respon, digambarkan sebagai suatu pengalaman
yang dirasakan tidak menyenangkan serta dikuti dengan suasana
gelisah, bingung, khawatir, dan takut. Bentuk kecemasan ini dibedakan
ada dua, yaitu:
a. State anxiety, merupakan gejala kecemasan yang sifatnya tidak
menetap pada diri individu ketika dihadapkan pada situasi tertentu,
gejala ini akan tampak selama situasi tersebut masih ada.
b. Traith anxiety, kecemasan yang tidak tampak langsung dalam
tingkah laku tetapi dapat dilihat frekuensi dan intensitas keadaan
kecemasan individu sepanjang waktu, merupakan kecemasan yang
sifatnya menetap pada diri individu dan timbul dari pengalaman
yang tidak menyenangkan pada awal kehidupan. Kecemasan
tersebut
berhubungan
dengan
kepribadian
individu
yang
merupakan disposisi pada individu untuk menjadi cemas.
2. Kecemasan sebagai intervening variable, dalam hal ini kecemasan lebih
mempunyai arti sebagai motivating solution, artinya situasi kecemasan
tersebut dapat mendorong individu agar dapat mengatasi masalah.
Hudaniyah dan Dayakisna (2009) menyatakan bahwa pada
umumnya kecemasan berwujud ketakutan kognitif, keterbangkitan syaraf
fisiologis dan suatu pengalaman subjektif dari ketegangan atau kegugupan.
Beberapa individu juga mengalami perasaan tidak nyaman dengan
hadirnya orang lain, biasanya disertai dengan perasaan malu yang ditandai
17
dengan kekakuan, hambatan dan kecenderungan untuk menghindari
interaksi sosial. Keadaan individu yang seperti ini dianggap mengalami
kecemasan sosial.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu yang
sangat mengancam yang dapat menyebabkan kegelisahan, ketakutan,
kekhawatiran, ketidaktentuan, perasaan tertekan dan terancam dalam
menghadapi kemungkinan yang akan terjadi pada masa yang akan datang.
2. Pengertian Kecemasan Berbicara di Depan Umum
Kecemasan sering dialami oleh setiap orang. Ada banyak hal yang
menyebabkan seseorang mengalami kecemasan, misalnya cemas saat
memulai suatu hal yang baru karena takut jika melakukan kesalahan,
cemas saat menjalani ujian karena takut gagal, cemas saat presentasi
karena belum ada persiapan, cemas saat berbicara atau mengemukakan
pendapat di depan umum karena takut dianggap tidak bermutu, dan masih
banyak lagi.
Salah satu bentuk kecemasan yang sering terjadi adalah kecemasan
dalam hal komunikasi. Burgoon dan Ruffner (1978) mendefinisikan
kecemasan dalam hal komunikasi sebagai suatu reaksi negatif dari
individu berupa kecemasan yang dialami individu ketika berkomunikasi,
baik berkomunikasi antar pribadi, komunikasi di depan kelas maupun
komunikasi masa. Sejalan dengan itu, Beaty (2000) menyebutkan bahwa
kecemasan berbicara di depan umum merupakan bentuk dari perasaan
takut atau cemas secara nyata ketika berbicara di depan orang-orang
sebagai hasil proses belajar sosial.
18
Perasaan cemas atau grogi saat mulai berbicara di depan umum
adalah hal yang seringkali dialami oleh kebanyakan orang. Bahkan
seseorang yang telah berpengalaman berbicara di depan umum pun tidak
terlepas dari perasaaan ini. Perasaan cemas dapat muncul karena takut
secara fisik terhadap pendengar, yaitu takut ditertawakan orang, takut
bahwa dirinya akan menjadi tontonan orang, takut bahwa apa yang akan
dikemukakan mungkin tidak pantas untuk dikemukakan, dan rasa takut
bahwa mungkin dirinya akan membosankan. Selanjutnya individu tersebut
akan menolak untuk bersosialisasi dengan orang lain.
Menurut Santoso (1998) kecemasan berbicara di depan umum
bersifat subjektif, biasanya ditandai dengan gejala fisik dan gejala
psikologis. Termasuk dalam gejala fisik yaitu tangan berkeringat, jantung
berdetak lebih cepat, dan kaki gemetaran. Kemudian, yang termasuk gejala
psikologis adalah takut akan melakukan kesalahan, tingkah laku yang
tidak tenang dan tidak dapat berkonsentrasi dengan baik. Penelitian
Zimbardo pada Universitas Stanford di California, AS (Rakhmat, 2007)
menyatakan
kecemasan
membuat
individu
merasa
rendah
diri,
meremehkan diri sendiri, menganggap dirinya tidak menarik dan
menganggap dirinya tidak menyenangkan untuk orang lain. Individu yang
cenderung mengalami kecemasan ditandai dengan ketegangan otot dan
adanya tingkat kewaspadaan yang sangat tinggi.
Kecemasan berbicara di depan umum pada mulanya dikenal
dengan istilah “demam panggung” yang difokuskan pada ketakutan untuk
19
berbicara di depan umum. Menurut McCroskey (dalam Devito, 1995)
kecemasan berbicara yang disebut pula sebagai “communication
apprehension (CA)” terbagi atas empat jenis yaitu CA as trait, CA in
generalized context, CA with generalized people, dan CA as a state.
Kecemasan berbicara di depan umum dalam hal ini termasuk dalam jenis
CA in generalized context, dimana individu mengalami kecemasan
berbicara saat berada pada satu situasi tertentu, tetapi tidak pada situasi
lainnya. McCroskey menambahkan, beberapa individu mengalami
kecemasan hanya pada kondisi tertentu, maksudnya ada tipe general dari
kondisi komunikasi yang menimbulkan kecemasan, yaitu komunikator.
Penekanannya adalah bahwa fenomena kecemasan berbicara pada kelas
berpusat pada pembicara. Konteks yang paling banyak ditemui adalah
berbicara di depan umum (public speaking), misalnya memberikan pidato,
presentasi di depan kelas, pada saat pertemuan atau meeting. Individu akan
mengalami
kecemasan
ketika
mulai
membayangkan
sampai
berlangsungnya pengalaman berbicara di depan kelas.
Menurut Nevid (dalam Asrori, 2009) kecemasan adalah rasa
khawatir bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Kecemasan
sebenarnya juga dapat bermanfaat apabila dapat mendorong seseorang
untuk melakukan sesuatu yang lebih baik lagi sebagai wujud antisipasi
dari kecemasannya. Namun jika kadarnya berlebihan, maka kecemasan
dapat menjadi sesuatu hal yang tidak normal yang justru akan
menimbulkan ketidaknyamanan, mengganggu fungsi kehidupan sehari-
20
hari, menimbulkan distress, atau membuat individu menghindari situasi
sosial yang menimbulkan stress bagi individu tersebut (DSM IV, 2000).
Hal ini sejalan dengan pendapat Burgoon dan Raffner (1978) yang
menyatakan bahwa kecemasan merupakan sesuatu yang sehat apabila
kecemasan itu dapat mendorong individu untuk menambah usahanya
supaya dapat melakukan pekerjaan dengan lebih baik. Sebaliknya,
kecemasan yang berlebihan dapat mengganggu individu karena dapat
menghambatnya dalam menggunakan kemampuannya.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa
kecemasan berbicara di depan umum adalah suatu keadaan tidak nyaman
yang
sifatnya
tidak
menetap
pada
diri
individu,
baik
ketika
membayangkan maupun pada saat berbicara di depan orang banyak.
Kecemasan berbicara di depan umum sebaiknya diminimalisir agar
individu
dapat
berbicara
dengan
efektif
dan
dapat
menikmati
kehidupannya dengan lebih baik serta dapat melakukan fungsi sosialnya
dengan lebih baik pula.
3. Aspek-aspek Kecemasan Berbicara di Depan Umum
Beberapa gejala yang di rasakan pada saat seseorang mengalami
kecemasan antara lain detak jantung yang cepat, telapak tangan atau
punggung berkeringat, nafas terengah-engah, mulut kering, sukar menelan,
ketegangan otot (dada, tangan, leher, kaki), tangan atau kaki bergetar,
suara bergetar atau parau, berbicara cepat dan tidak jelas, tidak sanggup
mendengar atau konsentrasi, serta lupa atau ingatan menjadi berkurang.
21
Nevid, dkk. (2005) mengklasifikasikan gejala-gejala kecemasan
dalam tiga jenis gejala yaitu:
a. Gejala fisik dari kecemasan yaitu pusing atau sakit kepala,
kegelisahan, anggota tubuh bergetar, banyak berkeringat, sulit
bernafas, jantung berdetak kencang, merasa lemas, panas dingin,
mudah marah atau tersinggung, dan sakit perut.
b. Gejala behavioral dari kecemasan yaitu berperilaku menghindar,
terguncang, melekat dan dependen
c. Gejala kognitif dari kecemasan yaitu khawatir tentang sesuatu,
perasaan terganggu akan ketakutan terhadap sesuatu yang terjadi
dimasa depan, keyakinan bahwa sesuatu yang menakutkan akan segera
terjadi, ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah,
pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan, sulit berkonsentrasi.
Sejalan dengan pendapat di atas, Rogers (2003) membagi reaksi
kecemasan berbicara menjadi dua gejala umum, yaitu:
a. Reaksi Fisiologis
Reaksi fisiologis adalah reaksi tubuh terutama oleh organ-oran
yang diatur oleh saraf simpatetis seperti jantung, pembuluh darah,
kelenjar, pupil mata, sistem pencernaan, dan sistem pembuangan.
Adanya kecemasan maka akan memicu satu atau lebih organ-organ
dalam tubuh menjadi meningkat fungsinya. Hal ini dapat menimbulkan
peningkatan
jumlah
asam
lambung
selama
kecemasan,
atau
meningkatnya detak jantung dalam memompa darah sehingga jantung
22
berdebar-debar, keluar keringat yang berlebihan, gemetar, sering
buang air, dan sirkulasi darah tidak teratur. Dalam kondisi cemas,
sering individu mengalami rasa sakit yang berkaitan dengan organorgan tubuh yang meningkat fungsinya secara tidak wajar. Misalnya
ujung jari terasa dingin, pencernaan tidak teratur, tidur tidak nyenyak,
nafsu makan hilang, kepala pusing, nafas sesak, mual, dan sebagainya.
b. Reaksi Psikologis
Reaksi psikologis adalah reaksi kecemasan yang biasanya
disertai oleh reaksi fisiologis. Reaksi psikologis dibedakan menjadi
dua gejala yaitu gejala yang terkait dengan proses mental dan gejala
emosional. Gejala yang terkait dengan proses mental misalnya
mengulang-ulang kata, hilang ingatan, melupakan hal-hal yang
penting, tidak dapat memusatkan perhatian, gerakan-gerakan yang
tidak terarah atau tidak pasti, dan pikiran tersumbat. Sedangkan gejala
emosional misalnya rasa takut, tegang, bingung, tidak menentu,
terancam, rendah diri, rasa tidak percaya diri, rasa tidak berdaya, rasa
kehilangan kendali, rasa malu, panik, dan khawatir.
Kecemasan dapat timbul dari situasi apapun yang bersifat
mengancam keberadaan individu. Situasi yang menekan dan menghambat
yang
terjadi
berulang-ulang
akan
mengakibatkan
reaksi
yang
mengecemaskan. Semiun (2006) menyebutkan ada empat aspek yang
mempengaruhi kecemasan secara umum yaitu:
23
a. Aspek Suasana Hati
Aspek-aspek suasana hati dalam gangguan kecemasan adalah
kecemasan, tegang, depresi, mudah marah, panik dan kekhawatiran.
Individu yang mengalami kecemasan, memiliki perasaan akan adanya
hukuman atau bencana yang akan mengancam dari sumber tententu
yang tidak diketahui.
b. Aspek Kognitif
Aspek-aspek kognitif dalam gangguan kecemasan menujukkan
kekhawatiran dan keprihatianan mengenai bencana yang diantisipasi
oleh individu. Misalnya seseorang individu yang takut berada ditengah
khalayak ramai (agorapho), mereka akan menghabiskan banyak waktu
untuk
khawatir
mengenai
hal-hal
yang
tidak
menyenangkan
(mengerikan) yang mungkin terjadi dan kemudian dia merencanakan
bagaimana dia harus menghindari hal-hal tersebut.
c. Aspek Somatik
Aspek-aspek somatik dari kecemasan dapat dibagi menjadi dua
kelompok. Pertama yaitu aspek langsung meliputi mulut kering,
bernapas pendek, denyut nadi cepat, tekanan darah meningkat, kepala
terasa berdenyut-denyut, dan otot terasa tegang. Kedua yaitu apabila
kecemasan berkepanjangan. Hal tersebut mengakibatkan tekanan darah
meningkat secara kronis, sakit kepala, dan gangguan usus (kesulitan
dalam pencernaan, dan rasa nyeri pada perut).
24
d. Aspek Motor
Orang-orang yang cemas sering merasa tidak tenang, gugup, kegiatan
motorik menjadi tanpa arti dan tanpa tujuan. Hal ini dapat dilihat
misalnya jari-jari kaki mengetuk-mengetuk, dan sangat kaget terhadap
suara yang terjadi secara tiba-tiba. Aspek-aspek motor ini merupakan
gambaran rancangan kognitif dan somatik yang tinggi pada individu
dan merupakan usaha untuk melindungi diri dari apa saja yang
dirasanya mengancam.
Sejalan dengan hal tersebut, Atkinson (1996) menyatakan bahwa
kecemasan dapat terjadi karena adanya beberapa aspek sebagai berikut:
a. Threat (ancaman)
Wujudnya berupa ancaman terhadap tubuh, jiwa dan psikisnya,
(seperti kehilangan arti kemerdekaan dan kehidupan) maupun ancaman
terhadap eksistensinya (seperti kehilangan hak). Jadi ancaman ini dapat
disebabkan oleh sesuatu hal yang betul-betul berhubungan dengan
realitas, atau yang tidak berhubungan dengan realitas.
b. Conflict (pertentangan)
Timbul karena adanya dua keinginan yang keadaannya saling bertolak
belakang. Hampir setiap konflik melibatkan dua alternatif atau lebih
yang masing-masing mempun yai sifat approach dan avoidance.
c. Fear (ketakutan)
Kecemasan sering kali muncul karena ketakutan akan sesuatu. Adanya
ketakutan akan kegagalan tersebut dapat menimbulkan kecemasan
misalnya ketika menghadapi ujian atau berbicara di depan kelas.
25
Burgoon dan Ruffner (1978) secara lebih spesifik menerangkan
tentang aspek-aspek kecemasan dalam berkomunikasi sebagai berikut:
a. Unwilingness atau tidak adanya minat untuk ikut berpartisipasi dalam
komunikasi. Individu berusaha untuk menghindar berbicara di muka
umum.
b. Unrewarding yaitu tidak adanya penghargaan dalam berkomunikasi
atau adanya peningkatan hukuman dalam komunikasi sebelumnya.
Kecemasan berkomunikasi disebabkan oleh penolakan dari orang lain.
c. Control yaitu kurangnya kontrol individu terhadap situasi dan
lingkungan komunikasi (termasuk tempat dan peralatan) yang dapat
menyebabkan kecemasan pada pembicara.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
komponen kecemasan berbicara di depan umum terdiri dari aspek
unwilingness, unrewarding, dan control.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Berbicara di Depan
Umum
Menurut Adler dan Rodman (1991) terdapat dua hal yang dapat
menyebabkan seseorang mengalami kecemasan pada saat berbicara di
depan umum, yaitu:
a. Pengalaman negatif di masa lalu, yaitu adanya suatu pengalaman yang
tidak menyenangkan di masa yang lalu mengenai suatu peristiwa yang
dapat terulang kembali di masa mendatang apabila individu tersebut
menghadapi kejadian atau situasi yang sama dan juga tidak
menyenangkan.
26
b. Pikiran yang tidak rasional. Pada saat terjadi kecemasan, bukanlah
kejadiannya yang membuat individu cemas tetapi kepercayaan atau
keyakinan tentang kejadian itulah yang menjadi penyebab kecemasan.
Devito (1995) menyatakan bahwa kecemasan berbicara di depan
umum dapat timbul karena individu membangun perasaan-perasaan
negatif dan memperkirakan hasil-hasil yang negatif sebagai hasil
keterlibatannya dalam interaksi komunikasi. Beberapa faktor yang dapat
menimbulkan kecemasan atau hambatan pada individu untuk berbicara di
depan umum antara lain:
a. Kurangnya Keahlian dan Pengalaman
Seseorang yang mempunyai sedikit pengalaman dan keterampilan atau
sama sekalai tidak mempunyai pengalaman dan keterampilan dalam
menghadapi situasi berbicara di depan umum, maka akan lebih besar
kemungkinannya untuk mengalami kecemasan ketika dihadapkan pada
situasi berbicara di depan umum daripada orang yang sudah
berpengalaman dan mempunyai keterampilan yang berkaitan dengan
berbicara di depan umum.
b. Tingkat Evaluasi
Apabila seseorang mengetahui atau menganggap bahwa dirinya akan
dievaluasi ketika sedang berbicara di depan umum, maka akan
semakin besar kecemasan yang terjadi.
27
c. Status Lebih Rendah
Ketika seseorang merasa bahwa orang lain adalah komunikator yang
lebih baik atau tahu lebih banyak daripada dirinya dalam hal
berkomunikasi di depan umum, maka kecemasan yang muncul pada
diri orang tersebut akan lebih besar.
d. Tingkat Kemungkinan Menjadi Pusat Perhatian
Semakin seseorang merasa dirinya sebagai pusat perhatian, maka akan
semakin besar kemungkinan orang tersebut merasa cemas. Berbicara di
depan umum jauh lebih mencemaskan daripada berbicara di dalam
kelompok kecil. Ketika berbicara di depan umum, seseorang secara
otomatis akan menjadi pusat perhatian.
e. Tingkat Kemungkinan Terprediksi Situasi
Semakin suatu situasi tidak dapat diprediksi, maka semakin besar
kemungkinan munculnya kecemasan berbicara di depan umum.
Terlebih apabila berada dalam situasi baru yang membingungkan dan
tidak dapat diprediksi sebelumnya, maka akan semakin besar pula
kemungkinan timbulnya kecemasan berbicara di depan umum.
f. Tingkat Perbedaan
Ketika seseorang merasa berbeda dengan pendengar atau komunikan,
maka dapat menyebabkan orang tersebut merasa cemas. Semakin besar
perbedaan yang dirasakan seseorang atau komunikator dengan para
komunikan, maka akan semakin besar pula kemungkinan seseorang
mengalami kecemasan.
28
g. Sukses dan Gagal Sebelumnya
Sukses yang dirasakan seseorang sebelumnya pada saat berbicara di
depan umum dapat menurunkan tingkat kecemasan ketika ia berbicara
di depan umum pada kesempatan berikutnya. Demikian pula
sebaliknya, kagagalan berbicara di depan umum sebelumnya dapat
dianggap sebagai peringatan bahwa kemungkinan akan mengalami
kegagalan dalam situasi selanjutnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, praktikan memilih untuk
menggunakan komponen kecemasan yang dikemukakan oleh Rogers
(2003) sebagai karena cakupan gejala atau indikasi kecemasan yang
ditunjukkan lebih luas. Sementara itu salah satu variabel yang akan
digunakan praktikan untuk mengurangi atau mereduksi kecemasan
berbicara di depan umum adalah kecerdasan emosi. Goleman (2009)
menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang
mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan
emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan, kesadaran diri,
pengendalian diri, motivasi, dan keterampilan sosial akan membantu
seseorang dalam mengatasi kecemasan saat berbicara di depan umum. Hal
tersebut diperkuat oleh Sundari (2005) yang berpendapat bahwa
kecerdasan emosi memiliki komponen yang sangat kompleks dan terkait
dengan kemampuan seseorang dalam menggunakan kemampuan dan
potensi emosinya dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam hal ini
adalah kemampuan dan potensi berbicara di depan umum.
29
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ada berbagai
macam teknik untuk mengatasi seseorang yang mengalami kecemasan
berbicara di depan umum.
Utami (1999) menyatakan bahwa untuk
mengatasi kecemasan berbicara di depan umum dapat dilakukan dengan
mengubah pola pikir, meningkatkan kecerdasan emosi, dan meningkatkan
efikasi diri. Sementara itu Agustina, dkk. (2015) menggunakan teknik
pelatihan relaksasi untuk mengatasi kecemasan berbicara di depan umum.
B. Pelatihan Kecerdasan Emosi
1. Pengertian Pelatihan Kecerdasan Emosi
Pelatihan atau training merupakan pengalaman belajar yang
dirancang secara sistematik untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan,
sikap, maupun perilaku yang menghasikan perubahan atau kinerja secara
permanen. Pelatihan juga merupakan proses perubahan pengetahuan,
sikap, ataupun perilaku guna mencapai tujuan organisasi (individu) untuk
menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap mental, dan keterampilan, atau
perilaku tertentu (Widyana, 2011).
Ancok (2007) menyatakan bahwa ada beberapa tahapan yang harus
dilalui agar dalam suatu pelatihan terjadi proses pembelajaran yang efektif,
antara lain:
a. Pembentukan Pengalaman (experience)
Pada tahapan ini peserta dilibatkan dalam suatu kegiatan atau
permainan bersama orang lain. Kegiatan atau permainan ini adalah
salah satu bentuk pemberian pengalaman secara langsung kepada
30
peserta. Hal tersebut yang akan menjadi wahana untuk menimbulkan
pengalaman kognitif, afektif, dan konatif. Melalui pengalaman tersebut
setiap peserta siap untuk memasuki tahapan kegiatan berikutnya yaitu
tahapan pencarian makna (debriefing) melalui kegiatan perenungan.
b. Perenungan Pengalaman (reflect)
Tahap ini bertujuan untuk memproses pengalaman yang telah
diperoleh peserta dari kegiatan yang telah dilakukan. Pada tahap ini
setiap peserta melakukan refleksi tentang pengalaman pribadi yang
dirasakan saat kegiatan berlangsung, baik yang dilakukan secara
intelektual, emosional, maupun fisikal.
c. Pembentukan Konsep (form concept)
Tahap ini bertujuan untuk mencari makna dari pengalaman kognitif,
afektif, dan konatif yang diperoleh melalui keterlibatannya dalam
kegiatan yang dilakukan sebelumnya. Tahapan ini merupakan
kelanjutan tahapan refleksi dengan menanyakan kepada peserta tentang
hubungan antara kegiatan yag dilakukan dan perilaku yang
sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari.
d. Pengujian Konsep (test concept)
Tahap terakhir ini bertujuan untuk merenungkan dan mendiskusikan
sejauhmana konsep yang telah terbentuk di tahap ketiga dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam kehidupan
bersama keluarga, teman, maupun masyarakat (transfer of learning).
Peserta melihat relevansi pengalaman yang telah dialami, kemudian
direfleksikan, dan dikonsepkan sesuai dengan kehidupan sehari-hari.
31
Ada beragam model-model pelatihan kecerdasan emosi yang
disampaikan oleh para tokoh. Gotman (2003) dalam bukunya tentang KiatKiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional
menyatakan ada lima langkah yang dapat digunakan untuk melatih emosi
pada anak antara lain menyadari emosi anak, mengenali emosi sebagai
peluang untuk menjadi akrab dan mengajar, mendengarkan dengan penuh
empati dan menegaskan perasaan-perasaan anak, menolong anak untuk
memberi label emosi-emosi dengan kata-kata, dan menentukan batas-batas
sambil menolong si anak memecahkan masalahnya.
Sejalan dengan hal tersebut Wipperman (2000) menuliskan ide
mengenai cara merangsang kecerdasan emosional dengan sebutan
Kurikulum Sepuluh Langkah Untuk Kebijaksanaan Emosional. Langkahlangkah tersebut antara lain memprioritaskan kesehatan tubuh, menelusuri
perasaan dalam tubuh bukan di otak, membangun otot emosional setiap
hari dengan mengambil waktu untuk fokus pada pengalaman emosional,
menerima semua yang dirasakan, membuka hati bagi orang lain,
mengambil tindakan dengan melakukan berbagai hal yang membuat diri
merasa berguna, mendengarkan dengan empati, menceritakan bagaimana
perasaan kita, menggunakan perubahan sebagai suatu kesempatan untuk
tumbuh dewasa, dan membawa humor kemanapun pergi.
Burke (2004) menyatakan bahwa orang tua dapat membentuk anak
yang bertanggung jawab dengan memanfaatkan kecerdasan emosinya.
Metode yang digunakan dalam pelatihan ini adalah metode preventif dan
32
korektif dalam mengajarkan keterampilan sosial. Anak diajarkan
bagaimana menerima kritik, berbeda pendapat dengan orang lain, meminta
bantuan, meminta ijin, meminta maaf, bergaul dengan orang lain, memberi
dan menerima pujian, serta berbagai keterampilan sosial yang lain. Metode
ini selanjutnya disingkat dengan metode SODAS (Situation, Option,
Disadvantages, Advantages, and Solution). Dengan metode tersebut
diharapkan dapat membantu seseorang untuk berpikir lebih jelas dan
membuat keputusan berdasarkan pada alasan yang kuat.
Goleman (1995), dalam bukunya yang berjudul Kecerdasan
Emosional menerangkan berbagai cara untuk melatih kecerdasan emosi
anak di sekolah dan keluarga. Cara yang ditempuh antara lain dengan
menumbuhkan kesadaran diri, pengambilan keputusan pribadi, mengelola
perasaan, menangani
stress, empati, komunikasi, membuka diri,
pemahaman, menerima diri sendiri, tanggung jawab pribadi, ketegasan,
dinamika kelompok, dan menyelesaikan konflik.
Goleman (2009) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai
kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain dalam
hubungannya dengan orang lain. Pengertian lain disampaikan oleh
Gottman (2003) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosi mencakup
kemampuan untuk mengendalikan dorongan hati, menunda pemuasan,
memberi motivasi diri mereka sendiri, membaca isyarat sosial orang lain,
dan menangani naik turunnya kehidupan. Sejalan dengan pengertian di
atas, Segal (1997) menyatakan bahwa wilayah kecerdasan emosi adalah
33
hubungan pribadi dan antarpribadi serta bertanggung jawab atas harga diri,
kesadaran diri, kepekaan sosial dan kemampuan adaptasi sosial. Sementara
itu menurut Coopeer dan Sawaf (dalam Agustian, 2001) menyatakan
bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami, dan
secara efektif menerapkan daya serta kepekaan emosi sebagai sumber
energi, informasi, koneksi, serta pengaruh yang manusiawi.
Berdasarkan berbagai teori di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pelatihan kecerdasan emosi adalah proses perubahan pengetahuan, sikap,
ataupun perilaku untuk menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap
mental, dan keterampilan, atau perilaku yang penuh kesadaran. Melalui
pelatihan kecerdasan emosi akan membentuk pikiran yang terdidik dan
teratur serta terbiasa berpedoman dalam nilai-nilai positif atau nilai
kebaikan. Emosi cerdas yang terkelola dalam nilai-nilai positif selalu
produktif dan terkendali untuk menghasilkan kinerja dan prestasi terbaik.
Dengan demikian emosi yang cerdas menjadikan seseorang dalam hal ini
khususnya pelajar dapat lebih produktif dan berkualitas sehingga
mendorong perilaku menjadi lebih tenang dalam energi positif. Kondisi ini
akan mendorong seseorang untuk berani menjawab berbagai tantangan
yang dihadirkan oleh kompleksitas kehidupan dan mengembangkan
kemampuan diri untuk menghadapi berbagai peristiwa dan realitas dengan
tindakan yang optimis dan produktif.
34
Melalui pelatihan kecerdasan emosi individu akan mampu untuk
merespon hidupnya dengan optimis, memahami dan menghormati diri
sendiri dan orang lain dengan lebih baik, serta mampu meningkatkan
kualitas diri. Dengan demikian seseorang diharapkan mampu memiliki dan
menerapkan keterampilan personal dan interpersonal dalam kehidupan
sehari-hari dengan lebih baik.
2. Manfaat Pelatihan Kecerdasan Emosi
Menurut Djajendra (2015) pelatihan kecerdasan emosi mampu
membantu individu untuk mempelajari bagaimana kompetensi kecerdasan
emosional mampu meningkatkan kualitas hidup dan membantu meraih
prestasi. Dalam hal ini individu belajar cara menganalisa perilaku diri
sendiri, mengatur reaksi dari orang lain, dan menciptakan perilaku yang
seimbang dalam menjalani peran kehidupan. Melalui pelatihan kecerdasan
emosi, individu akan belajar cara mengadopsi strategi untuk mencegah
masuknya emosi negatif ke dalam diri dan cara mengganti pikiran yang
merusak dengan pikiran yang kuat.
Imadayani (2009) menyatakan bahwa pelatihan kecerdasan emosi
dapat meningkatkan kepercayaan diri pada remaja. Melalui pelatihan
tersebut peserta akan belajar tentang hal-hal yang diperlukan untuk bisa
percaya pada diri sendiri dan cara untuk mendapatkan motivasi. Mereka
akan dilatih untuk menangani perasaan takut, perasaan marah, dan cara
untuk meningkatkan harga diri. Sejalan dengan hal tersebut Saptoto (2010)
menyatakan bahwa pelatihan kecerdasan emosi dapat meningkatkan
35
kemampuan coping adaptif pada pelajar SMU. Melalui pelatihan
kecerdasan emosi mereka belajar untuk dapat membantu orang lain
dengan meminimalkan konflik emosional dan mengelola hubungan.
Peserta belajar cara mengendalikan pengaruh orang lain dan mengelola
emosi pelarian atau emosi liar, serta memandu interaksi dan komunikasi
untuk saling menghormati dan tidak saling menyakitkan. Peserta belajar
cara memonitor hubungan dirinya dengan orang lain dan menyadari
konsekuensinya.
Nurdin (2009) menyatakan bahwa pelatihan kecerdasan emosi
dapat meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial siswa. Melalui
pelatihan kecerdasan emosi siswa belajar untuk memahami pentingnya
interaksi dan komunikasi positif dengan orang lain dan apa yang
diperlukan untuk menjalin hubungan positif yang penuh empati. Siswa
belajar cara berkomunikasi dengan kekuatan empati dan memperkuat
hubungan melalui tata krama yang etis dengan orang lain. Siswa juga
belajar cara mengakui orang lain dan meningkatkan kontribusi dalam
setiap hubungan.
Menurut Salovey (dalam Goleman, 2009), ada beberapa aspek
yang berperan penting dalam pelatihan kecerdasan emosi antara lain:
a. Mengenali Emosi Diri atau Kesadaran Diri
Mengenali emosi diri atau kesadaran diri yaitu mengenali
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi atau dengan kata lain berarti
waspada terhadap suasana hati maupun pikiran kita tentang suasana
hati untuk selanjutnya dapat mengupayakan sikap atau tindakan yang
36
tepat. Goleman (2009) menyatakan bahwa dalam kondisi terbaik,
pengamatan diri memungkinkan adanya semacam kesadaran yang
mantap terhadap perasaan penuh nafsu atau gejolak. Pada titik
terendah, kesadaran diri memastikan dirinya semata-mata sebagai
sedikit langkah mundur dari pengalaman. Waspada terhadap apa yang
terjadi bukannya tenggelam dan hanyut di dalamnya. Keadaan sadar
diri berarti bersikap peduli, peka akan reaksi pribadi, dan tidak
berlebihan dalam menanggapi sesuatu yang terjadi. Sedangkan tidak
sadar diri merupakan kebalikan dari sikap peduli dengan lingkungan,
acuh, tanpa perasaan, dan memperkecil pengalaman kesadaran
emosional. Setiap orang memiliki pengalaman kesadaran emosional
yang berbeda. Bagi sebagian orang, kesadaran emosi merupakan
keadaan yang mendesak, sementara bagi yang lain hampir tidak terasa.
Menurut Mayer (dalam Goleman, 2009), gaya-gaya yang khas
dalam menangani emosi seseorang, adalah sebagai berikut:
1) Sadar diri, adalah peka akan suasana hati ketika mengalami suatu
peristiwa, berpendapat positif tentang kehidupan serta tidak larut
dalam kesedihan. Ketajaman pola pikir yang menjadi penyeimbang
untuk mengatur emosi diri. Maka, apabila suasana hati sedang
dalam keadaan tidak baik, diri menanggapinya dengan biasa, tidak
risau, tidak larut ke dalamnya, serta mampu membawa diri agar
merasa lebih nyaman.
37
2) Tenggelam dalam permasalahan, adalah merasa dikuasai oleh
emosi, tidak peka akan perasaan sehingga larut dalam perasaan
serta tidak mempunyai kendali atas emosi diri. Seseorang menjadi
mudah marah, larut dengan keadaan yang dialami, tidak peka akan
perasaan diri sehingga tidak mencari perspektif baru, dan terkesan
kurang berupaya melepaskan diri dari suasana hati yang tidak baik.
3) Pasrah, adalah peka terhadap suasana hati dan menerimanya begitu
saja serta tidak berusaha mengubahnya.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan menangani perasaan
agar dapat terungkap dengan tepat.
Apabila emosi tidak dikelola
dengan tepat atau tidak dikendalikan dengan baik sehingga menjadi
terlalu ekstrim dan terus menerus maka dapat menyebabkan depresi,
cemas yang berlebihan, amarah yang meluap-luap, serta gangguan
emosional yang berlebihan. Normalnya individu harus memiliki emosi
yang wajar, yakni keadaan yang mampu menyeimbangan antara
perasaan dan lingkungan. Jika emosi tidak dikendalikan maka emosi
akan menimbulkan depresi, cemas berlebihan, dan amarah. Pemicu
hal-hal tersebut umumnya adalah perasaan terancam bahaya. Ancaman
tersebut bukan hanya dipicu secara fisik langsung, melainkan juga
secara simbolik, diperlakukan tidak adil, dicaci-maki atau diremehkan.
Hal-hal tersebut bagi individu merupakan pilihan, apakah tetap berada
pada gelombang emosi, mengupayakan meredam diri atau menjauhkan
diri dari serangan kekhawatiran dan kecemasan.
38
c. Memotivasi Diri Sendiri
Memotivasi diri sendiri merupakan kemampuan individu dalam
mengarahkan dan mendorong segala daya upaya dirinya bagi
pencapaian tujuan yang diharapkan. Orang yang mampu memotivasi
diri untuk menata emosi dengan baik cenderung lebih produktif dan
efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan. Menurut Fred (2006),
motivasi diri adalah tetap pada tujuan yang diinginkan, mengatasi
impuls emosi negatif, dan menunda kesenangan sesaat untuk
memperoleh hasil yang diinginkan. Tujuan yang ditetapkan seseorang
yang mampu memotivasi diri akan dicapai dengan penuh optimis,
karena pribadi yang memiliki motivasi berarti mengandaikan tujuan
sebagai jalan yang wajib dilalui dalam berkendara. Memotivasi diri
diwujudkan dalam sikap antusias, penuh gairah, optimis dan yakin
akan diri sendiri, bersosialisasi dengan mantap, tidak mudah gelisah
dan takut, simpatik dan hangat dalam berhubungan serta nyaman
dengan diri sendiri dan orang lain. Peran individu dalam memotivasi
diri dalam kehidupan terlihat ketika seseorang menghadapi suatu
problem yang membuat dia berada dalam posisi memilih. Individu
bermotivasi tinggi akan tetap tekun dan gigih dalam menghadapi
tantangan. Daya dorongan hati yang tidak sejalan dengan harapan akan
diperkecil kemunculannya. Sebaliknya jika seseorang tidak memiliki
motivasi akan mengikuti pola arus yang telah ada, kurang
berkosentrasi, dan mudah menyerah.
39
d. Mengenali Emosi Orang Lain atau Empati
Mengenali emosi orang lain adalah kemampuan menangkap
tanda
sosial
sehingga
mengetahui
apa
yang
dilakukan,
dibutuhkan/dikehendaki orang lain. Kemampuan ini dapat disebut juga
sebagai kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk memahami
perasaan orang lain. Kunci untuk memahami perasaan orang lain
adalah mampu membaca pesan non verbal dari lawan bicara. Misalnya
nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah, posisi tubuh, dan lain-lain.
e. Membina Hubungan dengan Orang Lain
Membina hubungan dengan orang lain yaitu kemampuan untuk
menangani emosi dengan baik ketika berhubungan atau berinteraksi
dengan orang lain secara cermat serta mampu membaca situasi dan
jaringan sosial yang ada di sekitarnya. Menurut Goleman (2009) suatu
tata krama menimbulkan norma, salah satunya adalah meminimalkan
tampilan emosi di hadapan orang lain, tidak cemberut dan
mengerutkan dahi. Karena tampilan emosi memiliki konsekuensi
langsung atas pengaruh yang ditimbulkannya pada orang lain. Aturan
bagaimana menyembunyikan emosi, menggantinya dengan perasaan
bohong yang tidak menyakitkan adalah lebih dari tata karma sosial.
Mengikuti aturan dengan baik berarti mengoptimalkan pengaruhnya,
melaksanakannya dengan buruk berarti menimbulkan kekacauan
emosi.
Keterampilan
kita
dalam
mengirimkan
isyarat-isyarat
emosional dalam berhubungan dengan orang lain mempengaruhi
40
kualitas hubungan tersebut. Semakin terampil seseorang secara sosial
maka semakin baik dalam mengendalikan sinyal yang dikirim dalam
bahasa verbal maupun non verbal. Kadar hubungan emosi dapat
dirasakan dalam suatu percakapan, rapi dalam koordinasi gerakan fisik
saat berbicara. Keterampilan antarpribadi yang baik dapat menjalin
hubungan sosial menjadi lancar, cakap memantau ungkapan emosi diri
maupun orang lain, selalu berupaya menyetarakan diri terhadap
bagaimana orang lain bereaksi, serta memiliki kepekaan akan perasaan
dan kebutuhan diri.
3. Tahapan dan Prosedur Pelatihan Kecerdasan Emosi
Pelatihan kecerdasan emosi yang dilakukan dengan pendekatan
kelompok ini akan menggunakan konsep experiental learning. Dalam hal
ini menurut Johnson & Johnson (2001) perilaku manusia terbentuk
berdasarkan hasil pengalaman yang terlebih dahulu dimodifikasi untuk
menambah efektivitas. Semakin lama perilaku menjadi suatu kebiasaan
dan berjalan otomatis, maka individu semakin berusaha memodifikasi
perilaku yang sesuai dengan situasi.
Materi pelatihan kecerdasan emosi yang akan dilaksanakan dalam
penelitian ini disusun oleh peneliti dengan mengacu pada indikator
kecerdasan emosi yang dikembangkan oleh Goleman (2009), antara lain:
1. Kesadaran diri, tujuannya agar peserta mampu memahami arti dan
makna kesadaran diri sehingga dapat mengenali perasaan diri sendiri
sewaktu perasaan itu terjadi.
41
2. Pengaturan diri, tujuannya agar peserta mampu memahami arti dan
makna pengaturan diri sehingga dapat mengenali perasaan yang
sedang terjadi untuk selanjutnya dapat mengekspresikannya dengan
baik.
3. Memotivasi diri, tujuannya agar peserta mampu untuk memotivasi atau
memberikan semangat untuk dirinya sendiri di setiap situasi dalam
kehidupannya.
4. Empati, tujuannya agar peserta mampu untuk mengenali emosi orang
lain sehingga dapat merasakan perasaan yang sedang dialami oleh
orang lain.
5. Keterampilan sosial, tujuannya agar peserta memiliki keterampilan
sosial sehingga dapat mengatur suasana hati dan dapat menjalin
hubungan baik dengan orang lain.
Pelatihan kecerdasan emosi yang akan dilaksanakan terdiri atas
lima sesi dengan durasi waktu selama enam setengah jam.
a. Sesi pertama diawali dengan perkenalan dan ice breaker (menyanyi
bersama). Ice breaker dimaksudkan untuk menghilangkan kebekuan
diantara peserta dalam suatu pelatihan. Dengan demikian diharapkan
mereka akan dapat saling mengenal, mengerti, dan dapat saling
berinteraksi dengan baik satu sama lain. Tujuan dilaksanakannya ice
breaker adalah 1) agar tercipta kondisi-kondisi yang equal (setara)
antara sesama peserta dalam forum pelatihan; 2) menghilangkan sekatsekat pembatas diantara peserta sehingga tidak ada lagi anggapan
bahwa ada yang merasa lebih pintar, ada yang merasa bodoh, ada
42
yang merasa kaya, dan lain sebagainya, yang ada hanyalah kesamaan
kesempatan untuk maju; 3) terciptanya kondisi yang dinamis di antara
peserta; 4) menimbulkan kegairahan atau motivasi antara sesama
peserta untuk melakukan aktivitas bersama selama pelatihan
berlangsung (Sunarno, 2005).
b. Sesi kedua diisi dengan orientasi. Sesi orientasi yang dimaksud adalah
suatu proses pemberian pemahaman kepada peserta tentang segala
sesuatu yang bekaitan dengan pelatihan yang sedang dilaksanakan.
Tujuan dari sesi orientasi adalah 1) menghilangkan kebingungan
peserta tentang apa yang sebenarnya sedang mereka ikuti; 2)
meluruskan motivasi awal peserta untuk mengikuti pelatihan; 3)
memberikan pemahaman tentang hal-hal apa saja yang seharusnya
peserta lakukan selama mengikuti pelatihan; 4) memberikan gambaran
ringkas tentang hal-hal yang akan peserta temui selama mengikuti
pelatihan
(dengan
tidak
memberitahu
hal-hal
yang
sangat
rahasia/esensial); 5) memunculkan komitmen dan kesediaan peserta
untuk mengikuti acara pelathan dari awal sampai akhir denagn penuh
perhatian dan kesadaran diri (Sunarno, 2005). Tahap selanjutnya diisi
dengan permainan yang berhubungan dengan indikator kecerdasan
emosi.
c. Sesi ketiga diisi dengan ceramah tentang tujuan, dan manfaat
pelatihan, serta penjelasan tentang metode dan teknik pelaksanaan
pelatihan. Hal ini bertujuan agar peserta memahami tujuan dan
manfaat pelatihan serta dapat mengikuti setiap sesi pelatihan sesuai
43
dengan prosedur yang telah ditentukan. Selain itu, melalui metode
ceramah dapat menambah pengetahuan dan wawasan kepada peserta
sehingga dapat mengubah struktur kognitif peserta. Setelah ceramah
dilanjutkan diskusi tentang pentingnya kecerdasan emosi. Peserta
dikondisikan untuk saling menasihati sesama responden terdekat
secara bergantian. Sebelum sesi ketiga usai, acara diisi dengan
penayangan video motivasi terkait materi kecerdasan emosi. Pemilihan
metode ceramah dalam penelitian ini didasarkan pada pendapat
Simamora (2006) yang menyatakan bahwa metode ceramah adalah
penyajian informasi secara lisan dan merupakan bentuk pelatihan yang
paling umum. Metode ceramah memungkinkan untuk menyajikan
cakupan dan materi yang luas dalam jangka waktu terbatas. Teknik
ceramah dianggap paling tepat dilakukan untuk memberikan informasi
yang sangat banyak kepada sejumlah orang dengan efisien. Dalam
metode ceramah dapat pula disertakan media lain seperti notebook,
hand out, infocus, dan alat peraga. Kelebihan metode ceramah antara
lain: 1) dapat mengkomunikasikan minat intrinsik dan antusiasme
terhadap materi bahasan yang dapat meningkatkan minat partisipan
dalam proses pelatihan; 2) dapat mencakup materi selain yang sudah
ada sebelumnya; 3) dapat menjangkau lebih banyak pendengar
sekaligus; 4) pelatih dapat bertindak sebagai model yang efektif bagi
peserta; 5) mudah mengendalikan materi yang disampaikan. Dalam
kesehariannya proses belajar mengajar yang dilakukan pada sekolah
yang akan diteliti menggunakan metode ceramah. Dengan demikian
44
perlakuan dengan pelatihan kecerdasan emosi pada kelompok
intervensi dilakukan dengan bentuk ceramah serta dilanjutkan dengan
diskusi sensitivitas (sensitivity training). Menurut Simamora (2006),
diskusi sensitivitas adalah metode untuk meningkatkan sensitivitas
antar pribadi melalui diskusi yang terbuka dan jujur tentang perasaan,
sikap, dan perilaku peserta pelatihan. Dalam sesi ini para peserta
pelatihan didorong untuk memberitahu peserta lain (pasangannya)
secara terbuka tentang bagaimana sikap dan perilakunya. Selanjutnya
pasangan memberikan penilaian serta masukan terhadap sikap dan
perilaku tersebut. Tujuan dari metode diskusi sensitivitas ini adalah
agar peserta pelatihan mampu mengubah perasaan, sikap, kebiasaan,
dan perilaku ke arah yang lebih baik.
d. Sesi keempat diisi dengan penyampaian kesimpulan akan pentingnya
kecerdasan emosi dalam kehidupan sehari-hari. Tahap selanjutnya diisi
dengan penyampaian pesan dan kesan responden terhadap pelatihan.
Peneliti juga meminta responden untuk memberikan masukan terkait
jalannya pelatihan untuk peningkatan kualitas pelaksanaan pelatihan
berikutnya.
e. Sesi kelima diisi dengan muhasabah yaitu pemutaran video motivasi
terkait materi kecerdasan emosi. Pemilihan metode muhasabah dalam
akhir sesi pelatihan bertujuan untuk mengistirahatkan pikiran, hati, dan
fisik, agar memperoleh stamina, energi, gelora, harapan, dan motivasi
baru. Sehingga diharapkan setelah mengikuti pelatihan, peserta dapat
lebih memperbaiki diri dan tidak mengulangi kesalahan pada masa
45
yang akan datang (Bachrun, 2011). Sementara itu, pemilihan metode
video didasarkan pada banyaknya manfaat yang akan didapat dari
penggunaan media film atau video jika diterapkan dalam pelatihan
maupun saat proses pembelajaran. Menurut Arsyad (2013) ada tujuh
keuntungan menggunakan media film dan video, yaitu: 1) Melengkapi
pengalaman-pengalaman dasar dari peserta ketika mereka membaca,
berdiskusi, berpraktik, dan lain-lain. Film merupakan pengganti alam
sekitar dan bahkan dapat menunjukkan objek yang secara normal tidak
dapat dilihat, 2) Menggambarkan suatu proses secara tepat yang dapat
disaksikan secara berulang-ulang jika dipandang perlu, 3) Selain
mendorong dan meningkatkan motivasi, film dan video menanamkan
sikap dan segi-segi afektif lainnya, 4) Mengandung nilai-nilai positif
yang dapat mengundang pemikiran dan pembahasan dalam kelompok,
5) Dapat menyajikan peristiwa yang berbahaya bila dilihat secara
langsung, 6) Dapat ditunjukkan kepada kelompok besar atau kelompok
kecil, kelompok heterogen, maupun perorangan, serta 7) Melalui
penayangan gambar frame demi frame, film yang dalam kecepatan
normal memakan satu minggu dapat ditampilkan secara singkat dalam
beberapa menit saja.
Setelah semua sesi selesai, peneliti mengakhiri sesi kelima dengan ucapan
terima kasih sekaligus menutup proses pelatihan. Pelaksanaan sesi-sesi
dalam pelatihan dijelaskan dalam Tabel 1:
46
Tabel 1
Tabel Pelaksanaan Pelatihan
Sesi Pelatihan
Waktu
Metode Pelatihan
a. Perkenalan
Pembukaan
60 menit
b. Ice Breaker: Brain Gym
c. Penjelasan kegiatan
d. Kontrak & peraturan pelatihan
a. Ceramah, simulasi, diskusi
Sesi:
Kesadaran dan
90 menit
Pengaturan Diri
Istirahat 1
b. Permainan “Kayu Jatuh”
c. Sesi Hening
d. Lembar kerja subjek
15 menit
a. Video “Jangan Menyerah”
Sesi:
60 menit
b. Ceramah, diskusi
c. Video “Every One is Number 1”
Memotivasi Diri
d. Lembar kerja subjek
Istirahat 2
30 menit
a. Senam Chicken Dance
Sesi:
Empati dan
60 menit
Keterampilan Sosial
b. Video
“Penyandang
DMD
Berprestasi”
c. Ceramah, diskusi
d. Lembar kerja subjek
a. Muhasabah:
instrumentalia
“Bismillah”
Penutupan
75 menit
b. Video narasi “The Eagle”
c. Sesi Cooling Down (Release)
d. Evaluasi pelatihan
e. Ucapan terima kasih
Total
390 menit
47
C. Pelatihan Kecerdasan Emosi untuk Menurunkan Kecemasan
Berbicara di Depan Umum pada Siswa
Pelajar sebagai generasi penerus bangsa akan sangat diharapkan ide
dan gagasannya dalam mengisi pembangunan. Untuk mengungkapkan ide dan
gagasan tersebut diantaranya dibutuhkan kemampuan berbicara di depan
umum. Namun kenyataannya berbeda, banyak pelajar yang masih takut
berbicara di depan umum. Kecemasan berbicara di depan umum sangatlah
umum terjadi baik di kalangan siswa, mahasiswa, dan masyarakat umum. Jika
hal ini terjadi pada pelajar atau siswa, maka dapat mengakibatkan siswa
cenderung menghindari mata pelajaran tertentu atau bahkan jurusan tertentu
yang memerlukan presentasi lisan. Dampaknya ke depan dapat pula
mengakibatkan mereka memutus terhadap suatu jurusan atau karir tertentu
yang memerlukan kemampuan untuk berbicara di depan umum serta dapat
pula mengakibatkan mereka menghindari kontak atau kegiatan sosial di
masyarakat.
Menurut Osborne (2004) perasaan cemas ini muncul karena takut
secara fisik terhadap pendengar, yaitu takut ditertawakan orang, takut bahwa
dirinya akan menjadi tontonan orang, takut bahwa apa yang akan
dikemukakan mungkin tidak pantas untuk dikemukakan, dan rasa takut bahwa
mungkin dirinya akan membosankan. Menurut Santoso (1998) kecemasan
berbicara di depan umum bersifat subjektif, biasanya ditandai dengan gejala
fisik dan gejala psikologis. Termasuk dalam gejala fisik yaitu tangan
berkeringat, jantung berdetak lebih cepat, dan kaki gemetaran. Kemudian,
48
yang termasuk gejala psikologis adalah takut akan melakukan kesalahan,
tingkah laku yang tidak tenang dan tidak dapat berkonsentrasi dengan baik.
Penelitian Zimbardo pada Universitas Stanford di California, AS menyatakan
kecemasan membuat individu merasa rendah diri, meremehkan diri sendiri,
menganggap dirinya tidak menarik dan menganggap dirinya tidak
menyenangkan untuk orang lain. Individu yang cenderung mengalami
kecemasan ditandai dengan ketegangan otot dan adanya tingkat kewaspadaan
yang sangat tinggi. Kemudian, individu tersebut akan menolak untuk
bersosialisasi dengan orang lain, keadaan individu akan membaik ketika
ketegangannya berkurang (Rakhmat, 2007).
Individu yang pemalu dan cemas secara sosial cenderung untuk
menarik diri dan tidak efektif dalam interaksi sosial, ini dimungkinkan karena
individu tersebut mempersepsi akan adanya reaksi negatif. Kecemasan
merupakan suatu kekurangan dalam hubungan sosial, karena individu yang
gugup (nervous) dan terhambat mungkin menjadi kurang efektif secara sosial,
misalnya ketika individu mengalami nervous, individu tersebut mungkin
menunjukkan indikasi-indikasi seperti gemetar, gelisah, menghindari orang
lain, tidak lancar berbicara dan kesulitan konsentrasi (Dayakisna &
Hudaniyah, 2009).
Sundari (2005) menyatakan bahwa kecemasan timbul karena
manifestasi perpaduan bermacam-macam emosi. Oleh karena itu upaya
penanggulangannya juga melibatkan faktor emosi. Penelitian lainnya
dilakukan oleh Spielberger, Liebert, dan Morris (dalam Elliot, 1999) dalam
suatu percobaan konseptual menunjukkan bahwa kecemasan yang dialami
49
oleh individu terdiri atas dua dimensi utama yaitu kekhawatiran dan
emosionalitas.
Kecemasan berbicara di depan umum bukan hanya disebabkan oleh
ketidakmampuan individu dalam berkomunikasi. Namun sering disebabkan
juga oleh pikiran negatif dan irasional (Rahayu, dkk. 2004), kestabilan emosi
(MacIntyre & Thiviegre, dalam Roach, 1999), keyakinan atau kepercayaan
diri (Matindas dalam Astrid, 2003), perbedaaan jenis kelamin ((Elliot &
Chong dalam Astrid, 2003), pengalaman yang tidak menyenangkan serta
kurangnya pengalaman (Burgoon & Ruffner dalam Dewi & Andrianto, 2003).
Oleh karena itu untuk mengatasi seseorang yang mengalami kecemasan
berbicara di depan umum dapat dilakukan dengan mengubah pola pikir,
meningkatkan kecerdasan emosi, dan meningkatkan efikasi diri (Utami, 1999).
Penelitian yang dilakukan oleh Goleman (2009) menyatakan bahwa
faktor kecerdasan emosi berpengaruh pada tingkat kecemasan berbicara di
depan umum. Menurutnya kemampuan seseorang mengatur kehidupan
emosinya
dengan
inteligensi,
menjaga
keselarasan
emosi
dan
pengungkapannya melalui keterampilan, kesadaran diri, pengendalian diri,
motivasi, dan keterampilan sosial, akan membantu seseorang dalam mengatasi
kecemasan saat berbicara di depan umum. Pendapat tersebut didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2015) yang menyatakan bahwa
teknik relaksasi merupakan salah satu upaya untuk dapat mengurangi
kecemasan berbicara di depan umum. Selama relaksasi subjek akan
dikondisikan untuk mengenali dan mengelola emosi mereka agar dapat
mengurangi ketegangan. Proses mengenali dan mengelola emosi merupakan
50
bagian dari aspek kecerdasan emosi yang bertujuan agar subjek waspada
terhadap suasana dan hati pikiran untuk selanjutnya dapat menangani dan
mengungkapkannya dengan cara yang tepat. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Nevid, Rathus, dan Greene (2005) yang menyatakan bahwa
kecemasan adalah suatu keadaan emosional atau keadaan khawatir yang
mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Seseorang yang
memiliki kecerdasan emosi akan dapat menempatkan emosinya pada porsi
yang tepat, memilah kepuasan, dan mengatur suasana hati.
Wahyuni (2014) mengemukakan bahwa ada hubungan antara
kepercayaan diri dengan kecemasan berbicara di depan umum. Kepercayaan
diri berkaitan erat dengan upaya seseorang dalam memotivasi diri. Orang yang
percaya diri akan mampu memotivasi dirinya untuk menata emosi dengan
baik, cenderung lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka
kerjakan. Hal tersebut diwujudkan dalam sikap antusias, penuh gairah, optimis
dan yakin akan diri sendiri, bersosialisasi dengan mantap, tidak mudah gelisah
dan takut, simpatik dan hangat dalam berhubungan serta nyaman dengan diri
sendiri dan orang lain (Freud, 2006).
Fatma (2008) menunjukkan bahwa melalui pendekatan
perilaku
kognitif dapat mengelola kecemasan berbicara di depan umum. Perilaku
kognitif memegang peran penting dalam kemampuan berempati.
Empati
melibatkan aspek kognitif untuk mampu menangkap tanda sosial misalnya
membaca pesan non verbal dari lawan bicara sehingga mengetahui apa yang
dilakukan, dibutuhkan/dikehendaki orang lain.
51
Djajendra (2015) menyatakan bahwa melalui pelatihan kecerdasan
emosi individu tidak lagi merasa cemas ketika diminta untuk berbicara di
depan umum. Mereka dapat berpikir tentang interaksi masa depan mereka
dengan cara yang baru untuk meningkatkan keterampilan komunikasi mereka
sehingga akan mendapatkan lebih banyak keuntungan dari kehidupan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Goleman (2009) yang menyatakan bahwa salah satu
aspek kecerdasan emosi adalah keterampilan membina hubungan dengan
orang lain. Hal tersebut akan mendorong seseorang untuk dapat menangani
emosi dengan baik ketika berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain
secara cermat serta mampu membaca situasi dan jaringan sosial yang ada di
sekitarnya.
Berdasarkan beberapa penelitian di atas maka intervensi untuk
menurunkan tingkat kecemasan berbicara di depan umum salah satunya
dengan cara memberikan pelatihan kecerdasan emosi kepada para siswa.
Apabila para pelajar sebagai generasi penerus bangsa tidak lagi mengalami
kecemasan ketika berbicara di depan umum, maka diharapkan mereka akan
memiliki kesadaran diri, mampu mengatur diri, memotivasi diri, mampu
berempati, dan memiliki keterampilan sosial yang baik sehingga dapat
menyampaikan ide dan gagasannya dengan lebih mantab dan percaya diri
untuk mengisi pembangunan.
Setiap sesi dalam pelatihan diharapkan dapat berkontribusi terhadap
penurunan kecemasan berbicara di depan umum pada siswa. Misalnya melalui
sesi kesadaran diri atau mengenali emosi. Siswa akan dilatih untuk dapat
bersikap peduli, peka akan reaksi pribadi, dan tidak berlebihan dalam
52
menanggapi sesuatu yang terjadi. Aktivitas tersebut sesuai dengan pendapat
Goleman (2009) yang menyatakan bahwa mengenali emosi berarti waspada
terhadap apa yang terjadi, bukannya tenggelam dan hanyut di dalamnya.
Setelah mengenali emosinya, selanjutnya siswa dilatih untuk dapat
mengelola emosi dengan lebih tepat melalui sesi mengelola emosi. Emosi
yang terjadi akan dapat dikendalikan dengan lebih baik sehingga tidak akan
meluap secara ekstrim. Misalnya ketika presentasi di depan kelas, materi
dianggap tidak penting oleh sekelompok teman. Siswa yang mampu
mengelola emosi dengan baik akan bersikap sewajarnya dan tidak berlebihan
menanggapi hal tersebut. Kondisi ini akan membuat tetap rileks, percaya diri,
menghindarkan dari depresi, cemas yang berlebihan, amarah yang meluapluap, serta gangguan emosional yang berlebihan. Dengan demikian siswa tetap
dapat menyelesaikan presentasi dengan lancar. Hal ini sesuai dengan pendapat
Goleman (2009) yang menyatakan bahwa emosi yang tidak dikendalikan akan
menimbulkan depresi, cemas berlebihan, dan amarah.
Sesi motivasi diri akan membantu siswa untuk mampu menentukan
pilihan yang tepat pada saat dihadapkan pada suatu permasalahan.
Kemampuan memotivasi diri akan membuat seseorang memiliki motivasi
yang tinggi pula dalam hidupnya sehingga akan mendorong individu untuk
tetap tekun dan gigih dalam menghadapi tantangan. Misalnya ketika tiba-tiba
diminta untuk berbicara di depan orang banyak, sering muncul ketakutan
ditertawakan, disalahkan, dan lain sebagainya. Maka siswa yang mampu
memotivasi diri akan dapat merespon ketakutan itu sebagai tantangan yang
harus dihadapi untuk meningkatkan kompetensi. Selain itu siswa juga akan
53
berusaha untuk memperkecil setiap peluang kemunculan ketakutan dan
kekhawatiran yang justru akan menghambatnya. Menurut pendapat Freud
(2006), peran individu dalam memotivasi diri terlihat ketika menghadapi
problem yang membuatnya berada dalam posisi memilih. Individu bermotivasi
tinggi akan tetap tekun dan gigih dalam menghadapi tantangan serta mampu
memperkecil kemunculan dorongan hati yang tidak sejalan dengan
harapannya.
Sesi empati akan melatih siswa untuk memahami perasaan orang lain.
Siswa diharapkan mampu membaca pesan non verbal dari lawan bicara
meliputi nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah, posisi tubuh, dan lain-lain.
Misalnya saat presentasi di depan kelas, ada beberapa teman yang menguap
atau berulang kali melihat jam dinding. Dalam kondisi tersebut maka siswa
diharapkan dapat segera tanggap bahwa mungkin cara penyampaian materinya
monoton atau menjemukan sehingga orang lain mulai jenuh dengan apa yang
disampaikannya. Apabila ini terjadi maka siswa harus segera mengubah
metode presentasinya. Misalnya dengan memberikan jeda untuk menyanyi,
permainan, atau spontanitas lainnya yang bersifat dapat me-recharge
semangat teman yang lain sehingga mau mengikuti presentasi dengan
antusias. Goleman (2009) yang menyatakan bahwa individu yang mampu
berempati ditandai dengan kemampuannya menangkap tanda sosial sehingga
dapat mengetahui apa yang dilakukan, dibutuhkan, atau dikehendaki oleh
orang lain.
54
Sesi membina hubungan dengan orang lain akan melatih siswa untuk
dapat lebih terampil dalam mengirimkan isyarat-isyarat emosional ketika
berhubungan dengan orang lain sehingga akan berpengaruh pada kualitas
hubungan tersebut. Semakin terampil seseorang secara sosial maka semakin
baik dalam mengendalikan sinyal yang dikirim dalam bahasa verbal maupun
non verbal. Misalnya saat orang menganggap tidak penting terhadap materi
yang sedang disampaikan dengan memberikan komentar negatif, maka
melalui pelatihan ini diharapkan siswa dapat meresponnya dengan cara yang
lebih positif menggunakan diksi atau pilihan kata yang tepat disertai ekspresi
wajah yang tetap santun dan ramah. Hal ini sejalan dengan pendapat Goleman
(2009) menyatakan bahwa keterampilan membina hubungan dengan orang
lain dapat menjalin hubungan sosial menjadi lancar, cakap memantau
ungkapan emosi diri terhadap bagaimana orang bereaksi, serta memiliki
kepekaan akan perasaan dan kebutuhan diri.
Diharapkan dengan diberikannya pelatihan kecerdasan emosi tersebut
maka pelajar akan mampu menurunkan kecemasan berbicara di depan umum.
Pelajar akan lebih mampu mengenali atau mendeteksi sejak awal perasaan
yang dialaminya ketika berbicara di depan umum untuk selanjutnya dapat
mengatur respon yang akan diberikan terkait dengan apa yang sedang
dirasakannya. Pelajar juga akan dapat memotivasi dirinya untuk berusaha
melawan segala bentuk perasaan cemas yang dialaminya ketika berbicara di
depan umum. Disamping hal tersebut, pelajar juga akan belajar untuk
menempatkan dirinya pada posisi orang lain yang mengalami kecemasan
55
ketika harus berbicara di depan umum. Dengan demikian mereka tidak akan
melakukan hal-hal yang sekiranya dapat menambah kecemasan ataupun
perasaan tidak nyaman pada orang lain saat berbicara di depan umum. Selain
itu melalui pelatihan kecerdasan emosi tersebut pelajar akan dilatih untuk
memiliki keterampilan sosial sehingga dapat menjalin hubungan yang lebih
baik dengan orang lain sehingga dapat meningkatkan kualitas dalam interaksi
sosialnya.
D. Landasan Teori
Banyak permasalahan kompleks dan sulit yang harus dihadapi oleh
pelajar sebagai generasi penerus sekaligus pengisi kemerdekaan. Stresorstresor yang sering dialami oleh para pelajar meliputi kemampuan beradaptasi
dengan lingkungan sekolah, pergaulan dengan teman sebaya, dan kemampuan
yang menuntut mereka untuk mengasah pengetahuan maupun keterampilan
untuk dapat mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah merupakan suatu
tantangan tersendiri.
Bekal pengetahuan dan keterampilan tersebut tentunya
akan turut berkontribusi pada keberhasilan mereka dalam pencapaian karir di
masa depan.
Jurusan Bahasa adalah jurusan yang mewajibkan siswa untuk
menguasai lebih banyak hal yang berhubungan dengan kemampuan siswa
secara verbal. Siswa jurusan bahasa diharapkan dapat mendefinisikan,
mendeskripsikan, dan memaparkan suatu pengertian maupun argumen dengan
baik. Siswa diharapkan dapat lebih komunikatif dan terampil dalam menjalin
56
hubungan interpersonal. Namun pada kenyataannya banyak siswa khususnya
dari jurusan bahasa yang masih merasa kesulitan bahkan mengalami
kecemasan saat diminta untuk melakukan komunikasi di depan umum.
Kecemasan berbicara di depan umum pada mulanya dikenal dengan
istilah “demam panggung” yang difokuskan pada ketakutan untuk berbicara di
depan umum. Menurut McCroskey (dalam Devito, 1995) kecemasan berbicara
yang disebut pula sebagai “communication apprehension (CA)” terbagi atas
empat jenis yaitu CA as trait, CA in generalized context, CA with generalized
people, dan CA as a state. Kecemasan berbicara di depan umum dalam hal ini
termasuk dalam jenis CA in generalized context, dimana individu mengalami
kecemasan berbicara saat berada pada satu situasi tertentu, tetapi tidak pada
situasi lainnya. McCroskey menambahkan, beberapa individu mengalami
kecemasan hanya pada kondisi tertentu, maksudnya ada tipe general dari
kondisi komunikasi yang menimbulkan kecemasan, yaitu komunikator.
Penekanannya adalah bahwa fenomena kecemasan berbicara pada kelas
berpusat pada pembicara. Konteks yang paling banyak ditemui adalah
berbicara di depan umum (public speaking), misalnya memberikan pidato,
presentasi di depan kelas, pada saat pertemuan atau meeting. Individu akan
mengalami kecemasan ketika mulai membayangkan sampai berlangsungnya
pengalaman berbicara di depan kelas.
57
Rogers (2003) membagi reaksi kecemasan berbicara menjadi dua
gejala umum, yaitu:
a. Reaksi Fisiologis
Reaksi fisiologis adalah reaksi tubuh terutama oleh organ-oran
yang diatur oleh saraf simpatetis seperti jantung, pembuluh darah,
kelenjar, pupil mata, sistem pencernaan, dan sistem pembuangan. Adanya
kecemasan maka akan memicu satu atau lebih organ-organ dalam tubuh
menjadi meningkat fungsinya. Hal ini dapat menimbulkan peningkatan
jumlah asam lambung selama kecemasan, atau meningkatnya detak
jantung dalam memompa darah sehingga jantung berdebar-debar, keluar
keringat yang berlebihan, gemetar, sering buang air, dan sirkulasi darah
tidak teratur. Dalam kondisi cemas, sering individu mengalami rasa sakit
yang berkaitan dengan organ-organ tubuh yang meningkat fungsinya
secara tidak wajar. Misalnya ujung jari terasa dingin, pencernaan tidak
teratur, tidur tidak nyenyak, nafsu makan hilang, kepala pusing, nafas
sesak, mual, dan sebagainya.
b. Reaksi Psikologis
Reaksi psikologis adalah reaksi kecemasan yang biasanya disertai
oleh reaksi fisiologis. Reaksi psikologis dibedakan menjadi dua gejala
yaitu gejala yang terkait dengan proses mental dan gejala emosional.
Gejala yang terkait dengan proses mental misalnya mengulang-ulang kata,
hilang ingatan, melupakan hal-hal yang penting, tidak dapat memusatkan
perhatian, gerakan-gerakan yang tidak terarah atau tidak pasti, dan pikiran
58
tersumbat. Sedangkan gejala emosional misalnya rasa takut, tegang,
bingung, tidak menentu, terancam, rendah diri, rasa tidak percaya diri, rasa
tidak berdaya, rasa kehilangan kendali, rasa malu, panik, dan khawatir.
Menghadapi adanya kenyataan tersebut dibutuhkan intervensi yang dapat
membuat para siswa khususnya dari jurusan bahasa untuk mengatasi
kecemasan berbicara di depan umum. Salah satu upaya untuk mengatasi
kecemasan berbicara di depan umum adalah dengan meningkatkan
kecerdasan emosi.
Kemampuan berbicara di depan umum merupakan bagian dari
kemampuan komunikasi. Metode pelatihan kecerdasan emosi, efektif untuk
meningkatkan kemampuan komunikasi. Hasil penelitian menunjukkan adanya
peningkatan kemampuan komunikasi setelah pemberian pelatihan kecerdasan
emosi. Nurdin (2009) menyatakan bahwa pelatihan kecerdasan emosi dapat
meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial siswa. Melalui pelatihan
kecerdasan emosi siswa belajar untuk memahami pentingnya interaksi dan
komunikasi positif dengan orang lain dan apa yang diperlukan untuk menjalin
hubungan positif yang penuh empati. Siswa belajar cara berkomunikasi
dengan kekuatan empati dan memperkuat hubungan melalui tata krama yang
etis dengan orang lain. Siswa juga belajar cara mengakui orang lain dan
meningkatkan kontribusi dalam setiap hubungan.
Menurut Goleman (2003), pelatihan kecerdasan emosi merupakan
rangkaian aktivitas atau strategi dengan menggunakan perasaan sendiri yang
muncul pada saat berhubungan dengan diri sendiri dan orang lain. Strategi
59
tersebut mencakup penggunaan pengalaman seperti kesan, ketegangan, dan
trauma dalam kehidupan seseorang. Menurut Salovey (dalam Goleman, 2009),
ada beberapa aspek yang berperan penting dalam pelatihan kecerdasan emosi
antara lain:
a. Mengenali Emosi Diri atau Kesadaran Diri
Mengenali emosi diri atau kesadaran diri yaitu mengenali
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi atau dengan kata lain berarti
waspada terhadap suasana hati maupun pikiran kita tentang suasana hati
untuk selanjutnya dapat mengupayakan sikap atau tindakan yang tepat.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan menangani perasaan
agar dapat terungkap dengan tepat. Apabila emosi tidak dikelola dengan
tepat atau tidak dikendalikan dengan baik sehingga menjadi terlalu
ekstrim dan terus menerus maka dapat menyebabkan depresi, cemas yang
berlebihan, amarah yang meluap-luap, serta gangguan emosional yang
berlebihan (Goleman, 2009).
c. Memotivasi Diri Sendiri
Memotivasi diri sendiri merupakan kemampuan individu dalam
mengarahkan dan mendorong segala daya upaya dirinya bagi pencapaian
tujuan yang diharapkan. Orang yang mampu memotivasi diri untuk menata
emosi dengan baik cenderung lebih produktif dan efektif dalam hal apapun
yang mereka kerjakan. Menurut Fred (2006), motivasi diri adalah tetap
pada tujuan yang diinginkan, mengatasi impuls emosi negatif, dan
menunda untuk memperoleh hasil yang diinginkan.
60
d. Mengenali Emosi Orang Lain atau Empati
Mengenali emosi orang lain adalah kemampuan menangkap tanda
sosial sehingga mengetahui apa yang dilakukan, dibutuhkan/dikehendaki
orang lain. Kemampuan ini dapat disebut juga sebagai kemampuan
berempati yaitu kemampuan untuk memahami perasaan orang lain.
e. Membina Hubungan dengan Orang Lain
Membina hubungan dengan orang lain yaitu kemampuan untuk
menangani emosi dengan baik ketika berhubungan atau berinteraksi
dengan orang lain serta cermat serta mampu membaca situasi dan jaringan
sosial yang ada di sekitarnya.
Peningkatan kecerdasan emosi dalam penelitian ini diperoleh melalui
pendekatan pelatihan. Hal ini dipilih karena pelatihan adalah metode
pembelajaran yang mempunyai tujuan mengubah aspek kognitif, afektif, dan
keterampilan atau keahlian (Kikpatrick dalam Salas dkk, 2001). Pelatihan,
berbicara pada masalah-masalah yang betul-betul terjadi sebagai topik hari ini.
Bila suatu pengalaman diulang berkali-kali, otak memikirkannya sebagai
jalur-jalur yang diperkuat, sehingga dapat meningkatkan kemampuan syaraf
yang akan digunakan pada saat sulit. Meskipun bahan pelatihan tampak
sederhana, hasilnya bisa mengubah seseorang menjadi bertemperamen baik
dan sukses di masa depan (Goleman, 2003).
Metode pelatihan dapat mempengaruhi hasil pelatihan. Metode yang
digunakan dalam pelatihan ini cukup variatif, antara lain eksplorasi diri,
ceramah, permainan, diskusi, pemantauan diri, mengisi lembar kerja, umpan
balik, dan presentasi. Keberhasilan suatu penelitian juga dipengaruhi oleh
61
metode yang digunakan. Semakin bervariasi penggunaan metode, maka
pelatihan akan lebih menarik dan peserta akan merasa terlibat di dalamnya
(Pfeiffer & Ballew, 1988).
Pelatihan kecerdasan emosi dalam penelitian ini menggunakan metode
kuliah (lecture), diskusi sensitivitas, dan permainan. Menurut Simamora
(2006), metode kuliah adalah penyajian informasi secara lisan. Metode kuliah
merupakan bentuk pelatihan yang paling umum yang memungkinkan untuk
menyajikan cakupan dan materi yang luas dalam jangka waktu terbatas.
Metode kuliah dinggap paling tepat dilakukan untuk memberikan informasi
yang sangat banyak kepada sejumlah orang dengan efisien. Dalam metode
kuliah dapat menyertakan media lain seperti notebook, hand out, in focus, dan
alat peraga. Kelebihan metode kuliah antara lain dapat mengkomunikasikan
minat intrinsik dan antusiasme terhadap materi bahasan yang dapat
meningkatkan minat partisipan dalam proses pelatihan. Kelebihan lainnya
adalah dapat mencakup materi selain yang sudah ada dan dapat menjangkau
banyak pendengar sekaligus. Selain itu dalam metode kuliah pelatih dapat
bertindak sebagai model yang efektif bagi peserta kuliah dan mudah
mengendalikan materi yang disampaikan. Metode kuliah diharapkan dapat
menambah pengetahuan dan wawasan kepada peserta sehingga dapat
mengubah struktur kognitif peserta. Pada umumnya proses belajar mengajar
yang dilakukan pada SMA yang akan diteliti menggunakan metode kuliah
atau ceramah. Perlakuan dengan pelatihan kecerdasan emosi pada kelompok
intervensi dilakukan dengan bentuk kuliah (lecture) dan dikombinasikan
62
dengan diskusi sensitivitas (sensitivity training). Sebelum peneliti memberikan
pelatihan kecerdasan emosi dengan metode kuliah, terlebih dahulu peneliti
menjabarkan indikator kecerdasan emosi menurut Goleman (2009) yang
bertujuan untuk menurunkan tingkat kecemasan berbicara di depan umum
pada subjek penelitian.
Diskusi
sensitivitas
merupakan
metode
untuk
meningkatkan
sensitivitas antar pribadi melalui diskusi yang terbuka dan jujur tentang
perasaan, sikap, dan perilaku peserta pelatihan. Para peserta pelatihan
didorong untuk memberi tahu peserta lain (pasangannya) secara terbuka
tentang bagaimana sikap dan perilakunya. Selanjutnya pasangan memberikan
penilaian serta masukan terhadap sikap dan perilaku tersebut. Tujuan diskusi
ini adalah agar peserta pelatihan mampu mengubah perasaan, sikap,
kebiasaan, dan perilaku ke arah yang lebih baik (Simamora, 2006).
Metode eksposure melalui presentasi ditujukan untuk mengasah
keterampilan berbicara di depan umum dan membiasakan peserta untuk
menerima umpan balik dari orang lain. Metode permainan ditujukan agar
peserta mendapatkan insight terhadap tujuan pelatihan. Situasi yang
menyenangkan dan keberhasilan presentasi dapat mengurangi perasaan cemas
untuk berbicara di depan umum. Umpan balik yang didapatkan dari trainer
maupun peserta lain dapat meningkatkan rasa percaya diri untuk berbicara di
depan umum. Komentar dan masukan yang didapat dari anggota kelompok
yang mengalami permasalahan yang sama akan lebih dipercaya dan mudah
dicerna. Hal ini memungkinkan masukan yang didapat oleh peserta dapat
mengurangi ketakutan yang berlebihan terhadap evaluasi negatif dari orang
63
lain. Selain itu peserta juga akan lebih memahami kelebihan dan
kekurangannya dalam melakukan presentasi sehingga fokus yang berlebihan
terhadap kekurangannya dapat dikurangi (Prawitasari, 1999).
Berdasarkan penjelasan teori di atas, maka kerangka berpikir dalam
penelitian ini digambarkan dalam bagan sebagai berikut:
Stressor
Situasi kecemasan berbicara
di depan umum
Kecemasan
Reaksi kecemasan, Rogers (2003):
1. Reaksi Fisiologis
2. Reaksi Psikologis
a. Proses Mental
b. Gejala Emosional
Intervensi
Pelatihan Kecerdasan Emosi
Goleman (2009):
Target
Kecemasan menurun
1.
2.
3.
4.
5.
Mengenali emosi
Mengelola emosi
Memotivasi diri
Empati
Membina hubungan dengan
orang lain
64
E. Hipotesis
Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian, maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Kecemasan berbicara di depan umum setelah diberi pelatihan kecerdasan
emosi lebih rendah daripada sebelum pelatihan.
2. Kecemasan berbicara di depan umum pada kelompok eksperimen
mengalami penurunan lebih besar daripada kelompok kontrol.
Download