14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Berbicara di Depan Umum 1. Pengertian Kecemasan Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya “anxiety” berasal dari Bahasa Latin“angustus” yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang berarti mencekik. Menurut Freud (dalam Alwisol, 2005) mengatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme yang melindungi ego karena kecemasan memberi sinyal kepada kita bahwa ada bahaya dan kalau tidak dilakukan tindakan yang tepat maka bahaya itu akan meningkat sampai ego dikalahkan. Taylor (1995) mengatakan bahwa kecemasan ialah suatu pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dan ketidakmampuan menghadapi masalah atau adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menyenangkan ini umumnya menimbulkan gejala-gejala fisiologis (seperti gemetar, berkeringat, detak jantung meningkat, dan lainlain) dan gejala-gejala psikologis (seperti panik, tegang, bingung, tak dapat berkonsentrasi, dan sebagainya). Menurut Chaplin (2006) kecemasan adalah perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa mendatang tanpa sebab khusus. Nevid, dkk. (2005) memberikan pengertian tentang kecemasan sebagai suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. 15 Atkinson (1996) mendefinisikan kecemasan sebagai emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan istilah kekawatiran yang kadang-kadang dialami dalam tingkat yang berbeda-beda. Sedangkan menurut Hurlock (1997) kecemasan adalah situasi efektif yang dirasa tidak menyenangkan yang diikuti oleh sensi fisik yang memperingatkan seseorang akan bahaya yang mengancam. Daradjat (2001) menjelaskan kecemasan sebagai manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Ada beberapa jenis rasa cemas, yaitu cemas akibat mengetahui ada bahaya yang mengancam dirinya, rasa cemas berupa penyakit yang dapat mempengaruhi keseluruhan diri pribadi. Selanjutnya, rasa cemas karena perasaan berdosa atau bersalah yang nantinya dapat menyertai gangguan jiwa. Sullivan (2006) mengatakan bahwa kecemasan adalah reaksi normal terhadap kebutuhan yang tak terpenuhi dan stres seperti penolakan (pertama dari orang tua dan kemudian dari diri sendiri dan kemudian dari orang lain). Kecemasan juga dapat dilihat sebagai suatu mekanisme perlindungan yang membuat seseorang tetap aman dari situasi yang diyakini mengancam. Jhonston (dalam Hawari, 2001) mengemukakan bahwa kecemasan merupakan reaksi terhadap adanya ancaman, hambatan terhadap keinginan pribadi, atau merupakan perasaan tertekan karena adanya rasa kekecewaan, rasa tidak puas, rasa tidak aman, atau sikap permusuhan dengan orang lain. 16 Lazarus (1976) menyatakan bahwa kecemasan mempunyai dua arti, yaitu: 1. Kecemasan sebagai respon, digambarkan sebagai suatu pengalaman yang dirasakan tidak menyenangkan serta dikuti dengan suasana gelisah, bingung, khawatir, dan takut. Bentuk kecemasan ini dibedakan ada dua, yaitu: a. State anxiety, merupakan gejala kecemasan yang sifatnya tidak menetap pada diri individu ketika dihadapkan pada situasi tertentu, gejala ini akan tampak selama situasi tersebut masih ada. b. Traith anxiety, kecemasan yang tidak tampak langsung dalam tingkah laku tetapi dapat dilihat frekuensi dan intensitas keadaan kecemasan individu sepanjang waktu, merupakan kecemasan yang sifatnya menetap pada diri individu dan timbul dari pengalaman yang tidak menyenangkan pada awal kehidupan. Kecemasan tersebut berhubungan dengan kepribadian individu yang merupakan disposisi pada individu untuk menjadi cemas. 2. Kecemasan sebagai intervening variable, dalam hal ini kecemasan lebih mempunyai arti sebagai motivating solution, artinya situasi kecemasan tersebut dapat mendorong individu agar dapat mengatasi masalah. Hudaniyah dan Dayakisna (2009) menyatakan bahwa pada umumnya kecemasan berwujud ketakutan kognitif, keterbangkitan syaraf fisiologis dan suatu pengalaman subjektif dari ketegangan atau kegugupan. Beberapa individu juga mengalami perasaan tidak nyaman dengan hadirnya orang lain, biasanya disertai dengan perasaan malu yang ditandai 17 dengan kekakuan, hambatan dan kecenderungan untuk menghindari interaksi sosial. Keadaan individu yang seperti ini dianggap mengalami kecemasan sosial. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu yang sangat mengancam yang dapat menyebabkan kegelisahan, ketakutan, kekhawatiran, ketidaktentuan, perasaan tertekan dan terancam dalam menghadapi kemungkinan yang akan terjadi pada masa yang akan datang. 2. Pengertian Kecemasan Berbicara di Depan Umum Kecemasan sering dialami oleh setiap orang. Ada banyak hal yang menyebabkan seseorang mengalami kecemasan, misalnya cemas saat memulai suatu hal yang baru karena takut jika melakukan kesalahan, cemas saat menjalani ujian karena takut gagal, cemas saat presentasi karena belum ada persiapan, cemas saat berbicara atau mengemukakan pendapat di depan umum karena takut dianggap tidak bermutu, dan masih banyak lagi. Salah satu bentuk kecemasan yang sering terjadi adalah kecemasan dalam hal komunikasi. Burgoon dan Ruffner (1978) mendefinisikan kecemasan dalam hal komunikasi sebagai suatu reaksi negatif dari individu berupa kecemasan yang dialami individu ketika berkomunikasi, baik berkomunikasi antar pribadi, komunikasi di depan kelas maupun komunikasi masa. Sejalan dengan itu, Beaty (2000) menyebutkan bahwa kecemasan berbicara di depan umum merupakan bentuk dari perasaan takut atau cemas secara nyata ketika berbicara di depan orang-orang sebagai hasil proses belajar sosial. 18 Perasaan cemas atau grogi saat mulai berbicara di depan umum adalah hal yang seringkali dialami oleh kebanyakan orang. Bahkan seseorang yang telah berpengalaman berbicara di depan umum pun tidak terlepas dari perasaaan ini. Perasaan cemas dapat muncul karena takut secara fisik terhadap pendengar, yaitu takut ditertawakan orang, takut bahwa dirinya akan menjadi tontonan orang, takut bahwa apa yang akan dikemukakan mungkin tidak pantas untuk dikemukakan, dan rasa takut bahwa mungkin dirinya akan membosankan. Selanjutnya individu tersebut akan menolak untuk bersosialisasi dengan orang lain. Menurut Santoso (1998) kecemasan berbicara di depan umum bersifat subjektif, biasanya ditandai dengan gejala fisik dan gejala psikologis. Termasuk dalam gejala fisik yaitu tangan berkeringat, jantung berdetak lebih cepat, dan kaki gemetaran. Kemudian, yang termasuk gejala psikologis adalah takut akan melakukan kesalahan, tingkah laku yang tidak tenang dan tidak dapat berkonsentrasi dengan baik. Penelitian Zimbardo pada Universitas Stanford di California, AS (Rakhmat, 2007) menyatakan kecemasan membuat individu merasa rendah diri, meremehkan diri sendiri, menganggap dirinya tidak menarik dan menganggap dirinya tidak menyenangkan untuk orang lain. Individu yang cenderung mengalami kecemasan ditandai dengan ketegangan otot dan adanya tingkat kewaspadaan yang sangat tinggi. Kecemasan berbicara di depan umum pada mulanya dikenal dengan istilah “demam panggung” yang difokuskan pada ketakutan untuk 19 berbicara di depan umum. Menurut McCroskey (dalam Devito, 1995) kecemasan berbicara yang disebut pula sebagai “communication apprehension (CA)” terbagi atas empat jenis yaitu CA as trait, CA in generalized context, CA with generalized people, dan CA as a state. Kecemasan berbicara di depan umum dalam hal ini termasuk dalam jenis CA in generalized context, dimana individu mengalami kecemasan berbicara saat berada pada satu situasi tertentu, tetapi tidak pada situasi lainnya. McCroskey menambahkan, beberapa individu mengalami kecemasan hanya pada kondisi tertentu, maksudnya ada tipe general dari kondisi komunikasi yang menimbulkan kecemasan, yaitu komunikator. Penekanannya adalah bahwa fenomena kecemasan berbicara pada kelas berpusat pada pembicara. Konteks yang paling banyak ditemui adalah berbicara di depan umum (public speaking), misalnya memberikan pidato, presentasi di depan kelas, pada saat pertemuan atau meeting. Individu akan mengalami kecemasan ketika mulai membayangkan sampai berlangsungnya pengalaman berbicara di depan kelas. Menurut Nevid (dalam Asrori, 2009) kecemasan adalah rasa khawatir bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Kecemasan sebenarnya juga dapat bermanfaat apabila dapat mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang lebih baik lagi sebagai wujud antisipasi dari kecemasannya. Namun jika kadarnya berlebihan, maka kecemasan dapat menjadi sesuatu hal yang tidak normal yang justru akan menimbulkan ketidaknyamanan, mengganggu fungsi kehidupan sehari- 20 hari, menimbulkan distress, atau membuat individu menghindari situasi sosial yang menimbulkan stress bagi individu tersebut (DSM IV, 2000). Hal ini sejalan dengan pendapat Burgoon dan Raffner (1978) yang menyatakan bahwa kecemasan merupakan sesuatu yang sehat apabila kecemasan itu dapat mendorong individu untuk menambah usahanya supaya dapat melakukan pekerjaan dengan lebih baik. Sebaliknya, kecemasan yang berlebihan dapat mengganggu individu karena dapat menghambatnya dalam menggunakan kemampuannya. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan berbicara di depan umum adalah suatu keadaan tidak nyaman yang sifatnya tidak menetap pada diri individu, baik ketika membayangkan maupun pada saat berbicara di depan orang banyak. Kecemasan berbicara di depan umum sebaiknya diminimalisir agar individu dapat berbicara dengan efektif dan dapat menikmati kehidupannya dengan lebih baik serta dapat melakukan fungsi sosialnya dengan lebih baik pula. 3. Aspek-aspek Kecemasan Berbicara di Depan Umum Beberapa gejala yang di rasakan pada saat seseorang mengalami kecemasan antara lain detak jantung yang cepat, telapak tangan atau punggung berkeringat, nafas terengah-engah, mulut kering, sukar menelan, ketegangan otot (dada, tangan, leher, kaki), tangan atau kaki bergetar, suara bergetar atau parau, berbicara cepat dan tidak jelas, tidak sanggup mendengar atau konsentrasi, serta lupa atau ingatan menjadi berkurang. 21 Nevid, dkk. (2005) mengklasifikasikan gejala-gejala kecemasan dalam tiga jenis gejala yaitu: a. Gejala fisik dari kecemasan yaitu pusing atau sakit kepala, kegelisahan, anggota tubuh bergetar, banyak berkeringat, sulit bernafas, jantung berdetak kencang, merasa lemas, panas dingin, mudah marah atau tersinggung, dan sakit perut. b. Gejala behavioral dari kecemasan yaitu berperilaku menghindar, terguncang, melekat dan dependen c. Gejala kognitif dari kecemasan yaitu khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu akan ketakutan terhadap sesuatu yang terjadi dimasa depan, keyakinan bahwa sesuatu yang menakutkan akan segera terjadi, ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah, pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan, sulit berkonsentrasi. Sejalan dengan pendapat di atas, Rogers (2003) membagi reaksi kecemasan berbicara menjadi dua gejala umum, yaitu: a. Reaksi Fisiologis Reaksi fisiologis adalah reaksi tubuh terutama oleh organ-oran yang diatur oleh saraf simpatetis seperti jantung, pembuluh darah, kelenjar, pupil mata, sistem pencernaan, dan sistem pembuangan. Adanya kecemasan maka akan memicu satu atau lebih organ-organ dalam tubuh menjadi meningkat fungsinya. Hal ini dapat menimbulkan peningkatan jumlah asam lambung selama kecemasan, atau meningkatnya detak jantung dalam memompa darah sehingga jantung 22 berdebar-debar, keluar keringat yang berlebihan, gemetar, sering buang air, dan sirkulasi darah tidak teratur. Dalam kondisi cemas, sering individu mengalami rasa sakit yang berkaitan dengan organorgan tubuh yang meningkat fungsinya secara tidak wajar. Misalnya ujung jari terasa dingin, pencernaan tidak teratur, tidur tidak nyenyak, nafsu makan hilang, kepala pusing, nafas sesak, mual, dan sebagainya. b. Reaksi Psikologis Reaksi psikologis adalah reaksi kecemasan yang biasanya disertai oleh reaksi fisiologis. Reaksi psikologis dibedakan menjadi dua gejala yaitu gejala yang terkait dengan proses mental dan gejala emosional. Gejala yang terkait dengan proses mental misalnya mengulang-ulang kata, hilang ingatan, melupakan hal-hal yang penting, tidak dapat memusatkan perhatian, gerakan-gerakan yang tidak terarah atau tidak pasti, dan pikiran tersumbat. Sedangkan gejala emosional misalnya rasa takut, tegang, bingung, tidak menentu, terancam, rendah diri, rasa tidak percaya diri, rasa tidak berdaya, rasa kehilangan kendali, rasa malu, panik, dan khawatir. Kecemasan dapat timbul dari situasi apapun yang bersifat mengancam keberadaan individu. Situasi yang menekan dan menghambat yang terjadi berulang-ulang akan mengakibatkan reaksi yang mengecemaskan. Semiun (2006) menyebutkan ada empat aspek yang mempengaruhi kecemasan secara umum yaitu: 23 a. Aspek Suasana Hati Aspek-aspek suasana hati dalam gangguan kecemasan adalah kecemasan, tegang, depresi, mudah marah, panik dan kekhawatiran. Individu yang mengalami kecemasan, memiliki perasaan akan adanya hukuman atau bencana yang akan mengancam dari sumber tententu yang tidak diketahui. b. Aspek Kognitif Aspek-aspek kognitif dalam gangguan kecemasan menujukkan kekhawatiran dan keprihatianan mengenai bencana yang diantisipasi oleh individu. Misalnya seseorang individu yang takut berada ditengah khalayak ramai (agorapho), mereka akan menghabiskan banyak waktu untuk khawatir mengenai hal-hal yang tidak menyenangkan (mengerikan) yang mungkin terjadi dan kemudian dia merencanakan bagaimana dia harus menghindari hal-hal tersebut. c. Aspek Somatik Aspek-aspek somatik dari kecemasan dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama yaitu aspek langsung meliputi mulut kering, bernapas pendek, denyut nadi cepat, tekanan darah meningkat, kepala terasa berdenyut-denyut, dan otot terasa tegang. Kedua yaitu apabila kecemasan berkepanjangan. Hal tersebut mengakibatkan tekanan darah meningkat secara kronis, sakit kepala, dan gangguan usus (kesulitan dalam pencernaan, dan rasa nyeri pada perut). 24 d. Aspek Motor Orang-orang yang cemas sering merasa tidak tenang, gugup, kegiatan motorik menjadi tanpa arti dan tanpa tujuan. Hal ini dapat dilihat misalnya jari-jari kaki mengetuk-mengetuk, dan sangat kaget terhadap suara yang terjadi secara tiba-tiba. Aspek-aspek motor ini merupakan gambaran rancangan kognitif dan somatik yang tinggi pada individu dan merupakan usaha untuk melindungi diri dari apa saja yang dirasanya mengancam. Sejalan dengan hal tersebut, Atkinson (1996) menyatakan bahwa kecemasan dapat terjadi karena adanya beberapa aspek sebagai berikut: a. Threat (ancaman) Wujudnya berupa ancaman terhadap tubuh, jiwa dan psikisnya, (seperti kehilangan arti kemerdekaan dan kehidupan) maupun ancaman terhadap eksistensinya (seperti kehilangan hak). Jadi ancaman ini dapat disebabkan oleh sesuatu hal yang betul-betul berhubungan dengan realitas, atau yang tidak berhubungan dengan realitas. b. Conflict (pertentangan) Timbul karena adanya dua keinginan yang keadaannya saling bertolak belakang. Hampir setiap konflik melibatkan dua alternatif atau lebih yang masing-masing mempun yai sifat approach dan avoidance. c. Fear (ketakutan) Kecemasan sering kali muncul karena ketakutan akan sesuatu. Adanya ketakutan akan kegagalan tersebut dapat menimbulkan kecemasan misalnya ketika menghadapi ujian atau berbicara di depan kelas. 25 Burgoon dan Ruffner (1978) secara lebih spesifik menerangkan tentang aspek-aspek kecemasan dalam berkomunikasi sebagai berikut: a. Unwilingness atau tidak adanya minat untuk ikut berpartisipasi dalam komunikasi. Individu berusaha untuk menghindar berbicara di muka umum. b. Unrewarding yaitu tidak adanya penghargaan dalam berkomunikasi atau adanya peningkatan hukuman dalam komunikasi sebelumnya. Kecemasan berkomunikasi disebabkan oleh penolakan dari orang lain. c. Control yaitu kurangnya kontrol individu terhadap situasi dan lingkungan komunikasi (termasuk tempat dan peralatan) yang dapat menyebabkan kecemasan pada pembicara. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa komponen kecemasan berbicara di depan umum terdiri dari aspek unwilingness, unrewarding, dan control. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Berbicara di Depan Umum Menurut Adler dan Rodman (1991) terdapat dua hal yang dapat menyebabkan seseorang mengalami kecemasan pada saat berbicara di depan umum, yaitu: a. Pengalaman negatif di masa lalu, yaitu adanya suatu pengalaman yang tidak menyenangkan di masa yang lalu mengenai suatu peristiwa yang dapat terulang kembali di masa mendatang apabila individu tersebut menghadapi kejadian atau situasi yang sama dan juga tidak menyenangkan. 26 b. Pikiran yang tidak rasional. Pada saat terjadi kecemasan, bukanlah kejadiannya yang membuat individu cemas tetapi kepercayaan atau keyakinan tentang kejadian itulah yang menjadi penyebab kecemasan. Devito (1995) menyatakan bahwa kecemasan berbicara di depan umum dapat timbul karena individu membangun perasaan-perasaan negatif dan memperkirakan hasil-hasil yang negatif sebagai hasil keterlibatannya dalam interaksi komunikasi. Beberapa faktor yang dapat menimbulkan kecemasan atau hambatan pada individu untuk berbicara di depan umum antara lain: a. Kurangnya Keahlian dan Pengalaman Seseorang yang mempunyai sedikit pengalaman dan keterampilan atau sama sekalai tidak mempunyai pengalaman dan keterampilan dalam menghadapi situasi berbicara di depan umum, maka akan lebih besar kemungkinannya untuk mengalami kecemasan ketika dihadapkan pada situasi berbicara di depan umum daripada orang yang sudah berpengalaman dan mempunyai keterampilan yang berkaitan dengan berbicara di depan umum. b. Tingkat Evaluasi Apabila seseorang mengetahui atau menganggap bahwa dirinya akan dievaluasi ketika sedang berbicara di depan umum, maka akan semakin besar kecemasan yang terjadi. 27 c. Status Lebih Rendah Ketika seseorang merasa bahwa orang lain adalah komunikator yang lebih baik atau tahu lebih banyak daripada dirinya dalam hal berkomunikasi di depan umum, maka kecemasan yang muncul pada diri orang tersebut akan lebih besar. d. Tingkat Kemungkinan Menjadi Pusat Perhatian Semakin seseorang merasa dirinya sebagai pusat perhatian, maka akan semakin besar kemungkinan orang tersebut merasa cemas. Berbicara di depan umum jauh lebih mencemaskan daripada berbicara di dalam kelompok kecil. Ketika berbicara di depan umum, seseorang secara otomatis akan menjadi pusat perhatian. e. Tingkat Kemungkinan Terprediksi Situasi Semakin suatu situasi tidak dapat diprediksi, maka semakin besar kemungkinan munculnya kecemasan berbicara di depan umum. Terlebih apabila berada dalam situasi baru yang membingungkan dan tidak dapat diprediksi sebelumnya, maka akan semakin besar pula kemungkinan timbulnya kecemasan berbicara di depan umum. f. Tingkat Perbedaan Ketika seseorang merasa berbeda dengan pendengar atau komunikan, maka dapat menyebabkan orang tersebut merasa cemas. Semakin besar perbedaan yang dirasakan seseorang atau komunikator dengan para komunikan, maka akan semakin besar pula kemungkinan seseorang mengalami kecemasan. 28 g. Sukses dan Gagal Sebelumnya Sukses yang dirasakan seseorang sebelumnya pada saat berbicara di depan umum dapat menurunkan tingkat kecemasan ketika ia berbicara di depan umum pada kesempatan berikutnya. Demikian pula sebaliknya, kagagalan berbicara di depan umum sebelumnya dapat dianggap sebagai peringatan bahwa kemungkinan akan mengalami kegagalan dalam situasi selanjutnya. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, praktikan memilih untuk menggunakan komponen kecemasan yang dikemukakan oleh Rogers (2003) sebagai karena cakupan gejala atau indikasi kecemasan yang ditunjukkan lebih luas. Sementara itu salah satu variabel yang akan digunakan praktikan untuk mengurangi atau mereduksi kecemasan berbicara di depan umum adalah kecerdasan emosi. Goleman (2009) menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan, kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi, dan keterampilan sosial akan membantu seseorang dalam mengatasi kecemasan saat berbicara di depan umum. Hal tersebut diperkuat oleh Sundari (2005) yang berpendapat bahwa kecerdasan emosi memiliki komponen yang sangat kompleks dan terkait dengan kemampuan seseorang dalam menggunakan kemampuan dan potensi emosinya dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam hal ini adalah kemampuan dan potensi berbicara di depan umum. 29 Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ada berbagai macam teknik untuk mengatasi seseorang yang mengalami kecemasan berbicara di depan umum. Utami (1999) menyatakan bahwa untuk mengatasi kecemasan berbicara di depan umum dapat dilakukan dengan mengubah pola pikir, meningkatkan kecerdasan emosi, dan meningkatkan efikasi diri. Sementara itu Agustina, dkk. (2015) menggunakan teknik pelatihan relaksasi untuk mengatasi kecemasan berbicara di depan umum. B. Pelatihan Kecerdasan Emosi 1. Pengertian Pelatihan Kecerdasan Emosi Pelatihan atau training merupakan pengalaman belajar yang dirancang secara sistematik untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, sikap, maupun perilaku yang menghasikan perubahan atau kinerja secara permanen. Pelatihan juga merupakan proses perubahan pengetahuan, sikap, ataupun perilaku guna mencapai tujuan organisasi (individu) untuk menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap mental, dan keterampilan, atau perilaku tertentu (Widyana, 2011). Ancok (2007) menyatakan bahwa ada beberapa tahapan yang harus dilalui agar dalam suatu pelatihan terjadi proses pembelajaran yang efektif, antara lain: a. Pembentukan Pengalaman (experience) Pada tahapan ini peserta dilibatkan dalam suatu kegiatan atau permainan bersama orang lain. Kegiatan atau permainan ini adalah salah satu bentuk pemberian pengalaman secara langsung kepada 30 peserta. Hal tersebut yang akan menjadi wahana untuk menimbulkan pengalaman kognitif, afektif, dan konatif. Melalui pengalaman tersebut setiap peserta siap untuk memasuki tahapan kegiatan berikutnya yaitu tahapan pencarian makna (debriefing) melalui kegiatan perenungan. b. Perenungan Pengalaman (reflect) Tahap ini bertujuan untuk memproses pengalaman yang telah diperoleh peserta dari kegiatan yang telah dilakukan. Pada tahap ini setiap peserta melakukan refleksi tentang pengalaman pribadi yang dirasakan saat kegiatan berlangsung, baik yang dilakukan secara intelektual, emosional, maupun fisikal. c. Pembentukan Konsep (form concept) Tahap ini bertujuan untuk mencari makna dari pengalaman kognitif, afektif, dan konatif yang diperoleh melalui keterlibatannya dalam kegiatan yang dilakukan sebelumnya. Tahapan ini merupakan kelanjutan tahapan refleksi dengan menanyakan kepada peserta tentang hubungan antara kegiatan yag dilakukan dan perilaku yang sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari. d. Pengujian Konsep (test concept) Tahap terakhir ini bertujuan untuk merenungkan dan mendiskusikan sejauhmana konsep yang telah terbentuk di tahap ketiga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam kehidupan bersama keluarga, teman, maupun masyarakat (transfer of learning). Peserta melihat relevansi pengalaman yang telah dialami, kemudian direfleksikan, dan dikonsepkan sesuai dengan kehidupan sehari-hari. 31 Ada beragam model-model pelatihan kecerdasan emosi yang disampaikan oleh para tokoh. Gotman (2003) dalam bukunya tentang KiatKiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional menyatakan ada lima langkah yang dapat digunakan untuk melatih emosi pada anak antara lain menyadari emosi anak, mengenali emosi sebagai peluang untuk menjadi akrab dan mengajar, mendengarkan dengan penuh empati dan menegaskan perasaan-perasaan anak, menolong anak untuk memberi label emosi-emosi dengan kata-kata, dan menentukan batas-batas sambil menolong si anak memecahkan masalahnya. Sejalan dengan hal tersebut Wipperman (2000) menuliskan ide mengenai cara merangsang kecerdasan emosional dengan sebutan Kurikulum Sepuluh Langkah Untuk Kebijaksanaan Emosional. Langkahlangkah tersebut antara lain memprioritaskan kesehatan tubuh, menelusuri perasaan dalam tubuh bukan di otak, membangun otot emosional setiap hari dengan mengambil waktu untuk fokus pada pengalaman emosional, menerima semua yang dirasakan, membuka hati bagi orang lain, mengambil tindakan dengan melakukan berbagai hal yang membuat diri merasa berguna, mendengarkan dengan empati, menceritakan bagaimana perasaan kita, menggunakan perubahan sebagai suatu kesempatan untuk tumbuh dewasa, dan membawa humor kemanapun pergi. Burke (2004) menyatakan bahwa orang tua dapat membentuk anak yang bertanggung jawab dengan memanfaatkan kecerdasan emosinya. Metode yang digunakan dalam pelatihan ini adalah metode preventif dan 32 korektif dalam mengajarkan keterampilan sosial. Anak diajarkan bagaimana menerima kritik, berbeda pendapat dengan orang lain, meminta bantuan, meminta ijin, meminta maaf, bergaul dengan orang lain, memberi dan menerima pujian, serta berbagai keterampilan sosial yang lain. Metode ini selanjutnya disingkat dengan metode SODAS (Situation, Option, Disadvantages, Advantages, and Solution). Dengan metode tersebut diharapkan dapat membantu seseorang untuk berpikir lebih jelas dan membuat keputusan berdasarkan pada alasan yang kuat. Goleman (1995), dalam bukunya yang berjudul Kecerdasan Emosional menerangkan berbagai cara untuk melatih kecerdasan emosi anak di sekolah dan keluarga. Cara yang ditempuh antara lain dengan menumbuhkan kesadaran diri, pengambilan keputusan pribadi, mengelola perasaan, menangani stress, empati, komunikasi, membuka diri, pemahaman, menerima diri sendiri, tanggung jawab pribadi, ketegasan, dinamika kelompok, dan menyelesaikan konflik. Goleman (2009) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain dalam hubungannya dengan orang lain. Pengertian lain disampaikan oleh Gottman (2003) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosi mencakup kemampuan untuk mengendalikan dorongan hati, menunda pemuasan, memberi motivasi diri mereka sendiri, membaca isyarat sosial orang lain, dan menangani naik turunnya kehidupan. Sejalan dengan pengertian di atas, Segal (1997) menyatakan bahwa wilayah kecerdasan emosi adalah 33 hubungan pribadi dan antarpribadi serta bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosial dan kemampuan adaptasi sosial. Sementara itu menurut Coopeer dan Sawaf (dalam Agustian, 2001) menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya serta kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, serta pengaruh yang manusiawi. Berdasarkan berbagai teori di atas maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan kecerdasan emosi adalah proses perubahan pengetahuan, sikap, ataupun perilaku untuk menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap mental, dan keterampilan, atau perilaku yang penuh kesadaran. Melalui pelatihan kecerdasan emosi akan membentuk pikiran yang terdidik dan teratur serta terbiasa berpedoman dalam nilai-nilai positif atau nilai kebaikan. Emosi cerdas yang terkelola dalam nilai-nilai positif selalu produktif dan terkendali untuk menghasilkan kinerja dan prestasi terbaik. Dengan demikian emosi yang cerdas menjadikan seseorang dalam hal ini khususnya pelajar dapat lebih produktif dan berkualitas sehingga mendorong perilaku menjadi lebih tenang dalam energi positif. Kondisi ini akan mendorong seseorang untuk berani menjawab berbagai tantangan yang dihadirkan oleh kompleksitas kehidupan dan mengembangkan kemampuan diri untuk menghadapi berbagai peristiwa dan realitas dengan tindakan yang optimis dan produktif. 34 Melalui pelatihan kecerdasan emosi individu akan mampu untuk merespon hidupnya dengan optimis, memahami dan menghormati diri sendiri dan orang lain dengan lebih baik, serta mampu meningkatkan kualitas diri. Dengan demikian seseorang diharapkan mampu memiliki dan menerapkan keterampilan personal dan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari dengan lebih baik. 2. Manfaat Pelatihan Kecerdasan Emosi Menurut Djajendra (2015) pelatihan kecerdasan emosi mampu membantu individu untuk mempelajari bagaimana kompetensi kecerdasan emosional mampu meningkatkan kualitas hidup dan membantu meraih prestasi. Dalam hal ini individu belajar cara menganalisa perilaku diri sendiri, mengatur reaksi dari orang lain, dan menciptakan perilaku yang seimbang dalam menjalani peran kehidupan. Melalui pelatihan kecerdasan emosi, individu akan belajar cara mengadopsi strategi untuk mencegah masuknya emosi negatif ke dalam diri dan cara mengganti pikiran yang merusak dengan pikiran yang kuat. Imadayani (2009) menyatakan bahwa pelatihan kecerdasan emosi dapat meningkatkan kepercayaan diri pada remaja. Melalui pelatihan tersebut peserta akan belajar tentang hal-hal yang diperlukan untuk bisa percaya pada diri sendiri dan cara untuk mendapatkan motivasi. Mereka akan dilatih untuk menangani perasaan takut, perasaan marah, dan cara untuk meningkatkan harga diri. Sejalan dengan hal tersebut Saptoto (2010) menyatakan bahwa pelatihan kecerdasan emosi dapat meningkatkan 35 kemampuan coping adaptif pada pelajar SMU. Melalui pelatihan kecerdasan emosi mereka belajar untuk dapat membantu orang lain dengan meminimalkan konflik emosional dan mengelola hubungan. Peserta belajar cara mengendalikan pengaruh orang lain dan mengelola emosi pelarian atau emosi liar, serta memandu interaksi dan komunikasi untuk saling menghormati dan tidak saling menyakitkan. Peserta belajar cara memonitor hubungan dirinya dengan orang lain dan menyadari konsekuensinya. Nurdin (2009) menyatakan bahwa pelatihan kecerdasan emosi dapat meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial siswa. Melalui pelatihan kecerdasan emosi siswa belajar untuk memahami pentingnya interaksi dan komunikasi positif dengan orang lain dan apa yang diperlukan untuk menjalin hubungan positif yang penuh empati. Siswa belajar cara berkomunikasi dengan kekuatan empati dan memperkuat hubungan melalui tata krama yang etis dengan orang lain. Siswa juga belajar cara mengakui orang lain dan meningkatkan kontribusi dalam setiap hubungan. Menurut Salovey (dalam Goleman, 2009), ada beberapa aspek yang berperan penting dalam pelatihan kecerdasan emosi antara lain: a. Mengenali Emosi Diri atau Kesadaran Diri Mengenali emosi diri atau kesadaran diri yaitu mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi atau dengan kata lain berarti waspada terhadap suasana hati maupun pikiran kita tentang suasana hati untuk selanjutnya dapat mengupayakan sikap atau tindakan yang 36 tepat. Goleman (2009) menyatakan bahwa dalam kondisi terbaik, pengamatan diri memungkinkan adanya semacam kesadaran yang mantap terhadap perasaan penuh nafsu atau gejolak. Pada titik terendah, kesadaran diri memastikan dirinya semata-mata sebagai sedikit langkah mundur dari pengalaman. Waspada terhadap apa yang terjadi bukannya tenggelam dan hanyut di dalamnya. Keadaan sadar diri berarti bersikap peduli, peka akan reaksi pribadi, dan tidak berlebihan dalam menanggapi sesuatu yang terjadi. Sedangkan tidak sadar diri merupakan kebalikan dari sikap peduli dengan lingkungan, acuh, tanpa perasaan, dan memperkecil pengalaman kesadaran emosional. Setiap orang memiliki pengalaman kesadaran emosional yang berbeda. Bagi sebagian orang, kesadaran emosi merupakan keadaan yang mendesak, sementara bagi yang lain hampir tidak terasa. Menurut Mayer (dalam Goleman, 2009), gaya-gaya yang khas dalam menangani emosi seseorang, adalah sebagai berikut: 1) Sadar diri, adalah peka akan suasana hati ketika mengalami suatu peristiwa, berpendapat positif tentang kehidupan serta tidak larut dalam kesedihan. Ketajaman pola pikir yang menjadi penyeimbang untuk mengatur emosi diri. Maka, apabila suasana hati sedang dalam keadaan tidak baik, diri menanggapinya dengan biasa, tidak risau, tidak larut ke dalamnya, serta mampu membawa diri agar merasa lebih nyaman. 37 2) Tenggelam dalam permasalahan, adalah merasa dikuasai oleh emosi, tidak peka akan perasaan sehingga larut dalam perasaan serta tidak mempunyai kendali atas emosi diri. Seseorang menjadi mudah marah, larut dengan keadaan yang dialami, tidak peka akan perasaan diri sehingga tidak mencari perspektif baru, dan terkesan kurang berupaya melepaskan diri dari suasana hati yang tidak baik. 3) Pasrah, adalah peka terhadap suasana hati dan menerimanya begitu saja serta tidak berusaha mengubahnya. b. Mengelola Emosi Mengelola emosi merupakan kemampuan menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat. Apabila emosi tidak dikelola dengan tepat atau tidak dikendalikan dengan baik sehingga menjadi terlalu ekstrim dan terus menerus maka dapat menyebabkan depresi, cemas yang berlebihan, amarah yang meluap-luap, serta gangguan emosional yang berlebihan. Normalnya individu harus memiliki emosi yang wajar, yakni keadaan yang mampu menyeimbangan antara perasaan dan lingkungan. Jika emosi tidak dikendalikan maka emosi akan menimbulkan depresi, cemas berlebihan, dan amarah. Pemicu hal-hal tersebut umumnya adalah perasaan terancam bahaya. Ancaman tersebut bukan hanya dipicu secara fisik langsung, melainkan juga secara simbolik, diperlakukan tidak adil, dicaci-maki atau diremehkan. Hal-hal tersebut bagi individu merupakan pilihan, apakah tetap berada pada gelombang emosi, mengupayakan meredam diri atau menjauhkan diri dari serangan kekhawatiran dan kecemasan. 38 c. Memotivasi Diri Sendiri Memotivasi diri sendiri merupakan kemampuan individu dalam mengarahkan dan mendorong segala daya upaya dirinya bagi pencapaian tujuan yang diharapkan. Orang yang mampu memotivasi diri untuk menata emosi dengan baik cenderung lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan. Menurut Fred (2006), motivasi diri adalah tetap pada tujuan yang diinginkan, mengatasi impuls emosi negatif, dan menunda kesenangan sesaat untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Tujuan yang ditetapkan seseorang yang mampu memotivasi diri akan dicapai dengan penuh optimis, karena pribadi yang memiliki motivasi berarti mengandaikan tujuan sebagai jalan yang wajib dilalui dalam berkendara. Memotivasi diri diwujudkan dalam sikap antusias, penuh gairah, optimis dan yakin akan diri sendiri, bersosialisasi dengan mantap, tidak mudah gelisah dan takut, simpatik dan hangat dalam berhubungan serta nyaman dengan diri sendiri dan orang lain. Peran individu dalam memotivasi diri dalam kehidupan terlihat ketika seseorang menghadapi suatu problem yang membuat dia berada dalam posisi memilih. Individu bermotivasi tinggi akan tetap tekun dan gigih dalam menghadapi tantangan. Daya dorongan hati yang tidak sejalan dengan harapan akan diperkecil kemunculannya. Sebaliknya jika seseorang tidak memiliki motivasi akan mengikuti pola arus yang telah ada, kurang berkosentrasi, dan mudah menyerah. 39 d. Mengenali Emosi Orang Lain atau Empati Mengenali emosi orang lain adalah kemampuan menangkap tanda sosial sehingga mengetahui apa yang dilakukan, dibutuhkan/dikehendaki orang lain. Kemampuan ini dapat disebut juga sebagai kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk memahami perasaan orang lain. Kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan non verbal dari lawan bicara. Misalnya nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah, posisi tubuh, dan lain-lain. e. Membina Hubungan dengan Orang Lain Membina hubungan dengan orang lain yaitu kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain secara cermat serta mampu membaca situasi dan jaringan sosial yang ada di sekitarnya. Menurut Goleman (2009) suatu tata krama menimbulkan norma, salah satunya adalah meminimalkan tampilan emosi di hadapan orang lain, tidak cemberut dan mengerutkan dahi. Karena tampilan emosi memiliki konsekuensi langsung atas pengaruh yang ditimbulkannya pada orang lain. Aturan bagaimana menyembunyikan emosi, menggantinya dengan perasaan bohong yang tidak menyakitkan adalah lebih dari tata karma sosial. Mengikuti aturan dengan baik berarti mengoptimalkan pengaruhnya, melaksanakannya dengan buruk berarti menimbulkan kekacauan emosi. Keterampilan kita dalam mengirimkan isyarat-isyarat emosional dalam berhubungan dengan orang lain mempengaruhi 40 kualitas hubungan tersebut. Semakin terampil seseorang secara sosial maka semakin baik dalam mengendalikan sinyal yang dikirim dalam bahasa verbal maupun non verbal. Kadar hubungan emosi dapat dirasakan dalam suatu percakapan, rapi dalam koordinasi gerakan fisik saat berbicara. Keterampilan antarpribadi yang baik dapat menjalin hubungan sosial menjadi lancar, cakap memantau ungkapan emosi diri maupun orang lain, selalu berupaya menyetarakan diri terhadap bagaimana orang lain bereaksi, serta memiliki kepekaan akan perasaan dan kebutuhan diri. 3. Tahapan dan Prosedur Pelatihan Kecerdasan Emosi Pelatihan kecerdasan emosi yang dilakukan dengan pendekatan kelompok ini akan menggunakan konsep experiental learning. Dalam hal ini menurut Johnson & Johnson (2001) perilaku manusia terbentuk berdasarkan hasil pengalaman yang terlebih dahulu dimodifikasi untuk menambah efektivitas. Semakin lama perilaku menjadi suatu kebiasaan dan berjalan otomatis, maka individu semakin berusaha memodifikasi perilaku yang sesuai dengan situasi. Materi pelatihan kecerdasan emosi yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini disusun oleh peneliti dengan mengacu pada indikator kecerdasan emosi yang dikembangkan oleh Goleman (2009), antara lain: 1. Kesadaran diri, tujuannya agar peserta mampu memahami arti dan makna kesadaran diri sehingga dapat mengenali perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu terjadi. 41 2. Pengaturan diri, tujuannya agar peserta mampu memahami arti dan makna pengaturan diri sehingga dapat mengenali perasaan yang sedang terjadi untuk selanjutnya dapat mengekspresikannya dengan baik. 3. Memotivasi diri, tujuannya agar peserta mampu untuk memotivasi atau memberikan semangat untuk dirinya sendiri di setiap situasi dalam kehidupannya. 4. Empati, tujuannya agar peserta mampu untuk mengenali emosi orang lain sehingga dapat merasakan perasaan yang sedang dialami oleh orang lain. 5. Keterampilan sosial, tujuannya agar peserta memiliki keterampilan sosial sehingga dapat mengatur suasana hati dan dapat menjalin hubungan baik dengan orang lain. Pelatihan kecerdasan emosi yang akan dilaksanakan terdiri atas lima sesi dengan durasi waktu selama enam setengah jam. a. Sesi pertama diawali dengan perkenalan dan ice breaker (menyanyi bersama). Ice breaker dimaksudkan untuk menghilangkan kebekuan diantara peserta dalam suatu pelatihan. Dengan demikian diharapkan mereka akan dapat saling mengenal, mengerti, dan dapat saling berinteraksi dengan baik satu sama lain. Tujuan dilaksanakannya ice breaker adalah 1) agar tercipta kondisi-kondisi yang equal (setara) antara sesama peserta dalam forum pelatihan; 2) menghilangkan sekatsekat pembatas diantara peserta sehingga tidak ada lagi anggapan bahwa ada yang merasa lebih pintar, ada yang merasa bodoh, ada 42 yang merasa kaya, dan lain sebagainya, yang ada hanyalah kesamaan kesempatan untuk maju; 3) terciptanya kondisi yang dinamis di antara peserta; 4) menimbulkan kegairahan atau motivasi antara sesama peserta untuk melakukan aktivitas bersama selama pelatihan berlangsung (Sunarno, 2005). b. Sesi kedua diisi dengan orientasi. Sesi orientasi yang dimaksud adalah suatu proses pemberian pemahaman kepada peserta tentang segala sesuatu yang bekaitan dengan pelatihan yang sedang dilaksanakan. Tujuan dari sesi orientasi adalah 1) menghilangkan kebingungan peserta tentang apa yang sebenarnya sedang mereka ikuti; 2) meluruskan motivasi awal peserta untuk mengikuti pelatihan; 3) memberikan pemahaman tentang hal-hal apa saja yang seharusnya peserta lakukan selama mengikuti pelatihan; 4) memberikan gambaran ringkas tentang hal-hal yang akan peserta temui selama mengikuti pelatihan (dengan tidak memberitahu hal-hal yang sangat rahasia/esensial); 5) memunculkan komitmen dan kesediaan peserta untuk mengikuti acara pelathan dari awal sampai akhir denagn penuh perhatian dan kesadaran diri (Sunarno, 2005). Tahap selanjutnya diisi dengan permainan yang berhubungan dengan indikator kecerdasan emosi. c. Sesi ketiga diisi dengan ceramah tentang tujuan, dan manfaat pelatihan, serta penjelasan tentang metode dan teknik pelaksanaan pelatihan. Hal ini bertujuan agar peserta memahami tujuan dan manfaat pelatihan serta dapat mengikuti setiap sesi pelatihan sesuai 43 dengan prosedur yang telah ditentukan. Selain itu, melalui metode ceramah dapat menambah pengetahuan dan wawasan kepada peserta sehingga dapat mengubah struktur kognitif peserta. Setelah ceramah dilanjutkan diskusi tentang pentingnya kecerdasan emosi. Peserta dikondisikan untuk saling menasihati sesama responden terdekat secara bergantian. Sebelum sesi ketiga usai, acara diisi dengan penayangan video motivasi terkait materi kecerdasan emosi. Pemilihan metode ceramah dalam penelitian ini didasarkan pada pendapat Simamora (2006) yang menyatakan bahwa metode ceramah adalah penyajian informasi secara lisan dan merupakan bentuk pelatihan yang paling umum. Metode ceramah memungkinkan untuk menyajikan cakupan dan materi yang luas dalam jangka waktu terbatas. Teknik ceramah dianggap paling tepat dilakukan untuk memberikan informasi yang sangat banyak kepada sejumlah orang dengan efisien. Dalam metode ceramah dapat pula disertakan media lain seperti notebook, hand out, infocus, dan alat peraga. Kelebihan metode ceramah antara lain: 1) dapat mengkomunikasikan minat intrinsik dan antusiasme terhadap materi bahasan yang dapat meningkatkan minat partisipan dalam proses pelatihan; 2) dapat mencakup materi selain yang sudah ada sebelumnya; 3) dapat menjangkau lebih banyak pendengar sekaligus; 4) pelatih dapat bertindak sebagai model yang efektif bagi peserta; 5) mudah mengendalikan materi yang disampaikan. Dalam kesehariannya proses belajar mengajar yang dilakukan pada sekolah yang akan diteliti menggunakan metode ceramah. Dengan demikian 44 perlakuan dengan pelatihan kecerdasan emosi pada kelompok intervensi dilakukan dengan bentuk ceramah serta dilanjutkan dengan diskusi sensitivitas (sensitivity training). Menurut Simamora (2006), diskusi sensitivitas adalah metode untuk meningkatkan sensitivitas antar pribadi melalui diskusi yang terbuka dan jujur tentang perasaan, sikap, dan perilaku peserta pelatihan. Dalam sesi ini para peserta pelatihan didorong untuk memberitahu peserta lain (pasangannya) secara terbuka tentang bagaimana sikap dan perilakunya. Selanjutnya pasangan memberikan penilaian serta masukan terhadap sikap dan perilaku tersebut. Tujuan dari metode diskusi sensitivitas ini adalah agar peserta pelatihan mampu mengubah perasaan, sikap, kebiasaan, dan perilaku ke arah yang lebih baik. d. Sesi keempat diisi dengan penyampaian kesimpulan akan pentingnya kecerdasan emosi dalam kehidupan sehari-hari. Tahap selanjutnya diisi dengan penyampaian pesan dan kesan responden terhadap pelatihan. Peneliti juga meminta responden untuk memberikan masukan terkait jalannya pelatihan untuk peningkatan kualitas pelaksanaan pelatihan berikutnya. e. Sesi kelima diisi dengan muhasabah yaitu pemutaran video motivasi terkait materi kecerdasan emosi. Pemilihan metode muhasabah dalam akhir sesi pelatihan bertujuan untuk mengistirahatkan pikiran, hati, dan fisik, agar memperoleh stamina, energi, gelora, harapan, dan motivasi baru. Sehingga diharapkan setelah mengikuti pelatihan, peserta dapat lebih memperbaiki diri dan tidak mengulangi kesalahan pada masa 45 yang akan datang (Bachrun, 2011). Sementara itu, pemilihan metode video didasarkan pada banyaknya manfaat yang akan didapat dari penggunaan media film atau video jika diterapkan dalam pelatihan maupun saat proses pembelajaran. Menurut Arsyad (2013) ada tujuh keuntungan menggunakan media film dan video, yaitu: 1) Melengkapi pengalaman-pengalaman dasar dari peserta ketika mereka membaca, berdiskusi, berpraktik, dan lain-lain. Film merupakan pengganti alam sekitar dan bahkan dapat menunjukkan objek yang secara normal tidak dapat dilihat, 2) Menggambarkan suatu proses secara tepat yang dapat disaksikan secara berulang-ulang jika dipandang perlu, 3) Selain mendorong dan meningkatkan motivasi, film dan video menanamkan sikap dan segi-segi afektif lainnya, 4) Mengandung nilai-nilai positif yang dapat mengundang pemikiran dan pembahasan dalam kelompok, 5) Dapat menyajikan peristiwa yang berbahaya bila dilihat secara langsung, 6) Dapat ditunjukkan kepada kelompok besar atau kelompok kecil, kelompok heterogen, maupun perorangan, serta 7) Melalui penayangan gambar frame demi frame, film yang dalam kecepatan normal memakan satu minggu dapat ditampilkan secara singkat dalam beberapa menit saja. Setelah semua sesi selesai, peneliti mengakhiri sesi kelima dengan ucapan terima kasih sekaligus menutup proses pelatihan. Pelaksanaan sesi-sesi dalam pelatihan dijelaskan dalam Tabel 1: 46 Tabel 1 Tabel Pelaksanaan Pelatihan Sesi Pelatihan Waktu Metode Pelatihan a. Perkenalan Pembukaan 60 menit b. Ice Breaker: Brain Gym c. Penjelasan kegiatan d. Kontrak & peraturan pelatihan a. Ceramah, simulasi, diskusi Sesi: Kesadaran dan 90 menit Pengaturan Diri Istirahat 1 b. Permainan “Kayu Jatuh” c. Sesi Hening d. Lembar kerja subjek 15 menit a. Video “Jangan Menyerah” Sesi: 60 menit b. Ceramah, diskusi c. Video “Every One is Number 1” Memotivasi Diri d. Lembar kerja subjek Istirahat 2 30 menit a. Senam Chicken Dance Sesi: Empati dan 60 menit Keterampilan Sosial b. Video “Penyandang DMD Berprestasi” c. Ceramah, diskusi d. Lembar kerja subjek a. Muhasabah: instrumentalia “Bismillah” Penutupan 75 menit b. Video narasi “The Eagle” c. Sesi Cooling Down (Release) d. Evaluasi pelatihan e. Ucapan terima kasih Total 390 menit 47 C. Pelatihan Kecerdasan Emosi untuk Menurunkan Kecemasan Berbicara di Depan Umum pada Siswa Pelajar sebagai generasi penerus bangsa akan sangat diharapkan ide dan gagasannya dalam mengisi pembangunan. Untuk mengungkapkan ide dan gagasan tersebut diantaranya dibutuhkan kemampuan berbicara di depan umum. Namun kenyataannya berbeda, banyak pelajar yang masih takut berbicara di depan umum. Kecemasan berbicara di depan umum sangatlah umum terjadi baik di kalangan siswa, mahasiswa, dan masyarakat umum. Jika hal ini terjadi pada pelajar atau siswa, maka dapat mengakibatkan siswa cenderung menghindari mata pelajaran tertentu atau bahkan jurusan tertentu yang memerlukan presentasi lisan. Dampaknya ke depan dapat pula mengakibatkan mereka memutus terhadap suatu jurusan atau karir tertentu yang memerlukan kemampuan untuk berbicara di depan umum serta dapat pula mengakibatkan mereka menghindari kontak atau kegiatan sosial di masyarakat. Menurut Osborne (2004) perasaan cemas ini muncul karena takut secara fisik terhadap pendengar, yaitu takut ditertawakan orang, takut bahwa dirinya akan menjadi tontonan orang, takut bahwa apa yang akan dikemukakan mungkin tidak pantas untuk dikemukakan, dan rasa takut bahwa mungkin dirinya akan membosankan. Menurut Santoso (1998) kecemasan berbicara di depan umum bersifat subjektif, biasanya ditandai dengan gejala fisik dan gejala psikologis. Termasuk dalam gejala fisik yaitu tangan berkeringat, jantung berdetak lebih cepat, dan kaki gemetaran. Kemudian, 48 yang termasuk gejala psikologis adalah takut akan melakukan kesalahan, tingkah laku yang tidak tenang dan tidak dapat berkonsentrasi dengan baik. Penelitian Zimbardo pada Universitas Stanford di California, AS menyatakan kecemasan membuat individu merasa rendah diri, meremehkan diri sendiri, menganggap dirinya tidak menarik dan menganggap dirinya tidak menyenangkan untuk orang lain. Individu yang cenderung mengalami kecemasan ditandai dengan ketegangan otot dan adanya tingkat kewaspadaan yang sangat tinggi. Kemudian, individu tersebut akan menolak untuk bersosialisasi dengan orang lain, keadaan individu akan membaik ketika ketegangannya berkurang (Rakhmat, 2007). Individu yang pemalu dan cemas secara sosial cenderung untuk menarik diri dan tidak efektif dalam interaksi sosial, ini dimungkinkan karena individu tersebut mempersepsi akan adanya reaksi negatif. Kecemasan merupakan suatu kekurangan dalam hubungan sosial, karena individu yang gugup (nervous) dan terhambat mungkin menjadi kurang efektif secara sosial, misalnya ketika individu mengalami nervous, individu tersebut mungkin menunjukkan indikasi-indikasi seperti gemetar, gelisah, menghindari orang lain, tidak lancar berbicara dan kesulitan konsentrasi (Dayakisna & Hudaniyah, 2009). Sundari (2005) menyatakan bahwa kecemasan timbul karena manifestasi perpaduan bermacam-macam emosi. Oleh karena itu upaya penanggulangannya juga melibatkan faktor emosi. Penelitian lainnya dilakukan oleh Spielberger, Liebert, dan Morris (dalam Elliot, 1999) dalam suatu percobaan konseptual menunjukkan bahwa kecemasan yang dialami 49 oleh individu terdiri atas dua dimensi utama yaitu kekhawatiran dan emosionalitas. Kecemasan berbicara di depan umum bukan hanya disebabkan oleh ketidakmampuan individu dalam berkomunikasi. Namun sering disebabkan juga oleh pikiran negatif dan irasional (Rahayu, dkk. 2004), kestabilan emosi (MacIntyre & Thiviegre, dalam Roach, 1999), keyakinan atau kepercayaan diri (Matindas dalam Astrid, 2003), perbedaaan jenis kelamin ((Elliot & Chong dalam Astrid, 2003), pengalaman yang tidak menyenangkan serta kurangnya pengalaman (Burgoon & Ruffner dalam Dewi & Andrianto, 2003). Oleh karena itu untuk mengatasi seseorang yang mengalami kecemasan berbicara di depan umum dapat dilakukan dengan mengubah pola pikir, meningkatkan kecerdasan emosi, dan meningkatkan efikasi diri (Utami, 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Goleman (2009) menyatakan bahwa faktor kecerdasan emosi berpengaruh pada tingkat kecemasan berbicara di depan umum. Menurutnya kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan, kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi, dan keterampilan sosial, akan membantu seseorang dalam mengatasi kecemasan saat berbicara di depan umum. Pendapat tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2015) yang menyatakan bahwa teknik relaksasi merupakan salah satu upaya untuk dapat mengurangi kecemasan berbicara di depan umum. Selama relaksasi subjek akan dikondisikan untuk mengenali dan mengelola emosi mereka agar dapat mengurangi ketegangan. Proses mengenali dan mengelola emosi merupakan 50 bagian dari aspek kecerdasan emosi yang bertujuan agar subjek waspada terhadap suasana dan hati pikiran untuk selanjutnya dapat menangani dan mengungkapkannya dengan cara yang tepat. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Nevid, Rathus, dan Greene (2005) yang menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan emosional atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosi akan dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan, dan mengatur suasana hati. Wahyuni (2014) mengemukakan bahwa ada hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan berbicara di depan umum. Kepercayaan diri berkaitan erat dengan upaya seseorang dalam memotivasi diri. Orang yang percaya diri akan mampu memotivasi dirinya untuk menata emosi dengan baik, cenderung lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan. Hal tersebut diwujudkan dalam sikap antusias, penuh gairah, optimis dan yakin akan diri sendiri, bersosialisasi dengan mantap, tidak mudah gelisah dan takut, simpatik dan hangat dalam berhubungan serta nyaman dengan diri sendiri dan orang lain (Freud, 2006). Fatma (2008) menunjukkan bahwa melalui pendekatan perilaku kognitif dapat mengelola kecemasan berbicara di depan umum. Perilaku kognitif memegang peran penting dalam kemampuan berempati. Empati melibatkan aspek kognitif untuk mampu menangkap tanda sosial misalnya membaca pesan non verbal dari lawan bicara sehingga mengetahui apa yang dilakukan, dibutuhkan/dikehendaki orang lain. 51 Djajendra (2015) menyatakan bahwa melalui pelatihan kecerdasan emosi individu tidak lagi merasa cemas ketika diminta untuk berbicara di depan umum. Mereka dapat berpikir tentang interaksi masa depan mereka dengan cara yang baru untuk meningkatkan keterampilan komunikasi mereka sehingga akan mendapatkan lebih banyak keuntungan dari kehidupan. Hal ini sesuai dengan pendapat Goleman (2009) yang menyatakan bahwa salah satu aspek kecerdasan emosi adalah keterampilan membina hubungan dengan orang lain. Hal tersebut akan mendorong seseorang untuk dapat menangani emosi dengan baik ketika berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain secara cermat serta mampu membaca situasi dan jaringan sosial yang ada di sekitarnya. Berdasarkan beberapa penelitian di atas maka intervensi untuk menurunkan tingkat kecemasan berbicara di depan umum salah satunya dengan cara memberikan pelatihan kecerdasan emosi kepada para siswa. Apabila para pelajar sebagai generasi penerus bangsa tidak lagi mengalami kecemasan ketika berbicara di depan umum, maka diharapkan mereka akan memiliki kesadaran diri, mampu mengatur diri, memotivasi diri, mampu berempati, dan memiliki keterampilan sosial yang baik sehingga dapat menyampaikan ide dan gagasannya dengan lebih mantab dan percaya diri untuk mengisi pembangunan. Setiap sesi dalam pelatihan diharapkan dapat berkontribusi terhadap penurunan kecemasan berbicara di depan umum pada siswa. Misalnya melalui sesi kesadaran diri atau mengenali emosi. Siswa akan dilatih untuk dapat bersikap peduli, peka akan reaksi pribadi, dan tidak berlebihan dalam 52 menanggapi sesuatu yang terjadi. Aktivitas tersebut sesuai dengan pendapat Goleman (2009) yang menyatakan bahwa mengenali emosi berarti waspada terhadap apa yang terjadi, bukannya tenggelam dan hanyut di dalamnya. Setelah mengenali emosinya, selanjutnya siswa dilatih untuk dapat mengelola emosi dengan lebih tepat melalui sesi mengelola emosi. Emosi yang terjadi akan dapat dikendalikan dengan lebih baik sehingga tidak akan meluap secara ekstrim. Misalnya ketika presentasi di depan kelas, materi dianggap tidak penting oleh sekelompok teman. Siswa yang mampu mengelola emosi dengan baik akan bersikap sewajarnya dan tidak berlebihan menanggapi hal tersebut. Kondisi ini akan membuat tetap rileks, percaya diri, menghindarkan dari depresi, cemas yang berlebihan, amarah yang meluapluap, serta gangguan emosional yang berlebihan. Dengan demikian siswa tetap dapat menyelesaikan presentasi dengan lancar. Hal ini sesuai dengan pendapat Goleman (2009) yang menyatakan bahwa emosi yang tidak dikendalikan akan menimbulkan depresi, cemas berlebihan, dan amarah. Sesi motivasi diri akan membantu siswa untuk mampu menentukan pilihan yang tepat pada saat dihadapkan pada suatu permasalahan. Kemampuan memotivasi diri akan membuat seseorang memiliki motivasi yang tinggi pula dalam hidupnya sehingga akan mendorong individu untuk tetap tekun dan gigih dalam menghadapi tantangan. Misalnya ketika tiba-tiba diminta untuk berbicara di depan orang banyak, sering muncul ketakutan ditertawakan, disalahkan, dan lain sebagainya. Maka siswa yang mampu memotivasi diri akan dapat merespon ketakutan itu sebagai tantangan yang harus dihadapi untuk meningkatkan kompetensi. Selain itu siswa juga akan 53 berusaha untuk memperkecil setiap peluang kemunculan ketakutan dan kekhawatiran yang justru akan menghambatnya. Menurut pendapat Freud (2006), peran individu dalam memotivasi diri terlihat ketika menghadapi problem yang membuatnya berada dalam posisi memilih. Individu bermotivasi tinggi akan tetap tekun dan gigih dalam menghadapi tantangan serta mampu memperkecil kemunculan dorongan hati yang tidak sejalan dengan harapannya. Sesi empati akan melatih siswa untuk memahami perasaan orang lain. Siswa diharapkan mampu membaca pesan non verbal dari lawan bicara meliputi nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah, posisi tubuh, dan lain-lain. Misalnya saat presentasi di depan kelas, ada beberapa teman yang menguap atau berulang kali melihat jam dinding. Dalam kondisi tersebut maka siswa diharapkan dapat segera tanggap bahwa mungkin cara penyampaian materinya monoton atau menjemukan sehingga orang lain mulai jenuh dengan apa yang disampaikannya. Apabila ini terjadi maka siswa harus segera mengubah metode presentasinya. Misalnya dengan memberikan jeda untuk menyanyi, permainan, atau spontanitas lainnya yang bersifat dapat me-recharge semangat teman yang lain sehingga mau mengikuti presentasi dengan antusias. Goleman (2009) yang menyatakan bahwa individu yang mampu berempati ditandai dengan kemampuannya menangkap tanda sosial sehingga dapat mengetahui apa yang dilakukan, dibutuhkan, atau dikehendaki oleh orang lain. 54 Sesi membina hubungan dengan orang lain akan melatih siswa untuk dapat lebih terampil dalam mengirimkan isyarat-isyarat emosional ketika berhubungan dengan orang lain sehingga akan berpengaruh pada kualitas hubungan tersebut. Semakin terampil seseorang secara sosial maka semakin baik dalam mengendalikan sinyal yang dikirim dalam bahasa verbal maupun non verbal. Misalnya saat orang menganggap tidak penting terhadap materi yang sedang disampaikan dengan memberikan komentar negatif, maka melalui pelatihan ini diharapkan siswa dapat meresponnya dengan cara yang lebih positif menggunakan diksi atau pilihan kata yang tepat disertai ekspresi wajah yang tetap santun dan ramah. Hal ini sejalan dengan pendapat Goleman (2009) menyatakan bahwa keterampilan membina hubungan dengan orang lain dapat menjalin hubungan sosial menjadi lancar, cakap memantau ungkapan emosi diri terhadap bagaimana orang bereaksi, serta memiliki kepekaan akan perasaan dan kebutuhan diri. Diharapkan dengan diberikannya pelatihan kecerdasan emosi tersebut maka pelajar akan mampu menurunkan kecemasan berbicara di depan umum. Pelajar akan lebih mampu mengenali atau mendeteksi sejak awal perasaan yang dialaminya ketika berbicara di depan umum untuk selanjutnya dapat mengatur respon yang akan diberikan terkait dengan apa yang sedang dirasakannya. Pelajar juga akan dapat memotivasi dirinya untuk berusaha melawan segala bentuk perasaan cemas yang dialaminya ketika berbicara di depan umum. Disamping hal tersebut, pelajar juga akan belajar untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain yang mengalami kecemasan 55 ketika harus berbicara di depan umum. Dengan demikian mereka tidak akan melakukan hal-hal yang sekiranya dapat menambah kecemasan ataupun perasaan tidak nyaman pada orang lain saat berbicara di depan umum. Selain itu melalui pelatihan kecerdasan emosi tersebut pelajar akan dilatih untuk memiliki keterampilan sosial sehingga dapat menjalin hubungan yang lebih baik dengan orang lain sehingga dapat meningkatkan kualitas dalam interaksi sosialnya. D. Landasan Teori Banyak permasalahan kompleks dan sulit yang harus dihadapi oleh pelajar sebagai generasi penerus sekaligus pengisi kemerdekaan. Stresorstresor yang sering dialami oleh para pelajar meliputi kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sekolah, pergaulan dengan teman sebaya, dan kemampuan yang menuntut mereka untuk mengasah pengetahuan maupun keterampilan untuk dapat mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah merupakan suatu tantangan tersendiri. Bekal pengetahuan dan keterampilan tersebut tentunya akan turut berkontribusi pada keberhasilan mereka dalam pencapaian karir di masa depan. Jurusan Bahasa adalah jurusan yang mewajibkan siswa untuk menguasai lebih banyak hal yang berhubungan dengan kemampuan siswa secara verbal. Siswa jurusan bahasa diharapkan dapat mendefinisikan, mendeskripsikan, dan memaparkan suatu pengertian maupun argumen dengan baik. Siswa diharapkan dapat lebih komunikatif dan terampil dalam menjalin 56 hubungan interpersonal. Namun pada kenyataannya banyak siswa khususnya dari jurusan bahasa yang masih merasa kesulitan bahkan mengalami kecemasan saat diminta untuk melakukan komunikasi di depan umum. Kecemasan berbicara di depan umum pada mulanya dikenal dengan istilah “demam panggung” yang difokuskan pada ketakutan untuk berbicara di depan umum. Menurut McCroskey (dalam Devito, 1995) kecemasan berbicara yang disebut pula sebagai “communication apprehension (CA)” terbagi atas empat jenis yaitu CA as trait, CA in generalized context, CA with generalized people, dan CA as a state. Kecemasan berbicara di depan umum dalam hal ini termasuk dalam jenis CA in generalized context, dimana individu mengalami kecemasan berbicara saat berada pada satu situasi tertentu, tetapi tidak pada situasi lainnya. McCroskey menambahkan, beberapa individu mengalami kecemasan hanya pada kondisi tertentu, maksudnya ada tipe general dari kondisi komunikasi yang menimbulkan kecemasan, yaitu komunikator. Penekanannya adalah bahwa fenomena kecemasan berbicara pada kelas berpusat pada pembicara. Konteks yang paling banyak ditemui adalah berbicara di depan umum (public speaking), misalnya memberikan pidato, presentasi di depan kelas, pada saat pertemuan atau meeting. Individu akan mengalami kecemasan ketika mulai membayangkan sampai berlangsungnya pengalaman berbicara di depan kelas. 57 Rogers (2003) membagi reaksi kecemasan berbicara menjadi dua gejala umum, yaitu: a. Reaksi Fisiologis Reaksi fisiologis adalah reaksi tubuh terutama oleh organ-oran yang diatur oleh saraf simpatetis seperti jantung, pembuluh darah, kelenjar, pupil mata, sistem pencernaan, dan sistem pembuangan. Adanya kecemasan maka akan memicu satu atau lebih organ-organ dalam tubuh menjadi meningkat fungsinya. Hal ini dapat menimbulkan peningkatan jumlah asam lambung selama kecemasan, atau meningkatnya detak jantung dalam memompa darah sehingga jantung berdebar-debar, keluar keringat yang berlebihan, gemetar, sering buang air, dan sirkulasi darah tidak teratur. Dalam kondisi cemas, sering individu mengalami rasa sakit yang berkaitan dengan organ-organ tubuh yang meningkat fungsinya secara tidak wajar. Misalnya ujung jari terasa dingin, pencernaan tidak teratur, tidur tidak nyenyak, nafsu makan hilang, kepala pusing, nafas sesak, mual, dan sebagainya. b. Reaksi Psikologis Reaksi psikologis adalah reaksi kecemasan yang biasanya disertai oleh reaksi fisiologis. Reaksi psikologis dibedakan menjadi dua gejala yaitu gejala yang terkait dengan proses mental dan gejala emosional. Gejala yang terkait dengan proses mental misalnya mengulang-ulang kata, hilang ingatan, melupakan hal-hal yang penting, tidak dapat memusatkan perhatian, gerakan-gerakan yang tidak terarah atau tidak pasti, dan pikiran 58 tersumbat. Sedangkan gejala emosional misalnya rasa takut, tegang, bingung, tidak menentu, terancam, rendah diri, rasa tidak percaya diri, rasa tidak berdaya, rasa kehilangan kendali, rasa malu, panik, dan khawatir. Menghadapi adanya kenyataan tersebut dibutuhkan intervensi yang dapat membuat para siswa khususnya dari jurusan bahasa untuk mengatasi kecemasan berbicara di depan umum. Salah satu upaya untuk mengatasi kecemasan berbicara di depan umum adalah dengan meningkatkan kecerdasan emosi. Kemampuan berbicara di depan umum merupakan bagian dari kemampuan komunikasi. Metode pelatihan kecerdasan emosi, efektif untuk meningkatkan kemampuan komunikasi. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kemampuan komunikasi setelah pemberian pelatihan kecerdasan emosi. Nurdin (2009) menyatakan bahwa pelatihan kecerdasan emosi dapat meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial siswa. Melalui pelatihan kecerdasan emosi siswa belajar untuk memahami pentingnya interaksi dan komunikasi positif dengan orang lain dan apa yang diperlukan untuk menjalin hubungan positif yang penuh empati. Siswa belajar cara berkomunikasi dengan kekuatan empati dan memperkuat hubungan melalui tata krama yang etis dengan orang lain. Siswa juga belajar cara mengakui orang lain dan meningkatkan kontribusi dalam setiap hubungan. Menurut Goleman (2003), pelatihan kecerdasan emosi merupakan rangkaian aktivitas atau strategi dengan menggunakan perasaan sendiri yang muncul pada saat berhubungan dengan diri sendiri dan orang lain. Strategi 59 tersebut mencakup penggunaan pengalaman seperti kesan, ketegangan, dan trauma dalam kehidupan seseorang. Menurut Salovey (dalam Goleman, 2009), ada beberapa aspek yang berperan penting dalam pelatihan kecerdasan emosi antara lain: a. Mengenali Emosi Diri atau Kesadaran Diri Mengenali emosi diri atau kesadaran diri yaitu mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi atau dengan kata lain berarti waspada terhadap suasana hati maupun pikiran kita tentang suasana hati untuk selanjutnya dapat mengupayakan sikap atau tindakan yang tepat. b. Mengelola Emosi Mengelola emosi merupakan kemampuan menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat. Apabila emosi tidak dikelola dengan tepat atau tidak dikendalikan dengan baik sehingga menjadi terlalu ekstrim dan terus menerus maka dapat menyebabkan depresi, cemas yang berlebihan, amarah yang meluap-luap, serta gangguan emosional yang berlebihan (Goleman, 2009). c. Memotivasi Diri Sendiri Memotivasi diri sendiri merupakan kemampuan individu dalam mengarahkan dan mendorong segala daya upaya dirinya bagi pencapaian tujuan yang diharapkan. Orang yang mampu memotivasi diri untuk menata emosi dengan baik cenderung lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan. Menurut Fred (2006), motivasi diri adalah tetap pada tujuan yang diinginkan, mengatasi impuls emosi negatif, dan menunda untuk memperoleh hasil yang diinginkan. 60 d. Mengenali Emosi Orang Lain atau Empati Mengenali emosi orang lain adalah kemampuan menangkap tanda sosial sehingga mengetahui apa yang dilakukan, dibutuhkan/dikehendaki orang lain. Kemampuan ini dapat disebut juga sebagai kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk memahami perasaan orang lain. e. Membina Hubungan dengan Orang Lain Membina hubungan dengan orang lain yaitu kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain serta cermat serta mampu membaca situasi dan jaringan sosial yang ada di sekitarnya. Peningkatan kecerdasan emosi dalam penelitian ini diperoleh melalui pendekatan pelatihan. Hal ini dipilih karena pelatihan adalah metode pembelajaran yang mempunyai tujuan mengubah aspek kognitif, afektif, dan keterampilan atau keahlian (Kikpatrick dalam Salas dkk, 2001). Pelatihan, berbicara pada masalah-masalah yang betul-betul terjadi sebagai topik hari ini. Bila suatu pengalaman diulang berkali-kali, otak memikirkannya sebagai jalur-jalur yang diperkuat, sehingga dapat meningkatkan kemampuan syaraf yang akan digunakan pada saat sulit. Meskipun bahan pelatihan tampak sederhana, hasilnya bisa mengubah seseorang menjadi bertemperamen baik dan sukses di masa depan (Goleman, 2003). Metode pelatihan dapat mempengaruhi hasil pelatihan. Metode yang digunakan dalam pelatihan ini cukup variatif, antara lain eksplorasi diri, ceramah, permainan, diskusi, pemantauan diri, mengisi lembar kerja, umpan balik, dan presentasi. Keberhasilan suatu penelitian juga dipengaruhi oleh 61 metode yang digunakan. Semakin bervariasi penggunaan metode, maka pelatihan akan lebih menarik dan peserta akan merasa terlibat di dalamnya (Pfeiffer & Ballew, 1988). Pelatihan kecerdasan emosi dalam penelitian ini menggunakan metode kuliah (lecture), diskusi sensitivitas, dan permainan. Menurut Simamora (2006), metode kuliah adalah penyajian informasi secara lisan. Metode kuliah merupakan bentuk pelatihan yang paling umum yang memungkinkan untuk menyajikan cakupan dan materi yang luas dalam jangka waktu terbatas. Metode kuliah dinggap paling tepat dilakukan untuk memberikan informasi yang sangat banyak kepada sejumlah orang dengan efisien. Dalam metode kuliah dapat menyertakan media lain seperti notebook, hand out, in focus, dan alat peraga. Kelebihan metode kuliah antara lain dapat mengkomunikasikan minat intrinsik dan antusiasme terhadap materi bahasan yang dapat meningkatkan minat partisipan dalam proses pelatihan. Kelebihan lainnya adalah dapat mencakup materi selain yang sudah ada dan dapat menjangkau banyak pendengar sekaligus. Selain itu dalam metode kuliah pelatih dapat bertindak sebagai model yang efektif bagi peserta kuliah dan mudah mengendalikan materi yang disampaikan. Metode kuliah diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan kepada peserta sehingga dapat mengubah struktur kognitif peserta. Pada umumnya proses belajar mengajar yang dilakukan pada SMA yang akan diteliti menggunakan metode kuliah atau ceramah. Perlakuan dengan pelatihan kecerdasan emosi pada kelompok intervensi dilakukan dengan bentuk kuliah (lecture) dan dikombinasikan 62 dengan diskusi sensitivitas (sensitivity training). Sebelum peneliti memberikan pelatihan kecerdasan emosi dengan metode kuliah, terlebih dahulu peneliti menjabarkan indikator kecerdasan emosi menurut Goleman (2009) yang bertujuan untuk menurunkan tingkat kecemasan berbicara di depan umum pada subjek penelitian. Diskusi sensitivitas merupakan metode untuk meningkatkan sensitivitas antar pribadi melalui diskusi yang terbuka dan jujur tentang perasaan, sikap, dan perilaku peserta pelatihan. Para peserta pelatihan didorong untuk memberi tahu peserta lain (pasangannya) secara terbuka tentang bagaimana sikap dan perilakunya. Selanjutnya pasangan memberikan penilaian serta masukan terhadap sikap dan perilaku tersebut. Tujuan diskusi ini adalah agar peserta pelatihan mampu mengubah perasaan, sikap, kebiasaan, dan perilaku ke arah yang lebih baik (Simamora, 2006). Metode eksposure melalui presentasi ditujukan untuk mengasah keterampilan berbicara di depan umum dan membiasakan peserta untuk menerima umpan balik dari orang lain. Metode permainan ditujukan agar peserta mendapatkan insight terhadap tujuan pelatihan. Situasi yang menyenangkan dan keberhasilan presentasi dapat mengurangi perasaan cemas untuk berbicara di depan umum. Umpan balik yang didapatkan dari trainer maupun peserta lain dapat meningkatkan rasa percaya diri untuk berbicara di depan umum. Komentar dan masukan yang didapat dari anggota kelompok yang mengalami permasalahan yang sama akan lebih dipercaya dan mudah dicerna. Hal ini memungkinkan masukan yang didapat oleh peserta dapat mengurangi ketakutan yang berlebihan terhadap evaluasi negatif dari orang 63 lain. Selain itu peserta juga akan lebih memahami kelebihan dan kekurangannya dalam melakukan presentasi sehingga fokus yang berlebihan terhadap kekurangannya dapat dikurangi (Prawitasari, 1999). Berdasarkan penjelasan teori di atas, maka kerangka berpikir dalam penelitian ini digambarkan dalam bagan sebagai berikut: Stressor Situasi kecemasan berbicara di depan umum Kecemasan Reaksi kecemasan, Rogers (2003): 1. Reaksi Fisiologis 2. Reaksi Psikologis a. Proses Mental b. Gejala Emosional Intervensi Pelatihan Kecerdasan Emosi Goleman (2009): Target Kecemasan menurun 1. 2. 3. 4. 5. Mengenali emosi Mengelola emosi Memotivasi diri Empati Membina hubungan dengan orang lain 64 E. Hipotesis Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Kecemasan berbicara di depan umum setelah diberi pelatihan kecerdasan emosi lebih rendah daripada sebelum pelatihan. 2. Kecemasan berbicara di depan umum pada kelompok eksperimen mengalami penurunan lebih besar daripada kelompok kontrol.