MEMPERTIMBANGKAN KEMBALI INKULTURASI ISLAM DALAM PERKAWINAN ADAT TOLAKI DI KABUPATEN KONAWE Muh.Satria,S.H,M.Kn INTISARI Inkulturasi Ajaran Islam Dalam Perkawinan Adat Tolaki Di Kabupaten Konawe Muh.Satria,S.H,M.Kn. Titik temu Islam dan budaya lokal khususnya pada masyarakat Tolaki tampaknya terimplementasi dalam proses perkawinan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa Islam, berbeda dengan pandangan sebagian kaum muslim, sangat fleksibel dengan budaya lokal di mana Islam memanifestasikan dirinya. Tulisan ini secara spesifik mengulas dan menyoroti hubungan harmonis antara ajaran Islam dengan budaya Tolaki khususnya dalam prosesi perkawinan adat Tolaki. Proses inkulturasi ini tampak, misalnya, di dalam prosesi perkawinan di mana unsur Islam seperti P3NTCR, pihak KUA dan unsur adat seperti Puutobu dan pabitara bertemu dalam perhelatan tersebut. Hubungan Islam dan adat Tolaki yang tampak pada upacara perkawinan adat memperlihatkan sebuah bentuk penyesuaian, saling belajar, dan saling berdialog satu sama lain. Artinya, pada prosesi perkawinan ini tidak ada kubu, Islam dan Adat, yang dominan dan saling mendominasi. Dari sinilah kemudian bisa ditarik kesimpulan bahwa ketegangan antara Islam dan adat Tolaki sebenarnya sangat jarang ditemui, tidak seperti anggapan sebagian masyarakat Muslim Tolaki di daerah ini. Ketegangan justeru muncul ketika Islam diposisikan sebagai ajaran yang ingin mendominasi dan menghilangkan eksistensi budaya lokal, atau melukai harmonisasi budaya lokal dengan Islam seperti yang selama ini terjalin dengan baik. KATA KUNCI Inkulturasi, perkawinan adat, Islam, budaya Tolaki “....antara Islam dan paham pemikiran lain atau budaya lain berlangsung proses saling mengambil dan saling belajar. Konsekuensi logis dari keterbukaan seperti itu adalah keharusan untuk mendudukkan Islam hanya sebagai faktor penghubung antara berbagai budaya lokal. Dan melayani semua budaya lokal itu [akan] menumbuhkan universalitas pandangan baru tanpa tercabut dari akar kesejarahan masing-masing” (Abdurrahman Wahid, 2001. Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan). Prolog Akhir-akhir ini kita sering disibukkan dengan gugatan, apakah kebudayaan Tolaki bisa dipertemukan dengan ajaran Islam? Gugatan ini kemudian memunculkan polarisasi sikap dan pandangan masyarakat Tolaki terhadap kebudayaan Tolaki. Pertama, kebudayaan Tolaki bisa dipertemukan dengan ajaran Islam. Hal ini tampak pada acara-acara adat Tolaki 1 dimana unsur Islam berpadu dengan budaya. Kedua, budaya Tolaki tidak bisa dipertemukan dengan ajaran Islam. Budaya Tolaki dengan unsur Kalosara-1nya dianggap bid’ah, sesuatu yang sesat dan bertentangan secara diametral dengan Islam sejati. Selanjutnya, kelompok pendukung gagasan ini menganggap bahwa mempertahankan dan mempraktekkan budaya/tradisi Tolaki yang notabene merupakan warisan nenek moyang dianggap sebagai kesesatan dan cenderung kepada kekafiran. Pandangan kedua ini cenderung ekstrim dalam melihat keterkaitan budaya dan Agama (Islam), dan ketiga, Islam dan budaya Tolaki tidak ada masalah, artinya keduanya bisa dipertemukan dan bisa pula dipertentangkan. Polarisasi pandangan masyarakat Tolaki terhadap kebudayaannya memungkinkan terjadi karena perubahan masyarakat yang terus menerus terjadi secara meluas. Tahapan perkembangan dan perubahan budaya memungkinkan masyarakat bersikap terhadap tradisinya sendiri. Terkait dengan hal ini, Suparlan (1995:25) mengemukakan bahwa dinamika atau ekses perubahan sosial pada komunitas tertentu memungkinkan terjadinya seperti hal-hal sebagai berikut: pertama, Mereka berusaha meninggalkan atau membuang tradisi-tradisi kebudayaan mereka, karena mereka melihat tradisi-tradisi tersebut sebagai atribut yang tidak menguntungkan bagi jati diri atau identitas mereka dalam berinteraksi dengan golongan etnik atau suku bangsa lainnya, dan bagi kemajuan tingkat sosial, ekonomi, dan kebudayaan yang ingin mereka capai. Sebagai gantinya mereka mengadopsi kebudayaan atau unsur-unsur kebudayaan lainnya yang mereka lihat sebagai dominan dalam struktur hubungan antar kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat di mana mereka tinggal. Kedua, mereka secara spesifik melarikan diri lebih jauh dari pusat-pusat berlakunya kontak kebudayaan dengan dunia luar dan dari kontak-kontak dengan kebudayaan yang lebih maju, sehingga secara kebudayaan mereka terbebas dari pengaruh kebudayaan luar yang 2 dirasakannya sebagai beban kejiwaan dan mental karena merasakan kecilnya harkat dan martabat kemanusiaan mereka dalam kerangka acuan kebudayaan luar tersebut. Ketiga, Kehidupan komunal dan solidaritas sosial mengalami disorganisasi atau bahkan mengalami disintegrasi karena mekanisme kontrol yang ada di dalam kebudayaan mereka yang tidak dipergunakan. Masyarakat Tolaki dengan segenap kebudayaannya merupakan system of boundary2 yang tak pelak harus berhadapan dengan perubahan. Perubahan sosial yang terjadi disebabkan oleh modernisasi dan agama baru atau ide-ide baru. Proses Islamisasi di Sulawesi Tenggara,3 utamanya pada masyarakat Tolaki berbarengan dengan upaya peminggiran budaya lokal dan/atau bahkan inkulturasi dengan budaya Tolaki. Peminggiran budaya lokal (budaya Tolaki) berbarengan dengan munculnya paham keislaman baru yang berkembang di tengah masyarakat. Tetapi pada saat bersamaan, paham keagamaan (Islam) tertentu masih terus berupaya mengadopsi budaya lokal, khususnya dalam kerangka ‘pribumisasi Islam’.4 Inkulturasi Islam dengan budaya Tolaki tampak pada acara adat perkawinan Tolaki. Pada acara ini unsur Islam dan budaya memperlihatkan bentuk pemaduan atau inkulturasi. Beberapa Pengertian Mendasar Dalam tulisan ini, terdapat 3 (tiga) variabel penting yang akan diulas, yakni inkulturasi, ajaran Islam, dan perkawinan adat Tolaki. berdasarkan ketiga variabel ini, tulisan ini akan melihat dan mengungkap bagaimana Islam menemukan manifestasinya dalam proses inkulturasi dengan budaya Tolaki di Kabupaten Konawe, khususnya dalam upacara adat perkawinan Tolaki. 1. Inkulturasi 3 Dalam studi kebudayaan lokal, inkulturasi mengandaikan sebuah proses internalisasi5 sebuah ajaran baru ke dalam konteks kebudayaan lokal dalam konteks akomodasi atau adaptasi. Inkulturasi dilakukan dalam rangka mempertahankan identitas. Dengan demikian, inkulturasi islam dengan kebudayaan lokal mirip dengan apa yang dikemukakan oleh K.H. Abdurrahman Wahid sebagai ‘pribumisasi Islam’. Pribumisasi di sini dimaksudkan dalam rangka memberi warna islam terhadap kebudayaan lokal. Islam, dari sisi ini, tidak bertentangan dengan budaya lokal. Tetapi keduanya saling menyesuaikan dan saling mengisi. Relasi Islam dengan kebudayaan lokal, utamanya kebudayaan Tolaki, memperlihatkan sebuah kecenderungan adaptasi kultural. Adaptasi, seperti diuraikan Rappaport yang dikutip Giddens (2003:283), merupakan proses di mana organisme atau kelompok-kelompok organisme, melalui perubahan-perubahan responsif dalam keadaan, struktur atau komposisinya, sanggup mempertahankan homeostasis di dalam dan di antara mereka sendiri untuk menghadapi fluktuasi lingkungan jangka pendek atau perubahan-perubahan jangka panjang pada komposisi atau struktur lingkungannya. Senada dengan hal tersebut, Harding mengatakan bahwa dalam teori evolusi,6 adaptasi berkaitan dengan bukan hanya hubungan antara masyarakat dan alam, namun juga dengan usaha ‘saling menyesuaikan di antara masyarakat sendiri’. “Adaptasi dengan alam akan membentuk teknologi budaya dan secara derivatif juga menciptakan komponen sosial berikut perangkat ideologisnya. Tapi adaptasi dengan budaya-budaya lain bisa membentuk masyarakat dan ideologi, yang pada gilirannya bertindak berdasarkan teknologi dan menentukan masa depannya. Keseluruhan akibat proses adaptif tersebut adalah produksi suatu keutuhan budaya yang terorganisir, suatu teknologi terpadu, masyarakat dan ideologi, yang berhadapan dengan pengaruh selektif ganda alam di satu pihak dan di pihak lain dampak budayabudaya luar” (Giddens, 2003:283). 4 Proses adaptatif suatu komunitas lokal tidak saja dengan alam dan dengan komunitas lokal yang lain. Tetapi lebih dari itu, komunitas lokal mesti adaptif dan akomodatif dengan kebudayaan global dan ajaran-ajaran baru. Selama ini sudah lazim dipahami bahwa persentuhan antara budaya lokal dengan budaya global menjadi tak terelakkan lagi. Persentuhan antara yang global dan yang lokal di satu pihak mempersempit ruang-ruang komunikatif dan tentu saja menguntungkan kedua belah pihak. Namun di sini lain, globalisasi seringkali melakukan penyeragaman dan pemaksaan idiom atau wacana-wacana global. Di satu sisi ingin merayakaan kebersamaan namun di sisi lain ada kolonisasi baru (Friedman, 2000; Jameson, 2000; Robertson, 1992). 2. Ajaran Islam Sumber ajaran Islam yang utama adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Di samping kedua sumber utama tersebut, para ulama memasukkan ijtihad atau ra’yu, qiyas, maslahah mursalah, istihsan, al-‘urf, dan syara’ man qablana sebagai bagian penting dalam sumber hukum Islam (Rahman, 2000; Abu Zahrah, 1958). Perkawinan dalam Islam merupakan bentuk integrasi atau inkulturasi dengan perkawinan dalam tradisi-tradisi lokal. Salah satu elemen penting dalam prosesi perkawinan adalah taklik talak. Penelitian tentang bentuk institusi taklik talak ini, membuktikan adanya percampuran elemen-elemen yang diderivasikan dari hukum adat dan Islam. Walapun pengaruh hukum islam dalam hal ini bersifat dominan, namun peran hukum adat dalam rangka menjadikan taklik talak sebagai alat yang efektif bagi wanita untuk mengakhiri ikatan perkawinannya tampak jelas. Demikian pula dalam hukum Islam, perceraian dapat terjadi atas dasar terpenuhinya beberapa syarat tertentu (Lukito, 1998: 79-80, lihat juga Syaltut, 1988). Dengan demikian, ajaran Islam merupakan ajaran yang sangat elastis terhadap 5 perkembangan kebudayaan lokal. Hal ini dibuktikan dalam bentuk akomodasi dengan tradisitradisi lokal yang cukup prevalen dan sejauh tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. 3. Perkawinan Adat Tolaki Dalam kajian antropologi budaya, perkawinan adat merupakan variabel penting dalam kajian kebudayaan dalam masyarakat tertentu. Bahkan Wissler seperti dikutip Ihromi (1987) memasukkan perkawinan sebagai bagian dari pola budaya universal. Perkawinan dalam kajian ini merupakan pola budaya sistem keluarga dan sosial. Goodenough seperti dikutip Tarimana (1993) mendefinisikan perkawinan sebagai: ...a male transaction and resulting contract in which a person (male or female, corporate or individual; in person or by proxy) establishes acontinuing claim to the right of sexual acces to a woman—this right having priority over rights of sexual acces others currently have or may subsequently acquire in relation to her (except in a similar transaction) until the contract resulting from the transaction is terminated— and in which the women involved is eligible to bear children. Jadi perkawinan antara dua jenis kelamin yang berbeda dilakukan dalam rangka mengikat kontrak sosial antara dua keluarga. Perkawinan sebagai ikatan kontrak sosial didefinisikan oleh Keesing (1981) bahwa Marriage is characteristically not a relationsip between individuals but a contract between groups (often, between corporations). The relationship contratually established in marriage may endure despite the death of one partner (or even of both) Sistem perkawinan di semua kebudayaan memiliki corak dan tujuan yang universal yakni dalam rangka mempertahankan keturunan dan ikatan-ikatan sosial. Demikian halnya dalam kebudayaan Tolaki, di mana perkawinan merupakan variabel kebudayaan yang cukup signifikan dalam pembacaan terhadap kebudayaan Tolaki. Menurut Tarimana (1993) orang Tolaki memakai tiga istilah untuk mendefinisikan perkawinan yakni medulu (berkumpul, bersatu), mesangginaa (makan bersama dalam satu 6 piring) dan merapu (merumpun, keadaan ikatan suami istri, anak-anak, mertua-mertua, dan seterusnya. Perkawinan yang dilakukan ini diharapkan akan semakin memperbesar rumpun keluarga atau marga. Pembahasan Episteme Budaya Tolaki dan Islam Kullu muhdatsah bid’ah, wa kullu bid’ah dhalalah wa kullu dhalalah fi al-nar (setiap hal yang bersifat baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan akan masuk neraka). Konteks hadis tersebut kadang-kadang dikemukakan dalam melihat hubungan budaya dan agama (Islam). Sesuatu yang bersifat baru yang bersifat bid’ah, disini dimaksudkan sebagai penambahan sesuatu yang baru dalam urusan ibadah, apalagi jika hal demikian dianggap sebagai bagian dari peribadatan kaum muslimin. Konteks muhdatsah yakni yang berpretensi menambah sesuatu hal yang baru dalam urusan sistem ibadah Islam, yang batas-batas dan ukurannya telah ditetapkan dan ditentukan secara utuh dan lengkap, tanpa bisa diubah dan diperbarui oleh siapapun. Seperti kewajiban berpuasa yang hanya berlaku pada bulan ramadhan. Bila ada seseorang yang ingin menambah satu atau dua hari dari waktu yang telah ditetapkan, maka sungguh ia telah melakukan suatu bid’ah dalam urusan agama, sehingga dikhawatirkan bakal merusak keutuhan sistem agama (Al-Jabiri, 2000). Menurut al-Jabiri (2000), kandungan makna istilah bid’ah juga terkait dengan persoalan ideologis. Di masa khilafah Umayyah dan Abbasiyah, penggunaan istilah bid’ah sering digunakan untuk menyerang lawan politik atau aliran kalam yang berbeda. Masingmasing aliran kalam mencap lawan politiknya sebagai “pelaku bid’ah” (mubtadi’ah). Seperti aliran Ahl Sunnah yang mencap aliran Mu’tazilah sebagai pelaku bid’ah, dan sebaliknya, 7 pihak yang terakhir ini pun menyebut kaum ahl sunnah sebagai pelaku bid’ah yang keblinger. Penggunaan kata bid’ah dalam makna politik atau yang disebut al-Jabiri sebagai “transendentalisasi politik” (ta’ali bi al-siyasah) yang berimplikasi kepada munculnya fenomena politisasi ajaran-ajaran transenden (tasyis al-muta’ali) menemukan manifestasinya ketika ia menjadi ideologi politik. Kenyataan ini kemudian menggiring kepada kasus mihnah, di mana lawan politik tertentu ditebas sampai ke akar-akarnya. Dengan demikiah, istilah bid’ah terkait dengan masalah fiqhiyah dan ideologi. Terkait dengan adat (al-‘adah atau al-‘urf), sebagian fuqaha tidak menjadikannya sebagai bagian dari interpretasi hukum Islam dan metodologi hukum islam (ushul al-fiqh). Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa hukum Islam atau ajaran Islam sudah komplit dan divine karena telah ditetapkan oleh Allah melalui Al-Qur’an dan Sunnah oleh Rasul Muhammad. Tetapi, Para ahli hukum Islam sejak masa klasik, seperti dikemukakan oleh alQarafi dalam Syarh Tanqih al-Fusul fi Ikhtisar al-Mahsul fi al-Usul (1973), sesungguhnya telah menyadari masalah pengaruh hukum adat terhadap hukum Islam. Walaupun mereka tidak serta merta memandang bahwa adat sebagai sumber hukum independen, namun para hakim atau ahli hukum Islam tersebut tetap menyadari keefektipan adat dalam proses interpretasi hukum (as-Sabuni dan Tantawi, 1982). Dengan demikian, para ulama fiqh memandang bahwa dalam metodologi hukum Islam (usul al-fiqh), adat (‘urf atau ‘adah) diterima sebagai satu sumber hukum yang dikembangkan dari akal pikiran (ra’y) di samping qiyas, istihsan, dan istislah. Dengan kata lain, hukum adat mempunyai tempat dalam hukum Islam sepanjang tidak bertentangan dengan sumber hukum wahyu. Penggunaan atau tepatnya pengadopsian hukum adat dalam hukum Islam telah banyak dilakukan oleh ulama fiqh, seperti imam Abu Hanifah, ulama Hanafiyah, dan imam 8 Malik.7 Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibn Hanbal tampaknya tidak begitu memperhatikan adat dalam keputusan hukum. Hal ini ditunjukkan, misalnya, bahwa Imam Syafi’i sendiri dalam kitab utamanya, al-Umm dan ar-Risalah, tidak begitu serius mendiskusikan peran adat sebagai argumentasi hukum yang autentik. Dalam konteks budaya atau tradisi etnik Tolaki dengan Islam, sebagian masyarakat masih cenderung terjebak ke dalam pandangan bahwa budaya Tolaki dan Islam selalu bertolak belakang, konfrontatif dan bernuansa konflik. Pandangan semacam ini bertitik tolak dari teori konflik yang selalu melihat permasalahan dari sudut konflik, dengan menafikan aspek akomodatif. Seperti dalam acara perkawinan, sebagian masyarakat Tolaki memandang bahwa adat perkawinan yang berdasarkan adat dan budaya tidak sesuai dengan ajaran Islam atau bid’ah. Padahal adat perkawinan Islam yang selama ini berlaku ternyata banyak mengadopsi dan mengakomodasi praktek-praktek adat yang berlaku di masyarakat. Akomodasi Islam dengan sistem budaya yang berlaku di masyarakat atau dalam istilah Gus Dur “Pribumisasi Islam” merupakan sebuah keniscayaan, jika Islam ingin mengakar kuat dalam masyarakat. Contoh paling konkret di mana Islam sangat akomodatif dengan budaya lokal adalah Islam dengan adat Aceh dengan istilah “hukum ngon adat hantom cre, lagee zat ngon sifeut”, Islam dengan adat Minangkabau “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”, Islam dan adat di Ambon “adat dibikin di Mesjid”, dan sebagainya. Dengan demikian, banyak hal di mana Islam bisa akomodatif dengan kebudayaan tertentu di negeri ini. Inkulturasi Islam dengan adat dan Budaya Tolaki, secara riil, bisa ditemukan dalam ekspresi perkawinan. Dalam prosesi ini, pengucapan sigat taklik resmi versi departemen agama8 biasanya didahului ucapan-ucapan kalimat suci. Dalam prosesi itu, unsur-unsur adat 9 dan Islam menyatu yang dibuktikan dengan kehadiran unsur imam (P3NTCR), puutobu, pabitara, dan pemerintah. Inkulturasi Islam dengan adat atau budaya Tolaki dimaksudkan dalam rangka memelihara eksistensi Budaya dan Islam secara bersamaan. Islam dan Perkawinan Adat Tolaki Dalam prosesi perkawinan adat Tolaki ada beberapa unsur penting dalam perhelatan tersebut, yakni pertama, pemerintah, kedua, unsur agama atau ulama, ketiga, tolea, dan keempat, pabitara, kelima, puutobu. Kelima unsur ini seyogyianya ada dalam setiap perhelatan perkawinan adat Tolaki, mulai dari waktu peminangan sampai pada saat perkawinan. Unsur adat seperti tolea, pabitara dan puutobu merupakan perangkat keras dalam perkawinan adat Tolaki (Anonim, 1996). Proses penyelenggaraan perkawinan terdiri dari lima tahap yakni tahap metiro atau metitiro (mengintip, meninjau calon istri), monduutudu (pelamaran jajagan), meloso’ako (pelamaran yng sesungguhnya), mondongo niwule (meminang), dan mowindahako (upacara nikah) (Tarimana, 1993; lihat juga Lakebo dkk, 1977/1978: 118-120). Berbeda dengan deskripsi al-Ashur (2001) mengenai deskripsi perkawinan adat tolaki. Menurut al-Ashur, proses perkawinan adat Tolaki terdiri dari beberapa tahap yakni; Morakerapi atau mohawuhawu wuandainahu (pra melamar), Monduutudu/pepetooriako (melamar), Mondongo Niwule/mondongo obite (meminang), mowindahako (penyerahan pokok adat dan seserahan adat lainnya), dan mehue (penyucian diri Tolea dan Pabitara). Meski demikian kenyataan ini tidaklah mengurangi nilai sakralitas perkawinan adat dalam masyarakat Tolaki. Prosesi perkawinan adat Tolaki menggunakan medium Kalosara. Biasanya kalo dipergunakan berdasarkan tingkatan sosial pihak perempuan. Misalnya jika seorang calon mempelai perempuan beraasal dari tingkatan sosial yang tinggi (bangsawan), ukuran 10 diameter Kalo lebih besar. Hal terpenting dari prosesi ini bahwa perhelatan itu berssarkan keyakinan agama masing-masing. Ini artinya jika kedua mempelai beragama Islam maka akad nikah atau sigat taklik biasanya dimulai dengan ucapan-ucapan suci, seperti membaca bismilah dan dua kalimat syahadat dipimpin oleh seorang Imam (o ima). Kondisi inilah yang kemudian diyakini bahwa perkawinan adat tolaki tidak serta merta dipisahkan dari keyakinan agama, seperti islam. dengan demikian, dapat dilihat dari satu sudut pandang pasti bahwa Islam dan adat Tolaki seringkali bertemu dalam setiap perhelatan adat, tidak bertentangan seperti anggapan sebagian masyarakat muslim Tolaki di daerah ini. Sikap kita Kebudayaan atau adat istiadat, bagaimana pun, akan selalu berhadapan dengan modernitas (hadatsah). Penerimaan atas modernitas sebagai keniscayaan dalam masyarakat kita tidaklah serta merta menghilangkan identitas kita, utamanya identitas budaya etnik Tolaki. Modernitas memiliki muatan-muatan positif yang perlu diapresiasi, seperti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemajuan masyarakat, dan sebagainya. Memang tidak bisa dielakkan bahwa proyek-proyek modernitas seringkali mengaburkan (vaguing), jika bukan menghilangkan, identitas etnis, terutama dalam hal ini perhelatan adat etnis tertentu. Hal ini dimungkinkan karena modernitas dengan segala variannya memiliki misi penyeragaman dan lebih mementingkan pusat (center) ketimbang pingggir (periphery). Karena itu sangat tidak jarang kita menemukan pertentangan antara pusat dan pinggir, antara modernitas dengan lokalitas, seperti dalam kasus kebudayaan Toraja (Aluk Todolo) dengan modernitas di Tana Toraja (Idaman, 2005; Adams, 1997, 1998; 11 Volkman, 1987; Yamashita, 1994), etnis Kajang dengan Islamisasi di Bulukumba (Ma’arif, 2003), etnis dayak dengan Islam (Tsing, 1987), dan sebagainya. Islam sebagai ajaran baru dan diakui merupakan kecenderungan modernitas seringkali bertentangan dengan kominitas lokal yang masih mempertahankan adat istiadat nenek moyang. Seperti kita lihat dalam kasus Islamisasi di Kajang, di mana etnis Kajang masing bersikukuh dengan tradisi dan adat istiadat yang mereka warisi dari nenek moyang mereka. Kondisi ini memperlihatkan sulitnya penyesuaian antara Islam dan Adat. Tetapi dalam kasus budaya dan adat tolaki, tampak bahwa antara kedua kutub ini telah terjadi penyesuaianpenyesuaian atau akomodasi Islam dan Adat. Tentu kita tidak ingin melihat lebih jauh pertentangan yang mengarah kepada konflik antara kepentingan penyebaran Islam atau Islamisasi dengan budaya Tolaki. Di tengah deru proyek-proyek modernitas, masyarakat Tolaki perlu bersikap bijak dan arif menghadapinya. Penolakan secara totalitas atas proyek-proyek modernitas yang cenderung konstruktif tidaklah serta merta mengaburkan identitas budaya itu sendiri. Oleh karena itu, sikap terbaik, seperti ditunjukkan oleh kaum Nahdhiyyin adalah Al-muhafadzah ‘ala al-qadiim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (menjaga sesuatu yang lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik). Diharapkan, masyarakat Tolaki tetap menjaga dan mempraktekkan tradisi lama yang dianggap kompatibel dan prevalen bagi zaman ini, tetapi pada saat yang sama mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik, yakni ajaran Islam 12 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan, 2002. Metode Penelitian Kualitatif: Suatu pengantar Umum. UGM: Magister Administrasi Publik Abu Zahrah, Muhammad, 1958. Ushul al-fiqh. Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi Adams, Kahteen M., 1998. “More than an Ethnic Marker: Toraja Art as Identity Negotiator,” American Ethnologist 25 (3):327-351. Adams, Kathleen M., 1997. Ethnic Tourism and the Renegotiation of Tradition in Tana Toraja (Sulawesi, Indonesia). Ethnology 36 Fall (4). Al-Ashur, Arsamid, 2001. Deskripsi Adat Perkawinan Tolaki. Unaaha. al-Jabiri, Muhammad Abed, 2000. Post Tradisionalisme Islam, Alih bahasa: Ahmad Baso. Yogyakarta: LKiS. Amin, Syamsul Ma’arif. 2003. Religious Freedom In Indonesia (The Constitution, Islamization, and the Ammatoa of Sulawesi). Tesis S2 Comparative Religious Studies. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Anonim, 1996. Hukum Adat Perkawinan Tolaki. Unaaha. As-Sabuni, Khafifah Babakr Abd Rahman dan Mahmud Tantawi, 1402/1982. Al-madkhal alFiqhi wa Tarikh at-Tasyri’ al-Islami. Kairo: Dar al-Muslim. Berger, Peter L.1990. The Sacred Canopy: Elements of A Sociological Theory of Religion. New York: Anchor Book. Baso, Ahmad, tanpa tahun. “Bisakah Lokalitas Berbicara? Pribumisasi Islam sebagai Uoaya Menggugat “Imperium” Tafsir Resmi Agama”. Makalah tidak dipublikasikan. Bhurhanuddin, B.dkk, 1978-1979. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Djam’annuri. 2003. Studi Agama-Agama: Sejarah dan Pemikiran. Yogyakarta: Pustaka Rihlah Friedman, Jonathan, 2000. Cultural Identity and Global Process. London: SAGE Publications. 13 Giddens, Anthony, 2003. The Constitution of Society: Teori Strukturasi Untuk Analisis Sosial. Pasuruan: Pedati. Idaman, 2005. ‘Ritual, Identitas, dan Modernitas (Redefinisi Kepercayaan Aluk Todolo di Tana Toraja, Sulawesi Selatan’. Tesis S2 Comparative Religious Studies, Yogyakarta, Gadjah Mada University. Ihromi, T.O., 1987. “Kata Pengantar” dalam T.O. Ihromi (ed.), Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia. Jameson, Fredrick, 1991. Postmodernism or the Logic of Late Capitalism, Durham: Duke University Press. Keesing, R.M., 1981. Cultural Anthropology: A Contemporary Perspective. London: Holt, Rinehart & Winston. Kurtz, Lester R. 1995. Gods in the Global village: the World’s Religions in Sociological Perspective, California: Pine Forge Press Lakebo, Berthijn, Haris Mokora, La ode Ibu, A. Mulku Zahari, Mangarati, Arsamid, ed. 1977/1978. Adat Istiadat Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Lukito, Ratno, 1998. Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Jakarta: INIS. Qarafi, Ahmad ibn Idris al-, 1973. Syarh Tanqih al-Fusul fi Ikhtisar al-Mahsul fi al-Usul. Kairo dan Beirut: Maktabah Wahbah. Rahman, Fazlul, 2000. Islam. Bandung: Penerbit Pustaka. Robertson, Roland, 1992. Globalization: Social Theory and Global Culture, London. Suparlan, Parsudi, 1995. Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Syaltut, Mahmud, 1988. Fatawa. Kairo: Dar al-Syuruq. Tarimana, Abdurrauf, 1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai pustaka. Tsing, Anna Lowenhaupt. 1987. “A Rhetoric of Centers in a Religion of the Periphery,” dalam Rita Smith Kipp dan Susan Rodgers (ed.), Indonesian Religions In Transition. Tueson: The University of Arizona Press. 14 Volkman, Toby Alice. 1987. “Mortuary Tourism in Tana Toraja,” dalam Rita Smith Kipp dan Susan Rodgers (ed.), Indonesian Religions In Transition. Tueson: The University of Arizona Press Wahid, Abdurrahman, 2001. Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. Depok: Desantara. Yamashita, Shinji, “Manipulating Ethnic Tradition: The Funeral Ceremony, Tourism, and Television Among The Toraja of Sulawesi,” Indonesia No. 59, 1994. 1 dalam masyarakat Tolaki, Kalosara merupakan medium atau tiitk sentral nilai dan pedoman kehidupan bagi masyarakat Tolaki. Menurut Tarimana (1993), Kalo memiliki empat fungsi yakni (1) sebagai ide dalam kebudayaan dan sebagai kenyataan dalam kehidupan orang Tolaki; (2) sebagai fokus dan pengintegrasi unsurunsur kebudayaan Tolaki; (3) sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral dalam kehidupan orang Tolaki; (4) sebagai pemersatu untuk pertentangan-pertentagan konseptual dan sosial dalam kebudayaan dan dalam kehidupan orang Tolaki. 2 System of Boundary mengandaikan sebuah komunitas atau masyarakat terikat oleh sistem atau setting kehidupan sosial di lingkungan mereka. Masyarakat akan mengalami integrasi dengan lingkungannya dalam arti tidak bisa dipisahkan dari sistem-sistem sosial kehidupan lainnya. 3 proses Islamisasi di Sulawesi Tenggara, khususnya dalam masyarakat Tolaki, diduga dibawah oleh pedagangpedagang Bugis-Makassar pada abad ke-20. lebih jauh mengeni hal ini lihat Bhurhanuddin, B. Dkk, (19781979) 4 Pribumisasi Islam merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada akhir 1980-an dalam rangka memperjumpakan antara Islam dan tradisi lokal (baca: tradisi Jawa). Dengan gagasan ini, Wahid setidaknya ingin menempatkan lokalitas berbicara, berdialog, bernegosiasi dan bahkan juga melakukan resistensi terhadap tafsir-tafsir agama. Dengan demikian, pribumisasi Islam lahir dalam konteks Wahid untuk tidak menjadikan Islam sebagai alternatif kebangsaan. Singkatnya, seperti kata Wahid sendiri, “mengokohkan kembali akar budaya kita, dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama”. Lihat Baso (tth), Wahid (2001. 5 Internalisasi merupakan upaya pencarian makna yang dilakukan oleh umat manusia. Dalam proses ini menurut Peter Berger, nilai-nilai general (realitas obyektif) kembali dipelajari oleh manusia dan menjadi bagian dari kehidupannya (Berger, 1990:4; Kurtz, 1995:10-11; Abdullah, 2002:11). 6 Teori evolusi dikembangkan oleh Charles Darwin khususnya ketika menghablurkan karya kontroversialnya, the Origin of Species. Dalam studi ilmu sosial, teori evolusi yang dikembangkan oleh Darwin menjadi ilmu terseniri yag disebut dengan darwinisme sosial. Teori Darwinisme sosial ini, menurut Djam’annuri (2003:29-56), diadopsi dari kerangka analitik Charles Darwin dalam karyanya the origin of Species, di dalam memandang proses-proses dan type-type perkembangan kehidupan manusia. Beberapa peneliti antropologi dipengaruhi oleh kerangka analitik Darwinian. 7 Abu Yusuf (w.182 H), sebagai contoh, dikabarkan telah mengatakan bahwa adat menjadi bahan pertimbangan yang utama dalam sistem hukum Hanafiyah, terutama ketika nash yang jelas tidak dapat diketemukan. Bahkan Abu Hanifah sendiri, menurut Sarakhsi, akan menolak qiyas untuk lebih memegangi ‘Urf. Ahli hukum lain dari mazhab Hanafi, Muhammad Ibn al-Hasan asy-Syaibani (w.189 H), mengemukakan beberapa aturan interpretasi yang teoretis sifatnya yang menunjukkan jurisprudensial dari adat; (1) ketetapan hukum yang diderivasikan dari adat sama dengan ketetapan yag diambil dari teks-teks nass (as-sabit bil-‘urf kas-sabit bin-nass); (2) adat menjadi hukum yang pasti jika tidak ada ketentuan yang lain dalam nass (al-adah taj’al hukm iza lam yujad attasrih bi al-khilafah); (3) teori yang umum dapat dispesifikasikan oleh ketatapan adat (al-mutlaq min al-kalam yutaqayyad bi-dalalah al-urf); (4) adat bersifat valid untuk mempartikularkan ketentuan yang bersifat umum (al-‘aidah mu’tabarah fi taqyid mutlaq al-kalam); (5) pengetahuan yang harus diperoleh melalui adat sama dengan persyaratan yang dikemukakan oleh nass (al-ma’ruf bil ‘urf kal-masyrut bin-nass). Selanjutnya para ahli hukum Malikiah juga menerima prinsip-prinsip adat sebagai sumber otoritas hukum yang pasti. Kenyataan ini 15 diindikasikan dalam karya-karya Imam Malik sendiri, yakni dalam al-Muwatta’, al-Mudawwanah, dan Fath al‘Ali al-Malik (Lukito, 1998). 8 sigat taklik resmi versi Departemen Agama: “sesudah akad nikah, saya......bin.....berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama......binti.....dengan baik (mu’asyarah bilma’ruf) menurut ajaran syari’at islam. Selanjutnya saya membaca sighat taklik atas istri saya itu sebagai berikut: sewaktu-waktu saya : (1) meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut, (2) atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya, (3) atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya, (4) atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya enam bulan lamanya, kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, dan istri saya membayar uang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang iwadh itu dan kemudian menyerahkan kepada Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat untuk keperluan Ibadah sosial. 16