mempertimbangkan kembali inkulturasi islam dalam perkawina

advertisement
MEMPERTIMBANGKAN KEMBALI
INKULTURASI ISLAM DALAM PERKAWINAN
ADAT TOLAKI DI KABUPATEN KONAWE
Muh.Satria,S.H,M.Kn
INTISARI Inkulturasi Ajaran Islam Dalam Perkawinan Adat Tolaki Di Kabupaten
Konawe Muh.Satria,S.H,M.Kn. Titik temu Islam dan budaya lokal khususnya pada
masyarakat Tolaki tampaknya terimplementasi dalam proses perkawinan. Kondisi ini
memperlihatkan bahwa Islam, berbeda dengan pandangan sebagian kaum muslim, sangat
fleksibel dengan budaya lokal di mana Islam memanifestasikan dirinya. Tulisan ini secara
spesifik mengulas dan menyoroti hubungan harmonis antara ajaran Islam dengan budaya
Tolaki khususnya dalam prosesi perkawinan adat Tolaki. Proses inkulturasi ini tampak,
misalnya, di dalam prosesi perkawinan di mana unsur Islam seperti P3NTCR, pihak KUA
dan unsur adat seperti Puutobu dan pabitara bertemu dalam perhelatan tersebut.
Hubungan Islam dan adat Tolaki yang tampak pada upacara perkawinan adat
memperlihatkan sebuah bentuk penyesuaian, saling belajar, dan saling berdialog satu sama
lain. Artinya, pada prosesi perkawinan ini tidak ada kubu, Islam dan Adat, yang dominan dan
saling mendominasi. Dari sinilah kemudian bisa ditarik kesimpulan bahwa ketegangan antara
Islam dan adat Tolaki sebenarnya sangat jarang ditemui, tidak seperti anggapan sebagian
masyarakat Muslim Tolaki di daerah ini. Ketegangan justeru muncul ketika Islam diposisikan
sebagai ajaran yang ingin mendominasi dan menghilangkan eksistensi budaya lokal, atau
melukai harmonisasi budaya lokal dengan Islam seperti yang selama ini terjalin dengan baik.
KATA KUNCI Inkulturasi, perkawinan adat, Islam, budaya Tolaki
“....antara Islam dan paham pemikiran lain atau budaya lain
berlangsung proses saling mengambil dan saling belajar.
Konsekuensi logis dari keterbukaan seperti itu adalah keharusan
untuk mendudukkan Islam hanya sebagai faktor penghubung
antara berbagai budaya lokal. Dan melayani semua budaya lokal
itu [akan] menumbuhkan universalitas pandangan baru tanpa
tercabut dari akar kesejarahan masing-masing” (Abdurrahman
Wahid, 2001. Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan).
Prolog
Akhir-akhir ini kita sering disibukkan dengan gugatan, apakah kebudayaan Tolaki
bisa dipertemukan dengan ajaran Islam? Gugatan ini kemudian memunculkan polarisasi
sikap dan pandangan masyarakat Tolaki terhadap kebudayaan Tolaki. Pertama, kebudayaan
Tolaki bisa dipertemukan dengan ajaran Islam. Hal ini tampak pada acara-acara adat Tolaki
1
dimana unsur Islam berpadu dengan budaya. Kedua, budaya Tolaki tidak bisa dipertemukan
dengan ajaran Islam. Budaya Tolaki dengan unsur Kalosara-1nya dianggap bid’ah, sesuatu
yang sesat dan bertentangan secara diametral dengan Islam sejati. Selanjutnya, kelompok
pendukung gagasan ini menganggap bahwa mempertahankan dan mempraktekkan
budaya/tradisi Tolaki yang notabene merupakan warisan nenek moyang dianggap sebagai
kesesatan dan cenderung kepada kekafiran. Pandangan kedua ini cenderung ekstrim dalam
melihat keterkaitan budaya dan Agama (Islam), dan ketiga, Islam dan budaya Tolaki tidak
ada masalah, artinya keduanya bisa dipertemukan dan bisa pula dipertentangkan.
Polarisasi pandangan masyarakat Tolaki terhadap kebudayaannya memungkinkan
terjadi karena perubahan masyarakat yang terus menerus terjadi secara meluas. Tahapan
perkembangan dan perubahan budaya memungkinkan masyarakat bersikap terhadap
tradisinya sendiri. Terkait dengan hal ini, Suparlan (1995:25) mengemukakan bahwa
dinamika atau ekses perubahan sosial pada komunitas tertentu memungkinkan terjadinya
seperti hal-hal sebagai berikut: pertama, Mereka berusaha meninggalkan atau membuang
tradisi-tradisi kebudayaan mereka, karena mereka melihat tradisi-tradisi tersebut sebagai
atribut yang tidak menguntungkan bagi jati diri atau identitas mereka dalam berinteraksi
dengan golongan etnik atau suku bangsa lainnya, dan bagi kemajuan tingkat sosial, ekonomi,
dan kebudayaan yang ingin mereka capai. Sebagai gantinya mereka mengadopsi kebudayaan
atau unsur-unsur kebudayaan lainnya yang mereka lihat sebagai dominan dalam struktur
hubungan antar kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat di mana mereka tinggal.
Kedua, mereka secara spesifik melarikan diri lebih jauh dari pusat-pusat berlakunya
kontak kebudayaan dengan dunia luar dan dari kontak-kontak dengan kebudayaan yang lebih
maju, sehingga secara kebudayaan mereka terbebas dari pengaruh kebudayaan luar yang
2
dirasakannya sebagai beban kejiwaan dan mental karena merasakan kecilnya harkat dan
martabat kemanusiaan mereka dalam kerangka acuan kebudayaan luar tersebut.
Ketiga, Kehidupan komunal dan solidaritas sosial mengalami disorganisasi atau
bahkan mengalami disintegrasi karena mekanisme kontrol yang ada di dalam kebudayaan
mereka yang tidak dipergunakan.
Masyarakat Tolaki dengan segenap kebudayaannya merupakan system of boundary2
yang tak pelak harus berhadapan dengan perubahan. Perubahan sosial yang terjadi
disebabkan oleh modernisasi dan agama baru atau ide-ide baru. Proses Islamisasi di Sulawesi
Tenggara,3 utamanya pada masyarakat Tolaki berbarengan dengan upaya peminggiran
budaya lokal dan/atau bahkan inkulturasi dengan budaya Tolaki. Peminggiran budaya lokal
(budaya Tolaki) berbarengan dengan munculnya paham keislaman baru yang berkembang di
tengah masyarakat. Tetapi pada saat bersamaan, paham keagamaan (Islam) tertentu masih
terus berupaya mengadopsi budaya lokal, khususnya dalam kerangka ‘pribumisasi Islam’.4
Inkulturasi Islam dengan budaya Tolaki tampak pada acara adat perkawinan Tolaki. Pada
acara ini unsur Islam dan budaya memperlihatkan bentuk pemaduan atau inkulturasi.
Beberapa Pengertian Mendasar
Dalam tulisan ini, terdapat 3 (tiga) variabel penting yang akan diulas, yakni
inkulturasi, ajaran Islam, dan perkawinan adat Tolaki. berdasarkan ketiga variabel ini, tulisan
ini akan melihat dan mengungkap bagaimana Islam menemukan manifestasinya dalam proses
inkulturasi dengan budaya Tolaki di Kabupaten Konawe, khususnya dalam upacara adat
perkawinan Tolaki.
1. Inkulturasi
3
Dalam studi kebudayaan lokal, inkulturasi mengandaikan sebuah proses internalisasi5
sebuah ajaran baru ke dalam konteks kebudayaan lokal dalam konteks akomodasi atau
adaptasi. Inkulturasi dilakukan dalam rangka mempertahankan identitas. Dengan demikian,
inkulturasi islam dengan kebudayaan lokal mirip dengan apa yang dikemukakan oleh K.H.
Abdurrahman Wahid sebagai ‘pribumisasi Islam’. Pribumisasi di sini dimaksudkan dalam
rangka memberi warna islam terhadap kebudayaan lokal. Islam, dari sisi ini, tidak
bertentangan dengan budaya lokal. Tetapi keduanya saling menyesuaikan dan saling mengisi.
Relasi Islam dengan kebudayaan lokal, utamanya kebudayaan Tolaki, memperlihatkan
sebuah kecenderungan adaptasi kultural. Adaptasi, seperti diuraikan Rappaport yang dikutip
Giddens (2003:283), merupakan proses di mana organisme atau kelompok-kelompok
organisme,
melalui
perubahan-perubahan
responsif
dalam
keadaan,
struktur
atau
komposisinya, sanggup mempertahankan homeostasis di dalam dan di antara mereka sendiri
untuk menghadapi fluktuasi lingkungan jangka pendek atau perubahan-perubahan jangka
panjang pada komposisi atau struktur lingkungannya.
Senada dengan hal tersebut, Harding mengatakan bahwa dalam teori evolusi,6 adaptasi
berkaitan dengan bukan hanya hubungan antara masyarakat dan alam, namun juga dengan
usaha ‘saling menyesuaikan di antara masyarakat sendiri’.
“Adaptasi dengan alam akan membentuk teknologi budaya dan secara derivatif juga
menciptakan komponen sosial berikut perangkat ideologisnya. Tapi adaptasi dengan
budaya-budaya lain bisa membentuk masyarakat dan ideologi, yang pada gilirannya
bertindak berdasarkan teknologi dan menentukan masa depannya. Keseluruhan
akibat proses adaptif tersebut adalah produksi suatu keutuhan budaya yang
terorganisir, suatu teknologi terpadu, masyarakat dan ideologi, yang berhadapan
dengan pengaruh selektif ganda alam di satu pihak dan di pihak lain dampak budayabudaya luar” (Giddens, 2003:283).
4
Proses adaptatif suatu komunitas lokal tidak saja dengan alam dan dengan komunitas
lokal yang lain. Tetapi lebih dari itu, komunitas lokal mesti adaptif dan akomodatif dengan
kebudayaan global dan ajaran-ajaran baru. Selama ini sudah lazim dipahami bahwa
persentuhan antara budaya lokal dengan budaya global menjadi tak terelakkan lagi.
Persentuhan antara yang global dan yang lokal di satu pihak mempersempit ruang-ruang
komunikatif dan tentu saja menguntungkan kedua belah pihak. Namun di sini lain, globalisasi
seringkali melakukan penyeragaman dan pemaksaan idiom atau wacana-wacana global. Di
satu sisi ingin merayakaan kebersamaan namun di sisi lain ada kolonisasi baru (Friedman,
2000; Jameson, 2000; Robertson, 1992).
2. Ajaran Islam
Sumber ajaran Islam yang utama adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Di samping
kedua sumber utama tersebut, para ulama memasukkan ijtihad atau ra’yu, qiyas, maslahah
mursalah, istihsan, al-‘urf, dan syara’ man qablana sebagai bagian penting dalam sumber
hukum Islam (Rahman, 2000; Abu Zahrah, 1958).
Perkawinan dalam Islam merupakan bentuk integrasi atau inkulturasi dengan
perkawinan dalam tradisi-tradisi lokal. Salah satu elemen penting dalam prosesi perkawinan
adalah taklik talak. Penelitian tentang bentuk institusi taklik talak ini, membuktikan adanya
percampuran elemen-elemen yang diderivasikan dari hukum adat dan Islam. Walapun
pengaruh hukum islam dalam hal ini bersifat dominan, namun peran hukum adat dalam
rangka menjadikan taklik talak sebagai alat yang efektif bagi wanita untuk mengakhiri ikatan
perkawinannya tampak jelas. Demikian pula dalam hukum Islam, perceraian dapat terjadi
atas dasar terpenuhinya beberapa syarat tertentu (Lukito, 1998: 79-80, lihat juga Syaltut,
1988). Dengan demikian, ajaran Islam merupakan ajaran yang sangat elastis terhadap
5
perkembangan kebudayaan lokal. Hal ini dibuktikan dalam bentuk akomodasi dengan tradisitradisi lokal yang cukup prevalen dan sejauh tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu
sendiri.
3. Perkawinan Adat Tolaki
Dalam kajian antropologi budaya, perkawinan adat merupakan variabel penting
dalam kajian kebudayaan dalam masyarakat tertentu. Bahkan Wissler seperti dikutip Ihromi
(1987) memasukkan perkawinan sebagai bagian dari pola budaya universal. Perkawinan
dalam kajian ini merupakan pola budaya sistem keluarga dan sosial.
Goodenough seperti dikutip Tarimana (1993) mendefinisikan perkawinan sebagai:
...a male transaction and resulting contract in which a person (male or female,
corporate or individual; in person or by proxy) establishes acontinuing claim to the
right of sexual acces to a woman—this right having priority over rights of sexual
acces others currently have or may subsequently acquire in relation to her (except in
a similar transaction) until the contract resulting from the transaction is terminated—
and in which the women involved is eligible to bear children.
Jadi perkawinan antara dua jenis kelamin yang berbeda dilakukan dalam rangka
mengikat kontrak sosial antara dua keluarga. Perkawinan sebagai ikatan kontrak sosial
didefinisikan oleh Keesing (1981) bahwa
Marriage is characteristically not a relationsip between individuals but a contract
between groups (often, between corporations). The relationship contratually
established in marriage may endure despite the death of one partner (or even of both)
Sistem perkawinan di semua kebudayaan memiliki corak dan tujuan yang universal
yakni dalam rangka mempertahankan keturunan dan ikatan-ikatan sosial. Demikian halnya
dalam kebudayaan Tolaki, di mana perkawinan merupakan variabel kebudayaan yang cukup
signifikan dalam pembacaan terhadap kebudayaan Tolaki.
Menurut Tarimana (1993) orang Tolaki memakai tiga istilah untuk mendefinisikan
perkawinan yakni medulu (berkumpul, bersatu), mesangginaa (makan bersama dalam satu
6
piring) dan merapu (merumpun, keadaan ikatan suami istri, anak-anak, mertua-mertua, dan
seterusnya. Perkawinan yang dilakukan ini diharapkan akan semakin memperbesar rumpun
keluarga atau marga.
Pembahasan
Episteme Budaya Tolaki dan Islam
Kullu muhdatsah bid’ah, wa kullu bid’ah dhalalah wa kullu dhalalah fi al-nar (setiap
hal yang bersifat baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan akan
masuk neraka). Konteks hadis tersebut kadang-kadang dikemukakan dalam melihat
hubungan budaya dan agama (Islam). Sesuatu yang bersifat baru yang bersifat bid’ah, disini
dimaksudkan sebagai penambahan sesuatu yang baru dalam urusan ibadah, apalagi jika hal
demikian dianggap sebagai bagian dari peribadatan kaum muslimin. Konteks muhdatsah
yakni yang berpretensi menambah sesuatu hal yang baru dalam urusan sistem ibadah Islam,
yang batas-batas dan ukurannya telah ditetapkan dan ditentukan secara utuh dan lengkap,
tanpa bisa diubah dan diperbarui oleh siapapun. Seperti kewajiban berpuasa yang hanya
berlaku pada bulan ramadhan. Bila ada seseorang yang ingin menambah satu atau dua hari
dari waktu yang telah ditetapkan, maka sungguh ia telah melakukan suatu bid’ah dalam
urusan agama, sehingga dikhawatirkan bakal merusak keutuhan sistem agama (Al-Jabiri,
2000).
Menurut al-Jabiri (2000), kandungan makna istilah bid’ah juga terkait dengan
persoalan ideologis. Di masa khilafah Umayyah dan Abbasiyah, penggunaan istilah bid’ah
sering digunakan untuk menyerang lawan politik atau aliran kalam yang berbeda. Masingmasing aliran kalam mencap lawan politiknya sebagai “pelaku bid’ah” (mubtadi’ah). Seperti
aliran Ahl Sunnah yang mencap aliran Mu’tazilah sebagai pelaku bid’ah, dan sebaliknya,
7
pihak yang terakhir ini pun menyebut kaum ahl sunnah sebagai pelaku bid’ah yang keblinger.
Penggunaan kata bid’ah dalam makna politik atau yang disebut al-Jabiri sebagai
“transendentalisasi politik” (ta’ali bi al-siyasah) yang berimplikasi kepada munculnya
fenomena politisasi ajaran-ajaran transenden (tasyis al-muta’ali) menemukan manifestasinya
ketika ia menjadi ideologi politik. Kenyataan ini kemudian menggiring kepada kasus mihnah,
di mana lawan politik tertentu ditebas sampai ke akar-akarnya. Dengan demikiah, istilah
bid’ah terkait dengan masalah fiqhiyah dan ideologi.
Terkait dengan adat (al-‘adah atau al-‘urf), sebagian fuqaha tidak menjadikannya
sebagai bagian dari interpretasi hukum Islam dan metodologi hukum islam (ushul al-fiqh).
Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa hukum Islam atau ajaran Islam sudah komplit dan
divine karena telah ditetapkan oleh Allah melalui Al-Qur’an dan Sunnah oleh Rasul
Muhammad. Tetapi, Para ahli hukum Islam sejak masa klasik, seperti dikemukakan oleh alQarafi dalam Syarh Tanqih al-Fusul fi Ikhtisar al-Mahsul fi al-Usul (1973), sesungguhnya
telah menyadari masalah pengaruh hukum adat terhadap hukum Islam. Walaupun mereka
tidak serta merta memandang bahwa adat sebagai sumber hukum independen, namun para
hakim atau ahli hukum Islam tersebut tetap menyadari keefektipan adat dalam proses
interpretasi hukum (as-Sabuni dan Tantawi, 1982). Dengan demikian, para ulama fiqh
memandang bahwa dalam metodologi hukum Islam (usul al-fiqh), adat (‘urf atau ‘adah)
diterima sebagai satu sumber hukum yang dikembangkan dari akal pikiran (ra’y) di samping
qiyas, istihsan, dan istislah. Dengan kata lain, hukum adat mempunyai tempat dalam hukum
Islam sepanjang tidak bertentangan dengan sumber hukum wahyu.
Penggunaan atau tepatnya pengadopsian hukum adat dalam hukum Islam telah
banyak dilakukan oleh ulama fiqh, seperti imam Abu Hanifah, ulama Hanafiyah, dan imam
8
Malik.7 Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibn Hanbal tampaknya tidak begitu memperhatikan
adat dalam keputusan hukum. Hal ini ditunjukkan, misalnya, bahwa Imam Syafi’i sendiri
dalam kitab utamanya, al-Umm dan ar-Risalah, tidak begitu serius mendiskusikan peran adat
sebagai argumentasi hukum yang autentik.
Dalam konteks budaya atau tradisi etnik Tolaki dengan Islam, sebagian masyarakat
masih cenderung terjebak ke dalam pandangan bahwa budaya Tolaki dan Islam selalu
bertolak belakang, konfrontatif dan bernuansa konflik. Pandangan semacam ini bertitik tolak
dari teori konflik yang selalu melihat permasalahan dari sudut konflik, dengan menafikan
aspek akomodatif. Seperti dalam acara perkawinan, sebagian masyarakat Tolaki memandang
bahwa adat perkawinan yang berdasarkan adat dan budaya tidak sesuai dengan ajaran Islam
atau bid’ah. Padahal adat perkawinan Islam yang selama ini berlaku ternyata banyak
mengadopsi dan mengakomodasi praktek-praktek adat yang berlaku di masyarakat.
Akomodasi Islam dengan sistem budaya yang berlaku di masyarakat atau dalam istilah
Gus Dur “Pribumisasi Islam” merupakan sebuah keniscayaan, jika Islam ingin mengakar
kuat dalam masyarakat. Contoh paling konkret di mana Islam sangat akomodatif dengan
budaya lokal adalah Islam dengan adat Aceh dengan istilah “hukum ngon adat hantom cre,
lagee zat ngon sifeut”, Islam dengan adat Minangkabau “adat basandi syara’, syara’ basandi
kitabullah”, Islam dan adat di Ambon “adat dibikin di Mesjid”, dan sebagainya. Dengan
demikian, banyak hal di mana Islam bisa akomodatif dengan kebudayaan tertentu di negeri
ini.
Inkulturasi Islam dengan adat dan Budaya Tolaki, secara riil, bisa ditemukan dalam
ekspresi perkawinan. Dalam prosesi ini, pengucapan sigat taklik resmi versi departemen
agama8 biasanya didahului ucapan-ucapan kalimat suci. Dalam prosesi itu, unsur-unsur adat
9
dan Islam menyatu yang dibuktikan dengan kehadiran unsur imam (P3NTCR), puutobu,
pabitara, dan pemerintah. Inkulturasi Islam dengan adat atau budaya Tolaki dimaksudkan
dalam rangka memelihara eksistensi Budaya dan Islam secara bersamaan.
Islam dan Perkawinan Adat Tolaki
Dalam prosesi perkawinan adat Tolaki ada beberapa unsur penting dalam perhelatan
tersebut, yakni pertama, pemerintah, kedua, unsur agama atau ulama, ketiga, tolea, dan
keempat, pabitara, kelima, puutobu. Kelima unsur ini seyogyianya ada dalam setiap
perhelatan perkawinan adat Tolaki, mulai dari waktu peminangan sampai pada saat
perkawinan. Unsur adat seperti tolea, pabitara dan puutobu merupakan perangkat keras dalam
perkawinan adat Tolaki (Anonim, 1996).
Proses penyelenggaraan perkawinan terdiri dari lima tahap yakni tahap metiro atau
metitiro (mengintip, meninjau calon istri), monduutudu (pelamaran jajagan), meloso’ako
(pelamaran yng sesungguhnya), mondongo niwule (meminang), dan mowindahako (upacara
nikah) (Tarimana, 1993; lihat juga Lakebo dkk, 1977/1978: 118-120). Berbeda dengan
deskripsi al-Ashur (2001) mengenai deskripsi perkawinan adat tolaki. Menurut al-Ashur,
proses perkawinan adat Tolaki terdiri dari beberapa tahap yakni; Morakerapi atau mohawuhawu wuandainahu (pra melamar), Monduutudu/pepetooriako (melamar), Mondongo
Niwule/mondongo obite (meminang), mowindahako (penyerahan pokok adat dan seserahan
adat lainnya), dan mehue (penyucian diri Tolea dan Pabitara). Meski demikian kenyataan ini
tidaklah mengurangi nilai sakralitas perkawinan adat dalam masyarakat Tolaki.
Prosesi perkawinan adat Tolaki menggunakan medium Kalosara. Biasanya kalo
dipergunakan berdasarkan tingkatan sosial pihak perempuan. Misalnya jika seorang calon
mempelai perempuan beraasal dari tingkatan sosial yang tinggi (bangsawan), ukuran
10
diameter Kalo lebih besar. Hal terpenting dari prosesi ini bahwa perhelatan itu berssarkan
keyakinan agama masing-masing. Ini artinya jika kedua mempelai beragama Islam maka
akad nikah atau sigat taklik biasanya dimulai dengan ucapan-ucapan suci, seperti membaca
bismilah dan dua kalimat syahadat dipimpin oleh seorang Imam (o ima).
Kondisi inilah yang kemudian diyakini bahwa perkawinan adat tolaki tidak serta
merta dipisahkan dari keyakinan agama, seperti islam. dengan demikian, dapat dilihat dari
satu sudut pandang pasti bahwa Islam dan adat Tolaki seringkali bertemu dalam setiap
perhelatan adat, tidak bertentangan seperti anggapan sebagian masyarakat muslim Tolaki di
daerah ini.
Sikap kita
Kebudayaan atau adat istiadat, bagaimana pun, akan selalu berhadapan dengan
modernitas (hadatsah). Penerimaan atas modernitas sebagai keniscayaan dalam masyarakat
kita tidaklah serta merta menghilangkan identitas kita, utamanya identitas budaya etnik
Tolaki. Modernitas memiliki muatan-muatan positif yang perlu diapresiasi, seperti kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, kemajuan masyarakat, dan sebagainya.
Memang tidak bisa dielakkan bahwa proyek-proyek modernitas seringkali
mengaburkan (vaguing), jika bukan menghilangkan, identitas etnis, terutama dalam hal ini
perhelatan adat etnis tertentu. Hal ini dimungkinkan karena modernitas dengan segala
variannya memiliki misi penyeragaman dan lebih mementingkan pusat (center) ketimbang
pingggir (periphery). Karena itu sangat tidak jarang kita menemukan pertentangan antara
pusat dan pinggir, antara modernitas dengan lokalitas, seperti dalam kasus kebudayaan
Toraja (Aluk Todolo) dengan modernitas di Tana Toraja (Idaman, 2005; Adams, 1997, 1998;
11
Volkman, 1987; Yamashita, 1994), etnis Kajang dengan Islamisasi di Bulukumba (Ma’arif,
2003), etnis dayak dengan Islam (Tsing, 1987), dan sebagainya.
Islam sebagai ajaran baru dan diakui merupakan kecenderungan modernitas seringkali
bertentangan dengan kominitas lokal yang masih mempertahankan adat istiadat nenek
moyang. Seperti kita lihat dalam kasus Islamisasi di Kajang, di mana etnis Kajang masing
bersikukuh dengan tradisi dan adat istiadat yang mereka warisi dari nenek moyang mereka.
Kondisi ini memperlihatkan sulitnya penyesuaian antara Islam dan Adat. Tetapi dalam kasus
budaya dan adat tolaki, tampak bahwa antara kedua kutub ini telah terjadi penyesuaianpenyesuaian atau akomodasi Islam dan Adat. Tentu kita tidak ingin melihat lebih jauh
pertentangan yang mengarah kepada konflik antara kepentingan penyebaran Islam atau
Islamisasi dengan budaya Tolaki.
Di tengah deru proyek-proyek modernitas, masyarakat Tolaki perlu bersikap bijak
dan arif menghadapinya. Penolakan secara totalitas atas proyek-proyek modernitas yang
cenderung konstruktif tidaklah serta merta mengaburkan identitas budaya itu sendiri. Oleh
karena itu, sikap terbaik, seperti ditunjukkan oleh kaum Nahdhiyyin adalah Al-muhafadzah
‘ala al-qadiim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (menjaga sesuatu yang lama yang
baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik). Diharapkan, masyarakat Tolaki
tetap menjaga dan mempraktekkan tradisi lama yang dianggap kompatibel dan prevalen bagi
zaman ini, tetapi pada saat yang sama mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik, yakni
ajaran Islam
12
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan, 2002. Metode Penelitian Kualitatif: Suatu pengantar Umum. UGM:
Magister Administrasi Publik
Abu Zahrah, Muhammad, 1958. Ushul al-fiqh. Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi
Adams, Kahteen M., 1998. “More than an Ethnic Marker: Toraja Art as Identity Negotiator,”
American Ethnologist 25 (3):327-351.
Adams, Kathleen M., 1997. Ethnic Tourism and the Renegotiation of Tradition in Tana
Toraja (Sulawesi, Indonesia). Ethnology 36 Fall (4).
Al-Ashur, Arsamid, 2001. Deskripsi Adat Perkawinan Tolaki. Unaaha.
al-Jabiri, Muhammad Abed, 2000. Post Tradisionalisme Islam, Alih bahasa: Ahmad Baso.
Yogyakarta: LKiS.
Amin, Syamsul Ma’arif. 2003. Religious Freedom In Indonesia (The Constitution,
Islamization, and the Ammatoa of Sulawesi). Tesis S2 Comparative Religious
Studies. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Anonim, 1996. Hukum Adat Perkawinan Tolaki. Unaaha.
As-Sabuni, Khafifah Babakr Abd Rahman dan Mahmud Tantawi, 1402/1982. Al-madkhal alFiqhi wa Tarikh at-Tasyri’ al-Islami. Kairo: Dar al-Muslim.
Berger, Peter L.1990. The Sacred Canopy: Elements of A Sociological Theory of Religion.
New York: Anchor Book.
Baso, Ahmad, tanpa tahun. “Bisakah Lokalitas Berbicara? Pribumisasi Islam sebagai Uoaya
Menggugat “Imperium” Tafsir Resmi Agama”. Makalah tidak dipublikasikan.
Bhurhanuddin, B.dkk, 1978-1979. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi
Tenggara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian
Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Djam’annuri. 2003. Studi Agama-Agama: Sejarah dan Pemikiran. Yogyakarta: Pustaka
Rihlah
Friedman, Jonathan, 2000. Cultural Identity and Global Process. London: SAGE
Publications.
13
Giddens, Anthony, 2003. The Constitution of Society: Teori Strukturasi Untuk Analisis
Sosial. Pasuruan: Pedati.
Idaman, 2005. ‘Ritual, Identitas, dan Modernitas (Redefinisi Kepercayaan Aluk Todolo di
Tana Toraja, Sulawesi Selatan’. Tesis S2 Comparative Religious Studies,
Yogyakarta, Gadjah Mada University.
Ihromi, T.O., 1987. “Kata Pengantar” dalam T.O. Ihromi (ed.), Pokok-Pokok Antropologi
Budaya. Jakarta: Gramedia.
Jameson, Fredrick, 1991. Postmodernism or the Logic of Late Capitalism, Durham: Duke
University Press.
Keesing, R.M., 1981. Cultural Anthropology: A Contemporary Perspective. London: Holt,
Rinehart & Winston.
Kurtz, Lester R. 1995. Gods in the Global village: the World’s Religions in Sociological
Perspective, California: Pine Forge Press
Lakebo, Berthijn, Haris Mokora, La ode Ibu, A. Mulku Zahari, Mangarati, Arsamid, ed.
1977/1978. Adat Istiadat Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek
penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Lukito, Ratno, 1998. Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Jakarta: INIS.
Qarafi, Ahmad ibn Idris al-, 1973. Syarh Tanqih al-Fusul fi Ikhtisar al-Mahsul fi al-Usul.
Kairo dan Beirut: Maktabah Wahbah.
Rahman, Fazlul, 2000. Islam. Bandung: Penerbit Pustaka.
Robertson, Roland, 1992. Globalization: Social Theory and Global Culture, London.
Suparlan, Parsudi, 1995. Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat
Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Syaltut, Mahmud, 1988. Fatawa. Kairo: Dar al-Syuruq.
Tarimana, Abdurrauf, 1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai pustaka.
Tsing, Anna Lowenhaupt. 1987. “A Rhetoric of Centers in a Religion of the Periphery,”
dalam Rita Smith Kipp dan Susan Rodgers (ed.), Indonesian Religions In
Transition. Tueson: The University of Arizona Press.
14
Volkman, Toby Alice. 1987. “Mortuary Tourism in Tana Toraja,” dalam Rita Smith Kipp
dan Susan Rodgers (ed.), Indonesian Religions In Transition. Tueson: The
University of Arizona Press
Wahid, Abdurrahman, 2001. Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. Depok:
Desantara.
Yamashita, Shinji, “Manipulating Ethnic Tradition: The Funeral Ceremony, Tourism, and
Television Among The Toraja of Sulawesi,” Indonesia No. 59, 1994.
1
dalam masyarakat Tolaki, Kalosara merupakan medium atau tiitk sentral nilai dan pedoman kehidupan bagi
masyarakat Tolaki. Menurut Tarimana (1993), Kalo memiliki empat fungsi yakni (1) sebagai ide dalam
kebudayaan dan sebagai kenyataan dalam kehidupan orang Tolaki; (2) sebagai fokus dan pengintegrasi unsurunsur kebudayaan Tolaki; (3) sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral dalam
kehidupan orang Tolaki; (4) sebagai pemersatu untuk pertentangan-pertentagan konseptual dan sosial dalam
kebudayaan dan dalam kehidupan orang Tolaki.
2
System of Boundary mengandaikan sebuah komunitas atau masyarakat terikat oleh sistem atau setting
kehidupan sosial di lingkungan mereka. Masyarakat akan mengalami integrasi dengan lingkungannya dalam arti
tidak bisa dipisahkan dari sistem-sistem sosial kehidupan lainnya.
3
proses Islamisasi di Sulawesi Tenggara, khususnya dalam masyarakat Tolaki, diduga dibawah oleh pedagangpedagang Bugis-Makassar pada abad ke-20. lebih jauh mengeni hal ini lihat Bhurhanuddin, B. Dkk, (19781979)
4
Pribumisasi Islam merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada akhir
1980-an dalam rangka memperjumpakan antara Islam dan tradisi lokal (baca: tradisi Jawa). Dengan gagasan ini,
Wahid setidaknya ingin menempatkan lokalitas berbicara, berdialog, bernegosiasi dan bahkan juga melakukan
resistensi terhadap tafsir-tafsir agama. Dengan demikian, pribumisasi Islam lahir dalam konteks Wahid untuk
tidak menjadikan Islam sebagai alternatif kebangsaan. Singkatnya, seperti kata Wahid sendiri, “mengokohkan
kembali akar budaya kita, dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama”. Lihat Baso
(tth), Wahid (2001.
5
Internalisasi merupakan upaya pencarian makna yang dilakukan oleh umat manusia. Dalam proses ini menurut
Peter Berger, nilai-nilai general (realitas obyektif) kembali dipelajari oleh manusia dan menjadi bagian dari
kehidupannya (Berger, 1990:4; Kurtz, 1995:10-11; Abdullah, 2002:11).
6
Teori evolusi dikembangkan oleh Charles Darwin khususnya ketika menghablurkan karya kontroversialnya, the
Origin of Species. Dalam studi ilmu sosial, teori evolusi yang dikembangkan oleh Darwin menjadi ilmu terseniri
yag disebut dengan darwinisme sosial. Teori Darwinisme sosial ini, menurut Djam’annuri (2003:29-56),
diadopsi dari kerangka analitik Charles Darwin dalam karyanya the origin of Species, di dalam memandang
proses-proses dan type-type perkembangan kehidupan manusia. Beberapa peneliti antropologi dipengaruhi oleh
kerangka analitik Darwinian.
7
Abu Yusuf (w.182 H), sebagai contoh, dikabarkan telah mengatakan bahwa adat menjadi bahan pertimbangan
yang utama dalam sistem hukum Hanafiyah, terutama ketika nash yang jelas tidak dapat diketemukan. Bahkan
Abu Hanifah sendiri, menurut Sarakhsi, akan menolak qiyas untuk lebih memegangi ‘Urf. Ahli hukum lain dari
mazhab Hanafi, Muhammad Ibn al-Hasan asy-Syaibani (w.189 H), mengemukakan beberapa aturan interpretasi
yang teoretis sifatnya yang menunjukkan jurisprudensial dari adat; (1) ketetapan hukum yang diderivasikan dari
adat sama dengan ketetapan yag diambil dari teks-teks nass (as-sabit bil-‘urf kas-sabit bin-nass); (2) adat
menjadi hukum yang pasti jika tidak ada ketentuan yang lain dalam nass (al-adah taj’al hukm iza lam yujad attasrih bi al-khilafah); (3) teori yang umum dapat dispesifikasikan oleh ketatapan adat (al-mutlaq min al-kalam
yutaqayyad bi-dalalah al-urf); (4) adat bersifat valid untuk mempartikularkan ketentuan yang bersifat umum
(al-‘aidah mu’tabarah fi taqyid mutlaq al-kalam); (5) pengetahuan yang harus diperoleh melalui adat sama
dengan persyaratan yang dikemukakan oleh nass (al-ma’ruf bil ‘urf kal-masyrut bin-nass). Selanjutnya para ahli
hukum Malikiah juga menerima prinsip-prinsip adat sebagai sumber otoritas hukum yang pasti. Kenyataan ini
15
diindikasikan dalam karya-karya Imam Malik sendiri, yakni dalam al-Muwatta’, al-Mudawwanah, dan Fath al‘Ali al-Malik (Lukito, 1998).
8
sigat taklik resmi versi Departemen Agama: “sesudah akad nikah, saya......bin.....berjanji dengan sesungguh
hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya
bernama......binti.....dengan baik (mu’asyarah bilma’ruf) menurut ajaran syari’at islam. Selanjutnya saya
membaca sighat taklik atas istri saya itu sebagai berikut: sewaktu-waktu saya : (1) meninggalkan istri saya dua
tahun berturut-turut, (2) atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya, (3) atau saya
menyakiti badan/jasmani istri saya, (4) atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya enam bulan
lamanya, kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya
dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, dan istri saya membayar uang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh
ribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada
pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang iwadh itu dan kemudian menyerahkan kepada Badan
Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat untuk keperluan Ibadah sosial.
16
Download