MEMBEDAH PELAKSANAAN PERKAWINAN ADAT TOLAKI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN SULAWESI TENGGARA (Perspektif Hukum Islam) TESIS Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Bidang Hukum Islam pada Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar Oleh: Laode Mazal Amri Maruf NIM: 80100206131 PROGRAM PASCASARJANA (S2) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR 2013 PERNYATAAN KEASLIAN TESIS Dengan penuh kesadaran, peneliti yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa tesis ini benar adalah hasil karya peneliti sendiri. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau di buat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka tesis dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum. Makassar, Juni 2013 Peneliti, Laode Mazal Amri Maruf NIM: 80100206131 KATA PENGANTAR ﺑِ ْﺴ ِﻢ اﷲ اﻟﱠﺮ ْﲪ ِﻦ اﻟﱠﺮِﺣْﻴ ِﻢ ِ ِ ِ ِ ﲔ َﺳﻴﱢ ِﺪﻧَﺎ ُﳏَ ﱠﻤ ٍﺪ َو َﻋﻠَﻰ اَ ْﳊَ ْﻬ ُﺪ ﷲِ َر ﱢ َ ْ ﲔ َواﻟﺼﻼَةُ َواﻟ ﱠﺴﻼَ ُم َﻋﻠَﻰ أَ ْﺷَﺮف ْاﻷﻧْﺒِﻴَﺎء َواﻟْ ُﻤ ِﺮ َﺳﻠ َ ْ ب اﻟْ َﻌﺎﻟَﻤ ِِ َﺻ َﺤﺎﺑِِﻪ َوَﻣ ْﻦ ﺗَﺒِ َﻌﻪُ إِ َﱃ ﻳَـ ْﻮِم اﻟﺪﱢﻳْ ِﻦ أَﱠﻣﺎ ﺑَـ ْﻌ ُﺪ ْ اﻟﻪ َوأ Puji dan syukur kehadirat Allah swt., atas segala limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya yang diberikan , sehingga penelitian tesis ini dapat terselesaikan. Şalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw., keluarga, para sahabat, dan umat Islam di seluruh penjuru dunia. Penelitian tesis yang berjudul “Membedah Perkawinan Adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara Perspektif Hukum Islam” ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Hukum Islam, konsentrasi Hukum Islam pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar. Dalam penelitian tesis ini, tidak terlepas bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing HT, M.S., selaku Rektor UIN Alauddin Makassar, para Pembantu Rektor, dan seluruh Staf UIN Alauddin Makassar yang telah memberikan pelayanan maksimal . 2. Prof. Dr. H. Moh.Natsir Mahmud, M.A. selaku Direktur Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, dan para Asdir I, II, dan III pada Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar. 3. Prof. Dr. Hj. Andi Rasydiyanah dan Prof. Dr.H. Sabri Samin, M.Ag., selaku promotor dan kopromotor serta Penguji Tesis Dr.H.Muammar Bakry, M.Ag dan Dr.Hasaruddin, S.Ag., M.Ag yang banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, koreksi, nasehat, dan motivasi hingga terselesaikannya tesis ini. 4. Guru Besar Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, dengan segala jerih payah dan ketulusan, membimbing dan memandu perkuliahan, sehingga memperluas wawasan keilmuan . 5. Kepala Perpustakaan Pusat UIN Alauddin Makassar beserta segenap stafnya yang telah menyiapkan literatur dan memberikan kemudahan untuk dapat memanfaatkan secara maksimal demi penyelesaian tesis ini. 6. Para Staf Tata Usaha di lingkungan Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar yang telah banyak membantu peneliti dalam penyelesaian administrasi selama perkuliahan dan penyelesaian tesis ini. 7. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Konawe Selatan, yang telah memberikan rekomendasi izin tugas belajar untuk menempuh pendidikan pada Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar. 8. Kedua orang tua , ayahanda H. Laode Maafi dan Ibunda Hj. Zaenab, penulis haturkan penghargaan teristimewa dan ucapan terima kasih yang tulus, dengan penuh kasih sayang dan kesabaran serta pengorbanan mengasuh, membimbing, dan mendidik, disertai do’a yang tulus . Bahkan beliau berdua selalu mendesak dan memotivasi peneliti untuk segera menyelesaikan studi. Juga kepada segenap saudara dan keluarga besar secara khusus istri yang tercinta dan putra putri tersayang atas kerelaannya ditinggalkan selama peneliti menempuh pendidikan. 9. Rekan-rekan Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, sahabat, dan teman-teman penulis yang telah memberikan bantuan, motivasi, kritik, saran, dan kerjasama selama perkuliahan dan penelitian tesis ini. Akhirnya, kepada Allah swt. jualah, semoga bantuan dan ketulusan yang telah diberikan, senantiasa bernilai ibadah di sisi Allah Swt., dan mendapat pahala yang berlipat ganda, Amin. Makassar, Peneliti, April 2013 Laode Mazal Amri Maruf NIM. 80100206131 PERSETUJUAN PROMOTOR Promotor penelitian tesis saudara LAODE MAZAL AMRI MARUF NIM. 80100206131, Mahasiswa Konsentrasi Hukum Islam pada Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, setelah dengan seksama meneliti dan mengoreksi tesis yang bersangkutan dengan judul: “MEMBEDAH PELAKSANAAN PERKAWINAN ADAT TOLAKI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN SULAWESI TENGGARA (Perspektif Hukum Islam)”, memandang bahwa tesis tersebut telah memenuhi syarat-syarat ilmiah dan dapat disetujui untuk melaksanakan ujian tutup tesis. Demikian persetujuan ini diberikan untuk proses selanjutnya. Promotor: Prof. Dr. Hj. Andi Rasydiyanah (……………………) Prof. Dr. H. Sabri Samin, M. Ag. (……………………) Makassar, April 2013 Diketahui oleh: Ketua Program Studi Dirasah Islamiyah, Dr. Muljono Damopolii, M.Ag. NIP: 19641110199203 1 005 Direktur Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar Prof. Dr. H. Moh. Natsir Mahmud, M.A. NIP: 195408161983303 1 004 PERNYATAAN KEASLIAN TESIS Dengan penuh kesadaran, peneliti yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa tesis ini benar adalah hasil karya peneliti sendiri. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau di buat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka tesis dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum. Makassar, April 2013 Peneliti, Laode Mazal Amri Maruf NIM. 80100206131 PERSETUJUAN PROMOTOR Promotor penulisan tesis saudara LAODE MAZAL AMRI MARUF, NIM. 80100206145, Mahasiswa Konsentrasi Hukum Islam pada Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, setelah dengan seksama meneliti dan mengoreksi tesis yang bersangkutan dengan judul: “PERKAWINAN ADAT TOLAKI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM”, memandang bahwa tesis tersebut telah memenuhi syarat-syarat ilmiah dan dapat disetujui untuk melaksanakan ujian tutup tesis. Demikian persetujuan ini diberikan untuk proses selanjutnya. Promotor: Prof. Dr. Hj. Andi Rasydiyanah (……………………) Prof. Dr. Sabri Samin, M.Ag (……………………) Makassar, Mei 2010 Diketahui Oleh: Ketua Program Studi Dirasah Islamiyah, Direktur Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar Prof. Dr. Hj. Andi Rasydiyanah MA NIP. 150036706 Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, NIP. 150206321 PERSETUJUAN TESIS Tesis dengan judul “Perkawinan Adat Tolaki di Kabupaten Konawe Perspektif Hukum Islam”, yang disusun oleh Saudara Laode Mazal Amri Maruf, NIM. 80100206131, telah diseminarkan dalam Seminar Hasil Penelitian Tesis yang diselenggarakan pada hari , Mei 2010 M, memandang bahwa tesis tersebut telah memenuhi syarat-syarat ilmiah dan dapat disetujui untuk menempuh ujian munaqasyah tesis. Promotor: 1. Prof. Dr. Hj. Andi Rasydiyanah (……………………) 2. Prof. Dr. Sabri Samin, M.Ag (……………………) Penguji: 1. Prof. Dr. (…………………..) 2. Prof. (…………………...) 3. Prof. Dr. Hj. Andi Rasydiyanah (……………...……) 4. Prof. Dr. Sabri Samin, M.Ag (……………...……) Makassar, Diketahui Oleh: Ketua Program Studi Dirasah Islamiyah, /2010 Direktur Kuasa Nomor: Tanggal, Prof. Dr. Hj. Andi Rasydiyanah NIP. 150036706 Nopember 2012 Un.06/PPs/KP.01.1/ Mei 2010 Dr. H. Kamaluddin Abunawas, M.Ag. NIP. 150206321 PENGESAHAN TESIS Tesis dengan judul, Membedah Pelaksanaan Perkawinan Adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara (Perspektif Hukum Islam) yang disusun saudara Laode Mazal Amri Maruf, NIM: 80100206131, telah diujiankan dan dipertahankan dalam sidang munaqasyah yang diselenggarakan pada hari Senin, 03 Juni 2013 M., bertepatan dengan tanggal 24 Rajab 1434 H., dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum Islam (M.HI) pada Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar. Makassar, 03 Juni 2013 M. 24 Rajab1434 H. PENGUJI 1. Dr. H. Muammar Bakry, Lc. M.Ag. (..........................................) 2. Dr. Hasaruddin, S.Ag, M.Ag. (..........................................) 3. Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah. (..........................................) 4. Prof. Dr. Sabri Samin, M.Ag. (..........................................) PROMOTOR 1. Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah. (..........................................) 2. Prof. Dr. Sabri Samin, M.Ag. (..........................................) Makassar, 3 Juni 2013 Direktur Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar Prof. Dr. H. Moh.Natsir Mahmud, M.A. NIP. 19540816 198303 1 004 KATA PENGANTAR ٍ ِ ِِ ِ اَ ْﳊﻤ ُﺪ ﻟِﻠّ ِﻪ ر ﱢ .َﺻ َﺤﺎﺑِِﻪ أ َْﲨَﻌِ ْ َﲔ َ ْ ب اﻟْ َﻌﺎﻟَﻤ ْ ﺻ ﱢﻞ َو َﺳﻠﱢ ْﻢ َﻋﻠَﻰ َﺳﻴﱢﺪﻧَﺎ ُﳏَ ﱠﻤﺪ َو َﻋﻠﻰ أَﻟﻪ َوأ َ اَﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ،ﲔ َْ َ Segala puji bagi Allah swt., Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas izin dan perkenannya-Nya, tesis yang berjudul “Membedah Perkawinan Adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara” (Persepektif Hukum Islam) dapat peneliti selesaikan dengan baik. Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad saw., para keluarga dan sahabatnya. A<mi>n. Segala bentuk perjuangan yang peneliti hadapi selama ini merupakan bagian dari sebuah proses panjang dalam penyelesaian studi. Begitu banyak pengorbanan yang telah tercurah baik waktu, tenaga maupun biaya, namun alh}amdulilla>h, berkat pertolongan Allah swt. dan optimisme peneliti yang diikuti kerja keras tanpa kenal lelah, akhirnya selesai juga semua proses tersebut. Untuk itu, peneliti menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih atas bantuan semua pihak terutama kepada: 1. Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing HT, M.A., selaku Rektor UIN Alauddin Makassar dan para Pembantu Rektor. 2. Prof. Dr. H. Moh. Natsir Mahmud, M.A., selaku Direktur Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, Prof. Dr. H. Baso Midong, M.A., dan Prof. Dr. H. Nasir A. Baki, M.A., masing-masing sebagai Asdir I dan Asdir II serta Dr. Muljono Damopolii, M.Ag., sebagai Ketua Program Studi Dirasah Islamiyah atas motivasimotivasinya hingga terselesaikannya penelitian tesis ini. 3. Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah, dan Prof. Dr. Sabri Samin, M.Ag., sebagai Promotor I dan II serta penguji Tesis Dr. H. Muammar Bakry, Lc. M. Ag., dan Dr. Hasaruddin, S.Ag., M.Ag., atas saran-saran, arahan, bimbingan dan motivasi dalam proses penyelesaian tesis ini. 4. Para dosen di lingkungan Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar atas keikhlasannya memberikan ilmu yang bermanfaat selama proses studi, serta segenap Staf Tata Usaha di lingkungan Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar yang telah banyak membantu peneliti dalam berbagai urusan administrasi selama perkuliahan hingga penyelesaian tesis ini. 5. Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara yang telah memberikan izin bagi pelaksanaan penelitian tesis ini. 6. Kedua orang tua, ayahanda H. Laode Maafi (alm.) dan ibunda Hj. Zaenab, serta segenap keluarga yang telah memberikan dukungan moril dan materil dalam rangka penyelesaian studi. 7. Rekan-rekan, sahabat, dan handai taulan yang telah memberikan dorongan semangat dan kerjasama kepada peneliti selama perkuliahan hingga penyusunan tesis ini, serta semua pihak yang tak dapat peneliti sebutkan satu persatu. Akhirnya, peneliti berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pembaca, dan semoga pula segala partisipasinya akan mendapatkan imbalan yang terbaik dari Allah swt. A<mi>n. Makassar, Penulis Juni 2013 Laode Mazal Amri Maruf NIM: 80100206131 DAFTAR ISI Halaman JUDUL ……………………………………………………………... i …………………………………… ii PERSETUJUAN PROMOTOR …………………………………. iii ………………………………………….. iv KATA PENGANTAR …………………………………………….. v …………………………………………………… ix PERNYATAAN KEASLIAN PENGESAHAN TESIS DAFTAR ISI PEDOMAN TRANSLITERASI…………………………………………… ABSTRAK xii …………………………………………………….. xv ………………………………… 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………………… 1 ……………………………… 6 C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian…… 6 D. Kajian Pustaka 8 B. Rumusan Masalah ………………………………………. E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……………… 11 …………………………… 12 BAB II TINJAUAN TEORITIS…………………………………… 14 A. Pengertian dan Sistem Perkawinan dalam Islam ……… 14 B. Syarat-syarat, Prosesi, Tujuan dan Hikmah Perkawinan . 22 1. Syarat-syarat Perkawinan ………………………… 22 2. Tujuan Perkawinan ……………………………….. 29 3. Hikmah Perkawinan ………………………………. 35 F. Garis Besar Isi Tesis C. Kajian terhadap Aturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan ……………………………………………. 43 D. Tata Cara Perkawinan Menurut Ajaran Islam …………. 51 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………………………… 61 A. Jenis dan Lokasi Penelitian …………………………… 61 B. Pendekatan Penelitian ……………………………….. 61 C. Sumber Data Penelitian ………………………………. 62 D. Metode Pengumpulan Data …………………………… 63 E. Instrumen Pengumpulan Data ………………………… 64 vii F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ……………… 65 BAB IV HASIL PENELITIAN …………………………………… 69 A. Gambaran Umum Pelaksanaan Perkawinan Suku Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan ………….. 69 B. Pelaksanaan Adat Perkawinan Suku Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan ………………………….. 78 C. Kendala yang dihadapi dalam memadukan adat perkawinan suku Tolaki dengan Hukum Islam di Kabupaten Konawe Selatan …………………………… 97 D. Solusi Mengatasi Kendala yang dihadapi dalam Memadukan Adat Perkawinan Suku Tolaki Dengan Huku Islam di Kabupaten Konawe Selatan .................... 103 …………………………………………… 105 ………………………………………… 105 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Implikasi Penelitian KEPUSTAKAAN LAMPIRAN …………………………………. 106 ……………………………………………. 108 …………………………………………………… Daftar Riwayat Hidup........................................................................ viii TRANSLITERASI DAN SINGKATAN A. Transliterasi 1. Konsonan Huruf-huruf bahasa Arab yang ditransliterasi ke dalam huruf latin sebagai berikut: Huruf Arab Nama tidak dilambangkan Nama alif Huruf Latin tidak dilambangkan ب ba b be ت ta t te ث £a £ es (dengan titik di atas) ج jim j je ح ¥a ¥ ha (dengan titik di bawah) خ kha kh ka dan ha د dal d de ذ ©al © zet (dengan titik diatas) ر ra r er ز zai z zet س sin s es ش syin sy es dan ye ص ¡ad ¡ es (dengan titik di bawah) ض «ad « de (dengan titik di bawah) ط ¯a ¯ te (dengan titik di bawah) ا ظ §a § zet (dengan titik dibawah) ع 'ain ‘ apostrof terbalik غ gain g ge ف fa f ef ق qaf q qi ك kaf k ka ل lam l el م mim m em ن nun n en و wau w we ﻫـ ha h ha ء hamzah ‚ apostrof ي ya y ye Hamzah ( )ءyang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (’). 2. Vokal dan Diftong a. Vokal atau bunyi (a), (i), dan (u) ditulis dengan ketentuan sebagai berikut: Tanda ً◌ ◌ِ ٍ◌ Vokal Fat¥ah Kasrah «ammah Pendek Panjang a ā i u ī ū b. Diftong yang sering dijumpai dalam transliterasi ialah (ay) dan (aw), misalnya bayn ( ) ﺑﯿﻦdan qawl ( ) ﻗﻮل. 3. Syaddah dilambangkan dengan konsonan ganda. 4. Kata sandang al- (alif lam ma’arifah) ditulis dengan huruf kecil, kecuali jika terletak di awal kalimat. Dalam hal ini kata tersebut ditulis dengan huruf kapital (Al-). Contohnya: Menurut pendapat al-Bukhariy, hadis ini shahih… Al-Bukhariy berpendapat bahwa hadis ini shahih… 5. Ta’ marbutah ( ) ةditransliterasi dengan t. Tetapi jika ia terletak di akhir kalimat, maka ia ditransliterasi dengan huruf h. Contohnya: 6. Kata atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Adapun kata atau kalimat yang sudah menjadi bagian dari pembendaharaan bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak ditulis lagi menurut cara transliterasi di atas, misalnya perkataan Al-Qur’an (dari al-Qur’an), Sunnah, khusus dan umum. Namun bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari teks Arab, maka harus ditransliterasi secara utuh, misalnya: Fi Zilal al-Qur’an; Al-Sunnah qabl al-tadwin; Al-ibarat bi ‘umum al-lafz la bi khusus al-sabab. 7. Lafz al-Jalalah ( )ﷲyang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau berkedudukan sebagai mudaf ilayh (frasa nomina), ditransliterasi tanpa huruf hamzah. Contohnya: دﯾﻦ ﷲdinullah ﺑﺎ ﷲbillah Adapun ta marbutah di akhir kata yang disandarkan kepada lafz aljalalah, ditransliterasi dengan huruf t. contohnya: ھﻢ ﻓﻲ رﺣﻤﺔ ﷲhum fi rahmatillah B. Singkatan Beberapa singkatan yang dibakukan adalah: 1. swt. = subhanahu wa ta’ala 2. saw. = sallallahu ‘alaihi wa sallam 3. a.s. = ‘alaayhi al-salam 4. H = Hijrah 5. M = Masehi 6. SM = Sebelum Masehi 7. w. = Wafat 8. QS …(…): 4 = Quran, Surah …, ayat 4 ABSTRAK Nama NIM Program Studi Konsentrasi Judul Tesis : : : : : Laode Mazal Amri Maruf 80100206131 Dirasah Islamiyah Hukum Islam Membedah Pelaksanaan Perkawinan Adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara (Perspektif Hukum Islam) Masalah yang dibahas dalam tesis ini adalah Membedah Pelaksanaan Perkawinan Adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara (Perspektif Hukum Islam). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan, untuk memaparkan prosesi pelaksanaan perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan menurut hukum Islam, untuk mengungkap kendala yang dihadapi dalam memadukan adat perkawinan Tolaki dengan perspektif hukum Islam di Kabupaten Konawe Selatan. Untuk mendapatkan jawaban terhadap permasalahan di atas maka penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode pendekatan interdisipliner, yaitu pendekatan yuridis, antropologi budaya, dan sosiologis. Ian ini adalah deskripsi kualitatif dengan teknik pengumpulan data dalam bentuk observasi, wawancara dan dokumentasi. Data yang diperoleh dianalisis secara berkesinambungan dengan cara mereduksi data, display data, dan verifikasi data. Setelah melakukan analisis terhadap data yang diperoleh maka hasilnya menunjukkan bahwa pelaksanaan perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan pada umumnya sejalan dengan perkawinan dalam syariat Islam dan secara khusus ada sebagian yang sering kontradiksi dalam pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yaitu masyarakat Tolaki lebih mementingkan perkawinan di bawah tangan dari pada perkawinan yang tercatat di PPN. Proses pelaksanaan perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan apabila diurut dari rangkaian perkawinan adat mereka yaitu meliputi (a) Kesiapan benda-benda mas kawin dari pihak laki-laki untuk segera diserahkan kepada pihak perempuan, (b) Permohonan pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk menerima mas kawin yang telah diperhadapkan dengan rasa kekeluargaan yang dalam, (c) Pernyataan pihak perempuan akan kesungguhan pihak laki-laki dalam usahanya menyambung tali persaudaraan dan memperluas hubungan kekeluargaan (d) Serangkaian ungkapan-ungkapan yang menggambarkan suasana gembira dan lucu sebagai rasa syukur atas lancarnya proses pelaksanaan. Dalam pelaksanaan pelaksanaan perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan ditemukan beberpa kendala antara lain faktor ekonomi keluarga, faktor adat dan budaya suku Tolaki, faktor dijodohkan orang tua.Salah satu solusi untuk mengatasi hal tersebut antara lain adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat khususnya yang akan melaksanakan perkawinan adat Tolaki. Implikasi dalam penelitian ini adalah diharapkan agar masyarakat suku Tolaki khususnya yang bermukim di Kabupaten Konawe Selatan dapat mengikuti prosesi perkawinan berdasarkan hukum Islam dengan mengintegrasikannya dengan nilai-nilai budaya yang memiliki relevansi dengan syari’at Islam. Agar tesis ini dapat menjadi bahan rujukan dan referensi bagi pelaksanaan adat perkawinan masyarakat suku Tolaki, sehingga dalam pelaksanaan perkawinan mereka dapat sejalan dengan hukum Islam, adat istiadat dan perundang-undangan yang berlaku. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum tersebut terdiri dari norma atau kaidah, baik tertulis maupun tidak tertulis sehingga diperlukan kriteria tertentu dalam sikap, tindak atau perilaku manusia guna mencapai kedamaian melalui keserasian antara ketertiban dan ketentraman, atau antara disiplin dan kebebasan.1 Secara sederhana hukum diartikan seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui oleh suatu negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk anggotanya.2 Hal ini bertujuan agar kehidupan manusia berlangsung damai, adil, dan sejahtera. Seperangkat aturan yang terdiri dari norma dan kaidah tidak serta merta menjadi hukum, kecuali norma tersebut berubah status menjadi hukum bagi negara yang menganut sistem hukum yang tertulis melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu masyarakat. Dalam bidang perkawinan, hukum Islam sebagai hukum nasional (lex positives/ius constitum) diberlakukan di era Orde Baru pertama kali tercantum dalam UU RI. Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1). Itu pun masih bersifat general (hukum agama), tidak spesial hukum Islam.3 Keberadaan UU Perkawinan merupakan 1 Lihat Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi(Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1985), h. 1. 2 Lihat Amir Syarifuddin, Usu>l Fikih (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 21. 3 Lihat Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara, Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: LKIS, 2001), h. 87. 1 2 salah satu usaha pemerintah untuk melakukan unifikasi hukum dalam bidang perkawinan, sehingga tercipta rumusan hukum yang jelas dan baku. Hal ini disebabkan karena persoalan heterogenitas budaya, adat, dan agama di Indonesia sangat tercermin dalam praktek perkawinan masyarakat yang majemuk (plural). Perkawinan merupakan babak awal dalam pembentukan rumah tangga yang sakinah. Pernikahan yang dilakukan dengan penuh kejujuran akan melahirkan keindahan dalam keluarga. Karena kebahagiaan sesungguhnya bukan berada pada banyaknya harta, namun pada sikap hati yang penuh kejujuran, kepercayaan dan pendekatan diri kepada Sang Pencipta menuju keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Islam melarang atau mengharamkan untuk melepaskan naluri seksual pada jalan yang bukan tempatnya dan tidak diridhoi Allah, misalnya zina dan sebagainya. Sejalan dengan hal tersebut maka Islam telah membuka jalan keluar untuk menyalurkan naluri seksual tersebut melalui jalan yang sudah ditetapkan oleh syariat yaitu perkawinan. Jalan perkawinan inilah yang diridhoi dalam Islam. Perkawinan sebagai salah satu sunatullah yang secara umum berlaku untuk semua makhluk-Nya, baik itu hewan, tumbuh-tumbuhan maupun manusia. Sebagai sunatullah yang tidak hanya diberikan kepada manusia, perkawinan bukan semata-mata perintah dan anjuran yang tidak memiliki arti dan manfaat sama sekali. Akan tetapi sebaliknya, perkawinan merupakan realisasi kehormatan bagi manusia sebagai makhluk bermoral dan berakal dalam menyalurkan naluri seks yang bersifat psikis maupun fisik yang dapat diperoleh dalam perkawinan sebagai tujuan akhirnya. Laki-laki yang dibekali rasa senang terhadap perempuan dan demikian pula perempuan merasa senang terhadap laki-laki, dalam menempuh hidup di dunia 3 sebagai khalifah tidak dibiarkan hidup sekehendak, akan tetapi diberi hidup bersama dengan pasangannya itu. Aturan ini bermaksud agar mereka hidup dengan tenang dan damai diliputi rasa kasih sayang yang dapat menghibur dikala susah dan pemulih gairah dikala lelah. Perkawinan merupakan institusi formal yang harus ditempuh manusia ketika ingin hidup bersama dengan lawan jenisnya. Artinya bahwa perkawina tersebut harus dilakukan secara resmi. Aturan ini adalah hukum Allah swt. yang bertujuan menempatkan manusia sebagai makhluk yang paling mulia di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah lainnya, sehingga sesuai dengan tabiatnya. Manusia tidak akan dapat berkembang tanpa adanya perkawinan, karena perkawinan menyebabkan adanya keturunan, dan keturunan menimbulkan keluarga yang berkembang menjadi kerabat dan masyarakat. Jadi perkawinan merupakan unsur tali temali yang meneruskan kehidupan manusia dan masyarakat.4 Hasrat manusia untuk melangsungkan perkawinan cukup tinggi, sebab perkawinan merupakan kebutuhan manusiawi untuk menyalurkan kebutuhan biologis secara baik dan benar berdasarkan aturan syariat atau aturan yang berlaku pada setiap masyarakat (adat). Allah swt. menciptakan manusia di muka bumi ini sebagai makhluk yang sebaik–baiknya dan dilengkapi dengan nafsu sehingga mempunyai keinginan terhadap lawan jenisnya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut Allah swt. menciptakan lawan jenis dari jenis manusia sendiri yang dapat dijadikan sebagai istri dalam rangka memperoleh keturunan berupa anak dan cucu yang dapat beregenerasi. Allah swt. Berfirman dalam Q.S. al-Nah}l/16: 72. 4 Lihat Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat (Cet. II; Bandung; Alumni, 1983), h. 221. 4 Terjemahnya: Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" 5 Sekarang yang menjadi persoalan adalah cara mendapatkan pasangan dan menyalurkan kebutuhan seks dilakukan dengan cara yang tidak dibenarkan agama. Pelepasan hajat seksual biasa dilakukan dengan jenis sendiri (lesbian atau homoseksual), ada juga dengan cara onani (seksual dengan diri sendiri), atau dengan lawan jenis tanpa melakukan pernikahan yang sah (kumpul kebo). Munculnya perilaku seks menyimpang tersebut berimplikasi pada eksistensi keturunan yang tidak pasti siapa ayah dari anak yang lahir tanpa ikatan pernikahan yang syah. Hal tersebut sesua dengan firman Allah swt. dalam QS. al-Maidah’/5: 1 Terjemahnya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu, Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan 6 sesamanya. 5 Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahnya (Solo: Qomari, 2010), h. 4114. 6 Ibid. h. 115. 5 Mengacu pada ayat di atas, dapat dipahami bahwa pernikahan haruslah didasarkan pada hukum-hukum Allah swt. atau berdasarkan adat masyarakat yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Hanya saja kenyataan dalam masyarakat tertentu ada juga yang melangsungkan pernikahan tanpa memperhatikan aturanaturan agama. Aqad (perjanjian) mencakup janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.Pernikahan lebih ditekankan pada aspek tradisi dan budaya yang secara turun temurun diterima atau diperoleh dari nenek moyang mereka. Adat inilah yang mewarnai kehidupan masyarakat termasuk dalam hal pelaksanaan perkawinan. Pada masyarakat tertentu dapat melakukan perkawinan bila sekufu atau sederajat atau berasal dari suku yang sama. Artinya, ada suatu upaya adat yang membedakan suku, keturunan dan kebangsawanan. Adat seperti ini tentu tidak sesuai dengan jiwa agama dalam hal perkawinan yang dapat dilakukan dengan siapa saja dengan pertimbangan utama berdasarkan agama. Di Kabupaten Konawe Selatan terdapat dua versi adat perkawinan. Versi yang pertama memiliki pemahaman bahwa siapa saja dan berasal dari suku manapun yang pasti saling mencintai perkawinan dapat dilangsungkan. Sedangkan versi kesdua memiliki pemahaman bahwa tidak mau menikahkan anaknya bila tidak seketurunan, setara derajat kebangsawanannya, dan tidak sesuku. Akan tetapi seiring dengan adanya perubahan serta perkembangan dalam masyarakat, sebahagian masyarakat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan dalam melaksanakan prosesi perkawinan tidak saja didominasi oleh hukum adat, tetapi sudah dipadukan dengan aturan perkawinan dalam Islam. 6 Hukum Islam yang berkembang di Indonesia merupakan hal penting dan paling berharga dalam memperbaharui dan memperkaya khasanah adat Tolaki. Atas dasar inilah penulis ingin mengadakan penelitian untuk memahami lebih jauh bagaimana pengaruh hukum Islam terhadap adat perkawinan Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi pokok permasalahan untuk dijadikan kajian utama dalam penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara dalam perspektif hukum Islam? Untuk mengkaji pokok permasalahan tersebut maka penulis merinci ke dalam beberapa submasalah, yaitu: 1. Bagaimana pelaksanaan perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara? 2. Bagaimana kendala yang dihadapi dalam memadukan adat perkawinan Tolaki dengan perspektif hukum Islam di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara? 3. Bagaimana solusi mengatasi kendala yang dihadapi dalam memadukan adat perkawinan Tolaki dengan perspektif hukum Islam di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara? C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Definisi operasional Variabel Penelitian in berjudul membedah pelaksanaan perkawinan adat tolaki di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. Untuk memperjelas pengertian atau 7 makna variabel yang terdapat dalam judul penelitian ini maka perlu dikemukakan definisi operasional dari setiap variabel, agar para pembaca tidak keliru memahaminya. Adapun variabel yang peelu dijelaskan adalah sebagai berikut: a. Membedah Kata membedah ini pada dasarnya berasal dari suku kata “bedah” yang umumnya digunakan oleh kedokteran. Bedah artinya identik dengan operasi (medis), yakni pengobatan penyakit dengan memotong atau mengiris dan sebagainya bagian tubuh yang sakit.7 Namun kata “bedah” ini apabila diberi awalan “me” lalu kemudian disisipi huruf “m" maka menjadilah kata “membedah” yang artinya selain arti media yakni mengoperasi, kata tersebut juga kadang-kadang diartikan dengan menganalisa atau mengkaji. Membedah yang dimaksud penulis dalam penelitian ini adalah suatu usaha yang dilkukan untuk mengakaji sesuatu sehingga dapat diketahui hakekat sesuatu tersebut. b. Pelaksanaan Perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara Pelaksanaan perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara yang penulis maksud dalam penelitian ini adalah kegiatan perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Tolaki berdasarkan adat atau kebiasaan yang ada di di daerah tersebut. 7 Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. I; Edisi III; Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 120. 8 2. Ruang Lingkup Penelitian Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah menemukan solusi yang dapat lebih merelevansikan antara adat perkawinan bagi suku Tolaki yang ada di Kecamatan Konawe Selatan dengan hukum dan syari’at Islam. D. Kajian Pustaka Penelitian ini membahas tentang pelaksanaan perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan berdasarkan hukum Islam dengan pokok masalah yang akan dibahas mempunyai relevansi dengan berbagai karya ilmiah berupa teori-teori yang ada dalam buku referensi serta hasil penelitian dalam bentuk tesis sebagai berikut: 1. Hasil penelitian yang dilakukan Suharni Majid yang berjudul Relevansi Perkawinan Adat Tolaki dan Perkawinan Adat Jawa dalam Masyarakat Kecamatan Palangga Kabupaten Kendari Ditinjau dari Segi Hukum Islam. Hasil penelitian dalam bentuk tesis ini ditemukan bahwa bila ditinjau dari syari”at Islam maka adat perkawinan suku Tolaki yang ada di Kabupaten Konawe Selatan memiliki relevansi dengan adat perkawinan suku Jawa. Bahkan Suharni Majid menuturkan dalam hasil kesimpulannya bahwa antara adat perkawinan Tolaki dengan adat perkawinan adat Jawa mempunyai relevansi yang cukup kuat. Sementara dalam perspektif hukum adat, lanjut Suharni Majid bahwa pada masing-masing konsep perkawinan, secara substansial, perkawinan adat Tolaki dan adat Jawa masih relevan, sebab apa yang dilakukan oleh adat Tolaki, secara prosedural dilakukan pula dalam konsep perkawinan adat Jawa. Hanya saja yang membedakan adat ini dalam 9 kesimpulan Suharni Majid adalah tata cara atau tata laksana perkawinan hanyalah istilah-istilah dan simbol-simbol adat dalam tiap tahapannya.8 2. Hasil penelitian yang dilakukan Azhar Pagala menyimpulkan bahwa proses perkawinan adat Tolaki memiliki relevansi yang kuat dengan prosesi perkawinan dalam Islam. Hal ini terlihat dalam prosesi pranikah. Dalam Islam, sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai tentu memerlukan “ta’aruf” secara islami. Sementara dalam adat suku Tolaki pranikah ditandai dengan adat proses pelamaran (pertunangan) yang disebutnya dengan “Meloso’ako” atau “moawo niwule” yakni sebuah bentuk upacara peminangan dari pihak laki-laki (orang tua laki-laki dan kerabatnya) dengan mengunjungi keluarga perempuan yang juga telah berkumpul dengan keluarganya menunggu kedatangan pihak laki-laki datang melamar atau meminang.9 Artinya, sebelum proses peminangan berlangsung keluarga kedua belah pihak telah bersepakat untuk datang bertemu khusus membicarakan menentukan atau memastikan apakah anak perempuannya tidak sedang dalam pinangan laki-laki lain. 3. Sementara itu, Sudarni Laupe dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa adat perkawinan adalah kebiasaan suatu masyarakat tertentu berupa tradisi yang dimulai dan dilaksanakan sejak nenek moyang mereka untuk kemudian dilestasikan dalam acara seperti pada adat perkawinan. Kebiasaan yang telah menjadi adat tradisional dalam adat perkawinan, misalnya membawa perlengkapan pakaian perempuan oleh pihak laki-laki saat datang untuk 8 Suharni Majid, Relevansi Perkawinan Adat Tolaki dan Perkawinan Adat Jawa dalam Masyarakat Kecamatan Palangga Kabupaten Kendari Ditinjau dari Segi Hukum Islam. (Tesis PPs UMI Makassar, 2001) belum diterbitkan, h. 121. 9 Azhar Pagala, Nilai-Nilai Mahar dalam Adat Perkawinan Suku Bugis dan Suku Tolaki (Analisis Perbandingan). (Tesis) PPs UIN Alauddin 2008, belum terpublikasi, h. 57. 10 bersanding, walaupun dalam syari’at Islam hal tersebut tidak ditemukan tetapi karena adat tersebut justru menambah simbolisasi kewajiban dan kesanggupan seorang suami memberikan nafkah kepada isterinya.10 Merujuk pada hasil penelitian di atas, penulis belum menemukan karya ilmiah yang secara khusus membahas tentang “Studi Pelaksanaan Perkawinan Adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara Berdasarkan Hukum Islam”. Karena itu, peneliti ingin menelusuri penerapan perpaduan antar tradisi perkawinan. Selanjutnya, pada kajian pustaka ini peneliti akan memaparkan beberapa referensi yang memiliki relevansi dengan judul yang akan diteliti, antara lain sebagai berikut: Risalah Nikah, Hukum Perkawinan Islam oleh H.S.A. Alhamdani yang menuturkan bahwa “perkawinan adalah sunnatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan dilakukan oleh manusia, hewan bahkan oleh tumbuh-tumbuhan”.11 Kaitannya dengan penelitian ini jelas terletak pada aspek pembahasan yang mengkaji tentang perkawinan dalam perspektif hukum Islam. Perkawinan sebagai jalan yang wajib dilalui oleh setiap umat Islam untuk menempuh rumah tangga sakinah. Bahkan Sayyid Sabiq memaparkan bahwa “perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan”.12 Relevansinya dengan pembahasan 10 Darmiati Laupe, Adat Perkawinan Masyarakat Bugis di Desa BaraE Kecamatan Mario Riwawo Kabupaten Soppeng (Tesis) PPs UMI Makassar 2008, Belum terpublikasi, h. 72. 11 H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah, Hukum Perkawinan Islam (Cet. III; Jakarta: Pustaka Amani, 1989), h. 15. 12 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Jilid VI, Edisi Indonesia diterjemahkan oleh Moh. Thalib, (Cet. VII; Bandung: Al-Ma’arif, 1990), h. 9. 11 tesis ini juga terletak pada urgensinya kelangsungan hidup manusia melalui perkawinan. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, setelah dianalisis belum ada yang secara spesifik meneliti tentang membedah pelaksanaan perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bentuk perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan. 2. Untuk mengungkap kendala yang dihadapi dalam memadukan adat perkawinan Tolaki dengan perspektif hukum Islam di Kabupaten Konawe Selatan. 3. Untuk mengetahui solusi mengatasi kendala yang dihadapi dalam memadukan adat perkawinan Tolaki dengan perspektif hukum Islam di Kabupaten Konawe Selatan. Sedangkan yang menjadi kegunaan penelitian ini secara ilmiah dan praktis adalah: a. Secara Ilmiah Penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan Islam, khususnya yang terkait dengan masalah perkawinan adat Tolaki dan perkawinan dalam perspektif hukum Islam. b. Kegunaan Praktis 1) Kegunaan bagi peneliti 12 Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi peneliti terutama yang berkaitan dengan hal ikhwal perkawinan adat bagi suku Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan yang kaitannya dengan perkawinan dalam Islam. 2) Kegunaan bagi masyarakat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wacana positif bagi seluruh masyarakat Islam Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan, sehingga mereka dapat melestarikan adat istiadat mereka yang sejalan dan relevan dengan nilai-nilai syari’at Islam. F. Garis Besar Isi Tesis Secara garis besar penelitian ini terbagi ke dalam lima bab pembahasan. Bab pertama sebagai bab pendahuluan yang di dalamnya dipaparkan latar belakang masalah. Dari latar belakang masalah inilah kemudian lahir rumusan masalah sekaligus sebagai batas pembahasan dalam tesis ini. Lalu kemudian dirumuskan tujuan dan kegunaan penelitian, diikuti dengan definisi operasional dan fokus penelitian, kajian pustaka dan pada bagian akhir bab pertama ini dikemukakan garis besar isi tesis itu sendiri. Bab kedua sebagai bab yang membahas kajian teoritis. Pada bab ini dikemukakan tentang pengertian dan sistem perkawinan dalam Islam, syarat-syarat, prosesi, tujuan dan hikmah perkawinan, Kajian Terhadap Aturan PerundangUndangan Tentang Perkawinan, dan Tata Cara Perkawinan Menurut Ajaran Islam. Bab ketiga sebagai bab yang mengetengahkan secara khusus metodologi penyusunan tesis ini, sehingga diiformasikan bahwa metode penulisan yang digunakan antara lain mulai dari jenis dan lokasi dilangsungkannya penelitian, fokus 13 penelitian, instrumen penelitian, pendekatan penelitian, sumber data penelitian, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data. Bagian keempat adalah bab yang memaparkan hasil penelitian, walaupun ditampilkan terlebih dahulu selayang pandang Kabupaten Konawe Selatan lalu ditampilkan hasil penelitian. Adapun hasil penelitian yang dipaparkan dalam bab keempat ini adalah pelaksanaan adat perkawinan suku Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan, Tahap Pelaksanaan Perkawinan Adat Suku Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan, dan Kendala yang dihadapi dalam Memadukan Adat Perkawinan Adat Suku Tolaki dengan Hukum Islam di Kabupaten Konawe Selatan. Bab kelima adalah bab terakhir sehingga di dalamnya dipaparkan beberapa kesimpulan yang ditarik dari pembahasan sebelumnya lalu diakhiri dengan implikasi penelitian. BAB II TINJAUAN TEORETIS A. Pengertian dan Sistem Perkawinan dalam Islam Perkawinan atau pernikahan merupakan institusi yang istimewa dalam Islam. Di samping merupakan bagian dari syariat Islam, perkawinan memiliki hikmah dan tujuan yang mulia. Perkawinan dapat mengubah sikap dan perilaku yang dilarang menjadi bernilai ibadah. Melalui perkawinan juga, masa depan manusia bisa tetap dipertahankan. Dalam kehidupan modern sekarang perkawinan patut dikaji secara mendalam. Kecanggihan teknologi dan majunya ilmu pengetahuan sekarang memungkinkan manusia bisa melakukan rekayasa sehingga dari segi pragmatis perkawinan menjadi kurang urgen. Manusia bisa melakukan apa saja yang seharusnya dilakukan ketika manusia sudah melalui proses perkawinan. Hanya ideologi dan kesadaran akan arti pentingnya perkawinan yang mengharuskan seseorang melakukan perkawinan. Manusia merupakan salah satu jenis dari sekian banyak makhluk hidup yang diciptakan oleh Allah swt., yang telah diberikan kepercayaan kepadanya untuk menjadi khalifah di bumi ini. Manusia harus berkembang biak melalui hubungan kelamin merupakan suatu kesepakatan tanpa ada perbedaan pendapat. Bahkan menurut Alhamdani bahwa “perkawinan adalah sunnatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan dilakukan oleh manusia, hewan bahkan oleh tumbuh-tumbuhan”.1 Hal senada dikemukakan Sayyid Sabiq bahwa “perkawinan merupakan salah satu 1 H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah, Hukum Perkawinan Islam (Cet. III; Jakarta: Pustaka Amani, 1989), h. 15. 14 15 sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan”.2 Perkawinan bagi manusia bukan hanya sebagai pernyataan (statemen) yang mengandung keizinan untuk melakukan hubungan seksual sebagai suami isteri, tetapi juga merupakan tempat berputarnya hidup kemasyarakatan. Dengan demikian, perkawinan mempunyai arti yang amat penting dalam kehidupan manusia dan merupakan pola kebudayaan untuk mengendalikan serta membentuk pondasi yang kuat dalam kehidupan rumah tangga. Berdasar pada statemen tersebut dapat dipahami bahwa perkawinan bagi manusia bukan saja untuk memenuhi kebutuhan biologis - dan ini bukan merupakan fungsi primer - tetapi ia merupakan fungsi sekunder. Sehubungan dengan itu, terdapat tendensi yang kuat mengenai pikiran akan kodrat pertama (primary nature) yang merupakan sifat-sifat biologis manusia yang diperoleh dari keturunan dan kodrat kedua (scondary nature) yang merupakan sifat-sifat kultural manusia. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, diketahui bahwa perkawinan tidak hanya berlaku pada manusia, tetapi pada semua makhluk Allah termasuk hewan, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Karena manusia merupakan satu-satunya makhluk Allah yang paling mulia, di antara sekian makhluk-Nya, maka dalam segala aspek kehidupan manusia senantiasa dituntun agar kemuliaannya tetap terjaga. Oleh karena itu, untuk menghilangkan persepsi kesamaan derajat antara manusia dengan binatang atau hewan dan tumbuh-tumbuhan dalam aspek perkawinan itu, maka dalam sistem perkawinan manusia diberikan tata aturan, kaidah dan norma-norma yang bertujuan mengangkat derajat kemanusiaan untuk menjadi makhluk yang tetap 2 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Jilid VI, Edisi Indonesia diterjemahkan oleh Moh. Thalib, (Cet. VII; Bandung: Al-Ma’arif, 1990), h. 9. 16 mulia. Perkawinan bagi binatang, hewan dan tumbuh-tumbuhan tidak memiliki aturan tertentu, tidak memiliki batas-batas etika, tidak terkait dengan adat istiadat. Berbeda dengan perkawinan yang terjadi pada manusia, sistem perkawinan pada manusia harus sesuai dengan tujuan hukum, hendaknya hubungan itu dilakukan menurut aturan tertentu agar tidak serupa dengan hewan, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Manusia sebagai makhluk yang lebih dimuliakan dan diutamakan Allah dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Allah telah menetapkan adanya aturan tentang perkawinan bagi manusia dengan aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar, manusia tidak boleh berbuat semaunya. Allah tidak membiarkan manusia berbuat semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan jenis semau-maunya tanpa aturan, atau seperti tumbuh-tumbuhan yang kawin dengan perantaraan angin, sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Hijr/15: 22. ... ،َواَرْ َﺳ ْﻠﻨَﺎ اﻟ ﱢﺮﯾَﺎ َح ﻟَ َﻮاﻗِ َﺢ Terjemahnya: Dan Kami telah tumbuhan),….3 meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh- Ayat tersebut, menginformasikan bahwa perkawinan yang terjadi pada tumbuh-tumbuhan hanyalah melalui tiupan angin yang telah ditentukan oleh Allah. Hal ini menggambarkan bahwa sistem perkawinan pada makhluk selain manusia, tidak memiliki norma-norma atau hukum seperti yang terjadi pada perkawinan manusia. Perkawinan bagi manusia, Allah telah memberikan batas dengan peraturan-peraturan-Nya, yaitu dengan syariat, yang terdapat dalam kitab suci-Nya al-Qur'an dan hadis Rasul-Nya dengan hukum-hukum perkawinan, misalnya 3 h. 392. Departemen Agama RI., Al-Qur'an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 2000), 17 mengenai meminang sebagai pendahuluan perkawinan, tentang mahar atau maskawin, yaitu pemberian seorang suami kepada istri nya sewaktu akad nikah atau sesudahnya. Islam adalah agama yang universal (syumul). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut tampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah banyak berbicara. Mulai bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya, Islam pula mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah saw, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Nikah merupakan jalan yang paling bermanfaat dan paling af«al dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah saw, mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya. Nikah merupakan jalan fitrah yang bisa menuntaskan gejolak biologis dalam diri manusia, demi mengangkat cita-cita luhur yang kemudian dari persilangan syar’i tersebut sepasang suami istri dapat menghasilkan keturunan, hingga dengan perannya kemakmuran bumi ini menjadi semakin semarak. 18 Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai akhlak yang luhur dan sentral. Karena lembaga ini memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya bani Adam (anak cucu Adam), yang kelak mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini. Ketika menelusuri dan berpijak pada al-Qur’an, tergambar bahwa perkawinan merupakan sesuatu yang dianjurkan dalam Islam. Anjuran tersebut dinyatakan dalam berbagai ungkapan, baik secara eksplisit maupun implisit. Adapun perintah untuk melangsungkan proses perkawinan yang secara tersurat maupun tersirat sebagai dasar hukum yaitu salah satu di antaranya firman Allah swt, dalam QS. al-Nisa/4: 1. Terjemahnya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istri nya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.4 4 Ibid., h. 114. 19 Dari ayat tersebut Allah swt., menampakkan kejadian manusia yang merupakan hasil ciptaan-Nya dari suatu zat. Zat yang kemudian menjelma menjadi Adam. Kemudian Allah swt., menciptakan pasangannya yang menurut beberapa riwayat bernama Siti Hawa. Keduanya (Adam dan Hawa) lalu dijadikan pasangan suami-istri melalui lembaga perkawinan, bukan dengan cara promiskwiti (perkawinan orang-orang primitive yang kacau balau). Dari pasangan inilah lahir anak-anak baik laki-laki maupun perempuan dan proses seperti itu berlangsung terus menerus hingga sekarang.5 Dengan demikian, ayat ini sekaligus merupakan bantahan terhadap teori yang bernama evolusi Darwin yang menyatakan bahwa manusia di dunia ini terbentuk melalui proses evolusi dari monyet.6 Para mufassir mempermasalahkan tentang kejadian Hawa yang diciptakan dari Adam sendiri. Hal ini dipahami dari penggalan ayat “min nafsin wa>hidah”. Sebagian mufassir berpendapat bahwa Hawa diciptakan dari “tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok”, kemudian melahirkan pandangan yang negatif terhadap perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki, sehingga kebanyakan ulama sebagaimana disebutkan oleh al-Qurtubi memahami bahwa perempuan bersifat ‘auwja>” (bengkok).7 Maksud kata perempuan bagian dari laki-laki adalah bahwa asal mula perempuan (Hawa) tersebut adalah dari tulang rusuk seorang laki-laki (Adam). Kemudian maksud dari kata ‘auja>” adalah bahwa perempuan tersebut memiliki sifat lemah lembut. 5 Lihat Muhammad Mahmud Hijazi, al-Tafsir al-Wadhih, Jilid I, (Juz I; Cet, VI: Kairo: alMatba’ah al-Istiqla>l al-Kubra>, 1969), h. 85. 6 Ibid. 7 Ibid., 87. 20 Dalam kamus Bahasa Indonesia kata “perkawinan” berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa berarti “membentuk keluarga dengan lawan jenis, atau melakukan hubungan kelamin, bersetubuh”.8 Secara bahasa pada mulanya kata “nikah”yang berasal dari bahasa Arab nika>hun dan merupakan masdar dari kata nakaha, digunakan dalam arti ”berhimpun, bergabung”.9 Perkawinan disebut juga “pernikahan” yang berasal dari bahasa Arab, yakni “nikah” yang menurut bahasa artinya “mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathq)”.10 Perkawinan berasal dari kata “kawin “ yang berarti nikah, berbini, berlaki. Kemudian mendapat awalan “per” dan akhiran “an” menjadi perkawinan, yang mempunyai arti hal-hal mengenai perkawinan.11 Dari segi etimologi, ibn Faris menulis, Nikah berasal dari huruf-huruf nun-kaf-ha yang berarti al-bidh’u< yaitu hubungan seksual atau al-jima>’. 12 Menurut Mohd. Idris Ramulyo bahwa : Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual, tetapi menurut arti majazi (mathaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita.13 8 Depdikbud. RI., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi III; Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 518. 9 Ibid., h. 339. 10 Lihat Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Edisi I: Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 7. 11 Depdikbud. RI., op. cit., h. 339. 12 Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, ditahqiq oleh Syihabuddin Abu Amr, Jld. V, (Cet. I; Bairut: Dar Fikr, 1994 ), h. 1047. 13 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Edisi II; Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 1. 21 Sedangkan perkawinan dari segi definisi seperti yang dirumuskan oleh Wahbah al-Zuhaili dalam bukunya “Fiqh al-Islam Wa Adillatuh” ditemukan definisi sebagai berikut : ُ ﺎر ﺎع َ ع ﻟِﯿُﻔِ ْﯿ َﺪ ِﻣ ْﻠ َ اَﻟ ﱠﺰ َوا ُج ﺷَﺮْ ﻋًﺎھُ َﻮ َﻋ ْﻘ ٌﺪ َو ِ ﺿ َﻌﮫُ اﻟ ﱠﺸ ِ َﺎع اﻟ ﱠﺮ ُﺟ ِﻞ ﺑِﺎْﻟ َﻤﺮْ أَ ِة َو ِﺣ ﱠﻞ ا ْﺳﺘِ ْﻤﺘ ِ َﻚ ا ْﺳﺘِ ْﻤﺘ 14 .ْاﻟ َﻤﺮْ أَ ِة ﺑِﺎﻟ ﱠﺮ ُﺟ ِﻞ Artinya: Perkawinan berdasarkan syariat adalah akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki. Sedangkan berdasarkan UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan didefinisikan sebagai “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.15 Ada pula yang mendefinisikan kata perkawinan itu sebagai berikut : Perkawinan (bagi manusia) adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi mereka untuk mengembangkan keturunan, beranak, melestarikan kehidupannya, setelah masing-masing pasangan dari mereka (laki-laki dan perempuan) sudah siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.16 Dalam kompilasi hukum Islam pasal 2 menyebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mi>sa|> qan 14 Wahbah Al-Zuhaili, Fiqh Al-Islam Wa Adillatuh (Cet. III; Beirut: Da>rt al-Fikr, 1989), 15 Undang-undang tentang Perkawinan, Bab I Pasal 1 h. 29. 16 Mahtuf Ahnan dan Maria Ulfa, Risalah Fiqih Wanita: Pedoman Ibadah Kaum Wanita Muslimah dengan Berbagai Permasalahannya (Surabaya: Terbit Terang, 2000), h. 270. 22 galiz|an untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.17 Sedangkan pasal 3 disebutkan bahwa “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”.18 Bertolak dari beberapa definisi perkawinan yang dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah suatu akad atau ikatan lahir batin yang mengandung ketentuan hukum tentang kebolehan laki-laki dan perempuan hidup sebagai suami istri setelah melakukan perannya yang positif dalam menempuh jalan yang dipilih Allah untuk beranak pinak, berkembang biak dan kelestarian hidup dengan membentuk rumah tangga bahagia, sakinah, mawaddah wa rahmah. B. Syarat-syarat, Tujuan dan Hikmah Perkawinan 1. Syarat-syarat Perkawinan Perkawinan merupakan sunnatullah yang di dalamnya Allah menghendaki agar hamba-Nya yang bernama manusia ini dapat mengemudikan bahtera kehidupan. Namun demikian, Allah tidak menghendaki perkembangan dunia berjalan sekehendak manusia. Oleh sebab itu, diatur-Nyalah naluri apapun yang ada pada manusia dan dibuatkan untuknya syarat-syarat dan undang-undang, sehingga kemanusiaan manusia tetap utuh, bahkan semakin baik, suci dan bersih. Demikianlah, bahwa segala sesuatu yang ada pada jiwa manusia sebenarnya tidak pernah terlepas dari didikan Allah. Dengan demikian bagi siapapun hamba Allah yang telah mampu kawin, hendaknya bersegera kawin karena dengan kawin (beristri ) itu hati lebih terpelihara 17 H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), h. 114. 18 Ibid. 23 dan bersih dari desakan nafsu. Islam sangat menyukai perkawinan, salah satu di antaranya adanya anjuran bagi kaum muslimin untuk melangsungkan perkawinan. Salah satu dasar anjuran perkawinan itu dapat ditemukan pada QS. al-Rum/30:21 ﻖ ﻟَﻘُ ْﻢ ﱢﻣ ْﻦ اَ ْﻧﻔُ ِﺴ ُﻜ ْﻢ اَ ْز َواﺟًﺎﻟﱢﺘَ ْﺴ ُﻜﻨُﻮْ اإِﻟَ ْﯿﮭَﺎ َو َﺟ َﻌ َﻞ ﺑَ ْﯿﻨَ ُﻜ ْﻢ ﱠﻣ َﻮ ﱠدةً ﱠو َرﺣْ َﻤﺔً اِ ﱠن ﻓِ ْﻲ َ ََو ِﻣ ْﻦ آﯾﺘِ ِﮫ اَ ْن َﺧﻠ . َﺖ ﻟﱢﻘَﻮْ ٍم ﯾﱠﺘَﻔَ ﱠﻜﺮُوْ ن َ ِذﻟ ٍ ﻚ ﻻَﯾ Terjemahnya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri -istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.19 Pada ayat lain, Allah berfirman dalam QS. al-Nahl/16/72 ََوﷲُ َﺟ َﻌ َﻞ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﱢﻣ ْﻦ اَ ْﻧﻔُ ِﺴ ُﻜ ْﻢ اَ ْز َواﺟًﺎ ﱠو َﺟ َﻌ َﻞ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﱢﻣ ْﻦ اَ ْز َوا ِﺟ ُﻜ ْﻢ ﺑَﻨِ ْﯿﻦَ َو َﺣﻔَ َﺪةً ﱠو َر َزﻗَ ُﻜ ْﻢ ﱢﻣﻦ ....ﺖ ِ اﻟﻄﱠﯿﱢﺒ Terjemahnya: Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenismu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri -istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik,…20 Kedua firman Allah tersebut, menjelaskan bahwa Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarkhi tanpa batas aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah telah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhai, dengan ucapan ijab kabul sebagai 19 Departemen Agama RI., op. cit., h. 644. 20 Ibid., h. 412. 24 lambang adanya rasa ri«a meri«ai, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat (akad). Sistem perkawinan ini telah memberikan jalan yang aman pada naluri seks, memelihara keturunan dengan baik, dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak dengan sebebasnya. Hubungan dan pergaulan suami istri diletakkan di bawah naluri keibuan dan kebapaan sebagaimana ladang yang baik yang nantinya menumbuhkan tumbuhtumbuhan yang baik dan menghasilkan buah yang baik pula. Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi perkawinan mempunyai nilai ibadah, karena perkawinan ini merupakan perintah agama kepada yang mampu agar besegera melaksanakannya. Bahkan dalam pandangan Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan itu merupakan akad yang sangat kuat (mi>£a<qan gali©an) yakni menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.21 Dalam melaksanakan akad perkawinan harus terpenuhi rukun dan syarat nikah menurut fikih munakahat (perkawinan), yang di antaranya rukun perkawinan itu harus terpenuhi lima unsur: pertama, adanya calon pengantin laki-laki, kedua, calon pengantin perempuan, ketiga wali nikah, Keempat, dua orang saksi, dan kelima, ijab qabul. Kalau kelima rukun ini sudah ada dan semuanya memenuhi persyaratannya, maka perkawinan itu telah sah menurut hukum Islam. Oleh karena itu, dalam perkawinan ini ditentukan beberapa syarat berdasarkan syariat Islam. Adapun syarat-syarat perkawinan yang dimaksud adalah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan Islam itu sendiri, yakni : 21 Ahmad Rofiq, op. cit., h. 69. 25 1. Syarat-syarat calon mempelai laki-laki, meliputi: a. Bukan mahram dari calon istri. b. Tidak terpaksa, atas kemauan sendiri. c. Orangnya tertentu atau jelas orangnya. d. Tidak sedang menjalankan ihram haji. 2. Syarat-syarat calon mempelai perempuan, meliputi : a. Tidak ada halangan syar’i, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam idah. b. Merdeka, dan atas kemauan sendiri. c. Jelas orangnya. d. Tidak sedang berihram haji. 3. Syarat-syarat wali, meliputi: a. Laki-laki b. Baligh c. Waras akalnya d. Tidak dipaksa e. Adil f. Tidak sedang ihram haji. 4. Syarat-syarat saksi, meliputi : a. Laki-laki 26 b. Baligh c. Waras akalnya d. Adil e. Dapat mendengar dan melihat f. Bebas, tidak dipaksa g. Tidak sedang mengerjakan ihram haji h. Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-kabul.22 Sedangkan syarat perkawinan yang dikemukakan oleh Ahmad Rofiq dalam mengutip Kholil Rahman sebagai berikut: 1. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya: a. Beragama Islam b. Laki-laki c. Jelas orangnya d. Dapat memberikan persetujuan e. Tidak terdapat halangan perkawinan 2. Calon mempelai perempuan, syarat-syaratnya: a. Beragama, meskipun Yahudi dan Nasrani b. Perempuan c. Jelas orangnya 22 H.S.A. Alhamdani, op. cit., h. 30-31. 27 d. Dapat dimintai persetujuannya e. Tidak terdapat halangan perkawinan 3. Wali nikah, syarat-syaratnya: a. Laki-laki b. Dewasa c. Mempunyai hak perwalian d. Tidak terdapat hak perwaliannya 4. Saksi nikah, syarat-syaratnya: a. Minimal dua orang saksi b. Hadir dalam ijab kabul c. Dapat mengerti maksud akad d. Islam e. Dewasa 5. Ijab kabul, syarat-syaratnya: a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria c. Memakai kata-kata nika>h, tazwa>j atau terjemahan dari kata nika>h atau tazwa>j d. Antara ijab dan kabul bersambungan e. Antara ijab dan kabul jelas maksudnya 28 f. Orang yang berkait dengan ijab kabul tidak sedang dalam ihram haji/umrah g. Majelis ijab dan kabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu: calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai perempuan atau wakilnya, dan dua orang saksi.23 Berdasarkan beberapa syarat tentang sahnya perkawinan tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa perkawinan yang membolehkan hidupnya sepasang suami istri dalam sebuah rumah tangga adalah setelah terjadinya perkawinan dengan telah dipenuhinya semua rukun maupun syarat perkawinan seperti adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan, persetujuan bebas di antara keduanya, telah matang baik jiwa maupun raganya disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, dibayar mahar (mas kawin), ada izin dari orang tua atau wali, klimaksnya dengan adanya al-aqd al-nikah (akad nikah) diiringi dengan ijab (penawaran) dari pihak calon pengantin perempuan serta adanya kabul (penerimaan) dari pengantin laki-laki. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dua kata yang sering digunakan dan telah menjadi bahasa sehari-hari yaitu kawin dan nikah. Kata kawin dapat diartikan cara membentuk keluarga dengan lawan jenis bersuami atau beristri, melakukan hubungan kelamin.24 Sedangkan kata nikah adalah perjanjian antara lakilaki dan perempuan untuk bersuami-istri (dengan resmi), sedang pernikahan yang 23 Lihat Khalil Rahman dalam Ahmad Rofiq, op. cit., h. 71-72., 24 Depdikbud RI., op. cit. h. 456. 29 diberi awalan “per” dan akhiran “an” berarti hal perbuatan nikah, upacara nikah.25 Sedangkan nikah dalam definisi Ibn Abbas nikah adalah akad (perjanjian).26 Sehubungan dengan pengertian secara etimologi tersebut, jika ditinjau menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ditetapkan rumusan pengertian perkawinan yaitu: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Mahaesa. Pasal 2 ayat (1) ditetapkan bahwa: perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.27 Dengan demikian, perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak-hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang lakilaki dengan seorang perempuan. Keduanya bukan muhrim berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di samping itu, ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tersebut jelas bahwa perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama dan kepercayaan, sehingga apabila terjadi suatu perkawinan antara dua orang yang menganut agama yang sama, maka tidak akan menimbulkan masalah. Akan tetapi jika yang akan melakukan perkawinan keduanya berbeda agama, dengan sendirinya akan menimbulkan masalah. Perkawinan tersebut dapat berlangsung dengan baik manakala kedua calon suami/ istri berikrar berdasarkan agama yang dianut. 25 Ibid, h. 614. 26 Muhammad Mahmud Hijazi, op. cit., h. 85. 27 R. Badri, Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan dan KUHP (Surabaya : CV. Amin, 1985 ), h. 54. 30 Kata perkawinan merupakan pengembangan dari kata dasar “kawin” yang mendapat awalan “per” dan akhiran “an” sehingga menjadi perkawinan yang pada dasarnya sama dengan kata nikah dalam bahasa Arab yang kedua-duanya memiliki kesamaan arti, yakni bersatu atau berkumpul atau bersenggama. Perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya. Dengan demikian perkawinan yang hanya memenuhi syarat dan rukun pernikahan secara Islam saja adalah sah menurut hukum. Tidak dilakukan pencatatan di depan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) tidak mengurangi sahnya perkawinan. Hanya saja perkawinannya yang tidak dilakukan dihadapan PPN atau tidak tercatat dalam akta perkawinan tidak akan mendapatkan perlindungan hukum. Perkawinan atau yang di Indonesia diistilahkan dengan pernikahan (nikah yang berarti menghimpun) adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara lakilaki dan perempuan yang bukan muhrim (kerabat terdekat) dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia pasal 2, akad pernikahan diistilahkan dengan m³£a>qan ghali>©an yang berarti ikatan yang kokoh. Istilah ini diharapkan akan memberi kesadaran dan pengertian kepada masyarakat bahwa perkawinan harus menaati perintah Allah dan sekaligus merupakan ibadah serta harus dipertahankan keberlangsungan dan kelestariannya. Dalam arti luas pernikahan merupakan suatu ikatan lahir batin antara dua orang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk mendapatkan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syariat Islam. 31 Menurut Djaman Nur bahwa kata nikah berarti bercampur.28 Pandangan ini berimplikasi pada makna kawin atau nikah sebagai percampuran atau senggama. Dapat juga dipahami berdasarkan kenyataan bahwa kata kawin atau nikah adalah berkumpul antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri. M. Rifai mengatakan “nikah menurut bahasa adalah mengumpulkan”.29 Berdasarkan makna etimologis tersebut diperoleh pengertian bahwa nikah atau kawin adalah mengumpulkan antara laki-laki dan perempuan yang mulanya terpisah satu sama lain, kemudian dikumpulkan menjadi sebuah rumah tangga melalui perkawinan. 2. Tujuan Perkawinan Dalam Pasal 1 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.30 Ikatan lahir batin menjadi inti dari perkawinan dan setelah ijab kabul, pasangan suami istri harus saling merelakan untuk menikmati dan dinikmati “madu” yang dimiliki masing-masing karena untuk melakukan hubungan sebadan menjadi halal akibat ikatan lahir batin antara suami istri karena satu sama lain adalah pakaian, Demikian Allah swt. berfirman dalam QS. al-Baqarah/2/187 28 Djaman Nur, Fiqhi Munaqahat. (Semarang Bina Utama, 1993), h. l. 29 Muhammad Rifai, Klausal Kifayatul Akhyar. (terjemah). (Semarang, Toha Putra, t.th.), 30 Ibid, h. 168. h. 168. 32 Terjemahnya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri istri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.31 Meskipun demikian, hubungan jasmaniah bukanlah satu-satunya dari makna perkawinan ikatan batin juga sangat penting dalam rangka saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi guna menopang tercapainya tujuan perkawinan. Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mi>s|>aqan galiz|an untuk menaati perintah Allah swt. dan melaksanakannya merupakan ibadah. Tujuan perkawinan menurut syariat Islam tidak jauh beda dengan tujuan perkawinan menurut UU RI No.1 Tahun 1974, sama-sama menekankan aspek kebahagiaan. Hanya saja dalam syariat Islam, tujuan perkawinan didasarkan pada aspek ketentraman, kasih sayang, dan saling mencintai. Hal ini dapat dilihat pada 31 Depatemen Agama RI, op. cit., h. 45. 33 pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, yaitu “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,warahmah”. 32 Hal tersebut sesuai dengan firman Allah swt. dalam QS. al-Rum/30/21 Terjemahnya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri -istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.33 Mendambakan pasangan merupakan fitrah semua orang dewasa, dan dorongan yang sulit dibendung. Karenanya, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan perempuan, dan kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksana perkawinan. Menurut H. M. Quraish Shihab bahwa: “Sakinah terambil dari akar kata sakana yang berarti diam tenangnya sesuatu setelah bergejolak. Itulah sebabnya mengapa pisau dinamai sikkin karena dia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelih tenang, tidak bergerak, setelah tadinya meronta. Sakinah karena perkawinan adalah ketenangan yang dinamis dan aktif, tidak seperti kematian binatang”.34 Agar tujuan tersebut berjalan sesuai dengan syariat Islam maka perlu menekankan kesiapan fisik, mental dan ekonomi bagi setiap orang yang ingin menikah. Meskipun demikian, para wali diminta untuk tidak menjadikan bidang 32 Ibid. h. 290. 33 Departemen Agama RI, op. cit., h. 644. 34 M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1999), h. 192. 34 ekonomi sebagai kelemahan atau alasan untuk menolak suatu proses peminang, sebagaimana Allah swt. menjelaskan dalam QS. al-Nur/24/32 Terjemahnya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hambahamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui.35 Sementara itu, untuk pencapaian tujuan perkawinan tidaklah dianjurkan bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk menikah, sehingga dianjurkan menahan diri dan memelihara kesuciannya. Sebagaiman Allah berfirman dalam QS. al-Nur/24/33 Terjemahnya: Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, Karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa 35 Departemen Agama RI, op. cit., h. 549. 35 yang memaksa mereka, Maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.36 Mencapai kehidupan bahagia dan sejahtera bagi pasangan suami istri merupakan dambaan bagi setiap insan. Untuk itu syariat Islam memberikan gambaran yang jelas bagaimana suami istri hidup bersama, menjadikan agama sebagai motivasi hidupnya. Upaya membentuk keluarga sehat sejahtera dan bahagia, maka peranan agama menjadi sangat urgen. Oleh karena itu ajaran agama tidak hanya cukup untuk diketahui dan dipahami oleh pemeluknya akan tetapi harus dapat diamalkan dalam hidup dan kehidupannya. Setiap anggota keluarga mampu menjalankan kehidupannya dengan penuh ketentraman, keamanan dan kedamaian sesuai tuntunan ajaran agama. “Setiap anggota keluarga, terutama orang tua dituntut untuk senantiasa bersikap dan berbuat sesuai dengan garis-garis yang telah ditetapkan oleh alQur’an (Allah) dan sunahnya (Rasul). Dengan demikian diharapkan setiap anggota keluarga memiliki sifat dan budi pekerti yang luhur yang amat diperlukan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat”. 37 Dengan demikian, rumah tangga bukanlah semata-mata tempat berkumpulnya suami istri dalam satu rumah, makan dan minum, dan sebagainya, tetapi tujuan utama adalah terbinanya ketenangan lahir batin, hidup rukun damai, tentram bahagia, tempat suami mencurahkan isi hatinya, cinta dan kasihnya, sehingga tercapailah ketenangan dan kedamaian yang menjadi pokok pangkal ketenangan dan kedamaian masyarakat. 36 Ibid, h. 519. 37 Departemen Agama RI, op. cit., h. 23. 36 Untuk memenuhi tuntutan hidup, masing-masing individu harus memperhatikan kebutuhan dan keinginan kawannya. Jangan yang satu tidak mengindahkan kebutuhan yang lain, sedangkan yang satu mau menang sendiri. Keduanya harus dapat saling mengerti dan berusaha untuk saling memahami latar belakang masing-masing serta jangan ada yang merasa tertekan, menderita dan tidak puas. Hal seperti ini akan menyebabkan perang dingin dan tidak harmonis dalam rumah tangga. Banyak suami atau istri tidak berusaha memahami dan kurang percaya mempercayai, terbuka dan menyembunyikan hal-hal yang tidak perlu disembunyikan. Padahal longgar dan retaknya hubungan keluarga bergantung kepada kepercayaan, keyakinan bahwa tidak ada sesuatu yang diragukan dan dicurigkan. Untuk menjamin ketenangan dan kebahagiaan rumah tangga berilah kesempatan terbuka masing-masing pihak secara terus terang mengatakan keadaan atau kejadian yang sebenarnya. Jika ada sesuatu yang menganggu ketenangan segera atasi, jangan cepat mendengar tuduhan dan jangan pula terburu-buru dalam menerima fitnahan. Bahkan jika terjadi ada perempuan lain yang menganggu hati yang akan menjadi sebab retaknya keamanan dalam rumah tangga, agama memberikan patokan pula.38 Syariat Islam telah menetapkan garis-garis besar petunjuk yang harus dijalani oleh suami istri, agar tujuan perkawinannya tercapai. Banyak cara dan usaha mencapai sakinah dan mawaddah dalam perkawinan. Cara-cara tersebut mulai dari pemilihan jodoh yang harus memenuhi persyaratan-persyaratan utamanya masalah agama, masalah kesepadanan, baik itu kesepadanan; agama, akhlak dan moral, pendidikan, keturunan, usia, dan sebagainya. Demikian juga aspek mahar dan nafkah, yang kemudian keduanya juga menjadi kewajiban dan tanggung jawab bagi suami. Allah swt. berfirman dalam QS. al-Thalaq/65/7 38 Ibid, h. 24. 37 Terjemahnya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.39 Memberikan nafkah kepada istri menjadi bagian dari kewajiban suami juga menjadi syarat tercapainya kebahagiaan hidup. Kehidupan suami istri yang tidak di dukung oleh kemampuan ekonomi yang cukup dapat menimbulkan keresahan keluarga. Meskipun masalah ekonomi bukan satu-satunya yang menentukan hidup bahagianya suami istri, tetapi tidak dapat dipungkiri ternyata masalah ekonomi juga menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan jodoh seseorang. Hal ini berarti bahwa kesanggupan kawin disyaratkan pula dengan kesanggupan untuk mencukupi kebutuhan hidup istri secara material. Jadi wacana hukum Islam mengenai perkawinan tidak terlalu berbeda dengan pengertian perkawinan menurut undang-undang. Perkawinan menurut Islam adalah pernikahan yaitu adanya akad antara laki-laki dan perempuan yang saling cinta mencintai dan berkeinginan untuk kawin dan hidup bersama sebagai bagian dari upaya menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian perkawinan menurut Islam adalah ibadah. 3. Hikmah Perkawinan 39 Departemen Agama RI, op. cit., h. 940. 38 Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada manusia yang telah mampu untuk segera melaksanakannya. Karena dengan perkawinan, dapat mengurangi maksiat penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina. Oleh karena itu, bagi mereka yang berkeinginan untuk menikah, sementara perbekalan untuk memasuki perkawinan belum siap, maka ia dianjurkan berpuasa. Dengan berpuasa, diharapkan dapat membentengi diri dari perbuatan tercela yang sangat keji, yaitu perzinahan. al-Sanani dalam kitabnya Subu>l al-Sala>m, Juz III mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Mas’ud yakni: ب َﻣ ِﻦ ا ْﺳﺘَﻄَﺎ َع ِﻣ ْﻨ ُﻜ ُﻢ ِ ﯾَﺎ َﻣ ْﻌ َﺸ َﺮ اﻟ ﱠﺸﺒَﺎ: رﺳﻮل ﷲ ﺻﻌﻢ ﻗﺎل،ﻋ َْﻦ َﻋ ْﺒ ُﺪ ﷲِ اﺑﻦ َﻣ ْﺴﻌُﻮْ ٍد ج َو َﻣ ْﻦ ﻟَ ْﻢ ﯾَ ْﺴﺘَ ِﻄ ْﻊ ﻓَ َﻌﻠَ ْﯿ ِﮫ ِﺑﺎﻟ ﱠ ُﺼﻮْ ِم ﻓَﺈِﻧﱠﮫُ ﻟَﮫ َ ْﺼ ِﺮ َواَﺣ َ َْاﻟﺒَﺎ َءةَ ﻓَ ْﻠﯿَﺘَ َﺰ ﱠوجْ ﻓَﺈِﻧﱠﮫُ اَ َﻏﺾﱡ ﻟِ ْﻠﺒ ِ ﺼ ُﻦ ﻟِ ْﻠﻔَ َﺮ 40 .(ِو َﺟﺎ ٌء )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ Artinya: Dari Abdullah ibn Mas’ud Rasulullah saw. bersabda: Hai kaum pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu menyiapkan bekal untuk kawin, maka nikahlah karena sesungguhnya nikah itu dapat menjaga penglihatan dan memelihara farji. Barangsiapa tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa karena puasa dapat menjadi benteng. (HR. Muttafaq ‘Alaih). Hadis ini menunjukkan bahwa perkawinan itu merupakan suatu wadah penyaluran kebutuhan biologis manusia yang wajar, dan dalam perkawinan, Nabi ditradisikan menjadi sunah Rasulullah saw. Karena itulah perkawinan sarat dengan nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga sakinah yang mawaddah wa rahmah. Allah menjadikan makhluk-Nya berpasang-pasangan, menjadikan manusia laki-laki dan perempuan, menjadikan hewan jantan betina begitupula tumbuh- 40 M), h. 109. al-San’any, Subul Al-Sala>m, Juz 3, (Kairo: Dar Ihya’ al-Turas al-Araby, 1379 H/1980 39 tumbuhan dan lain sebagainya. Hikmahnya tidak lain adalah agar supaya manusia itu hidup berpasang-pasangan, hidup dua sejoli, hidup suami istri, membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu, harus diadakan ikatan dan pertalian yang kokoh yang tidak sangat sulit dan sangat dibenci oleh Allah bila terjadi pemutusan tali perkawinan. Menurut Mohd. Idris Ramulyo : Bila akad nikah telah dilangsungkan, maka mereka telah berjanji dan bersedia akan membangun satu rumah tangga yang damai dan teratur, akan sehidup semati, sesakit dan sesenang, merunduk sama bungkuk, melompat sama patah, ke bukit sama mendaki, ke lereng sama menurun, berenang sama basah, terampai sama kering, terapung sama hanyut, sehingga mereka menjadi satu keluarga.41 Kutipan tersebut, menunjukkan betapa seia dan sekatanya sepasang suami istri dalam membangun pilar-pilar rumah tangga yang bahagia, aman dan sentosa. Kebersahajaannya itulah kemudian akan melahirkan keturunan yang sah berdasarkan tata aturan dan norma-norma agama. Oleh karena itu, agama Islam menetapkan bahwa untuk membangun rumah tangga yang damai dan teratur itu haruslah dengan perkawinan dan akad nikah yang sah. Diketahui sekurangkurangnya oleh dua orang saksi, bahkan dianjurkan supaya diumumkan kepada tetangga dan karib kerabat dengan mengadakan walimah atau pesta pekawinan. Dengan demikian, terpeliharalah keturunan tiap-tiap keluarga, dan mengenal tiap-tiap anak akan bapaknya, terjauh dari bercampur aduk antara satu keluarga dengan yang lain atau anak-anaknya yang tak kenal akan ayahnya. Selain itu, kehidupan suami istri dengan keturunannya turun temurun adalah berhubung rapat dan bersangkut paut bahkan bertali-temali, laksana rantai yang sama kuat dan 41 Mohd. Idris Ramulyo, op. cit., h. 31. 40 tak ada putusnya ketika anak masih kecil dan dipelihara orang tuanya. Apbila anak sudah dewasa dan orang tuanya sudah lemah dan tak sanggup berusaha, maka dijaga dan dipelihara pula oleh anak-anaknya. Begitulah seterusnya turun-temurun sehingga mereka hidup segar, damai, aman, sentosa, sakinah mawaddah warahmah. Inilah salah satu hikmah perkawinan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur, memelihara diri seseorang agar tidak terjatuh ke lembah kejahatan (perzinahan).42 H.S.A. Alhamdani mengemukakan beberapa hikmah perkawinan, antara lain: 1. Dapat menenteramkan jiwa, menahan emosi, menutup pandangan dari segala yang dilarang Allah dan untuk mendapat kasih sayang suami yang dihalalkan Allah. 2. Mengembangkan keturunan dan untuk menjaga kelangsungan hidup. 3. Untuk memelihara ikatan kekeluargaan, keluarga suami dan keluarga istri, untuk memperkuat ikatan kasih sayang sesama mereka.43 Sedangkan Ali Ahmad al-Jurjawi mengemukakan bahwa hikmah perkawinan itu antara lain: 1. Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan. Ketika keturunan itu banyak, maka proses memakmurkan bumi berjalan dengan mudah, karena suatu perbuatan yang harus dikerjakan bersama-sama akan sulit jika 42 Lihat ibid., h. 32. 43 H.S.A. Alhamdani, op. cit., h. 19. 41 dilakukan secara individu. Dengan demikian keberlangsungan keturunan dan jumlahnya harus terus dilestarikan sampai benar-benar makmur. 2. Keadaan hidup manusia tidak akan tenteram kecuali jika keadaan rumah tangganya teratur. 3. Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi memakmurkan dunia masing-masing dengan ciri khasnya berbuat dengan berbagai macam pekerjaan. 4. Sesuai dengan tabiatnya, manusia itu cenderung mengasihi orang yang dikasihi. 5. Manusia diciptakan dengan memiliki rasa ghirah (kecemburuan) untuk menjaga kehormatan dan kemuliaannya. Perkawinan akan menjaga pandangan yang penuh syahwat terhadap apa yang tidak dihalalkan. 6. Perkawinan akan memelihara keturunan serta menjaganya. 7. Berbuat baik yang banyak lebih baik daripada berbuat baik sedikit. 8. Manusia jika telah mati terputuslah seluruh amal perbuatannya yang mendatangkan rahmat dan pahala kepadanya.44 Sayyid Sabiq sebagai salah seorang pakar dalam ilmu fikih menyebutkan beberapa hikmah perkawinan sebagai berikut: 1. Karena naluri seks manusia merupakan naluri yang paling kuat dan keras sehingga menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak ditemukan atau tidak memuaskan, maka manusia akan mengalami 44 Ali Ahmad Al-Jurjawi, op. cit., h. 65-66. 42 kegoncangan dan kacau sehingga terdorong melakukan kejahatan (zina). Penegasan Sayyid Sabiq ini berlandaskan dengan firman Allah pada QS. al-Rum/30: 21 Terjemahnya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mengetahui.45 2. Kawin, merupakan jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab. 3. Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang. 4. Menyadari tanggung jawab beristri dan anak-anak menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. 5. Pembagian tugas, suami bertugas di luar rumah dan ibu mengurus dan mengatur rumah tangga. 45 Departemen Agama. RI., op. cit., h. 644. 43 6. Dapat membuahkan atau menciptakan tali kekeluargaan, dan memperteguh kelanggengan rasa cinta antar keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang oleh Islam memang direstui, ditopang dan dikokohkan.46 Berdasarkan beberapa hikmah perkawinan yang telah dikemukakan pakar tersebut, dapat disimpulkan bahwa hikmah perkawinan adalah menenteramkan jiwa, menahan emosi, menutup pandangan dari segala yang dilarang Allah dan untuk mendapat kasih sayang suami yang dihalalkan Allah. Selain itu, sebagai wadah sah untuk menyalurkan naluri seks, sebagai jalan yang sah untuk mendapatkan keturunan, penyaluran naluri kebapaan dan keibuan, serta memberikan dorongan untuk bekerja keras, pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan menjalin silaturrahmi antara kedua keluarga baik dari pihak suami maupun dari pihak istri. C. Kajian terhadap Aturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan yang ingin dicapai, maka usaha itu harus mempunyai landasan sebagai tempat berpijak yang baik dan kuat. Demikian pula halnya dengan perkawinan harus mempunyai landasan yang kuat. Oleh karena itu, perkawinan merupakan salah satu bagian terpenting dari beberapa aspek yang terkandung dalam syariat Islam, maka orientasi pembahasan 46 Sayyid Sabiq, op. cit., h. 18–21. 44 tentang dasar perkawinan tidak terlepas dari pembahasan tentang landasan atau dalil-dalil syariat Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an, sunah, ijmak dan kias.47 Penggunaan keempat dalil hukum tersebut di atas sebagai dalil atau landasan perkawinan berdasarkan firman Allah dalam surah al-Nisa/4/59 ٍ ِﱠ ِ ِ َﻃﻴﻌﻮا اﻟﻠﱠﻪ وأ ِ ِ ﻮل َوأ َ َﻃﻴﻌُﻮا اﻟﱠﺮ ُﺳ ُُوﱄ ْاﻷ َْﻣ ِﺮ ﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ ﻓَِﺈ ْن ﺗَـﻨَ َﺎز ْﻋﺘُ ْﻢ ِﰲ َﺷ ْﻲء ﻓَـ ُﺮﱡدوﻩ َ َ ُ ﻳﻦ ءَ َاﻣﻨُﻮا أ َ ﻳَﺎأَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﺬ ِ ِ ِ إِ َﱃ اﻟﻠﱠ ِﻪ واﻟﱠﺮﺳ َﺣ َﺴ ُﻦ ﺗَﺄْ ِو ًﻳﻼ َ ﻮل إِ ْن ُﻛْﻨﺘُ ْﻢ ﺗـُ ْﺆِﻣﻨُﻮ َن ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ َواﻟْﻴَـ ْﻮم ْاﻵ ِﺧ ِﺮ َذﻟ ْ ﻚ َﺧْﻴـٌﺮ َوأ ُ َ Terjemahnya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.48 Di samping berdasarkan ayat al-Qur’an, penggunaan keempat dalil hukum tersebut sebagai dalil atau petunjuk tentang perkawinan, ditegaskan pula di dalam hadis Rasulullah saw. yang berkenaan dengan dialog Rasulullah dengan Muadz bin Jabal ketika dilantik sebagai penguasa untuk Negeri Yaman. Kisah tersebut sebagai berikut: اﻗﺾ ﺑﻜﺘﺎب اﷲ: ﻛﻴﻒ ﺗﻘﺾ اذاﻋﺮض ﻟﻚ ﻗﻀﺎء ﻗﺎل: ﻣﻌﺎذاﱃ اﻟﻴﻤﻦ ﻗﺎل,ﳌﺎﺑﻌﺜﺮﺳﻮل اﷲ : ﻓﺎن ﱂ ﲡﺪ ﻓﯩﺴﻨﺔرﺳﻮل اﷲ ﻗﺎل. ﻓﺒﺴﻨﺔرﺳﻮل اﷲ: ﻓﺎن ﱂ ﲡﺪﻓﯩﻜﺘﺒﺎب اﷲ? ﻗﺎل:ﻗﺎل اﳊﻤﺪﷲ: ﻓﻀﺮﺑﺮﺳﻮل اﷲ ﻋﻞ ﺻﺪرﻩ وﻗﺎل: وﻻاﻟﻮ )اروﻻاﻗﺼﺮﰱ اﺟﺘﻬﺎدى( ﻗﺎل.اﺟﺘﻬﺪراﱙ 49 اﻟﺬﯨﻮﻓﻖ رﺳﻮل اﷲ ﳌﺎﻳﺮض رﺳﻮل اﷲ 47 Muhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam (Cet. I; Bandung: al-Ma’arif, t.th), h. 28. 48 Departemen Agama RI, op. cit., h. 1064. 49 Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz II (Mesir: Babil Halabi wa Auladuh, 1952), h. 10. 45 Artinya: Tatkala Mu’a>© bin Jabal diutus oleh Rasulullah saw. ke Yaman (sebagai penguasa), Rasulullah saw. bertanya: Bagaimana caranya kamu memutusi perkara yang diajukan kepadamu? Mu’a>dz menjawab: “Aku hukum dengan kitab Allah”. Jika kamu tidak mendapatkannya di dalam kitab Allah?, “Saya akan memutuskannya dengan sunah Rasulullah”, lalu bagaimana selanjutnya?, “Aku akan memutuskan dengan ijtihad fikiranku dan aku tidak akan meninggalkannya, jawabnya dengan tegas”. Rasulullah lalu menepuk dadanya seraya memuji, “Alhamdulillah, Allah telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah sesuai dengan apa yang diridhai-Nya dan Rasul-Nya. Berdasarkan keterangan tersebut dapat dipahami bahwa dalam memutuskan suatu perkara utamanya terhadap masalah-masalah prinsipil, maka terlebih dahulu harus mencarinya di dalam al-Qur’an, jika tidak mendapatkan di dalam al-Qur’an, maka harus mencari di dalam sunah dan menetapkan dengannya, dan jika tidak didapatkan di dalam sunah Rasulullah, maka harus mencarinya apakah ulama pernah berijmak tentang hal itu, tetapi jika tidak didapatkan di dalam ijmak, maka sewajarnya, jika seseorang berusaha sungguh-sungguh dengan jalan menganalogikannya (mengkiyaskan) kepada peristiwa yang sejenis yang telah ada dasar hukumnya. Jadi penggunaan keempat dalil tersebut harus secara berurutan dan tidak boleh dibolak-balik dari tingkatan yang rendah kepada tingkatan yang tinggi. Keterlibatan negara dalam pelaksanaan perkawinan bagi masyarakat di Indonesia juga di dasarkan pada pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ditegaskan bahwa: a. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.50 50 Departemen Agama RI, Undang-Undang Perkawinan, … op. cit., h. 210 46 Kedua hal tersebut memberi pemahaman yang jelas bahwa setiap perkawinan yang tidak dilakukan berdasarkan hukum agama dari masing-masing calon mempelai dianggap tidak sah. Karenanya perkawinan campuran atau berbeda agama tidak dapat diterima, melainkan salah satu pihak yang akan menikah lebih dahulu masuk pada agama calon suami atau calon istri bila kedua calon tersebut berbeda agama. Demikian pula halnya setiap perkawinan haruslah didaftarkan pada KUA kecamatan sebagaimana telah diatur dalam perudang-undangan. Hal ini dimaksudkan agar tercipta tertib administrasi perkawinan atau menutupi kemungkinan terjadinya permasalahan dikemudian hari setelah adanya perkawinan. Selaras dengan ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 di atas, dalam pasal 4 Kompilasi hukum Islam juga dikemukakan bahwa “perkawinan dianggap sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) undangundang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan”.51 Seorang perempuan yang menikah dengan seorang laki-laki dan perkawinannya tidak dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah (PPN), apabila suaminya lalai atau mengabaikan kewajibannya, sehingga istri akan menuntut suaminya untuk memenuhi kewajibannya di pengadilan. Berdasarkan perundangundangan yang telah diatur dalam pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau akan menggugat suaminya di pengadilan karena telah melakukan penelantaran sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UndangUndang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), maka perempuan (istri) akan mengalami kesulitan karena tidak adanya bukti autentik tentang adanya hubungan hukum berupa perkawinan antara dia dan 51 Departemen Agama RI, “Kompilasi”, op. cit., h. 85. 47 suaminya. Dari sini jelas, bahwa yang menjadi korban atau pihak yang dirugikan akibat perkawinan yang tidak tercatat adalah pihak wanita. Pasangan suami istri yang mempunyai anak, sedangkan perakwinannya tidak tercatat dan akan membuatkan akta kelahiran anaknya pada Kantor Catatan Sipil akan mengalami kesulitan karena salah satu kelengkapann administrasi yang harus dipenuhi adalah foto kopi Kutipan Akta Nikah orang tuanya. Bagi pasangan suami isteri yang tidak mempunuai Buku Nikah, Kantor Catatan Sipil akan menerbitkan Akta Kelahiran anak tanpa mencantumkan nama bapaknya dalam akta tersebut. Penerbitan akta kelahiran semacam itu, sama dengan akta kelahiran seorang anak yang tidak mempunyai ayah atau anak di luar nikah karena hanya dinisbahkan kepada ibunya. Berbeda halnya dengan akta kelahiran anak yang perkawinan orang tuanya tercatat, maka nama kedua orang tuanya akan tercantum di dalam akta kelahirannya. Pasangan suami isteri yang tidak memiliki Buku Nikah karena perkawinan mereka tidak dicatatkan, yang akan melakukan perceraian di pengadilan, maka memerlukan proses yang lebih lama daripada orang yang memiliki Buku Nikah. Sebelum pemeriksaan dalil-dalil yang menjadi alasan untuk bercerai, pengadilan terlebih dahulu akan mengumumkan melalui media mssa sebanyak 3 (tiga) kali dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan, minimal satu bulan setelah pengumuman terakhir pengadilan baru akan memeriksa status perkawinannya, apakah sah atau tidak. Apabila dalam proses pemeriksaan ternyata perkawinan mereka telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan, maka perkawinan mereka akan diitsbatkan (Pasal 7 ayat (3) huruf a Kompilasi Hukum Islam). Apabila tidak 48 memenuhi syarat dan rukun perkawinan, maka gugatan atau permohonan mereka untuk bercerai tidak diterima oleh pengadilan. Dengan demikian, terdapat dua dasar perkawinan umat Islam di Indonesia yakni (1) berdasarkan ajaran agama Islam dan (2) berdasarkan Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974. Oleh karena itu, jika perkawinan dilaksanakan tidak berdasarkan agama dan tidak berdasarkan perundang-undangan yang berlaku berarti perkawinan dinyatakan batal. Adapun perkawinan yang dilangsungkan hanya berdasarkan agama Islam, posisi hukumnya berdasarkan syariat Islam adalah sah, tetapi cacat dalam sistem keadministrasian negara. Apabila perkawinan berlangsung melalui proses nikah sirri, maka secara administrasi tidak sah tetapi dalam kacamatan syariat adalah sah. Akan tetapi konsekuensi yang ditimbulkan pernikahan sirri adalah pengakuan hukum negara bagi anak hanya mengikut pada ibunya. Sedangkan dampaknya terhadap sang ibu, akan kesulitan bila ingin menuntut suaminya berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia, baik dari segi nafkah maupun hukum pidana. Suatu kenyataan yang masih sering kita jumpai dalam realitas kehidupan kita adalah masih banyak orang yang melangsungkan perkawinan tanpa dicatatkan di kantor percatatan perkawinan (Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi selain Islam) dengan berbagai alasan. Terhadap perkawinan semacam ini, sebagian ulama dan ahli hukum berpendapat bahwa perkawinan seperti itu sah apabila dilakukan sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Sedangkan pencatatan perkawinan merupakan tindakan adminstrasi saja, apabila tidak dilakukan tidak 49 mempengaruhi sahnya perkawinan yang telah dilaksanakan itu Tetapi di pihak lain menganggap perkawinan yang tidak dicatatkan tidak sah dan dikategorikan sebagai nikah fasid (rusak), sehingga bagi pihak yang merasa dirugikan akibat dari perkawinan tersebut dapat dimintakan pembatalan kepada Pengadilan Agama karena keetentuan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan tersebut, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan harus dilaksanakan secara kumulatif, bukan alternatif, secara terpisah dan berdiri sendiri.52 Sedangkan menurut Soerjono Soekamto dan Purnadi Purbacaraka bahwa “ketentuan tersebut bersifat imperatif, artinya, ketentuan tersebut bersifat memaksa”.53 Akibat terjadinya penafsiran terhadap ketentuan tersebut, maka berbeda pula putusan yang diberikan oleh para hakim dalam menyelesaikan perkara pembatalan nikah yang diajukan ke pengadilan. Bagi hakim yang berpendapat bahwa Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan satu kestuan yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, maka perkawinan baru dianggap sah apabila dilaksanakan menurut ketentuan agama dan kepercayaannya itu serta dicatat sesuai ketentuan yang berlaku. Pecatatan perkawinan merupakan hal yang wajib dilaksanakan karena hal ini erat hubungannya dengan kemashlahatan manusia yang dalam konsep syariat harus dilindungi. Oleh karena itu, perkawinan yang tidak tercatat merupakan nikah fasid karena belum memenuhi syarat yang ditentukan dan 52 Abdul Mannan, Aneka Masalah Hukum Materiel dalam Praktek Pengadilan Agama (Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2002), h. 50. 53 Soerjono Soekamto dan Purnadi Purbacaraka, Aneka Cara Pembedaan Hukum. (Bandung: PT. Citra Aditya, 2009), h. 21. 50 belum dianggap sah secara yuridis formal dan permohonan pembatalan perkawinan dapat dikabulkan. Bagi hakim yang berpendapat pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan hal yang berdiri sendiri, tidak saling berhubungan, maka perkawinan sudah dianggap sah apabila telah dilakukan menurut ketentuan agama dan kepercayaannya, pencatatan hanya merupakan pekerjaan administrasi, bukan sesuatu yang harus dipenuhi. Perkawinan tersebut bukan nikah fasid, dan bila ada pihak yang mengajukan permohonan pembatalan kepada pengadilan, perkawinan tersebut tidak perlu dibatalkan, permohonan pembatalan harus ditolak.54 Mahkamah Agung RI tampaknya lebih condong berpendapat bahwa dalam putusan kasasi No. 1948/K/PID/1991 tentang perkara poligami liar, kawin di bawah tangan dan tidak dicatat pada instansi yang berwenang mengemukakan bahwa yang dimaksud perkawinan yang sah adalah perakwinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu perkawinan yang dilaksanakan menurut ketentuan agama dan kepercayaannya, dan dicatat menurut ketentuan yang berlaku. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang telah terpenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 secara kumulatif.55 Mahkamah Agung RI tampaknya hanya mengakui sahnya suatu perkawinan jika telah terpenuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh agama yang 54 Abdul Mannan, op. cit., h. 51. 55 Lihat, ibid. 51 dianutnya, dilakukan di hadapan pejabat pencatat nikah yang berwenang dan dicatat oleh pejabat tersebut sesuai ketentuan yang berlaku. Sejalan dengan hal tersebut, dapat dipahami bahwa pencatatan perkawinan merupakan syarat yang harus dipenuhi agar pernikahan sah menurut agama dan menurut hukum positif. Di samping itu, tidak perlu mendikotomikan perkawinan antara sah menurut agama dan sah menurut negara, tetapi kedua ketentuan tersebut harus dilaksanakan secara seimbang dan paralel. Hukum perkawinan dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting. Oleh karena itu, peraturan-peraturan tentang perkawinan ini diatur dan diterangkan dengan jelas dan terinci. Hukum perkawinan Islam pada dasarnya tidak hanya mengatur tatacara pelaksanaan perkawinan saja, melainkan juga segala persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan, misalnya: hak-hak dan kewajiban suami istri, pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan, cara-cara untuk memutuskan perkawinan, biaya hidup yang harus diadakan sesudah putusnya perkwinan, pemeliharaan anak, nafkah anak, pembagian harta perkawinan dan lainlain. D. Tata Cara Perkawinan Menurut Ajaran Islam Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan al-Qur’an dan al-sunnah yang £ahih, secara singkat dapat disebutkan sebagai berikut: 52 1. Meminang ( Khitbah ) Seorang laki-laki yang akan mengawini seorang perempuan, laki-laki tersebut hendaknya meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan perempuan itu sedang dipinang oleh laki-laki lain. Islam melarang seorang muslim meminang perempuan yang sedang dipinang oleh laki-laki lain. Meminang tergolong salah satu tata cara pra pernikahan yang harus dilakoni oleh pihak laki-laki dengan cara keluarga laki-laki berkunjung kepada keluarga perempuan untuk meminang atau melamar. Pelamaran ini bermaksud memintakan ridho dan kesediaan kedua orang tua perempuan untuk menikahkan anaknya dengan anak laki-lakinya (pelamar) guna membentuk keluarga sakinah, mawaddah warahmah. Peminangan merupakan tahap awal dalam proses kegiatan perkawinan. Pada Bab I Pasal I Kompilasi Hukum Islam diartikan “peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya perjodohan antara seorang pria dengan seorang perempuan dalam berhubungan”.56 Sementara itu di dalam ilmu fiqhi peminangan disebut: Khitbah berarti permintaan, menurut istilah pernyataan laki-laki kepada pihak perempuan untuk dinikahinya baik dilakukan secara langsung oleh pihak laki-laki atau melalui perantara pihak lain yang dipercaya sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama.57 a. Mustahsiana Peminangan mustahsiana yakni: Cara yang dianjurkan kepada seorang laki-laki yang akan meminang seorang perempuan agar meneliti perempuan pinangan itu. Sehingga sangat menjamin kelangsungan hidup berumah tangga. Cara ini bukanlah merupakan suatu kewajiban akan tetapi hanya merupakan anjuran yang bisa dilakukan dan bisa juga tidak”. 58 56 Departemen Agama RI. , “Kompilasi”, op. cit, h. 83. 57 Ibid.,h. 84. 58 Ibid, h. 33. 53 Penelitian terhadap calon istri merupakan hal yang baik untuk memberi motivasi bagi calon suami untuk mencintai secara mendalam dan menaruh simpatik, agar tidak kecewa bila mengetahui cacat tidaknya perempuan pinangannya. b. Lazimah Lazimah merupakan bagian terpenting dalam proses perkawinan. Muh. Bin Ismail Al-Kahlani menyatakan bahwa lazimah adalah suatu cara yang merupakan anjuran dan juga sebagai syarat yang wajib dipenuhi sebelum melakukan peminangan. Sahnya peminangan pada adanya syarat-syarat lazimah.59 Lazimah dalam ajaran Islam mencakup dua aspek yakni: 1) Perempuan yang dipinang orang atau sedang dalam peminangan orang lain. Laki-laki tersebut telah melakukan pinangannya. Dalam konsepsi ini disyaratkan bahwa dilarang meminang pinangan orang lain. 2) Perempuan yang tidak dalam masa idah. Perempuan dalam masa idah raj’i yang lebih berhak mengawininya kembali ialah bekas suaminya, sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. al-Baqarah/2:228 Terjemahnya: “…dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan 59 Muh. Bin Ismail al- Kahlani, Subulus Salam, (Semarang; Toha Putra, t.th), h. 18. 54 tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istri nya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana..60 Perempuan yang dalam masa idah boleh dipinang sepanjang pinangannya bukan secara terang-terangan. Hal ini sesuai firman Allah swt. dalam QS. alBaqarah/2/235 . َﺣﻠِْﻴ ْﻢ Terjemahnya: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis 'idahnya. dan Ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.61 Perempuan-perempuan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah perempuan yang dalam masa idah karena suaminya meninggal dunia. Menyangkut masalah pinangan ini Jalaluddin al-Suyu>ti melihatnya sangat dianjurkan. Jalaluddin al-Suyu>ti berkata: “Melihat perempuan yang akan dipinang dianjurkan oleh agama. Tujuan dari anjuran itu adalah agar mengetahui keadaan perempuan yang dipinang itu dan tidak ada yang dapat menjadi alasan bagi peminang untuk bercerai istri 60 Departemen Agama RI, op. cit., h. 55. 61 Ibid, h. 58. 55 nya setelah melangsungkan perkawinan. Oleh karena itu, suatu pernikahan baru dapat dilaksanakan setelah masing-masing pihak menyadari keadaannya. Rasulullah saw menganjurkan agar melihat perempuan yang akan dipinang sebelum melangsungkan pernikahan”. 62 Dalam konsepsi tersebut, peminang merupakan bagian terpenting dalam proses perkawinan. 2. Upacara Perkawinan Proses upacara perkawinan mencakup beberapa aspek yang harus dipenuhi, yakni: a. Kelengkapan rukun perkawinan di dalam melangsungkan perkawinan karena terdapat beberapa rukun perkawinan yang harus dipenuhi sebagai syarat mutlak sahnya perkawinan. Masalah ini telah diatur pada pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, yakni: 1) Calon suami 2) Calon istri 3) Wali nikah 4) Dua orang saksi dan 5) Ijab kabul 63 Masing-masing rukun di atas juga telah diatur di dalam pasal-pasal lain menyangkut syarat dan cara pelaksanaannya. b. Dicatat oleh Pegawai Pencatatan Nikah (PPN) 62 Jalaluddin al-Suyu>ti, Syarah Sunan al-Nasai (Beirut, Da>r al-Fikrah, t.th), h. 41. 63 Departemen Agama RI, op. cit., h. 88. 56 Pada pasal 2 ayat 2 Undang-Undang RI No, 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak disebutkan secara jelas mengenai pegawai pencatatan nikah. Pada pasal tersebut disebutkan “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.64 Ketentuan tersebut secara jelas dikemukakan pada pasal (5) ayat 1 dan 2 serta pasal (6) ayat 1 bahwa : 1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. 2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh PPN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang RI No.22 Tahun 1946 jo Undang-Undang RI No. 32 Tahun 1954, kemudian pada pasal selanjutnya dijelaskan untuk memenuhi ketentuan dalam pasal (5), setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah.65 Dengan demikian mensyaratkan bahwa setiap pernikahan yang tidak dicatat oleh pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum. Meski masih menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, praktik perkawinan di bawah tangan hingga kini masih banyak terjadi. Padahal, perkawinan di bawah tangan berdampak sangat merugikan, bagi perempuan. Perkawinan di bawah tangan atau yang dikenal dengan berbagai istilah lain seperti kawin sirri atau nikah sirri adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam, atau Kantor Catatan Sipil bagi nonmuslim. Meski perkawinan dilakukan 64 Departemen Agama RI, op. cit., h. 210. 65 Departemen Agama RI, ”Kompilasi”, op. cit., h. 85. 57 menurut agama Islam, namun di mata negara perkawinan dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama. Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah kawin di bawah tangan dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan UU yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (2). Meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan PPN tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata hukum, yang dibuktikan dengan akta perkawinan. Perkawinan di bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai istri sah, tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia, tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan anda dianggap tidak pernah terjadi. Secara sosial, akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan di bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan alias kumpul kebo atau dianggap menjadi istri simpanan. Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Adapun terhadap anak, tidak sahnya perkawinan di bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata 58 hukum, yakni anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (Pasal 42 dan Pasal 43 UU Perkawinan, Pasal 100 KHI). Di dalam akte kelahiran pun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. Jadi perkawinan di bawah tangan akan merugikan anak karena tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya. Pencatatan perkawinan sangatlah penting, terutama untuk mendapatkan legalitas (pengakuan di mata hukum) dan hak-hak seperti warisan dan nafkah bagi anak-anak. Jadi sebaiknya, sebelum memutuskan melakukan sebuah perkawinan di bawah tangan (nikah sirri) dihadapan petugas tidak resmi, pikirkanlah terlebih dulu. Jika masih ada kesempatan untuk menjalani perkawinan secara resmi, artinya perkawinan menurut hukum negara yang dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA), pilihan ini jauh lebih baik dan tidak berisiko. Karena jika tidak, ini akan menyulitkan di masa yang akan datang. Jadi perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian pernikahannya tidak 59 bisa dibuatkan akta nikah dan kalau ada anak dalam perkawinan tersebut, nantinya anak itu tidak bisa dibuatkan akta kelahiran. c. Ijab Kabul Dalam suatu perkawinan setelah surat-surat atau administrasi perkawinan telah lengkap dan ditanda tangani, maka selanjutnya dilakukan ijab kabul oleh calon suami dan wali. d. Penertiban Surat Akta Nikah oleh Kantor Urusan Agama kecamatan setelah proses ijab kabul. Dalam penertiban Surat Akta Nikah ini, tentu sebelumnya harus dilengkapi dengan identitas masing-masing pihak (suami-istri). Sebaiknya pihak KUA menyerahkannya setelah berlangsungnya ijab-kabul. Pada dasarnya, dalam Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa syarat untuk sahnya suatu perkawinan harus berdasarkan hukum agama dan harus dilakukan pendaftaran perkawinan di lembaga pencatatan perkawinan setempat. Dengan dicatatkannya perkawinan, kemudian dikeluarkanlah kutipan akta nikah oleh Pegawai Pencatat Nerkawinan dalam lingkungan Kantor Urusan Agama (KUA). Terkait dengan penerbitan kutipan akta nikah ini mungkin saja isinya tidak terhindar dari kesalahan, termasuk kesalahan redaksional. Namun, adanya kesalahan pada kutipan akta nikah, tidak menyebabkan perkawinan dapat dibatalkan. Adapun yang menyebabkan suatu perkawinan dapat dibatalkan antara lain adalah apabila: 60 a. Para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (lihat Pasal 22 UUP). Mengenai syarat-syarat perkawinan ini diatur dalam Pasal 6 UUP; b. Salah satu pihak melangsungkan perkawinan padahal masih terikat perkawinan dengan pihak lain (lihat Pasal 24 UUP); c. Perkawinan dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi (lihat Pasal 26 ayat [1] UUP); d. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum (lihat Pasal 27 ayat [1] UUP); e. Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri (lihat Pasal 27 ayat [2] UUP). BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Lokasi Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian lapangan (field research). Adapun jenis penelitiannya adalah jenis penelitian kualitatif, yakni penelitian yang prosedurnya menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.1 2. Lokasi Penelitian Adapun lokasi penelitian ini adalah Kabupaten Konawe Selatan. Karena Kabupaten Konawe ini cukup sulit dijangkau secara keseluruhan sehingga peneliti menggunakan sampel dengan mengambil dua dari empat kecamatan yang ada. Kecamatan yang dijadikan sampel adalah Kecamatan Landono dan Kecamatan Mowila. B. Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research), yaitu peneliti melakukan survei langsung ke lokasi penelitian. Dalam mengadakan penelitian, penulis memakai pendekatan yaitu: 1. Pendekatan Yuridis; pendekatan ini dimaksudkan untuk memberi inspirasi hukum bagi masyarakat khususnya suku Tolaki agar dalam melangsungkan 1 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Cet. XVII; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 26 61 62 perkawinan hendaknya memperhatikan faktor-faktor yuridis yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni hukum nasional dan hukum Islam tentang perkawinan. 2. Pendekatan Antropologi budaya, yaitu suatu pendekatan yang diterapkan dengan menganalisis secara mendalam adat istiadat dan kebiasaan suku Tolaki dan tidak menyalahkan tradisi masyarakat Tolaki. Kebiasaan masyarakat Tolaki yang dimaksud terutama adat perkawinan masyarakat Tolaki yang berlokasi di Kecamatan Landono dan Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan dalam kaitannya dengan hukum Islam. 3. Pendekatan Sosiologis, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara mengadakan pendekatan kepada unsur masyarakat di antaranya tokoh masyarakat/pemerintah, tokoh agama, tokoh adat dan tokoh pemuda yang ada di dalam masyarakat Kecamatan Landono dan Kecamatan Mowila di Kabupaten Konawe Selatan. C. Sumber Data Penelitian Data dalam kajian ini bersumber dari data primer dan data sekunder, meliputi: 1. Data Primer adalah data yang diperoleh peneliti langsung dari objeknya. Data yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah 1) Camat Landono dan Mowila, serta 2) tokoh adat dan tokoh agama. 2. Data Sekunder adalah data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung dari objeknya, tetapi melalui sumber lain baik lisan maupun tulis. Adapun data yang menjadi sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah masyarakat suku Tolaki yang ada di Kecaman Landono dan Kecamatan Mowila. 63 D. Metode Pengumpulan Data Untuk dapat memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode yaitu : 1. Observasi Observasi atau pengamatan adalah sebuah teknik pengumpulan data yang mengharuskan peneliti turun ke lapangan mengamati hal-hal yang berkaitan dengan ruang, tempat, pelaku, kegiatan, benda-benda, waktu, peristiwa, tujuan dan perasaan. Metode ini penulis gunakan untuk mengamati, mendengarkan dan mencatat langsung terhadap beberapa peristiwa atau kejadian berupa adat istiadat pada perkawinan suku Tolaki yang ada di Kecamatan Landono dan Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan. 2. Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.2 Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Maksud dari penerapan ini adalah untuk mencari data yang berhubungan dengan tradisi dan adat perkawinan suku Tolaki dengan kemungkinan memiliki relevansi dengan nilai-nilai perkawinan dalam syari’at Islam. 3. Dokumentasi Dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun foto. Metode ini penulis gunakan untuk memperoleh data tentang tradisi adat perkawinan suku Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan. 2 Ibid., h. 30 64 4. Triangulasi Triangulasi ini merupakan pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data. Jenis triangulasi yang diterapkan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber yakni membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dari sumbernya dengan jalan (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, (2) membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi, (3) membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu, (4) membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada dan orang pemerintahan, dan (5) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.3 E. Instrumen Pengumpulan Data Penelitian yang berkualitas dapat dilihat dari hasil penelitian, sedangkan kualitas hasil penelitian sangat tergantung pada instrumen dan kualitas pengumpulan data. Sugiyono menyatakan, bahwa ada dua hal utama yang mempengaruhi kualitas hasil penelitian yaitu kualitas instrumen penelitian dan kualitas pengumpulan data.4 Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri sebagai key instrumen, artinya peneliti sendiri sebagai instrumen kunci dan penelitian 3 Lexy J. Moleong, op. cit., h. 178. 4 Ibid., h. 62. 65 disesuaikan dengan metode yang digunakan. Penulis menggunakan beberapa jenis instrumen yaitu: a. Lembar observasi adalah alat bantu berupa pedoman pengumpulan data yang digunakan pada saat proses penelitian. b. Pedoman wawancara adalah alat berupa catatan-catatan pertanyaan yang digunakan dalam mengumpulkan data. c. Check list dokumentasi adalah catatan peristiwa dalam bentuk tulisan langsung atau arsip-arsip, instrumen penilaian, foto kegiatan pelaksanaan perkawinan adat Tolaki Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif yang terdiri dari tiga kegiatan yaitu pengumpulan data dan sekaligus reduksi data, penyajian dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Pertama, setelah pengumpulan data selesai dilakukan reduksi data yaitu menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan pengorganisasian sehingga data terpilah-pilah. Kedua, data yang telah direduksi akan disajikan dalam bentuk narasi lalu direkapitulasi. Ketiga, adalah penarikan kesimpulan dari data yang telah disajikan pada tahap kedua dengan mengambil kesimpulan. Adapun teknik pengolahan dan analisis data yang dimaksud adalah: 1. Teknik Pengolahan Data Dalam penelitian ini, ada dua langkah yang dilakukan yaitu: a. Editing merupakan kegiatan untuk meneliti kembali rekaman catatan data yang telah dikumpulkan dalam suatu penelitian. Kegiatan pemeriksaan 66 rekaman atau catatan merupakan kegiatan yang penting dalam pengelolaan data. b. Verifikasi yakni peninjauan kembali mengenai kegiatan yang telah dijalankan sebelumnya sehingga hasilnya benar dan dapat dipercaya,5 tahap ini merupakan tahap yang dilalui sebelum proses penelitian dijalankan. 2. Teknik Analisis Data Analisis data menurut Miles dan Huberman, seperti dikutip Sugiyono bahwa reduksi data adalah merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.6 Sedangkan verifikasi data adalah penarikan kesimpulan secara kredibel.7 Berdasarkan teori ini peneliti akan menggunakan teknik analisis data yang ditawarkan Miles dan Huberman dengan pertimbangan proses lebih sederhana dan dapat menggambarkan seluruh proses analisa data valid dan kredibilitas. Analisis data merupakan suatu proses pengaturan dan pelacakan secara sistematis transkrip wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap pembahasan agar dapat dipresentasekan secara baik kepada orang lain. Proses data dimulai dengan menelaah semua data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan secara lapang dan sebagainya. 5 Muhammad Teguh, Metodologi Penelitian Ekonomi, Teori dan Aplikasi (Ed. I; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 63. 6 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif. (Cet. IV; Bandung: Alfabeta, 2010), 247. 7 Ibid., h. 252. h. 67 3. Pengujian keabsahan data Pengujian keabsahan data, peneliti melakukan dengan cara sebagai berikut: a. Perpanjangan pengamatan, b. Meningkatkan ketekunan, dan c. Triangulasi. Dalam menguji keabsahan dan validitasnya data yang berhasil dikumpulkan, maka peneliti melakukan pengamatan secara seksama dengan cara mengecek dan mencocokkan ulang data-data yang telah dikelola dengan data penelitian. Pengamatan hasil penelitian dilakukan secara serius dan tekun serta sangat berhati-hati untuk meminimalisir terjadinya kekeliruan dalam mengelola data. Di samping itu, juga peneliti melakukan pengujian atas validnya data yang diperoleh, atau juga melalui cara triangulasi yakni melakukan pengumpulan data yang langsung dianalisis dan diinterpretasi. Pengujian data melalui triangulasi ini dianggap sangat relevan dengan jenis penelitian yang menggunakan jenis pendekatan kualitatif, karena data yang dihasilkan adalah data deskriptif mengenai kata-kata lisan (walaupun dapat juga data tertulis), dan data berupa tingkah laku responden yang dapat diinterpretasi. Hal ini sejalan dengan pandangan Bagon Suyanto dan Sutinah yang mengemukakan bahwa penelitian kualitatif ini berakar dari paradigma interpretatif yang pada awalnya muncul dari ketidakpuasan atau reaksi terhadap paradigma positivist yang menjadi akar penelitian kuantitatif.8 Menurut Arif Tiro, triangulasi dapat diterapkan 8 Bagon Suyanto dan Sutinah (Editor), Metode Penelitian Sosial (Berbagai Alternatif Pendekatan). (Edisi Revisi; Cet. VI; Jakarta: Prenada Media Kecana, 2011), h. 166. 68 untuk mengetahui valid tidaknya suatu data, sehingga logika triangulasi dapat dipadukan dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif maupun penelitian kuantitatif.9 Kedua konsep teori yang dikutip ini menarik untuk dipahami bahwa seorang peneliti yang akan menyajikan hasil penelitiannya dalam bentuk karya ilmiah, pengujian keabsahan data baik data kualitatif maupun kuantitatif dapat diuji kevalidannya melalui pengujian keabsahan secara triangulasi. 9 Muhammad Arif Tiro, Penelitian: Skripsi, Tesis, dan Disertasi. (Cet. III; Makassar: Andira Publisher, 2011), h. 124. BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Pelaksanaan Perkawinan Suku Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan Kabupaten Konawe Selatan, yang secara geografis berada di pesisir kali Konawe. Adapun batasan sebagai berikut : - Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Konawe - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Lainea - Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Ranomeeto - Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Angata.1 Luas wilayah Kecamatan Landono dan Kecamatan Mowila berdasarkan data yang ada seluas 3.120 Km2. Berdasarkan luas wilayah tersebut, sebagian besar terdiri dari gunung dan dataran rendah serta hutan-hutan lebat, selebihnya adalah tanah yang berbukit-bukit. Adapun keadaan suku penduduk di Kecamatan Landono dan Mowila Kabupaten Konawe Selatan pada dasarnya bersifat heterogen, dalam arti terdiri dari beberapa suku bangsa dan adat istiadat yang berbeda-beda. Hal ini tentunya dapat dipahami bahwa kecamatan Landono dan Mowila merupakan wilayah pengembangan. Sehingga dengan kondisi tersebut, banyak dihuni oleh suku-suku yang melakukan aktivitas di wilayah ini. Untuk lebih jelasnya keadaan suku penduduk Kecamatan Landono dan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, dapat dilihat sebagaimana dalam tabel I: 1 Sumber data: Kantor BPS Kabupaten Konawe Selatan, Tahun 2012. 69 70 Tabel 1 Keadaan Suku Penduduk di Kecamatan Landono dan Mowila Tahun 2012 No Suku Kecamatan Kecamatan Penduduk Landono Mowila 1. Tolaki 2.576 2.943 5.519 2. Jawa 2.321 1.444 3.765 3. Bali 2.212 3.384 5.596 4. Bugis 2.309 2.163 4.472 5. Buton 2.075 1.254 3.329 11.493 11.188 22.681 Total Jumlah Sumber data : Kantor BPS Kabupaten Konawe Selatan, 2012. Data tersebut menunjukkan bahwa penduduk terbesar yang mendiami wilayah Kecamatan Landono dan Mowila Kabupaten Konawe Selatan adalah berasal dari suku Tolaki dengan jumlah 5.510 jiwa, suku Tolaki, yang merupakan suku asli wilayah daratan sulawesi Tenggara dengan jumlah laki-laki 2.406 jiwa dan perempuan sebanyak 3.104 jiwa. Kemudian disusul suku Jawa yang juga merupakan suku pribumi Sulawesi Tenggara dari pulau Jawa dengan jumlah 3.765 jiwa, sedangkan suku asli pribumi lainnya adalah suku Bali yang berjumlah 5.596 jiwa, suku Bugis yang merupakan suku pendatang dari Sulawesi Selatan berjumlah 4.472 jiwa. Begitupun warga Buton sebanyak 3.329 jiwa. 71 Adapun keadaan penduduk Kecamatan Landono dan Mowila Kabupaten Konawe Selatan menurut usia dan jenis kelamin, tercantum dalam tabel berikut: Tabel 2 Komposisi Penduduk Kabupaten Konawe Selatan Menurut Kelompok Usia dan Jenis Kelamin Jumlah No Tingkat Usia Jumlah Pria Perempuan 1. 0 – 4 tahun 569 502 1.071 2. 5 – 14 tahun 1.093 1.726 2.819 3. 15 – 24 tahun 1.447 1.651 3.098 4. 25 – 34 tahun 2.688 4.973 7.661 5. 35 – 44 tahun 1.614 1.657 3.271 6. 45 – 59 tahun 2.199 2.275 4.474 7. 60 tahun ke atas 149 138 287 9.759 12.922 22.681 Total Sumber data : Kantor BPS Konawe Selatan Tahun 2012 Berdasarkan data itu, tergambar dengan jelas usia penduduk Kabupaten Konawe Selatan dapat dikatakan usia produktif. Hal ini terlihat dari usia penduduk di bawah usia 15 tahun sejumlah 3.890 jiwa, sedangkan penduduk yang berusia 15 tahun tersebut berjumlah 18.791 jiwa. Berdasarkan gambaran data tersebut, terlihat 72 jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari pada penduduk laki-laki, jumlah perempuan 12.922 jiwa dan jumlah penduduk laki-laki adalah 9.759 jiwa. Apabila ditelusuri asal mula Suku Tolaki dan kapan mereka bermukim di daerah Kabupaten Konawe Selatan, berikut ini hasil wawancara dengan responden. Ada empat kategori cerita rakyat, yakni pertama; oheo yang menceritakan bahwa orang pertama nenek moyang suku Tolaki berasal dari pulau Jawa, khususnya dari daerah Kaki Gunung Arjuna, kemudian kawin dengan Anawai Ngguluri, salah seorang dari tujuh gadis bidadari bersaudara yang berasal dari langit. Kedua; Pasa’eno, yang menceritakan bahwa Anawai Ngguluri adalah putra wasande, seorang perempuan tanpa suami yang menjadi hamil karena minum air yang tertampung pada daun ketika Anawai Ngguluri memotong pandan di hutan rimba di pegunungan hulu sungai Mowewe. Ketiga; Wekoila dan Larumbalangi, yang menceritakan tentang dua orang bersaudara kandung perempuan dan pria yang turun dari langit dengan menumpang sehelai sarung. Keempat yaitu; ouggabo, yang menceritakan tentang seorang laki-laki raksasa yang berasal dari timur melalui sungai Konaweha dan datang dari Elo-Oloho, ibu kota Kerajaan Konawe dan kawin dengan Elu, cucu Wekoila.2 Suku Tolaki datang ke wilayah daratan Sulawesi Tenggara ini dari arah utara dan timur. Ada dugaan mereka yang datang dari arah utara itu berasal dari Tiongkok Selatan yang melalui Philipina Kepulauan Mindanano, Sulawesi Utara, Halmahera dan Sulawesi bagian timur, terus memasuki Konaweeha dan akhirnya memilih lokasi permukiman pertama di hulu sungai itu, yakni pada suatu lembah 2 A. Hamid Hasan, Tokoh Adat Kecamatan Landono, “wawancara”, di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 19 Oktober 2012. 73 luas, yang bernama Andolaki.3 Jadi orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Telahianga (orang dari langit). Dengan demikian kata “hiu” dalam bahasa Cina berarti langit, bila dihubungkan dengan kata heo (Tolaki) yang berarti ikut pergi ke langit. Mereka yang datang dari arah selatan diduga berasal dari pulau Jawa melalui Buton dan Muna dan memasuki muara sungai Konaweha dan terus memilih lokasi permukiman di Toreo, Landono dan Besilutu. Kisah lain asal usul suku Tolaki seperti dikisahkan Abdul Karim, pada mulanya datangnya orang Tolaki di Sulawesi Tenggara dengan raja-raja yang pertama adalah Raja Sangia Nginoburu dan Raja Sangia Nibandera yang masa pemerintahannya dapat diperkirakan pada zaman Islam berdasarkan cerita daerah setempat. Kedua raja Tolaki itu adalah raja-raja pertama setelah meninggal dikubur secara Islam. Sampai saat ini kuburan dari kedua raja tersebut masih ada dan dipelihara oleh turunannya”.4 Ringkasnya bahwa suku Tolaki tersebar ke seluruh daerah pesisir sungai daratan Kendari. Dari Andolaki kemudian terpencar ke Utara sampai Rauta, ke Barat sampai Kondeeha lewat Mowewe dan Lambo dan kemudian ada yang sampai di Mekongga, ke selatan sampai di Olo-oloho atau Konawe lewat Ambekairi dan Asinua dan ke timur sampai Laboma dan Asera. Tata cara pelaksanaan adat perkawinan suku Tolaki di Kecamatan Landono dan Kecamatan Mowila sama dengan tata cara perkawinan suku Tolaki di daerah 3 Ramli, Tokoh Adat Kecamatan Mowila, “vawancara”, di Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 20 Oktober 2012. 4 Abdul Karim, Tokoh Adat merangkap Tokoh Agama suku Tolaki, wawancara, di Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 21 Oktober 2012. 74 lain di Kabupaten Konawe Selatan. Pelaksanaan adat perkawinan suku Tolaki pada prinsipnya melalui proses panjang yang dimulai dari kegiatan metiro (mengintai gadis idaman), selanjutnya dilakukan upacara mondutudu atau upacara menjajaki kemungkinan apakah pihak keluarga gadis yang diidamkan dapat diterima oleh pihak keluarga orang tua laki-laki. Apabila diterima dapat dilangsungkan upacara Meloso’ako atau moawoniwule (membawa pinangan) atau bertunangan. Setelah bertunangan kedua belah pihak menentukan kapan pelaksanaan perkawinan. Pada tahap perkawinan, semua persyaratan adat telah disiapkan oleh keluarga pihak laki-laki dan besarnya tergantung kesepakatan bersama atau berdasarkan pertimbangan derajat sosialnya. Derajat sosial di dalam struktur sosial orang Tolaki umumnya dibagi tiga yakni pertama, golongan Anakia (bangsawan), kedua, golongan Tonomotuo (golongan biasa), dan ketiga golongan O’ata (golongan budak). Berdasarkan stratifikasi sosial ini nilai maskawin berbeda-beda. Walaupun pada akhirnya mengalami pembenaran-pembenaran seirama dengan perkembangan zaman. Mengenai jenis dan jumlah mas kawin tersebut dapat dilihat pada tabel 3 berikut. Tabel 3 Jenis dan Jumlah Mas Kawin Orang Tolaki Menurut Derajat Sosialnya Nilai Mas Kawin Golongan Pu’uno Wawono, Tawono Sara Pe’ana 1. Anakia 10 kasu (Mokole) 800/400/300 (mokole 1 buah wadah (Bangsawan) 8 Kasu dan putobu) tempat mandi bayi; 1 lembar 75 (Putobu) 160/80/40 mata (tak sarung; 1 buah ada jawaban) mata lampu dan 1 4 kasu (tak ada buah mata uang jawaban) logam (tak ada perbedaan) 2. Tonomotuo 4 kasu (pejabat) 160/140/120 mata Idem, (Golongan 2 kasu (bukan (pejabat) kecuali sarung Biasa) pejabat) 80/40/20 mata (bukan pejabat) 3. O’ata (budak) 10/8/4 mata (budak Idem, tawanan perang) kecuali sarung 2/1 mata budak belian Jenis dan jumlah mas kawin tersebut adalah pokok adat yang harus dipenuhi oleh calon mempelai laki-laki. Penyerahan mas kawin sebagai adat perkawinan dilakukan di hadapan keluarga perempuan dan keluarga laki-laki yang diserahkan oleh juru bicara dari kedua belah pihak atau Pabitara. Seorang pabitara diangkat berdasarkan ketokohannya dan yang sangat utama adalah kemampuannya mengetahui dan memahami adat orang Tolaki dan berpengalaman membawa adat. Penyerahan adat perkawinan dilakukan melalui upacara penyerahan adat yang dirangkaikan dengan kegiatan akad nikah. Menurut keterangan informan bahwa dari seluruh rangkaian perkawinan orang Tolaki di Kecamatan Landono dan Kecamaan Mowila mulai dari mengintip calon, sampai pada acara akad nikah, nilai adat terlihat dari penggunaan kalo. Tanpa kalo, sesuatu upacara dari rangkaian 76 perkawinan dianggap tidak sah. Tak ada upacara semacam ini tanpa kalo. Kalo merupakan hal mendasar dalam adat perkawinan. Selain itu, acara berikutnya adalah asas perwakilan yang diperankan oleh dua juru bicara baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan, yang masing-masing melakukan peranan hubungan antara kedua belah pihak secara timbal balik.5 Tata cara pelaksanaan adat suku Tolaki, diklaim oleh orang suku Tolaki sendiri sebagai asas adat. Masih ada asas adat lainya selain dari dua hal tersebut yaitu asas ketentuan dan persatuan antara kedua belah pihak di kalangan keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan. Asas-asas ini terungkap dari dialog masing-masing juru bicara. Suatu perkawinan adat suku Tolaki di Kecamatan Landono dan Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan sesungguhnya diawali dengan acara menghias, seperti dituturkan tokoh adat dalam hasil wawancara dengan responden bahwa pada acara puncak dari seluruh rangkaian perkawinan orang Tolaki adalah diawali dengan acara metirangga (pengantin diberi berhias) dan pocka (pengantin laki-laki menaiki rumah pengantin perempuan), dan diakhiri dengan modada ina nggae (pengucapan akad nikah) dan teposuangge walino (pengantin laki-laki memasuki kamar dan kelambu istrinya). Proses berhias dilakukan di rumah masing-masing pada waktu malam secara bersamaan. Pada malam itu diramaikan dengan kunjungan dari pihak kerabat yang diundang untuk hadir memberikan doa restu dan doa selamat bagi pengantin. Setiap tamu yang datang dan menemui pengantin mengambil bahan rias yang telah dipersiapkan dalam sebuah piring, dan dengan ibu jari dia mengenakan di 5 Muh.Yunus, Tokoh Adat Landono, “wawancara”, di Kecamatan Landowo Kabupaten Konawe Selatan, Tanggal 21 Oktober 2012. 77 bagian paras pengantin. Keesokan harinya, pengantin laki-laki bersama rombongan apakah dengan berjalan kaki atau berkendaraan menuju rumah pengantin perempuan. Para anggota rombongan terdiri dari ahli rias pengantin, kedua orang tuanya, pendamping orang tua pengantin, sejumlah orang pembawa alat-alat perlengkapan rias kawin dan peti atau tempat pakaian laki-laki, juru bicara dan sejumlah anggota rombongan dari para kerabat dan tetangga terdekat.6 Memasuki pekarangan rumah pengantin perempuan tidaklah mudah, karena di pintu gerbang terdapat perempuan-perempuan cantik sebagai pagar ayu yang oleh adat diberi hak untuk meminta bayaran sebelum dibukakan jalan bagi rombongan pengantin laki-laki. Di tangga tampak sejumlah ibu-ibu yang menaburkan beras kuning ke atas kepala dan muka pengantin, barisan ini juga meminta bayaran yang sama dengan gadis-gadis di pintu gerbang pertama. Dari seluruh rangkaian perkawinan pada saat penyerahan mahar dilakukan, jika semua pihak keluarga dan laki-laki telah hadir sekaligus kedua juru bicara yang akan memerankan tugas adat tentang: 1. Kesiapan benda-benda mas kawin dari pihak laki-laki untuk segera diserahkan kepada pihak perempuan. 2. Permohonan pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk menerima mas kawin yang telah diperhadapkan dengan rasa kekeluargaan yang dalam. 6 Rajawali, Tokoh Adat Mowila, “wawancara”, di Kecamatan Mowila, tanggal 22 Oktober 2012. 78 3. Pernyataan pihak perempuan akan kesungguhan pihak laki-laki dalam usahanya menyambung tali persaudaraan dan memperluas hubungan kekeluargaan. 4. Serangkaian ungkapan-ungkapan yang menggambarkan suasana gembira dan lucu sebagai rasa syukur atas lancarnya proses pelaksanaan atau kata yang bisa menghibur kedua mempelai.7 Keempat hal tersebut hanya terjadi saat akan dilangsungkan akad nikah. Suatu dialog yang menggambarkan cara terbaik untuk memperoleh pengantin perempuan yang telah dinantikan oleh pengantin laki-laki. Bila peralatan perkawinan atau mas kawin tidak cukup sesuai permintaan pihak perempuan, maka pelaksanaan akad nikah tidak dapat dilangsungkan. Pihak laki-laki harus mencukupi saat itu juga. Hal ini tentu erat kaitannya dengan kehormatan dan harga diri, sehingga dalam acara perkawinan suku Tolaki kesiapan atas segala persyaratan yang telah ditetapkan haruslah tersedia. Walaupun demikian, mahar juga biasanya diutang atau dibayar oleh pihak laki-laki setelah perkawinan. B. Pelaksanaan Perkawinan Adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan Islam merupakan agama wahyu terakhir yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. yang membawa ajaran yang sangat logis, fleksibel dan universal. Cakupannya meliputi hubungan antara manusia dengan khalik, manusia dengan sesama manusia serta lingkungannya. Peraturan-peraturan yang mengatur hal tersebut lazim disebut hukum Islam. Pengertian hukum Islam sebagai sistem norma 7 Abdurrauf Tarimana, Tokoh Agama sekaligus Tokoh Adat, wawancara, di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 25 Oktober 2012. 79 Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya. Perkawinan merupakan suatu hal yang sakral, agung dan mulia bagi kehidupan manusia agar kehidupannya bahagia lahir dan batin serta damai dalam mewujudkan rasa kasih sayang diantara keduanya. Karena perkawinan itu bukan saja sekedar pemenuhan kebutuhan biologis semata-mata, tetapi juga merupakan “sumber” kebahagiaan, istilah popular sekarang dikenal perkawinan menuju keluarga “sakinah mawadah warahmah”. Di dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum tertulis masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Masyarakat hukum adat yang ada di bumi Nusantara ini, banyak adat dan etnis yang berakulturasi melalui perkawinan, sehingga membentuk keluarga sakinah mawaddah dan warahmah. Masyarakat adat ini memandang perkawinan sebagai lambang untuk meneruskan keturunan, mempertautkan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan. Disamping itu, adakalanya suatu perkawinan adat merupakan sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang retak. Selain itu, perkawinan juga bersangkut paut dengan warisan, kedudukan alias status dan harta perkawinan. Di kalangan masyarakat adat yang masih kuat prinsip kekerabatannya seperti adat “perepua” Tolaki, maka perkawinan merupakan suatu “nilai hidup” 80 untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan sebagaimana hukum adat perkawinan Tolaki. Disamping itu adakalanya suatu kekerabatan yang telah jauh yaitu “Asombue” yang artinya asal usul satu nenek moyang, merupakan sarana pendekatan dan perdamaian kekerabatan. Sebagai contoh perkawinan itu sarana pendekatan dan perdamaian dahulu kala para bangsawan Tolaki ketika mencarikan jodoh putranya sampai melintasi wilayah suku bangsa tertentu, alias kawin dengan orang lain. Kemudian terselenggara perkawinan adat istiadat adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum adat setempat dengan tidak mementingkan peraturan-peraturan agama misalnya. Di sinilah sasaran tulisan singkat ini yaitu membicarakan perkawinan Adat Tolaki yang berlangsung sejak terbentuknya kerajaan tradisional Mekongga dan Konawe di Landolaki sekitar abad 16 Masehi hingga kini memasuki era globalisasi. Penyelenggaraan perkawinan suku Tolaki senantiasa disertai upacara adat perkawinan tolaki yang kesemuanya itu bertujuan untuk menjamin terpenuhinya semua kepentingan yang bersangkutan. Untuk memudahkan sidang pembaca mengikuti alur tulisan singkat ini, akan diuraikan selain membicarakan secara deskripsi upacara adat perkawinan Tolaki yang berhubungan dengan pengertian dan kedudukan Kalosara dalam upacara adat perkawinan, model atau tata cara menggelar adat perkawinan, perempuan yang pantang jadi istri, pelanggaran terhadap upacara adat perkawinan Tolaki. 1. Ciri Khas Perkawinan Adat Tolaki Suku-suku bangsa yang tersebar dimuka bumi Nusantara, bahkan mungkin dibelahan dunia sekalipun, dan akankah memiliki upacara adat atau kebiasaankebiasaan perkawinan adat menurut tradisi leluhurnya masing-masing. Demikian 81 pula suku bangsa Tolaki memiliki upacara adat perkawinan dengan ciri khas tersendiri yang membedakan dengan suku-suku bangsa lainnya. Misalnya orang Tolaki menggunakan benda adat Kalosara dalam setiap prosesi upacara adat perkawinan Tolaki.8 Perkawinan Adat Tolaki memiliki istilah ialah, Medulu yang artinya berkumpul, bersatu, dan Mesanggina yang berarti bersama dalam satu piring,” sedangkan istilah yang paling umum dalam masyarakat adat Tolaki adalah Merapu atau Perapua yang berarti perkawinan, keberadaan suami, istri anak-anak, mertua, paman, bibi, ipar, sepupu, kakek, nenek, dan cucu merupakan suatu pohon yang rimbun dan rindang,9 Selain pengertian perkawinan itu, ada lima tahapan prosesi upacara Adat perkawinan Tolaki. Pertama, ”Metiro atau Menggolupe” yang artinya mengintip meyelidiki calon istri. Kedua, ”Mondutudu” yang artinya malamar jajakan. Ketiga, ”Melosoako” artinya melamar sesungguhnya. Keempat, ”Mondonggo Niwule” artinya meminang, dan Kelima, ”Mowindahako” artinya menyerahkan pokok Adat. Sesudah itu, acara pernikahan. Semua tahapan prosesi Adat disebutkan itu, kecuali tahapan “Metiro atau Monggolupe” diperankan oleh “Tolea” dan “Pabitara”, dengan selalu ditampilkan menggunakan pranata Kalo”.10 8 Muslimin Suud, Tokoh Adat Tolaki dan Tokoh Agama, wawancara, di Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 23 Oktober 2012. 9 Abdurrauf Tarimana, Tokoh Agama sekaligus Tokoh Adat, wawancara, di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 25 Oktober 2012. 10 Muslimin Suud, Tokoh Adat Tolai dan Tokoh Agama, wawancara, di Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 23 Oktober 2012. 82 Ditampilkannya adat Kalosara, dalam upacara Adat Perkawinan Tolaki menurut pandangan orang Tolaki bahwa, suatu perkawinan merupakan sesuatu yang “Sakral”. Karena melibatkan kedua belah pihak keluarga besar, jika semula saling “cuek” atau kurang intim atau tidak saling kenal, kini disatukan menjadi “suatu kekuatan” dalam kesatuan rumpun keluarga besar posisinya ini adalah sebagai perkawinan yang akrab dan mulia bagi kehidupan membina keluarga agar hidupnya bahagia lahir dan batin. Selain pandangan ini, kedudukan pihak keluarga perempuan pada dasarnya adalah, pihak yang “ditinggalkan derajatnya”. Itulah sebabnya Adat Kalosara sebagai simbol “Kebesaran” orang Tolaki wajib digelar dihadapan keluarga besar perempuan tersebut. 2. Pengertian dan Kedudukan Kalosara dalam Perkawinan Adat Tolaki. Ketika berbicara Kalo sebagai bahasa simbolik dalam kehidupan sehari-hari orang Tolaki, disini dibatasi fungsi Kalo dalam pengertian sempit, hanya membicarakan urusan adat istiadat Tolaki, seperti urusan “Perapua” atau Perkawinan, tidak membahas makna filosofi dalam arti luas. Membicarakan Kalo umumnya terdiri dari banyak macam. Misalnya jika anda menjumpai Kalo sebagai benda, cukup “Kalo” saja. Beda sebutannya ketika benda Kalo digelar pada prosesi adat istiadat seperti acara “mowindahako”, disana disebut “Kalosara”. Hakikat Kalosara terdiri : wadah anyaman, kain putih dan rantai yang dililit terdiri tiga buah itu. Bahan pembuatannya. Bahan baku utama benda Kalo diperoleh dari alam atau hutan belantara. Secara harfiah Kalo adalah benda yang berbentuk lingkaran dari rotan kecil pilihan disebut “Uewai” dipilih tiga buah. Caranya dibuat dengan 83 lingkaran lilitan atau dari arah kiri ke kanan disebut “Kalohana”. Tiga jalur itu berbentuk lingkaran bundar atau sirkel yang sesuai ukuran yang telah ditentukan. Ada dua jenis bentuknya. Jika garis menengah 45 cm disebut “Tehau Bose”, Kalo ini diperuntukan pejabat Bupati ke atas. Sedangkan ukuran 40 cm disebut “meula nebose” diperuntukan bagi pejabat Camat ke bawah.11 Setelah itu ada dua model ikatan ujung kalo. Pertama, jika sesudah pertautan pada simpul satunya keluar ujungnya menonjol sedangkan yang dua ujungnya dari arah kiri tersembunyi, model kalo ini diperuntukan pada adat istiadat seperti perkawinan dan lain-lain. Adapun makna yang menonjol, ujung rotan itu adalah penghargaan pihak penerima. Sedangkan yang tersembunyi bermakna merendahkan diri dari pihak yang melamar. Model kedua, jika kedua ujung simpul rotan hingga membentuk angka 8, maka benda kalosara tersebut dipergunakan khusus upacara adat “mosehe” misalnya penyelesaian sengketa, perselisihan dan lain-lain. Inilah yang dimaksud pengertian kalo dalam arti luas, di sana banyak dibicarakan baik kalo sebagai “konsep” maupun kalo sebagai bahasa “simbolik”.12 Jadi istilah kalo ini mempunyai arti ganda yang meliputi konsep, ide, dan kadangkadang juga kalo berarti sebuah simbol, yakni tanda bahwa pihak laki-laki bermaksud mempersunting seorang anak perempuan. Berkaitan hasil wawancara tersebut tergambar tentang fungsi kalo menunjukkan bahwa orang Tolaki masih menganggap kalo sebagai “keramat dan sakti” yakni keberadaan benda kalo mampu mempersatukan baik keinginan atau 11 Syaifullah, , Kepala Wilayah Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, wawancara, di Kantor Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 17 Oktober 2012. 12 Drs. Muh. Isra’, Kepala Wilayah Kecamatan Landorno Kabupaten Konawe Selatan, wawancara, di Kantor Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 23 Oktober 2012. 84 cita-cita maupun melindungi hak-hak asasi setiap anggota masyarakat Tolaki. Namun hanya benda kalo yang “sakti” itu mampu menyatukan warga Tolaki dimanapun mereka berada hingga hari ini. Mengapa “Wajib” disuguhkan adat kalosara dalam prosesi adat perkawinan suku Tolaki? Karena dengan menggelar prosesi adat kalosara ialah sebagai hukum adat-istiadat atau norma adat kedudukannya sebagai alat “legitimasi” atau pengesahan perkawinan adat istiadat itu. Intinya adalah “membangun dan membina rumpun keluarga”, yang mungkin pernah hilang, serta mempererat tali silaturahmi. Untuk hal itu wajib melewati suatu prosesi adat kalosara sebagai simbol penghormatan tertinggi dalam adat istiadat perkawinanan Tolaki. Perjalanan sejarah kalosara sebelum ajaran “agama Samawi” masuk di wilayah Andolaki, mereka menjadikan norma akidah, kemudian diwujudkan sara atau o’sara sebagai nilai dan norma adat yang harus ditaati. Itulah sebabnya ketika prosesi adat perkawinan Tolaki yang digelar disaat upacara mowindahako harus didahulukan pelaksanaannya. Kemudian dilanjutkan upacara pernikahan menurut syariat Islam yaitu pembacaan akad nikah dan ijab kabul.13 Perkawinan dalam Islam sah apabila ada dua orang saksi dari pihak keluarga laki-laki dan saksi dari pihak keluarga wanita, maka resmilah Pasutri membina rumah tangga tersebut. Demikian pula halnya pandangan orang Tolaki, selain dihadirkan saksi kedua belah pihak keluarga laki-laki dan wanita, belum “sah” atau belum diakui sebelum digelar perkawinan adat Tolaki. Tujuan digelar adat 13 Abdul Karim, Tokoh Adat merangkap Tokoh Agama suku Tolaki, wawancara, di Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 21 Oktober 2012. 85 kalosara adalah sebagai norma adat. Setelah itu wajib pula penyerahan “popolo” membayar mas kawin, dilanjutkan acara “tekonggo” yang artinya menggelar pesta besar atau kecil sebagai pengakuan masyarakat luas bahwa perkawinan tersebut resmi atau sah menurut perkawinan adat Tolaki. Jika ada anggota masyarakat Tolaki melakukan perkawinan diluar adat “kalosara”, maka mereka termasuk melanggar sanksi. Penghargaan kalo sebagai simbol tertinggi yang sudah lama dijunjung masyarakat suku Tolaki dan telah menjadi sesuatu benda yang keramat dan perlu dijaga serta dilestarikan. Hal ini karena adanya keterkaitan erat antara kalo dan sistem yang mengatur kehidupan suku Tolaki yaitu mencakup seluruh perwujudan adat istiadat, mulai dari sistem kehidupan sosial hingga ekonomi yang bercorak tradisional, sistem budaya yang mencakup bahasa, seni, keagamaan, hingga sampai pada sistem pengkonsepsian untuk memandang manusia dalam kaitan eratnya dengan alam semesta. 3. Prosedur dan Tata Cara Menggelar Upacara Adat Perkawinan Tolaki Prosedur dan tata cara di sini adalah penggunaan benda adat kalo dalam upacara adat perkawinan Tolaki. Perannya kedua perangkat adat “tolea” dan “pabitara”, Posisi mereka mulai berperan sebagai “sutradara” mengatur jalannya “mombesara”, menegakkan hukum adat “selewatano” atau “tetenggona osara” artinya sesuai urutan-urutan adat yang harus ditempuh, seperti apa dan bagaimana tata cara upacara “mohindahako” yang diperankan kedua perangkat adat tersebut. Mereka harus tampil sukses membawa missi, tanggung jawab yang terletak dipundak mereka, seperti kemampuan “negosiasi”, cara duduk, pakaian yang 86 digunakan, teknik berkomunikasi. Semua ini harus dikuasai secara baik, sebelum maupun sesudah upacara “mowindahako”, sebabnya aturan adat itu sudah baku, tidak boleh dibolak-balik atau dilangkahi terutama keluar dari koridor aslinya. Selain itu, yang wajib dipahami adalah “isi adat” disebut “polopo” untuk ditunaikan pada saat “mowindahako”. Isi adat tersebut harus lengkap tidak boleh kurang menurut “sara”, karena siap dikenakan denda adat, bahkan bisa ditolak sidang pemangku adat. Adapun isi adat yang wajib dipenuhi ada empat (4) pokok adat yakni: 1) “pu’uno kasu” yang artinya isi pokok adat terdiri atas : a) seekor kerbau, b) sebuah gong, c) emas perhiasan perempuan dan d) satu ukuran kain kaci (100 meter) Sedangkan tiga lainnya, dapat disubtitusi dua puluh lima ribu rupiah, kain kaci tetap ditampilkan 2) “Tawano kasu” artinya daunnya 40 buah sarung adat 3) “Ihino popolo” artinya seperangkat alat sholat sebagai mas kawin, serta biaya pesta 4) “Sara peana” artinya benda-benda adat pakaian perempuan sebagai bentuk penghargaan orang tua atas pengasuhan sebagai anak.14 14 Ramli, Tokoh Adat Kecamatan Mowila, “vawancara”, di Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 20 Oktober 2012. 87 Seandainya dijumpai tidak terpenuhi benda-benda adat tetapi bukan empat isi pokok adat itu, maka berlaku semangat kekeluargaan yaitu prinsip “mesambepe meambo” artinya musyawarah mufakat melalui kalosara sebagaimana jati diri dan karakter suku bangsa Tolaki. Kalosara yaitu “nggo mokonggadui o’sara” artinya semua “perlakuan” itu yang “menggenapkan” adalah adat atau o’sara. Upacara adat perkawinan yang lainnya sering dijumpai dalam masyarakat Tolaki. Pada masyarakat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan terdapat sistem adat yang disebut perkawinan “morumbadoleesi” yang artinya melaksanakan dua macam acara dalam waktu bersamaan yakni acara “mendutudu” dan acara “mondongo niwule”. Perkawinan “morumbadoleaha” yakni melaksanakan tiga macam acara dalam waktu yang bersamaan yaitu acara (1) “mondutudu, (2) mondongoniwule dan (3) mowindahako”. Di sinilah adat perkawinan Tolaki dapat mengikuti perkembangan zaman. Jika 5 tahapan dapat dilakukan disaat “mowindahako” waktu bersamaan 4 tahapan tersebut.15 Berdasarkan pelaksanaan perkawinan adat Tolaki tersebut telah tergolong sebagai adat perkawinan yang telah mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan teknologi informasi komunikasi bahwa “mowindahako” orang Tolaki itu, semua bisa diatur asal isi pokoknya adat wajib dipenuhi. Di sinilah peranan tolea sebagai “negosiator”. Boleh jadi popolo bisa ringan, berlaku asas musyawarah mufakat kedua belah pihak, terutama bila pihak keluarga perempuan memahami “siapa” calon mantu tersebut? Menurut pandangan orang Tolaki, ketika “mowada popolo” 15 A. Hamid Hasan, Tokoh Adat Kecamatan Landono, “wawancara”, di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 19 Oktober 2012. 88 tidak mengenal “meoli o’ana” yang artinya membebani pihak keluarga pria dengan membayar biaya popolo. 4. Perempuan Yang Pantang Dijadikan Istri Hampir semua suku-suku bangsa yang ada di belahan dunia memiliki “perkawinan terlarang”? Suku-suku bangsa di Indonesia, sangat memahami masalah “incestabu”, maksudnya jika terjadi perkawinan “terlarang” akan mendapat kutukan atau dosa berjamaah dari orang tua, membawa aib keluarga, bahkan merusak nama baik sekampung. Perkawinan terlarang yaitu (1) Kawin dengan ibu kandung atau ibu tiri, (2) Kawin dengan anak kandung atau anak tiri, (3) Kawin dengan bibi kandung, (4) Kawin dengan saudara kandung.16 Kecuali yang sering dilanggar seperti “mosoro rongo” (kawin dengan saudara isteri yang telah meninggal) atau levirate dan sekorat. Adat perkawinan “tumutada” artinya kawin dengan saudara kandung ipar perempuan. Kawin silang, kawin dengan janda mertua atau janda menantu atau janda anak kandung. Ketika terjadi pelanggaran kawin “tumutada” misalnya yaitu kawin dengan saudara kandung istri dan semacamnya. Pada jaman tempo dulu sebelum masuk ajaran agama masih dapat ditolerir, namun resikonya harus dicerai istri pertama. Kemudian jika terdapat atas pelanggaran perkawinan “incestabu”, maka wajib diadakan suatu upacara adat “mosehe” yang artinya penyucian diri dan juga menolak bala atas pelanggaran perkawinan “musibah” tersebut.17 16 Dahlan, Tokoh Agama Kecamatan Landono, “wawancara” di Kediamannya Desa Arongo Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 21 Oktober 2012. 17 Rajawali, Tokoh Adat Mowila, “wawancara”, di Kecamatan Mowila, tanggal 22 Oktober 2012. 89 Khusus pelanggaran perkawinan terlarang yang sangat memalukan itu seperti pada (1) Kawin dengan ibu kandung atau ibu tiri, (2) Kawin dengan anak kandung atau anak tiri, (3) Kawin dengan bibi kandung, (4) Kawin dengan saudara kandung, tidak ada ampun bagi pelakunya. Mereka harus “dibunuh” secara diamdiam atau dibuang dari kampung atau masyarakat. Namun jaman sekarang diserahkan kepada hukum positif atau aparat penegak hukum. Adapun perempuan yang paling ideal untuk dijadikan calon istri adalah sepupu satu kali, sepupu dua kali, tiga kali, yang sering disebut kawin “mekaputi” artinya ikat-mengikat dan lawannya kawin dengan orang lain. Hal yang melatar belakangi perkawinan “mekaputi”. Kata mereka agar harta kekayaan tidak jatuh pada pihak lain dilingkungan luas, agar potensi dan integritas keluarga asal dari satu nenek moyang mereka tetap terbina dan dipertahankan.18 Ketika anggota masyarakat melangkahi upacara adat perkawinan Tolaki, maka ada lima “model” perkawinan tidak normal baik bagi laki-laki bujangan maupun anak gadis Tolaki, baik dahulu kala maupun dewasa ini masih tetap dikategorikan “melanggar” hukum adat perkawinan. (1) Kawin lari atau silariang (2) Kawin sudah hamil diluar nikah (3) Kawin rampas disebut “mombolasuako luale (4) Kawin dilaporkan kepada orang tuanya karena sesuatu hal (5) Kawin tertangkap basah ketika sedang indehoi atau berhubungan seks.19 18 Ramli, Tokoh Adat Kecamatan Mowila, “vawancara”, di Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 20 Oktober 2012. 19 A. Hamid Hasan, Tokoh Adat Kecamatan Landono, “wawancara”, di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 19 Oktober 2012. 90 Dari semua perilaku kawin tidak normal tersebut, tidak bisa ditolerir harus diselesaikan secara adat. Adapun cara penyelesaian adat tersebut, melalui upacara “mesokei” artinya datang “membentengi” untuk suatu upaya membujuk pihak keluarga perempuan yang dipermalukan itu dengan membayar sejumlah ganti rugi. Di sini wajib pula menggelar kalosara, tujuannya mencegah perselisihan yang bisa berujung pada pertikaian diantara mereka. Berikut ini ditampilkan salah satu contoh kasus perkawinan resmi atau normal, namun belum dilaksanakan upacara perkawinan adat Tolaki, misalnya kasus pasutri (pasangan suami-isteri) ketika “melangkahi” upacara adat perkawinan Tolaki. Mungkin pasutri tersebut tidak tahan lagi ingin cepat berumah tangga? Hal ini diketahui ketika menikah lewat KUA. Bahkan telah memiliki “buah hati” kini duduk dibangku SD. Namun belum “dihadapkan” tokoh adat “puutobu” dan “toono motuo” untuk ditangani tolea-pabitara yang digelar oleh adat “kalosara”. Pasturi tersebut tetap melaksanakan tahapan-tahapan perkawinan adat Tolaki dengan menggelar acara “mowindahan”. Selanjutnya tujuan pelaksanaan adat perkawinan tersebut adalah dalam mengukuhkan kedudukan “masyarakat hukum adat” sebagai sebuah karakter dan prinsip adat suku bangsa. Kemudian dikaitkan dalam penerapan hukum adat Tolaki yang selalu ditaati anggota masyarakat yaitu sebagaimana terurai dalam falsafah puitis Tolaki, “inae kona sara iyeto pinesara inae lia sara iyeto pinekasara”. Artinya siapa yang menghargai adat, dia akan dihormati, siapa yang tidak menghargai adat, dia tidak akan dihormati. 91 Berdasarkan seluruh hasil penelitian tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa ketika berbicara prosedur dan tata cata menggelar upacara adat perkawinan Tolaki, muncul pertanyaan dikalangan masyarakat awam. Keberadaan “upacara adat perkawinan Tolaki” dewasa ini? Kenyataan memang di sana-sini mengalami “pergeseran nilai” atas tuntutan perkembangan zaman serta dinamika masyarakat, namun tidak keluar dari koridor aslinya. Jika diamati seksama atas tinjauan perspektif upacara adat perkawinan Tolaki secara kontekstual tampaknya mampu “menyesuaikan” kondisi dan perkembangan serta tuntutan masyarakat dewasa ini. Dalam hal ini, kedudukan dan fungsi kalosara mampu “menyemangati” prinsip “mesambepe meambo” yang artinya berlaku asas musyawarah mufakat dalam hal menaati koridor adat istiadat Tolaki. Dalam pelaksanaan perkawinan adat Tolaki ada beberapatahapan-tahapan yang perlu dilakukan sebagai berikut: 1. Rencana Pengajuan Lamaran Sebelum memasuki pengajuan lamaran ada proses yang harus dilalui, salah satunya adalah metiro (mediator), yakni orang yang bertugas mencari informasi tentang gadis yang akan menjadi bakal calon mantu, dengan cara sebagai berikut: a. Orang tua pria langsung mengutus seseorang secara rahasia ke rumah orang tua perempuan yang akan dijadikan sasaran dengan memperhatikan posisi yang tepat (papasa dan wowai meambo) terutama anak gadis yang menjadi idaman. Bila posisi atau wowai yang diharapkan sudah sesuai maka ada tindakan utusan pihak laki-laki melamar secara rahasia dengan monggolupe, artinya meninggalkan alat rias remaja putri secara rahasia, bila dalam waktu 4 x 24 jam tidak kembali 92 sinyal tersebut menandakan lamaran rahasia diterima dan dapat dilanjutkan proses pelamaran terbuka. Akan tetapi bilamana ditolak, maka segera pula pengembalian seperangkat alat rias remaja putri ke alamatnya dalam waktu 1 x 24 jam dilakukan pihak keluarga si gadis. b. Dengan mondutudu artinya mencoba mengajukan lamaran terbatas dengan menggunakan kalo dan satu bungkus sirih segar ikatan pembungkusnya hanya satu kali dan satu lembar kain sarung sebagai pengikatnya. Setelah 8 x 24 jam tidak kembali, maka dapat mengajukan lamaran terbuka, dan bila tidak diterima dalam waktu 1 x 24 jam harus dikembalikan satu bungkus sirih dan satu lembar kain sarung serta ditambahkan satu lembar sarung sebagai imbalan penolakannya ke alamat yang mengajukan. Maknanya adalah untuk menjaga rasa malu orang tua laki-laki agar hubungan kekeluargaan tetap harmonis dan atas wujud ucapan terima kasih orang tua perempuan atas perhatian kepada puterinya.20 2. Tahap pengajuan lamaran Untuk mengajukan lamaran, hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: a. Tahap persiapan Orang tua laki-laki menghubungi atau mengundang juru bicara (tolea pabitara) untuk mempersiapkan pelaksanaan pengajuan lamaran dan menanyakan perlengkapan adat apa saja yang harus dipersiapkan orang tua laki-laki. Perlengkapan yang perlu dipersiapkan adalah: juru bicara pihak laki-laki yang 20 Muh.Yunus, Tokoh Adat Landono, “wawancara”, di Kecamatan Landowo Kabupaten Konawe Selatan, Tanggal 21 Oktober 2012. 93 terampil, kalo itulah sesuai status adat pihak perempuan, wadah yang berisi satu biji pinang hijau/oranye, daun sirih segar tulangnya bertemu di tengah-tengah kiri kanan satu lembar, tempat sirih, pinang, kapur/gambir dan rokok. Pihak orang tua laki-laki mengutus wakilnya untuk membicarakan waktu kedatangan pihak keluarga laki-laki untuk melamar.21 b. Tahap pelaksanaan Proses pengajuan lamaran pihak laki-laki harus memahami status adat pihak perempuan yang akan dilamar. Hal ini diperlukan agar dapat dengan mudah menentukan mas kawin. Untuk melakukan pelamaran, juru bicara dari pihak pria terlebih dahulu menoleh ke kiri dan ke kanan sebagai ungkapan memohon izin untuk memulai acara peminangan dan dijawab juru bicara perempuan atau penghulu untuk segera dimulai saja.22 Selanjutnya pembicara memindahkan kalonya dari samping kanan kedepan berhadap-hadapan dengan tolea dan bergeser kehadapan puutabo atau kepala pemerintahan setempat untuk memohon izin memulai acara pelamaran. Setelah hal itu dilakukan, maka selanjutnya pembicara dari pihak pria berbicara dengan untaian kata-kata yang halus dan spesifik untuk menjelaskan maksud kehadiran pihak pria secara formal. Pembicara dari pihak perempuan mendengarkan dengan seksama kalimat demi kalimat yang dituturkan pembicara pehak pria dan membalasnya 21 Abdul Karim, Tokoh Adat merangkap Tokoh Agama suku Tolaki, wawancara, di Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 21 Oktober 2012. 22 Ramli, Tokoh Adat Kecamatan Mowila, “vawancara”, di Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 20 Oktober 2012. 94 dengan bahasa yang halus pula diiringi ungkapan yang isinya dapat diterima pengajuan lamaran tersebut. Setelah lamaran diterima, selanjutnya pihak laki-laki menanyakan berapa beban adat yang akan dipikul serta ongkos pesta perkawinan yang akan ditanggung untuk merayakan pesta perkawinan. a) Tahap pertunangan Pada dasarnya pertunangan berlaku sejak lamaran diterima. Pertunangan dilakukan jika perempuan yang dilamar belum cukup umur untuk melakukan perkawinan sehingga harus menunggu sampai dewasa. Pihak pria atau calon suami perlu melakukan sosialisasi guna memberikan nafkah kepada sang istri kelak, sehingga dia lebih dahulu harus mengabdi kepada orang tua perempuan.23 b) Tahap perkawinan (mowindahako) Mowindahako dapat diterjemahkan pesta perkawinan yang dilakukan setelah tiba hari yang telah disepakati, maka diantarlah pengantin laki-laki ke tempat upacara perkawinan dengan usungan (sinamba ulu) atau kendaraan lain.24 Rombongan pengantin laki-laki dalam memasuki ruang upacara utama, pintu pagar, pintu utama, pintu kamar tidur, pembuka kelambu dan mata pengantin perempuan masih tertutup. Untuk membuka hal-hal tersebut diatas, maka pihak lakilaki harus menebusnya sesuai dengan kesepakatan dengan masing-masing penjaga. Hal ini dimaksudkan agar memeriahkan acara perkawinan, serta sebagai simbol 23 A. Hamid Hasan, Tokoh Adat Kecamatan Landono, “wawancara”, di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 19 Oktober 2012. 24 Abdurrauf Tarimana, Tokoh Agama sekaligus Tokoh Adat, wawancara, di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 25 Oktober 2012. 95 ketulusan dari pihak laki-laki. Pada saat upacara perkawinan ini dimulai semua kesepakatan peminangan harus dipenuhi serta ditampilkan secara transparan di depan masing-masing juru bicara, puutabo (pemerintah), serta para undangan. Setelah hal-hal tersebut dilakukan, kedua mempelai duduk bersila dan siap mengikuti upacara adat mowindahako. Acara perkawinan ini dilakukan dengan cara juru bicara pihak laki-laki menyesuaikan duduknya dengan mengarahkan kalonya kehadapan puutobu (pemerintah) setempat dan maju maksimal empat kali sampai berhadapan langsung dengan penerima kalo sebagai permohonan izin untuk memulai upacara adat. Dalam prosesi ini, juru bicara pihak laki-laki mengucapkan salam kepada Puutobu atau pemerintah setempat serta menyampaikan maksud kehadiran yang kemudian dijawab oleh Puutobu atau pemerintah tersebut. Setelah itu penerima Kalo mengembalikan kepada juru bicara. Kemudian juru bicara laki-laki mohon diri untuk kembali ketempat semula dan berhadap-hadapan dengan juru bicara dari pihak perempuan. Acara berikutnya juru bicara laki-laki mengarahkan kehadapan juru bicara perempuan dengan meletakkan Kalo untuk melanjutkan acara Mowindahako. Bersamaan itu pula di sebelah kanan juru bicara laki-laki disuguhkan salopa tempat sirih, pinang, rokok atau tembakau oleh masing-masing ibu yang ditugaskan untuk Mosoro niwule. Setelah kedua petugas Mosoro niwule menyodorkan salopa maka juru bicara laki-laki membuka kesunyian dengan mengucapkan salam dan dijawab oleh yang mendengarkan. Akhir acara atau penutup dilakukan moheu osara atau pengukuhan adat. Makna dari acara ini adalah agar dalam melaksanakan tugasnya, juru bicara harus 96 berlaku adil dan jujur serta sehat sepanjang hidupnya, bila sebaliknya akan terkena sanksinya dan mendoakan kedua rumpun keluarga mempelai agar hidup rukun, damai, bahagia, sehat, beriman, bertakwa kepada tuhan, dimurahkan rezekinya, melahirkan keturunan saleh, sehat, berilmu, dan beriman sampai akhir hayat. Kemudian dilanjutkan dengan saling menyuguhkan minuman sebagai pertanda upacara perkawinan telah selesai. Setelah acara adat selesai, selanjutnya dilakukan akad nikah oleh wali yang disaksikan oleh Pegawai Pencatat Nikan (PPN) yang didahului penyerahan perwalian dari orang tua perempuan kepada imam (pemuka agama Islam) yang akan menikahkan. Tahapan berikutnya adalah membawa pengantin laki-laki ke kamar pengantin perempuan untuk pembatalan wudhu. Dalam acara pembatalan wudhu, jempol kanan pengantin laki-laki ditempelkan diantara kedua kening atau di bawah tenggorokan pengantin perempuan. Acara selanjutnya, kedua pengantin keluar kamar menuju kedua orang tua untuk melaksanakan meanamotuo atau sembah sujud sebagai tanda syukur dan hormat kepada kedua orang tua yang telah melahirkan dan memelihara mereka. Setelah itu dilakukan acara resepsi dan hiburan yang diisi dengan tarian lulo. Pada zaman dahulu tarian ini dilakukan pada upacara-upacara adat seperti pernikahan, pesta panen raya dan upacara pelantikan raja, yang diiringi oleh alat musik pukul yaitu gong. Tarian ini dilakukan oleh pria, dan yang terpenting dari semua itu adalah arti dari Tarian Lulo sendiri, yang mencerminkan bahwa masyarakat Tolaki adalah masyarakat yang cinta damai dan mengutamakan persahabatan dan persatuan dalam menjalani kehidupannya. 97 Demikianlah keterangan tentang prosesi pernikahan adat suku tolaki, semoga keterangan tersebut dapat bermanfaat bagi pihak yang peduli pada suku Tolaki khususnya yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai prosesi pernikahan adat suku Tolaki. C. Kendala yang Dihadapi dalam Memadukan Adat Perkawinan Suku Tolaki dengan Hukum Islam di Kabupaten Konawe Selatan Sebenarnya tujuan perkawinan menurut syariat Islam tidak jauh beda dengan tujuan perkawinan menurut Undang-Undang RI Nomor1 Tahun 1974, samasama menekankan aspek kebahagiaan. Hanya saja dalam syariat Islam, tujuan perkawinan lebih didasarkan pada aspek ketentraman, kasih sayang, dan saling mencintai. Hal ini dapat dilihat pada pasal (3) tentang dasar-dasar perkawinan di dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah”. Untuk mencapai tujuan perkawinan sebagaimana tersirat dalam KHI, tentu tidak semudah dengan apa yang dibayangkan, karena beberapa hambatan atau rintangan sehingga perkawinan yang tujuannya mulia itu menjadi terhambat oleh beberapa faktor. Menurut A. Hamid Hasan ketika dikonfirmasi menuturkan perkawinan suku Tolaki pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan suku-suku lain, yakni berupa status sosial, ekonomi keluarga, dan faktor keturunan ningrat.25 1. Hambatan ekonomi 25 A. Hamid Hasan, Tokoh Adat Kecamatan Landono, “wawancara”, di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 19 Oktober 2012. 98 Kehidupan masyarakat bangsa Tolaki terdapat bermacam-macam mata pencarian yang beragam dan berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Mata pencarian tersebut menunjukkan status ekonomi sosial dalam masyarakat tersebut. Hal ini dapat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, tanpa kecuali dalam hal pelaksanaan perkawinan. Keadaan ekonomi lemah kadang-kadang membuat seseorang memilih melaksanakan perkawinan di bawah tangan yang dianggap praktis dan murah tanpa harus mengeluarkan biaya yang banyak untuk melaksanakannya. Pelaksanaan perkawinan adat bagi masyarakat Tolaki di Konawe Selatan ini, memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga bagi masyarakat yang berekonomi lemah memilih nikah di bawah tangan meskipun hal tersebut tidak sah menurut pasal 2 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa terdapat 7 pasangan yang pelaksanaan pencatatannya di KUA kecamatan juga tidak terlaksana pencatatannya dikarenakan oleh hambatan ekonomi keluarga. Mata pencarian yang tidak tetap atau serabutan tersebut dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhannya sehari–hari, sehingga membuat pelaksanaan pencatatan perkawinan di KUA kecamatan dan perkawinan adat juga tidak terlaksana.26 Biaya pencatatan perkawinan di KUA kecamatan yang dianggap mahal dan tidak ada biaya untuk melakukan pencatatan perkawinan di KUA, membuat sebagian masyarakat untuk memilih melaksanakan perkawinan di bawah tangan dan juga dilaksanakan tanpa adat atau pesta perkawinan. Oleh karena itu, hal yang 26 Sumber: Kantor KUA Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 15 Oktober 2012. 99 dianggap lebih meringankan beban mereka adalah melakukan perkawinan di bawah tangan atau sirri’.27 Hal tersebut menguatkan bahwa penghasilan yang minim berdampak pada tidak tercatatnya pelaksanaan perkawinan di KUA kecamatan, Dengan demikian, dapat diketahui bahwa ekonomi dapat mempengaruhi pelaksanaan pencatatan perkawinan,sehingga menginspirasi mereka melakukan pernikahan di bawah tangan. Hal ini dapat dikuatkan sesuai hasil wawancara dengan informan bahwa ada beberapa pasutri di tengah masyarakat yang telah melakukan perkawinan di bawah tangan dan tidak tercatat di KUA kecamatan karena tidak ada biaya untuk melakukan pernikahan secara wajar dikarenakan tidak adanya biaya nikah.28 2. Hambatan Adat dan Budaya Adat dan budaya sudah ada sejak dahulu bagi masyarakat suku bangsa Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan dan berlangsung secara terus menerus dari nenek moyang sampai keturunannya. Begitu pula dengan adat perkawinan yang sudah ada sejak duhulu dan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Adat dan budaya suatu perkawinan yang dilakukan secara siri’ atau perkawinan di bawah tangan sudah ada sejak dulu dan masih terjadi di dalam masyarakat suku Tolaki di Konawe Selatan. Sejak lama sudah ada perkawinan di bawah tangan atau nikah siri’ namun menurut mereka perkawinan tersebut sudah 27 A. Hamid Hasan, Tokoh Adat Kecamatan Landono, “wawancara”, di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 19 Oktober 2012. 28 Sumber: Kantor KUA Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 25 Oktober 2012. 100 dianggap sah menurut agama sehingga pelaksanaan pencatatan perkawinan di KUA kecamatan tidak terlalu penting.29 Berdasarkan hasil wawancara itu dapat diketahui bahwa yang menjadi penghambat terlaksananya pencatatan perkawinan di KUA antara lain aspek ekonomi keluarga serta adat dan budaya. Oleh karena itu, mereka mengutamakan perkawinan di bawah tangan dibanding dengan perkawinan yang dicatat oleh Pegawai Pencatatan Nikan di KUA kecamatan. 3. Hambatan karena dijodohkan orang tua Orang tua adalah orang yang melahirkan, merawat dan mendidik seseorang sampai dewasa. Setiap orang tua menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya sehingga dalam kehidupan pribadi anak, orang tua sering juga ikut berperan serta. Begitu juga dalam hal memilih pendamping hidup buat anaknya, di dalam masyarakat suku banga Tolaki di Konawe Selatan masih ada orang tua yang melakukan perjodohan terhadap anaknya. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden ditemukan bahwa masyarakat suku bangsa Tolaki yang pelaksanaan pencatatannya di KUA kecamatan tidak terlaksana dikarenakan oleh hambatan karena dijodohkan orang tua. Karena sudah bertunangan untuk menghindari sesuatu hal yang tidak diinginkan maka dilaksanakan perkawinan di bawah tangan atau nikah siri’ guna menghindari zina.30 29 Ramli, Tokoh Adat Kecamatan Mowila, “vawancara”, di Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 20 Oktober 2012. 30 Abdul Karim, Tokoh Adat merangkap Tokoh Agama suku Tolaki, wawancara, di Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 21 Oktober 2012. 101 Untuk mendapatkan kepastian suatu hubungan perjodohan maka dilaksanakan perkawinan di bawah tangan lebih dahulu. Pertunangan dianggap belum cukup untuk mengikatkan suatu hubungan maka pihak orang tua melakukan pelaksanaan perkawinan di bawah tangan atau nikah sirri’ terhadap anaknya.31 Dari wawancara tersebut dapat diketahui bahwa terdapat hambatan karena dijodohkan orang tua yang mempengaruhi pelaksanaan pencatatan perkawinan di bawah tangan tidak terlaksana diantaranya dikarenakan sudah bertunangan untuk menghindari perbuatan zina bagi anak-anak mereka. Untuk mendapat kepastian suatu hubungan perjodohan, maka mereka mengadakan perkawinan siri’ atau perkawinan di bawah tangan. 4. Hambatan Umur Usia untuk melaksanakan perkawinan yang sah menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu laki-laki harus berumur 19 tahun dan perempuan 16 tahun perkawinan tersebut dianggap sah oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak semua masyarakat suku bangsa Tolaki dalam mentaati pelaksaan aturan perundang-undangan tersebut. Demikian juga mereka ada yang tidak melaksanakan perkawinan sesuai dengan umur yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut termasuk di dalam masyarakat suku bangsa Tolaki masih ada yang melakukan perkawinan di bawah umur atau perkawinan yang dilaksanakan sebelum 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita. 31 Abdurrauf Tarimana, Tokoh Agama sekaligus Tokoh Adat, wawancara, di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 25 Oktober 2012. 102 Penelusuran peneliti melalui wawancara diperoleh informasi bahwa pelaksanaan pencatatan perkawinan di KUA tidak terlaksana dikarenakan oleh hambatan Umur. Perkawinan yang dilaksanakan pada usia 16 tahun pada laki-laki danwanita 14 tahun membuat pelaksanaan pencatatan perkawinan di KUA tidak terlaksana karena tidak memenuhi syarat perkawinan yang berlaku.32 Berdasarkan data wawancara tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan perkawinan berdasarkan perundang-undangan dan adat istiadat sering terkendala, disebabkan calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan keduanya belum cukup umur. Namun dengan alasan menghindarkan mereka dari perbuatan zina dalam perspektif hukum Islam dan pelanggaran adat maka orang tua kedua belah pihak menempuh jalan mengawinkan mereka secara siri’, dengan mengesampingkan prosesi perkawinan menurut adat dan menurut perundangundangan, karena alasan mereka perkawinan sah menurut agama Islam. Berdasarkan paparan tersebut dapat diketahui bahwa terdapat hambatan umur yang memengaruhi pelaksanaan pencatatan perkawinan tidak terlaksana. Diantaranya dikarenakan perkawinan yang dilaksanakan pada usia dini (usia muda) yakni usia 16 tahun bagi pria dan 14 tahun bagi perempuan, tidak mendapat dukungan dari pasal 8 peraturan pemerintah dalam hal ini Peraturan Menteri Agama RI Nomor 11 tahun 2007 tentang pencatatn perkawinan yaitu dalam pasal 8, tentang persetujuan dan dispensasi usia nikah akan tetapi peraturan tersebut tidak diketahui oleh masyarakat pada umumnya sehingga sering terjadi pelaksanaan pencatatan di KUA terhambat atau tidak terlaksana. 32 Ramli, Tokoh Adat Kecamatan Mowila, “vawancara”, di Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 20 Oktober 2012. 103 Bertolak dari paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi kendala pelaksanaan perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan adalah faktor ekonomi keluarga, faktor adat dan budaya suku bangsa Tolaki, faktor dijodohkan orang tua, dan faktor umur. D. Solusi Mengatasi Kendala yang Dihadapi dalam Memadukan Adat Perkawinan Suku Tolaki dengan Hukum Islam di Kabupaten Konawe Selatan Dalam pelaksanaan perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan memiliki berbagai macam kendala yang dihadapi. Apalagi ketika suku Tolaki ingin melaksanakan pernikahan dangan memadukan antara adat Tolaki dengan hukum Islam. Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti peroleh dari Abdul Karim, dia mengatakan bahwa salah satu solusi mengatasi kendala yang dihadapi dalam memadukan adat perkawinan suku Tolaki dengan hukum Islam ialah memberikan pemahaman kepada warga suku Tolaki khsususnya yang akan mengadakan perkawinan.33 Terkait dengan hal tersebut Abdul Hamid mengatakan bahwa solusi mengatasi kendala yang dihadapi dalam memadukan adat perkawinan suku Tolaki dengan hukum Islam ialah melakukan pendekatan persuasif kepada warga suku Tolaki untuk memberi kepahamn tentang hakekat pelaksanaan perkawinan yang sesuai dengan hukum Islam.34 33 Abdul Karim, Toko Adat Suku Tolaki, wawancara, di Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 21 Oktober 2012. 34 Abdul Hamid, Tokoh Agama sekaligus Tokoh Adat, wawancara, di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 25 Oktober 2012. 104 Sejalan dengan kedua pendapat di atas, Ramli mengatakan bahwa solusi mengatasi kendala yang dihadapi dalam memadukan adat perkawinan suku Tolaki dengan hukum Islam ialah memberikan pemahaman kepada orang tua warga suku Tolaki, khsusnya yang akan mengadakan perkawinan sehingga ada muncul kemauan untuk menerima masukan yang diberikannya.35 Berdasarkan hasil wawancara dari beberapa informan di atas tentang solusi mengatasi kendala yang dihadapi dalam memadukan adat perkawinan suku Tolaki dengan hukum Islam maka dapat ditarik suatu konklusi bahwa solusi mengatasi kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perkawinan adat Tolaki adalah memberi pemahaman kepada warga suku Tolaki, melakukan pendekatan persuasif kepada keluarga, khususnya yang akan melaksanakan perkawinan. 35 Ramli, Tokoh Adat Kecamatan Mowila, “vawancara”, di Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 20 Oktober 2012. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pelaksanaan perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan pada dasarnya sejalan dengan perkawinan dalam syariat Islam. Adapun yang sering kontradiksi dalam pelaksanaan perkawinan menurut UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan terletak pada adanya kesan masyarakat Tolaki yang lebih mementingkan perkawinan di bawah tangan dari pada perkawinan yang tercatat di PPN. Dalam prosesi perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan apabila diurut dari rangkaian perkawinan adat mereka. Apabila semua pihak dari keluarga laki-laki telah hadir sekaligus kedua juru bicara yang akan memerankan tugas adat dalam prosesi pernikahan yang meliputi: 1) Kesiapan benda-benda mas kawin dari pihak laki-laki untuk segera diserahkan kepada pihak perempuan. 2) Permohonan pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk menerima mas kawin yang telah diperhadapkan dengan rasa kekeluargaan yang mendalam. 3) Pernyataan pihak perempuan akan kesungguhan pihak laki-laki dalam usahanya menyambung tali persaudaraan dan memperluas hubungan kekeluargaan antara kedua belah pihak dengan jalan perkawinan. 4) Serangkaian ungkapan-ungkapan yang menggambarkan suasana gembira dan lucu sebagai ungkapan rasa syukur atas lancarnya proses pelaksanaan pernikahan. 105 106 2. Kendala dalam pelaksanaan perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan antara lain faktor ekonomi keluarga, faktor adat dan budaya suku Tolaki, faktor dijodohkan orang tua, dan faktor umur. 3. Solusi mengatasi kendala dalam pelaksanaan perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan di antaranya adalah memberi pemahaman kepada suku Tolaki khususnya yang akan melaksanakan perkawinan adat Tolaki. B. Implikasi Penelitian Dengan memperhatikan secara keseluruhan hasil penelitian tentang Membedah Pelaksanaan Perkawinan Adat Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara Perspektif Hukum Islam, maka terdapat beberapa catatan penting yang perlu disimak. Adapun catatan penting yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Melalui penelitian ini diharapkan agar masyarakat suku Tolaki khususnya yang bermukim di Kabupaten Konawe Selatan dapat mengikuti prosesi perkawinan berdasarkan hukum Islam dengan mengintegrasikannya dengan nilai-nilai budaya yang memiliki relevansi dengan syari’at Islam. 2. Agar tesis ini dapat menjadi bahan rujukan dan referensi bagi pelaksanaan adat perkawinan masyarakat suku Tolaki, sehingga dalam pelaksanaan perkawinan mereka dapat sejalan dengan hukum Islam, adat istiadat dan perundang-undangan yang berlaku. Pada akhirnya peneliti tetap berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat terutama pengembangan diri penelti selanjutnya. Demikian pula mampu memberikan informasi dan bahan pertimbangan baik kepada pihak instansi-instansi pemerintah dan kepada pihak-pihak yang bermaksud 107 mengadakan penelitian relevan yakni penelitian terhadap pelaksanaan adat perkawinan bagi masyarakat suku Tolaki pada umumnya dan khususnya mereka yang bermukim di Kabupaten Konawe Selatan. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo, 1995. Ahmad bin Faris bin Zakariya’ Abi Al-Husain, Mu’jam Maqayis alLughah, Juz II. Cet. II, Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby wa Awuladuh, 1390 H/1970 M. Ahnan, Mahtuf, dan Maria Ulfa, Risalah Fiqih Wanita: Pedoman Ibadah Kaum Wanita Muslimah dengan Berbagai Permasalahannya. Surabaya: Terbit Terang, 2000. Alhamdani, H.S.A. Risalah Nikah, Hukum Perkawinan Islam. Cet. III; Jakarta: Pustaka Amani, 1989. Al-San’any, Subul Al-Sal±m, Juz 3. Kairo: Dar Ihya’ al-Turas al-Araby, 1379 H/1980 M.. Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuh. Cet. III; Beirut: D±rt alFikr, 1989. Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian. Cet. VII; Jakarta: Reneka Cipta, 2001. Asdi, Aslam, Pengantar Filsafat Agama (Jakarta: CV. Rajawali, 1986. Ash-Shabuniy, Muhammad Ali, Rawa’iy Al-Bayan Tafsir Ayi Al-Qur’an, dialihbahasakan oleh Mu’ammal Hamdy dan Imron A. Manan. Cet. I Surabaya: Bina Ilmu, 1985. As-Suyuti, Jalaluddin. Saran Sunan An-Nasai. Beirut, Darul Fikrah, t. th. Badri, R., Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan dan KUHP Surabaya : CV. Amin, 1985. Bidara, 0. dan P. Bidara, Hukum Acara Perdata. Cet. II, Jakarta: Pradnya Paramita, 1987. Daud, Abu, Sunan Abu Daud, Juz II. Mesir: Babil Halabi wa Auladuh, 1952. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang; Toha Putra, 2000. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. III; Jakarta : Balai Pustaka, 1990. 1108 109 Djamil Latif, HM. Aneka Hukum Perceraian di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982. Fatchurrahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Cet. I; Bandung: al-Ma’arif, 1974. Gazalba, Sidi, Maut Batas Agama dan Kebudayaan. Jakarta: Bulan Bintang, 1969. Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat. Edisi I: Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003. Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat. Cet. II; Bandung; Alumni, 1983. Harahaf, M. Yahya, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. Garuda Metropolitan Press, 1989. Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid. Sunan al-Musthafa. Jilid 2. Kairo: alMathba’at al-Taziyyah, t. th.. J. Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet. XVII; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007. K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBg/HIR Cet. IV, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981. Laupe, Darmiati. Adat Perkawinan Masyarakat Bugis di Desa BaraE Kecamatan Mario Riwawo Kabupaten Soppeng (Tesis) PPs UMI Makassar 2008. Mahmud Hijazi, Muhammad. At Tafsir al Wadhih, Jilid I, Juz I. Cet, VI: Kairo: Matba’ah al Istiqlal al Kubra, 1969. Majid, Suharni. Relevansi Perkawinan Adat Tolaki dan Perkawinan Adat Jawa dalam Masyarakat Kecamatan Palangga Kabupaten Kendari Ditinjau dari Segi Hukum Islam. Tesis PPs UMI Makassar, 2001. Mannan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Materiel dalam Praktek Pengadilan Agama. Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2002. Margono, S. Metodologi Penelitian Pendidikan. PT Rineka Cipta, Jakarta, 2003. Muh. Bin Ismail Al- Kahlani, Subulus Salam, Semarang; Toha Putra, t. th. Mukhtar, Kamal, Asas-asas Hukum Perkawinan. Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1974. Musthafa, Ibrahim, et.al. Mu’jam al-Wasith, Juz I. Theheran: Maktabah alIlmiyah, t.th. 110 Nur, Djaman, Fiqhi Munaqahat, Semarang Bina Utama, 1993. Palaga, Azhar, Nilai-Nilai Mahar dalam Adat Perkawinan Suku Bugis dan Suku Tolaki (Analisis Perbandingan). Tesis, PPs UIN Alauddin 2008. Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undangundang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Edisi II; Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1996. Rifai, Muhammad, Terjemahan Klausal Kifayatul Akhyar, Semarang: Toha Putra, t.th. Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah Jilid VI, Edisi Indonesia diterjemahkan oleh Moh. Thalib, Cet. VII; Bandung: Al-Ma’arif, 1990. Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1999. Soekanto, Soerjono. Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi. Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1985. _______., dan Purnadi Purbacaraka, Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya, 2009. Soemiyati, Ny., Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Cet. II, Yogyakarta: Liberty, 1986. Syarifuddin, Amir. Usu>l Fikih. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000. Thalib Al-Hamdani, Sa’id, Risalatun-Nikah, dialihbahasakan oleh Agus Salim dengan judul “Hukum Perkawinan Islam ”. Cet. III, Jakarta: Pustaka Amani, 1989. Undang-Undang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Jakarta: Grafindo Offset, t.th.. Undang-Undang Perkawinan. Surabaya: Pustaka Tinta Mas, t.th.. W. Arnold, Thomas, The Preaching of Islam, Terjemah oleh A. Nawawi Rambe, dengan judul “Sejarah Dakwah Islam ”. Jakarta: Wijaya, 1976. Wahid, Marzuki. dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara, Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia. Cet. I; Yogyakarta: LKIS, 2001. Yahya, Muhtar. dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam Cet. I; Bandung: al-Ma’arif, t.th. 111 Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Alquran, 1973. Zakariya, Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn. Mu’jam Maqayis al Lughah, ditahqiq oleh Syihabuddin Abu Amr, Jilid. V. Cet. I; Bairut: Dar Fikr, 1994. 112 DAFTAR INFORMAN A. Hamid Hasan, Tokoh Adat Kecamatan Landono, “wawancara”, di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 19 Oktober 2012. Abdul Karim, Tokoh Adat merangkap Tokoh Agama suku Tolaki, wawancara, di Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 21 Oktober 2012. Abdul Hamid S., Tokoh Agama sekaligus Tokoh Adat, wawancara, di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 25 Oktober 2012. Naharuddin, Drs., Kepala Wilayah Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan, wawancara, di Kantor Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 23 Oktober 2012. Muh.Yunus, Tokoh Adat Landono, “wawancara”, di Kecamatan Landowo Kabupaten Konawe Selatan, Tanggal 21 Oktober 2012. Muslimin Suud, Tokoh Adat Tolaki dan Tokoh Agama, wawancara, di Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 23 Oktober 2012. Rajawali, Tokoh Adat Mowila, “wawancara”, di Kecamatan Mowila, tanggal 22 Oktober 2012. Ramli, Tokoh Adat Kecamatan Mowila, “vawancara”, di Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 20 Oktober 2012. Syaifullah, SE., M. Si., Kepala Wilayah Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, wawancara, di Kantor Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 17 Oktober 2012. Dahlan, S.PdI ., M.Si., Sekertaris Wilayah Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, wawancara, di Kantor Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, tanggal 18 Oktober 2012