BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka Pada Penelitian Terkait Tugas akhir ini mengacu pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dimana beberapa penelitian tersebut membahas manajemen interferensi pada komunikasi seluler khususnya komunikasi D2D sebagaimana dilakukan pada penelitian ini. Dengan beberapa pembeda seperti metode manajemen, batasan masalah, dan skenario yang berbeda. Y. Zhao, B. Pelletier, dan P. Marinier dalam penelitiannya terkait interferensi komunikasi D2D Neighbor Discovery pada jaringan LTE. Bertujuan melakukan manajemen interferensi dan meminimalisir pengaruh interferensi yang ada ketika terjadi D2D Neighbor Discovery. Pada penelitian ini melibatkan beberapa perangkat D2D menggunakan uplink resource. Proses penemuan (disovery) perangkat menggunakan algoritma ProSe. Dalam penelitian ini dilakukan dalam tiga scenario yang berbeda. Pertama, seluruh eNB menggunakan frekuensi yang sama. Kedua, frekuensi yang digunakan eNB berbeda. Terakhir, dilakukan pengalokasian frekuensi. Dari penelitian ini diperoleh hasil manajemen interferensi yang lebih efisien dengan menggunakan skenario ketiga [6]. B.Guo dan S.Sun dalam penelitiannya terkait manajemen interferensi komunikasi D2D pada cell edge. Tujuan dari penelitian ini adalah meningkatkan kapasitas jaringan seluler tersebut. Simulasi dilakukan dengan meletakkan (plotting) beberapa perangkat seluler konvensional dan beberapa perangkat D2D pada sebuah system jaringan seluler. Manajemen interferensi yang digunakan adalah algoritma Interference-Surpression-Area (ISA). Hasil yang diperoleh adalah peningkatan kapasitas signifikan dibandingkan dengan tanpa manajemen interferensi menggunakan algoritma ISA [7]. Y.V.Lima de Melo et al. pada penelitian mengenai beberapa skema metode power control dalam peningkatan efisiensi energi pada jaringan seluler dan komunikasi D2D. Dalam penelitian ini digunakan dua skema utama power control 7 8 yaitu soft dropping power control (SDPC), dan open loop power control (OLPC). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah skema SDPC memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan skema OLPC pada manajemen interferensi bagian jaringan seluler. Sedangkan skema OLPC lebih efisien pada manajemen interferensi pada komunikasi D2D [8]. N. Lee et al. pada penelitiannya terkait keberadaan perangkat D2D dalam cakupan jaringan seluler menggunakan algoritma stochastic geometry. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan kemungkinan perangkat MUE akan memperoleh resource yang cukup dengan memanajemen interferensi dari perangkat D2D sebanyak mungkin. Skema yang dilakukan adalah skema power control tersentralisasi dan power control terdesentralisasi. Hasil yang diperoleh adalah skema power control yang tersentalisasi mampu meningkatkan performa jaringan seluler dengan konsekuensi menggunakan resource pada komunikasi D2D. Sedangkan skema kedua tidak mengalami peningkatakn performa jaringan seluler, tapi mampu meningkatkan performa komunikasi D2D [9]. A. Abadi dalam penelitiannya terkait manajemen interferensi yang terjadi antara perangkat komunikasi D2D dengan perangkan komunikasi seluler konvensional. Tujuan dari penelitian ini adalah peningkatan performa jaringan ditinjau dari aspek SINR, throughput, dan BER. Terdapat dua skema power control yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penurunan daya pancar penginterferensi secara konstan dan penurunan daya penginterferensi berdasarkan perhitungan nilai rata-rata interferensinya. Hasil dari penelitian ini adalah metode power control mampu meningkatkan performa jaringan cukup signifikan [10]. 2.2. Jaringan Seluler Jaringan seluler merupakan sebuah sistem telekomunikasi yang mampu memberikan layanan komunikasi berupa suara, teks, maupun data. Yang mana akses ke layanan oleh pelanggan dapat dilakukan dalam kondisi diam maupun bergerak sehingga dalam proses komunikasinya tidak terkait pada media fisik, dengan kata lain proses komunikasi dilakukan secara nirkabel (wireless). Kata “seluler (cellular)” berasal dari kata “sel (cell)” yang berarti cakupan wilayah yang 9 kecil. Suatu sistem seluler terdiri dari beberapa sel kecil [11]. Dengan dilakukannya pembagian sel tersebut maka pengguna dapat melakukan akses ke layanan tanpa perlu khawatir akan terjadi pemutusan sambungan ketika sedang berkomunikasi dengan pengguna yang lain. Jaringan yang tersusun atas beberapa sel ini disebut dengan cluster. Terdapat beberapa jenis cluster yang terbagi berdasarkan jumlah sel dalam cluster tersebut, diantaranya 4,7, dan 12 sel dalam satu cluster [11]. Ilustrasi sebuah cluster dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah ini : Gambar 2.1 Sistem Cluster dengan 7 Sel [11] Sebuah sistem seluler dilakukan pemodelan sel hexagonal, dimana sebuah sel berbentuk segi-enam sama sisi untuk menggambarkan cakupan area geografisnya. Ilustrasi bentuk cakupan sebuah sel dapat dilihat pada gambar di bawah berikut ini: Gambar 2.2 Bentuk-Bentuk Model Sel : (a) Analisis; (b) Ideal; (c) Nyata [11] Dalam pemodelan secara analisis bentuk dari sebuah sel berbentuk hexagonal seperti pada gambar 2.2(a), dan dengan bentuk idealnya berbentuk lingkaran 10 sempurna seperti pada gambar 2.2(b). Namun, pada penerapannya sebuah sel memiliki bentuk yang tidak beraturan seperti ilustrasi pada gambar 2.2(c). Sebuah sel juga diklasifikasikan berdasarkan nilai besaran dari jari-jari yang dimiliki sel tersebut, berdasarkan jari-jarinya sel diklasifikasikan menjadi empat jenis sel yang dapat di lihat pada gambar di bawah ini : Gambar 2.3. Perbandingan Jari-Jari Sel [11] 2.3. Long Term Evolution (LTE) The Third Generation Partnership Project (3GPP) yang merupakan kolaborasi antara kelompok-kelompok asosiasi pengembang standar telekomunikasi mengenalkan salah satu proyek yang telah dibuat yaitu LTE. Teknologi LTE ini dikenal sebagai teknologi komunikasi seluler generasi ke-empat (4G) yang bertujuan untuk memperbaiki teknologi komunikasi seluler sebelumnya (3G) yaitu Universal Mobile Telecomunication System (UMTS) maupun High Speed Packet Access (HSPA) (3.5G). Berdasarkan teori, teknologi LTE menawarkan kecepatan transfer data mencapai 50Mbps pada sisi uplink dan mampu mencapai 100Mbps pada sisi downlink [12]. Setelah LTE dirilis, 3GPP terus melakukan pengembangan hingga 3GPP mengeluarkan LTE release 10 yaitu LTE-Advanced (LTE-A). LTE-A merupakan pengembangan lanjutan dari teknologi LTE yang memungkinkan jaringan memiliki capaian cakupan area yang lebih besar, lebih stabil, dan lebih cepat dari sebelumnya [14]. 11 2.3.1. Persyaratan Penyelenggara Teknologi Jaringan LTE Teknologi LTE berbasis pada packet switch, sehingga arsitektur jaringan LTE dirancang dengan tujuan mendukung trafik packet switch dengan mobilitas tinggi, Quality of Service (QoS), dan latency yang kecil. Teknologi ini memiliki standar yang telah ditetapkan oleh 3GPP pada 3GPP release 8. Standar tersebut adalah sebagai berikut [14] : 1. Laju data downlink bisa mencapai 100Mbps saat pengguna sedang bergerak dengan cepat dan 1Gbps saat bergerak pelan atau diam. Sementara laju data uplink dapat mencapai 50 Mbps; 2. Waktu tunda (delay) system kurang dari 10ms; 3. Efisiensi spektrum meningkat dua hingga empat kali lipat dari teknologi 3.5G; 4. Migrasi sistem yang hemat biaya dari teknologi 3.5G; 5. Meningkatkan layanan broadcast; 6. Menggunakan penyambungan packet switch sehingga memungkinkan sistem mengadopsi sistem Internet Protocol (IP) secara menyeluruh; 7. Bandwidth yang lebih fleksibel mulai dari 1,4MHz, 3 MHz, 5 MHz, 10 MHz, 15 MHz, dan 20 MHz; 8. Bekerja di berbagai spektrum frekuensi baik berpasangan (paired) maupun tak berpasangan (unpaired); 9. Dapat berkerja sama (inter-working) dengan sistem 3GPP maupun sistem non-3GPP yang ada. 2.3.2. Arsitektur Jaringan LTE Arsitektur jaringan LTE berbeda dengan generasi sebelumnya. Pada 3GPP TS 36.300 Release 10, 3GPP mengenalkan arsitektur dasar jaringan LTE. Pada Radio Access Network (RAN) berubah menjadi Evolved-Universal Terrestrial RAN (E-UTRAN), dan menggabungkan fungsi dari Node B dan Radio Network 12 Controller (RNC) menjadi Evolved Node B (eNB) . Pada core network juga berubah menjadi evolved Packet Core [1]. Berikut adalah gambaran dari arsitektur LTE : Gambar 2.4. Arsitektur Jaringan LTE [1] 2.4. Komunikasi Device-to-Device (D2D) D2D merupakan sebuah teknologi baru yang dikembangkan sebagai fitur dari sebuah perangkat telepon seluler pada generasi selanjutnya. Teknologi ini diciptakan dan dikembangkan bertujuan untuk menjangkau perangkat telepon seluler yang berada di luar area cakupan dari suatu jaringan seluler dengan memanfaatkan telepon seluler dengan fitur D2D sebagai relay. Sehingga teknologi ini dianggap mampu mengurangi beban kerja dari sebuah eNB, dimana teknologi D2D mampu mengomunikasikan dua UE atau llebih untuk berkomunikasi langsung tanpa melalui eNB [15]. Selanjutnya, dikembangkan teknologi komunikasi D2D yang beroprasi pada spektrum terlisensi, khususnya pada jaringan LTE. Hal ini dikarenakan kebutuhan terhadap tingkat keamanan yang lebih baik. Sehingga perangkat D2D dapat melakukan transmisi langsung dengan memanfaatkan sumberdaya yang sama. Perangkat D2D dapat melakukan control terhadap sumberdaya tersebut dengan melakukan kerjasama dengan eNB [15]. Kelebihan dari teknologi D2D adalah dimana perangkat mampu meringankan kerja dari sebuah eNB. Karena kemampuannya yang dimiliki memungkinkan dua perangkat atau lebih berkomunikasi secara langsung tanpa melalui eNB. Dimana salah satu perangkat akan berperan sebagai relay bagi pengguna yang lain dengan cara meneruskan broadcast dari eNB menuju perangkat yang berada di luar cakupan eNB tersebut. Dengan kemampuannya tersebut, teknologi ini juga 13 memiliki kelemahan, dimana dapat menginterferensi perangkat seluler konvensional yang berada di dekatnya [15]. 2.4.1. Prinsip Kerja Komunikasi D2D Teknologi ini memiliki prinsip kerja yang menyerupai teknologi Bluetooth dan wireless fidelity. Yang membedakan adalah komunikasi dengan teknologi D2D bekerja pada spektrum yang terlisensi sehingga mampu memberikan akses ke layanan lokal [15]. Dengan begitu interferensi yang timbul dapat dimanajemen. Komunikasi D2D dapat memberikan kemudahan dalam beberapa fitur layanan telekomunikasi seluler. Selain dapat mengurangi kepadatan trafik, perangkat D2D juga dapat menjadi relay, content distribution, celluler offloading, dan juga M2M communication [16]. Berikut adalah ilustrasi dari penggunaan perangkat berkemampuan komunikasi D2D dalam kehidupan sehari-hari : Gambar 2.5. Ilustrasi Implementasi dari Komunikasi D2D pada Jaringan Seluler [16] 2.4.2. Skema Komunikasi D2D Komunikasi D2D memiliki beberapa skema dalam kerjanya [10], diantaranya: 1. Peer-to-Peer D2D Skema komuniasi ini adalah komunikasi yang dilakukan hanya dengan melibatkan antara perangkat D2D saja. Kelebihan dari skema ini adalah kemampuannya dalam berkomunikasi dalam keadaan darurat, khususnya komunikasi ketika dalam cakupan wilayahnya tidak terdapat eNB. Sedangkan kelemahannya adalah kemampuannya ini bergantung dari jarak antara dua perangkat D2D tersebut. 14 Gambar 2.6. Ilustrasi Skema Komunikasi Peer-to-Peer D2D [10] 2. Cooperative D2D Skema ini adalah skema yang dilakukan dengan melibatkan perangkat lain (non-D2D) dalam proses transmisi informasi seperti eNB, dan MUE. Skema ini bekerja ketika dimana salah satu perangkat D2D (D2D A) memiliki peran ganda, yaitu sebagai transmitter terhadap perangkat D2D B, juga berperan sebagai relay MUE. Dengan asumsi bahwa MUE berada pada daerah badspot dari suatu jarring seluler eNB tersebut. Gambar 2.7. Ilustrasi Skema Komunikasi Cooperative D2D [10] 3. Multi-Hop D2D Skema ini adalah komunikasi dengan menggunakan beberapa skema komunikasi cooperative D2D. Sehingga salah satu perangkat berperan sebagai relay, kemudian menransmisikan informasi kepada perangkat lain. Atau dapat diartikan sebagai komunikasi dengan beberapa jalur melalui intermediate node yang dapat digunakan untuk menransmisikan sumber menuju tujuannya. 15 Gambar 2.8. Ilustrasi Skema Komunikasi Multi-Hop D2D [10] 2.5. Interferensi Komunikasi Seluler Interferensi merupakan salah satu faktor yang membatasi kinerja sistem jaringan seluler. Beberpa hal yang dapat menjadi penyebab sebuah interferensi antara lain mobile station yang berada pada sel yang sama, dua atau lebih unit Base Transceiver Station (BTS) yang berdekatan dan bekerja pada rentang frekuensi yang berdekatan atau sama pula [11]. 2.5.1. Manajemen interferensi dalam Komunikasi D2D Dalam komunikasi D2D, ketika ada dua node cukup dekat satu sama lain dan satu node menransmisikan data ke node yang lain secara langsung dalam cakupan infrastruktur jaringan seluler akan menimbulkan interferensi langsung ke perangkat yang lain. Khususnya ketika Base Station (BS) memberikan akses kepada perangkat D2D untuk menggunakan spektrum yang sama dengan perangkan MUE, maka perangkat D2D akan memperoleh lebih banyak keuntungan. Pertama, perangkat D2D akan mampu memanfaatkan resource yang digunakan secara optimal tanpa terganggu oleh perangkat MUE. Kedua, daya yang digunakan dalam transmisi lebih efisien. Shingga perangkat D2D mampu meningkatkan kapasitas dari sistem seluler, menghemat daya pancar dari UE, dan meningkatkan efisiensi spektrum sistem [13]. 16 Di sisi lain, keberadaan dari perangkat transmisi D2D (D2D-T) dan MUE yang berdekatan akan memberikan interferensi terhadap sistem jaringan seluler tersebut, sehingga terjadi penurunan performa [13]. Sehingga manajemen interferensi akan diperlukan untuk menjaga performa jaringan seluler tersebut. Skema interferensi yang dapat terjadi adalah seperti pada gambar berikut. Gambar 2.9. Skema Interferensi Sistem Jaringan seluler oleh perangkat D2D Pair [13] Dari gambar diatas, diperoleh prioritas dalam manajemen interferensinya. Skala prioritas dalam manajemen interferensinya dapat dilihat pada table berikut : Dalam memanajemen interferensi yang timbul, dapat digunakan beberapa metode seperti metode power control dan resource allocation [13]. Dalam penggunaan metode power control dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 2.10. Model Manajemen Interferensi dengan Metode Power Control [13] Dari gambar 2.10. prinsip dasar dari metode power control adalah dengan mengontrol daya yang digunakan untuk transmisi oleh perangkat D2D pair akan ditekan hingga pada toleransi yang digunakan dalam seluler tersebut. 17 2.6. Peningkatan Kapasitas Seluler Sebagai salah satu upaya pemenuhan kebutuhan akan layanan seluler yang semakin meningkat maka jumlah suatu kapasitas seluler juga harus ditingkatkan. Terdapat beberapa Teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan suatu kapasitas sistem [11] antara lain : 1. Cell Splitting Teknik ini dilakukan dengan membagi suatu sel yang besar menjadi beberapa sel berukuran lebih kecil. Dimana sel-sel kecil tersebut menerima layanan dari satu BS. Peningkatan kapasitas akan bergantung pada penambahan kanal per unit area-nya. 2. Sectoring Teknik ini digunakan untuk mengurangi interferensi yang terjadi akibat penggunaan frekuensi yang sama atau berdekatan. Dilakukan dengan melakukan pemasangan antenna direksional untuk melakukan pengulan frekuensi pada sudut tertentu. 3. Konsep Zona Mikro Teknik ini meningkatkan kapasitas sistem dengan memperluas zona cakupan dengan menggunakan zona sel mikro. Dimana membagi cakupan area melalui penempatan BS-nya. 2.7. Metode Power Control Dalam melakukan transmisi data pada sebuah sistem komunikasi nirkabel, daya (power) yang digunakan merupakan salah satu faktor penting. Dalam jaringan ad-hoc, metode power control membantu dalam beberapa fungsi seperti manajemen interferensi, manajemen energi, dan manajemen ketersambungan. Dalam manajemen interferensi secara alamiah didapati pada komunikasi nirkabel adalah sinyal saling menginterferensi satu sama lain. Metode ini mampu meningkatkan efisiensi penggunaan spectrum dan kualitas layanan [14]. 18 Power Control merupakan salah satu metode yang digunakan dalam memanajemen interferensi dalam komunikasi nirkabel, khususnya dalam komunikasi seluler. Metode ini bekerja dengan mengatur (mengontrol) besaran dari daya yang digunakan perangkat dalam transmisi baik oleh perangkat eNB maupun perangkat UE. Dalam komunikasi D2D sebuah perangkat mampu memancarkan sinyal sehingga perangkat lain (D2D Reciever atau D2D-R) dengan kemampuan yang sama mampu mendeteksi dan berkomunikasi dengan D2D Transmitter (D2D-T). Metode ini memperbaiki beberapa hal seperti SINR, throughput, dan [17]. Kontrol daya dalam transmisi yang dilakukan MUE maupun D2D-T merupakan hal yang dibutuhkan. Agar daya pancar sesuai dengan kebutuhan dan meningkatkan parameter QoS sehingga pengaruh interferensi yang diterima dapat diminimalisir. 2.8. Signal to Interference Noise Ratio (SINR) SINR merupakan nilai dari rasio antara daya sinyal yang diterima oleh pengguna (D2D maupun MUE) atau eNB terhadap jumlah daya interferensi dan daya noise yang terjadi. Besarnya nilai dari daya interferensi dan noise akan menyebabkan SINR pada suatu Komunikasi tidak memenuhi standar QoS. Nilai SINR akan semakin membaik ketika nilai daya yang diterima oleh pengguna semakin besar [18]. Namun daya yang diterima harus masih dalam ambang batas (threshold) yang telah ditetapkan. Dalam menentukan besarnya SINR digunakan persamaan 2.1. berikut : ππΌππ = π πΌ+π (2.1) dimana : SINR = nilai SINR P = Daya pancar transmitter I = Daya Interferensi diterima N = nilai Noise yang timbul 19 Nilai kebutuhan SINR akan berbeda sesuai dengan kebutuhan traffic-nya, pada table 2.1. berikut diberikan nilai kebutuhan SINR terhadap jenis akses layanan yang dilakukan [19] Table 2.1. Kebutuhan SINR terhadap Jenis Akses (Traffic) [19] No. Jenis Akses SINR (dB) 1 VoIP 0 2 Audio 0 3 Video 24 4 HTTP 1 5 FTP 11 2.9. Pathloss Pathloss merupakan sebuah metode pengukuran rugi-rugi pada suatu transmisi sinyal yang dapat disebabkan beberapa hal seperti cuaca, kondisi geografis temperatur udara dan lainnya. Dengan adanya perhitungan pathloss maka akan diketahui apakah suatu sinyal yang diukur mengalami pelemahan [20]. Dalam menghitung pathloss yang terjadi pada seluler link (jalur antara UE dengan eNB) digunakan persamaan sebagai berikut : πππΆπππ πΏπππ = 128,1 + 37,6(log(π[ππ]) (2.2) Sedangkan dalam menghitung pathloss yang terjadi pada D2D link (jalur antar UE) digunakan persamaan sebagai berikut : πππ·2π· πΏπππ = 148 + 40(log(π[ππ]) (2.3) dimana : Pl Cell Link : Pathloss Seluler link (dB); Pl D2D Link : Pathloss D2D link (dB); d : jarak antara dua perangkat yang dilakukan perhitungan pathloss (km) 20 2.10. Throughput Nilai throughput dapat dikatakan sebagai bandwidth aktual yang digunakan dari sebuah transmisi data pada proses komunikasi. Throughput merupakan salah satu parameter dalam menentukan kualitas suatu layanan komunikasi. Nilai throughput secara umum dapat dihitung menggunakan persamaan berikut [20] : πΆ = π΅ × log 2 (1 + ππΌππ ) dimana : C B SINR : Kapasitas throughput (Bit per second atau Bps) : nilai Bandwidth (Hz) : nilai rasio sinyal terhadap interferensi noise (2.4)