1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Aktivitas

advertisement
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta
meningkatkan suhu global. Kegiatan yang menyumbang emisi gas rumah kaca
dapat berasal dari pembakaran bahan bakar fosil serta deforestasi dan degradasi
hutan. Tahun 2015 tercatat sebagai tahun terpanas dalam periode lima tahunan
(2011 – 2015) dengan suhu 1 °C di atas era pra industri dengan kadar CO2 telah
melewati 400 ppm untuk pertama kalinya, yang terakhir kali terjadi pada hampir
3 juta tahun silam (WMO, 2015). Sementara itu, fenomena perubahan iklim dan
cuaca ekstrem juga telah terjadi di beberapa negara, diantaranya banjir di
Amerika, Inggris dan sejumlah Negara di Amerika selatan serta kebakaran di
Spanyol (Anonim, 2015)
Menurut Stern (2007) kontribusi sektor energi terhadap emisi gas rumah
kaca sebesar 24%, sektor transportasi dan industri masing-masing sebesar 14%
dan deforestasi sekitar 18 % dari emisi global.
Kawasan hutan Indonesia
mencapai luas 127 juta ha (Kemenhut, 2013). Sektor kehutanan dalam konteks
perubahan iklim masuk ke dalam sektor Land Use, Land Use Change and
Forestry (LULUCF), di Indonesia menyumbang 50% dari emisi gas rumah kaca
nasional (Wibowo et al., 2010). Sektor kehutanan berkontribusi sebagai
penyeimbang emisi gas rumah kaca dengan perannya sebagai penyerap maupun
sumber CO2 di atmosfer. Melalui proses fotosintesis, hutan menyerap CO2 di
atmosfer. Ketika terjadi degradasi dan deforestasi, hutan dapat menjadi sumber
emisi CO2. Upaya mitigasi emisi dapat dilakukan dengan menjaga dan
1
mempertahankan cadangan karbon yang ada serta meningkatkan serapan CO2
melalui pembangunan hutan tanaman dengan pengelolaan hutan lestari.
Payment for Environmental Services (PES) atau pembayaran atas jasa
lingkungan merupakan paradigma baru untuk mendorong upaya-upaya konservasi
dan penyelamatan lingkungan. Melalui PES, pihak yang melakukan konservasi
mendapat pendanaan dari pihak yang mendapat manfaat, yang diatur melalui
perjanjian/kesepakatan (Engel, S. dan Palmer, C., 2008). Karakteristik PES yaitu,
pembayaran yang fleksibel berdasarkan pelaksanaan secara sukarela. Konsep dan
pengalaman PES sesuai dengan kegiatan yang berdasarkan pada pendanaan karbon
(Kanounnikoff, 2009).
Pemerintah melalui Undang-Undang (UU) No 17 Tahun 2004 telah
meratifikasi Protokol Kyoto. Protokol Kyoto mengatur tiga mekanisme
penurunan emisi yang fleksibel bagi negara-negara industri (Annex 1),
mekanisme tersebut adalah Clean Development Mechanism (CDM), Joint
Implementation (JI) dan Emission Trading (ET). CDM merupakan satu-satunya
mekanisme yang melibatkan negara maju dan negara berkembang. Negara
berkembang melihat sebuah peluang untuk mencoba mengoptimalkan sumber
daya alam yang potensial untuk rosot karbon. Brazil menawarkan untuk
dikembangkan skema CDM yang dibiayai oleh negara-negara yang tidak mampu
mengurangi emisinya (Maryudi, 2015). CDM diatur dalam pasal 12 Protokol
Kyoto dengan tujuan (1) membantu negara-negara berkembang untuk
melaksanakan pembangunan berkelanjutan dan (2) membantu negara maju untuk
memenuhi target pengurangan emisi (Maryudi, 2015).
2
Dalam kegiatan CDM, negara Annex 1 mendanai kegiatan dan
memberikan/menyediakan bantuan teknis kepada negara non-Annex 1 tempat
pelaksanaan kegiatan. Salah satu kegiatan CDM yang menjadi fokus dan secara
langsung menyerap karbon adalah LULUCF yang dibatasi kegiatannya hanya
pada sektor afforestation dan reforestation (A&R). Kegiatan CDM untuk A&R
kurang menarik bagi investor dan tingkat pengurangan emisi dari kegiatan
tersebut tidak signifikan. Penyebab lain ketidakberhasilan CDM yang berasal
dari A&R adalah biaya transaksi tinggi dan sistem monitoring yang rumit
(Maryudi, 2015).
Negosiasi terkait transfer teknologi, pembiayaan adaptasi dan penetapan
target konkret pengurangan emisi memunculan mekanisme REDD yang
merupakan proses panjang dan diawali pada tahun 2003 oleh beberapa ilmuwan
Brazil mengenai konsep pengurangan emisi terkompensasi (compensated
reduction) (Maryudi, 2015). Pada COP 11 di Montreal Kanada, delegasi Papua
Nugini (PNG) dan Costa Rika secara resmi menyerahkan proposal RED
(Reducing Emission from Deforestation) yang didasarkan pada konsep
compensated reduction. Alasan utama REDD adalah harus ada insentif bagi
negara berkembang untuk mengurangi laju deforestasi dan bagi negara yang
berhasil melakukan ini seharusnya mendapatkan kompensasi finansial. Ide ini
disebut sebagai avoided deforestation/AD, yaitu pemberian insentif bagi
konservasi hutan melalui pemberian penghargaan terhadap karbon (Maryudi,
2015).
3
Salah satu pendekatan dan aksi untuk mengurangi deforestasi dan
degradasi hutan adalah Reducing Emissions from Deforestation and forest
Degradation (REDD) (Angelsen & Kanounikof, 2010). Penyelenggaraan
Conference of the Parties (COP) ke 13 tahun 2007 di Bali, menghasilkan REDD+
yang merupakan kerangka kerja REDD dengan memasukkan aspek konservasi,
pengelolaan hutan lestari dan peningkatan cadangan karbon. Para pihak yang
yang telah meratifikasi United Nations Framework Convention on Climate Change
( UNFCCC), sepakat mempelajari peluang untuk meningkatkan cadangan karbon
dan memberikan imbalan pada upaya rehabilitasi hutan. Pada COP ke 15 di
Copenhagen tahun 2009, dideklarasikan pembentukan suatu mekanisme yang
memungkinkan mobilisasi sumberdaya finansial dari negara maju untuk
mendukung usaha mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi serta upaya
untuk meningkatkan penyimpanan karbon. Inilah perjanjian internasional
pertama yang merekomendasikan bahwa sumber pendanaan perlu dikumpulkan
untuk mendukung REDD+. Pengurangan emisi yang berasal dari deforestasi yang
dapat dihindari dapat diperhitungkan sebagai kredit. Jumlah kredit karbon yang
diperoleh dalam waktu tertentu dapat dijual pada pasar karbon internasional melalui
skema REDD+ sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim. Mekanisme ini
diharapkan dapat diimplementasikan sesudah berakhirnya periode Protokol
Kyoto pada tahun 2012 (CIFOR, 2010).
Tantangan yang dihadapi dalam skema REDD+ ini salah satunya adalah
tekonologi penghitungan karbon. Agar hasil penurunan emisi mekanisme REDD+
dapat diperjualbelikan melalui mekanisme pasar, monitoring penurunan emisi harus
4
memenuhi kaidah Measurable, Reportable dan Verifiable (MRV). Saat ini, pasar
wajib dan pasar sukarela untuk perdagangan karbon terbentuk atas kesepakatan
bilateral antara pihak-pihak yang melakukan jual beli. Tahun 2011 terjadi transaksi
pasar karbon baik pasar wajib maupun sukarela total volume sebesar 10.281
MtCO2e atau senilai US$ 176.020 juta (World Bank, 2012). Diprediksi permintaan
untuk pasar karbon wajib pada 2013 – 2020 sebesar 1.600 MtCO2e, sementara pasar
karbon sukarela menempati pasar yang sangat kecil, kurang dari 0.1% dari total
volume transaksi pada tahun 2011. Program pengurangan emisi dari REDD+ tidak
berada dalam pasar wajib dan karbon hutan hanya menempati bagian kecil dari
pasar karbon global. Hampir semua skema penurunan emisi melalui REDD+
menggunakan transaksi di pasar sukarela dengan kisaran harga berada pada US$
9,2/ tCO2e (World Bank, 2013).
Adanya pasar karbon sukarela dengan aturan yang sederhana,
memungkinkan hutan tanaman terlibat perdagangan karbon dalam proyek REDD+.
Untuk terlibat dalam perdagangan karbon, harus mengetahui potensi kandungan
karbon dalam hutan tanaman tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
adalah mengetahui potensi biomasa dan karbon, spesies yang tumbuh dalam hutan
tanaman tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Hutan yang dikelola Perum Perhutani memiliki potensi sebagai penyerap
CO2 serta penyimpan karbon dan dapat berperan dalam mitigasi perubahan iklim di
sektor kehutanan. Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seluruh
modalnya dimiliki negara berupa kekayaan yang dipisahkan dan tidak terbagi atas
5
saham (PP No. 72 tahun 2010), Perhutani dituntut untuk meningkatkan pendapatan
negara dari sektor kehutanan, berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat desa yang berbatasan dengan kawasan hutan dan secara ekologis,
memiliki peranan dalam mengurangi emisi dan dampak perubahan iklim.
Tantangan yang dihadapi dalam skema REDD+ salah satunya adalah
tekonologi penghitungan karbon. Agar hasil penurunan emisi mekanisme REDD+
dapat diperjualbelikan melalui mekanisme pasar, monitoring penurunan emisi harus
memenuhi kaidah Measurable, Reportable dan Verifiable (MRV).
Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Surakarta
mempunyai 2 Kelas Perusahaan yaitu Kelas Perusahaan Jati dan Kelas Perusahaan
Pinus. Bagian Hutan Wonogiri merupakan Kelas Perusahaan Sonokeling, yang
pada jangka RPKH 2006 – 2015 berubah menjadi Kelas Perusahaan Jati.
Berubahnya Kelas Perusahaan, masih meninggalkan banyak jenis pohon yang
berasal dari Kelas Perusahaan sebelumnya yaitu jenis Sonokeling. Jenis sonobrit
tumbuh dominan disamping jenis Kelas Perusahaan sebelumnya yaitu sonokeling,
yang masih satu famili Fabaceace.
Sonobrit (Dalbergia sissoo) merupakan tanaman yang tumbuh pada hutan
tanaman di KPH Surakarta, dan banyak ditemui pada kelas perusahaan jati.
Menurut hasil risalah hutan, jenis tanaman sonobrit seluas 84,8 ha tersebar pada
tegakan kelas hutan TKL, TKLR dan HL yang tumbuh bersama dengan jenis rimba
campur. Potensi tanaman sonobrit menurut RTT tahun 2013 sebanyak 4.446 pohon
dan tahun 2014 sebesar 3.625 pohon.
6
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, beberapa
permasalahan yang ingin diungkap dalam penelitian ini:
1.
Berapakah potensi biomassa dan karbon sonobrit di KPH Surakarta ?
2.
Bagaimana bentuk persamaan allometric dan berapakah besarnya proporsi
kandungan biomassa dan karbon pada bagian-bagian (organ) tanaman sonobrit
?
3.
Bagaimana peluang sonobrit yang tumbuh pada hutan tanaman KPH Surakarta
dalam perdagangan karbon ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui proporsi simpanan, potensi biomasa dan karbon organ pohon
sonobrit serta serapan gas CO2.
2.
Menyusun persamaan allometrik pohon sonobrit pada hutan tanaman sonobrit
di KPH Surakarta.
3.
Mengetahui peluang Perum Perhutani dalam menyambut era perdagangan
karbon dunia.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian tentang inventarisasi biomassa dan karbon sonobrityang
dilakukan pada hutan tanaman di KPH Surakarta diharapkan dapat memberi
manfaat baik dari aspek akademis, perusahaan maupun manfaat terhadap
lingkungan. Beberapa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
7
1.
Dapat mengetahui potensi simpanan biomassa dan karbon pada bagian-bagian
tanaman serta potensi biomassa dan karbon tanaman sonobrit di hutan tanaman
di KPH Surakarta.
2.
Diperoleh persamaan allometrik biomassa dan karbon tanaman sonobrit pada
hutan tanaman di KPH Surakarta.
3.
Memberikan informasi mengenai peran tanaman sonobrit di KPH Surakarta
dalam mitigasi perubahan iklim dan peluang Perum Perhutani dalam sistem
perdagangan karbon global.
4.
Sebagai masukan kepada Perum Perhutani dalam pengambilan kebijakan
terhadap potensi biomasa dan karbon serta kemungkinannya dalam
perdagangan karbon.
1.5 Keaslian Penelitian
Penelitian tentang potensi biomasa dan karbon pohon sonobrit belum
pernah dilakukan di KPH Surakarta. Masih jarang yang meneliti potensi biomasa
dan karbon pohon sonobrit, dikarenakan jenis pohon ini kurang diperhitungkan
dalam hutan tanaman di Perum Perhutani.Sampai saat ini, masih sedikit
penelitian yang mengkaji tentang peluang Perum Perhutani untuk terlibat dalam
REDD+ dan perdagangan karbon. Sebagai BUMN pengelola kehutanan terbesar
yang wilayahnya berada di Pulau Jawa, dan merupakan pulau terpadat di
Indonesia, sudah selayaknya terlibat dalam kegiatan REDD+ serta perdagangan
karbon dan menjadi pionir, mengingat adanya beberapa aspek yang mendukung
untuk itu.
8
Diagram Alir Kerangka Pemikiran
Latar Belakang
PP No. 72 Tahun 2010 Tentang Perhutani
Permenhut P. 30 Tahun 2009 Tata Cara Pengurangan
Emisi dari REDD
Permenhut P. 20 Tahun 2012 Penyelenggaraan Karbon
Belum adanya pendugaan
allometrik jenis Sonobrit
Peluang Perum Perhutani
dalam REDD+
Dan Perdagangan Karbon
Potensi Hutan Tanaman
sebagai karbon sink
Perumusan Masalah
Penaksiran potensi biomasa dan karbon jenis Sonobrit serta
mencari peluang pasar untuk menjual potensi simpanan karbon
pada hutan tanaman Perum Perhutani
Pendekatan Metode
Survey lapangan untuk
penentuan pohon sampel
Potensi biomasa dan
karbon
Payment for
Environmental Services
REDD+
Hubungan DBH dengan
tinggi dan volume
pohon Tinggi = f (DBH)
Volume = f (DBH)
Perdagangan
Berat kering
Hubungan DBH
dengan biomasa pohon
: Allometrik biomassa
pohon = f (DBH)
BEF (Biomass
Expansion Factor)
Model allometrik
karbon pohon
Karbon = f (DBH)
Pasar
Pembeli Potensial
Diserbuk dan
dianalisis
dengan Metode
Walkley and
Black dengan
Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran
9
Download