DRAF 5 APRIL 2017 VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN TUJUAN 1: MENGAKHIRI KEMISKINAN DALAM SEGALA BENTUK DIMANAPUN Laporan ini berisikan tentang perkembangan pencapaian berbagai indikator tujuan 1, mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk. Pembahasan hanya difokuskan pada beberapa indikator penting seperti tingkat kemiskinan ekstrim, persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional, proporsi peserta jaminan kesehatan melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan indikator lainnya. Selain itu diuraikan pula tentang berbagai inisiatif dan capaian signifikan, emerging issues serta pembelajaran. I. ANALISIS TREND DAN KEBERHASILAN A. Mengentaskan Kemiskinan Hasil upaya Pemerintah Indonesia dalam mengakhiri kemiskinan, dapat dilihat dari tingkat kemiskinan yang terus menurun dalam dasawarsa terakhir. Berdasarkan pengukuran kemiskinan Bank Dunia yang menggunakan pendekatan Purchasing Power Parity 1(PPP), sekitar 8,8% penduduk Indonesia hidup di bawah US$ 1,25 per kapita per hari pada tahun 2015 (Gambar 1). Selain itu bila menggunakan Garis Kemiskinan Nasional2, terdapat 10,7% atau 27,76 juta penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2016 (Gambar 2). Namun, laju penurunan kemiskinan pada 3 tahun terakhir mengalami perlambatan yang mengindikasikan perlunya kerja yang lebih keras untuk mencapai sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 sebesar 78%. 17.75 16.58 23.52 22.66 15.42 14.15 13.33 19.48 12.49 11.96 17.08 11.37 11.25 11.22 10.86 10.70 Target 2015 2014 2013 2012 2011 2010 2009 2007 2008 Persentase Penduduk Miskin (%) Maret 2016 PPP US$ 1.25 7.55 2006 2015 9.73 8.80 2014 11.21 2013 12.93 2012 2011 2010 2009 2008 2007 2006 14.85 Sept 2016 28.32 Gambar 1.1. Perkembangan Pengurangan Kemiskinan Ekstrim 2006-2015 Sumber: Bank Dunia Gambar 1.2. Perkembangan Pengurangan Kemiskinan Berdasarkan Garis Kemiskinan Nasional, 2006-2016 Sumber : BPS, Susenas (2006-2015 Angka Maret) Meskipun laju penurunan kemiskinan melambat, tingkat kesejahteraan penduduk miskin membaik. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) menurun dari 3,43 pada tahun 2006 menjadi 1,74 pada tahun 2016, mengindikasikan kesenjangan rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan semakin kecil. Begitu pula dengan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) yang menurun dari 1,00 pada tahun 2006 menjadi 0,44 pada September tahun 2016. Hal ini mengindikasikan semakin mengecilnya distribusi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin (Gambar 3). 1 2 PPP dengan batas US$ 1.25 yang sama/flat mulai dari periode 2006-2015 Garis Kemiskinan (GK) Nasional yang digunakan sesuai dengan perkembangan GK di setiap tahun 1 DRAF 5 APRIL 2017 1.74 0.76 0.68 0.58 0.55 0.47 0.43 0.44 0.53 0.53 0.44 Sept 2016 1.94 Maret 2016 1.97 2015 1.75 2014 1.75 2013 1.88 2012 2.08 2011 2.21 2010 2.50 2009 0.84 2.77 2008 1.00 2007 2.99 2006 3.43 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Gambar 1.3. Tingkat Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Periode 2006-2016 Sumber: BPS, Susenas (2006-2015 Angka Maret) 3.75 4.15 4.52 5.04 5.36 5.36 5.84 6.00 6.41 6.99 7.14 7.67 8.00 8.20 8.37 8.77 9.24 10.27 10.70 11.19 11.85 12.77 13.10 13.19 13.39 13.86 14.09 16.02 16.43 17.03 17.63 19.26 22.01 24.88 28.40 Jakarta Bali Kalsel Kep Babel Banten Kalteng Kep Riau Kaltim Malut Kaltara Sumbar Riau Kalbar Sulut Jambi Jabar Sulsel Sumut Indonesia Sulbar Jatim Sultra DIY Jateng Sumsel Lampung Sulteng NTB Aceh Bengkulu Gorontalo Maluku NTT Papua Barat Papua Persentase (%) Disparitas laju penurunan kemiskinan antarwilayah masih menjadi tantangan berat karena laju penurunan kemiskinan terjadi secara tidak merata. Masih cukup banyak daerah yang memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata nasional. Beberapa provinsi di wilayah Indonesia Timur memiliki tingkat kemiskinan cukup tinggi, seperti Provinsi Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Secara umum, kemiskinan di wilayah perdesaan lebih tinggi dari wilayah perkotaan. Gambar 1.4. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Berdasarkan Provinsi Sumber: BPS, Susenas (Angka September 2016) Hal ini diikuti oleh ketimpangan yang melebar antar kelompok pendapatan. Perkembangan gini rasio Indonesia pada periode 2006-2016 menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk di perkotaan relatif lebih tinggi dibandingkan di perdesaan. 0.430 0.374 0.380 0.330 0.376 0.357 0.280 0.230 0.369 0.350 0.371 0.302 0.304 2007 2008 0.276 2006 0.422 0.425 0.431 0.428 0.428 0.41 0.41 0.413 0.406 0.408 0.410 0.409 0.397 0.394 0.382 0.362 0.378 0.357 0.340 0.315 0.330 0.320 0.319 2013 2014 0.334 0.327 2015 Maret Sept 2016 2016 0.316 0.288 2009 2010 Perkotaan 2011 2012 Perdesaan Total Gambar 1.5. Gini Rasio Perkotaan, Pedesaan, dan Total pada Periode 2006-2016 Sumber: BPS, Susenas (2006-2015 Angka Maret) B. Upaya Perlindungan Sosial Strategi penanggulangan kemiskinan di Indonesia dalam RPJMN 2015-2019 bertumpu pada 3 pilar, yaitu perlindungan sosial yang komprehensif, peningkatan pelayanan dasar, dan penghidupan berkelanjutan. Sejalan dengan pengembangan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), pada tahun 2014 Pemerintah mulai melaksanakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Mulai pertengahan tahun 2015, dilaksanakan 4 program lainnya melengkapi SJSN, yaitu jaminan 2 DRAF 5 APRIL 2017 kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pensiun. Sejalan dengan itu, beberapa program lainnya juga mendukung keberhasilan pengurangan kemiskinan, antara lain: Jumlah (Juta Orang) Perluasan Kepesertaan Jaminan Kesehatan Proporsi penduduk yang tercakup dalam JKN melalui penerbitan Kartu Indonesia Sehat (KIS) terus meningkat dari 51,8% pada tahun 2014 menjadi 66,4% pada akhir 2016. Cakupan tersebut tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk meningkatkan jumlah penduduk miskin dan rentan sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI). Pada tahun 2016, jumlah PBI mencapai sekitar 36% dari total penduduk. 200.0 171.9 156.8 150.0 100.0 117.0 113.4 Jan 2014 86.4 86.4 87.8 91.1 50.0 21.3 37.9 24.3 41.0 Des 2014 24.4 19.9 13.9 5.5 3.7 8.811.2 Des 2015 15.4 Des 2016 0.0 Miskin dan Rentan Pekerja Formal Pekerja Informal dan Bukan Pekerja Jaminan Kesehatan Daerah Total Gambar 1.6. Perkembangan Kepesertaan JKN, 2014-2016 Sumber: BPJS Kesehatan, 2016 Perluasan Cakupan Program Bantuan Sosial Bagi Penduduk Miskin Untuk mengurangi beban penduduk miskin, pelaksanaan program bantuan sosial bagi penduduk miskin dan rentan diperluas melalui komplementaritas program dan integrasi satu kartu. Dengan hal tersebut, pelaksanan bantuan sosial dapat lebih tepat sasaran dan efektif untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Upaya ini diawali dengan pengembangan Basis Data Terpadu (BDT), yang berisi data by name by address 40% penduduk dengan tingkat kesejahteraan terendah. Pengintegrasian bantuan sosial dimulai bagi penerima bantuan tunai bersyarat atau Program Keluarga Harapan (PKH) dengan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) melalui Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga penerima PKH yang terdiri dari anak balita dan usia sekolah, serta ibu hamil, penyandang disabilitas berat dan lanjut usia terlantar (>70 tahun), dilaksanakan Family Development Session (FDS) setiap bulannya. Pelatihan FDS terdiri atas modul parenting education, perlindungan anak, pola hidup sehat, dan pengelolaan keuangan keluarga. 6,000.0 Cakupan KPM (Ribu) 6,000.0 10,000.0 5,000.0 2,326.5 3,000.0 2,000.0 - 8,000.0 3,500.0 4,000.0 1,000.0 12,000.0 1,052.2 2,797.8 10,039.0 4,000.0 6,471.0 1,492.5 5,548.0 2,000.0 3,536.0 929.4 508.0 767.6 923.9 1,867.0 0.6 0.7 0.4 0.8 1,282.2 2007 2008 2009 2010 2011 Alokasi Anggaran (Milyar) 2012 2013 6,000.0 Alokasi Anggaran (Milyar) 7,000.0 2014 2015 2016 Cakupan KPM (Ribu) Gambar 1.7. Perkembangan Jumlah Peserta dan Alokasi Anggaran PKH Sumber: Kementerian Sosial, Laporan Berbagai Tahun 3 DRAF 5 APRIL 2017 Untuk memastikan kecukupan gizi, Pemerintah menyalurkan subsidi beras sejahtera (Rastra) sebanyak 15 kg/bulan/keluarga bagi 15,5 juta Keluarga miskin dan rentan. Secara bertahap Rastra dialihkan menjadi BPNT agar keluarga miskin dan rentan dapat membeli pangan tidak hanya beras, namun juga pangan bergizi lainnya seperti gula, minyak, tepung dan telor di e-warong lokal yang menjadi agen bank. Tahun 2017 BPNT dilaksanakan di 44 kota, pada tahun 2018 akan diperluas ke seluruh kota dan sebagian besar kabupaten. Selain itu, untuk meningkatkan kondisi ekonomi penduduk miskin Pemerintah memberikan stimulan modal usaha bagi fakir miskin melalui kegiatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dan Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Program KUBE juga dilengkapi dengan rehabilitasi rumah tidak layak huni dan perbaikan sarana lingkungan di lokasi yang memerlukan. Khususnya bagi masyarakat adat di daerah terpencil, diberikan pemberdayaan sosial yang meliputi pemberian jaminan hidup, bantuan rumah, dan bimbingan sosial. Persentase anak usia 12Persentase 23 bulan yang persalinan di mendapat fasilitas imunisasi kesehatan dasar lengkap C. Akses terhadap Pelayanan Dasar Persalinan di Fasilitas Kesehatan dan Imunisasi Dasar Lengkap Pada Anak Salah satu upaya kunci mempercepat penurunan angka kematian ibu adalah memastikan setiap persalinan dilaksanakan di fasilitas kesehatan. Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan peningkatan persalinan di fasilitas kesehatan dari 46% (2007) menjadi 63,2% (2012). Tren peningkatan yang lebih tinggi terjadi pada kelompok 40% penduduk berpendapatan terbawah, yaitu dari 21,9% (2007) menjadi 42,5% (2012). Untuk cakupan imunisasi, data SDKI menunjukkan penurunan persentase anak usia 12-23 bulan yang mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Cakupan imunisasi dasar lengkap menurut catatan Kartu Menuju Sehat (KMS) turun dari 73,3% (2007) menjadi 66,7% (2012). Hal serupa terjadi pada 40% penduduk berpendapatan terbawah, cakupan menurun dari 68,1% (2007) menjadi 59,7% pada tahun 2012. Jika dibandingkan dengan kelompok berpendapatan tertinggi, capaian tersebut menunjukkan masih terjadinya ketimpangan akses terhadap pelayanan kesehatan. Kelompok penduduk berpendapatan tertinggi Rata-rata nasional Kelompok 40% penduduk berpendapatan terbawah Kelompok penduduk berpendapatan tertinggi Rata-rata nasional Kelompok 40% penduduk berpendapatan terbawah 21.9 0 2007 46.1 42.5 20 40 60 73.3 79.2 66.7 73.3 59.7 68.1 88.1 83.3 63.2 80 100 2012 Gambar 1.8. Capaian Persalinan di Fasilitas Kesehatan dan Imunisasi Dasar Lengkap Sumber: BPS, SDKI (2007 dan 2012) Prevalensi Penggunaan Metode Kontrasepsi (CPR) Semua Cara Pada Pasangan Usia Subur (PUS) Usia 15-49 Tahun Yang Berstatus Kawin Prevalensi pemakaian kontrasepsi (contraceptive prevalence rate/CPR) semua cara pada masyarakat miskin dan rentan (kesejahteraan 40% terendah) mengalami penurunan dari 64,53% pada tahun 2015 menjadi 64,28% pada tahun 2016. Dalam upaya meningkatkan layanan kesehatan reproduksi, perlu dilakukan edukasi mengenai manfaat pemakaian kontrasepsi bagi masyarakat miskin dan rentan. 4 Persentase (%) DRAF 5 APRIL 2017 64.70 64.53 64.28 64.20 63.70 2015 2016 Gambar 1.9. Angka Pemakaian Kontrasepsi Semua Cara pada Pasangan Usia Subur dengan Tingkat Kesejahteraan 40% Terendah Sumber: BPS, Susenas Persentase (%) Peningkatan Akses Terhadap Layanan Sumber Air Minum Layak dan Berkelanjutan Akses terhadap layanan sumber air minum layak senantiasa ditingkatkan. Masyarakat miskin dan rentan (kesejahteraan 40% terendah) yang telah memperoleh air minum layak mengalami peningkatan dari 61,57% pada tahun 2015 menjadi 61,94% pada tahun 2016. 61.94 62.0 61.57 61.5 61.0 2015 2016 Gambar 1.10. Akses Terhadap Air Minum Layak pada Kelompok Masyarakat dengan Tingkat Kesejahteraan 40% Terendah Sumber : BPS, Susenas Persentase (%) Peningkatan Akses Terhadap Layanan Sanitasi Layak Akses sanitasi layak pada kelompok masyarakat miskin dan rentan mengalami peningkatan dari 47,76% pada tahun 2015 menjadi 54,12% pada tahun 2016. Pemerintah menargetkan pelayanan sanitasi layak kepada masyarakat terpenuhi 100% pada tahun 2019. 54.12 55 50 47.76 45 40 2015 2016 Gambar 1.11. Akses Sanitasi Layak Berdasarkan pada Kelompok Masyarakat dengan Tingkat Kesejahteraan 40% Terendah Sumber: BPS, Susenas Persentase Rumah Tangga Kumuh Perkotaan Terjadi penurunan persentase rumah tangga kumuh perkotaan berdasarkan tingkat kesejahteraan 40% terendah (miskin dan rentan) dari 12,60% pada tahun 2015 menjadi 10,53% pada tahun 2016. 5 Persentase (%) DRAF 5 APRIL 2017 12.60 13 12 11 10 9 10.53 2015 2016 Gambar 1.12. Persentase Rumah Tangga Kumuh Perkotaan dengan Tingkat Kesejahteraan 40% Terendah Sumber: BPS, Susenas Rasio Angka Partisipasi Murni (APM) Perempuan/Laki-laki Rasio angka partisipasi murni perempuan/laki-laki di Sekolah Dasar (SD) pada kelompok masyarakat miskin dan rentan di tahun 2016 mengalami penurunan menjadi 99,93%. Sedangkan angka partisipasi murni perempuan/laki-laki di Sekolah Menengah Pertama (SMP) meningkat menjadi 107,93%, menunjukkan terjadi peningkatan jumlah murid perempuan dibandingkan lakilaki di jenjang SMP. Begitu juga angka partisipasi murni perempuan/laki-laki di Sekolah Menengah Atas (SMA) meningkat menjadi 112,19%, menunjukkan terjadi peningkatan jumlah murid perempuan dibandingkan laki-laki di jenjang SMA. 112 109 106 103 100 97 94 112.19 107.44 107.93 105.78 100.43 99.93 SD/MI/sederajat SMP/MTs/sederajat 2015 SMA/MA/sederajat 2016 Gambar 1.13. Rasio Angka Partisipasi Murni pada Murid Perempuan/Laki-laki dengan Tingkat Kesejahteraan 40% Terendah Sumber: BPS, Susenas Kepemilikan Akta Kelahiran Untuk memastikan akses layanan dasar, kepemilikan akta kelahiran terus ditingkatkan. Pada tahun 2016, cakupan kepemilikan akta lahir penduduk usia 0-17 tahun untuk penduduk dengan tingkat kesejahteraan terendah masih perlu terus diupayakan. Beberapa upaya khusus yang dilakukan untuk mendorong kepemilikian akta kelahiran terutama di daerah tertinggal antara lain dengan mengadakan edukasi, pengadilan keliling, dan melengkapi kerangka regulasi. 100 80 70.3 88.2 83.3 78.0 93.9 60 40 20 0 Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Gambar 1.14. Persentase Penduduk Usia 0-17 Tahun dengan Kepemilikan Akta Kelahiran Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan Sumber: BPS, Susenas Maret 2016 6 DRAF 5 APRIL 2017 Persentase (%) Akses Sumber Penerangan Antara tahun 2015 dan 2016 terjadi peningkatan persentase rumah tangga miskin dan rentan (kesejahteraan 40% terendah) terhadap akses sumber penerangan dari 95,74% menjadi 96,22%. Meningkatnya akses masyarakat miskin terhadap penerangan akan memperbaiki kualitas hidup mereka. 96.5 96.22 96.0 95.74 95.5 2015 2016 Gambar 1.15. Persentase Rumah Tangga Miskin dan Rentan yang Sumber Penerangan Utamanya Listrik baik dari PLN dan Bukan PLN Sumber: BPS, Susenas D. Membangun Ketahanan Masyarakat Miskin dan Rentan terhadap Bencana Pelayanan Dasar Kepada Korban Bencana Rumah tangga miskin cenderung rentan dalam menghadapi dampak bencana dan untuk tinggal dan bekerja di daerah yang berisiko terkena bencana. Daerah dengan kepadatan penduduk miskin yang tinggi memiliki frekuensi terjadinya bencana yang tinggi. Kelompok dengan mata pencaharian yang bergantung pada cuaca dan iklim yang memiliki dampak risiko bencana paling tinggi (seperti El Nino/kekeringan) sebagian besarnya adalah rumah tangga miskin seperti buruh tani, produsen tanaman pangan, dan nelayan skala kecil. Bantuan pemerintah kepada korban bencana alam khususnya kelompok masyarakat miskin dan rentan (kesejahteraan 40% terendah) meningkat dari 66.625 korban jiwa pada tahun 2010 menjadi 200.000 korban jiwa pada tahun 2014. Begitu juga dengan jumlah petugas penanggulangan bencana meningkat dari 5.310 orang pada tahun 2010 menjadi 5.740 orang pada tahun 2014. 200,000 (a) (b) 5,310 66,625 Korban bencana alam yang dibantu dan dilayani (Jiwa) 2010 5,740 2014 Pemantapan petugas penanggulangan bencana (Orang) 2010 2014 Gambar 1.16. Pelayanan Dasar Kepada Korban Bencana Alam Sumber: Kementerian Sosial, Laporan Tahunan Sedangkan, bantuan pemerintah kepada korban bencana sosial diantaranya berupa bantuan kedaruratan dan pemulihan sosial meningkat dari 6.700 jiwa pada tahun 2010 menjadi 20.569 jiwa pada tahun 2014 (Gambar 17.a). Dalam pelaksanaan pemenuhan pelayanan dasar korban bencana sosial di lokasi bencana, tidak terlepas dari dukungan SDM relawan sosial Taruna Siaga Bencana (Tagana) dan tenaga pelopor yang tangguh dan berkomitmen tinggi. Pembentukan dan pelatihan tenaga pelopor meningkat dari 100 orang pada tahun 2010 menjadi 295 orang pada tahun 2014 (Gambar 17.b). 7 DRAF 5 APRIL 2017 (a) 20,569 100 6,700 2010 295 (b) 2014 Bantuan Kedaruratan dan Pemulihan Sosial (Jiwa) 2010 2014 Pembentukan dan Pelatihan Tenaga Pelopor (Orang) Gambar 1.17. Pelayanan Dasar Kepada Korban Bencana Sosial Sumber: Kementerian Sosial, Laporan Tahunan II. TANTANGAN DAN CARA MENGATASI TANTANGAN Selain pencapaian di atas, masih dijumpai beberapa tantangan dalam pengurangan kemiskinan. Beberapa tantangan dan langkah-langkah penyelesaiannya adalah sebagai berikut: 1. Basis Data Terpadu (BDT) sebagai acuan kepesertaan program penanggulangan kemiskinan belum optimal. Hal ini disebabkan antara lain perubahan tingkat kesejahteraan rumah tangga yang sangat dinamis, mekanisme pemutakhiran belum sistematis, dan BDT belum dimanfaatkan oleh seluruh stakeholder pelaksana program kemiskinan. Langkah perbaikan yang dilakukan antara lain mengembangkan skema Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) dan mekanisme pendaftaran mandiri (MPM) dengan melibatkan pemerintah daerah. 2. Disparitas Pencapaian Sasaran Penanggulangan Kemiskinan Antar Daerah. Keberadaan dan kapasitas kelembagaan penanggulangan kemiskinan yang belum merata menyebabkan perencanaan di daerah belum pro-poor sesuai dengan kondisi daerah. Langkah perbaikan yang dilakukan antara lain mengembangkan kelembagaan dan peningkatan kapasitas penanggulangan kemiskinan melalui Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD), serta sinkronisasi dan harmonisasi target penanggulangan kemiskinan di dokumen perencanaan. 3. Disparitas Pencapaian Sasaran Penanggulangan Kemiskinan Antar Daerah. Keberadaan dan kapasitas kelembagaan penanggulangan kemiskinan yang belum kuat sehingga target dalam dokumen perencanaan tidak tercapai. Langkah perbaikan yang dilakukan antara lain melakukan inovasi dalam mengatasi kerentanan, kemiskinan dan ketimpangan melalui intensifikasi program penanggulangan kemiskinan khususnya di wilayah perkotaan, dan pengembangan program yang bertujuan meningkatkan kapasitas kerja kelompok miskin dan rentan. 4. Pembangunan Perdesaan yang belum sepenuhnya terarah. Beberapa permasalahan mencakup anggaran dana desa cukup besar dan cenderung meningkat setiap tahun, formulasi alokasi dana desa menghasilkan distribusi yang timpang antar wilayah. Selain itu pemanfaatan Dana Desa belum memiliki rencana induk yang jelas dengan outcome jangka panjang yang terukur, serta kualitas pendampingan yang relatif minimal. Langkah perbaikan yang dilakukan antara lain mengintegrasikan Dana Desa sebagai bagian dari upaya pembangunan perdesaan, reformulasi alokasi dana desa agar sesuai dengan kebutuhan wilayah, penyusunan kerangka induk dan outcome jangka panjang dalam pemanfaatan dana desa, serta peningkatan keberadaan dan kualitas pendamping desa melalui seleksi dan pelatihan yang terstruktur. 5. Insiatif upaya penangulangan kemiskinan yang berbasis pada peningkatan pendapatan masih rendah. Beberapa masalah mencakup program perlindungan sosial hanya mampu mancakup kurang dari 30% total pengeluaran rumah tangga miskin. Di sisi lain peningkatan yang signifikan berpotensi menciptakan ketergantungan rumah tangga miskin dan rentan jika tidak di imbangi dengan program peningkatan pendapatan. Aspek peningkatan kapasitas kerja bagi kelompok miskin dan rentan sangat penting untuk meningkatkan pendapatan (seperti: akses pekerjaan, usaha, pembiayaan dan kemampuan). Langkah perbaikan yang dilakukan antara lain peningkatan kapasitas kerja bagi kelompok muda dan kelompok perempuan, pendampingan dan pelatihan oleh penyuluh pertanian (produksi dan pemasaran), akses pembiayaan modal UMKM 8 DRAF 5 APRIL 2017 6. 7. 8. dan pertanian, memperkuat input produksi: supply chain diperkotaan dan akses pupuk, benih dan obat-obatan, program fokus pada keunggulan wilayah, meningkatkan produktivitas sektor industri sebagai sektor penyerapan tenaga kerja diwilayah perkotaan, pengembangan agroindustri di wilayah perdesaan, dan Program Nasional Keuangan Inkusif yang menjamin sistem keuangan yang berfungsi baik menjangkau setiap individu. Efektivitas Pelaksanaan program perlindungan sosial untuk rumah tangga/keluarga miskin dan rentan masih terkendala di beberapa aspek diantaranya BDT belum menjadi sumber data penetapan sasaran, rendahnya tingkat komplementaritas penerima manfaat program, dan pelaksanaan program yang belum sepenuhnya sesuai dengan tujuan dan rancangan program. Langkah perbaikan yang dilakukan antara lain menyempurnakan pelaksanaan program perlindungan sosial untuk keluarga miskin dan rentan, mengintegrasikan sasaran penerima manfaat program menggunakan BDT, meningkatkan komplementaritas penerima manfaat program dengan menggunakan BDT sebagai data penetapan sasaran, dan perbaikan pelaksanaan program disesuikan dengan tujuan dan rancangan program. Koordinasi Kelembagaan Program yang masih belum terintegrasi. Kelembagaan pelaksana program yang berbeda berpotensi tidak terintegrasi dan saling melengkapi antar program, seperti KIP/BSM: Kemendikbud/Kemenag, KIS/JKN: Kemenkses, dan PKH, Rastra: Kemensos. Langkah perbaikan yang dilakukan antara lain integrasi kelembagaan pelaksana program untuk Konsolidasi program nasional penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan yang mengintegrasikan program perlindungan sosial (pendekatan pengeluaran), Kelembagaan strategis penanggulangan kemiskinan bertanggungjawab penuh kepada presiden/wakil presiden, dan Kepesertaan dan tingkat kolektabilitas iuran pekerja sektor informal yang masih rendah. Edukasi, inovasi pendaftaran, pengumpulan iuran, dan pembayaran manfaat/klaim yang belum efektif dan memudahkan perluasan kepesertaan PBI. Langkah perbaikan yang dilakukan perlu didukung dengan database yang up-to-date dan targeting yang akurat, perbaikan infrastruktur kesehatan dan upaya mendekatkan akses pelayanan kesehatan kepada masyarakat, serta pengembangan strategi komunikasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya imunisasi. III. INOVASI DAN UPAYA PENTING PENCAPAIAN TUJUAN 1. Turunnya persentase penduduk di bawah garis kemiskinan nasional dengan sasaran penurunan kemiskinan 7-8% pada tahun 2019, serta pengembangan Indeks Kemiskinan Multidimensi. 2. Di bidang kesehatan telah dilaksanakan konsep universal coverage, meliputi: a) Pemberian jaminan kesehatan bagi penduduk miskin yang iurannya dibayarkan pemerintah sebagai peserta program jaminan kesehatan. Target cakupan PBI di tahun 2016 adalah 36% dari total penduduk, dan akan mencapai 40% penduduk pada tahun 2019. b) Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan dan Kementerian/Lembaga lain melakukan verifikasi validasi data PBI setiap 6 bulan sekali, yang hasilnya ditetapkan melalui peraturan menteri sosial. c) Konsep Universal Health Coverage yang diterapkan tidak semata-mata hanya perlindungan terhadap biaya kesehatan untuk seluruh masyarakat namun juga peningkatan akses pelayanan dan kualitas pelayanan. 3. Peningkatan Pelayanan Kesehatan bagi Ibu meliputi: a. Program Jaminan Persalinan (Jampersal) yang diimplementasikan mulai tahun 2011 untuk menyediakan pelayanan gratis untuk wanita hamil yang tidak mempunyai asuransi kesehatan Pada tahun 2016 ruang lingkup Jampersal mencakup pembiayaan rumah tunggu kehamilan, biaya operasional ibu hamil, tenaga kesehatan dan pendamping, serta biaya transportasi, yang disalurkan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) non fisik. b. Persalinan di fasilitas kesehatan (faskes) mencakup persalinan di Rumah Sakit/Rumah Sakit Bersalin, Klinik/Bidan/Praktek Dokter, Puskesmas/Pustu/Polindes. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam mendorong ibu hamil agar bersalin di faskes yaitu dengan melakukan program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) dan Kelas Ibu Hamil. 9 DRAF 5 APRIL 2017 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Pemerintah juga telah memfasilitasi masyarakat di daerah yang sulit akses dengan menyediakan Rumah Tunggu Kelahiran (RTK) yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk menunggu waktu kelahiran jika rumahnya jauh dari faskes. c. Terkait dengan indikator kontrasepsi bagi Pasangan Usia Subur (PUS), Kemenkes bekerja sama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Bencana Nasional (BKKBN) untuk melakukan konseling terhadap ibu hamil agar melakukan program Keluarga Berencana (KB) pasca persalinan dan juga remaja putri melalui Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Peningkatan Pelayanan Dasar Imunisasi Dasar Lengkap meliputi: a) Pemberian imunisasi dasar lengkap pada anak usia hingga 1 tahun yang terdiri atas DPT (3 kali), Polio (4 kali), campak (1 kali), BCG (1 kali), dan hepatitis B (4 kali). b) Penyelenggaraan Pekan Imunisasi Nasional, Kampanye Campak Polio dan Gerakan Akselerasi Imunisasi Nasional Universal Child Immunization (GAIN-UCI). c) Penyediaan vaksin secara gratis untuk diberikan ke puskesmas. Program pendekatan keluarga merupakan salah satu bentuk upaya menjaring masyarakat dengan melakukan kunjungan keluarga bagi keluarga dengan balita yang tidak datang ke puskesmas untuk imunisasi. Bagi kabupaten yang mempunyai daerah-daerah sulit dijangkau, pelayanan imunisasi dilakukan pendekatan SOS, yaitu pelayanan imunisasi minimal 4 kali dalam setahun. Penempatan tenaga kesehatan strategis melalui penugasan khusus dan juga berbasis tim (Nusantara Sehat) untuk memenuhi kebutuhan SDM kesehatan terutama di daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan (DTPK). Pemenuhan kebutuhan dasar dan pelayanan dukungan psikososial bagi korban bencana. Untuk memberikan rasa aman, mengurangi reaksi-reaksi emosional yang tidak menyenangkan seta mempersiapkan untuk pengkodisian kembali ke situasi normal dan rutinitas diberikan pelayanan dukungan psikososial oleh pendamping yang terlatih. Perlindungan sosial yang terintegrasi bagi penerima bantuan PKH untuk mempercepat pengentasan kemiskinan melalui bantuan sosial dan subsidi tepat sasaran melalui penyaluran tunai (reguler) dan non tunai melalui e Warong KUBe PKH dan Agen bank Lakupandai. Verifikasi dan Validasi Basis Data Terpadu: a) Perluasan pelaksanaan metode pemutakhiran basis data terpadu melalui sistem layanan dan rujukan terpadu serta metode pemutakhiran mandiri guna menjamin efektifitas dan efisiensi pelaksanan program penanggulangan kemiskinan. b) Penguatan mekanisme pendampingan di daerah secara berkesinambungan, melalui peningkatan ketersediaan fasilitas pendukung dan kapasitas SDM dan sertifikasi pekerja sosial yang akan melakukan pemutakhiran data. c) Penyelarasan kebijakan satu kartu dan akun bantuan sosial dengan kebijakan data kependudukan (NIK) yang akurat, kelengkapan dokumen identitas hukum agar penduduk miskin dapat mengakses pendidikan, kesehatan, layanan kesejahteraan sosial, dan perlindungan hukum. Perluasan pelayanan dasar melalui peningkatan ketersediaan infrastruktur dan sarana serta pengembangan dan penguatan sistem penyediaan layanan dasar. Peningkatan efektivitas koordinasi kebijakan dan implementasi program penanggulangan kemiskinan melalui TKPKD. IV. EMERGING ISSUES 1. Indeks Kemiskinan Multidimensi (Multidimentional Poverty Index/MPI) a) Kebutuhan MPI Perkembangan studi tentang kemiskinan mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Pada tahun 2010, United National Development Program (UNDP) dan Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI) telah merumuskan suatu pengukuran baru mengenai kemiskinan yaitu melalui Multidimensional Poverty Index (MPI). MPI pertama kali muncul pada laporan Human Development Report (HDR) Tahun 2010. Metode ini digunakan guna melengkapi 10 DRAF 5 APRIL 2017 pengukuran kemiskinan yang selama ini ada dengan pendekatan kebutuhan dasar (pendekatan moneter). Beberapa keunggulan dari MPI seperti yang disebutkan pada Alkire dan Seth (2009) diantaranya adalah: cocok dan tepat diterapkan pada data ordinal atau data yang bersifat kategorik; fokus pada kemiskinan dan deprivasi, memperlakukan setiap dimensi secara independen terhadap dimensi lain tanpa mengasumsikan substitutabilitas antar dimensi; fleksibel untuk menerapkan pembobot yang setimbang atau berbeda pada dimensi yang berbeda tergantung pada kepentingan relatifnya; robust dalam mengidentifikasi individu termiskin dari penduduk miskin dengan menaikkan aggregate cutoff point; informatif bagi kebijakan karena mampu menunjukkan dimensi apa yang dominan mempengaruhi kemiskinan multidimensi pada wilayah/penduduk tertentu. MPI melihat struktur kemiskinan secara lebih luas bukan sekedar pengeluaran atau konsumsi tapi mendefiniskan secara multidimensi seperti keterbatasan akses terhadap pendidikan, kesehatan dan kualitas hidup. b) Gagasan yang Sudah Ada Pada tahun 2015, Perkumpulan Prakarsa, suatu lembaga penelitian di Indonesia telah melakukan suatu kajian dalam menghitung kemiskinan multidimensi dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2012-2014. Dalam mengukur MPI, Prakarsa menggunakan tiga dimensi, yaitu: 1. Dimensi kesehatan dengan variabel sanitasi, air bersih, akses pada layanan kesehatan maternali serta asupan gizi seimbang pada anak Balita, 2. Dimensi pendidikan dengan variabel Keberlangsungan pendidikan, melek huruf serta akses layanan pendidikan Prasekolah, 3. imensi Standar Hidup dengan variabel Sumber penerangan, Bahan Bakar untuk memasak, Atap Lantai dinding, serta kepemilikan rumah. c) Pengembangan Metode Dalam MPI global yang dikembangkan oleh OPHI, cakupan dimensi terdiri dari tiga yaitu dimensi kesehatan, pendidikan, dan kualitas hidup (Gambar 1). Namun demikian, kondisi ini dapat disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara terutama terkait dengan ketersediaan data di negara tersebut. Untuk pengukuran MPI Indonesia, perlu dilakukan suatu kajian dalam menggunakan metode ini terkait indikator atau variabel apa yang akan digunakan, bagaimana penentuan threshold untuk masing-masing indikator/variabel, serta bagaimana menentukan bobot di masing-masing dimensi dan indikator/variabel. Tabel 1 menjelaskan beberapa indikator/variabel menurut dimensinya, serta threshold dan besarnya bobot yang dapat dijadikan sebagai alternatif dalam pengukuran MPI di Indonesia. Gambar 1.18. Dimensi dan Indikator MPI Global 11 DRAF 5 APRIL 2017 Tabel 1.1. Dimensi dan Indikator MPI Indonesia (Alternatif) DIMENSI Kesehatan dan Nutrisi INDIKATOR Konsumsi kalori Konsumsi protein Lama sekolah Pendidikan Partisipasi sekolah Angka melek huruf Sanitasi layak Air bersih Kualitas Kehidupan Bahan bakar untuk memasak Sumber penerangan Kepemilikan aset Luas lantai perkapita Sumber data: Susenas 2. THRESHOLD (Rumah Tangga Miskin jika) Konsumsi kalori rumah tangga perhari kurang dari 70% AKG Konsumsi protein rumahtangga per hari kurang dari 80 % AKG Tidak ada anggota rumahtangga yang menempuh pendidikan 6 tahun atau lebih Terdapat anak usia 7 sampai 18 tahun yang tidak bersekolah Tidak ada anggota rumah tangga 15 tahun keatas yang bisa baca tulis Tidak menggunakan sanitasil ayak Tidak mempunyai akses air minum bersih Bahan bakar yang digunakan kayubakar/arang/ briket Tidak mempunyai akses listrik Tidak punya asset lebih dari satu, kecuali mobil Luas lantai perkapita kurang dari 7,2 m2 BOBOT 1/6 1/6 1/9 1/9 1/9 1/18 1/18 1/18 1/18 1/18 1/18 Kemiskinan Anak Presentase (%) Kemiskinan anak menjadi isu yang semakin penting bagi strategi pengurangan kemiskinan di Indonesia. Anak-anak yang berada di keluarga miskin terdeprivasi dalam berbagai macam dimensi kehidupan yang membuat tumbuhkembang mereka tidak optimal. Hal ini dapat menyebabkan generasi muda Indonesia menjadi kurang produktif dan memiliki kapasitas yang rendah sehingga kalah bersaing dengan tenaga kerja negara-negara lain. Walaupun Pemerintah telah melakukan berbagai program perlindungan sosial untuk mendorong ketersediaan layanan dasar terhadap semua anak di Indonesia, anak dari keluarga miskin masih menghadapi hambatan dalam mengakses layanan dasar tersebut. Pada 2009, tingkat kemiskinan anak yang diukur berdasarkan garis kemiskinan nasional mencapai 17%. Sementara pengukuran dengan garis kemiskinan 1,25 USD menunjukan tingkat kemiskinan anak mencapai 22%. Tren kemiskinan anak cenderung mengalami penurunan selama periode 20092012. Pada 2012, tingkat kemiskinan anak turun dari 17% (2009) menjadi 14% (2012). Dengan menggunakan garis kemiskinan 1,25 USD untuk periode yang sama, terjadi penurunan tingkat kemiskinan sebesar 7% (dari 22% menjadi 15%). Tingkat kemiskinan anak di perkotaan relatif lebih kecil dibandingkan dengan anak di perdesaan ketika garis kemiskinan nasional menjadi acuan pengukuran (13% di perkotaan dan 21% di perdesaan pada 2009; 11% di perkotaan dan 18% di perdesaan pada 2012). 25 20 15 10 5 0 17 22 21 15 14 Garis kemiskinan nasional 13 11 PPP US$ 1.25 Perkotaan Nasional 2009 18 Perdesaan Lokasi 2012 2009 2012 Gambar 1.19. Tingkat Kemiskinan Anak Sumber: BPS dan Bank Dunia Permasalahan yang dihadapi oleh anak tidak hanya sebatas kemiskinan dalam aspek moneter. Kebutuhan anak berbeda dari orang dewasa karena mereka berada dalam masa tumbuhkembang. 12 DRAF 5 APRIL 2017 Karena itu, diperlukan pengukuran kesejahteraan anak dari berbagai dimensi kehidupan untuk memahami kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh anak. Pada 2013, 40% dari populasi anak tidak memiliki akses terhadap sistem sanitasi yang layak. Selain itu, sebagian anak juga mengalami kesulitan dalam akses terhadap air bersih (12%) dan hunian (sekitar 40% anak tinggal di hunian dari material yang tidak layak). Tingkat putus sekolah untuk anak usia 15-17 tahun relatif lebih tinggi, mencapai 25%. Dari total populasi anak pada 2013, hanya sekitar 8% anak yang tidak teredeprivasi dalam dimensi kehidupan apapun. Satu dari tiga orang di Indonesia setidaknya terdeprivasi pada salah satu dimensi kehidupan. Sementara itu, sekitar sepertiga dari populasi anak di Indonesia mengalami deprivasi di tiga atau lebih dimensi kehidupan secara simultan. V. PEMBELAJARAN 1. Pengembangan Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial Salah satu tantangan utama dalam penanggulangan kemiskinan adalah mengidentifikasi kelompok sasaran penerima manfaat program sesuai dengan kriteria dan tujuan program. Ketepatan sasaran program akan berdampak langsung terhadap keberhasilan pencapaian tujuan penanggulangan kemiskinan dan kerentanan. Untuk meningkatkan ketepatan sasaran program, ketersediaan suatu basis data calon penerima manfaat program menjadi sangat penting. BDT dikembangkan berdasarkan pertimbangan pentingnya ketersediaan basis data untuk penetapan sasaran program perlindungan sosial. Pemerintah mengembangkan BDT yang berisikan informasi nama, alamat dan karakteristik yang mecakup sekitar 40% rumah tangga dengan status sosial ekonomi terendah. Data awal rumah tangga yang digunakan dalam pengembangan BDT dihimpun melalui Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data PPLS 2011 ini kemudian diolah lebih lanjut menggunakan metodologi ilmiah dan selaras dengan praktik terbaik internasional menjadi BDT untuk penentuan sasaran Program Perlindungan Sosial. Gambar 1.20. Perbandingan Penetapan Sasaran Sebelum dan Sesudah Pengembangan Basis Data Terpadu Sumber: TNP2K Pengembangan basis data terpadu mendorong penajaman dan komplementaritas antar program. Dengan menggunakan BDT, penetapan sasaran program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial menjadi lebih terfokus pada kelompok sasaran yang sama. Kementerian dan lembaga pelaksana program dapat memanfaatkan BDT sesuai dengan kebutuhan program. Selanjutnya sasaran ditetapkan berdasarkan data yang terdapat dalam BDT sesuai dengan kriteria yang dirumuskan. Pada tahun 2015 telah dilakukan pemutakhiran BDT dengan tujuan untuk mempertajam ketepatan sasaran melalui pemutakhiran informasi rumah tangga dan individu agar dapat meminimalkan kekurang akuratan penetapan sasaran serta berupaya menjangkau rumah tangga miskin yang belum tercakup dalam BDT. Kegiatan utama PBDT 2015 adalah memperoleh informasi terkini rumah tangga dan individu yang dapat digunakan sebagai basis penetapan 13 DRAF 5 APRIL 2017 sasaran kepesertaan program-program perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan pada skala nasional dan daerah. Hingga saat ini BDT telah di akses oleh 21 kementerian dan lembaga, dengan 56 akses diberikan. Selain itu, BDT juga telah diakses oleh 31 provinsi dan 308 kabupaten kota dengan akses diberikan masing-masing sejumlah 65 dan 513 akses data. Masyarakat secara umum juga dapat memperoleh akses melalui website yang disediakan oleh pengelola BDT, meskipun data yang tersedia untuk masyarakat umum dibatasi. Saat ini, pengelolaan BDT dilakukan secara bersama antara TNP2K dan Kementerian Sosial. 2. Upaya Pemerintah dalam Membantu Rumah Tangga Pasca Penyesuaian Harga BBM: Bantuan Langsung Tanpa Syarat Kebijakan Pemerintah untuk menyehatkan perekonomian dengan mengurangi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat, utamanya Rumah Tangga miskin dan rentan. Untuk itu Pemerintah mempersiapkan langkah-langkah antisipatif guna mempertahankan tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah dengan menyiapkan program bantuan langsung tanpa syarat yang merupakan bagian dari kompensasi jangka pendek. 3. Program Keluarga Harapan (PKH) PKH adalah program bantuan tunai bersyarat (Conditional Cash Transfer) kepada keluarga miskin. PKH mencakup keluarga miskin yang memenuhi kriteria: (1) Memiliki anak usia 0-6 tahun; (2) Memiliki anak di bawah usia 21 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar 12 tahun; dan (3) Memiliki ibu hamil/nifas. PKH mewajibkan Keluarga Penerima Manfaat untuk memeriksakan kesehatan Ibu hamil dan memberikan imunisasi dan pemantauan tumbuh kembang anak, termasuk menyekolahkan anak-anak. Tujuan dari hal ini adalah agar terjadi perubahan perilaku RTSM/ KSM untuk memperdulikan pendidikan dan kesehatan anak-anak. Perubahan tersebut diharapkan dapat berdampak pada berkurangnya anak usia sekolah RTSM/ KSM yang bekerja. Mulai tahun 2016, komponen bantuan ditambahkan bagi penyandang disabilitas dan lansia di atas 70 tahun yang berada di dalam keluarga PKH. Bantuan bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia tersebut dimaksudkan untuk meringankan beban ekonomi keluarga, sekaligus memenuhi kebutuhan pemeliharaan kesehatan dan mempertahankan taraf kesejahteraan sosial penyandang disabiltas dan lanjut usia. 14