Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. LAPORAN TIM PENELITIAN LAPANGAN MELIAU 2010 ARTIKEL GEREJA DAN TRANSFORMASI SOSIAL DALAM MASYARAKAT DAYAK KUWALAN DI HULU SUNGAI BUAYAN Rudy Gunawan E. (SA/14887) Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada ABSTRAK Salah satu faktor kunci penyebab perubahan yakni masuknya unsur baru dari luar. Agama baru dari luar yang masuk ke dalam suatu masyarakat sudah pasti akan membawa perubahan bagi masyarakat itu. Kekristenan yang dibawa oleh misionaris-misionaris Barat dan menyebar di kalangan masyarakat-masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan membawa efek perubahan yang tak bisa dibilang kecil. Tulisan ini mencoba mempelajari bagaimana Kekristenan (Christianity) yang diwakilkan oleh institusi gereja masuk dan mempengaruhi kehidupan masyarakat Dayak Kuwalan di Dusun Kerawang, Kalimantan Barat. Pada dekade 1970-an hingga 1980-an ajaran Protestan dan Katolik yang dibawa oleh para misionaris Barat perlahan menggantikan religi lama di Kerawang, agama nenek moyang masyarakat Dayak Kuwalan. Ruang lingkup di mana perubahan itu terjadi jelas sangat luas, mulai dari tentu saja religi dan kepercayaan, lalu tak ketinggalan pula sistem kekerabatan, pola menetap, hubungan sosial, tradisi, adatistiadat, pendidikan, konsumsi, pemerintahan dan kekuasaan, hingga kapital dan mata pencaharian. Semua yang dibawa gereja tak lantas diterima secara mentahmentah oleh masyarakat, ataupun juga tidak langsung menghilangkan unsur-unsur lama, namun ada proses adaptasi dan akulturasi yang terjadi dalam menyikapinya. Gereja dan adat dapat berdampingan dan berjalan beriringan tapi sekaligus juga memendam potensi pergesekan satu sama lain. Tawar-menawar antara bagaimana unsur baru itu diterima namun juga sekaligus mempertahankan unsur lama agar tak tergerus hilang menjadi proses transformasi yang masih tetap berlangsung hingga sekarang dalam masyarakat Dayak di seluruh penjuru Kalimantan. Kata kunci: Gereja, Kristen, Dayak, transformasi, adaptasi, akulturasi 1 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. “Saya, Yulius Awok, titip salam kepada seluruh orang Dayak di Kalimantan. Dalam lindungan Yesus Kristus kita bersatu!” (Wawancara dengan Yulius Awok1, pemimpin umat Katolik Kerawang, tanggal 4 Juli 2010) Sekilas Pengantar Kebanyakan tulisan-tulisan mengenai transformasi sosial seringkali alpa mendefinisikan dengan jelas konsep transformasi yang diulasnya 2. Padahal penegasan definisi atau batasan ini perlu agar menjaga pembahasan tetap pada alurnya dan menyajikan analisis yang tepat pada suatu kasus. Dalam tulisan ini, transformasi sosial, atau lebih sederhananya perubahan sosial, dapat didefinisikan sebagai “perubahan fenomena sosial di berbagai tingkat kehidupan manusia, mulai dari tingkat individual hingga tingkat dunia” (Lauer, 1993:5). Lebih kompleks lagi, definisi perubahan sosial dapat dijelaskan sebagai “variasi atau modifikasi dalam setiap aspek proses sosial, pola sosial, dan bentuk-bentuk sosial, serta 'setiap modifikasi pola antarhubungan yang mapan dan standar perilaku'” (Fairchild dan Lundberg, Schrag, Larsen, Catton via Lauer, 1993:4). Batasan yang diberikan untuk 'perubahan sosial' di sini yakni perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat baik dari tingkat individu hingga komunitas. Salah satu faktor perubahan sosial yakni agama, karena “agama merupakan sesuatu yang benar-benar bersifat sosial3” (Durkheim, 2003:29). Dari pemahaman ini dapat dikatakan agama tak dapat dipandang sebagai kepercayaan individu belaka yang lepas dari masyarakat, namun sebagai kepercayaan kolektif terbentuk setelah adanya masyarakat. Agama dalam pengertian inilah yang hendak dihubungkan dengan perubahan sosial dalam masyarakat. Agama-agama memandang perubahan sebagai sebuah keharusan, dalam hal ini perubahan dari sesuatu yang dicap sebagai kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketertindasan menuju masyarakat yang berprikemanusian dan berperadaban. Agama 1 Nama informan disamarkan. Selanjutnya semua nama informan dalam tulisan ini memakai nama samaran. 2 Lauer (1993:5) menuliskan bahwa “perdebatan mengenai perubahan sosial terjadi karena orang lupa tentang berbagai tingkat dan lupa membedakan tingkatnya”. 3 Definisi agama menurut Durkheim sendiri dalam bukunya The Elementary Forms of the Religious Life (1912) yakni “sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus; kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal.” 2 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. menawarkan perubahan yang lebih baik sebagai 'barang jualan' atau posisi tawar agar eksistensinya tak hilang dalam suatu masyarakat. Namun tidak selamanya perubahan yang diakibatkan sepak terjang agama dapat berdampak kemajuan peradaban bagi manusia. Tidak sedikit perubahan yang mengarah pada kemunduran. Agama-agama yang menawarkan perubahan dalam masyarakat-masyarakat lain umumnya bersifat ekspansif, atau menginginkan penyebaran ke seluruh dunia. Prinsip perubahan sebagai sebuah keharusan universal ini umumnya dibawa oleh agama-agama Abrahamik4 yang monoteistik, yang wilayah penyebarannya hingga ke seluruh penjuru dunia. Dalam tulisan ini saya ingin memfokuskan fenomena agama dan perubahan sosial pada kasus bagaimana Kekristenan (baik Protestan maupun Katolik) masuk dan menyebar di kalangan masyarakat-masyarakat Dayak di Kalimantan, serta bagaimana agama yang disimbolkan dengan institusi gereja tersebut membawa perubahan yang mempengaruhi kehidupan penganutnya. Secara umum perubahan sosial dalam masyarakat Dayak 5 sendiri disebabkan oleh “pendidikan formal, penyebaran agama-agama asing (agama modern), dominasi budaya luar, hukum yang memihak penguasa, dan invasi kapitalis internasional” (Petebang dan Sutrisno, 2001:179). Dari landasan berpikir itu lantas muncul berbagai pertanyaan. Bagaimana dan mengapa gereja dapat masuk dan diterima oleh masyarakat Dayak? Perubahan apa saja yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Dayak setelah masuknya gereja? Bagaimana proses 'tawar-menawar' yang terjadi sehingga masuknya gereja tak serta-merta mengikis unsur-unsur lama? Berbekal data-data etnografi6, tulisan ini bermaksud menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan mengambil studi kasus gereja-gereja yang ada di kalangan masyarakat Dayak Kuwalan di Dusun Kerawang, Kalimantan Barat7. 4 Yang termasuk dalam agama-agama Abrahamik, atau agama-agama anak-cucu Abraham/Ibrahim dari tradisi Semit yakni Yudaisme, Kekristenan, dan Islam. 5 Faktor-faktor penyebab perubahan sosial dalam masyarakat Dayak (ditulis sebagai 'lima faktor penyebab hancurnya kebudayaan Dayak) ini didasarkan pada hasil penelitian Institut Dayakologi pada tahun 1998. 6 Data etnografi merupakan data yang diperoleh dari metode penelitian etnografi, “metode yang menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran (mind) manusia yang di dalamnya terdapat budaya” (Spradley, 2007:xii). 7 Penelitian di kalangan masyarakat Dayak Kuwalan di Dusun Kerawang, hulu Sungai Buayan ini dilakukan selama sebulan penuh, Juli 2010. Saya tergabung dalam Tim Penelitian Lapangan Antropologi “Ekspedisi Sungai Buayan” yang 60 peserta dari Universitas Gadjah Mada, University of Toronto, dan Rijkuniversteit Leiden. 3 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. Selayang Pandang Kerawang Kerawang merupakan sebuah dusun yang berada di hulu Sungai Buayan yang bermuara di Sungai Kapuas. Secara administratif dusun ini berada di Desa Sei Kembayau, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Perjalanan menuju dusun yang berada jauh di ujung selatan Kecamatan Meliau ini dapat ditempuh kira-kira selama 5-6 jam menggunakan kendaraan bermotor melalui jalan darat dari ibukota Kecamatan Meliau. Jika melalui jalan air, dengan sampan bermotor menyusuri Sungai Buayan, kira-kira 5 jam hingga muara Sungai Rosan lalu dilanjutkan sekitar 1-2 jam lewat jalan darat menggunakan kendaraan bermotor. Letaknya di daerah perbukitan, hulu sungai, dan kondisi jalan tanah yang rusak parah di berbagai tempat menjadikan Kerawang cukup terisolasi dari dunia luar, apalagi belum terjangkau oleh sinyal telepon juga perusahaan listrik negara. Meskipun mendapat label sebagai 'dusun terujung di hulu sungai', namun Kerawang termasuk dusun yang cukup besar. Dari data monografi tahun 2009, penduduk Kerawang mencapai 178 kepala keluarga, dan terus meningkat setiap tahunnya. Seluruh penduduk Kerawang ialah orang Dayak, dengan hampir semuanya dari sukubangsa Dayak Kuwalan, dan sebagian kecil lagi dari sukubangsa Dayak Desa, Dayak Kancink'g, Dayak Pampang, dan Dayak Ketiyur dari daerah sekitar yang menetap karena terikat hubungan perkawinan. Sukubangsa Dayak Kuwalan sendiri termasuk dalam kelompok Dayak Klemantan 8 atau Dayak Darat (Lontaan, 1975:56), dan menggunakan bahasa Kuwalan. Kerawang sendiri dulunya merupakan tanah milik sukubangsa Dayak Desa. Lalu dibeli dan ditempati oleh orang-orang Dayak Kuwalan yang bermigrasi dari daerah Sungai Kuwalan di Ketapang. Konon dahulu kala di hutan hanya terdapat beberapa kepala keluarga, tepatnya di Pondok Obu. Lantas karena merebaknya wabah penyakit, orang-orang Kuwalan ini terus berpindah hingga masuk ke wilayah Dayak Desa, yang kini menjadi Dusun Kerawang. Menurut penuturan Pak Mateus Awai, seorang tokoh masyarakat, nama Kerawang 8 Dayak Klematan terdiri dari dua suku kecil dan empat puluh tujuh suku kekeluargaan. Kategorisasi ini berdasarkan apa yang Lontaan (1975:47-64) kumpulkan dari data-data H.J. Malinckrodt, W. Stohr, dan F.H. Duman. 4 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. berasal dari nama kayu madu yang berlubang di tengahnya. Kerawang pernah beberapa kali berganti nama, awalnya dimulai dengan nama Kerawang, lalu berganti nama menjadi Tanjung Awur karena terdapat banyak pohon Awur. Beberapa waktu kemudian menjadi Tanjung Anti, akibat ada semacam tren pakaian 'anti', hingga akhirnya kembali ke nama awal, Kerawang. Wilayah pemukiman di Kerawang memanjang di sisi timur Sungai Buayan. Ini merupakan ciri utama pemukiman masyarakat Dayak, hampir selalu berada di tepi sungai. Sungai, bagi masyarakat Dayak, merupakan fondasi kehidupan. Hampir semua kegiatan sehari-hari berada atau tergantung pada kebaradaan sungai, misalnya mandi dan membersihkan diri, mencuci pakaian maupun perkakas lainnya, mencari ikan, membuang kotoran, hingga keperluan air minum. Pola pemukiman yang memanjang sekitar sungai inilah yang mempengaruhi pembagian wilayah di Kerawang: Kerawang Hilir, Kerawang Pusat, Mungguk Durian, dan Kampung Baru9. Pembagian wilayah geografis ini juga menjadi dasardasar kategorisasi wilayah Rukun Tetangga (RT). Selain tinggal di wilayah pemukiman di sepanjang Sungai Buayan, beberapa kepala keluarga memilih untuk menetap di pondok-pondok yang terletak di tengah hutan, sekitar satu jam ditempuh dengan berjalan kaki. Dari 178 kepala keluarga, ada 17 kepala keluarga yang tinggal di pondok jauh dari perkampungan. Namun ada pula kepala keluarga yang bermukim di kampung tapi memiliki pondok, yakni 111 kepala keluarga. Sisanya 50 kepala keluarga hanya memiliki rumah di kampung. Alasan orang-orang Kuwalan menetap atau memiliki pondok ialah agar dekat dengan ladang, hutan karet, dan kandang ternak babi mereka. Setiap beberapa hari sekali penghuni pondok akan turun ke kampung untuk membeli keperluan sehari-hari dan menjual hasil bumi mereka. Sementara mereka yang tinggal di pondok biasanya bermalam di kampung pada Sabtu dan Minggu untuk ke gereja. Mata pencaharian utama mayoritas penduduk Kerawang bergantung pada hutan karet, berbeda dengan dusun-dusun di bagian hilir Sungai Buayan yang telah dimasuki perkebunan kelapa sawit. Sebagian dari mereka noreh (menyadap getah) karet, dan sebagian kecil lainnya 9 Karena faktor geografis dan kepadatan penduduk, tahun-tahun belakangan muncul wacana pemekaran dusun, dengan wilayah Mungguk Durian dan Kampung Baru menjadi dusun baru yang terpisah dari Kerawang. 5 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. menjadi tokay10 yakni penampung hasil noreh karet11. Selain itu mereka menggantungkan hidupnya juga pada sistem ladang berpindah 12. Sementara itu, memelihara ternak seperti sapi, babi, dan ayam bukan menjadi mata pencaharian, namun cenderung sebagai investasi atau tabungan yang akan dipakai ketika dibutuhkan nantinya, misalnya dalam upacara perkawinan, kematian, gawai13 (pesta panen), atau upacara keagamaan. Dalam hal agama, masyarakat Kerawang terbagi menjadi dua faksi besar. Sebagian memeluk agama Katolik, dan sebagian lagi Protestan. Menurut kartu wealth ranking14 yang disusun bersama dengan Pak Mateus Awai, pemeluk Katolik saat ini berjumlah 95 kepala keluarga, pemeluk Protestan 71 kepala keluarga, dan sisanya 12 kepala keluarga masih bertahan dengan religi lama, ajaran nenek moyang. Pak Mateus Awai menyebut religi lama ini sebagai 'animisme'. Semua penganut religi lama ini tinggal di pondok di tengah hutan. Sejarah Misi Gereja di Hulu Sungai Buayan Penyebaran agama Kristen di Kalimantan dimulai sejak abad ke-XIX. Kala itu masih sedikit misi gereja di Kalimantan karena seringkali misionaris terbunuh oleh orang-orang Dayak karena “dianggap sebagai kaki-tangan penjajah” (Riwut, 1993:133). 10 Istilah 'tokay' berasal dari bahasa Tionghoa Khek 'tow kay', yang artinya berarti juragan atau pedagang besar. Meluasnya pengunaan istilah ini di kalangan non Tionghoa ialah karena para pionir pedagang besar merupakan orang Tionghoa. 11 Terdapat sistem patron-klien yang menarik di Kalimantan Barat, disokong oleh hutan karet dan sistem ladang berpindah. Seorang tokay yang berperan sebagai patron, mempunyai warung yang menyediakan berbagai barang keperluan hidup sehari-hari. Anak-buah, kliennya, boleh bebas mengambil apa saja dari warung si tokay. Anak-buah membayarnya dengan menyadap pohon karet milik tokay atau menjual karet kepada tokay. Tokay ini menjadi penampung karet dan menjual karet dalam jumlah besar ke kota. Dalam hubungan patron-klien ini, jika anak-buah mempunyai kesulitan ekonomi atau dihadapkan pada kebutuhan mendadak seperti sakit, kematian, atau perkawinan, maka ia akan meminjam uang kepada tokay. 12 Pada sistem perladangan berpindah ini, setelah suatu tempat dirasa sudah tak lagi subur, tanamannya akan dibakar, lantas masyarakat beranjak pindah dari wilayah tersebut. Sekiranya ketika 15-20 tahun lewat, mereka akan kembali lagi, menemui tanah yang sudah subur karena terpupuk alamiah dari abu hasil pembakaran tersebut, dan menjadi hutan kembali (Yitno, 1996:187). 13 Gawai yakni sebuah pesta panen yang biasanya diadakan saat memasuki bulan Mei hingga Juni. Pesta ini selalu ditunggu-tunggu oleh semua orang karena merupakan saat-saat di mana saling bersuka cita dalam pesta makan dan minum yang berlangsung selama beberapa hari. Gawai tak hanya dilakukan sekali per desa per tahun, namun diselenggarakan oleh tiap-tiap dusun. 14 Metode wealth ranking merupakan metode kategorisasi warga berdasarkan lapis ekonominya. Yang membuat kategorisasi ini biasanya ialah perangkat desa atau tokoh masyarakat yang mengenal baik semua warganya. Caranya ialah membuat kartu sejumlah total kepala keluarga dan menuliskan masing-masing nama kepala keluarga di kartu itu. Kemudian si perangkat desa atau tokoh masyarakat ini akan membagibagi berdasarkan kategori atau sistem pengetahuannya. 6 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. Zending Protestan yang mula-mula yakni Zending Barmen (Rheinnische Zending Missionsgeselschaft) yang menjadikan Kalimantan sebagai Daerah Pekabaran Injil pada 15 Juli 1834. Salah seorang misionaris pionir yang datang ke Kalimantan yakni Barnstein Hayer, seorang Jerman, pada tahun 1835. Misi Katolik masuk ke Kalimantan sejak 1984 oleh Pastor Staal SJ dan difokuskan di daerah Kalimantan Barat, terutama di Sambas, Singkawang dan Sintang. 11 Februari 1905 akhirnya didirikanlah Prefektur Apostolik Borneo (Kalimantan) yang berpusat di Pontianak. Sebenarnya misi Katolik di daerah Meliau telah dimulai sejak tahun 1960 oleh para Pater Passionis Italia dan Belanda, namun belum mencapai Kerawang yang terletak di hulu Sungai Buayan, masih terkonsentrasi di daerah-daerah sekitar Sungai Kapuas. Misionaris pertama yang datang ke Kerawang yakni seorang Protestan dari misi Go Ye Fellowship dan New Tribes Mission, Robert 'Borneo Bob' Williams, seorang Amerika Serikat. Orang-orang Kerawang, bahkan orang-orang Kalimantan lainnya, menyebutnya Opa Williams15. Opa Williams merupakan misionaris Protestan yang sangat terkenal di Kalimantan Barat, seorang pahlawan kebudayaan16 (culture hero). Ia memulai misinya sejak tahun 1939, dan berhasil membaptis ribuan orang sepanjang Sungai Kapuas hingga tahun 1990-an. Selama lebih dari enam dekade ia berhasil “mendirikan sekolah-sekolah, klinik, pelayanan dalam perahu kecil, dan seminari yang telah melatih dan mengutus ratusan pendeta dan penginjil asli Indonesia” (Tompkins, 2009). Pada akhir dekade 1970-an Opa Williams datang ke Kerawang untuk mengabarkan Injil kepada orang-orang Dayak Kuwalan di sana yang masih menganut ajaran religi nenek moyang. Ketika Opa Williams pertama kali datang, di Kerawang masih terdapat sebuah rumah betang panjang17 dan beberapa rumah kecil di sekitar. Orang-orang Dayak Kuwalan masih menganut religi nenek moyang, dengan banyak jimat, magis, serta pantangan dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan Opa Williams mampu membuat satu demi satu orang meninggalankan ajaran religi lama dan mau menerima Yesus Kristus sebagai juru selamat. 15 Istilah 'opa' ialah bahasa Belanda untuk 'kakek'. 16 Pahlawan kebudayaan secara umum dipandang sebagai seseorang yang membangun institusi-institusi kehidupan dalam suatu masyarakat, sebagai tokoh yang memperkenalkan unsur-unsur kebudayaan, dan membawa masyarakat ke arah peradaban. 17 Rumah tradisional betang panjang ialah rumah tradisional sukubangsa-sukubangsa yang berbentuk panggung memanjang sehingga dapat menampung hingga puluhan keluarga. 7 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. Di awal dekade 1980-an, saat perkembangan umat Protestan meningkat pesat, muncul wabah penyakit mematikan di Kerawang. Orang-orang Kerawang yang masih baru menerima ajaran Yesus Kristus mulai meragukan agama itu dan menganggap wabah penyakit itu ialah hukuman karena mereka telah mengingkari religi lama. Maka berbondong-bondong kembalilah banyak orang ke religi lama, menyisakan sedikit sekali umat Protestan. Beberapa tahun setelah itu masuklah agama Katolik, yang dibawa oleh Yulius Giulio Mencuccini18, seorang pastor dari Italia. Ketika Katolik masuk, wabah penyakit sudah mereda. Rumah betang panjang dibongkar, lalu penduduk tinggal di rumah-rumah yang terpisah. Orang-orang Kerawang pun perlahan-lahan mulai menerima agama baru ini. 18 Agustus 1983, resminya masuk agama Katolik ke Kerawang. Pada tahun 1984, sepeninggalnya Opa Williams, kepengurusan gereja di Kerawang diserahkan kepada orang-orang Kerawang sendiri. Pertama-tama pemeluk Protestan hanya 6 kepala keluarga. Pada tahun 1988 berkembang menjadi lebih dari 10 keluarga. Gereja Protestan di Kerawang ialah gereja YAPIN (Yayasan Pengabar Injil), yang merupakan cabang dari Go Ye Fellowship, organisasi misi yang dirintis oleh Opa Williams di Amerika Serikat. Tentang Gereja Katolik di Kerawang Gereja Katolik di Kerawang bernama Gereja St. Antonius, terletak di bukit kecil di belakang kampung. Gereja ini secara administratif berada di bawah Stasi Kerawang, Paroki Meliau, Keuskupan Sanggau. Tak ada pastur yang bertempat di gereja ini. Pastur bertempat di Meliau dan hanya datang jika ada perkawinan dan gawai. Karena itu gereja ini dipimpin oleh seorang pemimpin umat. Pemimpin umat sekarang ialah Pak Yulius Awok, yang juga merangkap guru senior di Sekolah Dasar Kerawang. Hanya sekali saya mengikuti misa di Gereja St. Antonius, yakni pada minggu pertama. Pada misa yang saya ikuti itu, tak banyak warga Kerawang yang pergi ke gereja. Gereja hanya terisi sekitar ¾-nya saja, dengan sebagian besar perempuan. Tempat duduk jemaat hanya kursi panjang tanpa sandaran. Hampir semua perempuan duduk di sisi kiri hingga penuh. Semua laki-laki duduk di sisi kanan namun tidak penuh. Ada beberapa 18 Mgr. Yulius Giulio Mencuccini, C.P. menjadi Uskus di Keuskupan Sanggau sejak 22 Januari 1990 hingga sekarang. 8 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. perempuan yang duduk di sisi kanan. Tak seperti di gereja-gereja di kota, warga Kerawang tidak banyak berdandan ketika pergi ke gereja. Sebagian besar laki-laki hanya memakai kaos oblong, celana panjang, dan sandal. Misa Minggu dimulai dengan Salam Maria. Setelah itu dilanjutkan dengan nyanyian panjatan pujian. Ada seorang Anak Altar, remaja laki-laki yang berpakaian rapi, berkemeja putih. Ia memimpin doa dan janji Katolik, 'Doa-ku'. Seorang remaja perempuan lalu membacakan ayat Alkitab, 1 Korintus 5:2-819 (Surat Paulus yang pertama kepada Jemaat di Korintus, pasal 5 ayat 2 sampai 8). Lalu dilanjutkan dengan persembahan. Gereja Katolik menggunakan kotak persembahan yang diedarkan dari tangan ke tangan. Pak Yulius Awok sebagai pemimpin umat memberi renungan mingguan yang intinya pergesekan adat dan agama. Ia mengatakan bahwa untuk mengikuti Yesus, seseorang harus total berserah diri tanpa keraguan. Ia juga menyinggung kebiasaan minuman keras. Ujarnya Alkitab tidak melarang minuman keras, karena dalam perjamuan pun Yesus mengubah air menjadi anggur. Yang Alkitab larang ialah minum hingga mabuk dan tak terkontrol. Tentang Gereja Protestan di Kerawang Gereja Protestan di Kerawang terletak di atas bukit di bagian hilir dusun, bernama Gereja Persekutuan Pengabar Injil Jemaat Yudea. Gereja ini merupakan denominasi Gereja Persekutuan Pengabar Injil (GAPPIN) yang dimulai oleh Opa William, misionaris dari badan misi Amerika, Go Ye Fellowship. Denominasi GAPPIN dirintis sejak tahun 1940 dalam bentuk yayasan penginjilan yang bernama Yayasan Persekutuan Pengabar Injil (YAPPIN). Secara organisasi keberadaan lembaga gereja ini baru terbentuk pada tahun 1981, setelah para misionaris kembali ke negara mereka masing-masing20. Tak ada pendeta di gereja ini, namun 19 (2) Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan. (3) Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar. (4) Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, (5) supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah. (6) Sungguhpun demikian kami memberitakan hikmat di kalangan mereka yang telah matang, yaitu hikmat yang bukan dari dunia ini, dan yang bukan dari penguasapenguasa dunia ini, yaitu penguasa-penguasa yang akan ditiadakan. (7) Tetapi yang kami beritakan ialah hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia, yang sebelum dunia dijadikan, telah disediakan Allah bagi kemuliaan kita. (8) Tidak ada dari penguasa dunia ini yang mengenalnya, sebab kalau sekiranya mereka mengenalnya, mereka tidak menyalibkan Tuhan yang mulia. 20 Kepulangan para misionaris terkait dengan kebijakan pemerintah Republik Indonesia yang membatasi 9 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. hanya dipimpin oleh seorang gembala gereja. Gembala yang sekarang yakni Pak Teras, seorang Protestan pionir dan juga salah satu tokay terkaya di Kerawang. Gereja yang sekarang ini ialah gereja yang kedua, karena gereja pertama pernah dibangun pada tahun 1985. Gereja pertama ini mulai bisa digunakan sejak tahun 1988. Pada tahun 2000 ada inisiatif untuk memperbesar gereja sehingga membuat gereja baru, karena pertumbuhan umat yang cukup drastis. Akhirnya pada tahun 2006 gereja baru siap digunakan. Pada awalnya gereja hanya terbuat dari kayu dan semen kasar. Lalu umat mengumpulkan dana, sehingga dapat membeli keramik untuk lantai gereja. Salah satu cara mengumpulkan dana ialah para ibu-ibu membentuk kelompok noreh karet yang terdiri dari 12 kelompok. Setiap hari Sabtu mereka bekerja dan hasilnya ditabung untuk dana gereja. Jemaat perempuan mencari uang dengan noreh, sementara jemaat lelaki membangun gereja. Dua kali saya mengikuti persekutuan di Gereja Persekutuan Pengabar Injil Jemaat Yudea, yakni pada minggu kedua dan minggu keempat. Pada minggu kedua, ketika saya tiba, para pemuda sedang memainkan musik syair-syair pujian. Namun gereja baru terisi kurang dari setengah. Isi gereja Protestan kondisinya kurang lebih hampir mirip gereja Katolik. Hanya saja lebih kecil. Di depan ada alat musik keyboard, drumset, dan gitar listrik. Kursi gereja memiliki sandaran punggung yang juga berfungsi sebagai meja bagi kursi di belakangnya. Meja ini untuk meletakkan Alkitab. Di gereja Protestan sebagian jemaat berpakaian sangat rapi. Yang laki-laki berkemeja, celana kain, dan sepatu. Yang perempuan berdandan secantik mungkin, ibu-ibu pun seperti itu. Anak-anak yang ikut tak terlalu banyak dan tak ribut. Ketika syair pujian dimulai, gereja hampir penuh. Dilanjutkan dengan doa, lalu kesaksian. dilanjutkan sesi persembahan. Gereja Protestan memakai kantong persembahan yang dibawa oleh sepasang pemuda-pemudi. Setelah ini yakni khotbah pembelajaran Alkitab, kali ini mengacu pada Perjanjian Baru. Injil Matius 6:23-2621 (pasal 6, ayat 23 sampai 26), tentang pengorbanan. Inti dari aktivitas misionaris-misionaris Barat pada dekade 1980-an. 21 (23) jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu. (24) Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." (25) Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? (26) Pandanglah burung-burung di 10 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. pembelajaran Alkitab hari ini ialah sebagai orang Kristen, sebelum melakukan pengorbanan maka haruslah berdamai dengan orang lain jika ada sengketa. Dalam suasana gawai, pengorbanan di sini dicontohkan sebagai acara gawai. Setelah pujian, ada doa terakhir. Dalam doa ini berkali-kali disinggung agar mereka yang sakit dikuatkan iman, agar tuhan memberkati ladang dan pekerjaan bertani mereka, dan mengenai anak-anak yang akan menempuh pendidikan. Setelah itu ada pemberitahuan tentang pengangkatan anak. Dua bayi diangkat anak, salah satu orangtua angkat masih lajang. Karena pihak gereja tak punya ritual pengangkatan anak, maka cukup didoakan dan diserahkan ke tangan tuhan saja. Pada minggu ketiga, ketika saya masuk, anak-anak sedang menyanyikan syair pujian. Dilanjutkan dengan sesi kesaksian, seorang perempuan. Ia baru saja melahirkan anak keduanya, laki-laki, yang dua minggu lalu baru saja diangkat anak oleh orang lain. Dalam kesaksiannya ia mengucap syukur dapat melahirkan dengan selamat. Tak lupa ia juga berdoa agar nantinya dapat melahirkan anak perempuan. Acara dilanjutkan dengan pujian-pujian. Umat menyanyikan lagu 'Ku Bangga', sembari kantong uang persembahan diedarkan. Persembahan tersebut lantas didoakan oleh gembala gereja. Setelah itu kembali dengan puji-pujian 'Lingkupi Aku'. Dalam pembelajaran Alkitab, seorang perempuan membacakan ayat Injil dari Perjanjian Baru, kitab Ibrani 4:1-16 22 (Surat kepada orang Ibrani, pasal 4 ayat 1 sampai 16), langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? 22 (1) Sebab itu, baiklah kita waspada, supaya jangan ada seorang di antara kamu yang dianggap ketinggalan, sekalipun janji akan masuk ke dalam perhentian-Nya masih berlaku. (2) Karena kepada kita diberitakan juga kabar kesukaan sama seperti kepada mereka, tetapi firman pemberitaan itu tidak berguna bagi mereka, karena tidak bertumbuh bersama-sama oleh iman dengan mereka yang mendengarnya. (3) Sebab kita yang beriman, akan masuk ke tempat perhentian seperti yang Ia katakan: "Sehingga Aku bersumpah dalam murkaKu: Mereka takkan masuk ke tempat perhentian-Ku," sekalipun pekerjaan-Nya sudah selesai sejak dunia dijadikan. (4) Sebab tentang hari ketujuh pernah dikatakan di dalam suatu nas: "Dan Allah berhenti pada hari ketujuh dari segala pekerjaan-Nya." (5) Dan dalam nas itu kita baca: "Mereka takkan masuk ke tempat perhentian-Ku." (6) Jadi sudah jelas, bahwa ada sejumlah orang akan masuk ke tempat perhentian itu, sedangkan mereka yang kepadanya lebih dahulu diberitakan kabar kesukaan itu, tidak masuk karena ketidaktaatan mereka. (7) Sebab itu Ia menetapkan pula suatu hari, yaitu "hari ini", ketika Ia setelah sekian lama berfirman dengan perantaraan Daud seperti dikatakan di atas: "Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!" (8) Sebab, andaikata Yosua telah membawa mereka masuk ke tempat perhentian, pasti Allah tidak akan berkata-kata kemudian tentang suatu hari lain. (9) Jadi masih tersedia suatu hari perhentian, hari ketujuh, bagi umat Allah. (10) Sebab barangsiapa telah masuk ke tempat perhentian-Nya, ia sendiri telah berhenti dari segala pekerjaannya, sama seperti Allah berhenti dari 11 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. tentang aturan kerja orang Kristen. Petikan ayat Alkitab ini menceritakan bahwa tuhan berhenti bekerja pada hari ketujuh. Diharapkan dapat dipahami oleh warga gereja dan menjadi pedoman serta keyakinan bahwa manusia harus mengikuti langkah tuhan dengan beristirahat dari pekerjaannya pada hari ketujuh, yang dalah teologi Kristen ditafsirkan sebagai hari Minggu. Dalam bekerja, gembala gereja menyatakan bahwa kemajuan ekonomi harus diikuti dengan kemajuan rohani demi keseimbangan hidup. Jangan hanya mengejar dunia dengan bekerja terus-menerus. Benar, bekerja adalah perintah tuhan, ujarnya. Namun ada suatu hari di mana umat Kristen harus meninggalkan segala pekerjaan mereka dan berserah diri sepenuhnya dalam pelayanan terhadap tuhan. Gembala gereja sangat optimis karena ia mengatakan bahwa ada pertumbuhan yang sangat pesat dalam gereja Protestan di Kerawang karena perkawinan dan kelahiran. Namun umat harus tetap sepenuhnya berusaha. Ia menyayangkan sedikitnya umat yang datang ke gereja hari ini. Dalam sesi doa, dilantunkan doa untuk segenap umat manusia, dan juga untuk semua tindakan yang dilakukan manusia. Misalnya saja doa untuk keberhasilan berladang yang akan dimulai bulan Agustus ini. Tentang Religi Lama Pak Mateus Awai menyebut religi lama ini dengan istilah 'animisme'. Animisme sendiri ialah “sistem kepercayaan di mana manusia, dan semua makhluk hidup, maupun benda mati mempunyai jiwa atau roh” (Tylor, 1979:11). Religi lama ini mempercayai eksistensi roh-roh, termasuk roh nenek moyang, dan kekuatan tertinggi yang disebut Duwata. pekerjaan-Nya. (11) Karena itu baiklah kita berusaha untuk masuk ke dalam perhentian itu, supaya jangan seorangpun jatuh karena mengikuti contoh ketidaktaatan itu juga. (12) Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita. (13) Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab. (14) Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah, baiklah kita teguh berpegang pada pengakuan iman kita. (15) Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa. (16) Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya. 12 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. Saat ini hanya tersisa 12 kepala keluarga yang masih mempertahankan religi lama. Mereka semua tinggal di pondok-pondok di tengah hutan dan hanya kawin dengan sesamanya. Namun masih ada juga penduduk kampung yang terikat dengan religi lama ini. Tandanya ialah ada daun palem diletakkan di atas pintu. Ada tiang keramat dari kayu belian23 dari zaman dahulu yang terletak di tengah hutan, tepat di bawah pohon durian. Tiang ini disebut tiang tablian dan digunakan untuk persembahan, biasanya dengan memotong ayam. Persembahan biasanya dilakukan ketika wabah penyakit dan panen. Selain itu ada juga tiang kecala, yakni tiang kubur adat. Pemuka masyarakat memiliki tiang kubur yang banyak, bahkan hingga delapan buah. Keramat tua yang masih berdiri di hilir kampung hendak dipindahkan ke dalam kampung. Yang mengukir keramat tua itu adalah Kakek Banga, kakeknya Pak Mateus Awai. Diukir pada era sebelum masuknya Opa Williams ke hulu Sungai Buayan. Pada keramat tersebut dikuburkan cincin emas, kepala anjing, kepala babi, dan kepala kambing. Jika memiliki keinginan, datanglah ke keramat dan berdoa. Jika terkabul nanti, maka wajib mempersembahkan sesuatu yang dijanjikan saat berdoa sebelumnya. Misalnya jika sakit meminta sembuh atau jika musim membuka lahan, meminta hujan tak turun selama 15 hari. Saat berdoa wajib menjanjikan sesuatu sebagai pembayaran ketika permintaan terkabul nanti, misalnya babi. Setengahnya dimakan sendiri, dan setengahnya dipersembahkan dalam bentuk sudah matang. Keramat baru akan terletak di tengah kampung, di tanjung (tanah datar) di pinggir sungai. Terletak di bawah pohon durian. Di sana baru terlihat semacam wadah yang terbuat dari batok kelapa, di bawah pohon durian. Keramat tiang tablian belum dipindahkan kemari. Ritual religi lama misalnya sebelum musim buah ada ritual ngalu buah, sesaji dari orang sekampung. Selesai musim buah ada ritual mulang buah. Ritual hanya bisa dilakukan jika ada penjaga keramat. Acara gawai masih terkait dengan religi lama. Menurut beberapa informan, tujuan dari acara gawai, yakni: (1) ekspresi rasa syukur atas hasil panen ladang, (2) ajang hiburan bersuka-cita, (3) menjaga dan memelihara kampung, yakni pemanjatan doa terhadap Duwata. 23 Umumnya dikenal sebagai kayu ulin, atau kayu besi. Kayu dari Kalimantan ini terkenal akan kekokohan dan kekerasannya. 13 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. Hukum Adat Dayak Kuwalan Paska Kedatangan Gereja Christiaan Snouck Hurgronje menyatakan bahwa hukum adat adalah “adat atau kebiasaan yang mempunyai akibat hukum” (Lontaan, 1975:280). Hukum adat bersifat lisan atau tak tertulis, dan dipertahankan oleh para kepala adat dan pemangku adat lainnya. Secara umum hukum-hukum adat seluruh sukubangsa Dayak di Kalimantan telah diseragamkan dalam musyawarah besar yang diadakan di Tumbang Anoi, Kahayan Hulu, Kalimantan Tengah, pada 22 Mei hingga 24 Juli 1894. Dalam acara Perdamaian Tumbang Anoi24 yang dihadiri oleh kepala-kepala adat seluruh Kalimantan itu, dirumuskan garis-garis besar hukum adat agar dijadikan pedoman bagi seluruh masyarakat Dayak di Kalimantan. Dari garis-garis besar itulah tiap-tiap sukubangsa Dayak mengembangkan hukum adatnya sendiri-sendiri. Dalam masyarakat Dayak Kuwalan di Kerawang, adat dipimpin oleh seorang menteri adat. Saat ini menteri adat Kerawang yakni Pak Paulus Baka. Hukum adat Kerawang berjumlah sebanyak 59 hukum. Pelanggaran akan didenda, dengan perhitungan real. Dahulu ada memakai geroncong atau semacam gelang. Sekarang ada memakai piring. Hitungannya ialah satu piring setara dengan 2 real. 1 real setara dengan 10.000 rupiah. 1 amas setara dengan 20 real. Setiap orang yang terkena hukum adat, dicatat. Jika mengulangi hal yang sama, maka dendanya dua kali lipat. Kelimapuluh sembilan hukum adat masyarakat Dayak Kuwalan di Kerawang dibagi menjadi adat kecil yang dendanya 10 atau 8 real, dan adat pati yang dendanya 160 real (atau bayar jiwa). Beberapa contoh hukum adat Kerawang akan dipaparkan dalam paragrafparagraf berikut. Tata cara nikah adat, yang pertama ialah turun mandi. Dengan membawa satu ekor ayam dan sedikit bebas. Kedua membayar bus atau harga perempuan, yakni satu tempayan, satu parang, tiga piring, satu manit (kalung), tiga kain panjang, satu beras, tiga telur, dan tiga tempayan tuak. Prosesi ketika yakni persembahan ke Duwata, berdoa agar mempelai 24 Pertemuan di Tumbang Anoi ini juga menghasilkan perjanjian pengentian perang yang terjadi di kalangan sukubangsa-sukubangsa Dayak selama ratusan tahun. Kesadaran akan persamaan nasib di bawah pemerintah kolonial menjadi salah satu faktor diadakannya peristiwa sejarah besar bagi masyarakat Dayak ini. 14 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. langgeng. Terakhir dijujong dengan satu ekor ayam sebagai tanda selesai. Setelah itu dilangsungkanlah pesta perkawinan yang ramai. Ada juga adat cerai. Jika suami menelantarkan isteri, maka wajib membayar 5 amas ditambah 40 real ditambah 20 real ditambah dua ekor babi ditambah dua ekor ayam ditambah 4 real. 4 real ini sebagai pasupan orangtua. Semuanya merupakan tanggung jawab penggugat cerai. Jika cerai belum lama setelah kawin, maka wajib mengganti seluruh biaya kawin. Jika 'habis jodoh’, istri mencerai suami maka membayar denda 3 amas ditambah 20 real ditambah 4 real. 4 real sebagai pasupan orangtua. Orang cerai dianggap kurang baik, apalagi jika perceraian karena perselingkuhan. Merampas istri orang, maka akan didenda 16 amas (setara 1,6 juta rupiah) ditambah 40 real ditambah 20 real ditambah 8 real. 20 real di sini untuk nyabung mado, dan 8 real sebagai pasupan harga diri. Denda dibayarkan oleh yang merebut, kepada korban yang pasangannya direbut. Khusus untuk perselingkuhan, dendanya 65 real ditambah 20 real. Yang berselingkuh tak bisa jadi bersama, jika tak ada izin dari korban yang ditinggal selingkuh. Seandainya keduanya jadi, maka menambah lagi denda 20 real sebagai denang sekawan dan 4 real sebagai pasupan. Ada juga aturan pelangkah lalu yaitu tak boleh menyelesaikan perkara adat tanpa menteri adat. Jika dilanggar maka hukuman 20 real. Jika sampai memakai nama menteri adat, maka hukuman lebih berat ketimbang memakai nama sendiri. Namun seseorang boleh mengambil alih sementara tugas menteri adat atas izin dari menteri adat bersangkutan. Di Kerawang, ada tahap-tahap penyelesaian masalah, yakni dari kekeluargaan, RT/RW, menteri adat, kepala dusun, dan kepala desa. Jika masih belum bisa selesai, maka menghadap Temanggung Adat. Semuanya diselesaikan dengan adat terlebih dahulu, jika tak sanggup maka maka diserahkan kepada petugas penegak hukum negara. Polemik Pantangan Pantang, atau pantangan, berarti sesuatu yang tak boleh dilakukan, dan jika dilakukan 15 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. akan mendapat semacam tulah atau akibat buruk baik bagi diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Selain adat, pantang juga mengatur kehidupan masyarakat. Namun berlawanan dengan adat yang bentuk dan tujuannya jelas, kadang pantang mengandung sesuatu yang abstrak, gaib, dan mistis. Hampir semua orang di Kerawang menyatakan bahwa masuknya gereja telah membuat mereka lepas dari pantang-pantang yang diajarkan leluhur mereka. Karena pelanggaran pantang dapat menyebabkan kecelakaan yang diakibatkan oleh setan, orangorang Kerawang percaya dengan adanya gereja dan berlindungnya mereka pada tuhan yang maha esa, setan-setan itu tak akan dapat menggangu kehidupan mereka walaupun mereka melanggar pantang25. Contoh pantangan yang ada sebelum masuknya gereja misalnya dalam perkara membuka lahan. Pandangan zaman dulu setelah membuka lahan ialah dilarang membakar api semalam. Dilanjutkan dengan pantangan dalam hal menanam. Jika saat menanam bertemu penyengat (lebah, tawon) maka harus memasang sesaji. Dipercaya agar makhluk halus yang direpresentasikan oleh si lebah itu tidak memakan tanaman, tetapi hanya memakan sesaji. Pantangan umum zaman dahulu misalnya udang, lele, sambal terasi, kesemua tak boleh dibakar. Sementara daun kayu dan bunga asam tak boleh dibawa masuk ke rumah. Jika dilanggar, ancamannya ialah langsung mati berdiri. Meskipun pantangan diklaim telah punah, namun ada beberapa hal semacam pantangan yang masih tetap dijalankan. Salah satunya yakni cempale, yakni semacam tata krama, jika ditawari sesuatu oleh tuan rumah, tak baik langsung menolak. Paling tidak dicicipi sedikit, atau jika tak sanggup, disentuh sedikit dengan tangan. Konon jika tak seperti itu maka bisa tertimpa celaka. Tapi ujar mereka itu hanya ajaran lama. Kalau sekarang itu untuk menghormati tuan rumah. Meskipun begitu, larangan-larangan semacam pantangan masih dilekatkan pada tempat-tempat yang dianggap sakral, seperti pemakaman. Di antara empat pemakaman di Kerawang26, ada kuburan yang tak boleh dimasuki, hanya boleh dilihat dari jauh saja. Ada 25 Dalam fungsi agama menurut Durkheim, “dalam agama, individu merasa dikuatkan dalam menghadapi derita, frustrasi, dan kemalangan.” (Gaguk, 2011). 26 Keempat pemakaman tersebut yakni yang pertama di Rempai, lalu di seberang sungai, di atas bukit, dan terakhir di bukit belakang gereja Katolik. 16 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. makanan ditaruh di kuburan oleh keluarga orang yang dikubur di sana. Setelah pulang dari kuburan, ada aturan harus segera mandi agar tidak sakit. Pemakaman pun selalu berada di luar pemukiman, karena orang-orang Kerawang merasa takut dan kampung hanya untuk pemukiman yang masih hidup saja. Ada pula semacam pantangan dalam bertutur-kisah. Di kalangan masyarakat Dayak Kuwalan, terdapat cerita Sang Amba-Amba, yaitu awal mula manusia. Cerita ini tidak boleh diceritakan langsung tamat, namun dalam beberapa malam. Itupun harus dengan urutan acak. Pantangan bercerita sampai tamat ialah jika tidak seperti itu akan mendatangkan angin ribut. Yang Tak Tuntas Disapu Gereja: Shamanisme27 di Kerawang Peranan dukun ialah untuk mengobati 'penyakit kampung’. Jika bukan penyakit itu, maka itu urusan bidan dan mantri. Apa yang disebut 'penyakit kampung' ini misalnya ketika seseorang merasa lehernya sakit seperti disilet, walaupun dibawa ke bidan atau dokter namun belum kunjung sembuh. Umumnya belajar mengobati orang dari orangtuanya, yang diwariskan secara turun temurun. Ilmu perdukunan ini memerlukan bakat tertentu sehingga mampu mempelajarinya dengan mudah dan cepat. Ada semacam aturan tak tertulis bawa dalam satu kampung harus ada minimal dua dukun, karena dukun tak bisa mengobati dirinya sendiri jika sakit. Dukun yang terkenal di Kerawang antara lain Pak Senar, Pak Dasa, Pak Rimpan, Nenek Yanas, Pak Geman, dan Kakek Urus. Sebagai orang dukun, Pak Geman memiliki pemam, atau batu wangsit. Bentuknya berbeda dari batu biasa. Pak Geman mendapat cara mengobati orang dari ajaran turun temurun nenek moyang. Ia bisa mengobati orang dengan gendang, yaitu menari diiringi tabuhan gendang. Dukun menari berkeliling, dan tabuhannya harus pas. Jika tak pas maka arwah yang merasuki si dukun tak mau menari. Karena itu dibutuhkan penabuh gendang yang mempunyai kemampuan spiritual juga. 27 Menurut Oxford Dictionary Online <http://www.oxforddictionaries.com/definition/shaman> shaman berarti “a person regarded as having access to, and influence in, the world of good and evil spirits” (seseorang yang diyakini mempunyai akses dan pengaruh terhadap dunia roh-roh, baik ataupun jahat). Selanjutnya ditulis dengan istilah 'dukun'. 17 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. Pak Geman mendapatkan 'kemampuan' pada usia 27 tahun. Suatu hari ketika ia bangun tidur ada batu-batuan bagus berbentuk segi enam dan segi delapan di sampingnya. Makhluk halus, yang oleh Pak Geman disebut 'setan', mendatanginya dan mengatakan batu itu untuk mengobati orang yang terkena penyakit yang disebabkan oleh setan. Hampir semua dukun dapat berkomunikasi dengan setan ini. Namun ada waktu-waktu tertentu, atau tak boleh sembarangan. Ada setan yang mengikuti Pak Geman, namun mereka berkomunikasi pada waktu tertentu saja. Setan menampakkan diri dalam wujud seram. Ayam, piring, dan jarum digunakan untuk membayar adat ketika pengobatan. Jarum melambangkan pengeras. Obat hanya dibuatkan untuk orang sakit ketika ada yang sakit, tidak boleh disimpan. Contoh misalnya obat demam, terbuat dari daun jaram dan daun kabu yang dicampur air lalu dikompreskan. Salah satu ritual praktik shamanisme yang masih dilakukan yakni cabuh, penyembuhan orang sakit dengan darah babi dan darah ayam. Ada satu ritual cabuh yang saya saksikan secara langsung, yakni ketika penyembuhan Pak Senar, seorang dukun yang sering membantu menyembuhkan orang lain, namun terkena tulah atau kena balas. Upacara ini bisa diadakan kapan saja jika siap, tak ada hari-hari khusus. Meskipun Pak Senar sendiri dukun, namun ia tak bisa mengobati dirinya sendiri. Jadi harus dengan perantaraan dukun lain. Pak Senar yang sakit kena balas atau tulah karena sering menyembuhkan orang lain, ketika siang tak merasa sakit. Namun ketika malam (terlebih lagi kalau terang bulan) maka sakitnya akan kumat. Biasanya penglihatan menjadi kacau dan kepala pusing luar biasa. Deskripsi ritual cabuh yang saya saksikan akan dipaparkan sebagai berikut. Upacara pertama dinamakan loboh manta atau upacara ketika makanan belum dimasak. Acara cabuh ini dilakukan di dapur, sekeluarga yang sakit tidak memakai baju dan terdapat semacam gong yang dihias seperti singgasana. Yang dipotong ialah seekor babi dan dua ekor ayam. Para dukun yang ditandai dengan ikat kepala yang berbeda warna mengelilingi semacam sesaji. Ada tiga dukun dalam ritual ini, yakni Pak Geman, Kakek Urus, dan Pak Tengge. Dukun utama, Pak Geman, memakai ikat kepala putih. Ketiga dukun bersahutsahutan membaca mantera dalam bahasa Kualan. Ketika Pak Geman membaca mantera, 18 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. sesekali Pak Senar membantu menyempurnakan bacaannya. Sesaji yang ada antara lain beras kuning, telur, tuak, bulu ayam, dan semacam tanaman. Kayu-kayu yang berguna untuk ritual, antara lain: kayu dingin, kayu diduk, kayu soro, kayu jelatang, daun pegaga, daun limau, dan calang pati. Para dukun terus membaca mantera dan berkonsentrasi. Sesekali beras dilemparkan ke udara dan mengenai yang sakit. Tuak dituang ke cawan dan diaduk tiga kali dengan menggunakan bulu ayam. Tuak lalu diminum bergantian oleh para dukun dan sekeluarga yang sakit. Setelah itu tuak diaduk dengan tangan dan disiram ke atas kepala. Tuak, hati ayam, dan beras berfungsi sebagai pomang atau doa untuk mantra, yang dalam upaya penarak atau pengumpan makhluk halus. Mantera dan doa dipanjatkan kepada Duwata. Ayam dipegang dan ditumpuk dengan kumpulan daun. Babi dan ayam lalu diletakkan di atas singgasana, dan Pak Senar sekeluarga duduk di bawahnya, di atas gong. Babi lalu ditusuk di bagian leher sehingga sekeluarga akan 'mandi’ darah babi. Pak Geman juga melakukan tampong tawar atau memercikkan air dengan daun salam juga melemparkan beras sambil terus membaca mantera. Pak Senar memimpin pembacaan mantera, diikuti oleh sahutan para dukun. Prosesi selanjutnya pindah ke sungai. Semua orang ikut di sana, dan babi digotong juga. Di sungai Pak Senar sekeluarga dimandikan, dan kemudian babi disembelih. Pak Senar sekeluarga juga dimandikan dengan darah babi dan darah ayam. Pak Geman melemparkan air suci dan beras putih. Sesudah itu kembali ke rumah lagi. Babi dan ayam dibakar untuk dibersihkan. Para dukun mendapat bagian paha babi dan paha ayam. Bulu ayam dan babi, 'sepatu' babi, dan potongan hidung babi diambil oleh dukun untuk pomang, yakni untuk berkomunikasi dengan makhluk halus. Pak Senar sekeluarga duduk di atas gong dan disiram dengan air akar dari dalam bambu. Upacara tahap ini selesai, dan akan dilanjutkan lagi menjelang sore hari dengan makan-makan bersama. Yang Berubah, Yang Menyesuaikan Sang pemimpin umat Katolik, Pak Yulius Awok, dalam misa menyatakan bahwa 19 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. gereja berhasil menggantikan adat orang-orang terdahulu yang tak sesuai dengan Alkitab. Sementara ujarnya masih banyak daerah lain masih terbagi dua antara ajaran gereja dan adat nenek moyang. Lanjutnya selama adat itu tak bertentangan dengan gereja, maka wajib dipertahankan. Apabila menyimpang, maka harus ditinggalkan. Ada banyak hal yang berubah di Kerawang sejak masuknya gereja, sebut saja pola pemukiman betang panjang yang menjadi rumah-rumah tersendiri, pesta perkawinan adat yang digantikan perkawinan di gereja, preferensi dalam hubungan patron-klien tokay dan anak-buah, serta hal-hal lainnya. Dalam perkara perkawinan misalnya, dulu perkawinan adat butuh waktu lama dan biaya banyak. Perkawinan adat dimulai dengan musyawarah lalu ngambil baya (mengambil jiwa). Prosesi ngambil baya semacam melamar. Misal warga Kerawang ingin menikahi warga Balai Imbung, maka perwakilan Kerawang datang ke Balai Imbung menemui orangtua, tetua adat, dan kepala kampung untuk memboyong warga Balai Imbung itu ke Kerawang. Sementara perkawinan gereja lebih singkat. Pasangan yang sudah pacaran lalu bertunangan dengan diberkati oleh pemimpin umat. Dalam masa pertunangan selama dua atau tiga bulan itu, pasangan boleh membatalkannya, namun tidak boleh 'bersentuhan'. Jika sudah 'bersentuhan', maka pastor atau pendeta idak akan mau memberkati. Menurut gereja, usia layak kawin untuk laki-laki minimal 20 tahun dan perempuan minimal 18 tahun. Secara adat, tak ada batasan usia kawin, namun pasangan harus mandiri dan bertanggung jawab. Acara gawai di Kerawang tak selalu sepenuhnya gawai yang merayakan pesta panen, kadang juga digabungkan dengan pesta perkawinan, sehingga ada istilah gawai panen dan gawai kawin. Yang membedakan antara gawai panen dan gawai kawin hanyalah dalam gawai kawin sebelumnya dilaksanakan prosesi nikah gereja, lalu kemudian nikah adat. Menteri Adat Dusun Kerawang memaparkan bahwa penggabungan antara pesta panen dan pesta perkawinan dalam satu acara gawai ini ialah semata faktor efisiensi dan penghematan, dilakukan baru beberapa tahun belakangan. Untuk menyelenggarakan prosesi pesta perkawinan adat, diperlukan biaya yang sangat besar karena harus memotong banyak babi dan membuat berliter-liter tuak. Meski dalam adat setempat yang menanggung seluruh biaya perkawinan ialah kedua keluarga terkait secara sama rata, namun tetap saja biaya yang harus dikeluarkan sangat besar. Untuk meringankan beban pesta perkawinan ini, maka digabungkan 20 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. dengan acara gawai panen yang diselenggarakan pada pertengahan tahun. Dengan adanya penggabungan ini, maka keluarga yang menyelenggarakan pesta mendapat banyak bantuan materi dan tenaga dari tetangga, kerabat, dan sesama warga satu kampung. Namun meskipun begitu adat sama sekali tak ditinggalkan. Adat kadang berguna dalam perihal tertentu. Untuk kawin sedarah misalnya, karena gereja melarang, maka menggunakan kawin adat dengan syarat memotong babi putih, anjing putih, dan ayam putih. Dalam perkara perceraian, adat juga tampil. Gereja Katolik melarang perceraian28. Dalam kondisi terpaksa, ketika dalam hitungan tahun si suami menelantarkan isteri, maka hukum adat terpaksa dilakukan. Yang dilakukan ialah perceraian adat, namun tidak bercerai oleh gereja. Jika suami kembali dan keduanya sepakat rujuk seperti dulu, maka akan dilakukan kawin adat lagi, bukan kawin secara gereja. Dalam perihal administrasi formal, posisi gereja di antara para penganut religi lama juga berujung pada sedikit kericuhan. Misalnya saja pada Sensus Penduduk Tahun 2000, Kecamatan mengharuskan data agama berdasarkan data gereja. Gereja Katolik Kerawang terdaftar sekitar 90-an kepala keluarga, dan Gereja Protestan Kerawang terdaftar 40-an kepala keluarga. Waktu itu di Kerawang ada sekitar 170-an kepala keluarga. 40-an kepala keluarga yang tak terdaftar di kedua gereja lantas oleh Kecamatan didaftarkan sebagai Islam 29. Padahal ujar Pak Yulius Awok, sebagian besar ialah 'animisme'. Agar kejadian serupa tak terulang pada Sensus Penduduk Tahun 2010, maka Pak Yulius Awok mengkategorikan yang dekat dengan orang Katolik sebagai Katolik, dan yang dekat dengan Protestan sebagai Protestan. Setelah masuknya gereja-gereja ke Kerawang, masyarakat Dayak Kuwalan di sana yang tadinya homogen dan komunal, mulai terbagi-bagi menjadi beberapa kubu. Ada tiga kubu, dan dua gereja. Kubu Protestan yang tinggal di bagian hilir, kubu Katolik di bagian tengah, dan kubu 'animisme' di pondok-pondok di tengah hutan. Pengkubuan ini tak sekadar mengada-ada, namun tercermin dari keseharian masyarakat Kerawang. Yang jelas-jelas terlihat ialah pola pemukiman. Dulu orang-orang Kerawang masih 28 “Gereja Katolik mengajarkan bahwa perkawinan yang ratum dan consummatum bersifat tidak terceraikan. Pemutusan pernikahan hanya berlaku untuk perkawinan non consummatum. Pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan untuk perkawinan yang sejak semula memiliki halangan.” (Santoso, 2008) 29 Di Kalimantan Barat sudah tercipta imej bahwa Melayu adalah Islam dan Dayak adalah non-Islam, atau juga Kristen. Itulah sebabnya mengapa orang Dayak yang masuk Islam akan malu mengaku Dayak dan oleh lingkungannya akan memaksanya untuk mengaku Melayu. 21 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. tinggal dalam satu rumah betang panjang. Namun setelah masuknya gereja, rumah itu dibongkar dan komplek pemukiman dengan rumah-rumah per keluarga batih mulai dibuat. Sekarang, orang-orang Protestan cenderung tinggal mengelompok di bagian hilir Kerawang, dekat dengan gerejanya. Sementara orang-orang Katolik menyebar di pusat kampung. Di lain pihak, yang menetap di pondok-pondok di tengah hutan hampir semuanya masih bertahan dengan religi lama. Selain itu sentimen antar gereja pun sangat terasa, mulai dari bisik-bisik mengenai kelengkapan gereja hingga tata-cara ibadat. Perbedaan agama ini kadang juga menjadi preferensi hubungan patron-klien. Seorang anak-buah cenderung akan memilih tokay yang seagama dengannya. Inilah mengapa Pak Teras, salah satu dari sedikit tokay yang beragama Protestan masih dapat bertahan selama puluhan tahun dengan beberapa anak-buah yang setia, yang seagama dengannya. Salah satu corong gereja untuk menanamkan ajarannya dalam masyarakat Kerawang yakni melalui khotbah setiap misa atau persekutuan. Khotbah memegang peranan cukup penting dalam pengajaran Kristen dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Orang-orang Kerawang yang dulunya bekerja setiap hari kini tidak bekerja di hari Minggu karena ajaran gereja untuk melayani tuhan di hari itu. Sebuah Kesimpulan Hampir semua orang di Kerawang akan selalu mengatakan, “pantang sudah tak ada, gereja sekarang yang menjadi panutan”. Mereka tak mau lagi disebut sebagai orang pedalaman yang masih percaya akan hal mistis, karena itu mereka mencoba terlihat sebagai orang 'beragama', yang percaya akan tuhan yang maha esa. Gereja tidak begitu saja menghilangkan sisa-sisa ajaran lama 30. Berbagai ajaran lama itu masih dipraktikkan secara langsung, misalnya dalam hal pantangan, sesaji, dan perdukunan, dan sebagian lagi diwujudkan ke dalam berbagai hukum adat. Hukum adat yang ada sekarang ini merupakan bentuk dari ajaran-ajaran lama yang memakai wajah baru. Contohnya adat yang mengatur perkawinan sedarah, yang nyata-nyata kontra dengan gereja. 30 “Karya misi Katolik berjasa dalam mencapai peralihan halus dari yang lama kepada yang baru tanpa paksaan. Ia menjembatani antara adat kebiasaan tradisional dan pikiran modern dan berpenilaian tepat tentang budaya yang ditemukannya.” (De Marchena via Subagya, 1981:48). 22 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. Di sini gereja mencoba 'berdamai' dengan adat yang merepresentasikan ajaran-ajaran lama. Gereja tak akan mungkin secara frontal menghapus fondasi kepercayaan yang sudah tertanam dalam masyarakat Kerawang. Misi gereja juga mencakup “pemribumian iman sesuai dengan kepribadian bangsa menghasilkan gereja setempat” (Subagya, 1981:50-51). Dengan jalan tengah inilah gereja dapat diterima oleh masyarakat. Gereja berperan dalam iman dan kepercayaan, sementara adat mengurusi perihal hukum dan pengambilan keputusan. Tawar-menawar jalan tengah ini terlihat jelas misalnya dalam renungan yang disampaikan oleh pemimpin umat pada misa Katolik, mengenai bagaimana Alkitab menyikapi kebiasaan meminum tuak31. Dari sini dapat dilihat bahwa agama tak hanya sekadar menjadi ajaran agama itu sendiri, namun juga menjadi 'pembenaran' atas ajaran-ajaran lama. Dengan adanya 'pembenaran' ini posisi gereja menjadi lebih kuat dalam masyarakat. Meski seseorang kadang masih mempraktikkan ajaran-ajaran lama, namun semangat Kekristenan juga makin menguat dalam kehidupan sehari-hari –dalam hal kecil misalnya melibatkan kata 'tuhan' dalam hampir tiap pembicaraan. Individu lah yang “merepresentasikan masyarakat dalam agama, yaitu melalui ketaatan kepada aturan-aturan keagamaan, misalnya dengan menjalankan ritual-ritual keagamaan.” (Gaguk, 2011). Namun gereja tak sekadar mengubah hal-hal yang bersifat linear, namun juga 'memecah' masyarakat Kerawang. Pengkubuan yang terjadi berdasarkan agama menghasilkan kubu-kubu Protestan, Katolik, dan 'animisme'. Perbedaan agama ini tak sekadar dalam hal kepercayaan saja, namun juga berakibat ke hubungan sosial. Tak jarang sentimen maupun gesekan-gesekan terjadi antar penganut agama yang berbeda, Gereja, di satu sisi berhasil menyesuaikan diri dengan ajaran-ajaran lama sehingga mendapatkan tempat yang istimewa bagi penganutnya, di sisi lain gagal mempertahankan sifat komunal masyarakat Dayak yang disimbolkan dalam rumah betang panjang32. Gereja bagaikan pedang bermata dua bagi masyarakat Dayak; menguatkan sekaligus merapuhkan. *** 31 “...di dalam Alkitab tak ada larangan meminum minuman keras, karena dalam perjamuan pun Yesus Kristus dengan mukjizat-Nya mengubah air menjadi anggur. Yang Alkitab larang yakni kebiasaan minum hingga mabuk dan tak dapat mengontrol diri...” (kutipan khotbah renungan misa Pak Yulius Awok, 4 Juli 2010) 32 Selain menggambarkan struktur sosial masyarakat Dayak, rumah betang panjang juga “tak hanya sekedar sebuah tempat, namun lebih dari itu ruang adalah gambaran dari raga, jiwa dan sorga” (Guntur, 2007:14). 23 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. Bibliografi Buku Abdullah, Taufik (ed.). 1979. Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES. Dove, Michael Roger. 1985. Swidden Agriculture in Indonesia. Berlin: Mouton Publishers. Durkheim, Emile. Sejarah Agama. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003. Lauer, Robert H.. 1993. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta. Lontaan, J.U.. 1975. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Jakarta: Bumirestu. Petebang, Edi & Sutrisno, Eri. 2001. Konflik Etnik di Sambas. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi. Riwut, Tjilik. 1993. Kalimantan Membangun – Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta: Tiara Wacana. ---------. 2003. Maneser Panatau Tatu Hiang: Menyelami Kekayaan Leluhur. Palangkaraya: Pusaka Lima. Spradley, James. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Subagya, Rachmat. 1981. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan dan Yayasan Cipta Loka Caraka. Artikel Busse, Mark. 2005. “Wandering Hero Stories in the Lowlands of New Guinea: Culture Areas, Comparison, and History” dalam Cultural Anthropology, Vol. 20, Issue 4 (Nov. 2005). Berkeley: University of California Press. Gunawan, Rudy. 2011. “Gawai di Sei Kembayau: Eksistensi Perempuan Dalam Pertunjukan” dalam Jurnal RANAH, Mei 2011. Yogyakarta: Keluarga Mahasiswa Antropologi UGM. Guntur, Mandarin. 2007. “Makna Ruang pada Rumah Betang Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah: Menapak Hidup ke Nirwana Tanpa Neraka” dalam Proceeding 24 Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Rudy Gunawan E. PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil), Vol. 2. Depok: Universitas Gunadarma. Mencuccini, Yulius Giulio. 2001. “Melayani Sesama Dalam Membangun Tata Dunia Baru: Sebuah Refleksi Perjalanan Karya dan Arah Keuskupan Sanggau” dalam Rosariyanto, Hasto (ed.) Bercermin Pada Wajah-Wajah Keuskupan Gereja Katolik Indonesia pada Awal Abad ke-21. Yogyakarta: Kanisius. Tylor, Edward Burnett. 1979. “Animism” dalam Lessa, William Armand & Vogt, Evon Zartman (ed.) Reader in Comparative Religion. New York: Harper and Row. Yitno, Amin. 1996. “Kebudayaan Dayak dan Pembangunan: Upaya Pemahaman PrinsipPrinsip Demokrasi” dalam Mohammad Najib, dkk (ed.) Demokrasi Dalam Perspektif Budaya Nusantara. Yogyakarta: LKPSM. Internet Gaguk, Bastian. 2011. Agama dan Perubahan Sosial: Sebuah Telaah Pemikiran Karl Marx dan Emile Durkheim. [Dalam jaringan] <http://filsafat.kompasiana.com/2011/03/15/agama-dan-perubahan-sosial-sebuahtelaah-pemikiran-karl-marx-dan-emile-durkheim/> [diakses 6 Mei 2011]. Santoso, Eko Budi. 2008. Perceraian dalam Gereja Katolik. [Dalam jaringan] <http://ekobs70.blogspot.com/2008/11/perceraian-dalam-gereja-katolik.html> [diakses 7 Mei 2011]. Tompkins, Scott. 2009. Bob Williams –Borneo missions pioneer and New Tribes co-founder– dies at 98. [Dalam jaringan] <http://www.assistnews.net/Stories/2009/s09070217.htm> [diakses 5 Mei 2011]. Kitab Suci Lembaga Alkitab Indonesia. 2006. ALKITAB Terjemahan Baru. Jakarta: Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia. 25