gereja dan transformasi sosial dalam masyarakat dayak kuwalan di

advertisement
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
LAPORAN TIM PENELITIAN LAPANGAN MELIAU 2010
ARTIKEL
GEREJA DAN TRANSFORMASI SOSIAL DALAM MASYARAKAT
DAYAK KUWALAN DI HULU SUNGAI BUAYAN
Rudy Gunawan E. (SA/14887)
Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK
Salah satu faktor kunci penyebab perubahan yakni masuknya unsur baru dari luar.
Agama baru dari luar yang masuk ke dalam suatu masyarakat sudah pasti akan
membawa perubahan bagi masyarakat itu. Kekristenan yang dibawa oleh
misionaris-misionaris Barat dan menyebar di kalangan masyarakat-masyarakat
Dayak di pedalaman Kalimantan membawa efek perubahan yang tak bisa dibilang
kecil. Tulisan ini mencoba mempelajari bagaimana Kekristenan (Christianity)
yang diwakilkan oleh institusi gereja masuk dan mempengaruhi kehidupan
masyarakat Dayak Kuwalan di Dusun Kerawang, Kalimantan Barat. Pada dekade
1970-an hingga 1980-an ajaran Protestan dan Katolik yang dibawa oleh para
misionaris Barat perlahan menggantikan religi lama di Kerawang, agama nenek
moyang masyarakat Dayak Kuwalan. Ruang lingkup di mana perubahan itu
terjadi jelas sangat luas, mulai dari tentu saja religi dan kepercayaan, lalu tak
ketinggalan pula sistem kekerabatan, pola menetap, hubungan sosial, tradisi, adatistiadat, pendidikan, konsumsi, pemerintahan dan kekuasaan, hingga kapital dan
mata pencaharian. Semua yang dibawa gereja tak lantas diterima secara mentahmentah oleh masyarakat, ataupun juga tidak langsung menghilangkan unsur-unsur
lama, namun ada proses adaptasi dan akulturasi yang terjadi dalam menyikapinya.
Gereja dan adat dapat berdampingan dan berjalan beriringan tapi sekaligus juga
memendam potensi pergesekan satu sama lain. Tawar-menawar antara bagaimana
unsur baru itu diterima namun juga sekaligus mempertahankan unsur lama agar
tak tergerus hilang menjadi proses transformasi yang masih tetap berlangsung
hingga sekarang dalam masyarakat Dayak di seluruh penjuru Kalimantan.
Kata kunci: Gereja, Kristen, Dayak, transformasi, adaptasi, akulturasi
1
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
“Saya, Yulius Awok, titip salam kepada seluruh orang Dayak di Kalimantan.
Dalam lindungan Yesus Kristus kita bersatu!”
(Wawancara dengan Yulius Awok1, pemimpin umat Katolik Kerawang, tanggal 4 Juli 2010)
Sekilas Pengantar
Kebanyakan
tulisan-tulisan
mengenai
transformasi
sosial
seringkali
alpa
mendefinisikan dengan jelas konsep transformasi yang diulasnya 2. Padahal penegasan
definisi atau batasan ini perlu agar menjaga pembahasan tetap pada alurnya dan menyajikan
analisis yang tepat pada suatu kasus.
Dalam tulisan ini, transformasi sosial, atau lebih sederhananya perubahan sosial, dapat
didefinisikan sebagai “perubahan fenomena sosial di berbagai tingkat kehidupan manusia,
mulai dari tingkat individual hingga tingkat dunia” (Lauer, 1993:5). Lebih kompleks lagi,
definisi perubahan sosial dapat dijelaskan sebagai “variasi atau modifikasi dalam setiap aspek
proses sosial, pola sosial, dan bentuk-bentuk sosial, serta 'setiap modifikasi pola
antarhubungan yang mapan dan standar perilaku'” (Fairchild dan Lundberg, Schrag, Larsen,
Catton via Lauer, 1993:4). Batasan yang diberikan untuk 'perubahan sosial' di sini yakni
perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat baik dari tingkat individu hingga komunitas.
Salah satu faktor perubahan sosial yakni agama, karena “agama merupakan sesuatu
yang benar-benar bersifat sosial3” (Durkheim, 2003:29). Dari pemahaman ini dapat dikatakan
agama tak dapat dipandang sebagai kepercayaan individu belaka yang lepas dari masyarakat,
namun sebagai kepercayaan kolektif terbentuk setelah adanya masyarakat. Agama dalam
pengertian inilah yang hendak dihubungkan dengan perubahan sosial dalam masyarakat.
Agama-agama memandang perubahan sebagai sebuah keharusan, dalam hal ini
perubahan dari sesuatu yang dicap sebagai kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan,
ketertindasan menuju masyarakat yang berprikemanusian dan berperadaban. Agama
1 Nama informan disamarkan. Selanjutnya semua nama informan dalam tulisan ini memakai nama samaran.
2 Lauer (1993:5) menuliskan bahwa “perdebatan mengenai perubahan sosial terjadi karena orang lupa tentang
berbagai tingkat dan lupa membedakan tingkatnya”.
3 Definisi agama menurut Durkheim sendiri dalam bukunya The Elementary Forms of the Religious Life
(1912) yakni “sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang
kudus; kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang
tunggal.”
2
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
menawarkan perubahan yang lebih baik sebagai 'barang jualan' atau posisi tawar agar
eksistensinya tak hilang dalam suatu masyarakat. Namun tidak selamanya perubahan yang
diakibatkan sepak terjang agama dapat berdampak kemajuan peradaban bagi manusia. Tidak
sedikit perubahan yang mengarah pada kemunduran.
Agama-agama yang menawarkan perubahan dalam masyarakat-masyarakat lain
umumnya bersifat ekspansif, atau menginginkan penyebaran ke seluruh dunia. Prinsip
perubahan sebagai sebuah keharusan universal ini umumnya dibawa oleh agama-agama
Abrahamik4 yang monoteistik, yang wilayah penyebarannya hingga ke seluruh penjuru dunia.
Dalam tulisan ini saya ingin memfokuskan fenomena agama dan perubahan sosial
pada kasus bagaimana Kekristenan (baik Protestan maupun Katolik) masuk dan menyebar di
kalangan masyarakat-masyarakat Dayak di Kalimantan, serta bagaimana agama yang
disimbolkan dengan institusi gereja tersebut membawa perubahan yang mempengaruhi
kehidupan penganutnya. Secara umum perubahan sosial dalam masyarakat Dayak 5 sendiri
disebabkan oleh “pendidikan formal, penyebaran agama-agama asing (agama modern),
dominasi budaya luar, hukum yang memihak penguasa, dan invasi kapitalis internasional”
(Petebang dan Sutrisno, 2001:179).
Dari landasan berpikir itu lantas muncul berbagai pertanyaan. Bagaimana dan
mengapa gereja dapat masuk dan diterima oleh masyarakat Dayak? Perubahan apa saja yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat Dayak setelah masuknya gereja? Bagaimana proses
'tawar-menawar' yang terjadi sehingga masuknya gereja tak serta-merta mengikis unsur-unsur
lama? Berbekal data-data etnografi6, tulisan ini bermaksud menjawab pertanyaan-pertanyaan
itu dengan mengambil studi kasus gereja-gereja yang ada di kalangan masyarakat Dayak
Kuwalan di Dusun Kerawang, Kalimantan Barat7.
4 Yang termasuk dalam agama-agama Abrahamik, atau agama-agama anak-cucu Abraham/Ibrahim dari tradisi
Semit yakni Yudaisme, Kekristenan, dan Islam.
5 Faktor-faktor penyebab perubahan sosial dalam masyarakat Dayak (ditulis sebagai 'lima faktor penyebab
hancurnya kebudayaan Dayak) ini didasarkan pada hasil penelitian Institut Dayakologi pada tahun 1998.
6 Data etnografi merupakan data yang diperoleh dari metode penelitian etnografi, “metode yang menemukan
dan menggambarkan organisasi pikiran (mind) manusia yang di dalamnya terdapat budaya” (Spradley,
2007:xii).
7 Penelitian di kalangan masyarakat Dayak Kuwalan di Dusun Kerawang, hulu Sungai Buayan ini dilakukan
selama sebulan penuh, Juli 2010. Saya tergabung dalam Tim Penelitian Lapangan Antropologi “Ekspedisi
Sungai Buayan” yang 60 peserta dari Universitas Gadjah Mada, University of Toronto, dan Rijkuniversteit
Leiden.
3
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
Selayang Pandang Kerawang
Kerawang merupakan sebuah dusun yang berada di hulu Sungai Buayan yang
bermuara di Sungai Kapuas. Secara administratif dusun ini berada di Desa Sei Kembayau,
Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat.
Perjalanan menuju dusun yang berada jauh di ujung selatan Kecamatan Meliau ini
dapat ditempuh kira-kira selama 5-6 jam menggunakan kendaraan bermotor melalui jalan
darat dari ibukota Kecamatan Meliau. Jika melalui jalan air, dengan sampan bermotor
menyusuri Sungai Buayan, kira-kira 5 jam hingga muara Sungai Rosan lalu dilanjutkan
sekitar 1-2 jam lewat jalan darat menggunakan kendaraan bermotor. Letaknya di daerah
perbukitan, hulu sungai, dan kondisi jalan tanah yang rusak parah di berbagai tempat
menjadikan Kerawang cukup terisolasi dari dunia luar, apalagi belum terjangkau oleh sinyal
telepon juga perusahaan listrik negara.
Meskipun mendapat label sebagai 'dusun terujung di hulu sungai', namun Kerawang
termasuk dusun yang cukup besar. Dari data monografi tahun 2009, penduduk Kerawang
mencapai 178 kepala keluarga, dan terus meningkat setiap tahunnya. Seluruh penduduk
Kerawang ialah orang Dayak, dengan hampir semuanya dari sukubangsa Dayak Kuwalan,
dan sebagian kecil lagi dari sukubangsa Dayak Desa, Dayak Kancink'g, Dayak Pampang, dan
Dayak Ketiyur dari daerah sekitar yang menetap karena terikat hubungan perkawinan.
Sukubangsa Dayak Kuwalan sendiri termasuk dalam kelompok Dayak Klemantan 8
atau Dayak Darat (Lontaan, 1975:56), dan menggunakan bahasa Kuwalan. Kerawang sendiri
dulunya merupakan tanah milik sukubangsa Dayak Desa. Lalu dibeli dan ditempati oleh
orang-orang Dayak Kuwalan yang bermigrasi dari daerah Sungai Kuwalan di Ketapang.
Konon dahulu kala di hutan hanya terdapat beberapa kepala keluarga, tepatnya di Pondok
Obu. Lantas karena merebaknya wabah penyakit, orang-orang Kuwalan ini terus berpindah
hingga masuk ke wilayah Dayak Desa, yang kini menjadi Dusun Kerawang.
Menurut penuturan Pak Mateus Awai, seorang tokoh masyarakat, nama Kerawang
8 Dayak Klematan terdiri dari dua suku kecil dan empat puluh tujuh suku kekeluargaan. Kategorisasi ini
berdasarkan apa yang Lontaan (1975:47-64) kumpulkan dari data-data H.J. Malinckrodt, W. Stohr, dan F.H.
Duman.
4
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
berasal dari nama kayu madu yang berlubang di tengahnya. Kerawang pernah beberapa kali
berganti nama, awalnya dimulai dengan nama Kerawang, lalu berganti nama menjadi
Tanjung Awur karena terdapat banyak pohon Awur. Beberapa waktu kemudian menjadi
Tanjung Anti, akibat ada semacam tren pakaian 'anti', hingga akhirnya kembali ke nama awal,
Kerawang.
Wilayah pemukiman di Kerawang memanjang di sisi timur Sungai Buayan. Ini
merupakan ciri utama pemukiman masyarakat Dayak, hampir selalu berada di tepi sungai.
Sungai, bagi masyarakat Dayak, merupakan fondasi kehidupan. Hampir semua kegiatan
sehari-hari berada atau tergantung pada kebaradaan sungai, misalnya mandi dan
membersihkan diri, mencuci pakaian maupun perkakas lainnya, mencari ikan, membuang
kotoran, hingga keperluan air minum. Pola pemukiman yang memanjang sekitar sungai inilah
yang mempengaruhi pembagian wilayah di Kerawang: Kerawang Hilir, Kerawang Pusat,
Mungguk Durian, dan Kampung Baru9. Pembagian wilayah geografis ini juga menjadi dasardasar kategorisasi wilayah Rukun Tetangga (RT).
Selain tinggal di wilayah pemukiman di sepanjang Sungai Buayan, beberapa kepala
keluarga memilih untuk menetap di pondok-pondok yang terletak di tengah hutan, sekitar
satu jam ditempuh dengan berjalan kaki. Dari 178 kepala keluarga, ada 17 kepala keluarga
yang tinggal di pondok jauh dari perkampungan. Namun ada pula kepala keluarga yang
bermukim di kampung tapi memiliki pondok, yakni 111 kepala keluarga. Sisanya 50 kepala
keluarga hanya memiliki rumah di kampung. Alasan orang-orang Kuwalan menetap atau
memiliki pondok ialah agar dekat dengan ladang, hutan karet, dan kandang ternak babi
mereka. Setiap beberapa hari sekali penghuni pondok akan turun ke kampung untuk membeli
keperluan sehari-hari dan menjual hasil bumi mereka. Sementara mereka yang tinggal di
pondok biasanya bermalam di kampung pada Sabtu dan Minggu untuk ke gereja.
Mata pencaharian utama mayoritas penduduk Kerawang bergantung pada hutan karet,
berbeda dengan dusun-dusun di bagian hilir Sungai Buayan yang telah dimasuki perkebunan
kelapa sawit. Sebagian dari mereka noreh (menyadap getah) karet, dan sebagian kecil lainnya
9 Karena faktor geografis dan kepadatan penduduk, tahun-tahun belakangan muncul wacana pemekaran
dusun, dengan wilayah Mungguk Durian dan Kampung Baru menjadi dusun baru yang terpisah dari
Kerawang.
5
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
menjadi tokay10 yakni penampung hasil noreh karet11. Selain itu mereka menggantungkan
hidupnya juga pada sistem ladang berpindah 12. Sementara itu, memelihara ternak seperti sapi,
babi, dan ayam bukan menjadi mata pencaharian, namun cenderung sebagai investasi atau
tabungan yang akan dipakai ketika dibutuhkan nantinya, misalnya dalam upacara
perkawinan, kematian, gawai13 (pesta panen), atau upacara keagamaan.
Dalam hal agama, masyarakat Kerawang terbagi menjadi dua faksi besar. Sebagian
memeluk agama Katolik, dan sebagian lagi Protestan. Menurut kartu wealth ranking14 yang
disusun bersama dengan Pak Mateus Awai, pemeluk Katolik saat ini berjumlah 95 kepala
keluarga, pemeluk Protestan 71 kepala keluarga, dan sisanya 12 kepala keluarga masih
bertahan dengan religi lama, ajaran nenek moyang. Pak Mateus Awai menyebut religi lama
ini sebagai 'animisme'. Semua penganut religi lama ini tinggal di pondok di tengah hutan.
Sejarah Misi Gereja di Hulu Sungai Buayan
Penyebaran agama Kristen di Kalimantan dimulai sejak abad ke-XIX. Kala itu masih
sedikit misi gereja di Kalimantan karena seringkali misionaris terbunuh oleh orang-orang
Dayak karena “dianggap sebagai kaki-tangan penjajah” (Riwut, 1993:133).
10 Istilah 'tokay' berasal dari bahasa Tionghoa Khek 'tow kay', yang artinya berarti juragan atau pedagang besar.
Meluasnya pengunaan istilah ini di kalangan non Tionghoa ialah karena para pionir pedagang besar
merupakan orang Tionghoa.
11 Terdapat sistem patron-klien yang menarik di Kalimantan Barat, disokong oleh hutan karet dan sistem
ladang berpindah. Seorang tokay yang berperan sebagai patron, mempunyai warung yang menyediakan
berbagai barang keperluan hidup sehari-hari. Anak-buah, kliennya, boleh bebas mengambil apa saja dari
warung si tokay. Anak-buah membayarnya dengan menyadap pohon karet milik tokay atau menjual karet
kepada tokay. Tokay ini menjadi penampung karet dan menjual karet dalam jumlah besar ke kota. Dalam
hubungan patron-klien ini, jika anak-buah mempunyai kesulitan ekonomi atau dihadapkan pada kebutuhan
mendadak seperti sakit, kematian, atau perkawinan, maka ia akan meminjam uang kepada tokay.
12 Pada sistem perladangan berpindah ini, setelah suatu tempat dirasa sudah tak lagi subur, tanamannya akan
dibakar, lantas masyarakat beranjak pindah dari wilayah tersebut. Sekiranya ketika 15-20 tahun lewat,
mereka akan kembali lagi, menemui tanah yang sudah subur karena terpupuk alamiah dari abu hasil
pembakaran tersebut, dan menjadi hutan kembali (Yitno, 1996:187).
13 Gawai yakni sebuah pesta panen yang biasanya diadakan saat memasuki bulan Mei hingga Juni. Pesta ini
selalu ditunggu-tunggu oleh semua orang karena merupakan saat-saat di mana saling bersuka cita dalam
pesta makan dan minum yang berlangsung selama beberapa hari. Gawai tak hanya dilakukan sekali per desa
per tahun, namun diselenggarakan oleh tiap-tiap dusun.
14 Metode wealth ranking merupakan metode kategorisasi warga berdasarkan lapis ekonominya. Yang
membuat kategorisasi ini biasanya ialah perangkat desa atau tokoh masyarakat yang mengenal baik semua
warganya. Caranya ialah membuat kartu sejumlah total kepala keluarga dan menuliskan masing-masing
nama kepala keluarga di kartu itu. Kemudian si perangkat desa atau tokoh masyarakat ini akan membagibagi berdasarkan kategori atau sistem pengetahuannya.
6
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
Zending Protestan yang mula-mula yakni Zending Barmen (Rheinnische Zending
Missionsgeselschaft) yang menjadikan Kalimantan sebagai Daerah Pekabaran Injil pada 15
Juli 1834. Salah seorang misionaris pionir yang datang ke Kalimantan yakni Barnstein
Hayer, seorang Jerman, pada tahun 1835.
Misi Katolik masuk ke Kalimantan sejak 1984 oleh Pastor Staal SJ dan difokuskan di
daerah Kalimantan Barat, terutama di Sambas, Singkawang dan Sintang. 11 Februari 1905
akhirnya didirikanlah Prefektur Apostolik Borneo (Kalimantan) yang berpusat di Pontianak.
Sebenarnya misi Katolik di daerah Meliau telah dimulai sejak tahun 1960 oleh para
Pater Passionis Italia dan Belanda, namun belum mencapai Kerawang yang terletak di hulu
Sungai Buayan, masih terkonsentrasi di daerah-daerah sekitar Sungai Kapuas.
Misionaris pertama yang datang ke Kerawang yakni seorang Protestan dari misi Go
Ye Fellowship dan New Tribes Mission, Robert 'Borneo Bob' Williams, seorang Amerika
Serikat. Orang-orang Kerawang, bahkan orang-orang Kalimantan lainnya, menyebutnya Opa
Williams15. Opa Williams merupakan misionaris Protestan yang sangat terkenal di
Kalimantan Barat, seorang pahlawan kebudayaan16 (culture hero). Ia memulai misinya sejak
tahun 1939, dan berhasil membaptis ribuan orang sepanjang Sungai Kapuas hingga tahun
1990-an. Selama lebih dari enam dekade ia berhasil “mendirikan sekolah-sekolah, klinik,
pelayanan dalam perahu kecil, dan seminari yang telah melatih dan mengutus ratusan pendeta
dan penginjil asli Indonesia” (Tompkins, 2009).
Pada akhir dekade 1970-an Opa Williams datang ke Kerawang untuk mengabarkan
Injil kepada orang-orang Dayak Kuwalan di sana yang masih menganut ajaran religi nenek
moyang. Ketika Opa Williams pertama kali datang, di Kerawang masih terdapat sebuah
rumah betang panjang17 dan beberapa rumah kecil di sekitar. Orang-orang Dayak Kuwalan
masih menganut religi nenek moyang, dengan banyak jimat, magis, serta pantangan dalam
kehidupan sehari-hari. Pendekatan Opa Williams mampu membuat satu demi satu orang
meninggalankan ajaran religi lama dan mau menerima Yesus Kristus sebagai juru selamat.
15 Istilah 'opa' ialah bahasa Belanda untuk 'kakek'.
16 Pahlawan kebudayaan secara umum dipandang sebagai seseorang yang membangun institusi-institusi
kehidupan dalam suatu masyarakat, sebagai tokoh yang memperkenalkan unsur-unsur kebudayaan, dan
membawa masyarakat ke arah peradaban.
17 Rumah tradisional betang panjang ialah rumah tradisional sukubangsa-sukubangsa yang berbentuk
panggung memanjang sehingga dapat menampung hingga puluhan keluarga.
7
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
Di awal dekade 1980-an, saat perkembangan umat Protestan meningkat pesat, muncul
wabah penyakit mematikan di Kerawang. Orang-orang Kerawang yang masih baru menerima
ajaran Yesus Kristus mulai meragukan agama itu dan menganggap wabah penyakit itu ialah
hukuman karena mereka telah mengingkari religi lama. Maka berbondong-bondong
kembalilah banyak orang ke religi lama, menyisakan sedikit sekali umat Protestan.
Beberapa tahun setelah itu masuklah agama Katolik, yang dibawa oleh Yulius Giulio
Mencuccini18, seorang pastor dari Italia. Ketika Katolik masuk, wabah penyakit sudah
mereda. Rumah betang panjang dibongkar, lalu penduduk tinggal di rumah-rumah yang
terpisah. Orang-orang Kerawang pun perlahan-lahan mulai menerima agama baru ini. 18
Agustus 1983, resminya masuk agama Katolik ke Kerawang.
Pada tahun 1984, sepeninggalnya Opa Williams, kepengurusan gereja di Kerawang
diserahkan kepada orang-orang Kerawang sendiri. Pertama-tama pemeluk Protestan hanya 6
kepala keluarga. Pada tahun 1988 berkembang menjadi lebih dari 10 keluarga. Gereja
Protestan di Kerawang ialah gereja YAPIN (Yayasan Pengabar Injil), yang merupakan cabang
dari Go Ye Fellowship, organisasi misi yang dirintis oleh Opa Williams di Amerika Serikat.
Tentang Gereja Katolik di Kerawang
Gereja Katolik di Kerawang bernama Gereja St. Antonius, terletak di bukit kecil di
belakang kampung. Gereja ini secara administratif berada di bawah Stasi Kerawang, Paroki
Meliau, Keuskupan Sanggau. Tak ada pastur yang bertempat di gereja ini. Pastur bertempat di
Meliau dan hanya datang jika ada perkawinan dan gawai. Karena itu gereja ini dipimpin oleh
seorang pemimpin umat. Pemimpin umat sekarang ialah Pak Yulius Awok, yang juga
merangkap guru senior di Sekolah Dasar Kerawang.
Hanya sekali saya mengikuti misa di Gereja St. Antonius, yakni pada minggu
pertama. Pada misa yang saya ikuti itu, tak banyak warga Kerawang yang pergi ke gereja.
Gereja hanya terisi sekitar ¾-nya saja, dengan sebagian besar perempuan. Tempat duduk
jemaat hanya kursi panjang tanpa sandaran. Hampir semua perempuan duduk di sisi kiri
hingga penuh. Semua laki-laki duduk di sisi kanan namun tidak penuh. Ada beberapa
18 Mgr. Yulius Giulio Mencuccini, C.P. menjadi Uskus di Keuskupan Sanggau sejak 22 Januari 1990 hingga
sekarang.
8
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
perempuan yang duduk di sisi kanan. Tak seperti di gereja-gereja di kota, warga Kerawang
tidak banyak berdandan ketika pergi ke gereja. Sebagian besar laki-laki hanya memakai kaos
oblong, celana panjang, dan sandal.
Misa Minggu dimulai dengan Salam Maria. Setelah itu dilanjutkan dengan nyanyian
panjatan pujian. Ada seorang Anak Altar, remaja laki-laki yang berpakaian rapi, berkemeja
putih. Ia memimpin doa dan janji Katolik, 'Doa-ku'. Seorang remaja perempuan lalu
membacakan ayat Alkitab, 1 Korintus 5:2-819 (Surat Paulus yang pertama kepada Jemaat di
Korintus, pasal 5 ayat 2 sampai 8). Lalu dilanjutkan dengan persembahan. Gereja Katolik
menggunakan kotak persembahan yang diedarkan dari tangan ke tangan.
Pak Yulius Awok sebagai pemimpin umat memberi renungan mingguan yang intinya
pergesekan adat dan agama. Ia mengatakan bahwa untuk mengikuti Yesus, seseorang harus
total berserah diri tanpa keraguan. Ia juga menyinggung kebiasaan minuman keras. Ujarnya
Alkitab tidak melarang minuman keras, karena dalam perjamuan pun Yesus mengubah air
menjadi anggur. Yang Alkitab larang ialah minum hingga mabuk dan tak terkontrol.
Tentang Gereja Protestan di Kerawang
Gereja Protestan di Kerawang terletak di atas bukit di bagian hilir dusun, bernama
Gereja Persekutuan Pengabar Injil Jemaat Yudea. Gereja ini merupakan denominasi Gereja
Persekutuan Pengabar Injil (GAPPIN) yang dimulai oleh Opa William, misionaris dari badan
misi Amerika, Go Ye Fellowship. Denominasi GAPPIN dirintis sejak tahun 1940 dalam
bentuk yayasan penginjilan yang bernama Yayasan Persekutuan Pengabar Injil (YAPPIN).
Secara organisasi keberadaan lembaga gereja ini baru terbentuk pada tahun 1981, setelah para
misionaris kembali ke negara mereka masing-masing20. Tak ada pendeta di gereja ini, namun
19 (2) Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu
Dia yang disalibkan. (3) Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan
gentar. (4) Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang
meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, (5) supaya iman kamu jangan bergantung pada
hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah. (6) Sungguhpun demikian kami memberitakan hikmat di
kalangan mereka yang telah matang, yaitu hikmat yang bukan dari dunia ini, dan yang bukan dari penguasapenguasa dunia ini, yaitu penguasa-penguasa yang akan ditiadakan. (7) Tetapi yang kami beritakan ialah
hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia, yang sebelum dunia dijadikan, telah disediakan Allah bagi
kemuliaan kita. (8) Tidak ada dari penguasa dunia ini yang mengenalnya, sebab kalau sekiranya mereka
mengenalnya, mereka tidak menyalibkan Tuhan yang mulia.
20 Kepulangan para misionaris terkait dengan kebijakan pemerintah Republik Indonesia yang membatasi
9
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
hanya dipimpin oleh seorang gembala gereja. Gembala yang sekarang yakni Pak Teras,
seorang Protestan pionir dan juga salah satu tokay terkaya di Kerawang.
Gereja yang sekarang ini ialah gereja yang kedua, karena gereja pertama pernah
dibangun pada tahun 1985. Gereja pertama ini mulai bisa digunakan sejak tahun 1988. Pada
tahun 2000 ada inisiatif untuk memperbesar gereja sehingga membuat gereja baru, karena
pertumbuhan umat yang cukup drastis. Akhirnya pada tahun 2006 gereja baru siap digunakan.
Pada awalnya gereja hanya terbuat dari kayu dan semen kasar. Lalu umat
mengumpulkan dana, sehingga dapat membeli keramik untuk lantai gereja. Salah satu cara
mengumpulkan dana ialah para ibu-ibu membentuk kelompok noreh karet yang terdiri dari
12 kelompok. Setiap hari Sabtu mereka bekerja dan hasilnya ditabung untuk dana gereja.
Jemaat perempuan mencari uang dengan noreh, sementara jemaat lelaki membangun gereja.
Dua kali saya mengikuti persekutuan di Gereja Persekutuan Pengabar Injil Jemaat
Yudea, yakni pada minggu kedua dan minggu keempat. Pada minggu kedua, ketika saya tiba,
para pemuda sedang memainkan musik syair-syair pujian. Namun gereja baru terisi kurang
dari setengah. Isi gereja Protestan kondisinya kurang lebih hampir mirip gereja Katolik.
Hanya saja lebih kecil. Di depan ada alat musik keyboard, drumset, dan gitar listrik. Kursi
gereja memiliki sandaran punggung yang juga berfungsi sebagai meja bagi kursi di
belakangnya. Meja ini untuk meletakkan Alkitab.
Di gereja Protestan sebagian jemaat berpakaian sangat rapi. Yang laki-laki berkemeja,
celana kain, dan sepatu. Yang perempuan berdandan secantik mungkin, ibu-ibu pun seperti
itu. Anak-anak yang ikut tak terlalu banyak dan tak ribut. Ketika syair pujian dimulai, gereja
hampir penuh. Dilanjutkan dengan doa, lalu kesaksian. dilanjutkan sesi persembahan. Gereja
Protestan memakai kantong persembahan yang dibawa oleh sepasang pemuda-pemudi.
Setelah ini yakni khotbah pembelajaran Alkitab, kali ini mengacu pada Perjanjian
Baru. Injil Matius 6:23-2621 (pasal 6, ayat 23 sampai 26), tentang pengorbanan. Inti dari
aktivitas misionaris-misionaris Barat pada dekade 1980-an.
21 (23) jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya
kegelapan itu. (24) Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan
membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak
mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." (25) Karena itu
Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum,
dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih
penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? (26) Pandanglah burung-burung di
10
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
pembelajaran Alkitab hari ini ialah sebagai orang Kristen, sebelum melakukan pengorbanan
maka haruslah berdamai dengan orang lain jika ada sengketa. Dalam suasana gawai,
pengorbanan di sini dicontohkan sebagai acara gawai.
Setelah pujian, ada doa terakhir. Dalam doa ini berkali-kali disinggung agar mereka
yang sakit dikuatkan iman, agar tuhan memberkati ladang dan pekerjaan bertani mereka, dan
mengenai anak-anak yang akan menempuh pendidikan.
Setelah itu ada pemberitahuan tentang pengangkatan anak. Dua bayi diangkat anak,
salah satu orangtua angkat masih lajang. Karena pihak gereja tak punya ritual pengangkatan
anak, maka cukup didoakan dan diserahkan ke tangan tuhan saja.
Pada minggu ketiga, ketika saya masuk, anak-anak sedang menyanyikan syair pujian.
Dilanjutkan dengan sesi kesaksian, seorang perempuan. Ia baru saja melahirkan anak
keduanya, laki-laki, yang dua minggu lalu baru saja diangkat anak oleh orang lain. Dalam
kesaksiannya ia mengucap syukur dapat melahirkan dengan selamat. Tak lupa ia juga berdoa
agar nantinya dapat melahirkan anak perempuan.
Acara dilanjutkan dengan pujian-pujian. Umat menyanyikan lagu 'Ku Bangga',
sembari kantong uang persembahan diedarkan. Persembahan tersebut lantas didoakan oleh
gembala gereja. Setelah itu kembali dengan puji-pujian 'Lingkupi Aku'.
Dalam pembelajaran Alkitab, seorang perempuan membacakan ayat Injil dari
Perjanjian Baru, kitab Ibrani 4:1-16 22 (Surat kepada orang Ibrani, pasal 4 ayat 1 sampai 16),
langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi
makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?
22 (1) Sebab itu, baiklah kita waspada, supaya jangan ada seorang di antara kamu yang dianggap ketinggalan,
sekalipun janji akan masuk ke dalam perhentian-Nya masih berlaku. (2) Karena kepada kita diberitakan juga
kabar kesukaan sama seperti kepada mereka, tetapi firman pemberitaan itu tidak berguna bagi mereka,
karena tidak bertumbuh bersama-sama oleh iman dengan mereka yang mendengarnya. (3) Sebab kita yang
beriman, akan masuk ke tempat perhentian seperti yang Ia katakan: "Sehingga Aku bersumpah dalam murkaKu: Mereka takkan masuk ke tempat perhentian-Ku," sekalipun pekerjaan-Nya sudah selesai sejak dunia
dijadikan. (4) Sebab tentang hari ketujuh pernah dikatakan di dalam suatu nas: "Dan Allah berhenti pada hari
ketujuh dari segala pekerjaan-Nya." (5) Dan dalam nas itu kita baca: "Mereka takkan masuk ke tempat
perhentian-Ku." (6) Jadi sudah jelas, bahwa ada sejumlah orang akan masuk ke tempat perhentian itu,
sedangkan mereka yang kepadanya lebih dahulu diberitakan kabar kesukaan itu, tidak masuk karena
ketidaktaatan mereka. (7) Sebab itu Ia menetapkan pula suatu hari, yaitu "hari ini", ketika Ia setelah sekian
lama berfirman dengan perantaraan Daud seperti dikatakan di atas: "Pada hari ini, jika kamu mendengar
suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!" (8) Sebab, andaikata Yosua telah membawa mereka masuk ke
tempat perhentian, pasti Allah tidak akan berkata-kata kemudian tentang suatu hari lain. (9) Jadi masih
tersedia suatu hari perhentian, hari ketujuh, bagi umat Allah. (10) Sebab barangsiapa telah masuk ke tempat
perhentian-Nya, ia sendiri telah berhenti dari segala pekerjaannya, sama seperti Allah berhenti dari
11
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
tentang aturan kerja orang Kristen.
Petikan ayat Alkitab ini menceritakan bahwa tuhan berhenti bekerja pada hari ketujuh.
Diharapkan dapat dipahami oleh warga gereja dan menjadi pedoman serta keyakinan bahwa
manusia harus mengikuti langkah tuhan dengan beristirahat dari pekerjaannya pada hari
ketujuh, yang dalah teologi Kristen ditafsirkan sebagai hari Minggu.
Dalam bekerja, gembala gereja menyatakan bahwa kemajuan ekonomi harus diikuti
dengan kemajuan rohani demi keseimbangan hidup. Jangan hanya mengejar dunia dengan
bekerja terus-menerus. Benar, bekerja adalah perintah tuhan, ujarnya. Namun ada suatu hari
di mana umat Kristen harus meninggalkan segala pekerjaan mereka dan berserah diri
sepenuhnya dalam pelayanan terhadap tuhan. Gembala gereja sangat optimis karena ia
mengatakan bahwa ada pertumbuhan yang sangat pesat dalam gereja Protestan di Kerawang
karena perkawinan dan kelahiran. Namun umat harus tetap sepenuhnya berusaha. Ia
menyayangkan sedikitnya umat yang datang ke gereja hari ini.
Dalam sesi doa, dilantunkan doa untuk segenap umat manusia, dan juga untuk semua
tindakan yang dilakukan manusia. Misalnya saja doa untuk keberhasilan berladang yang akan
dimulai bulan Agustus ini.
Tentang Religi Lama
Pak Mateus Awai menyebut religi lama ini dengan istilah 'animisme'. Animisme
sendiri ialah “sistem kepercayaan di mana manusia, dan semua makhluk hidup, maupun
benda mati mempunyai jiwa atau roh” (Tylor, 1979:11). Religi lama ini mempercayai
eksistensi roh-roh, termasuk roh nenek moyang, dan kekuatan tertinggi yang disebut Duwata.
pekerjaan-Nya. (11) Karena itu baiklah kita berusaha untuk masuk ke dalam perhentian itu, supaya jangan
seorangpun jatuh karena mengikuti contoh ketidaktaatan itu juga. (12) Sebab firman Allah hidup dan kuat
dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa
dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita. (13) Dan
tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka
di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab. (14) Karena kita
sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah,
baiklah kita teguh berpegang pada pengakuan iman kita. (15) Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah
imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia
telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa. (16) Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri
takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat
pertolongan kita pada waktunya.
12
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
Saat ini hanya tersisa 12 kepala keluarga yang masih mempertahankan religi lama.
Mereka semua tinggal di pondok-pondok di tengah hutan dan hanya kawin dengan
sesamanya. Namun masih ada juga penduduk kampung yang terikat dengan religi lama ini.
Tandanya ialah ada daun palem diletakkan di atas pintu.
Ada tiang keramat dari kayu belian23 dari zaman dahulu yang terletak di tengah hutan,
tepat di bawah pohon durian. Tiang ini disebut tiang tablian dan digunakan untuk
persembahan, biasanya dengan memotong ayam. Persembahan biasanya dilakukan ketika
wabah penyakit dan panen. Selain itu ada juga tiang kecala, yakni tiang kubur adat. Pemuka
masyarakat memiliki tiang kubur yang banyak, bahkan hingga delapan buah.
Keramat tua yang masih berdiri di hilir kampung hendak dipindahkan ke dalam
kampung. Yang mengukir keramat tua itu adalah Kakek Banga, kakeknya Pak Mateus Awai.
Diukir pada era sebelum masuknya Opa Williams ke hulu Sungai Buayan.
Pada keramat tersebut dikuburkan cincin emas, kepala anjing, kepala babi, dan kepala
kambing. Jika memiliki keinginan, datanglah ke keramat dan berdoa. Jika terkabul nanti,
maka wajib mempersembahkan sesuatu yang dijanjikan saat berdoa sebelumnya. Misalnya
jika sakit meminta sembuh atau jika musim membuka lahan, meminta hujan tak turun selama
15 hari. Saat berdoa wajib menjanjikan sesuatu sebagai pembayaran ketika permintaan
terkabul
nanti,
misalnya
babi.
Setengahnya
dimakan
sendiri,
dan
setengahnya
dipersembahkan dalam bentuk sudah matang.
Keramat baru akan terletak di tengah kampung, di tanjung (tanah datar) di pinggir
sungai. Terletak di bawah pohon durian. Di sana baru terlihat semacam wadah yang terbuat
dari batok kelapa, di bawah pohon durian. Keramat tiang tablian belum dipindahkan kemari.
Ritual religi lama misalnya sebelum musim buah ada ritual ngalu buah, sesaji dari
orang sekampung. Selesai musim buah ada ritual mulang buah. Ritual hanya bisa dilakukan
jika ada penjaga keramat.
Acara gawai masih terkait dengan religi lama. Menurut beberapa informan, tujuan
dari acara gawai, yakni: (1) ekspresi rasa syukur atas hasil panen ladang, (2) ajang hiburan
bersuka-cita, (3) menjaga dan memelihara kampung, yakni pemanjatan doa terhadap Duwata.
23 Umumnya dikenal sebagai kayu ulin, atau kayu besi. Kayu dari Kalimantan ini terkenal akan kekokohan dan
kekerasannya.
13
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
Hukum Adat Dayak Kuwalan Paska Kedatangan Gereja
Christiaan Snouck Hurgronje menyatakan bahwa hukum adat adalah “adat atau
kebiasaan yang mempunyai akibat hukum” (Lontaan, 1975:280). Hukum adat bersifat lisan
atau tak tertulis, dan dipertahankan oleh para kepala adat dan pemangku adat lainnya.
Secara umum hukum-hukum adat seluruh sukubangsa Dayak di Kalimantan telah
diseragamkan dalam musyawarah besar yang diadakan di Tumbang Anoi, Kahayan Hulu,
Kalimantan Tengah, pada 22 Mei hingga 24 Juli 1894. Dalam acara Perdamaian Tumbang
Anoi24 yang dihadiri oleh kepala-kepala adat seluruh Kalimantan itu, dirumuskan garis-garis
besar hukum adat agar dijadikan pedoman bagi seluruh masyarakat Dayak di Kalimantan.
Dari garis-garis besar itulah tiap-tiap sukubangsa Dayak mengembangkan hukum adatnya
sendiri-sendiri.
Dalam masyarakat Dayak Kuwalan di Kerawang, adat dipimpin oleh seorang menteri
adat. Saat ini menteri adat Kerawang yakni Pak Paulus Baka. Hukum adat Kerawang
berjumlah sebanyak 59 hukum. Pelanggaran akan didenda, dengan perhitungan real. Dahulu
ada memakai geroncong atau semacam gelang. Sekarang ada memakai piring. Hitungannya
ialah satu piring setara dengan 2 real. 1 real setara dengan 10.000 rupiah. 1 amas setara
dengan 20 real. Setiap orang yang terkena hukum adat, dicatat. Jika mengulangi hal yang
sama, maka dendanya dua kali lipat.
Kelimapuluh sembilan hukum adat masyarakat Dayak Kuwalan di Kerawang dibagi
menjadi adat kecil yang dendanya 10 atau 8 real, dan adat pati yang dendanya 160 real (atau
bayar jiwa). Beberapa contoh hukum adat Kerawang akan dipaparkan dalam paragrafparagraf berikut.
Tata cara nikah adat, yang pertama ialah turun mandi. Dengan membawa satu ekor
ayam dan sedikit bebas. Kedua membayar bus atau harga perempuan, yakni satu tempayan,
satu parang, tiga piring, satu manit (kalung), tiga kain panjang, satu beras, tiga telur, dan tiga
tempayan tuak. Prosesi ketika yakni persembahan ke Duwata, berdoa agar mempelai
24 Pertemuan di Tumbang Anoi ini juga menghasilkan perjanjian pengentian perang yang terjadi di kalangan
sukubangsa-sukubangsa Dayak selama ratusan tahun. Kesadaran akan persamaan nasib di bawah pemerintah
kolonial menjadi salah satu faktor diadakannya peristiwa sejarah besar bagi masyarakat Dayak ini.
14
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
langgeng. Terakhir dijujong dengan satu ekor ayam sebagai tanda selesai. Setelah itu
dilangsungkanlah pesta perkawinan yang ramai.
Ada juga adat cerai. Jika suami menelantarkan isteri, maka wajib membayar 5 amas
ditambah 40 real ditambah 20 real ditambah dua ekor babi ditambah dua ekor ayam ditambah
4 real. 4 real ini sebagai pasupan orangtua. Semuanya merupakan tanggung jawab penggugat
cerai. Jika cerai belum lama setelah kawin, maka wajib mengganti seluruh biaya kawin.
Jika 'habis jodoh’, istri mencerai suami maka membayar denda 3 amas ditambah 20
real ditambah 4 real. 4 real sebagai pasupan orangtua. Orang cerai dianggap kurang baik,
apalagi jika perceraian karena perselingkuhan.
Merampas istri orang, maka akan didenda 16 amas (setara 1,6 juta rupiah) ditambah
40 real ditambah 20 real ditambah 8 real. 20 real di sini untuk nyabung mado, dan 8 real
sebagai pasupan harga diri. Denda dibayarkan oleh yang merebut, kepada korban yang
pasangannya direbut.
Khusus untuk perselingkuhan, dendanya 65 real ditambah 20 real. Yang berselingkuh
tak bisa jadi bersama, jika tak ada izin dari korban yang ditinggal selingkuh. Seandainya
keduanya jadi, maka menambah lagi denda 20 real sebagai denang sekawan dan 4 real
sebagai pasupan.
Ada juga aturan pelangkah lalu yaitu tak boleh menyelesaikan perkara adat tanpa
menteri adat. Jika dilanggar maka hukuman 20 real. Jika sampai memakai nama menteri adat,
maka hukuman lebih berat ketimbang memakai nama sendiri. Namun seseorang boleh
mengambil alih sementara tugas menteri adat atas izin dari menteri adat bersangkutan.
Di Kerawang, ada tahap-tahap penyelesaian masalah, yakni dari kekeluargaan,
RT/RW, menteri adat, kepala dusun, dan kepala desa. Jika masih belum bisa selesai, maka
menghadap Temanggung Adat. Semuanya diselesaikan dengan adat terlebih dahulu, jika tak
sanggup maka maka diserahkan kepada petugas penegak hukum negara.
Polemik Pantangan
Pantang, atau pantangan, berarti sesuatu yang tak boleh dilakukan, dan jika dilakukan
15
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
akan mendapat semacam tulah atau akibat buruk baik bagi diri sendiri maupun lingkungan
sekitar. Selain adat, pantang juga mengatur kehidupan masyarakat. Namun berlawanan
dengan adat yang bentuk dan tujuannya jelas, kadang pantang mengandung sesuatu yang
abstrak, gaib, dan mistis.
Hampir semua orang di Kerawang menyatakan bahwa masuknya gereja telah
membuat mereka lepas dari pantang-pantang yang diajarkan leluhur mereka. Karena
pelanggaran pantang dapat menyebabkan kecelakaan yang diakibatkan oleh setan, orangorang Kerawang percaya dengan adanya gereja dan berlindungnya mereka pada tuhan yang
maha esa, setan-setan itu tak akan dapat menggangu kehidupan mereka walaupun mereka
melanggar pantang25.
Contoh pantangan yang ada sebelum masuknya gereja misalnya dalam perkara
membuka lahan. Pandangan zaman dulu setelah membuka lahan ialah dilarang membakar api
semalam. Dilanjutkan dengan pantangan dalam hal menanam. Jika saat menanam bertemu
penyengat (lebah, tawon) maka harus memasang sesaji. Dipercaya agar makhluk halus yang
direpresentasikan oleh si lebah itu tidak memakan tanaman, tetapi hanya memakan sesaji.
Pantangan umum zaman dahulu misalnya udang, lele, sambal terasi, kesemua tak
boleh dibakar. Sementara daun kayu dan bunga asam tak boleh dibawa masuk ke rumah. Jika
dilanggar, ancamannya ialah langsung mati berdiri.
Meskipun pantangan diklaim telah punah, namun ada beberapa hal semacam
pantangan yang masih tetap dijalankan. Salah satunya yakni cempale, yakni semacam tata
krama, jika ditawari sesuatu oleh tuan rumah, tak baik langsung menolak. Paling tidak
dicicipi sedikit, atau jika tak sanggup, disentuh sedikit dengan tangan. Konon jika tak seperti
itu maka bisa tertimpa celaka. Tapi ujar mereka itu hanya ajaran lama. Kalau sekarang itu
untuk menghormati tuan rumah.
Meskipun begitu, larangan-larangan semacam pantangan masih dilekatkan pada
tempat-tempat yang dianggap sakral, seperti pemakaman. Di antara empat pemakaman di
Kerawang26, ada kuburan yang tak boleh dimasuki, hanya boleh dilihat dari jauh saja. Ada
25 Dalam fungsi agama menurut Durkheim, “dalam agama, individu merasa dikuatkan dalam menghadapi
derita, frustrasi, dan kemalangan.” (Gaguk, 2011).
26 Keempat pemakaman tersebut yakni yang pertama di Rempai, lalu di seberang sungai, di atas bukit, dan
terakhir di bukit belakang gereja Katolik.
16
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
makanan ditaruh di kuburan oleh keluarga orang yang dikubur di sana. Setelah pulang dari
kuburan, ada aturan harus segera mandi agar tidak sakit. Pemakaman pun selalu berada di
luar pemukiman, karena orang-orang Kerawang merasa takut dan kampung hanya untuk
pemukiman yang masih hidup saja.
Ada pula semacam pantangan dalam bertutur-kisah. Di kalangan masyarakat Dayak
Kuwalan, terdapat cerita Sang Amba-Amba, yaitu awal mula manusia. Cerita ini tidak boleh
diceritakan langsung tamat, namun dalam beberapa malam. Itupun harus dengan urutan acak.
Pantangan bercerita sampai tamat ialah jika tidak seperti itu akan mendatangkan angin ribut.
Yang Tak Tuntas Disapu Gereja: Shamanisme27 di Kerawang
Peranan dukun ialah untuk mengobati 'penyakit kampung’. Jika bukan penyakit itu,
maka itu urusan bidan dan mantri. Apa yang disebut 'penyakit kampung' ini misalnya ketika
seseorang merasa lehernya sakit seperti disilet, walaupun dibawa ke bidan atau dokter namun
belum kunjung sembuh. Umumnya belajar mengobati orang dari orangtuanya, yang
diwariskan secara turun temurun. Ilmu perdukunan ini memerlukan bakat tertentu sehingga
mampu mempelajarinya dengan mudah dan cepat.
Ada semacam aturan tak tertulis bawa dalam satu kampung harus ada minimal dua
dukun, karena dukun tak bisa mengobati dirinya sendiri jika sakit. Dukun yang terkenal di
Kerawang antara lain Pak Senar, Pak Dasa, Pak Rimpan, Nenek Yanas, Pak Geman, dan
Kakek Urus.
Sebagai orang dukun, Pak Geman memiliki pemam, atau batu wangsit. Bentuknya
berbeda dari batu biasa. Pak Geman mendapat cara mengobati orang dari ajaran turun
temurun nenek moyang. Ia bisa mengobati orang dengan gendang, yaitu menari diiringi
tabuhan gendang. Dukun menari berkeliling, dan tabuhannya harus pas. Jika tak pas maka
arwah yang merasuki si dukun tak mau menari. Karena itu dibutuhkan penabuh gendang yang
mempunyai kemampuan spiritual juga.
27 Menurut Oxford Dictionary Online <http://www.oxforddictionaries.com/definition/shaman> shaman berarti
“a person regarded as having access to, and influence in, the world of good and evil spirits” (seseorang yang
diyakini mempunyai akses dan pengaruh terhadap dunia roh-roh, baik ataupun jahat). Selanjutnya ditulis
dengan istilah 'dukun'.
17
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
Pak Geman mendapatkan 'kemampuan' pada usia 27 tahun. Suatu hari ketika ia
bangun tidur ada batu-batuan bagus berbentuk segi enam dan segi delapan di sampingnya.
Makhluk halus, yang oleh Pak Geman disebut 'setan', mendatanginya dan mengatakan batu
itu untuk mengobati orang yang terkena penyakit yang disebabkan oleh setan.
Hampir semua dukun dapat berkomunikasi dengan setan ini. Namun ada waktu-waktu
tertentu, atau tak boleh sembarangan. Ada setan yang mengikuti Pak Geman, namun mereka
berkomunikasi pada waktu tertentu saja. Setan menampakkan diri dalam wujud seram.
Ayam, piring, dan jarum digunakan untuk membayar adat ketika pengobatan. Jarum
melambangkan pengeras. Obat hanya dibuatkan untuk orang sakit ketika ada yang sakit, tidak
boleh disimpan. Contoh misalnya obat demam, terbuat dari daun jaram dan daun kabu yang
dicampur air lalu dikompreskan.
Salah satu ritual praktik shamanisme yang masih dilakukan yakni cabuh,
penyembuhan orang sakit dengan darah babi dan darah ayam. Ada satu ritual cabuh yang
saya saksikan secara langsung, yakni ketika penyembuhan Pak Senar, seorang dukun yang
sering membantu menyembuhkan orang lain, namun terkena tulah atau kena balas. Upacara
ini bisa diadakan kapan saja jika siap, tak ada hari-hari khusus. Meskipun Pak Senar sendiri
dukun, namun ia tak bisa mengobati dirinya sendiri. Jadi harus dengan perantaraan dukun
lain. Pak Senar yang sakit kena balas atau tulah karena sering menyembuhkan orang lain,
ketika siang tak merasa sakit. Namun ketika malam (terlebih lagi kalau terang bulan) maka
sakitnya akan kumat. Biasanya penglihatan menjadi kacau dan kepala pusing luar biasa.
Deskripsi ritual cabuh yang saya saksikan akan dipaparkan sebagai berikut.
Upacara pertama dinamakan loboh manta atau upacara ketika makanan belum
dimasak. Acara cabuh ini dilakukan di dapur, sekeluarga yang sakit tidak memakai baju dan
terdapat semacam gong yang dihias seperti singgasana. Yang dipotong ialah seekor babi dan
dua ekor ayam.
Para dukun yang ditandai dengan ikat kepala yang berbeda warna mengelilingi
semacam sesaji. Ada tiga dukun dalam ritual ini, yakni Pak Geman, Kakek Urus, dan Pak
Tengge. Dukun utama, Pak Geman, memakai ikat kepala putih. Ketiga dukun bersahutsahutan membaca mantera dalam bahasa Kualan. Ketika Pak Geman membaca mantera,
18
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
sesekali Pak Senar membantu menyempurnakan bacaannya.
Sesaji yang ada antara lain beras kuning, telur, tuak, bulu ayam, dan semacam
tanaman. Kayu-kayu yang berguna untuk ritual, antara lain: kayu dingin, kayu diduk, kayu
soro, kayu jelatang, daun pegaga, daun limau, dan calang pati. Para dukun terus membaca
mantera dan berkonsentrasi. Sesekali beras dilemparkan ke udara dan mengenai yang sakit.
Tuak dituang ke cawan dan diaduk tiga kali dengan menggunakan bulu ayam. Tuak lalu
diminum bergantian oleh para dukun dan sekeluarga yang sakit. Setelah itu tuak diaduk
dengan tangan dan disiram ke atas kepala. Tuak, hati ayam, dan beras berfungsi sebagai
pomang atau doa untuk mantra, yang dalam upaya penarak atau pengumpan makhluk halus.
Mantera dan doa dipanjatkan kepada Duwata.
Ayam dipegang dan ditumpuk dengan kumpulan daun. Babi dan ayam lalu diletakkan
di atas singgasana, dan Pak Senar sekeluarga duduk di bawahnya, di atas gong. Babi lalu
ditusuk di bagian leher sehingga sekeluarga akan 'mandi’ darah babi. Pak Geman juga
melakukan tampong tawar atau memercikkan air dengan daun salam juga melemparkan beras
sambil terus membaca mantera. Pak Senar memimpin pembacaan mantera, diikuti oleh
sahutan para dukun.
Prosesi selanjutnya pindah ke sungai. Semua orang ikut di sana, dan babi digotong
juga. Di sungai Pak Senar sekeluarga dimandikan, dan kemudian babi disembelih. Pak Senar
sekeluarga juga dimandikan dengan darah babi dan darah ayam. Pak Geman melemparkan air
suci dan beras putih.
Sesudah itu kembali ke rumah lagi. Babi dan ayam dibakar untuk dibersihkan. Para
dukun mendapat bagian paha babi dan paha ayam. Bulu ayam dan babi, 'sepatu' babi, dan
potongan hidung babi diambil oleh dukun untuk pomang, yakni untuk berkomunikasi dengan
makhluk halus. Pak Senar sekeluarga duduk di atas gong dan disiram dengan air akar dari
dalam bambu. Upacara tahap ini selesai, dan akan dilanjutkan lagi menjelang sore hari
dengan makan-makan bersama.
Yang Berubah, Yang Menyesuaikan
Sang pemimpin umat Katolik, Pak Yulius Awok, dalam misa menyatakan bahwa
19
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
gereja berhasil menggantikan adat orang-orang terdahulu yang tak sesuai dengan Alkitab.
Sementara ujarnya masih banyak daerah lain masih terbagi dua antara ajaran gereja dan adat
nenek moyang. Lanjutnya selama adat itu tak bertentangan dengan gereja, maka wajib
dipertahankan. Apabila menyimpang, maka harus ditinggalkan.
Ada banyak hal yang berubah di Kerawang sejak masuknya gereja, sebut saja pola
pemukiman betang panjang yang menjadi rumah-rumah tersendiri, pesta perkawinan adat
yang digantikan perkawinan di gereja, preferensi dalam hubungan patron-klien tokay dan
anak-buah, serta hal-hal lainnya.
Dalam perkara perkawinan misalnya, dulu perkawinan adat butuh waktu lama dan
biaya banyak. Perkawinan adat dimulai dengan musyawarah lalu ngambil baya (mengambil
jiwa). Prosesi ngambil baya semacam melamar. Misal warga Kerawang ingin menikahi warga
Balai Imbung, maka perwakilan Kerawang datang ke Balai Imbung menemui orangtua, tetua
adat, dan kepala kampung untuk memboyong warga Balai Imbung itu ke Kerawang.
Sementara perkawinan gereja lebih singkat. Pasangan yang sudah pacaran lalu
bertunangan dengan diberkati oleh pemimpin umat. Dalam masa pertunangan selama dua
atau tiga bulan itu, pasangan boleh membatalkannya, namun tidak boleh 'bersentuhan'. Jika
sudah 'bersentuhan', maka pastor atau pendeta idak akan mau memberkati. Menurut gereja,
usia layak kawin untuk laki-laki minimal 20 tahun dan perempuan minimal 18 tahun. Secara
adat, tak ada batasan usia kawin, namun pasangan harus mandiri dan bertanggung jawab.
Acara gawai di Kerawang tak selalu sepenuhnya gawai yang merayakan pesta panen,
kadang juga digabungkan dengan pesta perkawinan, sehingga ada istilah gawai panen dan
gawai kawin. Yang membedakan antara gawai panen dan gawai kawin hanyalah dalam
gawai kawin sebelumnya dilaksanakan prosesi nikah gereja, lalu kemudian nikah adat.
Menteri Adat Dusun Kerawang memaparkan bahwa penggabungan antara pesta panen dan
pesta perkawinan dalam satu acara gawai ini ialah semata faktor efisiensi dan penghematan,
dilakukan baru beberapa tahun belakangan. Untuk menyelenggarakan prosesi pesta
perkawinan adat, diperlukan biaya yang sangat besar karena harus memotong banyak babi
dan membuat berliter-liter tuak. Meski dalam adat setempat yang menanggung seluruh biaya
perkawinan ialah kedua keluarga terkait secara sama rata, namun tetap saja biaya yang harus
dikeluarkan sangat besar. Untuk meringankan beban pesta perkawinan ini, maka digabungkan
20
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
dengan acara gawai panen yang diselenggarakan pada pertengahan tahun. Dengan adanya
penggabungan ini, maka keluarga yang menyelenggarakan pesta mendapat banyak bantuan
materi dan tenaga dari tetangga, kerabat, dan sesama warga satu kampung.
Namun meskipun begitu adat sama sekali tak ditinggalkan. Adat kadang berguna
dalam perihal tertentu. Untuk kawin sedarah misalnya, karena gereja melarang, maka
menggunakan kawin adat dengan syarat memotong babi putih, anjing putih, dan ayam putih.
Dalam perkara perceraian, adat juga tampil. Gereja Katolik melarang perceraian28.
Dalam kondisi terpaksa, ketika dalam hitungan tahun si suami menelantarkan isteri, maka
hukum adat terpaksa dilakukan. Yang dilakukan ialah perceraian adat, namun tidak bercerai
oleh gereja. Jika suami kembali dan keduanya sepakat rujuk seperti dulu, maka akan
dilakukan kawin adat lagi, bukan kawin secara gereja.
Dalam perihal administrasi formal, posisi gereja di antara para penganut religi lama
juga berujung pada sedikit kericuhan. Misalnya saja pada Sensus Penduduk Tahun 2000,
Kecamatan mengharuskan data agama berdasarkan data gereja. Gereja Katolik Kerawang
terdaftar sekitar 90-an kepala keluarga, dan Gereja Protestan Kerawang terdaftar 40-an kepala
keluarga. Waktu itu di Kerawang ada sekitar 170-an kepala keluarga. 40-an kepala keluarga
yang tak terdaftar di kedua gereja lantas oleh Kecamatan didaftarkan sebagai Islam 29. Padahal
ujar Pak Yulius Awok, sebagian besar ialah 'animisme'. Agar kejadian serupa tak terulang
pada Sensus Penduduk Tahun 2010, maka Pak Yulius Awok mengkategorikan yang dekat
dengan orang Katolik sebagai Katolik, dan yang dekat dengan Protestan sebagai Protestan.
Setelah masuknya gereja-gereja ke Kerawang, masyarakat Dayak Kuwalan di sana
yang tadinya homogen dan komunal, mulai terbagi-bagi menjadi beberapa kubu. Ada tiga
kubu, dan dua gereja. Kubu Protestan yang tinggal di bagian hilir, kubu Katolik di bagian
tengah, dan kubu 'animisme' di pondok-pondok di tengah hutan. Pengkubuan ini tak sekadar
mengada-ada, namun tercermin dari keseharian masyarakat Kerawang.
Yang jelas-jelas terlihat ialah pola pemukiman. Dulu orang-orang Kerawang masih
28 “Gereja Katolik mengajarkan bahwa perkawinan yang ratum dan consummatum bersifat tidak terceraikan.
Pemutusan pernikahan hanya berlaku untuk perkawinan non consummatum. Pembatalan perkawinan hanya
dapat dilakukan untuk perkawinan yang sejak semula memiliki halangan.” (Santoso, 2008)
29 Di Kalimantan Barat sudah tercipta imej bahwa Melayu adalah Islam dan Dayak adalah non-Islam, atau juga
Kristen. Itulah sebabnya mengapa orang Dayak yang masuk Islam akan malu mengaku Dayak dan oleh
lingkungannya akan memaksanya untuk mengaku Melayu.
21
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
tinggal dalam satu rumah betang panjang. Namun setelah masuknya gereja, rumah itu
dibongkar dan komplek pemukiman dengan rumah-rumah per keluarga batih mulai dibuat.
Sekarang, orang-orang Protestan cenderung tinggal mengelompok di bagian hilir Kerawang,
dekat dengan gerejanya. Sementara orang-orang Katolik menyebar di pusat kampung. Di lain
pihak, yang menetap di pondok-pondok di tengah hutan hampir semuanya masih bertahan
dengan religi lama. Selain itu sentimen antar gereja pun sangat terasa, mulai dari bisik-bisik
mengenai kelengkapan gereja hingga tata-cara ibadat.
Perbedaan agama ini kadang juga menjadi preferensi hubungan patron-klien. Seorang
anak-buah cenderung akan memilih tokay yang seagama dengannya. Inilah mengapa Pak
Teras, salah satu dari sedikit tokay yang beragama Protestan masih dapat bertahan selama
puluhan tahun dengan beberapa anak-buah yang setia, yang seagama dengannya.
Salah satu corong gereja untuk menanamkan ajarannya dalam masyarakat Kerawang
yakni melalui khotbah setiap misa atau persekutuan. Khotbah memegang peranan cukup
penting dalam pengajaran Kristen dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Orang-orang
Kerawang yang dulunya bekerja setiap hari kini tidak bekerja di hari Minggu karena ajaran
gereja untuk melayani tuhan di hari itu.
Sebuah Kesimpulan
Hampir semua orang di Kerawang akan selalu mengatakan, “pantang sudah tak ada,
gereja sekarang yang menjadi panutan”. Mereka tak mau lagi disebut sebagai orang
pedalaman yang masih percaya akan hal mistis, karena itu mereka mencoba terlihat sebagai
orang 'beragama', yang percaya akan tuhan yang maha esa.
Gereja tidak begitu saja menghilangkan sisa-sisa ajaran lama 30. Berbagai ajaran lama
itu masih dipraktikkan secara langsung, misalnya dalam hal pantangan, sesaji, dan
perdukunan, dan sebagian lagi diwujudkan ke dalam berbagai hukum adat. Hukum adat yang
ada sekarang ini merupakan bentuk dari ajaran-ajaran lama yang memakai wajah baru.
Contohnya adat yang mengatur perkawinan sedarah, yang nyata-nyata kontra dengan gereja.
30 “Karya misi Katolik berjasa dalam mencapai peralihan halus dari yang lama kepada yang baru tanpa
paksaan. Ia menjembatani antara adat kebiasaan tradisional dan pikiran modern dan berpenilaian tepat
tentang budaya yang ditemukannya.” (De Marchena via Subagya, 1981:48).
22
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
Di sini gereja mencoba 'berdamai' dengan adat yang merepresentasikan ajaran-ajaran
lama. Gereja tak akan mungkin secara frontal menghapus fondasi kepercayaan yang sudah
tertanam dalam masyarakat Kerawang. Misi gereja juga mencakup “pemribumian iman
sesuai dengan kepribadian bangsa menghasilkan gereja setempat” (Subagya, 1981:50-51).
Dengan jalan tengah inilah gereja dapat diterima oleh masyarakat. Gereja berperan dalam
iman dan kepercayaan, sementara adat mengurusi perihal hukum dan pengambilan keputusan.
Tawar-menawar jalan tengah ini terlihat jelas misalnya dalam renungan yang
disampaikan oleh pemimpin umat pada misa Katolik, mengenai bagaimana Alkitab
menyikapi kebiasaan meminum tuak31. Dari sini dapat dilihat bahwa agama tak hanya sekadar
menjadi ajaran agama itu sendiri, namun juga menjadi 'pembenaran' atas ajaran-ajaran lama.
Dengan adanya 'pembenaran' ini posisi gereja menjadi lebih kuat dalam masyarakat. Meski
seseorang kadang masih mempraktikkan ajaran-ajaran lama, namun semangat Kekristenan
juga makin menguat dalam kehidupan sehari-hari –dalam hal kecil misalnya melibatkan kata
'tuhan' dalam hampir tiap pembicaraan. Individu lah yang “merepresentasikan masyarakat
dalam agama, yaitu melalui ketaatan kepada aturan-aturan keagamaan, misalnya dengan
menjalankan ritual-ritual keagamaan.” (Gaguk, 2011).
Namun gereja tak sekadar mengubah hal-hal yang bersifat linear, namun juga
'memecah' masyarakat Kerawang. Pengkubuan yang terjadi berdasarkan agama menghasilkan
kubu-kubu Protestan, Katolik, dan 'animisme'. Perbedaan agama ini tak sekadar dalam hal
kepercayaan saja, namun juga berakibat ke hubungan sosial. Tak jarang sentimen maupun
gesekan-gesekan terjadi antar penganut agama yang berbeda,
Gereja, di satu sisi berhasil menyesuaikan diri dengan ajaran-ajaran lama sehingga
mendapatkan tempat yang istimewa bagi penganutnya, di sisi lain gagal mempertahankan
sifat komunal masyarakat Dayak yang disimbolkan dalam rumah betang panjang32. Gereja
bagaikan pedang bermata dua bagi masyarakat Dayak; menguatkan sekaligus merapuhkan.
***
31 “...di dalam Alkitab tak ada larangan meminum minuman keras, karena dalam perjamuan pun Yesus Kristus
dengan mukjizat-Nya mengubah air menjadi anggur. Yang Alkitab larang yakni kebiasaan minum hingga
mabuk dan tak dapat mengontrol diri...” (kutipan khotbah renungan misa Pak Yulius Awok, 4 Juli 2010)
32 Selain menggambarkan struktur sosial masyarakat Dayak, rumah betang panjang juga “tak hanya sekedar
sebuah tempat, namun lebih dari itu ruang adalah gambaran dari raga, jiwa dan sorga” (Guntur, 2007:14).
23
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
Bibliografi
Buku
Abdullah, Taufik (ed.). 1979. Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta:
LP3ES.
Dove, Michael Roger. 1985. Swidden Agriculture in Indonesia. Berlin: Mouton Publishers.
Durkheim, Emile. Sejarah Agama. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Lauer, Robert H.. 1993. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Lontaan, J.U.. 1975. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Jakarta:
Bumirestu.
Petebang, Edi & Sutrisno, Eri. 2001. Konflik Etnik di Sambas. Jakarta: Institut Studi Arus
Informasi.
Riwut, Tjilik. 1993. Kalimantan Membangun – Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
---------. 2003. Maneser Panatau Tatu Hiang: Menyelami Kekayaan Leluhur. Palangkaraya:
Pusaka Lima.
Spradley, James. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Subagya, Rachmat. 1981. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan dan Yayasan Cipta
Loka Caraka.
Artikel
Busse, Mark. 2005. “Wandering Hero Stories in the Lowlands of New Guinea: Culture Areas,
Comparison, and History” dalam Cultural Anthropology, Vol. 20, Issue 4 (Nov.
2005). Berkeley: University of California Press.
Gunawan, Rudy. 2011. “Gawai di Sei Kembayau: Eksistensi Perempuan Dalam Pertunjukan”
dalam Jurnal RANAH, Mei 2011. Yogyakarta: Keluarga Mahasiswa Antropologi
UGM.
Guntur, Mandarin. 2007. “Makna Ruang pada Rumah Betang Suku Dayak Ngaju di
Kalimantan Tengah: Menapak Hidup ke Nirwana Tanpa Neraka” dalam Proceeding
24
Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak
Rudy Gunawan E.
PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil), Vol. 2. Depok: Universitas
Gunadarma.
Mencuccini, Yulius Giulio. 2001. “Melayani Sesama Dalam Membangun Tata Dunia Baru:
Sebuah Refleksi Perjalanan Karya dan Arah Keuskupan Sanggau” dalam
Rosariyanto, Hasto (ed.) Bercermin Pada Wajah-Wajah Keuskupan Gereja Katolik
Indonesia pada Awal Abad ke-21. Yogyakarta: Kanisius.
Tylor, Edward Burnett. 1979. “Animism” dalam Lessa, William Armand & Vogt, Evon
Zartman (ed.) Reader in Comparative Religion. New York: Harper and Row.
Yitno, Amin. 1996. “Kebudayaan Dayak dan Pembangunan: Upaya Pemahaman PrinsipPrinsip Demokrasi” dalam Mohammad Najib, dkk (ed.) Demokrasi Dalam
Perspektif Budaya Nusantara. Yogyakarta: LKPSM.
Internet
Gaguk, Bastian. 2011. Agama dan Perubahan Sosial: Sebuah Telaah Pemikiran Karl Marx
dan Emile Durkheim. [Dalam jaringan]
<http://filsafat.kompasiana.com/2011/03/15/agama-dan-perubahan-sosial-sebuahtelaah-pemikiran-karl-marx-dan-emile-durkheim/> [diakses 6 Mei 2011].
Santoso, Eko Budi. 2008. Perceraian dalam Gereja Katolik. [Dalam jaringan]
<http://ekobs70.blogspot.com/2008/11/perceraian-dalam-gereja-katolik.html>
[diakses 7 Mei 2011].
Tompkins, Scott. 2009. Bob Williams –Borneo missions pioneer and New Tribes co-founder–
dies at 98. [Dalam jaringan]
<http://www.assistnews.net/Stories/2009/s09070217.htm> [diakses 5 Mei 2011].
Kitab Suci
Lembaga Alkitab Indonesia. 2006. ALKITAB Terjemahan Baru. Jakarta: Percetakan Lembaga
Alkitab Indonesia.
25
Download