BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia merupakan salah satu dari kemajemukan yang tampak dari masyarakat Indonesia. Suryadinata (1997:9) membagi etnis Cina di Indonesia menjadi dua kelompok, berdasarkan tingkat asimilasi dengan kebudayaan pribumi, yakni Peranakan dan Totok. Secara umum Cina Peranakan mengacu pada kelompok Cina yang telah banyak mengadopsi kebudayaan lokal dan sudah tidak terikat kuat dengan kebudayaan Cina. Sementara Cina Totok mengacu pada kelompok Cina yang masih memegang teguh banyak aspek kebudayaan Cina. Etnis Tionghoa sudah ada di Indonesia sejak abad ke-4. Orang Cina pertama yang datang berkunjung ke Indonesia bernama Fa Hien, seorang pendeta agama Buddha yang singgah di pulau Jawa tahun 413 (Lubis 1995:33). Fa Hien dapat dikatakan pembuka pintu bagi lalu lintas Tionghoa menuju kepulauan Nusantara karena sejak itulah arus masuk etnis Tionghoa ke Kepulauan Nusantara melalui laut dimulai dan dalam jumlah yang semakin lama semakin besar selama beberapa ratus tahun kemudian. Dengan kedatangan Fa Hien ke Indonesia membuat banyak orang Cina berpindah tempat keluar dari negera Cina dengan berbagai alasan seperti mencari kehidupan ekonomi yang lebih baik dimana mereka seorang buruh yang tidak memiliki tanah yang hendak mencari peluang dengan merantau ke daerah orang, menghindari perang saudara yang sedang terjadi pada waktu itu (Lubis, 1995). Pada mulanya, para imigran dari Cina tersebut tidak berencana menetap selamanya di wilayah baru. Mereka hanya menetap sementara untuk mencari kehidupan lalu kemudian kembali ke tanah kelahirannya. Demikian seterusnya 1 Universitas Sumatera Utara berulang-ulang. Oleh karena itulah mereka sering disebut Huaqiao, yang menurut terminologi Cina berarti Tionghoa yang merantau dan akan kembali lagi.Mereka para imigran meruapakan Imigran yang melakukan diaspora esensialis. Diaspora Tionghoa inilah yang antara lain kemudian menjadikan masyarakat Nusanatara menjadi masyarakat yang makin majemuk, plural dan multikultur serta tidak lagi homogen. Ketika akhirnya mereka menetap di wilayah di wilayah baru dan bercampur dengan penduduk setempat, sebagian dari mereka melakukan proses asimilasi dengan penduduk setempat dengan cara melakukan perkawinan dengan gadis Indonesia. Kemudian mereka berkembang menjadi komunitas sendiri yang disebut dengan kelompok-kelompok minoritas yang terbentuk karena proses akulturasi. Meski pada gilirannya melahirkan generasi yang baru yang tidak mengenal Tionghoa atau tidak sepenuhnya etnis Cina asli namun tidak dapat dibantahkan isu tentang etnisitas dan etnis dalam konteks Indonesia yang multikultural masihlah bersifat kodrati dan alamiah. Dengan banyaknya orang Cina yang menetap di Indonesia menyebabkan munculnya daerah yang dikenal “Pecinan”. Munculnya daerah Pecinan disebabkan oleh 2 faktor yaitu faktor politik dan faktor sosial. Faktor politik, pemerintah menginginkan masyarakat Tionghoa dikonsentrasikan di wilayah-wilayah tertentu supaya mudah diorganisir. Kondisi ini sudah dijumpai masa kolonial Belanda. Faktor sosial, muncul keinginan sendiri masyarakat Tionghoa untuk hidup berkelompok karena adanya persamaan aman dan saling bantu-membantuh.(Hakim,2015). Akibatnya terbentuk identitas dan karekteristik etnis Tionghoa itu sendiri yang enggan bergaul dengan lingkungan sekitar karena sistem sosial yang menjadi tertutup. Sehingga memunculkan stigma buruk, kecurigaan, prasangka (stereotipe) dari masyarakat pribumi terhadap masyarakat Cina (Tionghoa) hingga sampai saat ini 2 Universitas Sumatera Utara tetap masih ada dan hal ini juga merupakan titik awal tumbuhnya sikap eksklusifitas etnis Tionghoa. Citra tersebut sebenarnya bukan keinginan masyarakat Cina (Tionghoa) tetapi dari bentukan pada masa kolonial Belanda yang melokalisasikan pemukiman orangorang Tionghoa untuk hidup terpisah dari masyarakat Bumiputra, supaya tidak lagi terjadi peristiwa “Geger Pecinan” tahun 1740-1743, pemberontakan yang mengakumulasikan kekuatan etnis Tionghoa dan Bumiputera dalam melawan penjajah atau Belanda. Sebelum insiden ini terjadi, adanya pembantaian etnis Tionghoa oleh Belanda di Batavia yang menewaskan kurang lebih 10.000 orang etnis Cina karena etnis Tionghoa melakukan pemberontakan terhadap Belanda, insiden tersebut dikenal “Batavia Massacre”. (Daradjaji,2013) Kehidupan istimewa etnis Cina yang dibentuk pada masa kolonial tersebut membuat keberadaan mereka menimbulkan berbagai masalah dibandingkan dengan keberadaan orang asing lainnya seperti Arab, India, dan sebagainya. Di samping itu kelompok etnis Cina pula lah yang memiliki jumlah yang paling banyak dibanding dengan etnis pendatang lainnya. Mereka hidup dengan gaya eksklusif dan mereka juga yang paling dominan menguasai lingkungan ekonomi dan perdagangan di Indonesia, pada kelompok etnis ini jugalah yang paling sering dijumpai pertikaian dengan kelompok etnik pribumi, sehingga penyelesaian masalah etnik Cina tetap menjadi isu yang menarik (Lubis 1995:6). Belum diterimanya secara penuh etnis Cina sebagai bagian dari bangsa, kemungkinan juga disebabkan oleh tidak adanya istilah yang baku bagi orang Cina yang telah menanggalkan akar-akar kultural mereka dari negeri asal. Diaspora Cina, sebuah istilah yang dipakai untuk menjelaskan tentang orang Cina yang menyebar ke berbagai belahan dunia, tidak dapat diterima oleh etnis Cina karena mereka sebenarnya memiliki rasa ikut memiliki terhadap negara di mana 3 Universitas Sumatera Utara mereka tinggal, namun pemerintah masih memperlakukan mereka sebagai orang asing (Raharjo, 2005: 15). Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tidak berhenti hanya pada masa Kolonial Belanda, namun terus berlanjut hingga Orde lama dan Orde Baru. Pada awal kemerdekaan tahun 1945 hingga 1959, pemerintah belum mengambil kebijakan makro yang bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa dimana diantaranya banyak etnis Tionghoa diangkat menjadi menteri, anggota kabinet bahkan menjadi anggota TNI.Dan Pada 14 Mei 1959 menjadi awal mulainya kebijakan diskriminasi pemerintah Orde Lama terhadap etnis Tionghoa, pemerintah mengeluarkan PP No. 10/1959 yang isinya “Indonesianisasi bidang ekonomi”. Kebijakan ini bertujuan untuk mengembangkan dan melindungi pengusaha-pengusaha pribumi dan untuk menekan kekuasaan ekonomi yang berada di tangan etnis Cina. Alhasil, semakin mengeraslah perlakuan rasis terhadap orang Tionghoa di Indonesia. Bahkan sebagai akibat dari PP No. 10/1959 itu, selama tahun 1960-1961 tercatat lebih dari 100.000 orang Tionghoa meninggalkan Indonesia dan secara tipikal mereka mengalami banyak kesengsaraan. (http://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnis-tionghoa-di-indonesiapada-masa-orde-lama-dan-orde-baru/). Dengan kebijakan tersebut bukan membuat Indonesia menjadi membaik melainkan memperparah kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami krisis ekonomi. Krisis ekonomi dan hutang luar negeri yang menumpuk membuat pemerintah mengambil langkah-langkah dengan menaikan harga. Krisis ini juga menandai berakhirnya era Soekarno. Berakhirnya era Soekarno ditandai munculnya 3 kekuatan yang mempengaruhi Indonesia yakni PKI, Soekarno dan militer. Pada tanggal 30 September 1965 terjadi pembantaian para petinggi di TNI AD yang dilakukan oleh PKI sehingga dikenal dengan gerakan G.30 S/ PKI. Atas kejadian ini etnis Tionghoa 4 Universitas Sumatera Utara dipandang sebagai antek komunis yang menyebarkan paham komunisme di Indonesia karena pada saat itu Presiden Soekarno sangatlah dengan negara komunis Rusia dan RRC (Vinia, 2005). Pemilihan Etnis Tionghoa untuk dijadikan kambing hitam dengan pertimbangan bahwa mereka adalah golongan yang secara politis sangat lemah, tanpa perlindungan dan mudah dipermainkan. Kenyataan ini begitu menyakitkan dan akan membekas dalam setiap orang Etnis Tionghoa yang mengalaminya (Agus wawancara tanggal 18 April 2005). Runtuhnya Orde Lama dan bergantinya Orde Baru merupakan babak baru bagi pemerintahan Soeharto. Pada masa Orde Baru kepemimpinan Soeharto (1966-1998) mengeluarkan program-program dengan kebijakan asimilasi yang menyeruluh pada Keputusan Presidium Kabinet no. 127/U/KEP/12/1966 yang baru diterapkan antara lainnya dengan dikeluarkannya kebijakan dan perundang-undangan kewarganegaraan dan pengantian nama dan merupakan titik awal penghapusan identitas etnis Tionghoa. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan tersebut malah membuat akses yang diberikan negara kepada etnis Tionghoa semakin berbau keterasingan dan terbatas baik dalam politik, sosial, budaya, ekonomi dan sebagainya. Setelah itu, kebijakan terus silih berganti dengan dikeluarkannya PP No.14/1967 yang berisi tentang pelarangan aktivitas ritual keagamaan. Melalui serangkaian kebijakan tersebut 3 pilar utama eksistensi Tionghoa dihapuskan yaitu media masa berbahasa Cina, sekolah berpengantar bahasa Cina, dan organisasi kemasyarakatan Tionghoa. (Suryadinata,2003). Akibatnya masyarakat Tionghoa merasa jauh dari dan terasing dari kebudayaannya yang selama ini menjadi identitas mereka. Keterasingan etnis Tionghoa dari kehidupan nyata terjadi karena adanya pembatasan-pembatasan yang diterapkan. Pembatasan-pembatasan yang dilakukan tersebut merupakan awal 5 Universitas Sumatera Utara munculnya istilah “benteng” antara etnis Tionghoa dengan Negara dan pribumi. Insecurity (rasa tidak aman) terhadap Negara dan pribumi kemudian disebut-sebut sebagai penyebab eksklusif nya etnis Tionghoa dibandingkan dengan pribumi dan etnis lainnya. Eksklusifitas ini yang kemudian mulai berkembang menjadi pola hidup dan kebiasaan, bahkan budaya bagi beberapa lapisan etnis golongan Tionghoa itu sendiri. Maka tidak mengherankan timbul gesekan-gesekan di dalam masyarakat karena ini lah yang merupakan akar permasalahan dari kecemburuan sosial, kesenjangan ekonomi maupun stereotipe yang selama ini melekat pada etnis Tionghoa pada masa berakhirnya Orde Baru Mei 1998 (Tim UGM,2014). Berakhirnya Masa Orde Baru merupakan babak baru persoalan Tionghoa. Melalui Instruksi Presiden Habibie dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 26 tahun 1998 menjadi titik awal kebijakan ini dan merupakan Politik Penerimaan. Kebijakan tersebut berisi tentang penghapusan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi. Dengan kebijakan tersebut pembedaan status sosiologis dan golongan terhadap Tionghoa, secara de jure tidak ada lagi. Disamping itu, presiden B.J. Habibie memberikan kebebasan yang sama kepada semua masyarakat untuk berorganisasi dan bebas mengeluarkan pendapat dan tentunya ini merupakan angin segar bagi etnis Tionghoa yang telah terbebaskan dari pembedaan yang selama ini mereka rasakan. Kebebasan etnis Tionghoa dan adanya politik penerimaan yang dibuat oleh presiden B.J.Habibie pada masa berakhirnya Orde Baru yang diganti dengan masa Reformasi, Ketionghoaan di Indonesia mengalami rekonstruksi, sebab identitas Tionghoa baik historis dan budayanya kini diperbolehkan untuk diekspresikan secara terbuka. Kedudukan etnis Tionghoa mengalami perubahan yang cukup mendasar dengan terhapusnya berbagai diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Dalam keadaan inilah muncul tiga kemungkinan perubahan identitas etnis Tionghoa pasca hadirnya 6 Universitas Sumatera Utara organisasi kemasyarakatan pada masa runtuhnya Orde baru, yakni (1) semakin berbeda dengan kelompok etnik lainnya di Indonesia (semakin “Tionghoa”), (2) semakin terasimilasi, dan (3) mengalami transformasi bertahap hingga menjadi anggota bangsa Indonesia yang setara dengan etnis lain sebagai wujud konstruksi identitas etnis Tionghoa dalam kaitannya mempertahankan identitasnya (Kunriawan,2015). Di masa reformasi, eksistensi Tionghoa kemudian dipulihkan kembali 3 pilar utama yang telah diruntuhkan pada masa Orde baru yaitu Organisasi Kemasyarakatan Tionghoa, media massa berbahasa Cina, sekolah berpengantar bahasa Cina. Masyarakat Tionghoa kemudian membentuk partai berbasis etnis dan tercatat sebagai partai yang aktif masa tersebut yaitu Partai Reformasi Tionghoa Indonesia, Partai Pembauran Indonesia dan Partai Bhinneka Tunggal Ika. Sebagian tokoh Tionghoa yang sejak awal tidak setuju dengan berdirinya partai etnis, memilih bergabung dengan partai bentukan masyarakat Indonesia non Tionghoa atau mendirikan organisasi masa yang lebih berfungsi sebagai presure group. Ini dapat dimaknai bahwa mereka (etnis Tionghoa) adalah masyarakat tidak homogen, tetapi multi etnik dan multi budaya yang memiliki orientasi politik sebagai cerminan orientasi budaya yang berbeda-beda dan beragam. (Suryadinata,2003). Walaupun bermacam-macam tujuan dan kegiatannya namun memiliki kesamaan antara yang satu dengan yang lainnya yaitu beranggotakan warga Tionghoa. Beberapa organisasi yang menonjol adalah Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) dan Perhimpunan Keturunan Tionghoa Indonesia. Beberapa tokoh PSMTI kemudian memisahkan diri dan membentuk perkumpulan INTI, disusul dengan beberapa organisasi lainnya seperti LSM yang digerakkan oleh para pemuda Tionghoa yaitu Gandi, Solidaritas Nusa-Bangsa, SIMPATIK, dll. 7 Universitas Sumatera Utara Dengan munculnya organisasi-organisasi sosial inilah budaya Tionghoa yang dulunya sudah pudar mulai dipulihkan kembali. (Suryadinata,2010). Dengan berhimpunnya masyarakat Tionghoa dalam berbagai organisasi dan bahkan partai politik adalah sebuah praktek representasi untuk menunjukkan posisi atau kemampuannya menyatakan diri sebagai pihak yang bebas dan merdeka. Itu muncul karena adanya perasaan untuk mempertahankan etnisnya dan untuk mepertahankan identitas sosialnya. Sehingga dapat memberi upaya pemberian ruang bagi yang lain (identitas yang berbeda/kaum minoritas) untuk dapat tumbuh berkembang dan mengartikulasi dirinya tanpa rasa takut dan tertekan. Disinilah, identitas Tionghoa maupun bukan Tionghoa menampakkan eksistensinya. Dengan representasi tersebut, akan didapatkan pengakuan keberadaan identitas etnis Tionghoa dan budayanya. (Lubis, 2015: 188) Pada Era Reformasi perjuangan etnis Tionghoa berlanjut dalam memulihkan identitasnya tepatnya tanggal 28 September 1998 Organisasi Kemasyarakatan Tionghoa yaitu Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia atau disingkat PSMTI didirikan mengambil Momentum “Era Reformasi” yang “Demokratis” ini. PSMTI mendata ada 14 (empat belas) peraturan serta perundang-undangan yang bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa setelah mendata PSMTI mengajukan permohonan kepada Lembaga dan Instansi yang berwenang agar peraturan serta perundang-undangan yang diskriminatif tersebut dicabut, hasilnya sebagian besar peraturan dan perundang-undangan tersebut diatas sudah dicabut, tetapi masih ada 1 (satu) surat yang dirasakan masih mengganjal oleh Masyarakat Tionghoa yaitu : Surat edaran Presidenan Kabinet AMPERA Nomor SE 06 / PRES.K AB / 6 / 1967 Yang isinya adalah penggunaan kata “Tjina” untuk penyebutan 8 Universitas Sumatera Utara terhadap “Golongan Tionghoa”. (http://psmti.org/buletin_psmti/upload_buletin_psmti /Buletin_Edisi_4_Februari_2015.pdf). Pada tanggal 1 Desember 1999 Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) mengajukan Permohonan Pencabutan 14 Peraturan Diskriminatif terhadap “Etnis Tionghoa” ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. PSMTI mengajukan permohonan kepada Presiden Republik Indonesia untuk mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet AMPERA. PSMTI tidak berjalan sendiri dalam memperjuangkan haknya, tokoh masyarakat Tionghoa seperti Murdaya Poo, Sugeng Pranoto (Ketum Hakka) dan organisasi kemasyarakatan lainnya turut membantu dalam mengajukan permohonan Pencabutan surat Edaran tersebut. Pada tanggal 12 Maret 2014, perjuangan etnis Tionghoa akhirnya berbuah hasil, Presiden Republik Indonesia DR.H. Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan: Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2014. Tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet AMPERA Nomor SE-06/PRES. KAB/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 Tentang Masalah “Tjina”. (http://psmti.org/buletin_psmti/upload_buletin_psmti/ Buletin_Edisi_4_Februari_2015(all).pdf). Hal tersebut yang membuat peneliti tertarik untuk membahas lebih dalam tentang perjuangan etnis Tionghoa dalam mempertahankan identitas etnis yang mempunyai makna yang sangat luas dan multi dimensi dan juga dapat dilihat dari berbagai sudut mulai dari historis, kultur dan budaya nya. Sehingga melalui kehadiran PSMTI dapat menjadi sebuah jembatan dalam mempertahankan identitas yang dimiliki etnis Tionghoa. 9 Universitas Sumatera Utara 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana PSMTI (Paguyuban Sosial marga Tionghoa Indonesia) dalam rekonstruksi Identitas Tionghoa? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memahami dan mendeskripsikan tentang bagaiamana peran PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia) dalam merekonstruksi identitas etnis Tionghoa. 1.4. Manfaat Penelitian Sebuah penelitian diharapakan dapat memberikan manfaat yang baik baik bagi peneliti maupun orang lain. Adapun manfaat yang diberikan adalah sebagai berikut: 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan kajian ilmiah bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa Sosiologi akan pemahaman tentang peran PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia) dalam merekonstruksi identitas etnis Tionghoa serta juga dapat memberi referensi kepada peneliti selanjutnya yang mengkaji persoalan yang terkait dengan penelitian ini. 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil yang akan diperoleh dari penelitian ini secara praktis diharapakan dapat menambah wawasan dan kemampuan berpikir dalam menyusun karya tulis 10 Universitas Sumatera Utara ilmiah, serta hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak baik sebagai bahan bagi peneliti berikutnya yang ingin mengetahui lebih dalam penelitian sebelumnya atau sebagai referensi yang berkaitan dengan identitas etnis Tionghoa. 1.5.Definisi Konsep 1. Rekonstruksi Identitas Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) rekonstruksi berarti pengembalian ke keadaan semula. Rekonstruksi Identitas ini dapat dikatakan sebagai upaya memulihkan kembali identitas suatu kelompok, etnik atau masyarakat tertentu. Dalam hal ini kelompok tersebut akan berusaha merepresentasi kembali identitas mereka sebagai wujud dari eksistensi yang ada dalam kelompok, etnik atau masyararakat tertentu. 2. Identitas Identitas adalah tanda-tanda, ciri-ciri, atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Terbentuknya identitas itu didasari pada kesamaan suku bangsa, persamaan agama yang dianutnya, dan juga kebudayaan dan bahasa yang digunakan untuk berinteraksi. 3. Masyarakat Plural Masyarakat plural (plural society) merupakan suatu masyarakat yang hidup berdampingan secara fisik, tetapi karena perbedaan sosial mereka terpisah-pisah dan tidak terintegrasi dalam satu kesatuan politik. Masyarakat Indonesia pada masa kolonial Belanda sebagai contoh dimana adanya pembagian berdasarkan 11 Universitas Sumatera Utara unit-unit ekonomi dimana unit-unit ekslusif hidup menyendiri pada pemukimanpemukiman tertentu dengan sistem sosial masing-masing. 4. Etnik Etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi. 5. Etnis Tionghoa Tionghoa adalah salah satu etnis pendatang di Indonesia yang berasal dari RRC. Biasanya mereka menyebutnya dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren atau lazim disebut Huaren. Disebut Tangren dikarenakan sesuai dengan kenyataan bahwa Tionghoa di Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok bagian Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Tiongkok utara menyebut diri mereka sebagai orang Han. 6. Paguyuban Sosial Paguyuban sosial merupakan kelompok sosial yang anggota-anggotanya terbentuk dari persamaan ikatan yang kuat antar anggota baik bersifat hubungan darah, hubungan kekerabatan maupun tempat asalnya yang memiliki tujuan bersama. 12 Universitas Sumatera Utara