bab 1 pendahuluan

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pernikahan merupakan komitmen yang disetujui oleh dua pihak secara resmi yang
dimana kedua pihak tersebut bersedia untuk berbagi keitiman emosional & fisik, bersedia untuk
berbagi tugas sebagai pasangan suami istri dan sumber finansial (Olson & DeFrain, 2006).
Pernikahan sangat dipengaruhi oleh budaya dimana pasangan yang akan menikah tersebut
dibesarkan. Indonesia sebagai negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan derajat
keberagaman yang tinggi menandakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan mengandung
nilai-nilai atau norma budaya yang sangat kuat dan luas (Natalia & Iriani, 2002). Salah satu etnis
besar yang berdomisili di Indonesia adalah Etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa merupakan
pendatang dari negeri cina dan telah menetap di indonesia selama bertahun-tahun
(Koentjaraningrat, 1976).
Hal ini menyebabkan terjadinya akulturasi dan asimilasi budaya antara etnis Tionghoa
dan etnis asli indonesia, walaupun etnis Tionghoa merupakan etnis pendatang, mereka masih
menjalankan adat kebudayaanya, khusunya dalam hal perkawinan (Usman, 2009). Hal ini
diperkuat dengan masih dijalankannya tradisi perkawinan adat cina di beberapa daerah di Ibu
Kota Jakarta. Beberapa etnis Tionghoa masih menggunakan pakaian pengantin khas Tionghoa
dan menyelenggarakan resepsi pernikahan khas Tionghoa (Kompasiana, 2014).
Makna pernikahan bagi masyarakat Tionghoa adalah bahwa pernikahan merupakan salah
santu bentuk xiao (bakti kepada orang tua dan leluhur untuk melanjutkan keturunan dan
pemujaan kepada leluhur). Tujuan pernikahan selain untuk kebahagiaan kedua mempelai, tetapi
juga untuk kesejahteraan kedua keluarga yang disatukan dalam pernikahan tersebut. Syarat
pernikahan yang penting diperhatikan adalah larangan untuk menikah dari satu she (marga). Hal
ini dikarenakan mempelai yang berasal dari marga yang sama dianggap memiliki hubungan
darah dan akan perdampak buruk kepada keturunannya nanti (Suliyati, 2013).
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan 10 orang individu beretnis Tionghoa
berusia 20-25 tahun dan sedang menjalani hubungan dekat dengan orang lain. Dari wawancara
dapat disimpulkan bawa responden mengatakan pernikahan adalah sebuah ikatan sakral yang
sebaiknya dilakukan sekali seumur hidup. Mereka dikatakan siap untuk menikah saat sudah
mapan secara finansial dan matang secara usia dan emosional. Responden mengatakan bahwa
sangat penting bagi mereka untuk menikah dengan sesama etnis dan sebagian besar responden
mengatakan segala macam bentuk keputusan yang harus diambil terkait dengan pernikahannya,
sebagian besar diputuskan oleh individu itu sendiri (Wawancara Pribadi, 2015).
Pernikahan atau perkawinan menutup suatu masa tertentu di dalam kehidupan seseorang,
yaitu masa bujang dan masa hidup tanpa beban keluarga, bagi masyarakat Tionghoa, seseorang
dianggap dewasa atau sukses apabila ia telah menikah (Koentjaraningrat, 1976). Sesuai dengan
tradisi masyarakat Tionghoa, perceraian merupakan sebuah kejadian yang jarang terjadi karena
dipercaya merupakan sebuah perbuatan tercela dan akan mencemarkan nama baik keluarga. Adat
masyarakat Tionghoa juga melarang keras terjadinya poligami, hal ini dikarenakan adanya
ketakutan dari keluarga mempelai bahwa istri pertama dan istri kedua tidak bisa hidup bersama
dan akhirnya, perceraian menjadi solusi yang menyakitkan bagi keluarga tersebut
(Koentjaraningrat, 1976).
Tujuan yang ingin dicapai dari pernikahan adalah pernikahan yang sukses, yaitu
pernikahan yang dimana kedua pasangan merasa puas dan bahagia dalam pernikahannya
(Asoodeh, Khalili, Daneshpour, & Lavasani, 2010). Demi tercapainya kebahagiaan dalam
pernikahan, kesiapan menikah menjadi kajian yang penting. Hal ini dikarenakan, kepuasan
pernikahan pasangan dapat ditentukan melalui kondisi pasangan sebelum menikah. Kesiapan
menikah merupakan salah satu prediktor kepuasan pernikahan (Holman, Larson, & Harmer,
1994).
Kesiapan menikah membentuk dasar dalam pengambilan keputusan siapa yang akan
dipilih sebagai pasangan, waktu menikah, alasan menikah dan perilaku menikah di masa depan
(Larson & Lamont, 2005). Sikap, perasaan dan kesiapan menikah merupakan topik yang penting
untuk dipelajari karena ketiga hal ini akan membentuk dasar dari pernikahan itu sendiri dan
nantinya akan memprediksi ekspektasi dan perilaku menikah dari pasangan (Larson & Lamont,
2005). Holman & Li (1997) mendefinisikan kesiapan menikah sebagai kemampuan yang
dipersepsikan oleh individu untuk menjalankan peran-peran yang ada dalam suatu pernikahan
dan melihat hal tersebut sebagai aspek dari pemilihan pasangan atau proses dalam perkembangan
hubungannya.
Wiryasti (2004) mengembangkan modifikasi inventori kesiapan menikah dalam bahasa
indonesia dan mendefinisikan kesiapan menikah sebagai kemampuan individu untuk
menyandang peran barunya, yaitu sebagai suami atau istri dan digambarkan oleh adanya
kematangan pribadi, pengalaman dalam menjalin hubungan interpersonal, usia minimal dewasa
muda, serta adanya sumber finansial dan studi yang telah selesai.Pendapatan, tingkat pendidikan,
komunikasi antar pasangan yang berkualitas dan penerimaan dari keluarga serta kerabat
menentukan kesiapan menikah seseorang (Mosko & Pistole, 2010).
Sassler & Schoen (1999) menyatakan bahwa persepsi seseorang tentang kesiapan
menikah sangat tergantung pada banyak hal seperti pekerjaan, edukasi dan waktu menikah
(Carrol, Badger, Willoughby, Nelson, Madsen, & Barry, 2009). Holman & Li (1997) dan Larson
et al. (1998), mengemukakan bahwa tingginya skor kesiapan menikah diasosiasikan dengan usia
dan kedewasaan, yaitu matang secara emosi, dimana individu dapat mengembangkan
kemampuannya unntuk membangun dan memelihara hubungan kedekatan. Dalam konteks
memelihara hubungan kedekatan, salah satu prediktor penting keberhasilan hubungan kedekatan
adalah regulasi emosi (Fardis,2007).
Hubungan interpersonal memunculkan berbagai macam bentuk emosi, hal ini membuat
regulasi emosi menjadi salah satu variabel penting yang harus diteliti dalam konteks hubungan
romantis khususnya pernikahan (Ryan, Gottman, Murray, Carrère, & Swenson, 2000). Regulasi
emosi (regulation of emotion) merupakan proses dimana seseorang dapat mempengaruhi emosi
yang dimiliki, emosi yang dirasakan dan bagaimana individu tersebut mengekspresikan emosi
tersebut (Gross, 2007). Terdapat dua strategi regulasi emosi yang dapat digunakan, yaitu
cognitive reappraisal dan expressive suppression.
Pada tahap hubungan pra-nikah, regulasi emosi menjadi hal yang diperlukan dalam
optimalisasi hubungan. Ketidakmampuan untuk meregulasi emosi akan berdampak pada sikap
saling menyalahkan dan membenarkan diri sendiri serta mengelak dari konflik yang sedang
dihadapi (Bloch, Haase, & Lavenson, 2014). Dalam situasi emosional, pasangan harus dapat
memberikan kontrol emosi akan keadaaan yang sedang dihadapi agar tercipta komunikasi yang
efektif dan resolusi konflik yang baik (Fardis, 2007).
Regulasi emosi dalam etnis Tionghoa didasari oleh kekhawatiran mengenai kesejahteraan
lawan bicara. Etnis Tionghoa percaya bahwa saat berkomunikasi dengan orang lain, mereka
harus dapat mempertahankan hubungan harmonis dan keseimbangan emosional dengan lawan
bicara. Dengan begitu, akan dicapai keharmonisan interpersonal saat dua pihak dapat melakukan
regulasi emosi dengan baik dalam pertukaran sosial (Leung, 1998).
Topik kesiapan menikah relevan dengan individu yang telah berusia 20-30 tahun, karena,
sebanyak 38.2 % pasangan menikah pada usia 20-24 tahun dan sebanyak 10.6 % pasangan
menikah pada usia 25-29 tahun. (Survei Kesehatan & Demografis Indonesia, 2012). Individu
yang dianggap matang untuk menikah adalah usia 21 tahun untuk wanita dan usia 25 tahun untuk
pria (BKKBN, 2012). Berdasarkan teori perkembangan, individu yang telah memasuki usa 20
tahun, disebut sebagai tahap perkembangan emerging adulthood yang termasuk dalam tahap
perkembangan dewasa muda (young adulthood). Santrock (2006) menyatakan bahwa pada usia
dewasa awal (18-40 tahun), individu akan memasuki tahap dimana memiliki ketertarikan dengan
individu lain dan keinginan untuk membina hubungan dekat, serta telah memulai kehidupan
berkeluarga.
Tahap perkembangan yang dikembangkan oleh Arnett (2000) ini merupakan sebuah
tahapan yang unik dalam hidup dicirikan dengan kemampuan membuat keputusan sendiri,
bertanggung jawab dan mencapai kemandirian finansial (Jablonski & Martino, 2013). Tahap
perkembangan emerging adulthood merupakan tahap perkembangan yang dimana seseorang
sudah mulai mandiri. Tanner (2006) menjelaskan bahwa kemandirian yang dimiliki seorang
individu yang berada pada tahap perkembangan ini adalah sudah tidak lagi menggantungkan
kehidupannya di tangan orang tua dalam bentuk memutuskan karir, memilih pasangan, menikah
dan memiliki anak.
Hasil penelitian yang ditemukan oleh Grob, Krings & Bangerter (2001) tentang emerging
adulthood mengemukakan bahwa selama tahap perkembangan ini, individu akan menerima
kontrol terbesar akan berbagai macam kerjadian signifikan dalam hidup mereka. Tahap emerging
adulthood disebut sebagai self-focused age, yaitu saat dimana individu memiliki kebebasan tanpa
batas untuk menentukan pilihan hidup mereka (Arnett, 2007). Dalam kasus emerging adulthood,
mereka mulai merubah diri untuk mempersiapkan diri mereka untik menikah. Emerging adults
sudah matang untuk menjalani keintiman dengan pasangan mereka. Selain itu, pada tahap
perkembangan ini, para individu menginginkan sebuah hubungan yang memberikan rasa aman
dan mau berkomitmen satu sama lain. Untuk kebanyakan emerging adults, hal ini berarti mulai
memikirkan untuk menikah dan menemukan pasangan.
Pada penelitian ini, akan diambil partisipan emerging adulthood yang telah bertunangan
dengan pasangannya. Tunangan merupakan sebuah pemberitahuan terbuka bahwa pasangan
tersebut telah berintensi untuk menikah. Jika pasangan tersebut telah bertunangan, maka,
pengukuran kesiapan menikah akan jauh lebih sesuai dengan landasan teori, karena, dalam
konteks pertunangan, biasanya pasagan telah berada di dalam keputusan akhir untuk
menyesuaikan diri dan pada akhirnya, akan memutuskan untuk menikah. Bertunangan
memberikan tanda bahwa pasangan memandang dirinya telah siap mengemban peran barunya
setelah pernikahan dilakukan (DeGenova, 2008).
Sebagai etnis pendatang yang telah lama berdomisili di Ibu Kota Jakarta, terlihat bahwa
masyarakat Tionghoa adalah komunitas yang masih sangat menjaga budaya asli mereka yang
telah jauh dibawa dari Negeri Cina. Megacu dari keterbatasan penelitian mengenai kesiapan
menikah (Blood, 1976, Larson, 1988) khusunya pada Etnis Tionghoa memberikan ruang dan
kesempatan bagi penelitian ini untuk dilakukan.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Apakah ada hubungan antara regulasi emosi dengan kesiapan menikah pada emerging
adults dalam lingkup masyarakat Tionghoa?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara anatara regulasi emosi dengan
kesiapan menikah pada emerging adults dalam lingkup masyarakat Tionghoa.
Download