makalah - gereja dan politik

advertisement
GEREJA DAN POLITIK1
Mungki A. Sasmita
Politics is inseparable from life – from human concerns, moral considerations, religious and
secular beliefs, modes of living, inherited myths, dreams, nightmares; from preconceptions and
presuppositions about fundamental issues, transcendent themes and values; and from distinction
between right and wrong, good and evil, pleasure and pain, freedom and tyranny, egotism and
altruism. Ultimate questions, even if unanswerable, are never irrelevant to the politics of free men
(Raghavan Iyer)
Dulu orang Kristen dan gereja beranggapan politik itu kotor dan duniawi, maka harus dijauhi. Core
business gereja adalah membina kerohanian umat, bukan mengurusi barang dunia fana itu. Tetapi
sekarang terjadi perubahan yang cukup mencengangkan. Tidak sedikit orang Kristen, pendeta bahkan
gereja yang tiba-tiba gandrung pada politik. Bahkan juga mencalonkan diri baik sebagai anggota legislatif
maupun eksekutif, di tingkat lokal maupun nasional, sekalipun belum tentu memiliki pengalaman,
pengetahuan dan kemampuan politik yang memadai.
GKI biasanya sangat berhati-hati dalam menyikapi berbagai perubahan yang ada. Dan nampaknya
banyak anggota GKI yang mengalami kegamangan dan kebingungan dengan perubahan-perubahan ini,
khususnya dalam menyikapi para politikus Kristen (baik yang jadi anggota jemaatnya maupun yang bukan)
maupun partai-partai berbendera kristen.
Makalah ini akan mencoba menguak sejenak penyebab gereja alergi terhadap politik, mencoba
memahami secara singkat apa itu politik dan perlunya etika dalam berpolitik. Tentu saja saya akan
mencoba melontarkan beberapa implikasi praktis yang bisa memberi insipirasi kepada kita semua
mengenai apa yang bisa gereja lakukan terhadap dunia yang cukup ‘baru’ buat kebanyakan kita, termasuk
di antaranya adalah melakukan pendampingan terhadap anggota jemaat yang menjadi caleg ataupun
anggota legislatif baik di pusat maupun daerah.
Faktor-faktor penyebab gereja bersikap negatif terhadap politik
Oleh karena gereja di Indonesiapun beragam, maka tidak mungkin saya mengurai semua
penyebabnya. Saya akan lebih berkonsentrasi pada faktor-faktor yang sangat berpengaruh khususnya bagi
anggota GKI. Saya melihat ada tiga faktor penting yang menyebabkan munculnya sikap anti politik atau
apolitik (tidak terlalu anti, tetapi tidak mau terlibat karena pertimbangan-pertimbangan tertentu) tersebut.
1. Pandangan teologis tentang politik.
Kebanyakan gereja-gereja Kristen protestan di Indonesia adalah hasil pekabaran Injil yang dilakukan
oleh badan-badan zending Belanda yang beraliran calvinis2. Pada awalnya aliran ini tidaklah antipolitik3. Calvin memang membedakan dengan tegas antara kekuasaan politik (dalam hal ini adalah
pemerintah) dengan Kerajaan Allah, namun Calvin tidak memandang politik sebagai sesuatu yang kotor
dan mesti dijauhi. Malahan Calvin sangat menjunjung tinggi kehidupan politik, sebagaimana ia tuliskan:
1
Disampaikan dalam Forum Pembinaan Majelis Jemaat yang diselenggarakan oleh Badan Pekerja Majelis Klasis
(BPMK) GKI Klasis Semarang Barat dan Semarang Timur dengan tema: “Peran Gereja Dalam Pendampingan Caleg
Kristen”, di GKI Beringin, Semarang, tgl. 20 Januari 2009.
2
Di samping badan-badan zending dari Belanda, juga bekerja di Indonesia badan-badan misi dari Jerman.
3
Lihat Calvin, Yohanes: Institutio, Pengajaran Agama Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985, h. 252-260
1
…kekuasaan politik itu adalah suatu panggilan, yang tidak hanya suci dan sah di hadapan Allah, tetapi juga
yang paling kudus dan yang paling terhormat di antara semua panggilan dalam seluruh lingkungan hidup
orang-orang fana4
Penghormatan ini berangkat dari pemikiran bahwa politik atau pemerintahan merupakan sarana untuk
menegakkan apa yang baik dan benar, melindungi orang-orang yang benar dan menghukum siapa saja
yang bersalah. Dengan adanya kekuasaan politik, diharapkan kehidupan masyarakat dapat berjalan
dengan tertib, sehingga setiap orang dapat menjalani kehidupannya dengan tenteram.
Dalam kaitan dengan fungsi politik ini pulalah, Calvin berbicara tentang hubungan gereja dan negara.
Bagi Calvin negara berfungsi melindungi dan memajukan gereja yang benar serta memerangi dan
mencegah penyebaran agama-agama palsu. Namun bukan berarti bahwa Calvin menganut paham
“gereja-negara”. Pemahaman Calvin lebih didasari atas pertimbangan bahwa bagaimanapun juga
negara mesti tunduk pada firman Allah. Itu sebabnya mereka harus turut serta dalam memajukan gereja
yang benar.
Sekalipun Calvin dan calvinis mula-mula tidaklah anti-politik, namun kita perlu menyadari bahwa calvinis
yang masuk ke Indonesia telah diwarnai pula oleh semangat pietisme yang sangat berpengaruh di
Eropa – khususnya di Belanda dan Jerman – sejak abad 18.5 Pietisme yang berasal dari kata Latin
pietas yang artinya “kesalehan” sangat menekankan tiga hal utama: kelahiran kembali, pertobatan dan
kekudusan hidup (baca: moralitas). Dari situ kita bisa melihat ciri lain dari semangat pietisme ini, yaitu
individualistik. Kesalehan individu mendapatkan tekanan yang sangat besar. Akibatnya kesalehan
sosial tidak mendapat tempat sama sekali dalam semangat pietisme ini.
GKI yang berawal dari komunitas Kristen Tionghoa juga menerima paham-paham pietis dari penginjilpenginjil dari Cina daratan. Dua tokohnya adalah John Sung dan Dzao Tse Kuang. Para penginjil itu
adalah anak-anak jaman kebangkitan (revivalism) yang memiliki akar kuat pada semangat pietisme
tersebut.6 Maka dapatlah kita pahami bila kemudian warga GKI khususnya dan orang-orang Kristen di
Indonesia pada umumnya tidak terlalu berminat terhadap kehidupan politik. Apalagi dengan melihat
berbagai contoh nyata betapa praktik-praktik politik seringkali jauh dari kekudusan hidup. Maka terlibat
dalam kehidupan politik hanya akan mencemari kekudusan orang-orang Kristen.
2. Trauma politik dan double minority complex
Pengalaman traumatis yang amat memengaruhi sikap dan pandangan politik kebanyakan orang Kristen
adalah peristiwa tahun 1965. Peristiwa yang kemudian dikenal dengan sebutan G30S/PKI7 itu telah
memakan korban jiwa yang amat besar – konon antara ratusan ribu hingga jutaan jiwa. Ditambah lagi
4
Ibid. h. 256
Pietisme atau juga disebut puritanisme mulai muncul di kalangan kaum calvinis di Inggris pada abad 17.
Kemudian semangat pietisme ini masuk ke Belanda dan Jerman. Pietisme lahir sebagai reaksi atas kondisi
keagamaan di Eropa yang dinilai terlalu rasionalistik, sehingga mengabaikan aspek perasaan dan praktik hidup
kudus di kalangan umat beriman. Lihat: Berkhof, H. DR dan DR. I.H. Enklaar: Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1987, h. 218. Haroutunian melihat aspek lain dari kebangkitan semangat pietisme ini, yaitu adanya
kekuatiran bahwa gereja semakin kehilangan pamornya di kalangan umat beriman. Lihat: Haroutunian, Joseph:
Piety vs Moralism, New York & Evanston: Harper Torchbook, Harper & Row Publishers, Inc, 1970, h. 3-14.
6
Wijaya, Yahya: Church-State-Market Relations in the Context of Indonesia. Artikel ini pernah dimuat dalam Asia
Journal of Theology (21:2) 2007. Saya mendapatkan artikel itu secara pribadi dari penulisnya. Kutipan yang saya
maksudkan terdapat pada halaman 3 dari softcopy yang saya terima. Selanjutnya untuk kutipan-kutipan atas
artikel tersebut saya akan mengacu pada halaman yang tertera dalam softcopy.
7
Penyebutan “PKI”, sampai sekarang masih menimbulkan kontroversi di kalangan ahli-ahli sejarah. Di bawah
kekuasaan rezim Orde Baru, masalah itu hanya dibicarakan di bawah permukaan, tetapi di era reformasi ini, apa
yang dulu taken for granted sekarang mulai dipermasalahkan.
5
2
dengan sikap represif dari penguasa Orde Baru yang militeristik dan premanistik, menyebabkan
munculnya pandangan di sebagian besar masyarakat Indonesia – termasuk orang-orang Kristen –
bahwa terlibat dalam kehidupan politik hanya mencari masalah saja. Bahkan tidak jarang saya
mendengar informasi yang mengatakan bahwa banyak Majelis Jemaat yang menegur pendetanya
dengan keras ketika pendetanya mulai terlibat dalam diskusi atau seminar-seminar yang berbau politik.
Banyak Majelis Jemaat yang kuatir kalau-kalau keterlibatan pendetanya dalam politik akan
menyusahkan gerejanya.
Dan GKI adalah gereja orang-orang Tionghoa. Baru dalam beberapa puluh tahun terakhir ini
keanggotaan GKI menjadi lebih multi-etnis, sekalipun anggota jemaat beretnis Tionghoa masih tetap
mayoritas. Orang-orang Tionghoa menghadapi dilema yang tidak mudah dalam kaitan dengan
kehidupan politik ini.8 Dalam masa Orde Baru, orang-orang Tionghoa telah mengalami character
assassination secara komunal,9 sehingga secara keseluruhan warga Tionghoa merasa menjadi
strangers in their own land – orang-orang asing di tanah kelahirannya sendiri. Keberadaannya sebagai
orang Kristen yang Tionghoa menimbulkan perasaan double minority complex, kelompok terasing
karena minoritas ganda yang disandangnya. Buffer politic10 yang dijalankan oleh Orde Baru serta
trauma politik yang dialaminya11 (lihat juga butir 2 di atas) secara efektif dan sistematik telah
menanamkan ketakutan yang besar di kalangan masyarakat Tionghoa. Sikap ini mau tidak mau pasti
memengaruhi juga sikap gereja (khususnya GKI) terhadap kehidupan politik.
3. Budaya Confusianisme
Yahya Wijaya dalam artikelnya yang menyoroti soal hubungan antara gereja, negara dan pasar dalam
konteks Indonesia12 mengatakan bahwa sikap apolitik di kalangan orang Tionghoa berakar pada paham
Confusianisme13 dan pada gilirannya juga pertimbangan dan kepentingan bisnis. Penelitian yang
dilakukan oleh Wong Siu-lun (dikutip oleh Yahya Wijaya) terhadap para pebisnis di Singapura dan
Hongkong menunjukkan bahwa merekapun memiliki tendensi untuk bersikap apolitik. Padahal mereka
jelas-jelas tidak memiliki trauma politik sebagaimana dialami oleh orang Tionghoa di Indonesia. Bagi
para pebisnis menjaga relasi yang baik dengan penguasa adalah mutlak penting kalau mereka ingin
bisnisnya lancar dan tidak dipersulit. Dengan bersikap sebagai good boy, diharapkan penguasa akan
8
Bila anda berminat membaca mengenai masalah ketionghoaan di Indonesia, ada banyak referensi yang dapat
dimanfaatkan, terutama tulisan-tulisan sinolog Leo Suryadinata.
9
Onghokham dalam kata pengantar untuk buku Leo Suryadinata mengutip tulisan DR. Wang Gungwu yang
mengatakan bahwa tidak ada suatu golongan Tionghoa perantauan di dunia yang sesudah perang dunia kedua
mengalami keguncangan seberat golongan Tionghoa yang tinggal di Indonesia. Lihat Dr. Onghokham: Pengantar
(Sejarah Berkembang, Adakah Harapan bagi Minoritas), dalam DR. Leo Suryadinata: Dilema Minoritas Tionghoa,
Jakarta: PT Grafitipers, 1986, h.ix.
10
Buffer politic adalah term yang dilontarkan oleh Dr. Arief Budiman dalam sebuah ceramahnya untuk menyebut
praktik adu domba yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru. Bila ada gejala rakyat mengalami ketidak-puasan
terhadap pemerintah, maka pemerintah segera merekayasa suatu kerusuhan etnis. Dan yang selalu dijadikan
korban adalah kelompok masyarakat yang paling lemah: masyarakat Tionghoa. Dengan demikian masyarakat
Tionghoa selalu difungsikan menjadi buffer (penahan) yang bisa ‘menghadang’ luapan ketidak-puasan massa atas
pemerintah dan mengalihkan kemarahan massa tersebut ke masyarakat Tionghoa. Dari potensi konflik vertikal
(rakyat vs pemerintah) menjadi konflik horisontal (antar kelompok masyarakat yang berbeda etnisnya).
11
Trauma politik yang dialami oleh orang Tionghoa di Indonesia lebih banyak ketimbang yang dialami oleh sukusuku lain. Orang-orang Tionghoa tidak hanya mengalami tindakan represi pada jaman Orde Baru saja, tetapi juga
jaman kolonial Belanda dan Jepang, juga di jaman Orde Lama di bawah kepemimpinan presiden Soekarno.
12
Op.cit.5, h. 2-3.
13
Dalam hirarki sosial menurut Confusianisme, para pedagang menduduki tempat yanglebih rendah ketimbang
pemerintah. Maka mereka harus menghormati para penguasa ketimbang bersikap kritis. Lihat op.cit. 5
3
membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan iklim bisnis mereka. GKI yang mayoritas
anggotanya adalah orang-orang Tionghoa sedikit banyak tentulah dipengaruhi juga oleh sikap dan
pandangan ini.
Politik: negatif ataukah positif?
Pandangan yang mengatakan bahwa politik itu kotor dan berlumuran dosa sebenarnya keliru,
namun dapat dipahami. Sepak terjang (sebagian) aktor politik yang seringkali tidak memberikan citra positif
atas dunia ini ikut menguatkan paham yang keliru ini. Padahal sebenarnya politik sama dengan bidangbidang lain dalam kehidupan manusia. Ia bahkan juga dapat disamakan dengan kegiatan pelayanan
gerejawi. Sesuatu yang mestinya mulia dan luhur, namun bukankah pelayanan gerejawi pun dapat
diselewengkan untuk maksud-maksud yang tidak terpuji?
Raghavan Iyeh14, yang dikutip pada awal makalah ini, menegaskan ketidak-terpisahan politik
dalam aktifitas kehidupan manusia sehari-hari. Politik, dalam pandangan Iyeh, bukan melulu soal
kekuasaan, tetapi jauh lebih dalam lagi. Ia berkaitan sangat erat dengan moralitas, impian, harapan dan
ketakutan manusia, bahkan juga menyangkut cara hidup manusia.
Secara epistemologi, politik berasal dari kata polites 15 artinya penduduk (citizen). Terkait dengan
itu, kata politics mempunyai arti (a) the art or science of government atau (b) the art or science concerned
with guiding or influencing governmental policy dan (c) the art or science concerned with winning and
holding control over government. Juga dikemukakan makna lain dari kata politics tersebut yaitu the total
complex of relations between people living in society. Sedangkan political berarti characterized by
shrewdness in managing, contriving and dealing; sagacious in promoting a policy; shrewdly tactful. Kamus
Wikipedia memberikan definisi politik sebagai berikut:
Politics is the process by which groups of people make decisions. The term is generally applied to behavior
within civil governments, but politics has been observed in all human group interactions, including corporate,
academic, and religious institutions. It consists of “social relations involving authority or power” and refers to
the regulation of a political unit, and to the methods and tactics used to formulate and apply policy.16
Jadi politik sangat berkaitan dengan kemampuan untuk mengelola, menyusun maupun membuat
kesepakatan dalam kerangka kehidupan bersama sebuah masyarakat. Aktifitas politik ditujukan untuk
menciptakan dan melaksanakan pranata-pranata sosial dan normatif yang memungkinkan masyarakat
manusia hidup dengan tertib, aman, tenteram dan sejahtera. Agar supaya efektif dibutuhkanlah otoritas
atau kekuasaan. Karena politik pada akhirnya berhubungan dengan kekuasaan, maka tidak mengherankan
bila politik juga disalah-gunakan semata untuk mengejar dan merebut kekuasaan belaka. Dan semakin
besar sebuah kekuasaan digenggam, seperti kata Lord Acton, semakin besar pula tendensi
penyimpangannya. Tanpa kontrol dan pembatasan, akan mudah terjadi abuse of power.
Untuk itu tidak hanya dibutuhkan sistem dan aturan main politik (konstitusi, undang-undang dan
perangkat hukum yang lain) yang baik, tetapi juga dibutuhkan etika politik. Sejarah manusia sudah
membuktikan bahwa ketika politik dijalankan tanpa etika, maka yang terjadi bukanlah kemaslahatan
masyarakat umum, melainkan krisis keadilan, kemanusiaan dan ketentraman.
14
Tulisan Iyer ini dikutip oleh Anwar Barkat, lihat: Anwar Bakat: Reconstruction of political ethics in an Asian
perspective, dalam: Srisang, Koson: Perspectives on Political Ethics, an ecumenical enquiry, Switzerland: WCC
Publications, 1983, h. 53.
15
Meriam-Webster’s 11th Collegiate Dictionary (format CD 3.0 version)
16
http://en.wikipedia.org/wiki/Politic
4
Etika Politik dan konteksnya
Dalam etika, konteks memainkan peranan amat penting. Konteks kita adalah Indonesia dan
Indonesia adalah bagian dari Asia. Salah satu ciri khas dari Asia adalah peran agama yang menonjol
dalam kehidupan masyarakatnya. Anwar Barkat,17 seorang pakar ilmu politik dari Pakistan, dalam
konsultasi yang diadakan oleh Dewan Gereja-gereja Dunia tentang etika politik di Cyprus mengatakan
bahwa sekalipun Asia memiliki keragaman budaya, agama dan pengalaman sejarah, namun ada beberapa
kesamaan yang cukup menonjol di antara bangsa-bangsa di Asia, yaitu: sebagian besar pernah menjadi
wilayah jajahan bangsa-bangsa Eropa dan Amerika, dan kedua, agama memainkan peranan penting
dalam masyarakat Asia.
Bagi masyarakat Asia, sumber etika politik tidaklah berasal dari filsafat-filsafat positivistik
sebagaimana dilakukan oleh masyarakat Eropa, melainkan dari agama atau refleksi filosofis yang
berorientasi pada agama. Berbeda dengan masyarakat barat yang amat dipengaruhi oleh budaya dan
tradisi Yudeo-Kristen, sehingga masyarakatnya relatif lebih homogen, tidak demikian dengan Asia. Dalam
keberagaman Asia, khususnya Indonesia setiap tradisi keagamaan tentunya harus mendapat ruang yang
cukup untuk menyatakan pemikiran-pemikiran etisnya. Upaya-upaya dari kelompok tertentu yang mencitacitakan negara-agama, atau mendominasi kebijakan-kebijakan politik dengan warna tradisi keagamaan
tertentu, sudah pasti tidak akan menciptakan kondisi yang adil, benar dan dengan demikian juga tidak akan
menciptakan perdamaian.
Hal ini perlu saya tekankan di sini, karena kegairahan sebagian umat Kristen dan gereja terhadap
perpolitikan, nampaknya juga sedikit banyak diwarnai oleh cita-cita yang sektarian. Acapkali kampanyekampanye – baik terselubung maupun terang-terangan – yang dilakukan oleh beberapa politikus Kristen di
dalam gereja sangat menekankan janji “akan memperjuangkan kepentingan Kristen”. Karena dianggap
selama ini orang-orang Kristen menghadapi penindasan dan ketidak-adilan.18 Politik yang beretika
seharusnya tidak hanya memikirkan satu kelompok tertentu saja, apalagi kalau itu kelompoknya sendiri.
Karena politik menyangkut hajat hidup orang banyak, maka sudah seharusnya politik itu diarahkan dan
dimanfaatkan untuk menciptakan kesejahteraan bagi semua orang, atau at least sebanyak mungkin orang.
Pada titik inilah politik membutuhkan sumbangan etika dari berbagai tradisi keagamaan yang dianut oleh
masyarakatnya. Karena konsep tentang yang baik, adil, benar dan menyejahterakan bisa berbeda-beda
antara satu tradisi keagamaan dengan tradisi keagamaan yang lain.19
Selain dari keberagaman tadi, Indonesia juga memiliki aspek lain yang harus diperhatikan secara
serius yaitu kemiskinan. Indonesia seperti juga sebagian besar negara-negara Asia yang lain adalah
negara yang masih dililit oleh kemiskinan yang hebat. Salah satu penyebab utama kemiskinan adalah
kebijakan politik pembangunan yang tidak berpihak kepada rakyat secara luas melainkan hanya
menguntungkan segelintir pemilik modal – dalam maupun luar negeri – sehingga kesejahteraan yang
diharapkan mengalir dari keberhasilan pembangunan tersebut tidak terjadi. Alih-alih mengalir, yang terjadi
hanyalah menetes, itupun dalam skala yang amat terbatas. Ideologi pembangunan yang seperti ini masih
diperparah dengan berkembangnya praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Alhasil jumlah orang yang
menikmati hasil-hasil pembangunan itupun semakin terbatas. Kejatuhan rezim Orde Baru tidak berarti
berakhirnya ideologi pembangunan dan praktik korupsi di negara kita. Aktor-aktor politik yang dulunya
bernaung dengan nyaman di bawah payung Orde Baru sampai sekarang hampir-hampir tak tersentuh oleh
17
Op.cit.13, h. 50-69.
Contoh yang paling sering diangkat adalah sulitnya mendapatkan ijin mendirikan gedung gereja.
19
Bandingkan dengan pendekatan yang diusulkan oleh Yahya Wijaya dalam Op.cit. 6, h.8. Yahya Wijaya
mengatakan bahwa pendekatan partnership adalah yang paling tepat untuk konteks Indonesia baik dalam kaitan
hubungan agama-negara, maupun dalam bidang agama-ekonomi.
18
5
hukum. Dan bahkan beberapa dengan tenangnya terus berusaha kembali ke panggung politik melalui
berbagai kesempatan, baik pilkada maupun pemilu nasional.
Berakhirnya rezim represif Orde Baru, telah menyebabkan terbukanya kran kebebasan. Dalam
eforia kebebasan ini ada kecenderungan yang amat kuat untuk menjadi kebebasan yang liar. Berbagai
kekerasan secara telanjang dipertunjukkan di depan umum oleh berbagai elemen masyarakat, sehingga
tidaklah berlebihan kalau kita mengatakan bahwa saat ini bangsa kita juga tengah mengalami krisis
ketertiban (crisis of order). Situasi semacam ini sungguh sangat kondusif bagi kelahiran kembali dan
berkembangnya kelompok-kelompok ekstrim terutama yang berbaju agama. Aparat keamanan dan
ketertiban serta aparat hukum terkesan tak berdaya menghadapi semuanya itu. Bila kondisi ini dibiarkan
maka bukannya demokrasi yang akan terwujud melainkan kekacauan. Dan itu akan memicu dua
kemungkinan yaitu kembalinya rezim militeristik atau pemerintahan diktator atas nama agama.
Krisis-krisis tersebut di atas juga menunjukkan dengan sangat gamblang bahwa kita sebagai
sebuah bangsa tengah menghadapi krisis kepribadian dan moral yang amat serius. Apa yang pernah
dibangun oleh para founding fathers kita, seolah-olah sudah lenyap. Masalah kepribadian dan moral bukan
masalah yang bisa disepelekan. Semua bangsa yang maju dan beradab akan selalu memiliki landasan
kepribadian dan moral yang tinggi. Tanpa kepribadian dan moral yang baik, bangsa kita akan berjalan
menuju ke jurang kehancuran dan menjadi bangsa paria di tengah-tengah pergaulan bangsa-bangsa
dunia.
Etika politik Kristen
Pada umumnya etika Kristen mendasarkan diri pada pemikiran Paulus sebagaimana terdapat
dalam Roma 13:1-7. Di situ Paulus berbicara tentang hubungan umat beriman dengan pemerintah (kaisar).
Namun krisis Naziisme telah menyentak pemikiran etika politik kristen di Eropa, dan menyadarkannya
bahwa perikop itu saja tidaklah memadai untuk sebuah dasar etika politik.20 Karena terbukti dalam sejarah
bahwa tidak selalu penguasa itu representasi dari Allah. Tidak tertutup kemungkinan penguasa politik
justru menjadi representasi dari kuasa Iblis ketimbang Allah. Oleh karena itu pendasaran biblis atas etika
Kristen perlu mulai dievaluasi dan direvisi. Tidak berarti bahwa perikop itu tidak berlaku lagi. Melainkan
diperlukan suatu pemahaman yang lebih mendasar dan komprehensif.
Dalam kesempatan yang amat terbatas ini tidak mungkin kita membicarakan secara mendetil etika
Kristen dalam bidang politik. Oleh karena itu di sini hanya akan dipaparkan beberapa prinsip dasar dalam
perumusan etika Kristen dalam bidang politik. Untuk itu saya akan merujuk pada hasil-hasil konsultasi yang
diadakan oleh WCC di Cyprus yang membicarakan masalah etika politik tersebut. Dalam konsultasi itu
disepakati beberapa hal penting dan mendasar berkaitan dengan pokok pembicaraan kita, yaitu:21
1. Perlunya pemahaman yang holistik mengenai kesaksian alkitabiah
Seperti telah disinggung di atas bahwa pendasaran etika Kristen hanya pada bagian-bagian tertentu
saja dari kesaksian Alkitab, tidaklah memadai. Oleh karena itu diperlukan suatu pendekatan dan
pemahaman yang lebih holistik atas isi Alkitab. Pendekatan yang holistik akan menolak segala bentuk
absolutisasi atas bagian-bagian tertentu dalam Alkitab, menerima dan menggunakan secara kreatif
kepelbagaian kontekstual, dan fokus utama pada kesaksian biblis tentang Yesus Kristus dan Kerajaan
Allah. Penekanan atas keutuhan dan keseluruhan Alkitab tidak berarti mengabaikan berbagai tekanan
yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dalam Alkitab.
2. Keterkaitan antara yang historis dengan yang eskatologis
Umat beriman yang hidup di dalam dunia ini berada dalam konteks sejarah. Ia bagian dari sejarah dan
dengan demikian menjadi bagian pula dari realitas politik yang ada baik lokal maupun global. Namun
20
21
Yoder, John Howard: The Politics of Jesus, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1975, h. 193-214.
Report of the Cyprus consultation, dalam op.cit. 13, h. 21-22
6
pada saat yang sama setiap orang beriman juga hidup dalam janji dan pengharapan eskatologis. Tugas
umat beriman adalah menjaga ketegangan ini secara kreatif. Benar bahwa kedua realitas ini berbeda;
segala tindakan manusia dalam sejarah bersifat relatif, dan semuanya itu harus dilihat dalam terang
tindakan Allah yang akan menggenapi janji eskatologisNya. Oleh karena itu segala tindakan politik umat
beriman juga harus senantiasa dilakukan dalam terang dan mengacu pada janji eskatologis Allah yang
akan menghadirkan KerajaanNya secara sempurna.
3. Dua simbol kunci
Dua simbol kunci penting dalam rangka memahami etika politik Kristen adalah, pertama, simbol yang
diambil dari Perjanjian Lama, yaitu komunitas perjanjian (covenant community). Simbol ini
melambangkan hubungan yang baik antara Allah dengan umatNya. Dan relasi tersebut menjadi dasar
dari pemahaman (alkitabiah) tentang keadilan, kebenaran dan perdamaian (shalom). Simbol yang
kedua adalah kerajaan atau komunitas mesianis (messianic community or kingdom). Sekalipun simbol
kedua ini berakar pada simbol yang pertama, namun ia juga memiliki identitas dan integritas sendiri.
Kerajaan mesianis adalah komunitas mesianis dari suatu perjanjian baru di dalam Yesus Kristus. Dan ia
mengarah pada suatu komunitas tanpa kekuasaan untuk mendominasi, dan komunitas yang di
dalamnya janji Allah untuk tinggal di antara umatNya tergenapi, sehingga umat memerintah bersama
dengan Mesias. Manifestasi dari komunitas ini bermuara pada salib Kristus, Mesias yang menderita.
Inilah simbol eskatologis dan ia tidak bisa diubah begitu saja ke dalam ideologi politik dalam realitas
historis. Tetapi simbol ini penting untuk menjaga agar supaya umat beriman tetap memiliki perspektif
kritis dalam menafsirkan sejarah politik dan memelihara suatu visi yang berpengharapan yang
melampaui pengharapan-pengharapan historis.
Implikasi-implikasinya
Berdasarkan prinsip-prinsip etis tersebut di atas, maka keterlibatan orang kristen dalam kehidupan
politik hendaknya didasari atas penghayatan:
1. Kekuasaan sebagai anugerah Allah.
Kekuasaan bukan sesuatu yang buruk. Ia hendaknya dipahami sebagai anugerah Allah. Dan setiap
anugerah Allah haruslah dipergunakan untuk menjadi berkat bagi sesamanya. Dengan demikian
jabatan dan kekuasaan itu dipandang sebagai kesempatan untuk mengabdi kepada rakyat dan kepada
Tuhan.
2. Keberpihakan kepada yang lemah
Para politikus Kristen dipanggil memiliki keberpihakan kepada yang lemah, karena dua alasan penting,
yaitu, pertama, kelompok masyarakat inilah yang seringkali menjadi korban penindasan, ketidak-adilan
dan kesewenang-wenangan. Keberpihakan mereka tidak boleh dilandasi oleh sentimen-sentimen yang
bersifat primordial (suku, ras atau agama). Dan kedua, kelompok inilah yang merupakan mayoritas
rakyat Indonesia, khususnya mereka yang lemah secara sosial-ekonomi. Namun keberpihakan itu juga
tidak membuta, dalam arti bahwa aturan dan hukum tidak berlaku bagi kelompok ini.
3. Memiliki visi dan misi yang berorientasi pada rakyat dan kerajaan Allah
Visi dan misi para politikus Kristen hendaknya tidak hanya dibatasi oleh lingkup dan waktu. Maksudnya
kiprahnya dalam dunia politik tidak hanya dibatasi oleh konstituennya saja (kelompok pemilihnya)
ataupun jangka waktu ia memiliki jabatan itu. Melainkan hendaknya terarah pada perwujudan cita-cita
Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahkan lebih jauh lagi para
politikus Kristen juga sekaligus adalah agen-agen eskatologis. Ia seharusnya ikut serta dalam
menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah (keadilan, kebenaran, perdamaian dan keutuhan ciptaan)
sampai dengan pemenuhannya.
4. Mendorong perubahan yang benar dalam masyarakat Indonesia
7
Para politikus Kristen hendaknya juga menjadi agen-agen perubahan. Untuk itu dibutuhkan keteladanan
sikap dan perilaku yang baik. Setiap politikus Kristen harus berani mengatakan “tidak” atas semua
tawaran, bujukan atau strategi-strategi yang dapat membuatnya jatuh pada tindak korupsi, kolusi
ataupun nepotisme; menjauhi segala bentuk premanisme dan menegakkan hukum secara konsisten
dan konsekuen.
Rekomendasi bagi tindakan praktis
1. Gereja perlu terlibat dalam politik dalam arti yagn luas. Ia mengikuti dengan seksama berbagai
perkembangan politik. Gereja juga harus berani menyatakan aspirasi politiknya yang kritis serta
dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan moral-etis kristiani. Penyaluran aspirasi tersebut hendaknya
dilakukan dengan cara-cara yang tidak mengarah pada kekacauan, melainkan melalui saluran-saluran
yang tepat, di antaranya adalah anggota jemaat yang menjadi kader partai politik ataupun menjadi
anggota legislatif dan eksekutif, baik di tingkat lokal maupun nasional.
2. Gereja perlu melakukan pertemuan konsultatif secara berkala dengan anggota-anggota jemaatnya yang
terlibat dalam politik praktis. Dikatakan “konsultatif”, karena dalam pertemuan tersebut kedua belah
pihak (gereja dan aktivis politik) dapat saling memberi masukan dan saling belajar. Dalam pertemuan
tersebut gereja dapat menyuarakan suara kenabiannya, menyampaikan berbagai pertimbangan moraletisnya, tetapi sekaligus juga belajar dan mendapatkan informasi yang benar mengenai berbagai
perkembangan politik yang ada.
3. Gereja perlu juga mendengar masukan dari berbagai LSM ataupun perguruan tinggi-perguruan tinggi
Kristen yang menaruh perhatian terhadap kehidupan politik. Karena dari lembaga-lembaga inilah gereja
akan mendapatkan berbagai masukan yang relatif obyektif. Lembaga-lembaga tersebut juga dapat
berfungsi sebagai counter-opinion, sehingga gereja tidak hanya mendengar dari anggotanya yang
memiliki jabatan di partainya atau di badan-badan legislatif dan eksekutif saja.
4. Gereja perlu menyelenggarakan berbagai pembinaan ataupun juga forum diskusi yang menggumuli
masalah-masalah politik dan etikanya bagi anggota jemaatnya, sehingga pemahaman-pemahaman
yang salah yang dimiliki oleh anggota jemaat tentang politik dapat diluruskan dan sekaligus dapat
mendorong anggota jemaatnya ikut berperan dalam kehidupan politik sesuai dengan kapasitas dan
kemampuannya.
5. Gereja perlu terlibat dalam forum-forum dialog antar umat beragama. Karena dalam konteks Indonesia
saat ini yang dihadapi oleh gereja bukanlah umat beragama lain, tetapi kelompok-kelompok ekstrim
yang bisa merusak kerukunan antar umat beragama. Kelompok ekstrim ini tidak hanya terdapat pada
umat beragama yang lain, tetapi juga di kalangan umat Kristen sendiri. Keikut-sertaan gereja dalam
dialog seperti ini akan mengamplifikasi suara Kristen di tengah-tengah percaturan politik lokal maupun
nasional. Selain itu gereja juga menghadapi krisis kepribadian dan moral bangsa yang tidak mungkin
ditangani oleh gereja sendirian. Seluruh kelompok agama mesti bersinergi untuk mendidik dan
membangun kepribadian dan moral bangsa yang benar.
Penutup
Apa yang diuraikan di atas hanyalah merupakan suatu stimulan bagi kita semua. Saya berharap
bahwa forum ini tidak hanya berhenti sampai di sini, melainkan dapat menjadi awal dari jemaat-jemaat
untuk secara sadar mulai memberi perhatian terhadap perkembangan politik lokal maupun nasional.
Dengan demikian Gereja dapat berperan serta – seminimal apapun – dalam kehidupan publik dan
bersama-sama dengan berbagai elemen bangsa yang lain memperjuangkan kesejahteraan bagi seluruh
rakyat Indonesia.
8
Daftar Kepustakaan
Yohanes Calvin: Institutio, Pengajaran Agama Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985
DR. H. Berkhof & Dr. I.H. Enklaar: Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987
Joseph Haroutunian: Piety vs Moralism, New York and Evanston: Harper Torchbook, Harper & Row,
Publisher, Inc, 1970
Yahya Wijaya: Church-State-Market Relations in the Context of Indonesia, Asia Journal of Theology, 21:3,
2007
DR. Leo Suryadinata: Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: Grafitipers, 1986
Koson Srisang: Perspectives on Political Ethics, an Ecumenical Enquiry, Switzerland: WCC Publishers,
1983
John Howard Yoder: The Politics of Jesus, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1975
Merriam-Webster’s 11th Collegiate Dictionary, 3.0 version (CD format)
http://en.wikipedia.org/wiki/Politic
9
Download