Kapan Menuntaskan Pembahasan Paket RUU Reformasi Birokrasi ? Oleh : ENRICO SIMANJUNTAK, S.H. Pada acara Peluncuran Laporan Pembangunan Manusia Asia-Pasifik 2008 di Istana Negara beberapa waktu lalu, Presiden menegaskan kembali komitmennya terhadap upaya pemberantasan korupsi (Analisa, 13 Juni 2008). Perbuatan korup, kurang kreatif, tidak inovatif, minim profesionalitas, penghasilan yang kurang layak dsb. adalah sejumlah contoh stereotype, bahkan stigma, yang sering dialamatkan kepada para Pegawai Negeri Sipil (PNS), birokrasi pemerintahan secara umum. Dan pemberantasan korupsi kini bukanlah sekedar wacana, serangkaian penindakan terutama oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mendapat dukungan luas publik. Tetapi, hampir luput dari perhatian masyarakat, apalagi gerakan mahasiswa, bahwa pembenahan birokrasi nasional tak akan berhasil jika bertumpu kepada proses pidana semata. Pembenahan semacam itu, sifatnya parsial dan sektoral, seyogianya lebih mendasar : secara radikal, sistematis dan konstruktif. Disinilah peranan instrumen undang-undang (UU), berikut peraturan-peraturan dibawahnya, hadir mengatur, menata atau melakukan formulasi perubahan masyarakat. Singkatnya, melakukan reformasi, dari reformasi hukum menuju reformasi birokrasi.Bertitik-tolak dari ajaran Roscoe Pound (1959) yang terkenal dengan social engineering theory, bahwa law as a tool of social engineering, maka perubahan hukum berdampak besar terhadap perubahan masyarakat. Pengalaman penciptaan hukum Indonesia dengan teori Roscoe Pound tersebut, paling tidak terekam dalam produk perundang-undangan seperti UU. No. 5/1960, UU. No. 5/1967— dirubah dengan UU. No. 41/1999—UU. No. 5/1974 dan UU. No. 5/1979 yang telah dirubah dengan UU. No. 22/1998, dan UU No. 4/1998 (Laporan KHN tahun 2000). Misalnya, sejak berlaku UU. No. 5/1960 tentang UU. Pokok Agraria, konsepsi pertanahan warisan kolonial dihapuskan dari sistem hukum Nasional. Sehingga sejak itu, unsur-unsur sistem hukum, yakni struktur, substansi dan budaya hukum perlahan berkembang dari “jiwa kebangsaan Indonesia”, setidaknya untuk menggunakan telaah Lawrence M. Friedman (1984: 5-6) terhadap sebuah sistem hukum. Urgensi RUU Reformasi Birokrasi. Inisiatif pemerintah, melalui Menpan Taufiq Effendi, mengajukan sejumlah RUU yang berkaitan dengan pembenahan birokrasi nasional merupakan terobosan penting dan esensial. Untuk itu, penulis istilahkan disini sebagai paket ”RUU Reformasi Birokrasi”, yang terdiri dari RUU Administrasi Pemerintahan, RUU Pelayanan Publik, RUU Etika Penyelenggaraan Negara, RUU Kementerian Negara dan RUU Kepegawaian Negara. Kesemuanya, diarahkan untuk menata sistem manajemen birokrasi nasional berbasis kinerja yang meliputi kelembagaan, tata laksana, sumber daya manusia, budaya kerja dan hubungan teknologi. Di bawah level UU, beberapa ketentuan yang sudah dikeluarkan, sebagai langkah kongkrit pemerintah menata ulang regulasi birokrasi. Misalnya, PP No. 41/2007—perubahan dari PP. No. 8/2003 dan PP. No. 84/2000—tentang Perampingan Sturuktur Organisasi Pemerintah di Daerah. Contoh lain, Inpres Nomor 5/2007 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Termasuk dibentuknya Unit Kerja Presiden-Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP–PPR) melalui Keppres No. 17 Tahun 2006 yang salah satu tugasnya adalah mengawal pembangunan good governance dan reformasi birokrasi. Dan termasuk juga bagian dari paket RUU reformasi birokrasi itu, terdapat 3 RUU lain, diajukan sejak era pemerintahan Gus Dur, yakni RUU Ombudsman Nasional, RUU Kementerian Negara dan RUU Lembaga Kepresidenan. RUU Ombudsman Nasional dimaksudkan mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang bersih di pusat dan daerah, sesuai dengan asas-asas pemerintahan yang baik, berdasarkan asas-asas negara hukum yang demokratis, transparan dan bertanggung-jawab serta untuk meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik (Pasal 4 RUU Ombudsman Nasional). Sedangkan, RUU Kementerian Negara dimaksudkan guna mengatur pembentukan, pengubahan, atau pembubaran kabinet. Sehingga eksistensi Lembaga Kementerian, tidak semata-mata tergantung ”hak preogratif” Presiden. Sejalan dengan itu, RUU lembaga Kepresidenan diperlukan agar kelembagaan presiden terjaga dari kemungkinan distorsi figur politik Presiden. Masing-masing ”RUU reformasi birokrasi” itu nantinya akan saling melengkapi. Khusus, mengenai RUU Administrasi Pemerintahan menempati posisi lebih signifikan, terutama dikaitkan dengan prospek penguatan eksistensi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam melakukan fungsi judicial control terhadap keputusan-keputusan tertentu Pemerintah (beschikking). Konsep ”Negara Kesejahteraan”, welfare state, sebagaimana dianut negara-negara demokrasi modern di sebagian Eropa Barat, memiliki kesempatan yang lebih luas dipraktekkan di Indonesia”. Beberapa sarananya yang diadopsi dalam RUU ini adalah dimuatnya ketentuan tentang standar layanan minimal, standar operates procedure, dalam penyelenggaraan administrasi negara. Selanjutnya, akan terjawab juga kebutuhan perlindungan hukum terhadap masyarakat, sebagai pengguna layanan pelaksana administrasi negara (users) dan sebaliknya bagi pemerintah sebagai penyedia layanan (providers). Dengan kata lain, permasalahan kekosongan ketentuan perundangundangan (rechtsvacuum), yang memperjelas hubungan hukum antara penyelenggara administrasi negara dan masyarakat, dapat diisi oleh UU Administrasi Pemerintahan ini. Maka, masing-masing pihak, pemerintah dan masyarakat, mengetahui hak dan kewajibannya secara jelas dan tegas dalam melakukan interaksi Hukum Administrasi Negara di antara mereka, apalagi jika terjadi perselisihan yang berujung disidangkannya sengketa mereka di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bagaimana Status Paket RUU Reformasi Birokrasi ? Dari 284 RUU yang ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 20042009, baru 104 RUU yang disahkan (Tempo Interaktif, 10 April 2008). Sebagian RUU yang belum selesai itu sudah dibahas sejak 2005, pembahasan “paket RUU reformasi birokrasi” itu sejak 2006. Dan perihal perkembangan terakhir tahapan status pembahasannya terlihat (sebagian) dalam tabel di bawah ini. No NAMA RUU 1 RUU tentang Standar Pelayanan Publik 2 RUU tentang Administrasi Pemerintahan 3 RUU tentang Ombudsman 4 RUU tentang Kementerian Negara STATUS PEMBAHASAN Pembahasan di Tingkat Panitia Kerja (Panja) Penyempurnaan Materi RUU di Internal Pemerintah Pembicaraan Tingkat I di Komisi III Pembahasan Tingkat I oleh Pansus RUU Kementerian Negara 5 RUU tentang Kepresidenan Lembaga Masuk Prioritas sejak 2006 (Data diolah dari www.parlemen.net. Per 14 Juni 2008) Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa progress pembahasannya terbilang lamban, karena belum ada salah satu dari ”paket” itu yang sudah memasuki pembahasan di tingkat rapat Panitia Teknis, memasuki tahap finalisasi sebelum disetujui oleh Ketua DPR dan Presiden dan selanjutnya mendapat Penetapan dalam Rapat Paripurna. Padahal, sebagaimana kita ketahui, masa tugas anggota legislatif periode 2004—2009, tinggal memiliki waktu sekitar 11 bulan. Sisa RUU yang harus mereka selesaikan 180 RUU. Sementara itu, beban penyelesaian, Prolegnas prioritas, selama 2008 ini jumlahnya 94 RUU. Rinciannya : 31 RUU baru, 6 RUU ratifikasi terbuka tentang Perjanjian Internasional, 7 RUU akibat putusan Mahkamah Konstitusi, 9 RUU tentang Reformasi Agraria, 48 RUU sisa atau luncuran dari 2007 ke 2008. *** Patut menjadi perhatian semua pihak, bahwa birokrasi pemerintah merupakan kekuatan yang besar sekali. Kegiatannya menyentuh hampir setiap kehidupan warga negara, sebagaimana umum dikenal dalam kajian Hukum Administrasi Negara, bahwa pemerintah memiliki 2 tugas utama : mengatur masyarakat dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan kata lain, kebijakan yang dibuat oleh birokrasi sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena warga yang hidup dalam suatu negara diwajibkan menerima kebijaksanaan yang telah dibuat oleh birokrasi. Berkenaan dengan hal tersebut, tidak berlebihan bila dikatakan, gagalnya upaya untuk membenahi birokrasi akan berdampak luas pada nasib rakyat. Nasib rakyat akan semakin terpuruk karena kualitas pelayan publik dan tidak berfungsinya pelayanan publik karena akan cenderung mendistorsi proses menuju keadilan dan kesejahteraan rakyat, sebagaimana dikemukakan Djohan Effendi, bahwa prasyarat mutlak keberhasilan reformasi adalah melalui reformasi PNS (Kompas, 1 September 2003). Senada dengan itu, Dita Indah Sari, mempertanyakan : bagaimana mungkin birokrasi bisa mengurus keperluan publik jika mengurus dirinya sendiri saja tidak mampu ? Pada titik inilah, keseriusan dan komitmen elit politik, DPR-Presiden, mendapat ujian : kapan menuntaskan pembahasan ”RUU paket reformasi birokrasi” ? Penulis : Calon Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan