RUU Pendidikan Tinggi : Politicking “Apa guna grondwet kalau ia tak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan, maka karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong menolong, paham gotong royong, dan keadilan sosial, enyahkan tiap-tiap pikiran, tiap-tiap paham individualisme dan liberalisme daripadanya.” - Ir. Soekarno-1 Pemakaian Politik saja untuk penggambaran kepentingan individu, penyelewengan jabatan, korupsi, dan lain-lain tidak tepat karena pengertian politik dalam tulisan ini memakai definisi dari J. Leimena. Politic is not a tool of power, but an ethic to serves. Politik dalam tulisan ini merepresentasikan pengertian yang mengandung nilai moral, seperti yang disebut Hannah Arendt, politik dan moralitas tidak hanya tidak boleh dipertentangkan, bahkan tidak boleh dipisahkan. Politik sebagai yang berkaitan dengan kebaikan umum atau bonum commune pada dirinya mengandung bobot moral2. Dalam tulisan ini, segala yang buruk yang dilakukan oleh aktor-aktor politik kita sebut politicking (mengakali secara politik atau bermain politik). Kandasnya UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan pada proses Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi 2010 lalu bukanlah episode akhir dalam upaya peredaman liberalisasi pendidikan. RUU Pendidikan Tinggi yang April ini direncanakan akan disahkan tak ubahnya reinkarnasi dari UU BHP yang telah dipadamkan. Nuansa privatisasi ataupun otonomisasi serta merta menghembuskan usaha liberalisme pendidikan tinggi di Indonesia. Dalam melihat permasalahan ini, akan dibincangkan prilaku politisi untuk memanfaatkan kepentingan melalui institusi, teori relasi negara, teori ketergantungan, dan gemeoni dari Antonio Gramsci, serta akibat-akibat yang akan diterima oleh Indonesia jika memaksakan pasal-pasal bermasalah dalam RUU PT untuk disahkan, tentunya jika mampu melewati prosedur Judicial Review bagian kedua yang sepertinya akan digunakan oleh kalangan yang tidak setuju untuk membunuh lagi upaya liberalisasi pendidikan. Sebelumnya, negeri ini panas dengan polemik BBM yang saat ini masih menggantung. Belum lagi masalah BBM selesai, DPR membangkitkan gairah kelompokkelompok yang pada pendekatan institusionalisme baru dalam studi politik dianggap sebagai 1 M.Yamin dalam Donny Gahral Adian, 2010, Demokrasi Substansial Risalah Kebangkrutan Liberalisme, Depok : Penerbit Koekoesan, hal.vi 2 Boni Hargens, Binalitas dan Banalitas Politik, Kompas 7 Desember 2006 institusi politik, seperti LSM dan kalangan Mahasiswa untuk kembali beradu intelektualitas dengan anggota dewan. Banyak rancangan pasal dalam RUU PT yang menimbulkan gejolak kelompok-kelompok ini. Namun, seperti biasa, pemangku amanat rakyat di lahan legislatif dan eksekutif melakukan politicking. Pasal dan ayat setan dalam RUU PT ini diirngi dengan pasal dan ayat yang memberi angin segar. Pemerintah diakui berhasil dalam mengakali keadaan melalui politik dengan fakta bahwa elemen masyarakat terbelah dalam melihat RUU PT ini. Perpecahan pandangan bahkan juga terjadi di internal kampus, mulai dari dewan pertimbangan, rektor, hingga mahasiswa. Ada yang mengiyakan dan tak sedikit yang menggelengkan kepala. Bagi kalangan oposisi, tentu saja hal ini dianggap sebagai peluang pemerintah untuk dapat melenggang lebih gesit dalam menyetujui RUU PT. Segudang pertanyaan muncul, mengapa RUU PT perlu dirancang? mengapa DPR terkesan berkeras untuk mengesahkan RUU ini? Mengapa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak terlalu dilibatkan dalam proses perancangan RUU Pendidikan Tinggi ini? apa manfaatnya? Jawaban pemerintah bahwa RUU PT disusun berhubung telah terjadi kekosongan pengaturan tata kelola pendidikan tinggi tidak memuaskan dan terkesan dibuat-buat. Otonomisasi perguruan tinggi sebagai dampak jika disahkannya RUU PT ini menjadikan perguruan tinggi harus mencari pendanaan sendiri sehingga tanpa ampun perguruan tinggi bergerak ke arah privatisasi. Hal ini membuat perguruan tinggi mempunyai kesempatan yang besar untuk menarik biaya lebih banyak dari masyarakat melalui biaya pendidikan yang dibebankan kepada mahasiswa. Kita dapat belajar dari privatisasi pendidikan di 7 Perguruan Tinggi berstatus Badan Hukum milik Negara (BHMN). Perguruan tinggi tersebut secara jelas mengalami kenaikan biaya pendidikan secara signifikan sejak menjadi BHMN. Hal itulah yang akan terjadi pada seluruh Perguruan Tinggi apabila RUU Pendidikan Tinggi disahkan. Terjadi pengalihan tanggung jawab pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab Negara menjadi dibebankan kepada masyarakat melalui biaya pendidikan yang tinggi. Sedikit melangkah kebelakang, bahwa sebenarnya Indonesia melalui UU No.11 Tahun 2005 telah meratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights). Dalam pasal 13 ayat (2) huruf c Kovenan tersebut secara tegas disebutkan bahwa pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap. Sehingga, dengan diratifikasinya Kovenan Ekosob sebagai dasar hukum yang mengikat selayaknya Undang-undang, kewajiban Negara terhadap penyediaan pendidikan, tidak hanya berhenti pada pendidikan dasar atau menengah, namun juga pada pendidikan tinggi. Negara wajib menjamin perguruan tersedia dan terjangkau untuk semua orang, dengan pengadaan pendidikan tinggi yang secara bertahap menuju gratis3. Dengan keadaan tersebut, dapat dikatakan bahwa pemerintah tidak seharusnya membuat peraturan yang sebenarnya justru mereduksi peran dari Negara di dalamnya, seperti yang terjadi pada RUU PT. Memudarnya peran negara akan terjadi dan akan menyalahi dasar bernegara. Aroma liberalisasi terasa di poin ini. Walaupun terdapat pernyataan dalam RUU bahwa mahasiswa dibebankan 1/3 dari biaya pendidikan yang belakangan menjadi argumen bahwa negara tidak meninggalkan pendidikan tinggi, namun tetap saja penafsirannya masih belum jelas arah. Pembatasan 1/3 ini tetap akan memberatkan mahasiswa jika SPP yang ditetapkan oleh perguruan tingi nantinya sebagai dampak otonomisasi non akademik terlalu jauh dari jangkauan masyarakat. Walaupun telah dinyatakan dalam RUU tersebut bahwa perguruan tinggi harus menerima sedikitnya 20% mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin dan mempunyai potensi akademik sebagai alasan keterbukaan akses perguruan tinggi oleh masyarakat, namun kita tidak tahu apakah pemerintah akan berperan lebih dalam mengontrol penerimaan mahasiswa baru. Pemerintah terkesan hanya ingin menerima laporan bahwa Perguruan Tinggi M telah menerima mahasiswa dari keluarga miskin sebesar 20%. Mengenai bagaimana prosesnya dan segala prosedurnya tidak dijelaskan dan tidak tergambar dalam RUU ini. Bisa jadi suatu perguruan tinggi memang hanya akan memenuhi standar minimal saja, yaitu 20%. Siapa yang bisa menjamin dengan otonomisasi tidak membuat perguruan tinggi menjadi profit oriented? Bisakah kita percaya pada aparatur pemerintahan yang dalam mengontrol internalnya untuk tidak korupsi terbukti masih jalan di tempat? Tidaklah salah jika ada yang mengkhawatirkan komersialisasi kampus kalau keadaannya seperti ini. Mengenai liberalisasi pendidikan, kita tidak bisa melepaskan diri dari jerat kepentingan asing. Sebagaimana kita ketahui bahwa arahan internasional saat ini tak hentihentinya mendorong pada liberalisasi jasa. Semenjak bergabung dengan WTO tahun 1995, Indonesia serta merta terkana dampak aturan panduan dari lembaga internasional ini. Kita mengenal General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa 3 Paguyuban Pekerja UI, Siaran Pers Untuk Diberitakan Segera : Komisi Nasional Pendidikan Menolak RUU Pendidikan Tinggi Kebijakan Privatisasi Pendidikan Mencabut Hak atas Pendidikan Anak Bangsa, Catatan Facebook Paguyuban Pekerja UI, diakses 6 April 2012. lainnya. Arahan internasional dalam liberalisasi sektor jasa, salah satunya pendidikan ini dengan terang dijelaskan oleh Sofian Efendi, Rektor UGM di tahun 2005 : Sebagai negara yang memiliki 210 juta penduduk yang tingkat partisipasi pendidikan tinggi hanya 14 persen dari jumlah penduduk usia 19-24 tahun, Indonesia ternyata menjadi incaran negara-negara ekportir jasa pendidikan dan pelatihan, Karena perhatian pemerintah terhadap bidang pendidikan masih rendah, secara umum mutu pendidikan nasional kita, mulai dari sekolah dasar sampai pendidikan tinggi, jauh tertinggal dari standar mutu internasional. Kedua alasan tersebut sering menjadi alasan untuk “mengundang” masuknya penyedia jasa pendidikan dan pelatihan luar negeri ke Indonesia. Untuk lebih meningkatkan ekspor jasa pendidikan tinggi ke negara-negara berkembang, intervensi pemerintah dalam sektor jasa tersebut harus dihilangkan. Liberalisasi semacam itulah yang hendak dicapai melalui General Agreement on Trade in Services (GATS). Hingga saat ini 6 negara telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, China, Korea dan Selandia Baru. Sub-sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, dan pendidikan vocational dan profesi. Cina bahkan minta Indonesia membuka pintu untuk pendidikan kedokteran Cina. Jelas sekali bukan motif humanitarian yang mendorong para provider pendidikan tinggi dari 6 negara tersebut untuk membangun pendidikan tinggi Indonesia. Motif for-profit mungkin adalah pendorong utamanya.4 Selain WTO, lembaga internasional lain yang juga berperan dalam liberalisasi pendidikan tinggi ini ialah World Bank. Kita bisa melihat bahwa posisi World Bank sudah jelas dalam masalah ini. Khususnya dalam laporan bernomor 31644-ID berjudul 'Project Appraisal on A Loan in the Amount of US$50.00 million and a Proposed Credit of SDR19.85 million (US$30.00 Million Equivalent) to the Republic Indonesia for A Managing Higher Education for Relevance and Efficiency Project' tahun 2006. Di sana terdapat banyak rekomendasi peraturan-peraturan mana yg menyangkut pendidikan tinggi 'perlu' atau malah harus diubah. Jadi ketika Perguruan Tinggi BHMN sedang chaos dalam urusan pengelolaan karena tidak ada standar soal pola kerja universitas, World Bank membaca pola chaos tersebut pada tahun 20065 Mengetahui hal ini, maka tepatlah jika kita memasukkan teori relasi negara dan kepentingan kelas yang masuk dalam Bab teori otonomi relatif negara dalam menjabarkan 4 Sofian Efendi, GATS dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi, Makalah pada Diskusi “GATS: Neo-imprialisme modern dalam Pendidkan” diselenggarakan oleh BEM-KM UGM, Ygoayakarta, 22 September 2005 5 Paguyuban Pekerja UI, op.cit permasalahan ini. Rex Mortimer memberi label pada Negara Dependen ini sebagai showcase State, atau Negara Komprador. Ciri-ciri Negara Komprador ini dapat dilihat dari kuatnya pengaruh pendekatan ketergantungan. Indonesia dalam keadaaan Negara Komprador ini disebutkan bahwa integrasi Indonesia dalam kapitalisme global menempatkan Negara hanya untuk melayani kepentingan modal asing atau kepentingan eksternal. Pola hubungan dari teori relasi negara ini ialah dari pusat ke pinggiran, di mana negara hanya menjadi komprador atau kepentingan dari pihak asing. Lebih jelas, penggambaran Negara dalam Comprador State ialah negara dan kebijakan adalah instrumen kelas pemilik modal untuk mempertahankan kekuasaan dan memperluas keuntungan. Aktor atau kepentingan yang bermain dalam Negara Komprador ialah modal asing yang berkolaborasi dengan modal domestik6. Ketika Indonesia mengikuti arahan dari WTO dan World Bank yang berlawanan dengan landasan negara ini, maka sudah begitu nyata negeri ini menjadi Negara Komprador. Negara menjadi fasilitator agar kepentingan dan modal asing dapat tumbuh kembang di negeri ini. Selain dengan Negara Komprador dari Rex Mortimer, kondisi ini lebih jelas digambarkan dalam teori ketergantungan yang berada dalam rangka teori-teori kiri dengan memfokuskan penelitian pada hubungan antara negara Dunia Pertama dengan negara Dunia Ketiga. Teori ini dirintis oleh oleh Paul Baran dan dilanjutkan oeh Andre Gunder Frank7. Bertolak dari konsep Lenin mengenai imperialisme, kelompok yang menggunakan teori ini mengatakan bahwa imperialisme masih hidup, tetapi dalam bentuk lain yaitu dominasi ekonomi dari negara-negara kaya terhadap negara-negara yang kurang maju(underdeveloped). Setiap pembangunan yang dilakukan oleh Negara Kurang Maju, atau Negara Berkembang, atau Negara Dunia Ketiga hampir selalu berkaitan erat dengan kepentingan dari pihak Barat8. KITA SEHARUSNYA SADAR bahwa RUU PT, dengan menggunakan dua teori di atas, secara jelas merupakan produk dari imperialisme baru yang dilakukan Barat terhadap Indonesia. Jika kita berpikir lebih jernih, sudah teramat lama Barat mencengkeram jarinya di Nusantara, yang seharusnya membuat kita lebih waspada dan tidak terbuai dengan janji-janji pertumbuhan ekonomi atau perkembangan kualitas pendidikan Indonesia. Indonesia sedari dulu sudah dijajah melalui dominasi Barat di bidang sosial-ekonomi, bahkan lebih jauh, penjajahan di bidang politik. di bidang sosial ekonomoi kita bisa melihat melangitnya utang kita pada negara-negara Barat dan Lembaga Internasional serta kesenjangan sosial dan 6 Nur Iman Subono, Teori Otonomi Relatif Negara dan Kepentingan Kelas, Bahan Kuliah Ekonomi Politik Program Studi Ilmu Politik FISIP UI, 28 Februari 2012 7 Peter Evans, Dependent Development, dikutip dalam Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, hal. 90 8 Miriam Budiardjo, op.cit kesenjangan ekonomi dari perkembangan kita. RUU PT jika disahkan maka tak pelak juga berdampak pada jurang sosial dan ekonomi yang sudah menganga di negeri ini. Melalui RUU PT, jurang ekonomi akan terciptanya melalui otonomisasi pendanaan kampus yang nantinya akan berujung pada meningkatnya biaya kuliah yang harus ditanggung oleh mahasiswa. Pemerintah telah merencanakan untuk menggratiskan biaya tes masuk perguruan tinggi dengan alasan untuk memeratakan dan memberi akses yang mudah terhadap perguruan tinggi. Naumn hal ini terkesan useless jika ternyata setelah lolos dari tes masuk perguruan tinggi, mahasiswa, khususnya yang berasal dari keluarga miskin, dibuat terkejut dan urung untuk melanjutkan studi lantaran biaya kuliah yang tinggi. Walaupun Negara menjanjikan beasiswa, namun hal ini akan mental jika prosedur beasiswa masih tetap seperti saat ini, yaitu beasiswa yang tekstual dengan tidak mmperhatikan kontekstual keluarga mahasiswa. Tidaklah salah jika nantinya pendidikan tinggi hanya akan dinikmati oleh segelintir orang kaya di negeri ini. Jurang sosial akan semakin membesar melalui pengkategorian masyarakat dalam RUU PT ini. Pemberian label mahasiswa dari keluarga miskin akan menjelaskan kastanisasi masyarakat berdasarkan distribusi kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi serta berdasarkan status sosial ekonominya. Hal lain yang menarik dari RUU PT ialah mengenai internasionalisasi pendidikan. Dalam pasal 52 RUU Pendidikan Tinggi diatur mengenai internasionalisasi, yakni ketentuan dimana perguruan tinggi di luar negeri dapat mendirikan “cabang”nya di Indonesia. Sistem pembiayaan dan akademis perguruan tinggi tersebut akan mengikuti standar pembiayaan perguruan tinggi di negara asalnya. Hal ini akan menghambat akses rakyat miskin untuk menikmati pendidikan berkualitas. Terlebih lagi jika perguruan tinggi tersebut merupakan perguruan tinggi yang menerapkan otonomisasi dalam mendapatkan sumber keuangannya. Namun kita perlu mempertanyakan lagi apa manfaat dari internasionalisasi pendidikan tinggi ini. Apakah benar internasionalisasi pendidikan tinggi murni untuk meningkatkan kualitas pendidikan negeri ini? Secara kasat mata kita mungkin bangga dengan adanya cabang dari perguruan tinggi luar di Indonesia. Dengan mengikuti pendidikan dari Barat mungkin akan membuat pride kita sebagai kalangan terdidik lebih tinggi. Kita bisa mengingat Immanuel Wallerstein di sini melalui istilah world systems model yang berpendapat bahwa gejala ini sudah menjadi gejala di seluruh dunia. adanya suatu rantai hubungan metropolitan satelit (chain of metropolitan-satellite) dalam struktur sistem dunia yang melampaui batas-batas negara9. 9 David Harrison, Sociology of Modernization and Development, dikutip dalam Miriam Budiardjo, op.cit, hal. 91 Lalu, di mana letak permasalahan dari pasal di atas? Perlu diingatkan bahwa Pendidikan Tinggi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan. Pendidikan merupakan salah satu media sosialisasi nilai-nilai kebangsaan dan nili-nilai kebudayaan negara Indonesia. Selain itu, pendidikan tinggi juga berfungsi dalam memberikan bimbingan kepada peserta didik, yang merupakan generasi-generasi baru dari Indonesia, dalam pengembangan pola pikir atau pemikiran dan pencarian problem solving masalah negara berdasarkan nilai-nilai yang termaktub dalam dasar-dasar negara Indonesia. Apa jadinya jika pendidikan, dalam hal ini pendidikan tinggi, sudah disusupi oleh nilai-nilai Barat dalam menjalankan perannya? Jelas dengan masuk dan bekerjasamanya Barat dalam pendidikan tinggi di ranah strategis seperti kurikulum, akan diindikasikan penanaman pemikiran-pemikiran Barat yang berbeda dari pemikiran khas Pancasila dan UUD 1945. KITA HARUS HATI-HATI dalam menerima paket Barat tersebut. Lebih jelasnya, hegemoni dari Antonio Gramsci memberikan gambaran dampak dari imperialisme baru Barat di bidang pendidikan ini. Dasar epistemologis Gramsci dalam hegemoni bisa disumberkan dari konsep kesadaran. Suatu pengetahuan atau ideologi atau keyakinan baru yang dimasukkan secara terselubung, pembiasaan atau pemaksaan (doktrinasi) ke dalam atmosfer kesadaran kolektifmassif, telah memunculkan kesadaran yang relatif baru. Sumber pengetahuan yang dimiliki individu dalam suatu kelompok tidak selalu mudah ditebak asalnya. Bisa jadi kesadaran dan pengetahuan yangs elama ini mengendap dalam masyarakat merupakan suatu ‘program hegemonik’ yang ditanamkan subyek kelompok tertentu10. RUU PT dengan jelas menyiratkan ‘program hegemonik’ yang disebutkan oleh Antonio Gramsci melalui internasionalisasi pendidikaan tinggi. Nantinya hegemoni ini akan berujung pada kemenangan ideologi Barat dominan, yait Liberalisme, di seluruh negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia. Pancasila dan UUD 1945 Indonesia hanya kan menjadi hiasan dan embel-embel negeri yang sama sekali tidak diterpkan oleh bangsanya sendiri. Semangat gotong royong akan digerus oleh egoisitas individual yang sama sekali tidak mencerminkan budaya Indonesia. Lalu, liberalisme akan menjadi the only game in town karena pemikiran lain dicurangi melalui program terselubung, yaitu dalam sektor pendidikan. Mengenai hubungan teori relasi negara dan kepentingan kelas, teori dependen, dan hegemoni dalam permasalahan RUU PT ini dapat kita gambarkan seperti berikut : 10 Listiyono Santoso, dkk, 2007, Epistemologi Kiri : Kajian Revolusioner, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, hal.88 Ruling Class : Asing atau Pemilik Modal Political Society: State Hegemoni Dominasi Social Society: Private Buruh Petani Civitas Academica Kepentingan yang begitu besar yang dibawa oleh ruling class membuat mereka berusaha mencari celah bagaimana kepentingan mereka bisa terlaksana. Satu cara yang efektif untuk dapat melanggengkan kepentingan dan kekuasaan ialah dengan bekerja sama atau bahkan mengatur regulasi dan kebijakan atayu tingkah laku dari political society, yang dalam hal ini merupakan Negara atau pemerintah. Pemerintah mempunyai hubungan yang ‘supra’ terhadap masyarakat sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh Negara, apapun sistem politiknya, akan dituruti oleh masyarakat dengan konsekuensi hukuman bagi mereka yang melanggar. Pola hubungan pemerintah dengan masyarakat dapat terbagi dua, yaitu hegemoni dan dominasi. Dominasi merupakan hubungan yang koersif dari pemerintah dengan masyarakat. Sedangkan hegemoni merupakan proses membangun persetujuan orang lain atau masyarakat dengan cara persuasif, seperti ide-ide tentang kecintaan tanah air, kemajuan bangsa, dan berbagai macam. Hegemoni dapat dengan langgeng mengatur pikiran orang. Menurut Gramsci, ruling class tidak cukup hanya menguasai ekonomi karena untuk melakukan hegemoni haris bisa mengatur pikiran orang lain. Kelas penguasa harus memiliki kepemimpinan moral dan intelektual, tidak hanya politis. Dalam mengatur pikiran, efektif di dalam civil society atau dalam artian langsung terjun ke bawah, ke tengah-tengah kehidupan masyarakat. Hegemoni menggambarkan kuatnya pengaruh kepemimpinan dalam bentuk moral maupun intelektual, yang membentuk sikap kelas yang dipimpin. Konsensus yang terjadi antara dua kelas ini diciptakan melalui pengaruh terselubung lewat pengetahuan yang disebarkan melalui perangkat-perangkat kekuasaan11. Dengan memakai penjelasan di atas, dapat disesuaikan dengan arah RUU PT. Pemerintah menuruti komando dari ruling class yang dalam hal ini merupakan asing berupa Negara Maju atau Lembaga Internasional. Perangkat-perangkat kekuasaan yang dimaksud merupakan kewenangan pemerintah dalam mengatur masyarakat melalyui kebijakan yang dibuat. Pengaruh terselubung Barat, yang dalam hal ini Liberalisme atau yang lain, ditanamkan melalui pendidikan yang akan diberikan kepada mahasiswa di perguruan tinggi. Kalau sudah seperti ini, apa gunanya menjadi negara berdaulat, jika imperialisme baru itu sangat terang di depan kita? Mungkin ada yang tertawa atau tergelitik dengan pernyataan di atas, tapi yakinlah, itu merupakan tawa atau gelitik terhadap fakta yang tidak diduga bagi kalangan pro liberalisme. Jadi, pemerintah, perjelas lagi pasal-pasal dan ayat-ayat yang kontroversial dan tidak jelas atau ambigu yang ada di RUU PT. Dengar aspirasi dan masukan masyarakat. Memang tanpa inovasi dunia pendidikan kita hanya akan seperti ini saja hingga akhir nanti, tanpa kemajuan. Namun, jika liberalisasi pendidikan tinggi adalah jalannya, lebih baik tidak. Masih ada jalan lain untuk mendapatkan kemajuan pendidikan Indonesia. Politeethics Kajian Sosial Politik 11 Ibid, hal. 90