Investasi sering juga disebut penanaman modal atau pembentukan modal. Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran penanam-penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang modal atau perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang dan jasaa yang tersedia dalam perekonomian. Jadi sebuah pengeluaran dapat dikatakan sebagai investasi jika ditujukan untuk menigkatkan kemampuan produksi. Investasi merupakan hal yang penting dalam perekonomian. Dalam pembangunan ekonomi, investasi mempunyai dua peran penting. Pertama, peran dalam jangka pendek berupa pengaruhnya terhadap permintaan agregat yang akan mendorong meningkatnya output dan kesempatan kerja. Kedua, efeknya terhadap pembentukan kapital. Dalam jangka panjang, akan meningkatkan potensi output dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Secara teoritik paling tidak ada tiga faktor yang mempengaruhi keputusan seseorang untuk melakukan investas. Pertama, revenues (pendapatan), yaitu sejauhmana ia akan memperoleh pendapatan yang memadai dari modal yang ditanamkannya. Kedua, cost (biaya) yang terutama ditentukan oleh tingkat suku bunga dan pajak, walaupun dalam operasionalnya ditentukan juga oleh berbagai biaya lain yang ditemui di lapangan. Ketiga, expectations (harapan-harapan), yaitu bagaimana harapan di masa datang dari investasinya. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan secara langsung akan meningkatkan kesejahteraan (berarti mengurangi kemiskinan), maka salah satu kebijakan yang penting adalah meningkatkan nilai investasi baik melalui Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). Dalam rangka menarik para investor, diperlukan perbaikan lingkungan bisnis. Berbagai survey membuktikan bahwa faktor utama yang mempengaruhi lingkungan bisnis adalah : produktivitas tenaga kerja, perekonomian daerah, infrastruktur fisik, kondisi sosial politik dan institusi. Survey yang dilakukan oleh komite Pertimbangan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menunjukkan bahwa institusi merupakan faktor utama yang menentukan daya tarik investasi di suatu daerah, diikuti oleh kondisi sosial politik, infrastruktur fisik, kondisi ekonomi daerah dan produktivitas tenaga kerja. Banyak studi menemukan bahwa pelaksanaan otonomi daerah sejak tahun 2001 telah memperburuk iklim investasi di Indonesia. Masih rendahnya pelayanan publik, kurangnya kepastian hukum dan berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang tidak peka terhadap keadaan dan kebutuhan dunia usaha diidentifikasikan sebagai bukti iklim bisnis yang tidak kondusif. Alasan utama mengapa investor masih khawatir untuk melakukan bisnis di Indonesia adalah ketidakstabilan ekonomi makro, ketidakpastian kebijakan, korupsi (oleh Pemda maupun pemerintah pusat), perijinan usaha dan regulasi pasar tenaga kerja (World Bank, 2004). Masyarakat harus selalu dirangsang untuk melakukan investasi melalui kebijakan dan peraturan yang pro-ekonomi rakyat. Perlu dipahami benar bahwa PAD hanyalah derivasi dari perkembangan ekonomi masyarakat daerah, yang salah satu unsur penggeraknya adalah investasi, terutama yang berbasis sumber daya domestik. Dengan paradigma ini kegiatan investasi di daerah akan berkembang dinamis dan makin memberi nilai tambah sosial ekonomi bagi masyarakat daerah. Investasi ekonomi rakyat perlu mendapat fasilitas yang memadai dari pemerintah karena beberapa alasan. Pertama, ekonomi rakyat menyerap banyak tenaga kerja dan menggunakan sumber daya alam lokal. Kedua, ekonomi rakyat memegang peranan penting dalam ekspor non migas. Ketiga, ekonomi rakyat perlu dikembangkan dengan serius karena berdasarkan hasil perhitungan PJPT I puncak piramida perekonomian masih diduduki oleh perusahaan skala besar. Jika dilihat dari penyebaran investasi di tanah air angka yang ada menunjukkan suatu ketimpangan yang tinggi, yang menggambarkan konsentrasi investasi pada daerah-daerah tertentu. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari adanya sentralisasi kebijakan pada masa lalu. Mengubah konsentrasi investasi menjadi lebih terdiversifikasi secara regional, memang tidak bisa dalam waktu singkat. Ini terkait dengan daya tarik (atau juga ‘kekuatan’) dari daerah tertentu yang tercipta sejak lama. Otoritas pusat untuk mengalokasikan sumber-sumber ekonomi yang ada memunculkan isu ketidakmerataan dan ketidakpuasan dalam alokasi perimbangan antar daerah, serta melahirkan tuntutan agar perhatian lebih banyak dicurahkan pada daerah luar jawa, terlebih bagian Indonesia Timur. Alokasi dana yang lebih besar untuk daerah tertentu, khususnya di Pulau Jawa, telah menyebabkan pesatnya pembangunan berbagai sektor di daerah ini. Berbagai prasarana yang dibangun telah memberikan daya tarik bagi para penanam modal, baik investor domestik maupun asing, untuk menanamkan modalnya di daerah yang daya beli penduduknya relatif tinggi dan prasarananya relatif lengkap. Situasi demikian hendaknya diubah dengan mulai dilaksanakannya otonomi daerah sejak 2001. Sebagaimana diketahui, dengan dikeluarkannya UU No.22/1999 dan UU No.25/1999, otoritas daerah untuk mengurus daerahnya semakin luas. Pemerintah pusat telah menyerahkan sebagian kewenangannya kepada daerah, termasuk juga dalam urusan investasi tertentu. Investasi ini dapat dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat luas. Dalam era otonomi daerah ini untuk menarik investasi ke daerah, Pemda mempunyai kewajiban untuk menggali segala potensi yang ada di daerahnya . Pemda harus memprtemukan ‘keinginan daerah dan keinginan investor’. Bagi investor daya tarik ini tidak hanya berupa endowment resources, tetapi juga variabel yang mendukungnya, seperti regulasi daerah, sumber daya manusia dan sebaginya. Kebijakan investasi yang digariskan oleh pemerintah belum memberikan iklim yang kondusif bagi kehadiran investasi yang ditujukan untuk ekonomi rakyat. Pemerintah belum menyusun peraturan yang mendorong terjadinya investasi rakyat. Hingga saat ini pelaku ekonomi rakyat masih kesulitan mendapatkan bantuan modal dari bank dan pemerintah, kebijakan kemitraan terbukti belum membuat perubahan yang berarti. KPPOD menggunakan tujuh variabel yang dijadikan tolok ukur daya tarik investasi regional, yaitu : (a) keamanan (b) potensi ekonomi (c) budaya daerah (d) sumber daya manusia (e) keuangan daerah (f) infrastruktur (g) paraturan daerah. John Madeley (2005), menyatakan bahwa para penganjur perdagangan bebas (liberalisasi perdagangan), yang mayoritas berasal dari pemerintah dan perusahaan besar di negara maju, beranggapan bahwa perdagangan bebas dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk dunia. Perdagangan bebas dipercaya dapat memberikan peluang bagi pemanfaatan terbaik atas berbagai sumber daya yang ada atas dasar teori keuntungan komparatif David Ricardo. Para penganut teori ini meyakini bahwa perdagangan bebas akan mendatangkan keuntungan dan kemakmuran bagi kaum kaya dan miskin dan negara miskin akan mendapatkan keuntungan lebih besar ketimbang negara yang tidak malakukan perdagangan. Dihilangkannya hambatan-hambatan perdagangan dipercaya dapat meningkatkan efisiensi ekonomi, yang selanjutnya akan meningkatkan pendapatan produsen, menambah kepuasan konsumen, sehingga kesejahteraan semua pihak meningkat. Kebijakan proteksi seperti tarif (bea masuk) dianggap mendistorsi pasar karena telah menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Mekanisme pasar diyakini mampu melakukan fungsi alokasi secara optimal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, daripada harus melakukan intervensi negara yang justru mendistorsi pasar. Pera penganjur perdagangan bebas percaya bahwa dana yang diperoleh dari kegiatan ekspor impor pangan memungkinkan masyarakat membeli lebih banyak lagi pangan ketimbang yang mereka produksi sendiri. Argumentasi para penganjur perdagangan bebas ini mendapat kritik (tantangan) dari banyak pihak. Kenyataannya, perdagangan bebas telah mengakibatkan terjadinya dominasi ekonomi oleh perusahaan-perusahaan (korporat-korporat) besar multi/transnasional (MNC’s atau TNC’s) yang menguasai modal dan teknologi. Pasar bebas makin menguntungkan negara maju dengan korban di negara terbelakang atau sedang berkembang, yang telah dihisap kekayaan alamnya. Perdagangan bebaas telah berubah menjadi perdagangan yang tidak adil karena diberlakukan pada negara-negara yang tingkat kemajuan ekonominya tidak berimbang. Pasar bebas telah mengancam kesejahteraan pelaku ekonomi rakyat, terutama petani di negara sedang berkembang,termasuk Indonesia. Pada beberapa tahun terakhir, perekonomian dunia telah tumbuh dengan pesat sekaligus memainkan peranan yang besar dalam perekonomian global. Meningkatnya rasio ekspor terhadap produk domentik bruto (PDB) suatu negara merupakan salah satu indikator keterbukaan negara tersebut dalam perdagangan internasionalnya. Terkait dengan masalah perdagangan luar negeri Indonesia (dalam hal ini masalah ekspor) maka perlu dicermati beberapa indikator seperti ‘Unit Value Index’ yang menggambarkan harga barang ekspor dan impor serta Term of Trade. Selain itu perlu dicermati pula daya saing ekspor Indonesia di lingkungan Asean dan Cina. Keunggulan komparatif produk Indonesia terutama berasal dari komoditi yang berbahan baku lokal seperti hasil hutan, karet, coklat, kelapa sawait dan rempah-rempah. Kalau dibanding dengan Cina, mereka mempunyai keunggulan komparatif pada komoditi industri manufaktur dan industri kimia. Sejalan dengan teori-teori yang berkaitan dengan integrasi ekonomi, liberalisasi perdagangan menjadi ujung tombak globalisasi ekonomi. Perkembangan perdagangan dunia memang sangat pesat sejak dibentuknya General Agreement on Trade and Tariff (GATT). Dimasukkannya sektor jasa dalam liberalisasi ekonomi dunia, sebagai implementasi General Agreement on Trade and Service (GATS), semakin menyudutkan posisi banyak negara berkembang termasuk Indonesia yang umumnya semakin lemah dalam sektor jasa. Data menunjukkan ekspansi perdagangan terutama terjadi di negara maju. Konsentrasi perdagangan dunia masih berpusat di negara-negara Utara seperti Amerika Utara, dan Eropa Barat, sementara untuk negara Asia hanya dinikmati Jepang dan Cina. Liberalisasi perdagangan yang merupakan turunan dari globalisasi ekonomi, lebih banyak menimbulkan kerugian bagi negara berkembang.