18 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) sudah ada dari zaman purbakala. Ribuan tahun silam masa pra sejarah (8000 SM) di Jerman tuberkulosis paru diketahui sudah menyerang penduduk. Dari fosil yang digali sisa-sisa peradapan Mesir kuno, terdapat bukti-bukti bahwa 500-1000 tahun SM penyakit ini sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat. Dari berbagai catatan dunia banyak raja-raja dan tokoh-tokoh terkenal seperti Raja Henry VII, Goethe, Rousseau, Chopin diketahui meninggal karena penyakit TB paru. (Achmadi 2005) Khususnya untuk Indonesia pada saat candi Borobudur diidirikan abad VIII, tuberkulosis sudah menjadi penyakit rakyat sejak tersebar di Nusantara dengan ciri kurus, bahu tertarik keatas dan tulang-tulang menonjol keluar. (Halim, 2012). Tuberkulosis merupakan penyakit menular disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (M. Tuberculosis) yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau di berbagai tubuh organ lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. (Tabrani, 2010) Laporan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013, penyakit tuberkulosis menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil Universitas Sumatera Utara 19 tuberkulosis. Beban penyakit yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat diukur dengan case notification rate (CNR) dan prevalensi. (Kemenkes 2014) Sampai saat ini penyakit TB paru masih menjadi masalah kesehatan yang utama, baik di dunia maupun di Indonesia. Sekitar 75% penderita TB paru adalah kelompok usia produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Tuberkulosis paru juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan kadang dikucilkan oleh masyarakat.(Bambang 2012) World Health Organization (WHO) dalam Global tuberculosis report 2014, TB paru adalah penyakit menular yang masih menjadi salah satu paling mematikan di dunia. Pada tahun 2013, diperkirakan 9 juta orang terkena TB dan 1,5 juta meninggal karena TB, 360. 000 di antaranya adalah HIV - positif. Keenam negara yang menonjol memiliki jumlah terbesar kasus insiden TB pada tahun 2013 adalah India (2,0 juta-2,3 juta), China (0,9 juta 1,1 juta), Nigeria (340.000 – 880.000), Pakistan (370.000 - 650.000), Indonesia (410.000 - 520.000) dan Afrika Selatan (410.000 - 520.000). Diperkirakan 37 juta kehidupan diselamatkan antara tahun 2000 dan 2013 melalui diagnosis dan pengobatan yang efektif. Angka kematian TB masih sangat tinggi didunia sehingga pada tahun 2015 target global untuk menurunkan penderita TB ditetapkan dalam konteks dari Millenium Development Goals (MDGs). ( WHO 2014) Indikator untuk menilai keberhasilan upaya pengendalian TB diukur dengan melihat cakupan penemuan penderita minimal 83% dari perkiraan Universitas Sumatera Utara 20 penderita baru BTA positif, angka konversi > 80%, angka kesembuhan > 85% serta angka kesalahan pemeriksaan laboratorium kasus TB (Error rate) < 5%. Secara umum, angka penemuan kasus baru TB di Sumatera Utara mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 kasus TB diperkirakan berkisar 160/100.000 penduduk. Jika jumlah penduduk Sumatera Utara tercatat 12 juta jiwa, maka penderita TB di daerah ini sebanyak 19.000. (Profil Sumut, 2012). Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660.000 (WHO, 2010) dan estimasi insiden berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahunnya (Kemenkes, 2011). Pemberian vitamin D perlu dipertimbangkan untuk memecahkan masalah pengobatan pada pederita TB sebagai pengobatan suportif jangka pendek. Vitamin D berfungsi sebagai imunomodulator, yaitu terlibat pada aktivasi makrofag. Penelitian invitro yang dilakukan oleh Liu tahun 2006 menunjukkan metabolit aktif vitamin D yaitu 1,25-dihydroxyvitamin D mampu membantu makrofag menekan pertumbuhan M. tuberculosis melalui peningkatan kadar cathelicidin intraseluler. Cathelicidin adalah anti mikrobial protein yang mampu membunuh kuman gram negatif dan positif yang memiliki sifat antimikroba. Cathelicidin terdapat dalam tubuh manusia dalam bentuk Human LL-37 Peptida atau h-CAP18 yang berperan pada sistem kekebalan tubuh spesifik dan non spesifik. (Catia, 2012; siswanto 2009) Vitamin D memiliki fungsi dalam sistem kekebalan tubuh, baik yang bersifat alamiah non spesifik maupun kekebalan spesifik, yang mempunyai Universitas Sumatera Utara 21 peran penting dalam aktivasi dari 1 α-hidroksilase untuk mengkonversi 25 (OH) D menjadi bentuk aktifnya [1, 25 (OH) 2D] yang meningkatkan fungsi cathelicidin untuk M. tuberculosis. (Martineau, 2011) Pembentukan kompleks vitamin D-RVD-VDRE pada sel netrofil, makrofag dan epitel akan meningkatkan sintesis cathelicidin yang belum aktif (hCAP18). Selanjutnya hCAP18 akan membelah dan menjadi cathelicidin yang aktif (LL37), yang akan menyebabkan lisis bakteri dengan cara destabilisasi membran sel bakteri. Hormon steroid akan meningkatkan regulasi innate (natural) immunity melalui fagositosis oleh monosit atau makrofag untuk menekan pertumbuhan M. tuberculosis intraselular setelah berikatan dengan reseptor vitamin D (RVD) yang diekspresikan dalam makrofag, serta menurunkan regulasi imuntas adaptif melalui inhibisi ekspresi MHC kelas II oleh antigen presenting cell (APC), menghambat proliferasi limfosit dan produksi imunoglobulin. Faktor genetik merupakan salah satu faktor yang dapat menerangkan mengapa sebagian orang lebih resisten terhadap infeksi M. tuberculosis. Gen reseptor vitamin D (RVD) merupakan salah satu gen kandidat penting dari gen non-MHC yang berperan pada kejadian TB. Vitamin D akan memberikan efek setelah berinteraksi dengan RVD yang merupakan suatu reseptor hormon inti. Gen RVD didistribusikan pada kromosom 12q13-q14, berukuran kurang lebih 75 kb, terdiri dari 9 ekson, ekson I mengandung 6 subunit (1a-1f) yang merupakan regio yang tidak ditranslasi (UTR), sedangkan 8 ekson Universitas Sumatera Utara 22 lainnya mengkode protein. Beberapa polimorfisme telah diidentifikasi di gen RVD. Polimorfisme yang telah diidentifikasi pada gen RVD adalah Bsm-I, Apa-I, diintron 8 (T ke G), Taq-I exson 9 (T ke C), Fok-I (C ke T). Hasil polimorfisme dalam dua alel yang dapat dibedakan dengan RFLP menggunakan endonuklease Apa-I ditemukan di wilayah gen 3 'RVD, dalam intron antara ekson 8 dan 9. Sebagian besar polimorfisme diketahui menunjukkan hasil yang berbeda pada etnik, budaya, diet. (Hemant K Bid at al, 2005; Shadden, 2014) Etnis Batak merupakan penduduk yang terbanyak diwilayah Sumatera Utara. Dari hasil data sensus Badan Pusat Statistik tahun 2012 wilayah kota Medan ibukota propinsi Sumatera Utara memiliki luas wilayah 265,1km2, jumlah penduduk 2.122.804 jiwa dan kepadatan penduduk 8.008 jiwa/km2 (BPS Provinsi Sumatera Utara, 2013). Etnik Batak merupakan etnis mayoritas di Sumatera Utara yang terdiri dari Batak Karo, Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing Beberapa peneliti menunjukkan hasil berbeda mengenai keterlibatan polimorfisme ApaI pada infeksi TB. Penelitian Liu (2006), serum dari donor dengan vitamin D yang cukup mampu merespon cathelicidin untuk merespon sistem imun bawaan, menunjukkan bahwa regulasi transkripsi dari cathelicidin dapat dimediasi oleh aktivasi 1,25-dihydroxivitamin D. Hal ini didukung penelitian Adams, menggunakan serum dari pasien dengan konsumsi vitamin D mampu merespon aktivasi TLR yaitu produksi Universitas Sumatera Utara 23 defensin-2 dan cathelicidin: dua antimicrobical peptida yang diatur oleh 1,25 hydroxyvitamin D. Konsentrasi 4 mg / ml vitamin D mampu melindungi makrofag manusia yang terinfeksi dan membatasi pertumbuhan mikrobakteri secara in vitro. Studi dari Eun-Kyeong menegaskan bahwa peptida antimikroba memainkan peran sentral pada kekebalan bawaan untuk mycobacteria, dengan cara langsung membunuh dan modulasi kekebalan. Telah terbukti bahwa cathelicidin LL-37 menjadi kunci komponen penghubung vitamin D3dependent imunitas dan autophagy. (Siswanto, 2009; Shadden, 2014) Populasi di Romania dan Afrika dikaitkan dengan kerentanan TB dengan hasil Genotip gen RVD aa pada pasien TB di Romania dikaitkan dengan penurunan resiko TB aktif, sedangkan genotip heterozigot Aa pada populasi Romania dan Afrika dikaitkan dengan kerentanan TB dengan hasil bermakna(Simon, 2013) Penelitian Shadden, pada populasi orang suriah ditemukan polimorfisme RVD dalam populasi timbul dari perbedaan antara genotipe dan alel menurut etnisitas. Hal ini memerlukan perbandingan frekuensi genotipe dan alel antara individu yang sehat dan pasien dalam setiap populasi untuk membandingkan genotipe dan frekuensi alel. Hal ini didukung penelitan Gao bahwa polimorfisme gen reseptor vitamin D dipengaruhi oleh ras suku bangsa, diet dan faktor lingkungan. Kaitan polimorfisme gen reseptor vitamin D terhadap kejadian infeksi TB lebih kuat ditemukan pada bangsa Asia Universitas Sumatera Utara 24 (Gao,2010). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Salahuddin, 2013 yang melibatkan 259 subyek penelitian di populasi Arab Saudi dengan TB paru, menunjukkan bahwa supplementasi vitamin D3 dosis tinggi, 2x 600.000 IU intramuskular mempercepat perbaikan klinis dan radiologis pada seluruh pasien TB. Hasil penelitian Martineau at al, 2014, di London bahwa dosis oral 2.5mg (100.000 IU) dari ergokalsiferol menunjukkan hasil signifikan mengurangi pertumbuhan mikobakteri. Hasil penelitian Dini and Bianchi 2012, bahwa pemberian vitamin D 2,5 mg oral meningkatkan kekebalan terhadap M. tuberculosi di Italy. Populasi Afrika Barat variasi ApaI yang berhubungan signifikan dengan TB, di Amerika Selatan ditemukan bahwa tidak satupun tipe polimorfisme tersebut yang berhubungan secara signifikan dengan TB (Khalilullah et al. 2014). Penelitian yang berkaitan di Indonesia oleh Siswanto, 2009 bahwa dengan pemberian vitamin D pada pasien tuberkulosis paru menunjukkan perbaikan hasil foto toraks dengan pemberian vitamin D oral 800 IU perhari setelah 1 bulan diberikan vitamin D. Hasil penelitian Budi Setiawan 2010 ditemukan proporsi genotip terbanyak polimorfisme gen ApaI adalah ApaI genotipe Aa sebesar 42,9% di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Penelitian yang telah dilakukan di Negara Asia maupun Negara bagian Eropa menemukan adanya pengaruh pemberian vitamin D dan polimorfisme gen ApaI pada etnik maupun budaya masyarakat berbeda. Sementara Universitas Sumatera Utara 25 penelitian Gao, 2011 menemukan kaitan polimorfisme gen reseptor vitamin D terhadap kejadian infeksi TB lebih kuat ditemukan pada bangsa Asia. Kearns menyarankan perlu mempertimbangkan stratifikasi subyek berdasarkan variasi genetika dan status awal vitamin D terhadap suplementasi vitamin D (Kearns, 2014). Sementara hasil penelitian di Indonesia pulau Jawa ditemukan adanya hubungan pemberian vitamin D terhadap perbaikan foto toraks oleh Siswanto, 2009 dan di sumatera utara tentang polimorfisme gen pada etnik batak oleh Sinaga, 2014 dengan hasil penelitian bahwa polimorfisme gen tidak berhubungan dengan kerentanan TB. Adanya perbedaan hasil bahwa pemberian vitamin D pada populasi yang berbeda didapatkan hasil yang berbeda dan masih sedikitnya dilakukan penelitian tentang pemberian vitamin D terhadap perbaikan foto toraks pada penderita TBC dihubungkan dengan polimofisme gen terutama pada wilayah, suku atau budaya yang berbeda. Dari hasil penelitian yang sudah dipaparkan ternyata perbedaan polimorfisme gen sangat mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap M. Tuberculosis pada budaya, etnik maka untuk memperjelas ketepatan dari pada pemberian vitamin D terhadap penderita paru terutama diberbagai etnik perlu dilakukan penelitian lanjut mengenai bagaimana pengaruh pemberian vitamin D pada pasien TB paru yang dihubungkan dengan polimorfisme gen ApaI pada etnik batak yang terletak di wilayah Medan. Maka untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana pengaruh pemberian vitamin D ini terhadap etnik batak maka perlu penelusuran lebih Universitas Sumatera Utara 26 lanjut penelitian mengenai pemberian vitamin D terhadap perbaikan foto toraks pada etnik batak dihubungkan dengan polimorfisme gen ApaI reseptor vitamin D yang berada di wilayah Medan. 1.2. Rumusan Masalah Apakah ada pengaruh pemberian vitamin D terhadap perbaikan foto toraks pada etnik batak dihubungkan dengan polimorfisme Apa1 gen reseptor vitamin D yang berada di wilayah Medan 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Mengidentifikasi pengaruh pemberian Vitamin D terhadap perbaikan foto toraks pada pasien TB paru etnik batak yang dihubungkan dengan polimorfisme ApaI gen reseptor di Wilayah kota Medan 1.3.2. Tujuan Khusus 1) Diketahuinya karakteristik (umur, jenis kelamin, pekerjaan, suku) subyek penelitian 2) Diketahuinya distribusi polimorfisme gen RVD ApaI pada pasien TB paru etnik Batak 3) Diketahuinya kadar vitamin D (25,OH-vitamin D) pada pasien TB paru etnik Batak sebelum dan sesudah pengobatan selama 8 minggu pada kelompok yang diberi vitamin D Universitas Sumatera Utara 27 4) Diketahuinya kadar vitamin D pada pasien TB paru etnik Batak sebelum dan sesudah pengobatan selama 8 minggu pada kelompok yang diberi plasebo 5) Diketahuinya perbandingan kadar vitamin D sebelum dan sesudah perlakuan selama 8 minggu pada pasien TB paru beretnis Batak 6) Diketahuinya perbedaan perbaikan foto toraks pada kedua kelompok berdasarkan distribusi frekuensi 7) Diketahuinya hubungan perbaikan foto toraks dengan polimorfisme pada kedua kelompok 1.4. Hipotesis Ada pengaruh pemberian vitamin D terhadap perbaikan foto toraks pada pasien TB paru etnik batak yang dihubungkan dengan polimorfisme gen RVD ApaI 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Sebagai tambahan ilmu, pengetahuan dan wawasan yang luas dalam kepedulian penanggulangan TB paru. 1.5.2. Sebagai dasar untuk pengambilan kebijakan dalam mendiagnosis TB paru dan tata laksana pengobatan 1.5.3. Sebagai informasi tentang peran vitamin D dalam proses mempercepat penyembuhan TB paru sehingga masyarakat dapat berperan aktif dalam penanggulangan TB paru Universitas Sumatera Utara