daftar isi - Portal E-Journal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

advertisement
Vol.10, No.2, Desember 2013
DAFTAR ISI
• Sosok Presiden Ideal dan Tantangan Isu-Isu Global:
Menimbang Aspek Kepemimpinan Capres pada Pilpres 2014
Siswanto
• Politik Persuasif Media: Peran Media dalam Pemilu Presiden
Indonesia 2001-2009
Wasisto Raharjo Jati
• Tantangan Presiden Indonesia Mendatang, dan Relevansi
‘Multiplication Authorities’ Singapura
Zainuddin Djafar
• Prakondisi untuk Mengukuhkan Legitimasi Pemerintahan
Devi Darmawan
• Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya pada Penguatan
Kelembagaan Sistem Presidensial di Indonesia
Asrinaldi A
• Media Siber Sebagai Alternatif Jembatan Komunikasi Antara
Rakyat dan Pemimpinnya
Nina Andriana
Resume Penelitian • Mencari Sistem Pemilu dan Kepartaian yang Memperkuat
Sistem Presidensial
Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim
• Hubungan Perbatasan Antara Thailand dan Malaysia:
Kerjasama Perbatasan dan Lintas Batas Ilegal
Agus R. Rahman
• Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999-2011
Sarah Nuraini Siregar
• Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi
Luky Sandra Amalia
Review Buku
• Pemilu Presiden Amerika Serikat
Aisah Putri Budiatri
Daftar Isi
Catatan Redaksi
Artikel
Tentang Penulis
Indeks
Pedoman Penulisan
i–ii
iii–vi
1–14
15–30
31–46
47–62
63–78
79–94
95–112
113–128
129–144
145–162
163–176
177–180
181–182
183–188
CATATAN REDAKSI
Pada April 2014 mendatang rakyat Indonesia
akan memilih 19.699 dari 200 ribu caleg lebih
untuk mewakili mereka di lembaga perwakilan
rakyat, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Tiga bulan setelahnya, di lebih dari setengah
juta tempat pemungutan suara mereka juga akan
memilih presiden secara langsung. Pertarungan
dalam pemilu presiden mendatang diprediksi
akan berlangsung lebih keras dibandingkan
Pilpres 2009, terutama karena tidak adanya
calon petahana (incumbent) yang akan turun
gelanggang. Konstitusi pascaamandemen
memang tidak memungkinkan Susilo Bambang
Yudhoyono yang akan menyelesaikan masa
jabatan keduanya untuk dicalonkan kembali.
Hal ini tampak dari munculnya banyak nama
yang disebut-sebut sebagai bakal calon
presiden mendatang. Beberapa lembaga bahkan
secara rutin telah memetakan peluang elektoral
mereka dengan menyigi tingkat pengetahuan
dan preferensi calon pemilih terhadap namanama tersebut. Beberapa nama lama yang telah
pernah bertarung di dua pilpres sebelumnya
masih masuk dalam timbangan calon pemilih,
meskipun pada tahun 2013 ini beberapa nama
baru sudah mulai tampil dimana beberapa di
antaranya menunjukkan potensi untuk menjadi
unggulan. Nama mantan walikota Solo Joko
Widodo yang dapat dikatakan pendatang
baru di politik tingkat nasional, contohnya,
menunjukkan tren menanjak sejak ia terpilih
sebagai gubernur DKI Jakarta.
Jurnal Penelitian Politik nomor ini
menyajikan enam artikel yang membahas topiktopik yang terkait dengan pemilu legislatif dan
pemilu presiden di Indonesia. Artikel pertama
yang ditulis oleh Siswanto, ”Sosok Presiden
Ideal dan Tantangan Isu-isu Global”,
membahas aspek kepemimpinan calon presiden
yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan
global ke depan. Dengan mendiskusikan
berbagai tantangan riil globalisasi yang
dihadapi Indonesia, penulis memberikan
penekanan terhadap pentingnya pemilih untuk
mempertimbangkan kapasitas para calon
presiden dalam politik internasional.
Artikel berikutnya, “Politik Persuasif
Media: Peran Media dalam Pemilu Presiden
Indonesia 2001-2009”. Artikel yang ditulis
oleh Wasisto Raharjo Jati ini membahas peran
media dalam pertarungan politik dalam dua
pemilihan presiden langsung sebelumnya. Ada
dilema yang dihadapi media antara mendukung
dan mendorong demokratisasi di satu sisi dan
merapat pada kekuasaan di sisi yang lain.
Dilema tersebut terkait dengan kepemilikan
media yang pada akhirnya bermuara pada
persoalan independensi media selama transisi
demokrasi di Indonesia.
Sementara itu, artikel “Tantangan
Presiden Indonesia Mendatang, dan
Relevansi
‘Multiplication
Authorities’
Singapura” yang ditulis oleh Zainuddin
Djafar menawarkan diskusi mengenai model
kepemimpinan ke depan. Penulis memberikan
penekanan terhadap penyelesaian kasus korupsi
yang menjadi salah satu agenda paling penting
dan mendesak bagi Indonesia. Dalam konteks
ini, penulis berpendapat bahwa presiden terpilih
dapat belajar dari apa yang dilakukan pemimpin
di Singapura. Secara khusus, artikel ini
menawarkan relevansi prinsip “multiplication
of authorities” yang dianggap penulis telah
terbukti.
Dampak pembentukan koalisi terhadap
sistem
kepresidenan
dibahas
dalam
artikel “Koalisi Model Parlementer dan
Dampaknya Pada Penguatan Kelembagaan
Sistem Presidensial di Indonesia” yang ditulis
oleh Asrinaldi A. Penulis menjelaskan dampak
yang muncul dari model koalisi yang biasanya
ditemukan dalam sistem parlementer namun
diterapkan dalam sistem presidensial. Praktik
ini membawa konsekuensi berupa cairnya
posisi partai-partai dimana dalam perdebatan
berbagai isu atau kebijakan pemerintahan
partai-partai pendukung pemerintah dan partaipartai oposisi atau yang tidak menempatkan
kadernya di kabinet dapat bertukar tempat
dengan mudahnya. Penulis menyimpulkan,
penerapan model koalisi semacam ini telah
menghambat penguatan sistem pemerintahan
presidensial dan, di sekaligus meminggirkan
kepentingan publik.
Catatan Redaksi | iii
Persoalan partisipasi rakyat dalam
nominasi kandidat capres dibahas oleh Devi
Darmawan dalam artikel ”Prakondisi untuk
Mengukuhkan Legitimasi Pemerintahan”.
Pencalonan kandidat dalam pemilu presiden
selama ini sepenuhnya menjadi otoritas partai
politik tidak memberikan ruang bagi partisipasi
pemilih sehingga akibatnya muncul dikotomi
antara partai dan rakyat. Oleh karena itu, desain
mekanisme pencalonan harus diperbaiki untuk
memungkinkan keterlibatan pemilih dalam
menominasikan kandidat.
Artikel terakhir membahas tentang
cyberspace dan ruang bagi keterlibatan publik
dalam demokrasi deliberatif di Indonesia dibahas
oleh Nina Andriana dalam artikel “Media Siber
Sebagai Alternatif Jembatan Komunikasi
Antara Rakyat dan Pemimpinnya”. Artikel
ini menjelaskan bahwa demokrasi deliberatif
seharusnya melengkapi demokrasi prosedural
yang sejauh ini relatif lebih menonjol. Namun,
demokrasi deliberatif membutuhkan ruang
publik yang bebas dari tekanan politik dan
media yang independen. Di saat media justru
cenderung dikuasai oleh segelintir orang,
internet dapat menjadi ruang politik bagi publik
untuk berkomunikasi dua arah secara langsung.
Dalam konteks Indonesia, interaksi antara
pemimpin terpilih dan konstituen yang memilih
melalui penggunaan internet ini berpeluang
mendorong penguatan presidensialisme.
Selain keenam artikel terkait pemilu dan
pilpres di atas, nomor ini juga menghadirkan
empat ringkasan hasil penelitian yang telah
dilakukan peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI.
Artikel pertama ditulis oleh Agus R. Rahman,
“Hubungan Perbatasan antara Thailand
dan Malaysia: Kerjasama Perbatasan dan
Lintas Batas Ilegal”. Tulisan ini menganalisis
berbagai upaya kedua negara yang dilakukan
baik secara bilateral maupun multilateral dalam
konteks ASEAN untuk menegakkan fungsi
perbatasannya dalam mengatasi aktivitas lalu
lintas perbatasan ilegal.
Artikel kedua, “Pencapaian Reformasi
Instrumental Polri, 1999-2011”, ditulis oleh
Sarah Nuraini Siregar. Artikel ini membahas
salah satu aspek dalam reformasi kepolisian
pascapemisahan institusi ini dari Tentara
Nasional Indonesia (TNI), yaitu aspek
instrumental. Ada banyak instrumen yang telah
dibuat, namun dalam praktiknya belum dapat
diterapkan secara efektif, terutama disebabkan
belum jelasnya kewenangan Polri dan koordinasi
dengan institusi lain, seperti dengan TNI dalam
pengelolaan keamanan di daerah konflik.
Pengaturan mengenai kewenangan dan fungsi
kepolitian dalam berbagai instrumen yang ada,
termasuk UU No. 2 Tahun 2002 secara umum
masih kurang terperinci dan jelas.
Artikel berikutnya, “Evaluasi Sistem
Kepartaian di Era Reformasi”, ditulis oleh
Luky Sandra Amalia. Dalam artikel ini penulis
menjelaskan temuan tim peneliti mengenai
persoalan sistem kepartaian di Era Reformasi
yang ditandai bukan hanya oleh tingginya
fragmentasi internal partai sehingga jumlah partai
tetap banyak, tetapi juga oleh kecenderungan
untuk semakin lebarnya jarak antara partai
dengan rakyat. Beberapa upaya penyederhanaan
sudah dilakukan, tinggal dibutuhkan konsistensi
untuk menyempurnakannya, antara lain dengan
perubahan ukuran daerah pemilihan menjadi
lebih kecil, pelembagaan koalisi partai sehingga
lebih permanen, penyederhanaan kelompok
fraksi di parlemen menjadi fraksi pemerintah,
oposisi atau independen, dan pemberlakukan
ambang batas parlemen di tingkat lokal. Tulisan
ini juga membahas problematika partai lokal di
Aceh dalam konteks sistem kepartaian selama
ini.
Artikel ringkasan hasil penelitian
terakhir terakhir, “Mencari Sistem Pemilu
dan Kepartaian yang Memperkuat Sistem
Presidensial”, ditulis oleh Moch Nurhasim dan
Sri Yanuarti. Penulis menempatkan perbaikan
sistem pemilu dan sistem kepartaian sebagai
syarat bagi efektivitas demokrasi presidensiil.
Penulis merekomendasikan bahwa perbaikan
sistem pemilu perlu diarahkan pada terjadinya
terbentuknya sistem multipartai dengan tingkat
fragmentasi partai yang relatif rendah di
parlemen memungkinkan proses pengambilan
keputusan yang tidak berlaru-larut. Untuk
mendorong penyederhanaan jumlah partai
politik yang memungkinkan adanya partai
pemenang pemilu minimal di parlemen, penulis
menawarkan perubahan sistem pemilu, yaitu
penerapan sistem campuran, dalam hal ini Mixed
Member Majoritarian (MMM) yang secara
teoretik dan berdasarkan pengalaman negaranegara lain dianggap telah terbukti berhasil.
Pada penerbitan kali ini kami juga
menghadirkan review buku karya Nelson
iv | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
W. Polsby, dkk., Presidential Elections:
Strategies and Structures of American Politics.
Review yang ditulis Aisah Putri Budiatri ini
menyajikan pembahasan buku ini dengan
judul “Pemilu Presiden Amerika Serikat”
mengenai dinamika pemilu presiden di AS
dengan berbagai perubahan aturan dan sistem di
dalamnya. Polsby, dkk. memberikan gambaran
rinci mengenai pemilu presiden di era yang
berbeda-beda dengan berfokus pada beberapa
isu penting, seperti perilaku pemilih, kelompok
kepentingan, aturan tentang dana kampanye,
proses nominasi, dan sebagainya.
Ucapan terima kasih secara khusus kami
sampaikan kepada para mitra bestari yang
telah memberikan komentar atas semua naskah
artikel yang masuk untuk penerbitan nomor ini.
Redaksi berharap hadirnya Jurnal Penelitian
Politik nomor ini dapat memberikan manfaat
baik bagi diskusi dan kajian mengenai pemilihan
presiden di Indonesia. Selamat membaca.
Redaksi
Catatan Redaksi | v
vi | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Vol.10, No.2, Desember 2013
DDC: 324.9598
Siswanto
SOSOK
PRESIDEN
IDEAL
DAN
TANTANGAN ISU-ISU GLOBAL:
MENIMBANG ASPEK KEPEMIMPINAN
CAPRES PADA PILPRES 2014
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 1-22
Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 sudah
dekat, tetapi belum nampak calon presiden
(capres) yang tepat yaitu punya kepribadian
kuat, cerdas, dan menjunjung tinggi etika
sehingga mampu memimpin dengan efektif
dan menjawab tantangan global. Tulisan
ini dimaksudkan ingin berkontribusi dalam
diskursus tentang Pilpres 2014 dalam kaitannya
dengan tekanan arus globalisasi yang melanda
Indonesia. Upaya ini mengajak masyarakat
ikut menentukan masa depan Indonesia dengan
cara memilih capres secara benar yaitu sesuai
dengan kriteria di atas pada Pilpres 2014
mendatang. Fokus tulisan ini adalah masalah
momentum Pilpres 2014 yang berlangsung di
tengah krisis ketersediaan kader kepemimpinan
nasional yang relevan dengan tantangan global.
Akhirnya, tulisan ini berpegang pada hukum
bahwa peristiwa sejarah tidak berulang, tetapi
polanya bisa berulang. Presiden-Presiden
Indonesia di masa lalu telah memberi kontribusi
kepada permasalahan dunia, maka Presiden
Indonesia di masa depan seharusnya juga
mampu menjawab tantangan global agar juga
punya kontribusi kepada dunia.
Kata Kunci: kepemimpinan, globalisasi, Pemilu
Presiden
DDC: 324.2598
Wasisto Raharjo Jati
POLITIK PERSUASIF MEDIA: PERAN
MEDIA DALAM PEMILU PRESIDEN
INDONESIA 2001-2009
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 23-38
Tulisan ini bertujuan menganalisis tentang
peran media dalam konstelasi pemilu presiden
Indonesia selama 2001-2009. Pada masa
reformasi, media sendiri telah menunjukkan
posisi dilematis dalam mendukung demokrasi,
bahkan berupaya mengidentifikasi sebagai
aktor politik. Dalam beragam cara, media
menampilkan adanya relasi ketergantungan kuat
dengan patronase ekonomi politik. Hadirnya
jurnalisme politik sendiri kemudian berwujud
dalam mesin propaganda yang bertujuan
menyampaikan pesan politik kepada publik.
Tulisan ini akan mengelaborasi lebih lanjut
mengani dilema media dalam proses transisi
demokrasi di Indonesia.
Kata Kunci: persuasif media, konglomerasi
media, kampanye polittik, dan jurnalisme politik
DDC: 324.2598
Zainuddin Djafar
TANTANGAN PRESIDEN INDONESIA
MENDATANG,
DAN
RELEVANSI
‘MULTIPLICATION
AUTHORITIES’
SINGAPURA
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 39-54
Penulisan ini bertujuan untuk melakukan
observasi pada hal-hal terkait dengan tantangan
yang significan bagi calon presiden Indonesia
mendatang (pasca 2014). Dalam hal itu
observasi sudah dilakukan, dan pandangan
pada hal-hal yang terkait dengan kekuatan
Abstrak | vii
maupun kelebihan kepemimpinan seseorang
tampak tidak cukup. Kepemimpinan bagi
presiden Indonesia mendatang juga harus
memperhitungkan perannya untuk dapat
mengatasi masalah besar bangsa khususnya
dalam hal makin kronisnya problema korupsi.
Singapura dengan manajemen suksesnya
telah berhasil mengatasi soal korupsi yang
juga demikian kronik di negaranya. Perdana
Menteri Singapura telah memberi berbagai
pelajaran yang berharga, termasuk berbagai
strategi yang perlu dipertimbangkan yaitu
dengan memperhatikan relevansi prinsip
“Multiplication of Authorities’, yang telah
terbukti validitasnya, dan tentunya hal tersebut
perlu mendapat perhatian bagi kepemimpinan
Presiden Indonesia mendatang.
Kata Kunci: Presiden Indonesia mendatang, dan
Multiplikasi Otoritas Singapura
DDC: 324.2598
Devi Darmawan
PRAKONDISI UNTUK MENGUKUHKAN
LEGITIMASI PEMERINTAHAN
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 55-78
Keterlibatan
elite
politik
selaku
penyelenggara negara dalam praktik korupsi
berdampak pada delegitimasi pemerintahan
hasil pemilu karena mengindikasikan kegagalan
pemerintah
dalam
menyelenggarakan
pemerintahan secara bertanggung jawab. Di sisi
lain, problem delegitimasi ini mencerminkan
kegagalan partai politik dalam melakukan fungsi
rekrutmen sehingga tidak dapat menghasilkan
calon-calon kandidat yang berkualitas untuk
mengikuti pemilu. Oleh sebab itu, partai
politik harus dipaksa untuk melakukan seleksi
internal bakal calon kandidat secara transparan
dalam membuat daftar calon kandidat yang
akan dicalonkan untuk mengikuti pemilu. Hal
ini diperlukan agar kualitas kandidat peserta
pemilu dapat berkontribusi positif dalam
menghasilkan keterpilihan penyelenggara
negara yang kredibel, kapabel, dan akuntabel
untuk mengelola pemerintahan ke depan.
Kata kunci: Legitimasi Pemerintahan, Pencalonan
Kandidat Peserta Pemilu
DDC: 320.014
Asrinaldi A
KOALISI
MODEL
PARLEMENTER
DAN DAMPAKNYA PADA PENGUATAN
KELEMBAGAAN SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 79-114
Penerapan model koalisi sistem parlementer
dalam pelaksanaan sistem presidensial di
Indonesia mendatangkan masalah di lembaga
legislatif. Artikel ini menjelaskan dampak yang
muncul dari model koalisi sistem parlementer
yang diterapkan dalam sistem presidensial.
Akibatnya, perdebatan program pemerintah
di lembaga legislatif tidak lagi dalam rangka
pemenuhan kepentingan masyarakat, akan
tetapi sekedar menunjukan sikap berseberangan
dengan pemerintah. Menariknya, partai
pemerintah berkuasa justru melibatkan partai
oposisi untuk terlibat dalam penyelenggaraan
pemerintahan untuk menghindari ketegangan
yang terjadi di lembaga legislatif. Pembentukan
koalisi pemerintahan seperti ini justru tidak
mencerminkan konsistensi dalam melaksanakan
undang-undang dasar. Bahkan koalisi yang
terbentuk
justru
hanya
mengutamakan
kepentingan politik ketimbang memperkuat
ideologi
dalam
kehidupan
berbangsa
dan bernegara.
Artikel ini menjelaskan
lebih mendalam dampak praktik koalisi
model parlementer ini terhadap penguatan
kelembagaan politik dalam sistem presidensial.
Kata kunci: Sistem Presidensial dan Penguatan
Kelembagaan
DDC: 320.014
Nina Andriana
MEDIA SIBER SEBAGAI ALTERNATIF
JEMBATAN KOMUNIKASI ANTARA
RAKYAT DAN PEMIMPINNYA
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 115-136
Demokrasi deliberatif, yaitu terbukanya
peluang bagi masyarakat untuk secara
viii | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
kontinu berkomunikasi dengan pemimpinnya,
membutuhkan ruang publik yang bebas dari
tekanan politik dan penguasa pasar media.
Ruang Publik di media massa konvensional yang
telah mengarah pada ketiadaan keberagamaan
kepemilikan dan keberagaman substansi
informasi menjadi titik balik hadirnya ruang
publik pada bentuk media lain, yaitu media siber.
Pemanfaatan media siber oleh lembaga dan
aktor politik, dan khususnya oleh masyarakat
di Indonesia masih belum maksimal, meskipun
media siber memberikan peluang menjanjikan
sebagai saluran komunikasi yang “inklusif,
egaliter dan bebas tekanan”. Prinsip komunikasi
dua arah yang disediakan oleh media siber
diharapkan mampu menjadi alternatif jembatan
komunikasi yang lebih interaktif antara rakyat
dan pemimpinnya, yang hal ini sulit didapatkan
pada media konvensional. Melalui ruang publik
demokrasi deliberatif rakyat dapat dididik untuk
berdiskusi secara rasional dan terbuka untuk
membicarakan persoalan-persoalan kebijakan
publik.
tidak berlaru-larut. Dalam konteks itu, sistem
pemilu perlu dibangun secara sungguh-sungguh
dan idel agar mampu menciptakan partai politik
yang moderat (5-7 partai) secara alamiah dan
mendorong lahirnya partai pemenang pemilu
minimal di parlemen. Untuk kebutuhan itu
diperlukan rekayasa perubahan sistem pemilu
dari sistem proporsional ke sistem yang lain.
Kajian ini sedang menjajaki tingkat fisibilitas
sistem pemilu campuran, sejauhmana tingkat
kecocokannya bagi Indoenesia. Dari kesimpulan
awal, perbaikian sistem pemilu dapat dilakukan
melalui pemberian ruang penggunaan sistem
campuran, melalui penerapan Mixed Member
Majoritarian (MMM) yang secara teoretik dan
pengalaman negara-negara lain telah terbukti
dapat menciptakan munculnya partai mayoritas
di parlemen.
Kata kunci : Demokrasi deliberatif, Ruang
Public, Media Siber.
DDC: 352.14
Agus R. Rahman
DDC: 352.14
Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim
HUBUNGAN PERBATASAN ANTARA
THAILAND DAN MALAYSIA:
KERJASAMA
PERBATASAN
DAN
LINTAS BATAS ILEGAL
MENCARI SISTEM PEMILU DAN
KEPARTAIAN YANG MEMPERKUAT
SISTEM PRESIDENSIIL
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 137-154
Upaya untuk mencari dan membenahi
sistem pemilu dan partai politik yang efektif
bagi demokrasi presidensiil, membutuhkan
proses koreksi dari sistem pemilu dan kepartaian
yang saat ini dianut. Proses perbaikan itu
dimaksudkan agar terjadi perbaikan dan
penataan sistem pemilu, sistem kepartaian
yang memperkuat sistem presidensiil. Kajian
ini merekomendasikan bahwa perbaikan
sistem pemilu perlu diarahkan pada terjadinya
praktik sistem multipartai yang mampu
menghasilkan tingkat fragmentasi partai yang
relatif rendah di parlemen. Rendahnya tingkat
fragmentasi partai di parlemen pada gilirannya
dapat mengkondisikan terciptanya proses
pengambilan keputusan yang relatif cepat dan
Kata kunci: Sistem pemilu, sistem kepartaian,
sistem presidensial dan fisibilitas sistem pemilu
campuran
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 155-172
Penelitian yang berjudul “Kerjasama
Perbatasan
Thailand-Malaysia
dalam
Mengatasi Ilegal Border Crossing,” mencoba
untuk menganalisis upaya-upaya kedua negara
yang berbatasan ini untuk menegakkan fungsi
perbatasannya dalam mengatasi aktivitas lalu
lintas perbatasan yang ilegal. Fungsi perbatasan
antara Thailand dan Malaysia bersifat
distintegratif yang diwarnai oleh pada satu sisi
konflik internal antara pemerintah Thailand
dengan empat provinsi Muslim di Thailand
Selatan, dan pada sisi yang lain, kedekatan
masyarakat Muslim di sepanjang perbatasan
Thailand-Malaysia.
Hasil
analisisnya
menunjukkan bahwa kerjasama perbatasan
kedua negara dilakukan baik secara bilateral dan
multilateral dalam konteks ASEAN. Kerjasama
bilateral tampaknya belum maksimal untuk
mengatasi aktivitas lintas batas yang ilegal,
Abstrak | ix
sedangkan kedua negara mendukung kerjasama
multilateral dalam konteks ASEAN dalam hal
masalah kejahatan transnasional. Baik Thailand
maupun Malaysia tidak bermaksud untuk
membawa masalah-masalah perbatasan yang
lain di luar konteks bilateral kedua negara.
Kata kunci: Hubungan Perbatasan, Kerjasama
Perbatasan, Lintas Perbatasan Ilegal.
DDC: 341.48
Sarah Nuraini Siregar
PENCAPAIAN REFORMASI
INSTRUMENTAL POLRI 1999-2011
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 173-196
Sejak pemisahan Kepolisian Republik
Indonesia (Polri) dari ABRI pada tahun
1999, Polri memiliki banyak instrumen
(kebijakan) yang menjadi dasar bagi Polri
untuk melakukan fungsi dan kewenangannya.
Namun, instrumen ini belum sepenuhnya diatur
dengan kewenangan yang jelas kepada Polri,
terutama dalam hal koordinasi, hubungannya
dengan TNI pada saat melakukan pengelolaan
keamanan di daerah konflik, mekanisme
pengawasan, dan akuntabilitas dalam hal
kinerja, fungsi, dan kewenangan Polri. Oleh
karena itu, upaya Reformasi Instrumental
Polri yang masih memiliki kendala perlu
dievaluasi kembali. Kehadiran UU No. 2 Tahun
2002 dan juga perangkat peraturan lainnya
masih menimbulkan masalah baru, seperti
pengawasan, mekanisme kontrol, hubungan
dengan aktor-aktor keamanan lainnya, terutama
pada saat menjalankan pengelolaan keamanan,
dan sebagainya.
Kata kunci: Reformasi, Instrumental, Instrumen,
Keamanan, Polisi, Peraturan.
DDC: 320.962
Luky Sandra Amalia
EVALUASI
SISTEM
DI ERA REFORMASI
KEPARTAIAN
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 197-212
Tulisan ini memfokuskan kajian pada
evaluasi sistem kepartaian era reformasi,
yaitu mengenai realitas sistem kepartaian
yang berkembang selama era reformasi;
problematika sistem kepartaian yang ada; dan
faktor-faktor yang melatarbelakangi realitas dan
problematika tersebut. Dengan menggunakan
pendekatan penelitian kualitatif dengan tujuan
deskriptif-eksplanatif, diperoleh dua cara
untuk menyederhanakan sistem kepartaian,
yakni mengubah sistem pemilu atau melalui
rekayasa institusi. Pilihan pertama diharapkan
bisa menghasilkan sistem multipartai dengan
dua parpol dominan di DPR, sedangkan
pilihan kedua menghasilkan sistem multipartai
sederhana dengan dua koalisi besar yang bersifat
permanen di parlemen. Namun demikian, tak
kalah pentingnya adalah reformasi karakter
parpol, dari parpol pragmatis dan berorientasi
jangka pendek menjadi parpol yang memiliki
platform politik dan visi kebangsaan yang jelas.
Kata Kunci: sistem kepartaian
DDC: 321.5
Aisah Putri Budiatri
PEMILU PRESIDEN AMERIKA SERIKAT
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, Desember 2013, Hlm. 213-220
Amerika Serikat (AS) telah menjalankan
pemilihan umum (pemilu) presiden selama lebih
dari satu abad. Pemilu demokratis yang telah
dijalankan oleh AS merupakan sebuah proses
yang dinamis dengan banyak perubahan aturan
dan sistem di dalamnya. Nelson W. Polsby,
Aaron Wildavsky, Steven E. Schier, dan David
A. Hopkins mencoba untuk menjelaskan secara
mendalam evolusi (perubahan) pelaksanaan
pemilu presiden di dalam buku “Presidential
Elections: Strategies and Structures of
American Politics”. Di dalam buku ini, penulis
memberikan gambaran rinci mengenai pemilu
presiden di era yang berbeda-beda dengan
berfokus pada beberapa isu diantaranya pemilih
pemilu, kelompok kepentingan, aturan dan
sumber daya, proses nominasi, dan kampanye.
Selain itu, buku ini mencoba menanyakan juga
bagaimana pemilu presiden mampu mendukung
tujuan demokrasi di AS.
Kata kunci: pemilu presiden, Amerika Serikat,
demokrasi.
x | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Vol.10, No.2, Desember 2013
DDC: 324.9598
Siswanto
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 23-38
FIGURE OF
IDEAL PRESIDENT
AND GLOBAL ISSUES CHALLENGE:
CONSIDERING
OF
LEADERSHIP
ASPECTS IN PRESIDENTIAL ELECTION
2014
This article aims to analyze the role
of media in the constellation of presidential
elections in Indonesia during 2001-2009. Media
in the post- reform era itself have been showed
the dilemma between supporting democracy,
even though on the other side trying to identify
them on political power. In many ways, the
media showed a strong dependency relationship
with the patronage of political economy. The
emergence of political journalism has been
manifested in propaganda machine to convey
the message as well as a political message to
the public. This article will elaborate media
dilemma in the transition to democracy in
Indonesia.
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 1-22
The 2014 Presidential Election is
near, but not yet seen the right candidate to
lead Indonesia in the future. This paper is
intended to contribute to the discourse about
the 2014 presidential election in relation to
the pressures of globalization. This effort to
invite the community in determining the future
of Indonesia by way of selecting the right
candidate in the 2014 presidential election. The
focus of this paper is the problem of momentum
2014 presidential election that took place in the
midst of a crisis of national leadership, while
the challenges of globalization increasingly
heavy and diverse. Finally, the conclusions of
this paper that the Indonesian Presidents in the
past have shown a real contribution to the world
and the corresponding challenges of each era,
then what is the future President was also able
to give a real contribution to the global issues
of today.
Keywords: Leadership, Globalization, the
Presidential election.
DDC: 324.2598
Wasisto Raharjo Jati
MEDIA AND POLITICAL PERSUASION:
THE ROLE OF MEDIA IN INDONESIA
PRESIDENTIAL CAMPAIGN 2001-2009
Keywords: media persuasion, media
conglomerate, political campaign, & political
journalism
DDC: 324.2598
Zainuddin Djafar
CHALLENGES
FOR
THE
NEXT
PRESIDENT OF INDONESIAN AND
THE RELEVANCE OF SINGAPORE
“MULIPLICATION AUTHORITIES”
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 39-54
This writing is going to observe the
significant challenge for the next of Indonesian
President (after 2014). Some observations
have been done, and some important views on
individual strength leadership seem not enough.
The leadership of next Indonesian president
should also reconsider its role in order to
cope with the major of Indonesian national
problem especially with the issue of corruption.
Abstrak | xi
Singapore has shown of its management of
success in handling its cronic problem of
corruption. The Singaporean Prime Minister
leadership has given substantial lesson learned,
and indirectly the concept of Multiplication
Authorities has shown its validity including
several strategies that should also be regarded
as the main mission for the next Indonesian
president.
Keywords: Indonesian next president, Singaporean
Multiplication Authorities.
DDC: 324.2598
Devi Darmawan
PRE-CONDITIONS FOR ENHANCING
THE LEGITIMACY OF GOVERNANCE
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 55-78
The political elite involvement’s as the
state administrators in corrupt practices have
impact to decrease degree of government
legitimacy (delegitimation) because it’s
indicates the government’s failure to govern
responsibly. On the other hand, the problem
of delegitimation reflects a failure of political
parties to conduct the politic recruitment and
therefore can not produce proper candidates
to contest the elections. Therefore, political
parties should be forced to conduct an internal
selection to elect the prospective candidates
in a transparent manner in making a list of
candidates who will be nominated to contest the
elections. It’s necessary for make the quality of
electoral candidates could contribute positively
to the election process to produce elected state
administrators which are credible and capable
for managing government responsibly.
Keywords: Goverment Legitimacy, Nomination
Process of Election Participants.
DDC: 320.014
Asrinaldi A
PARLIAMENTARY-STYLE COALITIONS
AND ITS IMPACT ON STRENGTHENING
THE INSTITUTIONAL PRESIDENTIAL
SYSTEM IN INDONESIA
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 79-114
Implementation coalition of parliamentary
system in the presidential system model in
Indonesia cause problems in the legislature. This
article describes the effects that arise from that
coalition of parliamentary system model was
applied in a presidential system. Consequently,
polemic over government programs in legislature
no longer related to public interest, but simply
to show an attitude that opposite to government.
Interestingly, the ruling government party seek
to involve the opposition party in government to
avoid conflicting in government programming.
As a result, the formation of coalition of
parlimentary model does not reflect consistency
in implementing the constitution. Even the
coalition that formed it just put the political
interests as a goal rather than strengthen the
political ideology as the way of the nation. This
article explains more in depth what the impact
of coalition of parliamentary syatem model
to strengthening of political institutions in a
presidential system.
Keywords: Presidentialism system model and
institutional strengthening.
DDC: 320.014
Nina Andriana
CYBER MEDIA AS AN ALTERNATIVE
COMMUNICATION BRIDGE BETWEEN
THE PEOPLE AND THE LEADER
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 115-136
Deliberative democracy, is an opportunity
for people to dialogue with their leaders
continuous, needs a free public sphere that
independent from political pressure. The public
sphere in conventional media which lack owners
and content diversity become the turning
point another media attendance, that is cyber
media. The utilization of cyber media by actor
and political institution, and especially by the
Indonesian people still not maximum, even cyber
media give an opportunity for as communication
media which “inclusive, egalitarian and
liberal”. Two way communication that provided
by the cyber media is more interactive among
xii | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
the people and the leader. Through public
sphere deliberative democracy on cyber media,
public could be educated for rational and open
dialogue to discuss about public policy.
Keywords: Deliberative
Sphere, Cyber Media.
Democracy,
Public
DDC: 352.14
Agus R. Rahman
THAILAND-MALAYSIA
BORDER
RELATIONS: BORDER COOPERATION
AND ILLEGAL BORDER CROSSING
DDC: 352.14
Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 155-172
THE SEEKING OF ELECTION AND
PARTY SYSTEM TO STRENGHTHENING
PRESIDENTIAL SYSTEM
Research on “Thailand-Malaysia Border
Cooperation in Overcoming Illegal Border
Crossing,” aims to analyse both countries’
bilateral attempts to implement border function
in tackling illegal border crossing activities.
Border between Thailand and Malaysia reflect
disintegrative function which is influenced by
internal conflict of Thailand government and four
Muslim provinces in Southern Thailand. Result
shows that this border bilateral cooperation
conducted through bilateral and multilateral
cooperation in the ASEAN context. The bilateral
cooperation is not optimum to handle illegal
border crossing activities, and both countries
confirm to multilateral cooperation in ASEAN
context especially in transnational crime. Both
Thailand and Malaysia have no commitment to
bring their border problem out of their bilateral
context.
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 137-154
Attempts to find and improve the
effectiveness of the electoral system and political
parties for the presidential democracy require a
correction process of current electoral and the
political party system. The improvement process
is intended to repair and arrange the electoral
system, the party system which strengthen the
presidential system. This study recommends
that the improvement should be directed to the
practice of multi-party system that is able to
produce a relatively low fragmentation of the
parties in parliament. Low fragmentation of
the parties in parliament, in turn, can condition
the establishment of effective decision-making
process. In this context, the electoral system
should be ideal and thougtfully constructed
to be able to create moderate political parties
(5-7 parties) naturally and encouraged
the emergence of the general election
winner party in parliament. Therefore, it is
necessary to engineer electoralsystem change,
fromproportional system to another system. This
study is exploring the feasibility of the mixed
electoral system, to what extent it will be suitable
for Indonesia. From the preliminary conclusion,
the improvement of the electoral system can be
done by giving space to the practice of mixed
system, through the implementation of Mixed
Member Majoritarian (MMM) which has been
proven, theoretically and practically by country
experiences to create the emergence of majority
party of parliament.
Keywords: election system, party system,
presidential system and feasibility of a mixed
electoral system.
Keywords: Border Relations, Border Cooperation,
Illegal Border Crossing.
DDC: 341.48
Sarah Nuraini Siregar
ACHIEVEMENT OF THE INSTRUMENTAL
INDONESIAN
NATIONAL
POLICE
REFORM
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 173-196
Since the separation of Indonesian
National Police (Polri) from Indonesian Army
Forces (TNI) in 1999 until present, Polri has
many instruments that become their priorities
to perform its functions and authority. However,
these instruments have not been fully set up
with clear authority to the national police,
especially in terms of coordination, relations
with the Indonesian Army at the time of the
Abstrak | xiii
management of security in conflict areas
supervisory mechanisms, and accountable for
the performance of functions and authority of
the national police. Therefore, reform efforts
were instrumental to the Police which still
have different constraints and needs to be reevaluated over the implementation of these
reform efforts. The presence of The Law No.
2, 2002 and also other regulatory devices that
turn out to be not rigid and clear regulation
concerning powers and functions of the national
police, has caused new problems, such as the
question of supervision, control mechanisms,
the relationship with other security actors at the
time of security management, and so on.
Keywords : Reform, Instrumental, Instruments,
Security, Police, Regulation.
DDC: 320.962
Luky Sandra Amalia
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 213-220
The United States of America has run
presidential elections for more than a century.
Democratic elections are a dinamyc process
with many changes in the rules and the systems.
Nelson W. Polsby, Aaron Wildavsky, Steven E.
Schier, and David A. Hopkins try to explain deeply
about the evolution of American presidential
election in their book: “Presidential Elections:
Strategies and Structures of American Politics”.
In this book, the writers give details about
presidential election from different eras that
focus on several issues, namely voters, interest
groups, rules and resources, the nomination
process, and the campaign. Besides, the book
attempt to ask about how presidential elections
serve the purposes of democracy in the U.S.
Keywords: presidential election, the U. S.,
America, democracy.
EVALUATION OF PARTY SYSTEM IN THE
REFORMATION ERA
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No. 2, December 2013, Page 197-212
This research report is about evaluation of
party system in the reformation era, including
the problem of party system dan the factors
that contribute to them. Using descriptiveexplanative approach, this research found two
options to simplify the party system, namely by
changing the election system or by institution
engineering. The first choice might produce
multiparty system with two dominant parties
in parliament whereas the second one may
deliver moderate multiparty system with two
big permanent coalitions in parliament. Besides
that, reformation of parties’ character, from
pragmatic parties into ones which have clear
platform and vision, is also important to do.
Keywords: party system.
DDC: 321.5
Aisah Putri Budiatri
PRESIDENTIAL ELECTIONS
UNITED STATES
IN
THE
xiv | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
SOSOK PRESIDEN IDEAL DAN TANTANGAN ISU-ISU GLOBAL:
MENIMBANG ASPEK KEPEMIMPINAN CAPRES PADA PILPRES 2014
FIGURE OF IDEAL PRESIDENT AND GLOBAL ISSUES CHALLENGE:
CONSIDERING OF LEADERSHIP ASPECTS IN PRESIDENTIAL
ELECTION 2014
Siswanto
Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta
E-mail:[email protected]
Diterima: 10 Juli 2013; direvisi: 3 September 2013; disetujui: 2 Desember 2013
Abstract
The 2014 Presidential Election is near, but not yet seen the right candidate to lead Indonesia in the future.
This paper is intended to contribute to the discourse about the 2014 presidential election in relation to the
pressures of globalization. This effort to invite the community in determining the future of Indonesia by way of
selecting the right candidate in the 2014 presidential election. The focus of this paper is the problem of momentum
2014 presidential election that took place in the midst of a crisis of national leadership, while the challenges of
globalization increasingly heavy and diverse. Finally, the conclusions of this paper that the Indonesian Presidents
in the past have shown a real contribution to the world and the corresponding challenges of each era, then what is
the future President was also able to give a real contribution to the global issues of today.
Keywords: Leadership, Globalization, the Presidential election
Abstrak
Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 sudah dekat, tetapi belum nampak calon presiden (capres) yang tepat yaitu
punya kepribadian kuat, cerdas, dan menjunjung tinggi etika sehingga mampu memimpin dengan efektif dan
menjawab tantangan global. Tulisan ini dimaksudkan ingin berkontribusi dalam diskursus tentang Pilpres 2014
dalam kaitannya dengan tekanan arus globalisasi yang melanda Indonesia. Upaya ini mengajak masyarakat ikut
menentukan masa depan Indonesia dengan cara memilih capres secara benar yaitu sesuai dengan kriteria di atas
pada Pilpres 2014 mendatang. Fokus tulisan ini adalah masalah momentum Pilpres 2014 yang berlangsung di
tengah krisis ketersediaan kader kepemimpinan nasional yang relevan dengan tantangan global. Akhirnya, tulisan
ini berpegang pada hukum bahwa peristiwa sejarah tidak berulang, tetapi polanya bisa berulang. Presiden-Presiden
Indonesia di masa lalu telah memberi kontribusi kepada permasalahan dunia, maka Presiden Indonesia di masa
depan seharusnya juga mampu menjawab tantangan global agar juga punya kontribusi kepada dunia.
Kata kunci: kepemimpinan, globalisasi, Pemilu Presiden
Pendahuluan
Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 sudah diambang
pintu, tetapi belum nampak calon presiden
(capres) yang dinilai tepat untuk memimpin
Indonesia ke depan. Yang dimaksud Presiden
yang tepat di sini adalah capres yang punya
kaliber kepemimpinan di tingkat nasional dan
internasional, punya sifat kepemimpinan yang
kuat, demokratis, dan mampu berperan penting
dalam isu-isu global. Lebih jauh, Presiden
Indonesia ke depan diharapkan juga mampu
memperjuangkan kepentingan nasional dengan
baik di tengah tekanan globalisasi yang kuat.
Dalam hal ini, kepentingan nasional yang
dimaksud berdimensi ekonomi, politik dan
Sosok Presiden Ideal ... | Siswanto | 1
budaya. Oleh karena itu, upaya ini termasuk
di dalamnya memperjuangkan investasi,
perdagangan, pertahanan, keamanan, stabilitas,
kebebasan, kebhinekaan, kebangsaan, adat dan
kebudayaan. Jadi, capres dengan kualifikasi di
atas dianggap sebagai capres yang tepat dan
ditunggu-ditunggu oleh rakyat Indonesia.
Gagalnya
kaderisasi
kepemimpinan
di partai politik adalah salah satu faktor
langkanya capres berkualitas. Partai-partai
di Indonesia gagal menyiapkan pemimpin
nasional yang tangguh. Pemimpin nasional
Indonesia sekarang umumnya perilaku
politiknya sulit dikatakan baik oleh rakyatnya
yaitu dengan ukuran-ukuran etika politik,
idealisme, dan keberpihakannya kepada rakyat.
Boleh dibilang, Indonesia pascaReformasi
mengalami krisis kepemimpinan. Dalam level
nasional tidak dijumpai pemimpin yang mampu
memberi suri tauladan dan punya ciri seorang
negarawan. Apalagi, undang-undang memberi
monopoli kekuasan kepada partai politik dalam
soal Pilpres sehingga menutup pintu bagi
calon independen, padahal ini penting untuk
munculnya calon presiden yang bebas dari
“utang budi politik” kepada partai. Masyarakat
sudah mengetahui bahwa partai bisa digunakan
menjadi kendaraan politik untuk Pilpres, tetapi
dengan konsekuensi menyetor “fee” tertentu.
Kalau fenomena “kendaraan politik” ini adalah
bagian dari kehidupan politik Indonesia maka
sulit mencari pemimpin yang punya ciri seorang
negarawan.
“Satrio Piningit” mungkin bisa menjadi
capres alternatif diantara capres-capres yang
ada, tetapi hal ini tidak membuat masyarakat
optimis. Konsep “Satrio Piningit” sebenarnya
hidup dalam mitologi Jawa. Dalam mitos-mitos
Jawa kuno “Satrio Piningit” dipahami sebagai
pemimpin alternatif yang pada awalnya tidak
muncul dalam bursa calon pemimpin yang
diunggulkan. “Satrio Piningit” bisa menjadi
harapan (optimis) jika berkoalisi dengan partai
yang punya etika politik dan idealisme, tetapi
seandainya tidak malah sebaliknya karena akan
terkooptasi oleh kepentingan partai politik yang
mengusungnya.
Tulisan ini mempunyai beberapa tujuan
sehubungan dengan Pilpres 2014 mendatang.
Pertama, tulisan ini ingin berkontribusi
dalam diskursus tentang Pilpres 2014 dalam
kaitannya dengan arus globalisasi yang
semakin “deras.” Upaya ini sebagai langkah
mengajak masyarakat untuk ikut menentukan
masa depan Indonesia dengan cara memilih
kandidat secara benar pada Pilpres 2014. Saat
kampanye para capres biasanya menyampaikan
janji-janji yang seringkali terlupakan ketika
sudah menjadi Presiden. Jelang Pilpres 2014
tim sukses dari kandidat presiden tertentu
bukan mustahil memberi iming-iming agar
memilih kandidat yang diusungnya. Kedua,
tulisan ini juga ingin menggugah kesadaran
masyarakat soal pentingnya Indonesia berperan
dalam isu-isu global. Isu-isu global ke depan
berkembang semakin kompleks sehingga setiap
negara semakin sengit dalam memperjuangkan
kepentingannya. Dalam konteks ini lah,
kandidat presiden yang memiliki kepedulian
dan kapabilitas dalam mengelola kepentingan
nasional dan isu-isu global dipandang memiliki
nilai tambah dalam Pilpres 2014 jadi patut
memperoleh dukungan.
Fokus tulisan ini adalah masalah
momentum Pilpres 2014 yang berlangsung
di tengah krisis kepemimpinan nasional,
sementara itu tantangan globalisme makin berat
dan kompleks. Pilpres 2014 merupakan momen
yang sulit bagi masyarakat Indonesia untuk
menentukan pilihanya karena tidak banyak
pilihan capres yang potensial untuk menjawab
tantangan globalisasi. Capres yang akan tampil
diragukan kemampuan untuk mengelola
kekuatan nasional menjadi jawaban atas isu-isu
global. Pengalaman Pilpres sebelumnya tidak
banyak capres yang punya kapabilitas untuk bisa
berkiprah pada forum global maupun regional,
di lain pihak tantangan global ke depan semakin
berat dan kompleks bahkan bisa mengancam
eksistensi Indonesia jika tidak memperoleh
penanganan secara benar.
Konsep Kepemimpinan “Barat”
Dan “Timur”
Dalam mazhab Realis, masalah kepemimpinan
dilihat sebagai salah satu dari elemen kekuatan
nasional (element of national power) yang
keberadaannya dipandang strategis. Kualitas
kepemimpinan nasional dipandang punya
korelasi dengan kekuatan nasional suatu
negara. Kemampuan seorang pemimpin
dalam melakukan inovasi teknologi dan
mengembangkan strategi, khususnya strategi
2 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
militer sangat menentukan kekuatan nasional
suatu negara. Seorang pemimpin yang punya
keunggulan dalam kedua aspek tersebut punya
peluang lebih besar untuk memainkan peran
melalui negaranya dalam pentas internasional,
sebaliknya seorang pemimpin yang tidak punya
kedua ciri atau kepribadian di atas tidak bisa
diharapkan banyak untuk dapat berkiprah dalam
pentas internasional yang penuh ketidakpastian
dan terkadang anarkis.
Realisme politik memformulasikan prinsip
kepemimpinan bahwa seorang pemimpin yang
ideal itu memiliki kombinasi dua sifat yakni
berkarakter kuat dan cerdik. Pandangan ini
merujuk pada buah pikiran Machiavelli yang
mengembangkan ajarannya bahwa seorang
pemimpin itu hendaknya punya kombinasi
antara sifat-sifat singa dan serigala sehinga
negaranya disegani oleh kawan dan ditakuti
oleh lawan. Dalam sejarah Eropa, Prusia
di bawah pimpinan Frederick yang Agung
merupakan negara adidaya yang mengimbangi
negara adidaya lainya, seperti: Prancis, Inggris,
dan Rusia. Kepemimpinan ini dipandang ideal
oleh kaum Realis karena negara mencerminkan
kekuatan dan kecerdasan. Negara ini mampu
mengembangkan
kemampuan
tempur
pasukannya dan teknologi militer. Dalam
sejarah kepemimpinan Indonesia, Sukarno dan
Suharto juga cukup disegani dan ditakuti di
Asia Tenggara karena keduanya punya karakter
seperti yang diisyaratkan oleh Realisme
politik yaitu kuat dan cerdas. Jadi, pesan yang
bisa diambil sebuah negara jika ingin punya
kontribusi penting dalam politik global perlu
dipimpin oleh seorang Presiden yang punya
watak kuat dan cerdas.
Disamping itu, Ki Hajar Dewantara
menyampaikan
pandangannya
tentang
kepemimpinan.
Beliau
membagi
tiga
kemampuan yang perlu di miliki seorang
pemimpin, yaitu: Ing ngarsa sung tuladha
(mampu memberi contoh yang baik), Ing madya
mangun karsa (mampu memberi motivasi guna
mencapai tujuan), dan Tut wuri handayani
(mampu memberi arahan kepada bawahan).1
Konsep kepemimpinan Ki Hajar Dewantara
mengandung beberapa butir gagasan. Dalam hal
ini, gagasan tentang ketauladanan atau moral,
motivasi, dan kontrol. Ketiga butir pemikiran
beliau sangat mendasar, sederhana, tetapi
cukup mewadahi aspek-aspek penting dari
manajemen kepemimpinan. Bahkan, gagasan
ini disampaikan sudah beberapa dasawarsa
yang lalu, tetapi tidak kalah dengan ide-ide
kepemimpinan atau manajemen modern yang
disampaikan oleh pakar-pakar dari “Barat.”
Konsep tersebut masih relevan untuk menjawab
masalah-masalah yang terkait dengan aspek
kepemimpinan dari organisasi modern karena
pada hakekatnya pemikiran Ki Hajar Dewantara
merupakan inti dari manajemen kepemimpinan
dalam sebuah organisasi. Konsep kepemimpinan
Ki Hajar Dewantara dipandang sebagai konsep
yang melengkapi model kepemimpinan
“Barat.” Konsep kepemimpinan disampaikan
oleh Realisme Politik mengutamakan kekuatan
dan kecerdasan, ciri ini sesuai dengan nilai-nilai
yang memang dianut oleh ilmuwan “Barat”.
Konsep ini dikombinasikan dengan konsep
kepemimpinan Ki Hajar Dewantara yang lebih
mengedepankan moral dan ketauladanan dan
berasal dari “Timur.”
Pada dasarnya ketiga butir kepemimpinan
di atas merupakan aspek kunci dalam manajemen
kepemimpinan. Seorang pemimpin yang baik
harus punya moral dalam arti memberi contoh
perbuatan yang baik dan menjaga perilakunya
agar selaras dengan moral dan etika. Seorang
pemimpin juga harus memotivasi bawahannya
agar bertindak sesuai dengan fungsi-fungsi
yang diembannya. Dalam memberi motivasi
juga memperhatikan moral atau etika sehingga
bisa diterima dengan baik oleh bawahannya.
Akhirnya seorang pemimpin juga harus
mengawasi seluruh fungsi-fungsi organisasi
yang berada di bawah tanggungjawabnya.
Pengawasan ini dilakukan agar fungsi-fungsi
organisasi yang dilakukan oleh bawahan
dipastikan berjalan dengan baik atau sesuai
dengan kaedah-kaedah organisasi. Yang juga
perlu diperhatikan bahwa dalam melakukan
kontrol juga memperhatikan etika atau moral
yang berlaku agar fungsi pengawasan dapat
diterima dengan baik oleh bawahan dan
dilaksanakan dengan rasa penuh tanggungjawab
dan rasa hormat kepada pimpinannya.
Aulia Rachma, Kepemimpinan Ideal menurut Ki
Hajar Dewantara, www.kompasiana.com, 2012,
diakses pada tanggal 7 Mei 2013.
1
Sosok Presiden Ideal ... | Siswanto | 3
Kepemimpinan Presiden-Presiden
Indonesia di Tengah Tantangan
Global
Berikut ini dipaparkan catatan tentang PresidenPresiden Indonesia di tengah tantangan global.
Dalam konteks tantangan global ini tentu saja
isunya berbeda dari Presiden yang satu dengan
yang lainnya. Setiap Presiden punya tantangan
yang harus yang dihadapi sesuai dengan
jamannya.
1. Sukarno di Era Orde Lama
Sukarno menghadapi tantangan global pada
jamannya sendiri. Saat itu Sukarno berusaha
menghindari untuk tidak terjebak ke dalam
konflik global antara blok “Barat” melawan
blok “Timur” atau menegakkan prinsip bebas
aktif. Sukarno berusaha menegakkan prinsip
bebas aktif di tengah-tengah tarikan pengaruh
global Soviet dan Amerika Serikat (AS). Oleh
karena itu, Sukarno bergabung dengan gerakan
Non-Blok. Sebuah perkumpulan negara-negara
berkembang yang ingin punya posisi politik
sendiri di luar Blok “Barat” dan Blok “Timur.”
Dengan kata lain, ini suatu gabungan negaranegara yang tidak ingin terlibat dalam konflik
global yang sedang terjadi saat itu. Tambahan
lagi, Indonesia punya posisi geo-politik strategis.
Indonesia berada di antara benua Australia dan
Asia, serta terbentang antara Samudra Pasifik
dan Hindia. Konsekuensinya posisi geografis
Indonesia menjadi jalur transportasi lalu lintas
dunia yang punya nilai strategis bagi negaranegara besar seperti Soviet dan AS.
Sukarno punya peran membangun
solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika. Sukarno
menggunakan solidaritas ini untuk perjuangan
dekolonisasi. Seperti diketahui, saat itu masih
ada sejumlah negara di Asia dan Afrika yang
punya masalah dengan kolonialisme, termasuk
Indonesia yang sedang memperjuangkan
pembebasan Irian Barat yang dipandang oleh
Sukarno sebagai upaya melawan sisa-sisa
kolonialisme Belanda di Indonesia. Sukarno
diterima sebagai pemimpin di kedua kawasan
ini. Beberapa negara di Afrika mengabadikan
nama Sukarno untuk berbagai hal, sebagai rasa
simpatik rakyat negara tersebut kepada Sukarno.
Salah satu peristiwa penting yang dilakukan
Indonesia saat itu adalah diselenggarakannya
Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun
1955. Acara ini dihadiri oleh sejumlah Kepala
Negara dari kedua kawasan itu. Boleh dikatakan
ini sebagai puncak dari keberhasilan Presiden
Sukarno dan Perdana Menteri Ali Satroamidjojo
membangun solidaritas negara-negara AsiaAfrika yang bermuara kepada lahirnya gerakan
Non-Blok.
Kepentingan nasional Indonesia yang
diperjuangkan oleh Sukarno di tengah sengitnya
konflik global saat itu adalah mengembalikan
Irian Barat. Diplomasi panjang Presiden
Sukarno, Menteri Luar Negeri Subandrio dan
sejumlah diplomat ulung akhirnya berhasil
mengembalikan Irian Barat dari kekuasaan
Belanda. Belanda mengulur-ulur perundingan
Irian Barat. Belanda-Indonesia melakukan
perundingan Irian Barat sejak tahun 1950, tetapi
selalu gagal di tengah jalan. Sengketa ini dengan
keterlibatan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
dan AS dapat diselesaikan melalui Perjanjian
New York tahun 1962 yang dilanjutkan dengan
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) atau
referendum tahun 1969. Sukarno tidak terseret
oleh arus konflik global “Barat” melawan
“Timur”, tetapi justru berhasil memanfaatkan
konflik global itu untuk kepentingan nasional
Indonesia yaitu mengembalikan Irian Barat.
Dalam hal ini, Sukarno mendatangi AS maupun
Soviet untuk menggalang dukungan politik dan
militer melawan Belanda dalam sengketa Irian
Barat.
2. Suharto di Era Orde Baru
Tantangan yang dihadapi Suharto adalah
mewujudkan pembangunan nasional. Suharto
ingin fokus melakukan pembangunan ekonomi.
Upaya ini berkaitan dengan situasi dimana
Suharto tampil menjadi presiden di saat
ekonomi Indonesia berantakan. Oleh karena itu,
Indonesia mengundang modal asing sebanyakbanyaknya untuk masuk ke Indonesia guna
menjadi “motor” penggerak perekonomian
nasional. Hal ini membuahkan hasil yaitu
terbentuknya Inter Governmental Group in
Indonesia (IGGI), suatu kelompok negaranegara pemberi pinjaman kepada Indonesia,
akhirnya forum ini dibubarkan sendiri oleh
dan diganti menjadi Consultation Group in
Indonesia (CGI) karena saat itu pihak Belanda
sebagai negara koordinator dinilai oleh Suharto
terlalu intervensi soal dalam negeri Indonesia.
Pembangunan nasional memerlukan lingkungan
4 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
regional yang kondusif. Indonesia dapat
melakukan pembangunan nasional dengan baik
jika didukung lingkungan tetangga yang stabil
dan damai sehingga Suharto aktif membentuk
perhimpunan negara-negara Asia Tenggara
yaitu ASEAN tahun 1967.
Suharto dinilai punya andil besar dalam
terbentuknya ASEAN. Suharto seperti dikatakan
di atas berkepentingan kawasan Asia Tengara
yang damai dan stabil. Seperti diketahui bahwa
pada masa itu Asia Tenggara diganggu oleh
konflik Indocina. Sebenarnya, upaya ini tidak
lepas dari skenario AS, ASEAN dibangun untuk
membendung meluasnya pengaruh komunisme
dari Indocina. Ide ASEAN disampaikan oleh
Kennedy untuk mengimbangi komunisme
di Indocina jadi Suharto dalam hal ini hanya
melaksanakan gagasan Kennedy yang kebetulan
cocok dengan keinginannya. Untuk mendapatkan
dukungan negara tentangga atas keinginannya
itu, Suharto mengakhiri konflik Indonesia
dengan Malaysia. Mengingat di masa Sukarno
Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia yang
ditandai dengan slogan Sukarno yang terkenal
“ganyang Malaysia” (serbu Malaysia). Suharto
mengirim pembantu dekatnya seperti Amir
Mahmud untuk mempersiapkan perdamaian
dengan Malaysia. dan disambut baik oleh
pemimpin negara tersebut.
Kepentingan nasional Indonesia di era
Suharto adalah meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, dalam konteks Pembangunan Lima
Tahun (Pelita). Pembangunan di sini dibedakan
menjadi pembangunan material yang dicapai
melalui program kerja sama dengan negara
maju di bidang: perdagangan, investasi,
dan
pengembangan industri, berikutnya
pembangunan
spiritual
yang
meliputi
upaya membangun dan mempertahankan;
kemandirian, kedaulatan, kemerdekaan, budaya
nasional dan nilai-nilai tradisional.2 Dalam hal
ini, pembangunan nasional diformulasikan
dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN). Haluan negara ini berfungsi memberi
arah kepada kebijakan nasional selama lima
tahun3, agar kebijakan nasional yang dipilih dan
dilakukan sejalan dengan arah pembangunan
Gordon Hein, “Basic Principal of Indonesia Foreign
Policy,” dalam Soeharto’s Foreign Policy: SecondGeneration Nationalism in Indonesia, (Berkeley:
Department of Political Science, University of
California, 1986), hlm. 4.
3
Ibid., hlm. 8.
2
nasional yang dimaksud.
3. B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid,
Megawati Soekarnoputri dan Susilo
Bambang Yudhoyono di Era Orde
Reformasi
Adapun tantangan global yang dihadapi PresidenPresiden Indonesia di era reformasi adalah
melawan radikalisme atau terorisme. Sejumlah
umat Islam Indonesia sengaja pergi ke daerah
konflik seperti: Afganistan, Mindanao (Filipina
Selatan), Palestina, Pakistan. Kepergian mereka
ada yang bermotif politik/militer dan adapula
yang bermotif kemanusiaan. Setelah pulang ke
Indonesia, sebagian dari mereka memanfaatkan
pengalamannya militernya di luar negeri sesuai
dengan kepentingannya. Kondisi sosial politik,
sosial ekonomi, dan sosial budaya, di tanah air
dalam pemahaman mereka merugikan umat
Islam. Pengalaman batin selama di daerah
konflik mendorong sikap anti AS karena
dinilai bertanggungjawab atas kesengsaraan
umat Islam, sebaliknya timbul empati kepada
umat Islam di daerah konflik. Situasi kejiwaan
yang tidak puas dan marah ini memperoleh
dukungan dari luar negeri misalnya dari ahli
perancang bom Malaysia yaitu Dr. Azhari
dan dan ahli indoktrinasi bernama Nurdin M.
Top. Akibatnya, terjadi aksi teror di Indonesia
dengan kuantitas dan kualitas daya hancur yang
tinggi yaitu mulai dari aksi bom Bali sampai
dengan aksi-aksi bom di Jakarta.
Pemerintah merespon aksi teror ini dengan
mendirikan Densus 88 anti terror. Densus 88
dibentuk untuk mengkonter aksi teror dan
mendeteksi sel-sel terorisme di masyarakat.
Dengan kelebihan dan kekurangannya, Densus
88 cukup berhasil melakukan misinya karena bisa
melumpuhkan Dr. Azhari dan Nurdin M. Top,
walaupun ini bukan sama sekali menghilangkan
teror di Indonesia. Pemerintah Indonesia juga
memberi hukuman berat bagi pelaku teror yaitu
hukuman mati dikenakan bagi Imam Samudra
dan Amrozi. Sayangnya langkah-langkah tegas
Pemerintah Indonesia berhasil mengurangi aksi
teror di Indonesia, tetapi tidak menghilangkan
akar persoalan sama sekali karena masih ada
aksi-aksi teror oleh jaringan teror baru.
Kepentingan nasional Indonesia di era
reformasi ini adalah pemulihan ekonomi
nasional dan mengamankan serta melindungi
Sosok Presiden Ideal ... | Siswanto | 5
masyarakat dari terorisme. Presiden Habibie
mencoba mengembangkan kerja sama ekonomi
dengan Eropa khususnya dengan Jerman.
Habibie menghidupkan kembali forum kerja
sama ekonomi Indonesia-Jerman (ECONID)
yang sebenarnya sudah ada sejak era kolonial.
Upaya ini mendorong ECONID cukup marak
kegiatannya karena Presiden pertama di era
reformasi ini punya nama yang harum di
Eropa khususnya di Jerman. Dia seorang ahli
konstruksi pesawat terbang cukup menonjol di
Eropa khususnya di Jerman. Habibie berhasil
mendekatkan hubungan Indonesia-Jerman,
sayangnya hal ini tidak berlanjut terus setelah
beliau turun dari jabatan Presiden Indonesia.
Sedangkan
Presiden
Abdurrahman
Wahid atau Gus Dur masa kepemimpinannya
banyak dilakukan untuk melakukan diplomasi
global untuk perbaikan ekonomi. Ini sebagai
upaya memberi informasi kepada dunia
tentang keadaan sosial ekonomi dan politik
Indonesia yang terbaru karena reformasi di
Indonesia banyak mendapat sorotan masyarakat
internasional. Langkah Gus Dur ini juga untuk
menarik investor dan kerja sama ekonomi
dengan negara lain. Indonesia sebagai negara
yang sedang melakukan pemulihan ekonomi
memerlukan investor asing sebanyak mungkin.
Kecenderungan ini akhirnya membuat para
investor memang banyak yang menanamkan
modalnya di Indonesia walaupun iklim investasi
disini sebenarnya tidak begitu menguntungkan,
karena masih ada kesan birokrasi dan regulasi
di Indonesia belum siap untuk memikat investor
asing agar menanamkan modalnya disini.
Untuk mengimbangi kondisi yang demikian
atau kondisi yang tidak menarik bagi investor,
dibuatlah kebijakan liberalisme ekonomi.
Kebijakan ini berdampak kepada lahirnya
kelonggaran-kelonggaran kepada investor asing
sehingga menimbulkan kritik di masyarakat
bahwa Indonesia sekarang sudah terjebak pada
rejim Neo-Liberalisme, yang lebih banyak
menguntungkan investor asing.
Pada tahun 2003 Presiden Megawati dan
Presiden Bush menandatangani perjanjian
kerjasama anti teror di Bali. Dalam pandangan
AS, Indonesia adalah negara yang rawan
dengan aksi terorisme karena beberapa ledakan
bom terjadi di Indonesia misalnya Bom Bali
tahun 20024 dan peristiwa bom lainnya di
Hermawan Sulistyo, Bom Bali: Buku Putih
tidak resmi Investigasi Teror Bom Bali, (Jakarta:
4
Jakarta maupun tempat-tempat lain. Pemerintah
Indonesia dan AS punya kesamaan kepentingan
untuk bekerja sama mengeliminir terorisme
di Indonesia dan di dunia. Terorisme telah
mengancam kelangsungan hidup masyarakat
internasional sehingga perlu diatasi dengan
segera dan bersama-sama. AS menetapkan
Doktrin Bush sebagai rujukan untuk
menghadapi terorisme. Yang salah satu butirnya
adalah melumpuhkan lawan (teroris) terlebih
dahulu sebelum mereka sempat menyerang,
ini diterapkan ke Irak karena dicurigai negara
ini punya kerja sama dengan jaringan teroris,5
tetapi pada periode kedua kepemimpinan
Presiden Bush terjadi perubahan kebijakan
counter of terror dari represif menjadi persuasif.
Pemerintah AS-Indonesia melakukan kerja
sama karena keduanya punya kepentingan yang
sama dalam soal terorisme. AS punya kebijakan
menanggulangi teroris, demikian pula Indonesia.
Akhirnya, keduanya membangun kerja sama
penanggulangan teroris yang dilakukan dalam
bentuk saling tukar informasi dan pengalaman.
Sedangkan, Presiden SBY berupaya
meningkatkan hubungan bilateral Indonesia-AS
yang ditandai oleh penandatanganan perjanjian
Kemitraan Komprehensif (Comprehensive
Partnership) tahun 2011. Perjanjian ini berisi
sejumlah prinsip yang mengatur kerja sama
di bidang perdagangan, investasi, lingkungan
hidup,
pendidikan,
ilmu
pengetahuan,
keamanan, energi, dan politik. Perjanjian ini
sangat luas cakupannya sesuai dengan “Payung
Kerjasama” yang melingkupinya, tetapi bidang
yang sudah mulai digarap adalah pendidikan,
lingkungan hidup, keamanan, dan politik. Hal
ini bisa dilihat dari kunjungan kapal perang AS
ke Surabaya yang diisi dengan bantuan medis
oleh awak kapal perang AS tersebut kepada
masyarakat kurang mampu. Perjanjian ini
mendorong Indonesia dan AS untuk sama-sama
membangun stabilitas, keamanan, dan politik di
Asia-Pasifik. Baik AS maupun Indonesia punya
kepentingan yang sama untuk mewujudkan hal
di atas. Bagi Indonesia kawasan yang aman
penting bagi terlaksananya pembangunan
nasional yang berkelanjutan, sedangkan bagi
Pensil-324, 2002), hlm. 58.
5
“The Bush Doctrine: The Iraq War may only be the
Beginning of One an Ambition American strategy to
confront dangerous rejimes and expand Democracy
in the world,” http://www.crf-usa.org/war-in-iraq/
bush-doctrine.html, diakses pada tanggal 11 Juni
2013.
6 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
AS kawasan yang aman penting untuk menjaga
kepentingan jalur transportasi lautnya dan
kepentingan ekonominya. Langkah-langkah ini
bisa dilihat dari diselenggarakannya Jakarta
Open Forum sejak tahun 2012 baik di Jakarta
maupun di Washington DC. Acara ini semacam
seri diskusi yang dihadiri pejabat dari AS dan
masyarakat Indonesia untuk mendiskusikan
berbagai isu strategis khususnya yang berada
dalam tema payung Kemitraan Komprehensif.
Demokrasi dan Kepemimpinan
Nasional
Bursa Capres untuk Pilpres pada 9 Juli 2014
pada awalnya banyak dan dari beragam
profesi, tetapi akhirnya hanya dua pasang calon
Presiden dan Wakil Presiden yang berhasil lolos
ikut Pilpres. Dua pasang capres dan cawapres
itu adalah Prabowo Subianto/Hatta Rajasa dan
Joko Widodo/Jusuf Kalla.
1. Capres dan Demokrasi
Indonesia membuka kesempatan bagi semua
warga negara untuk menjadi pemimpin nasional
sejauh memenuhi ketentuan. Oleh karena,
itu pada awalnya begitu banyak tokoh yang
dicalonkan menjadi capres. P2P-LIPI melakukan
survei pada bulan Mei 2013 untuk mengetahui
potensi para capres tersebut. Hasil survei
menunjukan dalam kategori tokoh popular,
Rhoma Irama berada diurutan ke-3 dengan
perolehan suara 89,2% dari yang tertinggi
93,2% yaitu Ketua Umum PDI-P Megawati,
tetapi begitu masuk kategori elektabilitas tokoh,
Rhoma Irama hanya mencapai urutan ke-6
dengan angka capaian 3.5 dari yang tertinggi
22.6 yaitu kader PDI-P Joko Widodo.
Setelah mengerucut hanya ada dua capres/
cawapres, banyak tokoh dan partai politik
melakukan perubahan strategi; semula partai itu
mengusung kadernya sendiri, tetapi akhirnya
mendukung tokoh dari partai lain. PKS,
PAN, dan Golkar pada awalnya mencalonkan
kadernya sendiri menjadi Presiden, tetapi
akhirnya hanya mendukung Prabowo. PAN
berhasil mengantar kadernya, Hatta Rajasa,
menjadi cawapres mendampingi Prabowo.
PPP sejak awal tidak mencalonkan kadernya
menjadi Presiden, sempat mengalami konflik
internal, tetapi akhirnya mendukung Prabowo.
Sejak awal, Partai Nasdem tidak terlalu jelas
posisinya dalam bursa Pilpres 2014, dalam hal
mencalonkan kadernya atau tidak, sedangkan
di PKB berkembang isu mencalonkan Rhoma
Irama, Mahmud MD dan Jusuf Kalla. Akhirnya
Partai Nasdem mengusung Jusuf Kalla menjadi
cawapres mendampingi Joko Widodo.
Menjelang Pemilu, Presidential Threshold
(PT) atau syarat minimum pencalonan Presiden
menjadi polemik. PT menurut UU Pilpres yang
berlaku adalah 20% dari komposisi kursi di
DPR atau 25% suara sah nasional. PT ditolak
oleh partai-partai kecil seperti Partai Hanura,
PKS, Gerindra, PPP, dan PBB. Mereka sepakat
mendukung revisi UU Pilpres, sebaliknya
partai-partai besar menolak UU Pilpres seperti:
PDI-P, Golkar, PAN, PKB, dan Demokrat.6
Bagi partai kecil, keberadan PT merupakan
kebijakan inkonstitusional karena bertentangan
dengan pasal 6 a UUD 1945 yang menyatakan
bahwa partai politik peserta pemilu berhak
mengajukan Presiden dan calon presiden.
Dalam upaya hukum, Partai Bulan Bintang
melalui Yusril Ihza Mahendra mengajukan
judicial review terhadap pasal 3, 9, 14, 112 UU
No. 42/2008 tentang Pilpres,7 tetapi pada 20
Maret 2014 MK melalui diktumnya menolak
upaya hukum tersebut. Dengan demikian, PT
tetap berlaku seperti semula. (Lihat Tabel 1).
Pada Pileg 9 April 2014 tidak ada satu
partai pun yang mencapai angka Presidential
Threshold. PDI-P sebagai partai yang berhasil
meraih suara terbanyak berkoalisi dengan
partai-partai lain guna menyukseskan capres/
cawapresnya yaitu Joko Widodo dan Jusuf
Kalla. Sedangkan, Golkar partai yang
memperoleh suara terbanyak kedua bergabung
dengan Gerindra untuk mendukung capres/
cawapres dari partai ini yaitu Prabowo Subianto
dan Hatta Rajasa.
2.Kriteria Kepemimpinan
Masyarakat perlu menyandingkan capres Pilpres
Jamal Wiwoho, “Presidential Threshold: ya atau
tolak, http://www.koran-sindo.com/node/333149,
diakses pada tanggal 13 Juni 2013.
7
Desk Informasi, “Tolak Batalkan Presidential
Threshold, Ketua MK: Diktum Gugatan Yusril tidak
tepat”, http://www.setkab.go.id/berita-12511-tolakbatalkan-presidential-threshold-ketua-mk-diktumgugatan-yusril-tidak-tepat.html,
diakses
pada
tanggal 13 Juni 2013.
6
Sosok Presiden Ideal ... | Siswanto | 7
Tabel 1. Rekapitulasi Jumlah Perolehan Suara Parpol dan Kursi di DPR dalam Pemilu Legislatif 20148
Sumber: Keputusan KPU No. 411/Kpts/KPU/2014
2014 dengan konsep kepemimpinan yang ada
pada bagian sebelumnya. Jika Indonesia ingin
mampu menjawab tantangan global, capres
yang dipilih sebaiknya punya watak dan nilainilai yang mencerminkan seorang pemimpin
yang kuat dan cerdas seperti yang terkandung
dalam paham pemikiran yang dianut oleh kaum
Realis. Pada waktu yang bersamaan capres
yang bersangkutan juga mampu memberi
ketauladanan yang baik atau memperhatikan
aspek-aspek norma dan etika yang berlaku di
masyarakat, seperti yang disampaikan oleh
Ki Hajar Dewantara. Selain dari itu, dia juga
mampu memberi motivasi kepada bawahannya
bahkan memberi motivasi kepada rakyat
Indonesia maupun masyarakat internasional.8
Capres yang relevan tampil berdasarkan
kriteria di atas adalah capres yang mampu
memimpin dengan efektif sehingga punya
dukungan luas secara nasional. Kepemimpinan
demikian bisa terlaksana jika ada watak yang
tegas, kuat, berwibawa, dan punya rekam jejak
yang baik, artinya tidak pernah melanggar
hukum maupun norma. Terkesan kriteria ini
hanya menjaring capres yang terlalu ideal,
tetapi capres yang demikian memang yang
paling tepat untuk memimpin Indonesia ke
Keputusan KPU No. 411/Kpts/KPU/2014 tentang
Rekapitulasi Hasil Pemilu anggota DPR, DPD,
DPRD tk. I, DPRD tk II dalam Pemilu 2014, http://
www.kpu.go.id/koleksigambar/952014_Penetapan_
Hasil_Pileg.pdf, diakses pada tanggal 12 Juni 2013.
8
depan. Partai politik seharusnya memberi
jalan kepada tokoh-tokoh yang punya kriteria
demikian.
Bahkan
partai-partai
politik
seharusnya berupaya mencari tokoh-tohoh yang
punya kriteria demikian untuk diusung menjadi
capresnya. Sayangnya tokoh-tokoh yang punya
criteria demikian justru tidak terpanggil untuk
terjun ke bursa capres dalam Pilpres mendatang.
Jika tampil capres yang punya
kepemimpinan efektif maka capres bersangkutan
jika terpilih mampu memimpin kawasan yang
melingkupi Indonesia atau kawasan terdekat.
Capres tersebut jika menjadi Presiden Indonesia
mampu memimpin negara-negara di kawasan
terdekat khususnya ASEAN karena Indonesia
secara tradisional menjadi pemimpin dari
organisasi regional yang sudah berdiri sejak
tahun 1967 ini.
Konsekuensinya, capres itu juga punya
kemampuan memimpin di tingkat global,
walaupun ini tidak mudah karena masih perlu
memperhitungkan kekuatan nasional. Indonesia
saat ini sudah menjadi bagian dari organisasi di
tingkat global seperti G-20, Gerakan Non Blok,
PBB dengan sejumlah sub organisasi yang
berada di bawahnya yaitu: WHO (World Health
Organization),
ILO (International Labour
Organization), FAO (Food and Agriculture
Organization), UNESCO (United Nations
Education Scientific and Cultural Organization),
IMF (International Monetary Fund), WFP
8 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
(World Food Programme), WHO (World Health
Organization), IMO (International Maritime
Oranization), dan IAEA (International Atomic
Energy Organization).9
Pemimpin yang Mampu Menjawab
Tantangan Global
Capres dalam Pilpres 2014 punya tantangan di
tingkat regional maupun global. Kemampuan
diplomasi sangat penting untuk menjawab
tantangan tersebut. Oleh karena itu, kemampuan
diplomasi ini ada baiknya menjadi salah satu
pertimbangan dalam menentukan pilihan dalam
Pilpres tersebut.
1. Diplomasi Global dan Regional
Di era globalisasi, kepala negara yang punya
kemampuan diplomasi menguntungkan negara
tersebut dalam interaksinya di dalam sistem
internasional. Posisi seorang kepala negara
adalah strategis. Kepala negara lebih berkuasa,
dibandingkan Menteri Luar Negeri atau para
diplomat. Komunikasi langsung yang dilakukan
kepala negara lebih efektif mempengaruhi arah
kebijakan luar negeri. Sejumlah forum jadi ajang
diplomasi. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
merupakan ajang perjuangan kepentingan
nasional suatu negara, misalnya saja KTT
ASEAN, KTT G-20, KTT APEC, KTT NonBlok. Kecakapan diplomasi kepala negara di
forum internasional sangat menentukan upaya
memperjuangkan kepentingan nasionalnya
atau menjadi ukuran pengaruh negara yang
bersangkutan.
Jika Indonesia ingin punya kontribusi
atas tantangan global, kemampuan diplomasi
seorang Presiden sangat diperlukan. Sehubungan
dengan hal itu, capres Pilpres 2014 idealnya
punya kemampuan diplomasi di forum global.
Bagaimana mungkin Indonesia bisa menjawab
tantangan global jika pemimpinnya tidak punya
kemampuan diplomasi yang memadai. Oleh
karena itu, capres dalam Pilpres 2014 mendatang
hendaknya punya kemampuan bernegosiasi
dengan pihak lain. Memang sesuatu yang tidak
mudah untuk mengukur dan mengetahui calon
yang punya kemampuan di bidang itu. Oleh
Structure and Organization UNO”, http://www.
un.org/en/aboutun/structure/index.shtml,
diakses
pada tanggal 13 Juni 2013.
9
karena itu, masyarakat perlu menyuarakan hal
ini sejak jauh-jauh hari sebelum Pilpres 2014
agar capres yang tampil kelak punya kriteria
yang diharapkan seperti tersebut di atas. Capres
tersebut juga diisyaratkan punya pengalaman
dalam masalah-masalah atau tantangan global.
Dengan pengalaman, capres yang bersangkutan
jika kelak terpilih menjadi Presiden Indonesia
dan berada di tengah-tengah forum internasional
sudah tidak canggung lagi, bahkan sudah lebih
mudah untuk ikut menyelesaikan masalahmasalah global, khususnya yang menyangkut
kepentingan nasional Indonesia. Jadi, Presiden
terpilih bisa memberi kontribusi nyata kepada
tantangan global dan regional.
2. Kepentingan Nasional Versus
Kepentingan Global
Banyak negara di dunia punya kepentingan di
Indonesia dan sekitarnya. Kategori kepentingan
itu bisa dalam kategori kepentingan politik,
keamanan, ekonomi dan lainnya. Dari segi
ekonomi, Indonesia negara yang kaya dengan
sumberdaya alam sehingga negara lain punya
kepentingan di Indonesia. Negara, seperti Jepang
dan Cina, sangat berkepentingan untuk membeli
gas alam cair dari Indonesia. Jumlah penduduk
Indonesia yang padat membuat Cina mendekati
Indonesia karena punya kepentingan pasar
untuk produk-produk industrinya. Selanjutnya,
AS punya kepentingan keamanan di wilayah
Indonesia dan sekitarnya. AS perlu akses untuk
dapat melewati wilayah perairan Indonesia bagi
jalur transportasi kapal-kapal perangnya yang
melakukan perjalanan antara Samudra Pasifik
dan Samudra Hindia. Selat Lombok dan Selat
Karimata merupakan jalur pelayaran yang kerap
digunakan oleh kapal-kapal AS.
Sebaliknya, Indonesia juga punya
kepentingan nasional yang perlu dikawal dan
diperjuangkan di forum internasional. Di bidang
ekonomi, Indonesia berkepentingan menjaga
pasar bagi produk industri dalam negerinya agar
tidak gulung tikar karena tak mampu bersaing
dengan produk-produk Cina. Namun demikian,
Indonesia sebagai anggota ASEAN sudah
menandatangani kesepakatan perdagangan
bebas dengan Cina atau CAFTA (CinaASEAN Free Trade Area). Penandatanganan
ini dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
dengan tidak dilakukan kajian yang mendalam
dan mendengar pendapat dari industri kecil
Sosok Presiden Ideal ... | Siswanto | 9
dan menengah terlebih dahulu. Produk Cina
membanjiri pasar Indonesia yang terdiri dari
beragam produk: ikat pinggang, alat tulis kantor,
senter, perkakas rumah tangga, kosmetik, obatobatan, mie instan, sampai dengan mainan
anak-anak. Hal ini membuat industri yang
menghasilkan produk serupa di Indonesia tak
mampu bersaing karena produk Cina harganya
lebih murah. Industri kecil di Cina bisa menekan
ongkos produksinya karena adanya dukungan
signifikan dari pemerintahnya di sektor
permodalan maupun pemasaran, sedangkan
pemerintah Indonesia bersikap sebaliknya
yaitu tidak memberi dukungan yang signifikan
kepada industri kecil dan menengah, baik dari
segi permodalan maupun pemasaran. Sikap
Cina memproteksi industri kecil dan implisit
menutup impor sudah jadi rahasia umum. AS
sering memprotes kebijakan pemerintah Cina
ini karena membuat neraca perdagangannya
rugi, sedangkan pemerintah Indonesia diam
saja, seolah-olah memberi kesempatan kepada
produk Cina untuk menguasai pasar Indonesia
dan menonton industri kecilnya bangkrut
satu persatu. Ini dilakukan agar terkesan
Indonesia adalah negara yang konsisten dengan
perdagangan bebas, sebaliknya tidak perduli
dengan nasib industri kecilnya yang “menjerit”.
Fenomena di atas menggambarkan bahwa
industri kecil menjadi korban dari konflik
kepentingan ekonomi. Pemerintah Indonesia,
dalam hal ini Presiden SBY sebagai puncak
pimpinan nasional tidak berusaha melindungi
industri kecil dan menengah di dalam negeri
dengan sungguh-sungguh. Kesulitan yang
dialami industri kecil dan menengah tidak terjadi
jika pemerintah dalam hal ini Presiden bersikap
tegas melalui Kemenperindag Indonesia.
Pemerintah melindungi pengusaha kecil dan
menengah tertent dan memang layak diberi
proteksi, karena ini memang dimungkinkan
dalam ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA).
Sikap tidak tegas dan ingin mendapat pencitraan
di dunia internasional merugikan industri
kecil dan menengah dalam negeri Indonesia,
sebaliknya menguntungkan pihak asing (Cina).
Pertanyaan kritisnya, mengapa harus mentolerir
pihak asing dan mengorbankan rakyat sendiri?,
bukankah, filosofinya pemimpin itu melindungi
rakyatnya?.
3. Manajemen Keseimbangan
Kepentingan
Tantangan yang dihadapi oleh Presiden Indonesia
di masa depan adalah mengelola konflik dan
menjaga keseimbangan antara kepentingan
nasional dan kepentingan global. Seorang
Presiden perlu menyadari bahwa kepentingan
nasional tetap prioritas, tetapi tetap menghormati
kepentingan pihak lain. Kesadaran semacam ini
diperlukan di saat Indonesia dihadapkan pada
perbedaan kepentingan atau konflik kepentingan
dengan kepentingan global. Faktanya, saat ini
pemerintah Indonesia seringkali bersikap lemah
jika dihadapkan pada desakan kepentingan
global atau regional. Lihat saja sikap Indonesia
dalam isu perdagangan bebas dan hak paten di
WTO dan pasar bebas ASEAN-Cina (ACFTA).
Sebagai pembanding, Cina adalah negara yang
cerdik, di forum WTO negara ini tidak mau patuh
begitu saja atas isu hak paten dan perdagangan
bebas karena ingin melindungi kepentingan
industrinya, tetapi di forum ACFTA negara
ini mampu mendorong Indonesia dan negara
ASEAN lainnya patuh pada isu perdagangan
bebas. Akibatnya, produk-produknya leluasa
membanjiri pasar Indonesia maupun ASEAN
dan pengusaha nasional Indonesia satu-persatu
bangkrut. Kesimpulannya pemerintah Cina
berani melindungi industrinya, walaupun harus
dikecam masyarakat internasional. Pemerintah
Indonesia tidak berani melindungi rakyatnya,
tetapi diberi “tepuk tangan” oleh masyarakat
internasional.
Di samping itu, Presiden Indonesia di
masa mendatang harus mampu melindungi
kepentingan nasional dari aspek ipoleksosbud.
Dari aspek ideologi dan politik, Presiden
mendatang idealnya seorang yang mampu
mengembalikan Pancasila sebagai ideologi
negara. Pancasila memiliki fungsi sebagai
pandangan hidup dan dasar negara, tetapi
bukan sebagai alat kepentingan Pemerintah
seperti di jaman Orde Baru. Pancasila sebagai
pandangan hidup maka multikulturalisme
adalah suatu keniscayaan. Pancasila berpegang
pada Bhinneka Tunggal Ika yang memberi
ruang kepada nilai-nilai pluralisme. Masyarakat
Indonesia hidup berdampingan secara damai
dan saling menghormati. Dalam konteks
politik, Pancasila menjadi sesuatu etika politik
yang mendasari perilaku para politisi. Pancasila
diperjuangkan agar menjadi sumber hukum dari
produk-produk hukum baik yang dihasilkan
10 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
oleh lembaga legislatif maupun eksekutif.
Produk hukum diera reformasi belum merujuk
pada Pancasila sebagai landasan filosofis
bangsa Indonesia. Artinya, Pancasila sebagai
elemen dasar perumusan segala produk hukum
dan etika di Indnesia. Karena mengabaikan hal
tersebut, banyak undang-undang yang diuji
materi dan dibatalkan oleh MK.
Selanjutnya secara politik, ideologi
Pancasila diharapkan menjadi pelindung
masuknya pengaruh nilai-nilai politik asing yang
tidak sejalan dengan kepribadian Indonesia.
Misalnya saja sistem pemerintahan yang dianut
Indonesia pada era reformasi adalah sistem
presidensial, tetapi pada kenyataan kehidupan
politiknya lebih bercorak sistem parlementer
khususnya demokrasi liberal. Kehidupan politik
diwarnai oleh koalisi partai-partai berkuasa,
partai oposisi, dominasi parlemen, transaksi/
kompromi politik. Di lain pihak, demokrasi
Pancasila yang bercirikan gotong royong dan
kekeluargaan dalam proses politik sebenarnya
lebih relevan dengan kultur bangsa Indonesia.
Ironisnya tatanan politik ini malah diabaikan
oleh para politisi sekarang karena dianggap
identik dengan Orde Baru. Sesungguhnya,
politisi perlu memberi tafsir baru terhadap
Pancasila yang lebih relevan dengan masa kini.
Yang perlu diperjuangkan oleh Presiden terpilih
pada Pilpres 2014 dalam konteks menghadapi
globalisasi adalah menjadikan Pancasila sebagai
rujukan perilaku politisi dan sistem politik
nasional.
Dalam konteks ekonomi, perdagangan
bebas tentu saja bisa diakomodir sejauh tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional.
Sikap komitmen kepada perdagangan bebas
adalah baik, tetapi jika tidak disertai kesiapan
yang serius oleh negara justru akan mematikan
industri kecil dan menengah, khususnya jika
banyak produk yang sejenis dengan produk
dalam negeri masuk ke pasaran domestik. Hal
ini menimbulkan konflik kepentingan antara
berkomitmen kepada perdagangan bebas
atau melindungi produk dalam negeri. Jika
terjadi konflik kepentingan seperti ini, seorang
Presiden diharapkan jelas keberpihakannya
kepada siapa. Presiden bisa melakukan langkah
strategis dengan meminta menteri-menteri
terkait untuk melakukan negosiasi ulang dengan
negara lain yang produk-produknya membanjiri
pasar domestik.
Setidaknya, upaya mengkompromikan
kepentingan nasional dan kepentingan global
merupakan upaya bertanggungjawab seorang
pemimpin yang bijak. Kepentingan nasional
tercermin dari aspirasi pengusaha kecil dan
menegah yang produknya tersaingi oleh produk
negara asing. Kepentingan global tercermin dari
isu perdagagan bebas yang ingin menguasai
pasar Indonesia. Hal yang hakiki dari seorang
kepala negara adalah menjaga keseimbangan
antara kepentingan nasional dan kepentingan
global.
Indonesia kedepan sebaiknya dipimpin
oleh seorang kepala negara yang bersedia
menegosiasikan kepentingan negara yang sudah
disepakati dan menolak kepentingan negara
lain jika dipandang merugikan kepentingan
nasional. Namun, renegosiasi dan penolakan
kepentingan negara lain ini didasarkan pada
semangat menghormati dan menjaga hubungan
baik dengan negara lain, bukan penolakan yang
semena-mena.
Negara yang mengklaim tatanan politiknya
demokrasi,
kepentingan
nasional
atau
kepentingan rakyat seharusnya diutamakan.
Azas demokrasi adalah kekuasan di tangan
rakyat karena dalam kampanye seorang
kandidat Presiden minta kepada rakyat agar
mendukung dirinya. Oleh karena itu, ketika
kandidat Presiden tadi sudah menang atau
sudah menjadi Presiden giliran rakyat yang
meminta perhatian. Disini, hak-hak dasar
rakyat dan kepentingannya harus dipenuhi,
dijaga dan diperjuangkan. Kalau ada negara
yang mengklaim sistem politiknya demokrasi,
tetapi Presidennya tidak memperjuangkan hakhak dasar dan kepentingan rakyatnya, maka
perlu dipertanyakan apakah negara itu memang
demokrasi dalam arti yang sesungguhnya atau
hanya demokrasi semu.
Dengan kata lain, kepentingan nasional
merupakan refleksi kepentingan rakyat.
Memperjuangan kepentingan nasional berarti
memperjuangan kepentingan rakyat. Prinsip di
atas berpijak pada pemahaman bahwa eksistensi
suatu negara harus ada tiga komponen yaitu
rakyat, wilayah, dan kedaulatan. Dengan
demikian, keberadaan rakyat sifatnya strategis
atau mutlak. Karena sifatnya strategis, maka
logis jika kepentingannya mendapat perhatian
khusus di dalam
suatu negara. Disini
yang dimaksud kepentingan rakyat adalah
Sosok Presiden Ideal ... | Siswanto | 11
kepentingan mayoritas penduduk negeri,
bukan kepentingan elit saja. Dalam hal ini,
sikap elit justru memfasilitasi kepentingan
rakyat tersebut, karena rakyat berdaulat atas
arah kebijakan yang ditempuh oleh para elit
khususnya elit politik. Tidak boleh sebaliknya,
elit politik justru memanfaatkan rakyat untuk
kepentingannya sendiri, elit memperkaya
dirinya sendiri dan mengabaikan rakyat yang
telah memilihnya atau mengantarkannya kepada
panggung politik.
Penutup
Sejarah kepemimpinan nasional Indonesia
telah menunjukan bahwa Presiden-Presidennya
di masa lalu telah menunjukan kontribusi
pada dunia sesuai tantangan dan jamannya
masing-masing. Dimulai dari Era Orde Lama,
kepemimpinan nasional didominasi oleh
Presiden Sukarno sehingga kebijakan luar
negeri Indonesia yang berciri high profile
tidak lepas dari pengaruh Sukarno. Era Orde
Baru kepemimpinan nasional didominasi
oleh Presiden Suharto karena itu kebijakan
luar negeri Indonesia yang low profile10 juga
tidak lepas dari pengaruh Suharto. Era Orde
Reformasi kekuasaan dari pemimpin nasional
didistribusi kepada pemimpin lembaga tinggi
negara dan demokrasi dikawal ketat oleh rakyat
sehingga seorang Presiden tidak lagi terlalu
dominan dalam kehidupan politik. Di antara
Presiden-Presiden di era ini adalah Habibie,
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, dan
SBY. Setiap Presiden tersebut di atas memberi
kontribusinya sesuai dengan tantantan dan
zamannya. Sukarno memberi kontribusi kepada
terciptanya solidaritas negara-negara AsiaAfrika atau negara-negara berkembang. Suharto
memberi kontribusi kepada tercipta stabilitas
dan keamanan Asia Tenggara khususnya melalui
ASEAN. Presiden-Presiden di Era Reformasi
Low profile sering digunakan untuk menggambarkan kebijakan
Indonesia di era
Soeharto yang cenderung hanya sibuk memberi
perhatian pada persoalan domestik ( inward
looking). Soeharto pada waktu itu lebih fokus
melakukan penataan Indonesia di dalam negeri
atau melakukan pembangunan nasional.Hal ini
bisa dipadankan dengan kebijkan AS yang disebut
kebijakan introversi. Kebijakan introversi AS terjadi
pada era Presiden Clinton yang focus melakukan
recoveri ekonomi yaitu menciptakan lapangan kerja
dan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
10
memberi kontribusi kepada dunia dengan cara
membantu terwujudnya keamanan global
melalui kerjasama pemberantasan terorisme
dan mendorong terciptanya perdagangan
internasional yang bebas dan meminimalisir
hambatan-hambatan yang ada dalam sistem
perdagangan internasional, terlepas dari
kenyataan bahwa hal ini membawa ekses yang
tidak menguntungkan kepada industri kecil di
dalam negeri.
Oleh karena itu, rakyat Indonesia melalui
Pilpres 2014 diharapkan memilih seorang
capres yang mampu berkontribusi terhadap
tantangan regional maupun global. Dalam hal
ini, pemimpin yang mampu berkontribusi adalah
pemimpin yang sesuai dengan kriteria yang
disampaikan pada bagian sebelumnya. Kriteria
yang dimaksud adalah 1). Berkepribadian kuat
dalam arti seorang yang bersifat teguh dalam
pendirian, punya prinsip dan keyakinan yang
dipegang dengan erat, namun tetap terbuka
bagi kebenaran yang datang dari luar 2). Punya
tingkat kecerdasan di atas rata-rata sehingga
mampu
mengidentifikasi,
merumuskan,
menyimpulkan dan menyelesaikan masalah
secara tepat dan akurat. 3). Menjunjung moral
dan etika, termasuk di dalamnya mampu
memberi ketauladanan yang baik dan mampu
memotivasi serta mengontrol organisasi secara
efektif.
Sejalan dengan hal itu, rakyat Indonesia
melalui Pilpres 2014 diharapkan memilih
seorang capres yang mampu menyeimbangkan
kepentingan global dan kepentingan nasional.
Globalisasi merupakan sesuatu keniscayaan
yang melanda dunia termasuk Indonesia
sehingga kehadirannya perlu diantisipasi. Yang
perlu digarisbawahi, kehadiran globalisasi
jangan sampai menjadi masalah yang tidak
terpecahkan dengan baik, oleh karena itu
sebaiknya pimpinan Indonesia di masa datang
mampu mengubah masalah globalisasi menjadi
tantangan yang mampu dipecahkan dengan
baik. Indonesia jangan sampai berada dalam
cengkraman globalisasi atau hanya menjadi
ajang target kepentingan negara-negara lain,
tetapi Indonesia jangan pula anti globalisasi
karena dengan demikian Indonesia berarti
anti terhadap masyarakat internasional dan
mengisolir diri dari pergaulan internasional.
Kepentingan nasional merupakan pijakan
seorang Presiden Indonesia dalam menyikapi
12 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
perkembangan globalisasi. Prinsip ini diperlukan
agar perkembangan globalisasi tidak sampai
merugikan kepentingan nasional Indonesia
atau merugikan kepentingan rakyatnya.
Seorang Presiden Indonesia idealnya mampu
memanfaatkan perkembangan globalisasi untuk
kepentingan nasionalnya sedemikian rupa agar
globalisasi justru menguntungkan Indonesia
atau memberi manfaat kepada rakyat. Hal itu
bisa dilakukan jika Presiden Indonesia punya
pengaruh untuk mendorong para pihak di forum
internasional agar mengambil keputusan sesuai
dengan kepentingan nasional Indonesia.
Daftar Pustaka
Buku
Gordon Hein. 1986. “Basic Principal of Indonesia
Foreign Policy” dalam Soeharto’s Foreign
Policy: Second-Generation Nationalism
in Indonesia. Berkeley: Department of
Political Science, University of California.
Hermawan Sulistyo. 2002. Bom Bali: Buku Putih
tidak resmi Investigasi Teror Bom Bali.
Jakarta: Pensil-324.
Huntington, Samuel P. 2002. The Clash of
Civilization. London: The Free Press.
Ide Anak Agung Gde Agung. 1973. Twenty Years
Indonesian Foreign Policy 1945-1965.
Paris: Mouton & Co.
Morgentahu J. Hans. 1978. Politics Among
Nations: The Struggle for Power and
Peace. New York: Alfred A. Knpf.
---------------- “The Structure and Process of
Foreign Policy Making.”Soehartos Foreign
Policy: Second-Generation Nationalism in
Indonesia.Department of Political Science.
University of Califirnia, Berkely.
Surat Kabar dan Website
Aulia Rachma. 2012. “Kepemimpinan Ideal
menurut Ki Hajar Dewantara”. http:
kompasiana.com.
Desk Informasi. 2013. “Tolak Batalkan
Presidential Threshold, Ketua MK: Diktum
Gugatan Yusril tidak tepat”. http://www.
setkab.go.id/berita-12511-tolak-batalkanpresidential-threshold-ketua-mk-diktumgugatan-yusril-tidak-tepat.html.
Keputusan KPU No. 411/Kpts/KPU/2014 tentang
Rekapitulasi Hasil Pemilu anggota DPR,
DPD, DPRD, tgk I DPRD tk II dalam
Pemilu
2014.
http://www.kpu.go.id/
koleksigambar/952014_Penetapan_Hasil_
Pileg.pdf.
“Marzuki Usulkan Syarat Usung Capres
Diturunkan Jadi 15 persen”. http://www.
aktual.co/politik/190718marzuki-usulkansyarat-usung-capres-diturunkan-jadi-15perse.
Structure and Organization UNO. http://www.
un.org/en/aboutun/structure/index.shtml.
The Bush Doctrine: The Iraq War may only be the
Beginning of One an Ambition American
strategy to confront dangerous rejimes
and expand Democracyin the world.
http://www.crf-usa.org/war-in-iraq/bushdoctrine.
“Oma Irama Capres”.2013. Majalah Tempo, Edisi
April.
“Sapi Berjanggut.” 2013. Majalah Tempo, Edisi
April.
Jurnal
Athiqah Nur Alami. 2011. “Profil dan Orientasi
Kebijakan Luar Negeri Indonesia Pasca
Orde Baru.” Jurnal Penelitian Politik 8(2).
Novotny, Daniel. 2004. “Indonesia Foreign
Policy’s: in Quest for the Balance of
Threat.” Faculty of Art and Social Science.
University of New South Wales.
Sosok Presiden Ideal ... | Siswanto | 13
14 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
POLITIK PERSUASIF MEDIA: PERAN MEDIA DALAM PEMILU
PRESIDEN INDONESIA 2001-2009
MEDIA AND POLITICAL PERSUASION: THE ROLE OF MEDIA IN
INDONESIA PRESIDENTIAL CAMPAIGN 2001-2009
Wasisto Raharjo Jati
Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta
E-mail: [email protected]
Diterima: 15 Juli 2013; direvisi: 28 Agustus 2013; disetujui: 4 Desember 2013
Abstract
This article aims to analyze the role of media in the constellation of presidential elections in Indonesia during
2001-2009. Media in the post- reform era itself have been showed the dilemma between supporting democracy,
even though on the other side trying to identify them on political power. In many ways, the media showed a strong
dependency relationship with the patronage of political economy. The emergence of political journalism has been
manifested in propaganda machine to convey the message as well as a political message to the public. This article
will elaborate media dilemma in the transition to democracy in Indonesia.
Keywords: media persuasion, media conglomerate, political campaign, & political journalism
Abstrak
Tulisan ini bertujuan menganalisis tentang peran media dalam konstelasi pemilu presiden Indonesia selama
2001-2009. Pada masa reformasi, media sendiri telah menunjukkan posisi dilematis dalam mendukung demokrasi,
bahkan berupaya mengidentifikasi sebagai aktor politik. Dalam beragam cara, media menampilkan adanya
relasi ketergantungan kuat dengan patronase ekonomi politik. Hadirnya jurnalisme politik sendiri kemudian
berwujud dalam mesin propaganda yang bertujuan menyampaikan pesan politik kepada publik. Tulisan ini akan
mengelaborasi lebih lanjut mengani dilema media dalam proses transisi demokrasi di Indonesia.
Kata Kunci: persuasif media, konglomerasi media, kampanye polittik, dan jurnalisme politik
Pendahuluan
Membincangkan relasi antara media dengan
ranah politik adalah relasi yang dilematis. Hal
ini dikarenakan sikap pemberitaan media yang
tidak sepenuhnya netral dari intervensi politik
maupun patronase kapital1. Tentunya ini sesuatu
yang paradoksal mengingat media merupakan
pilar keempat dalam demokrasi setelah lembaga
triaspolitika. Media seharusnya berperan sebagai
anjing pengawas (watchdog) dalam kekuasaan
sehingga terciptalah check and balances dalam
negara dan masyarakat. Pengawasan media
tersebut terkait dengan fungsi sentralnya sebagai
korelasi sosial (social correlations) memandu
publik dalam menerjemahkan berbagai realitas
hiruk-pikuk kehidupan berbangsa dan bernegara
ke dalam konsumsi informasi baik cetak dan
elektronik. Maka, media di sini berkuasa atas
pengetahuan publik melalui framing teks dan
gambar sehingga menjadi rujukan utama publik
dalam membentuk opini mereka terhadap
jalannya pemerintahan. Informasi menjadi kata
kunci yang menautkan relasi media dengan
politik melalui pembentukan opini publik atas
pemberitaan tersebut.
1 Daniel Dhakidae, the State, the Rise of Capital and the fall of Political Journalism: Political Economy of
Indonesian News Industry (Madison: University of Wisconsin-Madison Press, 1992).
1
Politik Persuasif Media ... | Wasisto Raharjo Jati | 15
Preferensi pemilih dalam pemilu bukanlah
ditentukan oleh seberapa besar kampanye
dilakukan oleh partai atau kandidasi yang
bersangkutan, tetapi seberapa besar informasi
yang mereka dapatkan. Dalam hal ini, media
melakukan politik persuasif terhadap pemilih
melalui pendekatan daily politics yakni
menginformasikan berita politik sebagai bagian
dari kehidupan sehari-hari masyarakat secara
efektif dan efisien. Masyarakat pada dasarnya
tidak menyukai pemberitaan yang panjang, tetapi
cukup menerima secara instan informasi yang
publik dapatkan sehingga menjadi nilai dalam
pola pikir bersama. Maka melalui sosialisasi
yang dilakukan secara kontinu oleh media akan
membentuk nilai-nilai afinitas dan afeksitas
pemilih terhadap kandidat maupun partai
dalam event pemilu. Nilai-nilai yang diterima
pemilih dari media tersebut merupakan bentuk
by product dan by design yang dikonstruksikan
media. Artinya terjadi proses transfer nilai
dari media kepada pemilih melalui sosialisasi
tersebut. Adapun pembentukan nilai-nilai itulah
yang sejatinya rawan dipolitisasi pihak tertentu.
Besarnya pengaruh persuasif media
tersebut yang justru menempatkan media dalam
posisi rentan ketika dihadapkan pada nalar
politik. Dalam hal ini ada dua hal yang membuat
media rentan terhadap politik sekaligus
menjadi distorsi media sebagai watchdog
tersebut. Pertama, eksistensi media sangatlah
tergantung dengan kucuran modal yang masuk
khususnya pendapatan iklan maupun investasi
pemilik media. Kondisi tersebut bepengaruh
pada pembiayaan media dalam mencari berita
dan mengemasnya menjadi sebuah informasi
berita yang diterima masyarakat. Harus diakui
sangatlah mahal biayanya untuk mendirikan
sebuah biro media baik itu media cetak maupun
elektronik. Adapun biaya mendirikan televisi
sendiri membutuhkan dana mencapai 600
milyar rupiah meliputi biaya siaran studio serta
operasional di lapangan mencapai 40 juta rupiah
per siaran, biaya sewa satelit USD 300 ribu, dan
biaya menggaji karyawan sendiri mencapai
USD 1,62 juta per tahun. Sementara biaya
mendirikan penerbitan koran sendiri mencapai
100 milyar untuk 1000 tiras yang sudah meliputi
biaya cetak maupun biaya redistribusinya di
tingkat agen maupun pengecer. Besarnya biaya
operasional tersebut merupakan bentuk entry
to barrier terhadap berkembangnya pemain
lainnya karena sifatnya yang padat modal
sehingga persaingan di tingkat bisnis media
tidaklah terlalu kompetitif2.
Meskipun biaya operasionalnya tinggi,
sharing profit untuk mendapatkan pendapatan
iklan sangatlah besar yakni mencapai 16 triliun.
Secara lebih lengkap dari data Media Scene,
porsi iklan nasional yang terserap untuk TV
pada 1995, 49,1% (dari total Rp 3,33 triliun);
1996, 53,2% (dari Rp 4,14 triliun); 1997,
52,6% (dari Rp 5,09 triliun); 1998, 58,9% (dari
Rp 3,76 triliun); 1999, 61,4% (dari Rp 5,61
triliun); 2000, 62,31% (dari Rp 7,88 triliun);
2001, 61,7% (dari Rp 9,71 triliun); 2002, 60,3%
(dari Rp 13,41 triliun). Sampai Mei 2013 lalu,
billing iklan TV mencapai Rp 3,75 triliun.
Diproyeksikan, tahun 2014 ini sekitar Rp 10
triliun akan menggelontori iklan TV. Besarnya
porsi iklan yang diserap media layar kaca inilah
yang membuat para pemilik modal terpincut.
Apalagi, iklan TV diprediksi terus meningkat.
Pasalnya, masyarakat lebih memilih TV sebagai
sumber informasi termurah dibanding media
lain. Penelitian menyebutkan, hampir 8 dari
10 orang dewasa di kota-kota besar menonton
TV setiap hari. Maka semakin besarnya dana
iklan yang masuk ke dalam media maka akan
semakin pula berpengaruh kepada pemberitaan
kepada pemirsa yang mengikuti alur agenda
setting pengiklan tersebut.
Adapun penyebab kedua yang membuat
media begitu rentan terhadap intervensi politik
adalah konflik kepentingan dengan pemilik
media. Menurut Chomsky, politisasi media
terjadi ketika pemilik media merambah ke dalam
ranah politik praktis3. Dalam taraf inilah media
yang sebenarnya berperan sebagai pencerah
menjadi mesin propaganda yang efektif dalam
merekonstruksi pengetahuan publik. Media
hanyalah menjadi hasil rekonstruksi dan
olahan para pekerja redaksi. Walaupun mereka
telah bekerja dengan menerapkan teknikteknik jurnalistik yang presisi, pembingkaian
atas pemberitaan tetap dilakukan dengan
tujuan melindungi, mempopulerkan, bahkan
mencitrakan politis pemilik media tersebut.
Misalnya kasus penyebutan dikotomi lumpur
Lapindo yang dilakukan oleh kelompok berita
Eriyanto, “Konsentrasi Kepernilikan Media dan
Ancaman Ruang Publik”, Jurnal Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Vol. 12 No. 2, 2008, hlm. 130.
3
Noam Chomsky, Media Control: The Spectacular
Achievement of Propaganda (Toronto: Open Media
Books, 2011).
2
16 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Vivanews adalah bagian dari hal tersebut,
bagaimana media dengan latah berusaha
menjinakkan kritisisme publik dengan melempar
wacana tandingan supaya posisi pemilik media
tidak menjadi tersangka dalam ranah publik.
Pembacaan atas relasi media dan pemilihan
umum presiden di Indonesia sebenarnya tidak
lepas dari narasi besar tersebut dimana posisi
media yang tidak netral dalam politik. Kandidasi
Pemilu Presiden pada tahun 2014 nanti akan
lebih menarik dibandingkan pada pemilupemilu sebelumnya. Pertama, panggung Pilpres
2014 adalah panggung terbuka bagi semua
kalangan karena secara konstitusional petahana
kini absen sehingga berbeda kondisinya dengan
2004 ketika Megawati tampil sebagai petahana
dan SBY tampil di Pemilu Presiden 2009
sebagai petahana. Kedua, Pemilu Presiden pada
2014 bisa dikatakan sebagai Pemilu Presiden
yang krusial. Hal ini mengingat apakah estafet
kepemimpinan Indonesia sendiri tetap berada
di kalangan patronase kaum tua ataukah
terjadi kepemimpinan kepada kaum muda dan
calon alternatif lainnya. Maka pemberitaan
akan terjadinya re-gerontokrasi (kembalinya
kepemimpinan kaum muda) ataukah degerontokrasi (mengendurnya pengaruh kaum
tua) tentu akan menjadi cawan media dalam
mengkonstruksikannya. Apalagi sajian fakta
yang menarik dalam Pemilu Presiden Indonesia
pada 2014 mendatang adalah munculnya
konglomerasi media yang kebetulan pemiliknya
adalah figur-figur yang dikenal dalam survey
presiden 2014 seperti Aburizal Bakrie, Surya
Paloh, Chairul Tanjung, Harry Tanoesoedibjo
dan lain sebagainya. Adanya konglomerasi
media dalam kancah pemilu presiden 2014
sekaligus titik krusial dalam memaknai media
apakah stabil berperan sebagai anjing pengawas
(watchdog) ataukah menjadi anjing penjaga
(guard dog) yang berperan sebagai kompetitor
atas calon lainnya dalam ruang pengetahuan
publik melalui rekayasa politik (political
crafting)4.
Tentunya,
sangatlah
menarik
mengelaborasi lebih lanjut mengenai relasi
media dalam pemilu presiden di Indonesia.
Terkait dengan hal tersebut, maka rumusan
masalah yang ingin dijawab dalam penelitian
I Gusti Ngurah Putra, “Ketika Watchdog Dikuasai
Para Juragan: Kontrol Penguasaha terhadap Media
Massa”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 12
No. 2, 2008, hlm. 130.
4
ini adalah bagaimana konstruksi media dalam
Pemilu Presiden dalam wujud konglomerasi
media ?. Pertanyaan tersebut menjadi penting
untuk dibicarakan dalam mengurai lebih lanjut
media sebagai kampanye terselubung (hidden
campaign) yang dikemas secara jurnalistik
sebagai informasi sugestif kepada masyarakat.
Posisi Media dalam Politik dan
Pemilu
Dalam memberitakan sebuah informasi politik,
terdapat tiga kecenderungan ideologis yang
dimiliki media yakni 1) sikap konservatif
atau pro status quo, sikap ini terlihat pada
peliputan atau pemberitaan tentang liputan
yang mengedepankan kisah kesuksesan rezim
petahana atau kisah mantan pejabat selama
menduduki tampuk kekuasaan yang ingin maju
dalam pemilu, tetapi tidak diimbangi dengan
kritikan atas segala kekurangannya. 2) sikap
progresif, pemberitaan media diarahkan kepada
perubahan rezim atau melakukan reformasi
dan restorasi terhadap rezim sekarang dengan
menampilkan sosok transformatif yang dinilai
bisa memimpin rezim perubahan tersebut. 3)
sikap skeptis dan apatis, sikap ini menunjukkan
pemilu dan politik adalah entitas yang jauh dari
nuansa populis, tetapi hanya diisi kepentingan
elitis semata sehingga pemberitaan politik dan
pemilu sendiri lebih banyak wacana korupsi,
konflik pemilu, maupun praktik penyalahgunaan
wewenang semata5.
Ketiga model tersebut sebenarnya
mencerminkan relasi media dalam sistem
demokrasi yang sifatnya masih transisional.
Dalam nuansa demokrasi transisi tersebut,
media memang akan menampilkan dirinya
sebagai agregator terhadap euforia demokrasi
yang berkembang dalam masyarakat maupun
sebagai resistor karena ingin mengangkat
romantisme rezim terdahulu. Posisi media
dalam model pembangunan demokrasi memang
menjadi penting karena media menjadi tolok
ukur kesuksesan transisi dari otoritarian menuju
demokrasi. Media yang bebas dan kritis akan
dinilai sebagai bagian kesuksesan demokrasi,
sedangkan media apatis justru dianggap sebagai
bayangan rezim ototritarian yang belum runtuh
sepenuhnya. Oleh karena itulah, beragamnya
Masduki, “Jurnalisme Politik:Keberpihakan Media
dalam Pemilu 2004”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Vol. 8 No. 1, 2004, hlm. 76.
5
Politik Persuasif Media ... | Wasisto Raharjo Jati | 17
Tabel 1. Relasi Media dalam Politik dan Pemilu6
Sumber: (Wahyuni, 2007:12).
relasi sikap media dalam pemilu maupun
demokrasi dapat ditelisik dari tabulasi berikut
ini. (Lihat Tabel 1)6
Jika melihat tabulasi tersebut, kita bisa
menyimak bahwa relasi media dalam politik
dan pemilu di Indonesia sebenarnya masih
dalam persimpangan jalan. Secara ideologis,
wajah media sebenarnya ingin menuju model
demokratik-liberal yang menjamin kebebasan
pers seluas-luasnya. Namun, secara regulatif,
media sendiri masih dalam nuansa penguasaan
negara dalam bentuk surat izin operasional.
Maka sejatinya peran media dalam politik
transaksional terlebih dalam membaca realitas
pemilu sebagai instrumentasi demokrasi terletak
dalam dua bentuk yaitu media sebagai medium
dan media sebagai faktor pendorong.
Media sebagai medium dimaknai
media berperan sebagai alat diseminasi ide
dan gagasan demokrasi kepada masyarakat
sehingga sosialisasi politik terjadi secara merata
di masyarakat. Sedangkan media sebagai
faktor pendorong dimaknai media sebagai
stimulus berkembangnya demokratisasi di aras
masyarakat bawah. Namun demikian, dalam
demokrasi transaksional pula turut berkembang
reorganisasi elite dari rezim terdahulu
untuk tetap bisa eksis di dalam demokrasi.
Pertumbuhan media yang luar biasa selama
masa transisi dan belum meratanya kapital
ekonomi politik menyebabkan adanya oligarki
media dan politik. Kongsi tersebut terjadi
sebagai manifestasi adanya kepentingan politis
Wahyuni, “Politik Media dalam Transisi Politik:
Dari Kontrol Negara Menuju Self-Regulation
Mechanism”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Vol. 4 No. 1, 2007, hlm. 12.
6
dibalik berkembangnya media dalam ranah
masyarakat. Fungsi media sebagai intermediari
antara negara dan masyarakat sangatlah strategis
dan vital dalam upaya menyebarkan nilai-nilai
tersebut.
Beragamnya tiga ideologis dominan yang
dimainkankan media dalam politik tersebut
mengindikasikan adanya peranan media dalam
tiga ranah yakni ranah ruang publik, ranah
bisnis, maupun ranah kekuasaan. Media sebagai
ranah ruang publik (public sphere) merupakan
fungsi utama media dalam menyuarakan
aspirasi publik sesuai dengan kapasitasnya
sebagai fourth estate dalam sistem demokrasi.
Media sebagai ranah bisnis (market oriented)
tentu akan bertindak sebagai badan usaha
yang memasarkan ide maupun berita sebagai
komoditas utama7. Namun, pemaknaan berita
sebagai komoditas perlu untuk ditelisik lebih
lanjut. Dalam paradigma jurnalistik seringkali
berlaku idiom bad news is good news artinya
media cenderung menampilkan berita-berita
negatif yang disukai oleh pembaca dan pemirsa.
Media berperan sebagai kreator yang bisa
merekayasa segala pemberitaan terkait politik
maupun pemilu sebagai objek pasif yang
dimanipulatif. Ada proses yang dinamakan
framing untuk membentuk konstruksi berita
menjadi bad news yang kemudian berkembang
menjadi trend pembicaraan. Pembaca secara
tidak langsung akan teradiktif terdorong untuk
membeli media tersebut demi terus menggali
pemberitaan negatif itu. Yang terjadi kemudian
adalah efek adiktif bagi masyarakat sehingga
mengubah pola pikir masyarakat dari semula
Masduki, Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke
Liberal (Yogyakarta: LKiS, 2007).
7
18 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
open minded menjadi close ended.
Selain itu pula, media sebagai market
oriented juga dimaknai adanya ketergantungan
media terhadap pendapatan iklan. Biasanya
yang terjadi kemudian adalah pemasang
iklan sendiri secara tidak langsung memiliki
pengaruh terhadap substansi konten media yang
akan disesuaikan dengan iklan yang dipasang.
Masalahnya yang timbul kemudian, terjadi friksi
internal dalam media itu sendiri antara divisi
pemasaran dengan redaktur. Divisi pemasaran
tentu akan mengejar pendapatan berlebih
untuk operasionalisasi media sehingga untuk
menarik dana yang lebih besar akan membuat
berita yang afirmatif dengan pemasang iklan.
Namun hal tersebut tentunya bertentangan
dengan pendirian bagian redaksi sebagai filter
dari segalan konten berita agar tetap menjaga
independensi dan ideologi dalam pemberitaan
media8. Konflik tersebut tidak jarang kemudian
dimenangkan oleh divisi pemasaran yang tetap
mengejar nilai objek jual dari media tersebut
Adapun media sebagai power sphere sendiri
mengindikasikan adanya eksistensi media yang
ditopang oleh rezim yang berkuasa. Hal inilah
yang menjadikan media sendiri bukan lagi
bertindak sebagai juru bicara masyarakat, tetapi
juru bicara rezim. Pemberitaan media sangatlah
erat dengan keseharian rezim memerintah
sehingga media dirasa perlu menjaga perasaan
dengan rezim dengan melakukan pemberitaan
yang konfirmatif dengan rezim.
Adanya bentrokan media dalam ketiga
fungsi tersebit menjadikan kerangka SelfRegulatory Mechanism sebagai upaya fortifikasi
media terhadap politik menjadi tereduksi.
Kerangka tersebut mengajarkan bahwa media
diharuskan untuk menjadi sebuah solusi ideal
khususnya pada kebanyakan kelompok pro
demokrasi. Namun demikian, solusi ini dalam
prakteknya tidaklah mudah. Konsep selfregulation memiliki beberapa hambatan yang
mendasar dalam realisasinya. Selain karena
semangat pembebasan yang sangat kental, selfregulation juga membutuhkan kematangan
profesionalitas dari masing-masing aktor
yang terlibat dalam proses besar produksi
media. Adapun profesionalitas tersebut
dapat dipupuk melalui pembinaan nilai-nilai
sekuritas, persamaan, maupun kebebasan.
Dari ketiga nilai tersebut, seringkali ditemui
Dennis Macquail, Media Policy: Convergence,
Concentration & Commerce (London: Sage, 2003).
8
ketidakharmonisan dalam implementasi nilainilai tersebut. Masalah yang sering muncul
adalah independensi berita itu sendiri. Dalam
realitanya di lapangan, praktik jurnalisme
sendiri sangatlah tergantung pada informan
sehingga praktik jurnalistik yang berkembang
hanya ingin mendapatkan berita saja daripada
bagaimana proses mendapatkannya. Artinya
proses triangulasi sendiri dengan melalukan
jurnalisme investigasi menjadi tidak berjalan
karena politik tenggang rasa tersebut. Hal
inilah yang menjadikan media ingin menjaga
hubungan baik dengan informan. Implikasi yang
timbul kemudian adalah munculnya fenomena
wartawan bayaran maupun wartawan amplop
yang menulis berita sesuai dengan pesanan
informan.
Self Regulatory dalam media berkembang
menjadi sinisme publik. Praktik jurnalisme
yang memihak kepada informan sendiri dirasa
mencederai kepentingan masyarakat yang
lebih luas terhadap informasi yang transparan
dan akuntabel. Tentunya hal ini menjadi ironi,
ketika jurnalisme sendiri bersikap mendua
antara memihak kepentingan modal dan politik
dengan kepentingan masyarakat luas. Informasi
yang tidak berimbang mengakibatkan adanya
fragmentasi informasi dalam masyarakat sesuai
dengan informasi yang mereka dapatkan dari
media. Adanya beragamnya informasi memang
bagus untuk penguatan ruang-ruang diskursi
publik di level akar rumput. Namun, yang
menjadi ironi adalah ketika informasi tersebut
didapatkan secara hierarkis tentu yang amat
disayangkan. Sebagai aktor intermediari, media
belum membuka ruang masyarakat untuk
masuk ke dalam ruang dapur redaksi. Meskipun
sudah diwadahi dalam bentuk jurnalisme publik
(citizen journalism) sebagai bentuk jurnalisme
afirmasi terhadap publik. Hal itu tidak lebih dari
sekedar jurnalisme seremonial belaka yang tidak
memuat gagasan kritis dari masyarakat. Adanya
kondisi media yang masih labil terhadap politik
sendiri menjadikan jurnalisme massa menjadi
tidak berkembang, malah justru yang terjadi
adalah jurnalisme politik yakni jurnalisme yang
membela kepentingan elite saja.
Media Sebagai Jurnalisme Politik
Secara leksikal, jurnalisme politik sendiri
dimaknai sebagai praktik jurnalisme yang
menempatkan
kepentingan
pemerintah
Politik Persuasif Media ... | Wasisto Raharjo Jati | 19
untuk berkorelasi dan bertanggung jawab
kepada kepentingan publik (to hold powerful
interests accountable to the public interest),
dan menjelaskan pada pemilih bagaimana
mengaitkan harapan ketika menunaikan hak
sebagai warga negara dengan apa yang harus
dikerjakan oleh pemerintahnya (to explain
to voters how to connect how they vote with
their government should do).9 Adapun dimensi
hakiki dari jurnalisme politik tersebut dapat
digambarkan dalam relasi berikut ini. (Lihat
Tabel 2)10
Jurnalisme politik dalam kerangka oligarkis
dimaknai sebagai bentuk praktek jurnalisme
pragmatis yang mewadahi kepentingan
dominan yang pada umumnya dikontrol oleh
uang dan kekuasaan pejabat negara. Jurnalisme
model ini biasanya sangatlah dominan dalam
kondisi pemilu yang masih elitis. Masyarakat
hanya dimaknai komoditas suara yang perlu
diinformasikan mengenai preferensi politik yang
tepat. Meskipun dalil utama dibentuknya media
adalah membangun kebenaran dan pencerahan
Tabel 2. Jurnalisme Politik dalam Pemilu10
Jika dilihat dari tabulasi di atas, kita bisa
melihat bahwa media dalam praktik jurnalisme
poltik berfungsi ganda antara sumber depedensi
dan sumber korelasi. Sebagai sumber depedensi,
media secara nyata memainkan perannya
sebagai korelasi sosial bagi masyarakat dengan
menyajikan berbagai informasi yang terkait
dengan pemilu dan kandidasi. Sedangkan sumber
depdensi, terkait ketergantungan penyelenggara
formal dalam pemilu untuk memberikan
sosialisasi secara meluas kepada masyarakat
dengan memanfaatkan jejaring media di
akar rumput. Meskipun dalam nalar positif,
jurnalisme politik menempatkan media sebagai
ruang deliberasi yang nyata bagi penyelenggara
formal dan masyarakat untuk bisa mengawal
pemilu secara berkesinambungan. Namun,
dalam level praksisnya, jurnalisme politik
malah justru dianggap sebagai bagian dari
strategi kampanye. Hal inilah yang kemudian
menjadi distorsi dalam memahami jurnalisme
politik. Pertarungan wacana antara jurnalisme
politik sebagai fungsi korelasi dengan
jurnalisme politik sebagai kampanye sepertinya
lebih dominan jurnalisme sebagai kampanye.
Indikasinya adalah korelasi sosial dengan
publik kini lebih dimaknai sebagai korelasi
dengan calon pemilih dan informasi berita tidak
lebih dari fungsi propaganda kampanye semata.
Bill Kovack, 9 Element of Journalism (London:
The River Press, 2001)
10
Masduki, Op.Cit, hlm 80
9
masyarakat, tetapi dalam praktiknya media
ternyata membela agenda ekonomi, sosial, dan
politik dari kelompok pemodal selaku privilege
groups yang mendominasi masyarakat lokal,
negara dan global. Fungsi media yang tadinya
sebagai korelasi sosial berubah menjadi fungsi
propaganda dan fungsi bisnis. Jurnalisme
politik pada akhirnya menempatkan masyarakat
sebagai penonton politik (public as political
spectactors) yang menjadi komunikan pasif
saja. Model jurnalisme politik yang bertipe
propagandist seperti ini biasanya muncul dalam
event pemilihan umum yang dapat dilihat
dari berbagai aspek. Pertama, munculnya
konglomerasi media dalam kepemilikan
media. Konglomerasi muncul dikarenakan
adanya redistribusi kepemilikan media yang
belum sepenuhnya seimbang sehingga arena
bisnis media sebenarnya adalah arena bisnis
yang konstan. Kedua, media bergantung pada
legitimasi kuasa (dari kalangan korporat &
pemerintah) untuk mengisi materi media. Media
digambarkan memiliki hubungan mutualisme
dengan sumber-sumber informasi penting itu
dengan kebutuhan ekonomi dan kepentingan
yang timbal balik diantara keduanya. Ketiga,
media lebih sering menyajikan berita-berita yang
sifatnya spekulatif daripada mengedepankan
hasil investigasi yang dalam sehingga sajian
konten tidak sekedar asumsi-asumsi belaka11.
Wisnu Prasetyo Utomo, “Mewaspadai Ancaman
Konglomerasi Media”, Majalah Kongres, Mei 2013,
hlm. 10.
11
20 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Adapun fungsi media sebagai bisnis tentu erat
kaitannya dengan mencari pendapatan yang
tinggi. Musim kampanye pemilu bisa dikatakan
sebagai musimnya menjadikan pemilu sebagai
mesin pendapatan utama (primary sources)
sehingga media pun dikorbankan menjadi
iklan kampanye. Bahkan tidak mungkin, media
justru menjadi bagian pemenangan kandidasi
maupun partai politik. Oleh karena itulah,
sebenarnya praktik jurnalisme politik dalam
pemilu berasal dari kondisi pers yang masih
labil di saat demokrasi belum memiliki pijakan
yang mendasar. Maka dalam kondisi yang serba
labil tersebut, ketidakkonsisten sering terjadi
dalam relasi media dan politik dimana terjadi
hubungan resiprokal kuat di antara mereka.
Politisasi Media dalam Pemilihan
Presiden Indonesia
Secara konseptual makro, perbincangan atas
konteks media dalam ranah politik terlebih
dalam penyelenggaraan pemilu tidak terlepas
dari dua hal yakni posisi media terhadap ranah
politik yang masih labil terkait dengan sumber
informasi dan pendanaan serta posisi media
yang terjebak kepada konflik kepentingan
antara mempertahankan etika jurnalistik dengan
kepentingan bisnis. Labilnya media dalam
mengawal ranah politik sebagai pengawas
kekuasaan kini sudah merambah sebagai agen
kekuasaan (agent of power) bagi kandidasi
maupun partai politik tertentu. Impotensi media
dalam pemilu dapat terindikasi dari empat
faktor yakni menguatnya persaingan politik
pencitraan (politics of image) di tingkatan elite
maupun partai politik, menurunnya fungsi
partai politik dalam sosialisasi politik sehingga
memunculkan media sebagai aktor tunggal,
menguatnya kecenderungan penonjolan figur
dalam pentas politik dan pemilu daripada
institusi partai politik, dan adanya pemanfaatan
multimedia sebagai agen propaganda aktif
dalam menyampaikan pesan politis kepada
masyarakat. Transformasi media dalam era
demokrasi elektoral juga turut mempengaruhi
mengubah paradigma media dalam bentuk
agitator politik yang baik bagi partai dan
kandidat dan fungsi pasar bebas yakni adanya
komoditisasi maupun komersialisasi dalam
agenda seting media supaya orientasi media
diarahkan untuk mendukung kekuatan politik
tertentu.
Adapun dalam kontekstualisasinya dalam
pemilu Indonesia, perilaku media dan jurnalistik
lainnya sebenarnya juga mengikuti alur tersebut
dimana politik figur maupun politik pencitraan
menjadi komoditas media dalam ranah politik.
Namun, dalam konteks pemilu 1999 sebelum
dilangsungkannya Pemilu Presiden 2004
terdapat sajian menarik mengenai jurnalisme
media yang berdiri dalam dua kaki. Kaki
pertama, media berada dalam model relasi
demokratik-liberal dimana media mengalami
pertumbuhan luar biasa paska Orde Baru
runtuh pada tahun 1999. Adanya media-media
baru turut terbawa idealisme reformasi yang
terkembang dalam arena politik baru tersebut.
Hal inilah yang menjadikan antara politisi
maupun pelaku jurnalistik sendiri konsisten
menjaga dimensi substantif maupun otentik
dari relasi keduanya untuk saling mengawasi
dan mengingatkan. Liberalisme politik yang
berimplikasi liberalisasi media inilah yang
kemudian membawa media secara benar dan
nyata mengemban fungsi sebagai watchdog atas
sistem demokrasi yang ingin diterapkan dalam
era reformasi.
Adanya
liberalisasi
tersebut
juga
mengarahkan perilaku media menjadi lebih
berideologis yang memiliki kecenderungan
memihak salah satu partai. Misalnya saja,
Republika yang dekat dengan partai-partai
islam, KOMPAS yang “berafiliasi informal”
dengan partai-partai kristen, Media Indonesia
dan Suara Karya yang pro terhadap partai
nasionalis-sekuler seperti Golkar dan PDIP.
Tendensi politik media terhadap partai politik
tentu tidak hanya dikaitkan adanya rasa afeksi
dan afinitas dari media saja, tetapi juga didasari
pangsa pasar media untuk menyasar konstituen
para partai politik tersebut12. Maka jurnalisme
politik yang berkembang pada Pemilu 1999
sendiri masih berada dalam lingkup jurnalisme
massa yang berperan sebagai fungsi sosial
(social correlation) dan afiliasi informal dengan
institusionalisasi politik. Maka secara garis
besarnya, relasi media dalam ranah politik
praktis di Pemilu 1999 bisa dilihat dalam bagan
berikut ini. (Lihat Tabel 3)13
David Hill, The Press in New Order Indonesia
(New York: Equinox Publshing, 2007).
13
Hamad, “Konstruksi Realitas Politik dalam Media
Massa”, Makara Sosial Humaniora, Vol. 8, No. 1,
2004, hlm. 21-22.
12
Politik Persuasif Media ... | Wasisto Raharjo Jati | 21
Tabel 3. Relasi Media dan Politik dalam Produksi Berita13
Sumber: (Hamad 2004: 21-22).
Afiliasi Informal Media dengan
Politik pada 2001-2003
Dalam praktik jurnalisme politik dalam Pemilu
1999, reproduksi teks menjadi bagian penting
dalam menerangkan tendensi informal media
pada partai politik tertentu. Framming menjadi
strategi dominan yang dipakai oleh media untuk
mengemas pesan politik dalam sebuah berita
dengan menekankan informasi pada bagaian
tertentu. Informasi tersebut bisa bersumber
pada sikap partai, skandal, kampanye, maupun
lain sebagainya yang digunakan untuk
mengapresiasi figurisasi partai dalam demokrasi
ataukah mendepresiasi figurisasi partai14. Hal
inilah yang kemudian menjadikan citra partai
sendiri sangatlah beragam di media. Sebagai
contoh dalam Pemilu 1999, Golkar mendapatkan
serangan bertubi-tubi dari segala media
terkait posisinya sebagai partainya Orde Baru,
penyebab kehancuran bangsa, antek Soeharto,
pro rezim otoriter, dan beragam konstruksi sinis
lainnya. Adapun Media Indonesia, Suara Karya,
dan Suara Pembaruan yang kesemuanya “koran
kuning” karena pemilik berbagai media tersebut
adalah petinggi Golkar membela dengan
wacana tandingan bahwa Golkar adalah partai
yang tegar, meskipun dicerca banyak orang.
Adapun dalam kasus partai-partai islam
maupun nasionalis mendapatkan apresiasi
positif dari mayoritas media kala itu dengan
Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan
Wacana (Yogyakarta: LKiS, 2001).
14
menampilkan duet nasionalis-agama akan
membawa perubahan besar sesuai dengan citacita reformasi.
Terkhususnya dalam suksesi kekuasaan
presidensial yang ketika itu belum terdapat
mekanisme pemilihan langsung seperti pada
Pemilu 2004. Posisi media dalam mengafirmasi
politik masih sebatas politik institusional
maupun politik komunal. Penekanan informasi
politik media sendiri menitikberatkan pada
pembentukan poros tengah sebagai lokus sentral
dalam suksesi presidensial ketika itu. Hal yang
menarik adalah pemberitaan Sidang Paripurna
2001 adalah ketika majunya Gus Dur sebagai
perwakilan poros tengah pada Sidang Paripurna
2001 maupun ketika pengangkatan Megawati
sebagai Presiden pada tahun 2002. Perihal
pengangkatan Gus Dur sebagai presiden, media
berada dalam posisi pro dan kontra. Jawa Pos,
koran nasional yang berbasis di Jawa tentu
mendukung Gus Dur dengan memberitakan
Gus Dur sebagai presiden yang reformis
yang didukung pada tokoh NU maupun tokoh
reformis lainnya. Adapun KOMPAS sendiri
memberitakan Gus Dur sebagai presiden yang
peduli dengan HAM dan demokrasi sebagaimana
yang dia lakukan ketika membentuk Forum
Demokrasi pada tahun 1992. Media islami
seperti halnya Republika melihat keterpilihan
Gus Dur dari segi “keberuntungan” karena
mundurnya Yusril Ihza Mahendra sebagai calon
presiden dari partai islam.
22 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Adapun koran-koran plat kuning seperti
halnya Suara Karya, Media Indonesia, maupun
Suara Pembaruan menanggapi terpilihnya Gus
Dur dengan nada skeptis bahwa kepemimpinan
Gus Dur dibayangi isu-isu pemakzulan
yang dilakukan oleh beberapa pihak dari
poros tengah yang kurang berkenan dengan
terpilihnya Gus Dur. Hal ini sangatlah kentara
manakala Gus Dur sendiri dilengserkan
pada pertengahan 2002 dan digantikan oleh
wakilnya. Pemberitaan koran Jawa Pos misalnya
menunjukkan gejala “matinya demokrasi”
karena Gus Dur dinilai sebagai presiden yang
memberi pijakan atas multikulturalisme dengan
memberikan kebijakan afirmasi kepada etnis
Tionghoa maupun mengembalikan nama
“Papua”. Adapun KOMPAS sendiri melihat
lengsernya Gus Dur sendiri bagian dari
dinamika demokrasi yang masih labil yang
harusnya tidak berujung pada aksi pemakzulan
presiden. Sementara koran-koran “kuning”
seperti halnya Media Indonesia, Suara Karya,
maupun Suara Pembaruan lebih menangkap
kaitan Gus Dur dengan Brunei Gate maupun
Bulog Gate maupun hobi Gus Dur yang suka
jalan-jalan ke luar negeri sehingga menurunkan
dukungan kepadanya. Sorotan media-media
kuning tersebut mengarah pada sikap Amien
Rais sebagai pendukung pemakzulan tersebut
yang menilai Gus Dur gagal mengarahkan
pada orientasi reformasi pada jalur yang
benar. Sementara itu, koran Republika sendiri
menilai lengsernya Gus Dur sebagai jalan bagi
kekuatan politik islam berbasis dakwah untuk
melanjutkan perjuangan Gus Dur. Maka jikalau
melihat, pemetaan sikap media dalam suksesi
kepresidenan pada 2001-2003 mengindikasikan
bahwa konstruksi media terhadap pemilu
presiden sendiri sangatlah erat dengan tendensi
ideologis. Media berusaha mengidentifikasikan
posisinya sebagai “pendukung” kekuatan politik
tertentu. Perimbangan antara jumlah tiras koran
yang akan dijual dengan target konsumen tentu
menjadi bagian tak terpisahkan bagi media
yang juga mengemban fungsi sebagai institusi
bisnis. Pemberitaan akan disesuaikan dengan
target konsumen dan prakiraan tiras koran
yang akan dicetak dan dijual. Hal ini yang
kemudian menandai bulan madu media dan
politik dalam penyelenggaraan pemilu presiden
selanjutnya dimana media masuk dalam abad
komersialisasi (age of commercialization)
dimana terjadi proses komoditisasi atas konten
berita dengan penyisipan pesan politik terentu
dan mulai diberlakukannya framing atas tajuk
rencana media untuk mengarahkan publik pada
opini tertentu. Tentunya opini publik maupun
komersialisasi berita merupakan bentuk dari
politik persuasif yang dilakukan oleh media
dalam mengarahkan dan membentuk preferensi
politik publik atas partai dan kandidasi tertentu.
Adapun konteks Pemilu 2004 sebagai
pemilu langsung yang diterapkan dalam
sistem demokrasi telah meminggirkan fungsi
institusionalisasi partai yang sebelumnya
mendominasi dalam Pemilu 1999 maupun
suksesi presidensialisme pada 2001 hingga
2004. Adanya perubahan sistem pemilu yang
sebelumnya menganut sistem proporsional
terbuka menggantikan sistem proporsional
tertutup lebih mendekatkan pemilih kepada
figur daripada partai pengusungnya15. Oleh
karena itulah, sorotan media terhadap partai
politik perlahan mulai dikurangi dengan
menyoroti figur elite-elite politik yang dianggap
merepresentasikan partai politik tersebut.
Komoditisasi atas figure tersebut merefleksikan
sikap media yang ingin memberikan pesan
preferensi politik maupun fungsi korelasi sosial
kepada masyarakat. Politik pencitraan (politics
of image) adalah manifestasi terbarukan dalam
menganalisis figur dan politik dalam ranah
media. Hal ini turut didorong dengan belanja
iklan yang besar untuk mempopulerkan figur
tersebut untuk dipublikasikan ke media.
Besarnya uang iklan politik yang masuk ke
dalam kantong media secara tidak langsung
turut berdampak editorial media massa tersebut
yang berada dalam kisaran 100-300 juta rupiah.
Jurnalisme Politik “Pencitraan”
dalam Pemilu 2004
Menguatnya gejala politik pencitraan dalam
Pemilu Presiden 2004 menggambarkan adanya
gejala “Amerikanisasi” maupun “Clintonisasi”
dalam manajemen kampanye politik di
media. Amerikanisasi dapat disebut sebagai
bentuk kampanye dengan menitikberatkan
pada penggunaan media secara masif dalam
mengkonstruksi figur. Adapun Amerikanisasi
sebagai bentuk pola baru dalam jurnalisme
politik di Indonesia dapat dianalisis dalam
tiga sebab. Pertama, demokrasi meletakkan
Ahmad Danial, Iklan Politik TV: Modernisasi
Kampanye Politik Pasca Orde Baru (Yogyakarta:
LKiS, 2009).
15
Politik Persuasif Media ... | Wasisto Raharjo Jati | 23
kekuasaan di tangan rakyat dan bukan di tangan
elite. Maka untuk mendapatkan kekuasaan,
kandidat maupun partai politik harus menemui
masyarakat. Oleh karena itulah, dengan semakin
banyaknya rakyat yang harus dijangkau dan
ditemui akan berimplikasi pada semakin
membengkaknya biaya sosialiasi media.
Kedua, media sudah berkembang dengan
sedemikian rupa dan sudah menjangkaui semua
lapisan masyarakat sehingga pemasangan iklan
politik di media baik cetak maupun eletronik
dinilai sebagai sarana efektif dan efisien dalam
mempengaruhi preferensi politik masyarakat
luas. Ketiga, dalam demokrasi tidaklah
diizinkan untuk melakukan politik intimidasi
kepada masyarakat, yang ada hanyalah politik
persuasif tentang bagaimana mendekati
masyarakat secara afektif guna mendapatkan
simpati yang kemudian dikonversi menjadi
suara16. Maka pada intinya, Pemilu Presiden
2004
sendiri
mengindikasikan
adanya
transformasi dari kampanye berbasis partai
(party centered-campaign) menuju kampanye
berbasis
kandidat
(candidate
centered
campaign) menuju kampanye berbais modal
(capital centered campaign). Hal inilah yang
kemudian menjadi Pemilu 2004 sendiri layak
dimaknai sebagai kapitalisasi demokrasi
dimana persoalan citra dan kehidupan personal
merupakan persoalan penting untuk diketahui
masyarakat. Segala seluk beluk pribadi kandidat
kemudian diangkat dan ditampilkan kepada
publik untuk mengetahui kesehariannya.
Terbukanya ruang privasi untuk dikonsumsi
publik tentu akan memudahkan publik untuk
memberikan penilaian pribadi terhadap kandidat
tersebut. Kapitalisasi dalam tubuh media
menjadikan media juga berkembang menjadi
aktor signifikan dalam menyampaikan pesan
politis kandidat kepada masyarakat. Informasi
yang berasal dari media sering kali dijadikan
sumber preferensi politik yang penting bagi
pemilih. Dalam hal ini berlakulah hukum
jurnalisme psikologis, bahwa semakin sering
suatu kandidasi maupun partai dipublikasikan
atau diberitakan media, maka semakin besar
pula tingkat keterpilihannya dalam pemilu.
Hal tersebut bisa ditengarai bahwa masyarakat
memiliki tendensi memilih berdasarkan
informasi yang diberikan secara berulang-ulang
sehingga terjadi proses brainstorming secara
tidak langsung. Tendesi lainnya adalah melalui
Denny J.A, Jejak-jejak Pemilu 2004 (Yogyakarta:
LKiS, 2006).
16
kekuatan preferensi publik yang disebar dari
mulut ke mulut bahwa pemilih akan memilih
berdasarkan preferensi politik dari pihak lain
sudah terkena efek preferensi politik media.
Adanya dua tendensi tersebut yang menjadikan
media melakukan pemberitan besar-besaran
terhadap kandidat baik itu seputar isu maupun
kampanye sehingga akan memudahkan
sosialisasi berantai kepada publik. Besarnya
kapital yang masuk ke dalam media secara tidak
langsung membuat media melakukan konstruksi
atas kandidasi tersebut baik dalam lingkup
jurnalisme yang baik (good journalism) ataukah
jurnalisme buruk (bad journalism). Jurnalisme
baik tersebut biasanya mengangkat sisi positif
kandidat dan sebaliknya jurnalisme jelek akan
memberitakan skandal-skandal yang pernah
dilakukan kandidat. Namun demikian, pilihan
antara kedua jenis kandidat tersebut kembali
lagi ke dalam aktivitas politik yang dilakukan
kandidat. Media berperan sebagai hakim politik
(political judge) yang menilai kadar kelayakan
bagi suatu kandidat untuk dipilih masyarakat
menengah.
Persoalan kandidat menjadi sangat penting
dalam Pemilu Presiden 2004 untuk meraih
simpati masyarakat. Dalam hal ini ada dua
hal yang bisa menjadi sumber utama media
melakukan konstruksi atas kandidat yakni
1) personalitas (personality), publik masih
melihat dari segi kharismatik kandidat untuk
layak dijadikan pemimpin negara. Adapun
kharismatik sendiri dapat bersumber dari segi
fisik, intelektualitas, maupun performa di
depan publik. 2) pencitraan sebagai pemimpin
(presidential looking), masyarakat akan
menilai suatu kandidasi dari segi wibawa untuk
dilihat sinerginya dengan perilaku seharisehari seperti halnya perilaku kebapakan atau
memiliki pemikiran yang visioner. 3) figurisasi,
masyarakat condong pada figur yang selama ini
bisa mengadaptasikan dirinya sebagai anggota
masyarakat biasa dalam kehidupan sehari-hari
yang terlepas dari sosoknya sebagai pejabat
atau petinggi negara. Ketiga parameter tersebut
itulah yang kemudian menjadi objek komoditas
media untuk mempopulerkan calon presiden
dalam pemilu presiden 200417. Kecenderungan
masyarakat atas ketiga indikator tersebut
didasarkan atas faktor sosial kultural yang
berkembang bahwa pemimpin harus gagah,
KPU, Pemilihan Presiden secara Langsung 2004:
Dokumentasi, Analisis, dan Kritik (Jakarta: KPU
Press, 2006).
17
24 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
berwibawa, dan segala atribut fisik dan nilai
moral yang menyertainya. Oleh karena itulah,
konstruksi media atas politik tubuh juga
menjadi bagian tidak terpisahkan tentang cara
media menarasikan dan mendisplinkan kandidat
untuk mendekati kriteria yang diinginkan
masyarakat. Terkait dengan pendisplinan tubuh
para kandidat presiden pada pemilu 2004 ada
berbagai cara salah satunya adalah dramatisasi
yang dilakukan media untuk membangkitkan
rasa afeksi dan solidaritas masyarakat terhadap
calon melalui pembesaran isu yang gunanya
mendongkrak popularitas calon tersebut.
Dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden
2004, pasangan kandidat yang maju dalam
kontestasi kursi RI-1 sendiri diikuti oleh lima
pasang calon yakni SBY-JK, Mega-Hasyim,
Wiranto-Salahuddin Wahid, Amien RaisSiswono Yudohusudo, maupun Hamzah HazAgum Gumelar. Diantara kelima pasangan
calon tersebut, persaingan paling sengit terjadi
antara SBY-JK dengan Mega-Hasyim yang
dinilai sebagai klimaks dari Pemilu Presiden
2004 ini. Pemilu presiden yang dilangsungkan
selama dua putaran tersebut pada akhirnya
dimenangkan oleh pasangan SBY-JK dengan
perolehan suara 60.82 persen suara mengalahkan
kompetitornya yakni Mega-Hasyim yang
memperoleh suara 39 persen suara pemilih.
Kemenangan SBY-JK dalam Pemilu Presiden
2004 juga bisa dikatakan kemenangan media.
Hal ini dikarenakan media sukses meroketkan
nama SBY melalui dramatisasi kariernya yang
“dipinggirkan” selama pemerintahan Megawati
Soekarno Putri. Media sendiri memiliki
strategi hiperbolik ketika SBY mengundurkan
diri sebagai Menkompolhukam karena
ketidakcocokannya dengan Megawati. Apalagi
ketika SBY disebut sebagai “jenderal cengeng”
oleh Taufik Kiemas yang notabene menjabat
sebagai fungsionaris PDIP karena mengadu
kepada media perihal pengunduran dirinya
tersebut karena sering tidak diundang rapat
kabinet. Presiden Megawari rupanya sudah
mengikuti lebih lanjut gelagat pembantunya ini
untuk maju sebagai calon presiden sekaligus
kompetitornya nanti dengan mendirikan Partai
Demokrat pada tahun 2001. Hal inilah yang
membuat Megawati Soekarno Putri untuk
“meminggirkan” SBY dalam pemerintahannya,
tetapi justru menjadi strategi presiden petahana
tersebut yang berbuah blunder18.
18 Deddy Mulyana, “Menimbang Iklan Politik di
Media Massa Menjelang Pemilihan Presiden 2004”,
Media mengemas “kisah SBY” tersebut
dalam sebuah dramatisasi politik yang
dirancang untuk melawan rezim Megawati
tersebut. Beberapa media memberitakan berita
SBY tersebut dalam tajuk rencana, halaman
headlines, bahkan diulas mendalam dengan
menghadirkan para pengamat. Media koran
kuning seperti Media Indonesia maupun
Suara Karya sendiri lebih menekankan kepada
pencalonan Jusuf Kalla dari partai lainnya yang
dianggap sebagai “pengkhianat Golkar” karena
tidak seia sekata dengan garis kebijakan partai
yang mendukung pencalonan Wiranto. Adapun
koran Republika sendiri menyoroti majunya
perempuan sebagai pemimpin di negara
mayoritas muslim “belum diperkenankan”
karena sebaiknya lelaki yang diperbolehkan
memimpin suatu negara. Konstruksi media
tersebut untuk menggambarkan majunya
Megawati sebagai presiden untuk kedua kalinya.
Menariknya dalam penyelenggaraan Pemilu
Presiden 2004 ini, media sendiri mengalami
pembelahan dalam pengkonstruksian preferensi
politik yakni media partisan maupun media non
partisan. Adapun yang dimaksudkan dengan
media partisan sendiri adalah media yang
digunakan oleh partai politik untuk mendukung
sosialisasi kandidasi ke tangan pemilih,
sedangkan media non partisan adalah media
yang tidak terafiliasi dengan kekuatan politik
tertentu, tetapi berusaha untuk mengidentifikasi
pemberitaan kandidasi yang dianggap potensial
guna mendongkrak rating pemirsa.
Adanya perbedaan frekuensi publikasi
calon yang dilakukan oleh media memang
menunjukkan seberapa besar kapital politik yang
dimiliki suatu kandidasi calon. Besarnya atensi
media terhadap kandidasi yang diusung oleh
Partai Golkar maupun PDIP mengindikasikan
hal tersebut dengan kekuatan belanja iklan
kandidasi berkorelasi kuat “mampu” membeli
kekuatan siaran media. Namun demikian dalam
konteks Pemilu 2014, kekuatan modal bukanlah
salah satunya faktor penentu kemenangan calon
dalam memenangkan media dan menentukan
preferensi politik pemilih. Akan tetapi kembali
lagi kepada faktor personalitas kandidasi
dikarenakan pemberitaan media sangatlah
tergantung calon19. Artinya dinamika politik
yang berkembang dalam kandidasi juga menjadi
Mediator, Vol. 5 No. 1, 2004, hlm. 77.
19
David Hill, Politics and the Media in Twenty-First
Century Indonesia: Decade of Democracy (London:
Routledge,2011).
Politik Persuasif Media ... | Wasisto Raharjo Jati | 25
pertimbangan lainnya politik pencitraan tersebut
dibentuk dan dikonstruksi.
Pasangan
calon
Susilo
Bambang
Yudhoyono-Jusuf Kalla sangatlah diuntungkan
dengan adanya faktor personalitas maupun
dinamika politik yang berkembang sehingga
membuat media berpihak kepada pasangan ini.
Tentunya umpatan “jenderal cengeng” menjadi
sumber pemantik media untuk membuat efek
hiperbolik terhadap pemberitaan SBY-JK.
Media mainstream seperti KOMPAS maupun
TEMPO memberitakan hal tersebut sebagai
isu menarik dalam pemanasan kandidasi
presidensial. Posisi SBY-JK yang ditempatkan
sebagai posisi underdog dibandingkan dengan
calon lainnya membuat media iba dan berbalik
mendukung pasangan ini. SBY sendiri juga
pandai dalam memanfaatkan situasi tersebut
dengan memainkan drama politik melankolis
dimana dia dan Jusuf Kalla disingkirkan dari
kabinet Gotong Royong karena ketidakcocokan
dengan presiden Megawati. Pasangan ini
berhasil menempatkan dirinya sebagai “orang
yang teraniaya” dalam. Tentu ini menjadi sajian
menarik dalam jurnalisme politik di Indonesia,
manakala media harusnya menjadi penilaian
politik atas pasangan calon, kini menjadi
pendukung atas pasangan ini. Media justru
bertindak pasif dan malah justru pasangan ini
yang aktif mempopulerkan dirinya. Artinya
prinsip “mengikuti popularitas” menjadi tren
jurnalisme politik media ketika itu bahwa
popularitas SBY-JK membesar karena strategi
tersebut yang kemudian dibesarkan oleh
media. Media dengan lihai memanfaatkan
situasi afirmitas publik kepada SBY-JK dengan
keberhasilan pasangan ini dalam mendamaikan
Maluku, Aceh, dan Poso melalui Perjanjian
Malino II dan kesepakatan jalan damai
perdamaian dengan GAM di Jenewa. Hal itu
masih ditambah dengan konsepsi Jawa-Luar
Jawa maupun figur sipil dan militer yang
dikonstruksi publik sebagai pasangan ideal
memimpin Indonesia seperti yang ada dalam
pasangan SBY dari Jawa dan Jusuf Kalla dari
Makassar sehingga perimbangan Indonesia
Barat dan Timur menjadi seimbang Harus diakui
ada beberapa media yang tidak terkena efek
melankolis SBY tersebut yang mempertanyakan
latar belakang militer maupun keterlibatannya
dalam penertiban massa pada insiden Mei 1998
dimana SBY menjabat sebagai sosok akademisi
berbaju militer yang dinilai dapat menghadirkan
rezim militerisme kembali ke kekuasaan
presidensial. Namun semuanya tersebut justru
dibantah media “melankolis” bahwa SBY dan
JK adalah figur demokrasi yang sekarang ini
dibutuhkan publik Indonesia.
Pasangan ini diibaratkan sebagai “semut
dikelilingi gajah” karena ketiadaan popularitas
maupun sumber daya ekonomi lainnya. Selain
halnya SBY-JK, keempat pasangan lainnya
didukung oleh partai politik besar yang
kesemuanya melambangkan kekuatan politik
mapan dengan sumber daya yang besar pula.
Adanya perimbangan kekuatan politik tersebut
berimplikasi kepada iklan media maupun
pemberitaan media pula. Dalam episode iklan
politik di media dalam Pemilu 2004, ada dua jenis
iklan politik yang berkembang yakni iklan elitis
maupun pluralis. Iklan elitis sendiri condong
pada pembentukan kata-kata sloganistik
seperti halnya “pilihlah saya”, “percaya”,
“jujur dan cerdas”, dan “bersih dari korupsi”
yang ditujukan untuk pengumpulan massa.
Media yang menampilkan iklan elitis seperti
ini biasanya adalah media yang mengabdikan
dirinya sebagai institusi bisnis yang kemudian
menjual slot pemberitaannya kepada kandidasi.
Selain halnya berbentuk sloganistik, iklan
elitis sendiri juga berwujud pada pengumpulan
testimonial yang dilakukan oleh berbagai aktivis
maupun kaum universitas yang memberikan
kesan positif terhadap kandidasi yang diusung.
Sementara itu, substansi yang diangkat iklan
populis di media sendiri mengangkat tema
cinema verite yakni mengangkat popularitas
calon dengan cara mendekatkan mereka dengan
kondisi riil yang dihadapi oleh masyarakat
seperti makan bersama, bernyanyi di sawah,
maupun bercengkrama dengan masyarakat
bawah. Kesan yang ingin ditimbulkan dalam
iklan luar ruangan tersebut adalah pemimpin
itu haruslah dekat dengan masyarakat seperti
dalam kesehariannya. Hal inilah yang mendapat
simpati dan empati masyarakat dalam
menilai kandidasi tersebut sehingga bersedia
memilihnya pada pemilu nanti.
Terhadap dua iklan media yang satu
bersifat populis sementera yang lainnya elitis,
tentunya pencitraan akan berbeda jauh. Adapun
pencitraan yang terdapat dalam iklan elitis
lebih mengarah kepada pembentukan opini
dilakukan secara top down. Artinya proses
konstruksi sendiri dilakukan oleh para elite
kepada masyarakat agar masyarakat tersugesti
memilih kandidasi yang dimaksudkan. Adapun
26 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
penyugestian masyarakat terhadap hal tersebut
tentu menjadi aksi pembodohan publik dimana
publik seakan-akan dicekoki oleh informasi
yang tidak berimbang dengan hati nurani
masyarakat. Ada nuansa represif dan koersif
jurnalistik ketika media menampilkan iklan
tersebut kepada publik agar memilih kandidasi
tersebut. Publik jelas kurang begitu menyukai
model iklan media konvensional seperti ini
ketika publik kini telah ditetapkan sebagai
pemegang mandat suara tertinggi. Publik jelas
ingin didekati bukan ditekan melalui iklan
media tersebut. Sementara itu, iklan populis
lebih disukai publik karena pembentukan
opini terhadap kandidasi tersebut dilakukan
oleh publik tersebut. Terlepas dari rasa suka
maupun tidak suka, publik diberi keleluasaan
untuk menilai terhadap cara kampanye yang
dilakukan kandidasi dengan menyambangi
mereka melalui kesahajaan penampilan dan
mimik merakyat. Iklan populis sendiri yang
menekankan kebersamaan dengan masyarakat
menjadi modal penting keberhasilan politik
persuasif.
Dalam konstelasi Pemilu Presiden 2004,
antara pertarungan iklan elitis dan populis
secara jelas bertarung dalam arena politik
persuasif tersebut. Adapun pasangan MegaHasyim sendiri mengandalkan iklan elitis
tersebut dengan menampilkan pencapaian
pemerintahan Mega selama 3 tahun terakhir.
Dalam iklannya di media, citra kemegahan
dan kebesaran kekuasaan tampak menjadi
tema sentral dalam eksekusi kreatif iklaniklan politik pasangan Megawati dan Hasyim
Muzadi. Sentralisasi tersebut bertujuan untuk
mengkultuskan Megawati sebagai puteri Bung
Karno yang merupakan pemimpin terbaik
bagi Indonesia dalam lima tahun ke depan.
Peran Hasyim sebagai pemimpin NU sendiri
sangatlah strategis untuk menggaet massa
Islam. Selain halnya Mega-Hasyim, pasangan
Wiranto juga menggunakan pendekatan elitis
dengan menampilkan dirinya sebagai panglima
TNI yang sanggup menjamin keamanan dan
ketertiban masyarakat. Amien Rais dengan
penciptaan dirinya sebagai tokoh reformis yang
pro demokrasi. Iklan populis sendiri dilakukan
Siswono Yudohusudo yang menampilkan
dirinya sebagai ketua HKTI bersama petani
tengah panen raya dan SBY yang bernyanyi
bersama masyarakat miskin. Hal inilah yang
kemudian berdampak pada pesan kampanye
yang diusung. SBY-JK mengusung semboyan
“bersama kita bisa” maupun koalisi kerakyatan
yang dipimpin oleh partai-partai kecil melawan
Mega-Hasyim melalui koalisi kebangsaan yang
berisikan partai-partai politik besar. Media pun
melakukan framing atas koalisi tersebut dengan
menekankan kerakyatan maupun kebangsaan.
Kebangsaan sendiri dikonstruksi sebagai bagian
dari koalisi besar yang berisikan pada tokohtokoh bangsa sedangkan kerakyatan dimaknai
sebagai kebersamaan pemimpin bersama rakyat
dalam memimpin.
Adanya dua pemaknaan yang berbeda
inilah yang membuat masyarakat kemudian
memilih SBY sebagai pemimpin. Mengusung
konsep komunikasi “brand building”, figur
SBY langsung diangkat sebagai komoditas
politik dengan mempertajam kekuatan
personalitasnya. Postur tubuh SBY yang tinggi
besar, wajahnya yang ganteng, penampilan
yang santun dan mengayomi, tutur kata yang
sistematis dan ilmiah, tingkat intelektualitasnya
yang tinggi (meraih doktor dalam bidang
Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian
Bogor, berpengalaman dalam birokrasi sebagai
mantan Menteri Pertambangan dan Energi serta
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, dan
tidak boleh dilupakan sebagai mantan militer
berpangkat Jenderal) dianggap publik mampu
memberikan jaminan stabilitas politik dan
keamanan nasional yang sangat labil pada masa
reformasi dewasa ini. SBY mampu menarik
perhatian publik melalui publikasi dirinya di
media maupun ekspose media secara besarbesaran. Adapun citra yang ditampilkan oleh
Megawati sendiri kurang begitu diterima publik.
Publik merasa terdeprivasi relatif mengingat
janji Megawati dengan pemerintahannya
sendiri tidak berjalan sinkronisasi. Sorotan
media terhadap banyaknya aset BUMN yang
dijual selama pemerintahan Mega membuat
semboyan “wong cilik” dan “pro masyarakat
miskin” menjadi tidak ikonik lagi di mata
masyarakat. Hal inilah yang menjadikan
karakter Megawati sendiri menjadi “terbunuh”
oleh kongsi jurnalisme politik dan massa yang
memihak kepada SBY.
Munculnya Kongsi Politik dan
Media di Pemilu 2009
Posisi media dalam Pemilu Presiden 2004
belum bisa menjalankan fungsinya sebagai
Politik Persuasif Media ... | Wasisto Raharjo Jati | 27
penilaian politik yang sahih dalam menilai
dan mengadili kelayakan kandidat menjadi
calon presiden yang mumpuni karena masih
“mengikuti
arus
pemberitaan”
(follow
mainstream news). SBY-JK adalah episentrum
pemberitaan media pada kurun waktu 20032004 melalui sikap dan personalitasnya.
Gencarnya ekspose media masa baik cetak
maupun televisi ketika SBY disingkirkan
secara halus sebagai Menkopolhukam dalam
kabinet Gotong Royong dan menjadi keputusan
pengunduran dirinya merupakan momentum
penting. Perseteruannya dengan Taufik Kiemas
suami presiden Megawati, menjadi semacam
pertunjukan kesewenang-wenangan kekuasaan.
Ucapan Taufik Kiemas yang menghina pribadi
SBY sebagai “Jenderal yang cengeng”, menjadi
kotak pandora yang semakin melambungkan
pamornya sebagai ikon ketertindasan yang
banyak menangguk simpati publik. Artinya
media berhasil menciptakan adanya hiperrealitas terhadap sosok SBY yang dianggap
pemimpin alternatif yang dianggap mampu
memenuhi ekspektasi masyarakat terhadap
janji reformasi yang belum dilaksanakan
sepenuhnya oleh tokoh-tokoh reformis. Media
juga melakukan publikasi masif atas politik
melankolis SBY sebagai pendulang suara
signifikan dalam Pemilu Presiden 2004 yang
merasa dizalimi oleh Presiden Megawati. Maka
kemenangan SBY dalam Pemilu 2004 sendiri
bisa bisa dikatakan sebagai kemenangan citra
yang dikonstruksi media secara besar-besaran
sehingga mengangkat figur SBY dari bukan
siapa-siapa menjadi figur penting.
Perlahan tapi pasti, media menjelma
menjadi penilaian politik yang sesungguhnya
dalam Pemilu 2009 yang diwakili oleh
kontestasi dua grup media besar yakni Media
Group maupun Viva Group, selain halnya
kelompok media independen yang tidak
berafiliasi dengan kekuatan politik tertentu.
Adanya persaingan dua kelompok tersebut
menginisiasi terbentuknya konglomerasi media
dalam lanskap politik Indonesia. Artinya proses
konstruksi kandidasi sendiri dilakukan oleh
kelompok media partisan dan non partisan
dalam menmberikan fungsi korelasi sosial
kepada masyarakat. Terkait dengan beragamnya
jumlah media yang meliput dan melakukan
konstruksi atas isu maupun kandidasi calon
pada Pemilu 2009, ada empat jenis karakteristik
jurnalisme media yang berkembang pada
2009 yakni (empat) pandangan yang saling
berlawanan, yaitu: pertama media sebagai
penonton (spectator); kedua, sebagai penjaga
(watchdog); ketiga, sebagai pelayan (servant);
dan keempat, sebagai penipu (trickster)20.
Konteks kontestasi Media Group maupun Viva
Group sendiri dikategorisakan sebagai servant.
Hal ini terkait pembelaan media terhadap
masing-masing kandidasi yang mereka usung.
Viva News Group sendiri merupakan kelompok
bisnis media yang dikuasai oleh Aburizal
Bakrie dan Media Group sendiri berafilisasi
dengan Surya Paloh. Meskipun kedua media
ini mengidentifikasikan sebagai media koran
kuning, intensitas warna kuning yang terdapat
dalam pemberitaan media tersebut sangatlah
kontras sekali. Surya Paloh melalui Media
Group sendiri memiliki kedekatan hubungan
dengan Jusuf Kalla yang kali ini maju sebagai
calon presiden dari Partai Golkar bersama
dengan Wiranto, sementara Aburizal Bakrie
sendiri memiliki hubungan erat dengan pihak
istana sehingga condong mendukung SBYBoediono. Adanya peletakan basis dukungan
yang berbeda itulah yang menjadikan
pemberitaan kedua kandidasi tersebut layaknya
rivalitas sengit. Media Group sendiri dengan
gencar memberitakan skandal yang terjadi di
masa pemerintahan SBY seperti skandal bailout
Bank Century 6,7 trilyun sebagai anti tesis
terhadap keberhasilan SBY selama empat tahun
terakhir ini. Media Group melalui Metro TV
maupun Media Indonesia mengkonstruksi Jusuf
Kalla sebagai the real president ketimbang
SBY yang dinilai lamban dan tidak tegas dalam
mengambil keputusan. Adapun Viva News
sendiri menangkis pemberitaaan negatif SBY
melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi
semenjak masa reformasi maupun pemberian
kebijakan populis seperti penurunan harga BBM,
angka 20 % persen anggaran buat pendidikan,
maupun BLT. Adapun media sebagai spectator
dan watchdog sendiri dijalankan media yang
dikuasai oleh MNC Group maupun Para
Group seperti Trans TV dan RCTI yang belum
sepenuhnya memiliki afiliasi dengan kekuatan
rezim.. SBY memenangkan Pemilu 2009 berkat
popularitasnya yang masih menjulang dan
berkat adanya tangkisan media-media partisan
yang masih mengakui kekuasaan SBY sebagai
presiden yang sangat efektif dalam memimpin
pemerintahan.
Duncan McCargo, Media and Politics in Pacific
Asia (New York: Routledge, 2006).
20
28 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Konglomerasi Media dalam Arena
Elektoral Presidensial 2014
Menjelang Pemilu Presiden 2014 mendatang,
transformasi jurnalisme politik dalam tubuh
media menjadi “anjing penjaga” maupun
konglomerasi media akan menjadi bagian
integralistik politisasi media pada 2014
mendatang. Corak konglomerasi media kini
semakin kentara dengan adanya MNC Group
yang berafiliasi dengan Hanura melawan
hegemoni Nasional Demokrat melalui Media
Group dan Golkar melalui Viva News. Hal ini
belum ditambah munculnya kelompok media
lainnya yang akan melalukan hal sama jika
terdapat kandidasi potensial yang diorbitkan
sebagai presiden. Tentunya dengan adanya
gejala politik media yang begitu kuat dalam
wajah jurnalisme politik dikhawatirkan akan
membuat saluran informasi media menjadi
saluran indoktrinasi yang begitu kuat.
Konteks kekhawatiran tersebut dapat dianalis
dalam berbagai alasan. Pertama, ketiadaan
keberagaman kepemilikan dalam tubuh media
menjadikan keberagaman substansi media
menjadi sangat monolitik. Masyarakat tidak
menikmati adanya informasi yang pluralistik,
tetapi dipenjara secara visual dengan indoktrinasi
pesan-pesan politik pemilik media yang
bersangkutan. Kedua, tergadaikannya agenda
publik atas informasi dengan kepentingan
pemilik sehingga mematikan konsensus
deliberatif yang berlangsung di ranah publik.
Ketiga, terjadinya perubahan status publik
sebagai spectator menjadi voter pasif dalam
media karena terjadi proses brainstorming
tidak langsung dalam pemberiaan. Keempat,
menurunnya standar jurnalisme media massa
karena arah pemberitaan menjadi tidak
independen dan mulai merambah kepada
pemasaran kandidat21. Maka dengan melihat
gejala konglomerasi media yang kian kuat akan
berimplikasi pada banalitas pada demokrasi itu
sendiri. Ketika media semakin berkuasa atas
politik persuasif publik, maka semakin rendah
pula kecerdesan independen yang dimiliki
publik dalam menilai kepantasan calon sebagai
presiden.
Namun demikian, di tengah mengejalanya
politik pencitraan maupun konglomerasi media
sebagai sajian utama pembahasan media dalam
Yanuar Nugroho, Mapping The Landscape of The
Media Industry in Contemporary Indonesia ( Jakarta:
Centre for Innovation Policy and Governance, 2012).
21
Pemilu Presiden 2014. Sekarang ini muncul
media melakukan pembongkaran pencitraan
secara langsung seperti melangsungkan acara
parodi politik sebagai anti tesis kedua gejala
tersebut. Adapun parodi sendiri ditampilkan
untuk memenuhi hasrat publik untuk menikmati
tontonan informasi politik yang berimbang
dengan gejala konglomerasi media tersebut. Hal
inilah yang sering kali mejadi distorsi dalam
jurnalisme politik ketika “yang palsu kelihatan
nyata” (when fake is more real) dengan adanya
bayangan utopia presiden yang merakyat.
Indosiar, KOMPAS TV, maupun SCTV mulai
menggerakkan medianya menuju politik parodi
ini demi mengejar pangsa pasar ini dengan
memanfaatkan kebosanan publik. Tentunya
dengan adanya pemberitaan yang berimbang,
publik berharap bahawa saluran informasi dalam
Pemilu Presiden 2014 sendiri tidaklah menjadi
monolitik, namun pluralis dengan beragamnya
akses informasi yang didapat.
Penutup
Konstelasi media dengan politik praktis bisa
dikatakan saling terdependensi satu sama
lainnya. Politik memerlukan publikasi untuk
mendiseminasikan ideologinya kepada publik
secara meluas dan media memerlukan figur
politisi untuk mendongkrak citra komersialisasi
media di ranah publik. Secara konseptual,
kebebasan media memang diposisikan sebagai
fourth estate dimana media adalah pilar
demokrasi setelah lembaga trias politika yang
berperan mengawasi dan jalannya pemerintahan.
Namun secara realita, batas antara politik
dan media sangatlah tipis bahkan imajiner
karena kedua ranah ini berperan besar dalam
melakukan politisasi satu sama lain. Dalam
konteks demokrasi transaksional seperti yang
terjadi kasus elektoral presidensial di Indonesia,
media belum sepenuhnya independen dalam
pemberitaan karena condong pada kekuasaan
tertentu.
Hal itulah yang dapat dideskripsikan
dalam konstelasi media dalam pemilu presiden
dalam kurun waktu 2001-2009, konteks
media sebagai konglomerasi masih ada dalam
demokrasi. Pemberitaan media yang secara
ekonomi-politik terpatronase dengan penguasa
belumlah lekang sama sekali. Indikasinya
dalam suksesi presidensial 2001-2003 terlihat
bagaimana media masih terafiliasi informal
Politik Persuasif Media ... | Wasisto Raharjo Jati | 29
dengan kekuatan partai penguasa untuk
memudahkan pemasaran media tersebut.
Adanya politik konstruksi maupun politik
framing dalam kurun waktu dua tahun tersebut
masih dirasa lemah untuk menampilkan citra
media sebagai watchdog. Konteks Pemilu
Presiden 2004, media mendapatkan posisi
untuk melakukan konstruksi ketika personalitas
menjadi fokus penting kampanye caleg. Dalam
pemilu ini, media di Indonesia mulai matang
dalam pemberitaan Pemilu Presiden melalui
konstruksi calon maupun framing pemberitaan.
Namun demikian menjadi mundur ketika
Pemilu 2009, ketika oligarki media-politik
bertansformasi menjadi konglomerasi media
yang berperan besar mengarahkan media
sebagai alat kampanye politik yang efektif
dan efisien. Oleh karena itulah kita mengharap
semoga media secara benar dan nyata mampu
menjalankan perannya sebagai pilar demokrasi
keempat dengan nyata dan benar agar informasi
politik yang didapat publik menjadi seimbang.
Daftar Pustaka
Buku
Chomsky, Noam.,2011, Media Control: The
Spectacular Achievement of Propaganda,
Toronto: Open Media Books.
Danial, Ahmad., Iklan Politik TV: Modernisasi
Kampanye Politik Pasca Orde Baru,
Yogyakarta: LKiS, 2009.
Hill, David.,2007, The Press in New Order
Indonesia, New York: Equinox Publshing.
Hill, David.,2011, Politics and the Media in
Twenty-First Century Indonesia: Decade of
Democracy, London: Routledge.
J.A, Denny.,2006. Jejak-jejak Pemilu 2004,
Yogyakarta: LKiS.
KPU., 2006, Pemilihan Presiden secara Langsung
2004: Dokumentasi, Analisis, dan Kritik,
Jakarta: KPU Press.
McCargo, Duncan., 2006, Media and Politics in
Pacific Asia, New York: Routledge.
Macquail,
Dennis.,2003,
Media
Policy:
Convergence, Concentration & Commerce,
London: Sage.
Masduki.,2007, Regulasi Penyiaran: Dari
Otoriter ke Liberal, Yogyakarta: LKiS.
Nugroho, Yanuar.,2012, Mapping The Landscape
of The Media Industry in Contemporary
Indonesia, Jakarta: Centre for Innovation
Policy and Governance.
Sudibyo, Agus., 2001,
Politik Media dan
Pertarungan Wacana ,Yogyakarta: LKiS.
Jurnal
Dhakidae, Daniel., 1992. The State, The Rise of
Capital and The Fall of Political Journalism
: Political Economy of Indonesian News
Industry, Madison: University of Wisconsin
Press.
Eriyanto., Konsentrasi Kepernilikan Media dan
Ancaman Ruang Publik, dalam Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Vol.12, No.2 / Juli
2008.
Hamad,Ibnu., 2004. Konstruksi Realitas Politik
dalam Media Massa, dalam Makara Sosial
Humaniora, Vo.8,No.1/April 2004.
Kovack, Bill. 2001. 9 Element of Journalism,
London: The River Press.
Masduki., Jurnalisme Politik:Keberpihakan Media
dalam Pemilu 2004, dalam Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Vol.8 No.1/2004.
Mulyana, Deddy., Menimbang Iklan Politik
di Media Massa Menjelang Pemilihan
Presiden 2004”, dalam Mediator, Vol.5,
No.1/2004.
Putra, Gusti Ngurah., Ketika Watchdog Dikuasai
Para Juragan: Kontrol Penguasaha terhadap
Media Massa, dalam Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Vol 12, No.2/2008.
Wahyuni, Hermin Indah., Politik Media dalam
Transisi Politik: Dari Kontrol Negara
Menuju Self-Regulation Mechanism, dalam
Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol.4, No.1/ Juni
2007.
Surat Kabar dan Website
Utomo, Wisnu Prasetyo., Mewaspadai Ancaman
Konglomerasi Media, dalam Majalah
Kongres, Mei/2013.
30 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
TANTANGAN PRESIDEN INDONESIA MENDATANG, DAN
RELEVANSI ‘MULTIPLICATION AUTHORITIES’ SINGAPURA
CHALLENGES FOR THE NEXT PRESIDENT OF INDONESIAN AND
THE RELEVANCE OF SINGAPORE “MULIPLICATION AUTHORITIES”
Zainuddin Djafar
Guru besar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Jalan prof. Dr. Surjono D Pusponegoro, Kampus UI Depok 16424
E-mail: [email protected]
Diterima: 26 Juli 2013; direvisi: 21 Agustus 2013; disetujui: 28 November 2013
Abstract
This writing is going to observe the significant challenge for the next of Indonesian President (after 2014).
Some observations have been done, and some important views on individual strength leadership seem not enough.
The leadership of next Indonesian president should also reconsider its role in order to cope with the major of
Indonesian national problem especially with the issue of corruption. Singapore has shown of its management
of success in handling its cronic problem of corruption. The Singaporean Prime Minister leadership has given
substantial lesson learned, and indirectly the concept of Multiplication Authorities has shown its validity including
several strategies that should also be regarded as the main mission for the next Indonesian president.
Keywords: Indonesian next president, Singaporean Multiplication Authorities
Abstrak
Penulisan ini bertujuan untuk melakukan observasi pada hal-hal terkait dengan tantangan yang significan
bagi calon presiden Indonesia mendatang (pasca 2014). Dalam hal itu observasi sudah dilakukan, dan pandangan
pada hal-hal yang terkait dengan kekuatan maupun kelebihan kepemimpinan seseorang tampak tidak cukup.
Kepemimpinan bagi presiden Indonesia mendatang juga harus memperhitungkan perannya untuk dapat mengatasi
masalah besar bangsa khususnya dalam hal makin kronisnya problema korupsi. Singapura dengan manajemen
suksesnya telah berhasil mengatasi soal korupsi yang juga demikian kronik di negaranya. Perdana Menteri
Singapura telah memberi berbagai pelajaran yang berharga, termasuk berbagai strategi yang perlu dipertimbangkan
yaitu dengan memperhatikan relevansi prinsip “Multiplication of Authorities’, yang telah terbukti validitasnya,
dan tentunya hal tersebut perlu mendapat perhatian bagi kepemimpinan Presiden Indonesia mendatang.
Kata kunci: Presiden Indonesia mendatang, dan Multiplikasi Otoritas Singapura
Pendahuluan
Konteks”Multiplication of Authorities” (MA)
sebagai suatu konsep menjadi perhatian dan
sorotan utama dari penulisan ini. Intinya,
banyak negara yang berhasil dalam merealisir
berbagai kebijakan domestiknya dalam
mengatasi persoalan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN) dan kronis sifatnya, dan
cenderung menerapkan konsep MA secara
optimal, konkrit, dan strategis. Konsep MA
yang menjadi penekanan James N. Rosenau
melihat bahwa realisasi suatu order (aturan
kebijakan) yang sudah disepakati oleh suatu
pemerintahan di suatu negara tidak luput dari
berbagai fragmentasi (perbedaan).1 Perbedaan
antara aturan suatu kebijakan dan fragmentasi
James N. Rosenau, The Study of World Politics
(Vol.2), Globalization and Governance, (London:
Routledge, London, 2006), hlm. 13-18.
1
Tantangan Presiden Indonesia Mendatang ... | Zainuddin Djafar | 31
tersebut tidak dapat dan tidak mudah untuk
dapat diatasi begitu saja atau bersifat otomatis,
tanpa suatu upaya yang kuat dan serius untuk
menuju suatu keberhasilan.
Rosenau pada dasarnya menekankan
bahwa order dan fragmentation penuh dengan
tatanan nilai, dan tidak otomatis suatu order
akan menjadi suatu order yang dipatuhi oleh
semua pemutus dan pelaksana suatu kebijakan.2
Karena itu suatu order dapat menjadi disorder
bagi pembuat keputusan maupun pihak lainnya,
jika suatu konteks kebijakan tidak dipahami
secara tepat oleh pihak-pihak lainnya di berbagai
lembaga di tingkat eksekutif misalnya. Hal ini
menurut Rosenau makin terasa penting di suatu
pemerintahan yang mendeklarasikan sebagai
suatu negara demokrasi, dan tentunya suatu
kebijakan (order) tetap harus mengutamakan
prinsip dan azas demokrasi yang tidak bersifat
tirani maupun impurity (semau-maunya) yang
justru dapat menimbulkan chaos.3 Prinsip
demokrasi juga harus mengutamakan centralized
democracy atas kebijakan-kebijakannya yang
tentunya konteks Multiplication of Authorities
(MA) makin penting dan relevan dalam
menghadapi problema kompleksnya korupsi
di Indonesia. Prinsip kebijakan MA yang
berlapis dan menjadi suatu kekuatan bersama
antar lembaga-lembaga pemerintah, dalam
melakukan pemberantasan korupsi maupun
KKN di Indonesia menjadi kunci penting di
masa mendatang. Singapura dengan berbagai
lembaga anti korupsinya Prevention of
Corruption Ordinance (POCO) dan Corrupt
Practice Investigation Bureau (CPIB) yang
sekaligus bersinergi dan multiplikatif sifatnya
dengan pihak-pihak terkait lainnya (Perdana
Menteri, Parlemen, Kepolisian, Pengadilan, dan
aparat hukum lainnya), menjadi bukti penting
bagi keberhasilan negara tersebut sebagai negara
yang masuk kategori “clean government” dari
korupsi di Asia Tenggara saat ini.
Sampai kini isu dan problema korupsi
(KKN) di Indonesia makin kompleks dan makin
banyak keinginan dari berbagai pihak agar
presiden mendatang pasca 2014, tidak hanya
berjanji untuk mengatakan tidak pada korupsi
atau menjadi pemimpin terdepan dalam hal
pemberantasan korupsi, tetapi diperlukan suatu
leadership dan kebijakan yang jelas, berani dan
tegas. Intinya perlu diciptakan kebersamaan
Ibid.
3
Ibid.
2
tujuan dan tindakan semua otoritas di tingkat
eksekutif yang berlapis sifatnya (termasuk
lembaga-lembaga terkait), dan minimal “kasus
Singapura” perlu menjadi perhatian. Dengan
demikian, relevansi MA tersebut tampak makin
signifikan. Lebih jauh, muncul berbagai berita utama
di media cetak, dan salah satu tema yang
cukup signifikan yaitu ‘Dicari Pemimpin Mau
Urus Rakyat’, lebih jauh ditegaskan bahwa
kepemimpinan seorang presiden pada pasca
pemilu 2014, diharapkan agar Indonesia dapat
dipimpin oleh sosok pemimpin yang bersih,
tegas, dan berintegritas.4 Sosok presiden
tersebut juga diharapkan bersifat pluralis, berani
mengambil resiko, serta dekat dan mampu
menggerakkan rakyat pada umumnya.5
Keinginan akan sosok kepemimpinan
presiden yang demikian tersebut di atas, tampak
tidak terlalu berlebihan. Hal ini disebabkan oleh
beberapa hal; pertama, konteks kepemimpinan
yang diperankan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono selama 10 tahun terakhir ini terkesan
‘tidak pada format kepemimpinan yang tegas’
khususnya menghadapi permasalahan korupsi,
yang sudah demikian menggurita, dan mengakar
pada seluruh elemen bangsa Indonesia. Hal
tersebut makin menjadi masalah karena
pasca era reformasi dan 15 tahun kemudian
(2013), sesuai dengan realitas indikator yang
ada, korupsi di republik ini dan khususnya
di kalangan birokrasi pemerintahan makin
menjadi-jadi, dan jauh lebih buruk kondisinya
dibandingkan pada era sebelum reformasi yaitu
di masa Orde Baru. Persoalan korupsi maupun
KKN sangat sulit diberantas dan dituntaskan
kalau para pemimpin di berbagai lembaga
pemerintahan, dan termasuk presiden sendiri
masih mempunyai “kepentingan”, dan tidak
benar-benar tuntas menghadapi serta berani
mengakhiri kondisi bangsa yang carut marut
dengan problema korupsi tersebut.
Kedua,
pengalaman
Singapura
menunjukkan dengan tegas bahwa seorang
presiden ataupun kepala pemerintahan tidak
boleh terlibat maupun ikut campur dengan
hal-hal yang dilakukan oleh semacam
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nya
Singapura, yaitu POCO maupun CPIB yang
merupakan ‘Anti-Corruption Agency’. Ketiga,
‘Dicari Pemimpin Mau Urus Rakyat’, Harian
Kompas, 31 Mei 2013, hlm. 1-5, Jakarta.
5
Ibid.
4
32 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
sebagaimana diketahui Singapura pada tahun
1958 adalah termasuk negara terkorup di Asia
dan kronis sifatnya. Namun, karena kegigihan
para pemimpinnya bahwa tumbuh suburnya
korupsi di negara pulau tersebut semata-mata
dapat menjadi bencana yang berkepanjangan,
dan Singapura tidak akan mampu menjadi
‘welfare state country’, dengan ‘Management
of Success’-nya di hampir semua bidang
kehidupan.6
Karena itu Singapura harus
bersih dari korupsi, dan pemerintahaan yang
bersih itulah yang harus diperkenalkan dan
menjadi daya penarik tersendiri pada dunia
internasional, sehingga Singapura dengan
amat terbatas bahkan tidak mempunyai sumber
daya alam yang patut dibanggakan (kecuali
pelabuhan dengan air terdalam di dunia – deep
seaport), tetap dapat eksis dan menjadi pusat
kegiatan ekonomi, bisnis, transaksi terbesar
jual beli saham dan keuangan di Asia dan dunia
umumnya yang diakui kredibilitasnya.
Keempat, kasus Singapura dengan indeks
bebas korupsi tertinggi di dunia perlu mendapat
perhatian serius. Lebih dari itu, keberhasilan
Singapura harus dilihat juga sebagai ‘bestpractices’ yang valid dan terjadi di lingkungan
ASEAN, serta di depan mata bangsa dan negara
Indonesia. Sebagaimana diketahui, China
sendiri pada tahun 1978 khususnya Perdana
Menteri Deng Xiao Ping beserta rombongan
delegasinya sejumlah 400 orang yang
merupakan seluruh walikota, dan bupati, serta
aparat birokrat pemerintahannya berkunjung
ke Singapura, dan untuk mengetahui langsung
mengapa Singapura hanya sekitar 20 tahun
kemudian (1978), sudah menjadi negara dengan
tingkat prestasi indeks anti korupsinya yang
paling terbaik di dunia.7 Deng Xiao Ping lebih
jauh bertanya pada dirinya, mengapa China
tidak dapat meniru cerita sukses Singapura
dalam hal pemberantasan korupsi tersebut?.
Hal-hal apa atau ‘magic-factor’ apa yang perlu
disimak dari kasus Singapura tersebut?.
Akhirnya, China dalam 5-10 tahun
terakhir berhasil mengikuti jejak Singapura,
dan kini dikenal sebagai negara yang juga amat
tegas untuk melakukan ‘pembersihan’ para
Terence Chong (Ed.), Management of Success,
Singapore Revisited, (Singapore: ISEAS, 2010),
hlm. 1-17.
7
Jon S.T. Quah, Public Administration Singapore
Style, (Singapore: Emerald Group Publishing, 2010),
hlm. 230.
6
koruptor dan langsung dihukum mati, kalau
memang terbukti melakukan tindakan korup
baik terhadap negara, dan masyarakat China
umumnya. Banyak pihak selalu meremehkan
bahwa pada suatu negara yang demikian besar
jumlah penduduknya, maka akan sulit untuk
dilakukan suatu pemberantasan korupsi, bahkan
tidak mungkin terjadi. Hal ini dikarenakan
korupsi sudah demikian kronis, dan menggurita
seperti lingkaran setan, serta sulit membedakan
konteks sebab-akibatnya.
Indonesia juga harus menyimak pada
kasus-kasus korupsi yang terjadi pada China,
kalau dilihat dan diperbandingkan penduduk
Indonesia (240 juta) dan China (1,3 milyar),
maka kondisi dan konteks China jauh lebih rumit,
dan lebih sulit kalau memang soal pemerintahan
yang bersih tersebut mau ditegakkan. Jadi di
sini persoalan kepemimpinan politik atau siapa
yang menjadi presiden di suatu negara menjadi
kunci penting atas berhasil atau tidaknya negara
tersebut dalam melakukan pemberantasan
korupsi. Dengan demikian, tantangan utama
bagi presiden Indonesia mendatang tidak hanya
sekedar bersih, tegas, dan berbagai identitas
lainnya. Tapi yang paling penting negara dan
bangsa ini harus dapat bebas dari virus KKN
yang sudah demikian kronis sifatnya, dan terjadi
selama puluhan tahun.
Berbagai Upaya Pemberantasan
Korupsi
Di tahun 2011-12 penulis bersama tim kecil telah
melakukan penelitian yang dikelola oleh DRPM
UI, khsusnya penelitian tersebut merupakan
Riset Unggulan Universitas Indonesia (RUUI);
terutama menyangkut tema, “Lemahnya
Pemberantasan Korupsi, dan Inefisiensi
Birokrasi, Serta Implikasinya Terhadap Daya
Saing Indonesia dengan ASEAN 3 (Singapura,
Malaysia, dan Thailand)”. Salah satu temuan
utama dari penelitian tersebut dan merupakan
hasil beberapa Focus Group Discussion (FGD)
di Singapura, Malaysia, dan Thailand, serta
studi literatur dan berbagai in-depth interview
yang dilakukan di keempat negara (termasuk
Indonesia) tersebut, maka tingkat inefisiensi
birokrasi dan lemahnya pemberantasan korupsi
dengan jumlah total prosentasenya khusus untuk
Indonesia cukup tinggi (32, 2%), dan menjadi
beban bagi biaya produksi suatu produk barang
baik yang akan diekspor, maupun realisasi
Tantangan Presiden Indonesia Mendatang ... | Zainuddin Djafar | 33
produk yang menjadi konsumsi di dalam
negeri.8 Konstelasi beban biaya dalam dua hal
tersebut bagi Indonesia jauh melebihi dengan
apa yang terjadi di Singapura (0%), Malaysia,
dan Thailand, masing-masing hanya berkisar
10%.
Dengan
angka
maupun
indikator
prosentase tersebut di atas, menunjukkan bahwa
inti maupun klimaks dari pemberantasan korupsi
yang dilakukan di era Presiden SBY belum
memberikan hasil-hasil yang dapat mengakhiri
berbagai pungutan, maupun biaya ilegal yang
masih tampak demikian tinggi, baik di tingkat
aparat birokrasi pemerintahan umumnya, dan
di kantor urusan pajak khususnya. Kendatipun
sejak awal Presiden SBY dalam kampanye politik
untuk pemilu dan di era pemerintahannya pada
2009-2014, selalu menekankan bahwa ‘Saya
(presiden) akan selalu berada di posisi paling
depan’ untuk tetap melakukan pemberantasan
korupsi. Namun, Indonesia dalam prakteknya
tetap saja kedodoran dan masih berada pada
posisi negara yang paling korup di dunia,
maupun di Asia khususnya.
Lebih jauh lagi, setelah mengamati
investigasi yang dilakukan oleh Michael E.
Portillo (Profesor dari MIT, Harvard University,
Amerika Serikat), bahwa konteks korupsi
yang masih demikian besar problematiknya
dan pengaruhnya di beberapa negara di
Asia, ternyata tidak hanya terbatas pada dua
indikator tersebut di atas.9 Karena argumentasi
Portillo tersebut lebih jauh lagi melihat secara
komprehensif ada 17-19 indikator yang bersifat
non-ekonomi dan bersifat makro-ekonomi yang
menyebabkan dua indikator utama (lemahnya
pemberantasan korupsi, dan inefisiensi
birokrasi), tampak tumbuh subur, dan menjadi
amat sulit diatasi atau dihentikan oleh hanya
peran seorang presiden yang berstatus sebagai
kepala pemerintahan maupun kepala negara di
suatu negara di lingkungan ASEAN khususnya.
Laporan Penelitian Zainuddin Djafar dan Tim,
“Lemahnya Pemberantasan Korupsi, dan Inefisiensi
Birokrasi, Serta Implikasinya Terhadap Daya Saing
Indonesia dengan ASEAN 3 (Singapura, Malaysia,
dan Thailand)’, (Jakarta: RUT UI, DRPM UI, 20112012).
9
Michael E. Portillo, Marn-Heong Wong, Rakhi
Shankar, Ruby Toh, and Christian Ketels, ASEAN
Competitiveness
Report,
(Singapore:
Asia
Competitiveness Institute, National University
Singapore, 2010), hlm. III.
8
Konklusi sementara tersebut tampak
relevan dalam melihat kasus Indonesia terutama
pada empat tahun terakhir ini. Hal-hal yang
terlihat, terutama dari kepemimpinan SBY
yang masih menitikberatkan dan berorientasi
pada penanganan KKN atas kasus-kasus yang
tidak membahayakan dirinya dan ‘orang-orang’
terdekatnya, tetapi pada berbagai masalah
besar (Century, Hambalang, dan LAPINDO)
tampak semakin tidak jelas arahnya, dan
demikian lamban eksekusinya. Diketahui oleh
masyarakat umumnya, bahwa keterlibatan
tokoh-tokoh penting dari Partai Demokrat
terhadap kasus Hambalang tampak tidak atau
belum mampu disentuh sampai akhir Juni 2013
ini. Padahal penanganan terhadap kasus-kasus
KKN yang muncul di permukaan tersebut belum
dapat diandalkan untuk menghentikan korupsikorupsi lainnya.
Problema Indonesia
Salah satu konsekuensi dari perkembangan
KKN di Indonesia dalam beberapa tahun
terakhir ini, menunjukkan bahwa Indonesia
memerlukan seorang pemimpin baru pasca 2014
yang lebih baik dari era sebelumnya, dan lebih
tegas serta berbagai konotasi penting lainnya
yang menjadi harapan masyarakat umumnya
agar salah satu masalah atau problema besar
Indonesia dalam soal korupsi maupun KKN
dapat diselesaikan secara tuntas.10 Jelas tidak
tepat kalau Indonesia dalam 5 tahun mendatang
(pasca 2014), masih terus menghadapi berbagai
soal korupsi yang tiada habisnya. Hal tersebut
bukan saja menghambat, tapi juga secara
sistimatis akhirnya dapat menghancurkan
efektifitas peran dan fungsi pemerintahan yang
‘normal’ sifatnya. Situasi Indonesia yang terus-menerus
dilanda kasus-kasus korupsi baru, dan diikuti
dengan berbagai penahanan dan tersangka baru
terhadap para gubernur, bupati, dan walikota di
seluruh Indonesia, serta sampai kini ditandai
dengan tingkat kebocoran pada keuangan
negara yang masih cukup besar yaitu berkisar
34,6%. Hal tersebut sudah lama digambarkan
dan dibenarkan oleh pengamat asing bahwa
Indonesia memang sejak masa Orde baru telah
mengalami problema KKN yang demikian
akut, dan Indonesia disebut sebagai ‘Fragile
State’ (negara yang lemah, dan sewaktu-waktu
Zainuddin Djafar, Rethinking The Indonesian
Crisis, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2006).
10
34 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
dapat pecah/bubar).11 Kesadaran akan perlunya
Indonesia keluar dari konstelasi ‘fragile-state’
tersebut, seharusnya menjadi inspirasi bagi
semua pimpinan tertinggi di lembaga eksekutif,
legislatif, yudikatif, dan seluruh jajarannya di
seluruh pemerintahan daerah di 33 provinsi.
Namun, kesadaran tersebut dapat dikatakan
belum tumbuh dengan kuat sampai dengan 15
tahun kemudian sejak era reformasi (1997/98).
Memang masih ada kesadaran agar
Indonesia dapat keluar dari kemelut korupsi
maupun KKN yang akut tersebut, tapi sifatnya
masih terbatas pada pihak-pihak yang umumnya
berada di luar pemerintahan. Mereka umumnya
adalah para pengamat hukum, akademisi,
tokoh masyarakat, dan mahasiswa, serta orangorang muda yang dapat dikatakan ‘kalah kuat’
untuk menghentikan korupsi maupun KKN
dalam 15 tahun terakhir ini. Seharusnya
pihak pemerintah dan birokrasinya secara
konsekuen dan sistimatis, tampil dan muncul
serta berani membersihkan dirinya sendiri.
Karena dalam kasus ‘good-governance’-nya
Singapura, kepemimpinan politik dari penguasa
tertinggi (perdana menteri maupun presiden)
yang demikian kuat harus hadir terlebih dulu
eksistensinya, yang sekaligus menjadi motor
dalam menghentikan berbagai kemelut korupsi
yang demikian dahsyat masalahnya.
Indonesia dengan problema korupsi
dan KKN-nya yang sudah demikian akut,
dan menjadi gejala di seluruh lini kehidupan
pemerintahan, dan masyarakat, serta masih
menjadi perihal sulit diberantas dalam 15 tahun
terakhir ini (pasca reformasi 1997/98), adalah
realitas yang tidak dapat dianggap remeh.
Berbagai semboyan maupun kampanye politik
yang dilakukan oleh pemerintahan SBY dalam
dua periode kepemimpinannya (sejak 2004),
tampak hanya berhasil sebagai teriakan-teriakan
yang bersifat gertakan-gertakan saja baik
terhadap pihak lain, maupun terhadap dirinya
sendiri dan koleganya di Partai Demokrat.
Teriakan-teriakan tersebut hanya bersifat
retorika, dan ternyata mereka yang berteriak
dan diiklankan di media tayang, kini maupun
dalam beberapa tahun terakhir (sebelum 2013)
masuk dalam orang-orang yang ditetapkan
sebagai tersangka korupsi.
Michael R. J. Vatikiotis, Indonesian Politics Under
Soeharto, The Rise and Fall of The New Order,
(London & New York: Routledge, 1998), hlm. 204217.
11
Pada prakteknya hal-hal yang terkait
dengan pemberantasan korupsi tantangannya
makin hebat, masyarakat sudah tidak percaya
lagi dengan berbagai kampanye yang justru
dilakukan oleh Presiden SBY dan orangorang dekatnya. Apalagi mereka yang terlibat
dan ditetapkan sebagai tersangka adalah
orang-orang muda di Partai Demokrat. Ini
menunjukkan bahwa tantangan bagi eksistensi
presiden di masa mendatang, dan terkait
dengan persoalan korupsi dan KKN makin
sulit, dan tidak mudah lagi untuk dapat menarik
kepercayaan umumnya dari rakyat Indonesia.
Kuatnya dukungan dan kepercayaan rakyat
umumnya terhadap persoalan korupsi dan KKN
adalah modal penting yang tidak dapat ditawartawar lagi, dan menjadi legitimasi politik yang
seharusnya dipertahankan dan diperhitungkan
oleh siapapun yang menjadi presiden Indonesia
di masa mendatang.
Namun, hanya mengandalkan pada satu
orang pemimpin saja atau seorang presiden
saja, jelas tidak cukup karena permasalahan
yang menyangkut isu korupsi dan KKN sudah
demikian dahsyat masalah dan implikasinya.
Bahkan hampir-hampir banyak pihak sudah
demikian pesimis, dan tidak mungkin kalau
Indonesia hanya mengandalkan pada seorang
pemimpin saja, kendatipun pemimpin tersebut
tampak demikian hebat konotasi pujian
kredibiltas dan keberaniannya.
Kekhawatiran terhadap soal kepemimpinan
presiden Indonesia di masa mendatang tampak
cukup beralasan. Pertama, rakyat Indonesia
umumnya tidak mau lagi salah dalam memilih
pemimpinnya, terutama presidennya yang
sudah dipilih langsung sejak 2004. Kedua,
bobot pada kredibilitas atas calon presiden di
masa mendatang demikian tinggi tuntutannya.
Ketiga, biaya untuk pemilihan presiden tersebut
tidak mungkin terlaksana dengan dukungan
uang rakyat yang kecil dan terbatas. Ketiga
hal tersebut cukup beralasan karena tingkat
peradaban demokrasi Indonesia masih berada di
bawah standar, sehingga Pilihan presiden 2014
menjadi sangat krusial dan penting.12
Ahmad Syafii Maarif lebih jauh
menekankan bahwa jika sosok presiden yang
terpilih punya potensi menjadi negarawan,
maka masih ada harapan demokrasi di
Indonesia akan meninggalkan corak yang
Ahmad Syafii Maarif, “Presiden 2014”, Kompas,
15 Maret 2013, hlm. 6.
12
Tantangan Presiden Indonesia Mendatang ... | Zainuddin Djafar | 35
serba ritual dan prosedural menuju terciptanya
sebuah demokrasi substansial yang sepenuhnya
berpihak pada kepentingan rakyat banyak.13
Pernyataan tersebut amat tepat karena selama
ini kelemahan kepemimpinan dari seorang
presiden dapat dikatakan kurang dan bahkan
lemah untuk melakukan eksekusi-eksekusi yang
berpihak pada rakyat. Intinya, kepemimpinan
seorang presiden di masa mendatang haruslah
berpegang teguh dan mengutamakan visi dan
misinya yang melahirkan regulasi-regulasi baru
yang berpihak pada rakyat banyak.
pembangunan nasional yang lebih baik, dan kalau
perlu dapat terwujud suatu situasi ‘pembalikan’
yang drastis dan lebih baik sifatnya. Pandangan
tersebut tampak tidak komprehensif sifatnya,
karena kekuatan kekayaan alam Indonesia
yang demikian hebat selama ini gagal untuk
diangkat dan didayagunakan sepenuhnya untuk
kemakmuran rakyat Indonesia. Hal tersebut
sebagai akibat terjadinya penyalahgunaan
wewenang, salah urus, mismanajemen, serta
membuat kesenjangan atas kondisi ekonomi
rakyat dan elit penguasa masih demikian lebar.
Ditambahkan pula, bahwa isu-isu keadilan
dan kesejahteraan yang selama ini masih
tergantung di awan tinggi, di bawah pimpinan
para negarawan dari pucuk tertinggi sampai
ke akar yang paling bawah, secara berangsur
dan pasti akan menjadi kenyataan dalam
formatnya yang konkret.14 Hal tersebut akan
menjadi masalah serius, jika ternyata pada 2014
pemimpin atau presiden yang muncul justru
miskin visi dan tuna moral, ini berarti bahwa
corak masa depan Indonesia kian rontok dan
terjadi tuna martabat, dan sunyi dari keadilan.15
Kepemimpinan yang kuat dan mengerti
akan peta ekonomi, serta kekayaan alam
Indonesia harus dapat membalik situasi saat
ini menjadi kondisi yang membuat Indonesia
makin berdaulat secara ekonomi dan politik.
Berdasarkan peta Indonesia yang kaya akan
minyak, gas, dan sumber daya alam lainnya –
presiden 2014 diharapkan mampu membuat
strategi pembangunan nasional yang berpihak
kepada rakyat banyak.16 Tumpuan dan harapan
pada kepemimpinan seorang presiden 2014
demikian besar, dan tidak tepat kalau seolaholah segenap permasalahan bangsa akan dapat
diselesaikan oleh hanya ‘kapasitas leadership’
yang dimiliki oleh seorang presiden.
Kuncinya dalam hal tersebut, Indonesia
masih memerlukan visi maupun komitmen dari
seorang presiden yang tidak bekerja ‘sendirian’,
tapi harus mampu sekaligus melakukan
penggerakan berbagai kekuatan yang ada di
dalam masyarakat. Intinya, berbagai kekuatan
yang ada di dalam masyarakat tidak hanya
sebatas digerakkan saja, tapi kekuatan gerakan
masyarakat tersebut juga harus dapat diisi
dengan hal-hal yang menjadi prioritas bagi
keberlangsungan kehidupan bangsa ini secara
menyeluruh. Perlu dilakukan inventarisasi
masalah-masalah bangsa dan negara yaitu; halhal besar apa saja yang harus menjadi prioritas
dan perhatian dari seorang presiden 2014
mendatang?
Namun, siapapun seharusnya banyak
belajar dari kepemimpinan SBY selama 4 tahun
terakhir ini, bahwa persoalan maupun tantangan
bangsa ini yang demikian dahsyat tidak dapat
hanya diatasi oleh seorang presiden. Kelemahan
selama ini, seorang presiden tidak atau belum
mampu menjadi motor dari gerakan atas
semua hal yang dihadapi Indonesia. Perhatian
terhadap kekayaan alam memang penting,
demikian halnya juga dengan realisasi strategi
Ibid.
Ibid.
15
Ibid.
16
Ibid.
��
14
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dalam
pernyataannya, bahwa tantangan
Indonesia ke depan juga harus terus menerus
konsisten dengan ciri khas kehidupan
politik bangsa ini yang sudah dibangun
dan dikembangkan selama ini yaitu; terus
membangun dan menghadirkan demokrasi
yang lebih matang dan berkualitas.17 Lebih jauh
SBY mengharapkan bahwa kalau kehadiran
demokrasi yang berkualitas tersebut dapat
dijaga dan dipertahankan, maka tujuan pemilu
2014 untuk menghasilkan kepemimpinan baru
dapat terwujud.18 SBY yang sudah menjabat
sebagai presiden dalam 2 periode dan selama
10 tahun terakhir juga amat menyadari,
dan mengakui bahwa tidak mungkin citacita bangsa dapat diselesaikan oleh hanya
seorang presiden.19 Masing-masing pihak
atau pemimpin di tingkat apapun (lembaga
eksekutif, legislatif, dan yudikatif) mempunyai
perannya sendiri, dan yang amat penting
“Presiden: Sambut Pemimpin Baru 2014”,
Kompas, 15 Juni 2013, hlm. 2.
18
Ibid.
19
Ibid.
17
36 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
semua jajaran pimpinan pemerintahan tersebut
juga harus sadar bahwa mewujudkan impian
bangsa dalam aspek apapun adalah pekerjaan
yang tidak pernah putus dari satu generasi
ke generasi selanjutnya.20 Kuncinya, bahwa
presiden 2014 haruslah seorang pemimpin yang
dapat melakukan keberlanjutan dan perubahan
yang tetap dapat mempertahankan kerukunan,
persatuan dan toleransi bangsa Indonesia yang
demikian beragam atas suku, agama, ras, dan
bahasa, serta aspek-aspek etnik lainnya.
Dari hasil sejumlah survei yang dilakukan
oleh berbagai pihak, menunjukkan bahwa
pandangan maupun gagasan yang cemerlang
dari seorang presiden di akhir tahun 2014
tidaklah cukup, demikian halnya kalau hanya
tergantung pada nama-nama para calon presiden
yang berkembang selama satu tahun terakhir
ini. Survei menunjukkan kalau rakyat umumnya
menghendaki adanya figur-figur alternatif atas
calon-calon presiden mendatang, atau intinya
mereka adalah muka-muka baru.21 Namun,
lebih jauh Syamsuddin Haris, menekankan
kalau figur alternatif juga harus diikuti oleh
gagasan-gagasan yang bersifat alternatif pula,
sekaligus pemimpin tersebut juga harus mampu
merealisasikan gagasan-gagasan alternatifnya.22
Cukup beralasan dengan hal-hal yang menjadi
penekanan dari peneliti LIPI tersebut, karena
umumnya rakyat tidak menghendaki kalau
kepemimpinan dari seorang presiden pasca
2014 hanya mengulang atau sebatas meneruskan
berbagai kebijakan yang sudah berjalan selama
ini. Hal ini jelas bukan saja mengecewakan, tapi
juga dapat membahayakan bagi masa depan
bangsa dan negara. Karena berarti Indonesia
dengan problema korupsinya, dan lain-lain
yang demikian dahsyat tersebut makin tidak
punya masa depan.
Sudah
banyak
pendapat
yang
mengharapkan bahwa presiden yang ideal pada
akhir tahun 2014, haruslah mereka yang mampu
keluar dari berbagai kemelut besar yang terjadi
selama ini. Sebagaimana diketahui, kondisi
kasus-kasus korupsi selama 15 tahun terakhir ini
tampak lebih buruk dari pada kondisi Indonesia
waktu mengalami krisis 1997/98. Di samping
itu juga muncul para tersangka baru, dengan
berbagai kasus-kasus korupsi baru, dan termasuk
Ibid.
“Rakyat Ingin Figur Alternatif”, Kompas, 30 Mei
2013, hlm. 1.
��
Ibid., hal.15.
20
21
hadirnya demikian besar jumlah ‘raja-raja kecil’
(para gubernur, wakil gubernur, walikota, dan
bupati) di seluruh Indonesia dengan kasus
korupsinya masing-masing. Lebih jauh survei
yang dilakukan Harian Kompas sampai pada
akhir konklusi yang cukup mencengangkan
semua pihak yaitu; ‘reformasi telah berlangsung
selama 15 tahun, namun kehidupan bangsa tetap
kacau balau’.23
Istilah kacau balau tersebut bukan tanpa
alasan, karena problema-problema besar yang
dihadapi Indonesia di era 2004-2009, tampak
berlalu begitu saja. Lebih jauh, Indonesia di
era 2009-2013 masih larut dengan berbagai
masalah besar yang dihadapinya, dari berbagai
kasus-kasus pada periode-periode sebelumnya.
Karena itu, evaluasi 15 tahun setelah era
reformasi (1998-1999) menunjukkan data
maupun indikasi yang tidak memuaskan, dan
bahkan disimpulkan kalau berbagai agenda
reformasi dianggap melenceng.24 Seharusnya
jatuhnya Soeharto dan agenda perlunya
Indonesia melakukan reformasi (‘reformminded’) menjadi pelajaran penting, dan tidak
dihiraukan begitu saja oleh mereka yang berada
di tampuk pimpinan pemerintahan.25
Berbagai
hal
yang
menunjukkan
melencengnya berbagai agenda reformasi,
secara tegas diindikasikan dari beberapa
indikator sebagai berikut, dan didukung oleh
kompilasi data sampai akhir 2012; antara lain
indeks persepsi korupsi yang masih tinggi (skor
32), indeks implementasi tata pemerintahan
Indonesia (peringkat ke-46 dunia), stabilitas
politik dan ketiadaan kekerasan (peringkat ke24), efektifitas pemerintah (peringkat ke-47),
kualitas regulasi (peringkat ke-43), penegakan
hukum (peringkat ke-34), pemberantasan
korupsi
(peringkat
ke-28),
kebebasan
berpolitik belum terpenuhi 19,2%, dan otonomi
daerah yang seluas-luasnya belum terpenuhi
disimpulkan dengan prosentase 58,2%.26
Dari hasil survei tersebut, banyak hal
justru melenceng dari agenda reformasi.
Fakta riil adalah penegakan hukum lemah,
korupsi semakin massif, kesejahteraan rakyat
“Agenda Reformasi Melenceng”, Kompas, 20 Mei
2013, hlm. 1.
24
Ibid.
25
Basuki Agus Suparno, Reformasi & Jatuhnya
Soeharto, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara,
2012), hlm. 175-219.
26
Ibid.
23
Tantangan Presiden Indonesia Mendatang ... | Zainuddin Djafar | 37
rendah, dan demokrasi kualitasnya masih
rendah, dan kian pragmatis serta mahal.27 Di
samping itu, terjadi politik dinasti di manamana, sehingga tidak terjadi dengan apa yang
disebut ‘konsolidasi demokrasi’.28 Hal-hal
yang bersifat menyimpang dalam hal praktikpraktik politik (politik uang, dsbnya), sengaja
dibiarkan, dan dibuat permanen, sehingga
elite pemerintahan yang berkuasa dapat turut
mengambil keuntungan dari situasi tersebut.29
Demokrasi yang berjalan sampai awal 2013
ini bukan bersifat substansial, hal ini membuat
biaya politik menjadi tinggi dan menyebabkan
banyak orang terjerat dengan ‘korupsi baru’.30
Semua indikator tersebut makin memperkuat
pendekatan komprehensif makro dan mikro
ekonomi yang dilakukan oleh Michael E. Portilo,
bahwa Indonesia dengan tingkat kompetisinya
di ASEAN tampak masih rendah (termasuk
ranking 5, setelah Singapura, Malaysia,
Thailand, dan Brunei Darussalam) dengan skor
79, adalah evaluasi yang tidak berdiri sendiri
atau merupakan ‘isapan jempol’ dari para
pengamat tersebut.31 Namun, Indonesia benarbenar berhadapan dengan berbagai indikator
makro ekonominya yang cukup bermasalah,
dan ditampilkan oleh survei Harian Kompas
tersebut. Dengan demikian tantangan bagi
presiden Indonesia mendatang cukup besar.
Selanjutnya, di bidang ekonomi khususnya
tidak hanya ketangguhan ekonomi Indonesia
yang diuji, namun secara riel dalam 4 tahun
terakhir ini indonesia terus mengalami defisit
neraca pembayarannya, dan khusus untuk 2013
penerimaan negara turun 41,1 trilyun rupiah
dan belanja negara membengkak menjadi
39 trilyun rupiah, sehingga defisit Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara melebar
menjadi 80,1 trilyun rupiah.32 Lebih jauh,
ditengah perekonomian global yang masih lesu
dan kondisi politik Indonesia menjelang Pemilu
2014, perekonomian Indonesia menghadapi
beragam tantangan dan peluangnya sendiri.
Di luar itu semua, ketangguhan
perekonomian Indonesia masih terletak pada
kekuatan konsumsi domestik (sektor riil).
Ibid.
Ibid.
29
Ibid.
30
Ibid.
31
Michael E. Portillo et. al, op.cit.
32
“Defisit Rp. 80,4 Trilyun”, Kompas, 17 Mei 2013,
hlm. 17.
27
28
Kendatipun peluang pertumbuhan ekonomi
Indonesia tersebut masih ada. Namun
perkembangannya sebatas mempertahankan
stabilitas pertumbuhan ekonomi domestik, dan
belum dapat diandalkan untuk mewujudkan suatu
pendapatan kelas menengah yang menyakinkan
dan basis bagi penopang pertumbuhan industri
yang maju dan canggih. Sebagai perbandingan,
arah pertumbuhan ekonomi China (sejak
April 3013) menuju pada rata-rata pendapatan
nasionalnya berkisar 17.000 dolar AS (kini
China sudah berada di tingkat 9.000 dolar
AS). Kalau hal itu terwujud dalam 3-5 tahun
mendatang, maka China dapat keluar dari
konstelasi ‘Middle Income Trap’-nya.33 Intinya,
pertumbuhan ekonomi China sekaligus dapat
menjamin tumbuh-kuatnya kelas menengahnya,
dengan pendapatan hasil pajaknya sekaligus
dapat diandalkan bagi pengembangan basis
industri canggih yang memerlukan pendanaan
yang tidak sedikit. Pola ini sudah berhasil
dilakukan oleh Jepang, dan beberapa negara
lainnya (AS, Jerman, Perancis, Inggris, India,
Rusia, Brazil, dan AFrika Selatan).34
Namun, kondisi ekonomi ‘Indonesia 201213’ dengan konsumen pasar domestiknya yang
demikian besar (240 juta penduduk), masih
tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi investor
global, misalnya revitalisasi industri, proses
konstruksi, infrastruktur, tren urbanisasi, dan
tingkat utang luar negeri yang tetap terjaga.35
Secara menyeluruh kondisi ekonomi Indonesia
pada 2012 dibandingkan tahun 1997, khususnya
ada kenaikan pada beberapa hal yaitu PDB
(8.241,86 trilyun rupiah berbanding 627,70)
dan pertumbuhan ekonomi (6,27% berbanding
4,65%), inflasi (4,3% berbanding 10,27%),
dan penerimaan APBN (1,358.205.0 milyar
rupiah berbanding 108.183.8), dan indikator
lainnya (utang luar negeri, 126,12 juta dollar
berbanding 137,42, kegiatan sektor pertanian
14,44% berbanding 16,09%, kegiatan sektor
industry 23,94% berbanding 26,79%, dan suku
bunga BI 5,75% berbanding 19,74%). Khusus
untuk kegiatan sektor pertanian dan industri
nominal harga berlaku dalam milyar rupiah.36
‘BRICS Challenge The Western Order’, Gulf
News, 28 March 2013, hlm. 2-3.
34
Ibid.
35
“Ketangguhan RI Diuji”, Kompas, 17 Mei 2013,
hlm. 17.
36
“Ketimpangan Makin Lebar”, Kompas, 17 Mei
2013, hlm. 1.
33
38 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Di samping indikator ekonomi Indonesia
(2012) yang membaik tersebut, namun situasi
tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan
kondisi
ekonomi
masyarakat
secara
komprehensif. Kenyataannya, ketimpangan
ekonomi pasca 15 tahun reformasi masih terjadi
dan makin melebar, serta distribusi kekayaan
masih berada di tangan segelintir orang.
Intinya, demokrasi ekonomi dan desentralisasi
yang seharusnya menjadi instrumen untuk
pemerataan belum berjalan secara optimal,
dan dapat dikatakan terjadi penyalahgunaan
kebijakan (regulasi yang ada belum berpihak
penuh pada rakyat banyak).37
Eksesnya,
pengerukan sumber daya alam makin besar, dan
di sisi lain reformasi telah mengorbankan sektor
pertanian yang seharusnya menjadi pilar dalam
pemerataan ekonomi.38
tatanan kehidupan politik dan ekonomi bangsa
di tingkat domestik. Namun lebih dari itu,
secara eksternal makin lama Indonesia makin
tidak dapat berbuat apa-apa dalam menghadapi
soal isu kompetisi perdagangan, dan termasuk
agenda besar ASEAN (Komunitas ASEAN
2015). Berbagai kondisi Indonesia tersebut
tidak dapat dibiarkan, dan kepemimpinan bagi
presiden terpilih pada akhir tahun 2014 nanti
harus dapat keluar dari situasi yang monoton
tersebut. Tampaknya berbagai masalah
yang dihadapi Indonesia yang demikian
komprehensif, haruslah dimulai dengan suatu
kepemimpinan presiden yang siap memberikan
prioritas pada penanganan pemberantasan
korupsi, dan terwujudnya efisiensi kehidupan
birokrasi di seluruh daerah (dari pusat sampai
ke pelosok desa-desa).
Menyangkut ketimpangan yang makin
melebar tersebut, terutama disebabkan asset
APBN hampir 75% dikuasai oleh segelintir
orang (300 orang). Di sisi lain hal ini diikuti oleh
ketimpangan ekonomi di Jawa dan luar Jawa,
yang terus meletupkan persoalan politik dan
ekonomi, tetapi hal itu ‘dapat diatasi sementara’
karena dikelola melalui pendekatan patronase.39
Orde Reformasi berupaya melakukan koreksi
agar ada persaingan berusaha yang adil dan
kegiatan ekonomi lebih menyebar. Konsentrasi
ekonomi pada segelintir orang berusaha
dihilangkan.
Namun, pemerintah memilih
liberalisasi perdagangan finansial, investasi dan
tenaga kerja. Di samping pemerintah melakukan
perubahan tata kelola proses pemberian
kewenangan untuk pemerataan pembangunan
melalui desentralisasi di level mikro ekonomi.40
Salah satu konklusi penting dari berbagai
problema Indonesia tersebut, juga ditegaskan
oleh Presiden SBY bahwa calon presiden di
masa mendatang harus benar-benar memahami
berbagai
masalah
bangsa.41
Indonesia
menghadapi berbagai persoalan dan tantangan
lainnya di masa mendatang yaitu meliputi;
bidang ekonomi (Indonesia berhadapan
dengan kondisi ekonomi global yang belum
terbebas dari resesi dunia), bidang politik (perlu
direalisir konsolidasi demokrasi yang matang
dan berkualitas), bidang sosial (masyarakat
perlu makin rukun dan toleran), dan di bidang
hubungan internasional (perlu memahami
posisi Indonesia sebagai kekuatan regional dan
pemain global).42
Gambaran tersebut cukup memprihatinkan,
terutama soal ketimpangan ekonomi dan regulasi
politik yang tidak berpihak pada rakyat banyak,
ditambah lagi soal ketidakpastian penanganan
korupsi dan KKN selama ini, dan semua itu
akan menjadi pilar-pilar penting yang akan
dihadapi oleh presiden Indonesia mendatang
(pasca 2014). Masyarakat dan banyak pihak
umumnya berkeinginan kuat kalau soal-soal
yang dijelaskan tersebut di atas, dan khususnya
korupsi dan KKN harus dapat diatasi atau
dihentikan. Membiarkan berbagai permasalahan
ekonomi-politik tersebut, bukan saja merusak
Ibid.
38
Ibid.
��
Ibid.
��
Ibid.
37
Tidak ada yang salah dari penjelasan
SBY tersebut, tetapi ternyata SBY tidak
menyinggung soal virus korupsi di Indonesia
yang sudah demikian kronis, dan masih tampak
bahwa rejim SBY kurang serius, dan kurang
tegas, sehingga tidak tampak momentum efek
jera yang dapat menjadi pelajaran besar. Asep
Salahudin justru berpandangan bahwa halhal yang menjadi perhatian SBY tidak akan
banyak manfaatnya, kalau soal korupsi yang
menggurita terus membuat negara makin tidak
berdaya, dan kehilangan roh kemerdekaan atas
rakyatnya.43
Lebih jauh ditegaskan bahwa
semua problema bangsa akhirnya terpusat,
“Pemimpin, SBY: Capres Harus Paham Masalah
Bangsa”, Kompas, 20 Juni 2013, hlm. 2.
42
Ibid.
43
Asep Salahudin, “Politik “Sang Kyai”, Kompas, 21
Juni 2013.
41
Tantangan Presiden Indonesia Mendatang ... | Zainuddin Djafar | 39
dan dapat disebut sebagai ‘salah urus’.44 Soal
korupsi dan salah urus negara selama ini
sebaiknya menjadi perhatian besar dari semua
calon presiden Indonesia mendatang, dan
tidak ada resep ajaib atau kiat-kiat yang dapat
mengatasi problema Indonesia terutama hanya
dengan mengandalkan berbagai kelebihan
ataupun kekuatan yang dimiliki secara personal
oleh seorang pemimpin.
Menyangkut soal plus-minus bagi
kepemimpinan presiden mendatang diulas oleh
berbagai referensi kepustakaan akhir-akhir
(2012-2013), tampak umumnya para penulis
masih terlalu menekankan pada pentingnya
aspek-aspek yang bersifat kekuatan individu
yang dimilikinya, dan terkait dengan soal bakat,
mental, serta pengalaman yang dimilikinya
selama ini. Berbagai nama pemimpin di
Indonesia dan hidup di masa lalu seperti;
Sukarno, M. Hatta, Sutan Syahrir, M. Natsir,
Agus Salim, R. A. Kartini, Supomo, Panglima
Besar Jenderal Sudirman, Hoegeng, dll,
memang demikian hebat leadership-nya, dan
mereka semua itu dianggap pemimpin yang
dirindukan, serta secara khusus merefleksikan
karakteristik yang paham akan keinginan rakyat,
dan juga dekat dengan rakyat.45 Kelebihan dan
kekuatan kepemimpinan yang bersifat personal
tersebut, tidak mungkin diturunkan begitu saja
kepada pihak lain atau menjadi ciri utama dari
presiden Indonesia mendatang, dan secara
otomatis sifatnya. Intinya, terdapat 2 hal utama
yaitu; pertama, tidak ada kepemimpinan yang
dimiliki oleh seorang presiden di suatu era
pemerintahan dapat diturunkan secara total
sama polanya terhadap pemimpin lainnya.
Kedua, bagi setiap pemimpin umumnya
masing-masing menghadapi situasi dan kondisi
yang tidak selalu sama, karena itu karakteristik
setiap pemimpin mempunyai orientasi dan
kepentingannya sendiri.
Been
Rafanany
melihat
aspek
kepemimpinan lebih mengutamakan kebiasaankebiasaan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh hebat
dan harus ditiru, misalnya seorang pemimpin
harus berani mengambil resiko yang paling
besar, harus mencintai apa yang dikerjakannya,
bebas rasa malas, ahli di bidangnya, jujur dalam
segala hal, mengelola keuangan dengan baik,
Ibid.
S. B. Pramono & Dessy Harahap, Pemimpin
Yang Dirindukan, Refleksi Karateristik Kerakyatan,
(Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2013), hlm. III.
44
45
tidak takut gagal, tidak mudah putus asa, fokus
pada kekuatan yang dimilikinya, kerja keras,
dan memotivasi diri dengan kompetisi, dll.46
Tidak ada yang salah ataupun yang perlu ditolak
dari berbagai ciri kepemimpinan yang perlu
ditiru, dan perlu dipertimbangkan bagi presiden
Indonesia di masa mendatang, tetapi semua
itu masih harus diuji keberhasilannya dalam
menghadapi berbagai prioritas tantangan utama
yang dihadapi Indonesia. Intinya, kelebihan
maupun kekuatan personal seorang pemimpin
tetap masih harus diuji, tidak cukup hanya
ditiru dan ternyata tidak sesuai dengan tuntutan
zamannya.
Di luar itu fenomena Jokowi (kini Gubernur
DKI Jakarta, 2013-2018) banyak mendapat
tempat dan sorotan dari berbagai pengamat,
misalnya saja secara khusus Been Rafanany
mengulas berbagai kebiasaan Jokowi yang
amat sederhana, dan mencintai semua produk
maupun kebiasaan yang banyak dilakukan oleh
rakyat dan bersifat lokal, misalnya lebih memilih
makanan Indonesia (gudeg, dll).47 Karena itu
Jokowi dianggap ideal sebagai pemimpin masa
depan bagi Indonesia, ia dekat dengan rakyat,
dan pasti kebijakan serta perhatiannya akan
condong pada rakyat banyak.
Ditambahkan oleh Charles Adi Prasodjo,
memang Jokowi kini banjir dukungan, dan cukup
fenomenal dengan prestasinya sebagai wali kota
terbaik di dalam negeri (Wali Kota Surakarta,
Solo), dan kini masuk dalam 25 besar kandidat
Calon Wali Kota terbaik dunia.48 Di samping itu,
konteks personal Jokowi memang tidak hanya
fenomenal, namun ketulusan dan kepolosannya
pada saat ini (2013) hanya Jokowi-lah yang
cukup mempesona. Kepada Yon Thayrun,
Jokowi dengan polos menyatakan; ‘yang paling
sulit saat ini adalah mengalahkan diri sendiri’.49
Hal tersebut menimbulkan simpati tersendiri
bagi kaum muda umumnya (dengan potensi
sekitar 50 juta kaum muda sebagai pemilih
baru, 2014).
Been Rafanany, Kebiasaan-Kebiasaan Tokoh
Hebat di Seluruh Jagad Yang Harus Anda Tiru,
(Yogyakarta: Penerbit Araska, 2013), hlm. 5-150.
47
Ibid.
48
Charles Adi Prasodjo, Matahariku Indonesiaku!,
Gebrakan Orang-Orang Indonesia Fenomeal Terkini
Membasmi Kezhaliman, (Yogyakarta: Penerbit
IRCiSoD, 2012), hlm. 5-6.
49
Yon Thayrun, Jokowi: Pemimpin Rakyat Berjiwa
Rocker, (Penerbit NouraBooks, 2012), hlm. 236-7.
46
40 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Konteks
personal
kepemimpinan
Jokowi mempunyai kekuatan tersendiri, dan
tampaknya tidak bertentangan dengan falsafah
kepemimpinan orang Jawa pada umumnya.
Seorang pimpinan yang berasal dari keturunan
Jawa, harus memperhatikan prinsip JawaJawi, dan merupakan khalifatullah (wakil
Tuhan) yang senantiasa bersifat etis, estetis,
serta berperan aktif dalam turut melakukan
hame-mayu hayuning bawana (menjaga
keselamatan alam beserta isinya, serta bangsa
dan negaranya).50
Jelas prinsip falsafah
tersebut dipahami oleh mereka (Soeharto, Sri
Sultan HB IX, dan Jokowi) yang berasal dari
Jawa, dan masing-masing dalam prakteknya
tampil dengan penekanan ‘leadership’ di atas
situasi yang berbeda antar satu dan lainnya.
Dalam hal itu, Jokowi tampaknya tampil
dengan corak kepemimpinannya bersifat antiklimaks dari dua nama besar lainnya tersebut.
Jokowi tampak lebih manusiawi, dan lebih
menjaga keselamatan alam dan lainnya secara
berimbang. Namun tetap ‘leadership’ Jokowi
masih harus diuji, dan masih dalam proses, dan
khususnya semua masalah tidak dapat dihadapi
oleh seorang pemimpin saja. Demikian pula
soal kerjasama, dan terkait dengan kemampuan
melakukan penggerakkan berbagai kekuatan
di dalam masyarakat juga ditentukan oleh
kepemimpinan seseorang yang bersifat praktis
dan konkrit.
Di luar fenomena Jokowi, persoalan
pengujian dari ambisi kepemimpinan seorang
presiden tampak menjadi perhatian M. Sabri S.
Shinta yang melihat Presiden SBY tersandera
dengan komitmen-komitmen politiknya, dan
khususnya dalam melaksanakan pemerintahan
yang lebih efektif dan stabil, sehingga kombinasi
sistem presidensial dan sistem kepartaian yang
dapat berjalan mulus ternyata tidak mudah.51
Sistem presidensial tampaknya harus didukung
oleh sistem multi-partai yang sederhana,
dan diharapkan dengan kombinasi tersebut
efektifitas pemerintahan dapat terwujud.
Salah satu syarat terwujudnya sistem
multi-partai yang sederhana tersebut, yaitu
Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan
Jawa, Soeharto, Sri Sultan HB IX & Jokowi,
(Yogyakarta: Penerbit Araska, 2013), hlm. 26.
51
M. Sabri S. Shinta, Presiden Tersandera;
Melihat Dampak Kombinasi Sistem PresidensialMultipartai Terhadap Relasi Presiden– DPR di
Masa Pemerintahan SBY-Boediono, (Penerbit
RMBOOKS, 2012), hlm. 153.
50
melalui heterogenitas partai yang dapat bersifat
kompromis, dan persepsi maupun pandangan
antar partai menyangkut sistem politik
Indonesia harus dapat dikendalikan, serta
melahirkan proses pengambilan keputusan yang
solid dan tidak parsial. Ini menjadi tantangan
bagi SBY selama ini, karena ‘faktor personal’
SBY sendiri bagi partai-partai lainnya (di luar
Partai Demokrat) belum cukup menyakinkan
sebagai pengendali yang solid dan kharismatik.
Demikian pula dengan visi anti korupsinya
SBY yang dianggap merupakan fondasi penting
bagi keberlangsungan sejarah bangsa dan
negara Indonesia,52 tampak masih harus diuji
validitasnya dan diperlukan cross-check dengan
hal-hal lainnya. Misalnya seberapa jauh kasus
SPT presiden dan keluarganya tersebut benarbenar valid, serta soal masuknya dana untuk
Lapindo dalam APBN (apakah benar karena
sementara kalangan berpendapat ada permainan
di tingkat elit eksekutif dan legislatif dalam soal
itu?).
Tampak kalau A. Bakir Ihsan & Zaenal
A. Budiyono masih demikian naïf dalam
mengevaluasi sosok SBY khususnya, dan
hanya bersifat sepihak saja (seolah-olah ‘faktafakta SBY dan Partai Demokrat’ tidak perlu
diproses kebenarannya). Justru dengan berbagai
kasus korupsi di Partai Demokrat, ternyata
SBY sendiri sulit untuk melakukan manuver
politiknya, bahkan SBY secara gamblang
menyatakan;’meminta kesiapan mental para
kader partai jika Demokrat kalah dalam
pemilu mendatang (2014)’.53 Hal ini amat
dimungkinkan sebagai akibat terjadinya swingvoter yang cukup potensial, dan diperkirakan
oleh Burhanuddin Muhtadi kalau sisa pemilih
Partai Demokrat hanya tinggal satu pertiga
dari hasil pemilu 2009, dan dua pertiga pemilih
Demokrat tampaknya akan pindah ke partai
lainnya.54 Perlu ditambahkan, situasi tersebut
terutama pada pasca digantinya Ketua Umum
Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, ternyata
popularitas Partai Demokrat bukan tambah
baik, dan mungkin saja lebih dari dua pertiga
pemilihnya pada 2009 yang lalu akan pindah
untuk memilih partai politik lainnya.
A. Bakir Ihsan & Zaenal A. Budiyono, Pemimpin
Dipuji & Dicaci: Realitas Demokrasi Indonesia kini,
(Jakarta: Penerbit Expose, 2013), hlm. 14-5.
53
Burhanuddin Muhtadi, Perang Bintang 2014:
Konstelasi dan Prediksi Pemilu dan Pilpres, (Jakarta:
Penerbit Noura Books, 2013), hlm. 323.
54
Ibid.
52
Tantangan Presiden Indonesia Mendatang ... | Zainuddin Djafar | 41
Menyimak Konteks Kepemimpinan
Politik di Singapura
Di luar fenomena SBY maupun Jokowi
yang amat populer akhir-akhir ini, dan
memperhatikan perkembangan kepemimpinan
politik di Singapura, bukanlah berarti pandangan
pada penulisan ini akan menempatkan para
pemimpin di Singapura lebih baik, maupun
lebih menentukan bagi perkembangan dan soal
presiden Indonesia di masa mendatang (pasca
2014). Hanya perlu digarisbawahi bahwa
maju dan kuatnya perkembangan Singapura
sebagai negara yang paling kompetitif di muka
bumi ini termasuk ranking 1, serta skor indeks
negaranya yang paling bersih melalui penerapan
prinsip good governance-nya (10 besar dunia),
jelas tidak lepas dari kepemimpinan dan
kemauan politiknya yang demikian kuat untuk
memberantas masalah korupsi yang demikian
kronis sejak 54 tahun yang lalu.
Berbagai konsep yang bersifat mendukung
kepemimpinan politiknya selama ini terutama
menghadapi soal korupsi yang demikian
kronis di Singapura, dan sejak Juni 1959
tampak pemerintah People Action’s Party
(PAP) Singapura secara konsisten, memberi
prioritas utama atas hal tersebut.55 Pemerintah
Indonesia pasca reformasi tidak dapat menutupi
ataupun mengalihkan perhatian, dan seolaholah problema korupsi bukan menjadi prioritas
utama. Seharusnya Indonesia bertindak
lebih arif, dan secara strategis menentukan
langkah-langkah apa yang perlu dilakukan dan
berkesinambungan selama periode 15 tahun
(1998-2013). Tidak dapat diabaikan kalau
rejim Orde Baru tampak masih demikian kuat
pengaruhnya, sehingga para pemimpin bangsa
di era reformasi tidak dapat berbuat banyak.
Sejak tahun 1959 pemerintah Singapura
melakukan misi utamanya yaitu dengan
meminimalisir semua bentuk korupsi, dengan
melakukan perubahan atas persepsi publik
atas korupsi yang harus diturunkan derajatnya
seminimal mungkin dan menjadi problema
yang beresiko rendah, pemberian hadiah pada
aktivitas korupsi yang berdimensi dahsyat
harus dilakukan, dan pada resiko yang kecil
juga diberikan ganjaran yang setimpal.56 Di
samping prioritas lainnya yang dilakukan oleh
pemerintah Singapura yaitu memperkuat 2
55
56
Jon S.T. Quah, op.cit., hlm. 176.
Ibid.
lembaga anti korupsi Singapura, yaitu POCO
(Prevention of Corruption Ordinance) dan
CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau),
sebagai strategi komprehensif anti korupsi di
negara tersebut dan efektif berlaku sejak tahun
1960.57
Perlu dipahami bahwa pemerintahan PAP
Singapura sendiri tidak tinggal diam, atau
membiarkan CPIB berjalan sendiri, namun
CPIB mendapat dukungan kuat dalam hal;
paying competitive salaries to political leaders,
and senior burauecrats, cutting red tape, and
using e-government to minimize opportunities
for corruption.58 Kebijakan tersebut berlanjut
terus sampai April1991, dan lebih serius lagi
PAP menciptakan Service Improvement Unit
, hal ini dirasakan penting karena penundaan
pelayanan publik yang sering terjadi dan terkait
dengan istilah ‘red tape bureaucracy’ harus
dapat dicegah, terutama dengan memperbaiki
kualitas pelayanan publik oleh pihak birokrasi
secara konsisten.59 Pemerintah PAP Singapura
tampaknya memang tidak ragu-ragu dalam
soal pemberantasan korupsi tersebut, dan
orientasinya juga harus berdimensi pada korupsi
‘kelas kakap’, hal ini ditekankan bahwa, If the
big fish (rich and famous person) are immune
from prosecution for corruption, and the anticorruption agency focuses its energies on
catching only ‘small fish’ (ordinary people),
and as a result the anti-corruption strategy
lacks credibility and is doomed to failure.60
Pandangan tersebut, terus diperkuat dan
didukung oleh (1) there must be comprehensive
anti-corruption legislation to prevent loopholes
and periodic review of such legislation to
introduce amandments whenever necessary,
(2) the second indicator of a government’s
political will is its provision of adequate legal
powers, personnel, and budget to enable the
anti corruption agency to perform its functions
effectively.61
Dari kasus pemberantasan korupsi di
Singapura tersebut, Jon S.T. Quah menyarankan
pada negara-negara di Asia (Korea Selatan,
Thailand, India, Philipines, dan Indonesia),
harus mampu mendemonstrasikan kemauan
politiknya melalui; ‘increasing substantially
Ibid.
Ibid.
59
Jon S.T. Quah, op.cit., hlm. 189.
60
Ibid., hal. 191.
61
Ibid., hal. 192.
57
58
42 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
the legal powers, personnel, and budgets of
their anti-corruption agencies.62 Lebih jauh
lagi, Jon S. T. Quah mengkritik dengan apa
yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono terhadap pembentukan taskforce anti korupsi pada instansi lainnya di
luar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
tahun 2005 yang dapat menjadi pesaing dan
melucuti kekuasaannya; antara lain dikatakan,
‘Indonesian President Susilo Bambang
Yudhoyono had unwittingly undermined its
effectiveness in May 2005 when he formed an
anti-corruption taskforce of prosecutors, police,
and auditors to compete with the KPK.63
Strategi lain yang juga dianggap penting
oleh pemerintah PAP Singapura, bahwa
dalam perihal pemberantasan korupsi seorang
pemimpin pemerintahan tertinggi harus
dapat independen dan tidak terlibat dalam
kepentingan pengawasan politik pada dua hal;
pertama, pimpinan pemerintahan tidak boleh
terlibat atau ikut campur dalam operasi seharihari dari lembaga yang setaraf dengan anticorruption agency, kedua, dan menjadi amat
penting bahwa ‘anti-corruption agency should
be able to investigate political leaders and
senior civil servantswithout fearm and favor
if they are accused of corruption.64 Strategi
lainnya, bahwa pihak POCO dan CPIB serta
para anggotanya tidak boleh terlibat korupsi,
hal ini dapat mengakibatkan peran mereka tidak
efektif dan hilang kredibilitasnya.65
Di samping itu, pemerintah PAP amat
sadar bahwa pemberantasan korupsi tidak akan
efektif jika tindakan aksinya baru dilakukan
setelah suatu transaksi korupsi terjadi, dan
tindakan korupsi secara komprehensif harus
didukung oleh perbaikan gaji atau pendapatan
atas seluruh staf maupun mereka yang bekerja
di birokrasi pemerintahan dan isntansi maupun
institusi pemerintahan lainnya.
Karena
bagaimanapun pendapatan yang rendah dari
seorang pegawai, adalah cikal bakal dan awal
dari motivasi terjadinya korupsi.66
Penutup
Dari kasus Singapura tersebut tampa jelas,
bahwa implikasinya terhadap presiden
Indonesia mendatang tidak dapat hanya
Ibid., hal. 193.
Ibid.
64
Jon S.T. Quah, op.cit., hlm. 194.
65
Ibid.
66
Ibid., hlm. 194-8.
62
63
mengandalkan fenomena kepemimpinan yang
bersifat individual. Kelebihan maupun kekuatan
personal seorang pemimpin juga tergantung
pada kesadarannya bahwa untuk menghadapi
berbagai permasalahan bangsa yang demikian
besar tidak dapat diatasi sendiri. Indonesia
memang menghadapi banyak masalah, namun
penulisan ini tetap melihat bahwa masalah
korupsi dan KKN dalam bentuk luas harus
lebih diutamakan dan menjadi prioritas paling
penting. Ini telah ditunjukkan oleh Singapura
bahwa sehebat apapun potensi suatu bangsa
dengan kualitas sumber daya alamnya, dan
sumber daya manusianya, namun tidak akan
banyak berbicara baik secara internal domestik
maupun eksternal kalau kualitas pembangunan
di negara tersebut negatif. Untuk itu perlu
disepakati dan diketahui oleh semua pihak
bahwa faktor yang mempunyai daya rusak tinggi
pada bangsa dan negara adalah korupsi/KKN.
Singapura amat sadar akan penyakit kronis
tersebut yang dapat menghancurkan kualitas
bangsa dan negaranya. Karena itu harapan
pada kepemimpinan presiden Indonesia di masa
mendatang (pasca tahun 2014), mau tidak mau
soal korupsi harus menjadi prioritas utama, dan
tidak boleh dibiarkan kembali berlalu.
Dari kasus Singapura tersebut, dan dibalik
soal kepemimpinan seorang kepala negara
maupun perdana menterinya, mereka dari
waktu ke waktu secara serius membangun
berbagai ‘authorities’, di mana prinsip tersebut
makin diperkuat dan diperankan oleh berbagai
lembaga (CPIB, POCO, legislasinya, dan lainlain). Karena itu makin lama terciptalah dengan
apa yang disebut ‘multiplication of authorities’,
yaitu otoritas kekuasaan negara yang berlapis,
dan solid satu sama lain, serta dikontrol secara
bersama-sama oleh semua pihak yang punya
wewenang dan otoritas tersebut.
Oleh sebab itu, suatu pandangan yang
menyimpulkan bahwa gagalnya pemberantasan
korupsi di Indonesia disebabkan pula oleh
tidak adanya kontrol masyarakat, maka hal
itu tetap sulit untuk menjadi faktor penentu
suatu keberhasilan.67 Bagaimanapun berbagai
mekanisme yang dibentuk untuk memberantas
korupsi jelas memerlukan hadirnya kemauan
politik yang kuat di tingkat pemerintahan,
dan dukungan berbagai otoritas lainnya. Dari
hasil observasi atas kasus Singapura tersebut,
Iwan Gardono Sujatmiko, “Korupsi dan Gerakan
Sosial”, Kompas, 25 Agustus 2012, hlm. 6.
67
Tantangan Presiden Indonesia Mendatang ... | Zainuddin Djafar | 43
makin jelas bahwa kemauan politik juga
memerlukan taktik dan strategi yang jitu dari
seorang pemimpin tertingginya, yaitu kemauan
politik yang kuat dari seorang presiden juga
harus diikuti dengan pembangunan berbagai
kekuatan lainnya yang benar-benar dapat
menjamin terealisirnya pemberantasan korupsi
secara optimal dan kredibel. Singapura dengan
kepemimpinan politiknya secara tidak langsung
telah menerapkan konsep ‘Multiplication of
Authorities’ tersebut.68 Secara tidak langsung
dengan penerapan konsep tersebut, Singapura
sudah terbukti berhasil, dan kemudian
diikuti oleh China. Karena itu, bagi presiden
Indonesia mendatang mau tidak mau harus
memperhitungkan relevansi konsep tersebut,
dan tidak terlena pada hanya fenomena kekuatan
personal seorang calon presiden.
Daftar Pustaka
Buku
Ahmad,
Sri
Wintala.
2013.
Falsafah
Kepemimpinan Jawa: Soeharto, Sri Sultan
HB IX & Jokowi. Yogyakarta: Penerbit
Araska.
Asia Competitiveness Institute. 2010. ASEAN
Competitiveness
Report.
Singapore:
National University Singapore.
Chong, Terence (Ed.). 2010. Management of
Success: Singapore Revisited. Singapore:
ISEAS.
Djafar, Zainuddin. 2006. Rethinking The
Indonesian Crisis. Jakarta: PT. Dunia
Pustaka Jaya.
Ihsan, A. Bakir, & Zaenal A. Budiyono. 2013.
Pemimpin Dipuji & Dicaci: Realitas
Demokrasi Indonesia Kini. Jakarta:
Penerbit Expose.
Muhtadi, Burhanuddin. 2013. Perang Bintang
2014: Konstelasi dan Prediksi Pemilu dan
Pilpres. Jakarta: Noura Books.
Portillo, Michael E., Marn-Heong Wong, Rakhi
Shankar, Ruby Toh, and Christian Ketels,
Pramono S. B., Dessy Harahap. 2013. Pemimpin
Yang Dirindukan: Refleksi Karakteristik
Kerakyatan. Yogyakarta: Grafindo Litera
Media.
Prasodjo, Charles Adi. 2012. Matahariku
Indonesiaku!: Gebrakan Orang-Orang
68
Indonesia Fenomenal Terkini Membasmi
Kezhaliman.
Yogyakarta:
Penerbit
IRCiSoD.
Quah, Jon S.T. 2010. Public Administration
Singapore Style. Singapore: Emerald
Group Publishing.
Rafanany, Been. 2013. Kebiasaan-Kebiasaan
Tokoh Hebat di Seluruh Jagad Yang Harus
Anda Tiru. Yogyakarta: Penerbit Araska.
Rosenau, James N, The Study of World Politics
(Vol.2), Globalization and Governance,
Routledge, London, UK, 2006.
Shinta S, M. Sabri. 2012. Presiden Tersandera:
Melihat Dampak Kombinasi Sistem
Presidential Multipartai Terhadap Relasi
Presiden–DPR di Masa Pemerintahan
SBY-Boediono. Penerbit RMBOOKS.
Suparno, Basuki Agus. 2012. Reformasi &
Jatuhnya Soeharto. Jakarta: PT. Kompas
Media Nusantara.
Thayrun, Yon. 2012. Jokowi, Pemimpin Rakyat
Berjiwa Rocker. Jakarta: Noura Books.
Vatikiotis, Michael R. J. 1998. Indonesian Politics
Under Soeharto, The Rise and Fall of
The New Order. London & New York:
Routledge.
Laporan dan Makalah
Zainudin Djafar dan Tim. 2011-2012. “Lemahnya
Pemberantasan Korupsi, dan Inefisiensi
Birokrasi, Serta Implikasinya Terhadap
Daya Saing Indonesia dengan ASEAN
3 (Singapura, Malaysia, dan Thailand)”.
Jakarta: RU UI, DRPM UI.
Surat Kabar dan Website
Ahmad Syafii Maarif. 2013. “Presiden 2014”.
Kompas. 15 Maret.
“Agenda Reformasi Melenceng”. 2013. Kompas.
20 Mei.
Asep Salahudin. “Politik ‘Sang Kyai”. 2013.
Kompas. 21 Juni.
“BRICS Challenge The Western Order”. 2013.
Gulf News. 28 Maret.
Iwan Gardono Sujatmiko. 2012. “Korupsi dan
Gerakan Sosial”. Kompas. 25 Agustus.
“Pemimpin, SBY: Capres Harus Paham Masalah
Bangsa”. 2013. Kompas. 20 Juni.
“Presiden: Sambut Pemimpin Baru 2014”. 2013.
Kompas. 15 Juni.
James N. Rosenau, op.cit., hlm. 13-18.
44 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
“Rakyat Ingin Figur Alternatif”. 2013. Kompas.
30 Mei.
“Defisit Rp. 80,4 Trilyun”. 2013. Kompas. 17 Mei.
“Ketangguhan RI Diuji”. 2013. Kompas. 17 Mei.
“Ketimpangan Makin Lebar”. 2013. Kompas. 17
Mei.
“Dicari Pemimpin Mau Urus Rakyat”. 2013.
Kompas. 31 Mei.
Tantangan Presiden Indonesia Mendatang ... | Zainuddin Djafar | 45
46 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
PRAKONDISI UNTUK MENGUKUHKAN LEGITIMASI
PEMERINTAHAN
PRE-CONDITIONS FOR ENHANCING THE LEGITIMACY OF
GOVERNANCE
Devi Darmawan
Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta
E-mail: [email protected]
Diterima: 30 Juli 2013; direvisi: 29 Agustus 2013; disetujui: 3 Desember 2013
Increased governance capacity and quality are crucial elements of social development and, as such,
governments are more efficient when they achieve acceptance.1
Abstract
The political elite involvement’s as the state administrators in corrupt practices have impact to decrease
degree of government legitimacy (delegitimation) because it’s indicates the government’s failure to govern
responsibly. On the other hand, the problem of delegitimation reflects a failure of political parties to conduct the
politic recruitment and therefore can not produce proper candidates to contest the elections. Therefore, political
parties should be forced to conduct an internal selection to elect the prospective candidates in a transparent
manner in making a list of candidates who will be nominated to contest the elections. It’s necessary for make
the quality of electoral candidates could contribute positively to the election process to produce elected state
administrators which are credible and capable for managing government responsibly.
Keywords: Goverment Legitimacy, Nomination Process of Election Participants
Abstrak
Keterlibatan elite politik selaku penyelenggara negara dalam praktik korupsi berdampak pada delegitimasi
pemerintahan hasil pemilu karena mengindikasikan kegagalan pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan
secara bertanggung jawab. Di sisi lain, problem delegitimasi ini mencerminkan kegagalan partai politik dalam
melakukan fungsi rekrutmen sehingga tidak dapat menghasilkan calon-calon kandidat yang berkualitas untuk
mengikuti pemilu. Oleh sebab itu, partai politik harus dipaksa untuk melakukan seleksi internal bakal calon kandidat
secara transparan dalam membuat daftar calon kandidat yang akan dicalonkan untuk mengikuti pemilu. Hal ini
diperlukan agar kualitas kandidat peserta pemilu dapat berkontribusi positif dalam menghasilkan keterpilihan
penyelenggara negara yang kredibel, kapabel, dan akuntabel untuk mengelola pemerintahan ke depan.
Kata kunci: Legitimasi Pemerintahan, Pencalonan Kandidat Peserta Pemilu
Margaret Levi dan Audrey Sacks, “Achieving Good Government-And, Maybe, Legitimacy”, dalam makalah
disampaikan pada World Bank Conference “New Frontiers of Social Policy”, Washington, December 12-15, 2005.
Hlm. 1.
1
Prakondisi Untuk Mengukuhkan Legitimasi Pemerintahan | Devi Darmawan | 47
Pendahuluan1
Kualitas hidup rakyat Indonesia bergantung
pada kondisi lingkungan dan Sumber Daya Alam
(SDA). Akan tetapi, praktik korupsi, misalokasi
dan penyalahgunaan dana, implementasi
kebijakan SDA yang tidak efektif dan efisien
terus menerus menjadi penghambat bagi
upaya perlindungan, konservasi, dan perbaikan
lingkungan serta SDA. Ironisnya, pelaku
korupsi sebagian besar berasal dari kalangan
penyelenggara negara yang terdiri dari politisi
dan para birokrat di berbagai tingkatan, mulai dari
pejabat tinggi negara hingga ke level elite lokal.2
Dalam praktiknya, korupsi tersebut cenderung
melibatkan transaksi ilegal besar dengan
mengorbankan hutan, keanekaragaman hayati,
udara yang bersih, air, serta berbagai kekayaan
lingkungan dan SDA lainnya dalam mencapai
agenda politik dan atau keuntungan ekonomi
jangka pendek mereka (elite capture).3 Hal itu
dilakukan oleh para elit dengan cara menjalin
hubungan dengan perusahaan-perusahaan asing
(yang diuntungkan oleh tindakan mereka) dan
berupaya melanggengkan kekuasaan dengan
segala upaya demi memaksimalkan keuntungan
pribadi.4 Akibatnya, dana yang sebenarnya
merupakan hak negara oleh para elite politik
tidak dipergunakan untuk melindungi dan
mengonservasi SDA, tidak digunakan untuk
menginvestasikan pada aktivitas-aktivitas
ekonomi, tetapi dimanfaatkan untuk keuntungan
pribadi.
Praktik korupsi di sektor SDA ini
merupakan salah satu contoh penyimpangan
dari sekian banyak penyalahgunaan kekuasaan
yang dilakukan oleh para elite politik selaku
penyelenggara negara. Padahal sebelum
pemilu, para elite partai tidak pernah luput
mencantumkan agenda pemberantasan korupsi
selama masa kampanye. Keadaan yang bertolak
belakang tersebut terus berlanjut seiring dengan
laju demokrasi yang semakin terkonsolidasi.
Hal tersebut dapat dilihat dalam periode pasca
pemilu presiden tahun 2004 dan tahun 2009
dimana performance elite politik yang terpilih
sebagai penyelenggara negara berbeda dengan
janji kampanye yang mereka kemukakan
1
Wijayanto dan Ridwan Zachrie (Ed.), Korupsi
Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek
Pemberantasan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2009), hlm. 274.
3
Ibid., hlm. 249.
4
Ibid., hlm. 251.
2
sebelumnya.5 Di antaranya juga terlihat dari
kegagalan anggota dewan dalam melaksanakan
fungsi-fungsi pokoknya, yakni fungsi anggaran,
fungsi pengawasan, dan fungsi legislasi.6 Di
bidang anggaran, DPR periode 2009-2014 dinilai
tidak memiliki politik keberpihakan kepada
rakyat. Sebagian besar Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) masih dialokasikan
untuk anggaran non pembangunan. Di bidang
pengawasan, kinerja DPR justru menyimpang
dari apa yang seharusnya dan malah terlibat
dalam praktik korupsi. Di bidang legislasi pun,
kinerja DPR masih rendah dari target yang
ditetapkan oleh Prolegnas.7 Pada tahun 2010,
DPR hanya menyelesaikan 18 Rancangan
Undang-Undang (RUU) prioritas dari 70 RUU
yang masuk dalam program legislasi nasional
(prolegnas). Pada tahun 2011, hanya ada 22
RUU yang berhasil diselesaikan dari target 70
RUU prioritas. Tahun 2012, dari 69 RUU yang
masuk prolegnas, hanya 30 RUU yang berhasil
diundangkan. Tahun 2013, target legislasi 70
RUU, terdiri dari 34 RUU yang belum selesai
dan 36 RUU baru. Namun, hingga April 2013
baru satu RUU yang berhasil diselesaikan.8
Kondisi
ini
menunjukkan
bahwa
peningkatan kualitas pemilu sebagai manifestasi
nilai-nilai demokrasi untuk menguatkan derajat
legitimasi bagi pemerintahan hasil pemilu
tidak dapat menjamin terbentuknya tata-kelola
pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab.
Realitas ini melahirkan pertanyaan “apa yang
salah dengan proses demokrasi yang tengah
berlangsung saat ini? apakah pilihan model
pemilu yang diterapkan ini justru menyuburkan
praktik korup yang dilakukan oleh para elit
politik?” untuk menjawab pertanyaan tersebut,
tulisan ini mencoba mengidentifikasi persoalan
yang terkandung dalam skema pemilu
Irine Hiraswari Gayatri, “Fisibilitas Pengajuan
Capres Dalam Pemilu Serentak: Berkaca dari
Populisme Substantif”, dalam Syamsuddin Haris
(Ed.), Skema Alternatif Pemilu Presiden Untuk
Efektivitas Demokrasi Presidensial, Laporan
Penelitian, (Jakarta: P2P LIPI, 2014), hlm. 27.
6
Luky Sandra Amalia, “Basis Keterpilihan Calon
Anggota DPR RI Pada Pemilu 2014”, dalam Luky
Sandra Amalia (Ed.), Evaluasi Pemilu Legislatif
2014: Analisis Proses dan Hasil, Laporan Penelitian,
(Jakarta: P2P-LIPI, 2014), hlm. 46.
7
“DPR Mendatang Sulit Diharapkan”, Kompas, 29
April 2013, hlm. 4.
8
“Memimpikan Jiwa-Jiwa Mulia”, Kompas, 17 Juni
2013, hlm. 4.
5
48 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
demokratis agar upaya perbaikan ke depan
dapat berkontribusi positif bagi terbentuknya
tata-kelola pemerintahan yang bertanggung
jawab.
Sehubungan dengan itu, tulisan ini akan
disusun dengan sistematika sebagai berikut.
Pertama, pendahuluan. Kedua, membahas secara
singkat mengenai makna pemilu dan konsepsi
legitimasi pemerintahan. Ketiga, problematika
yang menghambat terbentuknya pemerintahan
yang bertanggung jawab. Keempat, fisibilitas
format pemilu dalam mewujudkan terbentuknya
tata-kelola pemerintahan yang betanggung
jawab. Kelima, Penutup.
Makna Pemilu dan Konsepsi
Legitimasi Pemerintahan
Secara konseptual, pemilu dilaksanakan
dengan menjunjung tinggi semangat
demokrasi untuk menghasilkan pemimpin
yang
lebih
baik, berkualitas, dan
mendapatkan legitimasi dari Rakyat
Indonesia.9 Melalui pemilu, seluruh
warga negara bersama-sama memberikan
kedaulatannya memilih siapa yang paling
layak untuk menjalankan kekuasaan
pemerintahan.10 Menurut Andrew Haywood
sebagaimana dikutip oleh Sigit Pamungkas,
pemilu memiliki dua fungsi, yaitu fungsi
bottom-up dan fungsi top-down.11 Dalam
fungsi bottop-up, pemilu difungsikan
sebagai sarana rekrutmen elite politik,
membentuk pemerintahan, dan sebagai
sarana untuk membatasi perilaku pemerintah
melalui pengalihan dukungan kepada calon
yang lebih aspiratif pada pemilu berikutnya.
Sementara, dalam fungsi top-down, pemilu
difungsikan sebagai sarana elit politik untuk
mengontrol rakyat agar dapat diperintah
sehingga pemilu dijadikan ’pencetak’
legitimasi kekuasaan agar keabsahan
pemerintahan yang berkuasa dapat
ditegakkan, begitu juga dengan program
Nur Hidayat Sardini, Restorasi Penyelenggaraan
Pemilu di Indonesia, (Yogyakarta; Fajar Media
Press, 2011), hlm. 298.
10
Ibid., hal. 177.
11
Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, (Yogyakarta:
Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan
Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, 2009),
hlm. 6.
9
dan kebijakan yang dihasilkan.12
Meskipun
secara
legal-formal
penyelenggaraan pemilu dimaknai sebagai
mekanisme politik yang sah untuk melegitimasi
elite politik yang terpilih untuk menduduki
jabatan politik, pemaknaan legitimasi tidak
berhenti pada pengertian “prosesi memberikan
kewenangan pada kandidat terpilih untuk
menduduki jabatan politiknya” semata. Dari
perspektif pandangan masyarakat sebagai
pemegang kedaulatan, sesungguhnya legitimasi
diberikan bukan melalui pemilihan umum,
tetapi ketika hasil kerja kandidat terpilih
dirasakan betul oleh mereka. Artinya, di mata
masyarakat legitimasi merujuk pada kualitas
pemerintahan bukan pada kualitas pemilihan
umum yang diselenggarakan. Oleh karena itu,
kandidat yang terpilih melalui pemilihan umum
tidak dapat dikatakan memiliki legitimasi jika
mereka tidak dapat meningkatkan kualitas
pemerintahan bagi konstituennya, misalnya
kemampuan menyediakan pelayanan publik di
bidang pelayanan kesehatan, pendidikan, air
bersih, dan fasilitas sanitasi, serta memberikan
solusi atas persoalan publik lainnya.13 Dengan
demikian, untuk dapat dikatakan memiliki
legitimasi, penyelenggara negara harus dipilih
melalui mekanisme pemilu demokrasi dan
juga harus diakui kapabilitas kinerjanya oleh
masyarakat pasca dilantik dan memperoleh
kewenangan untuk menjalankan fungsi
pemerintahan yang dibebankan padanya. Hal
ini sebagaimana dikemukakan juga oleh Levi
and Sack yang dikutip sebagai berikut:14
“Legitimacy does not signify that power
will be used to promote the good of the nation
or of humanity. It implies only that the populace
acquiesces in the exercise of governmental
power. Legitimacy beliefs come from a
variety of sources, some of which may support
accountable, responsive, and even democratic
government, but many of which most definitely
do not. To achieve legitimacy requires the rule
of law and the provision of infrastructure,
justice, education and other services that make
Syamsuddin Haris, dkk, Pemilihan Umum di
Indonesia: Telaah atas Struktur, Proses, dan Fungsi,
(Jakarta: PPW-LIPI, 1997), hlm. 6-9.
13
“2014 Elections: Putting State Legitimacy
into Perspective”, http://thejakartapost.com/
news/2013/03/11/2014-elections-putting-statelegitimacy-perspective.html, diakses pada tanggal
23 Januari 2014.
14
Levi dan Sacks, op.cit., hlm. 22.
12
Prakondisi Untuk Mengukuhkan Legitimasi Pemerintahan | Devi Darmawan | 49
populations better off than they would be
without government. But law and services are
insufficient without government commitments
to procedural fairness and relative transparency.
This, in turn, involves public servants with pay
and other incentives to withstand corruption
and to serve constituents, all constituents. And
that in turn rests on a symbiotic relationship
with an alert citizenry willing to make demands
and hold their public servants accountable.
They will do so only if they believe—and for
good reason—that they are getting something
in return for their compliance and active
citizenship. There is a chicken and egg problem
here to be sure: Without services, citizens will
not find government legitimate, but funds for
services can be a source of corruption rather
than legitimate government.”
Oleh karena legitimasi pemerintahan
masih diterjemahkan dalam bentuk perolehan
suara terbanyak an sich, akibatnya prosesi
pemilu yang telah dilangsungkan sejak
tahun 1999 tidak berkorelasi positif dengan
terbentuknya pemerintahan yang baik dan
bertanggung jawab. Sebaliknya, yang muncul
kemudian justru terlihat dari praktik politik
transaksional atas dasar kepentingan sempit
dan jangka pendek yang tetap mendominasi
interaksi, kerja sama, dan persaingan para elite
politik hasil pemilu. Hal itu dapat dilihat dari
sejumlah kasus korupsi dan penyalahgunaan
kekuasaaan yang mengemuka di harian publik
di mana pelakunya sebagian berasal dari
elite politik yang duduk di lembaga legislatif.
Realitas ini pun diperkuat dengan laporan
Transparansi Internasional Indonesia mengenai
Global Corruption Barometer yang dirilis
tahun 2007.15 Dari laporan tersebut diketahui
bahwa parlemen dan partai politik merupakan
lembaga yang paling korup di Indonesia.
Hal ini pun menjawab pertanyaan tentang
ketidakefektifan pemberantasan korupsi, karena
dua pilar utama pemberantasan korupsi justru
dipegang oleh institusi yang korup (parlemen
dan partai politik).16 Korupsi yang menggejala
di partai politik dan parlemen, yang merupakan
produsen “kebijakan” publik dan perundangan,
menyebabkan kebijakan yang dikeluarkan
tidak bisa diandalkan untuk memberantas
Wijayanto, “Mengukur Tingkat Korupsi”, dalam
Wijayanto dan Ridwan Zachrie (Ed.), Korupsi
Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek
Pemberantasan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2009), hlm. 85.
16
Ibid.
15
korupsi secara efektif.17 Kondisi ini justru
memungkinkan korupsi dalam skala besar
(grand corruption) tumbuh dan berkembang. 18
Meskipun praktik korupsi yang dilakukan
oleh elite politik tidak sebangun dengan tatakelola pemerintahan yang buruk, realitas ini
menunjukan adanya “salah-urus negara”19 yang
dilakukan oleh elite politik. Perilaku korup para
pemegang otoritas politik ini menjauhkan kita
dari impian bangsa sebagaimana yang tertuang
dalam alinea keempat Pembukaan UUD NKRI
1945.20 Dalam kaitan ini, menurut Mark Philp
sebagaimana diuraikan oleh J. Kristiyadi,
realitas korupsi yang dilakukan oleh para elite
politik (korupsi politik) ini tumbuh subur karena
runtuhnya otoritas politik yang cenderung
disebabkan
oleh
ketidakkompentenan
negara (inkompetensi pemerintah) dalam
melaksanakan fungsi-fungsi politik karena
lemahnya lembaga-lembaga politik negara
yang bersangkutan.21 Artinya, praktik korupsi
ini dipengaruhi oleh kegagalan pemerintah
dalam mewujudan makna politik sebagai ranah
terbuka untuk menyelesaikan dan mengatur
konflik kepentingan secara damai dan beradab
dalam masyarakat atas nama kepentingan
umum. Inkompetensi pemerintahan yang
demikian mengakibatkan delegitimasi politik
atas pemerintahan yang tengah berlangsung
karena tidak mampu mengendalikan dominasi
kelompok tertentu sehingga merusak tatanan
politik yang ada.22 Akibatnya, prosesi
demokrasi yang dilangsungkan melalui pemilu
hanya dijadikan wahana oleh elite politik untuk
memperoleh otoritas secara legal demi mengejar
Ibid.
Ibid.
19
Istilah salah-urus negara ini kerap digunakan oleh
Syamsuddin Haris untuk menunjukan tata kelola
pemerintahan yang berlangsung saat ini, dapat
dilihat diantaranya dalam Syamsuddin Haris, Partai,
Pemilu, dan Parlemen: Era Reformasi, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014).
20
Syamsuddin Haris, “Skema Alternatif Pemilu
Presiden Untuk Efektivitas Demokrasi Presidensial”,
dalam Syamsuddin Haris (Ed.), Skema Alternatif
Pemilu Presiden Untuk Efektivitas Demokrasi
Presidensial, Laporan Penelitian, (Jakarta: P2P LIPI,
2014), hlm. 2.
21
J. Kristiyadi, “Demokrasi dan Korupsi Politik”,
dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie (Ed.), Korupsi
Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek
Pemberantasan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2009), hlm. 448.
22
J. Kristiyadi, op.cit., hlm. 447.
17
18
50 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
keuntungannya sendiri. Mereka menganggap
sudah mendapatkan legitimasi jika sudah
mengikuti prosedur dan regulasi yang mereka
buat sendiri, sehingga yang terjadi kemudian
adalah manipulasi demokrasi prosedural.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh
Syamsuddin Haris yang menyatakan bahwa:23
“Dalam gambar yang lebih besar,
berlangsung “salah urus negara dan
pemerintahan” yang tak kunjung berakhir.
Ketika para penyelenggara negara dan
pemerintahan telah dipilih melalui pemilupemilu yang semakin demokratis dan langsung,
kapasitas negara mengelola pluralitas
dan keberagaman yang menjadi fondasi
identitas keindonesiaan kita justru cenderung
menurun. Merebaknya tindak kekerasan
dan anarki sektarian yang berlatar identitas
asal, mengindikasikan hal ini. Meskipun
konstitusi menjamin kebebasan beragama dan
berkepercayaan, negara kerapkali tergagap
sebagai penonton belaka ketika minoritas
agama dan kepercayaan mengalami tindakan
kekerasan dan anarki dalam menjalankan
ritual ibadah mereka. Gambar besar lain
memperlihatkan tidak jelasnya visi, strategi,
prioritas, dan fokus dalam pengelolaan ekonomi
dan sumberdaya alam, sehingga negara dan
korporasi asing dengan leluasa menjadikan
negeri kita sebagai sumber bancakan yang
pada akhirnya memiskinkan rakyat kita.
Salah urus ekonomi dan sumberdaya alam
ini tampak jelas dari dominannya penguasaan
asing atas kekayaan tambang dan mineral, juga
terlihat mencolok dari fenomena impor hampir
semua bahan pangan yang seharusnya bisa
dicukupi dari sumber di dalam negeri. Di sisi
lain, produktifitas dan akuntabilitas lembagalembaga legislatif nasional dan lokal yang
dihasilkan pemilu juga relatif rendah. Alih-alih
memanfaatkan peluang emas meningkatkan
kinerja legislasi dan akuntabilitasnya, partaipartai politik yang menempatkan para wakilnya
di DPR dan DPRD justru sibuk “berpolitik”
dalam arti negatif, yakni mempertukarkan
otoritas dan hak politik mereka dengan
pencarian peluang memperebutkan kekuasaan
politik di satu pihak, dan rente yang bersifat
ekonomis di lain pihak.”
Berdasarkan uraian di atas, sebenarnya
kita tengah menghadapi persoalan legitimasi
pemerintahan (legitimacy crisis). Namun, tidak
ada upaya serius untuk mengukuhkan kembali
legitimasi pemerintahan pasca pemilu. Padahal,
legitimasi memiliki arti penting dan wajib
23
Syamsuddin Haris, op.cit., hlm. 3.
ada dalam penyelenggaraan pemerintahan
sebagaimana dikemukakan pula oleh Max
Weber yang menyatakan bahwa pemerintahan
yang stabil akan sulit terbentuk tanpa adanya
legitimasi.24 Sebaliknya, dengan memiliki
legitimasi, pemerintah dapat mengatur
masyarakat secara sah tanpa harus mengeluarkan
“biaya untuk memaksa” agar masyarakat patuh
dan tunduk pada kebijakan atau peraturan yang
dikeluarkan.25
Problematika yang Menghambat
Terbentuknya Pemerintahan yang
Bertanggung Jawab
“Pemerintahan yang bertanggung jawab”
merupakan istilah yang kerap kali dihubungkan
dengan konsep good governance. Secara
konseptual, good governance merujuk pada
tugas pelaksanaan pemerintahan atau organisasi
suatu negara. Lahirnya konsep good governance
ini dilatarbelakangi oleh berkembangnya sistem
politik multi partai yang tidak didukung oleh
sistem merit politik, tidak ada kepastian dan
jaminan perlindungan hokum, serta birokrasi
yang masih berorientasi pada kekuasaan,
bukan pada pelayanan. Hal ini menyebabkan
pengelolaan negara menjadi tidak efektif dan
banyak aset potensial menjadi objek jarahan
dengan motif mencari keuntungan oleh golongan
tertentu.26 Penerapan prinsip good governance
ini umumnya didahului oleh penerapan Azas
Umum Pemerintahan yang Baik (algemene
beginselen van behoorlijk bestuur) sebagai
kaidah dasar yang melingkupi serangkaian asas
yang harus diperhatikan sebagai panduan tidak
tertulis bagi badan atau pejabat pemerintah
dalam melaksanakan tugas pemerintahan
sehari-hari.27 Serangkaian azas yang dimaksud
tersebut meliputi azas larangan penyalahgunaan
wewenang, larangan melakukan tindakan
sewenang-wenang, azas kecermatan, azas
kewajiban memberi dasar pertimbangan pada
Levi dan Sacks, op.cit., hlm. 2.
Ibid.
26
Juanda Nawawi, “Membangun Kepercayaan
dalam Mewujudkan Good Governance”, Jurnal
Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 No. 3 Juni, 2012,
hlm. 26.
27
“Azas-azas Pemerintahan yang baik”, http://
widyawatiboediningsih.dosen.narotama.ac.id/
files/2011/04/BAB-VIII-Asas-asas-Pemerintahanyang-Baik.pdf, diakses pada tanggal 25 Januari
2013.
24
25
Prakondisi Untuk Mengukuhkan Legitimasi Pemerintahan | Devi Darmawan | 51
putusan, dan azas kepentingan umum.
Penerapan good governance ini akan
berpengaruh pada persoalan legitimasi
pemerintahan secara politik, dan akan
berpengaruh pada kompetensi pemerintah
dalam mengelola sektor publik secara
ekonomi,28
sebagaimana
telah
sempat
disinggung sebelumnya. Salah satu faktor yang
dapat mendorong terbentuknya pemerintahan
yang bertanggung jawab ini adalah pemenuhan
aparatur pemerintah atau penyelenggara negara
yang profesional dan memiliki integritas yang
kokoh.29 Selain melalui pembentukan peraturan
perundang-undangan30 dan lembaga-lembaga
pemerintahan yang baik, hal tersebut
juga diwujudkan melalui proses seleksi
penyelenggara negara yang dilakukan melalui
pemilihan umum yang berintegritas.32
Persoalannya, desain pemilu yang berlaku
saat ini belum dapat dijadikan tumpuan untuk
menghasilkan penyelenggara negara yang dapat
melangsungkan tata kelola pemerintahan yang
bertanggung jawab. Banyak elite politik yang
terpilih pasca pemilu justru “memunggungi”
tanggung jawabnya sebagai penyelenggara
negara melalui rekam jejak (track record) yang
buruk selama periode jabatannya.
Grafik 1. Anggota DPR RI Periode 2014-2019 yang Mempunyai Track Record Buruk
Sumber: Hasil Pemilu 2014-2019
negara31
yang
membantu
perwujudan
Nawawi, op.cit., hlm. 28.
Faktor lainnya adalah Supremacy of the law
(supremasi hukum) : setiap tindakan harus didasari
oleh hukum bukan berdasarkan pada diskresi;
Legal certainty (kepastian hukum) : menjamin
suatu masalah diatur secara jelas, tegas dan tidak
duplikatif; Hukum yang responsive : hukum
mampu menyerap aspirasi masyarakat luas dan
mengakomodasinya; Penegakan hukum yang
konsisten dan nondiskriminasi; Independensi
peradilan sebagai syarat penting dalam perwujudan
rule of law;
30
Di antaranya UU No. 5 Tahun 1986 tentang
PTUN; UU No. 28 Th 1999 Tentang Pemerintahan
yang bersih, bebas kolusi, korupsi, dan Nepotisme;
UU Administrasi Pemerintahan;
UU Etika
Penyelenggara Negara; UU No.12 Th 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; dan
tersebar dalam berbagai UU lainnya
31
Di antaranya KPK; Ombudsman; dan Komisi/
badan-badan lainnya
28
29
Hal itu dapat dilihat dalam grafik yang disajikan
di bawah ini (Lihat Grafik 1).
Ironisnya, para kader yang bermasalah
karena terlibat korupsi dan pelanggaran lainnya
serta memiliki track record buruk diusung
kembali untuk mengikuti pemilu selanjutnya.
Hal tersebut dapat dilihat melalui tabel berikut
ini di mana petahana (incumbent) yang di
antaranya memiliki track record buruk, selama
periode 2009-2014, masih dicalonkan kembali
pada pemilu 2014.
Pola pencalonan partai politik yang seperti
itu tentunya akan menghambat terbentuknya
tata-kelola pemerintahan yang bertanggung
jawab. Untuk mengantisipasi terpilihnya caloncalon dengan track record yang buruk, maka
format pemilu perlu dikaji kembali agar benarbenar dapat menyeleksi kandidat berdasarkan
kemampuan dan kapabilitasnya.
32
Ibid.
52 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Tabel 2. Caleg Petahana di Masing-masing Parpol pada Pemilu 2014
Sumber: Formappi, Daftar Calon Bermasalah, 28 April 2013.
Salah satu hal krusial dalam pemilu adalah
perihal pencalonan33 atau candidacy, khususnya
pada tahap rekrutmen calon kandidat yang
akan dimasukan dalam daftar calon sementara
(DCS). Pada tahap ini sejumlah kandidat yang
layak akan dipilih untuk maju dalam pemilihan
umum. Dengan kata lain, kualitas calon yang
ikut serta dalam pemilu berada di bawah kendali
partai politik. Namun, persoalannya muncul
ketika partai politik tidak mampu menjalankan
fungsinya untuk mensuplai kandidat yang
layak maju dalam pemilu sebagaimana yang
dapat dilihat dari fenomena rekrutmen politik
pada pemilu legislatif 2014. Pada pemilu
legislatif 2014, selain mengandalkan petahana
(incumbent), parpol membuka kesempatan
bagi masyarakat luas untuk mendaftar sebagai
caleg.34 Bahkan, ada parpol yang membuka
kesempatan tersebut dengan memasang iklan
di media massa.35 Akibatnya, daftar calon
kandidat didominasi kalangan pengusaha, artis,
dan keluarga elite partai, sebagaimana pemilu
sebelumnya. Hal ini tidak hanya dilakukan
oleh partai politik baru, tetapi partai politik
lama juga mempraktekkan cara yang sama
demi memperoleh suara sebanyak-banyaknya.
Akibatnya, sistem kaderisasi yang memang
belum berjalan sempurna, bahkan di beberapa
Luky Sandra Amalia, op.cit., hlm. 41.
Lihat “Demokrat Buka Pendaftaran Caleg”, http://
news.okezone.com/read/2013/03/04/339/770714/
demokrat-buka-pendaftaran-caleg, diakses pada
tanggal 3 April 2013.
35
“1700 Caleg Gerindra Mendaftar Karena
Iklan
di
Media”,
http://hot.detik.com/
read/2013/03/22/153647/2201281/10/1700-caleggerindra-mendaftar-karena-iklan-di-media, diakses
pada tanggal 24 April 2013.
33
34
parpol tidak berjalan, malah semakin tidak
berarti sebab selain membutuhkan biaya besar,
kaderisasi membutuhkan proses panjang.36
Alhasil, parpol lebih memilih merekrut kader
secara instan daripada melakukan investasi
mahal jangka panjang.37
Terhadap fenomena di atas, ada pendapat
yang menyatakan bahwa kondisi tersebut
didorong oleh sistem pemilu yang menganut
prinsip proprosional terbuka dengan mekanisme
suara terbanyak sehingga partai politik
membutuhkan caleg yang memiliki popularitas
dan kemampuan finansial tinggi.38 Hal ini tentu
bertentangan dengan kehendak masyarakat
yang menginginkan calon kandidat yang
berkualitas dan dapat mengakar di level grass
root, sehingga dapat memahami permasalahan
dapil secara detail dan bukan hanya populer
di mata publik.39 Di samping itu, argumen
demikian juga tidak sepantasnya dijadikan
acuan, karena ketentuan Pasal 57 ayat 2 UU
No. 8 Tahun 2012 sebenarnya telah mengubah
jangka waktu penyusunan daftar calon kandidat
sehingga proses pengajuan nama bakal calon
kandidat lebih panjang dari sebelumnya, yakni
12 bulan sebelum hari pemungutan suara.
Namun pada praktiknya, seperti yang terjadi
pada tiap-tiap pemilu, partai politik mulai
bekerja untuk menyusun daftar caleg sesaat
menjelang pemilu. Hal ini juga sejalan dengan
yang dikemukakan oleh Luky Sandra Amalia
yang menyatakan bahwa:40
Luky Sandra Amalia, op.cit., hlm. 56.
Luky Sandra Amalia, op.cit., hlm. 42.
38
Luky Sandra Amalia, op.cit., hlm. 41.
39
Luky Sandra Amalia, op.cit., hlm. 41.
40
Luky Sandra Amalia, op.cit., hlm. 42.
36
37
Prakondisi Untuk Mengukuhkan Legitimasi Pemerintahan | Devi Darmawan | 53
“Kerja intensif yang seharusnya
dilakukan dalam rentang waktu di antara dua
pemilu tidak dilaksanakan. Akibatnya, parpol
terkesan asal comot kandidat yang dinilai
mampu menaikkan suara parpol dengan
popularitas, elektabilitas, maupun kemampuan
finansial yang dimilikinya dalam waktu
singkat. Pada satu sisi, keterbukaan parpol
untuk merekrut masyarakat umum di luar kader
memang membuka partisipasi masyarakat
yang selama ini tidak mengabdi di parpol. Di
sisi lain kegiatan ini juga menunjukkan bahwa
parpol tidak menjalankan fungsinya dengan
baik, meskipun rekrutmen secara garis besar
dapat dilakukan melalui dua sumber, yakni
perekrutan dari dalam partai (internal) dan
perekrutan dari luar parpol (eksternal). Jika
praktek seperti ini terus dilakukan bukan tidak
mungkin akan merusak tatanan demokrasi
yang ada selain juga mencederai loyalitas
kadernya sendiri.41”
Oleh sebab itu, untuk mewujudkan
tata kelola pemerintahan hasil pemilu yang
dapat bekerja secara efektif, skema pemilu
demokratis harus didukung dengan sistem
kepartaian yang dapat melahirkan pemimpin
yang bersih, bertanggung jawab, serta memiliki
kemampuan untuk mengelola pemerintahan
dengan baik agar menghasilkan penyelenggara
negara yang dilegitimasi oleh masyarakat.
Hal ini dikarenakan fungsi strategis partai
politik adalah sebagai aktor utama (primary
actor) yang berperan sebagai mediator antara
rakyat dan pemerintah sekaligus menginisiasi
calon peserta pemilu, baik untuk mengisi
jabatan politik di lembaga legislatif, maupun
di eksekutif. Namun, hingga saat ini perbaikan
pelembagaan partai politik belum diupayakan
secara serius.
pernah sampai pada pertanyaan tentang sistem
kepartaian seperti apa yang dianggap tepat
bagi bangsa Indonesia, dalam pengertian tidak
hanya koheren dengan pilihan terhadap sistem
pemerintahan dan sistem perwakilan serta sistem
pemilihan, melainkan juga dapat memberikan
kontribusi bagi cita-cita keadilan, demokrasi,
dan kesejahteraan rakyat.44 Hasil yang muncul
kemudian adalah lahirnya UU No. 2 Tahun
1999 dan UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik yang tidak visioner dan cenderung
membiarkan partai-partai merumuskan dirinya
sendiri.45
Dilihat dari segi substansi, UU tentang
partai politik cenderung dibentuk sebagai
”perikatan terbuka” yang diberikan pemerintah
kepada partai politik. Hal itu dapat dilihat dalam
klausul yang tercantum dalam ketentuan Pasal 12
UU No. 2 Tahun 2011. Pada pokoknya ketentuan
tersebut berisi pendelegasian kewenangan
oleh UU kepada Partai politik untuk mengatur
sendiri persoalan yang berkaitan dengan partai
politik yang bersangkutan seluas-luasnya.
Berdasarkan ketentuan itu partai politik dapat
mengatur dirinya sendiri dengan membentuk
peraturan internal yang disebut Anggaran
Dasar (AD)/Anggaran Rumah Tangga (ART)
Partai Politik. Di sinilah embrio persoalan
muncul, yakni ketika kewenangan yang luas
ini tidak diikuti dengan pelembagaan partai
politik yang matang. Hal ini menyebabkan
kewenangan luas untuk ”mengatur diri sendiri”
tersebut relatif disalahgunakan secara sepihak
dan malah dijadikan ’tameng’ bagi elite partai
untuk kepentingan pribadi dan/atau golongan.
Terkait dengan hal ini, Syamsuddin Haris pun
menyatakan bahwa:46
”Hingga saat ini, hampir tidak ada
tradisi berorganisasi secara rasional, kolegial,
demokratis, dan bertanggung jawab di dalam
partai-partai karena tidak jarang keputusan dan
pilihan politik ditentukan secara sepihak dan
oligarkis oleh segelintir atau bahkan seorang
pemimpin partai. Dalam konteks ideologi, para
politikus partai cenderung bersifat mendua dan
tidak konsisten. Di satu pihak secara formal
dan verbal mendukung ideologi, baik ideologi
negara maupun ideologi partai. Namun, dalam
Di samping itu, selama ini hampir tidak
pernah ada perdebatan serius di kalangan
elite partai-partai di DPR tentang ke mana
sesungguhnya arah sistem kepartaian pascaOrde Baru kita.42 Satu-satunya diskursus
tentang sistem kepartaian di Indonesia tidak
lain adalah seputar diskusi mengenai pencarian
jumlah partai.43 Diskursus tersebut pun tidak
Firmanzah, Mengelola Partai Politik, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2011), hlm.71-72.
42
Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu, dan Parlemen:
Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2014), hlm. 52.
43
Ibid.
41
Ibid.
Ibid.
46
Syamsuddin Haris, Masalah-Masalah Demokrasi
dan Kebangsaan Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2014), hlm. 32.
44
45
54 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
perilaku sering digunakan dukungan itu untuk
kepentingan kekuasaan belaka. Kepentingan
kelangsungan kekuasaan pribadi dan vested
interest kelompok akhirnya mengalahkan
komitmen mereka terhadap ideologi. Pada
akhirnya, kepentingan pribadi dan kelompok
itulah yang menjadi ideologi para politikus partai
kita dewasa ini. Sementara itu, dalam konteks
taktik dan strategi, pada umumnya partaipartai terperangkap upaya mempejuangkan
jabatan-jabatan publik ketimbang perjuangan
memenangkan kebijakan publik.”
Dengan kata lain, regulasi tentang partai
politik yang berlaku justru menghasilkan
ketidakpaduan institusionalisasi partai politik ke
arah yang lebih maju dalam rangka membentuk
tata-kelola pemerintahan yang baik. Hal ini
dikarenakan para elite partai pada masingmasing partai cenderung menginstitusikan
kepentingannya dalam tubuh partai politik
tanpa dikorelasikan dengan fungsi tradisional
partai untuk membangun demokrasi yang lebih
baik. Salah satunya dapat dilihat dari distorsi
partai politik dalam menyuplai tokoh pemimpin
yang kredibel dan kapabel untuk mengelola
pemerintahan ke depan. Partai politik tidak
jarang hanya mengikutsertakan kader yang
berasal dari golongan elite partai dalam Daftar
Calon Sementara (DCS). Selain itu, fenomena
perekrutan public figure untuk memenuhi
DCS juga menjadi bukti kegagalan partai
dalam melaksanakan fungsi kaderisasi politik.
Situasi ini semakin menjauhkan langkah untuk
mewujudkan pemerintahan dengan tata kelola
pemerintahan yang lebih baik karena partai
politik tidak bisa menjamin kapabilitas tokoh
yang dicalonkannya untuk menjalankan fungsi
pemerintahan pasca pemilu. Padahal, melalui
proses pemilu diharapkan dapat menghasilkan
pemimpin yang cakap dan lebih bertanggung
jawab untuk mampu memperbaiki tatakelola pemerintahan sebelumnya. Akibatnya,
legitimasi pemerintahan yang dihasilkan
melalui pemilu didelegitimasi sendiri oleh
kiprah kerja pemerintahan hasil pemilu yang
cenderung berorientasi pada upaya-upaya yang
menguntungkan golongan semata.
Dari segi praktik, masing-masing parpol
sebenarnya telah memiliki sistem rekrutmen
caleg yang memadai, seperti Partai Golongan
Karya (Golkar) dengan PDLT (pengabdian,
dedikasi, loyalitas, tak tercela) dan Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan
sistem scoring. Namun, sistem yang sudah
tersusun rapi ini seringkali harus terkalahkan
dengan unsur subyektifitas pimpinan parpol
karena tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian
besar partai politik di Indonesia masih
bergantung pada figur ketua umum maupun
ketua dewan pembina partai. Hal ini berdampak
pada proses rekrutmen caleg di tubuh partai. 47
Persoalan pencalonan ini tidak hanya
terjadi dalam pemilu legislatif, tetapi juga dalam
pemilu presiden dan wakil presiden. Sejak
pemilu presiden dilakukan secara langsung
pada tahun 2004, tidak seluruh partai politik
melakukan seleksi internal secara terbuka,
fair, dan demokratis, kecuali partai Golkar
yang melakukan seleksi calon presiden melalui
mekanisme konvensi.48 Kandidat calon presiden
dari partai politik lainnya muncul lebih karena
posisi mereka selaku ketua umum atau tokoh
sentral partai yang bersangkutan, misalnya
Susilo Bambang Yudhoyono (Demokrat),
Megawati (PDI Perjuangan), Amien Rais
(PAN), dan Hamzah Haz (PPP).
Proses pencalonan yang demikian berulang
kembali pada pemilu presiden tahun 2009, yang
diikuti oleh Susilo Bambang Yudhoyono selaku
ketua dewan pembina Partai Demokrat, Jusuf
Kalla selaku Ketua Umum Partai Golkar, dan
Megawati selaku ketua umum PDI Perjuangan.
Artinya, posisi sebagai ketua umum dan tokoh
sentral di dalam partai sudah secara langsung
menjadi prasyarat bagi yang bersangkutan
untuk maju sebagai kandidat calon presiden.
Selanjutnya dalam pemilu presiden 2014, format
pilpres masih belum berubah dari pemilu tahun
2009 karena dasar hukum penyelenggaraannya
masih berpedoman pada UU Nomor 42 Tahun
2008. Pemilu presiden 2014 masih diikuti oleh
tokoh sentral partai politik, misalnya, Prabowo
sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra.
Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa format
pemilu presiden 2014 masih belum mewadahi
berlangsungnya pencalonan yang transparan
dan demokratis. Kalaupun tokoh seperti Jokowi
bisa mengikuti pencalonan, hal itu terjadi bukan
karena difasilitasi oleh format pemilu presiden
Luky Sandra Amalia, op.cit., hlm. 44.
Syamsuddin Haris, Format Alternatif Pemilu
Presiden Untuk Efektivitas Demokrasi Presidensial,
dalam Syamsuddin Haris (Ed.), Skema Alternatif
Pemilu Presiden Untuk Efektivitas Demokrasi
Presidensial, Laporan Penelitian, (Jakarta: P2P LIPI,
2014), hlm. 109.
47
48
Prakondisi Untuk Mengukuhkan Legitimasi Pemerintahan | Devi Darmawan | 55
yang berlaku saat ini, melainkan karena
dukungan media dan elektabilitas Jokowi
yang melampaui siapa pun. Terhadap hal ini,
Syamsuddin Haris berpendapat bahwa:49
“Berkaca pada pengalaman Pilpres
2014, kemunculan Jokowi yang fenomenalkarena tidak menjabat posisi ketua umum atau
pimpinan parpol, tidak berasal dari lingkaran
elite politik sipil, militer, ataupun keluarga
serta keturunan tertentu-tak mengurangi
urgensi penataan kembali format pilpres ke
arah yang lebih baik, tak hanya terkait skema
waktu penyelenggaraannya, melainkan juga
formatnya, termasuk di dalamnya proses
pencalonan.”
Sama halnya dengan aturan rekrutmen
kandidat calon legislatif yang diatur oleh UU
No. 8 Tahun 2012, UU No. 42 Tahun 2008
tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
pun menyimpan persoalan yang serupa.
Pengaturan tersebut memberikan kewenangan
yang luas pada partai politik untuk mencalonkan
kandidatnya tanpa campur tangan siapa pun.
Pada implementasinya, model pencalonan
yang demikian cenderung menutup akses dan
partisipasi publik untuk mengetahui dinamika
pencalonan kader yang dilakukan oleh partai
politik. Berkaitan dengan hal ini, Syamsuddin
Haris menyatakan bahwa:50
”UU pilpres justru memberi “cek kosong”
kepada parpol untuk menentukan capresnya
masing-masing, sehingga yang berlangsung
kemudian adalah penetapan capres dan
mekanisme capres secara oligarkis oleh ketua
umum ataupun pimpinan parpol.51 Menurutnya,
hampir tidak ada kesempatan bagi publik
memilih kandidat berdasarkan kapabilitas para
capres. Padahal, model pemilihan presiden
dan sistem kepartaian yang berada dibalik
pencalonan kandidat calon presiden bukanlah
semata-mata bermakna proseduralis. Model
pemilu dan pencalonan nominee berpengaruh
pada karakter yang akhirnya dibentuk politisi
untuk dapat fit pada tokoh pemimpin yang
dibutuhkan dan pada upayanya untuk berusaha
memenangkan pemilihan itu sendiri. Format
pemilu presiden saat ini tidak menjanjikan
tampilnya presiden yang kapabel dan akuntabel.
Begitu banyak tokoh dari berbagai kalangan
format pilpres tidak menjanjikan tampilnya
Ibid., hlm. 112.
Ibid., hlm. 109.
51
Syamsuddin Haris, 2014, op.cit, hlm. 154.
49
50
presiden yang kapabel dan akuntabel. Begitu
banyak tokoh dari berbagai kalangan yang
berambisi menjadi presiden, tapi tidak begitu
jelas visi dan agenda strategis mereka bagi
masa depan bangsa kita. Hampir tidak ada
perdebatan serius tentang agenda para capres
bagi masa depan bangsa kita, katakanlah untuk
10, 20, atau 30 tahun kedepan. Misalnya saja,
hampir tidak muncul diskusi dan perdebatan
tentang arah dan strategi kebijakan seperti apa
yang ditawarkan para kandidat presiden dalam
pengelola sumber daya alam, strategi dalam
membangun kedaulatan pangan, enegrgi, dan
seterusnya. Orientasi dan arah kompetisi masih
berputar disekitar upaya meraih popularitas dan
elektabilias belaka.”52
Oleh karena itu, upaya merekonstruksikan
model pencalonan kandidat, baik calon anggota
legislatif, maupun calon presiden dan wakil
presiden harus dilakukan dengan mengutamakan
keterpilihan kandidat yang memiliki kapasitas
dan kapabilitas. Selama ini hampir tidak ada
upaya partai politik untuk melembagakan
mekanisme rekrutmen calon anggota legislatif
dan calon presiden secara terbuka, partisipatif,
demokratis dan akuntabel. Menurut Syamsuddin
Haris, Partai Golkar menjelang Pilpres 2004
memang pernah mencoba melembagakan
proses seleksi capres melalui mekanisme
konvensi yang akhirnya menghasilkan mantan
Panglima ABRI Jenderal TNI (Purn) Wiranto
sebagai calon presiden. Namun sayangnya
tradisi politik yang baik ketika Golkar dipimpin
oleh Akbar Tandjung tersebut tidak dilanjutkan
pada akhir era kepemimpinan Jusuf Kalla
menjelang Pilpres 2009. Mekanisme konvensi
kemudian dihidupkan lagi oleh Partai Demokrat
menjelang Pilpres 2014, tetapi tampaknya
lebih sebagai upaya memulihkan kepercayaan
publik akibat berbagai skandal korupsi yang
diduga melibatkan sejumlah petinggi Demokrat
daripada sebagai gagasan genuine untuk
mencari capres terbaik. Persoalannya, format
konvensi yang digagas Presiden SBY tersebut
bukan hanya tidak lazim –sebagaimana tradisi
konvensi parpol yang sudah melembaga dalam
pilpres di Amerika Serikat misalnya—melainkan
juga mengajak serta kader parpol lain dan para
kandidatnya telah “disiapkan” oleh sebuah
komite yang dibentuk oleh SBY selaku tokoh
sentral Demokrat. Tidak mengherankan jika
kemudian sejumlah kandidat seperti Mahfud
MD, Jusuf Kalla, dan Rustiningsih, akhirnya
52
Ibid, hlm. 153.
56 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
mundur sebelum konvensi digelar.53
Hakikatnya, model pencalonan seperti
diuraikan diatas, baik bagi pemilu legislatif
maupun pemilu eksekutif, hanya akan menjadi
hambatan bagi munculnya figure yang credible
di pemerintahan. Terutama mengingat besarnya
kadar kooptasi elite partai terhadap kandidat
peserta pemilu yang akan dimajukan di dalam
pemilu.54 Kondisi ini selanjutnya akan berujung
pada melembaganya dominasi elite partai dalam
birokrasi pemerintahan melalui pencalonan
”kandidat boneka” yang jelas tidak berorientasi
sepenuhnya untuk mengelola pemerintahan
untuk rakyat kecuali untuk kepentingan
elite partai yang mengusung calon yang
bersangkutan. Oleh sebab itu, proses pencalonan
kader (candidacy mechanism) di dalam internal
partai politik perlu disorot lebih tajam dengan
menuntut transparansi rekrutment politik yang
dilakukan masing-masing partai politik.
Fisibilitas Format Pemilu dalam
Mewujudkan Terbentuknya
Tata-Kelola Pemerintahan yang
Bertanggung Jawab
Berdasarkan problem delegitimasi sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, keberadaan partai
politik saat ini lebih cenderung menjadi beban
atau masalah ketimbang inisiator bagi solusi
permasalahan rakyat. Secara tidak langsung
ini menunjukkan kegagalan partai dalam
memproduksi pilihan kader yang berkualitas.
Menurut Winters, Kegagalan ini disebabkan
oleh kondisi nyata sumber daya manusia yang
ada dalam tubuh partai, berkaitan dengan
kepribadian mereka.55 Sudah menjadi rahasia
Lihat antara lain, Syamsuddin Haris, “Konvensi
Setengah Hati”, Kompas, 17 Juli 2013; Syamsuddin
Haris, “Konvensi dan Pertaruhan”, Kompas, 4
September 2013.
54
Hal itu dapat dilihat dalam aturan baku pengusulan
bakal calon presiden dan penetapan pasangan calon
presiden di mana dalam hal mendaftarkan pasangan
calon, tanda tangan yang dibubuhkan berasal dari
ketua umum atau sebutan lain dari pimpinan partai
politik yang bersangkutan dengan menyerahkan
sejumlah dokumen yang salah satunya meliputi
naskah visi, misi, dan program dari bakal Pasangan
Calon.
55
Harjoko Sangganagara, “Reformasi dan
Kaderisasi”, http://harsablog.blogspot.com/2009/07/
reformasi-dan-kaderisasi.html, diakses pada tanggal
53
umum bahwa banyak kader partai yang
menduduki jabatan-jabatan publik berperilaku
tidak sesuai dengan yang diharapkan
masyarakat, misalnya berjudi, bermabukmabukan, berfoya-foya, berselingkuh hingga
berperilaku koruptif.56 Setelah memperoleh
kursi legislatif dan eksekutif, para petinggi
partai politik lebih sibuk memburu rente dengan
cara mengutak-atik dana publik (APBN dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja DaerahAPBD) untuk disalahgunakan ketimbang kerja
“kering” merawat dukungan konstituen di
daerah pemilihan masing-masing. Berbagai
kasus korupsi yang diungkap KPK yang
melibatkan anggota parlemen, kepala daerah,
hingga menteri telah mengindikasikan hal
itu.57 Hal-hal seperti itu merupakan cerminan
tindakan yang menjauhkan mereka dari
tanggung jawabnya kepada masyarakat untuk
mengelola pemerintahan dengan bertanggung
jawab. Padahal, peran partai sangat berpengaruh
bagi terbentuknya tata kelola pemerintahan
yang baik karena seharusnya partai politik
harus mampu melahirkan tokoh pemimpin
yang kredibel, kapabel, dan akuntabel untuk
mengelola pemerintahan ke depan.
Untuk
menangani
persoalan
ini,
dibutuhkan instrumen yang dapat memaksa
partai politik agar melakukan fungsi rekrutmen
calon peserta pemilu secara profesional dan
transparan karena partai politik bertanggung
jawab atas terbentuknya pemerintahan hasil
pemilu yang mampu mengelola pemerintahan
secara baik dan berkelanjutan. Di dalam praktik
politik selama ini, metode rekrutmen calon
yang dipraktikan oleh masing-masing partai
politik menjadi sebuah misteri yang tidak
pernah diketahui oleh publik karena proses
rekrutmen tidak berlangsung secara terbuka
dan partisipatif.58 Hal ini diperburuk lagi oleh
cara kerja partai politk dalam melakukan proses
rekrutmen dengan pendekatan “asal comot”
terhadap kandidat yang dipandang sebagai
“mesin politik”.59 Padahal, partai politik yang
24 Januari 2013.
56
Ibid.
57
Syamsuddin Haris, “Berburu Calon Anggota
Legislatif”, Kompas, 28 Januari 2013, hlm.6.
58
Syamsuddin Haris, 2014, op.cit., hlm. 29.
59
Ainur Rofiq, “Fungsi Rekrutmen Politik Pada
Calon Legislatif Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
2009”,
http://download.portalgaruda.org/article.
php?article=19709&val=1237, diakses pada tanggal
24 Januari 2013.
Prakondisi Untuk Mengukuhkan Legitimasi Pemerintahan | Devi Darmawan | 57
ada seharusnya dapat melakukan mekanisme
rekrutmen politik yang dapat menghasilkan
pelaku-pelaku politik yang berkualitas. Hal
ini penting dilakukan dalam pengelolaan
pemerintahan, karena salah satu tugas pokok
dalam rekrutmen politik adalah bagaimana
partai-partai politik yang ada dapat menyediakan
kader-kadernya yang berkualitas untuk duduk
di parlemen atau pemerintahan.60
Berkaitan dengan rekrutment politik ini,
proses yang ditempuh tiap-tiap partai politik
dalam memilih calon untuk diikutsertakan
dalam
pemilu
legislatif
berbeda-beda.
Namun, secara umum terdapat tiga tahapan
yang ditempuh berkaitan seleksi kader untuk
pencalonan ini, yaitu tahap penjaringan calon,
tahap penyaringan dan seleksi calon yang telah
dijaring, dan tahap penetapan calon berikut
nomor urutnya.61 Dalam tahapan penjaringan
calon terjadi proses interaksi antara elit partai
di tingkat lokal atau ranting partai dengan elite
partai di tingkat atasnya atau anak cabang.62
Tahapan tersebut lebih mengutamakan pola
interaksi internal partai.63 Selanjutnya, dalam
tahap penyaringan dan seleksi calon yang telah
dijaring terjadi interaksi antara elite tingkat
anak cabang dan elite tingkat cabang daerah.64
Terakhir, dalam penetapan calon berikut nomor
urutnya, terjadi interaksi antara elit tingkat
cabang daerah, terutama pengurus harian partai
tingkat cabang dengan tim kecil yang dibentuk
dan diberikan wewenang untuk menetapkan
calon legislatif.65 Dari ketiga tahapan tersebut,
dapat dilihat kekosongan ruang bagi publik
untuk mengetahui proses dan dinamika
pencalonan yang berlangsung di tubuh partai.
Hal yang sama juga terjadi dalam pemilu
presiden dan wakil presiden, tidak semua partai
politik menerapkan mekanisme pemilihan
internal yang transparan dan demokratis.
Praktik yang umum menunjukan calon presiden
berasal dari pemegang jabatan ketua umum atau
Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi
Demokrasi: Menakar Kinerja Partai Politik Era
Transisi di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), hlm. 1.
61
Syamsuddin Haris (Ed.), Pemilu Langsung di
Tengah Oligarki Partai: Proses Nominasi dan
Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004, (Jakarta:
Gramedia, 2005), hlm. 8.
62
Ibid.
63
Ibid.
64
Ibid.
65
Ibid.
60
tokoh sentral di partainya tanpa memasukkan
variabel lainnya sebagai penentu kelayakan
tokoh yang bersangkutan untuk maju sebagai
calon presiden dan atau wakil presiden.
Secara normatif, hal tersebut memang
tidak melanggar tertib hukum, karena Pasal 29
UU No. 2 Tahun 2011 mengatur bahwa ”Partai
Politik melakukan rekrutmen terhadap warga
negara Indonesia untuk menjadi: a. anggota
Partai Politik; b. bakal calon anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah; c. bakal calon Presiden dan
Wakil Presiden; dan d. bakal calon kepala daerah
dan wakil kepala daerah secara demokratis
dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta
peraturan perundang-undangan yang dilakukan
dengan keputusan pengurus Partai Politik
sesuai dengan AD dan ART”. Oleh sebab
itu, berdasarkan aturan tersebut partai politik
diperkenankan secara leluasa untuk memutuskan
siapa saja yang akan dicalonkan untuk mengikuti
pemilu legislatif dan/atau pemilu presiden.
Namun, dari segi prinsip demokrasi elektoral,
praktik tersebut tidak dapat dibenarkan karena
secara tidak langsung menempatkan publik
selaku pemilih pada posisi secondary. Format
pemilu tersebut justru menjauhkan akses
rakyat dalam mengikuti proses pemilihan calon
pemimpin yang akan menduduki posisi politik
di pemerintahan. Padahal, pemaknaan prinsip
”Langsung” sebagai salah satu asas pemilu
demokratis seharusnya dimaknai sebagai
pelibatan publik (public engagement) pada
setiap tahapan pemilu, termasuk rekrutmen
politik yang dilakukan partai politik.
Dalam konteks ini, publik berhak
mengetahui dan memperoleh informasi yang
jelas tentang dinamika pencalonan yang
dilakukan secara internal oleh partai politik,
serta bagaimana praktik seleksi internal yang
ditempuh oleh suatu partai politik dalam pemilu
tersebut dilaksanakan. ”Segi pengawasan
publik” inilah yang hilang dari proses
pencalonan yang dilakukan oleh partai politik
dalam menyeleksi kandidat terbaik yang akan
dicalonkan dalam pemilu. Padahal, pengertian
prinsip penyelenggaraan pemilu secara
langsung bertumpu pada proses pemberian
suara dari pemilih kepada kandidat secara
langsung dalam proses pemilu. Artinya, pemilih
seharusnya dilibatkan sejak awal di tiap tahapan
pemilu, termasuk dalam tahapan pencalonan
untuk ikut serta menentukan kandidat yang akan
58 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
dimasukkan dalam DCS. Hal ini pun didukung
dengan pendapat Irine Hiraswari Gayatri, yang
mengemukakan bahwa:66
Selain itu, dalam kaitannya dengan
persoalan
mekanisme
pencalonan
ini,
68
Syamsuddin Haris juga menyatakan bahwa:
“Secara teoretik ada dampak dari
kepemimpinan politik terhadap kondisi dan
situasi yang terjadi di masyarakat. Di sisi ini
tidak dapat dipungkiri bahwa kepemimpinan
politik merupakan hasil dari sebuah proses
pemilihan politik yang melibatkan rakyat
dan institusi-institusi politik, dalam konteks
demokrasi elektoral. Dari sini saja sudah
jelas bahwa demokrasi elektoral melalui
pilpres memang membuka ruang baru untuk
masyarakat terlibat langsung baik dalam arti
memilih maupun mencalonkan.”
”Semestinya peraturan pemilu mengatur
tentang mekanisme pemilihan pendahuluan
baik secara internal parpol ataupun internal
koalisi sebagai salah satu kewajiban yang harus
dipenuhi parpol atau gabungan parpol sebelum
mengusung pasangan capres dan cawapres,
ataupun mengusulkan daftar nama yang masuk
dalam DCS untuk mengikuti pemilu. Melalui
mekanisme pemilihan pendahuluan tersebut
diharapkan akan terseleksi kandidat capres
yang tidak hanya memiliki rekam jejak yang
baik dan berintegritas, tetapi juga kompeten
serta mempunyai kapasitas kepemimpinan
yang dibutuhkan”
Dengan demikian, Akar persoalan
ini sebenarnya dapat diselesaikan melalui
perbaikan mekanisme pencalonan kandidat
yang akan diikutsertakan partai politik dalam
pemilu dengan mendesain pelibatan publik
secara terbuka. Hal ini juga dikemukakan
oleh Irine Hiraswari Gayatri yang menyatakan
bahwa:67
“Kaderisasi dan pelembagaan parpol
akan mendukung lahirnya kandidat capres
yang layak dan dapat diterima publik. Ini
harus dilengkapi dengan mekanisme internal
misalnya pemilihan pendahuluan di internal
parpol, baik itu uji publik atau lainnya.
Pencalonan dalam pilpres fokusnya terletak
pada kesungguhan melembagakan pencalonan
internal. Pada tahun 2014 menjelang Pilpres
walaupun ada konvensi tapi tidak serius
bahkan terkesan seperti main-main, hanya
untuk kepentingan pencitraan. Secara
idealistik pencalonan seseorang untuk maju
menjadi presiden, apakah melalui parpol
atau jalur independen, dapat melalui proses
yang sistematis, demokratis, dan akuntabel.
Parpol sebagai sebuah organisasi politik yang
mempunyai disiplin internal setelah berhasil
menjaring kandidat potensial dari kader-kader
mereka di berbagai wilayah, laki-laki maupun
perempuan, seharusnya bisa memfasilitasi
seleksi awal melalui pemilihan pendahuluan
secara internal, dan, dengan menerapkan
serangkaian indikator yang lebih khusus dan
umum, dapat menyertakan kandidatnya pada
mekanisme uji publik.”
66
67
Irine Hiraswari Gayatri, op.cit., hlm. 31.
Ibid., hlm. 26.
Berdasarkan uraian di atas, seleksi kader
yang dilakukan secara internal partai politik
ini perlu dipertimbangkan sebagai bahan
revisi bagi UU pemilu presiden, UU Pemilu
Legislatif, serta UU Partai Politik. Secara
substansi, ketentuan baru tentang kewajiban
transparansi dalam rekrutmen partai politik
melalui pemilihan pendahuluan ini tidak
bertentangan dengan ketentuan lainnya yang
berkenaan dengan pencalonan. Agar koheren
dengan tahapan pemilu yang berlaku sekarang,
implementasi pemilihan pendahuluan sebagai
ajang seleksi internal kader oleh partai politik
ini dapat ditempatkan dalam periode pencalonan
dengan jangka waktu sebagaimana yang diatur
oleh UU Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.
Selain itu, upaya perbaikan pelembagaan
partai politik untuk mendorong terwujudnya
tata kelola pemerintahan yang bertanggung
jawab dapat dilakukan melalui beberapa cara
lainnya, sebagaimana yang pernah ditawarkan
Tim LIPI yang terangkum dalam Usulan
Naskah Akademik Revisi UU Bidang Politik
pada tahun 2007 yang masih relevan untuk
dibuka kembali.69
Pertama, mendorong pengembangan partai
kader. Upaya pengembangan partai politik dari
Syamsuddin Haris, 2014, “Format Alternatif..”,
op.cit., hlm. 117
69
Tim LIPI, Menuju Sistem Pemerintahan
Presidensial yang Demokratis, Kuat, dan Efektif,
Usulan Naskah Akademik Revisi UU Bidang Politik,
Kerjasama Pusat Penelitian Politik LIPI & Ditjen
Kesbangpol Departemen Dalam Negeri RI, (Jakarta:
LIPI Press, 2007), hlm. 102-117.
68
Prakondisi Untuk Mengukuhkan Legitimasi Pemerintahan | Devi Darmawan | 59
partai massa ke partai kader memang tidak
mudah dilakukan, tetapi partai bisa mulai
dengan cara mengkombinasikan partai massa
dan partai kader. Untuk itu, sistem keanggotaan
parpol juga harus dibuat lebih ketat sehingga
terbangun disiplin internal partai.
Kedua, kewajiban merealisasikan fungsi
parpol. Partai politik sebagai sebuah institusi
demokrasi tentu memiliki fungsi yang wajib
dijalankan, di antaranya fungsi rekrutmen dan
pengkaderan politik; artikulasi dan agregasi
kepentingan; pendidikan politik; dan fungsi
komunikasi politik. Contohnya, dalam proses
rekrutmen parpol semestinya tidak begitu saja
merekrut orang dari luar partai yang sematamata populer, sebab hal ini menunjukkan bahwa
proses kaderisasi parpol sebenarnya tidak
berjalan. Parpol boleh saja merekrut orang dari
luar partainya untuk dicalonkan sebagai wakil
rakyat, tetapi harus memenuhi beberapa syarat
yang penting, misalnya seseorang yang memiliki
pemahaman mengenai seluk beluk politik,
mempunyai program, dan lain sebagainya.
Bukan hanya bermodal popularitas dan finansial
tinggi saja. Selanjutnya, parpol mengumumkan
bakal calon anggota legislatif yang akan diusung
kepada masyarakat (sebagai konstituen) dan
menerima masukan dari masyarakat mengenai
daftar bakal calon tersebut sebelum didaftarkan
ke KPU. Masyarakat perlu mengetahui siapa
dan bagaimana bakal calon yang akan mewakili
mereka di parlemen nantinya dan mereka
berhak memberikan masukan kepada partai atas
bakal calon anggota legislatif tersebut. Bahkan,
jika diperlukan parpol bisa melakukan primary
election. Hal yang penting adalah parpol tidak
boleh menutup mata dan telinga atas masukan
masyarakat.
Ketiga, setelah berhasil memenangkan
pemilu dan mendudukkan kader-kadernya di
parlemen, hubungan parpol dengan masyarakat
bukan berarti terputus, justru sebaliknya
parpol harus semakin meningkatkan intensitas
hubungan antara kader yang duduk di lembaga
legislatif dengan konstituennya. Parpol
semestinya membuat semacam mekanisme
komplain terhadap kinerja anggota dewan kepada
konstituen. Selanjutnya, partai mengumumkan
kebijakan yang dilakukan sebagai tindak
lanjut atas komplain-komplain yang diberikan
oleh masyarakat tersebut. Artinya, komplain
masyarakat tidak terhenti sebagai masukan
belaka, melainkan terbangun sistem feedback
yang baik, di mana anggota dewan maupun
parpol memberikan respon terhadap masukan
dari masyarakat tersebut. Tidak hanya itu,
lebih jauh partai bisa mengumumkan kinerja
yang telah dilakukan oleh anggota parpol yang
menjadi anggota legislatif melalui website atau
ditempel pada papan pengumuman di tiap-tiap
kantor kepengurusan parpol. Pengumuman
itu juga harus diberikan kepada media massa.
Jika diperlukan, aturan ini bisa dimasukkan ke
dalam UU Parpol sehingga sifatnya wajib dan
mengikat. Misalnya, parpol membuat laporan
secara berkala (waktunya mengikuti mekanisme
reses) tentang apa saja yang telah dilakukan oleh
parpol dan anggotanya yang duduk di parlemen.
Penutup
Kinerja
pemerintah
dalam
mengelola
pemerintahan secara bertanggung jawab akan
mempengaruhi derajat legitimasi pemerintahan
yang diperolehnya melalui pemilu. Bahkan,
dalam hal pemerintahan hasil pemilu melakukan
praktik korupsi, manajerial pemerintahan yang
buruk dalam menyediakan public service akan
mendelegitimasi kekuasaan pemerintahan secara
langsung karena makna legitimasi tidak bersifat
formal sebagaimana dijamin oleh pemilu. Dalam
sejarah politik Indonesia, upaya delegitimasi
pemerintahan pernah berujung pada reformasi
menjatuhkan rezim pemerintahan Soeharto.
Oleh karena legitimasi lebih dimaknai sebagai
kerja konkret penyelenggara negara, maka upaya
mengukuhkan kembali legitimasi pemerintahan
perlu dilakukan dengan memastikan format
pemilu dapat menghasilkan penyelenggara
negara yang mampu menyelenggarakan fungsi
pemerintahan secara bertanggung jawab.
Namun, persoalannya hingga kini format
pemilu masih belum dapat menghasilkan
penyelenggara negara yang benar-benar dapat
menyelenggarakan pemerintahan dengan tata
kelola yang baik dan bertanggung jawab. Untuk
itu dibutuhkan pembenahan pada format pemilu
yang saat ini berlaku dengan mengidentifikasi
tahap pemilu yang berpengaruh pada kualitas
kandidat pemilu, yakni tahap pencalonan.
Dalam tahapan pencalonan, partai
politik melakukan rekrutmen politik dan
menyeleksi kader yang akan diikutsertakan
dalam pemilu, baik pemilu legislatif maupun
pemilu eksekutif. Proses seleksi tersebut
sepenuhnya menjadi kewenangan partai politik
60 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
sehingga baik buruknya kandidat menjadi
tanggung jawab partai politik. Keadaan ini
menimbulkan persoalan tersendiri karena
praktik yang terjadi selama ini menunjukan
tidak adanya transparansi dalam rekrutment
kandidat untuk pencalonan oleh partai politik.
Akibatnya, kandidat yang dicalonkan lebih
didasarkan pada hubungan relasi dan faktor
posisi kandidat yang bersangkutan di dalam
suatu partai politik. Akibatnya, kandidat
yang mengikuti pemilu tidak lagi diutamakan
kualitas dan kapabilitasnya. Hal inilah yang
kemudian menjadi salah satu prakondisi yang
menghambat keberhasilan pemilu dalam
menghasilkan penyelenggara negara yang
kapabel. Dengan demikian, untuk menangani
persoalan ini, praktik rekrutmen politik harus
dilakukan secara transparan melalui mekanisme
pemilihan pendahuluan agar publik dapat
mengetahui dinamika pencalonan yang terjadi
di dalam partai politik dan tidak salah dalam
menjatuhkan pilihannya pada hari pemungutan
suara.
Daftar Pustaka
Buku
Hanan, Djayadi. 2014. Menakar Presidensialisme
Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari
Format Demokrasi yang Stabil dan
Dinamis dalam Konteks Indonesia.
Bandung: Mizan.
Haris, Syamsuddin. 2014. Masalah-Masalah
Demokrasi dan Kebangsaan Era Reformasi.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Haris, Syamsuddin. 2014. Partai, Pemilu, dan
Parlemen: Era Reformasi. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Koirudin. 2004. Partai Politik dan Agenda
Transisi Demokrasi: Menakar Kinerja
Partai Politik Era Transisi di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kristiyadi, J. 2009. “Demokrasi dan Korupsi
Politik”, dalam Wijayanto dan Ridwan
Zachrie (Ed.). Korupsi Mengorupsi
Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek
Pemberantasan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Romli, Lili, Dkk. 2009. Evaluasi Pemilu Legislatif
2009: Tinjauan atas Proses Pemilu,
Strategi Kampanye, Perilaku Memilih, dan
Konstelasi Politik Hasil Pemilu. Jakarta:
LIPI Press.
Sigit Pamungkas. 2009. Perihal Pemilu.
Yogyakarta:
Laboratorium
Jurusan
Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Ilmu
Pemerintahan Universitas Gajah Mada.
Wijayanto dan Ridwan Zachrie. 2009. (Ed.),
Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab,
Akibat, dan Prospek Pemberantasan.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yuda, Hanta. 2010. Presidensialisme Setengah
Hati: Dari Dilema ke Kompromi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Jurnal
Nawawi, Juanda. 2012. “Membangun Kepercayaan
dalam Mewujudkan Good Governance”.
Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan 1(3).
Laporan dan Makalah
Amalia, Luky Sandra. 2014. “Basis Keterpilihan
Calon Anggota DPR RI Pada Pemilu
2014”, dalam Luky Sandra Amalia (Ed.),
Evaluasi Pemilu Legislatif 2014: Analisis
Proses dan Hasil, Laporan Penelitian,
Jakarta: P2P-LIPI.
Gayatri, Irine Hiraswari. 2014. “Fisibilitas
Pengajuan Capres Dalam Pemilu Serentak:
Berkaca dari Populisme Substantif”. dalam
Syamsuddin Haris (Ed.). Skema Alternatif
Pemilu Presiden Untuk Efektivitas
Demokrasi
Presidensial.
Laporan
Penelitian. Jakarta: P2P LIPI.
Haris, Syamsuddin. 2014. “Format Alternatif
Pemilu Presiden Untuk Efektivitas
Demokrasi
Presidensial”.
dalam
Syamsuddin Haris (Ed.), Skema Alternatif
Pemilu Presiden Untuk Efektivitas
Demokrasi
Presidensial.
Laporan
Penelitian. Jakarta: P2P LIPI.
Levi, Margaret, Audrey Sacks. 2005. “Achieving
Good
Government-And,
Maybe,
Legitimacy”. Makalah disampaikan pada
World Bank Conference “New Frontiers of
Social Policy, Washington, Desember 1215.
Haris, Syamsuddin. 2014. “Evaluasi Proses dan
Analisis Hasil Pemilu Legislatif 2014”
dalam Luky Sandra Amalia (Ed.), Evaluasi
Pemilu Legislatif 2014: Analisis Proses
Prakondisi Untuk Mengukuhkan Legitimasi Pemerintahan | Devi Darmawan | 61
dan Hasil. Laporan Penelitian. Jakarta:
P2P-LIPI.
Undang-Undang
UUD NKRI 1945
UU No. 2 Tahun 2012 tentang Partai Politik
UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD
UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden
62 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
KOALISI MODEL PARLEMENTER DAN DAMPAKNYA PADA
PENGUATAN KELEMBAGAAN SISTEM PRESIDENSIAL
DI INDONESIA
PARLIAMENTARY-STYLE COALITIONS AND ITS IMPACT
ON STRENGTHENING THE INSTITUTIONAL PRESIDENTIAL
SYSTEM IN INDONESIA
Asrinaldi A
Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas
Jalan Kampus Limau Manis, Padang 25163
E-mail: [email protected]
Diterima: 1 Agustus 2013; direvisi: 3 September 2013; disetujui: 10 Desember 2013
Abstract
Implementation coalition of parliamentary system in the presidential system model in Indonesia cause
problems in the legislature. This article describes the effects that arise from that coalition of parliamentary system
model was applied in a presidential system. Consequently, polemic over government programs in legislature no
longer related to public interest, but simply to show an attitude that opposite to government. Interestingly, the
ruling government party seek to involve the opposition party in government to avoid conflicting in government
programming. As a result, the formation of coalition of parlimentary model does not reflect consistency in
implementing the constitution. Even the coalition that formed it just put the political interests as a goal rather than
strengthen the political ideology as the way of the nation. This article explains more in depth what the impact of
coalition of parliamentary syatem model to strengthening of political institutions in a presidential system.
Keywords: Presidentialism system model and institutional strengthening
Abstrak
Penerapan model koalisi sistem parlementer dalam pelaksanaan sistem presidensial di Indonesia mendatangkan
masalah di lembaga legislatif. Artikel ini menjelaskan dampak yang muncul dari model koalisi sistem parlementer
yang diterapkan dalam sistem presidensial. Akibatnya, perdebatan program pemerintah di lembaga legislatif tidak
lagi dalam rangka pemenuhan kepentingan masyarakat, akan tetapi sekedar menunjukan sikap berseberangan
dengan pemerintah. Menariknya, partai pemerintah berkuasa justru melibatkan partai oposisi untuk terlibat dalam
penyelenggaraan pemerintahan untuk menghindari ketegangan yang terjadi di lembaga legislatif. Pembentukan
koalisi pemerintahan seperti ini justru tidak mencerminkan konsistensi dalam melaksanakan undang-undang dasar.
Bahkan koalisi yang terbentuk justru hanya mengutamakan kepentingan politik ketimbang memperkuat ideologi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Artikel ini menjelaskan lebih mendalam dampak praktik koalisi model
parlementer ini terhadap penguatan kelembagaan politik dalam sistem presidensial.
Kata kunci: Sistem Presidensial dan Penguatan Kelembagaan
Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya ... | Asrinaldi A | 63
Pendahuluan
Pemilu legislatif 2014 sudah selesai
diselenggarakan. Walaupun, hasilnya juga
mengundang sejumlah gugatan, namun partai
politik sudah dapat menerimanya sebagai
proses pemilihan yang demokratis. Menariknya,
Pemilu kali ini menghasilkan konstelasi politik
yang berubah di tingkat nasional. Pasalnya,
Partai Gerindra berhasil mendapatkan suara
yang cukup signifikan, yaitu sebesar 11,1
persen. Bahkan keberhasilan Partai Gerindra
mendapatkan suara ini justru mengalahkan
perolehan suara Partai Demokrat sebagai partai
petahana yang memenangkan Pemilu tahun
2009. Hal lain yang juga menarik dalam Pemilu
legislatif 2014 ini adalah perolehan suara Partai
Nasdem. Sebagai partai politik baru ternyata
bisa menyaingi partai-partai lain yang telah lama
ikut Pemilu seperti Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
dan Partai Amanat Nasional (PAN).
persen membuka peluang bagi partai ini
mengajukan calon presiden, tetapi harus
membangun koalisi dengan partai lain. Hal ini
adalah dampak tidak tercapainya persyaratan
untuk mengusung calon presiden sendiri, yaitu
keharusan memenuhi perolehan 25 persen
suara sah nasional menyebabkan PDIP yang
mendapat kursi terbanyak di lembaga legislatif
membangun koalisi. Faktanya, dari hasil
pelaksanaan Pemilu legislatif tersebut memang
tidak ada satu pun partai politik yang memenuhi
persyaratan tersebut. Akibatnya, partai politik
harus membentuk koalisi untuk memenuhi
jumlah minimal suara yang diperoleh atau
kursi yang didapatkan. Partai berikutnya yang
juga memungkinkan untuk membangun poros
koalisi adalah Partai Golongan Karya (Golkar)
dengan perolehan suara sebanyak 14,75 persen.
Namun, hingga penetapan calon presiden dan
wakil presiden oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU), Partai Golkar kesulitan mendapatkan
partai politik kawan koalisi.
Tabel 1. Komposisi hasil perolehan suara Pemilu legislatif 2014
Sumber: KPU RI
*) tidak lolos nilai ambang batas parlemen
Dengan perolehan suara yang mencapai 6,72
persen ikut mengantarkan Partai Nasdem
ke Senayan. Bahkan dengan ketentuan nilai
ambang batas parlemen sebesar 3,5 persen,
menyebabkan dua partai lain, yaitu Partai
Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia (PKPI) yang juga peserta
Pemilu tahun 2009 terpental dari Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Kedua partai
tersebut hanya mampu mendapatkan suara 1,46
persen dan 0,91 persen.
Pada akhirnya Partai Golkar mendukung poros
koalisi yang diinisiasi oleh Partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra). Koalisi yang digagas
oleh Partai Gerindra ini terkait dengan perolehan
suaranya yang mencapai 11,81 persen suara sah
nasional. Fakta ini semakin menegaskan bahwa
koalisi ini merupakan konsekuensi dari UU
No.42 tahun 2009 tentang pemilu presiden yang
mensyaratkan terpenuhinya 25 persen suara sah
nasional atau 20 persen perolehan kursi di DPR
(Lihat Tabel 1).
Keberhasilan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) memperoleh suara 18,95
Koalisi dalam sistem presidensialisme
dengan sistem multi partai dapat mengancam
64 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
proses
demokrasi
yang
dilaksanakan.
Kekhawatiran terhadap sistem multi partai
dalam sistem presidensial yang berdampak
pada kestabilan penyelenggaraan pemerintahan
ini adalah implikasi terjadinya polarisasi
kepentingan di lembaga legislatif. Akibatnya
kebijakan yang dibuat pemerintah dapat
berseberangan dengan kepentingan partai
politik. Hal ini bisa terjadi karena presiden
yang terpilih belum tentu dapat diterima oleh
anggota legislatif yang juga dipilih oleh rakyat.1
Tidak sedikit fragmentasi terjadi di lembaga
legislatif, terutama wakil-wakil partai yang
berada di lembaga perwakilan ini. Satu di antara
dampak yang dicemaskan adalah terjadinya
tarik menarik kepentingan antara lembaga
eksekutif dan lembaga legislatif.
Banyak
negara berkembang mengalami kecenderungan
seperti ini, misalnya negara-negara Amerika
Latin begitu kuatnya kompetisi legitimasi
di antara dua lembaga, yaitu eksekutif dan
legislatif dalam penyelenggaraan kekuasaan
negara. Persaingan ini justru berdampak pada
kebuntuan politik dalam penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahan.2
Fenomena
ini
juga
yang
turut
mengkhawatirkan proses koalisi di Indonesia
dalam pembentukan pemerintahan. Fenomena
koalisi ini juga menjadi catatan penting dalam
perjalanan sejarah negara Indonesia terkait
dengan koalisi partai politik dalam membentuk
pemerintahan ini. Koalisi yang terbentuk ini
menemukan akar kesejarahannya di Indonesia
sebab pada masa demokrasi liberal tahun 1950an
fenomena koalisi ini juga menjadi kenicayaan
dalam pembentukan pemerintahan di bahwa
sistem parlementer. Bahkan jatuh bangunnya
kabinet pada masa demokrasi parlementer ini
adalah implikasi dari persaingan partai politik
dalam mencari kekuasaan di pemerintahan.
Begitu juga pada masa reformasi dengan sistem
multi partai persaingan partai politik untuk
Selanjutnya
lihat
Scott
Mainwarring,
“Presidentialism, Multipartism, and Democracy:
The Difficult Combinantion”, dalam Robert Dahl,
Ian Shapiro and Jose Antonio Cheibub (Eds).
The Democracy Sourcebook. (Massachusetts:
Massachusetts Instititute of Technology, 2003), hlm.
68-270.
2
Howard J Wiarda and Jonathan T. Polk., “Separation
of Legislative and Executive Government Power”,
dalam David Scot Clark (Ed.), Comparative Law
and Society (Massachuetts: Edwar Elgar Publishing,
2012), hlm.169.
1
mendapatkan kekuasaan mempengaruhi proses
pembentukan pemerintahan sehingga pilihan
berkoalisi menjadi keniscayaan walaupun
sebenarnya agak “tidak lazim” dalam sistem
presidensial.3 Partai pengusung presiden pun
harus mempertimbangkan bagaimana hubungan
kelembagaan antara eksekutif yang dipimpin
oleh presiden dengan lembaga legislatif dengan
partai politik yang tidak ikut mendukung
pembentukan koalisi pemerintahan tersebut.
Satu hal yang menarik dari proses
membangun koalisi ini adalah pada keterlibatan
elite partai yang bertindak “seolah-olah”
mengatasnamakan konstituen. Padahal logika
dalam Pemilu, preferensi pemilih terhadap partai
politik berbeda dengan preferensinya terhadap
figur. Namun, logika ini dilupakan oleh elite
partai politik sehingga koalisi yang berlangsung
melupakan logika masyarakat. Akibatnya,
dalam proses koalisi politik ini ke depan tidak
lagi berdasarkan aspirasi masyarakat. Padahal
makna perwakilan politik ini tidak sekedar
menyerahkan pilihannya kepada pemimpin
partai politik. Tapi lebih dari itu, elite juga
harus mendengarkan dan menyuarakan aspirasi
masyarakat terkait dengan harapan mereka.
Bahkan secara teoritis, jika hal ini dapat
dilakukan oleh partai politik, maka berdampak
pada penguatan sistem kepartaian itu sendiri.4
Fenomena koalisi partai dalam sistem
presidensial menjadi kecenderungan baru dalam
sistem politik di Indonesia, terutama pada masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.5
Memang sejak reformasi dilaksanakan praktik
koalisi ini mewarnai dinamika pemilihan
presiden dan wakil presiden.
Namun,
sayangnya kesan yang ditangkap masyarakat
dalam proses koalisi ini adalah sebuah cara
membagi kekuasaan dalam mekanisme politik
formal. Fenomena koalisi partai partai pertama
terlihat ketika hasil Pemilu tahun 1999 sudah
Untuk lebih jelas fenomena ini dapat dirujuk
Syamsuddin Haris, Masalah-masalah Demokrasi
Kebangsaan di Era Reformasi (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2014).
4
Bingham Powell Jr. Contemporary Democracies:
Participation, Stabilty and Violence, (Massachusetts:
Harvard University Press, 1982), hlm. 74.
5
Penjelasan mengenai dinamika koalisi partai
politik dalam penyelenggaraan pemerintahan
ini dapat dilihat dalam Donald L. Horowitz,
Constitutional Change and Democracy in Indonesia
(Cambridge:Cambridge University Press, 2013),
hlm. 279-291.
3
Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya ... | Asrinaldi A | 65
ditetapkan. PDI Perjuangan sebagai pemenang
Pemilu dengan perolehan 33 persen suara kalah
dalam pemilihan presiden karena munculnya
kekuatan koalisi partai politik yang dikenal
dengan poros tengah.6 Selanjutnya fenomena
koalisi pasca Pemilu tahun 2004 yang digagas
Partai Demokrat dengan beberapa partai
lain berhasil mengalahkan pasangan calon
presiden yang diusung oleh Partai Golkar
sebagai partai pemenang Pemilu. Begitu juga,
untuk mengamankan kebijakannya di lembaga
legislatif, Partai Demokrat sebagai pemenang
Pemilu tahun 2009 berhasil menguasai
lembaga eksekutif dan lembaga legislatif.
Inilah gambaran koalisi yang terjadi dalam
sistem presidensial yang mulai menampakkan
bentuknya ketika era reformasi berlangsung.
Pertanyaannya, akankah koalisi yang dibangun
oleh Partai Gerindra sebagai poros utama
koalisi dengan beberapa partai politik lain
berhasil mengalahkan koalisi partai pemenang
Pemilu tahun 2014, yaitu PDI Perjuangan?.
Lalu, apakah koalisi ini juga membawa dampak
kepada pelaksanaan sistem presidensial?
Artikel ini menjelaskan kecenderungan
pembentukan koalisi dalam pemilihan presiden
yang sebenarnya menggunakan model koalisi
partai dalam sistem parlementer.
Bahkan
banyak pihak menilai bahwa koalisi ini
tidak lebih dari bentuk pragmatisme politik
ketimbang koalisi dibangun dengan dasar
ideologi kebangsaan. Memang secara teori,
koalisi ini tidak lebih sebagai bentuk hitunghitungan manfaat yang didapatkan oleh elite
partai untuk keuntungan ekonomi dan politik
partainya dalam pemerintahan. Selain itu,
artikel ini juga menyoroti dampak koalisi
dengan model parlementer ini bagi penguatan
sistem presidensial di Indonesia.
Koalisi partai yang tergabung dalam poros tengah
ini dimotori oleh Amien Rais salah seorang tokoh
reformasi yang menentang kekuasaan rezim Orde
Baru. Kekuatan poros tengah ini didukung oleh
kekuatan partai-partai yang berideologi Islam
ternyata berhasil mengalahkan PDI Perjuangan yang
pada waktu itu sudah menguasai 153 kursi parlemen.
Manuver politik yang dilakukan Amien Rais dari
PAN yang hanya menguasai 34 kursi DPR dan PKB
yang hanya memiliki 51 kursi DPR ini berhasil
menempatkan Amien Rais sebagai ketua MPR dan
Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Selanjutnya
lihat Chris Manning & Peter van Diermen (Eds.).
Indonesia Di Tengah Transisi: Aspek-Aspek Sosial
dari Reformasi dan Krisis. Terjemahan. (Yogyakarta:
LKIS, 2000), hlm. 402.
6
Koalisi Politik Partai Dalam Sistem
Presidensial: Antara Pragmatisme
dan Ideologi
Dalam negara yang mengamalkan demokrasi,
keterlibatan partai politik menjadi penentu
kualitas demokrasi yang dihasilkan. Apalagi
dengan sistem perwakilan politik yang
mengandalkan kader partai politik yang dipilih
berdasarkan suara terbanyak. Sepanjang kader
yang diusulkan partai politik berkualitas, maka
perjuangan mereka sebagai wakil rakyat di
lembaga legislatif akan menghasilkan kebijakan
yang juga berkualitas. Namun, sayangnya
banyak orang menilai kualitas anggota legislatif
yang terpilih hasil Pemilu tahun 2014 ini
masih jauh dari kualitas ideal. Apalagi banyak
tudingan bahwa kemenangan anggota DPR dan
DPRD yang terpilih sebagai anggota legislatif
ada kaitannya dengan aktivitas politik uang.7
Dari segi pelaksanaan fungsi partai politik
ditinjau dari aspek komunikasi, sosialisasi dan
rekruitmen politik juga mempengaruhi kinerja
demokrasi. Tidak sedikit masyarakat menilai
kegagalan partai politik melaksanakan fungsi
ini juga berdampak pada rendahnya kualitas
demokrasi. Bahkan dengan kasat mata dalam
proses koalisi dalam setiap Pemilu, komunikasi
politik yang semestinya dilakukan dengan
masyarakat justru tidak terjadi. Komunikasi
politik justru yang berlangsung di antara elite
partai hanya dalam rangka mengusung calon
presiden sehingga koalisi yang dibangun
terkesan transaksional.
Singkatnya, permasalahan mendasar
dalam perpolitikan di Indonesia bermula
dari kegagalan partai politik melaksanakan
fungsinya. Pelembagaan partai sebagai
infrastruktur demokrasi belum sepenuhnya
dapat dilaksanakan karena tidak jelasnya
mekanisme rekruitmen kader dan kepengurusan
partai.
Padahal rekruitmen ini menjadi
Pemberitaan tentang maraknya politik uang dalam
Pemilu tahun 2014 ini menjadi sorotan media massa
lokal dan nasional. Banyak laporan media cetak
terkait dengan masalah ini. Misalnya, laporan Harian
Republika 5 Mei 2014, http://www.republika.co.id/
berita/nasional/politik/14/05/05/n53nhg-pengamatpemilu-2014-menjijikkan-karena-penuh-perburuanrente. Laporan yang sama juga ditulis oleh kantor
berita
Antara,
http://www.antaranews.com/
berita/431001/kalangan-dpr--pemilu-brutal-karenapolitik-uang tentang pemilu yang jauh dari logika
sehat demokras, diakses pada tanggal 18 Mei 2014.
7
66 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
energi bagi partai melaksanakan fungsinya
dalam sistem yang demokratis. Sayangnya,
aspek ini yang diabaikan sehingga partai
politik mengalami penyakit kronik dalam
melaksanakan fungsinya. Begitu juga dengan
permasalahan pembiayaan dalam melaksanakan
aktivitas partai. Terbatasnya sumber pembiayaan
untuk melaksanakan aktivitas partai dalam
melaksanakan fungsinya berdampak pada cara
elitenya mencari “kader baru” yang bersedia
membiayai kegiatan partai politik. Tidak jarang
elite partai politik ini mengabaikan mekanisme
rekruitmen yang menempatkan ideologi partai
sebagai nilai dasar dalam proses tersebut. Cara
pikir pragmatisme di elite partai ini mendorong
mereka untuk mencari pengusaha yang bersedia
bergabung dan membiayai aktivitas partai politik.
Tentu, bagi sebagian pengusaha yang terlibat
dengan kepengurusan partai ini membuka jalan
bagi mereka untuk mengembangkan bisnisnya
dengan memanfaatkan kekuasaan partai politik
tersebut. Karenanya tidak jarang partai politik
berusaha mendapatkan bagian dari kekuasaan
pemerintahan dengan cara apa pun, termasuk
membangun koalisi dengan partai pemerintah.
Apalagi
menjelang
Pemilu
kebutuhan
pembiayaan partai semakin meningkat sehingga
tidak jarang muncul keinginan untuk melibatkan
pengusaha membiayai kebutuhan partai politik.8
Sebenarnya, koalisi yang terbangun
di antara partai politik lazim terjadi dalam
sistem parlementer. Dalam sistem ini, partai
yang berhasil mendapatkan kursi di parlemen
melakukan kerjasama atau koalisi untuk
membentuk
pemerintahan.
Kemenangan
partai dalam mendapatkan kursi di parlemen
mengantarkan partai-partai peserta koalisi
untuk memilih satu orang perdana menteri
yang sekaligus bertindak sebagai kepala
pemerintahan. Tidak jarang perdana menteri
mengangkat menteri-menteri di kabinetnya dari
anggota parlemen yang ikut koalisi pembentukan
pemerintahan. Tapi ada juga negara yang tidak
Fenomena korupsi dalam penyelenggaraan
pemerintahan, terutama yang dilakukan oleh partai
berkuasa sebenarnya bermula dari terbatasnya
pembiayaan terkait dengan aktivitas partai politik,
terutama menjelang Pemilu. Pengusaha yang
menjadi kader baru partai politik dan terlibat dalam
pembiayaan ini berusaha mendapatkan proyekproyek pemerintah dengan alasan untuk membiayai
aktivitas partai politik. Selanjutnya silakan rujuk
Edmun Gomez, Political Business in East Asia (New
York: Routledge, 2002), hlm. 18-21.
8
membenarkan mereka yang terpilih jadi menteri
juga menjabat sebagai anggota legislatif. Seperti
yang dijelaskan Lijphart, sistem parlementer ini
memiliki supremasi atas kedudukan yang lebih
tinggi dari bagian pemerintah dan majelis, tetapi
mereka tidak saling menguasai. Dengan kata
lain, parlemen adalah fokus kekuasaan dalam
sistem politik.9
Namun, faktanya kecenderungan koalisi
model parlementer ini pun ditiru dalam
sistem presidensial. Koalisi yang dilakukan
partai politik di Indonesia justru dilakukan
menjelang pemilihan presiden dan pasca Pemilu
Legislatif dilaksanakan. Hal ini terjadi karena
Pemilu Legislatif tidak dilaksanakan serentak
dengan Pemilu Presiden. Apalagi dengan
diberlakukannya ambang batas pencalonan
presiden/wakil presiden sebesar 20 persen
perolehan kursi DPR atau 25 persen suara sah
nasional menyebabkan partai politik berusaha
mencapai jumlah tersebut. Memang Mahkamah
Konstitusi telah membatalkan aturan yang
terdapat dalam UU pemilihan presiden ini,
namun pelaksanaannya harus sesuai dengan
keputusan Mahkamah Konstitusi adalah pada
Pemilu tahun 2019 mendatang.
Koalisi yang dilakukan partai politik dalam
Pemilu Presiden adalah keniscayaan karena
ditetapkannya presidential threshold sesuai
dengan UU No. 42 tahun 2008. Akibatnya, partai
politik berusaha memenuhi persyaratan untuk
mengajukan calon presiden dan wakil presiden
tersebut. Yang menarik dari proses koalisi partai
politik yang dibangun justru tidak berdasarkan
pada kesamaan program masing-masing partai,
akan tetapi didasarkan pada kepentingan jangka
pendek untuk memenangkan pemilihan presiden
tersebut.
Bahkan hitung-hitungan politik
koalisi yang dibangun partai di Indonesia,
justru ditujukan pada seberapa banyak partai
tersebut mendapatkan kursi menteri di kabinet.
Pengalaman Pemilu 2009 membuktikan bahwa
keikutsertaan sejumlah partai politik seperti
PAN, PKS, PPP dan PKB dan setelah itu baru
diikuti oleh Partai Golkar berkoalisi mengusung
calon Susilo Bambang Yudhoyono dari Partai
Demokrat dalam Pemilu Presiden bermuara
pada pemberian kursi menteri kepada partai
politik tersebut.
Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer
dan Presidensial, Terjemahan oleh Ibrahim R,
(Jakarta: Rajawali Pers), hlm. 40-41.
9
Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya ... | Asrinaldi A | 67
Menurut Moury bahwa kecenderungan
koalisi yang digagas oleh elite partai politik ini
sebenarnya terkait dengan pilihan rasional elite
dalam memaksimalkan sumber daya politik
yang mereka miliki.10 Termasuk di dalamnya
perolehan hasil Pemilu Legislatif yang berhasil
dimenangkan partai politik. Selain itu, koalisi
dapat dilakukan oleh elite partai politik
berhubungan dengan keterbatasan informasi
yang mereka miliki untuk menguasai isu-isu
yang nantinya menjadi perdebatan di lembaga
legislatif.11 Apalagi kalau anggota legislatif dari
partai politik yang baru pertama kali ikut Pemilu
Legislatif. Terakhir, koalisi juga dapat terjadi
karena bagian dari pilihan strategi dari aktor
politik dalam partai yang berbeda-beda posisi
institusionalnya yang berdampak pada sumber
daya dan keterbatasan dalam memaksimalkan
kepentingan masing-masing.
Sejalan dengan pandangan Moury ini,
Riker juga melihat kecenderungan pilihan
rasional dari politisi tersebut adalah untuk
memaksimalkan keuntungan yang didapatkan
dari koalisi yang dibangunnya.12 Menurutnya,
koalisi yang dibangun oleh elite partai cenderung
kepada bentuk hitung-hitungan dari “biaya yang
dikeluarkan” untuk mengontrol proses koalisi
yang dibangun tersebut. Fenomena inilah yang
dapat dilihat dari proses koalisi yang melibatkan
partai politik pada Pemilu Presiden tahun 2014.
Beberapa partai pemenang Pemilu seperti PDIP,
Partai Golkar dan Gerindra menggagas untuk
menjadi poros utama koalisi karena sumber
daya yang mereka miliki di lembaga legislatif.
Misalnya, PDIP berhasil mendapatkan 109 kursi
yang jumlahnya cukup signifikan mendukung
kebijakan pemerintah yang terbentuk. Begitu
juga dengan Partai Golkar yang memperoleh 91
kursi dan Partai Gerindra dengan 73 kursi. Jelas,
sumber daya yang dimiliki oleh partai-partai ini
relevan dengan presidential threshold sebesar
112 kursi untuk mengusung calon presiden.
Sementara, bagi Partai Nasdem yang
notabenenya adalah partai yang baru pertama
kali ikut Pemilu, perolehan kursi ini tentu harus
dimaksimalkan dengan cara meningkatkan
Catherine Moury, Coalition Government and
Pary Mandate: How Coalition Agreement Constrain
Minesterial Action, (London: Routledge, 2013), hlm.
3-5.
11
Ibid, hlm. 4.
12
William H Riker. The Theory of Political Coalition.
(New Haven: Yale University Press, 1962), hlm. 323.
10
pengalaman kadernya di lembaga legislatif dan
eksekutif. Pilihan Partai Nasdem berkoalisi
dengan PDIP adalah pilihan yang rasional elite
partai tersebut ketimbang hanya berada di luar
pemerintahan. Satu hal yang juga muncul
dalam proses koalisi ini adalah kepentingan
dari kader partai politik yang ikut koalisi, yaitu
adanya perbedaan posisi institusionalnya di
masing-masing partai yang sesungguhnya dapat
dijadikan posisi tawar politik untuk menjadi
menteri, jika memenangkan Pemilu Presiden
ini.
Sebenarnya, dalam sistem pemerintahan
presidensial, kebutuhan koalisi bukanlah
sesuatu yang mutlak. Seperti yang dijelaskan
di atas, keharusan koalisi adalah implikasi
diberlakukannya presidential threshold yang
ditetapkan oleh UU pemilihan presiden.
Keadaan ini tentu akan berbeda, jika keputusan
Mahkamah Konstitusi tentang Pemilu Presiden
dan Pemilu Legislatif dapat dilaksanakan
serentak. Namun, rendahnya kepercayaan diri
pemerintah yang berkuasa dalam menghadapi
legislatif sehingga menjadi pertimbangan
bagi partai pemenang Pemilu Legislatif untuk
membentuk koalisi.
Ini tidak lain untuk
mengamankan kebijakannya di lembaga
legislatif. Contoh ini sebenarnya dapat dilihat
ketika Partai Demokrat berhasil memenangkan
Pemilu Legislatif tahun 2009 dengan perolehan
suara sebesar 20,85 persen. Akan tetapi, tetap
membangun poros koalisi dengan partai lain
untuk mengusung Susilo Bambang Yudhoyono
sebagai presiden. Padahal jika dirujuk UUD
1945, hubungan antara lembaga legislatif dan
lembaga eksekutif adalah sama dan tidak bisa
saling menjatuhkan.
Memang dalam perjalanan koalisi yang
digagas Partai Demokrat ini terjadi “krisis
kepercayaan” terhadap partai-partai pendukung
Presiden Yudhoyono.
Misalnya
terkait
dengan kebijakan menaikan Bahan Bakar
Minyak (BBM) yang menjadi dilema dalam
pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid
2. Pada akhirnya, ada partai koalisi, yaitu PKS
yang menolak kebijakan ini sehingga koalisi
yang terbentuk terancam pecah. Fraksi PKS di
DPR secara tegas menolak kenaikan harga BBM
ini.13 Memang ini pilihan sulit bagi sebuah
partai politik dalam koalisi, yaitu apakah harus
http://www.gatra.com/politik-1/10625-kisruhbbm-tolak-kenaikan-harga-koalisi-terancam-pecah.
html, diakses pada tanggal 18 Mei 2013.
13
68 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
mempertimbangkan kepentingan koalisi atau
popularitas partai untuk pemilihan mendatang.
Hal ini sebenarnya sudah tergambarkan seperti
yang dinyatakan oleh Bingham Powell
“...parties struggle for participation
in and control of the policy making
process, through which leaders can realize
their office holding aspirations and policy
objectives and can fulfill their commitments
to their followers. On the other hand,
even while parties engage in short-term
bargaining about policy and participation,
they must look ahead to the opportunities
and dangers of the next election.”14
Jadi dari penjelasan di atas dapat ditegaskan
bahwa umumnya dasar koalisi yang dibangun
oleh partai politik lebih mempertimbangkan
aspek keuntungan jangka pendek yang mereka
peroleh. Ideologi yang diharapkan menjadi
dasar platform partai politik membangun visi
dan misi bersama dalam menyelenggarakan
negara bukanlah menjadi pertimbangan
utama. Fenomena ini memang menarik dalam
konteks politik modern saat ini, baik dalam
sistem presidensial maupun dalam sistem
parlementer. Begitu juga dalam proses koalisi
di Indonesia ada yang perlu menjadi perhatian.
Visi bersama dalam membangun Indonesia
justru dirumuskan setelah kemenangan dalam
membentuk pemerintahan. Partai peserta koalisi
berusaha menyesuaikan visinya dengan partai
yang menjadi poros utama partai. Misalnya,
ketika Partai Demokrat berhasil menang
dalam pemilihan presiden dan membentuk
pemerintahan pada tahun 2009, maka partai
peserta koalisi seperti Partai Golkar, PKS,
PAN, PPP dan PKB kembali menyesuaikan
programnya. Ini gambaran betapa rapuhnya
koalisi yang dibangun dalam sistem presidensial.
Lemahnya koalisi yang dibangun di
antara partai ini adalah akibat dari tidak adanya
dukungan penuh dari partai peserta koalisi
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Struktur
koalisi yang dibuat jarang sekali ditopang oleh
dasar kesamaan ideologi yang kuat. Akibatnya,
ikatan yang terjadi di antara partai politik
peserta koalisi hanya berdasarkan pembagian
kursi menteri di kabinet. Yang menariknya
pemberian kursi di kabinet ini adalah bagian
dari balas jasa yang dilakukan oleh partai politik
penggagas utama koalisi terhadap partai yang
14
Bingham Powell Jr, op.cit., hlm. 135.
mendukung dan memenangkan calon presiden
yang diusungnya.
Lalu, apa pentingnya ideologi sebagai
dasar membangun koalisi dalam sistem
presidensial tersebut?. Yang patut diketahui
bahwa sebenarnya ada banyak bentuk koalisi
yang dapat dilakukan partai untuk membentuk
pemerintahan. Setiap bentuk koalisi yang
dipilih memiliki implikasi bagi partai tersebut.
Misalnya, ada minimum winning coalition15
yang tidak membutuhkan jumlah partai yang
banyak dan koalisi dibangun sekedar untuk
memenuhi syarat minimal perolehan kursi untuk
membentuk pemerintahan. Ini berkebalikan
dengan oversized coalition16 yang memang
dirancang untuk membentuk pemerintahan
dan mengamankan kebijakan di parlemen.
Bentuk lain dari koalisi ini dikenal juga dengan
grand coaliton, yaitu koalisi yang melibatkan
dua poros utama koalisi yang dimotori oleh
partai-partai pemenang Pemilu yang memiliki
spektrum ideologi yang berbeda.17Selain itu,
dikenal dengan connected coalition, yaitu
pembentukan koalisi karena adanya kesamaan
ideologi di antara partai yang berkoalisi.
Namun, dalam sistem presidensial di Indonesia
pilihan kepada oversized coalition menjadi
pilihan setiap presiden yang terpilih. Walaupun
risikonya adalah terlalu sulit untuk mengontrol
perilaku setiap partai yang terlibat dalam koalisi
yang dibangun.18
Sementara, menurut Hague dan Harrop,
connected coalition ini lebih mencerminkan
koalisi yang menyatukan pandangan yang
sama tentang bagaimana aktivitas partai politik
dalam membentuk pemerintahan. Kesamaan
nilai-nilai politik menjadi pertimbangan dalam
pembentukan kerjasama tersebut. Jadi, jika
partai politik berkoalisi berdasarkan nilai-nilai
Lihat Dennis C. Mueller, Public Choice III,
(Cambridge: Cambridge University Press, 2003),
hlm. 281.
16
George Tsabelis, Veto Players: How Political
Institutions Work, (Princeton: Princeton University
Press, 2002), hlm. 96.
17
Rod Hague and Martin Harrop, Comparative
Government and Politics 5th Ed, (New York:
Palgrave Macmillan, 2001), hlm. 277.
18
Koichi Kawamura, “President Restrained: Effects
of Parliamentary Rule and Coalition Government on
Indonesia’s Presidentialism”, dalam Yuko Kasuya
(Ed). Presidents, Assemblies and Policy-Making in
Asia. (New York: Palgrave Macmillan, 2013), hlm.
183-185.
15
Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya ... | Asrinaldi A | 69
yang diyakini dan memiliki kesamaan, maka
dasar koalisi partai yang dibentuk menjadi lebih
kuat. Ini tentu berbeda dengan koalisi yang hanya
didasarkan pada kepentingan jangka pendek
yang dijadikan dasar dalam pembentukan koalisi.
Sayangnya, kecenderungan koalisi berdasarkan
ideologi ini belum menjadi pilihan partai politik
di Indonesia sehingga belum berdampak pada
penguatan sistem presidensial.
Lalu mengapa partai politik lebih memilih
pada koalisi yang berdasarkan pada kepentingan
jangka pendek dan bukan membangun koalisi
atas pilihan ideologi? Lalu, apa kaitan pilihan
jangka pendek ini dengan sistem presidensial?
Politik, seperti yang ditegaskan Miriam
Budiardjo, dalam pengertian sederhana terkait
dengan distribusi nilai-nilai.19
Sementara,
nilai yang ada dalam realita politik itu sangat
langka dan menjadi rebutan. Salah satu nilai
yang diperebutkan tersebut adalah kekuasaan
yang memang menjadi tujuan dibentuknya
partai politik. Koalisi yang dibentuk ini jelas
lebih berorientasi pada nilai kekuasaan yang
harus didapatkan dengan usaha yang seminimal
mungkin dan biaya yang semurah mungkin.
Da n, tidak ada cara yang lebih efektif kecuali
bersama-sama memperjuangkan kekuasaan
tersebut melalui mekanisme koalisi. Dengan
memperhitungkan sumber daya politik yang
dimiliki oleh sebuah partai seperti kursi di
lembaga legislatif dan mempertimbangkan
sumber daya politik partai lain, tentu lebih
mudah menjalin koalisi untuk memenangkan
sebuah pemilihan. Sepertinya cara pikir yang
pragmatisme ini yang menjadi pertimbangan
elite politik partai yang berkoalisi dengan
mengutamakan kepentingan jangka pendek
partai mereka.
Selain itu, sikap pragmatisme ini juga
terkait dengan tidak adanya mekanisme dalam
menghentikan kekuasaan presiden dalam sistem
presidensial, jika terjadi kemacetan politik
dalam pembuatan kebijakan. Bagi partaipartai kecil, pilihan kepada oposisi di lembaga
legislatif justru berdampak pada pembiayaan
menghadapi Pemilu pada masa berikutnya. Jika,
elite di partai-partai kecil memilih bergabung
dengan partai politik yang menggagas koalisi,
maka kesempatan mereka untuk mengumpulkan
“biaya” menghadapi Pemilu mendatang
bisa terwujud.
Faktanya, kursi menteri
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Edisi Revisi,(Jakarta: Gramedia, 2010).
19
yang menjadi kompensasi dukungan dalam
pemilihan presiden dalam sistem presidensial
adalah langkah strategis untuk mengumpulkan
pembiayaan bagi aktivitas partai politik.
Koalisi model parlementer
dan Dampaknya bagi Sistem
Presidensial
Koalisi dalam sistem parlementer merupakan
cara praktis yang dilakukan partai politik
menggabungkan kekuatannya agar bisa
membentuk pemerintahan. Kecenderungan
koalisi ini dilakukan karena implikasi
dilaksanakannya
sistem
multi
partai.
Pelaksanaan sistem multi partai ini justru
berakibat pada munculnya banyak partai yang
ujungnya adalah terjadinya polarisasi dukungan
masyarakat. Karenanya, partai politik yang
bertanding dalam Pemilu sulit mendapatkan
suara mayoritas, terutama untuk membentuk
pemerintahan.
Ketidakmampuan partai
membentuk pemerintahan tanpa melakukan
koalisi atau setidaknya membentuk koalisi
minimal sulit terjadi. Pada umumnya partai
berupaya membangun koalisi besar agar
perjalanan pemerintahan yang diselenggarakan
berjalan lancar. Selain itu, seperti yang dijelaskan
di atas, keniscayaan melakukan koalisi ini
adalah konsekuensi ditetapkannya presidential
threshold dalam UU pemilihan presiden.
Jika dipahami lebih jauh, sebenarnya koalisi
yang dilakukan partai politik dalam sistem
presidensial ini tidak hanya dalam konteks
mengusulkan calon presiden dan pasangannya,
tapi juga untuk mengharmoniskan hubungan
antara eksekutif dan legislatif pasca terpilihnya
presiden.
Kekhawatiran terjadinya ketegangan antara
badan eksekutif dan badan legislatif dalam
penyelenggaraan pemerintahan telah menjadi
preseden politik dalam penyelenggaraan
pemerintahan di republik ini.
Misalnya,
ketegangan kedua lembaga ini dapat dilihat
pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman
Wahid. Seperti diketahui, gaya kepemimpinan
Gus Dur dalam menjalankan pemerintahan
membuat partai politik kurang simpati dan
mengancam akan menarik dukungannya
terhadap pemerintah yang berkuasa. Melalui
penggunaan hak interpelasi dan hak angket
yang dimiliki DPR ketegangan antara lembaga
70 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
legislatif dan eksekutif bermula. Namun, karena
jawaban dari Gus Dur tidak memuaskan, maka
DPR berencana menerbitkan memorandum
kepada presiden. Oleh Presiden Abdurrahman
Wahid, memorandum yang akan dikeluarkan
MPR/DPR justru menyebabkan kemarahan
dengan mengeluarkan dekrit presiden untuk
membubarkan MPR/DPR.20
Walaupun tidak berlangsung sedramatis
pada masa Presiden Abdurrahman Wahid,
persoalan ketegangan hubungan antara lembaga
legislatif dengan eksekutif juga ditemukan pada
masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Apalagi ditambah dengan oposisi yang
dilakukan PDI Perjuangan. Beberapa kebijakan
pemerintahan SBY yang dianggap “kontroversi”
oleh DPR berujung pada keinginan untuk
mengeluarkan hak interpelasi dan hak angket.
Misalnya, ada beberapa hak angket yang
dikeluarkan DPR seperti untuk kasus penjualan
tanker pertamina, kisruh masalah Daftar
Pemilih Tetap dan transparansi pengelolaan
Migas. Walaupun ujung dari hak angket ini
tidak pernah tuntas, tetapi penggunaan hak
angket ini membuat Presiden SBY dan menterimenterinya khawatir juga dengan tindakan
lembaga legislatif ini.21
Jadi, partai politik yang berkuasa juga
mempertimbangkan bahwa koalisi adalah cara
praktis yang dapat mengamankan kebijakan
yang dibuat jika memiliki sekutu di lembaga
legislatif. Partai yang pendukung pemerintah
juga harus mempertimbangkan hitunghitungan politis kebijakan yang dibuat dan
hitung-hitungan matematis jumlah pendukung
kebijakan tersebut di DPR. Sepanjang hitunghitungan tersebut sesuai, maka pemerintah
dapat bertindak leluasa. Inilah yang menentukan
hubungan pemerintah dan DPR dalam sistem
politik yang dibangun pasca kejatuhan rezim
Orde Baru. Sejalan dengan itu, Hanta Yudha
dalam bukunya Presidensialisme Setengah
Hati (2010) menyoroti fenomena pada masa
kepemimpinan Presiden SBY ini. Jelasnya
“pola relasi kekuasaan Presiden Yudhoyono
dan DPR mengalami pasang surut. Pola relasi
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY:
Intrik Dan Lobi Politik Para Penguasa, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 226-228.
21
Syamsuddin Haris, “Membaca Hak Angket DPR”,
dalam Aloysius Soni BL de Rosari (Ed). Centurygate
Mengurasi
Konspirasi
Penguasa-Pengusaha,
(Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 184.
20
antara pemerintah dan DPR bergantung pada
konfigurasi dan ikatan koalisi partai-partai di
DPR.”22
Lalu, apa dampak koalisi model
parlementer yang dilakukan partai ini bagi
sistem presidensial?. Apakah ke depan koalisi
partai seperti ini perlu diteruskan sehingga bisa
memperkuat sistem presidensial?. Koalisi partai
dalam sistem presidensial pada dasarnya tidaklah
diperlukan sepanjang partai yang memenangi
Pemilu di Indonesia memenuhi nilai ambang
batas kursi untuk mengusulkan pasangan calon
presiden dan wakil presiden. Karena dalam UU
No. 42 tahun 2008 ditegaskan jika partai politik
peserta Pemilu mendapatkan kursi 112 dari 560
kursi di DPR atau 20 persen, maka partai tersebut
dapat mengusulkan calon presiden dan wakil
presiden. Sepanjang ada keberanian dari partai
politik tersebut mengusulkan calon presiden dan
wakil presiden tentu koalisi tidak dibutuhkan.
Namun, realita politiknya tidaklah demikian.
Bagi partai politik pemenang Pemilu Legislatif,
keinginan menguasai lembaga eksekutif
dengan menjadi presiden adalah sesuatu yang
penting. Namun, menciptakan pemerintahan
yang efektif adalah hal penting lainnya yang
juga menjadi pertimbangan Karenanya pilihan
untuk membentuk koalisi dengan partai-partai
lain menjadi cara efektif untuk mengamankan
kedudukan presiden dalam pemerintahan.
Namun, logika ini tidaklah sepenuhnya
tepat dalam sistem presidensial yang dianut
oleh Negara Indonesia. Sebab hubungan di
antara kedua lembaga tersebut tidaklah dalam
rangka saling menjatuhkan. Dalam UUD 1945
sudah ditegaskan bahwa lembaga legislatif
dalam hal ini DPR tidak dapat menjatuhkan
pemerintah, kecuali menyangkut hal-hal yang
sudah ditentukan dalam konstitusi seperti
pengkhianatan terhadap negara dan korupsi. Hal
ini pun harus diputuskan terlebih dahulu oleh
Mahkamah Konstitusi dengan menilai tuduhan
dari lembaga legislatif. Begitu juga sebaliknya,
presiden juga tidak bisa membubarkan DPR
hanya karena fungsi yang dilaksanakan. Jadi
hubungan kedua lembaga ini adalah dalam
rangka menyeimbangkan peran dan fungsi yang
dimainkan masing-masing. Dalam konteks
inilah mekanisme check and balances dalam
penyelenggaraan kekuasaan itu dapat dilihat.
Hanta Yudha, Presidensialisme Setengah Hati:
Dari Dilema ke Kompromi, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2010), hlm. 175.
22
Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya ... | Asrinaldi A | 71
Sejak Pemilu masa reformasi dilaksanakan,
tidak banyak partai yang dapat memenuhi
ambang batas kursi dalam mengusulkan calon
presiden dalam pemilihan langsung. Hanya
Partai Demokrat yang berhasil memperoleh
sebanyak 148 kursi pada Pemilu 2009.
Sementara, PDI Perjuangan juga mendapatkan
kursi sebanyak 153 pada tahun 1999. Akan
tetapi, sistem pemilihan presiden masih
menggunakan mekanisme tidak langsung
melalui lembaga MPR. Faktanya, Partai
Demokrat yang memenangkan Pemilu tahun
1999 ternyata “tidak berani” mencalonkan Susilo
Bambang Yudhoyono tanpa harus melibatkan
partai lain. Bagi banyak pengamat, tidak
adanya keberanian ini memang mengundang
dugaan banyak pihak bahwa Partai Demokrat
ingin mengamankan kebijakannya di lembaga
legislatif. Ini memang paradoks dengan sistem
presidensial yang dilaksanakan. Ketakutan akan
terjadinya kemacetan politik (political gridlock)
di lembaga legislatif ketika membuat kebijakan
menjadi kekhawatiran utama politisi Partai
Demokrat. Pilihan koalisi dengan partai lain
yang memiliki kursi di DPR menjadi pilihan
strategis untuk menguasai lembaga legislatif
ini. Akan tetapi, pada akhirnya apa yang
dilakukan Partai Demokrat ini jelas menjadi
preseden yang akan terus diikuti oleh setiap
partai politik setiap Pemilu Legislatif selesai.
Politisi partai pemenang Pemilu akan selalu
mengkalkulasikan jumlah kursi di DPR, paling
tidak memenuhi mayoritas sederhana agar
kebijakan yang dibuat pemerintah yang mereka
dukung bisa dilaksanakan.
Menariknya, kejadian yang sama juga
berulang pasca Pemilu tahun 2014. Partai
Gerindra yang menjadi poros utama koalisi
merah-putih mengusung Prabowo Subianto
dan Muhammad Hatta Rajasa sebagai calon
presiden dan wakil presiden membuat koalisi
besar. Partai Gerindra yang hanya memperoleh
73 kursi di DPR membutuhkan minimal 49
kursi untuk dapat mengajukan calon presiden.
Namun realitanya, Partai Gerindra membentuk
koalisi besar yang melibatkan PAN dengan
49 kursi, PPP dengan 39 kursi, PKS dengan
40 kursi dan terakhir bergabungnya Partai
Golkar ke dalam koalisi ini dengan membawa
sebanyak 91 kursi. Jadi, total kursi yang
didapatkan dari koalisi ini adalah 292 kursi atau
52,14 persen melebihi mayoritas sederhana di
lembaga legislatif. Ini berbeda dengan koalisi
yang diusung oleh PDI Perjuangan yang hanya
membentuk koalisi minimum. Partai ini hanya
melibatkan Partai Nasdem dengan 35 kursi,
PKB dengan 47 kursi, Hanura dengan 16 kursi
dan PDI Perjuangan sendiri memperoleh 109
kursi. Dengan demikian, total kursi koalisi
yang diperoleh adalah 207 atau 36,96 persen.
Dari fakta ini, sebenarnya dapat dipahami
bahwa PDI Perjuangan hanya ingin membentuk
koalisi dengan suara minimum tanpa khawatir
dengan kemacetan politik yang dihadapi di
lembaga legislatif. Sementara, Partai Gerindra
cenderung membangun koalisi besar (oversized
coalition) dengan harapan dapat mengamankan
kebijakannya di lembaga legislatif.
Lalu, mengapa kecenderungan ini
berlangsung?. Tidak terhindarkan aturan yang
terdapat dalam UU yang mensyaratkan adanya
nilai ambang batas pengusulan pasangan
presiden dan wakil presiden ini menyebabkan
model koalisi parlementer menjadi pilihan yang
harus dilaksanakan dalam sistem presidensial.
Ditambah lagi dengan pelaksanaan Pemilu
Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden
yang dipisah berdampak pada bangun koalisi
yang terjadi. Akibatnya elite partai politik
memilih langkah-langkah politik pragmatis agar
keinginan mereka mengusai lembaga legislatif
dan lembaga eksekutif dapat diwujudkan.
Memang ini menjadi dilema sendiri bagi partai
politik. Di satu sisi, politisi partai politik ingin
melaksanakan platformnya sebagaimana yang
dijanjikan kepada konstituen mereka. Namun,
dari segi lain, pelaksanaan platform saja tidak
cukup karena harus menghadapi kompetisi
politik yang sangat liberal.
Tentu, praktik politik seperti ini membawa
pengaruh pada upaya pemerintah menguatkan
sistem presidensial.
Idealnya sistem
presidensial dilaksanakan dengan menegaskan
fungsi masing-masing lembaga sehingga
tidak ada kekuasaan yang menumpuk pada
satu lembaga seperti yang terjadi pada sistem
parlementer.23 Justru, koalisi yang terbangun
dalam sistem presidensial membuat sistem
ini menjadi lemah dalam menyelenggarakan
kekuasaan pemerintahan. Jadi jelas bukan
karena karakteristik sistem persidensial yang
lemah, tetapi karena praktik politik yang
dilakukan oleh politisi yang menyebabkan
kelemahan dalam sistem ini.24 Praktik politik ini
23
24
Arend Lijphart, 1995, op.cit, hlm. 40.
Silakan bandingkan dengan Jose Antonio Cheibub,
72 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
tidak lain adalah karena koalisi yang dibentuk
antara partai politik yang memperoleh kursi di
lembaga legislatif.
fungsi masing-masing sesuai dengan konstitusi
yang mengatur pelaksanaan sistem presidensial
ini.
Jika ditelisik lebih jauh, ada beberapa
kelemahan yang dapat dijelaskan terkait dengan
koalisi model parlementer yang dilaksanakan
ini.
Pertama, hal yang paling mendasar
akibat berlangsungnya koalisi partai politik
ini adalah semakin kaburnya hakikat fungsi
sistem presidensial dalam sistem politik.
Kekaburan ini sebenarnya dapat dilihat dari
tidak independennya presiden dalam membuat
kebijakan karena harus mempertimbangkan
mitra koalisinya. Padahal presiden dalam
sistem presidensial tidak dipilih langsung
oleh anggota legislatif.
Hal ini idealnya
menjadi pertimbangan bagi presiden yang
terpilih. Apalagi jika presiden ini didukung
oleh mayoritas suara rakyat. Artinya, presiden
mendapatkan legitimasi yang kuat dibandingkan
dengan anggota legislatif yang terpilih. Dengan
demikian, presiden harus memikirkan tanggung
jawab kepada masyarakat.
Kedua, koalisi partai politik yang terbentuk
juga berdampak pada munculnya tawar menawar
kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan.
Fenomena ini dengan mudah terlihat, terutama
setelah pemerintahan terbentuk. Presiden
berusaha membagi kursi kekuasaannya
melalui pembagian jatah kementerian kepada
partai politik pendukungnya ketika pemilihan
presiden. Memang cara seperti ini, di satu sisi,
sangat efektif menghindari kemacetan politik
dalam proses pembuatan kebijakan di lembaga
legislatif. Ini bisa terjadi karena akumulasi
suara dari partai pendukung di parlemen yang
dapat memenangkan pemungutan suara kalau
seandainya terjadi hambatan dalam proses
pembuatan kebijakan yang dilakukan presiden
bersama lembaga legislatif. Apalagi, ketua
partai politik peserta koalisi dalam pembentukan
pemerintahan biasanya dilibatkan dalam
menjalankan fungsi pemerintahan sebagai
menteri-menteri kabinet. Pengalaman ini juga
berlangsung di dua periode kepemimpinan
Presiden SBY 2004-2009 dan 2009-2014 yang
umumnya kursi DPR diberikan kepada petinggi
partai peserta koalisi.
Bentuk tanggung jawab presiden kepada
masyarakat tersebut diatur sedemikian rupa
ke dalam konstitusi. Jadi, konstitusi telah
menegaskan apa yang menjadi hak dan
kewajiban presiden dalam melaksanakan
fungsinya baik sebagai kepala pemerintahan
maupun kepala negara.25 Namun, faktanya
koalisi telah mengubah keadaan ini. Ketakutan
presiden dalam sistem presidensial adalah tidak
jalannya kebijakan yang dibuat karena akan
muncul ketegangan hubungan antara presiden
sebagai ketua lembaga eksekutif dengan anggota
legislatif. Memang dapat dimaklumi, karena
tidak semua partai politik yang terlibat dalam
koalisi yang dibentuk oleh partai pemerintah.
Akibatnya tentu ada kebijakan presiden yang
tidak sejalan dengan anggota partai politik di luar
koalisi yang dibentuk. Dari sinilah bermulanya
pembatasan terhadap kebijakan presiden. Dan,
salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
mengamankan keadaan agar kebijakan presiden
ini dapat dilaksanakan, biasanya presiden
melalui pembantunya berusaha melobi fraksi
yang ada di DPR. Padahal sebenarnya ini tidak
perlu terjadi, andai saja para penyelenggara
negara dapat memahami dengan baik tugas dan
Presidentialism, Parliamentarism, and Democracy,
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007),
hlm. 2.
25
Arend Lijhart, 1995, op.cit, hlm.46.
Dari segi lain, kecenderungan koalisi
ini juga berdampak pada tidak berjalannya
mekanisme check and balances dalam sistem
politik. Secara fungsional, lembaga legislatif
memang bertugas mengawasi penyelenggaraan
pemerintahan yang diketuai oleh presiden.
Namun, karena berlangsungnya pembagian
kekuasaan di kabinet bentukan presiden terpilih,
menghilangkan sebagian besar sikap kritis
anggota lembaga legislatif. Jika keadaan ini
dibiarkan berterusan, tentu membawa dampak
pada terbentuknya oligarki elite baik di lembaga
eksekutif maupun legislatif. Kecenderungan
inilah yang dapat membahayakan kelangsungan
demokrasi yang dilaksanakan saat ini.
Masalah ketiga yang juga dikhawatirkan
muncul akibat proses koalisi yang menggunakan
model parlementer ini adalah terjadinya
pergeseran fokus kekuasaan pemerintahan.
Lazimnya fokus kekuasaan dalam sistem
presidensial tidak terpusat pada satu lembaga
saja. Dalam sistem presidensial ditegaskan
adanya keseimbangan di antara lembagalembaga negara. Apalagi Negara Indonesia
Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya ... | Asrinaldi A | 73
juga mengamalkan adanya konsep trias
politica dalam menyelenggarakan kekuasaan
negara. Namun, koalisi di antara partai politik
pengusung calon presiden ini, sadar atau tidak
telah menggeser fokus kekuasaan kepada satu
tangan, yaitu presiden. Lembaga kepresidenan
menjadi lembaga yang dominan dalam
membuat kebijakan dibantu oleh partai politik
yang ikut dalam koalisi. Lambat laun, keadaan
ini justru menghasilkan oligarki kekuasaan
yang melibatkan segelintir elite politik. Jika ini
tidak diantisipasi dengan penguatan masyarakat
sipil di luar parlemen mengawasi jalannya
pemerintahan, maka muara dari kemunculan
kelompok oligarki ini adalah terbentuknya
kartel politik.
Praktik oligarki kekuasaan di Indonesia
ini bukanlah hal yang baru terjadi di Indonesia.
Bahkan terbentuknya oligarki kekuasaan sudah
menjadi bagian dari perkembangan politik di
Indonesia. Misalnya, pada masa Orde Baru
oligarki kekuasaan ini adalah bagian dari
upaya rezim Orde Baru mempertahankan
kekuasaannya. Presiden Soeharto yang berhasil
membangun loyalitas di tubuh militer dan
birokrasi melalui kepemimpinannya menjadi
contoh bagaimana oligarki kekuasaan itu
terbentuk. Tidak hanya itu, partai pendukung
pemerintah pun dikooptasi sehingga kekuasaan
yang dipegang tidak sekedar dominan, tapi juga
menjadi kekuatan hegemoni.26 Jika pada masa
Orde Baru pembentukan oligarki kekuasaan
ini melibatkan militer dan birokrasi sebagai
pendukung kekuatan presiden, maka pada
masa Orde Reformasi terjadi pergeseran yang
jelas. Ini merupakan konsekuensi pengaturan
yang dilakukan rezim di era reformasi yang
membatasi aktivitas militer dan birokrasi dalam
politik. Institusi militer/Polri dan birokrasi
secara tegas membuat garis demarkasi dengan
kekuasaan presiden. Walaupun sebagai kepala
negara presiden membawahi angkatan perang
ini. Dari segi lain, partai politik justru menyusun
kekuatan bersama dengan presiden sehingga
membentuk kelompok oligarki baru yang dapat
disaksikan sekarang.
Dampak yang lain juga akibat muncul
praktik koalisi yang menggunakan model
parlementer ini adalah tidak optimalnya fungsi
Richard Robison and Vedi R Hadiz. Reorganising
Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an
Age Markets, (London: Routledge Curzon, 2004),
hlm. 103.
26
lembaga legislatif. Kecenderungan ini dapat
dilihat dari berkembangnya budaya politik yang
sesungguhnya menjadi karakter masyarakat
kelas bawah, tapi mengalami penyebaran
sehingga menjadi budaya elite partai. Ini dapat
dilihat dari terbentuknya budaya patront-client
dalam sistem politik yang tidak lagi terjadi pada
masyarakat di tingkat akar rumput. Budaya
politik seperti ini telah menjadi bagian tidak
terpisahkan dalam praktik politik di tubuh partai.
Seperti diketahui, bahwa elite partai yang duduk
di pemerintahan hasil bentukan koalisi terdiri
dari mereka yang menjadi petinggi di partai
politik. Kedudukan ini tidak jarang menjadi
dilema bagi anggota partai politik di lembaga
legislatif. Kalau pun ada kebijakan yang dibuat
dan “berseberangan” dengan cara pikir anggota
partai di lembaga legislatif, maka perdebatan
yang terjadi cenderung tidak akan panjang
mengingat menteri-menteri yang ada di kabinet
adalah para petinggi partai politik. Jadi jelas,
keengganan untuk memperdebatkan rancangan
kebijakan oleh anggota DPR ini menyebabkan
pelaksanaan fungsi lembaga legislatif menjadi
tidak optimal.
Ini adalah bukti nyata bahwa budaya
patront-client dalam sistem politik di Indonesia
telah membungkam sikap kritis client terhadap
patront-nya. Sepanjang masih menguatnya
budaya ini, maka proses pendalaman demokrasi
tidak akan berjalan dengan baik. Bahkan
dalam konteks hubungan ini, sebenarnya yang
paling diuntungkan adalah patront ketimbang
client. Karena pada dasarnya “...dialah yang
memiliki sumber daya yang lebih besar dan
lebih kuat ketimbang client”27 sehingga dapat
menggunakannya untuk kepentingan tertentu.
Jelas, tidak adanya keberanian anggota partai
yang duduk di lembaga legislatif mengkritik
kebijakan pemerintah karena adanya ketakutan
terhadap kebijakan recall yang dilakukan
pimpinan partai tempat mereka bernaung. Realita
inilah yang menjadi hambatan berkembangnya
mekanisme check and balances dalam praktik
demokrasi.
Masalah terakhir yang dapat diidentifikasi
terkait dengan praktik koalisi model
parlementer ini adalah melemahkan sistem
presidensial itu sendiri. Idealnya, sistem
presidensial menempatkan posisi presiden yang
Afan Gaffar. Politik Indonesia: Transisi Menuju
Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999),
hlm. 110.
27
74 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
kuat dan otonom dalam bertindak. Kalau pun
ada perdebatan di antara lembaga eksekutif
dan lembaga legislatifnya tidak lebih sebagai
bentuk pelaksanaan mekanisme check and
balances. Akan tetapi yang terjadi, presiden
justru tersandera oleh misi partai politik yang
ikut mendukungnya sehingga tidak otonom
dalam bertindak. Bahkan sistem presidensial
yang dipraktikkan di Indonesia bukanlah
sistem presidensial yang sebenarnya. Masih
ada pengaburan substansi terkait dengan
pelaksanaan sistem presidensial ini dengan
praktik koalisi model parlementer yang
dilaksanakan. Karenanya perlu ada usaha yang
sungguh-sungguh dari penyelenggaran negara
mengembalikan hakikat sistem presidensial ini.
Lalu, apa yang dapat dilakukan agar sistem
presidensial ini bisa diselenggarakan sesuai
dengan hakikatnya? Paling tidak ada beberapa
langkah yang dapat dipraktikkan sehingga
sistem presidensial ini menemukan kembali
hakikatnya. Pertama, merevisi UU pemilihan
presiden yang menetapkan adanya presidential
threshold sebanyak 20 persen jumlah kursi di
lembaga legislatif. Seperti yang dijelaskan di
atas, bahwa aturan dalam UU inilah salah satu
yang menyebabkan koalisi model parlementer
ini berlangsung. Karena semakin banyak partai
yang mengikuti Pemilu, maka polarisasi pilihan
masyarakat akan terjadi dalam Pemilu tersebut.
Akibatnya adalah tidak munculnya partai
pemenang Pemilu yang dapat melewati angka
20 persen perolehan kursi di lembaga legislatif
untuk bisa mengajukan calon presiden sendiri.
Memang, ada beberapa partai yang berhasil
mencapai jumlah tersebut. Namun faktanya,
partai politik itu pun tidak memiliki kepercayaan
diri untuk mengajukan calon presidennya sendiri
seperti Partai Demokrat pada Pemilu tahun
2009 yang lalu. Karena efek psikologis yang
lebih dominan menghinggapi cara pikir setiap
partai yang memenangkan Pemilu legislatif
adalah bagaimana bisa mengusulkan calon
presiden juga dibantu oleh partai pemenang
lainnya. Hal ini bertujuan agar penyelenggaraan
pemerintahan bisa dilaksanakan dengan lancar
tanpa gangguan dari partai oposisi di lembaga
legislatif.
Selain itu, UU kepartaian juga perlu
direvisi mengingat jumlah partai yang terlalu
banyak juga mendorong terjadi koalisi model
parlementer ini sehingga melemahkan sistem
presidensial tersebut. Bahkan strategi politik
dengan menerapkan parliamentary threshold
sebanyak 3,5 persen pada Pemilu 2014 terasa
tidak efektif karena hanya bisa mengeliminasi
2 partai politik di DPR. Apalagi pada tahun
2019, keputusan Mahkamah Konstitusi telah
menetapkan pelaksanaan Pemilu Legislatif dan
Pemilu Presiden dilaksanakan serentak. Artinya,
secara logika sederhana, maka setiap peserta
Pemilu akan berkesempatan mengajukan calon
presidennya sepanjang memenuhi persyaratan
yang ditetapkan UU yang akan dibuat. Dapat
dibayangkan, akan ada banyak calon presiden
yang akan bertanding dalam Pemilu mendatang.
Jika partai politik ini tidak diatur dengan baik,
tentu jumlah partai politik yang akan muncul
menjelang Pemilu tahun 2019 akan bertambah.
Akibatnya juga tidak terhindarkan koalisi
menjelang Pemilu legislatif dan presiden akan
terjadi.
Aspek berikutnya yang dapat dilakukan
adalah memperbaiki sistem pemilu. Memang
menggunakan sistem perwakilan berimbang
sudah sesuai dengan pluralnya masyarakat
Indonesia. Namun, sistem ini juga berdampak
pada munculnya beragam kekuatan partai politik
di lembaga legislatif. Munculnya pluralisme
kekuasaan di DPR ini justru mendorong partai
ini melakukan koalisi untuk memperjuangkan
kepentingan politik mereka. Partai politik
melakukan kerjasama untuk memaksimalkan
fungsinya di lembaga legislatif, terutama
ketika menghadapi badan eksekutif. Selain itu,
kemacetan politik dalam pembahasan kebijakan
antara badan legislatif dan badan eksekutif
juga mendorong munculnya kerjasama jangka
pendek di antara parta politik yang ada. Hal
ini dimungkinkan karena adanya mekanisme
pemungutan suara (voting) sebagai jalan keluar
ketika terjadi kemacetan politik yang dihadapi
kedua lembaga ini.
Memang sistem perwakilan berimbang ini
dianggap sistem Pemilu yang paling demokratis
dan kompetitif. Bahkan sistem ini digunakan
paling banyak di negara-negara yang ingin
mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil.28
Namun, kelemahan dari sistem perwakilan
berimbang ini justru terletak pada kelebihannya,
yaitu memberi kesempatan pada partai-partai
kecil mendapat kursi di lembaga legislatif.
Akibatnya adalah menguatnya polarisasi
kekuasaan di lembaga legislatif. Jadi sepanjang
sistem Pemilu perwakilan berimbang masih tetap
28
Ibid, hlm. 258.
Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya ... | Asrinaldi A | 75
digunakan, sulit bagi pemerintah melakukan
penyederhanaan sistem kepartaian dan
melakukan penguatan pada sistem presidensial.
Namun, ini juga menjadi dilema, kalaupun
ingin mengubah sistem perwakilan berimbang
ini, tentu aspek keterwakilan partai di lembaga
legislatif juga harus mendapat perhatian agar
substansi Pemilu tidak hilang. Memang banyak
pilihan sistem Pemilu yang tersedia.Akan tetapi
yang jadi persoalan sekarang, apakah sistem
Pemilu yang dipilih bisa memperkuat sistem
presidensial sebagaimana yang diinginkan UUD
1945?. Tentu ini memerlukan pembahasan yang
lebih mendalam.
Aspek ketiga yang perlu dilakukan untuk
memperkuat sistem presidensial ini adalah
memperkuat fungsi partai politik. Banyak
pihak percaya bahwa jika fungsi partai politik
ini dapat berjalan dengan baik, maka sistem
presidensial ini dapat dilaksanakan sesuai
dengan harapan masyarakat. Bagaimana tidak,
salah satu fungsi partai tersebut adalah sarana
untuk mengendalikan konflik yang terjadi dalam
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Artinya, sepanjang anggota partai politik di
lembaga legislatif menyadari fungsi ini, tentu
orientasi kekuasaannya digunakan untuk
mewakili kepentingan masyarakat lebih
menonjol ketimbang aspek yang lain. Akan
tetapi, ini sulit dilakukan karena dominannya
kepentingan partai sehingga persaingan
lembaga legislatif dan lembaga eksekutif tidak
terhindarkan. Begitu juga dengan hakikat
fungsi rekruitmen anggota baru yang dilakukan
oleh partai politik. Idealnya, partai politik harus
dapat mencari calon anggota yang memiliki
kompetensi dan integritas oral yang baik.
Selama ini, banyak pihak menyoroti masalah ini.
Rekruitmen partai yang dilakukan terkesan asal
jadi sehingga mengabaikan aspek kompetensi
dan integritas moral. Akibatnya, partai politik
hanya menawarkan kader partai yang kurang
berkualitas.
Munculnya kemacetan politik dalam
pembuatan kebijakan publik antara lembaga
eksekutif dan lembaga legislatif adalah dampak
dari kurang berkualitasnya kader partai
yang duduk di lembaga legislatif. Mereka
hanya memikirkan kepentingan pribadi dan
kelompoknya di partai. Jelas ini mengancam
hakikat
demokrasi
perwakilan
yang
dilaksanakan. Oleh karena itu, memperkuat
sistem presidensial ini tidak hanya berasal
dari lembaga eksekutif saja. Lebih jauh,
penguatan ini juga membutuhkan mitra sejajar
yang berkualitas agar dapat menyeimbangkan
kompetensi yang dimiliki oleh lembaga
eksekutif. Faktanya, dengan rendahnya kualitas
anggota legislatif ini, maka penggunaan hak
iniasitif mereka dalam membuat rancangan
undang-undang jarang terpenuhi sesuai dengan
program legislasi nasional yang ditetapkan.
Penutup
Memang terdapat sejumlah dilema dalam
melaksanakan sistem presidensial ini. Pada
akhirnya pilihan sistem apa yang terbaik untuk
membangun demokrasi yang lebih matang
terletak pada tafsir konstitusi yang sudah
mengatur hal ini. Tentu ada kelebihan dan
kelemahan terkait dengan sistem pemerintahan
yang dipilih. Akan tetapi yang terpenting adalah
bagaimana melaksanakan sistem tersebut
secara konsisten dan bertanggung jawab. Sama
halnya dengan keinginan bangsa ini dalam
memilih sistem presidensial sebagai bentuk
sistem pemerintahan yang sesuai dengan upaya
mewujudkan cita-cita negara ini. Sepanjang,
elite politik melaksanakan segala kelebihannya
dan bersama-sama menutupi kelemahannya,
maka apa yang menjadi keinginan rakyat dapat
diwujudkan.
Sistem presidensial yang dilaksanakan,
terutama setelah rezim Orde Baru jatuh,
memunculkan sejumlah preseden politik yang
turut mewarnai penyelenggaraan negara ini.
Praktik koalisi di antara partai yang memperoleh
kursi di DPR menjadi cara baru agar dapat
menyempurnakan kekuasaan partai ini baik di
lembaga legislatif, maupun lembaga eksekutif.
Pembentukan koalisi ini menjadi keniscayaan
dalam sistem presidensial karena ketentuan
yang diatur dalam UU. Apalagi dengan adanya
pelaksanaan Pemilu yang terpisah antara
Pemilu untuk memilih anggota legislatif dengan
Pemilu untuk memilih presiden menyebabkan
pilihan pada koalisi tidak terhindarkan. Banyak
akibat politik yang ditimbulkan dalam proses
koalisi ini, khususnya ancaman terhadap
keberlangsungan sistem presidensial ini. Oleh
karena itu, perlu ada upaya politik yang tegas
sehingga penguatan terhadap sistem presidensial
ini dapat dilakukan. Seperti yang dijelaskan
dalam tulisan ini, ada beberapa cara yang
dapat dilakukan seperti memperbaiki kembali
76 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
UU Pemilu, UU Kepartaian, UU susunan dan
kedudukan MPR/DPD/DPR/DPR serta UU
pemilihan presiden. Apalagi dengan sudah
ditetapkannya penyelenggaraan Pemilu serentak
untuk memilih anggota legislatif dan presiden,
maka dinamika politik menjelang Pemilu tahun
2019 akan berjalan sangat dinamis.
Selain itu, untuk memperkuat sistem
presidensial ini agar dilaksanakan secara
konsisten, maka pelaksanaan fungsi partai politik
secara sunguh-sungguh harus terus diupayakan.
Selama ini, pelaksanaan fungsi partai ini sedikit
terabaikan sehingga berdampak pada penguatan
sistem presidensial. Faktanya, fungsi ideal
partai yang harusnya dapat mengendalikan
konflik di antara lembaga-lembaga negara
justru menjadi sumber konflik baru sehingga
mengancam pelaksanaan demokrasi di republik
ini. Sepanjang masalah ini tidak menjadi
perhatian semua pihak, maka keinginan untuk
menjadikan sistem presidensial berjalan dengan
baik sulit ditemukan dalam realita politik.
Daftar Pustaka
Buku
Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu
Politik. Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia
Cheibub, Jose Antonio. 2007. Presidentialism,
Parliamentarism,
and
Democracy.
Cambridge: Cambridge University Press
Gaffar, Afan, 1999. Politik Indonesia: Transisi
Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Gomez, Edmund. 2002. Political Business in
East Asia, New York: Routledge.
Hague, Rod and Harrop, Martin.
2001.
Comparative Government and Politics. 5th
Ed. New York: Palgrave Macmillan
Haris, Syamsuddin. 2010. Membaca Hak Angket
DPR. Dalam Aloysius Soni BL de Rosari
(ed). Centurygate Mengurasi Konspirasi
Penguasa-Pengusaha. Jakarta: Kompas
Haris, Syamsuddin, 2014. Masalah-masalah
demokrasi kebangsaan di era Reformasi,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Horowitz, Donald L.,2013, Constitutional Change
and Democracy in Indonesia, Cambridge:
Cambrdige University Press.
Kawamura, Koichi. 2013. President Restrained:
Effects of Parliamentary Rule and
Coalition Government on Indonesia’s
Presidentialism. Dalam Yuko Kasuya (Ed).
Presidents, Assemblies and Policy-Making
in Asia. New York: Palgrave Macmillan
Lesmana, Tjipta. 2009. Dari Soekarno Sampai
SBY: Intrik Dan Lobi Politik Para
Penguasa. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Lijphart, Arend. 1995. Sistem Pemerintahan
Parlementer dan Presidensial. Terjemahan.
Ibrahim R. Jakarta: Rajawali Pers
Mainwarring, Scott. 2003. Presidentialism,
Multipartism, and Democracy: The
Difficult Combinantion. Dalam. Robert
Dahl, Ian Shapiro and Jose Antonio Cheibub
(Eds).
The Democracy Sourcebook.
Massachusetts: Massachusetts Instititute of
Technology
Manning, Chris & van Diermen, Peter (Eds.).
2000.Indonesia Di Tengah Transisi: AspekAspek Sosial dari Reformasi dan Krisis.
Yogyakarta: LKIS.
Moury, Catherine. 2013. Coalition Government
and Pary Mandate: How Coalition
Agreement Constrain Minesterial Action.
London: Routledge
Mueller, Dennis C. 2003. Public Choice III.
Cambridge: Cambridge University Press.
Powell Jr, Bingham. 1982. Contemporary
Democracies:
Participation,
Stabilty
and Violence. Massachusetts: Harvard
University Press
Riker, William H. 1962. The Theory of Political
Coalition. New Haven: Yale University
Press
Robison, Richard and Hadiz, Vedi R. 2004.
Reorganising Power in Indonesia: The
Politics of Oligarchy in an Age Markets.
London: Routledge Curzon
Tsebelis, George. 2002. Veto Players: How
Political Institutions Work. Princeton:
Princeton University Press.
Wiarda, Howard J & Polk, Jonathan T., 2012,
“Separation of Legislative and Executive
Government Power”, dalam David Scot
Clark (ed.), Comparative Law and Society,
Massachuetts: Edwar Elgar Publishing
Yudha, Hanta. 2010. Presidensialisme Setengah
Hati: Dari Dilema ke Kompromi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya ... | Asrinaldi A | 77
78 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
MEDIA SIBER SEBAGAI ALTERNATIF JEMBATAN KOMUNIKASI
ANTARA RAKYAT DAN PEMIMPINNYA
CYBER MEDIA AS AN ALTERNATIVE COMMUNICATION BRIDGE
BETWEEN THE PEOPLE AND THE LEADER
Nina Andriana
Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta
E-mail: [email protected]
Diterima: 16 Juli 2013; direvisi: 22 Agustus 2013; disetujui: 29 Desember 2013
Abstract
Deliberative democracy, is an opportunity for people to dialogue with their leaders continuous, needs a free
public sphere that independent from political pressure. The public sphere in conventional media which lack owners
and content diversity become the turning point another media attendance, that is cyber media. The utilization of
cyber media by actor and political institution, and especially by the Indonesian people still not maximum, even
cyber media give an opportunity for as communication media which “inclusive, egalitarian and liberal”. Two way
communication that provided by the cyber media is more interactive among the people and the leader. Through
public sphere deliberative democracy on cyber media, public could be educated for rational and open dialogue to
discuss about public policy.
Keywords: Deliberative Democracy, Public Sphere, Cyber Media.
Abstrak
Demokrasi deliberatif, yaitu terbukanya peluang bagi masyarakat untuk secara kontinu berkomunikasi
dengan pemimpinnya, membutuhkan ruang publik yang bebas dari tekanan politik dan penguasa pasar media.
Ruang Publik di media massa konvensional yang telah mengarah pada ketiadaan keberagamaan kepemilikan dan
keberagaman substansi informasi menjadi titik balik hadirnya ruang publik pada bentuk media lain, yaitu media
siber. Pemanfaatan media siber oleh lembaga dan aktor politik, dan khususnya oleh masyarakat di Indonesia
masih belum maksimal, meskipun media siber memberikan peluang menjanjikan sebagai saluran komunikasi yang
“inklusif, egaliter dan bebas tekanan”. Prinsip komunikasi dua arah yang disediakan oleh media siber diharapkan
mampu menjadi alternatif jembatan komunikasi yang lebih interaktif antara rakyat dan pemimpinnya, yang hal ini
sulit didapatkan pada media konvensional. Melalui ruang publik demokrasi deliberatif rakyat dapat dididik untuk
berdiskusi secara rasional dan terbuka untuk membicarakan persoalan-persoalan kebijakan publik.
Kata kunci: Demokrasi deliberatif, Ruang Publik, Media Siber.
Media Siber Sebagai Alternatif Jembatan Komunikasi ... | Nina Andriana | 79
Pendahuluan
Salah satu wujud nyata penting dalam
melembagakan demokrasi adalah pers dan
media massa yang bebas untuk menyatakan
pendapat. Melalui media massa, kebebasan
dalam berpendapat, berdikusi dan berdialog
yang mengarah pada penerapan demokrasi
berkelanjutan
(demokrasi
deliberatif)
dalam rangka kontrol terhadap penguasa,
diharapkan dapat dicapai. Ciri demokrasi
yang baik seyogyanya tidak hanya berhenti
pada keterlibatan rakyat secara langsung pada
pemilihan umum dalam rangka pergantian
kekuasaan, namun juga mampu tetap
memberikan jembatan atau saluran antara
rakyat dengan wakil-wakil di parlemen ataupun
pemimpin negara yang telah mereka pilih.
Media massa (pers bebas) sebagai salah satu
dari enam lembaga politik demokrasi1 – partai
politik, pemilihan umum, parlemen, eksekutif,
yudikatif dan pers bebas - diharapkan mampu
menjawab harapan masyarakat akan hadirnya
ranah publik yang bercirikan demokrasi
deliberatif tersebut.
Dalam kondisi ideal, partai politik
seharusnya menjadi lembaga yang mengadakan
hubungan yang kontinu antara masyarakat
pada umumnya dan pemimpin-pemimpinnya2,
namun dalam prakteknya hingga saat ini partai
politik tetap cenderung lebih mengedepankan
kepentingan partainya dan sering mengabaikan
fungsi sebagai lembaga agregasi kepentingan
masyarakat. Dengan demikian, tingkat
kepercayaan masyarakat pada partai politik
sebagai lembaga yang mampu menjembatani
masyarakat dan pemimpinnya menjadi sangat
rendah. Hal ini dapat terlihat dari Temuan
Global Corruption Barometer 2013 (GCB
2013) yang menempatkan parlemen dan partai
politik sebagai lembaga yang korup dalam
persepsi dan pengalaman masyarakat3. Kondisi
ketidakpercayaan publik terhadap parlemen
Mochtar Pabottingi, Lima Palang Demokrasi
Satu Solusi: Rasionalitas dan Otosentrisitas
dari Sisi Historis-Politik di Indonesia. Orasi
Ilmiah Pengukuhan sebagai Ahli Peneliti Utama
Puslitbang Politik dan Kewilayahan, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, 2002.
2
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm.
120.
3
http://www.ti.or.id/index.php/
publikation/2013/12/03/corruption-perceptionindex-2013, diakses pada tanggal 3 Desember 2013.
1
dan partai politik inilah yang menyebabkan
masyarakat mencari alternatif media atau
lembaga lain dalam menyuarakan pendapatnya.
Seperti disampaikan sebelumnya, media massa
dengan jargon kebebasan bersuaranya dianggap
layak untuk memenuhi harapan masyarakat
sebagai saluran komunikasi antara mereka
dengan pemimpinnya.
Namun, ketidakpercayaan masyarakat
terhadap parlemen dan partai politik pun dalam
perkembangannya juga dialami oleh media
masaa. Perkembangan kepemilikan media di
Indonesia yang saat ini berpusat pada pemilikpemilik modal tertentu, tampaknya masih
sangat jauh dari impian menghadirkan ruang
publik politis yang inklusif, egaliter dan bebas
tekanan. Tidak adanya keberagaman dalam
kepemilikan media (diversity of ownership)
akan mengarah pada ketiadaaan keberagaman
dalam isi pemberitaan media (diversity of
content).4 Kondisi kepemilikan media seperti
ini secara langsung atau tidak, akan membentuk
atau menggiring opini masyarakat yang sesuai
dengan ide dari pemilik media. Ruang kebebasan
untuk mengawasi dan mengkritisi pemerintah
lewat media massa juga akan terbelenggu oleh
pemilik media yang notabene adalah bagian
dari elit politik. Sehingga, apapun aspirasi
yang bertentangan dengan kepentingan politik
pemilik media, tentu tidak dapat didiskusikan
atau bahkan disuarakan lewat media tersebut.
Perumusan Masalah
Kondisi terhambatnya masyarakat untuk dapat
mendiskusikan pendapatnya lewat media
massa mainstream saat ini sebagai akibat
adanya penguasaan isi media oleh si pemilik,
memberikan pengaruh yang cukup besar bagi
kekuatan publik yang ingin menjalankan haknya
untuk mengawasi pemerintah. Harapan media
massa sebagai saluran yang demokratis pun
jauh dari kenyataan karena publik menganggap
Yanuar Nugroho, peneliti dari The University of
Manchester, mengatakan industri media massa di
Indonesia menunjukkan tren pemusatan kepemilikan.
MNC Group di bawah bendera Global Mediacomm,
Jawa Pos Group, dan Kelompok Kompas Gramedia
menempati rangking tiga terbesar kepemilikan
media. “Ketiga kelompok tersebut menguasai 77
persen peta kepemilikan media di Indonesia,” http://
www.tempo.co/read/news/2014/05/22/090579547/
Industri-Media-Massa-Makin-Terkonsentrasi,
diakses pada tanggal 25 September 2013.
4
80 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
media tidak membuka aksesnya kepada publik
sehingga muncul ketidakpercayaan terhadap
akurasi informasi dan opini yang terbentuk
di media massa tersebut. Meskipun media
massa, parlemen dan partai politik senyatanya
ada sebagai lembaga politik demokratis yang
seharusnya meng-agregasi aspirasi masyarakat,
namun kondisi ketidakpercayaan masyarakat
terhadap lembaga media dan parlemen,
dirasakan belum mampu mengakomodasi
respon, argumentasi, dan kritik masyarakat.
Kondisi inilah yang menciptakan adanya sebuah
keinginan untuk mencari saluran lain atau
teknologi komunikasi lain yang seyogyanya
dapat memberikan ruang bagi publik untuk
dapat mengawasi jalannya pemerintahan
terpilih dalam kondisi yang bebas dan jauh
dari tekanan. Lalu media apakah yang mempu
menjembatani rakyat dan pemimpinnya, dengan
mengedepankan prinsip egaliter, inklusif dan
bebas tekanan tersebut?
Perkembangan teknologi komunikasi
menghadirkan sebuah perangkat teknologi
baru dalam dunia komunikasi. Teknologi ini
mampu menggabungkan tiga aspek dalam satu
medium, yaitu telekomunikasi, data komunikasi
dan komunikasi massa.5 Satu karekateristik
penting sebagai efek munculnya media baru ini
adalah media interaktif, yaitu di mana khalayak
dapat dimungkinkan untuk melakukan umpan
balik secara langsung terhadap informasi yang
disajikan. Teknologi baru ini dalam beberapa
literatur akademik memiliki penamaan yang
beragam, seperti media online, digital media,
media virtual, e-media, network media, media
baru, media siber dan media web.6 Khusus
dalam tulisan ini, istilah media siber lebih dipilih
karena akan mampu memberikan cakupan
pembahasan tak hanya pada media itu sendiri
tetapi juga media baru sebagai lingkungan,
Jan Van Dijk, The Network Society: Social Aspects
of New Media, (London: Sage, 2006), hlm. 7.
6
Beberapa ahli yang mengupas tentang perbedaan
karakteristik bentuk pesan, cara penyampaian pesan
dan efek dari konsumsi pesan terhadap khalayak pada
media baru ini diantaranya adalah Joseph Straubhaar
and Robert LaRose, Media Now, Communication
Media in the Information Age. (Belmont: Wadsworth,
2002); John Vivian, Teori Komunikasi Massa,
(Jakarta: Penadamedia Grup, 2008); Nicholas Gane
and David Beer, New Media: The Key Concepts.
(Oxford&New York: Berg, 2008); David Holmes,
Communication Theory: Media, Technology and
Society, (London: Thousand Oaks, 2005).
budaya, politik dan ekonomi.
Berbagai kelebihan yang ditawarkan
oleh media baru di atas, ditambah dengan
kepemilikan informasinya yang bersifat massal,
dapat menjadikannya sebagai saluran alternatif
kebebasan bersuara dan mengkritik pemerintah
oleh publik. Hal ini dapat dilihat pada salah
satu bentuk dari media siber yaitu media sosial
(social media) di mana publik dengan bebas
dan tanpa rasa takut atas tekanan negara atau
pemilik modal mengutarakan kritiknya terhadap
persoalan-persoalan kebijakan publik.
Seperti apakah gambaran ruang publik
yang ada di media siber Indonesia dalam
menjembatani publik dan pemimpin serta elit
politik demi memperkuat sistem pemerintahan
presidensial yang telah disepakati oleh elit
pada saat UUD 1945 diamandemen? Lalu,
apakah kebebasan dalam memproduksi dan
mengkonsumsi informasi di media siber dapat
memberikan peluang untuk hadirnya ruang
publik yang dirasakan masyarakat kurang
mendapatkan tempat pada media konvensional
di Indonesia?
Melalui tulisan ini, akan dikaji secara
singkat gambaran kondisi ruang publik
demokrasi deliberatif di beberapa bentuk media
siber dengan menganalisis situs (situs) milik
politisi partai, lembaga legislatif dan media
sosial (social media) milik pemimpin negara
ini (Presiden Soesila Bambang Yudhoyono).
Pemilihan bentuk media siber ini lebih pada
pertimbangan agar analisis dapat berjalan
seimbang.
Sebelum menjawab beberapa pertanyaan
di atas, sebagai pengantar analisis, akan
didiskusikan terlebih dahulu beberapa konsep
yang digunakan untuk dapat menjawab
pertanyaan dari tulisan/kajian ini.
5
Diskusi Konsep
1. Demokrasi Deliberatif
Penyediaan ruang dan kesempatan untuk
berdikusi berkenaan dengan kebijakan
pemerintah dalam tulisan ini dapat dibayangkan
sebagai ruang diskusi terbuka untuk publik
yang
digambarkan
dalam
demokrasi
deliberatif. Demokrasi deliberatif diwujudkan
dalam sebuah diskusi di ruang publik yang
menghasilkan sebuah keputusan kolektif
Media Siber Sebagai Alternatif Jembatan Komunikasi ... | Nina Andriana | 81
dengan menghadirkan berbagai argumentasi
yang rasional dan berimbang.7 Komunikasi
dalam ruang publik dengan prinsip demokrasi
deliberatif inilah yang dibayangkan oleh Jurgen
Habermas sebagai salah satu saluran kontrol
terhadap pemerintahan.
Ruang publik adalah sebuah ranah yang
“egaliter, inklusif dan bebas tekanan”. Prinsip
egaliter menekankan pada kesamaan hak,
kesempatan dan ruang bagi tiap masyarakat
untuk mengkritisi setiap hal yang berhubungan
dengan kemaslahatan hidup orang banyak.8
Terbuka bagi siapa pun dengan latar belakang
apapun adalah ciri inklusif yang dikedepankan
dalam ruang publik. Sifat penting lainnya
adalah ruang publik harus bebas dari unsur
dan kepentingan pemerintah ataupun penguasa
pasar. Dengan demikian, ruang publik yang
dibayangkan oleh Habermas sebagai sebuah
ruang ideal bagi masyarakat untuk tidak hanya
sekedar sebagai penonton atau publik yang pasif
dalam kehidupan berpolitis.
Konsep demokrasi deliberatif yang
disampaikan Habermas berangkat dari hasil
analisis yang dilakukan oleh Habermas sendiri
dalam melihat perkembangan ruang publik yang
hadir sebelum abad ke-20 dan setelahnya. Dari
analisis tersebut disebutkan bahwa telah terjadi
kemerosotan drastis prinsip “egaliter, inklusif
dan bebas tekanan” yang selama ini menjadi
ciri dari ruang publik. Kondisi ini dipengaruhi
oleh hadirnya konsep negara kesejahteraan, di
mana dalam konsep tersebut negara dan pemilik
modal mengklaim memiliki hak dan kuasa untuk
menjaga stabilitas politik demi terciptanya
stabilitas ekonomi. Dengan demikian, kuasa
ini berujung pada upaya membentuk dan
mengontrol opini publik, sehingga tidak
memberikan ruang dan mematikan sensitifitas
publik terhadap persoalan-persoalan politik.
Kondisi tersebut juga berlangsung di Indonesia
selama masa Orde Baru. Jargon stabilitas
ekonomi telah menutup ruang kebebasan
masyarakat dalam berpendapat dan bahkan
berkumpul untuk melakukan pengawasan
terhadap kinerja pemerintah. Gejolak-gejola
John Elster (Ed), Deliberative Democracy, (United
Kingdom: Cambridge University Press, 1998), hlm.
8.
8
Lincoln Dahlberg, “The Internet, Deliberatif
Democracy and Power: Radicalizing Publik Sphere”,
International Journal of Media and Cultural Politics
Vol. 3 No. 1, 2007, hlm. 49.
7
politik dalam bentuk suara-suara protes terhadap
penguasa dianggap akan memberikan dampak
buruk pada kestabilan
Deliberatif dalam konteks demokrasi
adalah upaya untuk memposisikan tatanan
sosial politik agar sesuai dengan kebutuhan
publik dalam menyentuh efek kebijakan yang
dikeluarkan oleh negara dan karenanya baru
bisa dinilai jika telah berhubungan dengan
konteks.9 Beberapa ahli yang membahas terkait
dengan demokrasi deliberatif sesungguhnya
menyepakati unsur utama dari deliberatif itu
sendiri, yakni menolak asumsi dasar bahwa
demokrasi tidak lebih dari sekadar proses
dalam pemilihan umum karena dalam proses
pembuatan kebijakan publik setelah pemilu,
harus melalui serangkaian komunikasi yang
berorientasi pada kesetaraan dialog setelah
dilakukannya penghitungan suara. Emannuel
Grey menyebutkan bahwa dari kesemua ahli
yang membahas konsep deliberatif ini juga
menyepakati bahwa aspek-aspek dari demokrasi
deliberatif adalah: adanya partisipasi, kebebasan
dan kesetaraan, ketertarikan pada kebaikan
bersama, dan keinginan untuk melakukan
voting.10
Salah satu ahli yang memberikan makna
komunikatif dalam penjelasan deliberatif
adalah Jurgen Habermas, ia menyebut bahwa
demokrasi deliberatif merupakan ruang publik11
yang memungkinkan bagi masyarakat umum
untuk dapat mengemukakan pendapat dan
mengkritisi kinerja pemerintah. Secara garis
besar, demokrasi deliberatif merupakan teori
normatif yang menawarkan sebuah mekanisme
yang mana masyarakat sipil dapat memperkuat
demokrasi dan mengkritik lembaga pemerintah
yang berjalan ketika tidak sesuai dengan normanorma atau aturan yang ada.12 Demokrasi
Muhammad Faishal, “Institusionalisasi Demokrasi
Deliberatif di Indonesia: Sebuah Pencarian Teoretik”,
dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 11,
No. 1, Juli 2007, hlm. 5.
10
David Emannuel Gray, Social Choice in Deliberatif
Democracy, Tesis pada Carnegie Mellon University,
Department of Philosophy, Januari 2004, revised
2005, dalam Muhammad Faishal, “Institusionalisasi
Demokrasi Deliberatif di Indonesia: Sebuah
Pencarian Teoretik”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Vol. 11, No. 1, Juli 2007, hlm. 5.
11
Ruang publik inilah yang menjadi titik tekan
komunikasi dalam pengembangan demokrasi
deliberatif yang dimaksudkan oleh Habermas.
12
Simone Chambers, “Deliberatif Democratic
9
82 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
deliberatif berpusat pada diskusi dan
akuntabilitas. Melalui demokrasi deliberatif,
diharapkan
demokrasi
diskusi-sentris
menggantikan demokrasi voting-sentris. Jika
demokrasi voting-sentris hanya berpusat pada
pemberian suara dalam memutuskan sebuah
persoalan, maka demokrasi diskusi-sentris lebih
mengedepankan pada proses pembentukan
opini dan argumentasi-argumentasi, yang pada
akhirnya menghasilkan pilihan-pilihan dalam
perumusan sebuah kebijakan.
Ketika
mendiskusikan
demokrasi
deliberatif dalam konteks sistem pemerintahan
presidensial, tidak berarti mengabaikan
keberadaan
lembaga
legislatif.
Dalam
menjalankan perannya, anggota legislatif justru
idealnya memiliki tanggung jawab kepada
konstituennya selain kepada partai politik yang
mengusungnya. Dengan demikian, saluran
komunikasi dalam hal pengawasan kinerja
anggota dewan dari konstituennya pun harus
dibangun. Meskipun proses pemberian mandat
antara presiden dan anggota legislatif dalam
sistem ini berbeda, namun legislatif merupakan
partner sekaligus pengawas dari kinerja
presiden pula. Hal ini terkait dengan fungsi
legislasi yang dimiliki oleh parlemen dalam
merumuskan kebijakan sebagai dasar pijakan
berbagai program kerja yang disusun oleh
presiden dan kabinetnya
Ruang Publik pada Media Siber
Habermas mendefinisikan ruang publik sebagai,
“..sebuah arena, pemerintahan yang independen
(walaupun menerima dana dari negara) dan
juga menikmati otonomi dari partisan-partisan
ekonomi, yang didedikasikan untuk debat
rasional (contohnya untuk membicarakan
atau mendiskusikan sesuatu tanpa paksaan
atau manipulasi) dan yang dapat dimasuki
dan diperiksa oleh semua warga negara,
dan di sinilah, di dalam ruang publik, opini
publik dapat dibentuk.13 Pengertian ruang
publik dalam konteks ini adalah sebuah ruang
termpat terjadinya pertukaran bahasa, terutama
bahasa politik, berbagai pihak yang terlibat di
dalamnya.
Theory”, http://www.chinesedemocratization.com/
materials/4Simone%20Chambers%20on%20%20
deliberatif%20democracy.pdf, hlm. 2, diakses pada
tanggal 2 September 2013.
13
Dikutip dari Frank Webster, Theories of Information
Society, (London: Routledge, 1995), hlm. 102.
Hal terpenting yang menjadi kunci dari
ruang publik adalah informasi yang tersedia dan
akses terhadap informasi tersebut. Pihak-pihak
yang terlibat di dalam ruang publik tersebut
memberikan argumentasinya dengan ekspilisit,
menggunakan bahasa-bahasa yang rasional dan
komunikatif, yang kemudian disebarkan kepada
publik, yang mana memiliki akses penuh atas
diskusi dan debat terhadap wacana tersebut.
Komunikasi yang terbentuk dalam ruang
publik tersebut menurut Habermas harus
berada pada kondisi komunikasi ideal, di
mana tidak ada satu pihak pun yang dibiarkan
menggunakan cara-cara manipulasi, pemaksaan
dan bahkan dominasi. Sebaliknya, komunikasi
yang dibentuk adalah sebuah wacana yang fair,
dalam upaya menciptakan konsensus bersama
dalam memecahkan berbagai persoalan
dan menentukan tujuan bersama melalui
cara argumentasi yang rasional.14 Semakin
rendahnya keinginan media konvensional
untuk menyediakan ruang publik ideal dan
demokratis membuat masyarakat dan warga
negara pun mencari-cari format ruang publik
seperti apa yang mampu menumbuhkan sikap
kritis masyarakat terhadap persoalan politis
dan kemudahan terhadap akes informasi yang
disediakan.
Pengemasan informasi politik yang
mengarah pada satu frame opini – yang sesuai
dengan kehendak pemilik media – seperti
yang berlangsung pada media konvensional
dewasa ini diharapkan dapat diimbangi dengan
kehadiran media baru. Howard Rheingold
mencatat dalam bukunya, bahwa aspek
politik dari CMC (Compututer Mediated
Communication) terletak pada kemampuannya
untuk menantang media komunikasi yang telah
dimonopoli oleh kekuatan ekonomi dan politik,
dan kemampuannya untuk merevitalisasi
kembali demokrasi yang berpusat pada
rakyat.15 Kekuasaan yang berpusat pada rakyat
diharapkan dapat diimplementasikan secara
nyata lewat ruang publik media baru.
Ruang
publik
demokratis
yang
dibayangkan oleh Habermas adalah ruang
Lihat Jurgen Habermas, The Theory of
Communicative Action Volume Two: Lifeworld and
System: A Critique of Functionalist Reason, (a.b
Thomas McCarthy), (Boston, Beacon Press, 1987).
15
Howard Rheinghold, Virtual Community: Finding
Connection in Computerized World, (London:
Secker & Warburg, 1994), hlm. 13.
14
Media Siber Sebagai Alternatif Jembatan Komunikasi ... | Nina Andriana | 83
publik yang tetap mengandalkan tujuan utama
dari demokrasi tersebut, yaitu terbentuknya
konsensus bersama dengan didasarkan aturan
main yang jelas terkait diskusi dan debat yang
tercipta di ruang publik dunia maya. Tingginya
makna kebebasan dalam berkomunikasi lewat
media baru memunculkan anggapan bahwa sifat
individualis para pengguna media baru justru
menjadi hambatan dari prinsip utama kebebasan
dalam konteks berdemokrasi, yaitu kebebasan
dengan aturan main dan bertujuan menghasilkan
konsensus bersama. Menurut Timothy Leary,
dalam bukunya Chaos and Cyber-culture, di
media siber, kekuasaan dibangun berdasarkan
orotitas pribadi seseorang. Ia juga menyatakan,
makna tersirat dari media baru adalah ide
tentang kemerdekaan dan kebergantungan pada
diri sendiri, seseorang yang mengatur dirinya
sendiri. Semboyan utama dari khalayak media
baru adalah berpikirlah untuk dirimu sendiri
dan pertanyakan selalu otoritas. 16
Anggapan yang dilontarkan oleh Leary
tersebut sebenarnya bisa dijadikan sebagai
tantangan bagi terciptanya ruang publik
demokratis di media baru (media siber), bukan
malah melunturkan peluang yang diberikan
oleh media siber untuk terciptanya ruang publik
yang demokratis. Karena pada prinsipnya, tidak
ada otoritas yang hilang, namun otoritas yang
seyogyanya di media konvensional berada di
tangan pemerintah, partisan politik dan pemilik
media, dalam ruang media siber telah berpindah
ke tangan individu. Dengan demikian, media
siber tetap mampu memberikan harapan untuk
mengembalikan kekuatan di tangan rakyat
dalam proses berdemokrasi.
Untuk menganalisis ruang publik yang
tersedia pada media siber (situs dan media sosial)
yang digunakan oleh lembaga politik dan elit
politik di Indonesia dalam tulisan ini berpegang
pada pemahaman utama yang disampaikan oleh
Habermas di atas. Keberlanjutan berdemokrasi
pasca dilaksanakannya salah satu prinsip utama
berdemokrasi, yaitu pemilihan umum untuk
penggantian elit/pemerintahan, selayaknya dapat
terus diupayakan dan tentunya dapat melihat
berbagai media alternatif yang ditawarkan
oleh perkembangan teknologi. Tulisan ini tidak
hendak melakukan penilaian - ada atau tidak
ada, tepat atau tidak tepat dan benar atau salah
– terhadap beberapa objek yang dijadikan bahan
analisis. Seperti yang disampaikan sebelumnya,
tulisan ini hendak melihat seperti apakah ruang
publik demokratis yang berlangsung pada media
siber (situs lembaga politik dan media sosial elit
politik) di Indonesia saat ini.
Pembahasan
Media Siber Dalam Dunia Politik
Di Indonesia
Terdapat beberapa bentuk siber media, di
antaranya: (1) Situs (Web Site); (2) E-mail;
(3) Forum di internet (buletin boards); (4)
Blog; (5) Wiki; (6) Aplikasi pesan; (7) Internet
“broadcasting” (8) Peer to peer; (9) The RSS;
(10) MUDs dan (11) Media Sosial (Social
Media). Dikarenakan keterbatasan waktu dan
ruang, maka tulisan ini hanya mengambil
dua bentuk dari beberapa media siber di atas,
yaitu situs dan media sosial. Melalui analisis
sederhana pada situs dan media sosial yang
menjadi objek kajian dapat memberikan
gambaran pemanfaatan media siber oleh elit
politik dan lembaga demokrasi Indonesia serta
peluang bagi terciptanya ruang publik politis
yang demokratis pada kedua bentuk media siber
tersebut.
1. Situs (Web Site)
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian
pendahuluan, bahwa lembaga legislatif
merupakan salah satu dari bentuk lembaga
politik demokratis, maka situs pertama yang
akan dikaji dalam tulisan ini adalah situs yang
dimiliki oleh lembaga perwakilan di Indonesia,
yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (www.dpr.
go.id). Melalui situs yang dimiliki oleh DPR RI
tersebut, akan dilihat bagaimana gambaran atau
kondisi ruang publik yang disediakan dalam
laman situs tersebut. Berikut adalah cuplikan
dari halaman depan (home page) dari situs DPR
RI: (Lihat Gambar 1)
Reza Antonius Alexander Wattimena, “Menggagas
Cyberspace Sebagai Ruang Publik Virtual yang
Emansipatif,” dalam Mudji Sutrisno, In Bene dan
Hendar Putranto (Ed), Cultural Studies: Tantangan
bagi Teori-teori Besar Kebudayaan, (Depok:
Koekoesan, 2008), hlm. 241.
16
84 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Gambar 1. Situs Dewan Perwakilan Rakyat RI (laman depan)
Laman pengaduan/aspirasi
Sumber: www.dpr.go.id. Diakses pada tanggal 7 September 2013.
Gambar 2. Situs Dewan Perwakilan Rakyat RI (laman pilihan layanan)
Sumber: www.dpr.go.id. Diakses pada tanggal 7 September 2013.
Pada halaman depan dari situs dpr.go.id
tampak adanya pilihan informasi yang dapat
dipilih oleh pengunjung situs tersebut, yaitu
BERITA, AGENDA, UNDANG-UNDANG
DAN RUU, DAFTAR ANGGOTA, ALAT
KELENGKAPAN, TENTANG DPR. Seluruh
pilihan informasi tersebut berisi tentang
kegiatan dan perkembangan tugas dan fungsi
yang dijalankan oleh anggota dewan beserta
alat kelengkapannya. Sesuai dengan yang
disampaikan sebelumnya, bahwa situs ini
memuat informasi, maka sifat komunikasi yang
berjalan pada situs ini setelah penulis telusuri
bersifat satu arah. Di mana pengelola situs
sebagai pihak yang memproduksi pesan atau
informasi dan khalayak yang menjadi pihak yang
mengkonsumsi pesan tersebut. Tidak ditemukan
ruang bagaimana publik dapat berdiskusi terkait
berbagai produk yang akan dan telah dihasilkan
oleh lembaga legislatif tersebut.
Laman yang dapat dijadikan tempat
bagi publik untuk menyampaikan aspirasinya
adalah dengan membuka pilihan “layanan”,
seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2
(Lihat Gambar 2).
Media Siber Sebagai Alternatif Jembatan Komunikasi ... | Nina Andriana | 85
Jika pilihan “layanan” tersebut diklik,
maka akan muncul empat pilihan laman
informasi, yaitu LPSE, Pengaduan Masyarakat,
Pengkajian dan Layanan Informasi Publik
seperti yang tampak pada Gambar 2 di atas.
Laman “Pengaduan Masyarakat” adalah laman
yang disediakan secara resmi dalam situs ini
untuk masyarakat agar dapat menyampaikan
aspirasinya. Berikut adalah tampilan laman dari
“Pengaduan Masyarakat”:
belum dapat dimaksimalkan pada situs milik
lembaga legislatif Indonesia ini. Pada laman
pengaduan sebenarnya dapat dibuat suatu ruang
yang memberikan peluang konstituen untuk
berdiskusi secara bersama-sama terkait RUU
yang sedang dikerjakan oleh anggota legislatif.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan isu
terkait suatu tema RUU saat ini sangat dinamis
di tingkat masyarakat. Kebaruan informasi yang
dapat langsung diakses oleh anggota dewan
Gambar 2. Situs Dewan Perwakilan Rakyat RI (laman Pengaduan)
Sumber: www.dpr.go.id. Diakses pada tanggal 7 September 2013.
Pada
kutipan
laman
“Pengaduan
Masyarakat” di atas juga tampak penjelasan alur
pengelolaan aspirasi dan pengaduan melalui
situs DPR RI. Pada alur tersebut tampak bahwa
ruang yang diberikan pada publik terbatas
pada penyampaian aspirasi satu arah kepada
lembaga legislatif. Tidak ditemukan ruang
untuk khalayak agar dapat mendiskusikan
aspirasinya tersebut dengan khalayak lain dan
bahkan dengan anggota dewan. Meskipun
jalannya proses aspirasi dapat diketahui melalui
kotak “lihat pengaduan”, namun hanya sebatas
informasi pengecekan posisi pada tahapan mana
aspirasi tersebut, masih pada bagian data base
ataukah sudah masuk pada tahap pembahasan
pada alat kelengkapan dewan atau pada
sekjen atau pimpinan DPR. Komunikasi dua
arah yang diharapkan hadir pada media siber
menjadi hal yang amat membantu ketepatan
substansi dari RUU yang sedang dibahas oleh
dewan. Situs sebagai bagian dari media siber
memberikan jawaban atas kebaruan informasi
yang terus menerus, sepanjang khalayak
diberikan ruang untuk menyampaikan dan
mendiskusikan informasi tersebut.
Situs dalam hal ini tak hanya dimiliki atau
dibuat oleh sebuah lembaga atau organisasi.
Perorangan pun saat ini telah membuat situs
yang menginformasikan segala sesuatu hal
mengenai pemilik situs tersebut. Informasi yang
disajikan adalah hal-hal yang berkaitan dengan
peran dan fungsi sebuah jabatan atau pekerjaan
yang ia jalankan. Penulis menemukan beberapa
nama politisi yang saat ini tidak lagi hanya
memanfaatkan media sosial sebagai bentuk
86 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
sumber informasi mengenai dirinya, tetapi juga
mengandalkan keberadaan jenis media siber
“situs”. Sebagai contoh, penulis mengambil
secara acak dari sebuah situs yang dibuat
oleh politisi perempuan di Indonesia. Penulis
memilih politisi dari Partai PDI Perjuangan,
Rieke Diah Pitaloka (RDP). Pemilihan dari
politisi ini didasarkan atas pertimbangan
bahwa beliau merupakan salah satu dari sekian
anggota legislatif perempuan di Indonesia
yang sangat lantang memperjuangkan hak-hak
kaum marjinal, khususnya kaum buruh dan
perempuan. Perjalanan yang ia lalui juga cukup
berliku. Dimulai dengan berkarir dalam dunia
politik melalui Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) lalu memutuskan untuk berpindah ke
PDI Perjuangan hingga saat ini. Pertarungan
memperebutkan jabatan politis tak hanya ia
rasakan pada tingkat legislatif, tetapi juga pada
jabatan eksekutif, yaitu pada Pemilihan Kepala
Daerah Provinsi Jawa Barat (Gubernur) Tahun
2013. Laman situs yang dimiliki oleh Rieke
dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Lihat
Gambar 3).
foto-foto kegiatan yang dilakukan oleh RDP.
Sebagai pejuang hak kaum perempuan dan
buruh di parlemen, belum terlihat ruang diskusi
yang dibuka khusus dalam satu laman di situs ini
terkait isu-isu perempuan dan perburuhan yang
diusung oleh RDP. Ketiadaaan laman diskusi
ini memperlihatkan kondisi situs yang hanya
mempertontonkan aktivitas si pemilik situs
dengan ciri komunikasi satu arah seperti yang
terjadi pada media konvensional. Ruang diskusi
yang idealnya mampu dirancang di dalam situs
ini sama sekali tidak dimaksimalkan.
Pemanfaatan yang belum maksimal
pada situs DPR RI dan politisi RDP di atas
tentunya bukanlah sesuatu hal yang salah.
Hal ini mengingat pada lembaga legislatif
dikenal adanya masa reses bagi anggota
dewan. Masa inilah yang menjadi kesempatan
bagi anggota dewan untuk turun langsung ke
wilayah pemilihannya dan berdiskusi atau
menghimpun aspirasi konstituen yang ada di
sana. Asprirasi yang dikumpulkan, dijanjikan
akan ditindaklanjuti dan diperjuangkan oleh
anggota dewan setelah ia kembali bertugas.
Gambar 3. Situs Politisi PDI Perjuangan- Rieke Diah Pitaloka (www.riekediahpitaloka.org)
Dalam situs tersebut tampak bahwa laman
content yang disediakan adalah Home, Berita,
Gagasan Politik, Videos Gallery, Lensa Juang,
Budaya Rakyat dan Profile. Kutipan berita dari
media mainstream masih mendominasi isi dari
laman Berita dan Gagasan Politik. Sementara
laman Videos Gallery dan Lensa Juang, memuat
Dengan adanya mekanisme reses yang
masih berjalan aktif hingga saat ini, tidak
mengherankan jika pemanfaatan ruang publik
pada media siber kurang dimaksimalkan.
Namun, ada hal yang mesti menjadi
perhatian penting. Pasca masa reses, publik
dan utamanya konstituen tidak dapat lagi
Media Siber Sebagai Alternatif Jembatan Komunikasi ... | Nina Andriana | 87
mengawal apakah aspirasi mereka akan
dapat ditindaklanjuti oleh anggota dewan
bersangkutan, dikarenakan tidak ditemukan lagi
ruang untuk dapat berdiskusi secara interaktif
dengan anggota dewan dan sesama konstituen
dari daerah pemilihan yang sama. Keterlibatan
masyarakat untuk membicarakan persoalanpersoalan kehidupan mereka dengan para
pembuat kebijakan pun tidak lagi berkelanjutan.
Pada titik inilah tujuan dari demokrasi deliberatif
atau berkelanjutan mengalami stagnansi.
2. Media Sosial
Media sosial adalah bentuk lain dari media
siber yang memberikan beragam fasilitas
berkomunikasi secara virtual dengan mudah
dan praktis bagi penggunanya. Penggunaan
media sosial yang pada awalnya hanya dijadikan
sebagai bagian untuk menghibur diri, ajang
“curhat”, bersosialisasi dengan tanpa tatap muka,
saat ini telah berada pada level pemanfaatan
yang tidak hanya mencakup beberapa hal
seperti yang disebutkan penulis sebelumnya.
Banyak hal bermanfaat yang pada akhirnya
mempengaruhi kualitas hidup seseorang
berawal dari keterlibatannya dalam media
sosial. Salah satu bentuk pemanfaatan yang saat
ini ramai digunakan adalah penggunaan media
sosial untuk keperluan berdagang atau sering
disebut dengan “belanja on-line”.
Di samping itu, media sosial saat ini
juga acap kali digunakan untuk menggalang
dukungan atas sebuah perkara/isu. Contohnya
pada saat terjadi kisruh antara KPK dan Polri
pada Juli 2009, di mana terjadi penahanan
dua komisioner KPK oleh Mabes Polri (Bibit
Samad Riyanto dan Chandra Marta Hamzah).
Penahanan ini menuai aksi protes dari aktivis/
penggiat antikorupsi. Dukungan terhadap KPK
pada masa itu mengalir dengan sangat deras.
Dukungan nyata tidak hanya datang melalui
aksi demonstrasi di beberapa gedung lembaga
pemerintahan yang berhubungan dengan usaha
pemberantasan korupsi (utamanya KPK),
namun juga mengalir dari media sosial. Diskusi
tajam yang membahas isu tersebut pun tak
dapat dihindari berlangsung pada media sosial.
Munculnya kode #cicakvsbuaya pada media
sosial “Twitter” contohnya telah memberikan
ruang bagi khalayak pengguna media sosial
untuk berpendapat terkait permasalahan
tersebut.
Dalam dunia politik, politisi pun melihat
peluang yang cukup menjanjikan dari media
sosial sebagai media komunikasinya dengan
khalayak. Kita dapat menyaksikan bagaimana
semarak dan sistematisnya kampanye melalui
media sosial pada saat pemilihan presiden
Amerika Serikat pada tahun 2012 yang lalu.
Marketing politik yang dilakukan oleh tim
kampanye Obama saat itu telah mampu
memberikan sumbangan yang tidak sedikit
pada kemenangan Barrack Obama. Pada
periode pemilihan Presiden AS Tahun 2012
tersebut, Obama bersama tim kampanyenya
amat maksimal melakukan pengemasan isu dan
opini masyarakat melalui media sosial. Sebuah
lembaga riset jurnalis bahkan merilis hasil
pembandingan penggunaan media siber di antara
dua kandidat pada masa Pemilihan Presiden
AS tersebut.17 Dari hasil riset yang dilakukan
oleh The Pew Research Center’s Journalisme
Project (PRCJP), tampak bahwa Obama lebih
maksimal dalam menggunakan media siber.
Baik melalui situs yang memang khusus dibuat
untuk keperluan kampanye ataupun melalui
media sosial. Hal menarik dalam hasil kajian
PRCJP adalah situs Obama tidak memberikan
ruang bagi cuplikan-cuplikan berita lewat
media mainstream, content lebih banyak berisi
pembahasan-pembahasan mengenai visi dan
misi Obama pada aspek-aspek tertentu. Hal
ini sangat jauh berbeda dengan Romney, yang
hampir sebagian besar content dari situsnya
berisi cuplikan berita-berita pada media
mainstream, dengan cenderung memperlihatkan
hal-hal positif pada Romney dan hal-hal negatif
pada Obama.18 Dalam penelusuran yang
dilakukan PRCJP, penggunaan media sosial
juga lebih banyak digunakan oleh Obama. Hal
ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.19
(Lihat Gambar 4).
“How the Presidential Candidates us the Web and
Social Media: Obama Leads but Neither Candidate
Engages in Much Dialogue With Voters”, http://
www.journalism.org/2012/08/15/how-presidentialcandidates-use-web-and-social-media/, diakses pada
tanggal 15 September 2013.
18
Ibid.
19
Ibid.
17
88 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Gambar 4. Perbandingan Penggunaan Media Internet Antara Dua Calon Pada Masa Pipres Amerika Tahun 2012.
Sumber: http://www.journalism.org/2012/08/15/how-presidential-candidates-use-web-and-social-media/.
Diakses pada tanggal 15 September 2013.
Dinamisnya kampanye Pilpres Amerika
melalui media sosial ini sepertinya tidak terjadi
pada masa kampanye pilpres terakhir yang
digelar oleh bangsa Indonesia. Pada pilpres
2009 yang lalu, geliat kampanye caprescawapres belum terlihat menggejala pada media
siber, khususnya media sosial. Kampanye lebih
banyak dilakukan pada media mainstream dan
media luar ruang (baliho, spanduk, stiker dan
kampanye akbar yang melalui tatap muka).
Hal ini sungguh disayangkan, mengingat
hingga tahun 2009, jumlah pengguna internet
di Indonesia tercatat sebanyak kurang lebih
30 jutaan.20 Jumlah pemilih yang tercatat pada
DPT Pilpres 2009 adalah sebanyak 176.367.056
pemilih.21 Meskipun jumlah pengguna internet
pada tahun tersebut tidak terlalu besar, artinya
hanya sekitar 20% dari jumlah pemilih yang
ada, namun peluang untuk menjadikan media
internet dalam berkampanye sebenarnya cukup
besar. Pasifnya pengguna media sosial dalam
membahas persoalan pilpres memperlihatkan
bahwa khalayak pengguna media sosial tidak
terlalu menaruh perhatian pada isu-isu seputar
Pemilu Presiden Tahun 2009. Secara tidak
langsung dapat dikatakan bahwa kondisi ini juga
dipengaruhi oleh tidak gencarnya kandidat pada
saat itu untuk melakukan kampanye melalui
media sosial.
Fenomena penggunaan media sosial pada
Data berdasarkan penghitungan oleh Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII),
http://www.apjii.or.id/v2/index.php/read/page/
halaman-data/9/statistik.html#, diakses pada tanggal
15 September 2013.
21
http://mediacenter.kpu.go.id/berita/643-dptpilpres-176367056-orang.html, diakses pada
tanggal 15 September 2013.
20
kalangan elit politik Indonesia justru mulai
menanjak setelah pilpres 2009 dilaksanakan.
Penggunaannya masih cenderung untuk
kebutuhan pribadi, seperti bersilaturahmi
dengan saudara, teman dan kerabat dengan
jarak yang jauh. Memaksimalkan penggunaan
media sosial untuk keperluan perannya sebagai
elit politik ataupun pejabat publik masih cukup
sulit ditemukan. Meskipun terdapat komunikasi
dengan konstituen, komunikasi yang terbentuk
lebih cenderung sekedar basa-basi, lebih banyak
seruan atas sebuah persoalan yang dihadapi
konstituen dalam kesehariannya, atau sebagai
“papan informasi” kepada khalayak terkait
kegiatan sang elit. Hal ini tentunya bukanlah
hal yang salah, namun sesungguhnya dapat
dikatakan sebagai kurang inovatifnya politisi
memanfaatkan ruang komunikasi dua arah yang
disediakan oleh media sosial. Keterbatasan
ruang dan waktu antara wakil rakyat dan
konstituennya sungguh dapat diatasi dengan
mudah melalui komunikasi pada media sosial
ini.
Jika dilihat dengan seksama pada fasilitas
yang ada di media sosial, komunikasi dua
arah lebih memungkinkan terjadi. Terdapat
ruang untuk memberikan komentar (feedback)
atas status (Facebook) dan posting-an tweet
(Twitter) yang dimasukkan oleh pemilik akun.
Sehingga pada akhirnya pemilik akun sendiri
juga akan melakukan respon balik atas feedback
yang telah terlebih dahulu diberikan oleh orang
lain. Kondisi yang saling memberikan respon
inilah yang dimaksudkan sebagai komunikasi
dua arah. Di samping tersedianya ruang untuk
berkomunikasi secara intensif, kapasitas untuk
membuka media sosial seperti Facebook
Media Siber Sebagai Alternatif Jembatan Komunikasi ... | Nina Andriana | 89
dan Twitter juga jauh lebih ringan, sehingga
pengguna internet dapat mengaksesnya
dengan mudah hanya melalui ponsel. Berbagai
keunggulan yang diberikan oleh media sosial
ini, masih dianggap sebagai kondisi yang
sebagaimana adanya, tanpa melihat fungsi lain
dari fasilitas yang disediakan untuk membentuk
interaksi interpersonal yang lebih aktarktif dan
dinamis.
sini. Sebagai bahan analisis, penulis mengutip
status Presiden SBY yang ditulis pada Tanggal
4 Oktober 2013, terkait penangkapan Ketua
MK Akil Mochtar oleh KPK. Berikut adalah
cuplikan dari pernyataan beliau di linimasanya.
Saya katakan kemarin, penangkapan
Ketua MK oleh KPK adalah tragedi politik
dan mencoreng nama negara Indonesia. Kita
memiliki 2 institusi yang kuat yaitu MK dan
KPK. Harapan rakyat amat tinggi. Sepatutnya
kepercayaan rakyat tidak dicederai. Sesuai
UUD 1945, putusan MK final. Berarti harus
dijalankan oleh siapapun. Bayangkan kalau
salah. Bayangkan kalau ada korupsinya.
Perkara yang ditangani MK sangat penting,
tentang undang-undang, sengketa lembaga
negara dan sengketa pemilu, dan pembubaran
parpol. Mengingat krisis kepercayaan
terhadap MK, besok saya mengundang Ketua
MPR, DPR, DPD, MA, KY dan BPK untuk
membahas situasi ini. Saya ingin mengajak
para pimpinan lembaga negara tersebut untuk
memikirkan masa depan MK, yang bisa
menjaga tegaknya kebenaran dan keadilan.
Juga memikirkan bagaimana MK bisa kredibel
di mata rakyat, karena rakyat bisa tidak percaya
lagi. Meskipun kejadian itu ulah oknum. Perlu
pula kita pikirkan bagaimana persyaratan
dan mekanisme pemilihan Hakim Konstitusi.
Kalau perlu kita atur dalam Undang-undang.
Kita ingin MK menjadi benteng konstitusi dan
meluruskan kehidupan bernegara yang dinilai
menyimpang. Tanggung jawabnya sangat
besar. Bagi saudara yang ingin memberikan
rekomendasi singkat tentang masa depan
MK yang kita harapkan, silahkan #SaranMK.
*SBY*26
Merujuk pada judul artikel ini yang
mengusung konsep presidensial, maka sudah
sepatutnya jika kita menelaah bagaimana
pemimpin tertinggi di negara ini melihat
peluang media sosial untuk menjembatani jarak
dan ruang terbatas yang ia miliki ketika hendak
berkomunikasi dengan pemilih/rakyatnya.
Presiden Indonesia terpilih 2009-2014, Soesilo
Bambang Yudhoyono pada 2013 yang lalu
merilis akun Twitter, Facebook dan fanpage
miliknya di Youtube.22 Akun Twitter SBY telah
terlebih dahulu dirilis pada April 2013 yang
lalu, dengan nama SBYudhono.23 Nama yang
sama juga beliau gunakan pada akun fecebook
yang beliau miliki. Dalam keterangan terkait
pengelolaan akun tersebut, pada sisi kiri dikolom
“About” tertulis Fan page resmi Presiden Ke-6
RI (2004-2014) Susilo Bambang Yudhoyono.
Dikelola oleh Staf Pribadi. Posting dari Susilo
Bambang Yudhoyono ditandai *SBY*.24 Di
sebelah nama profil SBY pun terdapat tanda
centang. Apabila pointer mouse didekatkan ke
lambang tersebut, akan muncul kata “Verified
Page” yang menandakan bahwa halaman ini
sudah dikonfirmasikan langsung oleh pihak
Facebook yang juga dapat dimaknai bahwa ini
sebagai situs resmi milik Presiden SBY.25
Pada akun Facebook yang dimiliki oleh
Presiden SBY, penulis mencoba melihat
apakah komunikasi dua arah juga tercipta di
Pemberitaan terkait rilis akun media sosial yang
dimiliki oleh Presiden SBY ini dapat dilihat pada
http://tekno.kompas.com/read/2013/07/05/1845346/
inikah.akun.facebook.dan.youtube.presiden.sby,
diakses pada tanggal 17 September 2013.
23
Dengan tautan https://twitter.com/SBYudhoyono/
with_replies, diakses pada tanggal 17 September
2013.
24
Lihat https://www.facebook.com/SBYudhoyono,
diakses pada tanggal 17 September 2013.
25
Tanda konfirmasi ini diletakkan mengingat ada
beberapa nama akun Facebook yang menggunakan
nama yang hampir sama dengan nama Presiden SBY,
meskipun akun tersebut tidak dibuat secara resmi
oleh SBY.
22
Perlu dijelaskan bahwa, setiap status yang
diakhiri oleh *SBY*, menandakan bahwa status
tersebut ditulis langsung oleh Presiden SBY.
Penelusuran dilanjutkan dengan melihat kolom
comment pada status tersebut. Tercatat 9.543
orang yang memberikan komentarnya terkait
kasus MK yang saat itu hangat diperbicangkan.
Sebagian besar berisi tentang hukuman berat
yang mestinya telah diberlakukan bagi para
koruptor, bahkan sampai dengan hukuman mati.
Dari kesemua komentar tersebut, tak ada satupun
yang direspon oleh Presiden SBY. Tidak terlihat
sebuah suasana diskusi antara Presiden SBY
Dikutip dari wall akun Facebook SBYudhoyono,
https://www.facebook.com/SBYudhoyono, diakses
pada tanggal 17 September 2013..
26
90 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
dengan “friends” nya untuk menemukan solusi
terbaik membenahi MK yang telah tercoreng
kehormatannya.
Pada saat yang sama penulis juga mencoba
menelusuri isu yang sama dalam akun Twitter
yang dimiliki oleh sang presiden. Tanggal
4 hingga 5 Oktober 2013, SBY secara aktif
mengirimkan tweet yang juga berisi tentang
persoalan penangkapan Akil Mochtar oleh KPK.
Namun, kondisi laman Twitter yang tidak seperti
Facebook27 menyebabkan para “followers” dari
akun @SBYudhoyono hanya bisa memberikan
umpan balik dengan melakukan retweet, yang
mana di akhir retweet memberikan tanda pagar
(#) sehingga penerima retweet dapat langsung
mengidentifikasi bahwa isi pesan berada pada
isu atau tema yang sama. Jadi, dapat dikatakan
komunikasi yang tercipta di ruang Twitter ini
sendiri tidak berada pada kondisi yang sama,
di mana semua pihak tidak berada pada kolom
dan ruang yang sama untuk memberikan
komentarnya. Setiap retweet yang diberikan
oleh pengguna Twitter sebagai follower SBY
akan masuk secara bergantian dan seringkali
bertumpuk. Sehingga pemilik akun yang berada
di dalam lingkaran tersebut tidak memiliki
kesempatan untuk melihatnya satu per satu.
Memperhatikan umpan balik dari
status Facebook maupun tweet pada Twitter,
tampak bahwa pihak-pihak yang memberikan
komentar belum berada dalam perspektif
mengusung secara bersama sebuah isu khusus,
yang kemudian menghadirkan argumentasiargumentasi rasional, sehingga pada akhirnya
akan memberikan ruang hadirnya solusi
cerdas terkait persoalan yang dikomentari.
Dengan demikian, peluang yang dijanjikan
oleh media baru ini terkait ruang publik
demokrasi deliberatif tampaknya masih belum
terimplementasikan dengan baik pada contoh
kasus di atas.
Pada laman Facebook, kolom untuk memberikan
komentar terhadap status yang dibuat oleh pemilik
akun, berada pada satu halaman yang sama dan tidak
diselingi oleh status dari pemilik akun yang menjadi
teman dari pihak yang memberikan komentar.
Hal ini berbeda dengan apa yang ada di Twitter.
Mengingat laman Twitter menampilkan satu per satu
dari komentar atas kolom “what’s happening” yang
dibuat oleh pemilik akun, dan kolom ini akan terus
ditimpa dan diselingi oleh “what’s happening” yang
dibuat oleh pemilik lain.
27
Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas tampak belum
ada sebuah terobosan yang terpikirkan oleh
elit ataupun lembaga demokrasi di Indonesia,
ketika membuat situs pribadi atau lembaganya,
akan mengarah pada ruang publik yang
memberikan jaminan seluruh anggotanya untuk
berdiskusi secara rasional dan terarah. Ruang
publik demokrasi deliberatif yang diharapkan
oleh Habermas tentu sangat jauh berbeda
dengan apa yang saat ini berkembang di
Indonesia. Demokrasi deliberatif dalam sebuah
ruang publik di dunia maya mensyaratkan
adanya keterlibatan semua pihak, dengan latar
belakang apapun, sepanjang dapat memberikan
argumentasi yang logis dan rasional. Kemudian
juga mensyaratkan keanggotaan yang tidak
cenderung eksklusif dan menjunjung tinggi
peradaban manusia dalam hal kesantunan.
Meskipun Indonesia dikenal sebagai
salah satu negara yang sukses melembagakan
demokrasi melalui pergantian kekuasaan
melalui pemilihan umum berkala, dilindunginya
hak berpendapat, terdapatnya lembaga politik
(partai politik), namun mekanisme pengawasan
terhadap kinerja pemerintahan dan parlemen
yang bertanggung jawab pada rakyatnya masih
cukup sulit untuk dilembagakan dalam citacita demokrasi yang ideal. Peran ruang publik
sebagai salah satu sarana pengimplementasian
demokrasi deliberatif masih belum benar-benar
dimaksimalkan, khususnya dengan pemanfaatan
media siber. Ruang publik membuat rakyat
akan benar-benar merasakan bahwa mereka
tidak hanya menjadi objek kebijakan tetapi
juga menjadi salah satu aktor yang memberikan
pengaruh terhadap perumusan kebijakan. Jadi,
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat akan
sepenuhnya dapat diwujudkan. Tentunya dengan
terbukanya akses terhadap media internet bagi
seluruh masyarakat, memberikan peluang yang
cukup menjanjikan demi terciptanya ruang
publik demokrasi deliberatif di Indonesia.
Tentu saja, mewujudkan hal tersebut tidaklah
semudah membalikkan telapak tangan. Banyak
hambatan yang akan dihadapi, namun akan
banyak peluang yang bisa dimaksimalkan untuk
mengatasi hambatan-hambatan yang ada.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
menghadirkan ruang publik yang memiliki
prinsip demokrasi deliberatif di media siber
tidaklah mudah. Sebelum media internet hadir
Media Siber Sebagai Alternatif Jembatan Komunikasi ... | Nina Andriana | 91
pun, ruang publik dalam konteks tatap muka
secara langsung yang ideal saat ini pun sulit
diwujudkan. Namun, perlu diingat banyak faktor
yang menjadi penghambat dibentuknya ruang
publik di kehidupan nyata, justru dapat diatasi
dengan kehadiran dunia maya. Contohnya saja
persoalan jarak dan waktu, meskipun seseorang
berada di ujung timur Indonesia ia tetap dapat
berkomunikasi dengan saudaranya secara
langsung yang berada di ujung barat Indonesia.
Kemudian persoalan psikologis anggota diskusi
yang dilatarbelakangi oleh usia, pendidikan
dan sosial budaya dapat ditutupi oleh dunia
maya. Tidak jarang, seseorang yang lebih muda
usianya atau memiliki riwayat pendidikan yang
tidak terlalu cemerlang, merasa rendah diri untuk
berdiskusi secara langsung dengan orang-orang
dengan usia yang lebih tua dan pendidikan yang
lebih baik. Prinsip kesetaraan menjadi penting
dalam berdiskusi di dunia media siber.
Inilah sebenarnya yang dapat dilihat sebagai
peluang-peluang yang bisa dimanfaatkan para
penggiat demokrasi untuk memanfaatkan dunia
maya. Peluang lainnya dapat penulis gambarkan
dalam beberapa rumusan berikut ini. Pertama,
jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini
semakin bertambah. Hingga tahun 2013 ini,
pengguna internet di Indonesia berdasarkan data
yang dikeluarkan oleh APJII mencapai sekitar
80 jutaan netizen. Di mana rata-rata pengguna
internet ini adalah tipe netizen yang aktif di
media sosial. Pembentukan grup yang fokus
pada isu tertentu pada akun Facebook dapat
menjadi salah satu peluang memaksimalkan
media sosial untuk menciptakan ruang publik
itu sendiri.
Kedua, berdasarkan data yang dikeluarkan
oleh APJII juga, jumlah penyedia jasa internet
hingga saat ini semakin bertambah. Tak hanya
menjangkau masyarakat kelas menengah di
wilayah perkotaan, tetapi juga masyarakat kelas
bawah yang berada di pedesaan. Ketiga, semakin
terjangkaunya harga perangkat elektronik
penunjang akses internet. Kondisi seperti ini
tentunya diharapkan akan mampu memudahkan
masyarakat dari kelas ekonomi apapun untuk
terlibat aktif dalam media siber. Peluang
keempat, yang juga menjadi perhatian penting
adalah kenyataan bahwa semakin meningkatnya
tingkat melek politik di masyarakat, khususnya
pembicaraan yang berlalu-lalang di dunia maya.
Kondisi ini dapat dibuktikan dengan semakin
tingginya perhatian pengguna internet terhadap
persoalan-persoalan yang menyangkut etika
dari politisi dan lembaga pemerintahan seperti
yang penulis diskusikan pada pembahasan
sebelumnya.
Di samping cukup banyak peluang yang
dapat menunjang kehadiran ruang publik dan
demokrasi deliberatif di Indonesia, tidak sedikit
pula hambatan yang mampu menutupi peluangpeluang yang telah disebutkan sebelumnya.
Pertama, meskipun jangkauan dari jaringan
internet telah menyentuh seluruh kelas sosial
yang ada di dalam maysrakat, namuan pengguna
aktif dari internet sendiri di Indonesia masih
pada golongan kelas menengah dan terpelajar.
Khususnya yang mampu memanfaatkan
peluang social network untuk meningkatkan
kualitas hidupnya. Kondisi ini setidaknya
juga disebabkan oleh masih tingginya biaya
yang dikeluarkan untuk mendapatkan akses
internet yang memadai dan berkecepatan
tinggi. Sehingga golongan menengah ke atas
menjadi kelompok masyarakat yang memiliki
kemampuan untuk mengeluarkan biaya yang
relatif tidak murah tersebut. Sehingga hanya
kelompok inilah yang memiliki ruang akses
yang lebih memadai untuk terlibat aktif dalam
perbincangan politik yang intens di dunia maya.
Kendala kedua adalah, jaringan internet
yang saat ini sudah ada di Indonesia belum mampu
menjangkau secara cepat dan menyeluruh ke
wilayah terpencil yang justru jadi sasaran empuk
manipulasi kebijakan yang mengatasnamakan
kesejahteraan rakyat. Hal ketiga yang menjadi
hambatan dalam memanfaatkan media siber
untuk menciptakan ruang publik deliberatif
adalah iklim berdemokrasi yang sehat, dalam
artian tidak menghujat, masih cukup sulit untuk
diimplementasikan. Masih banyak pengguna
internet yang mengasosiasikan kebebasan
dalam demokrasi sebagai kebebasan mutlak
dalam berpendapat. Kebebasan yang terkadang
mengabaikan cara-cara yang cerdas dan santun,
tidak tendensius, berpendapat tidak berdasarkan
data valid dan yang terpenting adalah kritik
yang disampaikan tidak mengarah kepada
upaya perbaikan terhadap sebuah kondisi atau
seseorang yang dianggap tidak baik.
Meskipun diskusi dalam ruang publik di
media internet dapat dibangun sedikit demi
sedikit, hal yang juga perlu diingat adalah ruang
publik demokrasi deliberatif tetap memerlukan
aturan-aturan main dalam berdiskusi. Pemimpin
92 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
diskusi harus tetap ada untuk mengawal
berjalannya diskusi sehingga dapat mencegah
munculnya pendapat-pendapat yang bernuansa
saling merendahkan, menghina, mengabaikan
penghormatan terhadap unsur SARA (Suku,
Agama, Ras dan Golongan).
Faishal, Muhammad. 2007. “Institusionalisasi
Demokrasi Deliberatif di Indonesia:
Sebuah Pencarian Teoretik”. Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Vol. 11, No. 1.
Dari seluruh peluang maupun hambatan
yang telah dijelaskan di atas, menghadirkan
ruang publik demokrasi deliberatif di dunia
maya bukan pekerjaan mudah. Hal terpenting
yang patut menjadi perhatian adalah merubah
paradigma elit dan pemimpin bangsa, bahwa
rakyat adalah bagian yang tidak terpisahkan
dari berdemokrasi. Demokrasi yang mendekati
ideal adalah demokrasi yang tidak hanya
berhenti pada demokrasi prosedural, namun
berlanjut pada demokrasi substansial. Hal ini
dapat dicapai dengan langkah memadukan gaya
pemerintahan top-down dan bottom-up melalui
media siber.
Pabottingi, Mochtar. 2002. Lima Palang
Demokrasi Satu Solusi: Rasionalitas dan
Otosentrisitas dari Sisi Historis-Politik
di Indonesia. Orasi Ilmiah Pengukuhan
sebagai Ahli Peneliti Utama Puslitbang
Politik dan Kewilayahan, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Daftar Pustaka
Buku
Bene, In dan Hendar Putranto (Ed), 2008, Cultural
Studies: Tantangan bagi Teori-teori Besar
Kebudayaan, Depok: Koekoesan.
Budiarjo, Budiarjo, 2009, Dasar-dasar Ilmu
Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Dijk, Jan Van, 2006, The Network Society: Social
Aspects of New Media. (London: Sage).
Elster, John (Ed), 1998, Deliberatif Democracy,
United Kingdom: Cambridge University
Press.
Habermas, Jurgen, 1987, The Theory of
Communicative Action Volume Two:
Lifeworld and System: A Critique of
Functionalist Reason, (a.b Thomas
McCarthy), Boston: Beacon Press.
Rheinghold, Howard, 1994, Virtual Community:
Finding Connection in Computerized
World, London: Secker & Warburg.
Webster, Frank, 1995, Theories of Information
Society, London: Routledge.
Jurnal
Dahlberg, Lincoln. 2007. “The Internet, Deliberatif
Democracy and Power: Radicalizing Publik
Sphere”. International Journal of Media
and Cultural Politics Vol. 3, No. 1.
Laporan dan Makalah
Surat Kabar dan Website
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia.
2013. “Indonesia Internet Users”. http://
www.apjii.or.id/v2/index.php/read/page/
halaman-data/9/statistik.html#.
Chambers,
Simone.
“Deliberatif
Democratic
Theory”.
http://www.
chinesedemocratization.com/
materials/4Simone%20Chambers%20
on%20%20deliberatif%20democracy.pdf.
Facebook. 2013. //www.facebook.com/
SBYudhoyono.
Kompas.com. 2013. “Inikah Akun Facebook dan
YouTube Presiden SBY?”. http://tekno.
kompas.com/read/2013/07/05/ 1845346/
inikah.akun.facebook.dan.youtube.
presiden.sby.
Media Center KPU. 2013. “634 DPT Pilpres”.
http://mediacenter.kpu.go.id/berita/643dpt-pilpres-176367056-orang.html.
Nugroho, Yanuar. “Ketiga kelompok tersebut
menguasai 77 persen peta kepemilikan
media di Indonesia,” katanya. http://
www.tempo.co/read/news/2014/05/22
/090579547/Industri-Media-Massa-MakinTerkonsentrasi.
Pew Research Center. 2012. “How the
presidential Candidates Use the Web and
Social Media”. http://www.journalism.
org/2012/08/15/how-presidentialcandidates-use-web-and-social-media/.
Transparency Internasional. 2013. “Corruption
Perception Index 2013”. http://www.ti.or.
id/index.php/publication/ 2013/12/03/
corruption-perception-index-2013.
Twitter. 2013. https://twitter.com/SBYudhoyono/
with_replies.
Media Siber Sebagai Alternatif Jembatan Komunikasi ... | Nina Andriana | 93
.
94 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
MENCARI SISTEM PEMILU DAN KEPARTAIAN
YANG MEMPERKUAT SISTEM PRESIDENSIAL
THE SEEKING OF ELECTION AND PARTY SYSTEM
TO STRENGHTHENING PRESIDENTIAL SYSTEM
Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim
Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta
E-mail: [email protected]; [email protected]
Diterima: 24 Juli 2013; direvisi: 16 Agustus 2013; disetujui: 2 Desember 2013
Abstract
Attempts to find and improve the effectiveness of the electoral system and political parties for the presidential
democracy require a correction process of current electoral and the political party system. The improvement
process is intended to repair and arrange the electoral system, the party system which strengthen the presidential
system. This study recommends that the improvement should be directed to the practice of multi-party system that
is able to produce a relatively low fragmentation of the parties in parliament. Low fragmentation of the parties
in parliament, in turn, can condition the establishment of effective decision-making process. In this context, the
electoral system should be ideal and thougtfully constructed to be able to create moderate political parties (5-7
parties) naturally and encouraged the emergence of the general election winner party in parliament. Therefore, it is
necessary to engineer electoralsystem change, fromproportional system to another system. This study is exploring
the feasibility of the mixed electoral system, to what extent it will be suitable for Indonesia. From the preliminary
conclusion, the improvement of the electoral system can be done by giving space to the practice of mixed system,
through the implementation of Mixed Member Majoritarian (MMM) which has been proven, theoretically and
practically by country experiences to create the emergence of majority party of parliament.
Keywords: election system, party system, presidential system and feasibility of a mixed electoral system.
Abstrak
Upaya untuk mencari dan membenahi sistem pemilu dan partai politik yang efektif bagi demokrasi
presidensial, membutuhkan proses koreksi dari sistem pemilu dan kepartaian yang saat ini dianut. Proses perbaikan
itu dimaksudkan agar terjadi perbaikan dan penataan sistem pemilu, sistem kepartaian yang memperkuat sistem
presidensial. Kajian ini merekomendasikan bahwa perbaikan sistem pemilu perlu diarahkan pada terjadinya
praktik sistem multipartai yang mampu menghasilkan tingkat fragmentasi partai yang relatif rendah di parlemen.
Rendahnya tingkat fragmentasi partai di parlemen pada gilirannya dapat mengkondisikan terciptanya proses
pengambilan keputusan yang relatif cepat dan tidak berlarut-larut. Dalam konteks itu, sistem pemilu perlu dibangun
secara sungguh-sungguh dan ideal agar mampu menciptakan partai politik yang moderat (5-7 partai) secara
alamiah dan mendorong lahirnya partai pemenang pemilu minimal di parlemen. Untuk kebutuhan itu diperlukan
rekayasa perubahan sistem pemilu dari sistem proporsional ke sistem yang lain. Kajian ini sedang menjajaki
tingkat fisibilitas sistem pemilu campuran, sejauh mana tingkat kecocokannya bagi Indoenesia. Dari kesimpulan
awal, perbaikian sistem pemilu dapat dilakukan melalui pemberian ruang penggunaan sistem campuran, melalui
penerapan Mixed Member Majoritarian (MMM) yang secara teoretik dan pengalaman negara-negara lain telah
terbukti dapat menciptakan munculnya partai mayoritas di parlemen.
Kata kunci: Sistem pemilu, sistem kepartaian, sistem presidensial dan fisibilitas sistem pemilu campuran
Mencari Sistem Pemilu dan Kepartaian ... | Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim | 95
Pendahuluan
Kajian ini meletakkan sistem pemilu dan
kepartaian
dalam
kerangka
demokrasi
presidensial.
Ada sejumlah alasan yang
mendasari kerangka demokrasi presidensial
dalam mengkaji sistem pemilu dan kepartaian,
antara lain: Pertama, terlepas dari kelemahan
amandemen UUD 1945 pertama hingga keempat,
sistem presidensial telah menjadi pilihan politik
bangsa yang tidak mungkin digugat kembali.
Kedua, jika dikaitkan dengan rentang geografis
Indonesia yang begitu luas, sangat heterogen
secara politik dan kultural, serta obsesi
desentralisasi pemerintahan bagi sejumlah
daerah, sistem presidensial masih merupakan
pilihan yang tepat.1 Ketiga, pengalaman historis
selama demokrasi parlementer yang dianggap
gaduh dengan terjadinya “kegagalan” politik
melalui praktik sistem parlementer yang
cenderung tidak stabil pada periode 1950-an,
menjadi salah satu pertimbangan mengapa
sistem presidensial tetap menjadi pilihan utama
sebagai sistem pemerintahan.
Ketiga alasan itu sekaligus mengukuhkan
bahwa sistem pemilu dan kepartaian tidak
bekerja dalam ruang hampa, kedua-duanya
bekerja dalam ruang sistem presidensial di
era reformasi. Demokrasi presidensial yang
dimaksud adalah bekerjanya institusi-institusi
politik seperti partai politik, pemilu, perwakilan,
dan presiden dalam sistem politik Indonesia,
di mana arah kerja sistem politik secara ideal
tunduk pada prinsip-prinsip dasar sistem
presidensial, dengan berbagai penyesuaian yang
telah diatur oleh konstitusi. Konsep demokrasi
presidensial dengan demikian mengarah pada
suatu bentuk pemerintahan yang tercipta
melalui proses demokratis. Robert A. Dahl
mengemukakan, paling kurang ada lima kriteria
yang harus dipenuhi oleh suatu negara-bangsa
dalam proses demokrasi sehingga terbentuk
pemerintahan
yang
bisa
dikategorikan
sebagai demokrasi --atau yang secara spesifik
disebutnya sebagai poliarki. Kelima kriteria
tersebut adalah persamaan hak pilih, partisipasi
efektif, pembeberan kebenaran, kontrol
terhadap agenda, dan pencakupan. Selanjutnya
Dahl mengatakan ada tujuh lembaga demokrasi
yang harus ada dalam rangka proses demokrasi,
Tim LIPI, Menuju Sistem Pemerintahan
Presidensial yang Demokratis, Kuat dan Efektif,
(Jakarta: Kerja sama Pusat Penelitian Politik LIPI
dan Kesbangpol Depdagri RI, 2007), hlm. 10.
1
yaitu (1) para pejabat yang dipilih; (2) pemilu
yang bebas dan adil; (3) hak untuk memilih
yang inklusif; (4) hak dipilih atau dicalonkan
dalam pemilu; (5) kebebasan menyatakan
pendapat; (6) hak mendapat informasi
alternatif; dan (7) kebebasan berserikat2. Secara
lebih spesifik, Juan Linz mengatakan bahwa
suatu sistem dapat dianggap demokratis, “jika
ia memungkinkan dirumuskannya secara
bebas preferensi-preferensi politik, dengan
menggunakan kebebasan-kebebasan dasar,
yaitu untuk berserikat, untuk mendapatkan
informasi, dan untuk berkomunikasi, dengan
tujuan membuka persaingan bebas di antara
para pemimpin untuk mendapatkan keabsahan
pada jangka waktu tertentu dengan saranasarana antikekerasan, tanpa menyingkirkan
jabatan publik dari setiap peluang persaingan
atau melarang anggota komunitas politik mana
pun untuk menunjukkan preferensi mereka.”3
Konsekuensi dari itu semua, hubungan
antara sistem pemilu, kepartaian dan demokrasi
presidensial sangat erat satu sama lain. Hubungan
itu antara lain terlihat dari: pertama, apakah
pemilu menghasilkan kekuatan mayoritas di
parlemen atau minimal menumbuhkan bentuk
koalisi yang lebih stabil dalam melahirkan
sistem presidensial yang kuat dan efisien. Kedua,
apakah sistem pemilu—dalam ruang bikameral
(DPR dan DPD) semakin memperkokoh
bangunan demokrasi presidensial. Ketiga,
apakah hasil pemilu melahirkan perwakilan
politik yang mendorong stabilitas politik dalam
upaya checks and balances antara eksekutif
dan legislatif. Keempat, apakah partai sebagai
salah satu pilar utama demokrasi presidensial
bekerja dan berperan dalam kerangka sistem
kepartaian—dalam berkompetisi dan bekerja
sama—dalam ruang sistem presidensial, yang
didalamnya terdapat proses intermediasi yang
menghubungkan antara pembilahan sosial dan
pemerintahan, masyarakat dan negara, serta
dalam proses-proses distribusi kekuasaan
negara.
Keempat hal mendasar itu merupakan
Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengritiknya,
Jilid II, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992),
hlm. 17-21.
3
Juan Linz (1975) seperti dikutip Richard Gunther,
“Membuka Dialog Mengenai Pilihan Institusional
di Indonesia: Sistem Presidensial, Parlementer, dan
Semipresidensial”, dalam Juan Linz, et. al., Menjauhi
Demokrasi Kaum Penjahat, (Bandung: Mizan-LIPIFord Foundation, 2001), hlm.125-162.
2
96 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
prinsip dan bangunan utama hubungan ketiga
sistem antara sistem pemilu, sistem kepartaian dan
sistem presidensial. Dari masing-masing sistem
sebenarnya memiliki cara kerja sendiri. Secara
teoretik, sistem presidensial selain memiliki
keunggulan juga sering dipersepsikan memiliki
tiga kelemahan utama, yaitu: (1) kemungkinan
munculnya kelumpuhan atau jalan buntu politik
akibat konflik eksekutif-legislatif—sebagai
akibat independensi masing-masing lembaga;
(2) kekakuan sistemik akibat masa jabatan
eksekutif legislatif yang bersifat tetap; dan (3)
prinsip “pemenang mengambil semua” yang
inheren di dalam sistem presidensial.4 Watak
rapuh itu menyiratkan suatu kebutuhan bersama
dimana para perancang perubahan sistem
pemilu, kepartaian dan sistem presidensial perlu
menyadari hubungan ketiganya agar desain
yang diciptakan menghasilkan formula solusi,
bukan justru menimbulkan persoalan baru.
Selain arti penting hubungan ketiga
sistem yang telah dijelaskan di atas, kajian
ini meletakkan perubahan sistem pemilu
dan kepartaian dalam kerangka demokrasi
presidensial, karena alasan-alasan tertentu,
antara lain: Pertama, dibutuhkan suatu analisis
tentang faktor-faktor krusial sistem pemilu dan
kepartaian jika dikaitkan dengan upaya untuk
membangun demokrasi presidensial yang
terkonsolidasi. Kedua; perlunya kebutuhan
untuk memetakan problematik format pemilu
yang melatarbelakangi tidak optimalnya kinerja
demokrasi presidensial dan pemerintahan yang
dihasilkan, perwakilan dan keparlemenan, serta
kepartaian. Ketiga; kebutuhan untuk mencari
alternatif hubungan antara sistem pemilu dan
kepartaian yang mendorong kuatnya praktik
demokrasi presidensial dan memperbaiki
jebakan sistem presidensial yang rapuh.
Keempat, adanya evaluasi sistem pemilu dan
kepartaian dalam rangka untuk memperkuat
demokrasi presidensial yang sudah ada.
Proses pencarian sistem pemilu dan
kepartaian yang mendukung kerangka kerja
demokrasi presidensial dianggap sebagai titik
kunci atau krusial. Sebab, reformasi sistem
pemilu, kepartaian dan presidensial tanpa
suatu arah dan tujuan yang menopang kuatnya
demokrasi presidensial, justru akan memperkuat
watak rapuhnya, ketimbang menopang kuatnya
fondasi demokrasi presidensial. Dengan
kata lain, akan terjadi jebakan terus menerus
4
Ibid.
akibat watak rapuh sistem presidensial yang
dikombinasikan dengan multipartai dan sistem
pemilu proporsional.
Oleh karena itu, kajian tim pemilu P2P
LIPI pada tahun 2012 ini akan melakukan
sebuah proses koreksi sekaligus pencarian
sistem pemilu DPR yang ideal, sebagai upaya
perbaikan dan penataan hubungan antarsistem
yang sebelumnya telah dipraktikkan. Hal itu
antara lain diakibatkan oleh belum selesaianya
reformasi electoral sistem dan kepartaian sejak
1998 hingga 2009. Salah satu masalah yang
masih tersisa antara lain adalah bentuk hubungan
sistem pemilu dan kepartaian yang idealnya
efektif, saling berkaitan satu sama lain dalam
menopang demokrasi presidensial di Indonesia.
Dalam praktinya, kombinasi pemilu proporsional
dengan sistem multipartai yang diterapkan di
Indonesia, awalnya memang diharapkan dapat
mengoreksi sistem pemilu dan kepartaian di
masa Orde Baru, namun dalam kenyatannya,
sejumlah kelemahan sistem pemilu dan
kepartaian justru memperparah hubungannya
dengan memperkuat sistem presidensial.5
Perubahan yang terjadi justru memprihatinkan,
karena perubahan kerangka sistem pemilu tidak
sinergis dengan upaya penataan partai politik,
baik dari segi kelembagaan maupun dari segi
fungsionalnya. Tidak terdapat hubungan yang
tegas antara prinsip-prinsip pembangunan
sistem pemilu dengan penguatan kelembagaan
partai politik dan fungsi-fungsi partai politik.
Sistem kepartaian juga masih menyisakan
sejumlah persoalan, berkaitan dengan kualitas
kepengurusan, pembelahan ideologi, persoalan
kaderisasi, pendanaan dan sebagainya.
Padahal melalui partailah kualitas demokrasi
presidensial juga ditentukan, khususnya pada
bentuk dan format perwakilan politik yang akan
dihasilkan di dalam pemilihan umum.
Dari berbagai masalah-masalah yang
tersisa di atas, kajian ini secara umum akan
memfokuskan pembahasannya pada tiga
masalah utama, yaitu: (1) Apa yang salah
dengan desain reformasi pemilu dan kepartaian
yang telah berlangsung sejak 1998, sepertinya
desain pemilu dan kepartaian di Indonesia
relatif kurang mampu mendorong sebuah
proses perbaikan demokrasi substansial, dan
demokrasi presidensial yang terkonsolidasi
Di antara kajian-kajian itu secara rutin dilakukan
oleh Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
5
Mencari Sistem Pemilu dan Kepartaian ... | Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim | 97
secara mapan? (2) Apakah reformasi sistem
pemilu dan kepartaian sejak 1998 dirancang
untuk mendukung demokrasi presidensial,
dengan target utamanya adalah konsolidasi
demokrasi presidensial?; dan (3) Adakah
korelasi substansial perubahan sistem pemilu
dan kepartaian sejak 1998 dengan demokrasi
presidensial yang terkonsolidasi?
Problematika Sistem Pemilu dan
Kepartaian Era Reformasi
Proses pencarian sistem pemilu dan kepartaian
yang mendukung kerangka kerja demokrasi
presidensial dianggap sebagai titik kunci yang
paling awal dalam memperbaiki hubungan
ketiga sistem. Reformasi sistem pemilu
dan kepartaian tanpa arah dan tujuan untuk
menopang kuatnya demokrasi presidensial
justru akan merapuhkan fondasi demokrasi
presidensial itu sendiri. Reformasi sistem
pemilu dan kepartaian sejak 1998 terjadi secara
tergesa-gesa, menimbulkan efek lahirnya
praktik “demokrasi kaum penjahat.”6 Partaipartai terlalu dominan, mirip era multipartai
di Indonesia. Selain karena adanya residu
problematika partai warisan Orba, juga karena
adanya kemudahan dalam mendirikan partai
politik. Menjelang Pemilu 1999 misalnya, telah
berdiri hampir 200-an partai politik, dan yang
menjadi kontestan pemilu sebanyak 48 partai.
Kemudahan pendirian partai-partai politik
dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu
yang belum tentu segaris dengan perjuangan
reformasi 1998.
Pemilu 1999 akhirnya menghasilkan 48
partai yang mewakili gagasan pengelompokan
partai atas dasar agama dan kebangsaan (sumbu
vertikal) dan sumbu horizontal mewakili kutub
partai atas dasar developmentalisme di satu
pihak, dan sosialisme radikal di pihak lain.7
Penggolongan ini mirip dengan yang dilakukan
Kevin Evans, khususnya dari aspek kiri-kanan
(horizontal) dan atas bawah (vertikal), di mana
kiri merupakan pengelompokan partai-partai
sekuler dan kanan merupakan pengelompokan
partai-partai Islamis (atas dasar agama).
Lihat lebih jauh Juan J. Linz et al. Menjauhi
Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan
Negara-Negara Lain, (Bandung: Mizan, 2001).
7
Daniel Dhakidae, Partai-Partai Politik Indonesia:
Ideologi, Strategi, dan Program, (Jakarta: Kompas,
1999), hlm. 36.
6
Sebaliknya, garis vertikal ke atas merupakan
partai yang cenderung bersifat elitis dan garis
ke bawah adalah partai yang bersifat populis.8
Tipologi partai tersebut berlanjut pada Pemilu
2004 dan Pemilu 2009, yang jika dibagi atas
dasar vertikal dan horizontal juga mewakili
penggolongan yang hampir sama.
Jika dikategorikan pada perolehan
suaranya terdapat tiga kelompok, yaitu partai
besar, partai menengah dan partai gurem. Partaipartai atas dasar kebangsaan cenderung menjadi
partai besar, sementara partai menengah dan
gurem diisi oleh partai-partai bergaris agama
dan sebagian berideologi kiri. Dari segi sistem,
reformasi di sektor pemilu dan kepartaian,
memberikan sejumlah perkembangan yang
menarik. Sejak disahkannya UU No. 2 Tahun
1999 tentang Partai Politik, UU No. 3 Tahun
1999 tentang Pemilihan Umum dan UU No. 4
Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, dan DPRD, pencarian konseptual
untuk membenahi sistem pemilu proporsional
dan kepartaian terus dilakukan. Hasilnya, pilihan
atas sistem proporsional tetap dipertahankan.
Bedanya terdapat penambahan sejumlah prinsip
sistem lain sebagai bagian dalam membenahi
sistem proporsional. Hal itu, terlihat dari mulai
diundangkannya paket UU politik tahun 1998,
2003 dan 2008 (Partai Politik, Pemilihan Umum
DPR, DPD dan DPRD, serta UU Susunan dan
Kedudukan DPR, DPD, dan DPRD).9
Untuk membenahi kekurangan sistem
proporsional di masa Orba, misalnya, pada
Pemilu 1999 diterapkan model sistem campuran
(hybrid).10 Sistem proporsional yang digunakan
memang masih tertutup, namun mulai ada
adopsi sebagian prinsip majoritarian dalam
sistem proporsional. Lingkup daerah pemilihan
untuk DPR dan DPRD provinsi adalah provinsi,
sedangkan wilayah kabupaten/kota merupakan
daerah pemilihan DPRD kabupaten/kota.
Prinsip majoritarian yang diterapkan ialah
pembagian kursi setiap daerah pemilihan
kepada partai politik peserta pemilu dilakukan
berdasarkan sistem proporsional, sedangkan
Kevin Reymond Evans, Sejarah Pemilu dan
Partai Politik di Indonesia, (Jakarta: PT. Arise
Consultancies, 2003), hlm. 11.
9
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD pada 2004.
10
Mengenai hal ini dapat dilihat pada Kevin R. Evan,
“Sistem Baru, Suasana Baru Pemilu 1999 yang
Dinanti,” dalam Almanak Parpol Indonesia Pemilu
‘99.
8
98 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
pembagian kursi yang diperoleh partai di suatu
daerah pemilihan kepada kabupaten/kota atau
kecamatan dan kepada calon tetap dilakukan
mengikuti sistem majoritarian.11 Selain itu juga
mulai diterapkan konsep electoral threshold,
suatu ketentuan tentang jumlah kursi minimal
yang harus dicapai oleh suatu partai politik
perserta pemilu untuk mengikuti pemilu
berikutnya. Salah satu semangat perubahan saat
itu adalah untuk mendorong perubahan pemilu
ke arah yang lebih demokratis, langsung, umum,
bebas dan rahasia, yang tidak pernah terjadi
selama pemilu-pemilu di masa Orde Baru.
Dari segi proses pemilihan, terdapat dua prinsip
pemilu yang berbeda, dimana perwakilan daerah
yang dimanifestasikan dalam DPD dipilih atas
dasar prinsip majoritarian (distrik) berwakil
banyak. Sebagai representasi dari perwakilan
daerah, dengan masing-masing provinsi pada
DPD diwakili oleh empat orang, sementara
Dewan Perwakilan Rakyat dipilih atas dasar
prinsip proporsional “setengah” terbuka, dimana
ada peluang bagi pemilih untuk memilih nama
orang (walau bukan menjadi sebuah prinsip
utama) sebagai pemenentu konversi suara
menjadi kursi.
Setelah Pemilu 1999 berakhir, khususnya
pada Pemilu 2004 dan 2009, wacana untuk
memperbaiki sistem pemilu dan kepartaian terus
berlanjut. Salah satu isu mendasar yang tidak
pernah usang adalah mencari hubungan format
sistem pemilu dan kepartaian yang memiliki
representasi politik yang baik, demokratis,
akuntabel, dan melahirkan sosok wakil rakyat
yang kompeten dan berkualitas.
Perubahan sistem Pemilu 2004 juga telah
mendorong penggunaan sistem baru, walau
tidak diakui secara tegas yaitu penerapan sistem
proporsional terbuka,13 namun dalam praktik
dan implementasinya seperti yang dianut pada
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD pada
2004, tidak diterapkan secara penuh. Meskipun
telah ada perubahan sistem pemilu, dan mulai
diterapkannya untuk pertama kalinya pemilihan
presiden secara langsung, namun dari segi
capaiannya masih dianggap terlalu jauh untuk
dapat disebut mendekati kualitas substansial
dalam proses pemilu, apalagi dapat memperkuat
demokrasi presidensial.
Setelah pelaksanaan Pemilu 2004, muncul
gagasan baru, perlunya penyederhanaan partai
politik dalam rangka memperkuat demokrasi
presidensial. Apalagi setelah adanya perubahan
UUD 1945 ketiga, dimana mulai ditambah
dengan adopsi sistem bikameral yang terbatas
dan presiden dipilih secara langsung.12 Hasil
amandemen ketiga memperkenalkan pula
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para ahli
sebenarnya mengusulkan konsep DPD sebagai
intitusi yang kuat, tetapi hasil kompromi politik
di DPR mengarahkan pada bikameral yang
terbatas, sehingga posisi DPD menjadi lemah.
Panitia Pengawas Pemilu 1999, Pengawasan
Pemilihan Umum 1999, (Jakarta: Panwas Pemilu
1999, 1999), hlm. 111. Dalam UU No. 3 Tahun
1999 tentang Pemilihan Umum, menunjukkan UU
ini mengadopsi sistem distrik, pertama: ketentuan
yang mengharuskan setiap kabupaten/kota harus
terwakili di DPR/DPRD sekurang-kurangnya
satu kursi, dan setiap kecamatan harus terwakili
sekurang-kurangnya satu kursi di DPRD (Pasal 4
ayat 1, Pasal 5 ayat 3 dan Pasal 6 ayat 3). Kedua,
setiap partai politik peserta pemilu diwakili calon
tetap yang ditentukannya (Pasal 41 ayat 6). Untuk itu
setiap partai politik peserta pemilu harus menyusun
nomor urut yang diajukan untuk mewakili setiap
kabupaten/kota atau kecamatan. Ketiga, kursi yang
diperoleh suatu partai diberikan kepada kabupaten/
kota atau kecamatan yang memberi suara terbesar/
terbanyak kepada partai tersebut (Pasal 68).
12
Ibid.
11
Munculnya kesadaran bahwa format
kepemiluan dan kepartaian yang kompleks
menyebabkan
terhambatnya
konsolidasi
demokrasi dapat disebut sebagai sebuah
kemajuan dalam memahami dan mengurai
masalah kepemiluan. Hal itu misalnya dapat
dilihat pada saat perbaikan paket UU politik
Pemilu 2004 yang antara lain didominasi oleh
upaya untuk menyederhanakan partai politik,
memperbaiki performance partai politik, dan
tentu diharapkan akan memperkuat performance
legislatif, walaupun belum dikaitkan secara
tegas dengan kokohnya bangunan demokrasi
presidensial. Gagasan ini tertuang pada naskah
akademik yang dirancang oleh tim ahli penyusun
Undang-undang Politik.
“….Agar
tercapai
keseimbangan
antara
deepening
democracy
dengan
effective governance bisa tercapai maka
harus ada langkah-langkah regulasi yang
mesti dilakukan, yaitu: Pertama, melakukan
penyederhanaan jumlah pelaku. Kemampuan
mengelola pemerintahan secara efektif sangat
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD.
13
Mencari Sistem Pemilu dan Kepartaian ... | Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim | 99
dipengaruhi kohesifitas dan interaksi antar
aktor. Bila masing-masing aktor cenderung
konfliktual atau koeksistensi maka dapat
dipastikan akan muncul kesulitan untuk
mengelola beragam kepentingan yang sangat
variatif. Variasi kepentingan tersebut muncul
karena aktor yang berinteraksi dalam proses
kepemerintahan dan politik yang ada sangat
banyak jumlahnya. Oleh karena itu kebutuhan
untuk menyederhanakan jumlah aktor menjadi
sangat penting. Ide tentang penyederhanaan
pelaku inilah yang kemudian diangkat dalam
penyusunan
rancangan
penyempurnaan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, antara
lain diwujudkan dalam penentuan batasan
treshhold bagi partai politik untuk ikut serta
dalam pemilihan umum. Melalui penciutan
peserta pemilihan umum secara wajar dan
rasional, diharapkan pula isu-isu yang diusung
oleh partai politik dalam pemilihan umum
nasional adalah betul-betul isu nasional yang
terpilih dan berbobot untuk ditangani oleh
lembaga perwakilan rakyat dan pemerintahan
tingkat nasional…”14
Dari segi penyederhanaan partai, memang
relatif terjadi, akan tetapi timbul persoalan
lain setelah pelaksanaan pemilihan presiden
secara langsung sebagai amanat amandemen
ketiga UUD 1945, dimana proses pelaksanaan
desain sistem pemilu, kepartaian dan pemilu
presiden secara langsung, justru tidak saling
berhubungan. Hubungan secara parsial yang
terjadi, khususnya dalam hal tata cara pencalonan
presiden, dimana partai-partai yang memperoleh
suara tertentu atau gabungan partai-partai yang
dapat mencalonkan calon presiden dan wakil
presiden yang berhak mengajukan calon. Tidak
ada jaminan bahwa presiden terpilih preferensi
suaranya sama dengan perolehan suara partai
di legislatif. Pengalaman Pilres 2004 justru
menunjukkan calon presiden/wakil presiden
yang diusung oleh partai kecil justru menjadi
pemenangnya.
Situasi demikian, seperti telah digambarkan
dalam berbagai studi tentang sistem presidensial
akan menyebabkan hubungan kurang harmonis
antara presiden terpilih dengan legislatif.
Tabel 1.1. Perbedaan antara Pemilu 2004 dan Pemilu 2009.
Mengenai dokumen naskah akademik ini dapat
diunduh pada www.cetro.or.id tentang Naskah
Akademik RUU Pemilu inisiatif Pemerintah
tertanggal 8 Mei 2007.
14
100 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Sumber: diolah oleh penulis dari berbagai sumber.
*) Sistem ini berlaku setelah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang Perkara Permohonan
Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD
1945 merubah tata cara penetapan calon legislatif pada pemilu 2009 yang sebelumnya berdasarkan nomor urut menjadi suara
terbanyak.
Tidak ada jaminan koalisi pemerintahan
memperoleh dukungan politik di parlemen.
Bayang-bayang presidensial yang rapuh, terjadi
pada periode 2004-2009, dimana presiden
terpilih memiliki dukungan politik yang rendah,
sehingga demokrasi presidensial tidak berjalan
secara efektif. Secara garis besar, perubahan dua
pemilu (2004 dan 2009)—dapat digambarkan
pada tabel 1. (Lihat Tabel 1.1)
Apa yang tampak dari tabel di atas, secara
sederhana memotret bahwa dari segi sistem,
sebenarnya perubahan menonjol terjadi pada
Pemilu 2009, khususnya pada daerah pemilihan
yang dipersempit, juga jumlah kursi DPR
yang ditambah, serta teknik konversi suara
ke kursi partai yang justru semakin rumit dan
kompleks. Penggunaan sistem yang kompleks,
memunculkan sederatan persoalan krusial
sebagai warisan dari sistem pemilu proporsional.
15
Pada hari Kamis, 11 September 2008, KPU,
Pemerintah dan Komisi II DPR melakukan rapat
konsultasi tentang format surat suara dan tempat
pemberian tanda yang sah pada surat suara untuk
Pemilu 2009. Dari rapat konsultasi tersebut dicapai
sebuah kesepakatan yang bertentangan dengan
aturan perundang-undangan. Kesepakatan tersebut
adalah surat suara dapat dinyatakan sah termasuk
jika pemberian tanda contreng/centang pada tanda
gambar partai politik. Padahal di dalam UU No
10/2008 khususnya pasal 176 ayat (1) menyatakan
secara tegas bahwa suara dinyatakan sah apabila
pemilih memberikan tanda satu kali pada kolom
nama partai atau kolom nomor calon atau kolom
nama calon anggota legislatif. Artinya pemberian
tanda selain pada salah satu tiga kolom tersebut tidak
memiliki landasan hukum dan harus dinyatakan
tidak sah. Mengenai hal ini lihat konferensi pers
CETRO pada 12 September 2008 yang dimuat di
www.cetro.or.id.
15
Konstestan pemilu semakin membengkak,
karena semangat penyederhanaan partai
seperti yang digagas oleh Pemerintah, tidak
menjadi agenda bagi DPR dalam menyusun
RUU Parpol. Terlalu longgarnya persyaratan
mendirikan partai politik di satu sisi, dan
persyaratan partai politik yang dapat mengikuti
pemilihan umum yang tidak konsisten di sisi
lain turut memberikan peluang lahirnya partaipartai politik baru sebagai peserta pemilu.
Padahal kehadiran partai-partai politik baru ini
lebih merupakan metamorfosis partai-partai
yang tidak lolos dalam pemilu sebelumnya,
dan sebagian besar pengurusnya hampir relatif
sama.
Kemunculan partai-partai baru juga
sebagai akibat dari manajemen partai politik
yang rendah. Indikasi dari itu adalah lemahnya
konsolidasi internal partai untuk mengelola
perbedaan kepentingan. Penyakit partai politik
kita adalah penyakit perpecahan. Perpecahan
yang melanda partai politik umumnya sebagai
dampak dari kekecewaan politik dalam
mengelola partai.
UU Nomor 10/2008 tentang Pemilihan
Umum DPR, DPD dan DPRD Provinsi,
Kabupaten dan Kota, juga tidak berhasil
mendorong munculnya wakil-wakil rakyat
yang berkualitas, mendorong perubahan kinerja
parlemen, dan partai politik yang lebih baik.
Justru praktik-praktik transaksi politik yang
dilakukan oleh partai-partai politik yang turut
dalam Pansus DPR dan sesudahnya tidak dapat
dihindari.16
RUU Pemilu 2009, khususnya pasal 316, yang
secara substansial bertentangan dengan kandungan
isi dari pasal 315 yang mengatur aturan main
partai politik yang memiliki kursi yang ditetapkan
16
Mencari Sistem Pemilu dan Kepartaian ... | Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim | 101
Inkonsisten dalam penerapan sejumlah
prinsip electoral threshold menyebabkan
konstestan pemilu menjadi bertambah besar dari
24 partai (Pemilu 2004) menjadi 38 partai politik.
Walaupun jumlah partai kontestan pemilu lebih
banyak ketimbang Pemilu 2004, kemajuannya
memang terlihat dengan adanya parliamentary
threshold 2,5 di mana partai yang memperoleh
suara 2,5 persen yang berhak mengisi kursi
DPR. Hasilnya, ada penyederhanaan jumlah
partai di parlemen. Namun, persoalannya tetap
saja mirip dengan praktik politik demokrasi
presidensial yang terjadi pada periode 20042009, politik pemerintahan cenderung tidak
stabil, bahkan partai-partai koalisi pemerintahan
justru berperilaku melebihi oposisi.
Problematika Sistem Presidensial
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasca
amandemen mengokohkan tentang sistem
pemerintahan yang dianut bagi bangsa Indonesia,
yaitu sistem pemerintahan presidensial atau
demokrasi presidensial. Melalui amandemen
sebagai peserta pemilu pascapemilu 2004. Pasal
315 menyebut bahwa: “Partai Politik Peserta
Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurangkurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR
atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat
perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi yang
tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah)
jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh
sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah
kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurangkurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/
kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai
Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.”
Sedangkan Pasal 316 berbunyi berbeda, dimana
partai politik yang memiliki kursi di DPR hasil Pemilu
2004 secara otomatis menjadi peserta pemilu setelah
Pemilu 2004. Pasal 316 berbunyi: (a) bergabung
dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315;
atau (b) bergabung dengan partai politik yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 315 dan selanjutnya menggunakan nama dan
tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung
sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah
kursi; atau (c) bergabung dengan partai politik yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 315 dengan membentuk partai politik
baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga
memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau (d)
memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau
(e) memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk
menjadi Partai Politik Peserta Pemilu.ilu
konstitusi, penataan demokrasi presidensial
dilakukan, antara dengan dilakukan pemilihan
presiden secara langsung, pembatasan masa
jabatan,
pengokohan
legislatif
sebagai
pembentuk undang-undang, dan legislatif tidak
bisa dibubarkan oleh eksekutif, merupakan
bagian dari bentuk purifikasi demokrasi
presidensial.
Namun, di sisi lain, purifikasi atas
demokrasi presidensial masih menyisakan
problematik. Demokrasi presidensial yang
terbentuk tidak berjalan efektif. Pangkalnya,
problematik yang terbentuk berpangkal pada
desain konstitusi itu sendiri yang masih bersifat
ambiguitas. Di satu pihak, amandemen konstitusi
melakukan purifikasi demokrasi presidensial,
tetapi di pihak lain, desain konstitusi yang
terbangun masih bercita rasa parlementer.
Hal lain yang menjadi pangkal problematik
demokrasi presidensial di Indonesia adalah
tidak didukung dengan sistem kepartaian
yang kompatibel. Berdasarkan pengalaman
negara-negara yang menerapkan demokrasi
presidensial mesti didukung dengan sistem
kepartaian yang kompatibel, yaitu sistem dwipartai. Di Indonesia, alih-alih kompatibel,
sistem kepartaian yang terbentuk adalah sistem
multi partai ekstrim: banyaknya jumlah partai
di parlemen dan tidak ada partai dominan.
Terbentuknya sistem multi partai ekstrim
ini antara lain disebabkan dari model sistem
pemilihan umum yang diberlakukan.
Sementara itu dalam kaitannya dengan
penerapan sistem presidensial, penggunaan
sistem multi partai telah menciptakan
instabilitas pemerintahan. Ini terjadi karena
faktor fragmentasi kekuatan-kekuatan politik di
parlemen dan “jalan buntu” bila terjadi konflik
relasi eksekutif-legislatif. Tiga alasan kombinasi
sistem presidensial dengan sistem multipartai
bermasalah. Pertama, sistem presidensial
berbasis multipartai cenderung menghasilkan
kelumpuhan (immobilitas) akibat kebuntuan
(deadlock) eksekutif-legislatif, kebuntuan itu
akan berujung pada instabilitas demokrasi.
Kedua, sistem multipartai menghasilkan
polarisasi
ideologis
ketimbang
sistem
dwipartai sehingga seringkali menimbulkan
problem komplikasi ketika dipadukan dengan
sistem presidensial. Ketiga, kombinasi
sistem presidensial dengan sistem multipartai
berkomplikasi pada kesulitan membangun
102 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
koalisi antarpartai dalam demokrasi presidensial
sehingga berimplikasi pada rusaknya stabilitas
demokrasi.17
Selain itu, juga karena faktor Dilema
Presiden Minoritas dan “Kabinet Pelangi”. Ada
problem koalisi dan dilema presiden minoritas,
baik pada masa Presiden Wahid, Presiden
Megawati, maupun Presiden Yudhoyono adalah
figur presiden dengan basis politik minoritas di
DPR. Presiden Wahid, pencalonannya didukung
oleh koalisi longgar diantara parpol Islam dan
partai berbasis Islam ‘poros tengah’, hanya
memiliki basis 51 kursi PKB di DPR. Presiden
Megawati, mempunyai basis relatif besar, yakni
153 kursi PDI-P di DPR, namun bukan partai
mayoritas di DPR. Sementara itu, Presiden
Yudhoyono pada masa jabatan priode pertama,
yang berasal dari PD bahkan hanya memiliki
model 55 kursi, kendati ada dukungan partaipartai pengusungnya yakni PKS (45 kursi),
PBB (11 kursi) dan PKPI (1 kursi).
Faktanya kemudian, setiap presiden
mengangkat “kabinet pelangi” atau kabinet
koalisi dari banyak partai, yang mirip pola
kabinet parlementer, untuk mengatasi problema
presiden minoritas, dengan harapan eksekutif
akan memperoleh dukungan yang luas di DPR,
yang dalam beberapa kasus relasi presiden-DPR
(hak angket, hak interpelasi, hak menyatakan
pendapat) ternyata tidak terjadi.
Faktor lain yang juga menjadi persoalan
akut sistem presidensial adalah rapuhnya model
koalisi dan rendahnya disiplin partai. Menurut
formula Laakso dan Taagepera (1979),18 ada
kaitan antara jumlah efektif partai di parlemen
(ENPP-Effecitive Number Party in Parliament)
dengan efektivitas dukungan koalisi terhadap
eksekutif. Hal itu bisa diketahui dengan
mengkaji ulang jumlah efektif parpol di Dewan
Perwakilan Rakyat dari hasil Pemilihan Umum
2004 adalah 7,07 dengan 17 partai politik di
DPR. Hasil Pemilu 2009, setelah diberlakukan
ambang batas (threshold) 2,5 persen, terdapat
9 partai di DPR dengan ENPP sebesar 6,20.
Artinya, semakin rendah ENPP, semakin mudah
Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multipartism,
and Democracy; The Difficult Combination”,
Comparative Political Studies, Vol. 26, No. 2, 1993,
hlm. 198.
18
Lihat Laakso & Taagepera, “Effective” Number
of Parties: A Measure with Application to West
Europe” Comparative Political Studies, April 1979,
artikel 12: 3-27.
17
membuat koalisi dan berarti
stabilitas pemerintahan.
terjaminnya
Sebenarnya,
hasil
Pemilu
1999,
menghasilkan ENPP sebesar 5 partai dengan
peserta pemilu 48 partai mempunyai peluang
untuk menata koalisi di parlemen yang baik.
“Partai yang meraih suara di atas 20 persen
saat itu, misalnya Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan dan Golkar, bisa membuat
komitmen koalisi jangka panjang untuk
membuat pemerintahan yang kuat.
Ada
problematika
koalisi-koalisi
pemerintahan yang dibentuk pada masa Presiden
Wahid, Presiden Megawati, maupun Presiden
Yudhoyono, yang polanya bukan hanya bersifat
longgar namun juga cenderung semu. Koalisi
belum dibangun dengan platform politik bersama
atau kesepakatan minimum diantara pihakpihak yang berkoalisi, dan penegasan disiplin
partai untuk mendukung presidensialisme.
Dampaknya, apa yang dialami oleh Presiden
Wahid, Presiden Megawati, maupun Presiden
Yudhoyono, pemerintahannya bukan hanya
digugat oleh partai di luar pemerintahan (partai
pengimbang, partai oposisi), namun juga kurang
didukung oleh partai-partai koalisi pendukung
pemerintah yang memiliki kursi di dalam
kabinet.
Hal ini tampak dalam kasus Bulog-Brunei
Gate, Divestasi PT Indosat, Penjualan Blok Gas
Natuna-Gate, Interpelasi Bank Century-Gate.
Akibatnya, sistem politik Indonesia pascaSoeharto dirumuskan bentuk pemerintahannya
sebagai “presidensialisme dengan cita rasa
parlementer”, karena cenderung masuk menjadi
praktik ‘informal parlementerism”. Salah satu
akar persoalannya adalah lemah atau tidak
adanya disiplin partai dalam sistem kepartaian
yang terfragmentasi, sebagaimana tercermin
dalam praktik demokrasi presidensial di
Indonesia pasca-Soeharto.
Sebagai ilustrasi lebih lanjut, Presiden
dengan dukungan pemilih sangat tinggi,19
Presiden Yudhoyono mendapatkan dukungan
besar pemilih (60,8 persen) pada Pemilu 2009,
namun “tersandera” oleh tekanan parpol di parlemen
dan akhirnya tidak menjadikan angka dukungan
pemilih langsung itu sebagai modal membangun
lembaga eksekutif yang solid. Sejak awal ketegasan
SBY untuk membentuk kabinet dengan dukungan
parpol koalisi kian melunak. Boleh jadi, persoalan
nyali, kebijakannya tidak didukung di Parlemen
yang memaksa SBY membentuk koalisi Setgab
19
Mencari Sistem Pemilu dan Kepartaian ... | Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim | 103
namun ada indikasi kabinet Indonesia Bersatu
jilid II, dalam perjalannya belum atau tidak
didukung oleh koalisi partai yang solid
sebagai imbas dari para menteri yang ada
bukan semuanya berasal dari Partai Demokrat.
Faktanya walaupun ada menteri asal partai
koalisi dari PKS dan Partai Golkar, kebijakan
partai ini di parlemen tidak optimal mendukung
kebijakan eksekutif. Adanya kelemahan kinerja
dan kekurang kekompakan anggota kabinet,
yang disampaikan Presiden ke ruang publik
menggambarkan betapa ia sulit menunjukkan
kuasa konstitusionalnya sebagai seorang
presiden dalam desain sistem presidensial yang
tersandera oleh koalisi partai.
Presidensialisme
yang
kabinetnya
bersumber dari partai koalisi cenderung
berdampak kurang kompak atau tidak solid. Ada
dugaan ini karena pembantu presiden tersebut
bukan dari partai yang sama. Kabinet memang
tidak diisi oleh semuanya orang presiden (not
the all president man). Kabinet bukan terdiri
dari semuanya “orang presiden”, diduga sebagai
akar persoalan presidensialisme di masa SBY
priode kedua.
Persoalan terakhir yang juga penting
ialah masalah pecah kongsi atau kohabitasi.
Problematika presidensialisme yang menjadi
sumber ketegangan politik dalam relasi presidenDPR RI yang diamati oleh Syamsudin Haris
adalah gejala kohabitasi (cohabitation),20 yaitu
suatu kondisi pecah kongsi akibat adanya No
all president man atau adanya perbedaan basis
politik antara presiden dan wapres yang mudah
menimbulkan gejala ‘keretakan politik’ akibat
pertarungan kepentingan dan harga diri, yang
mengganggu soliditas pemerintahan berjalan.21
Pada masa Presiden Wahid (Wahid-Megawati)
dan Presiden Megawati (Megawati-Hamzah
Haz) juga pernah terjadi gejala kohabitasi akibat
berbedanya basis politik.22
(Sekretariat gabungan), dengan dukungan partai
politik Golkar, PKS, PPP, PKB yang hampir
mendekati angka 80 persen wakil partai koalisi 20
persen dari Partai Demokrat sendiri.
20
Mengenai penjelasan harfiah konsep kohabitasi
lihat Frank Bealey, Dictionary of Political Science
(Oxford UK: Blackwell Publisher ltd., 2000), hlm.
66.
21
Perihal hubungan presiden-wapres Orde Baru, lihat
Roy B.B. Janis, Wapres: Pendamping atau Pesaing?
(Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2008).
22
Ilustrasi tentang kekecewaan Megawati terhadap
Abdurahman Wahid menjelang SU MPR 1999
Perbedaaan basis politik, Presiden Wahid
dari PKB dan Wapres Megawati dari PDI-P
tidak hanya menimbulkan krisis relasi di antara
mereka namun juga berujung pemakzulan
terhadap Wahid yang justru dimungkinkan oleh
dukungan politik PDI-P yang sangat kecewa
terhadap pencopotan kader PDI-P Laksamana
Sukardi, selain ketidakpuasan Mega terhadap
rendahnya komitmen pribadi Wahid untuk
mendukung putri Bung Karno maju sebagai
calon presiden menjelang SU MPR 1999.
Presiden Wahid pun dianggap tidak melibatkan
Wapres Mega dalam penyusunan dan
perombakan kabinet. Akibatnya, wapres tidak
hadir dalam pengumuman reshuffle kabinet,
tidak mau hadir dalam beberapa sidang Kabinet
Persatuan Nasional, dengan alasan menghindar
sakit flu.23
Kohabitasi Presiden Mega (PDI-P) dan
Wapres Hamzah Haz (PPP), yang semula pola
relasinya akomodatif, namun ujungnya terjadi
keretakan, karena rendahnya dukungan PPP di
parlemen terhadap interpelasi DPR ke lembaga
kepresidenan dalam kasus lepasnya Pulau
Sipadan dan Ligitan ke Malaysia. Sebelumnya
Presiden Mega juga telah kecewa terhadap
Wapres Hamzah karena mewacanakan tidak
lazimnya kepemimpinan perempuan dalam
Islam, atas dasar fatwa ulama PPP. Begitu pula
kecenderungan Wapres Hamzah mendekati
kelompok “Islam garis keras” seperti membesuk
Panglima Laskar Jihad, Ja’far Umar Thalib
di tahanan Mabes Polri, atau bersilaturahmi
dengan Abu Bakar Baasyir di Pesantren Ngruki
Sukoharjo, yang cukup mengecewakan bagi
Presiden Megawati.24
Pada masa Presiden Yudhoyono (PD) dan
Wapres Jusuf Kalla (PG), juga terjadi gejala
kohabitasi. Tidak sedikit kasus disharmonisasi
relasi Presiden dan Wapres yang terjadi,
pasca pemilihan presiden 2004. Salah satunya
adalah kasus kontroversial pembentukan Unit
Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program
terlihat dalam Marcus Mietzner, “Sidang Umum
MPR 1999: Wahid, Megawati dan Pergulatan
Perebutan Kursi Keperesidenan”, dalam Chris
Manning dan Peter van Dierman, ed., Indonesia di
Tengah Transisi, (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm. 4566; Lihat juga Syamsuddin Haris, Konflik PresidenDPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia,
(Jakarta: Grafiti Press, 2007), hlm. 150-156.
23
Ibid, Marcus Mietzner dan Syamsuddin Haris;
lihat Roy B.B. Janis, Ibid, hlm. 245-286.
24
Ibid, Roy B.B. Janis, hlm.245-286.
104 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
dan Reformasi (UKP3R) oleh Presiden SBY
tanpa sepengetahuan Wapres JK.25 Selain
itu ada keputusan Wapres JK yang dinilai
menyimpang kewenangan Wapres seperti akhir
Desember 2004 JK menerbitkan SK No.1/2004
tentang pembentukan Tim Penanggulangan
Bencana dan Tsunami, memunculkan gejala
ketegangan, meskipun keduanya membantah di
depan media. Juga keberatan terhadap konsesi
politik JK yang terlalu besar terhadap GAM
dalam MoU Helsinki, penanganan gempa
Yogya, perombakan terbatas Kabinet Indonesia
Bersatu.26
Dampaknya, ada fakta SBY dan JK ketika
menonton film Ayat-ayat Cinta, hadir dalam
rombongan yang terpisah. Presiden PKS dan
ketua MPR Hidayat Nur Wahid pernah meminta
secara pribadi ke kedua pihak agar dapat
memperbaiki hubungan mereka.27 Kekecewaan
SBY terhadap Golkar dan JK juga tampak
ketika Golkar dinilai tidak cukup maksimal
memperjuangkan calon unggulan pemerintah
untuk Gubernur BI, Agus Martowardoyo,
Dirut Utama Bank Mandiri, saat fit and
proper test Gubernur BI di Komisi XI, DPR
RI.28 Syamsuddin Haris mengingatkan agar
problematika kohabitasi ini memberi pelajaran
dan mendorong untuk mencari solusinya
agar sistem presidensial di masa mendatang
mendapat penyempurnaan format relasi yaitu
persyaratan agar pasangan presiden yang maju
mesti berasal dari basis partai yang sama, untuk
pemilu presiden Indonesia di masa yang akan
datang.29
Hal tersebut dibenarkan oleh Ryaas Rasyid, yang
diwawancarai Syamsuddin Haris di Jakarta, 7 Mei
2008, yang menjadi saksi konfirmasi langsung dari
JK bahwa Wapres JK tidak diberitahu oleh Presiden
SBY ketika membentuk UKP3R, yang diusulkan
sepihak oleh para staf khusus di sekitar Presiden
SBY. Termasuk Mensesneg Yusril Ihza MahendraYIM (dari partai PBB) juga tidak diberitahu. Catatan
wawancara Syamsuddin Haris dengan YIM di
Jakarta, 24 Juli 2008.
26
Lihat artikel”SBY-JK: Duet atau Duel, Laporan
Utama Tempo, edisi 24-30 Oktober 2005.
27
Lihat “Drama satu babak Yudhoyono-Kalla”, Sinar
Harapan, 19 September 2005.
28
Lihat “Calon Gubernur BI: Skor 2-0 untuk DPR”,
Tempo, 30 Maret 2008.
29
Lihat Disertasi Syamsudin Haris, hlm. 200.
Pandangan yang sama dikemukakan oleh Roy B.B
Janis, ibid, hlm. 362; Deni Indrayana, “Mendesain
Presidensial yang efektif: Bukan Presiden ‘Sial’
atawa Presiden ‘Sialan’”, Makalah Seminar, 13
25
Upaya Perbaikan yang Ditawarkan
Kajian ini memandang bahwa secara ideal,
sistem pemilu dan sistem kepartaian harus
sejalan supaya tercipta sistem presidensial yang
kokoh. Ironisnya, sistem pemilu dan sistem
kepartaian di Indonesia, menurut teori, tidak
cocok satu sama lain. Sistem pemilu yang
digunakan adalah sistem pemilu proporsional
sementara sistem kepartaiannya menganut
sistem multipartai. Sebagaimana diketahui
bersama, sistem pemilu proporsional, menurut
para ahli, lebih cocok digandengkan dengan
sistem dua partai. Sementara itu, sistem
multipartai lebih pantas diterapkan bersama
dengan sistem pemilu majoritarian.
Akan tetapi, bukan tidak mungkin
mengawinkan kedua sistem yang dianggap
tidak cocok tersebut sebab ada argumen yang
mengatakan bahwa kerapuhan demokrasi di
negara yang menganut sistem presidensialisme
bukan semata-mata karena sistemnya, melainkan
karena berbagai faktor, seperti konteks
perkembangan ekonomi, ukuran (size) dari
suatu negara, lokasi geografis, dan sebagainya.
Oleh karena itu, perlu dihitung berbagai
faktor lain yang memiliki kontribusi dalam
kerapuhan sistem demokrasi presidensialismemultipartai. Setidaknya ada beberapa faktor
kunci yang berperan dalam memperbaiki sistem
presidensialisme-multipartai.
Pertama, performa partai politik dalam
sistem multipartai. Salah satu cara untuk
mendorong munculnya sistem multipartai yang
berkualitas adalah melalui penyerderhanaan
jumlah partai, dengan menaikkan ambang
batas persyaratan keterwakilan partai di
parlemen. Dengan menaikkan ambang batas
diharapkan partai-partai mau bertindak rasional
dengan memilih untuk melakukan merger
(penggabungan) partai apabila ingin tetap
survive. Dan akhirnya, kalau skenario merger ini
tercapai maka sistem kepartaian akan bergerak
ke arah moderate pluralism party sistem.
Kedua, model koalisi politik. Ada
beberapa perubahan desain elektoral yang perlu
dikedepankan untuk mencegah munculnya
koalisi politik pragmatis; (1). Pemilu presiden
tidak lagi mengikuti hasil pemilu legislatif.
Itu bisa dilakukan dengan membuat pemilu
legislatif nasional dan pemilu presiden
dilakukan secara bersamaan; (2). Proses koalisi
Desember 2006.
Mencari Sistem Pemilu dan Kepartaian ... | Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim | 105
harus dilakukan sebelum pemilu legislatif dan
presiden yang dibangun atas dasar kesamaan
platform kebijakan; (3). Wakil presiden ditunjuk
oleh presiden yang diusung oleh koalisi partai.
Hal ini untuk menghindari fenomena “matahari
kembar”; (4). Perlu kesepakatan mengenai sifat
koalisi. Pengalaman di berbagai negara yang
menganut sistem presidensialisme menunjukkan
setelah presiden terpilih, model hubungan
antarpartai koalisi bisa berbeda sesuai dengan
kemampuan membangun soliditas kebijakan.
Ketiga,
kapasitas
presiden
untuk
membangun presidensialisme yang efektif. Bisa
saja kerapuhan presidensialisme-multipartai
itu tidak terjadi kalau presiden memiliki
kapasitas politik (personal) yang kuat untuk
mentranformasi logika office-vote seeking
menjadi policy seeking, dimana partai-partai dalam koalisi yang pada awalnya didorong
oleh keinginan mendapatkan posisi berubah
mendukung
sebuah
koalisi-pemerintahan
dengan posisi kebijakan yang bisa dibedakan
dengan koalisi penantang.
Oleh sebab itu, untuk mewujudkan sistem
presidensial yang efektif perlu dibuat semacam
perekayasaan atas sistem pemilu maupun
kepartaian. Rekayasa politik dapat dilakukan
melalui peraturan perundangan. Dengan kata
lain, sekiranya perlu dibuat usulan upaya
perbaikan sistem kepartaian yang mendukung
terwujudnya sistem presidensial yang efektif,
yakni melalui penyederhanaan partai. Namun
demikian, proses penyederhanaan partai
harus dibuat berjalan secara alami tidak
seperti yang terjadi pada rezim Demokrasi
Terpimpin maupun rezim Orde Baru. Proses
penyederhanaan partai dapat dilakukan melalui
revisi terhadap UU Parpol, antara lain meliputi,
pembentukan sistem multipartai sederhana;
pelembagaan parpol yang efektif dan kredibel;
dan kepemimpinan parpol yang demokratis dan
akuntabel.
Pembentukan sistem multipartai sederhana
mutlak diperlukan dalam rangka menciptakan
pemerintahan yang kuat, stabil, dan efektif.
Sebab, sistem multipartai sederhana ini mampu
menghasilkan tingkat fragmentasi partai yang
relatif rendah di parlemen. Rendahnya tingkat
fragmentasi partai di parlemen pada gilirannya
dapat mengkondisikan terciptanya proses
pengambilan keputusan yang relatif cepat
dan tidak berlaru-larut. Pembentukan sistem
ini dapat dilakukan dengan beberapa cara:
(1). Memperberat aturan pembentukan partai
dengan cara meningkatkan persyaratan jumlah
warga negara untuk dapat membentuk partai dan
pemberlakuan larangan bagi parpol yang gagal
memenuhi ambang batas pemilu (electoral
threshold) untuk berganti nama sebagai partai
baru; 2). Memperketat persyaratan bagi parpol
peserta pemilu. Peningkatan angka ET ini
harus dibuat relatif moderat sebab patokan
angka ET yang tinggi akan bertentangan
dengan filosofi sistem pemilu proporsional
yang cenderung memberi ruang bagi partaipartai kecil. Selain itu, angka ET yang tinggi
juga akan menimbulkan potensi suara hilang
dalam pemilu.; (3) Adanya tenggat waktu
pendirian parpol. Aturan ini perlu dibuat untuk
menghindari munculnya parpol instan. Selain
itu, dengan adanya tenggat waktu ini parpol
baru juga memiliki waktu yang cukup untuk
mempersiapkan diri sehingga benar-benar siap
untuk berkompetisi dalam pemilu; (4) Ketiga,
adanya deposit dana bagi partai baru. Kewajiban
ini diharapkan mampu mendorong lahirnya
partai yang mandri sekaligus mengurangi nafsu
politisi untuk membentuk partai baru.
Adapun upaya perbaikan pelembagaan
parpol dapat dilakukan melalui beberapa cara:
(1) mendorong pengembangan partai kader;
(2) Mendorong kewajiban bagi partai politik
untuk merealisasikan berbagai fungsinya;
(3) Kewajibkan Partai politik untuk mampu
mendanai dirinya sendiri di luar subsidi yang
diberikan negara. Ini dapat dilakukan dengan
mendorong adanya deposit dana bagi partai
baru. Kewajiban ini diharapkan mampu
mendorong lahirnya partai yang mandri
sekaligus mengurangi nafsu politisi untuk
membentuk partai baru.
Sedangkan dalam rangka menciptakan
pemerintahan yang kuat, stabil, dan efektif
parpol perlu memperbaiki kepemimpinannya.
Upaya mendorong lahirnya kepemimpinan
parpol yang demokratis dan akuntabel
dapat dilakukan dengan beberapa cara: (1)
Mendorong otonomi dan desentralisasi partai
Otonomi dan desentralisasi pertai diperlukan
untuk mengurangi sentralisasi pengambilan
keputusan di tingkat pengurus pusat (DPP)
dan/atau pemimpin partai. Melalaui otonomi
dan desentralisasi selain dapat mengurangi
munculnya figur pemimpin yang klientelistik
dan kharismatik, di satu sisi juga tetapi juga
106 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
mendorong munculnya pimpinan partai yang
programatik, di sisi lain.; (2) Mendorong
profesionalisme pimpinan partai. Profesionalitas
pimpinan partai dapat dilakukan melalui
adanya larangan bagi pengurus parpol untuk
merangkap jabatan sebagai pejabat publik.
Upaya ini diperlukan untuk menghindari
conflict of interest. Dalam upaya ini, parpol
dapat menerapkan proses rekrutmen melalui
dua cara. Pertama, untuk menjadi pengurus
partai melalui mekanisme internal partai.
Kedua, untuk menjadi calon pejabat publik yang
diusung parpol boleh berasal dari mana saja.
Apabila manajemen parpol ini berjalan dengan
baik maka tidak akan ada lagi dinasti politik.
Dalam kaitanya dengan sistem pemilihan
umum, perbaikan sistem pemilu juga harus
diarahkan pada dua hal, yaitu perubahan
sistem dan mencari sistem alternatif, agar
tidak memunculkan partai-partai politik atas
dasar etnik, agar tidak tercipta replikasi etnik
di parlemen.30 Karena itu, perbaikan juga
diarahkan agar tercipta partai politik yang
terbuka, menghindarkan pada basis kultural
dan mendorong adanya kerja sama lintas batas
identitas dalam membangun partai politik. Selain
itu, perbaikan juga dimaksudkan agar terwujud
pemerintahan yang efektif. Perbaikan ini bukan
semata-mata untuk menghindari kelemahankelemahan utama praktik pemilu proporsional
yang terjadi sejak 1999, 2004 dan 2009, tetapi
jauh dari itu memiliki tujuan utama: efektivitas
sistem presidensial, konsolidasi demokrasi
menuju pada demokrasi yang dewasa (mature
of democracy) serta stabilitas pemerintahan.
Kajian ini dari awal melihat perlunya
perbaikan sistem pemilu proporsional—melalui
pencarian sistem pemilu yang didalamnya
bekerja sistem pemilu proporsional yang
ditopang oleh sistem yang lain, dengan sistem
yang bekerja sendiri-sendiri. Walau demikian,
perbaikan sistem pemilu proporsionalnya
diarahkan pada berlakunya Sistem Proporsional
Setengah Terbuka (SPST), karena yang terbuka
akan diisi oleh sistem yang lain.
Dalam konteks perubahan besar itu,
SPST yang digunakan juga harus mendorong
tercapainya multipartai moderat. Salah satu
persoalan utama sistem proporsional adalah
apakah hasil pemilu akan menciptakan sistem
kepartaian yang multi partai yang banyak
ataukah yang terbatas. Pengalaman tiga
30
tahun pelaksanaan pemilu di masa transisi,
menunjukkan gejala multi partai yang banyak
(meluas) bukan terbatas. Secara garis besar,
Jean Blondel membuat tipe bahwa sistem
multipartai terjadi dominasi partai (mayoritas
pemenang) apabila ada partai yang menguasai
45 persen suara; sementara jika perolehannya
hanya 25 persen dan di bawahnya, berarti tidak
ada partai yang dominan atau mayoritas. Secara
ideal, jumlah partainya pun berbeda. Saran
yang dilakukan oleh Jean Blondel bahwa pada
sistem dua partai akan cenderung menghasilkan
sebaran kursi (55-45 persen), dan pada jumlah
tiga (tiga) partai akan menghasilkan sebaran
kursi (45-40-15 persen), serta pada jumlah
partai (3-5) pada sistem multipartai akan
menghasilkan komposisi suara (45-20-15-1010) dan pada jumlah partai 4-5 akan melahirkan
sebaran komposisi suara (25-25-25-15-10),
relatif mendekati kenyataan dari hasil sebaran
perolehan suara partai-partai pada pemilupemilu di Indonesia. Dalam kasus Indonesia,
dengan jumlah partai di atas 10 buah, seperti
tampak pada tabel 1, menggambarkan bahwa
komposisi kursi justru di bawah 25 persen
(selama 4 kali pemilu proporsional dengan
sistem multipartai) justru menunjukkan sebaran
komposisi suara mengarah pada 20-18 persen
(partai besar) 13-8 persen (partai menengah)
dan 3-7 persen (partai kecil).
Memang tidaklah mudah melakukan
upaya itu, dan juga salah satu kritik yang
seringkali muncul bahwa rekayasa semacam
itu akan mengabaikan prinsip proporsionalitas
dan keterwakilan. Dilema ini memang harus
dihadapi dan harus dipilih, apakah sebuah
rekayasa sistem pemilu ingin melakukan
efektivitas sistem demokrasi sebagai prioritasnya
ataukah untuk memadukan perimbangan
proporsionalitas dengan keterwakilan politik.
Walau sebagai pilihan yang sulit, sejumlah
aspek proporsionalitas harus tetap menjadi
pertimbangan. Artinya, rekayasa pemilu tidak
semata-mata mengabaikan aspek proporsional,
tetapi juga mendorong adanya ruang bagi partai
kecil menjadi partai menengah dan stabilnya
partai menengah sebagai perimbangan dalam
penyusunan kekuasaan dan praktik politik di
parlemen. Kecenderungan umum SPP, justru
pemilu gagal menciptakan kekuatan mayoritas
di parlemen, sementara pemenang pemilu hanya
rata-rata di bawah 20 persen, dengan kekuatan
partai yang terserak. Bagaimana agar pada
Ibid.
Mencari Sistem Pemilu dan Kepartaian ... | Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim | 107
pemilu di Indonesia ke depan, khususnya pada
Pemilu 2019 dapat tercipta partai politik yang
moderat (5-7 partai) dengan kombinasi hasil
perolehan suara yang mengarah pada multiparty
system with a dominant party, minimal ada tujuh
perubahan mendasar yang perlu dilakukan,
yaitu:
1. Mengubah besaran district magnitude
(daerah pemilihan) dan kuota kursi.
2. Pengubahan formula (rumus) konversi
suara ke kursi, yang tidak berbasis pada
kuota murni.
3. Penetapan kursi bagi calon yang konsisten
dengan SPST
4. Pemberian ruang stembuss accord
5. Menerapkan parliementary threshold
yang ideal
6. Mendorong terjadinya proses koalisi
permanen sebelum pemilu
7. Membatasi partai peserta pemilu
Selain itu, rekayasa politik dalam
perbaikan sistem pemilu dapat pula dilakukan
melalui penggunaan sistem campuran. Melalui
penerapan Sistem Multi Member Majority
(MMM). Penggunaan MMM dan bukan MMP
dimungkinkan akan tercipata majoritarian di
parlemen, karena dengan tidak adanya hubungan
antara proportional list dengan member of
majoritarian memungkin peluang terciptanya
partai mayoritas lebih terbuka ketimbang
dengan menggunakan MMP. Dengan kata
lain, konseptualisasi perbaikan kualitas sistem
proporsional sebagaimana telah disinggung
pada opsi pertama seiring dan sejalan dengan
gagasan praktik MMM yang lebih berpotensi
menghasilkan kekuatan mayoritas di parlemen.
Dalam sistem kerjanya, terdapat perbedaan
yang menonjol antara MMP dengan MMM.
MMP bekerja pada aspek proporsional yang
menonjol karena ada kaitan antara tingkatan
daftar proporsional tertutup dengan daftar
nominal (majoritarian). Seorang calon dalam
MMP dapat ditempatkan pada kedua daftar
oleh partai politik, atau partai politik juga
tidak perlu memasang calonnya pada nominal
daftar (majoritarian). Partai politik juga
memperoleh kompensasi tertentu, khususnya
dapat mentransfer suaranya lintas daerah
pemilihan apabila memenuhi kuota tertentu.
Dalam MMP seperti halnya dengan cara kerja
sistem proporsional di Indonesia, pemilih
sama-sama diberikan hak untuk memilih partai
dan nama calon di majoritarian sekaligus.
Namun, pilihan terhadap parpol dan calon
(majoritarian) tidak harus paralel, pemilih dapat
memilih Partai A, tetapi tidak harus memilih
calon (majoritarian) dari Partai A, tetapi dapat
memilih calon (majoritarian) dari Partai B atau
C. Konsekuensinya, pilihan yang tidak paralel
ini justru akan menimbulkan penyebaran
meluasnya kursi, ketimbang terciptanya
mayoritas partai politik yang memperoleh kursi
di parlemen.
Atas dasar kebutuhan penyederhanaan
partai dan perlunya menciptakan partai yang
memiliki mayoritas di parlemen sehingga akan
tercipta pluralitas yang moderat, lebih diusulkan
digunakan model MMM (Mixed Member
Majoritarian), dengan konsekuensi pemilih
diberi kesempatan untuk memilih Partai A dan
hanya dianggap sah suaranya jika pemilih juga
memilih calon dari Partai A pada daftar nominal
(majoritarian).
Kelebihan MMM pada rigitnya penentuan
daftar tertutup (daftar proporsional) yang
tidak berhubungan dengan daftar nominal
(majoritarian) akan memberikan kejelasan
mana wakil yang mewakili partai dengan
mana yang mewakili majoritarian (konstituen)
sehingga akuntabilitasnya lebih baik ketimbang
MMP. Pada MMM ada dua jenis suara yaitu
suara dengan daftar partai versus suara
nominal perseorangan (dengan daftar nama dan
majoritarian).31
Selain itu, dengan tidak adanya hubungan
antara kursi dan suara dan tidak adanya
kompensasi bagi partai politik, akan mendorong
partai-partai menyiapkan kader terbaiknya
untuk bertarung pada tingkatan majoritarian.
Dengan kata lain, pengunaan MMM lebih
memungkinkan dalam mendorong partai untuk
memilih calon-calon lokal untuk majoritarian
yang potensial agar memperoleh kursi pada
tingkat majoritarian. Hal itu jelas berbeda dengan
sistem proporsional, yang kecenderungannya
justru mekanisme pencalonan dan penentuan
sangat dimonopoli oleh partai politik.
Perubahan transisional sistem pemilu yang
diusulkan berkaitan dengan upaya menciptakan
pemerintahan yang efektif, perbaikan sistem
pemilu yang mendorong munculnya kekuatan
mayoritas di parlemen yang sekaligus
31
Ibid., hlm. 11.
108 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
memerintah. Juga melahirkan partai politik
yang berkualitas dan terbuka.
Untuk kebutuhan itu semua, desain sistem
politik-demokrasi, perubahan bangunan sistem
pemilihan dapat ditempuh melalui strategi,
pertama, adanya konsensus nasional bahwa
pemilu menghasilkan sistem multi partai
terbatas; kedua, pemilu melahirkan kekuatan
mayoritas melalui koalisi dan rekayasa
sistem pemilu; ketiga, pembagian kekuasaan
eksekutif (executive power-sharing) di kabinet
secara transparan; dan keempat adalah adanya
perimbangan kekuatan di luar DPR, dengan cara
menerapkan bi-kameral yang proporsional.32
Dan Keempat, apakah sistem pemilihan
yang digunakan mengatur bentuk koalisi
pemerintahan.33 Sebagai tambahan, pertama,
konsensus tersebut harus pula melahirkan
kesadaran bersama bahwa partai bukanlah
replikasi etnis dan kekuatan antargolongan.
Dan kedua, pilihan terhadap sebuah sistem
pemilu pada dasarnya adalah sebuah cara
demokrasi untuk membagi kekuasaan. Oleh
karena itu, perlu ada konsensus nasional yang
utuh mengenai cara membagi kekuasaan ini
dan batasan proporsionalitas seperti apa yang
dikehendaki serta perubahan sistem pemilu
yang relatif mendekati dengan kondisi bangsa
dan negara.
Selain strategi rekayasa mewujudkan
sistem multi partai terbatas dan pemilu
yang menghasilkan sistem perwakilan yang
akuntabel, rekayasa selanjutnya agar demokrasi
presidensial efektif adalah dengan membentuk
pemerintahan koalisi.Arend Lijphart mengatakan
bahwa sistem multi partai bisa menghasilkan
sistem demokrasi presidensial efektif dan stabil,
yaitu dengan cara mengembangkan demokrasi
konsensual (demokrasi konsensus). Salah satu
Arendt Lijphart, Patterns of Democracy:
Government Forms and Performance in ThirtySix Countries, (New Haven and London, Yale
University, 1999), hlm. 34-41, menyebut strong
bicameralims atau bi-kameral yang kuat. Dalam
kasus di Indonesia, rancangan ini tidak terpenuhi,
karena Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tidak
menunjukkan bi-kameral yang kuat. Saya lebih
setuju pada bi-kameral yang proporsional, khususnya
dalam hal fungsi, bukan jumlah kursi. Fungsi DPD
yang relatif lemah, melalui bi-kameral proporsional
ini fungsinya diperkuat, sehingga dapat terjadi checks
and balances dan menjaga kepentingan-kepentingan
daerah yang diwakilinya.
33
Ibid., hlm. 15.
32
ciri demokrasi konsensual, menurut Arendt,
yaitu dengan membangun koalisi pemerintahan
(kabinet) di antara partai-partai politik.34
Koalisi pemerintahan bukan hanya
monopoli pemerintahan parlementer, pada
pemerintahan presidensial juga bisa dibangun
koalisi. Studi yang dilakukan Cheibub (2007),
menunjukkan bahwa pemerintahan koalisi
dalam sistem parlementer terjadi di 39 persen
negara, sedangkan koalisi dalam sistem
presidensialisme 36,3 persen. Baik demokrasi
Parlementer maupun demokrasi Presidensial,
koalisi berlangsung sebesar lebih dari 50 persen
ketika partai presiden tidak memiliki mayoritas
di lembaga legislatif. Dengan demikian, ada
tidaknya koalisi bukanlah pembeda sistem
presidensialisme dan parlementer. Hanya saja
dalam demokrasi presidensial, pembentukan
koalisi memiliki makna yang sedikit berbeda
dengan sistem Parlementer. Dalam demokrasi
presidensial tujuan yang mendasari pembentukan
koalisi adalah untuk menggalang dukungan
partai dalam proses pencalonan dan pemenangan
pemilihan Presiden dan mengamankan jalannya
(stabilitas) pemerintahan. Koalisi dibentuk
untuk memperoleh dukungan politik atas
inisiatif dan kebijakan Presiden.
Pertanyaan yang muncul, bukankah
sekarang dalam membentuk pemerintahan
sudah dilakukan koalisi, tetapi mengapa
demokrasi
presidensial
tidak
efektif?
Persoalannya bukan terletak pada koalisinya,
tetapi pada bentuk koalisi yang dibangunnya.
Berdasarkan pengamatan Ari Dwipayana,
model koalisi yang berkembang dalam lima
tahun terakhir menunjukkan perilaku partai
dalam meracik menu koalisi dipengaruhi oleh
dua karakter. Pertama, upaya memburu jabatan
(office seeking), dimana perilaku partai dalam
membangun koalisi lebih didasarkan pada
Sebagai contoh, dalam kasus di Swiss dan Belgia,
Arend mengemukakan 10 ciri demokrasi konsensus
di kedua negara tersebut yang dijadikan konsensus
bersama, yaitu (1) Executive power-sharing in broad
coalition cabinets; (2) Executive-legislative balance
of power; (3) multiparty system; (4) proportional
representation; (5) interest group corporation; (6)
federal and decentralized government; (7) strong
bicameralism; (8) constitutional rigidity; (9) judicial
review; and (10) Central bank independence. Arendt
Lijphart, Patterns of Democracy: Government
Forms and Performance in Thirty-Six Countries,
(New Haven and London, Yale University, 1999),
hlm.34-41.
34
Mencari Sistem Pemilu dan Kepartaian ... | Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim | 109
kehendak untuk memperbesar peluang dalam
memperoleh posisi di kabinet-pemerintahan
yang akan terbentuk. Kedua, modus pencari
suara (vote seeking), dimana elit partai politik
dalam membentuk koalisi lebih didasarkan pada
upaya memenangkan pemilihan.
Koalisi yang tebentuk dengan dasar office
seeking dan vote seeking pada dasarnya koalisi
yang rapuh. Karena koalisi dibentuk atas dasar
pertimbangan pragmatis-jangka pendek. Koalisi
yang dipraktikkan oleh partai-partai politik kita
dewasa ini cenderung bersifat instan karena lebih
berdasarkan kepentingan politik jangka pendek
dan belum berdasarkan platform dan program
politik yang disepakati bersama. Dengan latar
dan tujuan membangun koalisi seperti itu maka
pemerintahan demokrasi presidensial tidak
berjalan efektif.
Atas dasar itu, demokrasi presidensial
perlu dibangun atas dasar koalisi permanen
yang menekankan kesamaan dalam preferensi
kebijakan,
bertujuan
“policy
seeking”
(mewujudkan kebijakan sesuai kepentingan
partai), yang diikat oleh kesamaan tujuan dan
kebijakan. Dalam bahasa Syamsuddin Haris,
koalisi yang diperlukan adalah koalisi berbasis
kesamaan ideologi dan atau platform politik
di antara partai-partai yang berkoalisi. Melalui
format koalisi semacam ini diharapkan bahwa
dukungan ataupun penolakan terhadap suatu
kebijakan berorientasi kepentingan kolektif,
bukan kepentingan jangka pendek partai-partai
di parlemen. Koalisi berbasis platform juga
diperlukan agar relasi Presiden-DPR tidak
semata-mata menjadi arena transaksi politik
antarelite pemerintah dan politisi partai-partai.
Selain itu, koalisi yang dibentuk juga harus
diikat dalam bentuk “kontrak politik” yang
mengikat bagi pihak-pihak yang berkoalisi.
Yaitu koalisi yang dibentuk berdasarkan
atas kesepakatan-kesepakatan politik yang
mengikat dan transparan hingga berakhir masa
pemerintahan. Koalisi yang dibangun juga
harus kuat, yakni mendapat dukungan lebih dari
50% suara di DPR (50 + 1). Dengan dukungan
mayoritas di parlemen pada gilirannya Presiden
tidak akan dipaksa melakukan tawar-menawar
dengan partai-partai di luar koalisi partai
pendukungnya.
Upaya penataan lain yang juga
memungkinkan ialah melalui penataan fraksifraksi di DPR, yang sebelumnya sebagai bentuk
pengelompokan partai politik, perlu didorong
pengelompokan kekuatan politik berdasarkan
blok kekuatan politik berdasarkan partai
pendukung pemerintah dan kekuatan politik
partai oposisi. Dengan adanya aturan seperti itu
maka konfigurasi kekuatan di DPR hanya ada
dua: partai pendukung pemerintah dan partai
oposisi.
Agar kekuasaan tidak disalahgunakan dan
terwujudnya checks and balances, keberadaan
oposisi merupakan suatu keniscayaan. Tanpa
oposisi di parlemen maka kecenderungan
terbentuknya kekuasaan otoritarian akan
terbuka lebar. Kehadiran oposisi di perlemen
pentingan, selain sebagai penyeimbang juga
untuk melakukan kontrol efektif atas jalannya
pemerintahan dan kebijakan-kebijakan yang
hendak dirumuskan. Meski demikian, dalam
melakukan kontrol, niat dalam melakukan
kontrol tersebut bukan dalam arti unutk
menjatuhkan pemerintahan, tetapi dalam
konteks meluruskan arah jalannya pemerintahan
agar tidak keluar dari koridor Konstitusi dan perundang-udangan lainnya. Pendek kata, oposisi
yang hendak diwujudkan adalah oposisi loyal.
Faktor lain yang penting, yang tidak
bisa dibaikan dan harus menjadi perhatian
utama partai-partai politik dan publik adalah
kepemimpinan politik. Kami berpendapat,
meski sistemnya sudah bagus, tetapi kepala
eksekutifnya (Presiden) tidak memiliki jiwa
kepemimpinan, maka pemerintahan tidak
akan berjalan dengan optimal. Governability
akan efektif, salah satu faktornya, ada pada
kepemimpinan.
Seperti dikatakan oleh Arbi Sanit,
kepemimpinan teruji bukan saja terbaik dalam kualifikasinya yaitu integritas atau karakter, dan kapabilitas memimpin, serta popularitas di samping visioner akan tetapi juga berani menghadapi risiko dan mengambil tanggung jawab atas pelaksanaan tugas kenegaraan dan
kemasyarakat serta kebangsaan selain dari ketahanan fisik. Untuk
menghasilkan
kepemimpinan
model seperti itu, perlu ada rekrtumen yang
baik dan demokratis. Sistem seleksi untuk
menjadi presiden seperti di Amerika Serikat
layak menjadi acuan, yaitu melalui mekanisme
konvensi: ada pemilihan pendahuluan (Premier
Election) Dengan pemilihan pendahuluan ini,
ada ujian berupa persaingan atau pertarungan 110 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
terbuka dihadapan berbagai kalangan masyarakat mulai dari kaum elit dan menengah serta rakyat kebanyakan sampai berbagai
golongan primordial dan usia serta status kelamin. Semua ujian tersebut hendaklah dilalui dengan nilai terbaik diantara semua
kontestan yang menggunakan kesempatan. Dengan demikian, pemilu sebagai institusi harus digunakan oleh calon pemimpin, pertama kalinya mestilah sungguh-sungguh menyediakan mekanisme kompetisi dalam bentuk hanya tersedia dua opsi atau pilihan yaitu menang dan kalah atau mayoritas dan minoritas. Adapun substansi kompetisi dimaksudkan terdiri dari track record integritas dan kapabilitas serta visi disamping popularitas calon.
Daftar Pustaka
Buku
Dahl, Robert A. 1992. Demokrasi dan Para
Pengritiknya. Jilid II. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Dhakidae, Daniel. 1999. Partai-Partai Politik
Indonesia: Ideologi, Strategi, dan Program.
Jakarta: Kompas.
Evans, Kevin Reymond. 2003. Sejarah Pemilu
dan Partai Politik di Indonesia. Jakarta:
PT. Arise Consultancies.
Haris, Syamsuddin. 2007. Konflik PresidenDPR dan Dilema Transisi Demokrasi di
Indonesia. Jakarta: Grafiti Press.
Janis, Roy B.B. 2008. Wapres: Pendamping
atau Pesaing?. Jakarta: PT Bhuana Ilmu
Populer.
Lijphart, Arendt. 1999. Patterns of Democracy:
Government Forms and Performance in
Thirty-Six Countries. New Haven and
London: Yale University.
Linz, Juan J. et al. 2001. Menjauhi Demokrasi
Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan
Negara-negara Lain. Bandung: Mizan.
Manning, Chris dan Peter van Dierman (Ed.).
2000. Indonesia di Tengah Transisi.
Yogyakarta: LKIS.
Panitia Pengawas Pemilu 1999. 1999. Pengawasan
Pemilihan Umum 1999. Jakarta: Panwas
Pemilu.
Sartori, Giovanni. 1976. Parties and Party
Sistems: A Framework for Analysis. New
York: Cambridge University Press.
Suryakusuma, Yulia I. (Eds). 1999. Almanak
Parpol Indonesia Pemilu ’99. Jakarta:
SMK Grafik Mardi Yuana.
Taagepera, Rain. 2007. Predicting Party Sizes:
The Logic of Simple Electoral Sistems.
New York: Oxford University Press.
Wolinetz, Steven B. 2002. “Beyond the Catch-all
Party: Approaches to the Study of Parties
and Party Organization in Contemporary
Democracies”, dalam R.Gunther, J.
Montero dan J. Linz (Ed), Political Parties:
Old Concepts and New Challenges. Oxford
: OUP.
Jurnal
Mainwaring, Scott. 1993. “Presidentialism,
Multipartism, and Democracy, The
Difficult Combination”. Comparative
Political Studies. Vol. 26, No. 2.
Laporan dan Makalah
Indrayana, Deni. 2006. “Mendesain Presidensial
yang efektif: Bukan Presiden ‘Sial’ atawa
Presiden ‘Sialan’”. Makalah Seminar. 13
Desember.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD
pada 2004.
Surat Kabar
“Calon Gubernur BI: Skor 2-0 untuk DPR”.
Tempo. 30 Maret 2008.
“Drama satu babak Yudhoyono-Kalla”. Sinar
Harapan. 19 September 2005.
”SBY-JK: Duet atau Duel. Laporan Utama Tempo
Edisi 24-30 Oktober 2005.
Mencari Sistem Pemilu dan Kepartaian ... | Sri Yanuarti dan Moch. Nurhasim | 111
112 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
HUBUNGAN PERBATASAN ANTARA THAILAND DAN MALAYSIA:
KERJASAMA PERBATASAN DAN LINTAS BATAS ILEGAL1
THAILAND-MALAYSIA BORDER RELATIONS:
BORDER COOPERATION AND ILLEGAL BORDER CROSSING
Agus R. Rahman
Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta
E-mail: [email protected]
Diterima: 5 Agustus 2013; direvisi: 1 Oktober 2013; disetujui: 10 Desember 2013
Abstract
Research on “Thailand-Malaysia Border Cooperation in Overcoming Illegal Border Crossing,” aims
to analyse both countries’ bilateral attempts to implement border function in tackling illegal border crossing
activities. Border between Thailand and Malaysia reflect disintegrative function which is influenced by internal
conflict of Thailand government and four Muslim provinces in Southern Thailand. Result shows that this border
bilateral cooperation conducted through bilateral and multilateral cooperation in the ASEAN context. The
bilateral cooperation is not optimum to handle illegal border crossing activities, and both countries confirm to
multilateral cooperation in ASEAN context especially in transnational crime. Both Thailand and Malaysia have
no commitment to bring their border problem out of their bilateral context.
Keywords: Border Relations, Border Cooperation, Illegal Border Crossing
Abstrak
Penelitian yang berjudul “Kerjasama Perbatasan Thailand-Malaysia dalam Mengatasi Ilegal Border
Crossing,” mencoba untuk menganalisis upaya-upaya kedua negara yang berbatasan ini untuk menegakkan fungsi
perbatasannya dalam mengatasi aktivitas lalu lintas perbatasan yang ilegal. Fungsi perbatasan antara Thailand
dan Malaysia bersifat distintegratif yang diwarnai oleh pada satu sisi konflik internal antara pemerintah Thailand
dengan empat provinsi Muslim di Thailand Selatan, dan pada sisi yang lain, kedekatan masyarakat Muslim di
sepanjang perbatasan Thailand-Malaysia. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa kerjasama perbatasan kedua
negara dilakukan baik secara bilateral dan multilateral dalam konteks ASEAN. Kerjasama bilateral tampaknya
belum maksimal untuk mengatasi aktivitas lintas batas yang ilegal, sedangkan kedua negara mendukung kerjasama
multilateral dalam konteks ASEAN dalam hal masalah kejahatan transnasional. Baik Thailand maupun Malaysia
tidak bermaksud untuk membawa masalah-masalah perbatasan yang lain di luar konteks bilateral kedua negara.
Kata kunci: Hubungan Perbatasan, Kerjasama Perbatasan, Lintas Perbatasan Ilegal
Tim peneliti yang terdiri dari Agus R. Rahman (Koordinator), Japanton Sitohang, Rosita Dewi, Awani Irewati,
Sandi Nur Ikhfal Raharjo, dan C.P.F. Luhulima.
1
Hubungan Perbatasan Antara Thailand dan Malaysia ... | Agus R. Rahman | 113
Pendahuluan1
Walaupun dunia tempat kita tinggal sekarang
ini cenderung tanpa batas karena aktivitas
transnasional dalam produksi, investasi
dan informasi, yang menyudutkan posisi
strategis
negara
kebangsaan,2keberadaan
negara-kebangsaan tetap dianggap penting
dan terkemuka sehubungan dengan semakin
signifikannya batas-batas geografis baik darat
maupun laut, negara dan pemerintah dalam
sistem internasional.3 Kawasan Asia Tenggara
dapat memberikan pemahamanan tentang
perubahan yang signifikan tentang bagaimana
batas-batas negara secara geografis terutama
daratan yang semula bersifat tradisional
menjadi modern, sebagaimana yang dialami
oleh Thailand.4 Bahkan, perbatasan darat
Thailand dengan Myanmar, Laos dan Kamboja
lebih terkonsentrasi pada pengendalian wilayah
nasional. Sedangkan perbatasan darat Thailand
dengan Malaysia tampaknya mengarah kepada
isu kekuasaan relatif dari institusi negara dengan
masyarakatnya.5
Bagi Thailand, politik perbatasan
yang dimaksudkan sebagai pencapaian
wilayah nasional itu secara tradisional justru
memperlihatkan pasang surut kekuasaan melalui
peperangan dan penaklukan dalam bentuk
frontiers. Akan tetapi, politik perbatasannya
secara modern dalam bentuk boundary
telah diselesaikan dengan terpaksa melalui
perundingan antara Thailand dengan dua negara
kolonialis Eropa yaitu Inggris dan Prancis. Pada
satu sisi, perjanjian Thailand dengan Prancis
menentukan perbatasannya sebelah Timur dan
1
Posisi strategis negara-kebangsaan yang menyurut
diproyeksikan oleh Kenichi Ohmae dalam bukunya
yang monumental, lihat Kenichi Ohmae, The End of
the Nation State: The Rise of Regional Economies
(London: Harper Collins, 1995).
3
Lihat J.E. Thompson, “State Sovereignty in
International Relations: Bridging the Gap between
Theory and Empirical Research,” International
Studies Quarterly, Vol. 39 (1995), hlm. 213-233.
4
Lihat uraian kondisionalitas perbatasan darat
Thailand dalam Thongchai Winichakul, Siam
Mapped: A History of the Geo-Body of a Nation,
(Honolulu: University of Hawaii Press, 1994).
5
Paul Battersby, “Border Politics and Broader
Politics of Thailand’s International Relations in the
1990s: from Communism to Capitalism,” Pacific
Affairs, Vol. 71/4, Winter, 1998-1999, hlm. 473-488.
2
dengan Laos6 dan Kamboja.7 Sedangkan pada
sisi yang lain, perjanjian Thailand dengan
Inggris menentukan perbatasannya dengan
Myanmar8 dan Malaysia.9
Politik perbatasan di Thailand bagian
Selatan berkaitan dengan kekuasaan relatif
antara pemerintah yang berkuasa di Bangkok
dengan tiga provinsi Muslim di kawasan
Thailand bagian Selatan yang mencoba
menggugat otoritas kekuasaan di Bangkok.
Kedua belah pihak ini terlibat dalam konflik
yang berkepanjangan yang selanjutnya
mempengaruhi
fungsi-fungsi
perbatasan.
Sejalan dengan dinamika hubungan kekuasaan
pemerintah pusat dengan ketiga provinsi Muslim
di Thailand Selatan, hubungan perbatasan antara
Thailand dan Malaysia di Semenanjung Malaya
memperlihatkan dinamikanya yakni kerjasama
kedua negara pada tingkat nasional dan regional
untuk mengendalikan wilayah nasional masingmasing negara, pada satu aspek, serta mengatasi
aktivitas lintas perbatasan yang bersifat ilegal
baik yang didorong oleh aktivitas interaksi sosial
ekonomi penduduk perbatasan maupun sebagai
bagian dari arus migrasi yang mutakhir, pada
aspek yang lain. Secara khusus, arus migrasi
mutakhir sekarang ini meliputi aktivitas lalu
lintas ilegal, dan negara-negara Asia Tenggara
ini mencoba untuk mengendalikan perbatasan
mereka melalui strategi perbatasan.10
Sebagai resume penelitian, tulisan ini
mencoba untuk membahas hubungan perbatasan
antara Thailand dan Malaysia dalam kedua
konteks tersebut terutama mengapa kerjasama
perbatasan menjadi kunci bagi dinamika
perbatasan kedua negara. Selanjutnya, tulisan
Perjanjian Siam-Perancis yang menentukan
perbatasan Siam-Lao ditandatangani pada tahun
1893 dan 1904.
7
Perjanjian Siam-Perancis yang menentukan
perbatasan Siam-Kamboja ditandatangani tahun
1867, 1904, dan 1907.
8
Perjanjian Inggris-Siam yang menentukan
perbatasan Myanmar-Thailand meliputi Perjanjian
Inggris-Siam tahun 1826, Konvensi Gubernur
Jenderal India-Raja Siam tahun 1868, Persetujuan
Inggris-Siam tahun 1931/1932, Persetujuan InggrisSiam tahun 1934, Persetujuan Inggris-Siam tahun
1937, Persetujuan Inggris-Siam tahun 1940.
9
Perjanjian Inggris-Siam tahun 1909.
10
Amarjit Kaur, “Labor Crossing in Southeast
Asia: Lingking Historical and Contemporary Labor
Migration”, New Zealand Journal of Asian Studies,
Vol. 11/1, June, 2009, hlm. 276.
6
114 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
ini akan dibagi dalam 5 sub bab yakni: 1)
landasan teoritis yang mencakup pengertian
sejumlah konsep seperti frontiers, boundaries
atau border, kerjasama perbatasan (border
cooperation), serta lintas batas ilegal (ilegal
border crossing); 2) perbatasan darat ThailandMalaysia; 3) kebijakan perbatasan Thailand dan
Malaysia; 4) kegiatan lintas perbatasan ilegal
di perbatasan Thailand-Malaysia yang disertai
dengan profil aktivitas lintas perbatasan yang
ilegal yang berdampak negatif; 5) upaya kedua
negara dan upaya regional dalam mengatasi
aktivitas lintas perbatasan yang ilegal.
Landasan Teoritis: Frontiers,
Boundary, Border Cooperation dan
Ilegal Border Crossing
Frontiers yang dipahami dalam tulisan ini
mengikuti pengertian para ahli geografi politik
yang menggunakan istilah ini dalam dua
pengertian yaitu pembagian politik antara dua
negara atau pembagian antara kawasan yang
berpenghuni dan tidak berpenghuni dalam
suatu negara. Kedua pengertian ini meletakkan
istilahnya sebagai suatu kawasan (zone) yang
terdiri dari tiga bagian yaitu kawasan bagian
hunian yang terletak di dalam wilayah negara,
kawasan bagian politik yang merupakan batas
pemisahan dengan negara tetangga, dan kawasan
bagian pendudukan yang dikuasai.11 Sedangkan
boundaries dipahami sebagai konstruksi
ruang sosial yang berbeda antar kebudayaan,
sedangkan border dipahami sebagai suatu garis
demarkasi antar negara dalam suatu kawasan.12
Pada awalnya, raja-raja dari Thai, Khmer,
Burma dan Lao di kawasan Asia Tenggara
hingga abad ke-19 merupakan aktor yang saling
berkompetisi untuk menegosiasikan boundaries
diantara mereka. Mereka lebih mementingkan
pengendalian penduduk dan kepatuhan
provinsi-provinsi taklukan daripada delimitasi
dan pengendalian wilayah, sehingga kekuasaan
militernya terkonsentrasi pada daerah ibukota
kerajaan dan semakin melemah di daerahdaerah yang jauh. Akan tetapi, kekuatan kolonial
Inggris dan Prancis memaksa raja Thailand
Lihat pembahasan tentang frontiers secara lebih
rinci pada J.R.V. Prescott, Boundaries and Frontiers
(London: Croom Helm, 1978), hlm. 33-53.
12
Lihat Henk van Houtum, “The Geopolitics of
Borders and Boundaries,” Geopolitics, Vol. 10,
2005, hlm. 672-679.
11
untuk menerima konsep border yang didasarkan
pada prinsip kedaulatan wilayah.13
Dengan konsep modern inilah, kedua negara
baik Thailand maupun Malaysia menegakkan
fungsi perbatasannya. Bahwasanya, perbatasan
antar negara memperlihatkan
tiga fungsi
yang masing-masing fungsi ini mewakili
paradigma yang bersangkutan. Paradigma realis
mengusung fungsi perbatasan yang disintegratif,
dan paradigma transnasionalis menegakkan
fungsi fragmegratif, sedangkan paradigma
globalis
mengemas
fungsi
integratif.14
Hubungan perbatasan antara Thailand dan
Malaysia berlangsung dalam konteks kerjasama
perbatasan untuk mempertahankan fungsi
disintegratifnya, sehubungan dengan konflik
politik domestik antara pemerintah nasional
di Bangkok dengan empat provinsi Muslim di
Thailand Selatan. Walaupun begitu, pada satu
sisi, hubungan perbatasan kedua negara ini
diwarnai oleh pola interaksi sosial-ekonomi
lintas perbatasan yang bersifat tradisional
maupun yang bersifat ilegal. Pada sisi yang lain,
kedua negara pun terlibat dalam pola hubungan
perbatasan yang bersifat formal.
Ilegal Border Crossing merupakan
satu bentuk dari ilegal immigration,15 yang
didefinisikan sebagai aktivitas memasuki
wilayah negara lain secara tidak sah atau ilegal.
Dalam hal ini, pelintas batas ilegal dipahami
sebagai seseorang dari kebangsaan yang berbeda
memasuki wilayah suatu negara lain tanpa
dilengkapi dengan dokumen formal. Akibatnya,
ketika seseorang memasuki wilayah suatu
negara secara tidak sah atau ilegal, aktivitas ini
dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap
tatanan hukum, keamanan, dan ketertiban kedua
negara. Aktivitas lintas perbatasan yang bersifat
tradisional masih ditolerir, tetapi aktivitas
lintas batas ilegal tersebut kemudian menjadi
bermasalah ketika berubah menjadi kejahatan
lintasnegara (transnational crime) seperti
perdagangan senjata, perdagangan manusia, dan
aktivitas terorisme.16 Mengingat dampak dari
Paul Battersby, op.cit., hlm. 474.
Lihat Anna Moraczewska, “The Changing
Intepretation of Border Functions in International
Relations,” Revista Romana de Geografie Politica,
Vol. 12/2, (November, 2010), hlm. 333.
15
Friedrich Heckmann, “Illegal Migration: What
Can We Know and What Can We Explain? The Case
of Germany,” International Migration Review, Vol
38/3, Fall, 2004, hlm. 1106.
16
PBB mendefinisikan kejahatan lintas negara
13
14
Hubungan Perbatasan Antara Thailand dan Malaysia ... | Agus R. Rahman | 115
kejahatan tersebut dirasakan oleh lebih dari satu
negara, maka diperlukan kerjasama antarnegara,
baik dalam level bilateral maupun multilateral,
untuk mengatasi kejahatan lintasnegara tersebut.
development of further joint programme;
establishement of cross-border institutions to
administer current and future joint programme;
dan shared authority.19
Peta 1. Penetapan Perbatasan Bilateral Thailand-Malaysia di Semanjung Malaya 1909
Sumber: Ahmad Fauzi Nordin, “Land and River Boundaries Demarcation and Maintenance-Malaysia
Experience”, International Symposium on Land and River Boundaries Demarcation and Maintenance
in Support of Borderland Development, Bangkok: 6-11 November 2006.
Kerjasama secara konseptual menyaratkan
tindakan aktor-aktornya untuk bersesuaian
antara satu dengan yang lain melalui suatu
proses negosiasi, yang sering disebut dengan
koordinasi kebijakan.17 Ketika kerjasama
terbentuk, para aktor dari kedua belah sisi
perbatasan berusaha untuk mensejajarkan
kebijakan dan perilakunya agar dapat membantu
pihak yang lain dalam mencapai tujuan mereka,
walaupun dimungkinkan adanya konflik
kepentingan dalam hal-hal lain.18 Berdasarkan
kajian di Irlandia Utara, kerjasama perbatasan
meliputi delapan bentuk yaitu: joint meeting;
joint studies; informal contacts: phone calls,
letters; formulation of and agreement upon joint
programme; administration of joint programme;
sebagai “an offence whose inception, prevention, and/
or direct and indirect effects involve more than one
country”. Selanjutnya, lihat Gerhard O. W. Mueller,
“Transnational Crime: Definitions and Concepts”,
Combating Transnational Crime, a Special Issue of
Transnational Organized Crime, Vol. 4/3&4, Autumn/
Winter, 1998, hlm. 18.
17
Robert Keohane, After Hegemony: Co-operation and
Discord in the World Political Economy, (Princeton:
Princeton University Press, 1984), hlm. 51.
18
Ibid., hlm. 53.
Perbatasan Darat ThailandMalaysia
Perbatasan Thailand-Malaysia mencapai 506
km atu 314 mil yang merupakan hasil perjanjian
antara Inggris dan Thailand di Bangkok pada 10
Maret 1909 dan ratifikasinya dilangsungkan di
London pada 9 Juli 1909. Panjang perbatasan
kedua negara itu di Semenanjung Malaya
terdiri dari 251 mil yang berupa perbatasan
darat, dan perbatasan air yang berbentuk
Sungai Golok sepanjang 59 mil, ditambah
dengan 4 mil perbatasan air yang berbentuk
pantai.20 Perbatasan ini pula kemudian menjadi
perbatasan darat antara Thailand pada satu
pihak dengan Federasi Malaya pada pihak
lainnya, yang mencapai kemerdekaan pada 31
Agustus 1957, yang kemudian berubah menjadi
Malaysia pada 16 September 1963.(Lihat
Peta 1).
Etain Tannam, Cross-Border Cooperation in the
Republic of Ireland and Northern Ireland, (London:
Macmillan Press, 1999), hlm. 2.
20
The Geographer, “Malaysia-Thailand Boundary”,
International Boundary Study, No. 57, 15 November
1965, hlm. 6.
19
116 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Secara fisik, perbatasan darat ThailandMalaysia di Semenanjung Malaya dapat dipecah
ke dalam tiga sektor yaitu Barat, Tengah,
dan Timur. Sektor Barat mencakup Provinsi
Satun dan Provinsi Songkhla di Thailand, dan
Negara Bagian Perlis dan Kedah. Perbatasan
darat sektor Barat meliputi daerah pesisir,
perbukitan dan lembah Lam Yai. Sektor Tengah
meliputi Provinsi Songkhla dan Provinsi Yala di
Thailand dan Negara Bagian Kedah dan Perak
di Malaysia. Perbatasan darat sektor Tengah
ini merupakan daerah pegunungan. Sedangkan
sektor Timur menjangkau Provinsi Narathiwat
di Thailand dan Negara Bagian Perak dan
Kelantan di Malaysia. Perbatasan sektor Timur
ini merupakan perbatasan air yang mengikuti
aliran Sungai Golok. Sepanjang perbatasan ini
tersedia sembilan pintu perlintasan yang bersifat
formal.21
Di luar perlintasan yang formal ini,
bagian pegunungan di sektor Tengah dan
bagian-bagian Sungai Golok yang sempit
dapat dikatakan riskan keamanannya sehingga
memungkinkan mudahnya aktivitas pelintas
batas ilegal. Dengan kata lain, perbatasan
Thailand-Malaysia memperlihatkan perbatasan
yang terbuka, terpencil, dan keropos,22 yang
mendukung maraknya aktivitas lintas batas
ilegal. Selain sembilan pintu perlintasan yang
formal tersebut, sekurang-kurangnya, sebanyak
127 pintu perlintasan ilegal tersedia di sepanjang
perbatasan darat dan air Thailand-Malaysia.23
Kesembilan pintu perbatasan yang formal itu
terdiri dari empat perlintasan darat, tiga perlintasan
sungai, dan dua perlintasan pantai. Dari sembilan
perlintasan perbatasan, tiga diantaranya merupakan
rute utama, yaitu pintu perlintasan Sungai KolokRantau Panjang, Ban Khlong Phruan-Bukit Kayu
Hitam, dan Ban Padang Besar-Padang Besar. Akan
tetapi, berdasarkan peta tiga sektor perbatasan darat
Malaysia-Thailand tersebut di atas, perlintasan
perbatasan sepanjang Lembah Lam Yai tampaknya
masih belum terjangkau secara legal yang
memungkinkan perlintasan secara illegal. Bahkan,
dua perlintasan di Provinsi Narathiwat yaitu Tak
Baik-Pangkalan Kubor dan Ban Buketa-Bukit
Bunga merupakan perlintasan perbatasan melalui
Sungai Golok.
22
Lihat Eric Tagliacozzo, Secret Trades, Porous
Border: Smuggling and States along a Southeast
Asia Frontiers, 1865-1915, (Singapura: NUS Press,
2007), hlm. 1-23.
23
Wassana Nanuam, “Thai Army Seales over 100
Illegal Thai-Malaysian Border Crossing, 27 Remain
Open,” Bangkok Post, 18 Oktober 2004.
21
Pada satu sisi, aktivitas lintas batas ilegal
ini dapat bersifat tradisional untuk tujuan
kekerabatan dan pemenuhan kebutuhan seharihari bagi penduduk asli kawasan perbatasan.
Bagi Thailand, aktivitas lintas batas ilegal dalam
bentuknya sebagai kejahatan transnasional
menjadi ancaman bagi keamanan negara dan
pola tatananan masyarakatnya. Memang,
sejak dasawarsa 1980-an dan 1990-an, pekerja
migran banyak masuk ke Thailand, ketika
Thailand mulai bergerak dari ekonomi yang
mengandalkan tenaga kerja rendah menjadi
ekonomi yang mengutamakan modal. Dalam
hal ini, Thailand menerima lebih dari 1 juta
pekerja migran dari tiga negara tetangganya
yakni Myanmar, Laos dan Kamboja. Sejalan
dengan penanganan migrasi lintas batas dan
pekerja migran dari ketiga negara tetangganya
itu, pekerja migran itu rentan terhadap human
trafficking. Bahkan, lebih banyak migran
iregular ini dianggap sebagai ancaman terhadap
keamanan nasional.24 Tambahan lagi, kawasan
perbatasan Thailand Selatan merupakan daerah
bermasalah dengan merebaknya gerakan
separatis terutama pada tiga provinsi di kawasan
perbatasan Thailand Selatan, yang mendorong
pemerintah Thailand menerapkan kebijakan
yang keras di daerah Thailand Selatan.
Sedangkan bagi Malaysia, aktivitas lintas
batas ilegal dalam bentuknya sebagai kejahatan
transnasional pun menjadi ancaman terbesar
bagi kemanan dan pola tatanan masyarakatnya.
Malaysia menyatakan bahwa imigran ilegal
merupakan ancaman sosial terbesar kedua,
karena Malaysia telah menjadi negara tujuan
yang utama bagi para imigran ilegal.25 Bahkan,
Malaysia pun dinilai kurang serius menangani
masalah lanjutannya dari imigran ilegal ini seperti
human trafficking dan smuggling.26Menghadapi
aktivitas lintas batas ilegal ini, kedua negara
tidak
dapat
menyelesaikannya
sendiri,
melainkan menguatnya kebutuhan untuk
bekerjasama secara bilateral dan multilateral
Yongyuth Chalamwong, Jidapa Meepien, dan
Khanittha Hongprayoon, “Management of Crossborder Migration: Thailand as a Case of Net
Immigration,”Asian Journal of Social Science, Vol.
40/4, 2012, hlm. 447-463.
25
Sumathy Permal, “Trafficking in the Strait of
Malacca,” Maritime Studies Journal, No. 156,
September/October 2007.
26
Pooja Terasha Stanslas, “The Human Trafficking
Problem in US-Malaysia Relations,” Asia Pacific
Bulletin, No. 88, 15 Desember 2010, hlm. 1-2.
24
Hubungan Perbatasan Antara Thailand dan Malaysia ... | Agus R. Rahman | 117
baik dalam konteks regional maupun global.
Kebijakan Thailand dan Malaysia
terhadap Wilayah Perbatasannya
Kebijakan
Thailand
terhadap
wilayah
perbatasannya dengan Malaysia didasarkan
pada Perjanjian Thailand-Inggris tahun 1909.
Berdasarkan perjanjian ini, Thailand sepakat
untuk menerapkan prinsip watershed dan
thalweg dalam menentukan perbatasan darat
dan airnya dengan Malaysia. Dalam urusan
perbatasan atau integritas teritorial, raja
merupakan aktor yang paling menentukan,
dibandingkan perdana menteri. Akan tetapi,
beberapa aktor terlibat dalam mengurusi
masalah perbatasan terutama pihak militer dan
polisi, selain kementerian dalam ngeri.
Penduduk Thailand yang hidup di provinsiprovinsi Selatan (Pattani, Yala, Songkla, dan
Narathiwat) pada umumnya beragama Islam,
dan tinggal di pedesaan. Sebagian terbesar
adalah petani dan kira-kira 12% saja yang
tinggal di kota. Sebagai petani, masyarakat di
wilayah perbatasan ini menanam padi, buahbuahan, sayur-sayuran, dan karet. Mereka
mengandalkan sumber hidupnya dari hasil
karet, buah-buahan, dan ikan. Disamping itu,
wilayah selatan ini memiliki potensi mineral
seperti timah, emas, mangan, dan gas alam.27
Pada mulanya, penduduk asli Pattani
Muslim menjadi jembatan untuk kehadiran
ulama-ulama Islam baik yang berasal dari
Timur Tengah atau dari Melayu Muslim yang
berasal dari Semenanjung Malaka dalam
pengembangan agama Islam di sekitarnya.
Dalam kurun waktu yang relatif lama,
penduduk Melayu Muslim menjadi lebih
dominan dalam jumlah di provinsi-provinsi
selatan Thailand. Akan tetapi, para penguasa
di Bangkok berusaha menasionalisasikan
bahasa, budaya, dan agama di seluruh negeri
Thailand. Kebijakan ini menjadi penyebab
munculnya perlawanan dari kelompok Islam
terhadap pemerintah pusat. Sebagian kalangan
menyebutnya sebagai pemberontakan, sebagian
lagi melihatnya sebagai keresahan, konflik,
Ahmad Amir Abdullah, “Grievances of Pattani
Malays in Southern Thaialnd”, dalam Mohd
Azizuddin Mohd Sani, Rieke Nakamura and
Shamsuddin L.Taya (Eds.), Dynamic of Ethnic
Relations in Southern Thailand, (Kedah: Cambridge
Scholars, 2010), hlm. 66.
27
atau kekerasan. Semua itu dimaksudkan untuk
mengidentifikasikan bahwa wilayah bagian
Thailand Selatan merebak kejahatan dan
responnya berupa konflik antar simbol negara
dan masyarakat di wilayah Thailand Selatan.
Hubungan masyarakat antara penduduk
Thailand Selatan dengan penduduk Malaysia
di bagian Utaranya yang berbatasan dengan
Thailand, berjalan baik dan sangat dekat
karena kesamaan agama Islam. Bahkan,
terkadang, hubungan ini dapat terjadi dalam
konteks perlindungan bagi pelarian warga
Tahiland ke Malaysia Utara. Oleh karena itu,
pemerintah Thailand sempat melakukan protes
kepada Pemerintah Malaysia bahwa Malaysia
melindungi pemberontak Muslim di wilayah
selatan Thailand.
Di bawah pemerintahan Raja Chulalongkorn, Thailand menerapkan reorganisasi di
seluruh Kesultanan Pattani. Negara-negara
bagian Pattani dikelompokkan ke dalam satu
pemerintahan kolektif yang disebut “Wilayah
Tujuh Provinsi”. Raja memusatkan pemerintahan
di Bangkok dan mencoba proses asimilasi di
selatan. Pemerintah lokal Pattani yang setuju
mengkompromikan hak-hak politik secara
tradisional masih bertahan pada kedudukannya
dan akan diganti oleh Pemerintah Thailand bila
mereka meninggal. Raja menyetir pemerintahan
dari kolonialisme Barat dan mengatur menuju
transformasi negara ke dalam bangsa modern
dan berdaulat di mata Barat. Sebaliknya, hal ini
menjadi lembaran hitam dalam sejarah Kerajaan
Pattani karena telah mengakhiri mengakhiri
kekuasaan raja-raja Melayu.
Kebijakan baru Raja Chulalongkorn
adalah sebagai bagian integral dari program
modernisasinya
yang
disebut
dengan
Thesaphiban (Kebijakan Integrasi Nasional)
adalah suatu kebijakan asimilasi yang ketat.
Kemudian tahun 1940-an, Thai Rathaniyom
(Dekrit Adat Thai) dipaksakan untuk mengganti
bahasa dan budaya Melayu dengan bahasa dan
budaya Thai. Kebijakan ini berakibat munculnya
kekerasan. Hal ini disebabkan oleh pemerintah
pusat di Bangkok gagal mengakui budaya dan
bahasa Melayu yaitu bahasa dan budaya Muslim
utama di Pattani, Yala, dan Narathiwat. Suatu
kekacauan politik yang mengganggu Thailand
dalam waktu yang lebih lama dibandingkan
dengan setiap gerakan politik yang menentang
pemerintah pada zaman modern ini adalah yang
118 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
disebut separatisme provinsi-provinsi Melayu
Muslim yang berbatasan dengan wilayah utara
Malaysia.
Tahun 2001 merupakan titik awal
pemerintahan Thaksin, dimana perdana
menteri yang baru terpilih ini berupaya untuk
merevitalisasi kembali kebijakan yang bersifat
top down di Thailand Selatan, dan lebih
menekankan pendekatan keamanan daripada
pendekatan kesejahteraan. Kebijakan ini justru
menciptakan kekerasaan di sejumlah daerah
di tiga provinsi Thailand Selatan. Kondisi ini
dijawab dengan berbagai macam serangan
terhadap pos-pos kepolisian oleh kelompok
militan dari Thailand Selatan.
Sedangkan untuk kebijakan Malaysia
terhadap wilayah perbatasannya dengan
Thailand, Malaysia pun mendasarkan diri
pada Perjanjian Thailand-Inggris tahun 1909.
Dalam hal penentuan batas wilayah perbatasan
daratnya terutama aliran sungai, kedua negara
itu menerima rejim thalweg untuk membagi
batas wilayah yang dibatasi oleh sungai dengan
mengandalkan bagian sungai yang terdalam.28
Sedangkan penentuan tapal batas untuk wilayah
perbatasan darat ditandai dengan “border
stone”. Penempatan patok batas tersebut
dilakukan setelah adanya kesepakatan dengan
negara yang berbatasan.29 Dalam perumusan
kebijakan terkait persoalan perbatasan, Malaysia
menempatkan posisi perdana menteri sebagai
tokoh kunci penentu kebijakan perbatasan.30
Kebijakan Malaysia terhadap kawasan
perbatasan Thailand-Malaysia dibedakan atas
dasar periodisasi perdana menteri. Pertama
adalah periode PM Tunku Abdul Rahman.
Pada tahun 1955, Tunku Abdul Rahman
selaku PM Malaysia melakukan kunjungan
ke Bangkok untuk menemui Raja Bhumibol.
Dalam pertemuan tersebut, beliau meminta agar
diberikan kemudahan kepada warga kedua negara
Barry Wain, “Latent Danger: Boundary Disputes
and Border Issues in Southeast Asia”, dalam Daljit
Singh dan Puspa Thambipillai (Ed.), Southeast Asia
Affairs 2012 (Singapura: ISEAS, 2012), hlm. 48.
29
Malaysia National Security Council, “The Principle
of Malaysia Land Boundaries”, http://www.mkn.gov.
my/mkn/default/article_e.php?mod=4&fokus=9,
diakses pada tanggal 25 Oktober 2012.
30
Lihat Asri Shaleh, dkk, “Malaysia Policy towards
its 1963 – 2008 Teritorial Disputes”, Journal of Law
and Conflict Resolution, Vol. 1/5, October, 2009,
hlm. 107-116.
28
yang berada di perbatasan Malaysia – Thailand
untuk keluar masuk kedua negara tersebut.
Sebagai gantinya, Tunku Abdul Rachman
berjanji tidak akan mencampuri persoalan antara
pemerintah Bangkok dengan Thailand Selatan
dan menyatakan bahwa tidak akan memberikan
bantuan apapun terhadap kelompok separatis
Melayu muslim dari Thailand Selatan.31 Pada
level kebijakan, pemerintah Malaysia memang
menetapkan kebijakan tersebut, namun di level
masyarakat kebijakan tersebut tidak dapat
dilaksanakan secara kaku, karena Thailand
Selatan dengan Malaysia Utara, terutama di
Kelantan memiliki hubungan kekerabatan
yang cukup dekat. Masyarakat Kelantan yang
pada saat itu dikuasai oleh PAS menyatakan
bahwa sangat mendukung Thailand Selatan dan
meminta kepada Pemerintah Thailand untuk
menghentikan konflik di daerah selatan melalui
pemberian otonomi. Karena rivalitas yang
ketat dengan PAS, maka UMNO tidak dapat
menghindari untuk memberikan bantuan kepada
Melayu Muslim Thailand apabila terjadi konflik
antara orang-orang Muslim Thailand di selatan
dengan Pemerintah Thailand.32 Kebijakan pro
Muslim Melayu di daerah perbatasan ThailandMalaysia diiringi dengan kebijakan anti
kelompok komunis Melayu yang bergerilya di
sepanjang perbatasan Thailand-Malaysia.33
Periode kedua adalah periode PM Mahathir
Mohamad yang melanjutkan kebijakan
sebelumnya. Setelah Partai Komunis Malaysia
dibubarkan (1989), Malaysia dihadapkan
kepada kondisi perbatasan Thailand-Malaysia
tegang, sehubungan dengan menguatnya
militansi kelompok Muslim Melayu di tiga
provinsi perbatasan Thailand Selatan. Dalam hal
ini, Malaysia menyikapi positif sinyal Thailand
untuk melakukan perundingan.
Periode ketiga adalah periode PM
Abdullah Ahmad Badawi. Pada masa
Pemerintahan Abdullah Ahmad Badawi,
Malaysia menerapkan kebijakan pembangunan
daerah perbatasan untuk mengurangi disparitas
Wawancara tim peneliti dengan Dosen College
of Law, Government, and International Studies
(COLGIS), Universiti Utara Malaysia, pada 25 Juni
2012, di Malaysia.
32
John Funston, “Thailand’s Southern Fires: The
Malaysian Factor”, UNEAC Asia Papers No.26,
2008, hlm. 58.
33
K.S. Nathan, “Malaysia in 1989: Communists End
Armed Struggle”, Asian Survey, Vol. 30/2, February,
1990, hlm. 210.
31
Hubungan Perbatasan Antara Thailand dan Malaysia ... | Agus R. Rahman | 119
atau kesenjangan ekonomi antara wilayah di
Malaysia. Memang, persoalan ekonomi ini juga
masih menjadi persoalan yang dihadapi oleh
Malaysia bagian utara sebagai daerah yang
relatif kurang maju di Malaysia. Sayangnya,
Malaysia kemudian melakukan suatu tindakan
yang berdampak terhadap negara tetangganya
dengan memberikan dukungan penampungan
bagi pengungsi Muslim Melayu asal Thailand
Selatan setelah peristiwa Masjid Krue Se dan
Tak Bai. Hal ini kemudian disusul oleh pelarian
131 Muslim Melayu dari Thailand Selatan
ke Kelantan pada bulan Agustus 2005, dan
diberikan perlindungan oleh Malaysia.
Periode keempat adalah periode PM
Najib Tun Razak. Pada masa pemerintahan
PM Malaysia Najib Tun Razak, Malaysia
mencoba mengembangkan zona ekonomi di
daerah perbatasan. Secara khusus, Malaysia
mendirikan zona bebas-bea di sejumlah pintu
perbatasan dengan Thailand seperti Rantau
Panjang dan Pangkalan Kubor.34
Aktivitas Lintas Batas Ilegal dan
Profilnya di Perbatasan ThailandMalaysia
Aktivitas lintas batas ilegal di perbatasan
Thailand-Malaysia, tidak dapat dilepaskan dari
kedekatan geografis dan kesamaan demografis.
Secara geografis, wilayah perbatasan kedua
negara ini membentuk suatu kawasan
perbatasan yang menempati suatu ruang
spasial yang sama. Selain kedekatan geografis,
kawasan perbatasan Malaysia juga memiliki
kesamaan demografis dengan provinsi-provinsi
di Thailand Selatan, yaitu dominasi penduduk
Melayu-Muslim. Dominasi etnis Melayu
terlihat di Perlis (85,82%), Kedah (75,05%),
Perak (52,73%), dan Kelantan (92,66%). Satu
fakta menarik dari karakteristik populasi di atas
adalah bahwa persentase etnis Melayu di Perlis,
Kedah, dan Kelantan lebih besar dibanding
rata-rata nasional. Jika populasi 4 negeri ini
digabung, maka persentase etnis Melayu
mencapai 71,15%, masih lebih tinggi dibanding
Lihat Fauzi Hussin, Norehan Abdullah, dan
Selamah Maamor, “Border Economy: Issue and
Problems Faced by Traders in the Rantau Panjang
Duty-Free Zone,” Journal of Sociological Research,
Vol. 3/2, 2010), hlm. 46-56.
34
rata-rata nasional sebesar 67,4%.35 Sementara
itu, penduduk Melayu-Muslim juga mendiami
provinsi-provinsi di Selatan Thailand dengan
populasi sekitar 80%. Populasi Melayu-Muslim
di Thailand Selatan ini tersebar di Provinsi
Narathiwat (82%), Pattani (81%), Yala (69%),
Satun (68%), dan empat distrik di Provinsi
Songkhla (25%).36
Kemudian, kawasan perbatasan MalaysiaThailand juga memiliki karakterisitik ekonomi
yang sama. Keempat negeri perbatasan bagian
Malaysia mencatatkan diri sebagai 4 negeri/
wilayah persekutuan dengan pendapatan
rumah tangga bulanan terendah di Malaysia.37
Dengan kata lain, penduduk di empat negeri
ini relatif lebih miskin dibandingkan penduduk
Malaysia lainnya. Demikian pula dengan
provinsi-provinsi perbatasan Thailand Selatan
yang relatif tertinggal dibanding wilayah
Thailand lainnya. Mereka masih menghadapi
masalah kemiskinan, pengangguran, rendahnya
tingkat pendidikan, keterbatasan infrastruktur,
minimnya ketersediaan lahan dan modal,
rendahnya kualitas standar hidup, dan problem
ekonomi lainnya.38 Sebagai akibat dari
kedekatan geografis serta kesamaan demografis
dan tingkat ekonomi di kawasan perbatasan
Malaysia dengan Thailand, aktivitas lintas batas
antara penduduk kedua negara di sepanjang
perbatasan darat dan sungai ini berlangsung
intensif.
Sebagai satu pintu perlintasan antarnegara
yang formal, perbatasan Danok–Bukit Kayu
Hitam adalah perbatasan antara wilayah
Provinsi Songkhla di Thailand Selatan dengan
Jabatan Perangkaan Malaysia, “Taburan Penduduk
Mengikut Kawasan Pihak Berkuasa Tempatan dan
Mukim, 2010”, http://www.statistics.gov.my/portal/
index.php?option=com_content&view=article&id=1354&Itemid=111 &lang=bm, diakses pada
tanggal 24 September 2012.
36
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, lihat
selengkapnya John Funston, op.cit., hlm. 55-67.
37
Jabatan Perangkaan Malaysia, “Laporan
Penyiasatan Pendapatan Isi Rumah dan Kemudahan
Asas 2009”, http://www.statistics.gov.my/portal/
images/stories/files/LatestReleases/household/
Press_-Release_household2009_BM.pdf, diakses
pada tanggal 24 September 2012.
38
Bangkok Pundit, “Economic Situation in Southern
Thailand”, 24 April, 2007, yang mengulas artikel
Srisompob Jitpiromsri, http://asiancorrespondent.
com/20195/economic-situation-in-southernthailand/, diakses pada tanggal 3 November 2012.
35
120 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Negara Bagian Kedah di Malaysia Utara yang
nampak sangat dinamis, baik untuk lintas barang
maupun orang, termasuk jasa. Hasil pengamatan
di lapangan menunjukkan arus lintas barang
dan orang di perbatasan ini terlihat sangat
padat. Perbatasan ini merupakan perbatasan
darat dimana ramai dengan antrian kendaraankendaraan (mayoritas truk pengangkut barang),
baik yang berada di sisi Malaysia hendak masuk
ke Thailand, maupun arah sebaliknya.
Begitu padatnya volume dan arus lintas
perdagangan di perbatasan ini, sehingga sangat
dibutuhkan pengembangan customs house di
perbatasan. Padatnya lintasan hingga terjadi
antrean panjang truk-truk yang hendak melintas,
bisa memunculkan kemungkinan “kemudahan”
proses pengecekan barang bawaan. Banyak
jenis barang yang diselundupkan termasuk
pula binatang-binatang yang dilindungi seperti
penyu, serta tunas-tunas kelapa sawit menjadi
barang dagangan ilegal yang bernilai tinggi.
Aturan yang ditegakkan di area imigrasi
dan customs house di Sadao nampaknya cukup
jelas. Aturan imigrasi itu adalah sebagai berikut:
39
“Fees and Charges for entering
and departing the Kingdom of Thailand
collected at each immigration checkpoint
are as follows:
1. an owner or controller of an automobile
and train à 25 Baht
2. each passenger à5 Baht
3. an owner or controller of vehicle other
than those listed in #1 à 10 Baht
4. each passenger 3 Baht
On foot commuters are exempted from
being charged
The above mentioned fees and charges
collection will be enforced during the
following hours of a day only:
05.00 AM – 08.30 AM
12.00 PM – 13.00 PM
16.30 PM – 18.00 PM
And only weekends and public holidays
*For your own beneficial matter please
ensure having receipt of all fees and charges
of this office.”
Diambil dari hasil dokumentasi tim peneliti atas
pengumuman aturan tertulis didekat checkpoints
di Sadao, Juni 2012. Pengumuman aturan tertulis
itu disajikan dalam bentuk 3 bahasa, yaitu Melayu,
Thailand, dan Inggris.
39
Pada aturan tersebut, khususnya untuk
para pejalan kaki yang masuk dan ke luar
Thailand sesungguhnya tidak selalu ‘konsisten’
dengan aturan tertulisnya. Ada kalanya secara
acak, pelintas yang sedang berurusan mengecap
passport di checkpoints Sadao, Thailand, diminta
membayar uang sebesar RM 2 ke petugas.40
Peristiwa ini sudah tentu tidak termasuk sebagai
hasil pemasukan secara resmi ke pemerintah
setempat. Pendapatan ‘liar’ bagi petugaspetugas imigrasi tentu bisa dikategorikan pula
sebagai pemasukan ilegal, yang berimbas
langsung pada kepentingan sekelompok oknum
tertentu. Sangat ironis ketika pemerintah sedang
memberantas tegas aktivitas ilegal termasuk
segala jenis penyelundupan, sementara oknumoknum petugas ‘bermain api’ di area steril ini.
Pada pintu perbataan yang lain seperti di
Sungai Kolok-Rantau Panjang, pintu perbatasan
ini merupakan perbatasan sungai, bukan darat,
yang berjarak kurang dari10 meter. Sungai
Kolok berada di Provinsi Narathiwat, Thailand
Selatan, sedangkan Rantau Panjang berada di
Negara Bagian Kelantan, Malaysia. Kondisi
area di perbatasan sisi Thailand ini jauh lebih
baik dan luas daripada perbatasan Thailand
sebelumnya yaitu di Danok, Songkhla. Arus
lintas yang melewati customs house dan
checkpoints cukup tinggi, meski tidak terlihat
antrean yang amat panjang.
Truk-truk pengangkut kayu-kayu log
memasuki pos Thailand paling sedikit 5060 truk per hari. Disamping itu, beberapa
komoditi dari Malaysia seperti tepung kanji/
gandum, minyak juga masuk ke Thailand.
Sebaliknya, dari Thailand mengangkut lembu,
udang, padi ke Malaysia. Menurut beberapa
sumber di lapangan, truk-truk yang datang dari
kedua negara ini, ada yang hanya uploading
muatannya di dalam area negara tujuan, dan
tidak keluar dari area customs house. Truk
bersangkutan, kemudian, kembali lagi ke negara
asal. Ini bisa disebabkan dua faktor, yaitu: 1)
Pembayaran bisa dengan mata uang Ringgit
Malaysia maupun Baht. Bahkan kita bisa melihat
adanya fakta si penjual buah di kaki lima menjajakan
pula formulir untuk melintas dengan menaruh papan
bertulis “Border Pas to Malaysia”. Ini artinya “border
pas forms” yang seharusnya bisa diperoleh tanpa
biaya yang disediakan di customs house, menjadi
‘diperjualbelikan’ oleh pihak di luar petugas resmi.
Ini jelas merupakan gambaran betapa sesungguhnya
kegiatan ‘ilegal’ di depan mata petugas resmi menjadi
‘legal’ demi keuntungan pihak tertentu.
40
Hubungan Perbatasan Antara Thailand dan Malaysia ... | Agus R. Rahman | 121
untuk menghindar adanya penyelundupan; 2)
menghindar dari pembayaran pajak masuk guna
menekan ongkos delivery.
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa
area di customs house Sungai Kolok ini begitu
luas dan tertata rapi mengijinkan beberapa
penarik jasa (ojeg sepeda motor) dan pedagang
kaki lima mengais rejeki di area ini. Hal ini
berbeda dengan kondisi di Sadao, dimana
mereka mengais rejeki di sisi area customs house
Malaysia yaitu di Bukit Kayu Hitam, sehingga
sangat rentan dengan terjadinya praktek-praktek
ilegal.
Namun, tidak jauh dari pintu perbatasan
resmi ini, terdapat lintasan ilegal di atas
perbatasan sungai ini. Perbatasan ilegal atau
“haram” ini digunakan sebagai lintas barangbarang dagangan kebutuhan ekonomi bagi
masyarakat lokal perbatasan. Keberadaannya
sangat tidak mungkin jika tidak diketahui
oleh aparat keamanan setempat.41 Selain itu,
beberapa kilometer dari perbatasan Jembatan
Sungai Kolok ke arah timur, terdapat beberapa
’pintu masuk’ bagi aktivitas ilegal menuju ke
dan dari Thailand. Penyeberangan di perbatasan
ini dilakukan dengan menggunakan perahu
untuk membawa barang-barang ilegal seperti
beras dan kebutuhan harian. Namun, ini tidak
menutup kemungkinan terjadi praktek-praktek
ilegal lainnya mengingat kondisi fisik sepanjang
sungai ini merupakan perbatasan yang sangat
terbuka.
Sedangkan untuk pintu perlintasan di Tak
Bai-Pangkalan Kubor, Wilayah perbatasan
sungai ini berbeda dari perbatasan di Sungai
Kolok. Perbatasan sungainya sangat lebar dan
tidak dihubungkan dengan sebuah jembatan,
melainkan dengan jenis transportasi umum
seperti boat/perahu motor dan feri. Di pintu
masuk kota Tak Bai ini dipampang foto-foto yang
dianggap sebagai teroris oleh aparat keamanan
yang bersiap siaga di pintu masuk. Artinya, kota
Tak Bai memang sangat rentan dengan aktivitas
ilegal jenis ini karena seringkali terjadi konflik
ataupun peledakan bom di wilayah muslim ini.
Untuk profil aktivitas lintas batas ilegal di
perbatasan Thailand-Malaysia, profil aktivitas
Beberapa nara sumber di perbatasan Rantau
Panjang, Kelantan menjelaskan barang-barang
dagangan seringkali diantar melalui pintu perbatasan
“haram” ini, namun pembelinya tetap melintas di
pintu perbatasan resmi.
41
ilegal ini sekurang-kurangnya meliputi lima
jenis yaitu kunjungan keluarga, pekerja tidak
berdokumen, penyelundupan barang, wisata
seks, dan pengungsian. Kelima jenis aktivitas
lintas batas ilegal berdampak negatif terhadap
kedua negara yang berbatasan baik di bidang
politik-keamanan, maupun sosial ekonomi.
Pertama, dalam bidang politik-keamanan,
sering
terjadi
peningkatan
ketegangan
hubungan antara Malaysia dengan Thailand.
Ketegangan ini banyak dipicu oleh keberadaan
orang-orang yang dituduh separatis oleh
pemerintah Thailand di wilayah Malaysia.
Misalnya pada 2005, pernyataan pemerintah
Malaysia yang tidak mau mengembalikan 131
warga Thailand Muslim yang menyeberang
ke Kelantan jika keselamatan dan hak mereka
tidak dijamin pemerintah Thailand juga sempat
meningkatkan ketegangan kedua negara.42
Beberapa ketegangan politik tersebut berujung
pada insiden perbatasan. Salah satunya adalah
insiden pada Desember 1991 yang melibatkan
kekuatan militer dari kedua negara. Insiden
lainnya adalah penembakan 2 nelayan
Thailand oleh tentara angkatan laut Malaysia
pada November 1995.43 Kedua, dalam
bidang ekonomi, terjadi persaingan dalam
mendapatkan pekerjaan antara penduduk lokal
yang berpendidikan rendah seperti di daerah
Rantau Panjang, Kelantan dengan pendatang
dari Thailand. Para pemberi kerja lebih suka
dengan pekerja Thailand karena upah yang
lebih murah. Kemudian, terjadi pula persaingan
dalam mendirikan tempat usaha. Menurut
pemerintah Malaysia, pendatang dari Thailand
ini mendominasi kepemilikan kedai-kedai di
kawasan perbatasan Malaysia. Data tahun 2007
mencatat ada 157 kedai di kawasan perbatasan
Malaysia yang dimiliki oleh orang Thailand,
sementara kedai milik pedagang lokal Malaysia
hanya 110 buah.44 Ketiga, dalam bidang sosial,
terjadi peningkatan angka kriminalitas yang
dilakukan oleh para pendatang, kenaikan kasus
penyakit hepatitis, HIV/AIDS, dan penyakitpenyakit kelamin di Kedah dan
jumlah
pengguna fasilitas rumah sakit oleh pendatang
dari Thailand, serta peningkatan penggunaan
subsidi pendidikan oleh anak-anak pekerja dari
John Funston, op.cit., hlm. 59.
Andrew Tan, “Intra-ASEAN Tensions”, The Royal
Institute of International Affairs Discussion Paper,
No. 84, London, Chantam House, 41.
44
Abdul Rahim Anuar, “Janan Ekonomi Sempadan”,
Koran Utusan Malaysia, 11 Januari 2008.
42
43
122 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Thailand (yang menduduki peringkat kedua
dalam jumlah siswa pendatang asing).45
Upaya Bilateral dan Regional
dalam Mengatasi Aktivitas Lintas
Batas Ilegal
Dalam hal upaya kedua negara dalam mengatasi
aktivitas lintas batas ilegal, masing-masing pihak
tampaknya berkomitmen untuk mendasarkan
diri pada kerjasama perbatasan kedua negara.
Kerjasama perbatasan antara Thailand dan
Malaysia dalam beberapa hal tampaknya
merupakan kelanjutan dari kerjasama perbatasan
yang dilakukan oleh kolonialis Inggris dengan
Thailand, seperti kerjasama keamanan dalam
menghadapi para bandit dan pemberian pas
lintas pada tahun 1940, serta angkutan kereta.
Setelah kemerdekaan, Malaysia dan Thailand
melanjutkannya terutama kerjasama keamanan
untuk pemberantasan kelompok komunis
Melayu di perbatasan Thailand-Malaysia.
Oleh karena itu, isu ini menjadi
perhatian baik pemerintah Malaysia maupun
Thailand, sehingga Pemerintah Malaysia tetap
melanjutkan kerjasama bilateral antara Malaysia
dengan Thailand untuk mengatasi komunis dan
kelompok separatis yang sudah ada sejak tahun
1949. Kerjasama ini berupa pertemuan rutin
antara pejabat kedua negara, kerjasama militer
sepanjang perbatasan dan juga kerjasama
intelijen di Hat Yai. Kerjasama ini diperbarui
pada tahun 1970, dimana kerjasama ini berupa
pertemuan tahunan antara menteri kedua
negara, semakin mengintensifkan pertemuan
rutin antara pejabat kedua negara, hingga
pemberian hak untuk melakukan pengejaran di
sepanjang perbatasan kedua negara (meskipun
bagian ini kemudian direvisi pada tahun 1977).
Meskipun demikian, kecurigaan Thailand
terhadap Malaysia tidak berkurang terkait
dengan kelompok pemberontak dari Thailand
Selatan, bahkan masih melihat bahwa markas
kelompok separatis ada di Malaysia.46
Pemerintah Thailand tetap melakukan
upaya pengawasan dan pemberantasan aktivitas
Radziah Abdul Rahim, Siti Alida John Abdullah,
dan Rohani Abdul Ghani, Implikasi Sosial
Kemasukan Pendatang Asing di Kedah, (Kajian),
(Sintok: Sekolah Pembangunan Sosial Universiti
Utara Malaysia, 1999), hlm. 53-60.
46
John Funston, op.cit., hlm. 59.
45
lintas batas ilegal ini. Aturan tertulis yang
terpampang di pintu-pintu masuk perbatasan
bisa dengan jelas dipatuhi. Selain itu, adanya
pemeriksaan secara ketat di pintu-pintu
perbatasan sesungguhnya menandai kehatihatian pemerintah Thailand mengantisipasi
aktivitas ilegal. Namun pemasangan sejumlah
aturan tertulis di tiap-tiap checkpoints, seringkali
tidak diikuti oleh petugas resmi. Bahkan
banyak penduduk perbatasan menyediakan/
menjual jasanya dalam pelayanan pengisian
formulir imigrasi yang tidak jauh dari bilikbilik checkpoints (seperti yang terjadi di Sadao).
Bukankah gambaran yang demikian ini sangat
mustahil tidak diketahui oleh petugas aparat di
perbatasan, sementara nyata-nyata aktivitas LBI
ini berada di depan mata mereka.
Kondisi fisik perbatasan sungai seperti
Sungai Kolok yang panjang, mudah memberi
peluang terjadinya aktivitas LBI, apalagi di
malam hari. Sebagaimana sudah dikemukakan
sebelumnya, adanya perbatasan “haram”,
yang “dilegalkan”, baik oleh pihak Malaysia
maupun Thailand Selatan, bukan tidak
mungkin mencerminkan adanya aturan “karet”
perbatasan, demi pemenuhan kebutuhan
komoditi ekonomi masyarakat perbatasan.
Sedangkan bagi Malaysia, dua hal utama
menjadi perhatian utama dalam mengatasi
aktivitas lintas batas ilegal di perbatasannya
dengan Thailand. Pertama, Malaysia membantu
penyelesaian konflik di Thailand Selatan
sebagai salah satu penyebab utama maraknya
aktivitas lintas batas ilegal. Pada tahun 1998,
Malaysia mengadakan kesepakatan kerjasama
antarpolisi
Malaysia-Indonesia-Thailand.
Kerjasama ini mencatat sejumlah keberhasilan
seperti penangkapan beberapa pemimpin
gerakan separatis dan rehabilitasi lebih dari 900
mantan ”militan”. Pada tahun 2004, Malaysia
dan Thailand juga menyepakati pembukaan
dua pos lintas batas untuk memerangi terorisme
dan penyelundupan di kawasan perbatasan dan
untuk memfasilitasi perdagangan dan turisme.47
Kedua, Malaysia bekerjasama dengan
Thailand untuk membangun kawasan perbatasan
yang lebih baik. Dalam bidang ekonomi,
kedua negara sepakat membentuk Kawasan
Pembangunan Bersama Malaysia-Thailand
Rita Camilleri, “Malaysia – A Tale of Two Conflicts:
Non-Muslim Neighbours and Muslim Minorities”,
La Trobe University Centre for Dialogue Working
Paper, No. 1, 2007, hlm. 7-12.
47
Hubungan Perbatasan Antara Thailand dan Malaysia ... | Agus R. Rahman | 123
(Malaysia-Thailand Joint Development Area)
untuk mengeksplorasi sumber-sumber bukan
hidup dan hasilnya dibagikan sama rata antara
kedua negara. Dalam bidang keamanan, kedua
negara juga membentuk General Border
Committee (GBC), Regional Border Committee
(RBC), dan High Level Committee (HLC) yang
memainkan peran penting dalam memelihara
keamanan perbatasan Malaysia-Thailand, dan
bertindak sebagai platform bagi kedua negara
untuk memperbincangkan dan menyelesaikan
masalah secara bersama dengan damai.48
Upaya kerjasama ini secara teori lebih
berpotensi efektif dan menguntungkan
kedua belah pihak. Pertama, kendala batas
kedaulatan bisa diatasi karena masing-masing
negara bergerak di wilayah kewenangan
masing-masing. Kedua, potensi perdagangan
yang selama ini berjalan secara ilegal bisa
dilegalkan dan dioptimalkan untuk mendukung
kesejahteraan masyarakat perbatasan kedua
negara. Selain itu, sumber daya yang digunakan
juga bisa lebih murah. Malaysia akan berfokus
pada faktor-faktor pendorong (push factors)
aktivitas lintas batas ilegal, sementara Thailand
berfokus pada faktor penariknya (pull factor).
Selain menguntungkan dalam dimensi bilateral,
kerjasama ini juga menguntungkan secara
multilateral di mana perbatasan antarnegara
ASEAN memang seharusnya dikelola dalam
cara damai dan kooperatif, sehingga bisa
mendukung stabilitas kawasan.
Selaint itu, untuk memformalkan pelintas
batas ilegal yang bersifat tradisional itu, sejak
tahun 2000, pemerintah Malaysia dan Thailand
memberlakukan Pas Perbatasan sebagai passpor
untuk penduduk di empat provinsi Thailand
Selatan, dan empat negara bagian Malaysia
di Semenanjung Malaya. Para pengguna pas
lintas perbatasan ini hanya diperkenankan
bergerak sejauh 25 km dari perbatasan. Pada
sisi yang lain, aktivitas lintas batas ilegal ini
menjadi ancaman serius bagi kedua negara
yang bertetangga, sehubungan dengan beberapa
lintas batas ilegal ini mencakup pekerja migran
ilegal (ilegal migrant worker), pembawa
obat-obatan/narkotik (drug courier), teroris
(terrorist), penyelundup (smuggler), trafficking,
Ling Siew Ching, Ekonomi Malaysia-Thailand
dari Perspektif Teori Saling Bergantung dan Kesan
terhadap Keselamatan Sempadan (Academic
Exercise), (Sintok: Pengkajian Antarbangsa
Universiti Utara Malaysia, 2010), hlm. 18-20.
48
buronan (fugitive) dan para pelaku kriminal
lainnya seperti bandit (banditary). Aktivitas
lintas batas ilegal ini kemudian dikonsepsikan
sebagai kejahatan transnasional.
Kemudian setelah Malaysia merdeka,
kedua negara mengembangkan pola joint
meeting, seperti General Border Commission
dan Joint Border Commission. Pihak Thailand
mulai mendekati Malaysia dalam rangka untuk
mengatasi persoalan militan Muslim di Thailand
Selatan yang dilihat sebagai kelompok separatis
oleh Bangkok. Thailand juga menyatakan bahwa
adanya dual nationality menjadikan persoalan
separatis di Thailand Selatan tidak pernah
selesai, karena mereka dapat secara bebas keluar
masuk Malaysia dan Thailand. Oleh karena itu,
Malaysia dan Thailand melakukan joint cabinet
meeting pada Desember 2002. Pada pertemuan
tersebut, Malaysia sepakat dengan Thailand
untuk membuka dua titik masuk imigrasi
antara Thailand – Malaysia dalam rangka untuk
memberantas terorisme dan penyelundupan
di perbatasan, serta untuk meningkatkan
perdagangan dan pariwisata. Selanjutnya, dari
hasil pertemuan tersebut tercipta kerjasama
militer baru antara Malaysia dengan Thailand.49
Hubungan keduanya semakin erat
dengan ditandatanganinya kesepakatan a Joint
Development Strategy (JDS). Kedua negara ini
sepakat untuk melakukan kerjasama di bidang
ekonomi dalam rangka untuk meningkatkan
perekonomian dan mengurangi kemiskinan di
daerah perbatasan. Kerjasama ini dimaksudkan
untuk meningkatkan aktivitas perdagangan
dan ekonomi di perbatasan Malaysia, sehingga
dapat meningkatkan tingkat perekonomian
masyarakat.
Pada tahun 2010, telah diselenggarakan
Lima Dasar Summit antara Malaysia – Thailand
di Songkhla dalam rangka untuk memperkuat
hubungan kedua negara melalui 5-5-5 strategy.
Memang kedua negara memang lebih bersepakat
untuk membuka zone ekonomi dibandingkan
keamanan, karena masalah yang terkait dengan
Muslim Thailand ini masih menjadi ganjalan
bagi kedua belah pihak.50 Hingga saat ini
Ibid.
Petchanet Pratruangkrai, “Thailand, Malaysia
Agree Measures for Closer Joint Border Production
Tourism”, 25 September 2010, http://www.
nationmultimedia.com/home/2010/09/25/business/Thailand-Malaysia-agree-measures-for-closerjoint--30138691.html, diakses pada tanggal 9 Juni
49
50
124 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
hubungan kedua negara ini cukup baik. PM
Malaysia Datuk Seri Najib Tun Razak bertemu
dengan PM Thailand yang baru, Yincluck
Sinawatra, untuk membicarakan persoalan di
daerah perbatasan sekaligus mencari solusi
bersama untuk persoalan di Thailand Selatan
serta kerjasama ekonomi kedua negara dalam
rangka mendorong perekonomian di Thailand
Selatan. Banyaknya peledakan bom dan
insiden di Thailand selatan mendorong PM
Malaysia untuk dapat ikut ambil bagian dalam
penyelesaian persoalan di Thailand selatan.
Inisiatif ini juga ditanggapi positif oleh PM
Yinluck. Terkait dengan persoalan di Thailand
Selatan, kedua kepala pemerintahan sepakat
untuk melanjutkan kerjasama secara kontinyu
melalui pertemuan tahunan tingkat Perdana
Menteri dan komite perdagangan kedua
negara.51
Sedangkan
upaya
regional
yang
difokuskan pada peran ASEAN, kedua negara
meletakkannya pada situasi yang dapat
menciptakan ketegangan diantara mereka.
Apalagi, kalau mereka berdua membiarkan
tetap berlangsungnya aktivitas lintas batas ilegal
in sepanjang perbatasan kedua negara, aktivitas
lintas batas ilegal akan dimungkinkan berubah
menjadi kejahatan transnasional. Tambahan
lagi, karakter kawasan perbatasan Thailand
Selatan bergantung kepada kawasan perbatasan
Malaysia Utara, dan kebijakan pemerintahan
Thailand terhadap provinsi perbatasan Thailand
Selatan cenderung sangat keras, diskriminatif,
dan sepertinya tidak sederajat.
Kedua negara ini “have a long history
of boundary disputes but have consistently
resolved them in original and innovative
ways”.52 Respon Malaysia atas keadaan ini
ialah bekerjasama dalam berbagai proyek
pembangunan di Thailand Selatan. Malaysia
2012.
51
Abdul Ghoni Ahmad, “Bilateral Relation:
Malaysia Vows To Help Thailand To find Longterm
Solutionin Restive South”, 20 Februari 2012, http://
www.ntv7.com.my/7edition/local-en/bila
teral_
relations_malaysia_vows_to_help_thailand_find_
long_term_solutions_in_restive_south.html, diakses
pada tanggal 20 Juni 2012.
52
Captain Somapee, “Insurgency In Southern
Thailand And The Four-Track Mitigation Policy”,
/t.th./,
http://-www.navy.mi.th/navedu/acd/data_
docu/capt_soonpuen_somapee/southern_thailand.
pdf, hlm. 69, diakses pada tanggal 24 September
2012.
memang menghadapi dilema di perbatasannya
dengan Thailand: bagaimana mendukung
minoritas Muslim di negara lain tanpa
mengusik kedaulatan negara lain itu. Kendala
ini diperbesar karena Malaysia merupakan
anggota ASEAN. Tetapi pada lain pihak,
sebagai anggota Organisasi Konferensi Islam,
Malaysia diharapkan merespon kepentingan
orang-orang Muslim. Dilema ini dihadapi
Malaysia pula. Sebagai anggota ASEAN,
Malaysia harus berpegang kepada kebijakan
tidak campur tangan dalam permasalahan dalam
negeri negara anggota lain dan harus mengakui
kedaulatan Thailand atas wilayah Patani, karena
perbatasan antara kedua negara itu sudah
ditetapkan dan diterima oleh kedua belah pihak.
Tetapi keanggotaan pada OIC mengharuskan
Malaysia membantu kebutuhan orang Muslim
di seberang perbatasannya dengan Thailand.
Thailand sendiri adalah “observer” pada OIC
itu.
Kesulitan yang terdapat di pihak Thailand
ialah bahwa pemerintah tidak mau mengakui
secara terbuka bahwa negara itu menghadapi
pemberontakan yang berkepanjangan, tidak
mau menghentikan “mentalitas pengingkaran”
atas pemberontakan di bagian selatan negara itu.
Permasalahan yang paling besar yang dihadapi
Thailand ialah “policymakers are not committed
to the idea of a peace process because they think
they will lose face and political capital.”53 Rasa
kehilangan muka dan modal politik di sebagian
elit politik Thailand inilah yang menyulitkan
negara itu menghadapi kenyataan dan mencari
penyelesaian pemberontakan di Patani.
Apabila kelompok yang menjalankan
“sindrom pengingkaran” ini tidak dikelola
dengan baik, maka mereka dapat menciptakan
suatu krisis perbatasan yang berkepanjangan
bagi Thailand. Faktor ASEAN memang
memainkan peran yang penting dalam
meredakan ketegangan di antara kedua negara
anggotanya ini. Kendatipun demikian, Thailand
maupun Malaysia tidak pernah mengajukan
masalah di perbatasan di antara kedua negara
ini kepada ASEAN atau KTT ASEAN untuk
penyelesaiaannya. Masalah ini diusahakan
untuk diselesaikan secara bilateral di dalam
kerangka ASEAN, sesuai dengan tata cara
penyelesaian sengketa sesuai Treaty of Amity
and Cooperation dan Piagam ASEAN.
“OIC visit and the state of denial over the South”,
The Jakarta Post, 20 May 2012.
53
Hubungan Perbatasan Antara Thailand dan Malaysia ... | Agus R. Rahman | 125
Masalah di perbatasan di antara Thailand
dan Malaysia ini tidak akan berakhir sampai
penguasa Thailand mulai memahami keluhan
sejati orang-orang Muslim-Melayu di wilayah
Selatan itu. Akan tetapi, Malaysia harus
menanggung akibat ketidakmauan elit politik
Thailand mendengarkan keluhan politik
warga negara Muslim Melayu di selatan dan
melestarikan sindrom pengingkaran mereka.
Daftar Pustaka
Buku
Abdullah, Ahmad Amir. 2010. “Grievances of
Patani Malays in Southern Thaialnd”.
Dalam Mohd Azizuddin Mohd Sani, Rieke
Nakamura and Shamsuddin L.Taya. (Ed).
Dynamic of Ethnic Relations in Southern
Thailand. Kedah: Cambridge Scholars.
Keohane, Robert. 1984. After Hegemony: Cooperation and Discord in the World
Political Economy. Princeton: Princeton
University Press.
Ohmae, Kenichi. 1995. The End of the Nation
State: The Rise of Regional Economies.
London: Harper Collins.
Prescott, J.R.V. 1978. Boundarie and Frontiers.
London: Croom Helm.
Tagliacozzo, Eric. 2007. Secret Trades, Porous
Border: Smuggling and States along a
Southeast Asia Frontiers, 1865-1915.
Singapura: NUS Press.
Tannam, Etain. 1999. Cross-Border Cooperation
in the Republic of Ireland and Northern
Ireland. London: Macmillan Press.
Winichakul, Thongchai. 1994. Siam Mapped:
A History of the Geo-Body of a Nation.
Honolulu: University of Hawaii Press.
Jurnal
Battersby, Paul. 1998/1999. “Border Politics and
Broader Politics of Thailand’s International
Relations in the 1990s: from Communism
to Capitalism”. Pacific Affairs, Vol. 71(4)
Chalamwong, Yongyuth, Jidapa Meepien,
dan Khanittha Hongprayoon. 2012.
“Management of Cross-border Migration:
Thailand as a Case of Net Immigration”.
Asian Journal of Social Science, Vol. 40(4).
Grundy-Warr, Carl, Rita King, dan Gary Risser.
1996. “Cross-Border Migration,
Trafficking, and the Sex Industry: Thailand and Its
Neighbours”. IBRU Boundary and Security
Bulletin.
Heckmann, Friedrich. 2004. “Illegal Migration:
What Can We Know and What Can
We Explain? The Case of Germany”.
International Migration Review, Vol 38(3).
Hussin, Fauzi, Norehan Abdullah, dan Selamah
Maamor. 2012. “Border Economy: Issue
and Problems Faced by Traders in the
Rantau Panjang Duty-Free Zone”. Journal
of Sociological Research, Vol. 3(2).
Kaur, Amarjit. 2009. “Labor Crossing in
Southeast Asia: Lingking Historical and
Contemporary Labor Migration”. New
Zealand Journal of Asian Studies, Vol.
11(1).
Moraczewska, Anna. 2010. “The Changing
Intepretation of Border Functions in
International Relations”. Revista Romana
de Geografie Politica, Vol. 12(2).
Mueller, Gerhard O.W. 1998. “Transnational
Crime: Definitions and Concepts”.
Combating Transnational Crime: a Special
Issue of Transnational Organized Crime,
Vol. 4(3)&(4).
Nathan, K.S. 1990. “Malaysia in 1989:
Communists End Armed Struggle”. Asian
Survey, Vol. 30(2).
Shaleh, Asri, dkk. 2009. “Malaysia Policy towards
its 1963 – 2008 Teritorial Disputes”.
Journal of Law and Conflict Resolution,
Vol. 1(5).
Stanslas, Pooja Terasha. 2010. “The Human
Trafficking Problem in US-Malaysia
Relations”. Asia Pacific Bulletin No. 88.
The Geographer. 1965. “Malaysia-Thailand
Boundary”. International Boundary Study
No. 57.
Thompson, J.E. 1995. “State Sovereignty in
International Relations: Bridging the Gap
between Theory and Empirical Research”.
International Studies Quarterly, Vol. 39.
Van Houtum, Henk. 2005. “The Geopolitics of
Borders and Boundaries”. Geopolitics, Vol.
10.
Laporan dan Makalah
Camilleri, Rita. 2007. “Malaysia- A Tale of Two
Conflicts: Non-muslim Neighbours and
126 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Muslim Minorities”. La Trobe University
Centre for Dialogue Working Paper No. 1.
Funston, John. 2008. “Thailand’s Southern Fires:
The Malaysian Factor”. UNEAC Asia
Papers. No.26.
Horstmann, Alexander. 2002. “Dual Ethnic
Minorities and the Local Reworking of
Citizenship at the Thailand-Malaysian
Border”. CIBR Working Papers in Border
Studies, CIBR/WP02-3.
Ling, Siew Ching. 2010. Ekonomi MalaysiaThailand dari Perspektif Teori Saling
Bergantung
dan
Kesan
terhadap
Keselamatan
Sempadan
(Academic
Exercise). Sintok: Pengkajian Antarbangsa
Universiti Utara Malaysia.
Nordin, Ahmad Fauzi. 2006. “Land and River
Boundaries Demarcation and MaintenanceMalaysia
Experience”.
International
Symposium on Land and River Boundaries
Demarcation and Maintenance in Support
of Borderland Development. Bangkok:
6-11 November 2006.
Permal, Sumathy. 2007. “Trafficking in the Strait
of Malacca,” Maritime Studies Journal,
No. 156, September/October.
Rahim, Radziah Abdul, Siti Alida John Abdullah,
dan Rohani Abdul Ghani. 1999. Implikasi
Sosial Kemasukan Pendatang Asing
di Kedah (Kajian). Sintok: Sekolah
Pembangunan Sosial Universiti Utara
Malaysia.
Tan, Andrew. 2000. “Intra-ASEAN Tensions”.
The Royal Institute of International
Affairs Discussion Paper, No. 84. London:
Chantam House.
Wain, Barry. 2012. “Latent Danger: Boundary
Disputes and Border Issues in Southeast
Asia”. Dalam Daljit Singh dan Puspa
Thambipillai. Ed. Southeast Asia Affairs
2012. Singapura: ISEAS, h. 38-60.
Surat Kabar dan Website
malaysia_vows_to_help_thailand_find_
long_term_solutions_in_restive_south.
html.
Jabatan
Perangkaan
Malaysia.
“Laporan
Penyiasatan Pendapatan Isi Rumah dan
Kemudahan Asas 2009”. http://www.
statistics.gov.my/portal/images/stories/
files/-LatestReleases/household/Press
Release household2009_BM.pdf.
Jabatan
Perangkaan
Malaysia.
“Taburan
Penduduk Mengikut Kawasan Pihak
Berkuasa Tempatan dan Mukim, 2010”.
http://www.statistics.gov.my/portal/index.php?option=com_content&view=article&i
d=1354&Itemid=111&lang=bm.
Johnson, Irving. “Movement and Identity
Construction Amongst Kelantan’s Thai
Community”. http://www.uni-muenster.de/
Ethnologie/South_Thai/-working
paper/
Johnson_Kelantan.pdf.
Malaysia National Security Council. “The
Principle of Malaysia Land Boundaries”.
http://www.mkn.gov.my/mkn/default/
article_e.php?mod=4&fokus=9.
Nanuam, Wassana. 2004. “Thai Army Seales
over 100 Ilegal Thai-Malaysian Border
Crossing, 27 Remain Open”. Bangkok
Post. 18 Oktober.
Pratruangkrai, Petchanet. 2010. “Thailand,
Malaysia Agree Measures for Closer
Joint Border Production, Tourism”. 25
September. http://www.nationmulti-media.
com/home/2010/09/25/business/-ThailandMalaysia-agree-measures-forcloserjoint-30138691.html.
Pundit, Bangkok. 2007. “Economic Situation
in Southern Thailand”. 24 April. http://
asiancorrespondent.com/20195/economicsituation-in-southern-thailand/.
Somapee, Captain, /t.th./. “Insurgency in Southern
Thailand and The Four-Track Mitigation
Policy”,
http://www.navy.mi.th/navedu/
acd/data_docu/capt_soonpu-en_somapee/-southern_thailand.pdf.
Anuar, Abdul Rahim. 2008. “Janan Ekonomi
Sempadan”. Koran Utusan Malaysia. 11
Januari.
Ahmad, Abdul Ghoni. 2012. “Bilateral Relation:
Malaysia Vows To Help Thailand To find
Longterm Solutionin Restive South”.
20
Februari.
http://-www.ntv7.com.
my/7edition/localen/bilateral_relations_
Hubungan Perbatasan Antara Thailand dan Malaysia ... | Agus R. Rahman | 127
128 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
PENCAPAIAN REFORMASI INSTRUMENTAL POLRI 1999-2011
ACHIEVEMENT OF THE INSTRUMENTAL
INDONESIAN NATIONAL POLICE REFORM
Sarah Nuraini Siregar
Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta
E-mail: [email protected]
Diterima: 2 Agustus 2013 ; direvisi: 4 Oktober 2013; disetujui: 11 Desember 2013
Abstract
Since the separation of Indonesian National Police (Polri) from Indonesian Army Forces (TNI) in 1999
until present, Polri has many instruments that become their priorities to perform its functions and authority.
However, these instruments have not been fully set up with clear authority to the national police, especially in
terms of coordination, relations with the Indonesian Army at the time of the management of security in conflict
areas supervisory mechanisms, and accountable for the performance of functions and authority of the national
police. Therefore, reform efforts were instrumental to the Police which still have different constraints and needs
to be re-evaluated over the implementation of these reform efforts. The presence of The Law No. 2, 2002 and
also other regulatory devices that turn out to be not rigid and clear regulation concerning powers and functions
of the national police, has caused new problems, such as the question of supervision, control mechanisms, the
relationship with other security actors at the time of security management, and so on.
Keywords: Reform, Instrumental, Instruments, Security, Police, Regulation.
Abstrak
Sejak pemisahan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dari ABRI pada tahun 1999, Polri memiliki banyak
instrumen (kebijakan) yang menjadi dasar bagi Polri untuk melakukan fungsi dan kewenangannya. Namun,
instrumen ini belum sepenuhnya diatur dengan kewenangan yang jelas kepada Polri, terutama dalam hal koordinasi,
hubungannya dengan TNI pada saat melakukan pengelolaan keamanan di daerah konflik, mekanisme pengawasan,
dan akuntabilitas dalam hal kinerja, fungsi, dan kewenangan Polri. Oleh karena itu, upaya Reformasi Instrumental
Polri yang masih memiliki kendala perlu dievaluasi kembali. Kehadiran UU No. 2 Tahun 2002 dan juga perangkat
peraturan lainnya masih menimbulkan masalah baru, seperti pengawasan, mekanisme kontrol, hubungan dengan
aktor-aktor keamanan lainnya, terutama pada saat menjalankan pengelolaan keamanan, dan sebagainya.
Kata kunci: Reformasi, Instrumental, Instrumen, Keamanan, Polisi, Peraturan.
Pendahuluan
Reformasi Polri sebenarnya sudah dimulai
sejak tahun 1998 lewat tuntutan reformasi
dimana salah satu tuntutan tersebut adalah
Reformasi di Bidang Keamanan (Security
Sector Reform). Untuk merealisasikan hal
tersebut, maka institusi Polri dipisahkan dari
TNI (militer) melalui melalui Instruksi Presiden
(Inpres) No. 2 Tahun 1999 tentang LangkahLangkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan
Polri dan ABRI.1 Inpres tersebut diperkuat
dengan dikeluarkannya Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat No. VI/MPR-RI/2000
tentang Pemisahan TNI dan Polri.
IDSPS, Reformasi Kepolisian Republik Indonesia
(Seri 6), Edisi No. 6 Tahun 2008, hlm. 1.
1
Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999-2011 | Sarah Nuraini Siregar | 129
Pada penelitian ini, yang dimaksud
dengan reformasi instrumental Polri adalah
kajian politik atas instrumen-instrumen yang
selama ini telah dilakukan, terutama dalam
hal pengaturan kewenangan dan fungsi Polri,
dengan mengambil periode sejak dimulainya
Reformasi Polri pada tahun 1999 sampai 2011.
Untuk mengkaji hal tersebut, maka instrumeninstrumen yang dapat dilihat untuk menganalisis
pencapaian dan evaluasi reformasi instrumental
Polri dapat melalui dua hal, pertama perubahan
paradigma Polri sebagai Civilian Police (Polisi
Sipil) dan kedua, regulasi/kebijakan yang
mengatur Polri pasca tahun 1998.
Paradigma sebagai Polisi Sipil adalah
perubahan paradigma besar Polri dari yang
militeristik pada saat menjadi bagian dari
ABRI di masa Orde Baru (Orba). Menjadikan
Polri sebagai polisi sipil berarti mengubah
identitasnya sebagai aktor keamanan yang
berwatak sipil. Hal ini tentu akan berdampak
pada banyak hal, mulai dari penampilan fisik
sampai kepada perubahan perilaku. Ini bukan
pekerjaan mudah karena identitas Polri ketika
masih menjadi bagian dari ABRI tidak jauh dari
watak militeristik dan sarat dengan pola tindak
kekerasan. Namun demikian, usaha membangun
organisasi Polri yang menuju polisi sipil dan
demokratis perlu dilakukan agar fungsi Polri
dapat berjalan sebagai pihak yang memberikan
pelayanan keamanan dengan tujuan melindungi
harkat dan martabat manusia.
Instrumen kedua adalah regulasi yang
mengatur Polri. Regulasi yang mengatur
kewenangan Polri tertuang di dalam UndangUndang (UU) No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia. UU
ini menyebutkan bahwa peran utama polisi
adalah memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan pelayanan, perlindungan, dan
pengayoman kepada masyarakat. Sebagaimana
yang diatur dalam UU tersebut, dapat
disimpulkan fungsi utama kepolisian terdiri
dari tiga hal, yaitu fungsi preemptif, preventif,
dan represif.2 Fungsi preemptif merupakan
tugas pembinaan masyarakat yang kemudian
diperkenalkan istilah Community Policing
(Perpolisian Masyarakat). Fungsi preventif
Jend. Pol (Purn) Prof. Dr. Awaloedin Djamin,
MPA., Kedudukan Kepolisian RI dalam Sistem
Ketatanegaraan : Dulu, Kini, dan Esok, (Jakarta:
PTIK Press, 2007), hlm. 54-55.
2
merupakan fungsi memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, memberikan
perlindungan, dan mencegah terjadinya
pelanggaran hukum.Sedangkan fungsi represif
adalah fungsi penyelidikan dan penyidikan atas
sebuah kejahatan.
Instrumen yang telah dimiliki Polri
melalui perubahan paradigma dan regulasi di
satu pihak, memperlihatkan ada dasar bagi Polri
untuk melakukan fungsi dan kewenangannya.
Bahkan dalam asumsi besar di kalangan Polri,
persoalan reformasi institusinya adalah dapat
“melepaskan diri” dari atribut militer, sehingga
reformasi instrumental telah dianggap selesai.
Namun di lain pihak, instrumen-instrumen
tersebut belum sepenuhnya dapat mengatur
dengan jelas kewenangan Polri, terutama
mekanisme pengawasan yang akuntabel
terhadap kinerja fungsi dan kewenangan Polri.
Hal ini misalnya bisa dilihat dalam UU No. 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI yang
tidak memuat aturan hukum yang secara spesifik
dalam mengatur legitimasi dan mekanisme
pertanggungjawaban polisi secara berkala dan
kelembagaan.3 Ketidakjelasan regulasi yang
mengatur Polri juga terlihat dalam hal penataan
bantuan TNI kepada Polri dan sebaliknya. Hal
ini mengakibatkan pola relasi perbantuan TNI
kepada Polri maupun sebaliknya, selalu berbeda
pandangan dalam mengamankan suatu wilayah,
khususnya daerah konflik atau bila terjadi
gangguan keamanan dalam negeri.
Persoalan lainnya mengenai reformasi
instrumental Polri dapat dilihat melalui analisa
dari pakar Hukum dan Kriminolog, Prof. Dr.
Adrianus Meliala. Menurutnya, memang Polri
adalah lembaga penegak hukum yang pertama
kali mereformasi diri sejak tahun 1999. Akan
tetapi, institusi ini memiliki masalah yang salah
satunya adalah program reformasi Polri yang
berjalan tidak sistematis, tidak tuntas dan kurang
evaluasi. Ini disebabkan Polri selama ini hanya
membicarakan aspek struktural, instrumental,
dan kultural tanpa ada parameter keberhasilan
dan frame waktu.
Pasal 11 ayat 1 dalam UU No.2/2002 menjelaskan
tentang
pengangkatan
dan
pemberhentian
Kapolri yang dilakukan oleh Presiden dengan
persetujuan DPR. Namun aturan ini tidak mengatur
pertanggungjawaban secara institusional, melainkan
tentang pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.
3
130 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Permasalahan
Kehadiran UU No. 2 Tahun 2002 dan perangkat
regulasi lainnya ternyata belum mampu
mengatur secara rigid dan jelas mengenai
kewenangan serta fungsi-fungsi Polri. Inilah
yang perlu ditinjau pelaksanaan regulasiregulasi (instrumen) yang mengatur Polri
selama ini. Oleh karena itu, terdapat empat
pertanyaan penelitian:
1. Bagaimana pandangan Polri, Komisi
Kepolisian
Nasional
(Kompolnas),
dan masyarakat mengenai pengertian
reformasi instrumental Polri?
2. Sejauhmana dan bagaimana pencapaian
paradigma baru Polri sebagai Polisi Sipil
(Civilian Police) diterjemahkan ke dalam
bentuk aturan/kebijakan?
3. Bagaimana implementasi
instrumental Polri?
reformasi
4. Bagaimana implikasi yang ditimbulkan
dari implementasi aturan/kebijakan
terhadap efektivitas kinerja Polri (sebagai
penegak hukum, pelindung, pengayom,
dan pelayan masyatakat)?
Metodologi
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif dengan analisis data secara deskriptif
analitis. Metode pengumpulan data dilakukan
melalui: 1) penelitian lapangan; 2) pengumpulan
dan analisis data sekunder; 3) Focus Group
Discussion (FGD). Untuk melakukan analisa
kajian ini, digunakan beberapa konsep untuk
menganalisis permasalahan yang dikaji.
Konsep-konsep yang digunakan antara lain
Reformasi Sektor Keamanan, Reformasi
Kepolisian Reformasi Instrumental Kepolisian,
dan Paradigma Polisi Sipil (Civilian Police).
Berikut adalah uraian secara singkat dari
masing-masing konsep tersebut.
Reformasi kepolisian di Indonesia
adalah bagian dari agenda kerja Reformasi
Sektor Keamanan (Security Sector Reform)
di Indonesia. Tujuan dari reformasi sektor
keamanan adalah untuk memberikan kerangka
penyelesaian menyeluruh bagi masalahmasalah keamanan, seperti penegakan hukum,
perlindungan hak-hak sipil dengan kebutuhan
melakukan reformasi institusional dan internal
di tubuh TNI, Polri, lembaga intelejen,
dan institusi sipil yang bertanggung jawab
melakukan pengawasan terhadap lembagalembaga keamanan tersebut.4
Makna Reformasi Instrumental adalah
sebagai perubahan atau upaya pembaruan di
tingkat regulasi; dari mulai regulasi tertinggi
(konstitusi) sampai kepada peraturan-peraturan
pada tingkatan terendah seperti Perda, dan
sebagainya. Tujuan dari reformasi instrumental
kepolisian pada dasarnya adalah untuk
membentuk institusi (kepolisian) yang kuat dan
fungsional, dengan derajat pelembagaan yang
rasional dan impersonal.5 Idealnya, keseluruhan
regulasi maupun perundang-undangan yang
dibuat oleh negara dapat mendefinisikan tujuan,
struktur, dan kekuasaan serta diatur secara
jelas; yang salah satunya adalah kepolisian.6
Semua peraturan serta kode-kode operasional
yang mengatur kepolisian dapat digunakan
untuk mengarahkan “apa” yang harus dilakukan
oleh institusi ini dan “bagaimana” mereka
melakukannya.
Makna “polisi yang berwatak sipil”
secara sederhana sebagai suatu cara perpolisian
yang tidak boleh menyebabkan warga
masyarakat kehilangan harkat dan martabat
kemanusiaannya. Oleh karena itu, dimensi
moral dalam pekerjaan polisi menjadi sangat
penting. Kemampuan polisi untuk tampil dalam
watak sipil juga perlu didukung oleh arsitektur
dan organisasi polisi sebab organisasi yang berat
akan menjadi hambatan untuk menciptakan
karakter sipil dalam polisi.7
Hasil Penelitian: Beberapa Temuan
Empirik
1. Dimensi Politik Reformasi
Instrumental Polri
Andi Widjajanto (Ed), Reformasi Sektor Keamanan
Indonesia, (Jakarta: ProPatria, 2004), hlm. 12-13.
5
Jimly Asshiddiqie, “Reformasi Menuju Indonesia
Baru: Agenda Restrukturisasi Organisasi Negara,
Pembaruan Hukum, dan Keberdayaan Masyarakat
Madani,” (artikel) dipublikasikan di http://www.
thecceli.com/dok/dokumen/jurnal/jimly.j014.htm,
(2002).
6
Anneke Osse, Memahami Pemolisian, (Jakarta:
Rinam Antartika, 2007), hlm. 61.
7
Satjipto Rahardjo, Membangun Polisi Sipil:
Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan,
(Jakarta: Kompas, 2007), hlm. 64.
4
Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999-2011 | Sarah Nuraini Siregar | 131
Secara politik, kebutuhan untuk melaksanakan
Reformasi Polri lebih dilatarbelakangi adanya
perubahan lanskap politik dan struktur baru
tentang Polri agar lebih memiliki kepastian.
Karena itulah diciptakan berbagai aturan
perundangan atau hukum yang baru. Inilah
yang kemudian dikenal sebagai Reformasi
Instrumental Polri dan merupakan sebuah
keniscayaan. Melalui reformasi instrumental
tersebut, diharapkan akan terjadi transformasi
Polri secara gradual, berkesinambungan,
dan terarah menuju Polri yang mandiri dan
profesional.
Untuk mencapai harapan tersebut,
maka diperlukan beberapa perubahan di
aspek instrumental. Perubahan instrumental
melibatkan perubahan filosofi, doktrin,
kewenangan,
kompetensi,
kemampuan
fungsi dan iptek.8 Dengan adanya reformasi
instrumental, maka dapat dijadikan dasar
bagi reformasi Polri secara keseluruhan, yang
dijabarkan dalam bentuk visi dan misi serta
tujuan, doktrin, kewenangan, kompetensi,
kemampuan fungsi dan Iptek. Seperti yang
dijelaskan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa
UU ini telah dijadikan dasar hukum utama Polri
dalam melakukan reformasinya. Berangkat
dari aturan perundangan tersebut, maka Polri
selanjutnya harus menjadi sebuah organisasi
yang kuat landasan hukumnya dan efektif
kerjanya.
Di lain pihak, sebagai bagian dari sistem
keamanan, Polri juga menghadapi berbagai
tantangan, terutama tantangan lingkungan,
perubahan, dan tuntutan masyarakat. Harus
diakui bahwa sistem keamanan Indonesia di
satu sisi harus cukup efektif dalam memelihara
ketertiban masyarakat, namun dalam hal
keefektifan sistem keamanan, Polri harus
sungguh-sungguh peka terhadap berbagai
kemajemukan dan aspirasi publik yang berbeda.
Oleh karena itu, reformasi instrumental Polri
harus merujuk kepada dasar hukum yang jelas
dan penyelenggaraan kekuasaan negara yang
baik (good governance). Hal ini merupakan
semangat baru dalam konteks Reformasi
Polri. Selain itu, Reformasi Instrumental
Polri juga diharapkan tidak menimbulkan
gangguan terhadap konsolidasi demokrasi
Uraian lebih lengkap mengenai Reformasi Polri ini
dapat dilihat dalam Dokumen, “Reformasi Menuju
Polri yang Profesional, Jakarta, Juli 1999.
8
dan kesinambungan pemerintahan. Sebab
bagaimananpun juga, kedudukan Polri sebagai
ujung tombak keamanan menjadi andalan utama
dari reformasi di sektor keamanan sekarang.
Kemudian,
dalam
meningkatkan
akuntabilitas institusi Polri, dibentuk sebuah
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang
bertanggung jawab kepada Presiden. Badan
ini memiliki tugas pokok yang hanya dikenal
dalam sistem yang demokratis. Diantaranya
yang terpenting adalah “membantu Presiden
dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dan memberikan
pertimbangan
kepada
Presiden
dalam
pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.9
Namun keberadaan Kompolnas sejauh ini
belum cukup optimal mendukung reformasi
Polri. Baik dari dalam Kompolnas sendiri
maupun dari luar, masih menyangsikan
efektivitas kinerja Kompolnas. Sebagai lembaga
yang langsung berada di bawah Presiden,
mestinya Kompolnas terlihat sangat aktif dalam
memberikan masukan mengenai reformasi
Polri. Akan tetapi, sejauh ini belum dapat
diwujudkan secara optimal. Apalagi keberadaan
Kompolnas belum disahkan secara resmi lewat
pelantikan para anggotanya. Kesulitan lain
yang dihadapi Kompolnas adalah posisi resmi
sebagai pejabat tinggi negara sehingga akan
menghadapi kesulitan untuk bekerja secara
langsung mengumpulkan dan menganalisis data
sebagai masukan kepada Presiden.
Dengan demikian, sampai laporan
ini disusun, pengawasan terhadap Polri
belum efektif. Ini menyebabkan praktik
penyalahgunaan wewenang oleh oknum-oknum
Polri terus berkembang. Hal inilah yang perlu
dicermati secara sungguh-sungguh oleh negara
(pemerintah) maupun Polri agar pada langkahlangkah upaya reformasi selanjutnya dapat
terlaksana lebih baik lagi.
2. Pandangan Internal Polri atas Capaian
Reformasi Instrumental Polri
Pada pertengahan tahun 1999, Polri
mengeluarkan “Buku Biru” tentang reformasi
polisi yang memberi perhatian pada
tantangan-tantangan budaya, instrumental dan
struktural. Melalui Buku Biru ini, dikenallah
Pasal 38 Ayat (a) dan (b) UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
9
132 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
reformasi internal Polri yang mencakup aspek
instrumental, struktural, dan kultural. Pada bulan
Desember tahun 2000, juga dikeluarkan sebuah
tulisan pengembangan mengenai permasalahan
kebutuhan tenaga polisi, struktur, manajemen
personalia, dan pengamanan oleh masyarakat.10
Konsekuensi dari paradigma Polri
sebagai Polisi Sipil adalah secara kelembagaan
struktural—menurut Polri—telah mengalami
perubahan sesuai dengan tuntutan tersebut.
Sejauh ini, capaian paradigma baru Polri sebagai
Polisi Sipil antara lain:11
Bagi Polri sendiri, setelah reformasi 1998,
instrumen ataupun kebijakan yang mengatur
institusinya telah dianggap cukup memadai.
Kebijakan-kebijakan yang telah ada dapat
dielaborasi lagi sebab kebijakan tersebut
merupakan pengejawantahan dari konstitusi
tertinggi Indonesia, yakni UUD 1945. Pada
pasal 30 UUD 1945 menyebutkan bahwa sistem
keamanan Indonesia menganut konsep Rakyat
Semesta, dimana partisipasi masyarakat juga
memberikan andil dalam menjaga keamanan
dalam negeri.
1. Polri sebagai Polisi Nasional memiliki
tugas dan tanggung jawab yang meliputi
seluruh wilayah Republik Indonesia
dan pada pelaksanaannya diatur secara
berjenjang;
2. Kedudukan Kapolri berada di bawah
Presiden;
3. Struktur Organisasi berbentuk piramida
(pusat kecil, daerah besar);
4. Penempatan Polda sebagai kompartemen
strategis
Polri
dimana
seluruh
permasalahan dapat ditangani Polda yang
memiliki kemampuan dan kewenangan;
5. Penataan struktur kepangkatan dan
kesejahteraan anggota Polri.
UUD 1945 hasil amandemen juga
mengamanatkan Polri sebagai institusi yang
bertugas menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat. Amanat konstitusi ini memberikan
konsekuensi logis bagi Polri bahwa ia adalah
aktor keamanan yang akan selalu berhubungan
dengan masyarakat. Inilah yang kemudian
melahirkan paradigma besar sebagai bagian
dari perubahan instrumental Polri, yaitu Polisi
Sipil (Civillian Police). Konsep ini pula yang
kemudian menjadi payung bagi instrumeninstrumen Polri berikutnya, seperti perubahan
doktrin, penataan regulasi, dan membangun
kemitraan Polri dengan masyarakat.
Klaim Polri atas capaian-capaian di atas
juga diperlihatkan melalui aturan atau kebijakan
dari penjabaran paradigma Polri sebagai Polisi
Sipil, seperti tabel di bawah ini: (Lihat Tabel 1)
Selain perubahan filosofis, Polri juga
melakukan perubahan doktrin. Perubahan
doktrin ini kemudian ditindaklanjuti oleh Polri
melalui aturan atau kebijakan mereka mengenai
kode etik profesi Polri. Kode etik ini merupakan
Tabel 1. Perwujudan Polisi Sipil Dalam Bentuk Aturan/Kebijakan Polri
“Peran dan Strategi Polri Dalam Mewujudkan
Supremasi Hukum dan Pemeliharaan Keamanan”
(artikel), (18 Desember 2000) dalam ICG Report
No. 13, Indonesia: Reformasi Kepolisian Nasional,
(Jakarta, 20 Februari 2001) hlm. 14.
10
perwujudan dari kedua doktrin di atas mengenai
tugas dan fungsi Polri. Dengan adanya kebijakan
kode etik ini, melalui Keputusan Kapolri No. 32/
11
Ibid.
Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999-2011 | Sarah Nuraini Siregar | 133
Sumber: Divisi Hukum Mabes Polri yang disampaikan dalam Diskusi Terbatas, September 2012.
VII/2003, maka bagi Polri dapat dikatakan ini
adalah satu capaian reformasi instrumentalnya.
•
Jangka pendek (2005– 2010) membangun
trust building.
Penataan
regulasi
juga
dilakukan
Polri sebagai bagian dari upaya reformasi
instrumental. Ini dapat dilihat melalui tahaptahap regulasi yang dibuat untuk mengatur
institusi Polri. Beberapa diantaranya adalah:
dikeluarkannya Tap MPR No. VI dan VII Tahun
2000; Amandemen Pasal 30 UUD 1945; UU
Nomor 2 Tahun 2002; Peraturan Pemerintah
dan Keputusan Presiden; Revisi 300 Juklak/
juknis; Perubahan doktrin dan pedoman induk;
Menyusun Grand Strategy (Renstra Polri 25
tahun), yang terdiri dari:
•
Jangka menengah b. (2011–2015)
membangun partnership/ networking.
•
Jangka panjang (2016–c. 2025) meraih
keunggulan (strive for excellence)
Sesuai dengan sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, Polri juga telah
menyusun beberapa strategi untuk menata
Regulasi. Disusunlah Grand Strategi Polri
sebagai Rencana Pembangunan Jangka Panjang
periode tahun 2005–2025 dan Rencana Strategi
Polri periode tahun 2004–2009 sebagai Rencana
134 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Pembangunan Jangka Menengah serta Rencana
Kerja Tahunan yang dirumuskan dalam Rencana
Kerja dan dukungan Anggaran sampai tingkat
Satuan Kerja (Satker).12 (Lihat Tabel 2)
Tabel 2. Penataan Peraturan Per Undang-Undangan Polri
tugas-tugas kepolisian.13
Kritikan lainnya adalah Polri terlihat
kurang cermat dalam menyusun grand strategy
(Renstra Polri 25 tahun). Pada dasarnya rencana
itu tidak lepas dari sasaran lain yang harus
Sumber: www.polri.go.id, “Analisis dan Evaluasi Program 100 Hari Revitalisasi Polri” dalam Road Map Reformasi Birokrasi
Polri Gelombang II Tahun 2011-2014.
Klaim Polri atas capaian reformasi
instrumental ini tidak terlepas dari kritikan.
Misalnya UU No. 2 Tahun 2002 perlu dikaji
lebih dalam karena regulasi tersebut terlihat
lebih banyak mengatur Polri sebagai organisasi,
bukan fungsi. Seharusnya UU juga mengatur
fungsi, jadi tidak hanya Polri akan tetapi
juga fungsi-fungsi kepolisian lainnya. Secara
khusus perlu dibenahi pula asas kepolisian;
sistem kepolisian; fungsi, peran, lingkup tugas
dan mekanisme wewenang kepolisian dalam
penegakan hukum dan pembina kamtibmas;
pengorganisasian dan kedudukan kepolisian;
kode etik polisi; peralatan polisi; sumber
pendanaan polisi; serta lembaga pengawas
Lihat http://polrireformasi.blogspot.com/2012/03/
reformasi-polri.html, diakses pada tanggal 18
Oktober 2012.
12
diperhitungkan tingkat/waktu pencapaiannya.
Sebagai contoh, sesuai target yang ditetapkan
dalam jangka pendek 2005 - 2010 mencapai
“kepercayaan masyarakat” (trust building)
terhadap Polri, hal itu tampak masih jauh dari
harapan. Apalagi jika dikaitkan dengan sasaran
jangka menengah 2011–2015 membangun
partnership/networking dan jangka panjang
2016–2025 meraih keunggulan (strive for
excellence).
Capaian lainnya yang dianggap Polri
merupakan bagian dari upaya reformasi
instrumental adalah konsep Community
Policing. Konsep ini sebenarnya adalah bagian
dari implementasi filosofi Polri sebagai Polisi
Sipil. Terdapat beberapa regulasi yang telah
Bambang Widodo Umar, Reformasi Kepolisian
Republik Indonesia: Sebuah Toolkit, (Jakarta: IDSPS
Press, 2009), hlm. 6.
13
Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999-2011 | Sarah Nuraini Siregar | 135
dikeluarkan sebagai instrumen dasar bagi
pelaksanaan Polmas, antara lain:14
1. Pasal 27 UUD 1945.
2. Tap MPR No. VI dan No. VII Tahun
2000.
3. KUHAP. Dalam UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana pada pasal
108 dan Pasal 111 ayat (1) yang terkait
dengan partisipasi masyarakat dalam
menjaga keamanan dan ketertiban.
4. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri pada
Pasal 14 ayat (1) huruf c yang menyatakan
bahwa pemeliharaan keamanan dalam
negeri dilakukan Polri selaku alat negara
yang dibantu oleh masyarakat dengan
menjunjung tinggi HAM.
5. UU Pemerintahan Daerah No. 32 tahun
2004 Pasal 13 dan 14 menyebutkan
bahwa “baik pemerintah daerah tingkat
satu maupun tingkat dua (kabupaten
dan kota) memiliki kewenangan untuk
menyelenggarakan ketertiban umum
dan ketentraman masyarakat”; dan pasal
27 ayat (c) disebutkan “kepala daerah
dan wakil kepala daerah memelihara
ketentraman dan ketertiban masyarakat.”
6. Skep Kapolri No. Pol.: Skep/737/X/2005
tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan
Model Perpolisian Masyarakat Dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri.
7. Skep Kapolri No. Pol.: Skep/431/
VIII/2006 tentang Pedoman Pembinaan
Personel Pengembangan Fungsi Polmas.
8. Skep Kapolri No. Pol.: Skep/433/
VII/2006 tentang Panduan Pembentukan
dan Operasionalisasi Polmas
9. Skep Kapolri No. Pol.: Skep/432/
VIII/2006 tentang Panduan Pelaksanaan
Fungsi-fungsi Operasional Polri dengan
Pendekatan Polmas, yaitu Intelijen dan
Keamanan (Intelkam), Reserse dan
Kriminal (Reskrim), Samapta, Lalu
Lintas, Polisi Perairan (Polair) dan
Brigade Mobil (Brimob).
Semua regulasi diatas diharapkan agar
program Polmas dapat diterapkan dalam
masyarakat dalam konteks membangun
kemitraan dengan masyarakat. Dengan
adanya program ini, diharapkan dapat tumbuh
kesadaran dan kepercayaan masyarakat dalam
membantu kepolisian untuk menanggulangi dan
menyelesaikan masalah-masalah keamanan.
3. Implementasi Reformasi Instrumental
Polri
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,
berbagai kebijakan terkait dengan reformasi
instrumental Polri telah dilakukan. Mulai
dari perubahan visi dan misi, doktrin hingga
penataan kewenangan dan kompetensi Polri.
Selain itu, berbagai kebijakan terkait dengan
reformasi instrumental juga dikeluarkan, dimana
terdapat lima kebijakan yang terkait langsung
dengan upaya mewujudkan polisi sipil (cilivian
police), yaitu: (1) Kebijakan dan regulasi yang
menyangkut penghormatan terhadap HAM dan
demokrasi; (2) Penegakan supremasi hukum;
(3) transparansi dan akuntabilitas; (4) Pelayanan
Publik; serta (5) Pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat.
Dalam kaitannya dengan pelayanan
publik, terdapat UU No. 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik sejak
tanggal 1 Mei 2010. Apresiasi patut diberikan
kepada Polri yang memelopori pembentukan
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi
(PPID) di instansi mereka. Namun, dalam
kaitannya dengan penghormatan terhadap
HAM dan demokrasi, komitmen Polri dalam
kebijakan internal yang dikeluarkan ternyata
tak berbanding lurus dengan situasi di lapangan.
Setahun terakhir ini, masih terlihat tindakan
aparat Polri yang melakukan berbagai dugaan
pelanggaran HAM yang bersifat elementer.
Hal tersebut terlihat dari catatan yang
dilakukan oleh Kontras, dimana Polri juga
tampak “membiarkan” terjadinya kekerasan
oleh kelompok vigilante (kelompok masyarakat
yang menggunakan kekerasan untuk mencapai
tujuannya) atau kelompok pemodal, yang
kadang menggunakan jasa keamanan (baca:
preman).
“Dasar Hukum dan Penerapan Polmas Dalam
Fungsi Polri,” dalam Sutanto, Hermawan Sulistiyo,
Tjuk Sugiarso, Polmas: Falsafah Baru Pemolisian,
(Jakarta: Pensil-324, 2008), hlm. 117-122.
14
136 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Tabel 3. Tindak Kekerasan yang dilakukan Polri
Sumber: Data Kontras 2011
Dari tabel tersebut terlihat bahwa,
Pertama, penyiksaan yang dilakukan oleh
anggota Polri masih terjadi dengan jumlah besar,
padahal kejahatan ini sudah dianggap sebagai
kejahatan paling serius dan masuk sebagai
pidana internasional. Kedua, selama setahun
terakhir juga terlihat bagaimana aparat Polri
begitu gamang bila menghadapi kelompokkelompok vigilante –yang mengatasnamakan
agama- yang melakukan serangan atau
ancaman terhadap berbagai kegiatan-kegiatan
yang dilakukan secara damai seperti kegiatan
diskusi, seminar, atau pertunjukan seni.15
Ketiga, masih terlihat brutalitas aparat Polri bila
menghadapi kelompok-kelompok masyarakat
marginal, khususnya dalam konflik agraria serta
minimnya penegakan hukum di wilayah rawan
konflik seperti Papua dan Aceh.
Selain itu, banyaknya peraturan yang
dikeluarkan terkait dengan pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat ternyata
tidak serta merta menjadikan Polri profesional
dalam mengemban fungsinya sebagai pengayom
masyarakat. Hal ini terlihat dari catatan yang
dilakukan oleh International Crisis Group
(ICG) dimana sepanjang tahun 2010 hingga
tahun 2012 setidaknya terdapat 40 kekerasan
yang melibatkan Polri. Sebagian besar di
antaranya justru aparat polisilah yang menjadi
sasaran amuk massa. Ketiadaan mekanisme
yang efektif dalam menampung keluhan atau
menyelesaikan perkara berujung kepada main
hakim sendiri.
Kasus seperti serangan dan ancaman terhadap
kegiatan diskusi atau seminar Irshad Mandji,
serangan terhadap kegiatan ibadah Jemaat HKBP
Filadelfia Bekasi, larangan pembangunan Gereja
GKI Yasmin, meski sudah ada putusan MA dan
rekomendasi lembaga negara lainnya, namun begitu
‘tidak berdayanya’ Polri dalam merespon ancaman
kelompok-kelompok vigilante.
15
Dalam hal implementasi program
Polmas, program ini masih terlihat belum
cukup dipahami petugas di lapangan. Banyak
komunitas, terutama di luar Jawa, yang tidak
tahu apa itu Polmas karena implementasinya
masih simpang siur. Hal yang menghalangi
program ini bisa dikategorikan menjadi lima
aspek, yaitu budaya, struktur, individu, finansial,
dan pendidikan.
Pada aspek budaya, berdasarkan hasil
evaluasi yang dilakukan oleh Kompolnas
tahun 2009, disebutkan bahwa dengan semakin
bertambahnya kekuasaan para penegak hukum,
sulit untuk mengubah perilaku petugas kepolisian
dari yang tadinya bersikap superior menjadi
mitra masyarakat. Pada aspek struktural, Polri
masih mempertahankan struktur kepangkatan
yang bersifat militer, dengan para jenderal
bintang dua dan tiga sebagai petinggi di Mabes,
bintang satu di pucuk Polda, dan kelompok elit
perwira polisi yang kebanyakan lulusan Akpol
di manajemen tingkat menengah.16 Polres
dan Polsek juga kekurangan peralatan untuk
menangani ketegangan di dalam masyarakat.
Ketika situasi memanas, mereka biasanya
memanggil Brimob, pasukan paramiliter milik
Polri yang punya unit di setiap Polda, untuk
mendukung polisi organik. Kehadiran Brimob
kerap bermasalah. Mereka seringkali hanya
membawa senjata yang mematikan ketika
dikirim untuk menanggulangi kerusuhan
massa.17 Di samping itu, pasukan Brimob tidak
Sebutan kepangkatan dalam Polri telah mengalami
perubahan sejak tahun 2000, tapi jumlah tingkatan
maupun perbedaan tajam antara perwira dan bintara
masih sama. Sebutan “jenderal” masih digunakan
bagi empat pangkat paling tinggi dengan simbol
bintang layaknya angkatan darat. Lihat Awaloeddin
Djamin et al., Sejarah Perkembangan Kepolisian di
Indonesia (Jakarta: PTIK, 2006).
17
Menjinakkan bom dan menangani pemberontak
16
Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999-2011 | Sarah Nuraini Siregar | 137
banyak berinteraksi dengan masyarakat dan
dilatih untuk menghentikan kerusuhan dengan
menggunakan kekerasan.
Pada aspek individual, ternyata loyalitas
terhadap atasan mengalahkan keinginan
untuk berprestasi secara profesional, sehingga
membuat petugas yang berpangkat rendah kurang
termotivasi.18 Dalam situasi seperti ini, terlihat
hadir di upacara-upacara lebih bermanfaat
bagi pengembangan karir dibandingkan
meluangkan waktu bertemu dengan warga
dan mendengarkan keluhan mereka. Menurut
sebuah studi, frekuensi kunjungan oleh petugas
Polri dalam menemui warga tergantung pada
bagaimana Kapolda setempat memberi perintah
untuk melakukan itu kepada anggotanya. Tanpa
adanya sistem insentif dalam pelaksanaan
patroli, petugas jarang melakukannya apalagi
dengan berjalan kaki. Tahun 2009, Kompolnas
menemukan bahwa banyak anggota Polri yang
tidak memahami pentingnya untuk berpatroli
jalan kaki kalau kendaraan tersedia.19
menjadi bagian dari tugas Brimob; peran layaknya
sebagai pasukan bertempur membuat Brimob
bertendensi melihat sasaran polisi sebagai “musuh”.
Sudah dilakukan beberapa upaya untuk melatih
Brimob tentang HAM dan Polmas, tapi insideninsiden penggunaan kekuatan yang berlebihan
masih terus terjadi. Lihat artikel yang dipublikasikan
oleh KPTPI (Kemitraan untuk Pembaruan Tata
Pemerintahan di Indonesia, Mereformasi Brigade
Mobil Polri: Evaluasi Pelatihan HAM & Analisis
Permasalahan Utama Reformasi Brimob, (Jakarta,
Juni 2004).
18
Lihat Laporan Polri dalam Program Bantuan
Pelatihan Investigasi Kriminal Internasional,
Polda Sulawesi Selatan: Bertindak Lokal, Berpikir
Nasional dengan Perspektif Global, (Desember
2005).
19
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas
Indonesia untuk Polri, lebih dari 67 persen responden
di Jawa Tengah mengatakan polisi jarang atau tidak
pernah mengunjungi warga, sementara lebih dari 50
persen responden di Sumatera Utara merasa petugas
berupaya untuk mengunjungi tokoh masyarakat
secara rutin. Ternyata kemudian diketahui bahwa
Kapolda Sumatera Utara saat itu telah memerintahkan
para petugas Polmasnya untuk menemui paling
sedikit 20 tokoh setempat dalam seminggu, di mana
hal ini memperlihatkan frekuensi kunjungan lebih
dipengaruhi oleh ketaatan terhadap atasan daripada
alasan profesional. Lihat Kompolnas, Polri dan
Pemolisian Demokratis: Hasil Penelitian di Tiga Polda
(Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Kalimantan Timur,
(Jakarta: Kompolnas, 2009) hlm. 167-170.
Lalu di aspek finansial, sudah menjadi
“rahasia umum” mengenai meluasnya korupsi
di tubuh Polri telah memicu keluarnya iimbauan
dalam Grand Strategy 2005 terhadap anggota
untuk menerapkan sistem peningkatan karir
yang transparan dan menekankan bahwa gaya
hidup bebas-suap para atasan sangat penting
untuk meningkatkan kepercayaan internal.20
Tapi praktek seperti upeti atau hadiah dari
petugas junior ke atasan mereka, menurut
berbagai laporan, masih terjadi. Pendapatan
dari pungutan liar memang bukan hanya untuk
keuntungan pribadi tapi juga demi pembiayaan
tugas kepolisian. Dana-dana gelap seperti ini
biasa dipakai untuk berbagai hal dari mengisi
bahan bakar kendaraan patroli sampai masuk
untuk “uang saku” petugas yang siang malam
harus menjaga aksi unjuk rasa.
Di aspek pendidikan, sistem pendidikan
Polri juga telah dinodai oleh korupsi,
nepotisme dan budaya “diam.” Meski sudah
ada kriteria yang jelas mengenai perekrutan,
dan pengawasan yang lebih baik dalam proses
rekrutmen dibanding sebelumnya, panitia
seleksi masih bisa memberi kemudahan ketika
pelamar adalah anak dari anggota Polri. Anakanak perwira Polri berpangkat tinggi punya
kesempatan lebih baik dibandingkan yang lain.
Budaya survival of the fittest (yang kuat akan
menang) untuk menjamin status sejak masuk
Polri menanamkan nilai dalam diri petugas yang
sangat bertentangan dengan prinsip Polmas.
Dalam hal penegakan hukum, meski
berbagai peraturan telah dikeluarkan, namun
dalam implementasinya segala kebijakan
yang ada tidak dibarengi dengan performa
Polri yang baik. Akibatnya, toleransi terhadap
pelanggaran hukum oleh anggota Polri semakin
kuat. Sikap toleran ini yang merupakan bentuk
penyalahgunaan
wewenang,
khususnya
yang menyangkut penanganan internal Polri
terhadap dugaan terjadinya korupsi. Contoh
menarik adalah kasus Susno Duadji menyulut
ketegangan antara Polri dengan KPK lewat isu
“buaya versus cicak”, diikuti dengan penahanan
dua komisioner KPK sehingga memancing
kemarahan publik.
Selain itu, dalam lima tahun belakangan ini
terlihat dominannya Polri dalam pemberitaan
di seluruh media massa terkait dugaan praktek
korupsi, rekayasa kasus, dan mafia peradilan.
Pemberitaan ini jelas akan berimbas pada
20
Lihat Dokumen Grand Strategy Polri 2005-2025.
138 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
capaian grand strategy, yaitu pembentukan
kepercayan publik (trust building) publik
terhadap Polri.
Parameter berikutnya dalam mengukur
pencapaian reformasi instrumental Polri
adalah akuntabilitas. Fakta menunjukkan
bahwa mekanisme pengawasan internal
sebagai sumber akuntabilitas internal Polri
dianggap tidak optimal. Sebenarnya telah ada
Kompolnas yang bisa melakukan fungsi ini.
Tetapi, berdasarkan Peraturan Presiden RI No.
17 Tahun 2005 Pasal 4 menyatakan bahwa
“Komisi Kepolisian Nasional adalah lembaga
non struktural yang berfungsi memberi saran
kepada presiden mengenai arah dan kebijakan
Polri serta pengangkatan dan pemberhentian
Kapolri”. Bahwa Kompolnas merupakan
lembaga penasehat (advisory board) bukan
lembaga pengawasan (oversight board). Hal ini
karena Kompolnas tidak memiliki kewenangan
untuk melakukan investigasi mandiri terhadap
Polri.
4. Dampak, Efek, dan Deviasi Reformasi
Instrumental Polri
Uraian atas implementasi reformasi instrumental
tersebut jelas memberikan dampak maupun
efek bagi kinerja Polri. Reformasi instrumental
Polri masih mengidap problem yang dalam
perjalanannya mempengaruhi efektivitas kinerja
Polri. Permasalahan instrumental yang muncul
adalah inkonsistensi dalam menjalankan suatu
regulasi yang mengakibatkan Polri gamang
dalam melaksanakan tugasnya. Bagaimanapun,
patut ditekankan di awal, bahwa problem
instrumental tersebut pada dasarnya tidak
bersumber dari internal Polri per se, melainkan
turut berperan pula faktor eksternal.
Seperti paradigma Polri sebagai Polisi
Sipil. Di tataran empirik, masih diakui bahwa
karakter Polri masih jauh dari semangat sebagai
Polisi Sipil. Hal ini timbul bukan semata karena
tindak-tanduk polisi di lapangan yang namun
juga karena tidak adanya ukuran yang memadai
tentang ‘kesipilan’ dan ‘kedemokratisan’
Polri era reformasi. Tidak adanya ukuran atau
kesulitan penentuan benchmark merupakan
problem dalam mengevaluasi fungsi pemolisian
yang diemban Polri, terlebih lagi dalam konteks
reformasi instrumental.21
Pendapat yang disampaikan oleh salah seorang
narasumber dari kalangan akademisi dalam Focus
21
Kemudian, dalam melihat deviasi dalam
reformasi instrumental Polri, setidaknya dapat
mengarah pada dua isu, yaitu implementasi
penghargaan terhadap HAM, karakter Polri di
mata masyarakat, dan bagaimana kinerja Polri di
masing-masing periode kepemimpinan Kapolri.
Berdasarkan laporan Komnas HAM,
laporan pengaduan masyarakat terhadap dugaan
tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan
Polri mengalami peningkatan. Pada tahun 2009,
pengaduan tentang Polri adalah sebanyak 1.420,
kemudian meningkat menjadi 1.503 pada tahun
2010 dan 1.839 pada tahun 2011.22 Dengan
jumlah pengaduan 1.839 pada tahun 2011, Polri
menjadi pihak yang paling banyak diadukan
kepada Komnas HAM dibandingkan institusi
lainnya, misalnya dengan TNI yang memiliki
jumlah pengaduan 240, lembaga peradilan
adalah 520, dan korporasi adalah 1068.23 Tabel
di bawah ini memperlihatkan jumlah berkas
pengaduan per bulan dan tipologi pelanggaran
HAM yang dilakukan Polri untuk tahun 2011.
(Lihat tabel 4)
Laporan
Komnas
HAM
tersebut
merupakan catatan hitam dalam pelaksanaan
fungsi dan tugas Polri. Posisi sebagai salah satu
institusi negara yang paling banyak diadukan
karena melakukan pelanggaran HAM, bahkan
menjadi pelanggar pertama tahun 2011, tampak
kontras dengan peraturan internal Polri yang
dibuat untuk menghindari praktek-praktek
penyelewengan kewenangan atau pelanggaran
HAM tersebut. Beberapa peraturan di antaranya
memang dibuat sebelum tahun 2011, namun hal
tersebut tidak menjadi alasan bagi anggota Polri
untuk melakukan tindakan yang melanggar
HAM. Terlebih lagi, sejak tahun 2009, Kapolri
mensahkan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009
tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM
dalam Penyelenggaran Tugas Polri, dan oleh
karena itu, Polri semestinya mampu melakukan
antisipasi atau pembinaan internal kepada
anggotanya. Merupakan suatu ironi ketika
Group Discussion Reformasi Instrumental Polri,
1999-2011 yang diselenggarakan tim riset Reformasi
Polri, Pusat Penelitian Politik – LIPI, pada 19
September 2012, di Jakarta.
22
Stanley Adi Prasetyo, “Polisi Masih Dikecam:
Potret 10 Tahun Reformasi Polri,” Makalah dalam
diskusi “Reformasi Polri: Menuju Polri yang
Profesional Dalam Melayani Masyarakat” yang
diselenggarakan oleh Sekretariat Wakil Presiden, 30
April 2012, di Jakarta.
23
Ibid.
Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999-2011 | Sarah Nuraini Siregar | 139
Tabel 4. Tipologi Pelanggaran HAM oleh Polri
Sumber: Stanley, 2012
Perkap tentang HAM ini disahkan, jumlah
berkas pengaduan pelanggaran oleh Polri yang
diterima Komnas HAM justru mengalami
kenaikan.
Respon publik atas suatu peristiwa yang
berhubungan dengan Polri juga dapat menjadi
indikator dalam menilai bagaimana kualitas
pencapaian reformasi instrumental Polri pada
kurun waktu 14 tahun terakhir. Saat masyarakat
memberikan penilaian yang rendah, terdapat
dua kemungkinan sebagai sumber masalah,
pertama, reformasi instrumental belum
menyentuh kebutuhan masyarakat, misalnya
karena belum tersedianya peraturan atau adanya
tumpang-tindih peraturan yang membuat
peraturan menjadi tidak berjalan di lapangan.
Kedua, problem dalam pelaksanaan peraturan
di lapangan yang mungkin terjadi karena
misconduct yang dilakukan oleh anggota Polri.
Temuan lain adalah penilaian publik
terhadap Polri memiliki sifat fluktuatif. Dalam
jangka satu tahun, citra positif terhadap Polri
dapat meningkat atau menurun secara drastis
maupun inkremental (bertahap). Perubahan
pada penilaian publik tersebut dipengaruhi
oleh banyak hal, namun yang paling menonjol
adalah mencuatnya beberapa kasus pelanggaran
hukum dan penyelewengan wewenang yang
diberitakan oleh media.
Tabel berikut ini merupakan tabulasi citra
positif Polri (%) pada kurun waktu 2002 hingga
2012. Selanjutnya, tabel tersebut dipadukan
dengan jumlah Peraturan Kapolri yang disahkan
pada kurun waktu 2005 hingga 2012. (Lihat
Tabel 5)
Pada era Sutanto, citra positif Polri
mengalami penurunan secara berturut-turut,
dari 55,2% menjadi 46,7% tahun 2008.
Peristiwa terorisme, pada derajat tertentu,
telah menenggelamkan gebrakan Kapolri Jend.
Soetanto di awal kepemimpinannya dalam
menindak kasus premanisme dan judi. Pada
aras reformasi instrumental, Soetanto berupaya
untuk melaksanakan program prioritas yang
dicanangkan Grand Strategy Polri.24
Pada era Bambang Hendarso Danuri,
citra positif mengalami kenaikan signifikan
ke angka 57,1%, namun kemudian turun
menjadi 49,1%. Periode ini merupakan
periode turbulensi dimana relasi Polri dan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk
pertama kalinya mengalami ketegangan.
Publik mengenal peristiwa ini dengan sebutan
‘Cicak versus Buaya,’ di mana ‘Cicak’ merujuk
kepada KPK yang berupaya menyelidiki kasus
korupsi yang melibatkan petinggi Polri (Susno
Duadji) dan ‘Buaya’ adalah Polri yang ingin
membawa kasus tersebut ke ranah penyelidikanpenyidikan Polri sendiri. Hasil akhir ketegangan
ini menempatkan Polri pada posisi yang sama
sekali tidak menguntungkan.
Pada era Timur Pradopo, citra positif Polri
pun mengalami kenaikan (53%) dan penurunan
(46,1%). Problem yang mesti dihadapi Polri
pun semakin kompleks karena tindakan
Wawancara dengan Kepala Sekolah Staf dan
Pimpinan Polri beserta jajaran Widya Iswara, pada
17 April 2012, di Bandung.
24
140 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Tabel 5. Tren citra positif Polri (%) 2002-201225
N=811-1100
* Peraturan Kapolri dibuat setelah disahkannya UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tahun 2004.
Keputusan Kapolri yang disahkan sebelum adanya UU tersebut kemudian diubah menjadi Peraturan Kapolri
** Sampai dengan 19 September 2012
Sumber: Tabulasi hasil survei harian KOMPAS (2012) yang diolah kembali
brutalitas Polri dalam menghadapi masyarakat
sering diangkat ke permukaan oleh media.
Kasus bentrokan antara anggota Polri dengan
masyarakat di Bima dan Mesuji merupakan
preseden buruk bagi Polri dalam menegakkan
hukum serta menghargai HAM. Kinerja Polri
pun disoroti dalam hal diskriminasi penyelesaian
kasus. Selain itu, kasus dugaan korupsi di Korps
Lalu Lintas Polri yang untuk kedua kalinya
menghadapkan Polri dan KPK membuat profil
Polri di mata publik semakin tidak bagus.25
ketika Polri dihadapkan kepada kasus yang
melibatkan anggota atau petinggi, serta gengsi
korps. Kalangan internal Polri, bagaimanapun,
menyadari kelemahan tersebut dan oleh karena
itu, sebagaimana disampaikan seorang Widya
Iswara Sekolah Staf dan Pimpinan Polri, “Perkap
perlu didukung oleh regulasi lain, termasuk dari
instrumen yang dibuat oleh instansi lain.”26
Pada kurun waktu 2005-September
2012, Polri telah memiliki sedikitnya 177
Peraturan Kapolri (Perkap) yang sebagian
besar mengandung substansi reformasi atau tata
kelola internal kepolisian. Perbandingan antara
fluktuasi citra positif Polri dengan jumlah Perkap
memungkinkan untuk diajukannya sebuah
hipotesis bahwasanya keberadaan Perkap belum
berkontribusi banyak bagi konsistensi tingginya
citra positif Polri di masyarakat. Dengan
kata lain, reformasi instrumental Polri masih
mengandung problem yang satu di antaranya
mudah dideteksi, yaitu adanya bottleneck atau
kemacetan di antara Perkap yang mengatur
serta menghimbau agar anggota Polri untuk
menghormati HAM serta terbuka, dengan
realisasi Perkap tersebut di lapangan, khususnya
Dalam konteks Reformasi Polri, reformasi
instrumental Polri adalah bagian integral dari
reformasi menyeluruh di tubuh Polri yang
mencakup reformasi struktural, reformasi
instrumental dan reformasi kultural yang intinya
adalah menjadikan Polri sebagai “Institusi yang
bertanggung jawab di bidang keamanan negara
yang profesional dan mandiri.”
Penutup
Secara khusus, reformasi instrumental
memberikan payung hukum, baik dalam bentuk
UU maupun berbagai Keputusan Kapolri, agar
reformasi struktural dan reformasi kultural
dapat berjalan di tubuh Polri secara baik. Ada
beberapa butir penting yang terkandung di
dalam reformasi instrumental Polri tersebut.
Pertama, bagaimana Polri kembali kepada
Wawancara dengan Kepala Sekolah Staf dan
Pimpinan Polri beserta jajaran Widya Iswara, pada
17 April 2012, di Bandung.
26
“Jelaga Hitam di Tubuh Polri,” Kompas, Senin, 2
Juli 2012.
25
Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999-2011 | Sarah Nuraini Siregar | 141
khittahnya sebagai pelindung, pengayom,
pelayan dan penegak hukum di negeri ini.
Karena itu, dikedepankannya kembali doktrin
Tribatra dan Catur Prasetya Polri merupakan
wujud dari upaya Polri untuk menjadi institusi
keamanan negara yang mumpuni.27
Kedua, upaya Polri untuk mengubah wajah
dan tingkah laku Polri dari yang dulu menjadi
bagian dari ABRI menjadi Polri yang berwajah
sipil. Karena itu, pendekatan dialogis dan
preventif dalam menangani masalah perlu terus
menerus dikedepankan oleh jajaran Polri, dari
tingkat pusat sampai ke daerah. Langkah represif
harus menjadi pilihan langkah terakhir yang
dapat dilakukan aparat Polri jika pendekatan
dialogis sudah tidak lagi dapat dilakukan.
Ketiga, upaya Polri untuk membenahi
jajaran internalnya dari tingkah laku yang
koruptif dan kolusif juga merupakan langkah
yang harus dipandang sebagai sesuatu yang
amat berharga. Pemasangan pin di dada kanan
yang bertuliskan Anti KKN (Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme) setidaknya mengingatkan
bahwa itu bukanlah sekedar slogan, melainkan
sesuatu yang harus dekat di hati para aparat
Polri
Keempat, reformasi instrumental juga
terkait dengan bagaimana Polri merekrut,
mendidik dan menempatkan aparatnya pada
jabatan atas dasar kapasitas dan rekam jejak yang
baik. Ini untuk menghilangkan budaya lama di
dalam tubuh Polri yang lebih mengedepankan
aspek loyalitas kepada atasan sebagai penentu
utama diberikannya jabatan kepada perwira
pertama, menengah dan tinggi Polri.
Kelima, upaya meningkatkan kapasitas
anggota Polri agar dapat menjalankan fungsi
diskresi di lapangan secara profesional
merupakan hal yang penting untuk pelayanan
masyarakat, penegakan hukum, dan terciptanya
aspek keadilan di dalam masyarakat. Karena
itulah cara represif dalam menangani tersangka
pelanggaran hukum, harus sudah semakin
ditinggalkan oleh jajaran Polri.
Keenam, program Polmas masih terus
dijalankan Polri agar mendekati kesempurnaan
baik dalam konsep maupun pelaksanaannya.
Kita juga melihat bantuan dari berbagai negara
yang mencoba memberikan pengalaman mereka
dalam program ini. Namun perlu disadari bahwa
Lihat uraian pada Bab II, Bab III, dan Bab V
laporan penelitian ini.
27
suatu konsep yang baik belum tentu cocok
dengan kondisi di Indonesia. Suatu konsep yang
baik untuk daerah perkotaan seperti Jakarta,
belum tentu pula dapat diterapkan secara
seragam di kota-kota lain, apalagi di daerah
pedesaan. Karena itu sentuhan-sentuhan khusus
tetap diperlukan di dalam menerapkan Polmas.
Harus diakui juga bahwa tidak sedikit
kemajuan yang dilakukan oleh Polri di dalam
menerapkan
reformasi
instrumentalnya.28
Namun perlu dilihat juga masih banyak
kekurangan yang harus diselesaikan Polri. Dari
sisi paradigma baru Polri sebagai polisi sipil,
dalam kurun waktu 12 tahun ini, Polri sekuat
tenaga telah berupaya untuk memenuhi harapan
masyarakat agar mengubah dirinya dari polisi
yang militeristik menjadi berwajah sipil. Ini
bukan berarti bahwa segala yang berbau militer
itu buruk, karena biar bagaimana pun Polri
harus tetap seperti militer yang memiliki jalur
komando yang kuat dan tegas dari pusat sampai
ke daerah.
Tantangan utama adalah menjadikan Polri
semakin profesional dan mandiri tidak cukup
melalui berbagai perangkat instrumen aturan
hukum semata, melainkan juga harus didorong
oleh masyarakat dan didukung oleh kalangan
Polri sendiri. Tantangan yang juga tidak kalah
pentingnya adalah bagaimana negara dapat
memenuhi kebutuhan hidup personel Polri dan
juga kebutuhan operasional Polri yang makin
hari makin membesar.
Bila kita menganalisis bagaimana prospek
reformasi instrumental Polri khususnya dan
reformasi internal Polri secara keseluruhan,
kita percaya bahwa pembentukan Polri yang
profesional dan mandiri bukanlah suatu impian
semusim. Karena itu, tiada jalan lain bagi
Polri untuk dapat dicintai rakyat dan menjadi
institusi yang mampu menciptakan keamanan
dan ketertiban di dalam masyarakat, yakni
Polri harus menanggalkan kebiasaan-kebiasaan
lama yang buruk (melanggar HAM, melakukan
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), tidak
cepat merespon laporan masyarakat, tidak
akuntabel dan sebagainya) menjadi Polri
dengan paradigma baru sebagai polisi sipil yang
Markas Besar Kepolisian Negara Republik
Indonesia Divisi Hukum, Pencapaian Reformasi
Instrumental Polri 1999-2011, disampaikan dalam
rangka diskusi kegiatan penelitian DIPA Pusat
Penelitian Politik LIPI tahun 2012, Jakarta, 12
September 2012.
28
142 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
profesional dan mandiri sesuai dengan kaidah
demokrasi.
Daftar Pustaka
Buku
Djamin, Awaloeddin et al. 2006. Sejarah
Perkembangan Kepolisian di Indonesia.
Jakarta: PTIK.
Djamin, Jend. Pol (Purn) Prof. Dr. Awaloedin,
MPA. 2007. Kedudukan Kepolisian RI
dalam Sistem Ketatanegaraan : Dulu, Kini,
dan Esok. Jakarta: PTIK Press.
Kompolnas. 2009. Polri dan Pemolisian
Demokratis: Hasil Penelitian di Tiga
Polda (Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan
Kalimantan Timur. Jakarta: Kompolnas.
KPTPI (Kemitraan untuk Pembaruan Tata
Pemerintahan di Indonesia). 2004.
Mereformasi Brigade Mobil Polri: Evaluasi
Pelatihan HAM & Analisis Permasalahan
Utama Reformasi Brimob. Jakarta.
Laporan Polri dalam Program Bantuan Pelatihan
Investigasi Kriminal Internasional. 2005.
Polda Sulawesi Selatan: Bertindak Lokal,
Berpikir Nasional dengan Perspektif
Global.
Osse, Anneke. 2007. Memahami Pemolisian.
Jakarta: Rinam Antartika.
Rahardjo, Satjipto. 2007. Membangun Polisi
Sipil: Perspektif Hukum, Sosial, dan
Kemasyarakatan. Jakarta: Kompas.
Sutanto, Hermawan Sulistiyo, Tjuk Sugiarso.
2008. Polmas: Falsafah Baru Pemolisian.
Jakarta: Pensil-324.
Umar, Bambang Widodo. 2009. Reformasi
Kepolisian Republik Indonesia: Sebuah
Toolkit. Jakarta: IDSPS Press.
Widjajanto, Andi (Ed). 2004. Reformasi Sektor
Keamanan Indonesia. Jakarta: ProPatria.
IDSPS. 2008. Reformasi Kepolisian Republik
Indonesia (Seri 6), Edisi No. 6.
Markas Besar Kepolisian Negara Republik
Indonesia Divisi Hukum, 2012 (makalah)
Pencapaian Reformasi Instrumental Polri
1999-2011, disampaikan pada Focus Group
Discussion Pusat Penelitian Politik LIPI di
Jakarta.
Prasetyo, Stanley Adi. 2012. “Polisi Masih
Dikecam: Potret 10 Tahun Reformasi Polri,”
(makalah) dalam diskusi “Reformasi Polri:
Menuju Polri yang Profesional Dalam
Melayani Masyarakat, Jakarta: Sekretariat
Wakil Presiden.
Transkrip Wawancara dengan Kepala Sekolah
Staf dan Pimpinan Polri beserta jajaran
Widya Iswara, Bandung: 2012.
UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Surat Kabar dan Website
http://www.thecceli.com/dok/dokumen/jurnal/
jimly.j014.htm
Kompas, Senin, 2 Juli 2012.
http://polrireformasi.blogspot.com/2012/03/
reformasi-polri.html
Laporan dan Makalah
Dokumen Buku Biru Polri. 1999. Reformasi
Menuju Polri yang Profesional. Jakarta.
Dokumen Grand Strategy Polri 2005-2025.
Focus Group Discussion Pencapaian Reformasi
Instrumental Polri 1999-201, Jakarta: Pusat
Penelitian Politik – LIPI 2012.
ICG Report No. 13. 2001. Indonesia: Reformasi
Kepolisian Nasional. Jakarta, 20 Februari.
Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999-2011 | Sarah Nuraini Siregar | 143
144 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
EVALUASI SISTEM KEPARTAIAN DI ERA REFORMASI
EVALUATION OF PARTY SYSTEM IN THE REFORMATION ERA1
Luky Sandra Amalia
Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta
E-mail: [email protected]
Diterima: 24 Juli 2013; direvisi: 3 September 2013; disetujui: 4 Desember 2013
Abstract
This research report is about evaluation of party system in the reformation era, including the problem of
party system dan the factors that contribute to them. Using descriptive-explanative approach, this research found
two options to simplify the party system, namely by changing the election system or by institution engineering. The
first choice might produce multiparty system with two dominant parties in parliament whereas the second one may
deliver moderate multiparty system with two big permanent coalitions in parliament. Besides that, reformation of
parties’ character, from pragmatic parties into ones which have clear platform and vision, is also important to do.
Keywords: party system
Abstrak
Tulisan ini memfokuskan kajian pada evaluasi sistem kepartaian era reformasi, yaitu mengenai realitas
sistem kepartaian yang berkembang selama era reformasi; problematika sistem kepartaian yang ada; dan faktorfaktor yang melatarbelakangi realitas dan problematika tersebut. Dengan menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif dengan tujuan deskriptif-eksplanatif, diperoleh dua cara untuk menyederhanakan sistem kepartaian,
yakni mengubah sistem pemilu atau melalui rekayasa institusi. Pilihan pertama diharapkan bisa menghasilkan
sistem multipartai dengan dua parpol dominan di DPR, sedangkan pilihan kedua menghasilkan sistem multipartai
sederhana dengan dua koalisi besar yang bersifat permanen di parlemen. Namun demikian, tak kalah pentingnya
adalah reformasi karakter parpol, dari parpol pragmatis dan berorientasi jangka pendek menjadi parpol yang
memiliki platform politik dan visi kebangsaan yang jelas.
Kata kunci: sistem kepartaian
Pendahuluan
Di balik penerapan sistem multipartai dalam tiga
kali pemilu pasca Orde Baru banyak persoalan
muncul dalam kepartaian di Indonesia.
Persoalan kinerja parpol dan inkompatibilitas
sistem multipartai dengan sistem pemerintahan
presidensial merupakan persoalan yang
banyak disinggung dalam diskusi akademis,
selain keberadaan parpol lokal di Aceh yang
merupakan keganjilan dalam sistem kepartaian.
Sebagai salah satu pilar demokrasi, parpol
merupakan wadah perjuangan bagi masyarakat
untuk mewujudkan kehidupan politik yang lebih
baik. Masyarakat semestinya dapat menyalurkan
aspirasi dan kepentingannya melalui parpol.
Namun kenyataannya, keberadaan parpol
tidak berbanding lurus dengan fungsi yang
diembannya. Parpol yang hadir masih dianggap
sebagai masalah ketimbang solusi bagi
demokratisasi di Indonesia.
Tim Peneliti terdiri dari Luky Sandra Amalia (Koordinator), Syamsuddin Haris, Lili Romli, Wawan Ichwanuddin,
dan Aisah Putri Budiatri.
1
Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi | Luky Sandra Amalia | 145
Secara umum, parpol hanya bekerja ketika
menjelang pemilu saja sehingga hubungan
antara masyarakat sebagai pemilih dengan
parpol menjadi lemah.2 Selain itu, parpol juga
cenderung untuk lebih mementingkan partai,
kelompok, dan pribadi.3 Ketidakpercayaan
tersebut timbul karena orientasi partai politik
terhadap kepentingan rakyat cenderung
dikalahkan oleh kepentingan pribadi dan
golongan. Bahkan, parpol seringkali lupa
memenuhi janji-janji kampanyenya kepada
konstituen setelah memperoleh kekuasaan.
Ketidakpercayaan masyarakat ini bukan hanya
ditujukan kepada parpol lama, melainkan juga
terhadap partai baru.4
1
Sistem multipartai yang ada ‘gagal’
menghasilkan mayoritas di DPR. Banyaknya
parpol yang masuk ke DPR dengan perolehan
kursi yang relatif menyebar cenderung
memperpanjang proses pengambilan keputusan
di lembaga legislatif. Proses pengambilan
keputusan kerap diwarnai oleh negosiasinegosiasi politik berorientasi jangka pendek
yang cenderung mengabaikan kepentingan
publik. Hal ini dapat dilihat dari usul
penggunaan hak interpelasi dan hak angket,
serta penarikan kembali atas usulan tersebut
memperlihatkan adanya negosiasi-negosiasi
politik berorientasi jangka pendek tersebut.
Hal ini akhirnya berdampak pada munculnya
kecenderungan perilaku parlementarianisme di
kalangan anggota parlemen di satu pihak dan
tidak efektifnya sistem presidensial di pihak
yang lain.5 Jadi, bertambahnya jumlah partai
1
2
Lili Romli (Ed.), Pelembagaan Partai Politik
Pasca-Orde Baru Studi Kasus Partai Golkar, PKB,
PBB, PBR, dan PDS, (Jakarta: P2P-LIPI, 2008),
hlm. 2.
3
Lili Romli, “Pandangan Urang Awak terhadap Partai
Politik: Kasus Sumatra Barat”, dalam Syamsuddin
Haris (ed), Persepsi Masyarakat terhadap Partai
Politik Peserta Pemilu 2004, Jakarta: Pusat Penelitian
Politik-LIPI dan Balitbang Depdagri, 2003, hlm. 80.
4
Luky Sandra Amalia, ”DPRD Banten: Relasi
Formalistik dengan Konstituen”, dalam Lili Romli
dan Luky Sandra Amalia (ed.), Kecenderungan
Hubungan Anggota Legislatif dan Konstituen:
Studi DPRD Provinsi Banten Hasil Pemilu 2009,
(Jakarta:P2P-LIPI, 2010), hlm. 91.
5
Dikutip dari “Masukan LIPI Dalam Rangka
Pembahasan RUU Tentang Partai Politik dan RUU
Tentang Susduk”, diproses oleh Pusat Studi Hukum
& Kebijakan Indonesia dan ditampilkan dalam www.
parlemen.net., diakses pada tanggal 10 Oktober
2012.
yang masuk parlemen tidak selalu berbanding
lurus dengan peningkatan kinerja sistem
perwakilan yang ada. Selain terkait dengan
persoalan kualitas partai sebagai institusi
individual, persoalan ini juga tidak dapat
dilepaskan dari postur sistem kepartaian yang
ada yang cenderung terlalu banyak.
Dalam uraian di atas telah disebutkan
bahwa ada dua persoalan yang terkait parpol
dan sistem kepartaian di era reformasi, yaitu
buruknya kinerja parpol dan inkompatibilitas
sistem multipartai dengan sistem pemerintahan
presidensial yang diterapkan di Indonesia.
Kedua persoalan tersebut saling berkaitan dan
tidak dapat diselesaikan hanya salah satunya.
Proses institusionalisasi parpol tidak mungkin
optimal jika sistem kepartaian tidak memberikan
dukungan yang memadai, misalnya multipartai
yang ekstrim, baik karena jumlah maupun
jarak ideologisnya. Demikian pula sebaliknya,
penataan sistem kepartaian tidak akan
memberikan kontribusi yang optimal, misalnya
melalui penyederhanaan jumlah partai, jika
parpol tidak bertransformasi dari sekedar
organisasi menjadi institusi.
Tulisan ini memfokuskan kajian pada
evaluasi sistem kepartaian era reformasi, yaitu
mengenai realitas sistem kepartaian yang
berkembang selama era reformasi; problematika
sistem kepartaian yang ada; faktor-faktor yang
melatarbelakangi realitas dan problematika
tersebut. Meskipun demikian, analisis mengenai
realitas partai sebagai institusi individual tidak
mungkin dihindari. Berdasarkan uraian di atas,
pertanyaan yang dijawab pada tulisan ini, yaitu:
(1). Apa saja problematika sistem kepartaian
di Indonesia era reformasi? (2). Faktor-faktor
apa yang melatarbelakanginya? (3). Mengapa
sistem kepartaian yang ada belum berkontribusi
terhadap pembentukan pemerintahan yang
efektif? (4). Bagaimana desain sistem kepartaian
dalam konteks menganyam kembali demokrasi
Indonesia ke depan?
Konsep Sistem Kepartaian
1. Sistem Kepartaian Berdasarkan
Jumlah Partai Politik
Pendekatan sistem kepartaian berdasarkan
jumlah partai yang memperoleh kursi di
parlemen, menurut Maurice Duverger (1954)
146 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
sebagaimana dikutip oleh Ramlan Surbakti,
terdiri atas tiga kelompok, yaitu sistem partai
tunggal, sistem dua partai (dwipartai), dan
sistem multipartai.6 Pertama, sistem partai
tunggal adalah sistem yang didominasi oleh satu
partai di parlemen. Bentuk sistem partai tunggal
antara lain partai tunggal totaliter, otoriter,
dan dominan. Dalam sistem partai tunggal
totaliter terdapat satu partai yang menguasai
pemerintahan dan militer, bahkan seluruh
aspek kehidupan masyarakat. Partai tunggal
totaliter biasanya merupakan partai doktriner
dan diterapkan di negara-negara komunis dan
fasis.
Sementara itu, dalam sistem partai tunggal
otoriter sebenarnya terdapat lebih dari satu partai,
tetapi ada satu partai besar yang digunakan
oleh penguasa untuk memobilisasi massa dan
mengesahkan kekuasaannya, sedangkan partaipartai lain kurang dapat menampilkan diri karena
ruang geraknya dibatasi penguasa. Dengan kata
lain, partai dikuasai oleh pemerintah dan militer.
Contoh partai tunggal otoriter adalah Partai Uni
Nasional Afrika Tanzania (UNAT) dan Partai
Aksi Rakyat Singapura. Lain halnya dengan
sistem partai tunggal dominan. Dalam sistem
ini, meskipun terdapat lebih dari satu partai
tetapi hanya satu partai saja yang dominan
(secara terus-menerus berhasil mendapatkan
dukungan untuk berkuasa). Sedangkan partaipartai lain tidak mampu menyaingi partai yang
dominan, walaupun terdapat kesempatan yang
sama untuk mendapatkan dukungan melalui
pemilihan umum. Contoh partai tunggal
dominan adalah Partai Liberal Demokrat di
Jepang hingga tahun 2007.
Kedua, sistem dua partai, sesuai dengan
namanya, merupakan sistem kepartaian yang
di dalamnya terdapat dua partai utama yang
bersaing dalam pemilihan umum. Partaipartai kecil hanya berpengaruh apabila dalam
pemilu selisih perolehan suara kedua partai
besar sangat kecil. Dalam sistem ini terdapat
pembagian tugas yang jelas yakni partai yang
memenangkan pemilu menjadi partai yang
memerintah, sedangkan partai yang kalah dalam
pemilu menjadi oposisi yang loyal terhadap
kebijakan pemerintah. Pada dasarnya, tidak
banyak perbedaan mengenai asas dan tujuan
politik di antara kedua partai. Perbedaannya
hanya pada titik berat dan cara menyelesaikan
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta:
Gramedia, 1998), hlm. 125..
6
persoalan. Sistem ini biasanya menggunakan
sistem pemilu distrik, yaitu satu kursi per daerah
pemilihan dan yang dipilih calon bukan tanda
gambar partai.
Namun demikian, menurut Peter G.J.
Pulzer (1967), terdapat tiga syarat supaya
sistem dwipartai ini bisa berjalan baik. Pertama,
jika komposisi masyarakat bersifat homogen
(social homogenity). Kedua, apabila ada
konsensus kuat dalam masyarakat mengenai
asas dan tujuan sosial politik (political
consensus). Dan, ketika ada kontinuitas sejarah
(historical continuity).7 Jika diterapkan dalam
masyarakat yang terpolarisasi, menurut Robert
A. Dahl (1966), sistem ini dapat mempertajam
perbedaan pandangan antara kedua belah pihak
karena tidak ada kelompok di tengah-tengah
yang dapat meredakan suasana konflik.8 Contoh
negara yang menerapkan sistem kepartaian
dwi-partai adalah Inggris (Partai Buruh dan
Partai Konservatif) dan Amerika Serikat (Partai
Republik dan Partai Demokrat).
Ketiga, sistem multipartai, sebagaimana
namanya, merupakan sistem yang terdiri atas
lebih dari dua partai politik dominan. Menurut
Maurice Duverger (1954), sistem ini merupakan
produk dari struktur masyarakat yang majemuk.
Dalam sistem ini hampir tidak ada partai yang
memenangi pemilu mutlak. Oleh karena itu,
koalisi mutlak diperlukan untuk memperkuat
pemerintahan. Namun demikian, dukungan
koalisi bisa ditarik kembali sewaktu-waktu.
Selain itu, dalam sistem ini tidak ada kejelasan
posisi partai oposisi sebab sewaktu-waktu partai
oposisi bisa menjadi bagian pemerintahan.
Dengan kata lain, dalam sistem ini seringkali
terjadi siasat yang berubah-ubah sesuai dengan
kegentingan situasi yang dihadapi masingmasing partai politik. Sistem ini menggunakan
sistem
pemilu
proporsional/perwakilan
berimbang (proportional representation) yang
memberi kesempatan luas bagi pertumbuhan
partai-partai dan golongan-golongan baru.9
Dalam
perkembangannya,
sistem
kepartaian berbasis jumlah partai terus
mengalami modifikasi,10 diantaranya Sartori
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 417.
8
Ibid., hlm. 418.
9
Ibid., hlm. 420.
10
Dikutip dari Sigit Pamungkas, Partai Politik Teori
dan Praktik di Indonesia, (Yogyakarta: Institute for
Democracy and Welfarism, 2011), hlm. 45-46.
7
Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi | Luky Sandra Amalia | 147
(1976) yang berpendapat bahwa penghitungan
jumlah partai tidak semata-mata pada perolehan
kursi di parlemen, tetapi juga harus didasarkan
pada potensi koalisi dan blackmail (parpol
yang dianggap tidak layak untuk ikut dalam
pemerintahan oleh parpol lain, tetapi bisa
mempengaruhi arah koalisi di parlemen).
Sementara itu, menurut Riswanda
Imawan (1996), setidaknya ada dua faktor
yang menentukan kinerja sebuah sistem
kepartaian.11 Pertama, jumlah partai yang
ada. Kedua, independensi partai-partai yang
ada. Jumlah partai menentukan kompleksitas
interaksi atau kompleksitas konflik yang ada
dalam masyarakat. Bila jumlah partai terlalu
banyak, bisa jadi isu-isu yang kurang penting
atau kurang relevan dibicarakan pada tingkat
negara masuk dalam mekanisme politik yang
berlangsung. Sebaliknya, jika jumlah partai
terlalu sedikit sementara masyarakatnya plural,
maka bisa jadi akan terjadi simplifikasi terhadap
aspirasi masyarakat berkembang.
Realitas konfigurasi politik tanpa kekuatan
mayoritas di DPR menyebabkan pihak eksekutif
harus membangun koalisi dengan partai lain
dalam membentuk kabinet. Sejak periode
pemerintahan 1999 hingga 2009 tercatat setiap
presiden mengakomodir hampir semua parpol
untuk menduduki kursi menteri. Misalnya,
Kabinet Persatuan Nasional era Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendapat
dukungan 437 kursi yang terdiri dari PKB (51
kursi), Partai Golkar (120 kursi), PDIP (153
kursi), PPP (58 kursi), PAN (34 kursi), PBB (13
kursi), dan Partai Keadilan (7 kursi). Kabinet
Gotong Royong masa pemerintahan Megawati
Soekarnoputri melanjutkan pola koalisi yang
telah dibentuk oleh Gus Dur namun berkurang
tujuh kursi milik Partai Keadilan yang tidak lagi
duduk di kabinet.
Hal yang sama juga terjadi pada Kabinet
Indonesia Bersatu era Presiden SBY yang
berhasil meraih dukungan 403 kursi setelah
membangun koalisi. KIB memperoleh
dukungan 56 kursi dari Partai Demokrat sebagai
partai pengusung utama SBY, 11 kursi dari
PBB, 45 kursi dari PKS, 1 kursi dari PKPI,
127 kursi Partai Golkar, 58 kursi PPP, 53 kursi
PAN, dan 52 kursi PKB. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa hampir semua presiden
di era reformasi merupakan presiden minoritas
(minority president) karena partainya tidak
11
mencapai dukungan mayoritas di DPR.
Di sisi lain, koalisi longgar yang dibangun
oleh presiden minoritas justru bisa jadi masalah
bagi pemerintahan itu sendiri. Seperti halnya
yang terjadi pada masa kepemimpinan Gus
Dur yang digulingkan dari kursi presiden atas
inisiatif partai-partai pendukung pemerintah dan
koalisi longgar partai-partai berbasis Islam yang
menamakan diri Poros Tengah. Padahal, koalisi
ini juga yang mengusung Gus Dur menjadi
Presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999.
Meskipun pada era pemerintahan berikutnya
tidak terjadi pemakzulan terhadap presiden,
kecenderungan yang sama juga terjadi pada
masa pemerintahan Megawati maupun SBY
melalui cara lain. Cara yang digunakan oleh
DPR adalah melalui penggunaan hak interpelasi
atau hak angket DPR. Sebagai contoh, pada
masa pemerintahan Presiden Megawati, DPR
mengajukan hak interpelasi atas lepasnya Pulau
Sipadan-Ligitan. Hak interpelasi DPR ini juga
didukung oleh partai-partai yang kader-kadernya
duduk di Kabinet Gotong Royong. Kejadian
yang sama juga menimpa pemerintahan SBY.
Dengan demikian, sejak Pemilu 1999
hingga 2009 tidak ada koalisi yang permanen.
Pada putaran kedua Pemilu Presiden 2004,
misalnya, terbangun koalisi yang cukup longgar
untuk memenangkan pasangan calon presiden
dan wakil presiden. Partai politik terbagi ke
dalam dua koalisi besar yang menamakan
diri dengan koalisi kebangsaan dan koalisi
kerakyatan, yang ujung-ujungnya terlibat dalam
pertarungan perebutan kursi pimpinan Dewan
maupun kursi pimpinan alat kelengkapan DPR
yang lain.
Komposisi kekuatan Koalisi Kebangsaan
dan Koalisi Kerakyatan berubah drastis seiring
dengan perubahan konstelasi politik yang
terjadi di internal Partai Golkar. Kemenangan
Jusuf Kalla (JK) mengalahkan Akbar Tandjung
dalam pemilihan Ketua Umum Partai
Golkar mengubah arah politik Partai Golkar
sekaligus Fraksi Partai Golkar (FPG) sebagai
perpanjangan tangan partai. Jusuf Kalla yang
tengah menjabat sebagai Wakil Presiden
tentu saja menarik Partai Golkar dari Koalisi
Kebangsaan yang berseberangan dengan
pemerintah menuju Koalisi Kerakyatan yang
mendukung pemerintah. Perubahan tersebut
tentu berimbas pada komposisi kekuatan
Koalisi Kebangsaan yang telah menguasai 58
Ibid., hlm. 59-60.
148 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
persen (317 kursi) parlemen menjadi 35 persen
(188 orang) begitu ditinggalkan FPG.12
Dengan demikian, koalisi yang terbangun
di antara fraksi ini sangat rapuh dan tidak
permanen. Lebih lanjut, kedua kelompok
koalisi ini bubar dengan sendirinya setelah
FPG menarik diri dari Koalisi Kebangsaan
dan sebagian anggota fraksi, baik yang
tergabung dalam Koalisi Kerakyatan maupun
Koalisi Kebangsaan, duduk dalam Kabinet
Indonesia Bersatu (KIB). Dengan kata lain,
ketidakdisiplinan partai politik anggota koalisi
dalam mempertahankan koalisi merupakan
persoalan dari penerapan sistem presidensial
yang dikombinasikan dengan sistem multipartai.
2. Sistem Kepartaian Berdasarkan
Jarak Ideologi
Sistem kepartaian berdasarkan jarak ideologi,
menurut Daniel Dhakidae (1999), dapat
dibedakan berdasarkan lima hal. Pertama,
perbedaan atas orientasi dasar. Kedua, perbedaan
pada tujuan konkret yang hendak dicapai.
Ketiga, perbedaan tentang cara mencapai tujuan.
Keempat, perbedaan dalam menilai kepribadian
politik. Kelima, perbedaan pada komposisi
partai atau fraksi, terutama basis massa dan
pengumpulan kekuatan politik. Dengan
demikian, semakin besar perbedaan tersebut,
semakin jauh jarak ideologi antarparpol.13
Giovani Sartori (1976), secara umum
membagi sistem kepartaian ke dalam tiga
kelompok berdasarkan jarak ideologi.14 Pertama,
sistem kepartaian pluralisme sederhana. Pada
sistem ini tidak terdapat perbedaan ideologi di
antara partai-partai politik yang ada meskipun
jumlah partai lebih dari dua. Contoh negara yang
menerapkan sistem ini adalah Amerika Serikat.
Kedua, sistem pluralisme moderat. Dalam sistem
ini terdapat perbedaan ideologi di antara partaipartai politik yang ada, tetapi perbedaannya tidak
terlalu jauh sehingga masih memungkinkan
untuk mencapai kesepakatan. Persamaan kedua
sistem kepartaian di atas adalah perilaku partaipartai politiknya masih mengarah ke integrasi
nasional, bukan perpecahan. Contoh negara
Muhammad Qodari, “Kembalinya Tradisi Golkar”,
Kompas, 21 Desember 2004, hlm. 6.
13
Daniel Dhakidae (Ed.), Partai-Partai Politik
Indonesia: Ideologi, Strategi, dan Program, (Jakarta:
Kompas, 1999), hlm. 196.
14
Ramlan Surbakti, op.cit, hlm. 127-128.
12
yang menerapkan sistem ini adalah Belanda.
Ketiga, sistem pluralisme ekstrim. Dalam sistem
ini terdapat perbedaan ideologi yang tajam di
antara partai-partai politik yang ada. Dalam
sistem ini biasanya konsensus sulit dicapai dan
perilaku partai-partai politiknya mengarah ke
perpecahan. Contohnya, Italia.
Namun demikian, masih menurut Sartori
sebagaimana dikutip Sigit Pamungkas, sistem
kepartaian berdasarkan jarak ideologi juga
dapat dikategorikan berdasarkan kemampuan
parpol dalam berkompetisi, yakni sistem
kepartaian non-kompetitif dan sistem kepartaian
kompetitif. Sistem kepartaian non-kompetitif
sering disebut juga dengan sistem partai negara
(party-state system) sebab keberadaan parpol
identik dengan kepentingan negara sehingga
sulit membedakan antara parpol dengan
negara. Kondisi ini biasanya dilakukan melalui
pembatasan ruang gerak terhadap parpol.
Contohnya, sistem partai tunggal dan sistem
partai hegemonik. Sedangkan, sistem kompetitif
memungkinkan adanya persaingan antarparpol
dan hak-hak politik parpol untuk menjalankan
fungsinya dilindungi oleh negara melalui
konstitusi. Contohnya, sistem kepartaian
predominan, dwipartai, pluralisme terbatas/
moderat, pluralisme ekstrim/terpolarisasi, dan
atomik.
Sementara itu, di Indonesia, “aliran”
adalah salah satu penjelasan yang paling banyak
digunakan dalam menjelaskan perbedaan
ideologi di antara parpol. Istilah ini berasal dari
kajian antropologis Clifford Geertz di sebuah
desa di Jawa, yang menghasilkan sebuah
tipologi masyarakat yang terdiri dari santri,
priyayi, dan abangan. Konsep ini kemudian juga
digunakan untuk menjelaskan peta ideologis
parpol di Indonesia pada tahun 1950-an. Pada
Pemilu 1955, basis dukungan kepemiluan dari
kaum santri diarahkan pada kekuatan politik
di kubu kanan (NU dan Masyumi), sedangkan
dari kaum abangan dukungan diarahkan pada
kekuatan politik di kubu kiri (PNI dan PKI).
Masih dengan perspektif politik aliran,
Herbert Feith dan Lance Castles menyatakan
bahwa ideologi parpol di Indonesia pada
masa itu dibentuk oleh dua pengaruh besar,
yaitu pengaruh dunia Barat dan pengaruh
tradisi yang bersumber pada ajaran Islam dan
Hindu-Budha. Dari dua pengaruh tersebut,
Feith dan Castles mengelompokkan parpol di
Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi | Luky Sandra Amalia | 149
Indonesia ke dalam lima kelompok, yaitu Islam,
Sosialisme Demokrat, Nasionalisme Radikal,
Tradisionalisme Jawa, dan Komunisme.
Sebagian kelompok ideologis ini berhasil
mewujudkan diri dalam kekuatan parpol terbesar
dalam Pemilu 1955, yaitu PNI (Nasionalisme
Radikal), Masyumi (Islam), Nahdlatul Ulama
(Islam), dan PKI (Komunisme).15
Sebagian akademisi masih menggunakan
konsep ini untuk menjelaskan parpol pasca
jatuhnya Orde Baru. Daniel Dakhidae,
contohnya, melihat bahwa 48 parpol peserta
pemilu 1999 dapat dikelompokkan berdasarkan
menjadi enam hingga sepuluh kelompok besar.
Pengelompokan dapat dilakukan berdasarkan
aliran (nasionalisme radikal, sosialisme
demokrat, Islam, dan tradisionalisme Jawa),
kelas (berorientasi modal, dan berorientasi
pekerja), komunalisme agama (inklusif dan
eksklusif), dan kebangsaan (sekuler dan tak
sekuler).
Namun, sebagian akademisi yang lain
mempertanyakan relevansi politik aliran
dalam politik pasca Orde Baru. Kevin Evans,
contohnya, melihat bahwa pembelahan ideologis
menggunakan konsep kiri-kanan seperti di Barat
sulit diterapkan di Indonesia. Di Barat kiri lebih
diidentikkan dengan pihak yang mendukung
peran besar pemerintah dalam tatanan ekonomi
sedangkan sayap kanan yang lebih diidentikkan
sebagai pendukung pasar bebas dari campur
tangan pemerintah yang minim. Di Indonesia,
sikap umum terhadap penataan ekonomi adalah
pragmatis, yaitu sistem mana yang efekif pada
saat tertentu. Pembelahan yang lebih relevan,
menurut Evans, adalah terkait pandangan
mengenai posisi Agama Islam dalam ranah
publik. Dengan menggunakan pembelahan
ini, kekuatan kepemiluan sepanjang garis
kiri-kanan di Indonesia dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok kekuatan politik. Secara
sederhana gambaran kelompok ini dapat dicatat
sebagai “3B”, yaitu kelompok bantengis (kiri),
kelompok bintangis (kanan) dan selama generasi
terakhir kelompok ketiga yang telah muncul
adalah kelompok beringinis (menengah).16
Bahkan, tidak sedikit akademisi melihat
bahwa parpol sebenarnya tidak mempunyai
Herbert Feith dan Lance Castles, Indonesian
Political Thinking 1945-1965, (Itacha and London:
Cornell University, 1970), hlm. 4.
16
Kevin Evans, “Politik “Aliran” yang Mana?”,
Tempo, 31 Maret–6 April 2009.
15
ideologi yang jelas dan hanya menjadikannya
untuk memobilisasi dukungan pemilih.
Ini dapat dilihat dari tidak berjalannya
fungsi parpol dalam hal pendidikan politik.
Pertarungan ‘ideologi’ antarparpol berhenti
dengan sendirinya ketika pemilu usai dan proses
pembentukan pemerintahan dimulai. Berbagai
perbedaan ideologi yang ada seolah-olah tidak
lagi menjadi faktor penting dalam pembentukan
kabinet sehingga tidak ada oposisi.17 Selain itu,
parpol-parpol dalam tiga kali pemilu terakhir
cenderung bertransformasi menjadi semacam
catch all party yang memperluas dukungan di
luar basis dukungan tradisionalnya.
Hampir semua partai sekarang ini sulit
dibedakan ideologinya. Batas ideologi antara
satu partai dengan partai yang lain semakin tidak
jelas karena parpol kesulitan membawa ideologi
tertentu di era seperti sekarang ini. Masyarakat
sudah rasional dalam menentukan pilihan.
Dengan sistem multipartai seperti sekarang ini
sulit sekali untuk mencirikan ideologi partaipartai yang ada. Misalnya, banyak sekali partaipartai yang nasionalis. Demikian halnya dengan
partai religius juga bukan hanya satu partai. Hal
ini terlihat, misalnya, pada Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai
wong cilik ternyata kadernya tidak hanya ada
yang pro-pasar tradisional, tetapi juga ada yang
pro-pengusaha mall. Jelas ini menunjukkan
betapa partai tidak berfungsi sebagai sekolah
ideologis bagi kadernya. Partai hanya ’angkutan
kota’ yang dibeli tiketnya untuk pemilihan
kepala daerah. Kondisi ini melahirkan oportunis
yang sewaktu-waktu dapat mbalelo terhadap
disiplin ideologis partainya.
Persoalan yang diderita PDIP ternyata juga
dialami partai-partai lain. Kasus Nazaruddin,
misalnya, Partai Demokrat yang mengusung
agenda antikorupsi ternyata tidak dapat menjaga
kebersihan etis kadernya. Hampir semua
partai tersandera sindrom ’partai angkot’ yang
merusak kaderisasi dan meritokrasi, bahkan
partai yang konon menjunjung kebersihan dan
profesionalitas. Dasar agama yang dijadikan
landasan politik sebagian partai terbukti
tidak dapat mencegah politik koruptif para
kadernya. Dengan tujuan politik jangka pendek
menyebabkan partai hanya akan berjualan tokoh
dan berharap mendapatkan suara dari tokoh
Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel
Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era
Reformasi, (Jakarta: KPG, 2009), hlm. 3.
17
150 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
yang diusungnya. Ideologi urusan belakangan.
Alhasil, pemimpin yang dihasilkan tidak
memiliki ikatan ideologis apa pun dengan partai
pengusungnya.
3. Sistem Kepartaian Berdasarkan
Formasi Pemerintahan
Sistem kepartaian berdasarkan formasi
pemerintahan, menurut Dahl (1966) dan
Rokkan (1970) sebagaimana dikutip Sigit
Pamungkas, dapat dibedakan berdasarkan
pola oposisi partai.18 Menurut Dahl, sistem
kepartaian berdasarkan pola oposisi partai dapat
diklasifikasikan ke dalam empat kelompok.
Pertama, persaingan ketat (strictly competitive).
Contohnya Inggris Raya. Kedua, bekerjasama
dan bersaing (cooperative and competitive).
Contohnya Amerika Serikat, Prancis, dan
Australia. Ketiga, bergabung dan bersaing
(coalescent and competitive). Contohnya
Austria. Keempat, penggabungan ketat (strictly
coalescent). Contohnya Kolombia.
Sementara itu, Rokkan (1970) dan
kemudian dilanjutkan oleh Peter Mair (2006)
membagi sistem kepartaian berdasarkan pola
oposisi ke dalam tiga kategori. Pertama, pola
1 vs 1+1 artinya sistem kepartaian didominasi
oleh kompetisi antara dua partai utama dengan
partai ketiga. Contohnya Austria dan Irlandia.
Kedua, pola 1 vs 3-4 artinya satu partai besar
berkonfrontasi dengan aliansi relatif formal
antara tiga atau empat partai kecil secara reguler.
Contohnya, Norwegia, Swedia, dan Denmark.
Terakhir, pola 1 vs 1 vs 1+2-3 (pola multipartai)
yaitu kompetisi didominasi oleh tiga atau lebih
partai dengan besaran relatif setara. Sistem ini
nampaknya yang terjadi di Indonesia.
Sistem kepartaian tidak dapat dilepaskan
dari sistem pemerintahan. Pendekatan ini
melihat seberapa kompatibel sistem kepartaian
yang dipilih dengan sistem pemerintahan yang
ada di suatu negara. Sistem dua partai sering
dianggap sebagai sistem kepartaian yang paling
ideal sebab kompatibel untuk sistem presidensial
dan sistem parlementarian, sedangkan sistem
multipartai dianggap hanya sesuai dengan
sistem parlementer.19
Sementara
itu,
kombinasi
sistem
presidensialisme dan multipartai seperti yang
18
19
Sigit Pamungkas, op.cit, hlm. 47.
Ibid, hlm. 55.
diterapkan di Indonesia bukan hanya merupakan
“kombinasi yang sulit”, melainkan juga
membuka peluang terjadinya kebuntuan politik
(deadlock) dalam hubungan eksekutif-legislatif
yang kemudian berdampak pada instabilitas
demokrasi presidensial. Pertama, menurut Scott
Mainwaring, kemandekan diakibatkan oleh
banyaknya jumlah partai di parlemen ditambah
dengan pemilu yang berbeda untuk memilih
anggota parlemen dan presiden menyebabkan
terjadinya perbedaan partai yang menguasai
parlemen dengan partai yang memerintah.
Peluang sebuah parpol untuk menjadi mayoritas
di parlemen relatif kecil.20 Kedua, kekakuan
sistemik mengenai masa jabatan presiden yang
bersifat tetap mengakibatkan tidak ada peluang
untuk mengganti presiden di tengah jalan
meskipun kinerjanya tidak memuaskan publik.
Ketiga, prinsip pemenang mengambil
semua memberi peluang bagi presiden untuk
mengklaim pilihan-pilihan kebijakannya atas
nama rakyat. Keempat, menurut Juan Linz,
seperti dikutip Syamsuddin Haris, pemisahan
kekuasaan antara lembaga eksekutif dan
legislatif di dalam sistem presidensial cenderung
menimbulkan polarisasi dan instabilitas politik,
sehingga dianggap tidak cocok diterapkan di
negara demokrasi baru.21 Fragmentasi kekuatan
parpol di parlemen seperti ini biasanya
merupakan produk dari penerapan sistem
pemilu perwakilan berimbang (proportional
representation).
Kesulitan lain yang muncul akibat
perpaduan sistem ini antara lain, pertama,
sulitnya
melembagakan
format
koalisi
permanen di antara partai-partai tanpa mayoritas
di parlemen. Kedua, lemahnya disiplin partaipartai dalam mempertahankan sikap dan prinsip
politik dari lobi, negosiasi, dan kompromi
politik. Oleh karena itu, ke depan, perlu ada
semacam “kontrak politik” di antara partaipartai politik yang membentuk koalisi. Kondisi
ini juga membawa keuntungan bagi masyarakat
sebab masyarakat menjadi lebih mudah menagih
janji-janji kampanye partai. Lebih jauh lagi,
Maswadi Rauf, “Evaluasi Sistem Presidensial”,
dalam Moch. Nurhasim dan Ikrar Nusa Bhakti
(Ed.), Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal,
Jakarta: Pustaka Pelajar dan Asosiasi Ilmu Politik
Indonesia-AIPI, 2009, hlm. 35.
21
Syamsuddin Haris, “Dilema Presidensialisme di
Indonesia Pasca-Orde Baru dan Urgensi Penataan
Kembali Relasi Presiden-DPR”, dalam Moch.
Nurhasim dan Ikrar Nusa Bhakti (Ed.), Ibid, hlm. 98.
20
Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi | Luky Sandra Amalia | 151
situasi ini dapat memperkuat sistem demokrasi
presidensial.22
Dalam kadar tertentu, kerumitan dari
kombinasi sistem pemerintahan presidensial
dengan sistem multipartai dialami Indonesia
selama era reformasi. Semua presiden,
baik yang dipilih secara langsung oleh
rakyat maupun yang dipilih melalui Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), dihadapkan
pada masalah ini. Sebagai contoh, pada masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono - M.
Jusuf Kalla (SBY-JK), konflik dan ketegangan
dalam
relasi
presiden-DPR
cenderung
meningkat tatkala presiden tidak menghadiri
langsung undangan DPR untuk memberikan
keterangan atas pertanyaan DPR mengenai
kebijakan pemerintah melalui hak interpelasi
maupun hak angket. Namun demikian, konflik
dan ketegangan ini mereda dengan sendirinya
setelah diadakan rapat konsultasi antara presiden
dengan pimpinan DPR.23 Dengan demikian,
kekhawatiran akan terjadinya kebuntuan
politik dalam jangka waktu yang lama relatif
tidak terjadi di Indonesia. Hal ini disebabkan
oleh kerja pengawasan DPR kepada presiden
seringkali hanya untuk menarik simpati publik
dan menaikkan posisi tawar partai politik di
hadapan presiden SBY dan partainya (Partai
Demokrat). Sehingga, ketegangan tersebut
dengan mudah dapat diredam melalui rapat
konsultasi di antara presiden dengan pimpinan
Dewan.
Skema sistem presidensial, seperti
diketahui, menempatkan presiden sebagai
locus kekuasaan, dalam arti untuk memerintah
(govern) dan mengeksekusi kebijakan. Karena
itu, seorang presiden semestinya memperoleh
derajat governability yang tinggi agar
pemerintahan yang dihasilkan pemilu bisa
bekerja efektif. Jumlah partai yang banyak di
parlemen, memang boleh jadi mencerminkan
representativeness yang tinggi. Namun, jumlah
partai yang terlalu banyak secara natural juga
mengurangi derajat governability presiden
dalam sistem presidensial. Sebabnya sangat
sederhana: too many players. Jika pada saat yang
sama, koalisi politik yang dibentuk Presiden
terlalu cair –seperti fenomena Indonesia di
bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyonomaka kemampuan eksekusi presiden pun
menurun, begitu pula kemampuan legislasi
Ibid, hlm. 107-108.
Ibid, hlm. 97.
22
��
parlemen cenderung melemah karena terlalu
banyak kepentingan yang dinegosiasikan di
antara partai-partai.24
Contoh kasus, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) dibuat kesal oleh empat
gubernur yang tidak menghadiri acara
penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
(DIPA) tahun 2013 di Istana Negara Jakarta
pada tanggal 10 Desember 2012.25 Hal serupa
juga dialami Gubernur Sulawesi Utara, Dr.
Sinyo Sarundajang, yang merasa kecewa dan
prihatin karena sekitar 13 bupati dan wali kota
dari 15 kabupaten/kota yang ada, tidak hadir
dalam penyerahan DIPA tahun 2013, senilai Rp
15,95 Triliun di Kantor Gubernur Sulut, pada 17
Desember 2012.26 Contoh lain, Wakil Walikota
Solo, Hadi Rudyatmo, bergabung dengan massa
di Solo untuk menolak kenaikan harga BBM.27
Demikian halnya dengan Wakil Walikota
Surabaya, Bambang DH, ikut turun dalam aksi
Lihat juga Philips J Vermonte, “Wacana Jumlah
Partai Politik dan Pemilu”, 7 Juli 2007, http://
pjvermonte.wordpress.com/2007/07/07/wacanajumlah-partai-politik-dan-pemilu-1/, diakses pada
tanggal 10 Desember 2012.
25
Empat gubernur tersebut yakni Gubernur
Sumatra Selatan Alex Noerdin, Gubernur Sulawesi
Selatan Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Lampung
Sjachroedin Z.P dan Gubernur Kepulauan Riau
Muhammad Sani. Khusus untuk Sani, wakilnya
melaporkan bahwa dia sakit. Sementara untuk
Gubernur Sulsel, ada kerabat yang meninggal dunia.
Lalu, Gubernur Sumsel saat ini masih berada di
Amerika Serikat. Untuk gubernur Lampung tak
ada keterangan dari pihak Istana, namun staf dari
Kemendagri mengabarkan ada acara pelantikan di
wilayahnya. Lihat, “Empat Gubernur Absen di Istana
Negara Presiden SBY Dibuat Kesal Ulah Gubernur”,
dalam
http://www.radaronline.co.id/berita/read/
22354/2012/Presiden-SBY-Dibuat-Kesal-UlahGubernur, diakses pada tanggal 10 Desember 2012.
26
Dari 15 kepala daerah yang ada di Sulut, yang
hadir hanya Bupati Minahasa Selatan Tetty Paruntu
SE dan Wakil Walikota Bitung Drs Max Lomban SE
Msi, sementara yang lainnya tidak ada kabar. Dan
justru hanya mengutus bawahan, baik sekda dan
asisten. Lihat, “Gubernur Sulut Kecewa, 13 Kepala
Daerah Tidak Hadir Penyerahan DIPA 2013”,
dalam http://www.suarapembaruan.com/nasional/
gubernur-sulut-kecewa-13-kepala-daerah-tidakhadir-penyerahan-dipa-2013/28329, diakses 18
Desember 2012.
27
”Ikut Demo, Wakil Walikota Solo Diperingatkan
Mendagri”, detiknews.com, diakses pada tanggal 26
Maret 2012.
��
152 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
penolakan kenaikan harga BBM.28 Hal di atas,
tentu saja, menunjukkan bahwa pemerintahan di
Indonesia belum efektif. Banyak kepala daerah
tidak patuh kepada “atasannya”.
kegaitan partai. Terakhir, hubungan dengan
konstituen terlihat belum intensif dan kurang
efektif. Selain itu, hubungan yang tercipta juga
lebih bersifat temporer dan parsial. Akibatnya,
sistem kepartaian juga sangat lemah.
Fragmentasi dan Polarisasi Sistem
Kepartaian Era Reformasi
Indonesia memilih sistem multipartai
sebagai sistem kepartaiannya. Akibatnya,
pasca reformasi jumlah partai politik semakin
banyak. Partai politik yang mendaftarkan diri ke
Departemen Kehakiman mencapai 184 parpol.
Dari angka tersebut, 141 diantaranya berhasil
mendapatkan pengesahan sebagai partai politik.
Selanjutnya, parpol yang dinyatakan memenuhi
syarat untuk mengikuti Pemilu 1999 berjumlah
48. Dari 48 parpol peserta Pemilu 1999,
sebanyak 19 parpol berhasil memperoleh kursi
di DPR.
Berbicara tentang sistem kepartaian tidak
dapat dilepaskan dari kualitas partai itu sendiri.
Kualitas partai politik sebagai sebuah institusi
akan mempengaruhi kualitas sistem kepartaian
yang terbentuk. Meskipun sistem kepartaiannya
sederhana tetapi jika kualitas partai politiknya
hancur, maka praktek politiknya pun juga
akan hancur. Artinya, ketika sistem kepartaian
sederhana terbentuk tidak mungkin dengan
otomatis akan bisa memperkuat atau
memperbaiki kualitas demokrasi, selama
kualitas dari partai politik itu sendiri tidak
dikerjakan. Sehingga, harus ada kerja bersama
yang dilakukan supaya kualitas partai politik
meningkat dan secara bersamaan kualitas sistem
kepartaiannya juga lebih baik.
Persoalannya, setelah lebih dari 10 tahun
reformasi, secara kelembagaan partai-partai
politik yang ada belum dapat disimpulkan
menjadi partai yang solid. Partai belum mampu
membentuk diri menjadi partai dewasa.
Pelembagaan partai dapat dilihat berdasarkan
enam aspek, pertama, ideologi/identitas parpol
(platform) menunjukkan bahwa meskipun
jumlah partai yang muncul di era transisi
reformasi ini sangat banyak, tetapi secara
garis besar ideologinya hanya terbagi atas
tiga ideologi, yaitu nasionalis (Pancasila),
nasionalis religius, dan Islam. Kedua, sistem
keanggotaan dan kaderisasi yang dilakukan
parpol pasca Orde Baru pada umumnya belum
berjalan dengan baik. Ketiga, pada sebagian
besar partai nampaknya demokrasi internal
parpol belum sepenuhnya berjalan dengan baik.
Keempat, berkaitan dengan kohesivitas internal
partai nampaknya parpol-parpol belum bisa
mewujudkannya dengan baik. Kelima, tingkat
otonomi partai relatif rendah karena masih
bergantung pada pemerintah dalam membiayai
“Mendagri Tegur Bupati/Walikota Ikut
Demo Tolak Kenaikan BBM”, http://www.
beritajatim.com/detailnews.php/6/Politik_&_
Pemerintahan/2012-04-,
09/131938/Mendagri_
Tegur_Bupati/Walikota_Ikut_Demo_Tolak_
Kenaikan_BBM, diakses pada tanggal 9 April 2012.
28
Jumlah partai politik menjelang Pemilu
2004 juga tidak jauh berbeda. Partai yang
terdaftar di Depkumham tercatat sebanyak 112
partai. Dari 112 partai yang memiliki badan
hukum tersebut, hanya 24 diantaranya yang
berhak menjadi peserta Pemilu 2004. Jumlah ini
berkurang setengah dari jumlah peserta Pemilu
1999. Dari 24 parpol peserta Pemilu 2004
terdapat 16 partai yang berhasil mendudukkan
kadernya di parlemen.
Jumlah parpol yang berbadan hukum
berkurang drastis hingga 79 partai menjelang
Pemilu 2009 dibandingkan sebelumnya.
Namun, jumlah parpol peserta Pemilu 2009
justru bertambah banyak dibandingkan dengan
pemilu sebelumnya. Jumlah parpol yang
berhak mengikuti Pemilu 2009 adalah 38 partai
(ditambah 6 partai lokal Aceh). Hasilnya,
terdapat 9 parpol yang berhasil menduduki kursi
legislatif setelah berhasil melewati ketentuan
2,5 persen ambang batas parlemen (PT).
Alhasil, partai pemenang di setiap pemilu
tidak sama. Pemilu 1999 berhasil dimenangkan
oleh PDI Perjuangan. Pemilu 2004 dimenangkan
oleh Golkar. Pemilu 2009 dimenangkan oleh
Partai Demokrat. Selain itu, tidak ada pemenang
mayoritas dalam setiap pemilu. PDIP sebagai
partai pemenang Pemilu 1999 hanya berhasil
meraih 153 dari 500 kursi DPR.29 Demikian
halnya dengan hasil Pemilu 2004. Partai Golkar
sebagai partai pemenang Pemilu 2004 hanya
Sebastian Salang, M. Djadijono, I Made Leo
Wiratma, TA. Legowo, Panduan Kinerja DPR/
DPRD Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota
Dewan, (Jakarta: Forum Sahabat, 2009), hlm. 23.
29
Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi | Luky Sandra Amalia | 153
berhasil memperoleh 127 dari 550 kursi DPR
dan Partai Demokrat hanya memiliki 150 dari
560 kursi DPR.
Dampak lain dari sistem multipartai adalah
partai-partai politik baru terus bermunculan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya
partai baru, pertama, karena kecewa dengan
parpol yang lama. Kedua, parpol baru terbentuk
karena kecewa dengan kebijakan parpol lama.
Artinya, mereka muncul karena perpecahan
dari partai sebelumnya karena gagal mengelola
konflik internal partai. Ketiga, parpol baru juga
merupakan tempat penampungan pensiunan,
job seeker, para postpower sindrom, dan
semacamnya. Ditambah lagi, kemudahan yang
diberikan oleh UU dalam proses pendirian
parpol.
Dalam perjalanannya, pendekatan sistem
kepartaian dengan berbasis jumlah partai
mengalami modifikasi. Penghitungan partai
bukan semata-mata didasarkan pada jumlah
partai yang ada di parlemen, melainkan juga
perlu dilihat jarak ideologinya. Partai politik di
Indonesia dapat dibagi ke dalam pembelahan
sekuler-Islamis, elitis-populis, Jawa-luar Jawa,
dan perkotaan-pedesaan. Selain itu, pembagian
parpol juga bisa melalui pendekatan jalur kelas
(developmentalisme-sosialisme radikal) dan
jalur agama (Islam dan Kristen-Kebangsaan).
Selanjutnya, pembelahan partai berdasarkan
kekuatan Pemilu 2009 terdiri atas 3 kelompok
kekuatan politik. Secara sederhana, gambaran
kelompok ini dapat dicatat sebagai 3B, yaitu
kelompok Bantengis (kiri), Bintangis (kanan),
dan Beringinis.
Namun demikian, polarisasi ideologi hanya
nampak pada saat pembahasan amandemen
UUD 1945 khususnya mengenai Piagam Jakarta
dan pada saat debat mengenai UU Pornografi dan
Pornoaksi di DPR. Di luar perdebatan tersebut,
polarisasi ideologi partai politik seringkali tidak
nampak. Tidak sedikit akademisi melihat bahwa
parpol sebenarnya tidak mempunyai ideologi
yang jelas dan hanya menjadikannya sebagai
alat untuk memobilisasi dukungan pemilih.
Pertarungan ‘ideologi’ antarparpol berhenti
dengan sendirinya ketika pemilu usai dan proses
pembentukan pemerintahan dimulai. Berbagai
perbedaan ideologi yang ada seolah-olah tidak
lagi menjadi faktor penting dalam pembentukan
kabinet sehingga tidak ada oposisi.30 Selain itu,
parpol-parpol dalam tiga kali pemilu terakhir
30
Kuskridho Ambardi, op.cit., hlm. 3.
cenderung bertransformasi menjadi semacam
catch all party yang memperluas dukungan di
luar basis dukungan tradisionalnya.
Presidensialisme-Multipartai dan
Kartelisasi Politik
Sistem kepartaian dalam tiga belas tahun
terakhir
ini
cenderung
mengokohkan
kartelisasi. Dari pemilu ke pemilu, pembedaan
ideologi antarpartai menjadi semakin tidak
signifikan, kecuali sebatas klaim-klaim yang
lebih merepresentasikan kebutuhan partai untuk
melakukan pencitraan di hadapan pemilih.
Ideologi juga menjadi semakin tidak relevan saat
pemilu berakhir. Koalisi turah yang dibentuk
menunjukkan kecenderungan untuk merangkul
partai lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk
membentuk mayoritas, termasuk partai-partai
yang sebelumnya menjadi kompetitor dalam
pemilu, sehingga tidak menyisakan kekuatan
oposisi yang memadai. Mengutip Dan Slater,
“Orang Indonesia tidak dapat mendukung
oposisi karena memang tidak ada oposisi untuk
didukung.”31 Selain itu, pembentukan koalisi
tidak mempertimbangkan ideologi atau platform
partai anggota koalisi, sehingga kabinet selalu
dihadapkan pada persoalan kekompakan di
antara anggotanya, bahkan dalam hal-hal
mendasar yang semestinya telah disepakati
sejak kabinet terbentuk.
Kartelisasi partai-partai juga tampak dari
kecenderungan partai-partai untuk bertindak
sebagai satu kelompok, contohnya dalam
menggunakan keuangan publik (negara)
sebagai sumber pembiayaan partai. Berbagai
kasus tindak pidana korupsi yang sudah
diproses secara hukum ternyata melibatkan
politisi dari berbagai partai, tak terkecuali yang
berada di luar oposisi. Beberapa kasus bahkan
melibatkan politisi dari partai yang berbeda
sekaligus. Berbagai kasus korupsi, mulai dari
kasus Buloggate I dan II, cek pelawat pemilihan
Deputi Senior Gubenrnur BI, dana Departemen
Kelautan dan Perikanan, hingga berbagai
kasus terbaru yang kini ditangani Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan
bahwa uang ternyata mengalir ke politisi dari
partai berbeda. Sulit untuk dapat menerima
argumen bahwa korupsi tersebut dilakukan
Dan Slater, “Indonesia’s Accountability Trap: Party
Cartels and Presidential Power after Democratic
Transition”, Indonesia, No. 78, 2004, hlm. 72.
31
154 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
semata-mata karena inisiatif pribadi.
Dengan demikian, kebutuhan penataan
sistem kepartaian di Indonesia tidak dapat
semata-mata dilihat dari sisi penyederhanaan
jumlah partai. Jumlah partai yang lebih sedikit
tentu saja memungkinkan pemilih untuk
mengoptimalkan potensinya menjadi pemilih
yang rasional. Pengalaman selama ini, dengan
jumlah partai peserta pemilu yang banyak
dan ditambah daftar nama caleg yang juga
panjang, sulit mengharapkan pemilih dapat
mengenali dan mempertimbangkan kualitas,
baik kapabilitas maupun integritas, para caleg.
Namun, sesederhana apapun jumlah partai,
akan sia-sia jika persaingan yang kompetitif
antarpartai hanya sebatas pada saat pemilu.
Tanpa tautan elektoral di arena pemerintahan
dan legislatif, partai seolah bebas melakukan
apapun selama kepentingan mereka dapat
tercapai. Hal ini merupakan ancaman serius
bagi konsolidasi demokrasi.
Sementara itu, dalam rangka penataan
sistem kepartaian di Indonesia keberadaan
partai lokal juga tidak dapat diabaikan begitu
saja. Namun demikian, keberadaan partai
politik lokal dalam konteks Aceh merupakan
problematik tambahan dalam membangun
sistem kepartaian. Hal ini disebabkan sejak
awal keberadaan partai lokal Aceh merupakan
salah satu alternatif solusi penyelesaian konflik,
bukan sebagai solusi penataan sistem kepartaian
secara nasional.
Partai Politik Lokal Aceh dalam
Konteks Sistem Kepartaian
Nasional
Kehadiran parpol lokal telah menjadi alat
efektif
untuk
mentransformasi
situasi
konflik di Aceh menjadi sebuah perdamaian.
Pergerakan kemerdekaan di Aceh telah berhasil
mentransformasikan diri ke dalam gerakan
politik formal yang ditandai oleh perubahan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi
Komite Peralihan Aceh (KPA) yang kemudian
berubah menjadi Partai Aceh (PA). Parpol lokal
dengan ideologi dan basis massa yang beragam
telah muncul sebagai alat bagi orang Aceh
untuk mengembangkan kekuasaan politiknya
dalam jangkauan pengawasan pemerintah pusat.
Semua elemen di Aceh telah memiliki kesadaran
politik untuk berada di dalam kerangka politik
formal yang terawasi oleh pemerintah dan tidak
lagi menjadi bola liar yang bernuansa separatis.
Hal ini menandakan bahwa parpol lokal berhasil
menjadi alat transformasi konflik bagi Aceh.
Meskipun parpol lokal berhasil menjadi
peredam konflik di Aceh, namun tidak semua
parpol lokal berhasil berkontestasi di dalam
pemilu. Hanya PA yang sudah memiliki struktur
dan modal politik kuat dari peninggalan GAM
yang mampu unjuk gigi dalam pemilu legislatif
maupun pemilukada di Aceh. Parpol lokal lainnya
masih menemui kesulitan untuk membangun
struktur politik hingga tingkat terendah di desa
dan kampung-kampung, ditambah lagi parpol
juga kesulitan dalam menggerakan kader untuk
berkampanye di masa pemilu. Keterbatasan itu
muncul karena parpol lokal memiliki jaringan
kader dan modal finansial yang masih terbatas.
Tentunya sulit bagi mereka untuk membangun
fondasi politik yang kuat hanya dalam waktu
dua tahun saja.
Namun demikian, parpol lokal Aceh
terbukti dapat menjadi wadah politik baru yang
bekerja lebih efektif dengan struktur kerja di
tingkat daerah. Segala keputusan parpol lokal
yang berkaitan dengan persoalan daerah tidak
lagi berlarut-larut karena harus menunggu
keputusan partai di tingkat pusat. Tidak hanya itu,
parpol lokal juga memiliki hubungan yang lebih
dekat dan tidak berjarak dengan konstituennya.
Hal ini berbeda dengan parpol nasional yang
sifat kerja dan strukturnya terpusat pada Dewan
Pimpinan Pusat (DPP) Partai. Situasi ini tentu
berdampak positif terhadap kerja politik parpol
lokal yang lebih efektif dan cepat dibandingkan
dengan parpol nasional.
Tidak hanya unggul dengan basisnya di
masyarakat, fragmentasi ideologi yang beragam
pada parpol lokal Aceh menjadikan sumber
daya kader mereka menjadi lebih beragam
dibandingkan dengan kader parpol nasional.
Artinya parpol lokal menjangkau lebih luas
politisi baru di Aceh dan tidak menjadikan elit
politik terpusat hanya di beberapa kelompok
saja. Sebagai contoh, Partai Rakyat Aceh
memicu lahirnya keterlibatan politisi muda
dalam proses politik yang berlangsung di Aceh
dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh
(SIRA) menjadi pendorong munculnya tokoh
pejuang Aceh masa lalu di luar GAM untuk turut
membangun kekuatan politik baru di NAD.
Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi | Luky Sandra Amalia | 155
Sayangnya, keunggulan parpol lokal
tersebut baru bisa dimanfaatkan oleh PA yang
sudah memiliki struktur kuat di Aceh. Selain
menempati lebih dari sepertiga kursi di DPRA,
politisi yang berasal dari PA juga menjadi
pemimpin tertinggi Pemerintahan Daerah
Provinsi NAD saat ini. Hal ini menunjukan
bahwa hampir seluruh elemen lembaga negara
dikuasai oleh Partai Aceh. Kekuasaan politik
yang cenderung dimonopoli oleh Partai Aceh ini
tentu memiliki dampak positif dan negatif bagi
provinsi ini ke depannya. Di satu sisi kekuasaan
mayoritas PA dapat membantu pembuatan
kebijakan menjadi lebih efektif karena koordinasi
yang erat antara DPRD dan pemerintah daerah.
Namun di sisi lain, hal ini dapat menjerumuskan
Aceh ke dalam sistem politik otoritarian yang
dikuasai oleh sekelompok elit politik baru,
meskipun kekuasaan itu dihasilkan oleh pemilu
yang demokratis.
Kekhawatiran atas dampak buruk akan
kekuasaan tunggal elit politik di Aceh dapat
bergerak kepada dua arah yang berbeda.
Pertama, kekuasaan politik yang otoriter akan
terbentuk dan memusatkan seluruh proses
pembangunan kepada PA sebagai penguasa
DPRA dan pemda. Hal ini tentu tidak sehat bagi
proses demokrasi yang berjalan di Aceh karena
partisipasi politik elemen lain di luar PA akan
menjadi sangat terbatas. Pembangunan di Aceh
pun akan tunduk pada garis arahan PA sendiri.
Kedua, kekuasaan dominan PA di Aceh akan
menjadi sebuah persoalan apabila terjadi pecah
kongsi di dalam tubuh internal parpol lokal
tersebut. Situasi antara kubu Irawandi dan nonIrwandi di dalam struktur PA dapat menjadi
pelajaran bagi Aceh, dimana pembangunan dan
pembuatan qanun menjadi terhambat dengan
adanya pertikaian kepentingan politik tersebut.
Artinya, persoalan internal partai penguasa
dapat berubah menjadi persoalan Aceh secara
meluas. Kedua hal tersebut tentu saja tidak
sehat bagi situasi politik di Aceh.
Dampak negatif atas kekuasaan tunggal
di PA dapat diatasi apabila masyarakat sipil
dan politik di Aceh memiliki kesadaran yang
tinggi untuk menjalankan kontrol atas fungsi
kerja DPRD dan pemda dengan baik. Fungsi
pengawasan tersebut seharusnya mampu diisi
oleh parpol nasional dan parpol lokal. Secara
khusus, parpol lokal yang tidak terlibat di dalam
kursi kekuasaan seharusnya mampu secara
objektif mengawasi jalannya pemerintahan.
Oleh karena itu, kerja sama yang sinergis antar
parpol lokal maupun parpol lokal dengan parpol
nasional harus ditingkatkan untuk membentuk
sebuah oposisi politik yang solid terhadap
kekuasaan PA.
Dalam kerangka sistem kepartaian
di Indonesia, parpol lokal di Aceh dapat
memberikan pelajaran berarti sebagai tawaran
alternatif baru untuk mengisi kelemahan
sistem saat ini. Trend sistem kepartaian yang
mengharuskan peserta pemilu di tingkat pusat
dan daerah adalah partai nasional dengan
kedudukan kepengurusannya di tingkat pusat
dan tersebar di seluruh provinsi dinilai memiliki
kelemahan. Parpol nasional kerap kali tidak
cepat tanggap atas persoalan di daerah karena
seluruh keputusan dan agenda kerja dipusatkan
pada proses di tingkat DPP. Oleh karenanya,
parpol lokal yang memiliki keunggulan dalam
hal efektivitas kerja partai, kedekatan dengan
konstituen, dan kedekatan dengan persoalan
di daerah dapat menjadi alternatif baru yang
mengisi kelemahan parpol nasional tersebut.
Kehadiran parpol lokal di tingkat pusat
(DPR RI) juga sangat diperlukan agar tidak ada
keterputusan hubungan antara kerja politik di
daerah dengan pusat. Dengan demikian, kinerja
parpol lokal akan menjadi lebih sinergis dan
aspirasi di tingkat lokal dapat terangkat hingga
di tingkat pusat. Secara logis dengan situasi
di Aceh saat ini, DPR RI akan mendapatkan
kesulitan dalam membuat dan menerapkan
kebijakan karena parlemen di tingkat daerah
dikuasai oleh parpol lokal, dan bukan parpol
nasional.
Tidak hanya itu, parpol lokal dinilai perlu
juga diterapkan di daerah lain di Indonesia, tidak
hanya Aceh, khususnya di daerah konflik dan
daerah pasca-konflik. Kemampuan parpol lokal
sebagai alat transformasi konflik yang efektif di
Aceh seharusnya mampu menjadi pembelajaran
positif untuk mentransformasi situasi konflik di
daerah lain di Indonesia. Sebagai contoh, parpol
lokal dapat juga diterapkan di Provinsi Papua
yang memiliki pengalaman konflik separatis
seperti Aceh. Dengan pembelajaran Aceh, maka
parpol lokal seharusnya juga mampu meredam
konflik yang berlangsung di Papua dan juga
daerah lainnya.
Dengan penjelasan tersebut, maka dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa kehadiran
parpol lokal telah berhasil membawa warna
156 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
baru bagi sistem kepartaian politik di Indonesia.
Meskipun memiliki kelemahan dari sisi struktur
dan manajemen partai, namun parpol lokal
memiliki kontribusi positif terkait dengan
efektivitas kerja dan fungsi partai, hubungan
kerja antara eksekutif dan legislatif, dan sebagai
alat efektif untuk transformasi konflik. Dengan
latar belakang tersebut, maka parpol lokal dapat
menjadi alternatif baru yang dapat diterapkan
tidak hanya di Aceh, namun juga di daerah
lain, khususnya di daerah-daerah konflik. Tidak
hanya itu, parpol lokal seharusnya mampu
menempatkan wakilnya tidak hanya pada
lembaga legislatif di tingkat daerah saja, namun
juga hingga tingkat nasional. Hal ini diperlukan
untuk menjaga konsistensi kebijakan dan
soliditas kerja parlemen di tingkat pusat dan
daerah.
Analisis dan Penataan ke Depan:
Catatan Penutup
Penyederhanaan sistem kepartaian agar jumlah
parpol efektif di DPR relatif sedikit dan secara
ideologis lebih kompetitif, tampaknya memang
suatu keniscayaan jika diasumsikan bahwa skema
demokrasi presidensial menjadi pilihan bangsa
kita. Persoalannya, apakah penyederhanaan
sistem kepartaian tersebut hendak menempuh
cara perubahan sistem pemilu, atau
penyederhanaan dilakukan tanpa mengubah
sistem pemilu yang berbasis proporsional
seperti berlangsung sejak Pemilu 1999. Pilihan
pertama diharapkan bisa menghasilkan sistem
multipartai dengan dua parpol dominan di DPR,
sedangkan pilihan kedua menghasilkan sistem
multipartai sederhana dengan dua koalisi besar
yang bersifat permanen di parlemen.
1. Pilihan Perubahan Sistem Pemilu
Secara sederhana sistem pemilu dapat
dibedakan atas Single-Member Constituency
(pemilihan berwakil tunggal) dan Multi-Member
Constituency (pemilihan berwakil banyak).
Sebagaimana namanya, pada sistem pemilihan
Single-Member Constituency hanya terdapat
satu kursi wakil rakyat yang diperebutkan pada
satu daerah pemilihan atau yang biasa disebut
dengan sistem distrik di Indonesia. Pada sistem
ini pemilih memilih satu wakil dalam satu
wilayah kecil yang disebut distrik pemilihan.
Pemenang pemilu ditentukan berdasarkan
prinsip pluralitas yaitu siapa saja kandidat
yang memperoleh suara terbanyak berhak
menduduki kursi parlemen, meskipun selisih
suara antarkandidat atau antarpartai lain sangat
kecil. Suara yang tadinya mendukung kandidat
lain dianggap hilang (wasted) dan tidak dapat
digunakan oleh partainya untuk menambah
jumlah perolehan suara partai tersebut di distrik
lain.32 Sistem ini terbagi atas First Past the
Post (FPTP), Sistem Dua Putaran (Two-Round
System), Alternative Vote (AV), Block Vote
(BV), dan Party Block Vote (PBV).33
Sedangkan, dalam sistem pemilihan
berwakil banyak (Multi-member Constituency)
terdapat beberapa calon anggota parlemen yang
dipilih di satu daerah pemilihan atau yang lebih
dikenal dengan sistem proporsional atau sistem
perwakilan berimbang. Pada sistem ini dalam
satu wilayah besar atau yang biasa disebut
dengan daerah pemilihan terdapat lebih dari satu
wakil rakyat yang duduk di parlemen. Penentuan
pemenang pemilu ditentukan berdasarkan
pembagian jumlah kursi dengan jumlah suara
yang diperoleh seluruh peserta pemilu secara
nasional. Dengan demikian, perbedaan pokok
dari kedua sistem tersebut terletak pada cara
penghitungan perolehan suara yang dapat
menghasilkan perbedaan dalam komposisi
perwakilan di parlemen.34 Sistem proporsional
ini memiliki beberapa variasi, diantaranya
Daftar PR (Proportional Representation-List35
PR) dan Single Transferable Vote (STV). ��
Dewasa ini banyak negara, termasuk negara
yang demokrasinya telah mapan, seperti Israel,
Italia, Jepang, New Zealand, dan Venezuela,
mencoba memadukan kedua sistem pemilu
tersebut dengan harapan dapat mengambil sisi
positif dari kedua sistem pemilu tersebut dan
meminimalkan sisi negatifnya. Pada dasarnya,
sistem pemilihan campuran mencoba untuk
mengombinasikan kebaikan sistem pluralitasmajoritas dengan sistem proporsional. Dengan
demikian, anggota parlemen sebagian dipilih
secara majoritarian, biasanya First Past the Post
(FPTP), sementara sebagian anggota parlemen
yang lain dipilih secara proporsional, biasanya
sistem proporsional dengan daftar tertutup
(closed-list). Namun demikian, penerapan
Miriam Budiardjo, op.cit, hlm. 461.
Sigit Pamungkas, op.cit, hlm. 27-30.
34
Miriam Budiardjo, op.cit, hlm. 462-463.
35
Sigit Pamungkas, op.cit, hlm. 30-36.
32
33
Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi | Luky Sandra Amalia | 157
sistem pemilu campuran tidak sama persis di
satu negara dengan negara yang lain. Masingmasing negara melakukan modifikasi atas
sistem pemilihannya. Hal ini sesuai dengan
yang diungkapkan oleh Roberth A. Dahl bahwa
sistem pemilu yang paling baik adalah sistem
pemilu yang dihasilkan atas dasar kompromi
terhadap tujuan yang hendak dicapai oleh suatu
36
negara. ��
diterapkan di Jerman, Selandia Baru, dan
Meksiko. Lembaga Centre for Electoral Reform
(Cetro) antara lain mempromosikan sistem
pemilu campuran varian MMP ini38. Sistem
pemilu “campuran” lainnya, yakni varian
sistem parallel, yang mengadopsi unsur-unsur
sistem proporsional dan sistem pluralitas, juga
dipraktikkan di banyak negara seperti di Jepang,
Filipina, Thailand, dan Korea Selatan.
Dalam konteks penyederhanaan sistem
kepartaian, apabila pilhan cara pertama yang
diambil maka melalui sistem pluralitas, varian
first past the post (FPTP) dengan daerah
pemilihan berwakil tunggal (single member
district), jatah kursi yang diperebutkan di
setiap satu daerah pemilihan hanya satu,
maka hanya ada satu calon yang menang di
Dapil tersebut. Calon-calon lain, dari parpol
yang sama maupun yang berbeda, tidak akan
memiliki kursi di DPR dari Dapil yang sama.
Berdasarkan pengalaman empiris negara-negara
lain, sistem pluralitas/majoritarian tersebut pada
akhirnya menghasilkan dua atau tiga parpol
yang memiliki kursi efektif di parlemen.37Salah
satu parpol hampir pasti akan menjadi kekuatan
mayoritas di DPR, sehingga menjanjikan potensi
governability presiden yang tinggi dalam fungsi
eksekusi dan parlemen dengan fungsi legislasi
cenderung tinggi pula.
Terkait perubahan sistem pemilu, dari sistem
keterwakilan proporsional ke sistem pluralitas,
LIPI sebenarnya telah merekomendasikannya
sejak 1995. Dalam studi yang dilakukan atas
permintaan Presiden Soeharto tersebut, LIPI
melihat perlunya tranformasi sistem pemilu
dari proporsional yang disempurnakan (dengan
unsur-unsur sistem pluralitas) menjadi “sistem
distrik (pluralitas) yang disempurnakan”
(dengan unsur-unsur sistem proporsional).39
Kebutuhan akan hadirnya wakil-wakil rakyat
yang mengenal dan dikenal konstituen serta lebih
akuntabel di satu pihak, serta keperluan akan
hadirnya parpol yang mampu menghadirkan
wakil yang benar-benar kompeten, memiliki
integritas, dan akuntabel.
Namun demikian pilihan atas sistem
pluralitas varian FPTP dengan Dapil berwakil
tunggal tidak harus pula bersifat kaku dalam
pengertian diadopsi seluruhnya untuk semua
daerah pemilihan, ataupun untuk semua
lembaga parlemen, di tingkat nasional, regional
(provinsi), dan lokal (kabupaten/kota). Apalagi
resistensi terhadap penggunaan sistem pluralitas
masih begitu besar di Indonesia karena dianggap
membatasi terpilihnya wakil-wakil kelompok
golongan minoritas, kendati kekuatan argumen
ini pun masih bisa diperdebatkan.
Oleh karena itu, untuk mengurangi distorsi
dan kelemahan yang melekat pada system
pluralitas, maka sejumlah negara mengadopsi
model sistem pemilu “campuran” dalam
pengertian, sebagian calon wakil rakyat dipilih
secara pluralitas, dan sebagian caleg lainnya
dipilih secara proporsional daftar tertutup.
Salah satu varian sistem campuran adalah
mixed member proportional (MMP) seperti
Robert A. Dahl, op.cit, hlm. 181.
Lihat Saiful Mujani, “Plus Minus Penyederhanaan
Partai”, Tempo, edisi 9-15 Juli 2007.
��
37
Meskipun rekomendasi LIPI pada 1995
tersebut belum tentu relevan untuk kondisi
Indonesia saat ini, sekurang-kurangnya sejak
awal telah disadari bahwa kebutuhan obyektif
bangsa kita bukan sekadar menghasilkan wakil
rakyat yang benar-benar representatif dan
memenuhi prinsip proporsionalitas, melainkan
juga para wakil rakyat yang akuntabel. Dalam
hubungan ini maka pilihan perubahan sistem
pemilu, misalnya ke arah sistem pluralitas –
khususnya yang bersifat “campuran”—dalam
rangka penyederhanaan sistem kepartaian
bukanlah “jalan haram” seperti cenderung
dikemukakan sebagian kalangan. Sebaliknya,
penyederhanaan sistem kepartaian melalui
perubahan sistem pemilu justru lebih “lurus”
dan tidak berliku-liku serta terjal seperti
mekanisme penyederhanaan sistem kepartaian
tanpa mengutak-atik kemungkinan mengubah
sistem pemilu.
Hadar Gumay, et. al, Laporan Kajian Undangundang Pemilu, (Jakarta: Cetro, Mei 2011).
��
Lihat Laporan Penelitian Sistem Pemilu, Jakarta:
LIPI, 1995.
38
158 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
2. Pilihan Mempertahankan Sistem
Pemilu
Sudah menjadi pemahaman elementer di
dalam kajian pemilu dan kepartaian bahwa
sistem perwakilan proporsional (proportional
representation/PR
system)
cenderung
menghasilkan sistem multipartai, sedangkan
sistem pluralitas dengan berbagai variannya
cenderung menghasilkan sistem dua partai
–meski dalam realitasnya tidak selalu
berjumlah dua parpol. Karena itu jika pilihan
penyederhanaaan sistem kepartaian dilakukan
dalam konteks sistem pemilu proporsional
maka
diperlukan
berbagai
rekayasa
institusional sehingga pada akhirnya terbentuk
sistem multipartai sederhana yang dianggap
kompatibel dengan skema sistem presidensial
seperti berlaku di Indonesia pasca-Orde Baru.
Sejauh ini sejumlah rekayasa institusi telah
dilakukan di antaranya adalah pemberlakukan
mekanisme electoral threshold (ET) yang
membatasi parpol dengan perolehan suara
minimum tertentu untuk mengikuti pemilu
berikutnya. Disadari kemudian, ternyata
mekanisme ET yang diberlakukan untuk
Pemilu 2004 dianggap tidak begitu efektif
dalam mengurangi jumlah parpol efektif di
parlemen, sehingga diganti dengan mekanisme
parliamentary threshold (PT). Berbeda dengan
ET yang membatasi parpol ikut pemilu
berikutnya, mekanisme PT justru untuk
membatasi jumlah parpol efektif di parlemen
melalui persyaratan perolehan suara minimal
secara nasional bagi semua parpol peserta
Pemilu 2009. UU No. 10 Tahun 2008 tentang
Pemilu Legislatif menetapkan PT sebesar 2,5
persen dari perolehan suara secara nasional
sebagai syarat bagi parpol untuk duduk di DPR.
Di luar mekanisme ET dan PT, melalui
UU Parpol dan UU Pemilu Legislatif, DPR
dan Presiden selaku pembentuk UU, semakin
memperketat syarat bagi parpol berbadan
hukum di satu pihak, dan parpol peserta
pemilu di lain pihak. Jadi, meskipun syarat
untuk membentuk parpol relatif mudah, tidak
semua parpol yang memenuhi syarat UU
Parpol dapat disahkan sebagai badan hukum
yang terdaftar pada Kementerian Hukum
dan Hak-hak Asasi Manusia. Selanjutnya,
tidak semua parpol berbadan hukum bisa
langsung ikut sebagai parpol peserta pemilu
karena persyaratannya lebih diperketat lagi.
UU Parpol terakhir misalnya, yakni UU No.
2 Tahun 2011, memberlakukan ketentuan
kepemilikan kepengurusan di semua provinsi,
sekurang-kurangnya 75 persen kepengurusan di
kabupaten/kota dalam provinsi yang sama, serta
minimal 50 persen kepengurusan kecamatan
di kabupaten/kota yang sama, sebagai syarat
parpol mengikuti pemilu di luar syarat-syarat
administratif lainnya.
Berbagai rekayasa institusi tersebut
memang relatif berhasil mengurangi jumlah
parpol peserta pemilu dari 48 parpol pada
Pemilu 1999 menjadi 24 parpol pada Pemilu
2004, namun kemudian bertambah lagi menjadi
38 parpol peserta Pemilu 2009. Sementara itu
jumlah parpol efektif di DPR berkurang dari 21
parpol (1999) menjadi 17 parpol (2004) dan 9
parpol (2009). Kendati jumlah parpol semakin
berkurang, tidak berarti kinerja pemerintahan
hasil pemilu menjadi lebih efektif dan produktif.
Fenomena dua periode pemerintahan Presiden
SBY memperlihatkan, meskipun telah dibentuk
koalisi besar parpol pendukung pemerintah pada
2004 dan 2009, Presiden acapkali terpenjara
oleh manuver parpol koalisi di DPR.
Sadar akan urgensi agenda penyederhanaan
sistem kepartaian, DPR dan Presiden akhirnya
sepakat untuk meningkatkan PT menjadi 3,5
persen untuk Pemilu 2014. Jika didasarkan
pada hasil Pemilu 2009, jumlah parpol efektif
di DPR diharapkan berkurang menjadi sekitar
6-8 parpol. Hanya saja pertanyaannya, apakah
jumlah parpol efektif yang lebih sedikit di
DPR menjanjikan pemerintahan hasil pemilu,
khususnya di tingkat nasional, lebih efektif
(governable) dan produktif?
Oleh karena itu, selain pemberlakuan
ambang batas parlemen secara konsisten,
skema sistem multipartai sederhana dapat
diwujudkan melalui, pertama, perubahan
besaran Dapil, dari 3-10 kursi anggota DPR
dan 3-12 kursi anggota DPRD, menjadi
masing-masing 3-5 dan 3-6 kursi anggota
parlemen per satu Dapil. Kedua, melembagakan
pembentukan koalisi secara permanen dalam
arti suatu koalisi yang diikat secara publik
dan bersifat notariat. Ketiga, penyederhanaan
pengelompokan fraksi di parlemen atas fraksi
pendukung pemerintah di satu pihak, dan fraksi
oposisi dan atau fraksi independen di pihak
lain. Keempat, pemberlakuan ambang batas
parlemen bagi parpol yang hendak merebut
Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi | Luky Sandra Amalia | 159
kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota agar
struktur politik dan sistem kepartaian di tingkat
lokal atau daerah menjadi lebih sederhana dan
ramping pula.
Di luar berbagai agenda rekayasa
institusi seperti dikemukakan di atas, tak kalah
pentingnya adalah reformasi karakter parpol,
dari parpol pragmatis dan berorientasi jangka
pendek menjadi parpol yang memiliki platform
politik dan visi kebangsaan yang jelas.
Daftar Pustaka
Buku
Amalia, Luky Sandra. 2010. ”DPRD Banten:
Relasi Formalistik dengan Konstituen”,
dalam Lili Romli dan Luky Sandra Amalia
(ed.). Kecenderungan Hubungan Anggota
Legislatif dan Konstituen: Studi DPRD
Provinsi Banten Hasil Pemilu 2009.
Jakarta:P2P-LIPI.
Ambardi, Kuskridho. 2009. Mengungkap Politik
Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di
Indonesia Era Reformasi. Jakarta: KPG.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu
Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dhakidae, Daniel. 1999. “Partai-Partai Politik di
Indonesia Kisah Pergerakan dan Organisasi
dalam Patahan-Patahan Sejarah”, dalam
Tim Penelitian dan Pengembangan
KOMPAS, Partai-Partai Politik Indonesia
Ideologi, Strategi, dan Program. Jakarta:
Kompas.
Feith, Herbert dan Castles, Lance. 1970.
Indonesian Political Thinking 1945-1965.
Itacha and London: Cornell University.
Gumay, Hadar et. al. 2011. Laporan Kajian
Undang-Undang Pemilu. Jakarta: Cetro.
Haris,
Syamsuddin.
2009.
“Dilema
Presidensialisme di Indonesia Pasca-Orde
Baru dan Urgensi Penataan Kembali Relasi
Presiden-DPR”, dalam Moch. Nurhasim
dan Ikrar Nusa Bhakti (ed.) Sistem
Presidensial dan Sosok Presiden Ideal.
Jakarta: Pustaka Pelajar dan Asosiasi Ilmu
Politik Indonesia.
Pamungkas, Sigit. 2011. Partai Politik Teori dan
Praktik di Indonesia. Yogyakarta: Institute
for Democracy and Welfarism.
Rauf, Maswadi. 2009. “Evaluasi Sistem
Presidensial”, dalam Moch. Nurhasim dan
Ikrar Nusa Bhakti (Ed.). Sistem Presidensial
& Sosok Presiden Ideal. Jakarta: Pustaka
Pelajar dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia.
Romli, Lili. 2003. “Pandangan Urang Awak
terhadap Partai Politik: Kasus Sumatra
Barat”, dalam Syamsuddin Haris (ed.).
Persepsi Masyarakat terhadap Partai
Politik Peserta Pemilu 2004. Jakarta:
Pusat Penelitian Politik-LIPI dan Balitbang
Depdagri.
Romli, Lili. (ed.). 2008. Pelembagaan Partai
Politik Pasca-Orde Baru: Studi Kasus
Partai Golkar, PKB, PBB, PBR, dan PDS.
Jakarta: P2P-LIPI.
Salang, Sebastian; Djadijono, M.; Wiratma, I
Made Leo; Legowo, TA. 2009. Panduan
Kinerja DPR/DPRD Menghindari Jeratan
Hukum Bagi Anggota Dewan. Jakarta:
Forum Sahabat.
Surbakti, Ramlan. 1998. Memahami Ilmu Politik.
Jakarta: Gramedia.
Jurnal
Slater, Dan. 2004. “Indonesia’s Accountability
Trap: Party Cartels and Presidential Power
after Democratic Transition”. Indonesia.
No. 78.
Surat Kabar dan Website
“Empat Gubernur Absen di Istana Negara Presiden
SBY Dibuat Kesal Ulah Gubernur”,
dalam
http://www.radaronline.co.id/
berita/read/22354/2012/Presiden-SBYDibuat-Kesal-Ulah-Gubernur, diakses 10
Desember 2012.
Evans, Kevin, “Politik ‘Aliran’ yang Mana?”,
Tempo, 5 April 2009.
“Gubernur Sulut Kecewa, 13 Kepala Daerah
Tidak Hadir Penyerahan DIPA 2013”,
dalam http://www.suarapembaruan.com/
nasional/gubernur-sulut-kecewa-13kepala-daerah-tidak-hadir-penyerahandipa-2013/28329, diakses 18 Desember
2012.
”Ikut Demo, Wakil Walikota Solo Diperingatkan
Mendagri”, dalam detiknews.com, diakses
26 Maret 2012.
Masukan LIPI Dalam Rangka Pembahasan RUU
Tentang Partai Politik dan RUU Tentang
Susduk, diproses oleh Pusat Studi Hukum
& Kebijakan Indonesia dan ditampilkan
160 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
dalam www.parlemen.net., diakses 10
Oktober 2012.
“Mendagri
Tegur
Bupati/Walikota
Ikut
Demo
Tolak
Kenaikan
BBM”,
dalam,
http://www.beritajatim.
com/detailnews.php/6/Politik_&_
Pemerintahan/2012-04-09/131938/
Mendagri_Tegur_Bupati/Walikota_Ikut_
Demo_Tolak_Kenaikan_BBM, diakses 9
April 2012.
Mujani, Saiful. “Plus Minus Penyederhanaan
Partai”, dalam Tempo, edisi 9-15 Juli 2007.
Qodari, Muhammad, “Kembalinya Tradisi
Golkar”, dalam Kompas, 21 Desember
2004.
Vermonte, Philips J. “Wacana Jumlah Partai
Politik dan Pemilu”, artikel tertanggal 7 Juli
2007 dalam http://pjvermonte.wordpress.
com/2007/07/07/wacana-jumlah-partaipolitik-dan-pemilu-1/.,
diakses
10
Desember 2012.
Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi | Luky Sandra Amalia | 161
162 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
PEMILU PRESIDEN AMERIKA SERIKAT
PRESIDENTIAL ELECTIONS IN THE UNITED STATES
Aisah Putri Budiatri
Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta
E-mail: [email protected]
Diterima: 5 Agustus 2013; direvisi: 20 September 2013; disetujui: 2 Desember 2013
Judul Buku : Presidential Elections: Strategies and Structures of American Politics
Editor
: Nelson W. Polsby, Aaron Wildavsky, Steven E. Schier, dan David A. Hopkins
Penerbit : Rowman & Littlefield Publishers, Inc., Plymouth, United Kingdom, 2012.
Tebal
: xiv + 337 hlm.
Abstract
The United States of America has run presidential elections for more than a century. Democratic elections
are a dinamyc process with many changes in the rules and the systems. Nelson W. Polsby, Aaron Wildavsky, Steven
E. Schier, and David A. Hopkins try to explain deeply about the evolution of American presidential election in
their book: “Presidential Elections: Strategies and Structures of American Politics”. In this book, the writers give
details about presidential election from different eras that focus on several issues, namely voters, interest groups,
rules and resources, the nomination process, and the campaign. Besides, the book attempt to ask about how
presidential elections serve the purposes of democracy in the U.S.
Keywords: presidential election, the U. S., America, democracy
Abstrak
Amerika Serikat (AS) telah menjalankan pemilihan umum (pemilu) presiden selama lebih dari satu abad.
Pemilu demokratis yang telah dijalankan oleh AS merupakan sebuah proses yang dinamis dengan banyak
perubahan aturan dan sistem di dalamnya. Nelson W. Polsby, Aaron Wildavsky, Steven E. Schier, dan David
A. Hopkins mencoba untuk menjelaskan secara mendalam evolusi (perubahan) pelaksanaan pemilu presiden di
dalam buku “Presidential Elections: Strategies and Structures of American Politics”. Di dalam buku ini, penulis
memberikan gambaran rinci mengenai pemilu presiden di era yang berbeda-beda dengan berfokus pada beberapa
isu diantaranya pemilih pemilu, kelompok kepentingan, aturan dan sumber daya, proses nominasi, dan kampanye.
Selain itu, buku ini mencoba menanyakan juga bagaimana pemilu presiden mampu mendukung tujuan demokrasi
di AS.
Kata kunci: pemilu presiden, Amerika Serikat, demokrasi
Pemilu Presiden Amerika Serikat | Aisah Putri Budiatri | 163
Pendahuluan
Pelaksanaan pemilu merupakan salah satu syarat
penting bagi terciptanya sebuah negara yang
demokratis. Amerika Serikat merupakan salah
satu negara perintis demokrasi yang telah cukup
lama dan berpengalaman dalam menjalankan
pemilu yang adil, terbuka dan berkala.
Pemilu presiden ini telah dijalankan Amerika
Serikat sejak abad ke-18, saat sistem pemilu
demokrasi baru saja berkembang. Jika dihitung
mulai dari tahun 1928, AS telah memilih 13
presiden melalui sebuah mekanisme pemilu.
Perjalanan panjang pemilu presiden AS tentu
merupakan kajian yang sangat menarik sebagai
pembelajaran politik atas sistem demokrasi saat
ini.
Terdapat banyak ilmuwan dan peneliti
yang menyoroti isu pemilu di Amerika,
diantaranya Anthony King, Richard W. Boyd,
Raymond E. Wolfinger, dan Stanley Kelley
Jr. Namun, belum banyak kajian ilmiah yang
berhasil melihat pemilu presiden sebagai
suatu kajian yang utuh dan komprehensif.
Umumnya, kajian hanya menyoroti satu isu
tertentu di dalam pemilu, misalnya mengenai
pemilih, kampanye, partisipasi pemilu, dan
lainnya, atau kajian hanya melihat pemilu pada
suatu periode tertentu saja. Dengan demikian,
terdapat kekosongan ketersediaan kajian yang
membahas pelaksanaan pemilihan presiden di
AS secara menyeluruh dan komprehensif.
Nelson W. Polsby dan Aaron Wildavsky
mengawali kajian pemilu presiden yang
dilakukan secara utuh dengan menuliskan
hasil analisa setiap kali pemilu sejak tahun
1964. Kajian ini kemudian disempurnakan oleh
Steven E. Schier, dan David A. Hopkins hingga
menghasilkan buku “Presidential Elections:
Strategies and Structures of American Politics”.
Buku edisi ketiga ini telah diperbaharui dengan
paparan analisa yang lengkap mengenai pemilu
presiden mulai abad ke-18 hingga pemilu
presiden tahun 2008. Di dalam buku ini, penulis
membagi 7 babak tulisan yang meliputi kajian
atas pemilih pemilu, kelompok kepentingan,
aturan dan sumber daya pemilu presiden, proses
pencalonan, kampanye, reformasi sistem pemilu
dan partai politik, serta partai dan demokrasi.
Sebagian besar isi dari buku “Presidential
Elections: Strategies and Structures of
American Politics” memaparkan secara teknis
pelaksanaan pemilu presiden, yakni mulai
dari tahap pra hingga pasca-pemilu. Penulis
menjelaskan dengan rinci bagaimana Amerika
Serikat menjalankan tahapan pelaksanaan
pemilu, proses pencalonan presiden-wakil
presiden oleh internal partai, kampanye,
dan penghitungan suara. Tidak hanya itu,
perbandingan pelaksanaan pemilu presiden
dari masa ke masa menjadi dasar analisa buku
ini untuk mengkaji kontribusi partai politik dan
pemilu terhadap kehidupan berdemokrasi AS.
Perilaku Pemilih Pemilu AS
Partisipasi pemilih dalam pemilu di Amerika
Serikat selalu menjadi isu yang hangat
dibicarakan oleh media dan pengamat politik
dunia. Pembahasan ini selalu menarik karena
di satu sisi, rakyat AS dikenal sebagai pemilih
loyal partai, namun di sisi lain angka golongan
putih (golput)-nya pun tinggi. Pada pemilu
2008 lalu, lebih dari 130 juta Rakyat Amerika
memilih dalam pemilu, tetapi jutaan (mendekati
100 juta) lainnya tidak memilih.1 Mengapa
mereka memilih dan mengapa yang lainnya
tidak memilih? Pertanyaan ini dijawab oleh
penulis dalam bab muka buku ini.
Hopkins dan ketiga penulis lainnya
mengutarakan beberapa argumen yang
menjelaskan alasan banyak pemilih di AS
tidak ikut serta dalam pemilu. Ketidakpuasan
dan keterasingan terhadap sistem politik
yang berjalan di AS menjadi salah satu
penyebab yang seringkali disampaikan oleh
para pengamat politik di Amerika. Argumen
lainnya menyatakan bahwa kerumitan proses
pelaksanaan pemilihan umum, khususnya
pendaftaran menjadi pemilih pemilu, menjadi
alasan banyak orang untuk golput.2
Bagi penulis, alasan yang paling tepat
mengapa angka golput tinggi adalah kerumitan
proses pemilu, terutama aturan di setiap negara
bagian bahwa setiap orang harus mendaftar
ulang untuk menjadi pemilih dalam setiap
pemilu yang dilaksanakan. Tidak diterapkannya
sistem registrasi yang otomatis disebabkan oleh
mobilitas warga AS yang sangat tinggi, dimana
dalam dua tahun terdapat rata-rata 30% warga
Nelson W. Polsby, dkk., Presidential Elections:
Strategies and Structures of American Politics,
(Plymouth: Rowman & Littlefield Publishers, Inc,
2012), hlm. 3.
2
Ibid, hlm. 3-8.
1
164 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
AS pindah dari satu negara bagian ke negara
bagian lainnya. Tidak hanya itu, pelaksanaan
pemilu yang dilakukan di hari kerja dan
bukan merupakan hari libur nasional menjadi
alasan sebagai warga AS menolak ke tempat
pemilihan.3 Proses pemilu yang rumit telah disadari
memiliki kontribusi terhadap tingginya
masyarakat yang tidak ikut serta dalam pemilu
di AS. Oleh karena itu, beberapa negara bagian
telah membuat kebijakan untuk meningkatkan
partisipasi pemilih di dalam pemilu, diantaranya
kebijakan pendaftaran pemilih pada hari
pelaksanaan pemilu, kemudahan pendaftaran
pemilu bagi pemilih pemilu yang memiliki
mobilitas tinggi, dan melakukan pemilihan
suara sebelum pelaksanaan pemilu. Kebijakan
tersebut berdampak positif terhadap pelaksanaan
pemilu di Amerika Serikat, dimana 30% pemilih
memanfaatkan kesempatan pemungutan suara
sebelum hari pelaksanaan pemilu.4
Banyak kajian telah memberikan jawaban
atas pertanyaan mengapa orang tidak memilih
dalam pemilu AS, namun sebaliknya alasan
mengapa orang memilih masih dipertanyakan
hingga kini. Banyak akademisi yang mengkaji
motivasi tersebut menyatakan bahwa pemilih
melihat keterlibatan mereka dalam pemilu
sebagai sebuah bentuk partisipasi politik
warga terhadap komunitas di mana mereka
tinggal. Oleh karenanya, masyarakat yang
tinggal menetap di suatu tempat dalam
waktu lama memiliki kesadaran politik lebih
tinggi dibandingkan mereka yang seringkali
berpindah. Mereka yang menetap tersebut akan
memiliki keterikatan sosial yang lebih tinggi
dengan komunitas tempat tinggal mereka, dan
memutuskan untuk aktif dalam kegiatan politik
di komunitas itu, termasuk memilih dalam
pemilu.5
Ikatan keluarga, tingkat pendidikan,
tempat tinggal, identifikasi kelompok politik
merupakan faktor yang mempengaruhi warga
untuk berpartisipasi di dalam pemilu. Warga AS
yang terlibat di dalam sebuah ikatan keluarga,
organisasi sipil, atau kelompok kepentingan
tertentu memiliki partisipasi terhadap pemilu
yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang
tidak terlibat. Ikatan-ikatan terhadap komunitas
tersebut akan membentuk identitas sosial
Ibid.
Ibid, hlm. 7-8.
5
Ibid, hlm. 9-14.
3
4
seseorang yang pada akhirnya membentuk
identitas politik, terutama identitas partai
politik. Umumnya, loyalitas mereka terhadap
partai politik tertentu berasal dari pengaruh
interaksi sosial dalam keluarga dan masyarakat.
Preferensi politik diturunkan di dalam keluarga
dan ditularkan dari teman-teman di dalam
komunitas sosialnya.6
Penduduk AS memutuskan untuk memilih
dalam pemilu karena keterikatan hubungan yang
kuat dengan komunitasnya. Saat mereka sudah
berada pada satu komunitas politik tertentu,
maka afiliasi politiknya pun terbentuk pada satu
partai politik tertentu. Mereka pun akan menjadi
pemilih loyal partai tersebut. Mereka cenderung
mendengarkan argumen-argumen politik dari
satu arah partai politik yang mereka pilih saja
dan tidak tertarik dengan apa yang disampaikan
oleh partai politik lainnya. Bahkan, mereka
sudah menentukan akan memilih kandidat
presiden dari sebuah partai politik meski proses
kampanye pemilu belum dilakukan.7
Partai Demokrat dan Partai Republik
menjadi dua partai politik yang memonopoli
loyalitas pemilih pemilu presiden. Dalam sejarah
AS, hanya pemilu presiden tahun 1860 dan
1912 saja yang pernah mencalonkan kandidat
dari partai lain di luar Republik dan Demokrat.
Dari 21 kali pemilu presiden diadakan di AS,
Demokrat memenangkan 11 kali pemilu dan
Republik 10 kali pemilu.8
Motivasi memilih partai politik yang
didasarkan pada keterikatan atas komunitas
menjadikan basis pemilih partai politik mudah
untuk dipetakan. Partai Republik sukses di kota
kecil dan area rural di Amerika bagian timur laut
dan barat dan dalam lima puluh tahun terakhir
juga sukses di daerah selatan. Sementara itu,
Partai Demokrat didukung oleh pemilihnya yang
berada di area urban di luar wilayah selatan,
termasuk New York, Boston, Philadelphia,
Chicago, Los Angeles, dan lainnya.9
Tidak hanya itu, latar belakang ekonomi,
agama dan etnis juga berpengaruh terhadap
peta kekuatan politik Partai Demokrat dan
Republik. Pemilih Republik memiliki tingkat
kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan
dengan kelompok Demokrat, mereka umumnya
Ibid.
Ibid, hlm. 9-11.
8
Ibid, hlm. 10.
9
Ibid, hlm. 11-12.
6
7
Pemilu Presiden Amerika Serikat | Aisah Putri Budiatri | 165
adalah manajer atau pengusaha kecil. Selain itu,
pemilih Republik umumnya adalah kelompok
mayoritas yang meliputi orang kulit putih (74%
dari pemilih pemilu 2008), pemilih berusia paruh
baya, berpendidikan dan beragama Protestan.
Sebaliknya, Pemilih Demokrat umumnya
merupakan kelompok minoritas yang dirugikan
dan memiliki ketertarikan terhadap program
politik yang spesifik. Mereka diantaranya
adalah imigran baru, kaum muda, kaum
miskin, kelompok yang tidak berpendidikan,
dan kelompok yang tidak membaur di dalam
masyarakat. Kelompok pemilih Demokrat
umumnya merupakan kelompok masyarakat
yang pernah merasa dirugikan, diantaranya
kelompok African-American, gay, agama
minoritas dan anggota perserikatan.10
Pemilu sebagai Agregasi Kelompok
Kepentingan
Loyalitas
pemilih
terhadap
partai
umumnya sangat kuat dan jarang sekali berubah.
Jika berubah, maka pemilih menunjukan
adanya perubahan dari loyalitas partisan ke
loyalitas lemah, dari loyalitas lemah ke netral,
atau ke golput. Umumnya, pemilih yang
seringkali mengubah pilihan politiknya berasal
dari kelompok pemilih independen. Pemilih
independen tersebut umumnya menilai partai
yang akan dipilihnya berdasarkan ideologi dan
posisi partai terhadap isu-isu spesifik. Label
ideologi yang secara umum digunakan terbagi
menjadi ideologi kiri dan ideologi kanan (untuk
isu ekonomi dan kesejateraan sosial), serta
ideologi liberal, dan ideologi konservatif (untuk
isu hak asasi).11
Kelompok kepentingan di Amerika
sangat berpengaruh dalam kehidupan partai
politik, meskipun mereka belum tentu dapat
mempengaruhi proses pembuatan kebijakan.
Hal ini sangat terlihat di dalam pelaksanaan
pemilu presiden di AS. Polsby dan kawan-kawan
menuliskan bahwa setidaknya terdapat tiga peran
penting kelompok kepentingan dalam pemilu
presiden yakni pertama, kelompok kepentingan
dapat membantu menjadi penghubung bagi
anggotanya untuk menemukan kandidat yang
paling tepat untuk dipilih; kedua, kelompok
kepentingan menjadi basis pendukung partai
yang membantu kampanye dan menjaring
konstituen untuk partai; dan ketiga, kelompok
kepentingan
mempengaruhi
pembuatan
kebijakan yang dilakukan oleh kandidat atas
isu tertentu sebagai timbal balik dorongan
kampanye dan massa yang diberikannya.14
Pemilih
independen
tidak
dapat
dikategorikan sebagai pemilih partai loyal
karena orientasi politiknya yang selalu berubahubah. Namun demikian, kehadiran pemilih
independen tidak dapat dipandang sebelah
mata karena kelompok ini akan dapat sangat
menentukan pemenangan kandidat di dalam
pemilu. Sebagai contoh, dalam pemilu 2008,
Obama menang dikarenakan peran pemilih
independen. Meskipun di internal partai,
Obama hanya meraih 89%, sementara McCain
90%, namun 44-52% pemilih independen
memenangkan Obama.12
Hidup partai politik di AS ditentukan oleh
tiga basis kelompok partai, yakni : (1) pekerja
profesional dan staf yang bekerja di dalam partai
dan merepresentasikan dirinya sebagai bagian
dari partai, (2) kandidat caleg atau presiden
yang melabelkan dirinya kepada partai saat
pencalonan, (3) aktivis partai, yakni kelompok
orang yang aktif dalam kegiatan partai meliputi
kampanye, pengumpulan dana, dan lainnya,
namun tidak bekerja secara formal untuk partai
dan tidak mencalonkan diri dalam pemilu.
Aktivis partai ini erat hubungannya dengan
kelompok-kelompok kepentingan dalam sebuah
komunitas masyarakat di AS.13
10
Kelompok kepentingan tidak hanya
berperan sebagai pengumpul massa bagi partai
politik, tetapi juga memiliki peran penting
untuk menyokong kebutuhan finansial partai.
Sistem politik di Amerika membuka peluang
bagi kelompok kepentingan (kelompok serikat
dan pebisnis) untuk memberikan sumbangan
finansial kepada partai atau kandidat pemilu
melalui Political Action Committee (PAC).
PAC dapat menerima sumbangan dalam jumlah
yang tak terbatas dan untuk kandidat yang
tidak terbatas, tetapi ada keharusan bahwa satu
penyumbang PAC tidak boleh memberikan
lebih dari 5000 dollar. Jumlah kontributor PAC
semakin meningkat dari tahun ke tahun yakni
11
13
Ibid, hlm. 25-33.
Ibid, hlm. 18-21.
12
Ibid, hlm. 25.
14
Ibid, hlm. 42.
Ibid, hlm. 33-34.
166 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
diawali dari hanya 89 di tahun 1974 hingga
1816 di tahun 1988. Namun, saat ini jumlahnya
berkurang hingga menyentuh 1601 di tahun
2008.15
PAC merupakan bentuk perkembangan
dari Committee on Political Education (COPE).
COPE dibentuk oleh the new American
Federation of Labor and Congress of Industrial
Organizations (AFL-CIO) saat federasi buruh
melebur di tahun 1955 untuk mengumpulkan
dana sumbangan politik. PAC membuka ruang
kepada publik untuk memberikan dana politik
kepada partai, walaupun mereka bukan lah
bagian dari AFL-CIO. Dengan demikian, dana
politik untuk partai tidak hanya berasal dari
kelompok kepentingan saja, namun terbuka
menjadi lebih luas.16
Idealnya, PAC ditujukan agar partai politik
menjadi lebih bertanggung jawab terhadap
publik atas apa yang ditetapkannya sebagai
kebijakan. Namun, hal yang terjadi justru tidak
sesuai dengan tujuan awal dibentuknya PAC.
PAC justru menciptakan hubungan klientisme
yang kuat antara kelompok kepentingan
dengan partai politik. Kelompok kepentingan,
terutama kelompok pebisnis, yang memberikan
sumbangan finansial akan memikirkan apa
timbal balik partai terhadap mereka. Sangat
penting bagi kelompok kepentingan untuk
mengetahui apa yang dapat dilakukan oleh
partai untuk kepentingan mereka. Dengan
demikian, warga pun berbondong-bondong
bergabung dengan kelompok kepentingan
untuk mendorongan kepentingan mereka
masing-masing.17 Alih-alih menciptakan partai
yang kuat, partai politik saat ini justru semakin
melemah posisinya di tengah rakyat.
Pencalonan Kandidat untuk Pemilu
Presiden Amerika Serikat
Pencalonan kandidat presiden merupakan
langkah awal yang penting dalam setiap
pelaksanaan pemilu presiden AS. Sejarahnya,
nominasi presiden ditentukan oleh pimpinan dan
elit partai politik yang mewakili negara-negara
bagian, namun saat ini ditentukan oleh delegasi
tersumpah yang dipilih juga melalui pemilihan
pendahulu. Proses penentuan kandidat presiden
Ibid, hlm. 39-40.
Ibid, hlm. 40.
17
Ibid, hlm. 40.
15
16
AS saat ini lebih memakan waktu, memiliki
proses yang kompleks dan memakan biaya
tinggi. 18
Langkah pertama untuk memasuki
pencalonan presiden AS dimulai dengan
pelaksanaan pemilihan pendahulu (early
primary election) di Iowa dan New Hampshire.
Pelaksanaan pemilihan pendahulu dilakukan
di kedua negara bagian tersebut pada bulan
Februari, sementara pemilihan pendahulu di
negara bagian lainnya baru diselenggarakan pada
bulan Maret dan Juni. Pemilihan pendahulu ini
memiliki pengaruh yang penting dalam proses
pemilu presiden karena sangat menentukan
apakah kandidat presiden akan melanjutkan
kepada pemilihan di negara bagian lain yang luas
wilayahnya lebih besar atau tidak. Pemilihan
pendahulu ini akan menentukan seberapa
besar dukungan yang akan diberikan kepada
para calon kandidat presiden. Oleh karena itu,
banyak calon kandidat presiden mundur dari
proses pemilu setelah kalah pada pemilihan
pendahulu di Iowa dan New Hampspire ini. 19
Selain pemilihan pendahulu, partai politik
juga memiliki prosedur lain dalam menentukan
delegasi yang akan memilih calon presiden
dalam konvensi nasional, yakni melalui kaukus
negara bagian dan superdelegasi. Sebagai
contoh, di tahun 2008, lebih dari dua per tiga
delegasi konvensi Partai Demokrat dipilih dari
pemilihan pendahulu, 19% adalah superdelegasi
dan 12% dipilih melalui kaukus atau konvensi
negara bagian. Dua prosedur lainnya ini
merupakan prosedur awal yang muncul dalam
setiap proses pemilihan kandidat presiden untuk
pemilu AS. 20
Kaukus negara bagian merupakan metode
yang umum digunakan oleh Amerika Serikat
sebelum tahun 1972 untuk memilih kandidat
presiden dengan berdasarkan pada keputusan
pimpinan-pimpinan partai. Melalui metode
kaukus ini, pimpinan partai secara otomatis
mendapatkan kursi sebagai delegasi dalam
konvensi untuk menentukan kandidat presiden.
Oleh karena itu, pimpinan partai memiliki
kekuatan yang besar untuk mengontrol hasil
dari nominasi calon presiden ini.21
Ibid, hlm. 51.
Ibid, hlm. 51, 100-111.
20
Ibid, hlm. 96.
21
Ibid, hlm. 124.
18
19
Pemilu Presiden Amerika Serikat | Aisah Putri Budiatri | 167
Superdelegasi adalah cara memilih
delegasi konvensi nasional yang muncul
sebagai upaya reformasi atas metode kaukus.
Superdelegasi menjadikan kontrol pencalonan
presiden oleh partai bukan hanya oleh elit partai
dalam kepengurusan di tingkat negara bagian
saja, tetapi juga menjadikan senator, gubernur,
mantan presiden, mantan wakil presiden, dan
pimpinan kongres sebagai delegasi dalam
konvensi. Seperti halnya kaukus, maka kursi
dari para superdelegasi juga otomatis diberikan
tanpa proses pemilihan sebelumnya.22
Setelah ketiga proses tersebut dijalankan,
maka konvensi nasional siap dilaksanakan
untuk memilih kandidat presiden yang akan
dicalonkan oleh partai politik dalam pemilu.
Tren posisi ideologi partai politik terefleksi
melalui kehadiran kelompok aktivis politik
yang menjadi delegasi di dalam konvensi
nasional, dimana delegasi Demokrat adalah
sekelompok orang liberal dan Republik
dipenuhi oleh sekelompok orang konservatif.
Hal ini menunjukkan bahwa konvensi nasional
tidak hanya menjadi sarana untuk menentukan
kandidat presiden, namun juga merefleksikan
posisi partai terhadap ideologi politik dan isu
politik tertentu.23
Kampanye Pemilu Presiden
Amerika Serikat
Kampanye merupakan proses politik yang
penting di dalam proses pemilu presiden
Amerika Serikat. Kampanye menjadi alat partai
politik untuk meyakinkan pemilih loyalis agar
tidak memilih partai politik atau kandidat lain
dan untuk membujuk pemilih independen
yang belum menetapkan pilihannya. Namun,
kampanye tidak ditujukan untuk mengubah
pilihan pemilih loyalis dari partai berbeda.24
Dalam kampanye pemilu presiden,
pemilih digiring ke dalam tiga isu utama
kampanye, yakni isu ekonomi, isu politik luar
negeri dan isu sosial. Partai Demokrat dan
Republik menggiring ketiga isu tersebut dalam
kerangka yang berbeda untuk menunjukan
keunggulan masing-masing partai. Pendekatan
berbeda atas ketiga isu itu lah yang kemudian
membentuk kelompok-kelompok loyalis partai,
Ibid, hlm. 126-127.
Ibid, hlm. 128-129.
24
Ibid, hlm. 147-148.
22
23
yakni mereka yang merasa kepentingannya
terakomodir oleh partai.25
Dalam bidang ekonomi, Partai Demokrat
dikenal sebagai partai yang membawa aspirasi
kelompok pekerja dan membawa kesejahteraan
bagi masyarakat. Demokrat yang memiliki
tendensi untuk mengusung pemikiran liberal
membawanya pada penilaian positif masyarakat.
Demokrat membawa beberapa isu diantaranya
tentang upah minimum buruh, training untuk
pengangguran, dan kebijakan sosial domestik
lainnya. Sebaliknya, Republik lebih sering
dilekatkan pada resesi dan ketidakberhasilan
ekonomi. Hal ini didukung oleh peristiwaperistiwa kegagalan ekonomi pemerintah di
bawah kekuasaan Partai Republik, termasuk
Depresi Ekonomi tahun 1929 dan beberapa
kali resesi ekonomi sejak 1970 hingga 2009.
Situasi ini memberikan keuntungan bagi Partai
Demokrat di dalam pemilu. Oleh karenanya, isu
ekonomi menjadi isu yang diunggulkan oleh
Demokrat sebagai materi kampanye.26
Isu politik luar negeri yang muncul di
dalam kampanye politik partai umumnya terkait
dengan persoalan militer. Kenyataan bahwa
Perang Dunia I dan II, Perang Korea dan Perang
Vietnam terjadi pada masa pemerintahan
Demokrat telah menciptakan asumsi masyarakat
bahwa Demokrat cenderung membawa AS pada
peperangan. Sebaliknya, Republik lebih dikenal
sebagai partai yang cinta damai dan cenderung
menahan diri untuk terlibat di dalam aliansialiansi internasional. Namun, belakangan ini,
Demokrat justru diasumsikan sebagai partai
perdamaian karena pemerintahan George W.
Bush, seorang presiden yang diusung oleh
Republik, mengusung okupasi militer terhadap
Irak.27
Isu sosial dipahami sebagai isu yang terkait
dengan kriminalitas, hak kelompok gay, aborsi,
dan kontrol penggunaan senjata api. Berbicara
mengenai isu-isu tersebut, Partai Republik
lebih berpikir konservatif, sementara Demokrat
berpikir dalam pandangan liberal sosial.
Republik mencoba untuk mempertahankan nilainilai tradisional di dalam masyarakat sehingga
menentang eksistensi kelompok gay dan aborsi.
Sebaliknya, Partai Demokrat berada pada sisi
yang lebih progresif mendukung kelompokkelompok tersebut. Namun demikian, saat ini,
Ibid, hlm. 152-158.
Ibid, hlm. 153-155.
27
Ibid, hlm. 155-156.
25
26
168 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Demokrat lebih sering mengangkat isu ekonomi
dibandingkan isu sosial di dalam kampanyekampanyenya.28
Selain isu dalam kampanye, pemilih
pemilu juga memperhatikan latar belakang
kandidat yang diusung oleh partai. Kandidat
diharapkan adalah orang yang dapat dipercaya,
cerdas, dewasa, bijaksana, dan juga memiliki
kehidupan keluarga yang baik. Kehidupan
privasi kandidat menjadi bahan kampanye
yang dapat mempengaruhi persepsi pemilih.
Beberapa kandidat presiden mundur dari
pencalonan dalam pemilu karena terungkap
persoalan kehidupan pribadinya seperti yang
dialami oleh Gary Hart di tahun 1987 (Nelson
W. Polsby, dkk., 2012, hal.158-159).29
Di abad ke-19, kampanye pemilu
presiden umumnya hanya mengandalkan
struktur organisasi partai saja. Namun dalam
perkembangannya saat ini, partai politik dan
kandidat presiden mengatur pelaksanaan
kampanye dengan bantuan konsultan politik,
penasehat kebijakan dan pollster. Konsultan
politik merupakan organisasi berbayar yang
diminta untuk mengatur seluruh proses
kampanye dan pengumpulan dana politik.
Selain konsultan politik untuk kampanye, partai
politik dan kandidat juga memiliki penasehat
kebijakan. Penasehat kebijakan mengatur isuisu kebijakan yang populis untuk diambil oleh
kandidat presiden atau partai politik selama masa
kampanye. Umumnya, penasehat kebijakan ini
sudah mulai bekerja sejak dua tahun sebelum
pemilu. Hal ini ditujukan untuk membangun
reputasi kandidat presiden dan partai politik
di hadapan publik. Kerja konsultan politik
dan penasehat kebijakan dibantu oleh pollster,
yakni pelaku survei publik. Survei publik sangat
penting untuk membantu memetakan kekuatan
politik, membangun strategi kampanye dan
melihat isu strategis di masyarakat.30 Sistem pemilu AS memiliki pengaruh yang
besar terhadap bentuk kampanye yang akan
dijalankan oleh kandidat presiden dan partai
politik. Sistem pemilu AS menghendaki presiden
tidak hanya dipilih langsung berdasarkan suara
terbanyak rakyat saja, namun juga terdapat “the
electoral college” dimana setiap negara bagian
menunjuk wakilnya untuk memilih kembali
calon yang paling popular dari hasil pemilu
Ibid, hlm. 156-158.
Ibid, hlm. 158-159.
30
Ibid, hlm. 160-161.
pertama (kecuali Maine dan Nebraska). Dalam
sistem ini, setiap negara bagian wajib diwakili
oleh minimal tiga suara, bahkan oleh wilayah
negara bagian yang kecil sekalipun. Dampaknya
terdapat ketimpangan antara satu negara bagian
dengan negara bagian lain, contohnya Wyoming
memiliki rasio 1 suara mewakili 84.886 pemilih
dan di Florida terdapat 1 suara untuk 311.493
pemilih. Hal ini menyebabkan kandidat
umumnya lebih berfokus untuk kampanye
pada negara bagian yang berpenduduk padat
dibandingkan daerah yang berpenduduk sedikit.
Di tahun 2008, negara bagian yang menjadi
target diantaranya adalah North Carolina,
Wisconsin, Ohio,
Pennsylvania, Florida,
Indiana, Iowa, Minnesota, Missouri, Nevada,
New Hampshire, New Mexico, Virginia, and
Colorado.31
Sistem pemilu presiden AS yang bertahap
dengan jangkauan wilayah yang sangat luas
juga mempengaruhi biaya kampanye politik
partai dan kandidat menjadi sangat tinggi. Di
tahun 2008, Obama membutuhkan biaya 745
juta Dollar, sementara McCain 350 juta dollar.
Kandidat presiden lainnya dari Demokrat
mengeluarkan biaya sekitar 311 juta dollar
dan Republik 248 juta dollar. Sementara itu,
untuk pencalonan anggota senat dan parlemen
dibutuhkan dana lebih dari 1,4 miliar dollar.32
Dana kampanye yang besar menjadi isu
pokok yang dibahas oleh media dan pakar
politik selama proses pemilu berlangsung.
Partai politik dituntut untuk mendapatkan
dana politik yang besar agar kampanye dapat
dilakukan secara maksimal dan kandidatnya
pun dapat memenangkan pemilu. Partai politik
melakukan beragam cara berbeda untuk
memenuhi kebutuhan dana politik tersebut,
diantaranya menggalang relawan untuk mencari
sumbangan dana politik dari komunitas dimana
mereka tinggal, memanfaatkan media online
(internet) untuk menggalang dana politik, dan
mendapatkan bantuan dana federal.33
Sumber kampanye terbesar di Amerika
saat ini masih berasal dari sumbangan politik
individu dan kelompok-kelompok kepentingan.
Umumnya, sumbangan yang besar berasal dari
tiga negara bagian yakni New York, Washington,
dan Los Angeles. Sumbangan ini dikumpulkan
oleh tim relawan yang bekerja untuk mencari
Ibid, hlm. 51-52.
Ibid, hlm. 53.
33
Ibid, hlm. 53-58.
28
31
29
32
Pemilu Presiden Amerika Serikat | Aisah Putri Budiatri | 169
sumbangan dana politik dari lingkungan di
sekitar mereka termasuk keluarga, teman, dan
komunitas dimana ia tinggal. Namun demikian,
dengan perkembangan media saat ini, maka
penggalangan dana juga mulai dilakukan melalui
media internet. Internet bahkan terbukti efektif
mengumpulkan dana politik dalam jumlah yang
besar. Selain itu, kandidat di dalam pemilu juga
memanfaatkan internet untuk menggalang dana
politik pencalonannya. Sebagai contoh, Obama
berhasil menggalang dana politik sebesar 150
juta dollar dalam waktu satu bulan saja. Jumlah
dana kampanye yang Obama yang terkumpul
melalui internet membuatnya memiliki dana
kampanye yang jauh lebih besar dibandingkan
dana kampanye John McCain, saingannya.34
Tidak hanya sumbangan individu
dan kelompok saja, partai politik juga bisa
memperoleh dana politik dari pemerintah. Di
tahun 1974, pemerintah federal melalui Federal
Election Campaign Act (FECA) memberikan
dana publik (dari pajak) untuk biaya politik
kandidat yang telah mengumpulkan setidaknya
5000 dollar dari sumbangan individu. Dana
publik dari pemerintahan federal tersebut
akan dihargai sebesar 250 dollar/individu
terhitung dari jumlah individu penyumbang
yang sudah mereka kumpulkan sebelumnya.
Namun, sebagai timbal balik, maka kandidat
perlu memenuhi dua syarat yakni kandidat
dilarang mengeluarkan uang sendiri atau
dari keluarganya lebih dari 50.000 dollar dan
kandidat harus membatasi dana kampanye yang
dikeluarkannya untuk periode pre-nominasi
(dibatasi sebesar 10 juta dollar di tahun 1974,
dan dibatasi sebesar 54 juta dollar di tahun
2008).35
Sumbangan dana federal yang memiliki
persyaratan ketat tersebut dinilai akan membatasi
dana politik partai atau kandidat pemilu. Oleh
karena itu, banyak kandidat presiden akhirnya
memilih untuk tidak mendapatkan bantuan dana
federal karena yakin mampu mendapatkan dana
lebih besar serta tidak dibatasi oleh dua aturan
kompensasi tersebut. Kandidat yang memilih
tidak mendapatkan dana federal tersebut
diantaranya Mitt Romney, Rudy Giuliani,
John McCain, Mike Huckabee, Ron Paul, Fred
Thompson, Hillary Clinton, Barack Obama, dan
Bill Richardson. Meskipun tidak mendapatkan
sumbangan dari pemerintah, Obama memiliki
Ibid, hlm. 57.
35
Ibid, hlm. 59.
34
dana kampanye sebesar $350 juta, Clinton
sebesar $250 juta,dan McCain sebesar $190
million. Dana tersebut jauh di atas dana 54
juta dollar yang dibatasi oleh ketentuan dana
federal.36
Sebelum dilakukan pembatasan atas
jumlah sumbangan politik di tahun 1970an, pemilu presiden diasumsikan memang
dipengaruhi secara tidak wajar oleh kepentingan
uang.
Namun, kemenangan pemilu tidak
langsung dapat berkorelasi dengan jumlah dana
politik yang dimilikinya. Sebagai contoh, pada
pemilu tahun 1968, Partai Republik memiliki
dana politik dua kali lebih besar dibandingkan
Demokrat, tetapi Demokrat mampu mendapat
suara 500.000 lebih banyak dibandingkan
Republik. Walaupun terdapat fenomena
anomali, uang kampanye yang besar terbukti
berpengaruh kepada kemenangan sejumlah
kandidat presiden. Sebagai contoh, Obama
yang memiliki dana politik jauh lebih besar dari
McCain mampu memenangkan pemilu. Tidak
hanya Obama, presiden pemenang lainnya
secara umum memiliki dana politik yang lebih
besar dari kandidat lainnya.37
Sistem
pemilu
presiden
yang
mengharuskan para kandidat dan partai politik
melakukan kampanye di setiap negara bagian
membuat kampanye media menjadi alat efektif
untuk memperoleh dukungan. Kampanye media
digunakan oleh kandidat sebagai alat kontrol
informasi di ruang publik, khususnya untuk
meningkatkan popularitas kandidat presiden.
Kampanye media dalam pemilu terbagi atas
dua bentuk yakni, free-media, termasuk
pemberitaan oleh media dan debat politik, dan
media berbayar, termasuk kampanye iklan di
televisi dan radio.38
Liputan
media
dapat
sangat
menguntungkan kampanye kandidat dalam
pemilu, sebagai contoh, di tahun 2008, Obama
mendapatkan keuntungan dari peliputan media
yang sangat tertarik pada pencalonan presiden
pertama seorang African-American. Meskipun
demikian, kampanye media tidak menjadi satusatunya sumber yang berpengaruh bagi pemilih,
pemilih juga mendapatkan pengaruh yang
kuat dari lingkungan sosial di sekitar mereka
termasuk keluarga, teman, organisasi kegamaan
dan etnis, dan organisasi sosial lainnya. Oleh
Ibid, hlm. 60.
Ibid, hlm. 65.
38
Ibid, hlm. 73.
36
37
170 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
karena itu, kampanye secara langsung di setiap
negara bagian, khususnya di negara bagian
dengan populasi tinggi, tetap perlu dilakukan
oleh kandidat presiden.39
Reformasi Sistem Partai Politik
dan Pemilu di Amerika Serikat
Telah disinggung sebelumnya bahwa dalam
proses lebih dari satu abad Amerika Serikat
menjalankan sistem politiknya, AS telah
melakukan beberapa kali reformasi atas sistem
pemilu dan partai politik. Reformasi ini bergulir
sebagai pengaruh dari pemikir-pemikir politik
abad dua puluh seperti Woodrow Wilson dan
James Bryce. Mereka melakukan evaluasi atas
fungi dan legitimasi partai politik, kongres,
presiden, serta akomodasi kebijakan atas
kepentingan publik.40
Pemikir-pemikir reformasi politik menilai
bahwa untuk menciptakan pemerintahan yang
demokratis di Amerika, maka dibutuhkan partai
politik yang berkomitmen terhadap masyarakat
pemilihnya, partai yang membawa kepentingan
pemilihnya, partai yang membawa kebijakan
alternatif bagi pemerintahan, dan partai politik
yang memberikan pilihan-pilihan kebijakan
alternatif bagi konstituennya. Dengan kata lain,
partai politik didefinisikan sebagai asosiasi yang
membawa tujuan konstituennya yang beragam
menjadi kebijakan. 41
Reformasi partai politik dilakukan agar
partai politik menjadi saluran kepentingan
rakyat. Partai politik tidak selalu secara serta
merta mendukung satu kebijakan yang sama
baik itu di tingkat lokal maupun nasional.
Pemikir reformasi politik mendukung adanya
perbedaan kepentingan meski dalam satu garis
partai yang sama dengan asumsi anggota partai
merupakan wakil dari kelompok kepentingan
yang berbeda. Kebijakan nasional belum tentu
sesuai dengan kepentingan di tingkat lokal,
sehingga anggota partai di tingkat lokal dapat
saja berbeda argumen dengan anggota partai di
tingkat nasional. Hal ini menuntut dilakukannya
diskusi oleh partai politik guna membahas
keragaman kepentingan konstituen partai.42
Ibid, hlm. 9-14, 73.
Ibid, hlm. 214
41
Ibid.
42
Ibid, hlm. 214-218.
39
40
Apa yang disampaikan oleh kelompok
reformasi politik merupakan kritik terhadap
konsepsi partai politik sebelumnya yang
menempatkan partai politik sebagai agensi
kompromi. Partai politik menjadi tempat
konsensus kepentingan yang beragam untuk
menghindari terjadinya konflik tajam antar
kelompok kepentingan. Partai politik melakukan
harmonisasi kepentingan yang beragam agar
dapat menjadi satu kebijakan yang sama sebagai
aturan main. Setiap kelompok kepentingan yang
berbeda dituntut untuk kemudian menyesuaikan
kepentingannya dengan aturan main tersebut,
dan tidak lagi menyuarakan kepentingannya
yang berbeda.43
Selain upaya reformasi partai politik, AS
juga memiliki gerakan reformasi yang mendorong
berlangsungnya
demokrasi
partisipatif.
Reformasi menuju demokrasi partisipatif ini
dinilai menjadi jawaban atas kelemahan sistem
politik Amerika, dimana pemilu dinilai tidak
berhasil menjamin kepentingan rakyat (pemilih
mayoritas) dapat terkomodasi dalam kebijakankebijakan pemerintah. Pokok pemikiran
reformasi demokrasi partisipatif ini sesuai
dengan pemikiran Jurgen Habermas bahwa
demokrasi yang terlegitimasi dapat dibentuk
oleh yang disebutnya “an ideal speech situation”
atau situasi berbicara yang ideal, dimana setiap
orang aktif dan memiliki ketertarikan yang
sama untuk berpartisipasi politik. Setiap orang
memiliki hak, sumber daya finansial, dan
informasi yang sama untuk berpartisipasi politik
secara efektif.44
Reformasi menuntut perubahan sistem
pemilu dan partai untuk meningkatkan kualitas
demokrasi terus bergulir selama lima puluh
tahun belakangan ini. Namun demikian,
reformasi tidak hanya digulirkan untuk
memperbaiki sistem demokrasi saja, melainkan
juga untuk hal-hal spesifik seperti proses
nominasi, prosedur konvensi partai dan bentuk
“electoral college”. Ketiga hal tersebut menjadi
isu yang dianggap perlu diubah untuk mencapai
sistem pemilu presiden yang lebih efektif.45
Tuntutan perubahan proses nominasi yang
dilakukan adalah diusulkannya pelaksanaan
pemilihan pendahulu dan kaukus yang berlaku
serentak secara nasional di setiap negara
bagian. Dengan demikian, tidak akan ada
Ibid, hlm. 247-248.
Ibid, hlm. 223, 249.
45
Ibid, hlm. 224-237.
43
44
Pemilu Presiden Amerika Serikat | Aisah Putri Budiatri | 171
bobot yang lebih tinggi dari pelaksanaan
pemilihan pendahulu seperti yang berlangsung
di Iowa dan New Hamspire. Namun, ada juga
usulan lain dimana waktu pelaksanan pemilu
pendahulu sebaiknya diseragamkan sesuai
dengan kelompok wilayah geografisnya. Pemilu
pendahulu dapat dilaksanakan secara bergiliran
dengan empat kali waktu pelaksanaan berbeda.46
Reformasi
pelaksanaan
konvensi
nasional partai menuntut adanya perubahan
orientasi konvensi yang sejauh ini dinilai
tidak memilih calon presiden terbaik, tetapi
calon yang terpopular. Calon presiden yang
popular dinilai lebih penting karena pemilu
presiden langsung menempatkan popularitas
di mata publik menjadi faktor yang terpenting
untuk memenangkan pemilu. Padahal, tujuan
pelaksanaan konvensi tidak hanya untuk
memilih kandidat yang menarik bagi publik,
namun juga yang berkualitas baik dan memiliki
kemampuan memimpin pemerintahan.47
Electoral college merupakan proses yang
menarik di dalam pemilu presiden di AS. Banyak
kalangan menilai bahwa pelaksanaannya harus
dihapuskan untuk mendorong demokrasi murni
yang didasarkan hanya pada pemilihan langsung
oleh rakyat. Namun, terdapat kelompok
reformis lain yang menilai bahwa electoral
college tetap perlu dilaksanakan, tetapi perlu
diatur perhitungan baru untuk alokasi suara
yang mewakili masing-masing negara bagian.
Kemungkinan lainnya adalah electoral college
tetap dilaksanakan dengan penghitungan satu
suara untuk setiap kemenangan di wilayah
distrik dan dua suara untuk setiap kemenangan
di wilayah negara bagian.48
Partai Politik dan Demokrasi di
Amerika Serikat
Saat ini, partai politik AS dituntut untuk
menjalankan fungsinya sebagai advokat
kebijakan, yakni partai yang berfungsi sebagai
pembawa kebijakan yang berpihak terhadap
kelompok massa pendukungnya yang beragam.
Hal ini dianggap memiliki pengaruh yang
penting untuk mematangkan demokrasi di
Amerika Serikat. Namun, terdapat beberapa
hal yang menjadi hambatan untuk mewujudkan
partai politik sebagai advokat kebijakan.
Kelompok kepentingan dan kelompok
minoritas di AS berjumlah sangat banyak
sehingga akan sulit bagi partai politik untuk
mengakomodir seluruh kepentingan tersebut.
Terlebih lagi, AS hanya memiliki dua partai
politik sebagai kendaraan politik utama di
dalam pemilu, sehingga akan sangat sulit
untuk dua partai mampu menguasai keragaman
kepentingan tersebut. Situasi ini juga yang
terjadi di dalam pemilu presiden, dimana dua
partai besar berkompetisi untuk memenangkan
kandidatnya. Kandidat presiden akan kesulitan
jika harus membawa program-program spesifik
berbeda sesuai kepentingan kelompok yang
berbeda-beda. Untuk efektivitas pemenangan
dalam pemilu, maka harapan partai politik
sebagai advokat kebijakan sulit untuk dicapai.
Mayoritas pemilih yang tidak ideologis
juga menjadi hambatan untuk mewujudkan
partai politik sebagai advokat kebijakan.
Banyak pemilih AS tidak memilih partai
politik atau kandidat berdasarkan program
kebijakan yang mereka tawarkan, tetapi mereka
memilih karena keterikatan mereka dengan
komunitas loyalis partai tertentu. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya bahwa pemilih AS
umumnya memilih karena pengaruh keluarga,
organisasi sosial atau komunitas terdekatnya.
Di luar itu, pemilih umumnya menentukan
kandidat presiden pilihannya berdasarkan latar
belakang figur dan karakter kandidat. Artinya,
pemilih pemilu yang berorientasi pada program
kebijakan pun masih minoritas.
Dengan situasi-situasi yang telah dijelaskan
tersebut, maka bentuk partai sebagai advokasi
kebijakan diragukan dapat terwujud di AS.
Oleh karenanya, Polsby meyakini bahwa partai
intermediasi menjadi lebih tepat dilekatkan
kepada partai politik di AS saat ini dibandingkan
dengan partai advokasi. Partai intermediasi
diartikan sebagai partai yang berkemampuan
sebagai penghubung berbagai kepentingan,
termasuk kelompok kepentingan dan juga
para implemen kebijakan, termasuk kongres,
birokrasi, pemerintah kota dan pemerintah
negara bagian. Artinya, kebijakan yang nantinya
disampaikan oleh partai merupakan kompromi
atas berbagai kepentingan.
Ibid, hlm. 224-228.
Ibid, hlm. 228-231.
48
Ibid, hlm. 231-237.
46
47
172 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Tinjauan
Kritis
terhadap
“Presidential Elections: Strategies
and Structures of American
Politics”
“Presidential
Elections:
Strategies
and
Structures of American Politics” merupakan
sebuah buku yang sangat komperehensif dalam
menjelaskan pemilu presiden AS. Hal ini
terbukti dari kemampuan buku ini merangkum
perkembangan pelaksanaan pemilu presiden
dari beragam sisi. Buku ini tidak hanya
memaparkan proses pemilu secara teknis,
namun juga membahas hal substansial seperti
perilaku pemilih dan perkembangan pemikiran
atas sistem politik yang ideal di negeri Paman
Sam ini.
Poin penting yang menarik diulas dalam
buku ini adalah penjelasan bahwa meskipun AS
merupakan negara demokratis yang diasumsikan
mapan oleh banyak pihak, nyatanya menyimpan
banyak persoalan juga di dalam pelaksanaan
pemilu presidennya. Persoalan pelik yang
hingga kini dihadapi oleh Amerika Serikat
diantaranya mengenai angka golput yang tinggi,
kecenderungan partai politik memilih kandidat
presiden populis dibandingkan kandidat yang
terbaik kualitasnya, biaya politik tinggi, politik
kompromistis antara kelompok kepentingan
dengan partai, kerumitan sistem pemilu
presiden dan berbagai persoalan lainnya. Halhal tersebut tentu berdampak negatif bagi
kemapanan demokrasi AS saat ini. Oleh karena
itu, reformasi atas sistem partai politik dan
pemilu di Amerika Serikat tak henti-hentinya
digulirkan hingga saat ini.
Namun demikian, buku ini luput membahas
secara detil kontribusi kelemahan-kelemahan
pelaksanaan pemilu presiden terhadap sistem
demokrasi Amerika Serikat. Penulis memang
telah menjadikan pembahasan itu sebagai
sebuah kajian tersendiri di dalam bab terakhir
buku ini, tetapi pembahasan lebih difokuskan
kepada kaitan demokrasi dengan partai
politik dan bukan pemilu. Sebagai buku yang
melihat pemilu presiden sebagai inti kajian,
maka seharusnya penulis lebih berfokus pada
pelaksaan pemilu demokrasi, sementara partai
politik cukup menjadi elemen pembahasan di
dalamnya.
Tidak hanya itu, di dalam pembahasan bab
terakhir tidak dijelaskan juga bagaimana posisi
demokrasi AS saat ini dengan adanya beragam
persoalan pemilu dan partai politik. Dengan
angka golput tinggi dan politik kompromistis
yang kuat, apakah demokrasi di AS sudah dapat
dikategorikan sebagai demokrasi substansial?
Atau masih terkategori demokrasi prosedural?
Atau sesuai dengan konsep demokrasi yang
diangkat di dalam buku ini, apakah sudah
terkategori sebagai demokrasi partisipatif atau
demokrasi deliberatif? Tidak ada penjelasan
lebih dari penulis untuk memberi posisi atas
demokrasi AS saat ini, meskipun penulis
mengkhususkan bab terakhir untuk membahas
lebih dalam terkait demokrasi.
Pembicaraan hubungan antara partai
politik dengan demokrasi pun menjadi tidak
terlalu relevan mengingat persoalan partai
politik yang diangkat oleh penulis bukan lah
hal spesifik yang terjadi di Amerika Serikat
saja. Artinya, tidak ada yang terlalu menarik
saat membahas karakter partai politik yang
kompromistis karena hal ini juga terjadi pada
partai politik di belahan dunia mana pun.
Terkait dengan pemilu presiden AS, maka akan
lebih menarik jika penulis menghubungkan
demokrasi dengan dua hal yakni angka golput
yang tinggi dan pelaksanaan electoral college.
Hubungan demokrasi dengan kedua hal itu
sempat dibahas oleh penulis namun tidak utuh
dan tidak mendalam.
Apakah demokrasi AS dapat tetap
dikategorikan sebagai demokrasi yang
partisipatif dan substansial apabila tingkat
golputnya sangat tinggi dan fluktuatif dari
tahun ke tahun? Pertanyaan tersebut patut untuk
dipertanyakan terus menerus karena merupakan
persoalan nyata AS saat ini. Demokrasi akan
berjalan semu apabila partisipasi rakyat di
dalam sistem politiknya rendah. Dalam hal
persoalan partisipasi politik ini, AS bahkan
berada di bawah Belgia, Islandia, Denmark,
Australia dan negara-negara lain yang memiliki
tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu lebih
tinggi dari 57%. AS telah memiliki prosedur
pemilu langsung, namun hampir 50% rakyatnya
tidak ikut memilih dalam pemilu.
Selain persoalan angka partisipasi politik
yang rendah, sistem pemilu AS sendiri pun
menuai persoalan bagi perjalanan demokrasi
negeri Paman Sam ini. Banyak pengamat
politik menilai bahwa dengan adanya penerapan
electoral college selain pemilu langsung
Pemilu Presiden Amerika Serikat | Aisah Putri Budiatri | 173
menjadikan pemilu AS kurang demokratis.
Bahkan hal ini pula yang menjadikan
banyak politisi di Indonesia menilai bahwa
pemilu presiden Indonesia lebih demokratis
dibandingkan pemilu presiden AS.49 Pemilu
demokratis yang utuh adalah pemilu yang
didasarkan pada pemilu langsung, bukan
kolaborasi antara pemilu langsung dan
tidak langsung. Sementara itu, konstitusi
AS membangun sistem pemilu presiden
sebagai kompromi antara pemilihan melalui
pemungutan suara di kongres dan pemilihan
oleh suara terbanyak warga pemilih.50
Kedua persoalan tersebut merupakan isu
khas yang ditemukan di AS, sehingga akan
sangat menarik untuk diungkap lebih dalam
keterkaitannya dengan kematangan demokrasi
yang diterapkan. Meskipun dua persoalan
tersebut dianggap sebagai persoalan mayor
dari pemilu presiden (korelasinya dengan
demokrasi) saat ini, namun ada hal lain termasuk
keterbukaan proses pemilu dan intimidasi politik
yang juga mencederai demokrasi AS. Kedua
hal ini penting tetapi luput diperhatikan oleh
penulis. Hal ini penting untuk dilihat karena
bagaimana pun juga AS adalah mercusuar atas
pelaksanaan demokrasi di dunia, sehingga
membawa nilai penting sebagai pelajaran bagi
negara-negara lainnya.51
Tidak hanya lemah dalam pemaparan pada
bab terakhir, namun terdapat beberapa poin yang
juga luput di dalam kajian buku ini. Beberapa
hasil penelitian sumber lain memberikan
penjelasan yang berbeda atas apa yang coba
diangkat oleh Polsby dan kawan-kawan di
dalam buku ini. Cara pandang yang berbeda ini
terutama menyoroti persoalan perilaku pemilih
dalam pemilu.
Polsby dan ketiga penulis lainnya
menekankan bahwa penyebab tingkat partisipasi
pemilu yang rendah dititikberatkan pada sistem
pemilu AS yang rumit. Namun, Gianfranco
Baldini dan Adriano Pappalardo menekankan
kepada lemahnya parpol menjalankan fungsi
“Basuki: Indonesia lebih demokratis dari AS”, 13
Maret 2013, www.nasional.kompas.com, diakses
pada tanggal 24 April 2013.
50
“Bagaimana Proses Pemilihan Presiden AS?”,
7 November 2012, www.gatra.com, diakses pada
tanggal 14 April 2013.
51
Matthias Maass, The World Views of The US
Presidential Election 2008, (New York: Palgrave
Macmillan, 2009), hlm. 3.
49
organisasi politik sebagai penyebab golput.52
Pada dasarnya, penulis telah menjelaskan posisi
lemah partai politik AS, termasuk misalnya
ketidakmampuan mengakomodasi isu dan
program, sifat partai yang kompromistis, dan
hal lainnya. Namun, tidak ada penjelasan di
dalam buku ini bahwa kelemahan tersebut
berhubungan dengan partisipasi yang rendah
dari masyarakat. Ketidakmampuan partai politik
untuk memainkan fungsi organisasi menjadikan
tingkat kepercayaan publik terhadap partai,
pemilu dan sistem politik rendah. Hal itu juga
yang menyebabkan masyarakat malas untuk
ikut dalam pemilu, karena mereka tidak yakin
suaranya akan dihitung dan berpengaruh
terhadap kehidupan politik AS.53
Buku ini juga mengkategorikan pemilih
pemilu AS secara tegas antara pemilih loyal
dan pemilih independen. Keduanya dinilai oleh
Polsby dan kawan-kawan sebagai kelompok
yang memiliki perilaku memilih berbeda secara
signifikan terutama loyalitasnya terhadap partai,
dimana pemilih loyal cenderung memiliki
pilihan tetap dan pemilih independen sebaliknya.
Namun, Wiliam G. Mayer memiliki temuan
berbeda atas hal tersebut. Menurutnya, pemilih
pemilu AS tidak dapat terkategori secara ajeg
karena sifatnya dapat berubah.54
Berdasarkan survei, 40-60% pemilih
independen merupakan partisan partai. Artinya,
meskipun mereka adalah pemilih independen,
namun mereka telah memiliki kecondongan
preferensi terhadap partai tertentu.55 Dalam
situasi ini, maka tidak tepat jika dikatakan
pemilih independen adalah kelompok nonpartisan murni, karena mereka juga sudah
memiliki kecenderungan pilihan dalam pemilu.
Pemilih loyalis juga bukan suatu
kelompok pemilih pemilu yang kaku, karena
diantara mereka juga terdapat pemilih partai
yang cair. Menjadi seorang partisan partai
di AS tidak berarti tidak dapat mengubah
pilihannya dalam pemilu. Menurut temuan
Gianfranco Baldini dan Adriano Pappalardo,
Election, Electoral Systems and Volatile Voters,
(New York: Palgrave Macmillan, 2009), hlm. 47.
53
Alan Marzilli, Election Reform 2010, (New York:
Chelsea House Publishers, 2011), hlm. 12.
54
William G. Mayer, “The Swing Voter in American
Presidential Election”, American Politics Research,
Vol. 35, No. 3, 2007, Sage Publications, hlm. 366367.
55
Ibid.
52
174 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
William, angka rata-rata antara tahun 19522004, ditemukan setidaknya 19% partisan
loyal Partai Demokrat beralih memilih Partai
Republik di dalam pemilu, dan 10% partisan
loyal Partai Republik memilih Demokrat.56 Dari
angka tersebut terbukti pemilih Republik lebih
loyal dibandingkan pemilih Partai Demokrat.
Namun, keduanya terbukti bukanlah loyalis
partai murni.
Berdasarkan data dan uraian William
tersebut, maka terbukti bahwa sulit untuk
melakukan pengkategorian pemilih pemilu
secara ketat seperti yang dilakukan oleh Polsby
dan kawan-kawan. Kecenderungan perubahan
orientasi pilihan partai sangat nampak bahkan
oleh pemilih loyalis partai, sebaliknya pemilih
independen pun tak sepenuhnya non-partisan.
Paparan William tersebut tentu menunjukan
sekali lagi kelemahan argumentasi di dalam
buku ini.
Penutup
Buku “Presidential Elections: Strategies and
Structures of American Politics” layak menjadi
bahan bacaan acuan untuk melihat perjalanan
pelaksanaan pemilu presiden di Amerika
Serikat. Buku ini telah berhasil menggambarkan
kompleksitas pemilu presiden dari berbagai
sudut termasuk, aturan pemilu, proses pemilu,
pemilih pemilu bahkan peserta pemilu. Tidak
hanya melihat keunggulan pelaksanaan pemilu
presiden di Amerika Serikat, Polsby dan
ketiga rekannya juga menguraikan kelemahankelemahannya. Meskipun demikian, buku ini
memiliki beberapa celah kekurangan dalam
pemaparan data dan analisa, khususnya dalam
mengangkat pola hubungan pelaksanaan pemilu
presiden dengan pelaksanaan demokrasi AS.
Adapun catatan penting dari buku ini adalah
bahwa pelaksanaan demokrasi merupakan
sebuah proses terus-menerus yang ditandai
oleh perbaikan sistem politik termasuk sistem
pemilu dan partai politik, begitupun proses
yang dilalui oleh Amerika Serikat. Meskipun
AS dianggap sebagai negara demokratis yang
mapan, hingga saat ini negeri Paman Sam ini
selalu memperbaiki sistem dan aturan yang
dimilikinya untuk menemukan sistem pemilu
dan partai politik yang ideal.
56
Daftar Pustaka
Buku
Baldini, Gianfranco, dan Adriano Pappalardo.
2009. Election, Electoral Systems and
Volatile Voters. New York: Palgrave
Macmillan.
Maass, Matthias. 2009. The World Views of The
US Presidential Election 2008. New York:
Palgrave Macmillan.
Marzilli, Alan. 2011. Election Reform 2010. New
York: Chelsea House Publishers.
Nelson W. Polsby, dkk. 2012. Presidential
Elections: Strategies and Structures of
American Politics. Plymouth: Rowman &
Littlefield Publishers, Inc.
Jurnal
Mayer, William G. 2007. “The Swing Voter in
American Presidential Election”. American
Politics Research 35(3).
Surat Kabar dan Website
“Bagaimana Proses Pemilihan Presiden AS?”.
2012, www.gatra.com. 7 November.
“Basuki: Indonesia lebih demokratis dari AS”.
2013. www.nasional.kompas.com. 13
Maret.
Ibid.
Pemilu Presiden Amerika Serikat | Aisah Putri Budiatri | 175
176 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
TENTANG PENULIS
Agus R. Rahman
Asrinaldi A
Penulis adalah peneliti di Pusat Penelitian
Politik LIPI, Jakarta sejak tahun 1988. Bidang
penelitian yang ditekuninya adalah Hubungan
Internasional/Regional. Ia lulusan S1, FISIP,
Universitas Gajah Mada; S2, Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia. Fokus kajian yang sedang
ditekuni dalam 3 tahun terakhir ini [20102012] adalah masalah perbatasan antarnegara
di lingkungan ASEAN,
yang dilakukan
berturut-turut yaitu masalah Perbatasan antara
Thailand-Myanmar [2010]; masalah Sengketa
Wilayah Perbatasan Thailand-Kamboja [2011];
Kerjasama Perbatasan Thailand-Malaysia dalam
Mengatasi Illegal Border Crossing [2012].
Sedangkan tahun 2013 sedang melakukan
penelitian tentang Mekanisme Penyelesaian
Sengketa di Perbatasan Thailand-Laos. Selain
kegiatan penelitian, ia juga aktif mengajar di
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional,
FISIP UPDM (Beragama). Email: gusr2lipi@
yahoo.com.
Penulis adalah salah satu staf pengajar pada
Jurusan Ilmu Politik, FISIP Universitas Andalas.
Menyelesaikan pendidikan Sarjana pada
Jurusan Ilmu Pemerintahan, Universitas Riau.
Kemudian melanjutkan pendidikan Magister di
Universitas Gajah mada. Meraih gelar Doktor di
Universitas Kebangsaan Malaysia. Saat ini aktif
menjabat sebagai Koordinator Prodi Magister
Ilmu Politik, Pasca Sarjana Universitas Andalas.
Salah satu bidang konsentrasi yang ditekuni
adalah kekuatan politik. Email: asrinaldi4@
yahoo.com
Aisah Putri Budiatri
Penulis adalah kandidat peneliti Pusat Penelitian
Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(P2P-LIPI). Ia menggeluti isu gender, partai
politik, parlemen, dan pemilihan umum. Ia
meraih gelar kesarjanaan dari jurusan Ilmu
Politik Universitas Indonesia di tahun 2008.
Studi perempuan dan politik telah ia tekuni
sedari 2005, dengan beberapa penelitian
yang dijalankannya antara lain Kebijakan
Afirmasi untuk Keterwakilan Perempuan di
Parlemen, Keterwakilan Perempuan dalam
Pemilu 2009, Perempuan Kepala Keluarga,
serta Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPR RI) terhadap Produksi Undang-undang
Berperspektif Gender. Email: aisahputrib@
gmail.com
Devi Darmawan
Penulis dilahirkan di Jakarta, 5 September
1990. Pada Februari 2012, Devi lulus dari
Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan
menyandang gelar Sarjana Hukum dengan
judul skripsi Tinjauan Yuridis Penerapan Asas
Lex Specialis Derogat Legi Generali terhadap
Tindak Pidana Pemilu yang Sudah Daluwarsa.
Ketika kuliah, Devi sering terlibat dalam
beberapa kegiatan penelitian sebagai assisten
peneliti, salah satunya adalah penelitian yang
diselenggarakan oleh Lembaga Independensi
Peradilan (LeIP) tentang Tinjauan Yuridis
Dasar Alasan Kekhilafan Hakim yang Nyata
sebagai Pengajuan Peninjauan Kembali Atas
Putusan MA yang Telah Berkekuatan Hukum
Tetap. Setelah tamat dari Fakultas Hukum UI,
Devi bergabung dengan Perkumpulan untuk
Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sebagai
peneliti hukum dan kemudian bekerja di
Kantor Hukum Arteria Dahlan Lawyers sebagai
paralegal yang fokus pada advokasi perselisihan
hasil pemilu. Sekarang, Devi menekuni kajian
pemilu dan demokratisasi dan bergabung dalam
kelompok penelitian politik nasional Pusat
Penelitian Politik-LIPI. Email: devidarmawan
@rocketmail.com
Tentang Penulis | 177
Luky Sandra Amalia
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI ini
adalah sarjana Ilmu Politik dari Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga,
Surabaya (2005). Bidang kajian yang diminati
adalah mengenai pemilu dan gender. Di antara
hasil penelitian dan tulisannya ialah “Indonesia
Memilih Presidensial” (Jurnal Penelitian
Politik LIPI Vol.6, No.1, 2009); “Marjinalisasi
Perempuan dalam Politik Pada Pemilu 2009”
(Jurnal Masyarakat Indonesia LIPI Edisi
Khusus, 2009), serta “Antisipasi Perjuangan
Perempuan dalam UU Pemilu” (www.politik.
lipi.go.id, 2010). Email: sandra_thok@yahoo.
com.
Moch. Nurhasim
Peneliti Pusat Penelitian Politik-LIPI. Dia
menyelesaikan studi S1 jurusan Politik di
Universitas Airlangga dan S2 bidang Politik
di Universitas Indonesia dengan tesis masalah
perdamaian di Aceh. Penelitian yang pernah
ditekuni adalah kaitannya dengan konflik di
berbagai daerah, masalah pedesaan, pemilihan
umum, dan masalah kemiliteran. Selain itu, dia
juga aktif sebagai Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu
Politik Indonesia (AIPI), Jakarta. Penulis dapat
dihubungi melalui email: hasim_nur@yahoo.
com
Nina Andriana
Penulis adalah peneliti bidang perkembangan
politik nasional pada Pusat Penelitian Politik
LIPI. Menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu Politik
dari Universitas Andalas, Padang, dan S2 Ilmu
Komunikasi di Universitas Indonesia, Depok.
Secara aktif menekuni kajian politik nasional,
nasionalisme atau kebangsaan, dan demokrasi.
Email: [email protected].
Sarah Nuraini Siregar
Penulis telah menyelesaikan studi di tingkat
sarjana (2002) dan Pasca Sarjana (2005) pada
jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Sejak
tahun 2004 sampai sekarang menjadi salah
satu peneliti di bidang Perkembangan Politik
Nasional, Pusat penelitian Politik Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI). Ia
juga aktif sebagai salah satu staf pengajar di
jurusan Ilmu Politik FISIP UI sedari 2002
hingga sekarang. Beberapa tulisannya termuat
dalam buku-buku antara lain: Problematika
Pengelolaan Keamanan di Wilayah Konflik :
Aceh dan Papua, Model Kaji Ulang Pertahanan
Indonesia: Supremasi Sipil dan Transformasi
Pertahanan, Evaluasi Penerapan Darurat
Militer di Aceh (2003-2004), Hubungan SipilMiliter Era Megawati, Beranda Perdamaian:
Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki, serta
kontribusi tulisannya di jurnal ilmiah, seperti
Evaluasi 10 Tahun Reformasi Polri (Jurnal P2P
LIPI, 2008). Email: [email protected]
Siswanto
Penulis kelahiran Jakarta ini menamatkan
S1 pada Fakultas Sospol jurusan Hubungan
Internasional Universitas Jayabaya Jakarta, tahun
1986. Selanjutnya mengikuti Program Magister
pada Program Studi Kajian Wilayah Amerika
Universitas
Indonesia,
dan
lulus
tahun 1997. Gelar doctor diraih pada
Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Ilmu
Sejarah, Universitas Indonesia, pada
2008. Sejak 1999 menjadi peneliti P2P-LIPI,
kemudian mulai tahun 2009 diperbantukan
pada PSDR LIPI untuk menjabat Kepala
Bidang Perekembangan Eropa. Sebagian
besar karya ilmiah dan tulisannya membahas
tentang kebijakan luar negeri AS dan hubungan
Indonesia-AS. Sejak tahun 2008 sampai
sekarang
menjadi
dosen
tamu
pada
Program Studi kajian Wilayah Amerika,
Universitas Indonesia. Email: sish_jakarta@
yahoo.com.
Sri Yanuarti
Penulis adalah peneliti pada Pusat Penelitian
Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(P2P-LIPI) sejak tahun 1993. Sri Yanuarti
menamatkan studi S1 pada Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro
pada 1991. Kajian yang ia tekuni hingga kini
adalah mengenai partai politik dan pemilu,
pertahanan keamanan, serta konflik. Beberapa
buku dan tulisan telah dihasilkannya antara
lain: Model Pengelolaan Keamanan dan
Pertahanan di Daerah Konflik (LIPI, 2009),
Beranda Perdamaian (Pustaka Pelajar dan
178 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
LIPI, 2008), Kaji Ulang Pertahanan Nasional
(LIPI, 2007), Military Politics, Ethnicity and
Conflict in Indonesia (Research on Inequality,
Human Security and Ethnicity, Oxford
University, London, 2009), Performance and
Accountability of Political Parties: Case Studies
on Local Legislatives (LIPI-Nederland Institute
of Multi Party Democracy /IMD, 2005). Email:
[email protected]
Wasisto Raharjo Jati
Penulis adalah kandidat peneliti di Pusat
Penelitian Politik – LIPI. Menyelesaikan S1
Politik dan Pemerintahan pada Fakultas Ilmu
Sosial dan & Ilmu Politik,Universitas Gadjah
Mada di tahun 2012. Minat kajian penelitian
yang ditekuni adalah politik kelas menengah,
gerakan politik, dan masyarakat sipil. Email:
[email protected]
Zainuddin Djafar
Penulis lahir di Jakarta, sejak 1983 sampai
kini bekerja sebagai staf pengajar senior pada
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI. Pada Oktober 2004 memperoleh Ph.D
(Political-Economy) dari GIPIS, Department
of Politics, University of Reading, the United
Kingdom. Berbagai penelitian lapangan telah
pernah dijalaninya di berbagai negara (Jepang,
China, Korea Selatan, Malaysia, Inggris,
Belanda, Jordan, Mesir, UAE, dan Nigeria).
Sejak 1 Pebruari 2010 resmi menjadi Guru
Besar Ilmu Hubungan Internasional Universitas
Indonesia (Professor, SK. Mendiknas 17 Maret
2010). Alamat rumah Jl. Rawa Bambu no.
38, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Email:
[email protected]
Tentang Penulis | 179
180 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
INDEKS
Indeks Kata Kunci
A
Amerika Serikat x, 1, 4, 34, 57, 88, 110, 147,
149, 151, 152, 163, 164, 165, 167, 168,
171, 172, 173, 175, 181
D
demokrasi iii, iv, vii, ix, x, 11, 12, 15, 17, 18,
19, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 29, 30, 32, 35,
36, 38, 39, 48, 49, 51, 54, 55, 58, 59, 60,
65, 66, 67, 73, 74, 76, 77, 79, 80, 81, 82,
83, 84, 88, 91, 92, 93, 95, 96, 97, 98, 99,
101, 102, 103, 105, 107, 109, 110, 132,
136, 143, 145, 146, 151, 152, 153, 155,
156, 157, 163, 164, 171, 172, 173, 174,
175, 178
demokrasi deliberatif iv, ix, 79, 80, 81, 82, 83,
88, 91, 92, 93, 173
F
fisibilitas sistem pemilu campuran ix, 95
G
globalisasi iii, vii, 1, 2, 9, 11, 12, 13
H
Hubungan Perbatasan iv, x, 1, 113, 181
I
instrumen iv, x, 39, 58, 129, 130, 131, 133,
135, 141, 142
Instrumental iv, x, xiii, xiv, 1, 129, 131, 132,
136, 139, 142, 143, 181
J
jurnalisme politik vii, 15, 19, 20, 21, 22, 23,
26, 27, 29
L
Legitimasi Pemerintahan viii, 1, 47, 49, 181
lintas perbatasan ilegal iv, 115
M
Media Siber ix, 1, 79, 83, 84, 181
Multiplikasi Otoritas Singapura viii, 31, 181
P
Pemilu Presiden iii, vii, 1, 17, 21, 23, 24, 25,
27, 28, 29, 30, 48, 50, 51, 55, 56, 60, 61,
62, 67, 68, 72, 75, 89, 148, 167, 168, 181
Pencalonan Kandidat Peserta Pemilu viii, 47,
181
Penguatan Kelembagaan iii, viii, 1, 63, 181
peraturan x, 51, 52, 54, 58, 59, 106, 129, 131,
137, 138, 139, 140
Persuasif Media 1, 181
Polisi x, 129, 130, 131, 133, 135, 136, 139,
143, 181
Presiden Indonesia Mendatang iii, 1, 181
R
Reformasi iv, x, 1, 5, 12, 37, 39, 44, 50, 54,
55, 56, 57, 58, 61, 65, 66, 74, 77, 98,
105, 129, 130, 131, 132, 133, 135, 136,
138, 139, 141, 142, 143, 150, 153, 160,
171, 172, 178, 181, 187
Ruang Public ix, 181
S
Sistem Kepartaian iv, 1, 146, 149, 150, 151,
153, 155, 160, 181
Sistem Pemilu iv, 1, 98, 157, 158, 159, 181
Sistem Presidensial iii, viii, 1, 41, 56, 59, 63,
66, 70, 96, 151, 160, 181
K
kampanye politik 23, 30, 34, 35, 168, 169
keamanan iv, x, 2, 6, 9, 12, 27, 115, 117, 119,
122, 123, 124, 129, 130, 131, 132, 133,
136, 137, 141, 142, 178
Kepemimpinan viii, 1, 2, 3, 4, 7, 8, 13, 31, 36,
42, 181
Kerjasama Perbatasan ix, x, 1, 113, 178, 181
konglomerasi media vii, 15, 17, 20, 28, 29, 30
Indeks | 181
Keywords Index
B
Border Cooperation ix, x, 1, 113, 178, 181
Border Relations iv, x, 1, 113, 181
C
Cyber Media ix, 1, 79, 83, 84, 181
D
Deliberative Democracy iv, ix, 79, 80, 81, 82,
83, 88, 91, 92, 93, 173
Democracy iii, iv, vii, ix, x, 11, 12, 15, 17, 18,
19, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 29, 30, 32, 35, 36, 38,
39, 48, 49, 51, 54, 55, 58, 59, 60, 65, 66, 67, 73,
74, 76, 77, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 88, 91, 92, 93,
95, 96, 97, 98, 99, 101, 102, 103, 105, 107, 109,
110, 132, 136, 143, 145, 146, 151, 152, 153,
155, 156, 157, 163, 164, 171, 172, 173, 174,
175, 178
E
Election System iv, 1, 98, 157, 158, 159, 181
F
Feasibility of a Mixed Electoral System ix, 95
G
Globalization iii, vii, 1, 2, 9, 11, 12, 13
Goverment Legitimacy viii, 1, 47, 49, 181
I
Illegal Border Crossing iv, 115
Indonesian Next President iii, 1, 181
Institutional Strengthening iii, viii, 1, 63, 181
Instrumental iv, x, xiii, xiv, 1, 129, 131, 132,
136, 139, 142, 143, 181
Instruments iv, x, 39, 58, 129, 130, 131, 133,
135, 141, 142
Leadership viii, 1, 2, 3, 4, 7, 8, 13, 31, 36, 42,
181
26, 27, 29
Presidential Election iii, vii, 1, 17, 21, 23, 24,
25, 27, 28, 29, 30, 48, 50, 51, 55, 56, 60, 61, 62,
67, 68, 72, 75, 89, 148, 167, 168, 181
Presidentialism System Model iii, viii, 1, 41, 56,
59, 63, 66, 70, 96, 151, 160, 181
Public Sphere ix, 181
R
Reform iv, x, 1, 5, 12, 37, 39, 44, 50, 54, 55, 56,
57, 58, 61, 65, 66, 74, 77, 98, 105, 129, 130,
131, 132, 133, 135, 136, 138, 139, 141, 142,
143, 150, 153, 160, 171, 172, 178, 181, 187
Regulation x, 51, 52, 54, 58, 59, 106, 129, 131,
137, 138, 139, 140
S
Security iv, x, 2, 6, 9, 12, 27, 115, 117, 119, 122,
123, 124, 129, 130, 131, 132, 133, 136, 137,
141, 142, 178
Singaporean Multiplication Authorities viii, 31,
181
T
The Presidential Election iii, vii, 1, 17, 21, 23,
24, 25, 27, 28, 29, 30, 48, 50, 51, 55, 56, 60, 61,
62, 67, 68, 72, 75, 89, 148, 167, 168, 181
The U. S,. America x, 1, 4, 34, 57, 88, 110, 147,
149, 151, 152, 163, 164, 165, 167, 168, 171,
172, 173, 175, 181
M
Media Conglomerate vii, 15, 17, 20, 28, 29, 30
Media Persuasion 1, 181
N
Nomination Process of Election Participants
viii, 47, 181
P
Party System iv, 1, 146, 149, 150, 151, 153, 155,
160, 181
Police x, 129, 130, 131, 133, 135, 136, 139,
143, 181
Political Campaign 23, 30, 34, 35, 168, 169
Political Journalism vii, 15, 19, 20, 21, 22, 23,
182 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
PEDOMAN PENULISAN
1. Tulisan yang dimuat harus merupakan kajian ilmiah atas isu dan peristiwa yang berkaitan dengan
politik dalam negeri dan internasional, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
2. Tulisan merupakan karya sendiri, bukan saduran atau terjemahan dan belum pernah dipublikasikan
dalam bentuk dan bahasa apa pun.
3. Tulisan mengandung data atau pemikiran yang baru dan orisinal.
4. Tulisan yang dimuat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi penulis yang bersangkutan.
5. Panjang naskah untuk artikel, 20-25 halaman A4, spasi 1,5; book review, 10-15 halaman A4,
spasi 1,5.
6. Sistematika artikel hasil pemikiran/telaahan adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik);
nama dan alamat institusi; alamat e-mail penulis; riwayat naskah; abstrak (maksimum 150
kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indonesia); kata kunci (4-5 kata kunci);
pendahuluan; pembahasan (terbagi dalam beberapa sub-judul); penutup; daftar pustaka.
JUDUL
Penulis
Nama Instansi
Alamat lengkap instansi penulis
Email penulis
Riwayat naskah
Abstract: Abstract in English (max. 150 words)
Keywords: 4 – 5 words/ phrase
Abstrak: Abstrak dalam bahasan Indonesia (maks. 250 kata)
Kata Kunci: 4 – 5 kata/ frasa
Pendahuluan
Pembahasan
Penutup
Daftar Pustaka
Pedoman Penulisan | 183
7. Sistematika artikel review buku (book review) adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik);
nama dan alamat institusi; alamat e-mail penulis; riwayat naskah; judul buku; pengarang; penerbit;
cetakan; tebal; abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa
Indonesia); kata kunci (4-5 kata kunci); pendahuluan; pembahasan (terbagi dalam beberapa subjudul); penutup; daftar pustaka.
JUDUL
Penulis
Nama Instansi
Alamat lengkap instansi penulis
Email penulis
Riwayat naskah
Judul buku
Pengarang
Penerbit Tebal Abstract: Abstract in English (max. 150 words)
Keywords: 4 – 5 words/ phrase
Abstrak: Abstrak dalam bahasan Indonesia (maks. 250 kata)
Kata Kunci: 4 – 5 kata/ frasa
Pendahuluan
Pembahasan
Penutup
Daftar Pustaka
8. Tabel dan gambar, untuk tabel dan gambar (grafik) di dalam naskah harus diberi nomor urut.
a. Tabel atau gambar harus disertai judul. Judul tabel diletakkan di atas tabel sedangkan judul
gambar diletakkan di bawah gambar.
b. Sumber acuan tabel atau gambar dicantumkan di bawah tabel atau gambar.
c. Garis tabel yang dimunculkan hanya pada bagian header dan garis paling bawah tabel.
Sedangkan untuk garis vertikal pemisah kolom tidak dimunculkan.
184 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Contoh penyajian Tabel:
Tabel 1. Agenda-agenda Besar Konsolidasi
Contoh penyajian Gambar/Grafik:
Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Grafik 2. Tren Partisipasi dalam Pemilu
9.
Perujukan sumber acuan menggunakan footnotes, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Format rujukan dari buku: nama penulis, judul buku (italic), kurung buka, kota penerbitan,
titik dua, nama penerbit, tahun terbit, kurung tutup, nomor halaman, titik. Contoh:
Denny J.A., Partai Politik Pun Berguguran, (Yogyakarta: LKIS, 2006), hlm. v.
b. Format rujukan dari buku (bunga rampai): nama penulis artikel, “judul artikel ditulis
tegak dalam dua tanda petik”, dalam, nama editor buku, judul buku (italic), kurung buka,
kota penerbitan, titik dua, nama penerbit, tahun terbit, kurung tutup, h., nomor halaman,
titik. Contoh:
Leonardo Morlino, “Political Parties and Democratic Consolidation in Southern Europe,”
dalam Richard Gunther, P. Nikiforos Diamandouros dan Hans Jurgen Puhle (eds.), The
Politics of Democratic Consolidation: Southern Europe in Comparative Perspective,
(Baltimore MD: Johns Hopkins University Press, 1995), h. 315−388. c. Format rujukan dari jurnal: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda
petik,” sumber artikel (italic), nomor atau edisi, tahun, h., nomor halaman, titik. Contoh:
Lili Romli, “Peta Kekuatan Politik Setelah Reformasi dan Kecenderungan Koalisi Parpol,”
Jurnal Demokrasi dan HAM, 2000, h. 124-125.
Pedoman Penulisan | 185
d. Format rujukan dari makalah seminar/konferensi: nama penulis, “judul makalah ditulis
tegak dalam dua tanda petik,” makalah, nama/tema seminar, tempat pelaksanaan seminar,
waktu, h., nonor halaman, titik. Contoh:
Andrea Ceron dan Alessandra Caterina Cremonesi, “Politicians Go Social: Estimating
Intra-Party Heterogeneity (and its Effect) through the Analysis of Social Media,” makalah
disampaikan pada NYU La Pietra Dialogues on Social Media and Political Participation,
Florence, 10-11 Mei 2013, h 3.
e. Format rujukan dari media online: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua
tanda petik,” nama situs, tanggal akses situs. Contoh:
Berita8, “Media Sosial bisa Perkuat Fungsi Partai Politik”, 18 April 2013, http://www.
berita8.com/berita/2013/04/MediaSosial-bisa-perkuat-fungsi-partai-politik, diakses pada
tanggal 18 Juni 2013.
f. Format rujukan dari media massa: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua
tanda petik,” sumber media (italic), tanggal terbit, nomor halaman, titik. Contoh:
Degung Santikarma, “Monumen, Dokumen dan Kekerasan Massal,” Kompas, 1 Agustus
2003, h. 12.
10. Penulisan sumber Daftar Pustaka dibedakan menjadi: buku; jurnal; laporan dan makalah; surat
kabar dan website. Daftar Pustaka dituliskan dengan urutan abjad nama belakang (family name).
Format penulisan sebagai berikut:
a. Format rujukan dari buku:
Buku dengan satu pengarang: nama penulis; tahun terbit; judul buku; tempat terbit; nama
penerbit. Contoh:
Caplan, Bryan.2007. The Myth of the Rational Voter: Why Democracies Choose Bad
Policies. New Jersey: Princeton University Press.
Buku dengan dua pengarang: nama penulis (dua orang); tahun terbit; judul buku; tempat
terbit; nama penerbit. Contoh:
Aspinall, E. dan M.Mietzner. 2010. Problems of Democratisation in Indonesia: Elections,
Institutions and Society. Singapore: ISEAS Publishing.
Buku dengan lebih dari dua pengarang: nama penulis (et al); tahun terbit; judul buku; tempat
terbit; nama penerbit. Contoh:
Ananta, Aris, et al., 2004. Indonesian Electoral Behaviour: A Statistical Perspective.
Singapore: ISEAS Publishing.
Artikel/tulisan dalam buku: nama penulis; tahun terbit; judul tulisan; dalam nama editor;
judul buku; tahun terbit; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh:
Qodari, M. 2010. “The Professionalisation of Politics: The Growing Role of Polling
Organisation and Political Consultants”, dalam Aspinall, E. dan M. Mietzner (eds.).
Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore:
ISEAS Publishing.
b. Format rujukan dari jurnal: nama penulis; tahun; judul artikel; nama jurnal; volume
jurnal; nomor jurnal; nomor halaman. Contoh:
186 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Ufen, A. 2008. “From Aliran to Dealignment: Political Parties in post-Suharto Indonesia”.
South East Asia Research, 16 (1): 5-41.
c. Format rujukan dari laporan dan makalah:
Laporan penelitian: nama penulis; tahun terbit; judul laporan; tempat penerbit; nama
penerbit. Contoh:
Mainwaring, Scott, 1998. “Rethinking Party Systems Theory In The Third Wave Of
Democratization: The Importance of Party System Institutionalization.” Working Paper
#260 - October 1998, Kellogg Institue.
Makalah seminar: nama penulis; tahun terbit; judul makalah; nama kegiatan seminar; waktu
pelaksanaan kegiatan seminar; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh:
Ceron, Andrea dan Alessandra Caterina Cremonesi. 2013. “Politicians Go Social: Estimating
Intra-Party Heterogeneity (and its Effect) through the Analysis of Social Media”. Paper
disampaikan pada NYU La Pietra Dialogues on Social Media and Political Participation,
Florence, 10-11 Mei 2013.
d. Format rujukan dari surat kabar dan website
Artikel media massa: nama penulis; tahun terbit; judul artikel; nama media massa; tanggal
terbit; nomor halaman. Contoh:
Wahid, Sholahuddin. 1998. “Di Balik Berdirinya Partai-Partai di Kalangan NU,” Republika,
3 Oktober.
Artikel online: nama penulis/institusi; tahun terbit; judul artikel, alamat websites; waktu
unduh. Contoh:
Aspinall, Edward, “The Taming of Ethnic Conflict in Indonesia”, dalam http://www.
eastasiaforum.org/2010/08/05/the-taming-of-ethnic-conflict, diunduh pada 28 November
2013.
11. Pengiriman Artikel:
Naskah dikirim dalam bentuk printout sebanyak 2 eksemplar beserta softcopy ke alamat
redaksi atau dapat dikirimkan melalui email redaksi ([email protected]).
Redaksi memberikan honorarium untuk setiap artikel yang dimuat.
Artikel yang diterima setelah deadline akan dipertimbangkan untuk dimuat pada edisi
berikutnya.
12. Alamat Jurnal Penelitian Politik:
P2P-LIPI, Widya Graha LIPI, Lantai XI
Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10
Jakarta 12710
Telp. (021) 5251542 Ext. 2069/2315 Telp/Fax. (021) 520 7118
13.Langganan:
Harga Pengganti ongkos cetak Rp.50.000,- per eksemplar sudah termasuk ongkos kirim biasa.
Untuk berlangganan dan surat menyurat langsung hubungi bagian sirkulasi Redaksi Jurnal
Penelitian Politik.
Pedoman Penulisan | 187
188 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10, No.2 Desember 2013
Download