Jurnal Ekspose Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81 Jurnal Ekspose Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81 Jurnal Ekspose Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81 Jurnal Ekspose Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81 ANALISIS FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARI'AH Oleh : Syaparuddin ABSTRAK In money market among banks, one party (one bank) sometimes does unjustly by taking much profit or interest from the other party (other bank) that has less fund or on the contrary. Based on this problem, National Syariah Board (Dewan Syariah National or DSN) issued a fatwa (a religious advice) No. 37 about money market among banks based on syariah principles as a solution for parties (banks) that make a transaction each other. However, this fatwa is needed very much to discuss more whether it could cover all problems that happen in the money market among banks. After doing a deep analysis to the fatwa, it is found that the instruments that are applied in the money market based on syariah principles, are mudharabah (muqaradhah), musyarakah, qard, wadiah, or al-sharf, and not interest. Keywords: Fatwa, Pasar, Uang, Majelis Ulama. PENDAHULUAN Sesungguhnya agama Islam adalah agama rahmatan lii al-alamin. Artinya, agama yang membawa rahmat bagi alam semesta, bagi semua umat tanpa dibatasi oleh ruang maupun waktu. Ajarannya mencakup semua aspek kehidupan tak terkecuali ekonomi. Akan tetapi dalam perkembangannya saat ini, persoalan ekonomi terasa semakin kompleks, terlebih dengan adanya fenomena yang berkembang dengan berbagai istilah dan jenis transaksi ekonomi (keuangan), seperti masalah transaksi bursa efek, valuta asing, pasar uang dan lain sebagainya. Kegiatan ekonomi yang berkembang pesat tersebut, diikuti dengan berkembangnya lembaga keuangan (bank) baik yang konvensional maupun yang menggunakan prinsip syariah, dan dalam dunia perbankan sering kali menggunakan fasilitas pasar uang dalam kegiatan operasionalnya, karena dalam keadaan tertentu terkadang bank dapat mengalami kelebihan ataupun kekurangan likuiditas dalam jangka pendek yaitu kurang dari satu tahun. Bila terjadi kelebihan maka bank melakukan penempatan kelebihan likuiditas, sehingga bank Dosen Tetap pada Jurusan Syari'ah Prodi Ekonomi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone. Jurnal Ekspose Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81 memperoleh keuntungan. Sebaliknya bila bank mengalami kekurangan likuiditas maka bank memerlukan sarana untuk menutupi kekurangan likuiditas dalam rangka pembiayaan sehingga kegiatan operasional bank dapat berjalan dengan baik.1 Karena itu, diperlukan adanya jasa lembaga keuangan (bank) yang dapat berlaku adil. Namun terkadang dalam aplikasinya, bank berlaku tidak adil dengan mengambil keuntungan atau bunga yang berlebihan kepada pihak yang kekurangan dana maupun sebaliknya. Atas dasar ini, maka Dewan Syari'ah Nasional mengeluarkan fatwa No. 37 tentang pasar uang antarbank dengan prinsip syari'ah2 sebagai solusi bagi kedua belah pihak yang mengadakan transaksi. Akan tetapi fatwa ini masih perlu ditela'ah dan dikaji ulang, apakah fatwa tersebut sudah benar-benar meng-cover semua permasalahan yang terjadi di pasar uang antarbank. Karena itu perlu dianalisis lebih mendalam. Inilah inti permasalahan yang akan tela’ah dan dikaji dalam tulisan ini. Agar pembahasanya dapat dipahami dengan baik, maka sebelumnya akan dipaparkan terlebih dahulu tentang pengertian pasar uang, mekanisme pasar uang, dan pasar uang berdasarkan prinsip syariah. PEMBAHASAN Pengertian Pasar Uang Pasar uang (money market) adalah mekanisme untuk memperdagangkan dana jangka pendek, yaitu dana berjangka waktu kurang dari satu tahun. Kegiatan di pasar uang ini terjadi karena ada dua pihak, pihak pertama yang kekurangan dana yang sifatnya jangka pendek, pihak kedua memiliki kelebihan dana dalam waktu jangka pendek juga. Mereka itu dipertemukan di dalam pasar uang, 1 Wahyu Purwandari, "Pasar Uang Berdasarkan Prinsip Syari'ah", Artikel Ekonomi Islam, Dikutip dari www.msi-uii.net, Diakses pada tanggal 12 Desember 2010. 2 Tim Penulis Dewan Syari'ah Nasional MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional, Ed. II, (Jakarta: PT. Intermasa, 2003), h. 238. Jurnal Ekspose Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81 sehingga unit yang kekurangan memperoleh dana yang dibutuhkan, sedang unit yang kelebihan memperoleh penghasilan atas uang yang berlebih tersebut. 3 Pengertian pasar uang dalam teori ekonomi bukanlah suatu tempat (fisik) orang berjualan dan menjajakan barang dagangannya. Pasar diartikan secara lebih luas dan abstrak, namun tetap mencakup pasar dalam pengertian sehari-hari, yaitu pertemuan antara permintaan dan penawaran.4 Apabila permintaan bertemu penawaran di pasar, maka akan terjadi transaksi. Transaksi merupakan kesepakatan antara apa yang diinginkan oleh pembeli dan apa yang diinginkan oleh penjual. Dalam transaksi seperti itu kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai dua hal, yaitu harga dan volume dari apa yang ditransaksikan. Dalam pasar uang, hal yang ditransaksikan adalah hak untuk menggunakan uang dalam jangka waktu tertentu. Jadi di pasar tersebut terjadi transaksi pinjam-meminjam dana, yang selanjutnya menimbulkan hutangpiutang.5 Adapun barang yang ditransaksikan dalam pasar ini adalah secarik kertas berupa surat hutang atau janji untuk membayar sejumlah uang tertentu pada waktu tertentu pula.6 Hal ini bertujuan untuk memberikan alternatif, baik bagi lembaga keuangan bank maupun bukan bank, untuk memperoleh sumber dana atau menanamkan dananya.7 Mekanisme Pasar Uang Mekanisme pasar uang dapat berfungsi dengan baik apabila memenuhi syarat-syarat berikut:8 3 Cipta Adi Pustaka, Ensiklopedi Ekonomi, Bisnis dan Manajemen, Jilid 2, (Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1992), h. 24. Dalam pengertian ekonomi, uang biasanya diartikan sebagai dana jangka pendek, sedangkan modal merupakan dana jangka panjang. 4 Boediono, Ekonomi Moneter: Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 5, Cet. XI, (Yogyakarta; BPFE, 2001), h.1. 5 Ibid., h. 1-2. 6 Pasar uang adalah pasar di mana diperdagangkan surat-surat berharga jangka pendek. Muhammad Syafi'I Antonio, Bank Syari'ah dari Teori ke Praktik, Cet. IX (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 183. 7 Cipta Adi Pustaka, Ensiklopedi Ekonomi..., Jilid 2, h. 24. 8 Ibid. Jurnal Ekspose Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81 1. Uang yang diperdagangkan harus mempunyai bentuk (instrument) tertentu, antara lain: Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), sertifikat deposito, dan call money. 2. Ada lembaga keuangan yang bersedia menjadi pencipta pasar (market maker). Lembaga inilah yang akan menyimpan instrumen-instrumen pasar uang dan akan menjualnya kepada unit yang mempunyai kelebihan dana jangka pendek, atau membelinya dari unit yang kekurangan dana jangka pendek. Di Indonesia fungsi ini dijalankan oleh Ficorinvest yang sering disebut security house. 3. Prasarana komunikasi yang memadai. 4. Informasi keuangan yang dapat dipercaya, yaitu data keuangan perusahaan yang mengeluarkan SBPU, agar setiap peminat dapat membuat penelitian mengenai keadaan perusahaan. Mekanisme Call money, yaitu diperdagangkan secara langsung antarbank, dan biasanya dilakukan melalui telepon. Hal ini dilakukan karena kebutuhan liquiditas bank biasanya mendesak, baik karena kekurangan dalam kliring maupun untuk memenuhi kebutuhan kewajiban likuiditas. Sedangkan mekanisme SBI dan SBPU, yaitu diperdagangkan melaui security house (Ficorinvest) sebagai perantara antara pemilik dan pemakai, melalui jual beli surat-surat berharga dengan mekanisme; BI menjual SBI kepada Ficorinvest, kemudian kepada lembaga-lembaga keuangan. Adapun mekanisme SBPU nasabah, baik badan usaha maupun perorangan, yaitu dengan mengeluarkan surat aksep atau wesel untuk mendapatkan dana dari bank atau lembaga keuangan non-bank, kemudian suratsurat berharga ini diperjualbelikan oleh bank atau lembaga keuangan non-bank melalui security house yang akan memperjualbelikan dengan BI.9 Pasar Uang Bedasarkan Prinsip Syari'ah 9 Ibid. h. 24-25. Lihat juga Faried Wijaya dan Soetatwo Hadiwigeno, Lembaga-lembaga Keuangan dan Bank, Perkembangan, Teori dan Kebijakan, Edisi 2 (Yogyakarta: BPFE, 1999), h. 393-394. Jurnal Ekspose Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81 Islam memandang uang hanyalah sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditas atau barang dagangan. Maka motif permintaan terhadap uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demad for transaction), bukan untuk spekulasi atau trading. Islam tidak mengenal spekulasi (money demand for speculation). Karena pada hakikatnya uang adalah milik Allah Swt. yang diamanahkan kepada kita untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat. Dalam pandangan Islam uang adalah flow concept, karen itu ia harus selalu berputar dalam perekonomian, sebab semakin cepat uang itu berputar dalam perekonomian, maka semakin tinggi pula tingkat pendapatan masyarakat dan akan semakin baik pula keadaan perekonomian.10 Lalu bagaimana dengan kegiatan Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS). PUAS adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarbank berdasarkan prinsip syari'ah baik dalam rupiah maupun valuta asing.11 Untuk mengetahui secara pasti apakah PUAS dibolehkan atau tidak, ia harus dibandingkan dengan pasar uang antarbank berdasarkan prinsip konvensional. Pada dasarnya antara keduanya (pasar uang konvensional dan pasar uang syari'ah) memiliki beberapa fungsi yang sama, di antaranya sebagai pengatur likuiditas. Jika bank memiliki kelebihan likuiditas, ia dapat menggunakan instrumen pasar uang untuk menginvestasikan dananya, dan apabila kekurangan likuiditas, maka ia dapat menerbitkan instrumen yang dapat dijual untuk mendapatkan dana tunai. Namun pada sisi lain, keduanya memiliki perbedaan yang mendasar pada mekanisme penerbitannya, dan pada sifat instrumen itu sendiri. Pada pasar uang konvensional, instrumen yang diterbitkan adalah instrumen hutang yang dijual dengan diskon dan didasarkan atas perhitungan 10 Muhammad Syafi'I Antonio, Bank Syari'ah…., h. 185, dan lihat juga Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Diskripsi dan Ilustrasi (Yogyakarta: EKONISIA, 2003), h. 76. 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/5/PBI tanggal 30 Maret 2007 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah. Jurnal Ekspose Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81 bunga, sedangkan pasar uang syari'ah, lebih kompleks dan mendekati mekanisme pasar modal.12 Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Berdasarkan Prinsip Syari'ah Tentang Pasar Uang Antarbank Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.: 37/DSNMUI/X/2002, tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, adalah sebagai berikut: Menimbang : a. Bahwa bank syari'ah dapat mengalami kekurangan likuiditas disebabkan oleh perbedaan jangka waktu antara penerimaan dan penanaman dana atau kelebihan likuiditas yang dapat terjadi karena dana yang terhimpun belum dapat disalurkan kepada pihak yang memerlukan. b. Bahwa dalam rangka peningkatan efisiensi pengelolaan dana, bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah memerlukan adanya pasar uang antarbank. c. Bahwa untuk memenuhi keperluan itu, dipandang perlu menetapkan fatwa tentang pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah. Mengingat : a. Firman Allah dalam QS. Al-Maidah (5): 1: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. b. Firman Allah dalam QS. an-Nisa (4): 58: Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. c. Firman Allah dalam QS. al-Baqarah (2): 275: Artinya: Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. d. Firman Allah dalam QS. al-Baqarah (2): 278: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. 12 Cecep Maskanul Hakim (Peneliti Biro Perbankan Syariah BI), “Mengenal Pasar Uang Syariah”, Artikel, Dikuti dari www.republika.com, Diakses pada tanggal 28 Desember 2010. Jurnal Ekspose Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81 e. Firman Allah dalam QS. al-Baqarah (2): 280: Artinya: Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. f. Firman Allah dalam QS. An-Nisa (4): 29: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka samasuka di antara kamu. g. Firman Allah dalam QS. al-Maidah (5): 2: Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolongmenolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. h. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: Artinya: Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. i. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib: Artinya: Nabi bersabda: ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual. j. Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah berkata: Artinya: Allah Swt. berfiman: Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, aku keluar dari mereka. k. Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah: Artinya: Rasulullah s.a.w melarang jual beli yang mengandung gharar. l. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas, dan riwayat Imam Malik dari Yahya: Artinya: Tidak boleh membahayakan orang lain dan menolak bahaya dengan bahaya yang lain. m. Kaidah-kaidah Fiqh yang artinya: Jurnal Ekspose Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81 - Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. - Segala madharat (bahaya) harus dihindarkan sedapat mungkin. - Segala madharat (bahaya) harus dihilangkan. - Tindakan imam (pemegang otoritas) terhadap rakyat harus mengikuti maslahat. - Mencegah mafsadat (kerusakan) harus didahulukan daripada mengambil kemaslahatan. Dewan Syari’ah Nasional menetapkan: Fatwa Tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syari'ah Pertama : Ketentuan Umum 1. Pasar uang antar bank yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu pasar uang antarbank yang berdasarkan bunga. 2. Pasar uang antarbank yang dibenarkan menurut syariah yaitu pasar uang antarbank yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah. 3. Pasar uang antarbank berdasarkan prinsip Syariah adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarpeserta pasar berdasarkan prinsip-prinsip syariah. 4. Peserta pasar uang sebagaimana tersebut dalam butir 3, adalah: a. Bank syariah sebagai pemilik atau penerima dana b. Bank konvensional hanya sebagai pemilik dana Kedua : Ketentuan Khusus 1. Akad yang dapat digunakan dalam Pasar Uang Antar Bank berdasarkan prinsip Syariah adalah: a. Mudharabah (Muqaradhah)/Qiradh b. Musyarakah c. Qardh d. Wadi’ah e. Al-Sharf Jurnal Ekspose Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81 2. Pemindahan kepemilikan instrumen pasar uang sebagaimana tersebut dalam butir 1, menggunakan akad-akad syariah yang digunakan dan hanya boleh dipindahtangankan sekali. Ketiga : Penyelesaian Perselisihan Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyarawah Keempat : Penutup Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di Jakarta, tanggal 06 Sya'ban 1423 H / 23 Oktober 2002 M.13 Analisis Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syari'ah Jika ditinjau dari segi perumusan sercara umum fatwa ini diawali dengan mengemukakan pertimbangan-pertimbangan dikeluarkannya fatwa, diikuti dengan kutipan dalil-dalil baik yang mengacu pada al-Qur'an, Hadits, maupun kaidah fiqh dan terakhir adalah keputusan. Semestinya dalam perumusannya perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian dan maksud dari pasar uang antarbank yang dimaksudkan dalam fatwa ini. Sehingga pengertian pasar uang yang dimaksud menjadi jelas dan tidak menimbulkan salah pengertian. Paling tidak semestinya dijelaskan dalam lampiran. Dari segi pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan dalam fatwa ini ada tiga poin (sebagaimana telah disebutkan di depan), semestinya melihat juga pada realitas perjanjian-perjanjian antara pihak pemilik dana dan pihak yang membutuhkan dana, sebab dalam kegiatan pasar uang seringkali terjadi perjanjian 13 Tim Penulis Dewan Syari'ah Nasional MUI, Himpunan Fatwa…, h. 238-244. Jurnal Ekspose Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81 pembelian kembali (purchase agreement) dana dari si penjual semula, termasuk jaminan pembelian kembali jika dijanjikan oleh si penjual sendiri. Adapun dari dalil-dalil yang dikemukakan oleh fatwa ini secara umum terdiri dari dalil-dalil al-Qur’an yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Fatwa ini juga menggunakan dalil-dalil dari hadits yang berkaitan dengan transaksitransaksi dalam pasar uang, kemudian merujuk pula pada kaidah-kaidah fiqh yangcukup memadai dan sudah dikenal secara umum, serta dilengkapi dengan ijma’ atau kesepakatan ulama mengenai hal tersebut. Namun dalil-dalil yang dikemukakan pada umumnya sama dengan dalil-dalil yang digunakan untuk memfatwakan masalah jual beli valuta asing, bursa saham dan lain sebagainya Dari segi keputusan-keputusan yang tertuang dalam dalam fatwa tersebut disebutkan bahwa pasar uang antarbank yang dibenarkan adalah yang tidak menggunakan bunga, dan akad-akad yang dianjurkan adalah mudharabah, musyarakah, qard, wadiah, maupun sharf, dan kepemilikan atas instrumen pasar hanya dapat dipindahtangankan satu kali saja. Namun dalam realitanya akad akad yang sering digunakan adalah mudharabah dan wadi’ah. Sedangkan untuk akadakad seperti qard dan sharf jarang digunakan. Hal ini terjadi karena pada bank syariah instrumen yang disediakan dalam pasar uang ini berupa IMA (Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank), SBPU (Surat Berharga Pasar Uang) Mudharabah dan SWBI (Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia). Sedangkan mengenai instrumen apa yang dipakai dalam pasar uang berprinsip syari'ah, di dalam fatwa itu juga tidak diberikan penjelasan bagaimana mekanismenya jika dilakukan dalam pasar uang. Namun dalam Islam, sebuah instrumen merupakan perwakilan dari kepemilikan atau harta. Oleh karena itu instrumen dapat diperjualbelikan jika terdapat asset atau transaksi yang mendasarinya. Ada dua metode dalam penerbitan instrumen oleh bank syariah, pertama, satu prinsip untuk berbagai transaksi. Prinsip yang digunakan adalah bagi hasil (mudharabah/musyarakah) untuk berbagai transaksi, seperti jual-beli, sewa, dan lain-lain; kedua, satu prinsip untuk satu transaksi. Metode ini menyerupai fund dalam pasar modal. Jurnal Ekspose Adapun Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81 dalam prinsip bagi hasil (mudharabah/musyarakah) mengakibatkan kepemilikan usaha pada sisi pemilik dana, ketika aset-aset bank syariah disekuritisasi dan instrumennya dijual ke pasar, maka pembeli instrument tersebut menjadi pemilik modal baru yang menggantikan pemilik modal yang lama. Aset-aset tersebut apabila dikumpulkan akan menjadi harta gabungan (maal musytarak) yang bisa didenominasi dalam bentuk pecahan dan dijual kepada pembeli. Penetapan harga dari instrument tersebut mengikuti hukum Islam, artinya; harga instrumen bisa dinegosiasikan antara penjual dan pembeli, sehingga dapat menyebabkan naik turunnya harga harga instrumen tersebut. Instrumeninstrumen ini pun bisa menjadi alternatif investasi bagi bank syariah di Indonesia, terutama ketika mengalami kelebihan likuiditas. Asumsi perbankan konvensional yang menggunakan hutang sebagai instrumen masih melekat di dunia perbankan. Terlebih dalam UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana disempurnakan oleh UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, bank umum(termasuk bank syari'ah) hanya dibolehkan melakukan pembelian instrument investasi dalam bentuk pendapatan tetap (fixed income).14 Sementara itu, melalui transaksi pasar uang antarbank syariah, semua bank umum tak terkecuali syariah bisa menempatkan dana dalam bentuk Sertifikat Investasi Antarbank (IMA) yang diterbitkan bank syariah yang mengalami kesulitan likuiditas. Dengan membeli IMA, pengembalian investasi atau pinjaman akan dibayarkan ketika IMA jatuh tempo. Jadi bank yang membeli profit sharing pembagian hasil dan bukannya bunga.15 Intinya dalam pasar uang berprinsip syariah instrumen yang diperjualbelikan adalah pada tahap pertama (first level scuritization), instrumen ini akan menjadi instrumen derivatif apabila 14 Cecep Maskanul Hakim, “Mengenal Pasar Uang Syari'ah”, 28 Desember 2010. Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syari'ah (Jakarta: Djambatan, 2001), h. 276. Pasar uang antarbank syariah menggunakan instrumen/piranti sertifikat investasi mudharabah antarabank IMA yang berjangka waktu maksimum 90 hari diterbitkan oleh kantor pusat bank syari'ah atau unit usaha syari'ah bank konvensional. Ketentuan-ketentuan IMA sebagaimana berikut: (1) Pemindahan sertifikat IMA hanya dapat dilakukan oleh bank penanam dana pertama, sedangkan bank penanam dana kedua tidak diperkenankan memindahtangankan sertifikat tersebut pada bank lain sampai terakhirnya jangka waktu. (2) Besarnya imbalan sertifikat IMA yang dibayarkan pada awal bulan dihitung atas dasar tingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah pada bank penerbit sebelum didistribusikan sesuai jangka waktu penanaman. 15 Jurnal Ekspose Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81 disekuritisasi kembali (second level securitization) yang disepakati oleh para ulama untuk tidak diperjualbelikan. Hal yang perlu menjadi catatan dalam pasar uang ini, yaitu bahwa dalam Islam, yang dibolehkan adalah penjualan bukti kepemilikan, bukan jual-beli sertifikat atas bukti kepemilikan.16 Karena sertifikat itu itu hanya mewakili harta yang dimiliki, namun karena bank syariah hanya berada pada sekuritas tahap pertama, maka ia tidak akan mengalami percepatan kuantitas moneter (monetary enchanment) di atas kuantitas di sektor riil. Walaupun dalam fatwa ini masalah pasar uang berdasarkan prinsip syari'ah dengan berbagai akad yang diperbolehkan seakan-akan telah menjadi salah satu solusi dalam transaksi pasar uang, namun dalam masalah pasar uang ini muncul kembali permasalahan, yaitu dalam hal perjanjian pembelian kembali (repurchase agreement). Sebab dalam hal ini terdapat kontroversi di kalangan ulama tentang perjanjian pembelian kembali (repurchase agreement). Karena transaksi pasar uang syariah menggunakan perjanjian tersebut ketika melakukan penjualan, artinya; penjual akan membeli kembali asset yang ia jual dalam jangka waktu tertentu. Termasuk dalam kategori ini adalah jaminan pembelian kembali (redemption guarantee) jika dijanjikan oleh si penjual sendiri. Mayoritas ulama tidak memperkenankan perjanjian bersyarat ini. Hanya sebagian kecil dari mazhab Hanafi yang membolehkannya dengan nama bai' al-wafa. Maka untuk mensiasati ini bank penerbit menugaskan perusahaan lain untuk menjadi pembeli atas instrument yang diterbitkannya.17 Implikasi Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syari'ah Implikasi dari adanya fatwa Dewan Syariah Nasional No:37, yaitu: karena dalam pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syari'ah tidak dibenarkan 16 17 Cecep Maskanul Hakim, “Mengenal Pasar Uang Syari'ah”, 28 Desember 2010. Ibid. Jurnal Ekspose Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81 mengunakan bunga, maka bisa diganti dengan menggunakan alternatif akad-akad lain seperti berikut ini:18 Pertama: Mudharabah, yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (malik,shahib al-maal) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Kedua: Musyarakah, yaitu akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu, dimana masing-masing pihak menberikan kontribusi dana (modal) dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Ketiga: al-Qardh, yaitu suatu aqad pembiayaan kepada nasabah tertentu dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada lembaga keuangan syariah pada waktu yang telah disepakati oleh lembaga keuangan syariah dan nasabah. Keempat: Wadiah (titipan uang, barang dan surat-surat berharga), yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana halnya kebiasaan). Kelima: al-Sharf (jual beli valuta asing). PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan uraian seperti yang telah diungkapkan di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pasar uang yang berdasarkan prinsip syariah adalah merupakan kegiatan transaksi keuangan (tanpa bunga) dalam waktu jangka pendek antarpeserta pasar (bank syariah sebagai pemilik atau penerima dana dan bank konvensional hanya sebagai pemilik dana), dengan pemindahan kepemilikan instrumen pasar uang tersebut hanya satu kali saja. Pasar uang yang 18 289. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 286- Jurnal Ekspose Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81 dibolehkan hanya pasar uang yang tidak menggunakan sistem bunga, hal ini untuk menghindari dari riba nasi’ah karena kerugian (bahaya) dari bunga itu lebih besar daripada keuntungan (mashlahah)-nya. Selain itu, yaitu bahwa dalam Islam dilarang dilakukan jual-beli uang sebagai komoditi atau spekulasi. 2. Ada tiga alasan yang dijadikan dasar Dewan Syari'ah Nasional untuk mengeluarkan fatwa tentang pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syari'ah, yaitu: (1) bank syariah dapat mengalami kekurangan likuiditas disebabkan oleh perbedaan jangka waktu antara penerimaan dan penanaman dana atau kelebihan likuiditas yang dapat terjadi karena dana yang terhimpun belum dapat disalurkan kepada pihak yang memerlukan; (2) dalam rangka peningkatan efisiensi pengelolaan dana, bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah memerlukan adanya pasar uang antarbank; (3) untuk memenuhi keperluan itu, maka dipandang perlu penetapan fatwa tentang pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syari'ah. 3. Adapun implikasi dari adanya fatwa Dewan Syariah Nasional No:37, yaitu karena dalam pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syari'ah tidak dibenarkan mengunakan bunga, maka bisa diganti dengan menggunakan alternatif akad-akad lain, seperti: mudharabah (muqaradhah), musyarakah, qard, wadiah, maupun al-sharf. Saran-saran Dewan Syari'ah Nasional semestinya mengembangkan konsep kebijakan dan prosedur kegiatan pasar uang dengan lebih terinci, sehingga pihak yang melakukan transaksi tersebut dapat sesuai dengan prinsip-prinsip norma syari'ah yang ditetapkan. Namun bagaimanapun juga fatwa Dewan Syari'ah Nasional No:37/DSN-MUI/X/2002 dapat digunakan sebagai solusi bagi pihak-pihak (bank) yang melakukan transaksi di pasar uang dengan memberikan alternatif akad-akad mudharabah (muqaradhah), musyarakah, qard, wadiah, maupun al-sharf. Jurnal Ekspose Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81 DAFTAR PUSTAKA Antonio, Muhammad Syafi'i, Bank Syari'ah dari Teori ke Praktik, Cet. IX, Jakarta: Gema Insani, 2005. Boediono, Ekonomi Moneter: Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 5, Cet. XI, Yogyakarta; BPFE, 2001. Chapra, M. Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi: Islamisasi Ekonomi Kontemporer, Terj. Nurhadi Ishsan dan Rifqi Amar, Cet. I, Surabaya: Risalah Gusti, 1999. Cipta Adi Pustaka, Ensiklopedia Ekonomi, Bisnis dan Manajemen, Jilid 2, Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1992. Hakim, Cecep Maskanul (Peneliti Biro Perbankan Syariah BI), “Mengenal Pasar Uang Syariah”, Artikel, Dikutip dari www.republika.com, Diakses pada tanggal 28 Desember 2010. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/5/PBI tanggal 30 Maret 2007 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah. Purwandari, Wahyu, "Pasar Uang Berdasarkan Prinsip Syari'ah", Artikel Ekonomi Islam, Dikutip dari www.msi-uii.net, Diakses pada tanggal 12 Desember 2010 Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Diskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: EKONISIA, 2003. Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Tim Pengembangan Perbankan Syari'ah IBI, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bnak Syariah, Jakarta: Djambatan, 2001. Tim Penulis Dewan Syari'ah Nasional MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional, Ed. II, Jakarta: PT. Intermasa 2003. Wijaya, Faried dan Soetatwo Hadiwigeno, Lembaga-lembaga Keuangan dan Bank, Perkembangan, Teori dan Kebijakan, Edisi 2, Yogyakarta: BPFE, 1999.