Jurnal Ekspose Vol. XXI. No. 2, Desember 2012

advertisement
Jurnal Ekspose
Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81
Jurnal Ekspose
Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81
Jurnal Ekspose
Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81
Jurnal Ekspose
Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81
ANALISIS FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL TENTANG PASAR
UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARI'AH
Oleh : Syaparuddin
ABSTRAK
In money market among banks, one party (one bank) sometimes does unjustly by
taking much profit or interest from the other party (other bank) that has less fund
or on the contrary. Based on this problem, National Syariah Board (Dewan
Syariah National or DSN) issued a fatwa (a religious advice) No. 37 about money
market among banks based on syariah principles as a solution for parties (banks)
that make a transaction each other. However, this fatwa is needed very much to
discuss more whether it could cover all problems that happen in the money
market among banks. After doing a deep analysis to the fatwa, it is found that the
instruments that are applied in the money market based on syariah principles, are
mudharabah (muqaradhah), musyarakah, qard, wadiah, or al-sharf, and not
interest.
Keywords: Fatwa, Pasar, Uang, Majelis Ulama.
PENDAHULUAN
Sesungguhnya agama Islam adalah agama rahmatan lii al-alamin.
Artinya, agama yang membawa rahmat bagi alam semesta, bagi semua umat tanpa
dibatasi oleh ruang maupun waktu. Ajarannya mencakup semua aspek kehidupan
tak terkecuali ekonomi. Akan tetapi dalam perkembangannya saat ini, persoalan
ekonomi terasa semakin kompleks, terlebih dengan adanya fenomena yang
berkembang dengan berbagai istilah dan jenis transaksi ekonomi (keuangan),
seperti masalah transaksi bursa efek, valuta asing, pasar uang dan lain sebagainya.
Kegiatan ekonomi yang berkembang pesat tersebut, diikuti dengan
berkembangnya lembaga keuangan (bank) baik yang konvensional maupun yang
menggunakan prinsip syariah, dan dalam dunia perbankan sering kali
menggunakan fasilitas pasar uang dalam kegiatan operasionalnya, karena dalam
keadaan tertentu terkadang bank dapat mengalami kelebihan ataupun kekurangan
likuiditas dalam jangka pendek yaitu kurang dari satu tahun. Bila terjadi kelebihan
maka bank melakukan penempatan kelebihan likuiditas, sehingga bank

Dosen Tetap pada Jurusan Syari'ah Prodi Ekonomi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Watampone.
Jurnal Ekspose
Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81
memperoleh keuntungan. Sebaliknya bila bank mengalami kekurangan likuiditas
maka bank memerlukan sarana untuk menutupi kekurangan likuiditas dalam
rangka pembiayaan sehingga kegiatan operasional bank dapat berjalan dengan
baik.1
Karena itu, diperlukan adanya jasa lembaga keuangan (bank) yang dapat
berlaku adil. Namun terkadang dalam aplikasinya, bank berlaku tidak adil dengan
mengambil keuntungan atau bunga yang berlebihan kepada pihak yang
kekurangan dana maupun sebaliknya. Atas dasar ini, maka Dewan Syari'ah
Nasional mengeluarkan fatwa No. 37 tentang pasar uang antarbank dengan prinsip
syari'ah2 sebagai solusi bagi kedua belah pihak yang mengadakan transaksi. Akan
tetapi fatwa ini masih perlu ditela'ah dan dikaji ulang, apakah fatwa tersebut sudah
benar-benar meng-cover semua permasalahan yang terjadi di pasar uang
antarbank. Karena itu perlu dianalisis lebih mendalam. Inilah inti permasalahan
yang akan tela’ah dan dikaji dalam tulisan ini. Agar pembahasanya dapat
dipahami dengan baik, maka sebelumnya akan dipaparkan terlebih dahulu tentang
pengertian pasar uang, mekanisme pasar uang, dan pasar uang berdasarkan prinsip
syariah.
PEMBAHASAN
Pengertian Pasar Uang
Pasar uang (money market) adalah mekanisme untuk memperdagangkan
dana jangka pendek, yaitu dana berjangka waktu kurang dari satu tahun. Kegiatan
di pasar uang ini terjadi karena ada dua pihak, pihak pertama yang kekurangan
dana yang sifatnya jangka pendek, pihak kedua memiliki kelebihan dana dalam
waktu jangka pendek juga. Mereka itu dipertemukan di dalam pasar uang,
1
Wahyu Purwandari, "Pasar Uang Berdasarkan Prinsip Syari'ah", Artikel Ekonomi Islam,
Dikutip dari www.msi-uii.net, Diakses pada tanggal 12 Desember 2010.
2
Tim Penulis Dewan Syari'ah Nasional MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah
Nasional, Ed. II, (Jakarta: PT. Intermasa, 2003), h. 238.
Jurnal Ekspose
Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81
sehingga unit yang kekurangan memperoleh dana yang dibutuhkan, sedang unit
yang kelebihan memperoleh penghasilan atas uang yang berlebih tersebut. 3
Pengertian pasar uang dalam teori ekonomi bukanlah suatu tempat (fisik)
orang berjualan dan menjajakan barang dagangannya. Pasar diartikan secara lebih
luas dan abstrak, namun tetap mencakup pasar dalam pengertian sehari-hari, yaitu
pertemuan antara permintaan dan penawaran.4 Apabila permintaan bertemu
penawaran di pasar, maka akan terjadi transaksi. Transaksi merupakan
kesepakatan antara apa yang diinginkan oleh pembeli dan apa yang diinginkan
oleh penjual. Dalam transaksi seperti itu kedua belah pihak mencapai kesepakatan
mengenai dua hal, yaitu harga dan volume dari apa yang ditransaksikan.
Dalam pasar uang, hal yang ditransaksikan adalah hak untuk
menggunakan uang dalam jangka waktu tertentu. Jadi di pasar tersebut terjadi
transaksi pinjam-meminjam dana, yang selanjutnya menimbulkan hutangpiutang.5 Adapun barang yang ditransaksikan dalam pasar ini adalah secarik
kertas berupa surat hutang atau janji untuk membayar sejumlah uang tertentu
pada waktu tertentu pula.6 Hal ini bertujuan untuk memberikan alternatif, baik
bagi lembaga keuangan bank maupun bukan bank, untuk memperoleh sumber
dana atau menanamkan dananya.7
Mekanisme Pasar Uang
Mekanisme pasar uang dapat berfungsi dengan baik apabila memenuhi
syarat-syarat berikut:8
3
Cipta Adi Pustaka, Ensiklopedi Ekonomi, Bisnis dan Manajemen, Jilid 2, (Jakarta: PT.
Cipta Adi Pustaka, 1992), h. 24. Dalam pengertian ekonomi, uang biasanya diartikan sebagai dana
jangka pendek, sedangkan modal merupakan dana jangka panjang.
4
Boediono, Ekonomi Moneter: Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 5, Cet. XI,
(Yogyakarta; BPFE, 2001), h.1.
5
Ibid., h. 1-2.
6
Pasar uang adalah pasar di mana diperdagangkan surat-surat berharga jangka pendek.
Muhammad Syafi'I Antonio, Bank Syari'ah dari Teori ke Praktik, Cet. IX (Jakarta: Gema Insani,
2005), h. 183.
7
Cipta Adi Pustaka, Ensiklopedi Ekonomi..., Jilid 2, h. 24.
8
Ibid.
Jurnal Ekspose
Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81
1. Uang yang diperdagangkan harus mempunyai bentuk (instrument)
tertentu, antara lain: Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Berharga Pasar
Uang (SBPU), sertifikat deposito, dan call money.
2. Ada lembaga keuangan yang bersedia menjadi pencipta pasar (market
maker). Lembaga inilah yang akan menyimpan instrumen-instrumen pasar
uang dan akan menjualnya kepada unit yang mempunyai kelebihan dana
jangka pendek, atau membelinya dari unit yang kekurangan dana jangka
pendek. Di Indonesia fungsi ini dijalankan oleh Ficorinvest yang sering
disebut security house.
3. Prasarana komunikasi yang memadai.
4. Informasi keuangan yang dapat dipercaya, yaitu data keuangan perusahaan
yang mengeluarkan SBPU, agar setiap peminat dapat membuat penelitian
mengenai keadaan perusahaan.
Mekanisme Call money, yaitu diperdagangkan secara langsung antarbank,
dan biasanya dilakukan melalui telepon. Hal ini dilakukan karena kebutuhan
liquiditas bank biasanya mendesak, baik karena kekurangan dalam kliring maupun
untuk memenuhi kebutuhan kewajiban likuiditas. Sedangkan mekanisme SBI dan
SBPU, yaitu diperdagangkan melaui security house (Ficorinvest) sebagai
perantara antara pemilik dan pemakai, melalui jual beli surat-surat berharga
dengan mekanisme; BI menjual SBI kepada Ficorinvest, kemudian kepada
lembaga-lembaga keuangan.
Adapun mekanisme SBPU nasabah, baik badan usaha maupun
perorangan, yaitu dengan mengeluarkan surat aksep atau wesel untuk
mendapatkan dana dari bank atau lembaga keuangan non-bank, kemudian suratsurat berharga ini diperjualbelikan oleh bank atau lembaga keuangan non-bank
melalui security house yang akan memperjualbelikan dengan BI.9
Pasar Uang Bedasarkan Prinsip Syari'ah
9
Ibid. h. 24-25. Lihat juga Faried Wijaya dan Soetatwo Hadiwigeno, Lembaga-lembaga
Keuangan dan Bank, Perkembangan, Teori dan Kebijakan, Edisi 2 (Yogyakarta: BPFE, 1999), h.
393-394.
Jurnal Ekspose
Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81
Islam memandang uang hanyalah sebagai alat tukar, bukan sebagai
komoditas atau barang dagangan. Maka motif permintaan terhadap uang adalah
untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demad for transaction), bukan
untuk spekulasi atau trading. Islam tidak mengenal spekulasi (money demand for
speculation). Karena pada hakikatnya uang adalah milik Allah Swt. yang
diamanahkan kepada kita untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan
masyarakat. Dalam pandangan Islam uang adalah flow concept, karen itu ia harus
selalu berputar dalam perekonomian, sebab semakin cepat uang itu berputar dalam
perekonomian, maka semakin tinggi pula tingkat pendapatan masyarakat dan akan
semakin baik pula keadaan perekonomian.10
Lalu bagaimana dengan kegiatan Pasar Uang Antarbank Berdasarkan
Prinsip Syariah (PUAS). PUAS adalah kegiatan transaksi keuangan jangka
pendek antarbank berdasarkan prinsip syari'ah baik dalam rupiah maupun valuta
asing.11 Untuk mengetahui secara pasti apakah PUAS dibolehkan atau tidak, ia
harus dibandingkan dengan pasar uang antarbank berdasarkan prinsip
konvensional.
Pada dasarnya antara keduanya (pasar uang konvensional dan pasar uang
syari'ah) memiliki beberapa fungsi yang sama, di antaranya sebagai pengatur
likuiditas. Jika bank memiliki kelebihan likuiditas, ia dapat menggunakan
instrumen pasar uang untuk menginvestasikan dananya, dan apabila kekurangan
likuiditas, maka ia dapat menerbitkan instrumen yang dapat dijual untuk
mendapatkan dana tunai. Namun pada sisi lain, keduanya memiliki perbedaan
yang mendasar pada mekanisme penerbitannya, dan pada sifat instrumen itu
sendiri. Pada pasar uang konvensional, instrumen yang diterbitkan adalah
instrumen hutang yang dijual dengan diskon dan didasarkan atas perhitungan
10
Muhammad Syafi'I Antonio, Bank Syari'ah…., h. 185, dan lihat juga Sudarsono, Heri,
Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Diskripsi dan Ilustrasi (Yogyakarta: EKONISIA, 2003), h.
76.
11
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/5/PBI tanggal 30 Maret 2007 tentang Pasar Uang
Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah.
Jurnal Ekspose
Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81
bunga, sedangkan pasar uang syari'ah, lebih kompleks dan mendekati mekanisme
pasar modal.12
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional
Berdasarkan Prinsip Syari'ah
Tentang
Pasar
Uang
Antarbank
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.: 37/DSNMUI/X/2002, tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah,
adalah sebagai berikut:
Menimbang :
a. Bahwa bank syari'ah dapat mengalami kekurangan likuiditas disebabkan oleh
perbedaan jangka waktu antara penerimaan dan penanaman dana atau
kelebihan likuiditas yang dapat terjadi karena dana yang terhimpun belum
dapat disalurkan kepada pihak yang memerlukan.
b. Bahwa dalam rangka peningkatan efisiensi pengelolaan dana, bank yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah memerlukan adanya
pasar uang antarbank.
c. Bahwa untuk memenuhi keperluan itu, dipandang perlu menetapkan fatwa
tentang pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah.
Mengingat :
a. Firman Allah dalam QS. Al-Maidah (5): 1: Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
b. Firman Allah dalam QS. an-Nisa (4): 58: Artinya: Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.
c. Firman Allah dalam QS. al-Baqarah (2): 275: Artinya: Allah Telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
d. Firman Allah dalam QS. al-Baqarah (2): 278: Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
12
Cecep Maskanul Hakim (Peneliti Biro Perbankan Syariah BI), “Mengenal Pasar Uang
Syariah”, Artikel, Dikuti dari www.republika.com, Diakses pada tanggal 28 Desember 2010.
Jurnal Ekspose
Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81
e. Firman Allah dalam QS. al-Baqarah (2): 280: Artinya: Dan jika (orang yang
berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih
baik bagimu, jika kamu mengetahui.
f. Firman Allah dalam QS. An-Nisa (4): 29: Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka samasuka di antara kamu.
g. Firman Allah dalam QS. al-Maidah (5): 2: Artinya: Dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolongmenolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu
kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
h. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: Artinya: Kaum muslimin
terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram.
i. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib: Artinya: Nabi bersabda: ‘Ada
tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan
rumah tangga, bukan untuk dijual.
j. Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah berkata: Artinya:
Allah Swt. berfiman: Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang
bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika
salah satu pihak telah berkhianat, aku keluar dari mereka.
k. Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari
Abu Hurairah: Artinya: Rasulullah s.a.w melarang jual beli yang mengandung
gharar.
l. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari
Ibnu Abbas, dan riwayat Imam Malik dari Yahya: Artinya: Tidak boleh
membahayakan orang lain dan menolak bahaya dengan bahaya yang lain.
m. Kaidah-kaidah Fiqh yang artinya:
Jurnal Ekspose
Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81
- Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.
- Segala madharat (bahaya) harus dihindarkan sedapat mungkin.
- Segala madharat (bahaya) harus dihilangkan.
- Tindakan imam (pemegang otoritas) terhadap rakyat harus mengikuti
maslahat.
- Mencegah mafsadat (kerusakan) harus didahulukan daripada mengambil
kemaslahatan.
Dewan Syari’ah Nasional menetapkan: Fatwa Tentang Pasar Uang Antar Bank
Berdasarkan Prinsip Syari'ah
Pertama : Ketentuan Umum
1. Pasar uang antar bank yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu
pasar uang antarbank yang berdasarkan bunga.
2. Pasar uang antarbank yang dibenarkan menurut syariah yaitu pasar
uang antarbank yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
3. Pasar uang antarbank berdasarkan prinsip Syariah adalah kegiatan
transaksi keuangan jangka pendek antarpeserta pasar berdasarkan
prinsip-prinsip syariah.
4. Peserta pasar uang sebagaimana tersebut dalam butir 3, adalah:
a. Bank syariah sebagai pemilik atau penerima dana
b. Bank konvensional hanya sebagai pemilik dana
Kedua : Ketentuan Khusus
1. Akad yang dapat digunakan dalam Pasar Uang Antar Bank
berdasarkan prinsip Syariah adalah:
a.
Mudharabah (Muqaradhah)/Qiradh
b. Musyarakah
c. Qardh
d. Wadi’ah
e. Al-Sharf
Jurnal Ekspose
Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81
2. Pemindahan kepemilikan instrumen pasar uang sebagaimana tersebut
dalam butir 1, menggunakan akad-akad syariah yang digunakan dan
hanya boleh dipindahtangankan sekali.
Ketiga : Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan
arbitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyarawah
Keempat : Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan
sebagaimana mestinya. Ditetapkan di Jakarta, tanggal 06 Sya'ban 1423 H / 23
Oktober 2002 M.13
Analisis Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Tentang Pasar Uang Antarbank
Berdasarkan Prinsip Syari'ah
Jika ditinjau dari segi perumusan sercara umum fatwa ini diawali dengan
mengemukakan pertimbangan-pertimbangan dikeluarkannya fatwa, diikuti
dengan kutipan dalil-dalil baik yang mengacu pada al-Qur'an, Hadits, maupun
kaidah fiqh dan terakhir adalah keputusan.
Semestinya dalam perumusannya perlu dijelaskan terlebih dahulu
mengenai pengertian dan maksud dari pasar uang antarbank yang dimaksudkan
dalam fatwa ini. Sehingga pengertian pasar uang yang dimaksud menjadi jelas
dan tidak menimbulkan salah pengertian. Paling tidak semestinya dijelaskan
dalam lampiran.
Dari segi pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan dalam fatwa ini
ada tiga poin (sebagaimana telah disebutkan di depan), semestinya melihat juga
pada realitas perjanjian-perjanjian antara pihak pemilik dana dan pihak yang
membutuhkan dana, sebab dalam kegiatan pasar uang seringkali terjadi perjanjian
13
Tim Penulis Dewan Syari'ah Nasional MUI, Himpunan Fatwa…, h. 238-244.
Jurnal Ekspose
Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81
pembelian kembali (purchase agreement) dana dari si penjual semula, termasuk
jaminan pembelian kembali jika dijanjikan oleh si penjual sendiri.
Adapun dari dalil-dalil yang dikemukakan oleh fatwa ini secara umum
terdiri dari dalil-dalil al-Qur’an yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Fatwa
ini juga menggunakan dalil-dalil dari hadits yang berkaitan dengan transaksitransaksi dalam pasar uang, kemudian merujuk pula pada kaidah-kaidah fiqh
yangcukup memadai dan sudah dikenal secara umum, serta dilengkapi dengan
ijma’ atau kesepakatan ulama mengenai hal tersebut. Namun dalil-dalil yang
dikemukakan pada umumnya sama dengan dalil-dalil yang digunakan untuk
memfatwakan masalah jual beli valuta asing, bursa saham dan lain sebagainya
Dari segi keputusan-keputusan yang tertuang dalam dalam fatwa tersebut
disebutkan bahwa pasar uang antarbank yang dibenarkan adalah yang tidak
menggunakan bunga, dan akad-akad yang dianjurkan adalah mudharabah,
musyarakah, qard, wadiah, maupun sharf, dan kepemilikan atas instrumen pasar
hanya dapat dipindahtangankan satu kali saja. Namun dalam realitanya akad akad
yang sering digunakan adalah mudharabah dan wadi’ah. Sedangkan untuk akadakad seperti qard dan sharf jarang digunakan. Hal ini terjadi karena pada bank
syariah instrumen yang disediakan dalam pasar uang ini berupa IMA (Sertifikat
Investasi Mudharabah Antarbank), SBPU (Surat Berharga Pasar Uang)
Mudharabah dan SWBI (Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia).
Sedangkan mengenai instrumen apa yang dipakai dalam pasar uang
berprinsip syari'ah, di dalam fatwa itu juga tidak diberikan penjelasan bagaimana
mekanismenya jika dilakukan dalam pasar uang. Namun dalam Islam, sebuah
instrumen merupakan perwakilan dari kepemilikan atau harta. Oleh karena itu
instrumen dapat diperjualbelikan jika terdapat asset atau transaksi yang
mendasarinya. Ada dua metode dalam penerbitan instrumen oleh bank syariah,
pertama, satu prinsip untuk berbagai transaksi. Prinsip yang digunakan adalah
bagi hasil (mudharabah/musyarakah) untuk berbagai transaksi, seperti jual-beli,
sewa, dan lain-lain; kedua, satu prinsip untuk satu transaksi. Metode ini
menyerupai fund dalam pasar modal.
Jurnal Ekspose
Adapun
Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81
dalam
prinsip
bagi
hasil
(mudharabah/musyarakah)
mengakibatkan kepemilikan usaha pada sisi pemilik dana, ketika aset-aset bank
syariah disekuritisasi dan instrumennya dijual ke pasar, maka pembeli instrument
tersebut menjadi pemilik modal baru yang menggantikan pemilik modal yang
lama. Aset-aset tersebut apabila dikumpulkan akan menjadi harta gabungan (maal
musytarak) yang bisa didenominasi dalam bentuk pecahan dan dijual kepada
pembeli. Penetapan harga dari instrument tersebut mengikuti hukum Islam,
artinya; harga instrumen bisa dinegosiasikan antara penjual dan pembeli, sehingga
dapat menyebabkan naik turunnya harga harga instrumen tersebut. Instrumeninstrumen ini pun bisa menjadi alternatif investasi bagi bank syariah di Indonesia,
terutama ketika mengalami kelebihan likuiditas.
Asumsi perbankan konvensional yang menggunakan hutang sebagai
instrumen masih melekat di dunia perbankan. Terlebih dalam UU No. 7 Tahun
1992 sebagaimana disempurnakan oleh UU No. 10 Tahun 1998 tentang
perbankan, bank umum(termasuk bank syari'ah) hanya dibolehkan melakukan
pembelian instrument investasi dalam bentuk pendapatan tetap (fixed income).14
Sementara itu, melalui transaksi pasar uang antarbank syariah, semua bank
umum tak terkecuali syariah bisa menempatkan dana dalam bentuk Sertifikat
Investasi Antarbank (IMA) yang diterbitkan bank syariah yang mengalami
kesulitan likuiditas. Dengan membeli IMA, pengembalian investasi atau pinjaman
akan dibayarkan ketika IMA jatuh tempo. Jadi bank yang membeli profit sharing
pembagian hasil dan bukannya bunga.15 Intinya dalam pasar uang berprinsip
syariah instrumen yang diperjualbelikan adalah pada tahap pertama (first level
scuritization), instrumen ini akan menjadi instrumen derivatif apabila
14
Cecep Maskanul Hakim, “Mengenal Pasar Uang Syari'ah”, 28 Desember 2010.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI, Konsep, Produk dan Implementasi
Operasional Bank Syari'ah (Jakarta: Djambatan, 2001), h. 276. Pasar uang antarbank syariah
menggunakan instrumen/piranti sertifikat investasi mudharabah antarabank IMA yang berjangka
waktu maksimum 90 hari diterbitkan oleh kantor pusat bank syari'ah atau unit usaha syari'ah bank
konvensional. Ketentuan-ketentuan IMA sebagaimana berikut: (1) Pemindahan sertifikat IMA
hanya dapat dilakukan oleh bank penanam dana pertama, sedangkan bank penanam dana kedua
tidak diperkenankan memindahtangankan sertifikat tersebut pada bank lain sampai terakhirnya
jangka waktu. (2) Besarnya imbalan sertifikat IMA yang dibayarkan pada awal bulan dihitung atas
dasar tingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah pada bank penerbit sebelum
didistribusikan sesuai jangka waktu penanaman.
15
Jurnal Ekspose
Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81
disekuritisasi kembali (second level securitization) yang disepakati oleh para
ulama untuk tidak diperjualbelikan.
Hal yang perlu menjadi catatan dalam pasar uang ini, yaitu bahwa dalam
Islam, yang dibolehkan adalah penjualan bukti kepemilikan, bukan jual-beli
sertifikat atas bukti kepemilikan.16 Karena sertifikat itu itu hanya mewakili harta
yang dimiliki, namun karena bank syariah hanya berada pada sekuritas tahap
pertama, maka ia tidak akan mengalami percepatan kuantitas moneter (monetary
enchanment) di atas kuantitas di sektor riil.
Walaupun dalam fatwa ini masalah pasar uang berdasarkan prinsip
syari'ah dengan berbagai akad yang diperbolehkan seakan-akan telah menjadi
salah satu solusi dalam transaksi pasar uang, namun dalam masalah pasar uang ini
muncul kembali permasalahan, yaitu dalam hal perjanjian pembelian kembali
(repurchase agreement). Sebab dalam hal ini terdapat kontroversi di kalangan
ulama tentang perjanjian pembelian kembali (repurchase agreement). Karena
transaksi pasar uang syariah menggunakan perjanjian tersebut ketika melakukan
penjualan, artinya; penjual akan membeli kembali asset yang ia jual dalam jangka
waktu tertentu. Termasuk dalam kategori ini adalah jaminan pembelian kembali
(redemption guarantee) jika dijanjikan oleh si penjual sendiri. Mayoritas ulama
tidak memperkenankan perjanjian bersyarat ini. Hanya sebagian kecil dari mazhab
Hanafi yang membolehkannya dengan nama bai' al-wafa. Maka untuk mensiasati
ini bank penerbit menugaskan perusahaan lain untuk menjadi pembeli atas
instrument yang diterbitkannya.17
Implikasi Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Tentang Pasar Uang Antarbank
Berdasarkan Prinsip Syari'ah
Implikasi dari adanya fatwa Dewan Syariah Nasional No:37, yaitu: karena
dalam pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syari'ah tidak dibenarkan
16
17
Cecep Maskanul Hakim, “Mengenal Pasar Uang Syari'ah”, 28 Desember 2010.
Ibid.
Jurnal Ekspose
Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81
mengunakan bunga, maka bisa diganti dengan menggunakan alternatif akad-akad
lain seperti berikut ini:18
Pertama: Mudharabah, yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama (malik,shahib al-maal) menyediakan seluruh modal,
sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan
keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak.
Kedua: Musyarakah, yaitu akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk
usaha tertentu, dimana masing-masing pihak menberikan kontribusi dana (modal)
dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai
dengan kesepakatan.
Ketiga: al-Qardh, yaitu suatu aqad pembiayaan kepada nasabah tertentu
dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya
kepada lembaga keuangan syariah pada waktu yang telah disepakati oleh lembaga
keuangan syariah dan nasabah.
Keempat: Wadiah (titipan uang, barang dan surat-surat berharga), yaitu akad
seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya
secara layak (sebagaimana halnya kebiasaan).
Kelima: al-Sharf (jual beli valuta asing).
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian seperti yang telah diungkapkan di atas maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pasar uang yang berdasarkan prinsip syariah adalah merupakan kegiatan
transaksi keuangan (tanpa bunga) dalam waktu jangka pendek antarpeserta
pasar (bank syariah sebagai pemilik atau penerima dana dan bank
konvensional hanya sebagai pemilik dana), dengan pemindahan kepemilikan
instrumen pasar uang tersebut hanya satu kali saja. Pasar uang yang
18
289.
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 286-
Jurnal Ekspose
Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81
dibolehkan hanya pasar uang yang tidak menggunakan sistem bunga, hal ini
untuk menghindari dari riba nasi’ah karena kerugian (bahaya) dari bunga itu
lebih besar daripada keuntungan (mashlahah)-nya. Selain itu, yaitu bahwa
dalam Islam dilarang dilakukan jual-beli uang sebagai komoditi atau
spekulasi.
2. Ada tiga alasan yang dijadikan dasar Dewan Syari'ah Nasional untuk
mengeluarkan fatwa tentang pasar uang antarbank berdasarkan prinsip
syari'ah, yaitu: (1) bank syariah dapat mengalami kekurangan likuiditas
disebabkan oleh perbedaan jangka waktu antara penerimaan dan penanaman
dana atau kelebihan likuiditas yang dapat terjadi karena dana yang terhimpun
belum dapat disalurkan kepada pihak yang memerlukan; (2) dalam rangka
peningkatan efisiensi pengelolaan dana, bank yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah memerlukan adanya pasar uang antarbank; (3)
untuk memenuhi keperluan itu, maka dipandang perlu penetapan fatwa
tentang pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syari'ah.
3. Adapun implikasi dari adanya fatwa Dewan Syariah Nasional No:37, yaitu
karena dalam pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syari'ah tidak
dibenarkan mengunakan bunga, maka bisa diganti dengan menggunakan
alternatif akad-akad lain, seperti: mudharabah (muqaradhah), musyarakah,
qard, wadiah, maupun al-sharf.
Saran-saran
Dewan Syari'ah Nasional semestinya mengembangkan konsep kebijakan
dan prosedur kegiatan pasar uang dengan lebih terinci, sehingga pihak yang
melakukan transaksi tersebut dapat sesuai dengan prinsip-prinsip norma syari'ah
yang ditetapkan. Namun bagaimanapun juga fatwa Dewan Syari'ah Nasional
No:37/DSN-MUI/X/2002 dapat digunakan sebagai solusi bagi pihak-pihak (bank)
yang melakukan transaksi di pasar uang dengan memberikan alternatif akad-akad
mudharabah (muqaradhah), musyarakah, qard, wadiah, maupun al-sharf.
Jurnal Ekspose
Vol. XXI. No. 2, Desember 2012: 69-81
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi'i, Bank Syari'ah dari Teori ke Praktik, Cet. IX,
Jakarta: Gema Insani, 2005.
Boediono, Ekonomi Moneter: Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 5, Cet.
XI, Yogyakarta; BPFE, 2001.
Chapra, M. Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi: Islamisasi Ekonomi
Kontemporer, Terj. Nurhadi Ishsan dan Rifqi Amar, Cet. I, Surabaya:
Risalah Gusti, 1999.
Cipta Adi Pustaka, Ensiklopedia Ekonomi, Bisnis dan Manajemen, Jilid 2, Jakarta:
PT. Cipta Adi Pustaka, 1992.
Hakim, Cecep Maskanul (Peneliti Biro Perbankan Syariah BI), “Mengenal Pasar
Uang Syariah”, Artikel, Dikutip dari www.republika.com, Diakses pada
tanggal 28 Desember 2010.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/5/PBI tanggal 30 Maret 2007 tentang Pasar
Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah.
Purwandari, Wahyu, "Pasar Uang Berdasarkan Prinsip Syari'ah", Artikel Ekonomi
Islam, Dikutip dari www.msi-uii.net, Diakses pada tanggal 12 Desember
2010
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Diskripsi dan Ilustrasi,
Yogyakarta: EKONISIA, 2003.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Tim Pengembangan Perbankan Syari'ah IBI, Konsep, Produk dan Implementasi
Operasional Bnak Syariah, Jakarta: Djambatan, 2001.
Tim Penulis Dewan Syari'ah Nasional MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah
Nasional, Ed. II, Jakarta: PT. Intermasa 2003.
Wijaya, Faried dan Soetatwo Hadiwigeno, Lembaga-lembaga Keuangan dan
Bank, Perkembangan, Teori dan Kebijakan, Edisi 2, Yogyakarta: BPFE,
1999.
Download