25 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian

advertisement
25
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik menggunakan
desain kasus kontrol untuk menilai perbedaan polimorfisme IL-6 rs1800795 pada
pasien psoriasis vulgaris dengan kontrol.
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
1.
Penelitian dilaksanakan mulai bulan September 2015 sampai September 2016
bertempat di Poliklinik Imunodermatologi SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin RSUP HAM.
2.
Pengambilan sampel di Laboratorium Patologi Klinik RSUP HAM .
3.
Pengolahan darah sampai proses isolasi DNA dilakukan di Laboratorium
Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
4.
PCR-RFLP, pembacaan hasil eletroforesis dan sekuensing DNA dilakukan
First Base Laboratories Sdn Bhd No 7-1 to 7-3, Jalan SP 2/7 Taman Serdang
Perdana, Seksyen 2, Seri Kembangan 43300, Selangor, Malaysia.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1. Populasi Target
Semua pasien yang didiagnosis psoriasis vulgaris.
25
Universitas Sumatera Utara
26
3.3.2. Populasi Terjangkau
Semua pasien psoriasis vulgaris yang datang berobat ke Poliklinik
Imunodermatologi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin/RSUP. H. Adam Malik
Medan dari bulan September 2015 sampai September 2016.
3.3.3. Sampel Penelitian
Bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi.
3.3.3.1. Kontrol
Individu yang tidak menderita psoriasis vulgaris yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi.
3.4. Besar Sampel
Besar sampel dihitung menggunakan formula uji hipotesis beda proporsi
utuk dua populasi sebagai berikut:
n1 = n2 =
𝑧𝛼 2𝑝𝑞 +𝑧 𝛽 𝑝 1 𝑞 1 +𝑝2 𝑞2
𝑝 1 −𝑝 2
2
dimana :
n1
:
Besar sampel kelompok kasus
n2
:
Besar sampel kelompok kontrol
zα
:
5% = 1,96
zβ
:
10% = 1,282
p2
:
Proporsi pasien dengan alel GG IL-6 rs 1800795 pada pasien
Psoriasis vulgaris dari studi Settin et al. (2009) = 67,4% = 0,67
p2-p1
:
Selisih proporsi genotif GG IL-6 rs1800795 pada pasien Psoriasis
Universitas Sumatera Utara
27
vulgaris dari studi Settin et al. (2009) dengan proporsi genotif GG
IL-6 pada pasien Psoriasis vulgaris dari studi yang akan
dilaksanakan (clinical judgement) = 10% = 0,1
Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus di atas diperoleh besar
sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 45 orang pada masing-masing
kelompok.
3.5. Cara Pengambilan Sampel Penelitian
Cara pengambilan sampel penelitian dilakukan menggunakan metode
consecutive sampling.
3.6. Identifikasi Variabel
3.6.1. Variabel bebas
: Polimorfisme gen IL-6 rs1800795.
3.6.2. Variabel terikat
: Psoriasis vulgaris
3.7. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.7.1.
Kriteria Inklusi Sampel
1.
Pasien yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien psoriasis vulgaris.
2.
Berusia 30-65 tahun.
3.
Tidak memiliki riwayat psoriasis dalam keluarga
4.
Bersedia ikut serta dalam penelitian dan menandatangani informed consent.
Universitas Sumatera Utara
28
3.7.2. Kriteria Ekslusi Sampel
1.
Pasien psoriasis vulgaris yang sedang hamil dan menyusui.
2.
Pasien psoriasis vulgaris yang menderita penyakit fibrosis, inflamasi kronis,
keganasan, dan penyakit auto imun (Lupus eritematous sistemic, Sjogren
syndrome, Churg- strauss syndrome, Idiopatic trombopenic purpura dan
dermatitis atopik.
3.7.3. Kriteria Inklusi Kontrol
1.
Tidak menderita psoriasis.
2.
Tidak memiliki riwayat psoriasis dalam keluarga.
3.
Berusia 30-65 tahun.
4.
Bersedia ikut serta dalam penelitian dan menandatangani informed consent.
3.7.4. Kriteria Eksklusi Kontrol
1.
Individu yang sedang hamil dan menyusui.
2.
Seseorang yang menderita penyakit fibrosis, inflamasi kronis, keganasan, dan
penyakit auto imun (Lupus eritematous sistemic, Sjogren syndrome, Churgstrauss syndrome, Idiopatic trombopenic purpura dan alergi.
3.8. Cara Penelitian
3.8.1. Penjelasan Kepada Pasien
Penjelasan kepada pasien mengenai tujuan, cara, dan manfaat pemeriksaan
ini serta mengenai dan selanjutnya pada pasien yang akan menjadi sampel
terlebih dahulu menandatangani informed consent.
Universitas Sumatera Utara
29
3.8.2. Pencatatan Data Dasar
a.
Pencatatan
data
dasar
dilakukan
oleh
peneliti
di
Poliklinik
Imunodermatologi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam
Malik Medan seperti nama, jenis kelamin, tempat/ tanggal lahir, alamat,
nomor telepon, dan pekerjaan.
b.
Diagnosis klinis psoriasis vulgaris ditegakkan oleh peneliti bersama dengan
pembimbing di Poliklinik Imunodermatologi Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan
3.8.3. Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat
Alat yang digunakan Kit Invitrogen, Polymerase Chain Reaction (PCR) dan
Sequencer.
Gambar 3.1. Kit Invitrogen
2.
Bahan
a.
Bahan yang digunakan adalah darah vena sebanyak 5 cc.
b.
Larutan buffer lisis, buffer pencuci , buffer digesti.
c.
Primer 50-GCC TCA ATGACG ACC TAA GC-30 dan 50-TCA TGG
GAA AAT CCC ACA TT-30.
d.
Enzim NlaIII untuk pemotongan Dna.
Universitas Sumatera Utara
30
3.8.4. Cara Pemeriksaan
1. Sampel darah diambil sebanyak 5cc oleh petugas di Instalasi Patologi Klinik
RSUP. H. Adam Malik Medan. Cara pengambilan darah adalah dari vena
mediana cubiti dengan menggunakan alat suntik steril ukuran 5 cc.
2. Setelah sampel darah diambil, sampel tersebut segera diberi label identitas
dan disimpan pada tabung ependorf pada suhu -700C.
3. Kemudian dilakukan isolasi DNA ( kit invitrogen) dengan langkah- langkah
sebagai berikut :
Gambar 3.2. Proses ekstraksi DNA
a.
Ambil darah 200 µl masukkan ke dalam tabung mikrocentrifuge 1,5 ml
kemudian ditambahkan 20 µl Proteinase K dan 20 µl RNase A, lalu di
vortex ( untuk pemerataaan pencampuran).
b.
Inkubasi 2 menit pada temperatur kamar (20-25oC).
c.
Tambahkan 200 µl Lysis Buffer, lalu di vortex.
d.
Inkubasi 55 oC selama 10 menit
e.
Tambahkan 200 µl etanol absolut, lalu di vortex.
f.
Ambil 640 µl lysate, masukkan ke dalam spin column yang telah
dirangkai dengan collection tube.
Universitas Sumatera Utara
31
Gambar 3.3. Spin Column yang Telah Dirangkai Dengan Collection Tube
g.
Centrifuge 10.000 rpm selama 1 menit.
h.
Buang collection tube.
Gambar 3.4. Collection Tube
i.
Rangkai spin column pada collection tube yang baru.
j.
Tambahkan 500 µl wash Buffer I, centrifuge 10.000 rpm selama 1 menit.
k.
Buang collection tube.
l.
Rangkai spin column pada collection tube yang baru.
m. Tambahkan 500 µl wash buffer II, centrifuge dengan kecepatan
maksimum selama 3 menit.
n.
Buang collection tube
o.
Tempatkan spin column pada tabung mikrocentrifuge 1,5 ml.
p.
Tambahkan 25-200 µl Elution Buffer, inkubasi 1 menit pada suhu kamar.
q.
Kemudian centrifuge dengan kecepatan maksimum selama 1 menit.
Universitas Sumatera Utara
32
r.
Buang spin column, simpan DNA pada -20oC
4. Setelah dilakukan isolasi DNA, lalu di PCR dengan menggunakan alat dan
bahan sebagai berikut:
ALAT
Mikropipet uk. 0,5-10 l
Mikropipet uk. 10-100 l
Mikropipet uk. 20-200 l
Mikrosentrifuge
Tabung Mikrosentrifuge
Tabung PCR uk.0,2 ml
Thermal Cycler
Vortex
BAHAN
DNA dari darah
Buffer TAE 7,4
Master Mix PCR
Primer Forward 10 pmol
Primer Reverse 10 pmol
Nuclease Free water
Enzim NlaIII
5. PCR dilakukan dengan cara :
a.
Keluarkan seluruh bahan dari kulkas, tempatkan diatas rak es yang
dingin, biarkan mencair dengan perlahan.
b.
Centrifuge seluruh bahan dengan kecepatan sedang, agar cairan yang
menempel pada bagian tutup dan dinding tabung seluruhnya terkumpul
di tabung.
c.
Ambil 1 tabung microcentrifuge ukuran 1,5 ml tandai dengan kode MIX
PCR.
d.
Sedotlah bahan-bahan diatas (isolasi DNA) dengan menggunakan pipet
tetes ukuran mikro liter sebagai berikut:
Bahan
Master Mix PCR 2X
Primer Forward 10 pmol
Primer Reverse 10 pmol
Nuclease Free water
Template DNA
Total
e.
Volume (1 sampel)
12,5l
1l
1l
8,5l
2l
25 l
Ambil tabung PCR ukuran 0,2 l, susun diatas rak besi yang dingin
Universitas Sumatera Utara
33
f.
Pipet Mix PCR sebanyak 23 l ke masing-masing tabung PCR.
Vol mix PCR/tabung = total volume – vol
DNA = 25 – 2,5 = 22,5 l
g.
Kemudian pipet 2 l template DNA masukkan ke tabung PCR yang
berisi Mix PCR (dikerjakan untuk setiap masing-masing sampel DNA).
Gambar 3.5. Mix PCR
h.
Centrifuge sebentar + 2 menit untuk menurunkan cairan yang tinggal
didinding tabung.
i.
Hidupkan alat Thermal cycler.
j.
Biarkan 10 menit warm up.
k.
Masukkan sampel ke dalam blok-blok yang terdapat pada alat thermal
cycler.
Gambar 3.6. Alat Thermal Cycle
Universitas Sumatera Utara
34
l.
Atur temperatur sesuai program yang diinginkan sebagai berikut :
Hot start
Denaturasi
Annealing
Extensi
Further extension
Soaking
Temp(oC)
94
94
58
72
72
4
Waktu
5 menit
45 detik
45 detik
1 menit
7 menit
10 menit
Jlh Cycle
1
35
35
30
1
1
m. Jalankan alat thermal cycler
n.
6.
Biarkan sampai alat selesai bekerja.
Langkah terakhir pembacaan hasil PCR dengan tehnik eletroforesis agarose,
dengan langkah sebagai berikut :
Gambar 3.7. Proses Eletroforesis
a.
Siapkan casting tray dengan kapasitas 32 sampel dengan volume 130 ml.
Pasang “comb” (sisir) pada pertengahan “tray” (plat cetakan) dan satu
sisir lagi pada ujungnya.
Gambar 3.8. Alat Casting Tray
b.
Buatlah larutan agarose, misalnya
larutan agarose 2 % dengan
perhitungan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
35
% agarose X volume casting tray = Berat Agarose
2/100 X 130 ml = 2,6 gram.
c.
Maka, timbanglah 2,6 gram agarose, kemudian dilarutkan dengan 130 ml
larutan TAE 1X.
d.
Panaskan diatas hot plate atau dalam microwave
sampai mendidih,
dinginkan sampai hangat kuku.
e.
Tambahkan 1,5 µl Ethidium Bromide, aduk menggunakan stirrer.
f.
Tuangkan larutan agarose ke casting tray, biarkan sampai beku.
g.
Bila gel sudah beku, lepaskan comb secara hati-hati.
h.
Letakkan gel di dalam elektroforesis tank yang sudah berisi larutan 1X
TAE.
i.
Masukkan sampel-sampel ke dalam well sebanyak 7 µl dan DNA Marker
sebanyak 5 µl
j.
Nyalakan mesin elektroforesis selama 70 menit dengan tegangan 80 V.
Sampel-sampelnya akan mulai bergerak ke katode, (DNA bermuatan
negatif)
k.
Matikan mesin elektroforesis.
l.
Keluarkan gel dari casting tray dan letakkan pada alat gel documentation
system. Foto hasilnya
Universitas Sumatera Utara
36
Gambar 3.9. Ruler DNA base pair
m. Setelah hasil di foto, maka dilakukan sekuensing dengan cara
menterjermahkan urutan basa nitrogen dengan cara: 56-58
1.
Tahapan sekuensing yang pertama adalah menyediakan dsDNA
(double strand DNA) .
Gambar 3.10. Double Strand DNA
2.
Memotong dsDNA (double strand DNA) menjadi ssDNA (single
strand DNA) .
Gambar 3.11. Single Strand DNA
3.
Mengambil template (cetakan) DNA dari ssDNA hasil potongan
dari dsDNA.
Gambar 3.12. Template DNA
Universitas Sumatera Utara
37
4.
Menyediakan seluruh alat dan bahan untuk sekuensing DNA.
Bahan untuk sekuensing adalah template (cetakan) DNA, primer,
dNTP, ddNTP dan enzym polymerase.
5.
Menyiapkan 4 tabung reaksi. Masing-masing tabung reaksi
diberikan ddNTP, yaitu ddGTP, ddCTP, ddATP, dan ddTTP.
Masing- masing tabung reaksi diisi dengan ddNTP yang berbeda.
Tabung pertama diisi dengan ddGTP, tabung kedua diisi dengan
ddCTP, tabung ketiga diisi dengan ddATP, dan tabung keempat
diisi dengan ddTTP.
Gambar 3.13. Tabung Reaksi
6.
Setelah masing-masing tabung diisi dengan ddNTP, kemudian
masing-masing tabung diisi dengan dNTP, sebagai sumber
nukleotida pada proses polimerasi. Yaitu dGTP, dCTP, dATP, dan
dTTP.
Gambar 3.14. Tabung Reaksi Nukleotida DNA
Universitas Sumatera Utara
38
7.
Kemudian memasukkan primer ke dalam tabung reaksi. Primer
berfungsi mengenali situs spesifik pada DNA template, juga
berfungsi sebagai landasan/pijakan untuk memulai polimerisasi.
8.
Setelah pemberian primer, juga dimasukkan enzim polimerase (taqpolymerase).
9.
Keempat tabung reaksi tersebut dipersiapkan untuk di alirkan pada
gel agarosa .
Gambar 3.15. Gel Agarosa
10.
Perbedaan
panjang
polinukleotida
tersebut,
mengakibatkan
perbedaan letak pada gel agarosa. Polinukleotida yang paling
pendek bermigrasi/pergerakannya paling cepat pada gel agarosa.
11.
Hasil pembacaan sekeuensing dari arah 5’ ke 3’ adalah rantai
kompemen,
yaitu
5’
AGCCGATCC
3’.
Sehingga
DNA
templatenya adalah 5’ GGATCGGCT 3’
Gambar 3.16. Hasil Sekuensing
Universitas Sumatera Utara
39
12.
Langkah terakhir adalah pembacaan mesin hasil dengan mesin
sequencer disebut electropherogram, yaitu peak-peak berwarna
yang menunjukkan urutan basa DNA-nya.
3.8.5. Prinsip Pengujian
Prinsip Restriction fragment length polymorphism (RFLP) ini untuk
menandai / memisahkan suatu fragmen dari genom yang mengandung sifat
genetik yang penting. Analisis RFLP sering digunakan untuk mendeteksi lokasi
genetik dalam kromosom yang menyandi penyakit yang diturunkan atau untuk
mendeteksi adanya keragaman gen yang berhubungan dengan sifat. Tehnik ini
dapat melihat mutasi pada daerah non-coding DNA dan menyebabkan perbedaan
tempat pemotongan oleh enzim dan dapat dipisahkan melalui elektroforesis gel
agarosa. Perbedaan potongan atau polimorfisme yang dihasilkan akan diturunkan
ke generasi berikutnya.53,54
Metode RFLP berbasis biologi molekuler digunakan untuk mengetahui
diversitas suatu gen. RFLP banyak digunakan untuk menentukan status penyakit
yang diidap seseorang (pengidap atau carier penyakit). Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi polimorfisme gen pada seseorang diantaranya faktor genetik
ataupun karena lingkungan.55
Gambar 3.17. Kromosom Basa Protein
Universitas Sumatera Utara
40
3.8.6. Sekuensing DNA
Sekuensing merupakan penentuan urutan basa DNA dalam segmen
molekul DNA yang relatif pendek. Pengurutan asam nukleat digunakan untuk
mengetahui kode genetik dari molekul DNA atau dengan kata lain tehnik untuk
penentuan urutan basa nukleotida pada molekul DNA, urutan ini dikenal dengan
sekuen DNA.56
DNA sekuensing menggunakan metode PCR sebagai landasannya, DNA
yang akan ditentukan urutan basa ACGT-nya dijadikan sebagai cetakan (template)
untuk kemudian diamplifikasikan menggunakan enzim dan bahan-bahan yang
mirip dengan reaksi PCR, namun ada penambahan beberapa pereaksi tertentu,
proses ini dinamakan cycle sequensing.57
Dengan teknik ini visualisasi dan penentuan urutan basa dapat dilakukan
dengan lebih mudah karena keempat reaksi nukleotida dipisahkan dalam satu jalur
elektroporesis dengan 4 warna berbeda ( A,T,G,C). Sintesis DNA secara
enzimatik terjadi melalui pembentukan secara berurut ikatan fosfodiester antara
gugus fosfat ujung 5’ bebas dari nukleotida baru dengan gugus OH dari ujung 3’
rantai yang sedang memanjang. proses ini berlangsung sepanjang molekul DNA.
Dideoksinukleotida tidak mempunyai gugus OH pada ujung 3’nya, melainkan
gugus H. Adanya dideoksinukleotida menyebabkan sintesis DNA terhenti, karena
ikatan difosfat tidak terbentuk. Pemanjangan rantai kan terhenti pada titik ini dan
basa terakhir diujung 3’ rantainya dalah sebuah terminator dideoksi. 58
Proses
sekuensing
DNA
memerlukan
dNTP
dan
ddNTP.
Deoxyribonucleoside triphosphates (dNTP) sebagai pembentuk basa komplemen
pada hasil cetakan DNA. dNTP mengandung gula deoksirobosa dan sebuah basa
Universitas Sumatera Utara
41
nitrogen (nukleosida) yang terikat dengan gugus fosfat. dNTP terdiri dari empat
jenis yaitu deoksiadenosin trifosfat (dATP), deoksitimidin trifosfat (dTTP),
deoksitidin
trifosfat
(dCTP),
dan
deoksiguanosin
trifosfat
(dGTP).
Dideoxyribonucleoside triphosphates (ddNTP) merupakan modifikasi dNTP yang
memiliki struktur yang identik dengan dNTP namun telah kehilangan grup –OH
pada 3’. Seperti dNTP, ddNTP memiliki3 grup fosfat di ujung 5’ dan bekerja
sama untuk membuat rantai DNA. Ketika ddNTP telah bergabung dengan rantai
DNA, tidak ada nukleotida yang dapat ditambahkan karena tidak ada grup –OH
pada 3’ untuk membentuk ikatan fosfodiester dengan nukleotida yang baru. Oleh
sebab itu, ddNTP menghentikan proses sintesis DNA.56,58
Metode sekuensing otomatis terbagi menjadi beberapa tahapan yaitu
preparasi sampel, cycle sequencing, purifikasi, dan DNA sequencing. Hal yang
dilakukan dalam tahap preparasi sampel antara lain mengamplifikasi sekuens
DNA target dengan PCR, memvisualisasi dan memisahkan sekuens DNA target
menggunakan elektroforesis, serta memurifikasi sekuens DNA tersebut. Hal yang
dilakukan dalam tahap cycle sequencing yaitu mengamplifikasi sekuen DNA
target menggunakan ddNTPs yang telah terlabeli zat fluorescent. Tahap
selanjutnya yaitu purifikasi yang dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan
ddNTPs berlebih yang dapat mengganggu pembacaan sekuen pada mesin
sequencer. Hasil pembacaan oleh mesin sequencer yaitu elektroferogram yang
berbentuk seperti kurva naik turun dengan warna yang berbeda. Warna biru
menunjukan basa C, warna merah menunjukan basa T, warna hitam menunjukan
basa G, warna hijau meunjukan basa A, dan warna ungu atau biru muda
menunjukan N (error).57
Universitas Sumatera Utara
42
Teknik DNA Sequencing yang berbasis fragment analisis saat ini tidak
hanya digunakan untuk menentukan urutan basa-basa DNA semata, tapi bisa
dikembangkan untuk berbagai aplikasi, seperti penentuan SNP, analisa keragaman
genetik seperti DNA Microsatellite dan AFLP (Amplified Fragment Length
Polymorphism), community analysis seperti tRFLP (Terminal Restriction
Fragment Length Polymorphism) dan segudang aplikasi lainnya.58
3.9.
1.
Definisi Operasional
Psoriasis vulgaris
Definisi : Psoriasis vulgaris merupakan penyakit peradangan kulit kronis
dengan gejala klinis plak eritema berbatas tegas yang ditutupi sisik tebal
berwarna keperakan.
Alat ukur : Psoriasis vulgaris ditegakkan berdasarkan gambaran klinis.
Cara ukur : Melihat gambaran klinis yang dilakukan oleh peneliti
didampingi pembimbing.
Hasil ukur : Gambaran klinis yang menunjukkan hasil positif.
Skala ukur : Nominal
2.
Kontrol
Definisi : Individu normal tanpa riwayat keluarga dengan psoriasis, tidak
menderita penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe 1, Lupus erotematosus
sistemic, Sjogren syndrome,Churg-Strauss syndrome, Idiopatic trombopenic
purpura,dan alergi. Umur dan jenis kelamin disesuaikan.
Alat ukur : Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis .
Universitas Sumatera Utara
43
Cara ukur : Melihat gambaran klinis yang dilakukan oleh peneliti
didampingi pembimbing.
Hasil ukur : Non- prsoriasis vulgaris dan bukan Autoimun
Skala ukur : Nominal
3.
Polimorfisme Nukleotida Tunggal
Definisi : Variasi urutan DNA yang terjadi ketika sebuah nukleotida tunggal A, T, C atau G - dalam genom (atau urutan bersama lainnya) berbeda antara
anggota suatu spesies biologis atau kromosom dipasangkan pada manusia.
Cara ukur : DNA dari IL6 rs 1800795 di PCR-RFLP menggunakan enzim
NlaIII serta primer 50-GCC TCA ATGACG ACC TAA GC-30 dan 50-TCA
TGG GAA AAT CCC ACA TT-30.
Alat ukur :
Dengan tehnik Polymerase Chain Reaction (PCR) based
Restriction Fragment Length polymorphism (RFLP).
Hasil ukur : Ditemukan lokus yang sama pada polimorfisme Nukleotida
Tunggal gen IL-6 rs 1800795 atau ditemukan variasi gen pada pasien
psoriasis vulgaris.
Skala ukur : Nominal
Universitas Sumatera Utara
44
3.10.
Kerangka Operasional
Individu yang datang ke poliklinik Divisi Imunodermatologi
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam
Malik Medan.
Anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan dermatologis
Pasien Psoriasis Vulgaris yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
Kontrol yang memenuhi
kriteria inklusi eksklusi
Pemeriksaan Polimorfisme
Nukleotida tunggal gen IL-6
rs 1800795
Pemeriksaan Polimorfisme
Nukleotida tunggal gen IL-6 rs
1800795
Dihubungkan
Gambar 3.18. Kerangka Operasional
3.11.
Pengolahan dan Analisis Data
Data-data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan sistem
komputer. Data kategorikal (skala nominal) disajikan dengan menampilkan
distribusi frekuensi dan persentase.
Uji Chi Square digunakan untuk menguji hipotesis adanya peran
polimorfisme nukleotida tunggal gen IL-6 rs 1800795 pada kejadian psoriasis
vulgaris pada signifikansi nilai p < 0,05 dengan menampilkan nilai Odds Rasio
(OR) dan 95% confidence interval.
Universitas Sumatera Utara
45
Apabila penelitian ini tidak memenuhi syarat dari uji Chi-Square maka,
akan dilakukan uji alternatif dengan menggunakan uji Fisher’s Exact.
3.12.
Ethical Clearance
Penelitian ini dilakukan setelah memperoleh ethical clearance dari komisi
etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara nomor 19/ KOMET/FK
USU/2016.
Universitas Sumatera Utara
46
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini subyek penelitian yang diikut sertakan adalah pasien
psoriasis vulgaris dan individu sehat sebagai kontrol yang memenuhi kriteria
inklusi dan ekslusi berjumlah masing-masing 45 orang subyek. Data demografis
pasien dan kelompok kontrol disesuaikan.
4.1. Karakteristik Pasien Psoriasis Vulgaris
Karakteristik demografi pasien psoriasis vulgaris dan kontrol berdasarkan
jenis kelamin, usia, dan suku/ ras, disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 4.1. Karakteristik Demografi Pasien Psoriasis Vulgaris dan Kontrol
Karakteristik
Persentase (%)
Kasus (n = 45)
Kontrol (n = 45)
14 (31,1)
31 (68,9)
43,38 (7,90)
17(37,8)
15 (33,3)
12 (26,7)
1(2,2)
14 (31,1)
31 (68,9)
43,38 (7,90)
17(37,8)
15 (33,3)
12 (26,7)
1(2,2)
16 (35,6)
15 (33,3)
6 (13,3)
9 (20)
15 (33,3)
6 (13,3)
Aceh
Cina
3 (6,7)
2 (4,4)
3 (6,7)
2 (4,4)
India
Padang
1 (2,2)
2 (4,4)
1 (2,2)
2 (4,4)
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Rerata (SB)
30-39
40-49
50-59
60-65
Suku
Batak
Jawa
Melayu
46
Universitas Sumatera Utara
47
Penelitian ini diikuti oleh 45 subyek pasien psoriasis vulgaris yang datang
berobat ke Poliklinik Imunodermatologi dan Imunologi SMF Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin RSUP HAM Sumatera Utara yang telah memenuhi kriteria
inklusi dan ekslusi, sebanyak 45 subyek kontrol yang telah dipasangkan
(matching) berdasarkan jenis kelamin, usia dan suku. Subyek sebagian besar
berjenis kelamin perempuan berjumlah 31 orang (68,9%) dengan rerata usia 43,38
tahun dan suku subyek sebagian besar adalah Batak sebanyak 16 orang (35,6%).
Penelitian pada populasi Swedia melaporkan bahwa insidensi psoriasis
vulgaris lebih banyak dijumpai pada perempuan daripada laki- laki. Namun
beberapa penelitian lainnya menunjukkan adanya variasi prevalensi psoriasis
vulgaris berdasarkan jenis kelamin.59
Parisi dalam suatu tulisan studi sistematik, melaporkan bahwa tidak
dijumpai adanya perbedaan prevalensi psoriasis vulgaris pada jenis kelamin lakilaki dan perempuan berdasarkan penelitian yang dilakukan pada populasi di
Taiwan, Amerika Serikat dan Norwegia. Hingga saat ini belum ada kesepakatan
mengenai pengaruh jenis kelamin terhadap prevalensi psoriasis vulgaris. 59
Umur pasien psoriasis vulgaris pada penelitian ini didapatkan 30-65 tahun,
dengan kelompok umur terbanyak antara 36-40 tahun (22,2%), kelompok 46-50
tahun (20%), kelompok umur 31-35 tahun (17,8%) dan dikuti 41-45 tahun
(17,8%),
kemudian 51-55 tahun (15,6%) sedikit dijumpai pada 56-60 tahun
(6,7%) dan tidak dijumpai pada 61-65 tahun (0%).
Siniah dkk. melaporkan pasien psoriasis vulgaris pada penelitian di
Malaysia dijumpai terbanyak pada kelompok umur 40-60 tahun (17,2%) dan
Universitas Sumatera Utara
48
persentase lebih kecil dijumpai pada kelompok umur lebih muda dan kelompok
umur lebih dari 60 tahun (8,1%). 60
Gelfand dkk. menunjukkan bahwa prevalensi psoriasis tinggi pada umur
lebih muda secara perlahan meningkat pada umur 30-39 tahun. Psoriasis jarang
terjadi pada yang berumur lebih muda dari 10 tahun dengan prevalensi 0,55%. 61
Chang dkk. melaporkan prevalensi psoriasis meningkat lebih cepat pada
pasien laki-laki yang berumur 30 tahun atau lebih dan mencapai puncaknya pada
umur 70 tahun atau tanpa memandang jenis kelamin.62
Psoriasis pertama dapat muncul pada umur berapapun. Namun, distribusi
bimodal dari onset umur adalah karakteristik. Sebagian besar kasus, sekitar 75%
dijumpai sebelum umur 40 tahun, dengan puncak umur 20-30 tahun. Kasus-kasus
lainnya tampak pada umur 40 tahun. Pasien dengan onset penyakit dini cenderung
memiliki riwayat keluarga positif psoriasis, sering dikaitkan dengan HLA-CW6,
dan penyakit yang lebih parah. Pasien dengan onset setelah umur 40 tahun
biasanya tidak memiliki riwayat keluarga dan frekwensi alel CW6 yang
normal.3,61,63,64
Suku terbanyak pada penelitian adalah Batak sebanyak 16 orang (35,6%),
Jawa 15 orang (33,3%), Aceh 3 orang (6,7%), Cina 2 orang (4,4%), Melayu 6
orang (13,3%), Padang 2 orang (4,4%) dan India 1 orang (2,2%). Hingga saat ini
belum ditemukannya data tentang suku terbanyak yang mengalami psoriasis
vulgaris.
Akan tetapi berdasarkan studi epidemiologi dari seluruh dunia
memperkirakan prevalensi psoriasis berkisar antara 0,6% sampai 4,8%. Prevalensi
psoriasis bervariasi berdasarkan wilayah geografis serta etnis. 63
Universitas Sumatera Utara
49
Di Amerika Serikat, psoriasis terjadi pada kurang lebih 2% populasi
dengan ditemukannya jumlah kasus baru sekitar 150,000 per tahun. Pada sebuah
studi, insidensi tertinggi ditemukan dipulau Faeroe yaitu sebesar 2,8%. Insidensi
yang rendah ditemukan di Asia (0,4%) misalnya Jepang dan pada ras AmerikaAfrika (1,3%). Sementara itu psoriasis tidak ditemukan pada suku Aborigin
Australia dan Indian yang berasal dari Amerika Selatan. 63
Terdapatnya variasi prevalensi psoriasis berdasarkan wilayah geografis
dan etnis menunjukkan adanya peranan lingkungan fisik (psoriasis lebih sering
ditemukan pada daerah beriklim dingin), faktor genetik, dan pola tingkah laku
atau paparan lainnya terhadap perkembangan psoriasis. 63
4.2. Genotip Polimorfisme Nukleotida Tunggal Gen IL6 Rs1800795 antara
Kelompok Kasus dan Kontrol
Perbedaan Genotip polimorfisme nukleotida tunggal gen IL6 Rs1800795
antara Kelompok Kasus dan Kontrol dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 4.2. Distribusi alel SNPs gen IL6 Rs1800795 antara Kelompok Kasus dan
Kontrol
SNPs
Genotip
GG
IL6 rs 1800795
Total
Gc
cc
n
21
20
4
45
Distribusi Alel
Kasus
Kontrol
%
n
%
46,7
11
24,4
44,4
8,9
100
27
7
45
60
15,6
100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dijumpai perbedaan distribusi alel
genotip gen IL6 rs 1800795 pada kelompok kasus dan kontrol. Pada kelompok
Universitas Sumatera Utara
50
kasus alel terbanyak adalah GG yang tergolong homozigot dominan sebanyak 21
orang (46,7%) sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 11 orang (24,4%).
Alel gen IL 6 Rs1800795
dengan genotip Gc yang digolongkan
heterozigot pada kelompok kasus sebesar 20 orang (44,4%) sedangkan pada
kelompok kontrol sebanyak 27 orang (60%).
Genotip cc yang digolongkan sebagai homozigot resesif pada kelompok
kasus sebanyak 4 orang (8,9%) sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 7
orang (15,6%).
Sebuah alel dapat mengekspresikan fenotipe didalamnya baik homozigot
dan heterozigot, tetapi pada alel resesif sifatnya tidak muncul atau tidak menonjol
pada keturunannya, walaupun pada alel ini memiliki pasangan gen yang sama.65
Penyakit yang berhubungan dengan alel homozigot dapat mengenai lakilaki dan perempuan biasanya dijumpai tanpa riwayat keluarga, sedangkan
penyakit yang berhubungan dengan alel heterozigot secara klinik tampak normal,
walaupun pemeriksaan laboratorium mengungkapkan perbedaan biokimiawi. 66
4.3 Peran Genotip Polimorfisme Nukleotida Tunggal Gen IL 6 Rs1800795
pada Kejadian Psoriasis Vulgaris
4.3.1 GG versus Gc
Tabel 4.3. Peran Genotip Polimorfisme Nukleotida Tunggal Gen IL 6 Rs1800795
pada Kejadian Psoriasis Vulgaris
Genotip
GG
Gc
a
Chi-Square
Kasus
(n) (%)
21 (46,7)
20 (44,4)
Kontrol
(n) (%)
11 (24,4)
27 (60%)
a
p
OR
95% CI
0,044
2,577
1,016-6,528
Universitas Sumatera Utara
51
Hasil analisis peran genotip polimorfisme nukleotida tunggal Gen IL 6
Rs1800795 pada kejadian psoriasis vulgaris menggunakan analisis Chi- Square
dijumpai nilai p. =0.044 <  = 0,05 bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara genotip
GG versus GC gen IL-6 rs1800795 pada kejadian psoriasis
vulgaris. Nilai OR dalam kasus ini sebesar 2,577 (95% interval kepercayaan
(IK)= 1,016-6,538).
4.3.2 Gc Versus cc
Genotip
Gc
cc
b
Fisher exact
Kasus
(n) (%)
20 (44,4)
4 (8,9)
Kontrol
(n) (%)
27 (60)
7 (15,6)
p
OR
95% CI
1,000
1,296
0,333-5,039
b
Hasil analisis menggunakan uji fisher exact antara genotip Gc versus cc
dijumpai
nilai p. = 1.000 >  = 0,05 bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara genotip gen IL-6 rs1800795 pada kejadian psoriasis vulgaris.
Nilai OR dalam kasus ini sebesar 1,296 (95% interval kepercayaan (IK)= (0,3335,039).
4.3.3. GG Versus cc
Genotip
GG
cc
Kasus
(n) (%)
21(46,7)
4 (8,9)
Kontrol
(n) (%)
11 (24,4)
7 (15,6)
OR
95% CI
0,156
3,341
0,801-13,943
b
p
b
Fisher exact
Hasil analisis menggunakan uji fisher exact dijumpai nilai p. = 0,156 >
 = 0,05 bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara genotip GG
versus cc gen IL-6 rs1800795 pada kejadian psoriasis vulgaris. Nilai OR dalam
kasus ini sebesar 3,341 (95% interval kepercayaan (IK)= (0,801-13,943).
Universitas Sumatera Utara
52
Menurut penelitian Baran et al. tidak terdapat hubungan antara
polimorfisme gen IL-6 promoter (-174) dan IL-10 dengan psoriasis vulgaris pada
populasi Polandia. Hal ini dikarenakan adanya ekspresi pada berbagai sitokin
yang salah satunya IL-6, yang memberikan kontribusi terhadap penyakit infeksi
termasuk psoriasis.22
Boca et al. dalam penelitiannya menilai suatu polimorfisme dalam gen
sitokin (IL6 rs 1800795) hubungan dengan potensinya sebagai penanda risiko
untuk psoriasis. Didapati hubungan yang signifikan secara statistik untuk karier
dari alel mayor dibandingkan dengan dengan alel minor. Karier GG memiliki
risiko sekitar 14 kali lipat lebih tinggi mengalami psoriasis, dibandingkan dengan
karier cc.24
Balding et al. mempublikasikan penelitiannya yang berkaitan dengan
polimorfisme gen untuk beberapa sitokin, yang salah satunya adalah IL-6 dan
tidak menemukan perbedaan yang signifikan pada polimorfisme sitokin IL-6 pada
pasien psoriasis vulgaris. Namun penelitian ini tidak dapat dibandingkan karena
subyek penelitian tidak terfokus pada psoriasis vulgaris. 23
Adapun peran penting dari polimorfisme nukleotida tunggal gen IL-6
rs1800795 pada kejadian psoriasis vulgaris berhubungan dengan patogenesis.
Sitokin ini memiliki rentang biologis yang luas, meliputi regulasi imun, inflamasi
dan imunopatogenesis.24-27 Gen ini memainkan perannya dalam proses
menstimulasi proliferasi keratinosit bersamaan dengan IL-17 yang menstimulasi
keratinosit untuk produksi defensin pada proses inflamasi. 67,68
Penyakit dengan alel homozigot dominan menunjukkan adanya alel mutan
tunggal pada suatu kromosom. Pada umumnya alel homozigot dominan
Universitas Sumatera Utara
53
menunjukkan penyakit yang lebih berat dari individu yang memiliki alel
heterozigot.65
Genotipe heterozigot hanya memiliki satu salinan gen yang sehat dan
dapat memproduksi protein yang baik sehingga orang-orang ini biasanya tidak
terpengaruh dan dianggap sebagai perantara. Namun dalam gangguan genetik
hanya beberapa individu heterozigot mungkin dijumpai menderita penyakit yang
ringan.66
Dampak penyakit dapat terjadi dari interaksi banyak gen, kelainan genetik
yang kompleks bisa terjadi bila dijumpai banyak polimorfisme yang memiliki
banyak gen dengan dua alel atau lebih. Suatu polimorfisme sering ditemukan pada
penyakit kompleks dengan tipe yang sama, sebagian yang lain bersifat spesifik
pada penyakit tertentu. Ilustrasi kelainan ini biasanya pada penyakit peradangan
yang dimediasi oleh sistem imunitas, salah salah satunya adalah psoriasis
vulgaris.65
Perubahan urutan basa nitrogen pada suatu DNA yang berbeda dari variasi
normal dinamakan mutasi polimorfisme. Mutasi dapat menimbulkan penyakit
atau meningkatkan resiko mengalami penyakit tertentu. 66 Pada polimorfisme
nukleotida tunggal mutasi yang selalu terjadi adalah mutasi titik (point mutation)
akibat dari proses transisi.70
Universitas Sumatera Utara
54
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Hasil penelitian menunjukkan peran polimorfisme nukleotida tunggal gen IL6 rs 1800795 pada kejadian psoriasis vulgaris antara GG versus Gc
menggunakan analisis Chi- Square dijumpai nilai p. =0.044 <  = 0,05
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara genotip gen IL-6 rs1800795
pada kejadian psoriasis vulgaris. Nilai OR dalam kasus ini sebesar 2,577 (95%
interval kepercayaan (IK)= 1,016-6,538).
2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi urutan alel genotip gen IL-6
Rs1800795 pada kelompok kasus adalah GG sebanyak 21 orang (46,7%)
sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 11 orang (24,4%).
3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi urutan alel genotip gen IL-6
Rs1800795 pada kelompok kontrol adalah Gc sebanyak 27 orang (60 %)
sedangkan pada kelompok kasus 20 orang (44,4%).
5.2. Saran
1.
Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan memfokuskan pada suku/ ras
terhadap pasien psoriasis vulgaris.
2.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk pengembangan pengobatan
psoriasis vulgaris dengan metode rekayasa gen (Repairing Gene) berdasarkan
SNPs pada psoriasis vulgaris.
54
Universitas Sumatera Utara
Download