25 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik menggunakan desain kasus kontrol untuk menilai perbedaan polimorfisme IL-6 rs1800795 pada pasien psoriasis vulgaris dengan kontrol. 3.2. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Penelitian dilaksanakan mulai bulan September 2015 sampai September 2016 bertempat di Poliklinik Imunodermatologi SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP HAM. 2. Pengambilan sampel di Laboratorium Patologi Klinik RSUP HAM . 3. Pengolahan darah sampai proses isolasi DNA dilakukan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 4. PCR-RFLP, pembacaan hasil eletroforesis dan sekuensing DNA dilakukan First Base Laboratories Sdn Bhd No 7-1 to 7-3, Jalan SP 2/7 Taman Serdang Perdana, Seksyen 2, Seri Kembangan 43300, Selangor, Malaysia. 3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1. Populasi Target Semua pasien yang didiagnosis psoriasis vulgaris. 25 Universitas Sumatera Utara 26 3.3.2. Populasi Terjangkau Semua pasien psoriasis vulgaris yang datang berobat ke Poliklinik Imunodermatologi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin/RSUP. H. Adam Malik Medan dari bulan September 2015 sampai September 2016. 3.3.3. Sampel Penelitian Bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 3.3.3.1. Kontrol Individu yang tidak menderita psoriasis vulgaris yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 3.4. Besar Sampel Besar sampel dihitung menggunakan formula uji hipotesis beda proporsi utuk dua populasi sebagai berikut: n1 = n2 = 𝑧𝛼 2𝑝𝑞 +𝑧 𝛽 𝑝 1 𝑞 1 +𝑝2 𝑞2 𝑝 1 −𝑝 2 2 dimana : n1 : Besar sampel kelompok kasus n2 : Besar sampel kelompok kontrol zα : 5% = 1,96 zβ : 10% = 1,282 p2 : Proporsi pasien dengan alel GG IL-6 rs 1800795 pada pasien Psoriasis vulgaris dari studi Settin et al. (2009) = 67,4% = 0,67 p2-p1 : Selisih proporsi genotif GG IL-6 rs1800795 pada pasien Psoriasis Universitas Sumatera Utara 27 vulgaris dari studi Settin et al. (2009) dengan proporsi genotif GG IL-6 pada pasien Psoriasis vulgaris dari studi yang akan dilaksanakan (clinical judgement) = 10% = 0,1 Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus di atas diperoleh besar sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 45 orang pada masing-masing kelompok. 3.5. Cara Pengambilan Sampel Penelitian Cara pengambilan sampel penelitian dilakukan menggunakan metode consecutive sampling. 3.6. Identifikasi Variabel 3.6.1. Variabel bebas : Polimorfisme gen IL-6 rs1800795. 3.6.2. Variabel terikat : Psoriasis vulgaris 3.7. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.7.1. Kriteria Inklusi Sampel 1. Pasien yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien psoriasis vulgaris. 2. Berusia 30-65 tahun. 3. Tidak memiliki riwayat psoriasis dalam keluarga 4. Bersedia ikut serta dalam penelitian dan menandatangani informed consent. Universitas Sumatera Utara 28 3.7.2. Kriteria Ekslusi Sampel 1. Pasien psoriasis vulgaris yang sedang hamil dan menyusui. 2. Pasien psoriasis vulgaris yang menderita penyakit fibrosis, inflamasi kronis, keganasan, dan penyakit auto imun (Lupus eritematous sistemic, Sjogren syndrome, Churg- strauss syndrome, Idiopatic trombopenic purpura dan dermatitis atopik. 3.7.3. Kriteria Inklusi Kontrol 1. Tidak menderita psoriasis. 2. Tidak memiliki riwayat psoriasis dalam keluarga. 3. Berusia 30-65 tahun. 4. Bersedia ikut serta dalam penelitian dan menandatangani informed consent. 3.7.4. Kriteria Eksklusi Kontrol 1. Individu yang sedang hamil dan menyusui. 2. Seseorang yang menderita penyakit fibrosis, inflamasi kronis, keganasan, dan penyakit auto imun (Lupus eritematous sistemic, Sjogren syndrome, Churgstrauss syndrome, Idiopatic trombopenic purpura dan alergi. 3.8. Cara Penelitian 3.8.1. Penjelasan Kepada Pasien Penjelasan kepada pasien mengenai tujuan, cara, dan manfaat pemeriksaan ini serta mengenai dan selanjutnya pada pasien yang akan menjadi sampel terlebih dahulu menandatangani informed consent. Universitas Sumatera Utara 29 3.8.2. Pencatatan Data Dasar a. Pencatatan data dasar dilakukan oleh peneliti di Poliklinik Imunodermatologi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan seperti nama, jenis kelamin, tempat/ tanggal lahir, alamat, nomor telepon, dan pekerjaan. b. Diagnosis klinis psoriasis vulgaris ditegakkan oleh peneliti bersama dengan pembimbing di Poliklinik Imunodermatologi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan 3.8.3. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat Alat yang digunakan Kit Invitrogen, Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Sequencer. Gambar 3.1. Kit Invitrogen 2. Bahan a. Bahan yang digunakan adalah darah vena sebanyak 5 cc. b. Larutan buffer lisis, buffer pencuci , buffer digesti. c. Primer 50-GCC TCA ATGACG ACC TAA GC-30 dan 50-TCA TGG GAA AAT CCC ACA TT-30. d. Enzim NlaIII untuk pemotongan Dna. Universitas Sumatera Utara 30 3.8.4. Cara Pemeriksaan 1. Sampel darah diambil sebanyak 5cc oleh petugas di Instalasi Patologi Klinik RSUP. H. Adam Malik Medan. Cara pengambilan darah adalah dari vena mediana cubiti dengan menggunakan alat suntik steril ukuran 5 cc. 2. Setelah sampel darah diambil, sampel tersebut segera diberi label identitas dan disimpan pada tabung ependorf pada suhu -700C. 3. Kemudian dilakukan isolasi DNA ( kit invitrogen) dengan langkah- langkah sebagai berikut : Gambar 3.2. Proses ekstraksi DNA a. Ambil darah 200 µl masukkan ke dalam tabung mikrocentrifuge 1,5 ml kemudian ditambahkan 20 µl Proteinase K dan 20 µl RNase A, lalu di vortex ( untuk pemerataaan pencampuran). b. Inkubasi 2 menit pada temperatur kamar (20-25oC). c. Tambahkan 200 µl Lysis Buffer, lalu di vortex. d. Inkubasi 55 oC selama 10 menit e. Tambahkan 200 µl etanol absolut, lalu di vortex. f. Ambil 640 µl lysate, masukkan ke dalam spin column yang telah dirangkai dengan collection tube. Universitas Sumatera Utara 31 Gambar 3.3. Spin Column yang Telah Dirangkai Dengan Collection Tube g. Centrifuge 10.000 rpm selama 1 menit. h. Buang collection tube. Gambar 3.4. Collection Tube i. Rangkai spin column pada collection tube yang baru. j. Tambahkan 500 µl wash Buffer I, centrifuge 10.000 rpm selama 1 menit. k. Buang collection tube. l. Rangkai spin column pada collection tube yang baru. m. Tambahkan 500 µl wash buffer II, centrifuge dengan kecepatan maksimum selama 3 menit. n. Buang collection tube o. Tempatkan spin column pada tabung mikrocentrifuge 1,5 ml. p. Tambahkan 25-200 µl Elution Buffer, inkubasi 1 menit pada suhu kamar. q. Kemudian centrifuge dengan kecepatan maksimum selama 1 menit. Universitas Sumatera Utara 32 r. Buang spin column, simpan DNA pada -20oC 4. Setelah dilakukan isolasi DNA, lalu di PCR dengan menggunakan alat dan bahan sebagai berikut: ALAT Mikropipet uk. 0,5-10 l Mikropipet uk. 10-100 l Mikropipet uk. 20-200 l Mikrosentrifuge Tabung Mikrosentrifuge Tabung PCR uk.0,2 ml Thermal Cycler Vortex BAHAN DNA dari darah Buffer TAE 7,4 Master Mix PCR Primer Forward 10 pmol Primer Reverse 10 pmol Nuclease Free water Enzim NlaIII 5. PCR dilakukan dengan cara : a. Keluarkan seluruh bahan dari kulkas, tempatkan diatas rak es yang dingin, biarkan mencair dengan perlahan. b. Centrifuge seluruh bahan dengan kecepatan sedang, agar cairan yang menempel pada bagian tutup dan dinding tabung seluruhnya terkumpul di tabung. c. Ambil 1 tabung microcentrifuge ukuran 1,5 ml tandai dengan kode MIX PCR. d. Sedotlah bahan-bahan diatas (isolasi DNA) dengan menggunakan pipet tetes ukuran mikro liter sebagai berikut: Bahan Master Mix PCR 2X Primer Forward 10 pmol Primer Reverse 10 pmol Nuclease Free water Template DNA Total e. Volume (1 sampel) 12,5l 1l 1l 8,5l 2l 25 l Ambil tabung PCR ukuran 0,2 l, susun diatas rak besi yang dingin Universitas Sumatera Utara 33 f. Pipet Mix PCR sebanyak 23 l ke masing-masing tabung PCR. Vol mix PCR/tabung = total volume – vol DNA = 25 – 2,5 = 22,5 l g. Kemudian pipet 2 l template DNA masukkan ke tabung PCR yang berisi Mix PCR (dikerjakan untuk setiap masing-masing sampel DNA). Gambar 3.5. Mix PCR h. Centrifuge sebentar + 2 menit untuk menurunkan cairan yang tinggal didinding tabung. i. Hidupkan alat Thermal cycler. j. Biarkan 10 menit warm up. k. Masukkan sampel ke dalam blok-blok yang terdapat pada alat thermal cycler. Gambar 3.6. Alat Thermal Cycle Universitas Sumatera Utara 34 l. Atur temperatur sesuai program yang diinginkan sebagai berikut : Hot start Denaturasi Annealing Extensi Further extension Soaking Temp(oC) 94 94 58 72 72 4 Waktu 5 menit 45 detik 45 detik 1 menit 7 menit 10 menit Jlh Cycle 1 35 35 30 1 1 m. Jalankan alat thermal cycler n. 6. Biarkan sampai alat selesai bekerja. Langkah terakhir pembacaan hasil PCR dengan tehnik eletroforesis agarose, dengan langkah sebagai berikut : Gambar 3.7. Proses Eletroforesis a. Siapkan casting tray dengan kapasitas 32 sampel dengan volume 130 ml. Pasang “comb” (sisir) pada pertengahan “tray” (plat cetakan) dan satu sisir lagi pada ujungnya. Gambar 3.8. Alat Casting Tray b. Buatlah larutan agarose, misalnya larutan agarose 2 % dengan perhitungan sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara 35 % agarose X volume casting tray = Berat Agarose 2/100 X 130 ml = 2,6 gram. c. Maka, timbanglah 2,6 gram agarose, kemudian dilarutkan dengan 130 ml larutan TAE 1X. d. Panaskan diatas hot plate atau dalam microwave sampai mendidih, dinginkan sampai hangat kuku. e. Tambahkan 1,5 µl Ethidium Bromide, aduk menggunakan stirrer. f. Tuangkan larutan agarose ke casting tray, biarkan sampai beku. g. Bila gel sudah beku, lepaskan comb secara hati-hati. h. Letakkan gel di dalam elektroforesis tank yang sudah berisi larutan 1X TAE. i. Masukkan sampel-sampel ke dalam well sebanyak 7 µl dan DNA Marker sebanyak 5 µl j. Nyalakan mesin elektroforesis selama 70 menit dengan tegangan 80 V. Sampel-sampelnya akan mulai bergerak ke katode, (DNA bermuatan negatif) k. Matikan mesin elektroforesis. l. Keluarkan gel dari casting tray dan letakkan pada alat gel documentation system. Foto hasilnya Universitas Sumatera Utara 36 Gambar 3.9. Ruler DNA base pair m. Setelah hasil di foto, maka dilakukan sekuensing dengan cara menterjermahkan urutan basa nitrogen dengan cara: 56-58 1. Tahapan sekuensing yang pertama adalah menyediakan dsDNA (double strand DNA) . Gambar 3.10. Double Strand DNA 2. Memotong dsDNA (double strand DNA) menjadi ssDNA (single strand DNA) . Gambar 3.11. Single Strand DNA 3. Mengambil template (cetakan) DNA dari ssDNA hasil potongan dari dsDNA. Gambar 3.12. Template DNA Universitas Sumatera Utara 37 4. Menyediakan seluruh alat dan bahan untuk sekuensing DNA. Bahan untuk sekuensing adalah template (cetakan) DNA, primer, dNTP, ddNTP dan enzym polymerase. 5. Menyiapkan 4 tabung reaksi. Masing-masing tabung reaksi diberikan ddNTP, yaitu ddGTP, ddCTP, ddATP, dan ddTTP. Masing- masing tabung reaksi diisi dengan ddNTP yang berbeda. Tabung pertama diisi dengan ddGTP, tabung kedua diisi dengan ddCTP, tabung ketiga diisi dengan ddATP, dan tabung keempat diisi dengan ddTTP. Gambar 3.13. Tabung Reaksi 6. Setelah masing-masing tabung diisi dengan ddNTP, kemudian masing-masing tabung diisi dengan dNTP, sebagai sumber nukleotida pada proses polimerasi. Yaitu dGTP, dCTP, dATP, dan dTTP. Gambar 3.14. Tabung Reaksi Nukleotida DNA Universitas Sumatera Utara 38 7. Kemudian memasukkan primer ke dalam tabung reaksi. Primer berfungsi mengenali situs spesifik pada DNA template, juga berfungsi sebagai landasan/pijakan untuk memulai polimerisasi. 8. Setelah pemberian primer, juga dimasukkan enzim polimerase (taqpolymerase). 9. Keempat tabung reaksi tersebut dipersiapkan untuk di alirkan pada gel agarosa . Gambar 3.15. Gel Agarosa 10. Perbedaan panjang polinukleotida tersebut, mengakibatkan perbedaan letak pada gel agarosa. Polinukleotida yang paling pendek bermigrasi/pergerakannya paling cepat pada gel agarosa. 11. Hasil pembacaan sekeuensing dari arah 5’ ke 3’ adalah rantai kompemen, yaitu 5’ AGCCGATCC 3’. Sehingga DNA templatenya adalah 5’ GGATCGGCT 3’ Gambar 3.16. Hasil Sekuensing Universitas Sumatera Utara 39 12. Langkah terakhir adalah pembacaan mesin hasil dengan mesin sequencer disebut electropherogram, yaitu peak-peak berwarna yang menunjukkan urutan basa DNA-nya. 3.8.5. Prinsip Pengujian Prinsip Restriction fragment length polymorphism (RFLP) ini untuk menandai / memisahkan suatu fragmen dari genom yang mengandung sifat genetik yang penting. Analisis RFLP sering digunakan untuk mendeteksi lokasi genetik dalam kromosom yang menyandi penyakit yang diturunkan atau untuk mendeteksi adanya keragaman gen yang berhubungan dengan sifat. Tehnik ini dapat melihat mutasi pada daerah non-coding DNA dan menyebabkan perbedaan tempat pemotongan oleh enzim dan dapat dipisahkan melalui elektroforesis gel agarosa. Perbedaan potongan atau polimorfisme yang dihasilkan akan diturunkan ke generasi berikutnya.53,54 Metode RFLP berbasis biologi molekuler digunakan untuk mengetahui diversitas suatu gen. RFLP banyak digunakan untuk menentukan status penyakit yang diidap seseorang (pengidap atau carier penyakit). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi polimorfisme gen pada seseorang diantaranya faktor genetik ataupun karena lingkungan.55 Gambar 3.17. Kromosom Basa Protein Universitas Sumatera Utara 40 3.8.6. Sekuensing DNA Sekuensing merupakan penentuan urutan basa DNA dalam segmen molekul DNA yang relatif pendek. Pengurutan asam nukleat digunakan untuk mengetahui kode genetik dari molekul DNA atau dengan kata lain tehnik untuk penentuan urutan basa nukleotida pada molekul DNA, urutan ini dikenal dengan sekuen DNA.56 DNA sekuensing menggunakan metode PCR sebagai landasannya, DNA yang akan ditentukan urutan basa ACGT-nya dijadikan sebagai cetakan (template) untuk kemudian diamplifikasikan menggunakan enzim dan bahan-bahan yang mirip dengan reaksi PCR, namun ada penambahan beberapa pereaksi tertentu, proses ini dinamakan cycle sequensing.57 Dengan teknik ini visualisasi dan penentuan urutan basa dapat dilakukan dengan lebih mudah karena keempat reaksi nukleotida dipisahkan dalam satu jalur elektroporesis dengan 4 warna berbeda ( A,T,G,C). Sintesis DNA secara enzimatik terjadi melalui pembentukan secara berurut ikatan fosfodiester antara gugus fosfat ujung 5’ bebas dari nukleotida baru dengan gugus OH dari ujung 3’ rantai yang sedang memanjang. proses ini berlangsung sepanjang molekul DNA. Dideoksinukleotida tidak mempunyai gugus OH pada ujung 3’nya, melainkan gugus H. Adanya dideoksinukleotida menyebabkan sintesis DNA terhenti, karena ikatan difosfat tidak terbentuk. Pemanjangan rantai kan terhenti pada titik ini dan basa terakhir diujung 3’ rantainya dalah sebuah terminator dideoksi. 58 Proses sekuensing DNA memerlukan dNTP dan ddNTP. Deoxyribonucleoside triphosphates (dNTP) sebagai pembentuk basa komplemen pada hasil cetakan DNA. dNTP mengandung gula deoksirobosa dan sebuah basa Universitas Sumatera Utara 41 nitrogen (nukleosida) yang terikat dengan gugus fosfat. dNTP terdiri dari empat jenis yaitu deoksiadenosin trifosfat (dATP), deoksitimidin trifosfat (dTTP), deoksitidin trifosfat (dCTP), dan deoksiguanosin trifosfat (dGTP). Dideoxyribonucleoside triphosphates (ddNTP) merupakan modifikasi dNTP yang memiliki struktur yang identik dengan dNTP namun telah kehilangan grup –OH pada 3’. Seperti dNTP, ddNTP memiliki3 grup fosfat di ujung 5’ dan bekerja sama untuk membuat rantai DNA. Ketika ddNTP telah bergabung dengan rantai DNA, tidak ada nukleotida yang dapat ditambahkan karena tidak ada grup –OH pada 3’ untuk membentuk ikatan fosfodiester dengan nukleotida yang baru. Oleh sebab itu, ddNTP menghentikan proses sintesis DNA.56,58 Metode sekuensing otomatis terbagi menjadi beberapa tahapan yaitu preparasi sampel, cycle sequencing, purifikasi, dan DNA sequencing. Hal yang dilakukan dalam tahap preparasi sampel antara lain mengamplifikasi sekuens DNA target dengan PCR, memvisualisasi dan memisahkan sekuens DNA target menggunakan elektroforesis, serta memurifikasi sekuens DNA tersebut. Hal yang dilakukan dalam tahap cycle sequencing yaitu mengamplifikasi sekuen DNA target menggunakan ddNTPs yang telah terlabeli zat fluorescent. Tahap selanjutnya yaitu purifikasi yang dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan ddNTPs berlebih yang dapat mengganggu pembacaan sekuen pada mesin sequencer. Hasil pembacaan oleh mesin sequencer yaitu elektroferogram yang berbentuk seperti kurva naik turun dengan warna yang berbeda. Warna biru menunjukan basa C, warna merah menunjukan basa T, warna hitam menunjukan basa G, warna hijau meunjukan basa A, dan warna ungu atau biru muda menunjukan N (error).57 Universitas Sumatera Utara 42 Teknik DNA Sequencing yang berbasis fragment analisis saat ini tidak hanya digunakan untuk menentukan urutan basa-basa DNA semata, tapi bisa dikembangkan untuk berbagai aplikasi, seperti penentuan SNP, analisa keragaman genetik seperti DNA Microsatellite dan AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism), community analysis seperti tRFLP (Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism) dan segudang aplikasi lainnya.58 3.9. 1. Definisi Operasional Psoriasis vulgaris Definisi : Psoriasis vulgaris merupakan penyakit peradangan kulit kronis dengan gejala klinis plak eritema berbatas tegas yang ditutupi sisik tebal berwarna keperakan. Alat ukur : Psoriasis vulgaris ditegakkan berdasarkan gambaran klinis. Cara ukur : Melihat gambaran klinis yang dilakukan oleh peneliti didampingi pembimbing. Hasil ukur : Gambaran klinis yang menunjukkan hasil positif. Skala ukur : Nominal 2. Kontrol Definisi : Individu normal tanpa riwayat keluarga dengan psoriasis, tidak menderita penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe 1, Lupus erotematosus sistemic, Sjogren syndrome,Churg-Strauss syndrome, Idiopatic trombopenic purpura,dan alergi. Umur dan jenis kelamin disesuaikan. Alat ukur : Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis . Universitas Sumatera Utara 43 Cara ukur : Melihat gambaran klinis yang dilakukan oleh peneliti didampingi pembimbing. Hasil ukur : Non- prsoriasis vulgaris dan bukan Autoimun Skala ukur : Nominal 3. Polimorfisme Nukleotida Tunggal Definisi : Variasi urutan DNA yang terjadi ketika sebuah nukleotida tunggal A, T, C atau G - dalam genom (atau urutan bersama lainnya) berbeda antara anggota suatu spesies biologis atau kromosom dipasangkan pada manusia. Cara ukur : DNA dari IL6 rs 1800795 di PCR-RFLP menggunakan enzim NlaIII serta primer 50-GCC TCA ATGACG ACC TAA GC-30 dan 50-TCA TGG GAA AAT CCC ACA TT-30. Alat ukur : Dengan tehnik Polymerase Chain Reaction (PCR) based Restriction Fragment Length polymorphism (RFLP). Hasil ukur : Ditemukan lokus yang sama pada polimorfisme Nukleotida Tunggal gen IL-6 rs 1800795 atau ditemukan variasi gen pada pasien psoriasis vulgaris. Skala ukur : Nominal Universitas Sumatera Utara 44 3.10. Kerangka Operasional Individu yang datang ke poliklinik Divisi Imunodermatologi Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan. Anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan dermatologis Pasien Psoriasis Vulgaris yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi Kontrol yang memenuhi kriteria inklusi eksklusi Pemeriksaan Polimorfisme Nukleotida tunggal gen IL-6 rs 1800795 Pemeriksaan Polimorfisme Nukleotida tunggal gen IL-6 rs 1800795 Dihubungkan Gambar 3.18. Kerangka Operasional 3.11. Pengolahan dan Analisis Data Data-data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan sistem komputer. Data kategorikal (skala nominal) disajikan dengan menampilkan distribusi frekuensi dan persentase. Uji Chi Square digunakan untuk menguji hipotesis adanya peran polimorfisme nukleotida tunggal gen IL-6 rs 1800795 pada kejadian psoriasis vulgaris pada signifikansi nilai p < 0,05 dengan menampilkan nilai Odds Rasio (OR) dan 95% confidence interval. Universitas Sumatera Utara 45 Apabila penelitian ini tidak memenuhi syarat dari uji Chi-Square maka, akan dilakukan uji alternatif dengan menggunakan uji Fisher’s Exact. 3.12. Ethical Clearance Penelitian ini dilakukan setelah memperoleh ethical clearance dari komisi etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara nomor 19/ KOMET/FK USU/2016. Universitas Sumatera Utara 46 BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini subyek penelitian yang diikut sertakan adalah pasien psoriasis vulgaris dan individu sehat sebagai kontrol yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi berjumlah masing-masing 45 orang subyek. Data demografis pasien dan kelompok kontrol disesuaikan. 4.1. Karakteristik Pasien Psoriasis Vulgaris Karakteristik demografi pasien psoriasis vulgaris dan kontrol berdasarkan jenis kelamin, usia, dan suku/ ras, disajikan dalam tabel berikut. Tabel 4.1. Karakteristik Demografi Pasien Psoriasis Vulgaris dan Kontrol Karakteristik Persentase (%) Kasus (n = 45) Kontrol (n = 45) 14 (31,1) 31 (68,9) 43,38 (7,90) 17(37,8) 15 (33,3) 12 (26,7) 1(2,2) 14 (31,1) 31 (68,9) 43,38 (7,90) 17(37,8) 15 (33,3) 12 (26,7) 1(2,2) 16 (35,6) 15 (33,3) 6 (13,3) 9 (20) 15 (33,3) 6 (13,3) Aceh Cina 3 (6,7) 2 (4,4) 3 (6,7) 2 (4,4) India Padang 1 (2,2) 2 (4,4) 1 (2,2) 2 (4,4) Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Rerata (SB) 30-39 40-49 50-59 60-65 Suku Batak Jawa Melayu 46 Universitas Sumatera Utara 47 Penelitian ini diikuti oleh 45 subyek pasien psoriasis vulgaris yang datang berobat ke Poliklinik Imunodermatologi dan Imunologi SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP HAM Sumatera Utara yang telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi, sebanyak 45 subyek kontrol yang telah dipasangkan (matching) berdasarkan jenis kelamin, usia dan suku. Subyek sebagian besar berjenis kelamin perempuan berjumlah 31 orang (68,9%) dengan rerata usia 43,38 tahun dan suku subyek sebagian besar adalah Batak sebanyak 16 orang (35,6%). Penelitian pada populasi Swedia melaporkan bahwa insidensi psoriasis vulgaris lebih banyak dijumpai pada perempuan daripada laki- laki. Namun beberapa penelitian lainnya menunjukkan adanya variasi prevalensi psoriasis vulgaris berdasarkan jenis kelamin.59 Parisi dalam suatu tulisan studi sistematik, melaporkan bahwa tidak dijumpai adanya perbedaan prevalensi psoriasis vulgaris pada jenis kelamin lakilaki dan perempuan berdasarkan penelitian yang dilakukan pada populasi di Taiwan, Amerika Serikat dan Norwegia. Hingga saat ini belum ada kesepakatan mengenai pengaruh jenis kelamin terhadap prevalensi psoriasis vulgaris. 59 Umur pasien psoriasis vulgaris pada penelitian ini didapatkan 30-65 tahun, dengan kelompok umur terbanyak antara 36-40 tahun (22,2%), kelompok 46-50 tahun (20%), kelompok umur 31-35 tahun (17,8%) dan dikuti 41-45 tahun (17,8%), kemudian 51-55 tahun (15,6%) sedikit dijumpai pada 56-60 tahun (6,7%) dan tidak dijumpai pada 61-65 tahun (0%). Siniah dkk. melaporkan pasien psoriasis vulgaris pada penelitian di Malaysia dijumpai terbanyak pada kelompok umur 40-60 tahun (17,2%) dan Universitas Sumatera Utara 48 persentase lebih kecil dijumpai pada kelompok umur lebih muda dan kelompok umur lebih dari 60 tahun (8,1%). 60 Gelfand dkk. menunjukkan bahwa prevalensi psoriasis tinggi pada umur lebih muda secara perlahan meningkat pada umur 30-39 tahun. Psoriasis jarang terjadi pada yang berumur lebih muda dari 10 tahun dengan prevalensi 0,55%. 61 Chang dkk. melaporkan prevalensi psoriasis meningkat lebih cepat pada pasien laki-laki yang berumur 30 tahun atau lebih dan mencapai puncaknya pada umur 70 tahun atau tanpa memandang jenis kelamin.62 Psoriasis pertama dapat muncul pada umur berapapun. Namun, distribusi bimodal dari onset umur adalah karakteristik. Sebagian besar kasus, sekitar 75% dijumpai sebelum umur 40 tahun, dengan puncak umur 20-30 tahun. Kasus-kasus lainnya tampak pada umur 40 tahun. Pasien dengan onset penyakit dini cenderung memiliki riwayat keluarga positif psoriasis, sering dikaitkan dengan HLA-CW6, dan penyakit yang lebih parah. Pasien dengan onset setelah umur 40 tahun biasanya tidak memiliki riwayat keluarga dan frekwensi alel CW6 yang normal.3,61,63,64 Suku terbanyak pada penelitian adalah Batak sebanyak 16 orang (35,6%), Jawa 15 orang (33,3%), Aceh 3 orang (6,7%), Cina 2 orang (4,4%), Melayu 6 orang (13,3%), Padang 2 orang (4,4%) dan India 1 orang (2,2%). Hingga saat ini belum ditemukannya data tentang suku terbanyak yang mengalami psoriasis vulgaris. Akan tetapi berdasarkan studi epidemiologi dari seluruh dunia memperkirakan prevalensi psoriasis berkisar antara 0,6% sampai 4,8%. Prevalensi psoriasis bervariasi berdasarkan wilayah geografis serta etnis. 63 Universitas Sumatera Utara 49 Di Amerika Serikat, psoriasis terjadi pada kurang lebih 2% populasi dengan ditemukannya jumlah kasus baru sekitar 150,000 per tahun. Pada sebuah studi, insidensi tertinggi ditemukan dipulau Faeroe yaitu sebesar 2,8%. Insidensi yang rendah ditemukan di Asia (0,4%) misalnya Jepang dan pada ras AmerikaAfrika (1,3%). Sementara itu psoriasis tidak ditemukan pada suku Aborigin Australia dan Indian yang berasal dari Amerika Selatan. 63 Terdapatnya variasi prevalensi psoriasis berdasarkan wilayah geografis dan etnis menunjukkan adanya peranan lingkungan fisik (psoriasis lebih sering ditemukan pada daerah beriklim dingin), faktor genetik, dan pola tingkah laku atau paparan lainnya terhadap perkembangan psoriasis. 63 4.2. Genotip Polimorfisme Nukleotida Tunggal Gen IL6 Rs1800795 antara Kelompok Kasus dan Kontrol Perbedaan Genotip polimorfisme nukleotida tunggal gen IL6 Rs1800795 antara Kelompok Kasus dan Kontrol dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 4.2. Distribusi alel SNPs gen IL6 Rs1800795 antara Kelompok Kasus dan Kontrol SNPs Genotip GG IL6 rs 1800795 Total Gc cc n 21 20 4 45 Distribusi Alel Kasus Kontrol % n % 46,7 11 24,4 44,4 8,9 100 27 7 45 60 15,6 100 Hasil penelitian menunjukkan bahwa dijumpai perbedaan distribusi alel genotip gen IL6 rs 1800795 pada kelompok kasus dan kontrol. Pada kelompok Universitas Sumatera Utara 50 kasus alel terbanyak adalah GG yang tergolong homozigot dominan sebanyak 21 orang (46,7%) sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 11 orang (24,4%). Alel gen IL 6 Rs1800795 dengan genotip Gc yang digolongkan heterozigot pada kelompok kasus sebesar 20 orang (44,4%) sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 27 orang (60%). Genotip cc yang digolongkan sebagai homozigot resesif pada kelompok kasus sebanyak 4 orang (8,9%) sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 7 orang (15,6%). Sebuah alel dapat mengekspresikan fenotipe didalamnya baik homozigot dan heterozigot, tetapi pada alel resesif sifatnya tidak muncul atau tidak menonjol pada keturunannya, walaupun pada alel ini memiliki pasangan gen yang sama.65 Penyakit yang berhubungan dengan alel homozigot dapat mengenai lakilaki dan perempuan biasanya dijumpai tanpa riwayat keluarga, sedangkan penyakit yang berhubungan dengan alel heterozigot secara klinik tampak normal, walaupun pemeriksaan laboratorium mengungkapkan perbedaan biokimiawi. 66 4.3 Peran Genotip Polimorfisme Nukleotida Tunggal Gen IL 6 Rs1800795 pada Kejadian Psoriasis Vulgaris 4.3.1 GG versus Gc Tabel 4.3. Peran Genotip Polimorfisme Nukleotida Tunggal Gen IL 6 Rs1800795 pada Kejadian Psoriasis Vulgaris Genotip GG Gc a Chi-Square Kasus (n) (%) 21 (46,7) 20 (44,4) Kontrol (n) (%) 11 (24,4) 27 (60%) a p OR 95% CI 0,044 2,577 1,016-6,528 Universitas Sumatera Utara 51 Hasil analisis peran genotip polimorfisme nukleotida tunggal Gen IL 6 Rs1800795 pada kejadian psoriasis vulgaris menggunakan analisis Chi- Square dijumpai nilai p. =0.044 < = 0,05 bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara genotip GG versus GC gen IL-6 rs1800795 pada kejadian psoriasis vulgaris. Nilai OR dalam kasus ini sebesar 2,577 (95% interval kepercayaan (IK)= 1,016-6,538). 4.3.2 Gc Versus cc Genotip Gc cc b Fisher exact Kasus (n) (%) 20 (44,4) 4 (8,9) Kontrol (n) (%) 27 (60) 7 (15,6) p OR 95% CI 1,000 1,296 0,333-5,039 b Hasil analisis menggunakan uji fisher exact antara genotip Gc versus cc dijumpai nilai p. = 1.000 > = 0,05 bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara genotip gen IL-6 rs1800795 pada kejadian psoriasis vulgaris. Nilai OR dalam kasus ini sebesar 1,296 (95% interval kepercayaan (IK)= (0,3335,039). 4.3.3. GG Versus cc Genotip GG cc Kasus (n) (%) 21(46,7) 4 (8,9) Kontrol (n) (%) 11 (24,4) 7 (15,6) OR 95% CI 0,156 3,341 0,801-13,943 b p b Fisher exact Hasil analisis menggunakan uji fisher exact dijumpai nilai p. = 0,156 > = 0,05 bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara genotip GG versus cc gen IL-6 rs1800795 pada kejadian psoriasis vulgaris. Nilai OR dalam kasus ini sebesar 3,341 (95% interval kepercayaan (IK)= (0,801-13,943). Universitas Sumatera Utara 52 Menurut penelitian Baran et al. tidak terdapat hubungan antara polimorfisme gen IL-6 promoter (-174) dan IL-10 dengan psoriasis vulgaris pada populasi Polandia. Hal ini dikarenakan adanya ekspresi pada berbagai sitokin yang salah satunya IL-6, yang memberikan kontribusi terhadap penyakit infeksi termasuk psoriasis.22 Boca et al. dalam penelitiannya menilai suatu polimorfisme dalam gen sitokin (IL6 rs 1800795) hubungan dengan potensinya sebagai penanda risiko untuk psoriasis. Didapati hubungan yang signifikan secara statistik untuk karier dari alel mayor dibandingkan dengan dengan alel minor. Karier GG memiliki risiko sekitar 14 kali lipat lebih tinggi mengalami psoriasis, dibandingkan dengan karier cc.24 Balding et al. mempublikasikan penelitiannya yang berkaitan dengan polimorfisme gen untuk beberapa sitokin, yang salah satunya adalah IL-6 dan tidak menemukan perbedaan yang signifikan pada polimorfisme sitokin IL-6 pada pasien psoriasis vulgaris. Namun penelitian ini tidak dapat dibandingkan karena subyek penelitian tidak terfokus pada psoriasis vulgaris. 23 Adapun peran penting dari polimorfisme nukleotida tunggal gen IL-6 rs1800795 pada kejadian psoriasis vulgaris berhubungan dengan patogenesis. Sitokin ini memiliki rentang biologis yang luas, meliputi regulasi imun, inflamasi dan imunopatogenesis.24-27 Gen ini memainkan perannya dalam proses menstimulasi proliferasi keratinosit bersamaan dengan IL-17 yang menstimulasi keratinosit untuk produksi defensin pada proses inflamasi. 67,68 Penyakit dengan alel homozigot dominan menunjukkan adanya alel mutan tunggal pada suatu kromosom. Pada umumnya alel homozigot dominan Universitas Sumatera Utara 53 menunjukkan penyakit yang lebih berat dari individu yang memiliki alel heterozigot.65 Genotipe heterozigot hanya memiliki satu salinan gen yang sehat dan dapat memproduksi protein yang baik sehingga orang-orang ini biasanya tidak terpengaruh dan dianggap sebagai perantara. Namun dalam gangguan genetik hanya beberapa individu heterozigot mungkin dijumpai menderita penyakit yang ringan.66 Dampak penyakit dapat terjadi dari interaksi banyak gen, kelainan genetik yang kompleks bisa terjadi bila dijumpai banyak polimorfisme yang memiliki banyak gen dengan dua alel atau lebih. Suatu polimorfisme sering ditemukan pada penyakit kompleks dengan tipe yang sama, sebagian yang lain bersifat spesifik pada penyakit tertentu. Ilustrasi kelainan ini biasanya pada penyakit peradangan yang dimediasi oleh sistem imunitas, salah salah satunya adalah psoriasis vulgaris.65 Perubahan urutan basa nitrogen pada suatu DNA yang berbeda dari variasi normal dinamakan mutasi polimorfisme. Mutasi dapat menimbulkan penyakit atau meningkatkan resiko mengalami penyakit tertentu. 66 Pada polimorfisme nukleotida tunggal mutasi yang selalu terjadi adalah mutasi titik (point mutation) akibat dari proses transisi.70 Universitas Sumatera Utara 54 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1. Hasil penelitian menunjukkan peran polimorfisme nukleotida tunggal gen IL6 rs 1800795 pada kejadian psoriasis vulgaris antara GG versus Gc menggunakan analisis Chi- Square dijumpai nilai p. =0.044 < = 0,05 bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara genotip gen IL-6 rs1800795 pada kejadian psoriasis vulgaris. Nilai OR dalam kasus ini sebesar 2,577 (95% interval kepercayaan (IK)= 1,016-6,538). 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi urutan alel genotip gen IL-6 Rs1800795 pada kelompok kasus adalah GG sebanyak 21 orang (46,7%) sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 11 orang (24,4%). 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi urutan alel genotip gen IL-6 Rs1800795 pada kelompok kontrol adalah Gc sebanyak 27 orang (60 %) sedangkan pada kelompok kasus 20 orang (44,4%). 5.2. Saran 1. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan memfokuskan pada suku/ ras terhadap pasien psoriasis vulgaris. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk pengembangan pengobatan psoriasis vulgaris dengan metode rekayasa gen (Repairing Gene) berdasarkan SNPs pada psoriasis vulgaris. 54 Universitas Sumatera Utara