BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang masih menerapkan hukuman mati atau pidana mati dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) untuk beberapa kejahatan yang dinilai sebagai kejahatan berat. Data dari Badan Pekerja Kontras hingga tahun 2007 sebanyak 60 terpidana telah di eksekusi mati dan 118 orang masih menunggu pelaksanaan eksekusi. Tahun 2008 jumlah terpidana mati bertambah 10 orang terpidana kasus Bom Bali. Pada tanggal 18 Januari 2015 dilakukan eksekusi pidana mati terhadap 6 terpidana kasus narkotika (Samsul, 2015:1). Kejaksaan Agung Republik Indonesia menyebutkan terdapat 131 terpidana mati terdiri dari berbagai kasus pembunuhan, terorisme dan Narkotika yang terdiri dari dari warga negara Indonesia dan warga negara asing (Harian Tribun 25 Januari 2015). Hukuman mati merupakan salah satu bentuk sanksi pidana yang mengandung keseluruhan ketentuan dan larangan bersifat memaksa. Sanksi ini bertujuan untuk menegakkan norma hukum secara preventif agar membuat orang takut melakukan pelanggaran yang telah ditetapkan (Humulhaer, 2011:17). Hukuman mati dapat dipahami sebagai suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya (Utrecht, 1968:107). Pelaksanaan 1 2 hukuman mati disebut eksekusi (pelaksanaan putusan hakim atau badan pengadilan) terhadap terpidana mati. Hukuman mati di Indonesia dikenal sejak zaman kerajaan, sebagai hukuman pokok terhadap orang yang bersalah. Eksekusi hukuman mati dilaksanakan dengan berbagai cara seperti, digantung, pancung, ditikam dengan keris, dicekik dan ditenggelamkan di laut. Hukuman mati di Indonesia saat ini secara yuridis dan historis diatur dalam KUHP, yang sebagian besar berasal dari aturan hukum Belanda, yaitu Wetboek Van Strafecht (WSV). Belanda sendiri telah menghapuskan hukuman mati sejak tahun 1870 dalam hukum undangundang, terkecuali dalam keadaan perang. Berbeda dengan Belanda, hukuman mati di Indonesia masih diberlakukan dan dipertahankan dalam perundangundangan dengan berbagai tujuan dan alasan (Arba‟I, 2012:15). Tujuan Indonesia menerapkan ancaman hukuman mati adalah untuk memenuhi rasa keadilan untuk masyarakat dan untuk mencegah terjadinya kembali kejahatan berat yang merugikan masyarakat. Hukuman mati diterapkan pada beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu mencakup KUHP, UU Narkotika, UU anti korupsi, UU anti terorisme, dan UU pengadilan HAM (Hameda, 2013:2-3) Penerapan hukuman mati di Indonesian menimbulkan pro dan kontra. Kelompok yang mendukung hukuman mati, memiliki alasan bahwa hukuman mati pantas untuk diterapkan terhadap terpidana kejahatan berat agar tercipta keadilan dan kasus kejahatan yang sama tidak terulang lagi. Kelompok yang menolak hukuman mati menuntut agar hukuman mati dihapuskan. Hukuman mati 3 bertentangan dengan tujuan pemidanaan, Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya dengan hak untuk hidup (the right to life). Belum terdapat bukti ilmiah yang kuat bahwa hukuman mati merupakan sarana efektif untuk mencegah tindak kejahatan yang sama untuk tidak terulang lagi (Rahman, 2013:1). Hukuman mati pada intinya berkaitan dengan moralitas, hak hidup dan keadilan baik bagi terpidana mati maupun bagi korban dari kejahatan. Di sisi lain upaya perlindungan sosial bagi masyarakat merupakan sebab penting hukuman mati dipertahankan. Hukuman mati menjadi isu menarik untuk dikaji dari berbagai bidang ilmu salah satunya adalah etika. Etika adalah cabang dari filsafat yang membahas mengenai apa secara moral benar dan salah, serta baik dan buruk. Benar dan salah adalah kualitas yang ditetapkan untuk suatu tindakan atau perbuatan, sedangkan baik dan buruk adalah kualitas dari akibat suatu tindakan (Souryal, 1999:82). Teori etika normatif yang dipilih untuk membahas hukuman mati adalah utilitarianisme. Utilitarianisme adalah etika yang menilai kebaikan suatu tindakan atau kebijakan berdasarkan menghasilkan kebaikan terbesar untuk jumlah terbesar (Magnis-Suseno, 1997:122). Rasionalitas dan universalitas serta kecepatan dalam memberikan keputusan moral menjadi nilai lebih utilitarianisme yang berpengaruh pada berbagai kebijakan dan pengambilan keputusan dalam berbagai bidang. Etika utilitarianisme digunakan untuk menelaah, mencari alasan-alasan moral hukuman mati dipertahankan dan untuk mengetahui pertimbangan terkait 4 dengan hak hidup dan keadilan. Etika utilitarianisme dikenal mengupayakan manfaat dan kebaikan bagi sebanyak mungkin orang. Prinsip dasar utilitarianisme sesuai dengan salah satu tujuan hukum yaitu mencegah dan melindungi masyarakat luas dari tindak kejahatan. Oleh sebab itu, karya ini juga hendak menganalisis sumbangan apa yang ditawarkan etika utilitarianisme untuk pernegakan hukum di Indonesia. Berdasar uraian tersebut, karya tulis diberi judul “Eksekusi Hukuman Mati dalam Perspektif Etika Utilitarianisme Relevansinya dengan Penegakan Hukum di Indonesia”. Karya ini dibatasi oleh objek formal yaitu etika Utilitarianisme dan objek material eksekusi hukuman mati relevansinya dengan penegakan hukum. 1. Perumusan Masalah Permasalahan yang dirumuskan dari pemaparan latar belakang adalah sebagai berikut: a. Apa masalah etis eksekusi hukuman mati di Indonesia? b. Apa pandangan etika utilitarianisme terkait eksekusi hukuman mati? c. Bagaimana relevansi etika utilitarianisme terkait penegakan hukum di Indonesia? 2. Keaslian Penelitian Penelitian dalam berbagai bidang menggunakan sudut pandang etika banyak ditemukan di Fakultas Filsafat sejauh penelusuran penulis. Beberapa karya penelitian mengenai objek formal Utilitarianisme yang ditemukan dalam Skripsi dan Tesis di Fakultas Filsafat antara lain: 5 a. Praktik Kloning Manusia Dalam Perspektif Etika TeleologisUtilitarianisme ditulis oleh Yosef Adicita tahun 2014. Perspektif etika teleologis-utilitarianisme digunakan untuk menelaah berbagai polemik yang ditimbulkan oleh praktik kloning manusia sebagai suatu tindakan yang harus diperhitungkan antara hasil baik dan buruk yang akan diakibatkannya b. Abortus Provocatus Dalam Perspektif Etika Utilitarianisme, tesis yang ditulis oleh Murni Wijinasih tahun 2006. Pada penelitian ini, utilitarianisme menelaah persoalan aborsi dimana utilitarianisme menawarkan pandangan yang lebih moderat dan tidak memihak untuk memecahkan persoalan kehamilan yang tidak dikehendaki. c. Telaah Filosofis Atas Penggunaan Narkotika, Alkohol, Psikotropika Dan Zat-zat Adiktif (NAPZA): Perspektif Etika Utilitarianisme John Stuart Mill, tesis yang ditulis oleh Lestanta Budiman tahun 2005. Etika utilitarianisme digunakan sebagai analisis karena prinsip utilitas, kebebasan dan kebahagiaan sangat relevan sebagai dasar penilaian moral atas pelaku penggunaan (penyalahgunaan) NAPZA. Penelitian mengenai objek material hukuman mati, sejauh pengamatan penulis, masih sangat terbatas ditemukan di Fakultas Filsafat dan di lingkungan Universitas Gadjah Mada. Beberapa penelitian yang terkait hukuman mati sebagai objek material penelitian dalam penulisan skripsi, tesis, maupun disertasi di lingkungan Fakultas Filsafat dan Universitas Gadjah Mada adalah sebagai berikut: 6 a. Pertimbangan Etis Bagi Hukuman Mati Terhadap Koruptor Di Indonesia Ditinjau Dari Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal Perserikatan Bangsa-Bangsa, skripsi yang ditulis oleh Diah Nusantari pada Tahun 2011. Membahas mengenai hukuman mati ditinjau dari perspektif etis dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal PBB, yang pada kesimpulan bahwa hukuman mati pada koruptor merupakan salah satu cara untuk membuat koruptor jera dan meminimalisasi angka korupsi di Indonesia. b. Pidana Mati Di Indonesia Tinjauan Menurut Filsafat Pancasila, skripsi yang ditulis oleh Teddy Sutikno pada tahun 1989. Penelitian ini lebih menekankan hukuman mati melalui Perspektif Filsafat Pancasila, dimana dalam kesimpulannya menyatakan bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan Pancasila karena tidak diragukan azaz kemanfaatanya untuk melindungi serta memelihara harkat martabat manusia sebagai mahluk Tuhan, dari tindakan keji dan melanggar norma serta moral, sehingga hukuman mati dianggap masih relevan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional hingga masa datang. c. Eksistensi Hukuman Mati Dalam Dunia Internasional, Tesis yang ditulis oleh Mujizad Abdurrazak tahun 2014. Penelitian pada tesis ini lebih menekan pada eksistensi hukuman mati di dunia Internasional relevansinya dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Kesimpulan akhir dari penelitian ini berkesimpulan bahwa pengaruh hak asasi dewasa ini 7 baru sebatas menghimbau negara-negara untuk menghapuskan hukuman mati dan belum sampai kepada tahap yang lebih keras (pemaksaan) untuk meninggalkan hukuman mati. Hukuman mati sebagai objek material pembahasan ditemukan dalam beberapa judul buku di Fakultas filsafat dan Universitas Gadjah Mada, antara lain: a. Kontroversi Hukuman Mati (Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi) yang ditulis oleh Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay tahun 2009. Buku tersebut memaparkan pandangan, analisis, tinjauan kritis para pakar hukum dalam negeri maupun luar negeri mengenai pro dan kontra hukuman mati. b. Menolak Hukuman Mati, ditulis oleh Yon Artiono Arba‟I tahun 2012. Buku ini memaparkan hukuman mati dalam perspektif sejarah, agama, dan teori hukum. c. Hukuman Mati Menurut Islam (sebuah rekaman diskusi panel) ditulis oleh Mawardi A.I tahun 1980. Makalah ini memaparkan pandangan hukuman mati dari perspektif agama Islam dan Pancasila. Pembahasan mengenai objek material hukuman mati ditemukan di beberapa jurnal antara lain: a. “Penerapan Hukuman Mati di Indonesia” ditulis oleh Siti Humulhaer, dalam Jurnal Supremasi Hukum Vol.7 No.1 Januari 2011, membahas mengenai hukuman mati dalam perspektif filsafat hukum dan Pancasila. 8 b. “Tinjauan Hak Asasi Manusia Terhadap Penerapan Hukuman Mati di Indonesia”, ditulis oleh Veive Large Hameda dalam Jurnal Lex Crimen, Vol.II No.I Januari-Maret 2013, membahas hukuman mati dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). c. ”Praktek Hukuman Mati Di Indonesia”, penelitian yang ditulis oleh Badan Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) tahun 2007, memaparkan data praktek hukuman mati di Indonesia dan penjelasan mengenai penolakan terhadap hukuman mati. d. “Konstitusional Hukuman Mati di Indonesia” ditulis oleh Nelvita Purba dalam Jurnal Kultura Vol.13.No1 Juni 2012, membahas hukuman mati dari perspektif Undang-Undang mengenai hukuman mati. Berdasarkan pengamatan dan sumber yang dikumpulkan, belum ada yang secara khusus yang membahas tentang, “Eksekusi Hukuman Mati dalam Perspektif Etika Utilitarianisme Relevansinya dengan Penegakan Hukum Indonesia”. Maka dari itu karya tulis ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. 3. Manfaat yang diharapkan Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pembaca. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 9 a. Bagi ilmu pengetahuan Penelitian ini selain untuk menambah khasanah dalam ilmu pengetahuan khususnya etika, juga memberikan sumbangan bagi pemikiran kritis filosofis dalam memecahkan persoalan hidup manusia, sehingga dapat membuka perspektif baru dalam memandang hukuman mati. b. Bagi bangsa dan negara Karya ini dapat memberi sumbangan pemikiran dan pandangan moral terhadap penerapan hukuman mati di Indonesia untuk lebih selektif dalam memberlakukan hukuman mati agar kedepanya penegakan hukum berjalan sesuai tujuan hukum itu sendiri. c. Bagi penelitian Karya ini dapat menambah kekayaan penelitian dalam bidang etika, dan dapat menjadi acuan untuk penelitian serupa. Penelitian ini bagi peneliti semakin memahami mengenai persoalan eksekusi hukuman mati tidak menurut pandangan umum atauapun hukum tetapi lebih mendalam pada sudut pandang etika utilitarianisme. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitan ini untuk menjawab permasalahan yang ada dalam rumusan masalah yaitu: 10 1. Menemukan permasalahan etik pada penerapan hukuman mati di Indonesia. 2. Memaparkan pandangan etika utilitarianisme terkait hukuman mati. 3. Menganalisis relevansi etika utilitarianisme terkait dengan penegakan hukum di Indonesia. C. Tinjauan Pustaka Hukuman mati atau pidana mati diartikan sebagai suatu hukuman yang dijatuhkan oleh instansi pengadilan kepada seseorang yang melanggar hukum pidana, dilaksanakan dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan terpisahnya jiwa dari raga (Hamzah, 1986:475). Hukuman mati telah dikenal sejak perundang-undangan Nabi Musa (mozaische wetgeving), demikian juga pada zaman berlangsungnya hukum Yunani, Romawi, Jerman, dan Katolik. Bahkan pelaksanaanya lebih kejam, terutama pada zaman kekaisaran Romawi (Arba‟I, 2002:5). Hukuman mati dikatakan sebagai hukuman tertua, disamping hukuman denda dan pidana fisik. Pidana mati dikenal di seluruh dunia meski sejak awal abad 20 banyak negara yang menghapuskannya. Beberapa negara memang telah menghapuskan hukuman mati dari aturan hukum yang berlaku, namun tidak pernah melaksanakannya. Beberapa negara juga mencoba membatasi penerapan hukuman mati dengan memperkenalkan hukuman mati yang ditunda. Ada pula negara, baik negara maju maupun berkembang, yang sepenuhnya menghapuskan hukuman mati untuk semua bentuk kejahatan tanpa pengecualian (Arba‟I, 2002:8-9). 11 Hukuman mati pada dasarnya merupakan bentuk hukuman klasik, yang diasumsikan sebagai bentuk hukuman yang mampu menjerakan bagi yang belum melakukan tindak pidana. Bentuk hukuman mati, masih merupakan hukuman yang memiliki daya dan kekuatan untuk membuat orang lain jera (2013: 6). Tujuan hukuman mati berdasarkan yaitu sebagai upaya mengembalikan rasa keadilan masyarakat. Pelaku kejahatan harus ditimpa derita yang berupa pidana atau hukuman yang sekaligus sebagai pengajaran agar pelaku kejahatan menjadi jera. Hukuman mati mencegah adanya tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat kepada pelaku kejahatan. Hukuman mati berfungsi sebagai pelajaran bagi setiap anggota masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan. Hukuman mati bertujuan sebagai upaya mendidik pelaku kejahatan agar menyadari kesalahan untuk bertobat. Hukuman mati sebagai sarana mendidik masyarakat agar tidak mencoba melakukan kejahatan yang akan merugikan dirinya sendiri serta orang lain (Hameda, 2013: 114-115). Pelaksanaan pidana mati di Indonesia harus memperhatikan empat hal penting. Pertama, hukuman mati bukanlah merupakan hukuman pokok, melainkan pidana yang bersifat khusus dan alternatif. Kedua, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana sakit jiwa tersebut sembuh (Lubis dan Lay, 2009: xi). 12 Pendapat mengenai pro dan kotra terhadap hukuman mati akan terus ada selama hukuman mati masih diterapkan. Kelompok yang menolak hukuman mati memberikan pandangan bahwa kehidupan adalah suci. Kesucian hidup menghindarkan setiap orang atau bangsa untuk mengambil apa yang Tuhan ciptakan. Hukuman mati tidak menghalangi tindak kejahatan untuk tidak terulang lagi. Hukuman mati merupakan alat dari bias kelas dalam arti pelaksanaan hukuman mati ada kemungkinan untuk tidak objektif dan bisa jadi terjadi kesalahan yang tidak bersalah menjadi mati. Retribusi atau balas dendam adalah hal yang tidak beradap dan manusiawi. Hukuman mati menghindarkan rehabilitasi bagi pelaku. Hukuman mati menyebabkan rusaknya sistem keadilan kriminal (Souryal, 1999:427-429). Pandangan yang mempertahankan hukuman mati menyatakan hukuman mati adalah cara satu-satunya untuk pencegahan melawan kejahatan dan menyeimbangkan skala keadilan. Hukuman mati dapat menghalangi kejahatan. Hukuman mati merupakan cara ekonomi untuk mengatur pelanggaran. (Souryal, 1999: 429-430). Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Demi menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati (Zaini, 2013:3). D. Landasan Teori Etika berasal dari kata Yunani, ethos yang berarti kesedian jiwa akan kesusilaan. Selanjutnya etika, dipahami dalam ruang lingkup filsafat, merupakan 13 ilmu pengetahuan yang membicarakan, membahas dan menyelidiki hakikat tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan buruk secara objektif, sesuai dengan tujuan filsafat yaitu ingin memperoleh realitas ilmiah yang tertinggi mengenai suatu objek, yang terbatas pada realitas mengenai baik buruk tingkah laku manusia. Tujuan dari etika sebagai salah satu cabang ilmu filsafat adalah untuk mendapatkan padangan dan pedoman yang luas dan mendalam mengenai masalah baik dan buruk tingkah laku atau tindakan moral manusia sepanjang zaman (Fudyartanta, 1974:1-6). Etika memiliki tiga posisi, yaitu sebagai (1) sistem nilai, yakni nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, (2) kode etik, yakni kumpulan asas atau nilai moral, dan (3) filsafat moral, yakni ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika adalah ilmu yang membahas mengenai moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas atau dengan kata lain etika merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral yang terbagi dalam tiga pendekatan yaitu, pertama etika deskriptif (melukiskan etika tingkah laku moral dalam arti luas misalnya dalam ruang lingkup kebudayaan). Kedua, etika normatif (bagian terpenting etika di mana berlangsungnya perdebatan atau diskusi mengenai masalah-masalah moral) yang dibagi menjadi dua etika khusus atau terapan dan etika umum. Ketiga, metaetika mempelajari ucapan-ucapan etis di bidang moralitas (Bertens, 2005: 6-15). Etika normatif berdasarkan tindakan yang dilakukan dibedakan menjadi dua, yaitu etika teori besar: i) deontologi (Yunani: deon, „yang diharuskan, yang 14 wajib‟) yang menyatakan bahwa benar salahnya suatu tindakan tidak dapat ditentukan dari akibat-akibat tindakan itu melainkan ada cara bertindak yang begitu saja terlarang atau begitu saja wajib; ii) teleologis atau consequentialism (dari Yunani: telos, „tujuan‟) mengatakan bahwa betul tidaknya tindakan justru tergantung pada akibat-akibatnya kalau akibatnya baik, boleh bahkan wajib dilakukan, kalau akibatnya buruk maka tidak boleh. (Magnis-Suseno, 1975:7980). Utilitarianisme merupakan salah satu teori etika teleologis yang sering digunakan dalam berbagai aspek dan tingkatan kehidupan, karena dianggap bersifat internal, koheren, sederhana, menyeluruh dan dapat secara cepat untuk menjawab persoalan etis (Ni‟am, 2008:1). Teori utilitarianisme mengindikasikan tindakan etis yang cenderung memaksimalkan kebahagian dan meminimalkan penderitaan. Semakin besar kebahagiaan semakin besar nilai moral dari tindakan tersebut. Semakin banyak orang yang merasakan manfaat dari tindakan tersebut semakin baik tindakan tersebut (Souryal, 1999:47). Utilitarianisme klasik, teori yang dikemukakan oleh Bentham dan Mill dapat diringkas dalam tiga pernyataan: Pertama, tindakan harus dinilai benar atau salah hanya demi akibat-akibatnya (consequences). Kedua, dalam mengukur akibat-akibatnya, satu-satunya yang penting jumlah kebahagiaan atau tindakan kebahagiaan yang dihasilkan. Ketiga, kesejahteraaan setiap orang dianggap sama pentingnya (Rachels, 2004:187). John Stuart Mill menegaskan dalam dalam essay “Utilitariansm” menyatakan prinsip utilitas, sebagai berikut 15 “actions are right in proportion as they tend to promote happiness, by happiness is intended pleasure and the absence of pain by unhappiness, pain, and the privation of pleasure” (Mulgan, 2007:1). “tindakan dinilai baik, berbanding lurus terhadap kebahagiaan yang ditimbulkannya, kebahagiaan yang dimaksudkan di sini adalah kenikmatan yang diperuntukkan dan ketiadaan akan kesengsaraan oleh ketidakbahagiaan, perasaan sakit dan kekurangan rasa nikmat” Teori utilitarianisme membedakan prinsip utama utilitarian yaitu utilitariaisme tindakan dan utilitarianisme aturan. Utilitarianisme tindakan adalah menimbang tindakan berdasarkan kecenderungan dalam menghasilkan kebahagiaan atau penderitaan. Utilitarianisme aturan lebih fleksibel dimana suatu tindakan diperbolehkan bila akibat yang dihasilkan baik untuk tujuan baik (Souryal, 1999:47-48). William H. Shaw (1999: 2) menegaskan dalam buku “Contemporary Ethics Taking account of Utilitariansm” mengenai ide fundamental utilitarianisme, “Two fundamental ideas underline utilitarianism: first, that results of our action are the key to their moral evaluation, and second, that one should assess and compare those results in terms of happiness or unhappiness they cause (or more broadly, in term of their impact on people’s well-being).” “Dua ide yang mendasari utilitarianisme: pertama, akibat dari tindakan adalah kunci dalam evaluasi dari tindakan tersebut, dan kedua, bahwa seseorang harus menilai dan membandingkan akibat-akibat tersebut, dalam kerangka kebahagian atau ketidakbahagian yang diakibatkan oleh tindakan tersebut (secara lebih luas, dalam kerangka akibat tindakan tersebut pada kesejahteraan masyarakat).” 16 Julian Baggini dan Peter S. Fosl dalam buku “The Ethics Toolkit A Compendium of Ethical Consepts and Methods” (2007: 57-58), menyatakan terdapat beberapa bentuk utilitarianisme: “Hedonic or hedonistic classical utilitarianism: action are right in so far as they promote the greatest happiness of the greatest number and wrong in so far as they diminish that happiness. Different types of pleasure or happiness may be valued differently. Welfare utilitarianism: actions are right in so far as they promote the welfare of the greatest number and wrong in so far as they diminish that welfare well-being, or flourishing. Preferences utilitarianism: action are right in so far as they allow the greatest number to live according to their own preferences and wrong in so far as they inhibit their doing so, even if those preferences aren’t in fact what will make them experience the most pleasure.” “Hedonik atau Utilitarinisme hedonistik-klasik: tindakan dinilai benar sepanjang tindakan tersebut dapat menimbulkan kebahagiaan terbesar dalam tingkat tertinggi dan dinilai salah sepanjang tindakan tersebut mengurangi kebahagiaan tersebut. Jenis kenikmatan atau kebahagiaan mungkin dapat dinilai secara berlainan. Utilitarianisme kesejahteraan: tindakan dinilai benar sepanjang tindakan tersebut menimbulkan kesejahteraan dalam tingkat tertinggi dan dinilai salah sepanjang tindakan tersebut mengurangi kesejahteraan/kemajuan tersebut. Utiliranisme preferensial: tindakan dinilai benar sepanjang tindakan tersebut menyediakan kesempatan setinggi-tingginya untuk hidup berdasarkan preferensi sendiri dan dinilai salah sepanjang tindakan tersebut menghambat kesempatan untuk hidup sebagaimana tersebut sebelumnya, bahkan apabila preferensi tersebut tidak akan membuat mereka mengalami kenikmatan yang paling tinggi.” E. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan model penelitian masalah faktual (Bakker dan Zubair, 1990: 107). Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan di mana 17 proses pembuatannya mengunakan data-data pustaka, sumber dari internet, dan jurnal, sehingga dalam proses pembuatannya diupayakan pada 3 hal, yaitu: 1. Bahan dan materi Bahan dan materi penelitian diperoleh melalui penelusuran pustaka yang terkait dengan etika konsekuelisme dan penelusuran pustaka yang terkait dengan penerapan hukuman mati. Bahan yang digunakan pada penelitian dikelompokan menjadi 2 bagian, yaitu : a. Sumber Primer Adapun sumber primer yang penulis gunakan adalah sebagai berikut: 1) Crips, Roger. 1997. Mill on Utilitarianism. Routledge:London. 2) Dreier, James. 2006. Contemporary Debates in Moral Theory. Blackwell Publishing:United Kingdom. 3) Foot, Philippa. 1987. Theories of Ethics. Oxford University Press. 4) H. Shaw, William. 1999. Contemporary Ethics Taking Account of Utilitarianism. Blackwell Publishing: United Kingdom. 5) Jeremy, Bentham1781. An Introduction to The Principles of Morals and Legislation. Batoche Books Kichener: London 6) Mill, John Stuart. 1871. Utilitarianism. Longmas, Green, Reader and Dyer: London 7) Mulgan, Tim. 2007. Understanding Utilitariansm. Acumen:UK. 8) Baggini, Julian & S. Fosl, Peter. 2007. The Ethics Toolkit A Compendium of Ethical Consepts and Methods. Blackwell Publishing: United Kingdom. 9) K. Frankena, William. Ethics. University of Michigan. 18 10) Bertens, K. 2005. Etika. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. 11) Magnis-Suseno, Franz Von.1975. Etika Umum Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Penerbitan Yayasan Kanisius: Yogyakarta. 12) Arba‟I, Yon Artiono. 2012. Aku Menolak Hukuman Mati Atas Penerapan Pidana Mati. Kepustakaan Popoler Gramedia. 13) Lubis, Todung Mulya dan Lay, Alexander. 2009. Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Kosntitusi. Kompas: Jakarta. b. Sumber Sekunder Bahan sekuder merupakan tulisan dari sumber lain yang digunakan penulis sebagai bahan pelengkap dan tambahan. Bahan didapat dari buku, majalah, surat kabar, maupun artikel internet yang berhubungan dengan tema penelitian, baik yang berhubungan dengan objek formal penelitian maupun yang berhubungan dengan objek material penelitian. 2. Langkah Penelitian Dalam melakukan penelitian, penulis melakukan 3 tahap penelitian yang ditempuh, berupa: a. Pengumpulan data, yaitu mengumpulkan segala data dan informasi sebanyak mungkin yang diperlukan melalui penelusuran di berbagai perpustakaan maupun internet. Data-data penelitian kemudian dipilah menjadi dua bagian. Pembagian data tersebut berdasarkan pada objek material dan objek formal penelitian. Data yang pertama berisi pustaka 19 tentang objek formal etika utilitarianisme. Data yang kedua berisi pustaka tentang objek material pemikiran etika utilitarianisme yang terdapat dalam berbagai karya. b. Klasifikasi data, pada tahap ini tahap ini data yang telah diperoleh mulai diklasifikasikan dan dipilah-pilah berdasarkan bab dan sub-bab yang telah penulis susun sesuai dengan rencana dan kebutuhan. c. Pengolahan data, data-data yang telah diklasifikasikan mulai dianalisis sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian d. Penyajian penelitian, memaparkan hasil analisis dituangkan ke dalam bentuk laporan penelitian yang sistematis dan teratur berdasarkan subsub bab yang telah ditentukan. Penyajian data diawali dari pokokpokok pikiran atau unsur-unsur yang paling mendasar dan sederhana, kemudian menuju pada pokok pembahasan yang lebih rumit. 3. Analisis Hasil Berdasarkan pada buku Metodologi Penelitian Filsafat dari Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair (1990:108), maka dalam melakukan analisa terhadap data-data, dipergunakan unsur-unsur metodis sebagai berikut: a. Interpretasi yaitu, penulis mencoba membangun pemahaman yang mendalam, mengenai data-data peristiwa atau situasi problematik, menangkap aspek filsafati yang tersembunyi dalam hukuman mati, sehingga memperoleh pemahaman yang komprehensif. b. Komparasi, dimaksudkan untuk membandingkan antara pandangan yang satu dengan pandangan yang lainnya dalam etika utilitarianisme 20 terkait dalam persoalan hukuman mati. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan filsuf yang diteliti. Hasilnya akan tercermin dalam evaluasi kritis. c. Holistika yaitu, melihat masalah hukuman mati dalam rangka keseluruhan hakikat manusia, kaitanya hubungan manusia dengan sesama dan Tuhan. Pandangan yang total tersebut menentukan secara definitive kedudukan masing-masing unsur dalam situasi atau masalah kongkrit. d. Deskripsi yaitu, dimaksudkan untuk memaparkan konsep problematika etis dalam hukuman mati dengan berdasarkan data-data yang terkumpul. e. Refleksi peneliti pribadi, sesuai dengan sasaran penelitian dapat diberikan evaluasi tentang filsafat tersembunyi yang kemudian disusun suatu konsepsi menyeluruh, seimbang dan lengkap. Langkah ini digunakan untuk membahas dan menyoroti relevansinya dengan pengembangan kesadaran moral bangsa Indonesia. F. Sistematika Penelitian Hasil penelitian dilaporkan dalam lima bab sebagai berikut: BAB I : Berisi memaparkan penjelasan umum tentang penelitian ini yang terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang akan dicapai, dan sistematika penelitian. 21 BAB II : Berisi pemaparan hukuman mati di Indonesia, yang terdiri dari pengertian hukuman mati, sejarah hukuman mati, tata cara pelaksanaan eksekusi hukuman mati, perdebatan hukuman mati, hukuman mati dalam perspektif agama. BAB III : Berisi pemaparan etika utilitarianisme, yang terdiri atas: pengertian etika, pemaparan utilitarianisme terdiri atas pemaparan konsep kesenangan dan kebahagian pada masa Yunani kuno, historisitas utilitarianisme, konsep dasar utilitarianisme terdiri atas pemikiran dua tokoh utilitarianisme Jeremy bentham dan J.S Mill, dan bentuk-bentuk utilitarianisme, BAB IV : Berisi pemaparan analisis konsep etika utilitarianisme dalam eksekusi hukuman mati, yang terdiri atas, hukuman mati dalam tinjauan etika dan moral, hukuman mati dalam tinjauan etika utilitarianisme. Berisi pemaparan refleksi kritis etika utilitarianisme relevansinya dengan penegakan hukum di Indonesia, dan pemaparan kelemahan dan kelebihan etika utilitarianisme. BAB V : Berisi penutup terdiri atas kesimpulan umum dan beberapa saran dari peneliti.