1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang masih menerapkan hukuman
mati atau pidana mati dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) untuk
beberapa kejahatan yang dinilai sebagai kejahatan berat. Data dari Badan Pekerja
Kontras hingga tahun 2007 sebanyak 60 terpidana telah di eksekusi mati dan 118
orang masih menunggu pelaksanaan eksekusi. Tahun 2008 jumlah terpidana mati
bertambah 10 orang terpidana kasus Bom Bali. Pada tanggal 18 Januari 2015
dilakukan eksekusi pidana mati terhadap 6 terpidana kasus narkotika (Samsul,
2015:1). Kejaksaan Agung Republik Indonesia menyebutkan terdapat 131
terpidana mati terdiri dari berbagai kasus pembunuhan, terorisme dan Narkotika
yang terdiri dari dari warga negara Indonesia dan warga negara asing (Harian
Tribun 25 Januari 2015).
Hukuman mati merupakan salah satu bentuk sanksi pidana yang
mengandung keseluruhan ketentuan dan larangan bersifat memaksa. Sanksi ini
bertujuan untuk menegakkan norma hukum secara preventif agar membuat orang
takut melakukan pelanggaran yang telah ditetapkan (Humulhaer, 2011:17).
Hukuman mati dapat dipahami sebagai suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan
oleh pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang
dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya (Utrecht, 1968:107). Pelaksanaan
1
2
hukuman mati disebut eksekusi (pelaksanaan putusan hakim atau badan
pengadilan) terhadap terpidana mati.
Hukuman mati di Indonesia dikenal sejak zaman kerajaan, sebagai
hukuman pokok terhadap orang yang bersalah. Eksekusi hukuman mati
dilaksanakan dengan berbagai cara seperti, digantung, pancung, ditikam dengan
keris, dicekik dan ditenggelamkan di laut. Hukuman mati di Indonesia saat ini
secara yuridis dan historis diatur dalam KUHP, yang sebagian besar berasal dari
aturan hukum Belanda, yaitu Wetboek Van Strafecht (WSV). Belanda sendiri
telah menghapuskan hukuman mati sejak tahun 1870 dalam hukum undangundang, terkecuali dalam keadaan perang. Berbeda dengan Belanda, hukuman
mati di Indonesia masih diberlakukan dan dipertahankan dalam perundangundangan dengan berbagai tujuan dan alasan (Arba‟I, 2012:15).
Tujuan Indonesia menerapkan ancaman hukuman mati adalah untuk
memenuhi rasa keadilan untuk masyarakat dan untuk mencegah terjadinya
kembali kejahatan berat yang merugikan masyarakat. Hukuman mati diterapkan
pada beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu mencakup KUHP, UU
Narkotika, UU anti korupsi, UU anti terorisme, dan UU pengadilan HAM
(Hameda, 2013:2-3)
Penerapan hukuman mati di Indonesian menimbulkan pro dan kontra.
Kelompok yang mendukung hukuman mati, memiliki alasan bahwa hukuman
mati pantas untuk diterapkan terhadap terpidana kejahatan berat agar tercipta
keadilan dan kasus kejahatan yang sama tidak terulang lagi. Kelompok yang
menolak hukuman mati menuntut agar hukuman mati dihapuskan. Hukuman mati
3
bertentangan dengan tujuan pemidanaan, Pancasila, Undang-undang Dasar 1945,
dan Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya dengan hak untuk hidup (the right to
life). Belum terdapat bukti ilmiah yang kuat bahwa hukuman mati merupakan
sarana efektif untuk mencegah tindak kejahatan yang sama untuk tidak terulang
lagi (Rahman, 2013:1).
Hukuman mati pada intinya berkaitan dengan moralitas, hak hidup dan
keadilan baik bagi terpidana mati maupun bagi korban dari kejahatan. Di sisi lain
upaya perlindungan sosial bagi masyarakat merupakan sebab penting hukuman
mati dipertahankan. Hukuman mati menjadi isu menarik untuk dikaji dari
berbagai bidang ilmu salah satunya adalah etika. Etika adalah cabang dari filsafat
yang membahas mengenai apa secara moral benar dan salah, serta baik dan buruk.
Benar dan salah adalah kualitas yang ditetapkan untuk suatu tindakan atau
perbuatan, sedangkan baik dan buruk adalah kualitas dari akibat suatu tindakan
(Souryal, 1999:82).
Teori etika normatif yang dipilih untuk membahas hukuman mati adalah
utilitarianisme. Utilitarianisme adalah etika yang menilai kebaikan suatu tindakan
atau kebijakan berdasarkan menghasilkan kebaikan terbesar untuk jumlah terbesar
(Magnis-Suseno, 1997:122). Rasionalitas dan universalitas serta kecepatan dalam
memberikan keputusan
moral
menjadi
nilai
lebih utilitarianisme
yang
berpengaruh pada berbagai kebijakan dan pengambilan keputusan dalam berbagai
bidang.
Etika utilitarianisme digunakan untuk menelaah, mencari alasan-alasan
moral hukuman mati dipertahankan dan untuk mengetahui pertimbangan terkait
4
dengan hak hidup dan keadilan. Etika utilitarianisme dikenal mengupayakan
manfaat dan kebaikan bagi sebanyak mungkin orang. Prinsip dasar utilitarianisme
sesuai dengan salah satu tujuan hukum yaitu mencegah dan melindungi
masyarakat luas dari tindak kejahatan. Oleh sebab itu, karya ini juga hendak
menganalisis sumbangan apa yang ditawarkan etika utilitarianisme untuk
pernegakan hukum di Indonesia.
Berdasar uraian tersebut, karya tulis diberi judul “Eksekusi Hukuman Mati
dalam Perspektif Etika Utilitarianisme Relevansinya dengan Penegakan Hukum di
Indonesia”. Karya ini dibatasi oleh objek formal yaitu etika Utilitarianisme dan
objek material eksekusi hukuman mati relevansinya dengan penegakan hukum.
1. Perumusan Masalah
Permasalahan yang dirumuskan dari pemaparan latar belakang adalah
sebagai berikut:
a. Apa masalah etis eksekusi hukuman mati di Indonesia?
b. Apa pandangan etika utilitarianisme terkait eksekusi hukuman mati?
c. Bagaimana relevansi etika utilitarianisme terkait penegakan hukum di
Indonesia?
2. Keaslian Penelitian
Penelitian dalam berbagai bidang menggunakan sudut pandang etika
banyak ditemukan di Fakultas Filsafat sejauh penelusuran penulis. Beberapa karya
penelitian mengenai objek formal Utilitarianisme yang ditemukan dalam Skripsi
dan Tesis di Fakultas Filsafat antara lain:
5
a. Praktik Kloning Manusia Dalam Perspektif Etika TeleologisUtilitarianisme ditulis oleh Yosef Adicita tahun 2014. Perspektif etika
teleologis-utilitarianisme digunakan untuk menelaah berbagai polemik
yang ditimbulkan oleh praktik kloning manusia sebagai suatu tindakan
yang harus diperhitungkan antara hasil baik dan buruk yang akan
diakibatkannya
b. Abortus Provocatus Dalam Perspektif Etika Utilitarianisme, tesis yang
ditulis oleh Murni Wijinasih tahun 2006. Pada penelitian ini,
utilitarianisme menelaah persoalan aborsi dimana utilitarianisme
menawarkan pandangan yang lebih moderat dan tidak memihak untuk
memecahkan persoalan kehamilan yang tidak dikehendaki.
c. Telaah Filosofis Atas Penggunaan Narkotika, Alkohol, Psikotropika
Dan Zat-zat Adiktif (NAPZA): Perspektif Etika Utilitarianisme John
Stuart Mill, tesis yang ditulis oleh Lestanta Budiman tahun 2005. Etika
utilitarianisme digunakan sebagai analisis karena prinsip utilitas,
kebebasan dan kebahagiaan sangat relevan sebagai dasar penilaian
moral atas pelaku penggunaan (penyalahgunaan) NAPZA.
Penelitian mengenai objek material hukuman mati, sejauh pengamatan
penulis, masih sangat terbatas ditemukan di Fakultas Filsafat dan di lingkungan
Universitas Gadjah Mada. Beberapa penelitian yang terkait hukuman mati sebagai
objek material penelitian dalam penulisan skripsi, tesis, maupun disertasi di
lingkungan Fakultas Filsafat dan Universitas Gadjah Mada adalah sebagai berikut:
6
a. Pertimbangan Etis Bagi Hukuman Mati Terhadap Koruptor Di
Indonesia Ditinjau Dari Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal
Perserikatan Bangsa-Bangsa, skripsi yang ditulis oleh Diah Nusantari
pada Tahun 2011. Membahas mengenai hukuman mati ditinjau dari
perspektif etis dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal PBB,
yang pada kesimpulan bahwa hukuman mati pada koruptor merupakan
salah satu cara untuk membuat koruptor jera dan meminimalisasi
angka korupsi di Indonesia.
b. Pidana Mati Di Indonesia Tinjauan Menurut Filsafat Pancasila,
skripsi yang ditulis oleh Teddy Sutikno pada tahun 1989. Penelitian ini
lebih menekankan hukuman mati melalui Perspektif Filsafat Pancasila,
dimana dalam kesimpulannya menyatakan bahwa hukuman mati tidak
bertentangan
dengan
Pancasila
karena
tidak
diragukan
azaz
kemanfaatanya untuk melindungi serta memelihara harkat martabat
manusia sebagai mahluk Tuhan, dari tindakan keji dan melanggar
norma serta moral, sehingga hukuman mati dianggap masih relevan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional hingga masa
datang.
c. Eksistensi Hukuman Mati Dalam Dunia Internasional, Tesis yang
ditulis oleh Mujizad Abdurrazak tahun 2014. Penelitian pada tesis ini
lebih menekan pada eksistensi hukuman mati di dunia Internasional
relevansinya dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Kesimpulan akhir
dari penelitian ini berkesimpulan bahwa pengaruh hak asasi dewasa ini
7
baru sebatas menghimbau negara-negara untuk menghapuskan
hukuman mati dan belum sampai kepada tahap yang lebih keras
(pemaksaan) untuk meninggalkan hukuman mati.
Hukuman mati sebagai objek material pembahasan ditemukan dalam
beberapa judul buku di Fakultas filsafat dan Universitas Gadjah Mada, antara lain:
a. Kontroversi Hukuman Mati (Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi)
yang ditulis oleh Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay tahun 2009.
Buku tersebut memaparkan pandangan, analisis, tinjauan kritis para
pakar hukum dalam negeri maupun luar negeri mengenai pro dan
kontra hukuman mati.
b. Menolak Hukuman Mati, ditulis oleh Yon Artiono Arba‟I tahun 2012.
Buku ini memaparkan hukuman mati dalam perspektif sejarah, agama,
dan teori hukum.
c. Hukuman Mati Menurut Islam (sebuah rekaman diskusi panel) ditulis
oleh Mawardi A.I tahun 1980. Makalah ini memaparkan pandangan
hukuman mati dari perspektif agama Islam dan Pancasila.
Pembahasan mengenai objek material hukuman mati ditemukan di
beberapa jurnal antara lain:
a.
“Penerapan Hukuman Mati di Indonesia” ditulis oleh Siti Humulhaer,
dalam Jurnal Supremasi Hukum Vol.7 No.1 Januari 2011, membahas
mengenai hukuman mati dalam perspektif filsafat hukum dan
Pancasila.
8
b. “Tinjauan Hak Asasi Manusia Terhadap Penerapan Hukuman Mati di
Indonesia”, ditulis oleh Veive Large Hameda dalam Jurnal Lex
Crimen, Vol.II No.I Januari-Maret 2013, membahas hukuman mati
dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM).
c. ”Praktek Hukuman Mati Di Indonesia”, penelitian yang ditulis oleh
Badan Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan
(Kontras) tahun 2007, memaparkan data praktek hukuman mati di
Indonesia dan penjelasan mengenai penolakan terhadap hukuman mati.
d. “Konstitusional Hukuman Mati di Indonesia” ditulis oleh Nelvita
Purba dalam Jurnal Kultura Vol.13.No1 Juni 2012, membahas
hukuman mati dari perspektif Undang-Undang mengenai hukuman
mati.
Berdasarkan pengamatan dan sumber yang dikumpulkan, belum ada yang
secara khusus yang membahas tentang, “Eksekusi Hukuman Mati dalam
Perspektif Etika Utilitarianisme Relevansinya dengan Penegakan Hukum
Indonesia”. Maka dari itu karya tulis ini dapat dipertanggungjawabkan
keasliannya.
3. Manfaat yang diharapkan
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, baik secara
langsung maupun tidak langsung terhadap pembaca. Adapun manfaat yang
diharapkan dari penelitian ini adalah:
9
a. Bagi ilmu pengetahuan
Penelitian ini selain untuk menambah khasanah dalam ilmu
pengetahuan khususnya etika, juga memberikan sumbangan bagi
pemikiran kritis filosofis dalam memecahkan persoalan hidup manusia,
sehingga dapat membuka perspektif baru dalam memandang hukuman
mati.
b. Bagi bangsa dan negara
Karya ini dapat memberi sumbangan pemikiran dan pandangan
moral terhadap penerapan hukuman mati di Indonesia untuk lebih
selektif dalam memberlakukan hukuman mati agar kedepanya
penegakan hukum berjalan sesuai tujuan hukum itu sendiri.
c. Bagi penelitian
Karya ini dapat menambah kekayaan penelitian dalam bidang
etika, dan dapat menjadi acuan untuk penelitian serupa. Penelitian ini
bagi peneliti semakin memahami mengenai persoalan eksekusi
hukuman mati tidak menurut pandangan umum atauapun hukum tetapi
lebih mendalam pada sudut pandang etika utilitarianisme.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitan ini untuk menjawab permasalahan yang ada dalam
rumusan masalah yaitu:
10
1. Menemukan permasalahan etik pada penerapan hukuman mati di
Indonesia.
2. Memaparkan pandangan etika utilitarianisme terkait hukuman mati.
3. Menganalisis relevansi etika utilitarianisme terkait dengan penegakan
hukum di Indonesia.
C. Tinjauan Pustaka
Hukuman mati atau pidana mati diartikan sebagai suatu hukuman yang
dijatuhkan oleh instansi pengadilan kepada seseorang yang melanggar hukum
pidana, dilaksanakan dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan terpisahnya
jiwa dari raga (Hamzah, 1986:475).
Hukuman mati telah dikenal sejak perundang-undangan Nabi Musa
(mozaische wetgeving), demikian juga pada zaman berlangsungnya hukum
Yunani, Romawi, Jerman, dan Katolik. Bahkan pelaksanaanya lebih kejam,
terutama pada zaman kekaisaran Romawi (Arba‟I, 2002:5). Hukuman mati
dikatakan sebagai hukuman tertua, disamping hukuman denda dan pidana fisik.
Pidana mati dikenal di seluruh dunia meski sejak awal abad 20 banyak negara
yang menghapuskannya. Beberapa negara memang telah menghapuskan hukuman
mati dari aturan hukum yang berlaku, namun tidak pernah melaksanakannya.
Beberapa negara juga mencoba membatasi penerapan hukuman mati dengan
memperkenalkan hukuman mati yang ditunda. Ada pula negara, baik negara maju
maupun berkembang, yang sepenuhnya menghapuskan hukuman mati untuk
semua bentuk kejahatan tanpa pengecualian (Arba‟I, 2002:8-9).
11
Hukuman mati pada dasarnya merupakan bentuk hukuman klasik, yang
diasumsikan sebagai bentuk hukuman yang mampu menjerakan bagi yang belum
melakukan tindak pidana. Bentuk hukuman mati, masih merupakan hukuman
yang memiliki daya dan kekuatan untuk membuat orang lain jera (2013: 6).
Tujuan hukuman mati berdasarkan yaitu sebagai upaya mengembalikan
rasa keadilan masyarakat. Pelaku kejahatan harus ditimpa derita yang berupa
pidana atau hukuman yang sekaligus sebagai pengajaran agar pelaku kejahatan
menjadi jera. Hukuman mati mencegah adanya tindakan main hakim sendiri oleh
masyarakat kepada pelaku kejahatan. Hukuman mati berfungsi sebagai pelajaran
bagi setiap anggota masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan. Hukuman mati
bertujuan sebagai upaya mendidik pelaku kejahatan agar menyadari kesalahan
untuk bertobat. Hukuman mati sebagai sarana mendidik masyarakat agar tidak
mencoba melakukan kejahatan yang akan merugikan dirinya sendiri serta orang
lain (Hameda, 2013: 114-115).
Pelaksanaan pidana mati di Indonesia harus memperhatikan empat hal
penting. Pertama, hukuman mati bukanlah merupakan hukuman pokok,
melainkan pidana yang bersifat khusus dan alternatif. Kedua, pidana mati dapat
dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana
berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama
20 tahun. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang
belum dewasa. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan
seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut
melahirkan dan terpidana sakit jiwa tersebut sembuh (Lubis dan Lay, 2009: xi).
12
Pendapat mengenai pro dan kotra terhadap hukuman mati akan terus ada
selama hukuman mati masih diterapkan. Kelompok yang menolak hukuman mati
memberikan pandangan bahwa kehidupan adalah suci. Kesucian hidup
menghindarkan setiap orang atau bangsa untuk mengambil apa yang Tuhan
ciptakan. Hukuman mati tidak menghalangi tindak kejahatan untuk tidak terulang
lagi. Hukuman mati merupakan alat dari bias kelas dalam arti pelaksanaan
hukuman mati ada kemungkinan untuk tidak objektif dan bisa jadi terjadi
kesalahan yang tidak bersalah menjadi mati. Retribusi atau balas dendam adalah
hal yang tidak beradap dan manusiawi. Hukuman mati menghindarkan rehabilitasi
bagi pelaku. Hukuman mati menyebabkan rusaknya sistem keadilan kriminal
(Souryal, 1999:427-429).
Pandangan yang mempertahankan hukuman mati menyatakan hukuman
mati adalah cara satu-satunya untuk pencegahan melawan kejahatan dan
menyeimbangkan skala keadilan. Hukuman mati dapat menghalangi kejahatan.
Hukuman mati merupakan cara ekonomi untuk mengatur pelanggaran. (Souryal,
1999: 429-430). Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan
hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat
luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Demi menjaga hak hidup
masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati (Zaini,
2013:3).
D. Landasan Teori
Etika berasal dari kata Yunani, ethos yang berarti kesedian jiwa akan
kesusilaan. Selanjutnya etika, dipahami dalam ruang lingkup filsafat, merupakan
13
ilmu pengetahuan yang membicarakan, membahas dan menyelidiki hakikat
tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan buruk secara objektif, sesuai
dengan tujuan filsafat yaitu ingin memperoleh realitas ilmiah yang tertinggi
mengenai suatu objek, yang terbatas pada realitas mengenai baik buruk tingkah
laku manusia. Tujuan dari etika sebagai salah satu cabang ilmu filsafat adalah
untuk mendapatkan padangan dan pedoman yang luas dan mendalam mengenai
masalah baik dan buruk tingkah laku atau tindakan moral manusia sepanjang
zaman (Fudyartanta, 1974:1-6).
Etika memiliki tiga posisi, yaitu sebagai (1) sistem nilai, yakni nilai-nilai
dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya, (2) kode etik, yakni kumpulan asas atau nilai
moral, dan (3) filsafat moral, yakni ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika
adalah ilmu yang membahas mengenai moralitas atau tentang manusia sejauh
berkaitan dengan moralitas atau dengan kata lain etika merupakan ilmu yang
menyelidiki tingkah laku moral yang terbagi dalam tiga pendekatan yaitu,
pertama etika deskriptif (melukiskan etika tingkah laku moral dalam arti luas
misalnya dalam ruang lingkup kebudayaan). Kedua, etika normatif (bagian
terpenting etika di mana berlangsungnya perdebatan atau diskusi mengenai
masalah-masalah moral) yang dibagi menjadi dua etika khusus atau terapan dan
etika umum. Ketiga, metaetika mempelajari ucapan-ucapan etis di bidang
moralitas (Bertens, 2005: 6-15).
Etika normatif berdasarkan tindakan yang dilakukan dibedakan menjadi
dua, yaitu etika teori besar: i) deontologi (Yunani: deon, „yang diharuskan, yang
14
wajib‟) yang menyatakan bahwa benar salahnya suatu tindakan tidak dapat
ditentukan dari akibat-akibat tindakan itu melainkan ada cara bertindak yang
begitu saja terlarang atau begitu saja wajib; ii) teleologis atau consequentialism
(dari Yunani: telos, „tujuan‟) mengatakan bahwa betul tidaknya tindakan justru
tergantung pada akibat-akibatnya kalau akibatnya baik, boleh bahkan wajib
dilakukan, kalau akibatnya buruk maka tidak boleh. (Magnis-Suseno, 1975:7980).
Utilitarianisme merupakan salah satu teori etika teleologis yang sering
digunakan dalam berbagai aspek dan tingkatan kehidupan, karena dianggap
bersifat internal, koheren, sederhana, menyeluruh dan dapat secara cepat untuk
menjawab persoalan etis (Ni‟am, 2008:1).
Teori utilitarianisme mengindikasikan tindakan etis yang cenderung
memaksimalkan kebahagian dan meminimalkan penderitaan. Semakin besar
kebahagiaan semakin besar nilai moral dari tindakan tersebut. Semakin banyak
orang yang merasakan manfaat dari tindakan tersebut semakin baik tindakan
tersebut (Souryal, 1999:47).
Utilitarianisme klasik, teori yang dikemukakan oleh Bentham dan Mill
dapat diringkas dalam tiga pernyataan: Pertama, tindakan harus dinilai benar atau
salah hanya demi akibat-akibatnya (consequences). Kedua, dalam mengukur
akibat-akibatnya, satu-satunya yang penting jumlah kebahagiaan atau tindakan
kebahagiaan yang dihasilkan. Ketiga, kesejahteraaan setiap orang dianggap sama
pentingnya (Rachels, 2004:187). John Stuart Mill menegaskan dalam dalam essay
“Utilitariansm” menyatakan prinsip utilitas, sebagai berikut
15
“actions are right in proportion as they tend to promote happiness, by
happiness is intended pleasure and the absence of pain by
unhappiness, pain, and the privation of pleasure” (Mulgan, 2007:1).
“tindakan dinilai baik, berbanding lurus terhadap kebahagiaan yang
ditimbulkannya, kebahagiaan yang dimaksudkan di sini adalah
kenikmatan yang diperuntukkan dan ketiadaan akan kesengsaraan oleh
ketidakbahagiaan, perasaan sakit dan kekurangan rasa nikmat”
Teori utilitarianisme membedakan prinsip utama utilitarian yaitu
utilitariaisme tindakan dan utilitarianisme aturan. Utilitarianisme tindakan adalah
menimbang
tindakan
berdasarkan
kecenderungan
dalam
menghasilkan
kebahagiaan atau penderitaan. Utilitarianisme aturan lebih fleksibel dimana suatu
tindakan diperbolehkan bila akibat yang dihasilkan baik untuk tujuan baik
(Souryal, 1999:47-48).
William H. Shaw (1999: 2) menegaskan dalam buku “Contemporary
Ethics
Taking
account
of
Utilitariansm”
mengenai
ide
fundamental
utilitarianisme,
“Two fundamental ideas underline utilitarianism: first, that results of
our action are the key to their moral evaluation, and second, that one
should assess and compare those results in terms of happiness or
unhappiness they cause (or more broadly, in term of their impact on
people’s well-being).”
“Dua ide yang mendasari utilitarianisme: pertama, akibat dari tindakan
adalah kunci dalam evaluasi dari tindakan tersebut, dan kedua, bahwa
seseorang harus menilai dan membandingkan akibat-akibat tersebut,
dalam kerangka kebahagian atau ketidakbahagian yang diakibatkan
oleh tindakan tersebut (secara lebih luas, dalam kerangka akibat
tindakan tersebut pada kesejahteraan masyarakat).”
16
Julian Baggini dan Peter S. Fosl dalam buku “The Ethics Toolkit A
Compendium of Ethical Consepts and Methods” (2007: 57-58), menyatakan
terdapat beberapa bentuk utilitarianisme:
“Hedonic or hedonistic classical utilitarianism: action are right in so
far as they promote the greatest happiness of the greatest number and
wrong in so far as they diminish that happiness. Different types of
pleasure or happiness may be valued differently. Welfare
utilitarianism: actions are right in so far as they promote the welfare
of the greatest number and wrong in so far as they diminish that
welfare well-being, or flourishing. Preferences utilitarianism: action
are right in so far as they allow the greatest number to live according
to their own preferences and wrong in so far as they inhibit their doing
so, even if those preferences aren’t in fact what will make them
experience the most pleasure.”
“Hedonik atau Utilitarinisme hedonistik-klasik: tindakan dinilai benar
sepanjang tindakan tersebut dapat menimbulkan kebahagiaan terbesar
dalam tingkat tertinggi dan dinilai salah sepanjang tindakan tersebut
mengurangi kebahagiaan tersebut. Jenis kenikmatan atau kebahagiaan
mungkin dapat dinilai secara berlainan. Utilitarianisme kesejahteraan:
tindakan dinilai benar sepanjang tindakan tersebut menimbulkan
kesejahteraan dalam tingkat tertinggi dan dinilai salah sepanjang
tindakan tersebut mengurangi kesejahteraan/kemajuan tersebut.
Utiliranisme preferensial: tindakan dinilai benar sepanjang tindakan
tersebut menyediakan kesempatan setinggi-tingginya untuk hidup
berdasarkan preferensi sendiri dan dinilai salah sepanjang tindakan
tersebut menghambat kesempatan untuk hidup sebagaimana tersebut
sebelumnya, bahkan apabila preferensi tersebut tidak akan membuat
mereka mengalami kenikmatan yang paling tinggi.”
E. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan model penelitian masalah faktual (Bakker dan
Zubair, 1990: 107). Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan di mana
17
proses pembuatannya mengunakan data-data pustaka, sumber dari internet, dan
jurnal, sehingga dalam proses pembuatannya diupayakan pada 3 hal, yaitu:
1. Bahan dan materi
Bahan dan materi penelitian diperoleh melalui penelusuran pustaka
yang terkait dengan etika konsekuelisme dan penelusuran pustaka yang terkait
dengan penerapan hukuman mati. Bahan yang digunakan pada penelitian
dikelompokan menjadi 2 bagian, yaitu :
a. Sumber Primer
Adapun sumber primer yang penulis gunakan adalah sebagai berikut:
1) Crips, Roger. 1997. Mill on Utilitarianism. Routledge:London.
2) Dreier, James. 2006. Contemporary Debates in Moral Theory.
Blackwell Publishing:United Kingdom.
3) Foot, Philippa. 1987. Theories of Ethics. Oxford University Press.
4) H. Shaw, William. 1999. Contemporary Ethics Taking Account of
Utilitarianism. Blackwell Publishing: United Kingdom.
5) Jeremy, Bentham1781. An Introduction to The Principles of
Morals and Legislation. Batoche Books Kichener: London
6) Mill, John Stuart. 1871. Utilitarianism. Longmas, Green, Reader
and Dyer: London
7) Mulgan, Tim. 2007. Understanding Utilitariansm. Acumen:UK.
8) Baggini, Julian & S. Fosl, Peter. 2007. The Ethics Toolkit A
Compendium of Ethical Consepts and Methods. Blackwell
Publishing: United Kingdom.
9) K. Frankena, William. Ethics. University of Michigan.
18
10) Bertens, K. 2005. Etika. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
11) Magnis-Suseno, Franz Von.1975. Etika Umum Masalah-Masalah
Pokok Filsafat Moral. Penerbitan Yayasan Kanisius: Yogyakarta.
12) Arba‟I, Yon Artiono. 2012. Aku Menolak Hukuman Mati Atas
Penerapan Pidana Mati. Kepustakaan Popoler Gramedia.
13) Lubis, Todung Mulya dan Lay, Alexander. 2009. Kontroversi
Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Kosntitusi. Kompas:
Jakarta.
b. Sumber Sekunder
Bahan sekuder merupakan tulisan dari sumber lain yang
digunakan penulis sebagai bahan pelengkap dan tambahan. Bahan
didapat dari buku, majalah, surat kabar, maupun artikel internet yang
berhubungan dengan tema penelitian, baik yang berhubungan dengan
objek formal penelitian maupun yang berhubungan dengan objek
material penelitian.
2. Langkah Penelitian
Dalam melakukan penelitian, penulis melakukan 3 tahap penelitian
yang ditempuh, berupa:
a. Pengumpulan data, yaitu mengumpulkan segala data dan informasi
sebanyak mungkin yang diperlukan melalui penelusuran di berbagai
perpustakaan maupun internet. Data-data penelitian kemudian dipilah
menjadi dua bagian. Pembagian data tersebut berdasarkan pada objek
material dan objek formal penelitian. Data yang pertama berisi pustaka
19
tentang objek formal etika utilitarianisme. Data yang kedua berisi
pustaka tentang objek material pemikiran etika utilitarianisme yang
terdapat dalam berbagai karya.
b. Klasifikasi data, pada tahap ini tahap ini data yang telah diperoleh
mulai diklasifikasikan dan dipilah-pilah berdasarkan bab dan sub-bab
yang telah penulis susun sesuai dengan rencana dan kebutuhan.
c. Pengolahan data, data-data yang telah diklasifikasikan mulai dianalisis
sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian
d. Penyajian penelitian, memaparkan hasil analisis dituangkan ke dalam
bentuk laporan penelitian yang sistematis dan teratur berdasarkan subsub bab yang telah ditentukan. Penyajian data diawali dari pokokpokok pikiran atau unsur-unsur yang paling mendasar dan sederhana,
kemudian menuju pada pokok pembahasan yang lebih rumit.
3. Analisis Hasil
Berdasarkan pada buku Metodologi Penelitian Filsafat dari Anton
Bakker dan Ahmad Charis Zubair (1990:108), maka dalam melakukan analisa
terhadap data-data, dipergunakan unsur-unsur metodis sebagai berikut:
a. Interpretasi yaitu, penulis mencoba membangun pemahaman yang
mendalam, mengenai data-data peristiwa atau situasi problematik,
menangkap aspek filsafati yang tersembunyi dalam hukuman mati,
sehingga memperoleh pemahaman yang komprehensif.
b. Komparasi, dimaksudkan untuk membandingkan antara pandangan
yang satu dengan pandangan yang lainnya dalam etika utilitarianisme
20
terkait dalam persoalan hukuman mati. Hal ini bertujuan untuk
mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan filsuf yang diteliti. Hasilnya
akan tercermin dalam evaluasi kritis.
c. Holistika yaitu, melihat masalah hukuman mati dalam rangka
keseluruhan hakikat manusia, kaitanya hubungan manusia dengan
sesama dan Tuhan. Pandangan yang total tersebut menentukan secara
definitive kedudukan masing-masing unsur dalam situasi atau masalah
kongkrit.
d. Deskripsi yaitu, dimaksudkan untuk memaparkan konsep problematika
etis dalam hukuman mati dengan berdasarkan data-data yang
terkumpul.
e. Refleksi peneliti pribadi, sesuai dengan sasaran penelitian dapat
diberikan evaluasi tentang filsafat tersembunyi yang kemudian disusun
suatu konsepsi menyeluruh, seimbang dan lengkap. Langkah ini
digunakan untuk membahas dan menyoroti relevansinya dengan
pengembangan kesadaran moral bangsa Indonesia.
F. Sistematika Penelitian
Hasil penelitian dilaporkan dalam lima bab sebagai berikut:
BAB I
: Berisi memaparkan penjelasan umum tentang penelitian ini yang
terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang akan
dicapai, dan sistematika penelitian.
21
BAB II
: Berisi pemaparan hukuman mati di Indonesia, yang terdiri dari
pengertian hukuman mati, sejarah hukuman mati, tata cara
pelaksanaan eksekusi hukuman mati, perdebatan hukuman mati,
hukuman mati dalam perspektif agama.
BAB III
: Berisi pemaparan etika utilitarianisme, yang terdiri atas:
pengertian
etika,
pemaparan
utilitarianisme
terdiri
atas
pemaparan konsep kesenangan dan kebahagian pada masa
Yunani
kuno,
historisitas
utilitarianisme,
konsep
dasar
utilitarianisme terdiri atas pemikiran dua tokoh utilitarianisme
Jeremy bentham dan J.S Mill, dan bentuk-bentuk utilitarianisme,
BAB IV
: Berisi pemaparan analisis konsep etika utilitarianisme dalam
eksekusi hukuman mati, yang terdiri atas, hukuman mati dalam
tinjauan etika dan moral, hukuman mati dalam tinjauan etika
utilitarianisme.
Berisi
pemaparan
refleksi
kritis
etika
utilitarianisme relevansinya dengan penegakan hukum di
Indonesia, dan pemaparan kelemahan dan kelebihan etika
utilitarianisme.
BAB V
: Berisi penutup terdiri atas kesimpulan umum dan beberapa saran
dari peneliti.
Download