BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di abad 21 ini, perubahan fundamental telah terjadi pada sistem agrikultur di dunia. Adapun sistem agrikultur yang awalnya majemuk jenis metode dan praktiknya di masing-masing kontinental, dikarenakan fenomena globalisasi pada abad ini, secara simultan telah tergantikan oleh sistem yang monokultur dan terintegrasi melalui pengenalan bioteknologi modern.Jika ditinjau dalam keilmuan Hubungan Internasional (HI), melalui upaya para pakar untuk mengobservasi fenomena kebangkitan bioteknologi modern dalam agrikultur di abad 21, kita dapat menarik benang merahnya yaitu di era„dunia tanpa batas‟ dimana setiap aspek kehidupan cenderung dapat terintegrasi, tidak dapat terhindarkan bahwa kita telah memiliki sistem agrikultural baru yang mempengaruhi secara signifikan semua kawasan di dunia, termasuk Asia Tenggara. Hal ini tentunya merupakan implikasi dari upaya ekspansif dari ideologi industrialisme masif pro-bioteknologi modern oleh aktor-aktor transnasional, yang dikukuhkan kembali oleh lembaga-lembaga global yang bermanuver dalam industri agrikultur. Di „Abad Bioteknologi‟1 ini, bioteknologi digunakan di dalam dua ranah yaitu medis dan agrikultur. Bioteknologi di ranah medis dikenal sebagai biomedis, dan dalam bidang agrikultur dikenal dengan istilah bioteknologi agrikultur. Namun dalam kenyataanya, penggunaan bioteknologi pada bidang agrikultur, kemudian mendatangkan polemik serta debatdalam politik transnasional.Yaitu perdebatan ideologis tentang kekuasaan sains terhadap kapital dan moda produksimelalui aspek-aspek dalam kajian ekonomi-politik dalam agrikultur. 1 Dalam hal ini penulis mengacu pada istilah/sebutan yang digunakan oleh IR scholar Robert Falkner (2007) terhadap era dari the emerging of biotechnology as common sense. Lihat dalam Robert Falkner, “The Trouble Birth of the “Biotech Century”: GlobalCorporate Power and Its Limits”, Paper dipresentasikan dalam The Annual Convention of The International Studies Association, 28 Februari-3 Maret 2007, Departement of International Relations, London School of Economics, 2007, hal. 8. Paper dapat diakses melalui URL: http://citation.allacademic.com/meta/p_mla_apa_research_citation/1/7/9/7/7/pages179778/p1797 78-1.php 1 Pada buku terjemahan edisi Indonesia dari karya Vandhana Shiva (2008) dengan judul terjemahan Bioteknologi dan Lingkungan:Perspektif UtaraSelatan, penulis mengutip pengertian bioteknologi dari paragraf kedua kata pengantar yang ditulis oleh Hari Hartiko, M.Sc., Ph. D., sebagai berikut: “Bioteknologi adalah produk dasar yang menghasilkan teknologi baru. Bioteknologi merupakan teknologi pemanfaatan organisme atau produk organisme yang bertujuan untuk menghasilkan bahan dan jasa2”. Dihubungkan dengan pengertian mengkontekstualisasikan dalam pengertian kutipan bioteknologi diatas, dalam penulis ekonomi- politik.Yaitubioteknologi sebagai proses yang merupakan modal atau kapital utama dari sebuah badan usaha, yang berupa teknologi pemanfaatan organisme atau produk organisme, dimana kemudian digunakan untuk menghasilkan komoditas berupa barang/bahan dan jasa. Kita dapat melihat konkretisasi bahwa terdapat lembaga-lembaga riset yang bergerak di bidang farmakologi, dimana objek utama dari pengembangan risetnya, pada awal nya hanya berupa jenis bahan kimia, dalam jangka waktu beberapa dekade kemudian berevolusi menjadi perusahaan, lembaga thinktanks ataupun organisasi transnasional, yang merupakan pengembang dan penghasil komoditas agrikultur berupa Genetically Modified Organisms (GMO) yaitu bibit hasil rekayasa genetika (Genetically Modified Crops) dan hewan ternak hasil rekayasa genetika (Genetically Modified Livestock). Lembaga-lembaga ini kemudian memiliki hak paten terhadap varietas-varietas GMO yang diproduksi dan beredar masif di negara-negara berkembang. Dalam hal ini, pengembangan secara masif bioteknologi modern di abad 21 ini, dapat dikatakan sebagai keberhasilan dari praktik-praktik hegemonik agrikultur hasil rekayasa genetika. Praktik-praktik tersebut kemudian dibantu pengukuhannya secara global oleh lembaga-lembaga supra-nasional, yang kemudian secara signifikan mempengaruhi struktur dan mekanisme pembuatan kebijakan dalam mengaplikasikan metode-metode bioteknologi modern di dalam sistem agrikultur. Tujuan dibuatnya karya skripsi ini adalahmenjelaskan bahwa terdapat proyek politik hegemoni global berupa 2 kegiatan riset,produksi dan Vandhana Shiva, Bioteknologi dan Lingkungan: Perspektif Utara-Selatan, Gramedia Pustaka Utama, KONPHALINDO, Jakarta, 2008, hal. iv, par. 2. 2 pemanfaatan intensif produk agrikultur hasil rekayasa genetika (GMO), serta implikasinya terhadap agro-ekonomi dan kebijakan agrikultur Filipina. Dalam skripsi ini, penulis menelusuri keberadaan aktor-aktor terlibat yang menjadi katalisator dan suksesor dari hegemoni tersebut, serta dampak yang di timbulkannya terhadap mekanisme pembuatan kebijakan agrikultur di Filipina, yaitu think tanks transnasional dan lembaga global. Penulis menitikberatkan analisa pada proses terbentuknya hegemoni bioteknologi modern yaitu agrikultur rekayasa genetika sebagai common sense dalam sektor agrikultur di Filipina.Filipina dipilih karena adopsi riset, pemanfaatan dan proses produksi komoditas agrikultur hasil rekayasa genetika terbesar di Asia Tenggara dilakukan di Filipina. Dengan 800.000 hektar lahan jagung varietas Bt (Bacillus thuriengensis) yang merupakan hak paten kekayaan intelektual milik Monsanto Corp.) dalam kultivasi (data tahun 2014). Hal ini menurut ISAAA (International Service for the Acquisition of Agri-Biotech Applications), mengindikasikan bahwa Filipina telah memenuhi syarat sebagai “biotech mega-countries”3. Keterangan tersebut memperlihatkan bahwa negara-negara di Asia Tenggara, terutama Filipina, terlibat intensif dalam riset, penggunaan dan pemanfaatan GMO pada sektor agrikulturnya. Dapat memungkinkan secara spekulatif, bahwa dalam satu sampai dua dekade mendatang, semua negara-negara di Asia Tenggara telah aktif dalam kegiatan-kegiatan pemanfaatan dan komersialisasi GMO. Adapun perihal yang paling banyak di diskusikan dalam diskursus tentang politik dalam sektor agrikultur dewasa ini, merupakan praktik-praktik kekuasaan yang ditenggarai “sangat halus” namun cukup berimplikasi terhadap terjadinya ketidaksetaraan dalam tata-kelola global Dimana perbedaan kepentingan kemudian berdampak signifikan terhadap sektor agrikultur, jika dilihat dalam perspektif hubungan Utara-Selatan4. Hal tersebut dipicu oleh 3 Thomas Larsson (2015), Agricultural Biotechnology in Southeast Asia: Patterns of Inclusion and Exclusion, 7th SEATIDE paper, WP4 Deliverable 4.3: Online paper 1: Environmental Thinking, hal. 3.Adapun paper dapat di download melalui URL: www.seatide.eu/download.php?filename=SEATIDE%20Online%20paper%207.%20Agricultural %20Biotechnology%20in%20Southeast%20Asia.%20Patterns%20of%20Inclusion%20and%20E xclusion_Tomas%20Larsson.pdf 4 V. Shiva. Op. Cit., hal. 2 3 perkembangan riset dan teknologi yang begitu pesat dalam bidang bioteknologi yang dikenal melalui sebutan bioteknologi modern5. Dikarenakan telah mencapai kemajuan yang sangat pesat, maka praktik bioteknologi modern menjadi kegiatan yang memerlukan investasi kapital dan dana yang luar biasa besar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangannya ke skala industri. Namun di sisi lain pada negara-negara berkembang, pemahaman sebagian besar manusia dan perangkat teknologi untuk pengamanan proses pembuatan produk agrikultur hasil rekayasa genetika, ternyata tertinggal jauh dari penelitian dan pengembangan bioteknologi modern yang melaju pesat di negara-negara industrialisasi Utara. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan, yang dikategorikan sebagai ketidaksetaraan dalam tatanan globaldalam spektrum ekonomi-politik6. Dalam konteks hubungan Utara-Selatan, fenomena bioteknologi modern dan korelasinya dengan kegiatan transnasionalisme, sangatlah berbeda dibandingkan keadaan di luar industrialisasi Utara, dimana kekuatan-kekuatan pertanian dan produksi bahan pangan di negara-negara Selatan secara historis terwujud dalam pengembangan perkebunan kolonial7. Hal ini kemudian ditenggarai sebagai fenomena Hubungan Internasional dalam sebuah tatanan pemerintahan global pada sektor agrikultur di Asia Tenggara. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa setelah munculnya perkembangan teknologi dalam berbagai bidang, aktor-aktor transnasional yang membidangi pengembangan riset bioteknologi modern untuk menghasilkan produk agrikultur hasil rekayasa genetik, berupaya memperluas jangkauan ruang geraknya dalam skala ekonomi makro. Serta menjadi aktor hubungan internasional yang berpengaruh signifikan dalam artikulasi pasar agribisnis internasional8. Fenomena hegemoni yang berdampak pada moda produksi agrikultur dan keberhasilan tatanan hegemonik dalam dampak ekonomi-politikglobal inilah yang kemudian dijabarkan dalam karya skripsi ini. 5 Dapat dilihat dalam Herbert Gottweis, Governing Molecules: The Discursive Politics of Genetic Engineering in Europe and the United States, Cambridge, MA, 1998, hal. 18, dan R. Burbach & P. Flynn, Agribussines in the Americas: The Political Economy of Corporate Agriculture, Monthly Review Press, New York, 1980, hal. 67. 6 Lihat dalam S. P. McGiffen, Biotechnology: Corporate Power versus The Public Interest, Pluto Press, London, 2005, hal. 13-14. 7 Lihat dalam R. Burbach & P. Flynn, Op. Cit., hal. 68-69. 8 Lihat dalam Robert Falkner, Op. Cit., hal. 2-32. 4 B. Rumusan Masalah Pertanyaan riset sentral sebagai dasar dibuatnya karya skripsi ini adalah, bagaimanakah hegemoni agrikultural rekayasa genetika berlangsung sebagai proyek politik di Filipina? C. Kerangka Konseptual Untuk menjelaskan bagaimana model agrikultural rekayasa genetika berlangsung sebagai proyek politik hegemoni di Filipina, penulis menggunakan konsep hegemoni yang dikembangkan oleh ilmuwan politik Italia, Antonio Gramsci (1891-1937) di dalam kumpulan tulisan-tulisannya yang kemudian dikenal dengan judulPrison Notebooks. Hegemoni menurut Gramsci menggambarkan aktivitas kelompok yang sedang dominan maupun keberadaan kekuatan-kekuatan progresif9.Menurut teori Gramsci, apa pun jenis kelompok sosialnya ataupun aktornya, dapat dilihat bahwa terdapat tahapan perkembangan simultan tertentu yang harus dilalui sebelum suatu/sebuah kelompok sosial dapat menjadi hegemonik. Dalam hal ini, Gramsci setuju pada argumen Marx tentang materialisme, yaitu persyaratan pertama yang harus di akuisisi oleh sebuah kelompok sosial dalam mencapai posisi hegemonikadalah kekuatan ekonomi. Artinya, kekuatan material telah cukup dikembangkan oleh sebuah/suatu kelompok sosial, sehingga entitas-entitas didalamnya dianggap mampu memecahkan problem-problem sosial yang mendesak. Gramsci kemudian berlanjut menyatakan bahwa terdapat tiga (3) tingkat perkembangan politik simultan yang harus dicapai. Tahap pertama dari pembentukan hegemoni disebut “korporat-ekonomis”.Korporatis disinidipahami sebagai individu yang mengutamakan kepentingannya sendiri. Seseorang berafiliasimelalui tahap korporat-ekonomis sebagai fungsi dari kepentingan pribadinya. Dimanamereka menyadari bahwa dukungan dari yang lain dibutuhkan untuk memperoleh keamanan mereka sendiri. Dalam kita juga dapat menggunakkan istilah ini kepada kerjasama jangkapendek antara kapitalis-kapitalis yang sesungguhnya saling berkompetisi satu sama lainnya. 9 A. Gramsci (au.), Q. Hoare (ed.) & G. N. Smith, (trans.), Selections from the Prison Notebooks, Lawrence and Wishart, London, 1971, hal. 56. 5 Hal yang ditekankan adalah: pada tahap upaya untuk melakukan perkembangan historik dalam konteks kepentingan ini, kelompok yang bersangkutan belum memiliki rasa solidaritas antar sesama anggotanya10. Dalam tahap kedua, anggota-anggota kelompok mulai menyadari bahwa terdapat wilayah kepentingan yang jauh lebih luas daripada yang selama ini ada di dalam idealisme mereka, dimana mereka juga menyadari bahwa terdapat entitas lain yang ternyata berbagi kepentingan dengan mereka, yang akan terus membagi kepentingan-kepentingan ini dalam masa depan yang terjangkau. Dalam tahap inilah rasa solidaritas kemudian berkembang, akan tetapi solidaritas dalam hal ini masihlah hanya berbasiskan kepentingan ekonomi bersama. Pada tahap ini belum terdapat penyelarasan perspektif terhadap cara melihat dunia bersama atau apa pun landasan moralitas/etika semacam itu. Solidaritas seperti ini dapat mengarah kepada upaya-upaya menggalakkan reformasi-reformasi di bidang hukum untuk memperbaiki posisi kelompok tersebut dalam sistem yang ada, tapi belum terdapat kesadaran tentang bagaimana mereka atau yang lainnya, dapat diuntungkan oleh pembentukan sistem yang baru11. Oleh karena itu bagi Gramsci, hanya dengan melewati tahap ketiga-lah maka hegemoni dapat benar-benar terwujud. Dalam tahap ini, anggota-anggota kelompok sosial kemudian mulai menyadari kepentingan dan kebutuhan mereka untuk menjangkau bahkan melampaui apa yang dapat mereka lakukan dalam konteks kelas-kelas mereka tersendiri. Dimana dalam tahap ini, yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan adalah agar kepentingankepentingan mereka juga turut diusung oleh kelompok-kelompok tersubordinasi lainnya, seperti halnya mereka12. Pemahaman Gramsci adalah, bahwa dalam konteks historis yang sedang berusaha diwujudkannya, berjalannya suatu kelompok sosial dari reformisme atas kepentingan pribadi menuju hegemoni, dapat terjadi secara efektif via aparatur negara sebagai lembaga yang memiliki sinergi dengan otoritas. Dalam formulasi yang kompleks ini, beragam ideologi kelompok-kelompok yang beraliansi akan berkumpul. Tidak dapat dipungkiri lagi,bahwa pasti akan terjadi konflik antar masing-masing ideologi-ideologi ini, yang melalui proses 10 Ibid, hal. 56-57. Ibid, hal. 57. 12 Ibid, hal. 58-59. 11 6 perdebatan dan pertarungan, satu ideologi, atau kombinasi penyatuan darinya, akan muncul mewakili kelas-kelas yang beraliansi. Ideologi ini dapat dikatakan sebagai hegemonik, kelompok yang mewakilinya telah meraih posisi “hegemon” atas kelompok-kelompok yang tersubordinasi, yang dalam hal ini Gramsci menyebutnya dengan istilah “subaltern”. Dalam fase ini, suatu kelompok sosial dapat mencapai tingkat hegemoni yang paling sarat kekuasaan, yaitu dengan meraih kesatuan antara tujuan ekonomi dan tujuan politikserta kesatuan moral dan intelektual, yang dalam hal ini dapat dikatakan sebagai saling berbagi suatu pandangan tentang dunia13. Dengan persatuan semacam ini, kelompok-kelompok kepentingandapat mentransformasi masyarakat untuk meletakkan persyaratan bagi ekspansi kelompok hegemonik. Negara menjadi pengatur mekanisme untuk melakukan hal ini: kebijakan dihasilkan dan ditegakkan untuk memungkinkan kelompok hegemonik mencapai tujuan-tujuannya secara efektif dan menciptakan relasi simetris antara tujuannya dengan tujuan kelompok-kelompok lainnya. Meskipun tujuantujuan ini diformulasikan dengan pemikiran untuk memajukan kepentingan satu kelompok, tujuan-tujuan tersebut haruslah juga bersinergi dengan pengalaman semua orang, yangjuga merupakan tujuan semua orang, dan sebagai kepentingan semua orang. Agar ini berjalan efektif, kelompok hegemonik harus memiliki suatu bentuk substansi tertentu dalam menangani kepentingan kelas-kelas yang tersubordinasi. Hal ini dikarenakan kepentingan yang dominan tidak dapat dengan begitu saja diterapkan kepada subordinat mereka14. Tahapan-tahapan simultan terbentuknya hegemoni menurut Gramsci diatasdikaitkan dengan konteks sosio-kultural dan keadaan realpolitic di Asia Tenggara, yang mempengaruhi secara signifikan keadaan pengelolaan agrikultural di Filipina, melalui pemahaman-pemahaman berikut. Karena perdagangan bebas telah menjadi suatu dogma dalam sistem perdagangan internasional, maka kemudian menyebabkankendali aktor-aktor transnasional telah mewujud sebagai suatu tatanan hegemonik dalam struktur global. Dimana konkretisasinya berupa praktik-praktik kekuasaan yang ditujukan khusus 13 Lihat dalam A.Gramsci,``Some Aspects of the Southern Question‟‟ dalam A. Gramsci, (au.), R. Bellamby (ed.) & V. Cox (trans.), Pre-Prison Writings, Cambridge University Press, Cambridge, 1926, hal. 313-337. 14 Ibid, hal. 338 7 terhadap pangan dan agro-ekonomi. Seperti halnya pemberlakuan seperangkat pengaturanyang sarat akan politisasi terhadap pembuatan standar keamanan produk agrikultur, serta kebebasan pemasaran dan regulasi ekspor-impor komoditas GMO di negara-negara berkembang Asia Tenggara. Hal ini dapat dikaitkan kembali dengan tahap korporat-ekonomis dimana kekuatan material telah cukup dikembangkan, sehingga entitas-entitas di dalam sistem agrikultur ini menganggap bahwa pengadopsian riset pemanfaatan GMO serta proses produksinya, merupakan sebuah kekuatan materiil, yang dalam praktiknya, mampu memecahkan problem-problem dalam sektor agrikultural yang paling mendesak sekalipun. Dengan ini, tahap pertama pembentukan hegemoni telah terjadi. Keberadaan peran strategis lembaga supra-nasional pengatur perdagangan dan finansial perekonomian dunia seperti WTO, IMF dan Bank Dunia, yang kemudian memiliki legitimasi dan berperan dalam mengarahkan dan merestrukturisasi indikator efektifitas keamanan pangan di Filipina, menjadikan logika efisiensi ekonomi dipercayai oleh Filipina, maka kemudian mengakibatkan sejumlah aktor-aktor transnasional memegang kendali riset dan teknologi pada era pasar bebas ini. Hal ini kemudian menjadi semakin masif mengintervensi kepentingan agro-ekonomi Filipina, dalam hal persaingan pemasaran dan daya beli produk agrikultur, serta dapat dengan mudah mengesampingkan resiko validitas indikator keamanan konsumsi nya secara global, bahkan pada tingkat lokal.Hal ini dapat di hubungkan dengan tahap kedua pembentukan hegemoni, bahwa dengan adanya rezim internasional yang memiliki legitimasi dari regulasi-regulasi internasional yang telah disepakati sebagai keputusan bersama, maka sebuah tata kelola global yang berupa regulasi-regulasi kerjasama ekonomi yang terlegitimasi dengan kuat, dibutuhkan untuk mewadahi kepentingan-kepentingan aktor-aktor transnasional. Jika dihubungkan dengan tahap ketiga pembentukkan hegemoni, dengan keberadaan logika ekonomi yang dominan dipakai dalam struktur pemutus kebijakan negara-negara berkembangAsia Tenggara, bahwa kecilnya potensi efisiensi produksi dan besarnya intensifitas labour dari produk agrikultur nonGMO, maka terciptalah pandangan yang lebih luas bahwa GMO dianggap dapat memenuhi standar pencapaian kebutuhan pangan masyarakat dunia. 8 Sehingga tahap pembentukan GMO sebagai sebuahcommon sense dalam hal ini diasumsikan telah terjadi. D. Argumen Utama/Hipotesa Terbentuknya hegemoni agrikultur rekayasa genetika di Filipina bisa dijelaskan sebagai hasil dari relasi antara dua proses. Proses yang pertama adalah terbentuknya strukturasi hegemonik yang disokong oleh riset, pengembangan proses produksi dan pemanfaatan produk GMO yang sangat masif di dunia, termasuk di wilayah Asia Tenggara, yang kemudian membentuk tatanan diskursif bioteknologi modern di Filipina. Proses tersebut berkelindan dengan proses kedua yang membentuk relasi produksi transnasional. Hal ini berlangsung dalam bentuk hubungan agro-ekonomi antara negara dengan pasar agrikultur global. Tatanan ini diperkuat oleh dua jenis aktor global besar yaitu, (1) aktor-aktor think-tanks transnasional yang bertujuan mewujud-nyatakan ideologi pro-bioteknologi modern melalui penetrasi praktek-praktek eksperimental agro-teknologi bioteknologi modern dan peredaran produktivitas secara massal produk-produk agrikultur GMO, serta (2) institusi-institusi pengatur kebijakan liberalisasi perdagangan dan finansial global, yang berperan aktif dalam memformulasikan ketentuanketentuannya, untuk membebaskan aktor-aktor transnasional agar dapat memproduksi, mendistribusikan dan memasarkan GMO secara luas ke seluruh dunia. Pengukuhan tersebut bersinergi dengan kepentingan Filipina sebagai negara berkembang yang ingin mendorong laju perekonomian nasional melalui sektor agrikultur. Moda produksidari bioteknologi modern dengan pemanfaatan maksimal GMO, dianggap mampu menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi dalam sektor agrikulturnya, serta mendukung laju percepatan pertumbuhan agro-ekonomi secara regional maupun nasional. Hal-hal ini yang kemudian mengakibatkan Filipina berposisi sebagai subaltern dalam tatanan ini. Oleh sebab itu, riset, produksi dan pemanfaatan intensif GMO di dalam sektor pangan dan agrikultur, yang asal-usul nya berasal dari upaya ideologi industrialisme masif pro-bioteknologi modern negara-negara adidaya telah 9 diterima sebagai common sense di Filipina yang kemudian berimplikasi signifikan terhadap praktek agro-ekonomi. E. Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam penulisan adalah metode penelitian Kualitatif, yaitu metode penelitian yang menggunakan studi pustaka sebagai sumber utama penulisan. Studi pustaka dilakukan dengan membaca, meninjau dan menganalisis dokumen-dokumen dari sumber-sumber primer berupa regulasi-regulasi serta perjanjian-perjanjian dagang internasional, data-data dari organisasi pemerintah maupun organisasi non-pemerintah, serta menganalisa dari kumpulan data-data sekunder, seperti buku, artikel, jurnal, majalah dan informasi dari website resmi. Analisa dari data-data yang telah didapat kemudian dikategorisasikan ke dalam konsep-konsep yang telah dibahas dalam kerangka konseptual dan landasan teori, serta diolah untuk menjawab rumusan masalah, sekaligus membuktikan hipotesa yang telah disusun untuk kemudian dapat ditarik sebagai kesimpulan. F. Sistematika Penulisan BAB I, berisi Latar Belakang, Rumusan Masalah, Kerangka Konseptual, Argumen Utama/Hipotesa, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan. BAB II,berisi pembahasan aspek historis mengenai terbentuknya strukturasi hegemonik yang tersusun dari model pengetahuan bioteknologi modern yang beroperasi dalam ranah ekonomi-politik, serta penjabaran peran/intensitas kuasa dari aktor-aktor berpengaruh dalam sistem pengelolaan agrikultur dunia, yang menjadi kekuatan ideologis yang kemudian menjustifikasi dikembangkannya kajian riset bioteknologi modern dan pemanfaatan organisme hasil rekayasa genetika di dalam sistem agrikultur Filipina. BAB III, berisi analisis mengenai praktik hegemoni industrialisasi masif probioteknologi modern yang menjelaskan bagaimana relasi produksi transnasional dan hubungan negara-pasar di Filipinakemudian menyebabkan produk agrikultur hasil rekayasa 10 genetika dapat diproduksi dan dikomersialisasikan secara masif, serta membangun common sense di kalangan aktor-aktor yang lebih luas, sehingga mempertegas aspek-aspek hegemonik. BAB IV, berisi kesimpulan. 11