ABSTRAKSI Penilitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada remaja.Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang berjenis kelamin pria dan wanita, berusia 12 sampai 21 tahun, dan bertempat tinggal di perumahan Wisma Cakra-Cinere, Depok. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner dengan melakukan uji validitas dan reliabilitas serta uji hipotesis dengan menggunakan korelasi yaitu Product Moment Pearson. Analisis data menghasilkan nilai korelasi Pearson sebesar -0.553 dengan signifikansi sebesar 0.000 (p<0.05) sehingga hipotesis diterima, berarti ada hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada renaja. Jika dilihat dari mean, diperoleh hasil bahwa mean empirik kecerdasan emosional memiliki skor sebesar 104.07, yang berada diantara mean hipotetik+1SD (97.5+19.5) yaitu sebesar 117. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berada pada kategori rata-rata. Dan pada mean empirik perilaku agresi memiliki skor sebesar 63.11, yang berada diantara mean hipotetik-1SD (72.5-14.5) yaitu sebesar 58. Hal tersebut menunjukkan bahwa perilaku agresi berada pada kategori rata-rata. Kata Kunci : Kecerdasan Emosional, Perilaku Agresi, Remaja PENDAHULUAN Masa remaja dikenal dengan masa yang penuh dengan pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pada masa remaja terdapat beberapa fase, yaitu: fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun), remaja pertengahan (usia 15 tahun sampai dengan 18 tahun), dan masa remaja akhir (usia 18 sampai dengan 21 tahun). Pada fase remaja, individu mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak, baik pada bentuk fisik (terutama organ-organ seksual) dan psikis terutama emosi (Mutadin, 2002). Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Bila aktivitasaktivitas yang dijalani di sekolah (pada umumnya masa remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah) tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan kelebihan energinya ke arah yang tidak positif, misalnya tawuran dan perilaku agresi lainnya. Hal ini menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungannya (Mutadin, 2002). Secara umum hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresi adalah pada individu yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi cenderung perilaku agresinya rendah, sedangkan yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah cenderung perilaku agresinya tinggi, yang berarti bahwa terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada remaja. TINJAUAN PUSTAKA Kecerdasan Emosional Goleman (1995) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Cooper & Sawaf (dalam Mutadin, 2002) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan seharihari. Howes & Herald (dalam Mutadin, 2002) mengatakan pada intinya, kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain. Salovey & Mayer (dalam Davis, 2006) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai sebuah bentuk kecerdasan yang melibatkan kemampuan memonitor perasaan dan emosi diri sendiri atau orang lain, untuk membedakan diantara mereka dan menggunakan informasi ini untuk menuntun ‘pikiran dan tindakan seseorang’. Patton (2002), kecerdasan emosi adalah dasar-dasar pembentukan emosi yang mengcangkup keterampilan-keterampilan seseorang, untuk mengadakan impuls-impuls dan menyalurkan emosi yang kuat secara efektif. Dari beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam memahami dan mengatur emosi diri sendiri maupun orang lain, yang kemudian digunakan sebagai informasi atau yang menuntun atas segala pikiran dan tindakannya. Komponen-Komponen Kecerdasan Emosional Goleman (1995) mengungkapkan lima wilayah kecerdasan emosional yang dapat menjadi pedoman bagi individu untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: a. Mengenali emosi diri atau kesadaran diri (Self-Awareness) Kesadaran diri adalah kemampuan seseorang untuk mengenali perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul. Hal ini menyebabkan individu menyadari emosi yang sedang dialami serta mengetahui penyebab emosi tersebut terjadi serta memahami kualitas, intensitas, dan durasi emosi yang sedang berlangsung. Kesadaran akan intensitas emosi memberi informasi mengenai besarnya pengaruh kejadian tersebut pada individu. Intensitas yang tinggi cenderung memotivasi individu untuk bereaksi sedangkan intensitas emosi yang rendah tidak banyak mempengaruhi individu secara sadar. Kesadaran akan durasi emosi yang berlangsung membuat individu dapat berpikir dan mengambil keputusan yang selaras dalam mengungkapkan emosinya. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan. Sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah (Mutadin, 2002). Menurut Mayer (dalam Goleman, 1995) kesadaran diri adalah waspada baik terhadap suasana hati maupun pikiran kita tentang suasana hati. Menurut Mayer, orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka: 1) Sadar diri Peka akan suasana hati mereka ketika mengalaminya. Kejernihan pikiran mereka tentang emosi telah melandasi kemandirian mereka dan keyakinan akan pendirian mereka. Mereka cenderung melihat kehidupan secara positif dan memiliki jiwa yang sehat. Apabila suasana hati sedang buruk, mereka mampu melepaskan diri dari suasana hati itu dengan lebih cepat. Hal ini terjadi karena mereka tidak risau dan larut di dalamnya, sehingga ketajaman pola pikir mereka menjadi pendorong untuk mengatur emosi. 2) Tenggelam dalam permasalahan Mereka adalah individu-individu yang seringkali merasa dikuasai oleh emosi dan tak berdaya untuk melepaskan diri, seolah-olah suasana hati mereka telah mengambil alih kekuasaan diri. Mereka mudah marah dan amat tidak peka terhadap yang dialami sehingga larut ke dalam perasaan tersebut sehingga tidak mampu untuk mencari perspektif baru. Akibatnya, mereka kurang berusaha untuk melepaskan diri dari suasana hati yang buruk. Seringkali mereka merasa kalah dan secara emosional mereka lepas kendali. 3) Pasrah Meskipun seringkali individu ini peka terhadap apa yang mereka rasakan, mereka juga cenderung menerima suasana hati mereka dan tidak berusaha untuk mengubahnya. Orang yang dapat mengenali perasaan yang muncul pada dirinya merupakan orang yang memiliki kontrol kendali pada kehidupannya sehingga mereka mampu mengambil keputusan-keputusan pribadi dengan lebih mantap. Kesadaran diri membuat individu menjadi waspada dan tidak terhanyut ke dalam aliran emosi tersebut. Kurangnya kewaspadaan diri seseorang dapat mengakibatkan orang tersebut mudah larut dalam aliran emosi sebagai panduan dalam melakukan tindakan. b. Mengelola emosi atau pengendalian diri (Self-Control) Mengelola emosi atau pengendalian diri berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, sehingga terjadi keselarasan antara emosi dan lingkungan. Dengan kata lain, individu dapat mengungkapkan emosinya dengan kadar yang tepat pada waktu yang tepat dengan cara yang tepat (Aristoteles, dalam Goleman 1995). Tujuan pengendalian diri adalah keseimbangan emosi bukan menekan emosi, karena setiap perasaan memiliki nilai dan makna tersendiri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila: mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri. c. Memotivasi diri (Self-Motivation) Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal sebagai berikut: 1) Cara mengendalikan dorongan hati Mengendalikan dorongan hati merupakan akar segala kendali diri emosional, sebab semua emosi, sesuai dengan sifatnya, membawa pada salah satu dorongan untuk bertindak. Setelah individu dapat menguasai dorongan hati tersebut mereka mampu membaca situasi sosial dimana penundaan akan memberi manfaat lebih, mereka juga mampu mengacak perhatian agar tidak selalu berpusat pada godaan yang dihadapi, dan mampu menghibur diri selama mempertahankan kegigihan yang diperlukan untuk meraih sasaran. 2) Derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang Orang yang pintar mengatur emosi dapat memanfaatkan kecemasan antisipasi, misalnya bila akan berpidato atau mau ujian, untuk memotivasi diri guna mempersiapkan diri baik-baik, sehingga dapat melakukannya dengan sempurna. 3) Harapan Harapan adalah lebih dari pandangan yang optimis bahwa segala sesuatunya akan menjadi beres. mempunyai harapan berarti seseorang tidak akan terjebak dalam kecemasan, bersikap pasrah, atau depresi dalam menghadapi sulitnya tantangan atau kemunduran. 4) Optimisme Seligman (dalam Goleman 1995) mendefinisikan optimisme dalam kerangka bagaimana orang memandang keberhasilan dan kegagalan mereka. Oreang yang optimis menganggap kegagalan disebabkan oleh sesuatu hal yang dapat diubah sehingga mereka dapat berhasil pada masa-masa mendatang; sementara orang yang pesimis menerima kegagalan dalam kesalahannya sendiri. Kedua pola yang berlainan ini mempunyai implikasi yang kuat terhadap bagaimana orang menyikapi hidup. 5) Keadaan flow (mengikuti aliran) Keadaan flow yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu objek. Mampu mencapai keadaan flow merupakan puncak kecerdasan emosional. Dalam flow, emosi tidak hanya ditampung dan disalurkan, tetapi juga bersifat mendukung, memberi tenaga, dan selaras dengan tugas yang sedang dihadapi. Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka individu akan cenderung memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya. d. Mengenali emosi orang lain (Emphaty) Mengenali emosi berarti kemampuan menangkap sinyal-sinyal sosial secara tersembunyi yang mengisyaratkan hal-hal yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain atau lebih dikenal dengan empati. Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain. e. Membina hubungan dengan orang lain atau keterampilan sosial (Social Skill) Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Untuk menangani emosi orang lain dibutuhkan dua keterampilan emosi yaitu pengendalian diri dan empati. Dengan landasan ini keterampilan berhubungan dengan orang lain akan menjadi matang atau tidak akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Kemampuan ini memungkinkan seseorang membentuk sesuatu hubungan untuk menggerakkan dan mengilhami orang lain, membina kedekatan hubungan, meyakinkan, mempengaruhi dan membuat orang lain merasa nyaman. Apabila individu tidak memiliki keterampilan-keterampilan semacam ini dapat menyebabkan seseorang seringkali dianggap angkuh, mengganggu atau tidak berperasaan. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional Menurut Goleman (1995) faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional adalah: a. Keluarga Kehidupan keluarga merupakan hal yang paling berpengaruh dalam membangun kecerdasan emosi Goleman (1995) mengatakan bahwa keluarga merupakan sekolah pertama untuk mempelajari emosi. Orang tua yang kecerdasan emosinya tinggi merupakan keuntungan bagi anak, karena orang tua dapat memilih tindakan-tindakan dan pola asuh yang sesuai bagi anak untuk meningkatkan kecerdasan emosi anak. Gottman (1997), mengadakan penelitian terhadap 119 keluarga, dengan mengamati bagaimana orangtua dan anak-anak saling bereaksi dalam situasisituasi yang penuh emosi, membagi tipe orangtua menjadi dua kategori besar: orangtua yang memberi bimbingan kepada anak-anak mereka tentang dunia emosi (yang disebut “pelatih emosi”) dan orang tua yang tidak melakukannya. Tiga tipe yang diidentifikasikan orangtua yang tidak melakukan bimbingan tentang kecerdasan emosi: orang tua yang mengabaikan, orang tua yang tidak menyetujui, orangtua laissez-Faire. b. Pengalaman Semakin anak bertambah dewasa, semakin sedikit waktu yang dihabiskan dalam keluarga. Pengalaman-pengalaman di luar rumah akan memperkaya kecerdasan emosi anak. Hal-hal yang ditemui di luar rumah ada yang dapat meningkatkan kecerdasan emosi atau justru mengurangi kecerdasan emosi. Teori Bandura mengenai belajar sosial mengatakan seseorang akan mempelajari perannya dari kontak sosial (dalam Sarwono, 1991). Demikian juga dengan kecerdasan emosi yang dapat dipelajari dari adanya kontak sosial dengan orang lain (Goleman, 1995). Perilaku Agresi Pengertian Aronson (dalam Koeswara, 1988) mengajukan definisi agresi sebagai tingkah laku yang dijalankan oleh individu dengan maksud melukai atau mencelakakan individu lain dengan ataupun tanpa tujuan tertentu. Sementara itu Murray (dalam Hall & Lindzey, 1993a) mengatakan agresi sebagai perilaku menghadapi perlawanan dengan kekerasan, melawan, membalas perbuatan yang tidak adil, menyerang, melukai, atau membunuh orang lain, melawan dengan kekerasan atau menghukum orang lain. Freud (dalam Hall & Lindzey, 1993) menyatakan bahwa agresi adalah perusakan diri yang diarahkan ke objek-objek subsitusi. Myer (dalam Sarwono, 1997) menyebutkan agresi adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Kemudian Yusuf (2000), agresi adalah perilaku menyerang baik secara fisik (non verbal) maupun kata-kata (verbal). Berkowitz (2003) menyatakan bahwa agresi sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun mental. Baron (dalam Berkowitz, 2003) agresi adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang sebenarnya tidak semua mendapat perlakuan seperti itu. Dari pendapat diatas dapat dikatakan bahwa perilaku agresi merupakan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti individu lain, dengan ataupun tanpa tujuan tertentu, baik secara fisik (non verbal) maupun verbal. Tipe-Tipe Agresi Tipe-tipe agresi menurut Berkowitz (2003), terdiri dari: a. Agresi instrumental Suatu tindakan yang dilakukan lebih untuk tujuan ekstrinsik daripada kesenangan, yang diperolehnya sebagai “perilaku instrumental”. Biasanya agresi instrumental ini merupakan usaha paksaan atau suatu upaya mempertahankan kekuasaan, dominasi, atau status sosial seseorang. b. Agresi emosional Menurut istilah Feshbach (dalam Berkowitz, 2003), agresi jenis ini sering disebut sebagai “agresi jahat”. Ini juga bisa dianggap sebagai agresi “emosional”, “afektif”, atau “marah”, karena terjadi ketika seseorang tersinggung atau berusaha menyakiti orang lain. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Agresi Mutadin (2002a) menyebutkan beberapa faktor penyebab perilaku agresi, sebagai berikut: a. Amarah Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang lebih tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak (Davidoff, dalam Mutadin 2002a). Pada saat amarah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyatannya agresi adalah suatu respon terhadap amarah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, atau ancaman sering memancing amarah dan akhirnyamemancing agresi (Mutadin, 2002a). Zillman (dalam Goleman, 1995) menemukan bahwa bila tubuh telah berada dalam kondisi tak sabaran, dan ada sesuatu yang memicu kerja emosi, maka emosi berikutnya entah marah atau cemas, intensitasnya akan amat tinggi sehingga mengilhami dan mempermudah terjadinya agresi. b. Faktor biologis Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi (Davidoff, dalam Mutadin 2002a): 1) Gen, tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan nampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya. 2) Sistem otak. Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Pada hewan marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang dapat menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott (dalam Mutadin, 2002a) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman atau penghancuran (agresi). Prescott (dalam Mutadin, 2002a) yakin bahwa keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi. 3) Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormone seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu eksperimen, ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus dan beberapa hewan lain maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut. c. Kesenjangan generasi Adanya perbedaan atau jurang pemisah (Gap) antara generasi anak dengan orangtuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orangtua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya agresi pada anak (Mutadin, 2002a). d. Lingkungan Hal-hal di dalam lingkungan yang dapat mempengaruhi perilaku agresi adalah sebagai berikut: 1) Kemiskinan Bila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan (McCandless, dalam Mutadin 2002a). Hal ini dapat kita lihat dan alami dalam kehidupan sehari-hari di ibukota Jakarta, di perempatan jalan dalam antrian lampu merah (Traffic Light) anda biasa didatangi pengamen cilik yang jumlahnya lebih dari satu orang yang datang silih berganti. Bila anda memberi salah satu dari mereka maka anda siapsiap diserbu anak yang lain untuk meminta pada anda dan resikonya anda mungkin dicaci maki bahkan ada yang berani memukul pintu mobil anda jika anda tidak memberi uang, terlebih bila mereka tahu jumlah uang yang diberikan pada temannya cukup besar. Mereka juga bahkan tidak segan-segan menyerang temannya yang telah diberi uang dan berusaha merebutnya. Hal ini sudah menjadi pemandangan yang seolah-olah biasa saja. 2) Anonimitas Kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota besar lainnya menyajikan berbagai suara, cahaya dan bermacam informasi yang besarnya sangat luar biasa. Orang secara otomatis cenderung berusaha untuk beradaptasi dengan melakukan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang berlebihan tersebut. Terlalu banyak rangsangan indera dan kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal atau mengetahui secara baik. Lebih lanjut lagi, setiap individu cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identitas diri). Bila seseorang merasa anonim ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati pada orang lain (Mutadin, 2002a). 3) Suhu udara yang panas Bila diperhatikan dengan seksama tawuran yang terjadi di Jakarta seringkali terjadi pada siang hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujan relatif tidak ada peristiwa tersebut. Begitu juga dengan aksi-aksi demontrasi yang berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik dan panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi (Mutadin, 2002a). Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas. Pada tahun 1968 US Riot Comision pernah melaporkan bahwa dalam musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat dibandingkan dengan musim-musim lainnya (Fisher, dkk dalam Mutadin 2002a). e. Peran belajar model kekerasan Acara-acara yang menampilkan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara televisi yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti: Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya. Davidoff (dalam Mutadin, 2002a) mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut. Dalam suatu penelitian Stein (dalam Mutadin, 2002a) dikemukakan bahwa anak-anak yang memiliki kadar agresi diatas normal akan lebih cenderung berlaku agresif, mereka akan bertindak keras terhadap sesame anak lain setelah menyaksikan adegan kekerasan dan meningkatkan agresi dalam kehidupan seharihari, dan ada kemungkinan efek ini syfatnya menetap. f. Frustrasi Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhanyang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi (Mutadin, 2002a). g. Proses pendisiplinan yang keliru Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh buruk bagi remaja (Sukadji, dalam Mutadin 2002a). Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya, sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar (contoh: dilarang untuk keluar main, tetapi di dalam rumah tidak diperhatikan oleh kedua orangtuanya karena kesibukan mereka). Aini (2004) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan agresivitas pada remaja akhir, dimana semakin tinggi kecerdasan emosi pada remaja akhir maka semakin rendah agresivitasnya. Remaja Pengertian Remaja merupakan istilah untuk menyebutkan masa peralihan dari masa anak dengan dewasa, ada yang memberi istilah puberty (Inggris), puberteit (Belanda), pubertas (Latin), yang berarti kedewasaan yang dilandasi sifat kelakilakian. Ada pula yang menggunakan istilah Adulescentio (Latin) yaitu masa muda (Rumini dan Sundari, 2004). Monks (2002) menyebutkan remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Ia tidak termasuk golongan anak tetapi ia tidak pula termasuk golongan orang dewasa atau golongan tua. Remaja ada diantara anak dan orang dewasa. Drajat (dalam Willis, 1994) mengatakan remaja adalah usia transisi. Seorang individu, telah meninggalkan usia kanak-kanak yang lemah dan penuh ketergantungan, akan tetapi belum mampu ke usia yang kuat dan penuh tanggungjawab, baik terhadap dirinya maupun terhadap masyarakat. Banyaknya masa transisi ini tergantung kepada keadaan dan tingkat sosial masyarakat dimana dia hidup. Semakin maju masyarakat semakin panjang usia remaja, karena ia harus mempersiapkan diri untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat yang banyak syarat dan tuntutannya. Mutadin (2002) menyatakan masa remaja dikenal dengan masa yang penuh dengan pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pada masa remaja terdapat beberapa fase, yaitu: fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun), remaja pertengahan (usia 15 tahun sampai dengan 18 tahun), masa remaja akhir (usia 18 sampai dengan 21 tahun). Pada fase remaja mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak baik pada bentuk fisik (terutama organ-organ seksual) dan psikis terutama emosi. Witherington (dalam Rumini dan Sundari, 2004) menggunakan istilah masa adolensence yang dibagi menjadi dua fase yang disebut: a. Preadolensence, antara usia 12-15 tahun, dan b. Late Adolensence, antara usia 15-18 tahun. Demikian juga Gilmer (dalam Rumini dan Sundari, 2004) menyebut masa itu adalah adolensence yang kurun waktunya terdiri dari tiga bagian: a. Preadolensence dalam kurun waktu 10-13 tahun, b. Adolensence awal dalam kurun waktu 13-17 tahun, c. Adolensence akhir dalam kurun waktu 18-21 tahun. Berdasarkan pendapat diatas dapat dikatakan bahwa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak menuju dewasa yang penuh dengan perubahan emosi ang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan perkembangan psikis yang bervariasi, dengan rentang usia 12 sampai 21 tahun. Tugas Tahap Perkembangan Remaja Wilis (1994) menyebutkan sejumlah tugas-tugas perkembangan remaja itu adalah sebagai berikut: a. Memperoleh sejumlah norma-norma dan nilai-nilai sebagai pedoman dan pandangan hidup untuk masa depan terutama dalam hubungannya dengan Tuhan, anggota masyarakat, dan alam sekitarnya termasuk benda-benda dan makhluk Tuhan lainnya. b. Belajar memiliki peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin masing-masing. c. Menerima kenyataan jasmaniah serta dapat menggunakan seefektif-efektifnya dan merasa puas terhadap keadaan jasmaniahnya tersebut. d. Mencapai kebebasan daripada ketergantungan terhadap orangtua dan orang dewasa lainnya. e. Mencapai kebebasan ekonomi. f. Mempersiapkan diri untuk menentukan suatu pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan kesanggupannya. g. Memperoleh informasi tentang kehidupan perkawinan dan mempersiapkan diri untuk itu baik persiapan fisik, mental, emosional dan sosial. h. Mengembangkan kecakapan intelektual dan konsep-konsep tentang kehidupan bermasyrakat. i. Memiliki konsep-konsep tentang tingkah laku sosial yang perlu untuk kehidupan bermasyarakat. Perkembangan Emosi Remaja Mashum & Wahyurini (2004) menyebutkan ciri-ciri perkembangan emosi remaja adalah sebagai berikut: a. Lebih mudah bergejolak dan biasanya diekspresikan dengan meledak-ledak. b. kondisi emosional yang muncul tadi berlangsung lama, sampai akhirnya kembali dalam keadaan semula. c. Emosi yang muncul sudah bervariasi, bahkan kadang bercampur-baur antara dua emosi yang (sebenarnya) bertentangan. Misalnya: benci dan sayang dalam satu waktu. d. Mulai muncul ketertarikan dengan lawan jenis yang melibatkan emosi (sayang, cemburu, dan sebagainya). e. Mudah tersinggung dan merasa malu, karena umumnya sangat peka terhadap cara orang lain memandang kita. Hurlock (1980) menyatakan remaja laki-laki dan perempuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila akhir masa remaja tidak “meledakkan” emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. Selain itu, individu menilai situasi secara kritis terlebih dulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang. Jadi, remaja yang memiliki kematangan emosi memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain. Keadaan Emosi Remaja Hurlock (1996) mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi emosi remmaja, yaitu: a. Kondisi fisik Apabila keseimbangan tubuh terganggu karena kelelahan, kesehatan yang buruk atau perubahan yang berasal dari perkembangan, maka remaja akan mengalami emosional yang meninggi. Biasanya orang berada dalam keadaan sakit, mungkin akan menjadi cepat tersinggung atau marah apabila ada yang mengusiknya. Orang yang berada dalam keadaan sakit, mungkin akan menjadi frustrasi dan cepat marah karena perasaan ketidakberdayaan. Sedangkan perubahan yang berasal dari perlambangan yang terjadi pada masa remaja, misalnya perubahan bentuk tubuh karena kelenjar dan hormon, membutuhkan kesiapan emosi remaja untuk memahami menerima perubahan itu. b. Kondisi psikologis Pengaruh psikologis yang penting antara lain tingkat inteligensi dan tingkat aspirasi, dan kecemasan. Tingkat inteligensi seorang remaja yang tingkat intelektualnya kurang atau rendah, rata-rata mempunyai pengendalian emosi yang kurang dibandingkan dengan remaja yang pandai pada tingkat usia yang sama, kegagalan mencapai tingkat aspirasi yang timbul berulang dapat membuat keadaan cemas dan tidak berdaya. c. Kondisi lingkungan Kondisi yang dapat mempengaruhi keadaan emosi remaja, misalnya: ketegangan yang terus menerus, jadwal yang terlalu ketat, terlalu banyak pengalaman menggelisahkan yang merangsang anak secara berlebihan. Perilaku Agresi Remaja Pada penelitian Kamo (2001) terdapat perbedaan kecenderungan agresi yang signifikan antara remaja yang bertipe kepribadian A dan remaja bertipe kepribadian B, dimana remaja bertipe kepribadian A cenderung lebih agresif dibandingkan remaja dengan tipe kepribadian B. Kemudian pada penelitian yang dilakukan oleh Utami (2001) mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kesesakan dengan agresivitas remaja di lingkungan padat. Penelitian Silvana (2002) mendapatkan hasil bahwa ada perbedaan kecenderungan agresi ditinjau dari peran jenis, dimana kecenderungan agresi yang tertinggi terdapat pada kelompok remaja yang berperan jenis maskulin, kemudian tidak tergolongkan, androgini dan yang terendah adalah peran jenis feminim. Studi tentang hubungan pola asuh dengan agresivitas remaja dilakukan oleh Tarmudji (dalam Ghozali, 2002), penelitian dilakukan di delapan SMU di kota Semarang dengan jumlah sampel 85 orang siswa laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh demokratis mempunyai hubungan yang negatif dan tinggi, sedangkan pola asuh otoriter mempunyai hubungan yang positif tapi rendah, dan pola asuh permisif mempunyai hubungan yang positif dan sedang dengan perilaku agresif anak. Hampir tidak ada orangtua yang mempraktikan pola asuh secara murni pada salah satu tipe. Kecenderungankecenderungan pada tipe pola asuh tertentu nampaknya lebih banyak digunakan oleh orangtua dan bersifat situasional. Dalam suatu studi yang dilakukan oleh Dariyo & Tiatri (2003) terhadap 15 SLTA di wilayah Jakarta Barat didapat bahwa pengalaman memperoleh hukuman fisik sejak masa kanak berkorelasi dengan perilaku agresif saat remaja. Semakin sering, semakin berat, dan semakin banyak perilaku agresifnya muncul. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Perilaku Agresi Pada Remaja Masa remaja adalah masa transisi seorang yang telah meningggalkan usia kanak-kanak yang lemah dan penuh ketergantungan menuju usia dewasa, akan tetapi belum mampu bertanggungjawab, baik terhadap dirinya maupun terhadap masyarakat. Banyaknya masa transisi ini tergantung kepada keadaan dan tingkat sosial masyarakat dimana dia hidup. Semakin maju masyarakat semakin panjang usia remaja, karena ia harus mempersiapkan diri untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat yang banyak syarat dan tuntutannya (Drajat, dalam Wilis 1994). Wilis (1994) menyebutkan sejumlah tugas-tugas perkembangan remaja itu seperti: memperoleh sejumlah norma-norma dan nilai-nilai sebagai pedoman dan pandangan hidup untuk masa depan terutama dalam hubungannya dengan Tuhan, anggota masyarakat, dan alam sekitarnya termasuk benda-benda dan makhluk tuhan lainnya; belajar memiliki peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin masing-masing; menerima kenyataan jasmaniah serta dapat menggunakan seefektif-efektinya dan merasa puas terhadap keadaan jasmaniahnya tersebut; mencapai kebebasan daripada ketergantungan terhadap orangtua dan orang dewasa lainnya; mencapai kebebasan ekonomi; mempersiapkan diri untuk menentukan suatu pekerjan yang sesuai dengan bakat dan kesanggupannya; memperoleh informasi tentang kehidupan perkawinan dan mempersiapkan diri untuk itu baik persiapan fisik, mental, emosional dan sosial; mengembangkan kecakapan intelektual dan konsep-konsep tentang kehidupan bermasyarakat; memiliki konsep-konsep tentang tingkah laku sosial yang perlu untuk kehidupan bermasyarakat. Mutadin (2002) menyatakan masa remaja dikenal dengan masa yang penuh dengan pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pada masa remaja terdapat beberapa fase, yaitu: fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun), remaja pertengahan (usia 15 tahun sampai dengan 18 tahun), masa remaja akhir (usia 18 tahun sampai dengan 21 tahun). Pada fase remaja mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak baik pada bentuk fisik (terutama organ-organ seksual) dan psikis terutama emosi. Mashum & Wahyurini (2004) menyebutkan ciri-ciri perkembangan emosi remaja, seperti: lebih mudah bergejolak dan biasanya diekspresikan dengan meledak-ledak; kondisi emosional yang muncul tadi berlangsung lama, sampai akhirnya kembali dalam keadaan semula; emosi yang muncul sudah bervariasi, bahkan kadang bercampur-baur antara dua emosi yang (sebenarnya) bertentangan. Misalnya: benci dan sayang dalam satu waktu; mulai muncul ketertarikan dengan lawan jenis yang melibatkan emosi (sayang, cemburu, dan sebagainya); mudah tersinggung dan merasa malu, karena umumnya sangat peka terhadap cara orang lain memandang kita. Hurlock (1980) menyatakan remaja laki-laki dan perempuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila akhir masa remaja tidak “meledakkan” emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. Selain itu, individu menilai situasi secara kritis terlebih dulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang. Jadi, remaja yang memiliki kematangan emosi memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain. Hurlock (1996) mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi emosi remaja, seperti: kondisi fisik, psikologis, dan lingkungan temapat tinggalnya. Kemudian Mutadin menyatakan pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti: lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani di sekolah (pada umumnya masa remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah) tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya ke arah yang tidak positif, misalnya tawuran dan perilaku agresi lainnya. Hal ini menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungannya. Baron (dalam Berkowitz, 2003) agresi adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang sebenarnya tidak semua mendapat perlakuan seperti itu. Berkowitz (2003) menyatakan bahwa agresi sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun mental. Apabila masa remaja merupakan masa yang paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam rangka menghindari hal-hal negatif, misalnya perilaku agresi yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional ini terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana remaja mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif (Mutadin, 2002). Penelitian Aini (2004) menyebutkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan agresivitas pada remaja akhir, dimana semakin tinggi kecerdasan emosi pada remaja akhir maka semakin rendah agresivitasnya. Goleman (1995) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Salovey & Mayer (dalam Davis, 2006) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai sebuah bentuk kecerdasan yang melibatkan kemampuan memonitor perasaan dan emosi diri sendiri atau orang lain, untuk membedakan diantara mereka dan menggunakan informasi ini untuk menuntun ‘pikiran dan tindakan seseorang’. Studi yang dilakukan oleh Petrides, dkk (2006) menyelidiki tentang peran kecerdasan emosional dalam hubungan teman sebaya di sekolah. 160 siswa (83 anak perempuan; rata-rata umur 10.8 tahun) dilakukan pengukuran dengan kuesioner daftar sifat kecerdasan emosional dan sesudah itu diminta untuk menominasikan teman sekelasnya masing-masing yang cocok ke dalam tujuh deskripsi perilaku yang berbeda (‘kooperatif’, ‘penggangu’, ‘pemalu’, ‘agresif’, ‘dependen’, ‘pemimpin’, dan ‘pengimtimidasi’). Para guru juga diminta untuk menominasikan seluruh siswa yang cocok ke dalam tujuh deskripsi. Siswa-siswa dengan skor sifat kecerdasan emosional yang tinggi lebih masuk dalam nominasi untuk ‘kooperatif’ dan ‘kepemimpinan’ dan lebih rendah nominasinya untuk ‘pengganggu’, ‘agresi’, dan ‘dependen’. Analisis faktor dari nominasi para guru menunjukkan dua faktor orthogonal meliputi maing-masing deskripsi prososial dan antisosial. Siswa-siswa dengan skor sifat kecerdasan emosional yang tinggi ada dalam faktor prososial dan yang rendah ke dalam faktor antisosial. Goleman (1995) dalam penelitiannya yang berasal dari sampel nasional anak-anak Amerika berumur 7 hingga 16 tahun, membandingkan tingkat keterampilan emosi anak-anak usia tersebut pada pertengahan tahun 1970-an dengan keadaan pada akhir tahun 1980-an. Berdasarkan penilaian para guru dan orangtuanya, rata-rata anak-anak semakin parah dalam masalah spesifik, seperti: menarik diri dari pergaulan atau masalah sosial, cemas dan depresi, memiliki masalah dalam hal perhatian atau berpikir, nakal atau agresif. Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pada individu yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi cenderung perilaku agresinya rendah, sedangkan yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah cenderung perilaku agresinya tinggi, yang berarti bahwa terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada remaja. Hipotesis Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada remaja. METODE PENELITIAN Adapun yang menjadi variabel terikat dalam penelitian ini adalah kecerdasan emosional (Y) dan variabel bebasnya adalah perilaku agresi (X). Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam memahami dan mengatur emosi diri sendiri maupun orang lain, yang kemudian digunakan sebagai informasi atau yang menuntun atas segala pikiran dan tindakannya. Kecerdasan emosional akan diukur dengan menggunakan skala kecerdasan emosional yang disusun oleh Goleman (1995) berdasarkan komponen-komponen kecerdasan emosional, yaitu: mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan keterampilan sosial. Skala kecerdasan emosional berbentuk skala Likert. Perilaku Agresi adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti individu lain, dengan ataupun tanpa tujuan tertentu, baik secara fisik (non verbal) maupun verbal. Perilaku agresi diukur dengan menggunakan skala perilaku agresi yang disusun oleh Berkowitz (3003) berdasarkan pada kedua tipe agresi, yaitu: agresi instrumental dan agresi emosional. Skala perilaku agresi berbentuk skala Likert. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode try out terpakai, yaitu pengambilan data hanya dilakukan satu kali; digunakan untuk uji validitas dan uji reliabilitas sekaligus untuk uji hipotesis. Digunakannya metode try out terpakai dalam penelitian ini dengan pertimbangan agar tidak mengganggu kesibukan para remaja. Pelaksanaan pengambilan data dilakukan pada remaja yang berjenis kelamin pria dan wanita, berusia 12 sampai 21 tahun. Kuesioner disebar sebanyak 45 eksemplar. Dari 45 eksemplar hanya 44 eksemplar yang memenuhi syarat untuk dianalisis, 1 eksemplar rusak. Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Kecerdasan Emosional Pengujian validitas skala kecerdasan emosional dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment Pearson dengan melihat item total correlation dengan bantuan program SPSS versi 11. Menurut Azwar (1996), koefisien validitas dapat dianggap memuaskan apabila melebihi 0.3. Sehingga hanya item-item yang mempunyai total korelasi lebih dari 0.3 yang dianggap valid. Pada skala kecerdasan emosional, dari 69 item yang diujicoba, 30 item dinyatakan gugur. Sehingga item yang valid hanya berjumlah 39 item. Korelasi skor total pada item-item yang valid bergerak antara 0.3291 sampai dengan 0.7450. Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat konsistensi skor pada alat tes. Uji reliabilitas skala perilaku agresi pada penelitian ini menggunakan koefisien Alpha Cronbach dengan menggunakan program SPSS versi 11. Hasilnya diketahui bahwa koefisien reliabilitasnya sebesar 0.9209 (>0.7) sehingga item dinyatakan reliabel. Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Perilaku Agresi Pengujian validitas skala perilaku agresi dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Product Momen Pearson dengan melihat item total correlation dengan bantuan program SPSS versi 11. Menurut Azwar (1996), koefisien validitas dapat dianggap memuaskan apabila melebihi 0.3. Sehingga hanya itemitem yang mempunyai total korelasi lebih dari 0.3 yang dianggap valid. Pada skala perilaku agresi, dari 40 item yang diujicobakan, 11 item dinyatakan gugur. Sehingga item yang valid hanya berjumlah 29 item. Korelasi skor total pada item-item yang valid bergerak antara 0.3035 sampai dengan 0.7107. Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat konsistensi skor pada alat tes. Uji reliabilitas skala perilaku agresi pada penelitian ini menggunakan koefisien Alpha Cronbach dengan menggunakan program SPSS versi 11. Hasilnya diketahui bahwa koefisien reliabilitasnya sebesar 0.8975 (>0.7) sehingga item dinyatakan reliabel. Uji Asumsi a. Uji Normalitas Untuk uji normalitas digunakan alat bantu program SPSS versi 11 yaitu uji Kolmogorov-Smirmov untuk menguji normalitas sebaran skor. Berdasarkan pengujian normalitas pada variabel kecerdasan emosional mempunyai taraf signifikansi sebesar 0.200 (p>0.05) dan pada variabel perilaku agresi mempunyai taraf signifikansi sebesar 0.200 (p>0.05). Secara umum dapat dikatakan bahwa distribusi skor kecerdasan emosional dan perilaku agresi yang telah diambil dianggap normal. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel 8 berikut. Tabel 8 Hasil Uji Normalitas Kolmogorov-Smirmova Statistic df Sig. p Keterangan Kecerdasan Emosional .118 44 .200* >0.05 Normal Perilaku Agresi .072 44 .200* >0.05 Normal b. Uji Linearitas Dari hasil pengujian linearitas diperoleh nilai signifikansi sebesar 0.000 (p<0.05), yang secara umum dapat dikatakan bahwa hubungan kecerdasan emosional dan perilaku agresi adalah membentuk garis linear. Uji Hipotesis Berdasarkan analisis data yang dilakukan dengan menggunakan uji korelasi yaitu product moment Pearson, diperoleh signifikansi sebesar 0.000 (p<0.05) yang menunjukkan bahwa korelasi antara skor kecerdasan emosional dan perilaku agresi, signifikan. Nilai korelasi Pearson sebesar -0.553 menunjukkan korelasi negatif. Jadi, hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis yang berbunyi terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dan perilaku agresi pada remaja, diterima, dan berarah negatif. Yang berarti semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin rendah perilaku agresi, demikian sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosional maka semakin tinggi perilaku agresi. Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada remaja. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa hipotesis diterima berarti terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada remaja, yang berarti hubungan antara kecerdasan emosional berbanding terbalik dengan perilaku agresi. Jadi, semakin tinggi kecerdasan emosional seseorang maka semakin rendah perilaku agresinya. Sebaliknya, semakin rendah kecerdasan emosional seseorang maka semakin tinggi perilaku agresinya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Aini (2004) yang menyebutkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan agresivitas pada remaja akhir, dimana semakin tinggi kecerdasan emosi pada remaja akhir maka semakin rendah agresivitasnya. Pada studi yang dilakukan oleh Petrides, dkk (2006) yang menyelidiki tentang peran kecerdasan emosional dalam hubungan teman sebaya di sekolah, dengan hasil skor sifat kecerdasan emosional yang tinggi masuk dalam nominasi ‘kooperatif’ dan ‘kepemimpinan’ dan yang kecerdasan emosionalnya lebih rendah masuk dalam nominasi untuk ‘pengganggu’, ‘agresi’, dan ‘dependen’. Goleman (1995) dalam penelitiannya yang membandingkan tingkat keterampilan emosi anak-anak pada pertengahan tahun 1970-an dengan keadaan pada akhir tahun 1980-an. Berdasarkan penilaian para guru dan orangtuanya, ratarata anak-anak semakin parah dalam masalah spesifik, seperti: menarik diri dari pergaulan atau masalah sosial, cemas dan depresi, memiliki masalah dalam hal perhatian atau berpikir, kemudian nakal atau agresif. Dari pendapat Ujianto (2006) Kecerdasan emosional menyangkut kecerdasan dalam berhubungan dan memahami orang lain. Kecerdasan itu juga berhubungan dengan kemampuan kita untuk memahami dan mengelola emosi kita sendiri yang berupa ketakutan, kemarahan, agresi dan kejengkelan. Dari hasil penelitian juga diketahui perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik variabel kecerdasan emosional dengan variabel perilaku agresi yang dapat dilihat pada tabel 9 berikut. Tabel 9 Mean Empirik dan Mean Hipotetik Variabel Mean Empirik Mean Hipotetik SD Hipotetik Kecerdasan Emosional 104.07 97.5 19.5 Perilaku Agresi 63.11 72.5 14.5 Berdasarkan perhitungan pada skala kecerdasan emosional, rentang minimum-maksimum adalah 39 x 1 sampai dengan 39 x 4, yaitu 39 – 156 dengan jarak sebaran 156 – 39 = 117 dan satuan deviasi standarnya bernilai SD = 117 : 6 = 19.5. Dengan mean empirik berada diantara mean hipotetik + 1SD (97.5 + 19.5) yaitu sebesar 117. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berada pada kategori sedang. Dan pada skala perilaku agresi, dengan rentang minimummaksimum adalah 29 x 1 sampai dengan 29 x 4, yaitu 29 – 116 dengan jarak sebaran 116 – 29 = 87 dan satuan deviasi standarnya bernilai SD = 87 : 6 = 14.5. Dan mean empirik berada diantara mean hipotetik - 1SD (72.5 - 14.5) yaitu sebesar 58. Hal tersebut menunjukkan bahwa perilaku agresi berada pada kategori sedang. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada grafik skala kecerdasan emosional sebagai berikut ini: Sedang Rendah 39 58.5 Tinggi 78 97.5 104.07 117 136.5 Gambar 2. Bagan Perbandingan Mean Empirik dan Hipotetik Kecerdasan Emosional 156 Grafik perilaku agresi, sebagai berikut: Sedang Rendah 29 43.5 58 Tinggi 63.11 72,5 87 101.5 116 Gambar 3. Bagan Perbandingan Mean Empirik dan Hipotetik Perilaku Agresi Selain hasil mean empirik dan mean hipotetik di atas, pada tabel 10 di bawah ini dapat dilihat dalam hubungan antara kecerdasan emosional dan perilaku agresi dengan hasil deskripsi dari subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin. Tabel 10 Deskripsi Subjek berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah % Mean Skala Mean Skala Kecerdasan Emosional Perilaku Agresi Pria 22 50 106.14 63.95 Wanita 22 50 102 62.27 Berdasarkan pada mean skala kecerdasan emosional pada data tersebut di atas, dapat dilihat bahwa kecerdasan emosional pada subjek yang berjenis kelamin pria lebih tinggi daripada wanita. Kemudian pada mean skala perilaku agresi dapat dilihat bahwa perilaku agresi pada subjek yang berjenis kelamin pria lebih tinggi daripada wanita. Hal ini sesuai dengan pendapat Furnham (2000) yang menyatakan bahwa walaupun wanita memiliki skor yang lebih tinggi daripada pria pada komponen keterampilan sosial, namun dalam segi penilaian diri yang dikombinasikan dalam sebuah skala yang reliabel dan pengukuran yang dilakukan oleh partisipan terhadap komponen-komponen kecerdasan emosional memiliki hasil yang konstan, hal tersebut menunjukkan bahwa dapat dipercaya bahwa pria lebih tinggi kecerdasan emosionalnya daripada wanita. Akan tetapi, hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Kumalasari (2002) bahwa wanita lebih tinggi kecerdasan emosionalnya daripada pria, wanita lebih tinggi kemampuannya dalam mengetahui satu jenis emosi, menghargai emosi pada orang lain dan memelihara hubungan, dan tidak ada perbedaan mengontrol emosi dan memotivasi diri satu sama lain. Hurlock (1980) menyatakan remaja laki-laki dan perempuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila akhir masa remaja tidak “meledakkan” emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. Selain itu, individu menilai situasi secara kritis terlebih dulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang. Jadi, remaja yang memiliki kematangan emosi memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain. Hasil yang menunjukkan bahwa perilaku agresi pada pria lebih tinggi daripada wanita mungkin dikarenakan bahwa wanita mempunyai lebih banyak kecemasan agresi dibandingkan pria. Kecemasan agresi merupakan hambatan agresi yang dipelajari secara umum (Fescbach dalam Sears, dkk, 1994). Berkowitz (2003) menyebutkan agresi lebih khas pria dibanding wanita, dan kebanyakan studi tentang agresi terfokus kepada pria. Hal ini menunjukkan bahwa pria dan anak laki-laki yang cenderung menyimpang dari banyak aturan masyarakat dan norma sosial memiliki dorongan agresif yang kuat yang merupakan salah satu komponen dari sifat dasarnya yaitu antisosial. Agresi pada wanita, seperti halnya pada pria, mereka kadang suka menyakiti orang lain. Sebagian wanita bahkan sangat cenderung menyerang secara fisik orang yang membuatnya jengkel (Berkowitz, 2003). Dan perbedaan kedua mean tersebut mungkin dikarenakan adanya perbedaan sifat berdasarkan kedua jenis kelamin tersebut seperti pendapat dari Dagun (dalam Baso, 2006) bahwa pria memiliki sifat seperti: melindungi, rasional, berani, agresif, tegas, kasar, terbuka, ingin menguasai, kuat, maskulin, ingin menjadi pemimpin, sportif, mudah tertarik pada lawan jenis, pendiam, aktif, solider, pantang putus asa, keras kepala dan pemarah. Sedangkan wanita memiliki sifat seperti: peka, lembut, cerewet, emosional, manja, keibuan, senang berdandan, penyabar, pemalu, mudah tersinggung, teliti, suka membicarakan orang lain, rajin, tekun, cengeng, jujur, materealistik, setia, tertutup, dan penuh pengertian. Kemudian pada tabel 11 di bawah ini dapat dilihat hubungan antara kecerdasan emosional dan perilaku agresi dengan hasil deskripsi dari subjek penelitian berdasarkan usia. Tabel 11 Deskripsi Subjek berdasarkan Usia Usia Mean Skala Mean Skala (dibagi menjadi beberapa fase yang Kecerdasan Perilaku dikemukakan oleh Mutadin (2002)) Emosional Agresi 12 - 15 th (Remaja awal) 112.38 66.84 15 - 18 th (Remaja pertengahan) 105.47 64.90 18 - 21 th (Remaja akhir) 100.13 61.08 Berdasarkan mean skala kecerdasan emosional dan mean skala perilaku agresi pada data tersebut di atas, dapat dilihat bahwa kecerdasan emosional dan perilaku agresi dari yang tertinggi sampai terendah adalah usia 12 - 15 tahun, 15 18 tahun, dan 18 - 21 tahun. Hal tersebut diatas dapat terjadi mungkin dikarenakan adanya perbedaan ciri pada setiap fase dalam kehidupan remaja seperti yang dikemukakan oleh Sternberg (1998) pada fase remaja awal, individu dapat berpikir secara abstrak, memiliki pemikiran-pemikiran yang egosentris, dan empati yang dimilikinya belum konsisten. Biasanya pemikiran dan tindakan yang mereka lakukan tidak sejalan dan keduanya berbeda. Pada fase remaja tengah, adanya perubahan emosi yang terjadi. Pada fase remaja akhir, individu mereka sudah dapat mengolah emosi yang mereka alami secara mandiri. mereka mampu memahami emosi diri sendiri dan orang lain. Disamping itu, mereka mulai membutuhkan kemampuan untuk beradaptasi terhadap lingkungan sosial yang tinggi. Hurlock (1996) mengemukakan bahwa kondisi fisik, kondisi psikologis dan kondisi lingkungan dapat mempengaruhi keadaan emosi remaja. Berarti ketiga kondisi tersebut juga dapat mempengaruhi kecerdasan dan perilaku agresi yang ada pada remaja. Kemudian pada tabel 12 di bawah ini dapat dilihat hubungan antara kecerdasan emosional dan perilaku agresi dengan hasil deskripsi dari subjek penelitian berdasarkan urutan kelahiran. Tabel 12 Deskripsi Subjek berdasarkan Urutan Kelahiran Urutan Kelahiran Jumlah % Mean Skala Mean Skala Kecerdasan Emosional Perilaku Agresi Sulung 18 41 97.44 65.56 Tengah 13 29.5 105.92 62.62 Bungsu 11 25 110.45 62.82 Tunggal 2 4.5 116.50 46 Berdasarkan mean skala kecerdasan emosional pada data tersebut di atas, dapat dilihat bahwa urutan kecerdasan emosional dari yang terendah sampai tertinggi adalah sulung, tengah, bungsu, dan tunggal. Kemudian pada mean skala perilaku agresi dapat dilihat bahwa urutan perilaku agresi dari yang tertinggi sampai pada yang terendah adalah sulung, bungsu, tengah, dan tunggal. Hasil dari tersebut diatas berbeda dengan pendapat Soesilowindradini (2004) yang menyatakan bahwa urutan kelahiran dalam keluarga khususnya anak sulung cendrung lebih memiliki kecerdasan emosional yang lebih baik dibandingkan dengan anak tengah dan anak bungsu. Yang dalam hal ini ditandai dengan ciri-ciri yaitu kesadaran diri yang cukup baik, berperilaku yang cukup matang, mampu berprestasi, bertanggung jawab dan melindungi adik-adiknya. Kemudian jika dilihat dari perilaku agresi berdasarkan urutan kelahiran, hasil tersebut diatas berbeda dengan penelitian Begum, dkk (1981) yang mendapatkan hasil bahwa anak tengah memiliki kebutuhan agresi yang tertinggi dan anak sulung berada pada tingkat yang terendah. Hasil tersebut diatas terjadi mungkin karena adanya perbedaan stabilitas emosi yang dimiliki pada setiap urutan kelahiran, seperti yang dikemukakan oleh Eisenman (dalam Guastello & Guastello, 2002) berpendapat bahwa anak sulung cenderung memiliki ketakutan yang berlebih, dan beberapa anak sulung lebih menunjukkan lebih banyak kecemasan dan kreativitas. Kemudian Kaur & Dheer (dalam Guastello & Guastello, 2002) menemukan bahwa anak tengah cenderung memiliki kestabilan emosi dibandingkan anak sulung dan anak bungsu. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil pengumpulan data dan analisis data yang telah dilakukan penulis menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada remaja. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis yang berbunyi terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada remaja adalah diterima, dan berarah negatif yang berarti semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin rendah perilaku agresi, demikian sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosional maka semakin tinggi perilaku agresi. Dalam penelitian ini juga diperoleh hasil perhitungan pada skala kecerdasan emosional dan skala perilaku agresi yang menggambarkan kecerdasan emosional berada pada kategori sedang. Sedangkan pada perilaku agresi berada dalam kategori sedang. Berdasarkan hasil deskripsi subjek penelitian ditemukan bahwa kecerdasan emosional pada subjek yang berjenis kelamin pria lebih tinggi daripada wanita. Kemudian pada perilaku agresi subjek yang berjenis kelamin pria lebih tinggi daripada wanita. Berdasarkan usia yang dibagi berdasarkan beberapa fase remaja dapat dilihat bahwa kecerdasan emosional dan perilaku agresi dari yang tertinggi sampai terendah adalah usia 12 - 15 tahun, 15 - 18 tahun, dan 18 - 21 tahun. Serta berdasarkan urutan kelahiran, urutan kecerdasan emosional dari yang terendah sampai tertinggi adalah sulung, tengah, bungsu, dan tunggal. Sedangkan urutan perilaku agresi dari yang tertinggi sampai pada yang terendah adalah sulung, bungsu, tengah, dan tunggal. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka saran-saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Bagi subjek penelitian, guna mengurangi perilaku agresi yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain diharapkan untuk lebih meningkatkan kecerdasan emosionalnya. 2. Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan dapat menyertakan variabel lain yang terkait dengan kecerdasan emosional dan perilaku agresi, misalnya kecemasan, harga diri, dan lainnya. Agar penelitian semakin beragam dan pengetahuan tentang kecerdasan emosional dan perilaku agresi semakin luas. Daftar Pustaka Aini, F. Q. 2004. Kecerdasan Emosi dan Agresivitas pada Remaja Akhir. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Anonim. 2002. SMUN 5 Kembali Diserang Remaja Bermotor. (http://www.pikiran-rakyat.com). Anonim. 2003. Pelajar Tewas Akibat Tawuran. (http://www.kompas.com). Azwar, S. 1993. Buletin Psikologi tahun 1 No. 2. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Azwar, S. 1996. Tes Prestasi: Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar. Edisi II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. 2005. Tes Prestasi : Fungsi dan pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baso, M. 2006. Perbedaan Sikap Terhadap Perilaku Seksual Pranikah Antara Pria Dan Wanita. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi universitas Gunadarma. Berkowitz, L. 2003. Emotional Behavior: Mengenali Perilaku dan Tindak Kekerasan di Lingkungan Sekitar Kita dan Cara Penanggulangannya (Buku Kesatu). Jakarta: Penerbit PPM. Dariyo, A., & Tiatri, S. 2003. Hubungan Antara Pengalaman Memperoleh Hukuman Fisik Sejak Masa Anak dengan Perilaku Agresif Saat Remaja. (http://www.psikologi-untar.com). Davis, M. 2006. Tes EQ Anda. Penerbit PT Mitra Media. Furnham, A. 2000. Gender Differences in Measured and Self-Estimated Trait Emotional Intelligence. Sex Roles: A Journal of Research. (http://www.findarticles.com) Goleman, D. 1995. Emotional Intelligence. Alih bahasa: Hermaya, T. Jakarta: PT Gramedi Pustaka Utama. Gottman, J & De Claire, J. 1997. Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional. Jakarta: Penerbit PT Gramedi Pustaka Utama. Guastello, D. D & Guastello, S. J. 2002. Birth Category Effect on the Gordon Personal Profile Variables. JASNH, 2002, Vol. 1, No. 1, 1–7. Reysen Group. (www.jasnh.com.) Hall, C. S., & Lindzey, G. 1993. Psikologi Kepribadian 1: Teori-teori Psikodinamik (Klinis). Editor: Dr.A.Supratiknya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hall, C. S., & Lindzey, G. 1993a. Psikologi Kepribadian 2: Teori-teori Holistik (Organismik-Fenomenologis). Editor: Dr.A.Supratiknya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hurlock, E. B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga. Hurlock, E. B. 1996. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Kamo, R. 2001. Perbedaan Kecenderungan Agresi pada Remaja dengan Tipe Kepribadian A dan B di SMU Bintara. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Kantor Menteri Negara Kependudukan BKKBN. 1998. Laporan Penelitian: Remaja dan permasalahannya. (http://hqweb01.bkkbn.go.id). Koeswara, E. 1988. Agresi Manusia. Bandung: PT Eresco. Kumalasari, R. 2002. Perbedaan Kecerdasan Emosional Ditinjau Dari Jenis Kelamin Pada Siswa SMU Negeri 1 Giri Banyuwangi. Tesis. Malang: Universitas Muhammadiyah. Mashum, Y., & Wahyurini, C. 2004. Memahami Perkembangan Kita. (http://www.kompas.com). Monks, F. J., Knoers, A. M. P., & Hadinoto, S. R. 2002. Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Murdowo, J. 2002. Kerusakan Mental Remaja Memprihatinkan. (http://www.suaramerdeka.com). Mutadin, Z. 2002. Mengenal Kecerdasan Emosional Remaja. (http://www.epsikologi.com). Mutadin, Z. 2002a. Faktor Penyebab Perilaku Agresi. (http://www.e- psikologi.com). Paton, P. 2002. EQ Pengembangan Sukses Lebih Makna. Penerbit PT Mitra Media. Petrides, K. V., Sangareau, Y., Furnham, A., & Frederickson, N. 2006. Social Development : Trait Emotional Intelligence and Children’s Peer Relations at School. (http://www.blackwell-synergy.com). Ritandiyono. 2004. Peranan Kemandirian dan Kecerdasan Emosional terhadap Prestasi Belajar Siswa Program Percepatan Belajar dan Program Reguler SMUN 81 dan SMU Lab School Jakarta. Tesis. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Riyanti. B. P. D., & Prabowo. H. Seri Diktat Kuliah: Psikologi Umum 2. Jakarta: Penerbit Universitas Gunadarma. Rumini, S., & Sundari, S. 2004. Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta. Sadarjoen, S. S. 2000. Keberingasan Individual Remaja, Dampak Keberingasan Kolektif?. (http://www.kompas.com). Sarwono, S.W. 1991. Psikologi Sosial. Jakarta: PT Balai Pustaka. Sarwono, S. W.2004. Kecerdasan Emosi. (http://sarlito.blogspot.com) Sears, D. O., Freedman, J. L., & Peplau, L. A. 1994. Psikologi Sosial. Jilid 2. Alih Bahasa: Michael Adryanto. Jakarta: Penelrbit Erlangga. Silvana, R. 2002. Perbedaan Kecenderungan Agresi Pada Remaja Ditinjau dari Peran Jenis. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Soesilowindradini. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Surabaya: Usaha Nasional. Tambunan, R. 2006. Perkelahian Pelajar. (http://www.duniaesai.com). Tridayanti, M. 2006. Hubungan Antara Religiusitas Dengan Kenakalan Remaja. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Ujianto, B. 2006. Kecerdasan Manusia Diidentikan dengan IQ. (http://suaramerdeka.com). Utami, S. P. 2001. Hubungan Kesesakan dengan Agresivitas Remaja di Lingkungan Padat. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Ghozali, A. 2002. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No.037. (http://www.depdiknas.go.id.htm). Wilis, S. 1994. Problem Remaja dan Pemecahannya. Bandung: Penerbit Angkasa. Yusuf, S. 2000. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Rosdakarya.